Jurnal sharia law ed 05

Page 1


Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada hukum syariah, baik perkara Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.

Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya untuk hati-hati berdasarkan al-Qur‟an, asSunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan Ulama hanif, serta qiyas.

Semua itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan dan memahamkan masyarakat akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat diterapkan di Negara Khilafah.

Daftar Isi ;

Dan yang lebih penting adalah menopang Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah dalam menerapkan hukum-hukum syariah.

Aktor Intelektual Pembunuhan Menurutt Hukum Pidana Islam? - 01

Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami luncurkan diantaranya;

Penyelesaian Kasus Hukun Dalam Islam – 07 Asas-asas Hukum Pidana Islam - 17

1. Hukum Tata Negara Khilafah 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Negara Khilafah 3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Negara Khilafah 4. The Constitutional Khilafah

of

the

Islamic

5. Nizhamul Wakaala wa Da‟wa ; Sistem Peraturan Kuasa Hukum dan Gugatan 6. Syariah Legal Drafting Selamat membaca.

Diterbitkan oleh SHARIA LAW INSTITUTE Penanggungjawab Chandra Purna Irawan |Redaksi Farhanudin | Manager Research Muhammad Mithun |Website Official www.sharialawinstitute.com |E-mail sharialawinstitute@gmail.com | HP/WA 085 2221 9294 7 | BBM 51EDC6C3 |


Aktor Intelektual Pembunuhan menurut HUKUM PIDANA ISLAM? Penulis Chandra Purna Irawan.MH.

Pendahuluan Beberapa bulan lalu masyarakat dikejutkan atas penganiayaan dan pembunuhan sadis terhadap Salim alias Kancil dan pengeroyokan terhadap Tosan yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman atas perintah pengusaha penambangan pasir illegal. Masyarakat mendesak agar eksekutor dan actor pembunuhan dihukum.

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 01


Menyikapi actor intelektual dalam setiap pembunuhan, bagaimana Hukum Pidana Islam menyelesaikam kasus tersebut?

Defenisi Aktor Intelektual Pembunuhan dan penganiayaan, terdiri dari beberapa jenis diantaranya. Pertama Pembunuhan tunggal disengaja atau direncanakan, kedua pembunuhan tunggal yang tidak sisengaja atau mirip disengaja atau mirip tidak disengaja, ketiga pembunuhan tunggal atas perintah, keempat pembunuhan secara berserikat atau berkelompok yang direncanakan, kelima pembunuhan secara berkelompok tapi tidak ada yang mengorganisir (amukan masa) , keenam pembunuhan secara berkelompok atas perintah. Pada

dasarnya, Islam

telah

melarang

kaum

Muslim

melakukan

pembunuhan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Keharaman pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah. Allah swt berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. [TQS Al Baqarah (2):178] Di ayat lain, al-Quran juga menyatakan dengan sangat jelas; “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 02


pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[TQS An Nisaa‟ (6):92] Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‟iy menunjukkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan haram, kecuali pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat. Adapun sunnah, dituturkan bahwasanya Nabi saw ditanya tentang dosa besar, kemudian beliau menjawab : “Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta kesaksian palsu..”[HR. Imam Bukhari] “Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal ini, “Lelaki yang telah beristeri yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad dari agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]. Dari nash-nash di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan tindakan pembunuhan. Keharamannya merupakan perkara yang telah ma‟lum min al-diin bi al-dlarurah. Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash, atau membayar diyat. Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar‟iy kepada keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat.

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 03


Aktor Intelektual Pembunuhan Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, baik yang terlibat langsung dalam eksekusi pembunuhan atau yang melakukan perencanaan atau yang memerintah dan mengawasi, maka semua orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya, hadits-hadits yang berbicara tentang sanksi pembunuhan, mencakup pelaku pembunuhan tunggal maupun berkelompok. Misalnya, di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan; “Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak; memberikan pengampunan, atau membunuh pelakunya.” Hadits ini mencakup kasus pembunuhan yang dilakukan secara tunggal atau berkelompok. Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai sanksi yang sama jika berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu Sa‟id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda; “Seandainya

