Majalah Soeket Teki Edisi 10

Page 1

Soeket Teki Bicara Sastra dengan Rasa

Tragedi Pala Semarang dalam Panggung Drama

Pertarungan Sastra dalam Menguak Kebenaran

Perempuan dalam Bayang Edisi 10 2021 ISSN: 0853-487X


Penerbit: Penerbit: Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Izin Penerbitan: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 tahun 1984 ISSN: 0853-487X Pelindung:: Pelindung Rektor UIN Walisongo Pembimbing:: Pembimbing Joko Tri Haryanto, Musyafak, Nur Zaidi, Hasan Tarowan, Sigit Aulia Firdaus Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Mohammad Hasib Pemimpin Redaksi: Nurul Fitriyanti Dewan Redaksi: Agus Salim Irsyadullah, Nur Aeni Safira, Rizkyana Maghfiroh, Syifa Mariyatul Kibtiyah, Muhammad Azzam Azhari Ilustrator Mohammad Hasib, Lailatul Munawaroh Desain Ridho Alamsyah Tata Letak Syafril Hidayat Alamat Kantor Redaksi: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Kampus III Lt. 1 Universitas Islam Negeri Walisongo, Jl. Prof. Hamka No, 3-5,Tambak Aji, Kec. Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50185 Email: redaksi.skmamanat@gmail.com

2

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


SALAM REDAKSI

H

Bangkit dalam Keterbatasan

ampir dua tahun pandemi Covid-19 yang tidak kunjung reda telah membuat banyak perubahan. Aktivitas luar yang serba dibatasi memberi tantangan tersendiri bagi tim redaksi untuk kembali menerbitkan majalah sastra Soeket Teki. Dengan segala keterbatasan yang ada, harapan dan niat untuk terus berkarya akan selalu hadir di dalam hati. Covid-19 seolah menjadi kabut tebal yang menghalangi pandangan. Namun jika tidak terus melangkah, pandangan indah dari arah lain akan terlewati dengan sia-sia. Kami mencoba untuk menembus kabut itu dengan niat mengobati kerinduan para penikmat sastra di lingkungan UIN Walisongo Semarang dan sebagai persembahan karya di kondisi serba terbatas jarak, ruang dan waktu seperti saat ini. Meskipun terkendala dengan kondisi yang ada, kami berusaha semaksimal mungkin menerbitkan majalah sastra Soeket Teki. Lewat dukungan dan perjuangan tim redaksi, semangat serta kekompakan yang terjalin menjadikan harapan dan niatan itu bukan hanya hadir di dalam hati saja, namun juga menjadi sebuah tindakan yang nyata. Pada majalah Soeket Teki edisi ke 10 ini sedikit membahas perkembangan budaya yang kembangkempis hampir layu dampak dari wabah Covid-19

Soeket Teki Bicara

dan tentu menjadi persoalan yang tidak sepele. Seolah kami turut merasakan betapa perihnya ketika hiburan-hiburan yang bernilai sebagai suatu karya seni perlahan tersengal-sengal saat menyuguhkan karyanya. Dalam rubik reportase, kami mengangkat pentas “Goedang Pala” yang menjadi salah satu karya dari komunitas Gambang Semarang Art Company (GSAC). Masa pandemi Covid-19 menjadi alasan vakumnya GSAC beberapa waktu lalu. Selama hampir satu tahun, komunitas tersebut sama sekali tidak menampilkan pementasan untuk umum. Tentunya, hal itu juga berpengaruh pada faktor yang lain seperti perekonomian para anggotanya. Tidak ketinggalan, karya cerpen dan puisi dari warga Kampoeng Sastra Soeket Teki dan para pemenang Sayembara puisi memberi warna tersendiri. Besar harapan kami, terbitnya majalah sastra Soeket Teki dapat menyibak tabir kondisi kebudayaan ditengah pandemi. Bagi tangan dan pasang mata siapa saja yang telah membaca karya kami, semoga dapat memiliki semangat menghidupkan sastra dalam kondisi apapun. Selamat Membaca! Redaksi

Sastra dengan Rasa

3


Reportase

(Soeket Teki/Mohammad Hasib)

Tragedi Pala Semarang dalam Panggung Drama

R

empah pala tercecer berserakan di atas panggung. Sekejap empat penari hadir menguasai mata penonton, lenggak-lenggok pinggul yang disuguhkan seirama bunyi-bunyian musik. Tak lama tarian itu berakhir ketika Simbok datang membawa sebakul buah pala bersama keempat anaknya. Dalam cerita, Simbok dan anak-anaknya berjalan

4

menuju pelabuhan Tanjung Mas Semarang, mereka sangat antusias menapaki hingar-bingar Kota Semarang. Beberapa kali Simbok menjelaskan situs-situs penting dan bersejarah layaknya seorang ibu yang memberi pengetahuan kepada anak-anaknya, seperti Simpang Lima, Tugu Muda, hinga Lawang Sewu. Bagi anak-anak perjalanan ini sangat menyenangkan, jauh

Soeket Teki Bicara

dari kehidupan mereka dengan latar desa di dataran tinggi Ungaran. Alunan musik tak menyerah mengiringi langkah mereka hingga sampai di Kota Lama Semarang yang cukup terkenal jadi sarang para gali. Benar saja, keceriaan anak-anak seketika meredam ketika dua gali menghadang mereka untuk merampas buah pala. Namun Simbok tak diam saja, dengan

Sastra dengan Rasa


Nurul Fitriyanti - Tragedi Pala Semarang dalam Panggung Drama

n

Pentas Gambang Semarang Art Company

seluruh keberanian yang dimiliki ia meladeni para gali yang ingin mengambil paksa. Entah sengaja atau tidak, konflik adu mulut Simbok dan gali ini justru menjadi pemanis cerita mengundang geliat tawa penonton. Keributan yang tak kunjung rampung itu akhirnya ditengahi sosok Pak Lurah yang tiba-tiba muncul jadi hakim dadakan.

Kehadiran Pak Lurah rupanya cukup sentral dalam pementasan ini, selain menengahi perkara ia juga memberi bumbubumbu sejarah sekaligus penutup dalam pementasan jalur rempah yang diberi judul Goedang Pala suguhan Gambang Semarang Art Compeny (GSAC), hasil kolaborasi dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) dari Yoyakarta di Museum Ronggowarsito, Rabu (29/09/2021). Dalam ceritanya, Pak Lurah menjabarkan betapa berharganya buah pala di seluruh belahan nusantara. Buah pala hasil panen dari sekitaran lereng Gunung Ungaran itu bibitnya didatangkan langsung dari Banda, Provinsi Maluku yang dikenal sebagai surga rempah di timur Indonesia sejak berabadabad lalu. Hingga rempahrempah itu menjadi rebutan para kaum penjajah. Dari suguhan cerita yang ditampilkan, Sutradara Goedang Pala Khotibul Umam menjelaskan bahwa, rempah atau buah pala tumbuh subur di timur lereng gunung Ungaran, tepatnya di Desa Gebukan. Desa itu menjadi salah satu sentra penghasil buah pala dengan kualitas baik. Bibitnya diambil langsung dari Pulau Banda, hal itu sejalan dengan buku Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakatnya Abad X-XVI Kepulauan Banda, Jambi, dan Pantai Utara Jawa karya Razif dan M.Fauzi. ‘‘Selama berabad-abad, tempat inilah satu-satunya di dunia yang menghasilkan buah pala sekaligus menjadi mula

Soeket Teki Bicara

penyebaran pala ke berbagai titik dunia,’’ jelas Umam ditemui Soeket Teki usai pementasan Goedang Pala di Museum Ronggowarsito, Rabu (29/9/2021). Ide cerita ini muncul ketika menengok kembali mengenai ragam kultur yang ada di Semarang. Meskipun apa yang yang ditampilkan merupakan cerita fiktif namun ia yakin membawa nilai-nilai sejarah. “Meskipun ini cerita fiktif, kami juga memperhatikan unsur sejarahnya,” ujarnya. Sekilas yang tak luput dari perhatian adalah iringan musik pementasan, suara instrumen nampak seperti gabungan Tionghoa dan Jawa (Gambang Semarang) terdengar kental bersatu padu. Gesekan biola dan ruhus menyerupai alat musik kong hyan, sukong dan tehyan berpadu epik dengan pukulan bonang, gong, saron dan gendang. Suguhan instrumen musik Gambang Semarang dan Tionghoa bukan tanpa alasan, Gambang Semarang dipilih karena menjadi salah satu ikon musik khas Semarang dengan perpaduan budayanya. “Jadi kami juga mencari korelasi-korelasi yang tepat untuk pementasan ini dan ternyata Gambang Semarang bukan hanya cocok, tapi bisa sekaligus memberikan cerminan ragam budaya yang ada di Semarang,” jelas Sutradara Umam. Terkait instrumen musik yang ditampilkan Direktur Gambang Semarang Art Compeny (GSAC), Tri Subekso membenarkan adanya inovasi,

Sastra dengan Rasa

5


Nurul Fitriyanti - Tragedi Pala Semarang dalam Panggung Drama

namun hal itu tak lantas mengubah pakem-pakem yang telah ada. “Kesenian itu terus mengalami inovasi seiring dengan zaman. GSAC juga memberikan sentuhan musik barat pada instrumennya tanpa mengubah tatanan. GSAC menjadi komunitas yang fleksibel dan dikategorikan sebagai hiburan inklusif maupun merakyat tergantung pada suatu acara,” ungkap Tri saat ditemui di kediamannya Jalan Subali Raya Kav. 334 RT 02 RW IV, Kelurahan Krapyak, Kecamatan Semarang Barat, Jumat (12/11/2021). Perjalanan Gambang Semarang Dalam sejarah, Gambang Semarang dimulai pada tahun 1930, seorang anggota volksraad keturunan Tionghoa yang gemar bermain musik mengungkapkan gagasannya langsung kepada Burgermeester terkait keinginannya untuk membuat ikon kesenian di Semarang. Tri menyebut, berbekal anggaran dari Wali Kota, Lie Ho Sun membeli peralatan gambang kromong di Batavia bersama-sama dengan kelompok senimannya. Lalu munculah Komunitas Gambang di Semarang untuk kali pertama yang digawangi oleh beberapa pemain kelompok Gambang Kromong Kedaung dan melatih pemain baru yang berasal dari grup keroncong Irama Indonesia. “Tahun 1942, Gambang Semarang itu bubar dan berhenti pentas karena kedatangan Jepang,” ucap orang

