Jurnal sharia law ed 04

Page 1

Law Enforcment dalam Islam – 10

Meneladani Prinsip Rasulullah dalam Law Enforcment- 15


Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada hukum syariah, baik perkara Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.

Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya untuk hati-hati berdasarkan al-Qurâ€&#x;an, asSunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan Ulama hanif, serta qiyas.

Semua itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memahamkan masyarakat akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat diterapkan di Negara Khilafah. Daftar Isi ; ISLAMIC LAWYER Adakah Pengacara Dalam Islam? - 01 Law Enforcment dalam Islam – 10 Meneladani Prinsip Rasulullah dalam Law Enforcment- 15

Dan yang lebih penting adalah menopang Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah dalam menerapkan hukum-hukum syariah.

Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami luncurkan diantaranya; 1. Hukum Tata Negara Khilafah 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negara Khilafah 3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Negara Khilafah 4. The Constitutional Khilafah Selamat membaca.

of

the

Islamic


ISLAMIC LAWYER Adakah Pengacara Dalam Islam?

Pendahuluan Bagaimana hukum menjadi pengacara yang membela orang-orang yang dizalimi? Bagaimana dengan praktik suap yang terpaksa harus dilakukan oleh pengacara dalam mendapatkan hak orang-orang yang dizalimi? Dalam dunia peradilan terdapat istilah kuasa hukum, pengacara bahkan juga sering disebut pembela yang mewakili atau mendampingi pihak-pihak yang mencari keadilan. Dalam bahasa Arab pengacara disebut mahami. Kata ini merupakan derivasi dari kata himayah yaitu pembelaan yang dilakukan oleh seseorang atau perlindungan seorang kuasa hukum terhadap kliennya di depan sidang pengadilan. Profesi pengacara sudah dikenal oleh Masyarakat Yunani dan Romawi dan diatur oleh negara. Di dalam Al-Qurâ€&#x;an juga disebutkan bahwa Nabi Musa telah meminta bantuan kepada Nabi Harun untuk mendampingi dan membela serta melindungi beliau dari kejahatan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Nabi Musa menganggap Nabi Harun lebih pandai

Jurnal Sharia Law

Halaman | 01


berbicara sehingga mampu mengedepankan argumentasi secara sistematis dan logis. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, Islam telah mengenal konsep pembelaan atau kuasa hukum untuk mengungkap kebenaran di depan pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, para fuqaha‟ mengkonsepsikan pembelaan tersebut dalam bentuk yang lebih dinamis dan komprehensif ke dalam sistem wakalah (perwakilan). Sistem wakalah di pengadilan banyak kemiripan dengan sistem kepengacaraan. Hanya saja hukum Islam (fiqh) dengan ragam mazahab yang ada menetapkan bahwa untuk membentuk wakalah harus memenuhi dua hal: penetapan wakalah harus di depan hakim, dan pihak lawan dapat menerima keberadaan wakil tersebut. Pada masa Khilafah Usmaniyah yaitu pada tahun 1292 H diterbitkan sebuah peraturan yang disebut nizam wukala‟ al- da‟awa (pengacara dan kuasa hukum). Menyusul kemudian peraturan-peraturan yang mengatur profesi kepengacaraan di beberapa negeri Islam. Dengan hadirnya undang-undang tersebut diharapkan dapat membangun citera positif bagi pengacara dalam membela dan mengungkapkan kebenaran di depan pengadilan. Dalam tulisan ini secara spesifik mencoba memfokuskan pembahasan wakil di persidangan terutama dari aspek legalitas, ruang lingkup, hak dan kewajiban serta beberapa aspek lain yang berkenaan dengan akad wakâlah. Pengertian Wakalah Menurut bahasa, wakalah atau al-wiklah memiliki beberapa pengertian antara lain almura‟at wa al hifzu, dan al tafwid al-i‟timad yaitu penyerahan, pendelegasian, dan pemberian kuasa kepada seseorang. Para fuqaha‟ menghendaki wakalah dalam pengertian yang kedua,namun dengan beberapa ketentuan sehingga lebih spesifik dari pada pengertian bahasa. Oleh karena itu dalam mendefinisikan wakalah “Memberikan kekuasaan kepada orang lain yang akan bertindak atas namanya untuk melakukan suatu perbuatan yang memang dapat diwakilkan”. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh penulis al-Minhaj salah seorang fuqaha‟ Syafi‟iyah “Wakalah yaitu pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang bisa diwakilkan kepada orang lain selagi ia masih hidup”. Menurut mazahab Hanafi, wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain yang disebut wakil. Dalam al-majallah al-‟adliyah bahwa wakalah adalah pelimpahan perkara oleh seseorang kepada orang lain yang akan menggantikan kedudukannya. Legalitas wakalah Para ahli fiqh menyatakan bahwa akad wakalah dibolehkan dalam Islam. Dasar hukum kebolehan ini antara lain : surat al-Kahf ayat 19 yang menunjukkan kebolehan wakalah dalam masalah jual beli. Sekalipun ayat ini menunjuk pada kaum terdahulu namun tidak terdapat pengingkaran dari syariah sehingga menjadi syariah umat Islam juga. Ayat alNisa‟ ayat 35 tentang perwakilan dalam menyelesaikan masalah perkawinan. Walaupun konteks ayat ini tentang sengketa antara suami isteri, namun secara esensial menjadi dalil kebolehan wakalah secara umum. Wakalah juga banyak ditemukan dalam praktik faktual Nabi. Menurut beberapa riwayat Rasulullah mewakilkan kepada Amr bin Umayyah al-Damiri r.a, untuk menerima nikah Ummu Habibah binti Abi Sufyan r.a. Juga riwayat Rafi‟ maula Rasulullah Saw, beliau berkata Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan halal (tidak sedang dalam ihram), sementara saya adalah sebagai penengah atau mediator antara keduanya. Juga yang diriwayatkan oleh Urwah Al Bariqi r.a, mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah memberiku satu dinar untuk membelikan beliau seekor kambing, maka aku membeli dua kambing, lalu aku menjual kambing yang satunya seharga satu dinar, kemudian aku membawa seekor kambing beserta satu dinar kepada Rasulullah dan menceritakan apa