penduduk

langit

dan

penduduki

bumi

berserikat

dalam

(menumpahkan) darah seorang Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting wajah mereka semua ke dalam neraka”.[HR. Imam Turmudziy] Topik yang dibahas di dalam hadits ini adalah pembunuhan yang dilakukan secara berkelompok atauperserikatan dalam sebuah pembunuhan. Semua pelakunya mendapatkan ganjaran yang sama. Imam Malik menuturkan sebuah riwayat dari Sa‟id bin Musayyab ra sebagai berikut: “Sesungguhnya Umar ra menjatuhkan sanksi bunuh kepada lima atau tujuh orang yang berserikat dalam membunuh seseorang; yang mana mereka semua membunuh seorang laki-laki dengan tipu daya”.[HR. Imam Malik]

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 04


Di dalam riwayat lain dituturkan bahwasanya „Umar pernah bertanya kepada „Ali ra tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang. „Ali bertanya kepada „Umar, apa pendapatmu seandainya ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau akan memotong tangan mereka? „Umar menjawab, “Ya.” Ali menukas, “Demikian pula pembunuhan.” Riwayat-riwayat di atas menunjukkan; jika sekelompok orang bersekutu, dua orang, atau lebih untuk membunuh seseorang, semuanya dikenai sanksi. Semuanya harus dikenai sanksi pembunuhan meskipun pihak yang terbunuh hanya satu orang. Adapun delik dan sanksi yang dijatuhkan kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan berkelompok itu tergantung dari keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat dalam pemukulan terhadap pihak yang terbunuh, maka ia terkategori sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan secara pasti. Adapun, jika seseorang tidak berlibat dalam pemukulan secara langsung, maka, hal ini perlu dilihat. Jika ia berposisi sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan pihak yang hendak dibunuh, lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan korban kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lain-lain, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pihak yang turut bersekutu dalam pembunuhan, akan tetapi hanya disebut sebagai pihak yang turut membantu pembunuhan. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara saja. Imam Daruquthniy mengeluarkan hadits dari Ibnu „Umar dari Nabi saw, beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki menghentikan seorang pria, kemudian pria tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain, maka orang yang membunuh tadi harus dibunuh, sedangkan laki-laki yang menghentikannya tadi dipenjara.” Hadits ini merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu dan menolong [pembunuh] tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara dalam tempo yang sangat lama, bisa sampai 30 tahun. „Ali bin Thalib berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai mati. Diriwayatkan oleh Imam Syafi‟I dari „Ali bin Thalib, bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman bagi

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 05


seorang laki-laki yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang menghentikan

(mencegat

korban). Ali

berkata,

“Pembunuhnya

dibunuh,

sedangkan yang lain dijebloskan di penjara sampai mati.� Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang

tidak

bersekutu

dalam

pembunuhan

hukumnya dipenjara,

bukan

dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung. Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh, layaknya pembunuh langsung. Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunuhan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung. Waallahualam bishawab [ ]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang tidak bersekutu dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung. Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh, layaknya pembunuh langsung. Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunugan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung


PENYELESAIAN KASUS HUKUM MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM Sejatinya problem peradilan di Indonesia bukan hanya menyangkut aparatnya saja, namun juga pada sistem peradilan yang berlaku. Jika ditelisik secara cermat, sistem peradilan di negeri memberikan peluang kemenangan amat kepada para pemilik modal. Pasalnya, untuk memperoleh keputusan pengadilan dibutuhkan biaya besar.

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 07


Pertama, Sumber hukum yang berdasarkan akal ditafsirkan berdasarkan aspek juridis dan rasa keadilan. Ini karena kadangkala ketentuan UU bertentangan dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu banyak celah hukum pada KUHP sehingga seringkali dimanfaatkan untuk memanipulasi hukum. Hal ini kemudian mendorong adanya kebutuhan terhadap lawyer (pengacara atau penasehat hukum) yang membutuhak yang tidak sedikit. Semakin besar kasus yang dihadapi biaya layer pun semakin mahal.