6

yang juga menjadi pemerhati sejarah Gambang Semarang itu. “Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Semarang telah berbentuk sebagai sebuah kota swapraja atau gemente. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi pembeda antara Semarang yang dipimpin oleh Bupati Semarang dan Semarang yang dipimpin oleh Burgermeester atau Wali Kota Pemerintahan Belanda,” imbuhnya. Gambang Semarang menjadi sebuah kesenian turunan Betawi Gambang Kromong yang memang lekat dengan budaya kalangan Tionghoa. Lie Ho Sun, mengadopsi kesenian Gambang Kromong untuk dibawa dan dikembangkan ke Semarang. Tri mengklaim bahwa, demikian sejalan dalam jurnal karya Sri Sadtiti yang berjudul Gambang Semarang : Sebuah Identitas Budaya Semarang yang Termarginalkan. “Setelah melewati masa 7 tahun, Yaw Tia Boen dari “Irama Indonesia” kembali menghidupkannya. Pasca Kemerdekaan Indonesia, kesenian ini seperti mendapat kesempatan untuk berkembang kembali,” ujarnya. Yaw Tia Boen merupakan tokoh pemimpin generasi kedua Gambang Semarang, penata musik pentas Goedang Pala, Raka mengatakan, pada masa Boen inovasi-inovasi paduan dengan musik lain mulai dibuat, seperti dipadukan dengan jazz, keroncong, dangdut dan lagu barat. “Setelah belajar tentang instrumen Gambang Semarang

Soeket Teki Bicara

dan sejarahnya, yang unik itu terdapat pada musiknya. Saat itu genre musik Gambang Semarang seolah mengikuti selera pemimpinnya.” ujar Raka yang juga anggota GSAC. Selanjutnya pada tahun 1974 generasi ketiga terbentuk Sentro Gambang Semarang yang digawangi oleh beberapa tokoh, seperti Jayadi, Sunoto dan Bah Kalud. Pada masa ini pula Gambang Semarang mendapat pengesahan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng tahun 1979 sebagai kategori kesenian rakyat. Pentolan GSAC Tri Subekso menceritakan, Sentro Gambang Semarang yang dipimpin oleh Jayadi menjadi salah satu patokan kesenian Gambang Semarang. Kesenian ini mulai hidup sebagai satu jenis kesenian yang cukup digemari, mereka pentas dari gang ke gang, kampung ke kampung, mengisi acara di klenteng, kemudian menerima banyak tawaran dari dalam hingga luar kota. “Sayangnya, setelah pak Jayadi wafat, Sentro Gambang Semarang seperti kembali mati suri dan entah kapan akan kembali hidup,” kata Tri. Ia juga membeberkan bahwa GSAC menjadi salah satu komunitas yang masih aktif dan memiliki tujuan, di antaranya membuat karya-karya baru dan mengenalkan budaya asli Semarang kepada semua orang agar kesenian itu tetap hidup dan berkembang hingga sampai ke masa depan.n

Sastra dengan Rasa

Nurul Fitriyanti


Cerita Pendek

Raungan Kepedihan n Rizkyana Maghfiroh

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

7


Rizkyana Maghfiroh - Raungan Kepedihan

W

aktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kendaraan masih berlalulalang seiring beberapa wanita molek mulai bermunculan, menanti sapa di sepanjang jalan. Beberapa kendaraan tampak menepi, terpincut oleh rayuan maut. Hanya dengan sekali "Ssttt...", tidak mereka pedulikan anak bini di rumah yang masih setia menanti. Meski sudah berulang kali terkena razia Satpol PP, nyatanya tak menyurutkan semangat mereka untuk menjajakan diri. Bertarung melawan harga diri demi dapat mengais pundi-pundi. Dibanding Satpol PP, ada satu orang yang kedatangannya menjadi petaka bagi para Wanita Matik. Sekali pelotot, mereka terbirit ketakutan. Suaranya tidak lantang, bahkan setiap tutur yang keluar dari mulutnya lebih terdengar seperti gumaman. Namun, bak sihir, setiap aura yang keluar dari indranya mampu membuat Wanita Matik kehilangan nyali. Dia bernama Ciblek. Wanita berusia separuh abad. Konon katanya, nama tersebut disematkan kepadanya karena fisiknya yang cilik, pendek, elek. Ada juga yang mengatakan karena kedua matanya belok, tampak selalu melotot dan jarang berkedip, orangorang lantas menyebutnya Ciblek, yang merupakan akronim dari cilik-cilik betah melek. Entah filosofi Ciblek pertama atau kedua yang benar. Yang jelas, Ciblek adalah pawang dari para Wanita Matik yang selalu mangkal di sekitar stasiun mulai pukul sembilan malam. Itulah yang akhirnya menjadi alasan Miranti berada di gang sempit sekarang. Sambutan dari perpaduan bau pesing dan bacin yang menguar dari comberan berhasil membuat Miranti mengumpat. Namun, tak lantas membuatnya menyerah untuk mencari tahu siapa Ciblek sebenarnya. Ketika mendengar nama Ciblek, orang akan otomatis memvisualisasikannya dengan pakaian kumal dan sobek di beberapa bagian, kulit cokelat mengilat seperti terguyur minyak jelantah, sepasang mata belok, dan bau apak. Tidak ada sisi sangar sama sekali. "Heiho! Hua! Hei! Hei!" gumam Ciblek yang selalu disertai pelototan ketika meminta Wanita Matik pulang. Tidak jelas apa maksudnya. Namun, selalu berhasil membuat mereka terbirit meninggalkan lokasi. "Sial, dia mengerjaiku! Sudah jauh-jauh ke sini, eee malah ditinggal tidur!" umpat Miranti ketika sosok yang ia ikuti sedari tadi lenyap di balik pintu, tertelan oleh kegelapan beberapa saat kemudian.

8

Soeket Teki Bicara

Sembari bersungut, Miranti menegakkan badan; bersiap pergi. Namun, belum sempat melangkah, gerakan kaki Miranti tertahan oleh pekikan lantang. Ia tidak paham setiap kata yang terdengar, tapi Miranti bisa mendengar dengan jelas ada luka yang berusaha meringsek keluar melalui lengkingan suara itu. Ada sesak yang mencoba membobol bibir yang selama ini bungkam. Ada dendam yang nekat memecah keheningan malam. "Hey, sedang apa di situ?" Suara serak basah terdengar mengejutkan. Miranti menoleh, menatap tanpa ekspresi pria berkumis lebat yang sudah berdiri di belakangnya. "Berani sekali kamu datang ke sini dengan pakaian mini. Mau cari mati?" Miranti menggeleng, meski tak sepenuhnya paham maksud pria itu. "Kalau Ciblek melihatmu, bahaya. Cepat pergi!" Belum sempat Miranti memberi tanggapan, lengkingan pilu kembali terdengar. Miranti menoleh, kemudian membagi pandang pada pria berkumis lebat yang ketahuan mencuri pandang pada buah dadanya yang tambun. Miranti tak acuh. Tapi ia menuntut penjelasan lebih mengenai suara itu. Pria berkumis rimbun yang sadar telah terpergok, berusaha mengendalikan diri. "Kalau mau tahu, besok pagi kembali ke sini." Lengkingan ngilu terdengar lagi. Miranti menimbang sebentar, masih ragu dengan usul pria berkumis lebat. Akhirnya, ia menurut pulang, membawa sebongkah tanda tanya yang haus akan jawaban. **** Srintil. Usianya baru menginjak 14 tahun ketika sang ayah menyuruhnya bekerja. Ia tidak berani protes, sebab sedari kecil, ia dididik menjadi anak yang penurut dan tidak boleh membantah perkataan orangtua. Malam itu, bersama sang ayah, ia berjalan menuju sebuah rumah yang didominasi warna merah. Bau ciu sudah semerbak tercium meski posisinya berjarak sepuluh meter. "Nduk, Bapak antar sampai sini. Kamu langsung masuk saja. Bilang, mau bertemu dengan Koh Liem, mengerti?" Melihat anggukan anak sulungnya, pria paruh baya itu tersenyum lega. Ia memegang kedua pundak putrinya. Memberi wejangan sebelum benar-benar melepasnya. "Dengarkan kata bapakmu ini. Kamu tidak boleh menangis. Ingat adik-adikmu di rumah, ingat ibumu Sastra dengan Rasa