Jurnal Sharia Law

Halaman | 02


yang telah aku perbuat, maka Rasulullah berkata: Allah memberkatimu dengan transaksi yang telah kamu lakukan. Menurut para ulama, wakalah juga dibolehkan berdasarkan ijmaâ€&#x;. Sebagian di antara mereka bahkan cenderung mensunnahkan wakalah melihat aspek tolong menolong yang dominan di dalamnya seperti disebutkan dalam Q.S al-Maidah ayat 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikanâ€? Wakalah juga telah dikenal semenjak jaman jahiliyah dan Islam. Dalam catatan sejarah bahwa Abdurrahman bin Auf mewakilkan kepada Umayyah bin Khalaf untuk menjaga keluarganya di Makkah, demikian juga sebaliknya, Umayyah bin Khalaf mewakilkan kepada Abdurrahman bin Auf untuk menjaga keluarganya di Madinah, sementara keduanya berlainan agama. Nabi Yusuf pun pernah meminta saudara-saudaranya untuk membawa baju beliu kemudian mengusapnya pada wajah ayahandanya. Dalil-dalil tersebut menempatkan wakalah sebagai aktifitas yang legal karena maslahat yang melekat di dalamnya. Status hukum wakalah bersifat dinamis dan kondisional. Wakalah menjadi sunnah, jika untuk membantu hal yang sunnah. Sebaliknya wakalah menjadi makruh, jika untuk membantu hal yang makruh. Wakalah pun juga akan menjadi haram, jika untuk membantu hal yang haram. Seperti juga halnya akan menjadi wajib, jika untuk membantu hal yang wajib

Unsur-unsur Wakalah Wakalah merupakan bentuk akad yang melibatkan minimal dua pihak pertama disebut muwakkil yaitu orang yang mewakilkan pihak kedua disebut wakil yaitu orang akan menerima wakalah. Keduanya merupakan rukun dalam akad wakalah. Rukun lainnya adalah sigah yaitu pernyataan yang dinyatakan oleh muwakkil dan yang dinyatakan oleh wakil. Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun wakalah hanya sigah yaitu dan Ijab dan qabul. Secara teknis akad wakalah baru sah apabila memenuhi beberapa syarat yang terdistribusi pada muwakkil dan wakil dan maupun wakil harus memiliki kecakapan bertindak secara sempurna (kamilul ahliyah). Namun demikian proses taukil dari orang yang tidak memiliki kecakapan secara sempurna seperti anak yang berakal atau orang yang sedang dalam pengampuan karena bodoh atau memiliki sifat lalai dianggap tidak sah, bahwa pengangkatan wakil yang tidak memiliki kecakapan secara sempurna tidak sah karena syarat wakil adalah mereka secara hukum sah melakukan perbuatan yang diwakilkan secara langsung, sementara anak-anak yang berakal tapi belum dewasa terhadap beberapa tindakan hukum masih belum dianggap. Menurut ulama Hanafi wakil harus secara tegas dan serius menjalankan tugasnya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka bahwa seorang wakil harus tegas dan jelas mengungkapkan penerimaannya terhadap pendelegasian hak tersebut. Akad perwakilan ini boleh dilakukan secara lisan maupun tulisan. Objek wakalah Sehubungan dengan objek wakalah para ulama fiqh membuat suatu kriteria bahwa seluruh akad yang bisa dilaksanakan seseorang secara mandiri boleh diwakilkan kepada orang lain, dan seluruh amalan yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain tidak termasuk objek wakalah. Oleh karena itu semua hak keperdataan yang dapat dilakukan langsung oleh seseorang boleh pula diwakilkan. Namun demikian, silang pendapat terjadi antara ulama fiqh mengenai masalah hak-hak yang berkaitan dengan pidana teruma menyangkut hak-hak Allah dan hakhak pribadi (Hak Allah dan Hak „Ibad). Yang menyangkut hak-hak Allah yaitu seluruh bentuk jarimah hudud (tindak pidana yang jenis hukuman, ukuran dan jumlahnya telah

Jurnal Sharia Law

Halaman | 03


ditentukan syara‟ melalui perintah dan larangan Allah). Kemudian juga membedakan antara hak-hak Allah yang memerlukan dakwaan/gugatan kepada hakim, seperti tindak pidana pencurian; dan tindak pidana yang sama sekali tidak memerlukan dakwaan/gugatan, seperti zina dan meminum minuman keras. Masalah hudud yang tidak memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim seperti zina dan meminum minuman keras, menurut mazhab Hanafi tidak boleh diwakilkan karena jarimah hudud dibuktikan berdasarkan alat bukti, kesaksian, dan pengakuan di hadapan hakim, tanpa didahului dengan gugatan. Apabila tindak pidana tersebut memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim seperti tindak pidana pencurian dan menuduh orang lain berbuat zina menurut imam Abu Hanifah dan sahabatnya Muhammad bin Hasan as-Syaibani boleh diwakilkan dengan mengemukakan alat-lat bukti dalam membuktikan tindak pidana tersebut. Sedangkan Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah lainnya, berpendirian bahwa dalam tindak pidana seperti ini tidak berlaku sistem wakalah. Ulama mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa jika tindak pidana tersebut menyangkut hak-hak Allah SWT, maka pembuktiannya tidak boleh diwakilkan. Tetapi jika tidak menyangkut hak Allah (menyangkut tindak pidana pembunuhan dan tuduhan berbuat zina), maka pembuktiannya boleh diwakilkan karena kedua tindak pidana tersebut termasuk hakhak pribadi. Ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa boleh mewakilkan pembuktian dan pelaksanaan hukuman yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT seperti zina dan hak-hak pribadi seperti tindak pidana pencurian. Alasannya Rasulullah telah mewakilkan pembuktian dan pelaksanaan hukuman zina kepada beberapa orang sahabat beliau ketika Ma‟iz mengaku telah melakukan zina. Ketika itu Rasulullah mengatakan bawalah orang ini (Ma‟iz) kemudian rajamlah ia. Untuk melaksanakan hukuman terhadap pelaku pidana yang telah dibuktikan dan diputuskan hakim, ulama sepakat menyatakan boleh diwakilkan, baik yang menyangkut tindak pidana yang semata-mata merupakan hak Allah maupun tindak pidana yang termasuk hak-hak pribadi. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah dalam kasus Ma‟iz di atas. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam pelaksanaan hukuman yang bersifat pribadi, ketika ia dalam keadaan gaib (tidak berada di tempat). Ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa tidak boleh mewakilkan pelaksanaan hukuman (baik hukuman itu merupakan hak Allah maupun hak pribadi), apabila yang mempunyai hak itu sedang gaib, karena tidak diketahui secara pasti keinginan orang yang mewakilkan, apakah akan ia laksanakan hukuman itu atau akan ia dimaafkan. Dengan adanya keraguan ini maka ulama mazhab Hanafi tidak membolehkan perwakilan dalam pelaksanaan hukuman tersebut karena Rasulullah SAW bersabda: “Tolaklah hudud jika ada keraguan” Adapun dalam jarimah ta‟zir (tindak pidana yang jenis hukuman, ukuran dan jumlahnya tidak ditentukan oleh syara‟, tetapi atas dasar kebijakan hakim), ulama mazhab Hanafi membolehkan untuk mendelegasikan pelaksanaan hukumannya kepada hakim, baik itu dihadiri oleh muwakkil atau tidak, karena hukuman pada takzir adalah hak hamba dan tidak gugur dengan keraguan. Di samping itu penentuan hukuman takzir juga didelegasikan kepada hakim. Adapun mewakilkan pelaksanaan hukuman dalam pelaksanaan kisas, jika yang menjadi pelaksana adalah ahli waris terbunuh dan dia berada di tempat, maka wakalah boleh karena mungkin dia tidak mampu melaksanakannya. Akan tetapi jika ahli warisnya sedang gaib, pelaksanaan kisas tidak boleh diwakilkan karena masih ada kemungkinan ahli waris memaafkan pembunuh. Jumhur ulama berpendapat bahwa mewakilkan pelaksanaan hukuman dalam masalah hudud, kisas dan takzir adalah boleh, tanpa membedakan apakah orang yang mewakilkan itu berada di tempat atau sedang gaib. Alasan mereka adalah hadis tentang seorang perempuan

