Jurnal sharia law ed 02

Page 1


Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada hukum syariah, baik perkara Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.

Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya untuk hati-hati berdasarkan al-Qur‘an, asSunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan Ulama hanif, serta qiyas.

Daftar Isi ; IMPEACMENT / PEMBERHENTIAN KHALIFAH Penulis, Chandra Purna Irawan Prosedur Impeachment/Pemberhentian Khalifah oleh Mahkamah Mazhalim Penulis, Chandra Purna Irawan Istilah Mahkamah Mazhalim Penulis, Chandra Purna Irawan KISAH TABI’IN SYURAIH AL-QADHI

Semua itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memahamkan masyarakat akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat diterapkan di Negara Khilafah. Dan yang lebih penting adalah menopang Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah dalam menerapkan hukum-hukum syariah.

Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami luncurkan diantaranya; 1. Hukum Tata Negara Khilafah 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negara Khilafah 3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Negara Khilafah 4. The Constitutional Khilafah Selamat membaca.

of

the

Islamic


IMPEACMENT / PEMBERHENTIAN KHALIFAH

Penulis, Chandra Purna Irawan

A. Defenisi Impeachment Impeachment dalam Islam dapat diartikan dalam pengertian Al-khala (pencopotan). Al-khala (pencopotan) adalah mencabut, memecat, menelanjangi, menyingkirkan. Ibnu Manzur mengatakan, kata mencopotnya sama pengertiannya dengan mencabutnya; hanya saja didalam istilah pemecatan terkandung makna ―penangguhan atau proses secara perlahan‖. Contoh penggunaan dalam kalimat ; mencopot sandal atau mencopot mantel, artinya adalah ―menanggalkan sandal‖ dan ―menanggalkan mantel‖. Sedangkan jika digunakan dalam ungkapan memecat panglima maksudnya adalah menyingkirkan panglima‖; jika digunakan dalam ungkapan memecat laso dari lehernya artinya ―melanggar janji‖ ; sedangkan jika digunakan dalam ungkapan kaum itu saling memecat artinya ―melanggar perjanjian persahabatan atau persekutuan di antara mereka‖. Dengan demikian, istilah al-khalla‘ (pencopotan) ini erat kaitannya dengan an-nakstu (pelanggaran). Dalam sistem Pemerintahan Islam (Khilafah), kekuasaan berada di tangan umat (as-sulthân li alummah). Artinya, umat memiliki hak untuk memilih dan mengangkat khalifah yang mereka kehendaki. Namun demikian, umat tidak berhak memberhentikan Khalifah selama akad baiat kepada dia dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syariah. Ketika terjadi perubahan keadaan pada diri Khalifah yang menjadikan dia tidak layak lagi menjabat sebagai khalifah, maka umat tetap tidak berhak membuat keputusan untuk memberhentikan dia. Kalau begitu, siapa yang berhak membuat keputusan untuk memberhentikan Khalifah?

Jurnal Sharia Law

Halaman | 01


Istilah lain impeachment berasal dari kata ―to impeach‖, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah ―removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata ―impeachment‖ itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, ―Strictly speaking, „impeachment‟ means „accusating‟ or „charge‟.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan. Istilah Impeachment menurut Indraya adalah proses pemberhentian yang dilakukan oleh parlemen. Dalam istilah kuna sejak jaman Mesir Kuna dengan istilah Iesangelia sejak abad ke 17 adalah dakwaan atau tuntutan. Istilah tersebut diadopsi pemerintah Inggris dan dimasukan dalam kontitusi Amerika Serikat akhir abad 18. Pengertian impeachmentmerupakan istilah yang umum dipakai dalam hukum tatanegara untuk menyebut proses pendakwaan, dan sama atau sebanding dengan istilah dakwaan dalam proses peradilan pidana. Namun demikian dalam proses impeachment adalah berkaitan dengan peradilan hukum tatanegara yang artinya peradilan akan memutuskan apakah terdakwa diberhentikan atau sanksi lain berupa larangan menduduki jabatan. Penerapan akan pengertian impeachment ini di Amerik menjadi perdebatanbahwa high crimes and misdemeanors mempunyai pengertian luas atau genera.l. B. Sebab-sebab Pemberhentian Khalifah Baiat identik dengan perjanjian atau kontrak politik atau kesepakatan atas dasar sukarela (arridha wa al-ikhtiyar). Dalam hal baiat ini, umat adalah pemilik hak dan kekuasaan, sementara Imam/Khalifah adalah wakil dari umat. Sebagai suatu kontrak, baiat batal demi hukum ketika salah satu pihak menciderai isi baiat tersebut atau ada unsur tekanan dan paksaan. Para ulama sepakat bahwa Imam/Khalifah—sepanjang masih mampu menjalankan kewajibankewajibannya, masih mampu mengurusi urusan-urusan rakyatnya, serta adil di antara mereka—tidak boleh diberhentikan dan umat tidak boleh memberontak kepada dirinya. Kesalahan kecil juga tidak membolehkan umat untuk memberhentikan Imam/Khalifah. Sebab, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT semata, dan orang yang ma‟shum(tepelihara dari kesalahan) adalah orang yang memang dipelihara oleh Allah SWT. Setiap anak Adam itu wajar apabila pernah berbuat salah, namun sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang segera bertobat. Akan tetapi, ada perkara besar yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan kaum Muslim, baik yang berkaitan dengan urusan keagamaan maupun keduniaan. Di antaranya ada yang menyebabkan keharusan memberhentikan Imam/Khalifah yang melakukan perkara-perkara tersebut. Di antara perkaraperkara ini, ada yang disepakati oleh para ulama, dan ada pula yang masih diperselisihkan (AdDumaiji, Imâmah al-Uzhmâ „inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, hlm. 474). Syaikh Taqiyuddin rahimahullâh membuat dua klasifikasi penyebab pemberhentian Khalifah. Pertama: terjadi perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan Khalifah dari jabatannya, yaitu jika: a) Khalifah murtad dari Islam; b) Khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan; c) Khalifah ditawan musuh yang kuat, yang dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tawanan tersebut, bahkan tidak ada harapan untuk bisa bebas. Kedua: terjadi perubahan keadaan Khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkan dirinya dari jabatannya, namun ia tidak boleh mempertahankan jabatannya itu, yaitu jika: a) Khalifah telah kehilangan „adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan; b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria; c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, kadang sembuh dan kadang gila; d) Khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah karena suatu sebab, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya; e) Ada tekanan yang menyebabkan Khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslim menurut pikirannya sendiri, sesuai dengan hukum syariah.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 02


Perbedaan di antara kedua keadaan ini adalah: Pada keadaan pertama Khalifah tidak boleh ditaati sejak terjadinya perubahan keadaan pada dirinya. Sebaliknya, pada keadaan kedua Khalifah tetap harus ditaati sampai dia benar-benar telah diberhentikan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/122-124; Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 107).