Rizkyana Maghfiroh - Raungan Kepedihan

yang sedang sakit, kamu harus membuang jauh rasa malu dan air mata demi mereka." Setelah itu, tanpa peluk atau ucapan perpisahan, seorang anak telah resmi ditinggalkan ayahnya. Ia sempat takut dan ragu. Namun, kalimat terakhir ayahnya menjadi motivasi untuk terus melangkah, demi Ibu dan adik-adiknya. **** Sri terkejut mendapati seisi ruang tamu yang rapi dan sepi. Tidak ada segerombolan pria yang sedang pesta miras seperti dugaannya. Begitu masuk, ia disambut oleh laki-laki gundul berkulit putih dengan kumis lele yang melambai. Seperti perintah sang ayah, ia mengatakan ingin bertemu Koh Liem. "Hayya ... Liem? Itu nama owe." Laki-laki itu tertawa hambar. "Siapa namamu?" Setelah sekilas mengomentari penampilan Sri, Koh Liem lagsung menggiring Sri ke belakang. Sepanjang perjalanan, mata Sri memindai setiap daun pintu yang menghiasi lorong yang ia lewati. "Mungkin ini hotel milik orang Cina," batinnya, menguatkan diri. Setelah melewati tirai merah, ia memasuki ruangan lebar yang berisi banyak wanita. Jika tidak salah mengira, usia mereka berada di atas Sri. Di ruangan ini, hanya Sri yang berkulit sawo matang, bermata belok, dan bertubuh kecil. Koh Liem menyerahkan Sri kepada salah satu wanita. "Siapa nama Kakak?" Sri mencoba beradaptasi. Wanita yang ditugasi mengurus Sri, melirik sekilas. "Panggil aku Lynn," jawabnya dengan aksen Tiongkok. "Kak Lynn, pekerjaan apa yang bisa saya lakukan?" "Kau akan jadi pelayan," jawab Lynn. Singkat. Sri semringah mendengarnya. Setiap hari, ia yang mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Mencuci baju dan piring, memasak, membersihkan rumah, menghidangkan suguhan untuk tamu Bapak. Ini adalah pekerjaan yang mudah! "Pakai ini!" Lynn menyerahkan pakaian berwarma merah dengan hiasan pita emas di beberapa bagian. Dahi Sri berlipat, tapi ia tetap menerima. Mungkin memang itu seragam kerjanya. Sebagai anak baru, ia harus menuruti apa kata Lynn dan Koh Liem. Toh, ia tidak berani membantah perkataan orang yang lebih tua darinya. Setelah memakai "seragam" yang tampak kebesaran, Sri duduk diam di ambin, menyerahkan diri kepada Lynn untuk didandani. Tidak terlalu menor,

Soeket Teki Bicara

menyesuaikan dengan usia dan wajah Sri yang memang sudah cantik. "Kau tadi melihat banyak pintu?" Sri mengangguk mantap. "Hush! Jangan banyak bergerak, nanti berantakan!" Sri meringis, kembali menjaga sikap. "Setelah ini, kau lewati lorong tadi. Masuk ke kamar 105." "Saya bertugas membereskan kamar?" "Kamar dan isinya." "Jangankan kamar 105, seluruh kamar pun saya bisa." Sri berseru mantap. Sementara itu, Lynn tertawa penuh arti. "Kenapa begitu?" Tanpa keraguan, Sri mengatakan, "Semakin banyak kamar yang saya bereskan, semakin banyak uang yang saya bawa pulang." "Betul, kau mau membereskan semuanya?" Sri mengangguk. Lynn tampak menimbang. "Baiklah. Kau urus kamar 105 dulu. Yang lain, biar nanti aku pikirkan." Senyum di wajah Sri semakin mengembang. Sejarah tak pernah luput mewartakan, orang Cina adalah kiblat kesuksesan. Dan sekarang, ia bekerja pada orang Cina. Tidak bisa ia bayangkan seberapa banyak uang yang akan ia peroleh sepulang dari sini. Selesai dirias, Lynn menyuruh Sri lekas memasuki kamar. Tatap dari beberapa pasang mata mengiringi kepergian Sri. Seperti dugaannya, kamar 105 amat berantakan. Selimut dan bantal berserakan. Beberapa pakaian dalam turut menghiasi lantai. Bau minyak menyengat cupingnya. Mumpung masih kosong, karena Sri pikir penghuninya sedang keluar, Sri segera membereskannya. Dengan cekatan, tak lebih dari lima belas menit, ia menyulap kamar 105 menjadi rapi dan nyaman. Saat membalikkan badan, bersiap keluar, mata Sri menangkap cermin besar yang dipasang di dinding. Ukuran cermin itu bahkan lebih besar dari tubuhnya. Dan saat itu pula, Sri menyaksikan dirinya sudah berubah. Bukan lagi anak gadis Ibu yang kalem dan pendiam. Bukan lagi anak Bapak yang selalu digembleng untuk menjaga penampilan. Bukan lagi anak sulung yang sibuk merawat adik dan rumah sehingga tidak memiliki waktu untuk merias diri. Dalam tangkapan cermin, Sri bermetamorfosis menjadi gadis dewasa. Ia bahkan baru sadar, pakaian yang ia kenakan terbuat dari kain tipis yang dengan sekali tatap, tampak seluruh lekuk tubuhnya. Sri pun baru menyadari, tubuhnya berbeda dari sebayanya. Bagian dadanya lebih menonjol, pinggulnya

Sastra dengan Rasa

9


Rizkyana Maghfiroh - Raungan Kepedihan

membentuk lengkungan sempurna, wajahnya mulus tanpa jerawat, mata beloknya menyiarkan aura ceria, ditambah dengan lubang di masing-masing pipi. Meski tubuhnya kecil, tapi termasuk "sempurna". Tanpa sadar, Sri melebarkan senyum. Ia mematut dirinya sendiri dalam cermin, mengagumi bayangan di hadapannya. Sri bahkan lupa, pakaian di tubuhnya sudah menyalahi norma yang selama ini Ibu ajarkan. Sri bangga dengan tubuh eloknya. Hingga tanpa disadari kehadirannya, sepasang tangan melingkari perut Sri dari belakang. Sri terkejut bukan main. Siapa gerangan yang berani memeluknya? Selama ini, ia berusaha keras agar tidak tersentuh pria sembarangan. "Siapa kamu?!" Sri dapat melihat wajah pria itu dari cermin. "Lepas! Lepaskan saya!" "Ada apa, Sayang? Hm? Jangan takut." Pria itu semakin menjadi-jadi. Seolah tak memahami ketakutan Sri, dia malah menciumi, menjilat, dan mengisap tengkuknya. Membuat si empu meremang. Sri tidak menyerah. Ia terus mencoba menyelamatkan diri. Menggeliatkan tubuh mungilnya yang terpenjara dalam sangkar sepasang tangan kekar. "Saya kemari untuk bekerja. Saya dibayar sebagai pelayan!" "Apa? Kau bilang apa?" "Saya dibayar untuk menjadi ... pelayan." Sri memelankan suara begitu menyadari makna "pelayan" yang Lynn maksud tadi. Sebelum Sri meraih kesadarannya kembali, pria di belakang Sri sudah bertindak lebih jauh. Tubuhnya yang tinggi kekar, agak kesulitan merengkuh Sri yang mungil. Tangan kekarnya perlahan turun, menyibak ujung gaun. Digerayanginya setiap inci tubuh Sri. Dari paha, vagina, hingga buah dada. Dan Sri yang baru pertama kali mengalami, seketika lemas. Tubuhnya kehilangan daya. Antara terkejut, tidak siap, dan kecewa dengan keputusan ayahnya. Tubuh Sri yang semakin kehilangan kekuatan tentu menjadi kemenangan bagi pria itu. Sri terlanjur kecewa, pikirannya kalut. Ia tidak menolak ketika pria itu mengangkutnya ke atas ranjang. Menanggalkan helai demi helai pakaian, menjilat, mengisap, dan merenggut mahkota yang selama ini Sri jaga. Sesekali Sri melenguh, menyebabkan berahi pria di atasnya semakin membuncah. Sri tidak menangis, seperti janjinya pada Bapak, ia tidak akan membiarkan air mata jatuh barang setetes pun. Pria yang tidak Sri ketahui namanya itu, dengan beringas membungkam mulut Sri. Tidak memberinya

10

Soeket Teki Bicara

kesempatan untuk menjerit, meminta tolong, memaki, atau apapun itu. Padahal, Sri sendiri tidak berniat demikian. Hatinya terlanjur terluka, tubuhnya terlanjur kecewa. Ia tidak memiliki daya untuk mempertahankan diri. Yang bisa ia lakukan hanya menutup mata dan telinga. Berharap setelah ini ia amnesia agar tidak perlu mengingat malam terburuk sepanjang hidupnya. Atau, mati pun tak apa. Untuk apa pula ia hidup? Orang tua yang selama ini menjadi tempat ia berpijak pun, tak lagi peduli dengannya. Hingga kemudian, lengkingan pilu itu keluar tepat ketika keperawanannya direnggut secara beringas. Dan lengkingan itu terus berlanjut hingga pagi, ketika Lynn mengabulkan permintaannya tadi. Sri harus melayani setiap penghuni kamar. Berhubung kondisi Sri tidak memungkinkan, "mereka" yang akhirnya berkunjung ke kamar 105. Dengan senang hati antre demi menikmati tubuh Sri. **** "Pergi!" bentak salah seorang satpam. "Kau tidak bisa naik tanpa tiket!" Tak peduli, wanita berambut panjang itu berusaha melawan. Setiap hari yang ia lakukan adalah duduk bersandar di pilar. Ketika kereta datang, ia berlari menuju gerbong. "Tolong! Tolong aku! Nyonya, tolong saya! Tolong!" teriak wanita itu, entah kepada siapa. Tidak ada yang menoleh. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, jika tidak mendapat perintah dari atasan pun, para satpam yang berjaga malas mengurusi wanita kumal pembawa onar itu. "Jangan sentuh! Saya tidak sudi! Saya ingin pergi, lepaskan ... Lepas!" Wanita itu terus berteriak. Tapi sekali lagi, tidak ada yang peduli. Hingga suatu ketika, karena kehabisan kesabaran, salah seorang satpam nekat membopongnya. Membawanya ke luar area stasiun, menuju gubuk tua yang sudah tak berpenghuni. "Kau! Kau tidak bisa menahan saya. Biarkan saya pergi!" PLAK! Tangan kekar satpam mendarat di pipi wanita itu. Membuatnya bungkam seketika. Tak berhenti sampai di situ, satpam mendorong tubuhnya hingga membentur dinding dan lantai. Tanpa rasa kemanusiaan, satpam menginjak tangannya, menarik kerah pakaian hingga ia tercekik. Dan dari sakit yang diderita, akhir perlakuan satpamlah yang paling membekas. Lagi-lagi ia harus Sastra dengan Rasa