Jurnal Sharia Law

Halaman | 04


yang berbuat zina di zaman Rasulullah. Ketika itu Rasul mewakilkan pelaksanaan hukumannya kepada Unais. Adapun yang berkaitan dengan perwakilan dalam hak-hak pribadi. Para ulama terutama pengikut mazhab Hanafi membagi hak-hak pribadi dalam dua bentuk, yaitu hak-hak yang tidak boleh didelegasikan untuk melaksanakannya karena ada keraguan, seperti qisas dan qazf, serta hak-hak yang boleh diwakilkan, seperti melunasi utang, sedakah, melakukan perdamaian dalam masalah pembunuhan, dalam masalah titipan, pinjam meminjam, gadai, dan syerikat dagang. Hak pribadi dalam bentuk pertama boleh diwakilkan dalam pembuktian dan penetapan hukumnya, namun tidak boleh diwakilkan dalam pelaksanaan hukumannya apabila orang yang berwakil tidak hadir. Adapun hak-hak pribadi dalam bentuk kedua menurut ulama mazhab Hanafi, boleh diwakilkan. Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan bentuk-bentuk hak pribadi tersebut dan seluruh hak pribadi boleh diwakilkan. Mekanisme Kerja Wakil Wakalah hanya dilakukan dan ditetapkan di depan hakim, dengan melakukan pernyataan dan oleh kedua belah pihak secara lisan maupun tulisan. Sistem wakalah pun juga diatur antara lain kewajiban para wukalaâ€&#x; al-daâ€&#x;wa atau kuasa hukum untuk membuat surat izin dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman (al-Qadla). Biasanya profesi kepengacaraan bergabung dalam suatu lembaga sehingga dalam suatu kasus seorang klien akan didampingi oleh seorang atau beberapa orang pengacara yang tergabung dalam suatu lembaga . Apabila kuasa hukum terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing mempunyai bidang garapan khusus, mereka tidak boleh campur tangan terhadap kasus yang bukan garapannya. Apabila sejumlah wakil itu ditunjuk untuk satu kasus, maka terdapat perbedaan pendapat antara fuqahaâ€?. yang bermazhab Hanafi mengatakan bahwa apabila kasus itu bisa ditangani oleh masing-masing wakil, maka setiap wakil boleh menyelesaikan kasus tersebut tanpa harus bermusyawarah dengan wakil-wakil lainnya. Akan tetapi jika kasusnya harus ditangani bersama atau harus dimusyawarahkan lebih dahulu , maka masing-masing wakil tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. apabila wakil yang ditunjuk ada beberapa orang, maka masing-masing wakil tidak dibenarkan bertindak sendiri sebelum bermusyawarah dengan wakil yang lain. Perwakilan dalam sengketa Apabila suatu akad wakalah telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan di atas, maka akibat hukumnya adalah: Apabila wakil itu seorang pengacara, maka ia bebas untuk bertindak hukum sebagai wakil yang ditunjuk untuk dan atas nama orang yang diwakilinya. Ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa pengacara itu berhak untuk mengucapkan pengakuan untuk dan atas nama orang yang diwakilinya, baik pengakuan itu berkaitan dengan penetapan hak atau mengingkarinya, selama pengakuan itu tidak menyangkut masalah hudud. Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa apabila akad wakalah bersifat mutlak, maka yang berkaitan dengan masalah pengakuan tidak termasuk dalam akad tersebut karena pengacara itu sifatnya hanya membela hak bukan untuk mengaku suatu hak orang lain yang ada pada kliennya. Misalnya Ahmad menggugat Rusli ke sidang pengadilan dengan tuduhan bahwa Rusli tidak mau membayar utangnya, padahal Rusli merasa tidak pernah berutang. Dalam kasus seperti ini, menurut jumhur ulama, pengacara yang ditunjuk Rusli tidak boleh mengakui adanya utang tersebut karena ia sebagai wakil harus membela kepentingan Rusli, bukan sebaliknya. Di samping itu, pengacara juga berhak menerima harta yang dipersengketakan jika hakim memutuskan kliennya yang menang, serta menyerahkannya kepada orang yang diwaklinya.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 05