Rusaknya Salah Satu Syarat Akad Khilafah Syarat-syarat akad Khilafah sekaligus menjadi syarat keberlangsungannya. Apabila salah satu syarat dari syarat-syarat akad Khilafah itu telah rusak, maka secara otomatis Khalifah harus diberhentikan dari jabatannya. Ketika Rasulullah saw. bersabda: ‫لَ ْي يُ ْفلِ َح قَْ​ْ ٌم َّلَّْ​ْ ا أَ ْه َرُ​ُ ُن ا ْه َرأَة‬ Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR al-Bukhari). Sabda Rasul saw. ini menunjukkan bahwa laki-laki merupakan syarat bagi seorang penguasa (khalifah). Hal ini berlaku selama seseorang menjadi khalifah. Apabila karena suatu sebab ia berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau banci, maka ia wajib diberhentikan, sebab syaratnya telah rusak (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 167; Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 110). Allah SWT berfirman: ‫يَا أَيَُِّا الَّ ِذييَ آ َهٌُْا أَ ِطيعُْا هللاَ َّأَ ِطيعُْا ال َّرسُْ َل َّأُّلِي األ ْه ِر ِه ٌْ ُك ْن‬ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian (QS an-Nisa‘ [4]: 59). Dalam firman Allah SWT di atas, frasa ―minkum‖ (di antara kalian)—yang disebut bersamaan dengan kata ulil amri (penguasa)—merupakan pernyataan yang tegas tentang adanya syarat Muslim bagi seorang waliyul amri selama dia masih menjadi waliyul amri. Apabila dia telah menjadi kafir maka dia tidak lagi menjadi bagian dari kita (kaum Muslim). Dengan demikian, sifat yang disyaratkan oleh alQuran bagi seorang waliyul amri, yaitu harus Muslim, telah hilang dari dirinya. Dalam keadaan demikian dia harus diberhentikan dari jabatannya sebab dia tidak lagi menjadi Muslim yang merupakan syarat akad Khilafah dan syarat keberlangsungannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 167; Nizhâm alHukmi fi al-Islâm, hlm. 110). Dalam hal ini Imam Nawawi mengutip pernyataaan Imam Qadhi ‗Iyadh yang mengatakan: ‫َلى أًََّ​َُ لَْ​ْ طَ َرأَ َعلَ ْي َِ ْال ُك ْف ُر اِ ًْ َع َس َل‬ َ ‫أَجْ َو َع ال ُعلَ َوا ُء عَل َى أَ َّى ْا ِإل َها َهةَ الَ تَ ٌْ َعقِ ُد لِ َكافِ ٍر َّع‬ Para ulama telah berijmak bahwa Imamah (Khilafah) tidak diserahkan kepada orang kafir. Apabila seorang penguasa (Khalifah) tiba-tiba terjatuh ke dalam kekufuran, maka ia telah berhenti (menjadi khalifah, red.) dengan sendirinya (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/318). Begitu juga halnya dengan semua syarat-syarat akad Khilafah yang telah ditetapkan berdasarkan nash. Syarat-syarat itu merupakan sifat yang harus terus melekat pada diri Khalifah Syarat-syarat itu bukan sekadar syarat akad Khilafah melainkan juga sebagai syarat keberlangsungannya. Apabila salah satu syarat dari syarat-syarat akad Khilafah itu telah rusak maka secara otomatis seorang khalifah harus diberhentikan dari jabatannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 168). Tidak Mampu Memikul Tugas-Tugas Kekhilafahan Sesungguhnya akad Khilafah itu tidak lain adalah akad untuk melaksanakan tugas-tugas Khilafah. Apabila Khalifah sudah tidak mampu lagi untuk melaksanakan akadnya maka ia wajib diberhentikan. Dalam keadaan demikian statusnya seperti orang yang tidak ada (al-ma‟dûm). Apabila ia sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, ia sama dengan menyia-nyiakan urusan agama dan kepentingan kaum Muslim. Keadaan seperti ini hakikatnya adalah bentuk kemungkaran yang harus segera dihilangkan. Untuk menghilangkan kemungkaran itu tidak mungkin kecuali dengan memberhentikan Khalifah, kemudian mengangkat yang lainnya. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini, memberhentikan Khalifah adalah wajib.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 03


Hanya saja, perlu diketahui bahwa hal ini tidak terikat dengan sebab tertentu. Apapun yang menimpa Khalifah, yang kemudian menyebabkan dirinya tidak mampu utuk melaksanakan kewajibannya, maka ia harus diberhentikan. Apabila sesuatu yang menimpa Khalifah itu tidak membuat dirinya tidak mampu, maka ia tidak wajib diberhentikan. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa hilangnya salah satu anggota tubuh Khalifah mengaharuskan dirinya untuk diberhentikan atau tidak diberhentikan. Tidak juga dapat dikatakan bahwa menderita penyakit tertentu mengharuskan Khalifah untuk diberhentikan atau tidak diberhentikan. Sebab tidak ada nas (dalil) yang secara mutlak mengharuskan hal ini. Namun menurut hukum syariah, ketidak-mampuan untuk melaksanakan tugastugas yang menjadi kewajibannya itulah yang mengharuskan dirinya diberhentikan, apapun penyebab ketidakmampuannya itu. Hal ini tidak hanya berlaku pada Khalifah saja, melainkan berlaku umum bagi setiap orang yang mendapatkan tugas, baik sebagai penguasa seperti wali, atau sebagai pekerja, seperti kepala dirjen. Ketidakmampuannya mengharuskan dirinya untuk diberhentikan (AnNabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 168). Berada dalam Tekanan Tidak mampu melaksanakan tugas yang menjadi kewajiban seorang khalifah itu ada dua macam.Pertama: tidak mampu secara faktual (de facto). Kedua: tidak mampu secara hukum (de jure). Tidak mampu secara faktual adalah tidak mampu secara jasmani, yakni hilangnya kemampuan jasmani untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Inilah yang dimaksud dengan ―Tidak mampu memikul tugas-tugas Khilafah‖ pada poin (b) dalam Rancangan UUD (Masyrû‟ Dustûr) Negara Islam pasal 40 ini. Adapun tidak mampu secara hukum adalah secara jasmani ia mampu melaksanakan tugas-tugasnya, namun— karena suatu keadaan—ia tidak mampu melaksanakan sendiri tugas-tugasnya secara langsung. Karena itu ia dihukumi seperti tidak mampu secara faktual. Sebab faktanya, ia tidak mampu melaksanakan tugastugas yang seharusnya ia laksanakan sendiri sehingga kondisi tersebut statusnya seperti orang yang tidak ada (al-ma‟dûm). Dengan demikian, ia pun harus diberhentikan. Ada dua keadaan yang menyebabkan tidak mampu secara hukum (de jure). Pertama: dalam kondisi dikendalikan (al-hajr). Kedua: berada dalam tekanan (al-qahr). Kondisi dikendalikan adalah kondisi saat Khalifah dalam melaksana-kan tugasnya dikendalikan dan didekte oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam kondisi ini Khalifah tidak dapat melaksanakan tugasnya secara langsung. Yang secara langsung melaksanakan rugas Kekhilafahan adalah pihak yang mengendalikan dia sehingga Khalifah tidak bebas membuat keputusan. Karena akad Khilafah itu dilakukan dengan pribadi Khalifah, maka harus dia sendiri yang melakukan akad itu secara langsung. Dengan kondisi dia yang dikendalikan oleh orang-orang di sekitarnya, maka dia benar-benar telah kehilangan kemampuannya untuk menjalankan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, statusnya seperti orang yang tidak ada (al-ma‟dûm) sehingga dia harus diberhentikan. Dalam hal ini, harus diperhati-kan jika ada harapan dia bisa bebas dari kendalinya, maka dia diberi waktu untuk membebaskan dirinya, dan dia segera diberhentikan jika waktunya habis, sementara dia belum juga bebas. Adapun jika tidak ada harapan untuk bebas maka seketika itu dia diberhentikan. Sementara itu, kondisi dalam tekanan, adalah ketika Khalifah menjadi tahanan musuh, dan tidak mampu menyelamatkan dirinya. Akibatnya, dia tidak bisa meneruskan akad Khilafah karena ketidakmampuannya untuk mengurusi urusan kaum Muslim, baik musuhnya itu kaum kafir atau para pemberontak. Dalam kondisi ini, kaum Muslim wajib berusaha untuk menyelamatkan Khalifah, baik dengan peperangan atau dengan memberi tebusan. Jika semua itu tidak mungkin, maka dia diberhentikan seketika itu apabila dia menjadi tahanan kaum kafir. Apabila dia menjadi tahanan para pemberontak, maka dilihat, jika mereka punya imam (pemimpin), sementara membebaskan Khalifah tidak mungkin, maka dia diberhentikan seketika itu, dan apabila mereka tidak punya imam (pemimpin), maka statusnya seperti dalam kendali orang lain sehingga diberi waktu untuk memberbaskan dirinya. Jika waktunya habis dan dia belum juga dibebaskan maka dia diberhentikan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 169; al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 30).