Rizkyana Maghfiroh - Raungan Kepedihan

menyerahkan harga diri. Kali ini, dengan proses yang lebih kasar, penuh luka dan raungan. Setelah puas, satpam meninggalkan wanita itu. Membiarkannya terkutuk oleh perasaan dan pikirannya sendiri. Merutuk pada semesta yang telah membiarkan orang-orang biadab tetap hidup dan menghancurkannya. Sekelebat wajah Bapak muncul dalam benak, membuatnya muak. Berlanjut sosok ibu dan adik yang silih berganti menyayat hati. Saat kerinduannya menyeruak, senyum penuh kemenangan dari para keparat membuatnya tergugu. Salah apa ia hingga dihukum sebegini pedihnya? Setiap hari, yang ia lakukan hanya memeluk lutut di pojok ruang. Sengaja tak mencari makan, tidak ada lagi harapan baginya untuk melanjutkan kehidupan. Rambutnya yang kian memanjang menjadi media pelampiasan diri, ia jambak tanpa henti. Kulitnya semakin kusam, tak terawat. Sesekali satpam stasiun berkunjung membawakan makan, untuk kemudian disetubuhi tanpa perasaan. Setiap pukul sembilan malam, Sri meraung kesakitan. **** Tiga insan yang duduk melingkar, menahan napas selama beberapa saat. Tidak ikut mengalami, namun bisa merasakan sesak yang teramat dalam. "Dialah Sri. Gadis yang dipaksa melayani dua puluh lima pria dalam semalam. Tanpa ampun, tanpa jeda. Demi membayar utang orang tuanya." Pak Min, tetua kampung yang sekarang duduk di hadapan Miranti dan Bambang (pria yang semalam bertemu dengan Miranti), menerawang jauh ke masa silam. "Setelah malam itu, ia berjanji tidak akan pulang ke rumahnya. Mulai malam itu, rumahnya tidak lagi berfungsi sebagai "rumah"; tempat pulang. Ia merasa hina, tidak berani menunjukkan diri di depan adikadiknya. Ia sendiri bingung, ke mana harus pergi. Yang ia lakukan setiap hari hanya duduk di sudut stasiun, entah menunggu siapa. "Semakin hari, tingkahnya semakin tidak wajar. Ia mulai meracau, setiap malam berteriak, mengusir setiap wanita yang berniat menjajakan diri. Hatinya yang terlanjur hancur, tidak siap menerima kenyataan bahwa ternyata ada “anak lain” yang dijual orang tuanya kepada para lelaki pengabdi nafsu. Setiap melihat wanita yang masuk ke mobil, kemudian melaju ke hotel melati, amarahnya memuncak. Mungkin teringat pada kejadian di malam paling kelam yang pernah ia alami."

Soeket Teki Bicara

Miranti sadar, di balik kulit kusam dan dekilnya, Sri menyimpan aset yang diidamkan banyak wanita. Hanya saja, aset itu terselimuti oleh penampilannya yang awut-awutan dan bau penguk di tubuhnya. "Kalau memang dulunya cantik, kenapa dia disebut Ciblek? Bukankah arti Ciblek itu cilik, pendek, elek?" Miranti memberanikan diri bertanya. "Arti seperti itu muncul baru-baru ini. Ciblek yang sebenarnya dimaksud adalah Cilik-cilik Isa Digemblek, meski kecil, baik usia maupun tubuhnya, ia bisa memuaskan banyak pria. Membuat mereka lupa kalau sudah memiliki keluarga." Bambang, yang sedari tadi khusyuk mendengarkan, akhirnya ikut menimpali. "Di Jawa, Ciblek itu nama burung. Saat itu, banyak orang yang mencari burung Ciblek untuk dijual. Laku keras. Jenis burung ini mudah dijinakkan melalui cermin yang dipasang dalam sangkar, Ciblek tertarik dengan bayangannya sendiri. Mungkin, kebetulan apa yang dialami Sri sama dengan ciri-ciri burung Ciblek." Miranti merenung. Membayangkan betapa hancurnya Sri malam itu. Sekarang, ia justru dengan senang hati menyerahkan diri pada sembarang lelaki. "Sri trauma, tapi siapa yang peduli? Bapaknya marah karena Sri kabur dan Koh Liem tidak mau memberi uang yang dijanjikan. Sri terlantar. Warga sekitar yang tahu, ikut merasa geram, kecil- kecil kok sudah melacur." Miranti membagi tatap antara Pak Min, Bambang, dan seonggok daging yang menyembul keluar dari bagian atas kemeja yang sengaja tidak ia kancingkan. Perasaan bersalah dan menyesal, tiba- tiba menyelimuti hatinya. "Tapi ... dari mana Pak Min tahu masa lalu Ciblek?" "Eh, iya, dari mana Bapak tahu?" Seolah baru menyadari, Bambang ikut penasaran. Kini giliran Pak Min yang mematung. Beberapa detik berlalu. Miranti masih setia menunggu jawaban, sementara Bambang mencoba mendesak. "Karena aku adalah salah satu pria yang menikmati kepiluannya malam itu." Hening. Sepasang burung peranjak bertengger di ranting pohon depan rumah Pak Min. Ceracauannya menjadi pengisi latar atas kesunyian tiga insan yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.n Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki

Sastra dengan Rasa

11


Puisi

Negara yang Dikutuk Pemabuk Selamat datang di negara yang dikutuk para pemabuk Kau akan mendapati para tikus berdasi bebas melenggang kesana kemari Dibalik dinding benteng-benteng tua Kakimu kehilangan jejak Kau lihat? Iya, para pemabuk yang tentunya sudah lupa diri Selamat datang di negera yang dikutuk para pemabuk Inilah negara dimana para kuli letih bergelatakan dengan butir-butir air mata Diterpa berbagai regulasi mencekik bertubitubi Dan kau pun kehilangan gairah Malammu semakin rapuh Selamat datang di negara yang dikutuk para pemabuk Dikejauhan terdengar riuh tawa para bedebah sedang bersulang dikursi-kursi pemerintahan Namun, siapa peduli dengan celoteh kaum jelata Makin lusuh Makin rapuh Makin melata Berkawan debu diaspal-aspal jalan Widya Rachmawati Lahir di Magetan, 28 Oktober 2001, mahasiswa UIN Walisongo. 12

Soeket Teki Bicara

Raib Beribu jengkal terukir jejak Beribu tapak ia titipkan pada jarak Beribu riak tak sempat berteriak Tak ada jawaban….. Ia bersua di sudut mimbar Biar dahan-dahan pohon cadar dengar Biar hati redam dari gusar Tetap tak ada kabar Hanya bising gema yang saling menyambar Lalu ia menata kata diperumpun bait Membungkusnya dengan pijar mentari terbit Melepasnya di awang awang langit Bisikan burung membuat ia bangkit Bahwa kau telah raib Kini ia serupa rumput jalang Berteman padang ilalang yang bergoyang di ladang Mendengkur masa yang telah dikenang Kau telah hilang…..

Dia Atun Munawaroh Lahir di Tegal, 2 Juni 2000, mahasiswa UIN Walisongo. Sastra dengan Rasa


Garis yang Kubuat Garis yang kubuat Meniadakan dekat Mengadakan jarak Garis yang kubuat Melebarkan prasangka Menyusutkan pemahaman Namun dalam garis aku terlindung Terlelap tertidur Nyaman dalam kesendirian Dalam kesepian aku butuh teman Dalam keramaian aku terurai Merindukan sepi Garis yang kubuat Menyadarkanku Kericuhan serta sunyi Hanyalah bagian kecil dari kehidupan Garis yang kubuat Memberi tahuku Kebenaran dan kepalsuan Hal yang biasa dalam kehidupan Garis yang kubuat Menunjukkan padaku Mereka yang tetap tinggal Dan mereka yang pergi Jangan paksa aku…. Menghapuskan garisku…. Bila kamu bersabar akan ku bukakan pintuku Semarang, 2021 Wulan Mustika Sari Lahir di Wonogiri, 16 Mei 2000 , mahasiswa UIN Walisongo.

Soeket Teki Bicara

Isyarat Rindu Euforia memecah keheningan malam itu Riuh namun terasa sepi Angin malam yang membawa kabut pekatnya Menusuk rusuk memeluk jiwa dengan erat Amigdala terselimuti oleh kabut rasa takut Mendekap jiwa-jiwa yang bertaut pada kata rindu Menenangkan kalbu atas rasa cemas dan khawatir Merasuki pikiran dengan beribu tanda tanya Rindu... dapat kupastikan itu memang rindu Yang tanpa sengaja membuat air menetes dari pelupuknya Mengisyaratkan pada semesta bahwa jiwa sedang tidak baik-baik saja Hati ditikam, otak dirombak dan mulut dipaksa bungkam Lalu hanya mata yang dapat berisyarat dengan tetesan airnya Seolah binarnya berteriak, aku rindu!. Annisa Maharani Lahir di Semarang, 15 Maret 2001, mahasiswa UIN Walisongo. Sastra dengan Rasa

13


KAJIAN

F

Pertarungan Sastra dalam Menguak Kebenaran

ungsi sastra, dalam setiap zaman tidaklah berubah. Ia hadir sebagai pembongkar ketabuan dan mitos di tengah-tengah masyarakat. Sastra bergerak menyelinap hingga ke titik di mana mitos tak tersentuh oleh zaman. Berlayar mengarungi samudra tempat bertiupnya badai wacana-wacana yang saling bertentangan dan tiada habisnya. Dalam perjalanannya, tak ada aturan baku bagi sastra untuk berjalan ke arah yang cenderung romantik dan sibuk dengan estetika kata. Terkadang, sastra juga bergerak melawan

14

segala bentuk penindasan dan ketidakadilan orang-orang teraniaya. Menelaah karya sastra Seno Gumira Ajidarma, ada banyak karya miliknya yang menggambarkan tentang ketidakadilan dalam realitas sosial di masyarakat hingga sistem pemerintahan di Indonesia. Ini akan membuka cakrawala pengetahuan dan pemikiran kita tentang suburnya penyimpangan realitas di kehidupan sosial. Seno menyatakan bahwa realitas sosial adalah bagian dari kehidupan, di mana seorang