Akan tetapi menurut para ahli fiqh apabila seorang pengacara telah ditunjuk sebagai wakil dalam suatu sengketa, ia tidak boleh lagi menerima perwakilan dari orang lain dalam kasus yang lain pula agar ia dapat konsentrasi pada tugasnya, kecuali orang yang pertama kali mengangkatnya sebagai wakil. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut fuqahaâ€&#x; mazhab Hanafi (selain imam Zufar bin Huzail), memandang bahwa perwakilan dalam sengketa mencakup seluruh apa yang berhubungan dengan perkara tersebut baik berupa pengakuan dan lain-lain, karena menurut mereka perwakilan dalam sengketa merupakan usaha untuk menampakkan, menjelaskan dan menetapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya, mendatangkan maslahat bagi muwakkil atau tidak, karena proses dalam persidangan mengharuskan wakil untuk melakukan pengakuan atau bantahan. Sedangkan dari mazhab Maliki, Syafiâ€&#x;i, Hanbali dan Zufa dari fuqahaâ€&#x; mazhab Hanafi berpendapat bahwa pada dasarnya wakalah terbatas pada hal-hal yang dapat mendatangkan maslahat bagi muwakkil. Alasannya perwakilan dalam sengketa memerlukan perdebatan di depan pengadilan yang bertujuan untuk memperoleh maslahat bagi muwakkil. Sedangkan pengakuan adalah bentuk perdamaian yang bukan menjadi tujuan wakalah. Pengakuan juga dapat menghentikan persengketaan, padahal tujuan muwakkil mengangkat wakil adalah untuk menjalankan urusan sengketa bukan untuk menghentikanya. Upah Wakil. Pada dasarnya, wakalah merupakan kontrak biasa, lebih bersifat tolong menolong, bahkan disebut juga sebagai akad atau sukarela sehingga tidak perlu mendapatkan upah. Akan tetapi, jika di dalam kontrak wakalah disyaratkan dengan upah dalam jumlah yang sudah ditentukan dan wakil melakukan tugasnya dengan baik, maka ia berhak atas upah yang telah disepakati. Sebaliknya, kalau wakil tidak melakukan pekerjaannya dengan baik maka ia tidak layak untuk menerima upah apalagi memintanya. Dan jika wakil itu adalah orang yang memang memiliki profesi dalam bidang itu, dan biasanya mengambil upah dalam jumlah tertentu, sedangkan ia dalam hal ini tidak menyepakati jumlah nominal upah atau semata-mata menyerahkan urusan tersebut kepada muwakkil, maka wakil tersebut berhak untuk mendapatkan upah yang wajar sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Mayoritas fuqahaâ€&#x; berpendapat jika transaksi wakalah dilakukan dengan menyebutkan upah, maka pemberian upah disesuaikan dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Sebaliknya jika akad terjadi tanpa menyebutkan apakah disertai dengan upah atau tidak, maka hukumnya mengikuti adat kebiasaan yang berlaku. Jika wakalah menurut kebiasaan disertai dengan upah, seperti dalam perwakilan oleh seorang pengacara di pengadilan, atau makelar dalam jual beli, maka upah tersebut harus diberikan. Jika dalam kebiasaan tidak disertai dengan ketentuan upah, maka wakil berhak atas upah yang wajar yang disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas pekerjaannya. Lebih jauh seperti disebutkan di atas bahwa profesi kepengacaraan sama dengan akad walaupun mereka juga mengakui adanya perbedaan ijarah dengan wakil di pengadilan terutama pada konsekuensi dan akibat hukumnya sebelum dan sesudah menerima upah. Melihat adanya perbedaan konsekuensi tersebut, maka akad wakalah juga dapat disamakan dengan akad jiâ€&#x;alah. Oleh sebab itu, hukumnya tidak mengikat sebelum pekerjaan yang diwakilkan itu terlaksana. Jika muwakkil membatalkan akad sebelum wakil menyelesaikan tugasnya, maka wakil tersebut berhak atas upah wajar, dan jika seluruh tugas yang diwakilkan kepadanya dapat diselesaikan, maka wakil berhak atas upah yang telah disepakati. Hal ini terjadi jika wakalah dilakukan tanpa menentukan besarnya upah dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 06


Sedangkan ulama mazhab Hanbali tetap memandang wakalah sebagai akad (sukarela) dan dapat terjadi dengan menggunakan kata-kata apa pun yang mengindikasikan wakalah tersebut. Oleh karena itu tidak ada syarat untuk menggunakan kata-kata tertentu yang menyebabkan adanya ikatan tanggungjawab di antara kedua belah pihak, karena hanya merupakan akad pendelegasian yang dapat mendatangkan suatu kebaikan bagi orang yang mendelegasikannya. Berakhirnya akad Wakalah Berakhirnya akad wakalah menurut ketentuan hukum Islam yakni dengan selesainya perkara yang diwakilkan, atau dengan meninggalnya salah satu pihak baik muwakkil maupun wakil , atau salah satunya terbukti sudah tidak memiliki kecakapan atau kemampuan seperti gila atau lainnya, atau muwakkil melepaskan diri dari wakil atau wakil itu sendiri mengundurkan diri dari akad wakalah. Tetapi kalau wakil itu diberhentikan dalam hal ini, ulama mazhab Hanafi mengemukakan beberapa syarat dalam memberhentikan wakil tersebut antara lain: a. wakil mengetahui bahwa tugasnya dicabut, baik secara lisan maupun tulisan; b. dalam perwakilan itu tidak tersangkut hak orang lain, seperti perwakilan dalam menjual harta yang digadaikan untuk membayar utang orang yang diwakilkan. Dalam kasus seperti ini, orang yang mewakilkan tidak boleh mencabut wakilnya, kecuali seizin orang yang mempunyai piutang. 2. orang yang mewakilkan melakukan suatu tindakan hukum terhadap objek yang telah diwakilkan. Misalnya, seseorang menunjuk wakil untuk membeli sebidang tanah tertentu. Tetapi sebelum wakil mulai bekerja, orang yang memberinya tugas telah membeli tanah tersebut. 3. tujuan yang ingin dicapai dari perwakilan telah tercapai. Artinya wakil telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan karenanya secara otomatis masa perwakilannya telah habis. 4. salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) berubah status menjadi orang yang tidak cakap bertindak hukum, seperti gila atau dikenakan status di bawah pengampuan. 5. salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) meninggal dunia. 6. orang yang mewakilkan itu menurut ulama mazhab Hanafi keluar dari agama Islam (murtad). Dalam kasus seperti ini perwakilan menjadi gugur dengan sendirinya karena tindakan orang murtad tidak bisa dilaksanakan, kecuali ia masuk Islam kembali. 7. wakil murtad. Menurut ulamam mazhab Maliki, perwakilan yang demikian menjadi batal. Akan tetapi menurut ulamam mazhab Hanafi, Syafiâ€&#x;i dan Hanbali perwakilan tidak batal. 8. wakil mengumumkan pengunduran dirinya sebagai wakil dan diketahui oleh orang yang mewakilkan. 9. hilangnya barang yang menjadi objek perwakilan. 10. barang yang diwakilakn tidak lagi menjadi milik orang yang mewakilkan. Mislnya, seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan rumahnya, tetapi ternyata kemudian setelah akad itu sempurna, rumah itu disita negara, maka perwakilan itu menjadi batal. 11. orang yang mewakilkan jatuh pailit. 12. terjadinya penipuan oleh masing-masing pihak. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab Hanafi dan Syafiâ€&#x;i. 13. Munculnya tindakan sewenang-wenang dari masing-masing pihak terhadap objek yang diwakilkan. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab Syafiâ€&#x;i dan Hanbali, perwakilan akan berakhir apabila wakil menjadi orang fasik dalam akad yang mensyaratkan wakil tidak fasik, jadi seperti wakil dalam akad nikah, orang fasik tidak boleh menjadi wakil dalam masalah nikah. 15. kedua belah pihak sepakat mengakhiri masa wakalah. Uraian tentang berakhirnya wakalah secara umum dapat diberlakukan pada wukalaâ€&#x; al-daâ€&#x;wa (pengacara dan kuasa hukum) karena mereka sesungguhnya berstatus sebagai wakil dari klien.