Jurnal Sharia Law

Halaman | 04


C. Mekanisme Pemberhentian Khalifah Para ulama tidak banyak mengemukakan masalah mekanisme pemberhentian Khalifah ini secara detail dan meyakinkan. Tidak ada pula kesepakatan mereka tentang: siapa yang berwenang memberhentikan Khalifah; oleh siapa atau lembaga mana. Setidaknya dari pendapat mereka ditemukan tiga mekanisme pemberhentian Khalifah. Pertama: Khalifah mengundurkan diri ketika ia merasa sudah tidak mampu memikul tanggung jawabnya seperti karena tua, sakit atau yang lainnya (Al-Qalqasyandi, Ma‟âtsir al-Inâfah fi Ma‟âlim al-Khilâfah, 1/65). Imam al-Qurthubi mengatakan, ―Imam (Khalifah) wajib mengundurkan diri apabila ia menemukan dalam dirinya kekurangan yang berpengaruh terhadap jabatan Imamahnya.‖ (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâm al Qur‟ân, 1/272). Kedua: perang dan pemberontakan bersenjata. Artinya, Khalifah yang telah menyimpang dan tidak layak lagi menjabat diberhentikan dengan paksa, diperangi atau dibunuh. Ini adalah cara paling ekstrem yang biasanya menyebabkan timbulnya fitnah (pertumpahan darah) di kalangan kaum Muslim sendiri. Ini adalah pendapat kelompok Zaidiyah, Khawarij (sehingga mereka disebut khawârij [para pemberontak]), Muktazilah (karena amar makruf nahi mungkar adalah salah satu dari akidah mereka yang lima), sebagian Murji‘ah dan Asy‘ariyah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kapan itu dilakukan, bagaimana jika kerusakannya lebih besar dari kemaslahatannya, serta berapa jumlah kekuatan hingga boleh melakukan itu. Sebagian Zaidiyah mengatakan: jika kekuatannya sebanyak Pasukan Badar. Muktazilah menyatakan: jika dilakukan oleh kelompok dan diperkirakan menang. Sebagian lagi menyatakan: berapa pun jumlahnya yang penting kompak. Yang lainnya lagi menyatakan: jumlahnya separuh dari kekuatan penguasa zalim (Ad-Dumaiji, Imâmah al-Uzhmâ „iInda Ahli as-Sunnah wa alJamâ‟ah, hlm. 494). Ketiga: cara damai (ath-thuruq as-silmiyah), yaitu ahlul halli wal „aqdimenasihati Khalifah dan mengingatkan bahaya yang ditimbulkan dari penyimpangannya; memberi dia waktu dan bersabar, mungkin ia sadar lalu meninggalkan kezaliman dan kejahatannya. Namun, jika ia terus dengan kezaliman dan kejahatannya, maka umat wajib memberhentikan Khalifah dengan cara yang dimungkinkan, dengan syarat: tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Pasalnya, tidak boleh menghilangkan kemungkaran dengan menciptakan kemungkaran yang lebih besar; termasuk dalam cara ini adalah apa yang sekarang disebut dengan ―pembangkangan sipil, al-„ishyân al-madani‖. Caranya: Jika umat merasa bahwa Imam (Khalifah) telah fasik, ia menjadi budak hawa nafsunya serta zalim, sehingga tidak layak lagi menduduki jabatan Khilafah, maka disampailkan kepada dia nasihat. Jika ia menolak dan keras kepala, umat wajib memboikot Khalifah dan siapa saja yang memiliki hubungan dengan dirinya. Dengan demikian, Khalifah mendapati dirinya jauh dari umat, baik ia menjadi tidak berharga atau asing di tengah umat (Ad-Dumaiji, Imâmah al-Udzmâ „inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, hlm. 496). Ketiga mekanisme ini masih belum menjawab dan menyelesaikan masalah pemberhentian Khalifah secara detail dan meyakinkan sehingga masih menyisakan masalah. Kalau Khalifah mengalami salah satu dari keadaan-keadaan yang menjadikan dirinya tidak layak lagi menjadi khalifah, lalu ia mengundurkan diri, maka masalahnya bisa selesai. Namun, bagaimana jika tidak? Apakah menggunakan cara kedua yang justru akan menimbulkan masalah, yaitu fitnah (pertumpahan darah); atau cara ketiga yang tidak akan menyelesaikan masalah, sebab penyelesaiannya bersifat spekulatif? D. Otoritas Mahkamah Mazhâlim Di tengah ketidakjelasan mekanisme pemberhentian Khalifah ini, Syaikh Taqiyuddin rahimahulLâh mengatakan bahwa Mahkamah Mazhâlim adalah yang paling berhak menentukan keputusan (memvonis berhenti atau tidaknya) kalau memang keadaan Khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkan dirinya dari jabatan khalifah. Mahkamah Mazhâlim juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi peringatan kepada Khalifah (AnNabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/124; Zallum,Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 114).