Di tangan para

pengacara handal mereka dapat memutarbalikkan kebenaran, memtahkan berbagai argumentasi, dan mencari celah hukum yang membuat kliennya bisa lolos dari jerat hukum. Kedua, adanya pengadilan yang bertingkat-tingkat. Keputusan pengadilan di bawahnya bisa dianulir oleh pengadilan di atasnya. Oleh karenanya, seseorang yang telah diputus bersalah dan harus menjalani hukuman sekian bulan atau tahun, kemudian mengajukan banding pengadilan ke tingkat atasnya yang lebih mengikat. Keputusan itu bisa memperberat hukuman, memperingan, atau bahkan membebaskan sama sekali. Itu berarti, untuk mendapatkan keputusan hukum tetap,

harus

menempuh

beberapa

jenjang

pengadilan.

Lagi-lagi,

dibutuhkan uang untuk bisa mengikuti alur peradilan yang berbelit-belit ini. Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uanglah yang bisa terus mengajukan banding. Mereka pula memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan „pertarunganâ€&#x; di babak terakhir. Model pengadilan berjenjang seperti ini jelas tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya bukan hanya pihak yang berperkara namun juga para penegak hukum (polisi, hakim, jaksa). Proses yang lama tersebut membuat kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang berperkara. Panjangnya jenjang pengadilan ini menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan. Di sisi lain penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan tidak akan jera atau takut untuk melakukan tindak kriminal. Akibatnya angka kriminal terus meningkat. Realitas ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara yang menganut peradilan sekular. Amerika Serikat, negara yang sering dianggap sebagai kiblat peradaban sekular, adalah contohnya. Menurut

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 08


data, di AS aksi pembunuhan terjadi setiap 22 menit, pemerkosaan terjadi setiap 5 menit, perampokan berlangsung setiap 49 detik, dan pencurian terjadi setiap 10 detik. Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Prof. Morgan Reynold dari A & M University Texas, diperoleh data bahwa dari 500.000 pencurian yang terjadi setiap bulannya, ternyata hanya 6.000 pencuri yang tertangkap (Invansi Politik dan Budaya, Salim Fredericks, hal. 254). Lalu bagaimana gambaran sistem peradilan dalam Islam? Berikut beberapa cuplikan sistem tersebut.

Sumber hukum yang jelas dan tegas Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma‟ Sahabat dan Qiyas dengan illat syar‟iy. Allah swt berfirman: ِ‫ه‬ َِ ِ‫ي‬ َِ ‫ْضِ َِبِأَ ْٔ َض‬ ِ​ِ ‫َِٓثَع‬ ِْ ‫نِع‬ َِ ُِٕٛ‫ِْيَ ْفز‬ ِْ َ‫احْ َزسْ ُ٘ ُِِْأ‬َٚ ُِِْ ُ٘‫ا َء‬َٛ ْ٘ َ‫الِرَزَجِ ِْعِأ‬َٚ ُِ‫ّللا‬ َِ ِ‫ي‬ َِ ‫ُ ُِِْ ِث َّبِأَ ْٔ َض‬َٕٙ‫ِْاحْ ُى ُِِْثَ ْي‬ ِ​ِ َ‫أ‬َٚ َ ‫ّللاُِإٌَِ ْي‬ “Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka untuk memalingkan kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)

Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas kemampuannya untuk mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem yang mengemuka dalam hukum sekuler saat ini adalah bagaimana memadukan antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan masyarakat. Artinya aturan hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat relatif. Allah swt berfirman: َُِّْٛ ٍَ‫الِرَ ْع‬ ِ َ ُِِْ ُ‫أَ ْٔز‬َٚ ُُِِ ٍَ‫ّللاُِيَ ْع‬ َِ َٚ ُِِْ ‫ِشَشِ​ٌَِ ُى‬َِٛ َُ٘ٚ ِ‫اِ َش ْيئًب‬ُّٛ‫ِْرُ ِحج‬ ِْ َ‫ِأ‬ٝ‫ َع َس‬َٚ ُِِْ ‫ِ َخيْشِ​ٌَِ ُى‬َِٛ َُ٘ٚ ِ‫اِ َش ْيئًب‬ُٛ٘‫ِْرَ ْى َش‬ ِْ َ‫ِأ‬ٝ‫ َع َس‬َٚ

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 09


“…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah maha mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216) Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah hudud, jinayat, ta‟zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak tanggung-tanggung beratnya. Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi penghapus

dosa

pelakunya (jawabir) juga

memberikan

efek

jera

bagi

pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.