Kesimpulan

Jurnal Sharia Law

Halaman | 07


Pertama, Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya, dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut. Jika hak orang yang dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah contoh: seorang pengemban dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah, kemudian ditangkap dan dipenjara maka dengan tegas Islam menyatakan orang tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari penjara, karena kebebasan untuk menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib. Contoh lain, ketika ada orang yang menjadi korban pencurian atau perampokan, dengan tegas Islam menetapkan bahwa harta orang tersebut yang dicuri harus dikembalikan. Karena itu, jika seorang pengacara membela orang seperti ini dalam rangka menuntut haknya, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus seperti ini merupakan profesi dan tindakan yang dibolehkan. Contoh lainlagi, ada orang yang menjual rumahnya kepada seseorang, dengan pembayaran di muka, sisanya dicicil. Si pembeli rumah tersebut membayar sebagian, sementara sisanya tidak dibayar, alias mangkir. Pada saat yang sama, rumah tersebut telah dibeli dan ditempati. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hak penjual dari pembeli rumah tersebut harus dibayar. Karena itu, jika ada pengacara yang membela si penjual agar bisa mengambil haknya yang tidak dibayar oleh si pembeli tersebut, maka hukum pembelaan tersebut dibolehkan. Sebab, hak-hak tersebut merupakan hak yang telah ditetapkan oleh syariah sebagai hak pemiliknya, sehingga profesi dan tindakan pengacara yang membela pihak yang dizalimi agar haknya kembali kepada dirinya adalah tindakan yang dibenarkan oleh syariah. Namun, jika hak tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh hukum atau perundang-undangan buatan manusia, bukan hukum dan perundang-undangan syariah, maka profesi dan tidakan pengacara yang membela hak seperti ini tidak dibolehkan. Sebagai contoh, ada seorang investor yang berinvestasi pada PT atau Koperasi yang jelas akadnya batil, kemudian pada saat pembagian deviden, orang tersebut merasa bagiannya kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan, maka jika seorang pengacara membela hak seperti ini, profesi dan tindakannya dalam kasus ini tidak dibolehkan. Sebab, hak tersebut pada dasarnya bukan merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah, karena PT atau Koperasi tersebut, termasuk devidennya, merupakan perseroan yang batil, tidak diakui oleh syariah, dan harus ditinggalkan oleh seorang Muslim. Contoh lain, ada nasabah yang menyimpan dananya di bank ribawi, dengan kadar bunga tertentu. Namun, ketika bank memberikan bagiannya, dia hitung ternyata kurang dari hak yang semestinya dia dapatkan. Dalam kasus seperti ini, hukum pembelaan yang diberikan oleh pengacara agar hak nasabah tersebut bisa diambil, jelas tidak dibenarkan. Begitulah, profesi dan tindakan pengacara yang membela hak yang ditetapkan oleh syariah, juga untuk menghilangkan kezaliman, maka profesi dan tindakan tersebut dibolehkan. Sebaliknya, jika hak tersebut tidak ditetapkan oleh syariah, tetapi oleh hukum dan perundang-undangan buatan manusia, maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus tersebut tidak dibolehkan. Kedua: Adapun hukum suap yang dilakukan oleh pengacara sebagai sarana untuk mengambil hak, yang secara syarâ€&#x;i memang menjadi hak pemiliknya, maka tindakan tersebut tetap haram, sekalipun tujuannya untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan karenanya tidak dibolehkan. Sebab, nas yang mengharamkan suap tidak disertai „illat (alasan hukum), baik untuk merealisasikan kemaslahatan yang batil, atau yang haq. Sebaliknya, nasnas tentang larangan suap tersebut bersifat umum, sebagaimana tampak dengan jelas pada nas-nas sebagai berikut:

Jurnal Sharia Law

Halaman | 08


ُْٟ ‫ ْاٌ ُّشْ حَ ِش‬َٚ ٟ ُْ ‫َّاش‬ ُ ُ‫ٌَ ْعَٕ ُت‬ ِ ‫ اٌش‬ٍَٝ‫للاِ َع‬ Laknat Allah kepada orang yang menyuap dan menerima suap (HR Ahmad). ‫ُ َّب‬َٕٙ١ْ َ‫ُب‬ٟ ُْ ‫َ ّْ ِش‬٠ُ​ُْٞ‫ُاٌَّ ِز‬ِٟٕ‫َ ْع‬٠ُ‫ش‬ ُِ ِ‫اٌشَّائ‬َٚ ُٟ ُْ ‫ ْاٌ ُّشْ حَ ِش‬َٚ ُٟ ُْ ‫سٍُ​ُاٌشَّا ِش‬ُٚٗ١ٍ‫ُللاُع‬ٍٝ‫للاُِص‬ ُ ُ‫ي‬ ُ​ُ ُْٛ‫ٌَ َعَُٓ​ُ َسس‬ Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, menerima suap dan menjadi perantara, yaitu orang yang mengantarkan keduanya (HR Ahmad). Hadis-hadis ini bersifat umum, meliputi semua bentuk suap, baik untuk menuntut hak yang haqmaupun hak yang batil. Hadis-hadis ini juga tidak menyatakan keharaman suap dengan „illat tertentu, ataupun ada nas lain yang bisa digali dari sana „illat atas keharaman suap tersebut. Karena itu, tidak boleh seorang pengacara (advokat) melakukan suap meski tujuannya untuk memudahkan pengembalian hak kepada pemiliknya, karena hak tersebut sulit dikembalikan, jika tanpa suap.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 09


Law Enforcment dalam Islam Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguhsungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 10


Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma‟ Sahabat dan Qiyas dengan illat syar‟iy. Allah swt berfirman: َّ ‫ْضُ َِبُأَ ْٔ َض َي‬ َّ ‫ُ ُْ​ُبِ َّبُأَ ْٔضَ َي‬َٕٙ١ْ َ‫أَ ُِْاحْ ُى ُْ​ُب‬َٚ ُ‫ه‬ َ ١ْ ٌَِ‫ُللاُ​ُإ‬ َ ُِٕٛ‫َ ْفخ‬٠ُْ​ْ َ‫احْ َزسْ ُ٘ ُْ​ُأ‬َٚ ُ​ُْ ُ٘‫ا َء‬َٛ ْ٘ َ‫الُحَخَّبِعُْأ‬ُٚ َ ُ‫ُللا‬ ِ ‫نُع َُْٓبَع‬ “Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka untuk memalingkan kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49) Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas kemampuannya untuk mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem yang mengemuka dalam hukum sekuler saat ini adalah bagaimana memadukan antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan masyarakat. Artinya aturan hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat relatif. Allah swt berfirman: َّ ُٚ َُُّْٛ ٍَ‫أَ ْٔخُ ُْ َُالُحَ ْع‬َُٚ ُ​ُ​ُ ٍَ‫َ ْع‬٠ُ​ُ‫للا‬ َ ُْ ‫ُشَشٌّ ٌَُ ُى‬َٛ ُُ٘ٚ‫ب‬ َ ً‫ئ‬١ْ ‫اُ َش‬ُّٛ‫ُأَ ْ​ُْحُ ِحب‬ٝ‫ َع َس‬َٚ ُ​ُْ ‫شٌٌَُ ُى‬١ْ ‫ُ َخ‬َٛ ُُ٘ٚ‫ب‬ َ ً‫ئ‬١ْ ‫اُ َش‬ُٛ٘‫ُأَ ْ​ُْحَ ْى َش‬ٝ‫ َع َس‬َٚ “…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah maha mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216) Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah hudud, jinayat, ta‟zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak tanggung-tanggung beratnya. Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi penghapus dosa pelakunya (jawabir) juga memberikan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.

Integritas Penegak Hukum Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi. Rasulullah saw memutuskan sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti penunjukan Ali sebagi qadhi di Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad. Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang menangani perkara muamalat dan „uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni qadhi yang menangani

Jurnal Sharia Law

Halaman | 11


pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan qadhi al-madzhalim yakni qadhi yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara. Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang yang telah diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi qudhat. Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda dengan fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang. Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim, merdeka, baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara‟ dalam dalam memutuskan perkara. Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan yang batil dan hakimnya akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw bersabda: ْ ِ‫ا ِح ٌذ ُف‬َٚ ُ ٌ‫ضبةُ ُثَالَثَت‬ ُِٝ‫ُف‬ٜ‫بس ُفَأ َ َِّبُاٌَّ ِز‬ َ ُ‫بي ُ«ُ ْاٌم‬ َ َ‫ ُل‬-ٍُ‫س‬ُٚٗ١ٍ‫ُللاُع‬ٍٝ‫ص‬-ُ ِّٝ ِ‫ ِٗ ُ َع ِٓ ُإٌَّب‬١ِ‫ َذةَُع َْٓ ُأَب‬٠ْ ‫َع ِٓ ُا ْب ِٓ ُب َُش‬ َ ‫ُاٌ َجَّٕ ِت‬ٝ ِ ٌَّٕ‫ُا‬ِٝ‫ ْاثَٕب ِْ ُف‬ُٚ ْ َ‫جًٌُ َع َشف‬ ْ َ‫ْاٌ َجَّٕ ِتُفَ َش ُج ًٌُ َعشَف‬ َّ ‫ُاٌ َح‬ َّ ‫ُاٌ َح‬ ُِٝ‫ُف‬َُٛ َٙ‫ ًٍُْف‬ٙ‫ُج‬ٝ ُ​ُ ‫ َس‬َٚ ُِٗ ِ‫ُب‬ٝ‫ض‬ َ ٍَ‫بطُ َع‬ َ َ‫ َس ُج ًٌُل‬َٚ ُ‫بس‬ َ ‫كُفَ َج‬ َ َ‫كُفَم‬ ِ ٌٍَُِّٕٝ‫ض‬ ِ ٌَّٕ‫ُا‬ِٝ‫ُف‬َٛ َُٙ‫ُاٌْ ُح ْى ُِ​ُف‬ِٝ‫بسُف‬ .»‫بس‬ ُِ ٌَّٕ‫ا‬ Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah hakim mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka; demikian pula hakim yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan menurutnya shahih) Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam terwujudnya keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah pegawai (ajir) negara yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak. Tidak ada jumlah pasti mengenai batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu Saad setidaknya dapat memberikan kisaran gaji pejabat di masa Rasul dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan menjadi wali di Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40 dirham) atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah menggaji Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25 gram emas), satu kambing dan satu mud gandum. Di samping itu pejabat dalam daulah Islam juga mendapat beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu. Rasulullah saw pernah bersabda:

Jurnal Sharia Law

Halaman | 12


ْ ِٓ ‫َع‬ ُ ‫بي ُ َس ِّع‬ ُ​ٌَُُٗ ْٓ ‫َ ُى‬٠ُ ُْ ٌَُ ْ​ْ ِ‫ْ َجتً ُفَإ‬ٚ‫َسبْ ُ َص‬ ُِ ‫َ ْىخ‬١ٍْ َ‫ ُي ُ«ُ َِ ْٓ ُ َوبَْ ٌََُٕبُعَب ِ​ِالً ُف‬ُٛ‫َم‬٠ُ -ٍُ‫س‬ُٚٗ١ٍ‫ُللاُع‬ٍٝ‫ص‬-ُ َّٝ ِ‫ْج ُإٌَّب‬ َ َ‫ْ ِس ِد ُ ْب ِٓ ُ َش َّذا ٍد ُل‬َٛ‫ُاٌ ُّ ْسخ‬ ُ ْ‫ُبَ ْى ٍشُأُ ْخبِش‬ُٛ‫بيُلَب َي ُأَب‬ ُ‫ُلَب َي‬-ٍُ‫س‬ُٚٗ١ٍ‫ُللاُع‬ٍٝ‫ص‬-ُ َّٝ ِ‫ث ُأَ َّْ ُإٌَّب‬ َ َ‫ُل‬.»ُ‫َ ْىخ َِسبْ ُ َِ ْس َىًٕب‬١ٍْ َ‫َ ُى ْٓ ٌَُُٗ​ُ َِ ْس َى ٌٓ ُف‬٠ُ​ُْ ٌَُْ​ْ ِ ‫َ ْىخَ ِسبْ ُ َخب ِد ًِبُفَإ‬١ٍْ َ‫خَ ب ِد ٌَ ُف‬ ٌ ‫بس‬ .»ُ‫ق‬ ِ ‫ْ ُ َس‬َٚ‫ُغَبيٌّ ُ​ُأ‬َٛ َُٙ‫ َشُ َرٌِهَ ُف‬١ْ ‫«ُ َِ ُِٓاحَّ َخ َزُ َغ‬ “Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak memiliki rumah maka hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya mendapatkan berita bahwa Nabi saw bersabda: barangsiapa yang mengambil selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud. Menurut Albany Shahih) Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta yang Rasulullah saw juga bersabda.: ُ‫ْ ٌي‬ٍُٛ‫ُ ُغ‬َٛ َُٙ‫ُس ْصلًبُفَ َّبُأَ َخ َزُبَ ْعذَُ َرٌِهَُف‬ ِ ُٖ‫ُ َع َّ ًٍُفَ َش َص ْلَٕب‬ٍَٝ‫َِ ُْٓا ْسخَ ْع َّ ٍَْٕبُٖ​ُ َع‬ “Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan harta yang tidak sah (ghulul). (HR. Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A‟dzamy)

Putusan yang tegas Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria pengadopsian hukum baik dengan ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat tunggal. Artinya meski dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya. Mengeraskan basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat; mengeraskan atau atau memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang hendak shalat maka ia harus memilih pendapat yang dianggapnya paling rajih. Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski banyak pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah diberi kewenangan oleh syara‟ untuk menetapkan perkara harus menetapkan keputusan berdasarkan apa yang dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia adopsi yang sifatnya tunggal. Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim pendamping namun pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak mengikat hakim tersebut. Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah. Jika terbukti hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam, menyalahi dalil yang qathi atau

Jurnal Sharia Law

Halaman | 13


memutuskan perkara yang bertentangan dengan realitas maka keputusannya harus dibatalkan. Adapun jika ia menetapkan perkara dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya tidak direvisi sebagaimana kaidah fiqhi di atas Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun tidak menyalahi nash atau ijmaâ€&#x; atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad orang yang mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat telah bersepakat atas hal tersebut. Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi sehingga menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk menjatuhkan sanksi kepada terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul yang diperoleh dari sejumlah riwayat: “Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.â€?

Jurnal Sharia Law

Halaman | 14


Meneladani Prinsip Rasulullah dalam

Law Enforcment Dikisahkan, seorang wanita Bani Mahzum, salah satu kelompok yang sangat terpandang dari etnis Quraisy, kedapatan mencuri. Untuk menutupi aib dan rasa malu, para pemuka Bani Mahzum meminta tolong Usamah yang tergolong dekat dengan Nabi Muhammad SAW agar melakukan pendekatan dan lobi kepada Baginda Rasul. Ternyata, Usamah gagal total. Usahanya sia-sia belaka. Nabi langsung menghardik dan memberi peringatan keras kepadanya. "Apakah kamu mau menyuap (korupsi) soal hukum (ketentuan) dari undang-undang Allah?" tegurnya. Dalam kesempatan itu pula, Nabi SAW langsung naik ke atas mimbar dan memberikan peringatan. "Inilah kebiasaan buruk yang telah menghancurkan umat-umat terdahulu. Mereka binasa (diazab oleh Allah) karena mereka tidak berani menghukum orangorang terpandang dari kalangan mereka. Sebaliknya, mereka menghukum berat orang-orang kecil. Kalau Fatimah, putriku, mencuri, pastilah aku potong tangannya." (HR Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Kisah ini sungguh inspiratif dan menjadi teladan yang amat berharga, khususnya bagi masyarakat yang mendambakan kejujuran, keadilan, dan penegakan hukum bagi setiap orang.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 15