Jurnal Sharia Law

Halaman | 05


Apa yang dikatakan Syaikh Taqiyuddin rahimahulLâh tampaknya cukup logis dan mampu menjawab serta menyelesaikan masalah pemberhentian khalifah secara detail dan meyakinkan, yakni dengan menempatkan MahkamahMazhâlim sebagai satu-satunya pihak (lembaga atau badan) yang memiliki wewenang untuk menetapkan pemecatannya. Mahkamah Mazhâlim-lah yang berwenang memecat Khalifah jika ia telah kehilangan suatu syarat di antara syarat-syarat in„iqâd ataukah tidak. Sebab, hal demikian terkait dengan suatu perkara yang termasuk perkara yang menjadikan Khalifah dipecat dan yang mengharuskan pemecatannya merupakan mazhlimah (kezaliman) di antara berbagai kezaliman yang harus dihilangkan. Perkara tersebut merupakan perkara yang memerlukan penetapan, yang tentu harus ditetapkan di hadapan qâdhî. Mahkamah Mazhâlim adalah pihak yang berhak memutuskan penghilangan mazhâlim (kezaliman) dan Qâdhî Mazhâlim-lah yang memiliki wewenang untuk menetapkan terjadinya mazhlimah(kezaliman) serta memberikan keputusan terhadap dirinya. Karena itu, Mahkamah Mazhâlim adalah pihak (lembaga atau badan) yang berhak menetapkan apakah Khalifah telah kehilangan salah satu di antara syarat-syarat in„iqâd atau tidak. Mahkamah Mazhâlim pula yang berhak menetapkan pemecatan Khalifah. Hanya saja, jika Khalifah telah kehilangan salah satu syarat in„iqâd, lalu ia mengundurkan dirinya, maka urusannya selesai. Jika kaum Muslim berpandangan bahwa Khalifah wajib dicopot karena hilangnya salah satu dari syaratsyarat in„iqâd, sementara Khalifah menolak pandangan mereka dalam masalah itu, maka keputusannya dikembalikan kepada al-Qadhâ‟ (Mahkamah Mazhâlim). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: َّ ‫َي ٍء فَ ُر ُّدٍُّ إِلَى‬ ‫هللاِ َّال َّرسُْ ِل‬ ْ ‫فَإ ِ ْى تٌََا َز ْعتُ ْن فِي ش‬ Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)(QS an-Nisa‘ [4]: 59). Maksudnya, jika kalian bersengketa dengan ulil amri (penguasa); artinya sengketa itu adalah sengketa antara waliy al-amr (penguasa) dan umat. Adapun maksud mengembalikan sengketa itu kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengembalikannya kepada al-Qadhâ‟, yaitu kepada MahkamahMazhâlim (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 115; An-Nabhani,Muqaddimah adDustûr, hlm. 172). Dalam hal ini, Mahkamah Mazhâlim juga memiliki kewenangan untuk membatasi masa peringatan guna mengakhiri tekanan yang menguasai Khalifah, serta membatasi waktu pembebasannya dari tawanan. Selama masa tersebut negara dipimpin oleh amir sementara (al-amir al-muaqqat). Lalu jika Khalifah kembali memiliki otoritasnya tanpa tekanan dan bebas dari tawanan, maka tugas amir sementara berakhir. Namun, apabila tekanan dan penahanan belum berakhir maka Mahkamah Mazhâlim memutuskan untuk memberhentikan Khalifah, dan amir sementara mulai melakukan prosedur pengangkatan khalifah baru (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 172). [] Wallahualam bishawab

Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)(QS an-Nisa‘ [4]: 59).


Prosedur Impeachment/Pemberhentian Khalifah oleh Mahkamah Mazhalim Penulis, Chandra Purna Irawan


Berikut ini adalah Prosedur Impeachment/Pemberhentian Khlaifah oleh Mahkamah Mazhalim

a. Pihak-pihak Proses Impeachment adalah pelaksanaan fungsi pengawasan, konsultasi Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) harus melalui Mahkamah Mazhalim

b. Tata Cara Mengajukan Permohonan Permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Mazhalim haruslah diajukan oleh pimpinan Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi). Dalam permohonan tersebut Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan bahwa Khalifah telah melakukan pelanggaran hukum. Dan juga apakah Khalifah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Khalifah.

c. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang Setelah permohonan masuk ke Mahkamah Mazhalim maka akan diperiksa mengenai kelengkapan syarat-syarat permohonan. Apabila belum lengkap diberitahukan kepada Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi. Kemudian setelah lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Mazhalim oleh petugas administratif. Setelah itu petugas administratif mengirimkan satu berkas pemberitahuan perkara kepada Khalifah disertai permintaan tanggapan tertulis atas permohonan yang dimaksud. Tanggapan tertulis Khalifah sudah harus diterima oleh petugas administratif paling lambat satu hari sebelum sidang pertama dimulai.

d. Persidangan Persidangan dilakukan oleh Hakim Mahkamah. Sidang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Mazhalim dan bersifat terbuka untuk umum.

Tahap pertama adalah sidang pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahap ini wajib dihadiri oleh Pimpinan Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi). Khalifah berhak untuk hadir dan apabila tidak dapat hadir maka dapat diwakili. Di tahap ini, Mahkamah Mazhalim melakukan pemeriksaan atas kelengkapan permohonan dan kejelasan materi permohonan kemudian Mahkamah Mazhalim memberikan kesempatan kepada Pimpinan Majelis Umah untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan seketika itu juga. Setelah dilengkapi dan/atau dilakukan perbaikan, Mahkamah Mazhalim memerintahkan Pimpinan Majelis Umah untuk membacakan dan/ atau menjelaskan permohonannya. Setelah itu, ketua sidang memberikan kesempatan kepada Khalifah atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan materi permohonan.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 08


Tahap kedua adalah Sidang Tanggapan Khalifah. Ditahap ini Khalifah wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap pendapat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi). Tanggapan itu dapat berupa sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan pendapat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi), materi muatan Pendapat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) dan perolehan serta penilaian alat bukti tulis yang diajukan oleh Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) kepada Mahkamah. Dalam tahap ini, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Pimpinan Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balik Tahap ketiga ialah Sidang Pembuktian Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi). Di tahap ini Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) wajib membuktikan dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti baik berupa surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk dan alat bukti lainnya. Dalam pemeriksaan alat bukti yang diajukan oleh Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi), Mahkamah memberikan kesempatan kepada Khalifah dan/ atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dan/atau menelitinya. Tahap keempat adalah Sidang Pembuktian oleh Khalifah. Dalam tahap ini Khalifah berhak memberikan bantahan terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) dan melakukan pembuktian yang sebaliknya. Macam alat bukti yang diajukan oleh Khalifah pada dasarnya sama dengan macam alat bukti yang diajukan oleh Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi). Mahkamah memberikan kesempatan Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) ntuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh Khalifah. Tahap kelima adalah Sidang Kesimpulan pihak-pihak dimana tahap ini setelah sidang-sidang pembuktian oleh Mahkamah dinyatakan cukup. Mahkamah memberi kesempatan baik kepada Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) maupun Khalifah untuk menyampaikan kesimpulan setelah berakhirnya Sidang Tahap empat. Kesimpulan tersebut disampaikan secara lisan dan/atau tertulis. Tahap keenam atau terakhir adalah Pengucapan Putusan. Putusan Mahkamah Mazhalim terhadap pendapat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) wajib diputus secepatnya. Putusan Mahkamah yang diputuskan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam amar putusan, mahkamah dapat menyatakan:

a. Permohonan tidak dapat diterima; b. Membenarkan pendapat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) apabila Mahkamah berpendapat bahwa Khalifah terbukti melakukan pelanggaran hukum. Dan juga apakah Khalifah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Khalifah. c. Permohonan ditolak apabila pendapaat Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) tidak terbukti.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 09