Integritas Penegak Hukum Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi. Rasulullah saw memutuskan sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti penunjukan Ali sebagi qadhi di Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad. Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang menangani perkara muamalat dan „uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni qadhi yang menangani pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan qadhi al-madzhalim yakni qadhi yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara. Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang yang telah diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi qudhat. Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda dengan fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang. Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim, merdeka, baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara‟ dalam

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 10


dalam memutuskan perkara. Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan yang batil dan hakimnya akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw bersabda: ِ‫بس‬ ِ​ِ ٌَٕ‫ ِا‬ِٝ‫ْ ِف‬ ِ​ِ ‫ ْاثَٕب‬َٚ ِ ‫ ِ ْاٌ َجَٕ ِ​ِخ‬ِٝ‫ا ِحذِ ِف‬َٚ ِ ِ‫ضب ِحُِثَالَثَخ‬ َِ ‫ ِلَب‬-ٍُ‫س‬ِٚ ٗ‫ ِّللا ِعٍي‬ٍٝ‫ص‬-ِ ِِٝ‫ِٓإٌَج‬ ِ​ِ ‫َٓ ِأَثِي ِ​ِٗ ِ َع‬ ِْ ‫ٓ ِثُ َش ْي َذ ِحَ ِع‬ ِ​ِ ‫ٓ ِا ْث‬ ِ​ِ ‫َع‬ َ ُ‫ي ِ« ِ ْاٌم‬ ِ​ًُِ‫ َسج‬َٚ ِ ‫بس‬ ِ​ِ ٌَٕ‫ ِا‬ِٝ‫ ِف‬َِٛ َُٙ‫ ِ ْاٌ ُح ْى ِ​ُِ ِف‬ِٝ‫ك ِفَ َجب َِس ِف‬ َِ ‫ َسجًُِ ِ َع َشفَِ ِ ْاٌ َح‬َٚ ِ ِٗ​ِ ِ‫ ِث‬ٝ‫ض‬ َِ ‫ ِ ْاٌ َجَٕ ِ​ِخ ِفَ َشجًُِ ِ َع َشفَِ ِ ْاٌ َح‬ِٝ‫ ِف‬ٜ‫فَأ َ َِب ِاٌَ ِز‬ َ َ‫ك ِفَم‬ .»‫بس‬ ِ​ِ ٌَٕ‫ِا‬ِٝ‫ِف‬َِٛ َُٙ‫ًِْ​ِف‬ٙ‫ِ َج‬ٍَٝ‫بطِ َع‬ ِ​ِ ٌٍَِِٕٝ‫ض‬ َ َ‫ل‬ Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah hakim mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka; demikian pula hakim yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan menurutnya shahih). Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam terwujudnya keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah pegawai (ajir) negara yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak. Tidak ada jumlah pasti mengenai batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu Saad setidaknya dapat memberikan kisaran gaji pejabat di masa Rasul dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan menjadi wali di Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40 dirham) atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah menggaji Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25 gram emas), satu kambing dan satu mud gandum. Di samping itu pejabat dalam daulah Islam juga mendapat beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu. Rasulullah saw pernah bersabda: ًِ‫ْ َج ِخ‬ٚ‫الً ِفَ ٍْيَ ْىز َِستِْ ِ َص‬ ِ ِ​ِ ‫ٓ ِ َوبَِْ ٌََِٕب ِعَب‬ ِْ َِ ِ «ِ ‫ي‬ ُِ ُٛ‫ ِيَم‬-ٍُ‫س‬ِٚ ٗ‫ ِّللا ِعٍي‬ٍٝ‫ص‬-ِ ٝ َِ ِ‫عْذ ِإٌَج‬ ُِ ِّ ‫ي ِ َس‬ َِ ‫ْٓ ِ َش َذادِ ِلَب‬ ِ​ِ ‫ْ ِس ِ​ِد ِث‬َٛ‫َٓ ِ ْاٌ ُّ ْسز‬ ِ​ِ ‫ع‬ ِٝ َِ ِ‫ِْإٌَج‬ َِ َ‫دِأ‬ ُِ ْ‫ِثَ ْىشِ​ِأُ ْخجِش‬ُٛ‫يِأَث‬ َِ ‫يِلَب‬ َِ ‫ِلَب‬.»ِ‫ٌَِٓ ُِِٗ َِ ْس َىِٓ​ِفَ ٍْيَ ْىزَ ِستِْ​ِ َِ ْس َىًٕب‬ ِْ ‫ٌَِْ ُِِْيَ ُى‬ ِْ ِ ‫ٌَِٓ ُِِٗ َخب ِدَِ​ِفَ ٍْيَ ْىز َِستِْ​ِخَ ب ِد ًِبِفَئ‬ ِْ ‫ٌَِْ ُِِْيَ ُى‬ ِْ ِ ‫فَئ‬ .»ِ​ِ‫بسق‬ َِ ٌِ‫ِٓارَ َخ َِزِ َغ ْي َِشِ َر‬ ِ​ِ َِ ِ«ِ‫ي‬ َِ ‫ِلَب‬-ٍُ‫س‬ِٚٗ‫ِّللاِعٍي‬ٍٝ‫ص‬ِ ‫ِْ​ِ َس‬َٚ‫ِغَبيِ​ِأ‬َِٛ َُٙ‫هِف‬