Soeket Teki Bicara

(Dok. Internet)

sastrawan harus peka terhadap segala hal (Ashsyahiddin; 1995:52). Karya Seno dalam kumpulan cerpen yang pertama tentang Manusia Kamar misalnya, seperti Cerpen Selamat Pagi Bagi Sang Penganggur, dan Katakan Aku Mendengarnya, tema-tema dalam kumpulan cerpen tersebut berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. (Cahyono, 1998:8). Melalui kumpulan cerpen ini Seno ingin mengetengahkan sinisme terhadap kepalsuan duniawi. Dalam cerita juga terlihat, bukan hanya si manusia

Sastra dengan Rasa


Agus Salim I - Pertarungan Sastra dalam menguak Kebenaran

kamar yang merasakan hal tersebut. Kawan satu-satunya dalam cerita itu pun merasakan hal serupa. Hal ini nampak dalam ungkapannya ketika malam-malam mencari si manusia kamar. “…Tak terasa sebetulnya aku mendapatkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga. Malam memang menyingkap kepalsuan. Di balik kekelaman itu, topengtopeng dibuka dan bentuk asli yang serba gombal itu pun bisa kutangkap, kekelaman seperti memberi perasaan aman dan terlindung. Bisa kudengar bisikbisik sekongkol politik, kasak-kusuk para penyebar gosip. Bisa kulihat para penipu diri beraksi. Antara strip-tease dan lonceng gereja, antara penggarongan dan azan subuh, antara perzinahan terbuka dan perzinahan tertutup…” Selain manusia kamar, karya Seno lain yang dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari adalah beberapa cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi yang bercerita tentang kehidupan masyarakat di perkotaan. Meskipun kota terkenal dengan segala kemajuannya, namun masyarakatnya masih memiliki problem. Cerpen ini menceritakan seorang perempuan yang disalahkan penduduk di sekitar tempat tinggal akibat ulahnya menyanyi di kamar mandi, yang membuat lelaki berpikiran negatif tentangnya. Bahkan, usai perempuan diusir pun, tak lantas membuat lelaki berpikiran lain. Lelaki itu masih berpikiran sama terhadap perempuan tersebut.

Seno mengungkapkan bahwa, cerpen-cerpen yang ia tulis ditujukan untuk menyindir pemerintah orde baru yang terlalu takut dengan pikiran seseorang yang membuat orang lain merasakan akibat yang seharusnya tak perlu dirasakan. Seperti wanita dalam cerpen yang memang tak mempunyai maksud tertentu dengan bernyanyi di kamar mandi. (Tabloid Bintang Indonesia, 2004). Cara Seno Mengkritik Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berekspresi hingga kritik terhalang oleh semacam tirai yang sengaja dipasang elit-elit penguasa. Dari zaman orde baru hingga pasca kemerdekaan, suara-suara sumbang kritikan seolah tertutup rapat. Akan tetapi, Seno mampu berkata lain. Ia berusaha menampilkan berbagai fakta (baca: mengkritik) melalui karya fiksi. Seno dalam esainya Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran yang dimuat harian Kompas tanggal 3 Januari 1993, menulis frasa yang gaungnya masih terdengar hingga kini: “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila urnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik,

Soeket Teki Bicara

untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tertahankan.” Dalam kutipan yang kemudian menjadi judul buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara yang terbit tahun 1997 tersebut, Seno memberikan keyakinan pada sastra untuk melawan ketika jurnalisme dibungkam. Sastra sebagai media ekspresi yang dipercayai sebagai kebenaran yang tak tergugat dan tak tertahankan diberikan tugas khusus untuk melawan. Buah dari kritikan Seno itu, tertuang dalam beberapa kumpulan cerpen dan novelnya. Misalnya, dalam Trilogi Insiden (Saksi Mata, Jazz, Parfum, dan Insiden serta Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, 2006), Pelajaran Mengarang (1993), Dunia Sukab (2016), Negeri Senja (2003), Kitab Omong Kosong (2004), Drupadi (2017). Bahkan, Trilogi Alina (Sepotong Senja untuk Pacarku, 1991) ( Jawaban Alina dan Tukang Pos dalam Amplop, 2001) yang notabene berkisah seputar dunia percintaan pun tak luput menjadi santapan kritikan Seno. Dalam menyampaikan kritik tajamnya kepada penguasa, Seno bergerak melalui tulisantulisannya. Balutan kalimat Seno dengan bahasa yang lugas selalu bisa diikuti pembaca dengan enak. Meskipun pada akhirnya

Sastra dengan Rasa

15


Agus Salim I - Pertarungan Sastra dalam menguak Kebenaran

(Dok. Internet)

mengajak pembaca ke sebuah kisah suram. Meninggalnya seseorang dengan tidak wajar, kondisi sosial yang mengenaskan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Andy Fuller dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma (2011), Seno dalam kritiknya menggunakan empat Teknik. Pertama, teknik mikronaratif. Seno meramu sastra melintasi pandangan biasa. Sederhana namun berbobot, walaupun kadang tak kelihatan sastrawi dan lebih bercorak laporan reportase. Kedua, pembangunan identitas karakter yang labil dan tak koheren. Sebagai contoh, penokohan Sukab yang secara intens dipakai Seno dalam cerpennya. Pelbagai macam perawakan (muda/ dewasa/tua/mati, kaya/miskin/ biasa, dan lainnya) yang dinamai Sukab. Bahkan dalam pandangan umum, nama yang tak lazim bagi

16

masyarakat Indonesia ini begitu populer ketimbang lainnya. Ketiga, teknik metafiksi yang dibadani dengan tuturan fiksi yang bersifat sadar diri. Elaborasi Seno lebih ditujukan pada proses penyadaran makna yang dikandung dan disampaikan cerita. Dan keempat, teknik olah citra dan cerita dari khazanah sastra populer. Di mana, budaya populer sekali lagi menjelmakan karya Seno sebagai rasa sastra pop pertama Indonesia. Segmentasi populer di sini menjadikan buruan banyak kalangan (dari kecil hingga tua) dari kelas apapun (dari yang miskin hingga kaya), semuanya mampu mencerna. Cerpen Bergaya Jurnalisme Sastrawi Sebagai cerpenis, novelis, jurnalis, sekaligus akademisi, Seno merasa bertanggung jawab untuk menghadirkan dokumen (kebenaran) dalam

Soeket Teki Bicara

bentuk pergulatan fakta dan fiksi. (Ajidarma, 2005). Namun, penyajian kisah maupun deskripsi yang dituangkan Seno memiliki keunikan tersendiri. Meskipun sebenarnya adalah karya fiksi, beberapa karyanya memadukan antara unsur fakta dengan unsur fiksi yang membuatnya terlihat seperti karya jurnalisme sastrawi. Pencetus jurnalisme sastrawi, Tom Wolfe dan E.W. Johnson menyebut jurnalisme ini seperti novel. Dalam kata pengantar dari buku antologi narasi jurnalistik berjudul The New Journalism, Wolfe dan Johnson menulis, genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh

Sastra dengan Rasa


Agus Salim I - Pertarungan Sastra dalam menguak Kebenaran

dengan detail. Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Dalam kumpulan cerpen Saksi Mata misalnya, Seno mengajak pembaca untuk mengungkap fakta kekerasan konflik di Timor Leste dalam bentuk cerita yang seolah-olah fiksi tanpa menyebut nama tempatnya langsung. Lalu, pada cerpen Insiden Dili¸ dalam hal ini, adalah “darah”. Kata darah berulang kali muncul dalam laporan jurnalistiknya Seno, demikian juga dalam Saksi Mata. Fakta lain yang disembunyikan Seno dalam cerpennya adalah “ninja” yang muncul sebagai orang-orang yang mencungkil mata si saksi mata Fakta yang merupakan pernyataan tentang realitas atau kenyataan dapat disampaikan dengan berbagai cara yang berbeda. Namun, kebenaran di dalamnya dipengaruhi oleh subjek penyampai yang memiliki perspektif tertentu. Dalam kasus yang dialami Seno Gumira Ajidarma, misalnya, ia dapat menyampaikan fakta mengenai Insiden Dili yang terjadi pada 12 November 1991 dengan dua cara yang berbeda, yakni melalui jurnalisme dan karya fiksi. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Fakta di dalam jurnalisme disembunyikan (dibungkam) karena berbagai kepentingan, sedangkan kebenaran di dalam karya fiksi

hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap pembungkaman itu. Genre Tulisan yang Beragam Roland Barthes yang dikenal sebagai pelopor ilmu Semiotika menyatakan bahwa ketika teks terlahir, maka pengarang cum penulis itu telah mati (baca: sudah terputus atau tidak terkait dengan teks yang dibuatnya). Yang hidup setelahnya adalah pembaca. Begitu pula Seno Gumira Ajidarma, dengan totalitasnya untuk berkarya, ia tidak memikirkan genre tulisannya. Tentang karyanya, ia menyerahkan kepada pembaca bagimana menilainya, yang jelas ia tetap menulis dan berkarya dengan segala kesulitannya. Seno dengan dunia Sukab yang diciptakannya, dengan fakta yang disamarkan didalam tulisannya tentang politik, dan dalam cerita-cerita saat ia mengagumi senja, tetap selalu menjadi karya yang ditunggu penikmat sastra. Karyanya yang begitu detil dan nyata penggambarannya berhasil membuat pembaca menunggu setiap karyanya. Selain Eka Kurniawan yang banyak dikenal dengan genre realis-magisnya, Seno telah lebih dulu mengusung realis-magis. Okky Madasari dalam buku Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan (2019), menyebut cerpen Saksi Mata dengan penceritaan yang mengaburkan batas-batas mimpi

Soeket Teki Bicara

dan kenyataan, Seno menggugat kebrutalan militer Indonesia di Timor Leste. Cerpen ini ditulis—menurut catatan Seno— pada 1992 dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen pada 1994, masa-masa saat kuku kekuasaan Orde Baru masih tajam. Garagara ini pula, Seno dicopot dari posisi pemimpin redaksi di majalah Jakarta. Meski begitu, Seno tak hanya menulis karya-karya yang bernada sosial-politik yang menghantam penguasa orde baru. Ada sejumlah cerpen yang bersifat surealis romantis, seperti cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku, Jawaban Alina, dan Tukang Pos dalam Amplop. Tak jarang Seno menyajikan karyanya dengan gaya metropolitan bahkan seperti ‘keluar’ dari sastra. Tetapi Seno dalam salah satu seminarnya dalam unggahan video di channel Youtube Ribut Achwandi tak terlalu memikirkan penilaian pembaca tentang karyanya pantas disebut karya sastra atau bukan. Seno dianggap serba bisa di dalam dunia sastra karena kepiawaiannya dalam menulis. Ia tak hanya melulu menulis sesuatu yang berbau politik, tetapi juga yang menyangkut persoalan orang banyak. Seno pun punya semangat untuk mempelajari semua genre penulisan, agar ia bisa memenuhi keinginan orang banyak. Ia suka disebut ‘tukang nulis’ karena ia menulis sesuai kebutuhan yang dibutuhkan orang.