Putusan Mahkamah Mazhalim bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi) selaku pihak yang mengajukan permohonan dan Khalifah. Mahkamah Mazhâlim adalah pihak (lembaga atau badan) yang berhak menetapkan apakah Khalifah telah kehilangan salah satu di antara syarat-syarat in„iqâd atau tidak. Mahkamah Mazhâlim pula yang berhak menetapkan pemecatan Khalifah. Hanya saja, jika Khalifah telah kehilangan salah satu syarat in„iqâd, lalu ia mengundurkan dirinya, maka urusannya selesai. Jika kaum Muslim berpandangan bahwa Khalifah wajib dicopot karena hilangnya salah satu dari syaratsyarat in„iqâd, sementara Khalifah menolak pandangan mereka dalam masalah itu, maka keputusannya dikembalikan kepada alQadhâ‟ (Mahkamah Mazhâlim). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: َّ ‫َي ٍء فَ ُر ُّدٍُّ إِلَى‬ ‫هللاِ َّال َّرسُْ ِل‬ ْ ‫فَإ ِ ْى تٌََازَ ْعتُ ْن فِي ش‬ Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)(QS an-Nisa‘ [4]: 59).

Maksudnya, jika kalian bersengketa dengan ulil amri (penguasa); artinya sengketa itu adalah sengketa antara waliy al-amr (penguasa) dan umat. Adapun maksud mengembalikan sengketa itu kepada Allah

dan

Rasul-Nya

adalah

mengembalikannya

kepada al-Qadhâ‟,

yaitu

kepada

MahkamahMazhâlim (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 115; An-Nabhani,Muqaddimah adDustûr, hlm. 172). [ ] Wallahualam bishawab

Majelis Umah (ahlul halli wal aqdi)

Mahkamah Mazhalim

Jurnal Sharia Law

Jika terbukti bersalah. KHALIFAH diberhentikan

Halaman | 10


Istilah Mahkamah Mazhalim Penulis, Chandra Purna Irawan

Sejak kapan istilah Mahkamah Mazhalim dikenal? Apakah sudah pernah dipraktekan oleh khalifah sebelumnya? Pertnyaan ini akan coba penulis jawab dengan ketelitiaan dan kesungguhan. Dalam sejarahnya Peradilan Islam pada mulanya diorganisasikan secara sederhana, kemudian menjadi salah satu pelaksana kekuasaan Pemerintah dalam bentuk dan wewenang yang beraneka ragam. Ia mengalami perkembangan yang pesat dalam struktur, kekuasaan dan prosedurnya. Posisinyapun semakin penting, dalam menjalankan fungsinya untuk menegakan hukum dan keadilan.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 11


Kekuasaan keHakiman dalam tradisi Islam, sering dipadankan dengan istilah sulthah qadha‟iyah. Kata sulthah/sultahtun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti Pemerintahan. Dalam kamus al Munawir sama denganal qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, Pemerintahan. Menurut Louis Ma‘luf sulthah berarti al Malik al Qudrah, yakni kekuasaan Pemerintah. Sedangkan al qadhaiyyah adalah putusan, penyelesaian perselisihan atau Peradilan. Jadi Sulthah al Qadhaiyah secara etimologis yaitu kekuasan yang berakaitan dengan Peradilan atau keHakiman. Sedangkan secara terminologysulthah bi ma‟na al qudrah, yakni : ―Kekuasaan atau sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggal-tinggalkan. Maksudnya, yaitu kekuasan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undang sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah kekuasaan Peradilan/kehakiman. Pada masa awal Islam, Rasulullah saw, disamping sebagai kepala Negara beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, Karena itu, segala urusan yang menjadi kewenangan kepala negara, semuanya bertumpu di tangan beliau. Hal tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai Hakim/qadhi, beliau bertugas menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat Madinah dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian, seperti Beliau pernah melakukannya ketika Kaum Yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakamnya, dan sekali beliau wakilkan kepada sahabatnya. Pada awal Pemerintahan Madinah hanya Rasulullah saw sendiri yang menjadi Hakim. Ketika Islam sudah menyebar ke luar Kota Madinah (luar Jazirah Saudi Arabia), barulah Rasulullah mendelegasikan tugas-tugas Peradilan kepada beberapa sahabat beliau. Pendelegasian tugas Peradilan/kehakiman dilaksanakan dalam tiga bentuk : pertama, Rasulullah Saw mengutus sahabatnya menjadi penguasa di daerah tertentu sekaligus memberi wewenang untuk bertindak sebagai Hakim untuk mengadili sengketa di antara warga masyarakat, kedua, rasulullah menugaskan sahabat untuk bertindak sebagai Hakim guna menyelesaikan masalah tertentu, biasanya penugasan ini hanya atas perkara tertenti saja. Ketiga Rasulullah saw terkadang menugaskan seorang sahabat dengan di damping sahabat lain untuk menyelesaikan kasus tertentu dalam suatu daerah. Kriterianya Hakim yang diutus merupakan otoritas Rasulul setelah di uji kelayakannya. Seperti pada saat Rasul mengutus Mu‘adz bin Jabal untuk menjadi qadhi di Yaman, dll. Begitu pula pada masa kekhalifahan Abu bakar As Shidiq, kekuasaan Peradilan/kehakiman masih di pegang oleh penguasa atau eksekutif dan belum ada pemisahan yang tegas, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan Peradilan/kehakiman. Hal tersebut ditunjukan dengan kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar, wilayah kekuasaan Negara Islam dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam gubernur). Para Amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin Agama (seperti imam dalam shalat), menetapkan hukum, dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang Amir disamping sebagai pemimpin dan sebagai Hakim. Pada masa Umar bin Khattab, kekuasaan Peradilan/kehakiman mulai dipisahkan dari kekuasaan eksekutif. Dan mulai diatur tata laksana Peradilan, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah Hakim untuk menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat, bersendikan al Qur‘an, Sunnah, Ijtihad dan Qiyas. Namun pada saat itu, baru beberapa provinsi yang memiiki pejabat Hakim, yaitu Syarih bin Al HArits Hakim untuk Kuffah, Abu Musa al Asy‘ari Hakim untuk Basrah, Qais bin Abi al Ash al Sahami Hakim untuk Mesir, sedangkan Hakim Madinah di pegang oleh Abu Darda, sedangkan untuk provinsi lain Hakim masing dipegang oleh gubernur. Namun demikian untuk beberapa provinsi, khalifah Umar telah memisahkan jabatan Peradilan dengan jabatan eksekutif. Hakim diberi wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan Pengadilan yang bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur, bahkan khalifah sekalipun. Tidak hanya itu, pada masa Umar, dibentuk juga lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung di tangani oleh Hakim. Lembaga tersebut adalah ahdath, dengan Qadamah bin Mazan dan Abu Hurairah sebagai pemimpinnya.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 12