Melalui kasus ini, Nabi SAW mengajarkan beberapa masalah dasar yang mesti diperhatikan oleh para pemangku kekuasaan, baik di lingkaran eksektutif, legislatif, maupun yudikatif. Pertama, soal keadilan. Keadilan adalah proses sekaligus tujuan dan cita-cita. Adil (al`adl) atau keadilan menunjuk pada sikap tengah, lurus, dan tidak memihak kepada siapa pun, kecuali pada kebenaran. Dalam konteks hukum, adil bermakna menghukum siapa pun yang salah, tanpa berpihak, dan tanpa pandang bulu. Keadilan menuntut dan menempatkan manusia sama di depan hukum. Di sini prinsip equal before the law tak boleh hanya dipidatokan, tapi dilaksanakan, seperti Rasulullah SAW telah membuktikannya. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan." (QS al-Nahl [16]: 90). Kedua, soal penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum terkait pula dengan keadilan di atas. Demi keadilan, hukum harus ditegakkan secara jujur dan adil. Penetapan hukum secara tidak adil, korup, dan penuh kecurangan, seperti kerap terjadi, semua itu jelas melukai dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum tak boleh seperti pedang, hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Inilah yang diperingatkan oleh Allah dan Rasul. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS alNisaâ€&#x; [4]: 58). Ketiga, soal kehancuran masyarakat. Bila soal keadilan dan penegakan hukum diabaikan oleh para pemangku kekuasaan, kehancuran pasti terjadi. Tidak bisa tidak! Ini adalah ketentuan atau hukum Allah (sunatullah) yang berlaku secara universal. Inilah pesan penting yang hendak dikabarkan oleh Nabi SAW kepada seluruh umat manusia dalam pidatonya di atas. Perlu diketahui bahwa keadilan adalah hukum kosmik (alam jagat raya). Setiap kelaliman akan menimbulkan keguncangan sosial (social dis-equilibrium) yang pada gilirannya akan membawa pada kehancuran. "Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.â€? (QS al-Naml [27]: 69). Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah, lantaran bila ada seorang bangsawan (orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum HUDUD atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad Saw, Mencuri...Pasti akan aku potong tangannya ". ( Sahih Buchari Juz 5/192).

Jurnal Sharia Law

Halaman | 16


Pelaksanaan Hukum Tanpa Pandang Bulu. Pernyataan tegas tersebut disampaikan oleh baginda Rasullullah Saw, dalam menanggapi usaha meminta keringanan hukum atas pencurian oleh seorang wanita bangsawan

Quraisy

yang

bernama

Fathimah

dari

Bani

Makhzum

(

Fathimah

Almakhzumiyah). Mereka ingin agar Hukum Hudud atas pencurian, Yakni Potong Tangan, tidak diterapkan untuk wanita bangsawan itu. Mereka meminta tolong kepada Usamah bin Zaid bin Haritsah r.a, kesayangan Rasulullah Saw, agar menyampaikan permintaan tersebut kepada beliau Muhammad Saw. Tatkala mendengar hal itu berubahlah rona wajah Rasulullah Saw, Beliau berkata kepada Usamah r.a,

" Anda membicarakan kepadaku tentang salah satu HUKUM HAD DIANTARA HUKUM ALLAH ?".

Demi melihat hal itu, Usamah r.a, segera berkata : " Mohon ampun untukku wahai Rasulullah Saw ".

Lalu Rasulullah Saw, menyampaikan khutbah di atas untuk memberikan pernyataan tegas sekaligus pelajaran kepada umat tentang bahaya dari tidak ditegakkannya Hukum Allah, yakni HUDUDULLAH, dan juga bahaya nya TEBANG PILIH dalam penegakan hukum. Beliau lalu memerintahkan untuk segera memotong tangan wanita bangsawan tersebut. Penegakan hukum dalam Islam dengan segala jenis sanksi hukuman (Uqubat) dilakukan oleh penguasa Kehakiman tanpa Pandang Bulu. Baik itu Hukum Hudud, hukum Jinayat, hukum Ta'zir, maupun hukum Mukhaalafat. Siapapun yang bersalah, melanggar hukum Allah SWT, dan telah dimajukan ke Mahkamah, maka pasti akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum Allah SWT. Tidak peduli yang bersalah itu apakah anak Penggembala miskin, ataukah anak Tuannya yang kaya raya dan hidup mewah. Tidak peduli apakah dia " Fathimah Al Makhzumiyah ", seorang bangsawan wanita Quraisy yang mulia, ataukah bahkan " Fatimah

Jurnal Sharia Law

Halaman | 17


binti Muhammad Rasulullah Saw ", yang sangat mulia, yang paling berkuasa atas Makkah, Madinah, dan seluruh Jazirah Arab dan Sayyidul Anbiya wal Mursalin!. Ketegasan pelaksanaan Hukum Islam yang berdimensi Dunia dan Akhirat bagi sang pelanggar hukum menjadi Tebusan dosanya di akhirat. Bagi masyarakat yang menyaksikan ekskusi Hudud itu menjadi PENCEGAH YANG EFEKTIF.

Pemimpin Taat Putusan Hukum. Sikap tegas dan tanpa pandang bulu, dalam menegakkan hukum hanya bisa dilakukan oleh Pemimpin yang Takwa kepada Allah SWT. sebab takwa itu melahirkan sikap adil (QS al Maidah :8). Sikap adil itu diberlakukan tanpa pandang bulu walaupun kepada diri sendiri. Allah SWT berfirman: " Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa mu dan kaum kerabat mu, Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu MEMUTAR BALIKKAN ( kat-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan ".( QS. An Nisa : 135 )

Sikap hidup Tawadhu dan Zuhud Pemimpin. Sikap hidup Tawadhu dan Zuhud terhadap harta yang muncul dari jiwa Takwa kepada Allah SWT dari seorang Penguasa menyebabkan tidak hanya umat muslim, bahkan non muslim pun merasa damai dan akan simpati kepadanya, dan menghormati. Tapi juga menjadikan masyarakat secara umum akan memiliki Kesadaran dan Kepatuhan, Tunduk kepada hukum Allah SWT, sehingga KEBERKAHAN ALLAH akan senantiasa tercurah. Saat ini hukum berpihak kepada yang berkuasa dan yang memiliki Uang, sementara yang lemah selalu diproses dan dibawa ke Pengadilan. Hukum saat ini juga tergantung pada Negosiasi. Seharusnya Para Pemimpin, Para Pejabat tinggi, Para PENEGAK HUKUM menegakkan hukum secara benar dan adil tanpa Pandang Bulu.

Jurnal Sharia Law

Halaman | 18



BNI.03.01.866.831 a.n Chandra Purna Irawan BRI 1689-01-000607-53-6 a.n Chandra Purna Irawan


GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur >>Menghibur anak-anak Rohingny

>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut >> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya yang Hafidz 30 Juz Al-Qur’an


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.