Sastra dengan Rasa

Agus Salim I

17


KAJIAN

Misteri Sukab, Alina dan Senja

(Dok. Internet)

Belakangan, kita makin sulit menemukan karakter tokoh ‘kuat’ dalam cerpen. Karakterisasi yang terkadang membuat pembaca yakin bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang sungguhsungguh hidup dan nyata. Tokoh yang bisa disentuh. Tokoh yang berdarah daging, dengan seluruh denyut kehidupan mereka yang kuat. Tetapi mereka bukanlah tokoh-tokoh yang memiliki karakterisasi yang kuat, atau setidaknya seperti yang dinyatakan Goenawan Mohamad, “tokoh yang mampu untuk tersisa dalam kenangan setelah kita selesai membacanya”. Fenomena ini, disebut Agus Noor dalam artikel Tokoh yang Menghilang dalam Cerpen

18

yang dimuat di harian Kompas edisi Minggu, 24 September 2006, hal 28 sebagai konsepsi antitokoh yang membawa pada konsekuensi dalam hal penokohan, yakni bagaimana cara tokoh-tokoh itu tak terlalu dihadirkan secara detail dalam cerita. Ketika tokoh tak terlalu hadir dalam cerita, maka yang lebih menggejala kemudian adalah alur dan suasana. Jika ditelaah secara teliti, ada yang selalu muncul dalam sejumlah karya-karya Seno, yaitu, Sukab, Alina, dan senja. Namun, ketiganya tak digambarkan secara detail oleh Seno. Sukab memang nama yang sering dipakainya sebagai seorang tokoh dalam karya-

Soeket Teki Bicara

karya fiksinya baik sebagai tokoh tambahan, utama, atau malah sebagai narator. Nama Sukab bahkan dijadikan judul bukunya seperti pada kumpulan cerpen Dunia Sukab dan Sukab Intel Melayu. Nama Sukab juga sering muncul begitu saja setiap kali Seno membayangkan sosok “rakyat”. Sukab hanyalah sembarang nama yang dia pasangkan pada setiap tokoh, sekedar karena dia malas “mengarang”, menyesuaikan nama dengan karakter tokoh agar terlihat meyakinkan. Setiap kali Seno kesulitan mencari nama, ia tinggal memasang nama Sukab. “Toh sama-sama fiktif ini. Kenapa harus susah-susah

Sastra dengan Rasa


Agus Salim I - Misteri Sukab, Alina dan Senja

cari nama?,” kata Seno seperti dituturkan dalam catatan buku Dunia Sukab. Selain Sukab, nama lain yang juga muncul dalam karyakaryanya yaitu Alina, tokoh perempuan muda sebagai kekasih yang selalu disebut-sebut dalam sejumlah karya Seno. Tokoh ini tak pernah dideskripsikan secara lengkap. Keutuhannya sebagai sosok seorang tokoh muncul dari berbagai cerpen maupun novel Seno. Namun, nama Alina belum ada pengakuan dari pihak pengarang, tentang siapa dan bagaimana nama Alina yang selalu muncul sebagai tokoh kekasih itu. Hal ini mengingatkan kita pada pemunculan nama Camelia dalam lagu-lagu Ebiet G. Ade yang selalu muncul dalam berbagai lirik lagunya. Tokoh Alina sendiri, muncul dalam novel Negeri Senja, sejumlah cerpen seperti pada Sepotong Senja untuk Pacarku dan Jawaban Alina yang terdapat dalam antologi cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku, Penembak Misterius, dan sejumlah cerpen lain. Hal lain yang sering ditampilkan Seno dalam karyakaryanya adalah senja, entah sebagai latar atmosfir maupun sebagai latar simbolik. Alih-alih menggambarkan keindahan senja yang seringkali dimaknai sebagai pintu gerbang ke dunia malam, tetapi juga akhir dari siang hari di mana orang-orang telah letih

setelah seharian bekerja, senja adalah pesan tersembunyi. Pada cerpen Tujuan: Negeri Senja, sebuah cerpen yang terdapat dalam antologi Iblis Tidak Pernah Mati misalnya, mengisahkan tentang orangorang yang diculik dan hingga kini ada empat belas orang yang belum kembali dan tidak diketahui nasibnya. Seno menggambarkannya dengan metafora berupa keberangkatan ke Negeri Senja yang tidak pernah dapat kembali. Lalu, cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku yang terdapat dalam antologi Sepotong Senja untuk Pacarku merupakan cerpen yang berupa surat cinta. Surat cinta yang dikirim oleh tokoh aku kepada wanita pujaannya, Alina. Surat itu dikirim bersama sepotong senja dari sebuah pantai. Seno memanfaatkan senja dan mempermainkan logika. Senja telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu pos karena telah diambil tokoh aku guna dipersembahkan kepada pacarnya. Meski cerpen ini terkesan serius, namun Seno dalam pengakuannya di buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (hal. 29-31) menyebut cerpen ini digarap dengan semangat humor. Dalam cerpen Senja di Balik Jendela, Seno berkisah tentang seseorang yang menjalin kasih dengan seorang perempuan yang selalu dipanggilnya “Mbak”, perempuan yang telah memiliki sejumlah anak. Jalinan kasih

Soeket Teki Bicara

yang tak sampai. Cerpen dalam antologi Sebuah Pertanyaan untuk Cinta ini memakai teknik flashback, yakni kisah mengenai seorang kakek tua yang terkenang akan masa mudanya, terkenang dengan pujaan hatinya. Cerpen ini diawali dengan deskripsi pada suatu senja dan diakhiri juga dengan deskripsi senja pula. Dalam cerpen ini senja merupakan atmosfir cerita, senja menjadi sekedar latar waktu. Senja dalam cerpen ini bukanlah senja surealistik seperti yang terdapat pada Negeri Senja sebagaimana dilukiskan dalam cerpen Tujuan: Negeri Senja maupun senja dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku. Namun, tak hanya menunjukkan perjalanan waktu setelah siang dan menjelang malam, Seno mengungkap senja tetapi tersirat juga suasana kelelahan, capai, dan tua sebagaimana digambarkan oleh tokoh aku dalam cerpen di atas. Senja adalah usia tua, menjelang kematian atau kelam. Tampaknya imajinasi Seno mengenai senja semakin liar dengan terbitnya roman atau novel Negeri Senja. Jika dalam cerpen-cerpen sebelumnya, senja digambarkan sebagai latar waktu suatu peristiwa, senja sebagai metafora, senja sebagai objek dalam dunia surealistik. Melalui novel ini, kita diajak dalam kehidupan Negeri Senja, di mana matahari selalu berada antara tenggelam dan tersisa dari permukaan bumi.

Sastra dengan Rasa

19


Puisi Negeri Senja adalah negeri yang diliputi kecemasan dalam bayang-bayang kekuasaan seorang penguasa perempuan buta yang bernama Tirana. Tokoh yang sangat sakti, yang dapat membaca pikiran orang lain. Nama Tirana memang tidak jauh dari kata tiran, seseorang yang mempunyai kekuasaan absolut. Tokoh ini dan juga Negeri Senja memang dipenuhi dan diliputi dengan misteri. Melalui novelnya Negeri Senja, Seno menemukan titik persinggungan di mana, ia menulis sebuah kisah dari negeri surealistik yang melambangkan atau menjadi metafora atas kehidupan sosial politik negerinya, Indonesia. Novel inilah yang menjadi perpaduan antara ceritaceritanya seperti pada Saksi Mata dan seperti pada Negeri Kabut. Meski demikian, Seno bukanlah yang pertama mengangkat kisah kehidupan sosial-politik negara. Maman S. Mahayana dalam buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992) menyebut, Mochtar Lubis juga menggambarkan kebobrokan Indonesia dengan novelnya yang memakai unsur senja juga, yakni Senja di Jakarta (1970), novel yang awalnya terbit dalam bahasa Inggris Twilight in Jakarta (1963) yang ditulis ketika dia berada dalam status tahanan rumah. Senja memang telah mengilhami sejumlah pengarang. Seno menggarap senja sebagai latar waktu atau atmosfir cerpen-cerpennya, sebagai objek dalam dunia surealistik, maupun sebagai metafora atas kondisi sosial historisnya. Chairil Anwar memakai senja dalam sajaknya yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil dan Alfian menyanyikannya dalam lagu yang berjudul Senja di Kaimana. Senja yang letih kadang-kadang lebih eksotik daripada fajar yang optimis. Sunset kadang-kadang lebih banyak pesonanya daripada Sunrise. Suasana senja seringkali dimunculkan oleh Seno dalam karya-karyanya selain nama Sukab dan Alina. Hal itu tampaknya bukan sesuatu yang bersifat kebetulan. Agus Salim I

20

Soeket Teki Bicara

Usai Beribu kata terbungkam Lenyap, dalam indra perasa Melebur dalam rongga Kau tahu? Dada ini terasa sesak, Ketika menyaksikan ragamu kaku terbaring Lalu, berlembar kain putih melekat ditubuhmu Kau pulang, dalam dekapan tanah yang basah Lihat, mereka terus menyeka tangis Menepis yang sudah tergores Dan kau pulang dalam kisah yang belum usai Semarang, 10 November 2021

Syifa Mariyatul. K

Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki.