Pada masa Umar juga, disusun risalat al qadha yang dibuat oleh Abu Musa al Asy‘ary – Hakim Kufah – atas intruksi dari Umar bin Khattab. Risalat tersebut isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang dan pokok-pokok hukum yang harus dipegang oleh Hakim dalam menyelesaikan perkara yang sekarang dikenal dengan hukum acara. Risalah tersebut sangat terkenal, bahkan sampai sekarang masih dijadikan sebagai pegangan/pedoman pokok para Hakim dalam melaksanakan tugasnya. Pada masa Utsman bin Affan dilakukan beberapa pembenahan terhadap pelaksanaan kekuasaan keHakiman, dengan membangun sarana gedung yang khusus, menyempurnakan adminsitrasi Peradilan dengan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi Peradilan, memberi gaji kepada Hakim dan stafnya, dan mengangkat naib kadi, atau semacam panitera. Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada perubahan yang signifikan, hanya pada pengangkatan Hakim yang semula merupakan kewenangan khalifah dilimpahkan menjadi kewenangan gubernur. Pada masa khulafa al rasyidin, sudah teradapat Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi yang bertempat di ibu kota dengan Ketua Mahkamah Agung (qadhi al qudhat, dimana Zaid in Tsabit merupakan orang pertama yang menjabatnya pada masa khalifah Umar. Sedangkan pada masa Khilafah Umayyah, Kekuasaan kehakiman terdapat penambahan yang dilembagakan yaitu, Mahkamah Mazhalim. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-Hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah. Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu: 1. Pembela, kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan. 2. Hakim, hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya. 3. Ahli fikih, sebagai tempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya. Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Khilafah Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua, Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad. 4. Sekretaris, bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih. 5. Saksi, bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak sah, apabila salah satu unsur yang lima tersebut tidak hadir. Jadi, sistem peradilan pada masa Khilafah Umayah telah berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaian ini jika dirujuk dalam kitab fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim, hukum, mahkum bih, mahkum „alaih, mahkum lahu dan sumber hukum.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 13


Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa Khilafah Umayah adalah kasusnya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu‘arifi menghukum Ibnun Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu Fathais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima putusan tersebut Ibnu Fathais mengajukan perkaranya ini kepada Khalifah dengan alasan dia telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir al-Mu‘arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka surat Khalifah dibalas oleh Muhammad bin Basyir alMu‘arifi dengan mengatakan : “Ibnu Fathais tidak mengetahhui siapa-siapa yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang menjadi saksinya, maka dia akan mecari saksi tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya. Adapun pada masa kekuasaan Khilafah Abbasiyyah terdapat perubahan yang cukup signifikan, dimana sudah mulai disusun hukum materil yang digunakan Hakim dalam mengambil keputusannya. Awalnya yang digunakan adalah kitab al Muwatha‘ karya Imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak dengan alasan masih banyak hadits Rasulullah Saw yang tersebar di beberapa kota. Kemudian atas usul Ibnu al Muqaffa kepada khalifah al Mansur agar menyusun pedoman tentang penerapan hukum materil – sehingga perbedaan pendapat dapat dihindari – akhirnya disusunlah kompilasi hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh Hakim dalam memutuskan perkara. Pada masa dinasi Abasiyyah, kekuasaan Peradilan/kehakiman (sulthah qadhaiyyah) semakin lengkap. Perkembangannya mencapai puncak kesempurnaan pada masa Pemerintahan Harun al Rasyid (170-193 H), saat dia mengangkat Ya‘qub bin Ibrahim al Anshari – yang lebih terkenal dengan Abu Yusuf – sebagai kepala dari seluruh Hakim, yang dinamakan qadhi al qudhah (Hakim Agung). Diantara tugas pentingnya adalah menangani perkara-perkara di Peradilan umum dan diwan al madzalim. Kewenangan lainnya adalah mengangkat Hakim-Hakim yang akan di tetapkan diseluruh provinsi. Perkembangan lain yang menyangkut kekuasaan kehakiman di periode ini terjadi pada masa Pemerintahan Sultan az Zahir Bibars (665 H/1267 M), dimana ia membentuk sistem Peradilan yang menggabungkan empat madzhab besar dan di kepalai oleh masing-masing Hakim agung. Untuk Hakim agung madzhab Syafi‘i mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain, karena selain menangani urusan yuridiksinya juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menanani masalah baitul mal. Sedangkan Hakim agung yang lain, mengurusi Peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masingmasing madzhabnya. Dengan demikian pada masa tersebut, Hakim Agug tidak hanya memiliki tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya. Bahkan menurut Carl F Petry, semua Hakim Agung pada masa itu, memegang 3 sampai 7 jabatan sekaligus. Termasuk juga untuk jabatan Hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat memegang jabatan seluruh administrasi, tak terkecuali di lingkungan militer. Meskipun demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syariat tanpa dapat dipengaruhi siapapun. Akibat terlalu kuat kedudukan dan besarnya kewenangan tersebut, sampai Hakim Agung di Peradilan umum dapat memberhentikan pejabat Negara dan menggantikannya dengan yang lain. Dalam kekuasaan keHakiman modern, preseden ini dijadikan sebagai salah satu munculnya Mahkamah Konstitusi. Pada masa Islam klasik, terdapat beberapa lembaga pelaksana kekuasaan keHakiman, yaitu : 1. al Qadha, adalah lembaga Peradilan yang menangani perkara-perkara secara umum. 2. al Hisbah adalah bertugas untuk menegakan kebajikan jika di abaikan dan mencegah kebatilan yang terbukti dilakukan. Pejabatnya disebut al muhtasib yang menangani masalah criminal, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, dan lain-lain. 3. Al madzalimMerupakan Peradilan yang menangani sengketa antara rakyat dengan Negara 4. al Mahkamah al Asykariyyahmerupakan Peradilan militer. Waallahualam bishawab

Jurnal Sharia Law

Halaman | 14


KISAH TABI’IN SYURAIH ALQADHI Hari itu, amirul mukminin Umar bin Khathab radhiyallahu „anhu membeli seekor kuda dari seorang dusun. Setelah membayarnya, beliau menaiki kuda tersebut dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh dari tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kembali kepada si penjual seraya berkata, Umar: ―Aku kembalikan kudamu, karena ternyata dia cacat.‖ Penjual: ―Tidak wahai amirul mukminin, tadi aku menjualnya dalam keadaan baik.‖ Umar: ―Kita cari seseorang yang akan memutuskan permasalahan ini. Penjual: ―Aku setuju, aku ingin Syuraih bin al-Harits al-Kindi menjadi hakim bagi kita berdua.‖ Umar: ―Mari.‖ Amirul mukminin Umar bin Khathab bersama penjual kuda tersebut mendatangi Syuraih. Umar mengadukan penjual itu kepadanya. Setelah mendengarkan juga keterangan dari orang dusun tersebut, Syuraih menoleh kepada Umar bin Khathab sambil berkata, Syuraih: ―Apakah Anda mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?‖ Umar: ―Benar.‖ Syuraih: ―Ambillah yang telah Anda beli wahai amirul mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan seperti tatkala Anda membelinya.‖