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 11


“Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak memiliki rumah maka hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya mendapatkan berita bahwa Nabi saw bersabda: barangsiapa yang mengambil selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud. Menurut Albany Shahih). Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta yang Rasulullah saw juga bersabda.: ِ‫ْ ي‬ٍُٛ‫ِ ُغ‬َِٛ َُٙ‫هِف‬ َِ ٌِ‫ِ َع ًَِّ​ِفَ َش َص ْلَٕب ُِِٖ ِس ْصلًبِفَ َّبِأَ َخ َِزِثَ ْع َِذِ َر‬ٍَٝ‫ِٓا ْسزَ ْع َّ ٍَْٕب ُِِٖ َع‬ ِْ َِ “Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan harta yang tidak sah (ghulul). (HR. Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A‟dzamy)

Putusan yang tegas Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria pengadopsian hukum baik dengan ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat tunggal. Artinya meski dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya. Mengeraskan basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat; mengeraskan atau atau memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang hendak shalat maka ia harus memilih pendapat yang dianggapnya paling rajih. Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski banyak pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah diberi kewenangan oleh syara‟ untuk menetapkan perkara harus menetapkan keputusan berdasarkan apa yang dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia adopsi yang sifatnya tunggal. Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim pendamping namun

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 12


pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak mengikat hakim tersebut. Keputusan yang telah ditetapkan oleh seorang hakim bersifat tetap dan tidak dapat dibatalkan atau diajukan banding atasnya. Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal pengadilan atau mekanisme hukum yang berjenjang seperti dalam sistem Kapitalisme yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, pemberian Grasi, Amnesti atau Abolisi oleh Presiden. Hal Ini telah menjadi ijma di kalangan sahabat r.a. Umar misalnya menetapkan keputusan yang bertentangan dengan Abu Bakar namun ia tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh Abu