Sastra dengan Rasa


Cerita Pendek

Perempuan dalam Bayang n Nurul Fitriyanti Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

21


Nurul Fitriyanti - Perempuan dalam Bayang

H

al menyakitkan dan menyedihkan yang pernah dialami dalam hidup selalu ingin dilupakan oleh kebanyakan orang. Dengan begitu, kebahagiaan mungkin bisa datang setelah berhasil melupakan semua rasa yang dianggap sakit. Entahlah, aku belum piawai memaknai semesta dengan segala hiruk-pikuk lengkap dengan carut-marutnya. Padahal, bahagia itu sendiri perihal sebuah penerimaan. Menerima rasa sakit dan pedih di masa lalu sebagai perjalanan hidup yang perlu untuk dinikmati saat ini. Banyak yang memilih untuk ‘lupa’ ketimbang ‘menerima’. Aku menjadi salah satu dari banyak orang itu. Aku pikir, aku juga pernah ikut termasuk dalam kumpulan orang yang membuang-buang waktu untuk sekedar melupa. Aku suka mengubur dalamdalam berbagai kenangan dan membunuh semua rasa yang pernah aku bangun dengan indah padahal belum diakhiri. Rasanya memang absurd untuk dijelaskan. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak ingin kelam dan terjerembap dalam sebuah kenangan yang akhirnya akan tetap sama, hanya memekik sunyi. Aku berbicara begini karena aku merasakannya. Punya kenangan buruk, menyakitkan dan menyedihkan yang pernah aku alami sepanjang perjalanan. Seperti kenangan yang terjadi beberapa tahun lalu. Kehilangan memaksaku untuk melupakan. **** Semerbak aroma yang sudah lama tidak tercium, masuk tanpa permisi lalu liar menusuk lubang hidung. Memaksa mata untuk terpejam sejenak ikut menikmati. Aku lupa, sudah ke berapa kalinya berdiam diri dalam balutan lampu remang pinggir jalan di suasana angkringan seperti ini. Sepanjang musim menatap kosong ke arah yang lurus. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak awal aku menimba ilmu di kota ini. Gerimis tipis yang menimbulkan aroma petrichor mendesakku untuk membawa lagi puing-puing ingatan yang belum sepenuhnya luluh lantak. Entah bagaimana kali pertama aku menemukannya, aku lupa. Mungkin itu satusatunya lupa yang masih aku ingat. Deret kursi di

22

Soeket Teki Bicara

kota dengan suasana khas Keraton di seberang jalan itu berhias cahaya bohlam kuning yang tentunya lebih terang dari lampu pinggir jalan ini. Aku mulai mengingatnya kembali. Malam ini, aku terketuk untuk datang menghadiri undangan temanku masa kuliah di Yogyakarta. Iya, kota kecil yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ku ini selalu memberikan kerinduannya. Diskusi terbuka tentang seni yang diadakan Pemkot setempat mengusung tema ‘Perempuan dalam Bayang’ membuatku minat. Kian aku pikirkan, kian mengusik ketenangan otakku. Ada sedikit memori yang benar-benar terlupakan, bahkan tidak ada unsur kesengajaan untuk melupakannya. Danar, temanku ini memang sangat menyukai seni, apapun itu bentuknya. Baginya, hidup adalah seni, bernafas adalah seni, hingga mati sekalipun adalah seni. Aku pernah bertanya tentang itu. Mau tahu apa jawab Danar? Katanya begini; “Mati itu termasuk seni, seni menghargai siklus kehidupan dari Tuhan.” Entahlah, aku tidak sanggup menyusul jalan pikirannya yang sudah terlalu jauh itu. Acara malam ini dibuka dengan penampilan indah dari perempuan yang tengah berdiri di atas panggung dan membacakan puisi karya seniman tersohor, WS. Rendra. Cukup membuat bulu kuduk semua orang yang hadir itu tegak berdiri. Aku merekam jelas dengan dua pasang mata seolah tidak ingin sedetik pun tertinggal momen ini. ..... Perempuan yang Tergusur Tanpa pilihan Ibumu mati ketika kamu bayi Dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu. Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa. Umur enam belas kamu dibawa ke kota Oleh sopir taxi yang mengawinimu. Karena suka berjudi Ia menambah penghasilan sebagai germo. Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya. Bila kamu ragu dan murung, Lalu kurang setoran kamu berikan,

Sastra dengan Rasa


Nurul Fitriyanti - Perempuan dalam Bayang

Ia memukul kamu babak belur. Tapi kemudian ia mati ditembak tentara Ketika ikut demontrasi politik Sebagai demonstran bayaran. Sebagai janda yang pelacur Kamu tinggal di gubuk tepi kali Dibatas kota Gubernur dan para anggota DPRD Menggolongkanmu sebagai tikus got Yang mengganggu peradaban. Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada. Jadi kamu digusur. Didalam hujuan lebat pagi ini Apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan Sambil memeluk kantong plastik Yang berisi sisa hartamu? Ataukah berteduh di bawah jembatan? ....... Kupingku terasa panas, dadaku kembali berdebar tak karuan, pikiranku mulai melayang entah ingin kemana. Rasanya, hatiku pecah untuk kedua kalinya. Batinku terus memberontak mencari lagi pecahan kenangan yang sudah hampir sepenuhnya aku lupakan. Bukan, bukan tentang perempuan yang sedang membacakan puisi itu. Tapi tentang perempuan di masa lalu yang pernah aku temui. **** Yogyakarta, 28 Desember 2008 Gadis yang selalu mengenakan pakaian gelap dengan rambut yang di kuncir asal, duduk berhadapan denganku. Gadis ceria yang selalu membagikan kisahnya denganku. Aku masih ingat senyum hangatnya. Sehangat minuman yang selalu ia pesan, es jahe hangat. Lekungan tipis itu cukup membuat runtuh yang ada dalam organ tubuhku. “Maaf Ndre. Ibuku sudah mati. Mana mungkin aku berpangku tangan lagi. Menjadi seniman tidak cukup untuk menutup semua hutang ibuku. Sudah ya, bisa-bisa nanti kau juga yang ikut mati karena memikirkan ini!” tampak wajahnya masam. Tersenyum kecut dengan makna yang rancu.

Soeket Teki Bicara

Aku mengalihkan pandangan. Mengamati lampu remang yang seolah ikut terlibat dalam percakapan sepihak ini. Aku tetap akan diam sekalipun gadis itu kembali mengatakan fakta selanjutnya mengenai pilihan hidup untuk berhenti melukis dan membaca puisi. Iya, aku mengenalnya dari pertemuan tidak sengaja di acara pameran seni. Kita sama-sama baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. “Sudahlah Ndre, aku baik-baik saja. Aku akan menikah dengan laki-laki itu. Semua pilihan memang pahit Ndre, kau jangan ikut mempersulit diri dengan masalahku. Mulai sekarang, urusi saja hidupmu sendiri.” Tidak ada raut takut yang terlukis. Kini, aku mencoba memperbaiki posisi duduk. Mulutku masih tidak ingin menyangkal atau sekedar afirmasi. Kedua retina ini masih sibuk menatap kalung yang terpasang cantik pada leher jenjangnya. “Ibuku bilang Nirmala itu artinya Sempurna, tanpa cacat. Jika saja aku tahu dari dulu, aku akan protes untuk mengganti nama menjadi Niskala. Biar saja sekalian tanpa makna! Toh, hidupku penuh dengan rumpang. Tidak ada yang utuh.” Kini tangan kecilnya mengangkat gelas lusuh itu, lalu menikmati minumannya. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menyimpan kata, atau bahkan satu abjad pun tak ku ijinkan lolos dari bibir ini agar yang ia ceritakan tidak melebar. Gadis yang aku temui dengan kisah pilunya di sudut kota tua itu terlalu larut dalam kepahitannya. Usai pertemuan terakhir yang ia kehendaki itu, Tiga tahun setelahnya Tuhan mempertemukan kembali. Nirmalaku, wanita yang anggun telah diubah oleh keadaan. Menjadi wanita liar dengan sayat pilu dalam perjalanan hidupnya. Aku bertemu pada lorong bawah jembatan kota dengan pakaian yang tidak lagi berwarna gelap, namun justru malah gemerlap menyaingi lampu kota. Mataku sampai silau melihatnya. Setelah kembali kuamati, kalungnya bukan lagi bertulis nama, melainkan diganti dengan manik-manik glamor yang menyilaukan mata. Bibir itu, bibir itu tidak setipis tiga tahun lalu. Gincu merah merona telah menutupinya. Minuman yang ia pesan bukan lagi es jahe hangat, melainkan arak dengan bau yang menyengat. Sastra dengan Rasa

23


Nurul Fitriyanti - Perempuan dalam Bayang

“Ndre, pertemuan tiga tahun lalu ternyata masih berlanjut ya? Rasanya aku telah mendahului takdir. Keadaan terlalu sering memainkanku. Sekarang aku Lacur Ndre, laki-laki biadab itu memang menukarkanku dengan cuan. Bagianku hanya rasa sakitnya Ndre. Aku malu denganmu, tapi memang benar, laki-laki itu mengubahku. Aku bukan lagi Nirmala, Aku semakin Niskala.” Mestinya bukan hanya kau yang dimainkan keadaan, aku pun dimainkan kenyataan. Nirmalaku, sama seperti jalan cerita puisi Rendra. Nirmalaku, sama seperti protes yang pernah ia ucapkan sendiri. Nirmalaku musnah bersama dengan pilihannya. Aku merasa menjadi lelaki yang penuh dengan penyesalan. Pernyataan ‘Andai’ dan ‘Jika saja’ selalu membayangi setiap apapun yang aku pikirkan. Membiarkan Nirmalanya menempuh jalan terjal sendiri. Hingga, kabar itu menghampiri. **** Sudah, aku rasa cukup. Aku tidak kuat untuk mendengarkan puisi itu hingga selesai. Kakiku lemas, sepertinya tulang-tulang tubuh ini kehilangan fungsi. Danar tahu apa yang kini sedang berkecamuk dalam jiwaku. Aku menceritakan tentang Nirmalaku padanya saat pertemuan yang dikehendaki Tuhan itu terjadi. Tepatnya, ia juga menjadi saksi terakhir kali aku bertemu Nirmala. Kini, Danar memapahku keluar gedung dengan segera. “Setelah lima tahun berlalu kau tahu profesinya, kau masih pula mengingatnya Ndre? Andre, aku mendukung upayamu untuk melupakannya setelah kau menceritakan semua ini.” Ucapnya. “Kita menepi saja dari sini. Mencari ketenangan dan juga mengisi kekosongan perutmu. Sudahlah, aku tidak mau banyak menghakimi kisahmu Ndre.” Lanjut Danar menarikku pergi menuju angkringan di seberang jalan tadi. Angkringan sedang tidak ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai. Selebihnya, mereka tentu sedang ikut menonton pembukaan acara diskusi tadi. Suasana cukup lengang. Sayup terdengar berita di Televisi. Siaran program televisi lokal memberitakan perempuan yang tergusur itu bersimbah darah 24