Jurnal Sharia Law

Halaman | 15


Umar: (memperhatikan Syuraih dengan takjub lalu berkata) ―Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum yang adil. Berangkatlah ke Kufah, karena aku mengangkatmu menjadi qadhi di sana.‖ Ketika Umar menetapkan Syuraih bin al-Harits sebagai qadhi, beliau bukanlah sosok yang asing di kalangan masyarakat Madinah. Beliau adalah orang yang memiliki kedudukan di antara para ahli ilmu, tokoh-tokoh terkemuka, para sahabat dan para tokoh tabi‘in. Beliau termasuk dalam bilangan ulama yang terhormat dan utama, diperhitungkan dalam tingkat kecerdasan, kebagusan perilaku, banyaknya pengalaman, dan kedalaman wawasannya. Beliau dilahirkan di Yaman kota al-Kindi, hidup lama dalam masa jahiliyah. Ketika cahaya hidayah datang di jazirah Arab memancarkan sinar Islamnya sampai ke Yaman, Syuraih termasuk orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, turut menyambut dakwah menuju hidayah dan kebenaran. Siapapun yang mengetahui keutamaan dan keistimewaan pribadinya berandai sekiranya Syuraih lebih cepat sampai ke Madinah dan bertemu Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam sebelum wafat, tentu beliau bisa menggali ilmu dari sumbernya secara langsung tanpa perantara. Beliau bisa mendapat bagian kehormatan sebagai sahabat setelah mendapatkan hidayah itu, hanya saja apa yang telah ditakdirkan untuknya telah terjadi. Bukanlah berarti gegabah jika al-Faruq Umar bin Khathab menyerahkan jabatan dalam pengadilan agung itu kepada seorang tabi‘in, meski dalam masyarakat Islam saat itu masih banyak sahabat Nabi yang bersinar cemerlang bagai cahaya bintang. Waktu pun telah membuktikan betapa firasat dan pilihan Umar radhiyallahu „anhu adalah tepat. Terbukti, Syuraih menjadi qadhi di pengadilan selama 60 tahun secara berturut-turut sejak masa khilafah Umar bin Khathab, lalu Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Mu‘awiyah dari Bani Umayyah. Hingga akhirnya beliau mengundurkan diri pada awal pemerintahan Hajjaj bin Yusuf sebagai wali di Irak. Beliau telah berumur 107 tahun. Hidupnya penuh dengan peritiwa dan pujian. Pengadilan Islam bersinar karena keindahan keputusan-keputusan Syuraih dan semerbak dengan indahnya kepatuhan dari kaum muslimin maupun non muslim. Itu semua karena ditegakkannya syariat-syariat Allah oleh Syuraih, juga berkat kerelaan semua orang untuk menerima keputusannya. Lembaran buku-buku sangat padat menceritakan indahnya keputusan orang yang cerdik ini, tentang berita, perkataan dan perilakunya. Di antara kisah tersebut adalah ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kehilangan pakaian perang yang menjadi kesayangannya. Lalu dia dapatkan bahwa barang tersebut berada di tangan seorang kafir dzimmi (kafir yang dilindungi di negeri Islam) yang tengah berjualan di pasar Kufah. Begitu melihatnya, spontan Ali berkata: ―Ini adalah milikku yang jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu.‖

Jurnal Sharia Law

Halaman | 16


Namun dia mengelak dan berkata, ―Ini adalah barangku dan berada di tanganku wahai amirul mukminin!‖ Ali berkata, ―Ini milikku, aku tak merasa pernah menjualnya kepada orang lain atau memberikannya hingga sampai berada di tanganmu.‖ Orang dzimmi berkata, ―Kalau begitu kita datang kepada qadhi!‖ Ali berkata, ―Engkau adil, mari kita ke sana!‖ Maka pergilah keduanya menuju qadhi Syuraih. Setelah masuk dan duduk dalam sidangnya, bertanyalah qadhi Syuraih, Syuraih: ―Apa tuduhanmu wahai amirul mukminin?‖ Ali: ―Kudapati barangku berada di tangan orang ini. Barang itu jatuh dari ontaku pada malam anu di tempat anu, lalu sampai di tangan orang ini, padahal aku tidak menjual kepadanya tidak pula kuberikan sebagai hadiah.‖ Syuraih: ―Bagaimana jawaban Anda?‖ (wahai dzimmi) Dzimmi: ―Barang ini milikku, dia ada di tanganku. Tapi aku tidak menuduh amirul mukminin berdusta.‖ Syuraih: ―Aku tidak meragukan kejujuran Anda wahai amirul mukminin, bahwa barang ini milikmu. Tetapi harus ada dua orang saksi yang membuktikan kebenaran tuduhanmu.‖ Ali: ―Baik, aku punya dua orang saksi, pembantuku Qanbar dan putraku Hasan.‖ Syuraih: ―Tetapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku wahai amirul mukminin.‖ Ali: ―Subhanallah, seorang ahli surga ditolak kesaksiannya? Apakah Anda tak pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bahwa Hasan dan Husein adalah pemuka para pemuda penduduk surga?‖ Syuraih: ―Aku mengetahui itu wahai amirul mukminin, hanya saja kesaksian anak untuk ayahnya tidak berlaku.‖ Mendengar jawaban itu, Ali menoleh kepada si dzimmi dan berkata, ―Ambillah barang itu, sebab aku tak punya saksi lagi selain keduanya.‖ Si dzimmi berkata, ―Aku bersaksi bahwa barang itu adalah milik Anda wahai amirul mukminin. Ya Allah, amirul mukminin menghadapkan aku kepada seorang hakimnya, dan hakimnya memenangkan aku. Aku bersaksi bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Wahai qadhi, ketahuilah bahwa barang ini adalah milik amirul mukminin, waktu itu aku mengikuti pasukannya ketika menuju ke Shiffin. Pakaian ini jatuh dari onta, lalu aku mengambilnya.‖