Bakar. Hal yang sama juga yang terjadi Ali yang memiliki sejumlah pendapat yang bertentangan dengan Umar namun beliau tidak membatalkan pendapat pendahulunya itu. ََِِ َْٛ‫ْ ًِب ِ ِ​َِِٓ ِاٌ َذ ْ٘ ِ​ِشٌَِطَ َعَِٓ ِ َعٍَ ْي ِ​ِِٗي‬َٛ‫ُ َّب ِي‬ْٕٙ ‫ّللاُِ َع‬ َِ ِٝ َِ ‫ض‬ َِ ‫ِ ْاٌ َج ْع ِ​ِذِلَب‬ِٝ‫ٓ ِأَث‬ ِ​ِ ‫َٓ ِ َسبٌِ ِ​ُِِ ْث‬ ِْ ‫ع‬ ِ ‫ِ ُع َّ َِشِ َس‬ٍَٝ‫ِ ِطَب ِعًٕبِ َع‬ٍِٝ‫ِْ​ِ َوبَِْ​ِ َع‬ٌَِٛ :ِ ‫ي‬ ِ-ٍُ‫س‬ِٚ ٗ‫ ِّللا ِعٍي‬ٍٝ‫ص‬-ِ ِِٝ‫ثَيَِْٓ ِإٌَج‬َٚ ِ َِْ‫ً َِٔجْ َِشا‬ ِ​ِ ْ٘ َ‫َبة ِثَيَِْٓ ِأ‬ َِ ‫َت ِ ْاٌ ِىز‬ َِ ‫ّللاُ ِ َع ْٕ ُِٗ ِ َوز‬ َِ ِ ٝ َِ ‫ض‬ ُِ ْ٘ َ‫أَرَب ُِٖ ِأ‬ ِ ‫ِ ِ َس‬ٍِٝ‫ َوبَِْ ِ َع‬َٚ ِ َِْ‫ً َِٔجْ َشا‬ ُِِٗ ْٕ ‫ّللاُِ َع‬ َِ ِٝ َِ ‫ض‬ ِ​ِ ٌَٕ‫ ِا‬ٍَٝ‫ُ ُِْ ِ َع‬َٙ‫ ِ َخبف‬َٝ‫ّللاُِ َع ْٕ ُِِٗ َحز‬ َِ ِٝ َِ ‫ض‬ ِ ‫ْ ا ِ ُع َّ َِش ِ َس‬َٛ‫اال ْخزِالَفُِ​ِفَأَر‬ ِ ُِِْ َُٕٙ‫لَ َِع ِثَ ْي‬َٛ َ‫بط ِف‬ ِ ‫ ِ​ِذ ِ ُع َّ َِش ِ َس‬ْٙ ‫ ِ َع‬ِٝ‫اِف‬ُٚ‫فَ َىثُش‬ ُِ‫ّللا‬ َِ ِٝ َِ ‫ض‬ َِ ٌَِٚ ِ‫ُ ُِِْفٍََ َّب‬ٍَٙ‫ِْيُمِي‬ ِْ َ‫ِأ‬َٝ‫ ُِِٖفَأَث‬ٌُٛ‫ْ ُِِٖفَب ْسزَمَب‬َٛ‫ءِ​ِفَأَر‬َٝ َِ ‫ُ ُِِْلَب‬ٌَٙ‫يِفَأ َ ْث َذ‬ َِ ‫ ُِِٖ ْاٌجَ َذ‬ٌَُٛ‫فَ َسأ‬ ْ ‫ُ ُِِْش‬َٕٙ‫ض َِعِثَ ْي‬ ِ ‫ِ​ِ َس‬ٍِٝ‫ِ َع‬ٝ ِ ُٚ ِ​َِْٚ‫اِأ‬ِٛ​ُِ ‫يِثُ ََُِِٔ ِذ‬ ُّ ‫خ‬َٚ ِ ‫ه‬ ِ‫ْ ِ ُع َّ َِش‬ َِ ِ‫ي َْح ُى ُِْ ِإ‬َٚ ِ :ُِ ِٗ ْٕ ‫ّللاُ ِ َع‬ َِ ِ ٝ َِ ‫ض‬ َِ ‫ه ِفَمَب‬ َِ ِٕ‫ه ِثِيَ ِّي‬ َِ ‫َط‬ َِ ِٔ‫ه ِثٍِِ َسب‬ َِ ُ‫ا ِيَب ِأَ ِ​ِي َِش ِ ْاٌ ُّ ْؤ ِ​ِِٕيَِٓ ِ َشفَب َعز‬ٌُٛ‫ْ ُِِٖفَمَب‬َٛ‫َع ْٕ ُِِٗأَر‬ ِ ‫ِ ِ َس‬ٍِٝ‫ي ِ َع‬ .‫ّللاُِ َع ْٕ ُِِٗ َوبَِْ​ِ َس ِشي َِذِاألَ ِْ ِش‬ َِ ِٝ َِ ‫ض‬ ِ ‫َس‬ Dari Salim bin Abu Ja’d berkata: “Andaikan Ali bermaksud mencela Umar r.a. pada suatu kesempatan maka ia pasti melakukannya di saat penduduk Najran mendatangi beliau. Sebelumnya beliau telah menulis ketetapan antara penduduk Najran dengan Rasulullah saw. Namun pada masa Umar jumlah mereka bertambah banyak hingga Umar mengkhawatirkan mereka berselisih dengan orang lain. Mereka mendatangi Umar untuk mengganti ketetapan sebelumnya lalu Umar menggantinya; Meski setelah itu mereka menyesal atas ketetapan baru tersebut.. Mereka lalu mendatangi beliau untuk meminta keringanan namun ditolak oleh Umar. Tatkala Ali menjadi pemimpin mereka mendatangi beliau dan berkata: “Wahai amirul mukmin kami mohon pemaafan dengan lisanmu dan keputusan dengan sumpahmu. Namun Ali r.a. menjawab:

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman |13


“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Umar r.a. merupakan pemimpin yang lurus.” (H.R. al-Baihaqy) Bahkan dalam kasus yang sama sahabat dapat mengeluarkan keputusan yang berbeda di waktu yang berbeda berbasarkan perubahan ijtihad mereka. Meski demikian mereka tidak menganulir pendapat sebelumnya. Umar bin Khattab misalnya telah melakukan hal tersebut. ِ‫َب‬ٙ‫ْ َج‬ٚ‫ذ ِ َص‬ ِْ ‫ ِا ِْ َشأَحِ ِرَ َش َو‬ِٝ‫ّللاُ ِ َع ْٕ ُِٗ ِف‬ َِ ِ ٝ َِ ‫ض‬ ِ​ِ ‫ ِ ُع َّ ُِش ِثُِْٓ ِ ْاٌخَطَب‬ٝ‫ض‬ َِ ‫ ِلَب‬ٝ َِ ِ‫ ِاٌثَمَف‬ِٕٝ‫ٓ ِ ْاٌ َح َى ِ​ُِ ِيَ ْع‬ ِ​ِ ‫ ِ​ِد ِ ْث‬ُٛ‫َٓ ِ َِ ْسع‬ ِْ ‫ع‬ َ َ‫ ِل‬:ِ ‫ي‬ ِ ‫ة ِ َس‬ ُِِْ َُٕٙ‫ثِثَ ْي‬ َِ ٍُُّ‫ًِاٌث‬ َِ ‫ةِ َج َع‬ ِ​ِ َ‫األ‬َٚ ِ​َُِ‫ ِ​ِحٌِِأل‬َٛ ‫ثَيَِْٓ​ِا ِإل ْخ‬َٚ ِ​َُِ‫ ِ​ِحٌِِأل‬َٛ ‫نِثَيَِْٓ​ِا ِإل ْخ‬ َِ ‫َبِفَ َش َش‬َِٙ ُ‫أ‬َٚ ِ‫َب‬ٙ‫َبِألَثِي‬َٙ‫ر‬َٛ ‫إِ ْخ‬َٚ ِ‫َب‬ُِٙ‫َبِأل‬َٙ‫ر‬َٛ ‫إِ ْخ‬َٚ ِ‫َب‬َٙ‫ا ْثَٕز‬َٚ ِ​ِ‫ْ َِئِز‬َٛ‫ض ْيَٕب ِي‬ َِ ٍْ ِ‫ ِر‬:ِ ‫ي ِ ُع َّ ُِش‬ َِ ‫ َو َزا ِفَمَب‬َٚ ِ ‫ُ ُِْ ِعَب ََِ ِ َو َزا‬َٕٙ‫ن ِثَ ْي‬ ِْ ‫ه ٌَِ ُِْ ِرُشَش‬ َِ َِٔ‫ ِيَب ِأَ ِ​ِي َِش ِ ْاٌ ُّ ْؤ ِ​ِِٕيَِٓ ِإ‬:ِ ًُِ‫ي ِ َسج‬ َِ ‫ا ًِء ِفَمَب‬َٛ ‫َس‬ َ َ‫ ِ َِب ِل‬ٍَٝ‫ه ِ َع‬ .َ​َ َْٛ‫ض ْيَٕبِ ْاٌي‬ َ َ‫ِ َِبِل‬ٍَٝ‫َ٘ ِز ِ​ِِٖ َع‬َٚ Dari Ibnu Mas’ud bin Hakam ats-Tsaqafi berkata: “Umar telah menetapkan warisan dari seorang wanita yang meninggalkan suami, anak perempuan, saudara seibu dan saudara seibu sebapak. Beliau kemudian menggabungkan antara saudara seibu dan saudara seibu sebapak untuk mendapatkan sepertiga secara merata (dari harta warisan). Seorang laki-laki kemudian mempertanyakan hal itu: Wahai Amirul Mukminin bukankah pada tahun sebelumnya engkau tidak menggabungkan keduanya? Maka Umar menjawab itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan pada saat itu dan ini adalah keputusan yang kami tetapkan saat ini.” (HR. al-Baihaqy) Oleh karena itu para ulama ushul membuat suatu kaedah fiqhi: “Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”

Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah. Jika terbukti hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam, menyalahi dalil yang qathi atau memutuskan perkara yang bertentangan dengan realitas maka keputusannya harus dibatalkan. Adapun jika ia menetapkan perkara dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya tidak direvisi sebagaimana kaidah fiqhi di atas.

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 14


Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun tidak menyalahi nash atau ijma’ atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad orang yang mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat telah bersepakat atas hal tersebut.” Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan buktibukti yang absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi sehingga menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk menjatuhkan sanksi kepada terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul yang diperoleh dari sejumlah riwayat: “Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.” Hal yang perlu ditambahkan adalah meski khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat memiliki otoritas untuk mengangkat dan memberihentikan seorang hakum

namun

dalam

proses

penyelesaian

perkara

yang

melibatkan

Khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat seorang hakim madzalim yang menangani perkara mereka tidak boleh diberhentikan selama perkara tersebut berlangsung. Dengan demikian ia dapat menyelesaikan kasus tersebut tanpa adanya kekahwatiran akan tekanan dan intervensi dari pejabat tersebut. Wallahu a‟lam bis Shawab

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 15



ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM

A. Asas Legalitas Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut undang undang". Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas. Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 17


hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. 1. Sumber Hukum Asas Legalitas Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: Al-Qur'an surat Al-Isra‟: 15ِ Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 18


ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan

kota-kota;

kecuali

penduduknya

dalam

Keadaan

melakukan kezaliman.” Kaidah Fiqh ِ‫ْ ِدِإٌص‬ُٚ‫س‬ُٚ ًَِْ ‫ْ دَِالَف َعب ِيِاٌعُمال ِءِلَج‬ٚ‫ال ُح ُذ‬ Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada aturan hukumnya 2. Penerapan Asas Legalitas Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas. Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta‟zir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya. Kemudian

jika

berpegang

pada

asas

legalitas

seperti

yang

dikemukakan pada bab di atas serta kaidah "tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas", maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah :

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 19


‫السجعيخ فيِاٌزششيعِاٌجٕبئي‬ Tidak berlaku surut pada pidana Islam Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal: -

Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22ِ​ِ​ِ

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” -

Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275 Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial; a) Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni : 

Negara-negara Islam;

Negara yang berperang dengan negara Islam;

Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.

b) Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam. B. Asas tidak Berlaku Surut

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 20


Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah ‫ السجعيخ في ِاٌزششيع ِاٌجٕبئي‬tidak berlaku surut pada pidana Islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya. Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimahjarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim. Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu : a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4 Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” b.

Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33 Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang

memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam. Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur‟an secara khusus

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 21


mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.� (an-Nisa: 22). Sebagai akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum pidana pelakunya tidak dipidana. C. Asas Praduga tak Bersalah Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence). Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif. Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum.� Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan. Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan membawa pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa. Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya. Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 22


melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas dan ta'zir. D. Asas Material Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta‟zir). Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur‟an maupun hadits. Sementara ta‟zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi : ِ‫د‬ ِ ‫َب‬ٙ‫ْ دَِثبٌ ُش ْج‬ٚ‫اِاٌ ُح ُذ‬ٚ‫اِ ْد َس ُء‬ Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat. Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. “ E.

Asas Moralitas Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam : (1)

Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.

(2)

Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 23


karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila. (3)

Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.

(4)

Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya

melaksanakan

tuga;

kedua,

karena

terpaksa.

Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb.

Wallahualambishawab

Jurnal Sharia Law Edisi 05

Halaman | 24




BNI.03.01.866.831 a.n Chandra Purna Irawan BRI 1689-01-000607-53-6 a.n Chandra Purna Irawan


GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur >>Menghibur anak-anak Rohingny

>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut >> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya yang Hafidz 30 Juz Al-Qur’an


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.