Jurnal Sharia Law

Halaman | 17


Berkatalah Ali kepada si dzimmi: ―Karena kini Anda telah menjadi muslim, maka aku hadiahkan pakaian ini untukmu, dan aku hadiahkan kuda ini untukmu juga.‖ Tak lama setelah peristiwa itu, tampak orang itu turut memerangi golongan Khawarij di bawah panji Ali radhiyallahu „anhu pada hari an-Nahwaran. Ia bertempur dengan penuh semangat hingga mendapati rezeki syahid. Bukti akan ketegasan Syuraih nampak di saat putranya berkata, ―Wahai ayah, aku sedang memiliki masalah dengan suatu kaum, Aku berharap ayah mempertimbangkannya. Jika kebenaran ada dipihakku, maka putuskanlah di pengadilan, tetapi jika kebenaran ada di pihak mereka, maka usahakanlah jalan damai.‖ Lalu dia menceritakan semua masalahnya. Syuraih berkata, ―Ajukanlah masalahmu ke pengadilan!‖ Kemudian putra Syuraih mendatangi orang yang berselisih dengannya dan mengajak mereka untuk memperkarakan masalah antara mereka ke pengadilan dan mereka pun setuju. Begitu menghadap Syuraih, ternyata kemenangan tidak berada di pihak putranya. Sesampainya Syuraih dan putranya di rumah, putranya berkata, ―Wahai ayah, keputusanmu telah membuatku malu. Demi Allah, kalau saja sebelumnya aku tidak bermusyawarah denganmu, tentulah aku tidak menyalahkanmu.‖ Syuraih berkata, ―Wahai putraku, demi Allah aku mencintaimu lebih dari dunia dan seisinya. Tetapi, bagiku Allah lebih agung dari itu semua dan dari dirimu. Aku khawatir jika aku beritahukan terlebih dahulu bahwa kebenaran berada di pihak mereka, maka engkau akan mencari jalan damai dan itu merugikan sebagian hak mereka. Oleh sebab itu, aku putuskan perkara seperti yang kau dengar tadi.‖ Suatu ketika, salah satu putra Syuraih telah memberikan jaminan kepada seseorang dan jaminannya diterima. Tapi ternyata orang yang dijamin tersebut melarikan diri dari pengadilan. Tanpa pandang bulu Syuraih memenjarakan putranya, karena dialah yang menjadi jaminannya. Lalu beliau menjenguk dan membawakan makanan untuk putranya ke penjara setiap harinya. Terkadang keraguan Syuraih muncul ketika mendengar kesaksian sebagian saksi, tapi dia tidak bisa menolak kesaksian mereka karena memenuhi semua syarat pengadilan. Bila menghadapi hal yang demikian, maka sebelum orang-orang itu bersaksi Syuraih berkata kepada mereka, ―Dengarkanlah, semoga Allah memberi hidayah kepada kalian. Pada hakikatnya yang menghukum orang ini adalah kalian, sesungguhnya aku takut jika kalin masuk neraka karena bersaksi palsu, sedangkan kalian tentunya lebih layak untuk takut. Sekarang masih ada waktu untuk berpikir kembali sebelum kalian memberikan kesaksian.‖ Ketika mereka tetap dengan pendiriannya, maka Syuraih menoleh kepada si tertuduh dan berkata, ―Ketahuilah saudara, bahwa aku menghukum Anda atas dasar kesaksian mereka. Andai saja kulihat engkau ini zalim sekalipun, aku tidak akan menghukum atas dasar tuduhan, melainkan atas dasar kesaksian. Keputusanku tidaklah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atasmu.‖

Jurnal Sharia Law

Halaman | 18


Motto yang selalu diulang-ulang oleh Syuraih di sidang pengadilan adalah: Kelak yang zalim akan tahu kerugian di pihak siapa Yang zalim menanti siksa Yang dizalimin menunggu keadilan Aku bersumpah atas nama Allah bahwa setiap orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu wa Ta‟ala, niscaya aku merasa kehilangan dia. Syuraih tidak hanya mampu mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul, dan kitab-Nya saja, namun juga nasihat bagi seluruh kaum muslimin secara umum maupun yang khusus (pemimpin mereka). Salah seorang sahabatnya bercerita, ―Suatu kali, Syuraih mendengar keluhanku kepada seorang teman. Kemudian beliau mengajakku ke suatu tempat lalu berkata, ―Wahai putra saudaraku.. janganlah engkau mengeluh kepada selain Allah.. karena sesungguhnya barangsiapa yang mengeluh kepada selain Allah berarti dia mengeluhkannya kepada teman atau kepada musuh. Jika mengeluh kepada teman berarti kamu telah membuat temanmu bertambah sedih.. dan jika kau keluhkan terhadap musuh (orang yang membencimu) niscaya dia akan meledekmu.‖ Kemudian beliau berkata, ‗Lihatlah sebelah mataku ini, demi Allah aku tidak bisa melihat orang ataupun jalan dengannya selama lebih dari 15 tahun, tapi akut idak pernah memberitahukannya kepada siapapun kecuali engkau sekarang ini. Tidakkah Anda mendengar ucapan hamba Allah yang shalih: ―Aku hanya mengeluhkan segala kesedihan dan keresahanku kepada Allah.‖ (QS. Yusuf: 86) Maka jadikanlah Allah sebagai tempat pengaduanmu dan mencurahkan keresahanmu setiap kali musibah menimpa dirimu, sebab Dia Maha Pemurah dan sangat dekat.‖ Pernah beliau melihat seseorang minta sesuatu kepada orang lain, maka beliau berkata, ―Wahai putra saudaraku, barangsiapa meminta kepada orang lain untuk suatu hajat, maka dia menyiapkan dirinya untuk diperbudak. Bila diberi, maka dia dibeli, bila ditolak, keduanya menjadi hina. Yang satu karena kikirnya, yang satu karena ditolak. Ketahuilah bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah, tidak ada pertolongan kecuali dari Allah. Telah terjadi wabah tha‘un di Kufah, lalu salah seorang teman Syuraih mengungsi ke Najaf untuk menghindari wabah. Syuraih menulis surat kepadanya: ―Amma ba‟du, sesungguhnya bahwa tempat yang engkau lari dari padanya tidak akan mendekatkan ajalmu dan merampas hari-harimu. Dan tempat di mana kamu tinggal sekarang juga berada di tangan dan genggaman yang tak bisa dihindari oleh orang yang lari, tak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Kami dan kalian berada dalam satu atap dan kekuasaan satu Raja, sedangkan Najaf adalah sangat dekat bagi Yang Maha Mampu dan Maha Kuasa.‖

Jurnal Sharia Law

Halaman | 19


Di samping segala kelebihan tersebut, Syuraih juga termasuk orang yang lembut perasaannya, mudah tersentuh hatinya, menyenangkan tatkala bergaul dan periang. Ada suatu riwayat yang menceritakan bahwa beliau memiliki anak kecil berusia 10 tahun. Anak itu senang bermain-main. Suatu hari dia meninggalkan pelajarannya untuk pergi melihat anjing. Begitu pulang, bertanyalah sang ayah: ―Sudah shalatkah engkau?‖ ―Belum,‖ jawabnya. Maka Syuraih mengirim surat kepada gurunya: Dia tinggalkan shalat karena anjing yang sedang berkejaran dengan betinanya, maka dia akan datang esok kepada Anda dengan lembaran tercatat sebagai tertuduh. Bila datang kepadamu, obatilah dengan teguran atau ingatkan ia dengan nasihat yang tepat. Bila harus dicambuk pakailah rotan, setelah hitungan ketiga hentikanlah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta‟ala merahmati al-Faruq radhiyallahu „anhu yang telah menaruh dalam keadilan Islam sebutir berlian yang tak ternilai harganya. Ditaruhnya Syuraih sebagai qadhi, seorang yang bersih hatinya dan indah keputusannya, seorang yang mencintai kaum muslimin. Beliau adalah lentera yang bersinar, yang hingga kini terus menjadi pantulan fikih bagi syariat Allah Subhanahu wa Ta‟ala, di mana kaum muslimin mendapatkan dan pemahamannya akan sunah Rasul-Nya yang akan menajdi kebanggaannya di hari kiamat karena kefakihan dia akan syariat Allah. Semoga Allah merahmati Syuraih yang telah menegakkan neraca keadilan di tengah masyarakat muslim selama 60 tahun. Beliau tidak pernah takut kepada sesama manusia, tidak melanggar batas-batas kebenaran dan tidak membedakan raja dengan rakyat jelata. [ ]

Jurnal Sharia Law

Halaman | 20


"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mu'jizatnya), dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (Q.S. An Nisa': 174)



BNI.03.01.866.831 a.n Chandra Purna Irawan BRI 1689-01-000607-53-6 a.n Chandra Purna Irawan


GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur >>Menghibur anak-anak Rohingny

>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut >> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya yang Hafidz 30 Juz Al-Qur’an


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.