Soeket Teki Bicara

dikamar nomor 28 lantai delapan tempatnya bekerja menjadi pemuas duniawi. Nyawanya telah terlepas dari raga, lalu menuju apa yang sebenarnya dianggap pulang. Laki-laki yang selalu disebutnya biadab itu tertembak mati pula oleh aparat atas percobaan perlawanannya. Iya, Aku hampir setengah sadar mendengar dan melihat sendiri kabar itu. Nirmala, perempuan yang tergusur itu pernah aku cintai dan masih akan tetap aku cintai. Nirmalaku, Rasanya, hatiku pecah bukan hanya kedua kali, tapi untuk ketiga kalinya. Nirmalaku, makin pilu saja alurmu, hingga pergimu pun kembali membuat aku merasa bukan lelaki yang pantas untuk menampung ceritamu, lelaki yang hanya berani mencintaimu namun tidak berani untuk mengungkapkannya dan memilih untuk melupakan. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan semua perasaan ini? Yang ada, kau hanya akan tertawa. Nama Andre, dalam bahasa Yunani artinya (bentuk lain dari andreas) kuat, jantan. Tapi, aku pun tidak seperti itu. Pita suara yang sudah rusak membuat hidupku hanya berpacu pada tulisan dan bahasa isyarat. Apa kau mau menerimaku? Kau tahu itu dari awal bukan? Aku rasa, aku juga tidak sejantan dan sekuat arti namaku. Nirmalaku, kisahmu yang rumpang kini benar-benar telah rampung. Aku melepaskanmu Nirmala, aku tidak lagi mencoba untuk melupakanmu. Akan aku terima dengan baik semua cerita yang pernah kau jabarkan dengan panjang seperti rel kereta dan kau kemas menarik dengan penuh ceria. Aku hanya membenci peranku. Yang menjadi pendengar dan berangan untuk masuk dalam ceritamu namun tidak cukup nyali untuk menyuarakannya. Tenangkan pergimu Nirmalaku, bagiku kau tidak pernah menjadi Niskala. Jika dunia tidak menerimamu, barangkali bagian yang lain akan bergembira menyambut jiwamu. “Sudahi sedihmu Ndre, Istrimu sudah selesai membacakan puisi itu,” Ucap Danar.n Lurah Kampoeng Sastra Soeket Teki

Sastra dengan Rasa


Puisi

Sang Sepi Engkau adalah ketakutan manusia Yang dikutuk kala siang dan dinista kala malam Orang-orang mengenalmu sebagai penderitaan Tapi, kenapa engkau adalah yang datang pertama dalam tapa Sang Nabi, menghampiri para sufi dengan genggam tasbih, menemani sang bijak kala terinjak, dan abadi dalam banyak puisi? Siapakah engkau yang dikutuk dan yang mengilhami? Adakah aku bisa mengenalmu lebih dari diri sendiri? Langit bertabur bintang malam. Pijar rembulan mengintip di antara mega-mega hitam. Sepotong cahaya dari angkasa raya jatuh di antara kelopak mata. Dan ketika itu engkau membisikan tanya;

Dewasa Angannya mulai luruh terbawa angin Kilap bintang nyata terbentang Bersanding dengan bulan yang meremang Berhias mega abu-abu berarak beriringan Bahu yang perlahan membiru Menelisik pikir yang kian sembilu Barangkali tubuh kumal itu terhuyung sepi Menelan bulat-bulat ribuan ambisi Dewasa, begitu semesta menyebutnya. Kendal, malam yang temaram pada 2021

“Sudah siapkah Anda kehilangan segalanya?” Semarang, ketika hujan baru saja redam 2021.

Sigit A. F

Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki.

Soeket Teki Bicara

Nurul Fitriyanti

Lahir di Kendal pada 23 November 2001, Loerah Kampoeng Sastra Soeket Teki.

Sastra dengan Rasa

25


Cerita Pendek

Persembahan Terakhir n Mohammad Azzam Ashari

L

ima orang berbaju hitam tergeletak jalanan. Di dadanya samar tercoreng merah darah pada tiga orang yang tertelungkap. Pada dua yang lain terdapat seperti lobang hitam sebesar kelereng dengan darah mengotori pelipisnya, mereka terjatuh tengkurap. Hening, dalam keramaian. Puluhan orang mengelilinginya. Seorang laki-laki muncul dengan jas almamater dari kerumunan. Ia membawa tiga lembar kertas, dan mulai membaca puisi. Kata demi kata berlompatan dari mulut laki-laki itu. Raut wajahnya menegang, kadang pula memelas. Sorot matanya tajam seperti serigala yang menantang musuhnya. Kemudian meredup, kemudian tajam lagi, mengikuti alunan irama bait-bait puisinya. “Saya adalah manusia yang berdaualat atas diri saya sendiri.” “Hidup mahasiswa!” “Hidup mahasiswa!” Teriak dibalas teriak. Yel-yel dibalas yel-yel. Spanduk-spanduk terbentang. “Pejuang Lingkungan Bukan Kriminal”. Mereka turun ke jalan menuntut keadilan untuk seorang aktivis lingkungan yang dibunuh secara kejam. Yang dibunuh karena melawan, mempertahankan lahan milikknya yang ingin diganti jadi tempat wisata. Akhir-akhir ini memang santer terdengar isu bahwa kota ini akan dirancang menjadi kawasan modern. Akan dibangun Gedung-gedung megah. Masalahnya, tanah di kota tidak begitu luas. Gama namanya, laki-laki yang membacakan puisi sekaligus otak dibalik aksi teatrikal itu. **** Tiga belas tahun kemudian, Gama telah menikah dengan perempuan bernama Sinta dan memiliki seorang anak perempuan yang lucu. Amel Namanya. Putri kecilnya telah menginjak tujuh tahun. Sama seperti ibunya, Amel sangat

26

Soeket Teki Bicara

mengagumi sosok sang ayah. Sosok pemberani yang akan melindungi dua bidadarinya sampai kapanpun. Kini Gama dikenal sebagai sineas terkemuka. Namanya memang sudah masyhur di dunia seni sejak kiprahnya di dunia teater pada masa kuliah. Jadi, tidak begitu sulit bagi Gama mendapat proyek film besar. Kemarin Gama mendapat telepon dari seorang produser kenalannya. Gama mengenal si produser sejak di organisasi pergerakan ketika di bangku kuliah. Sosok yang dahulu dikagumi lantaran keberaniannya. Berkat produser itu juga Gama terjun ke industri seni peran. “Sedang sibuk?” Suara berat itu muncul dibalik telepon yang digenggam Gama. Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Azhari - Persembahan Terakhir

“Gimana bos?” “Ada proyek nih, kita mau bikin film, ingat tragedi 12 tahun lalu? “Ya? “Kau buatin film, angkat peristiwa itu, terserah genrenya. Anggarannya gede.” “kupikir-pikir dulu, kasih watu sampai besok.” Keesokan hari, Gama dengan keyakinan yang telah penuh, segera menghubungi si produser. Ia sepakat untuk menyelesaikan naskah skenario dalam waktu tiga bulan. Ia membutuhkan riset dari berbagai sumber yang tidak mudah didapat. Ada gambaran besar yang muncul dalam ide briliannya. “Barangkali dengan film ini, aku bisa menunjukkan pada dunia kebenaran tentang apa yang terjadi di masa itu. Aku akan menciptakan sejarah dari pikiranku sendiri,” gumamnya. “Lagi pula, aku juga butuh biaya besar untuk Sinta yang sedang sakit-sakitan.” Gama mulai menelusuri rekam jejak peristiwa 12 tahun yang lalu dari berbagai sumber. Mulai menggali kembali dan mengkaji serangkaian peristiwa untuk menentukan apa yang akan diangkatnya sebagai inti cerita. Mempersembahkan ide yang belum pernah tersetuh oleh kepala siapapun. Pikiran gama melayang cepat pada masa itu. 12 tahun lalu, tiga pasar terbesar di kota, hangus dalam semalam. Rilis polisi serempak menyebut penyebab kebaran ialah konsleting listrik. Sekelompok masyarakat tertentu tak begitu saja. Hingga berbagai spekulasi bermunculan di tengah masyarakat. “Ada yang sengaja membakar pasar ini.” Beberapa hari selanjutnya, media saling menuding. Mereka bertarung di ruang kata-kata. Saat itu Kota ini sedang mengalami musim kemarau. Panas dari matahari menembus kepala dan hati orang-orang. Lalu terhembus sepoi angin yang jarang itu, membawa isu sepanas bola api. Membakar kota. Spekulasi terpusat pada satu tuduhan. Kelompok Idris dalang di balik kebaran. Gerakan massa mulai muncul mengalir di jalanan. Tuntutan resmi melayang ke tubuh pemerintah agar mengungkap dan menyelesaikan kasus kebakaran tempo lalu. Isu telah melebar dari sekedar urusan pedagang, melainkan rakyat melawan

Soeket Teki Bicara

Kelompok Idris. Bahwa mereka akan menguasai kota, mengeskploitasi kekayaan yang dimiliki kota. Tapi, Kelompok Idris terlampau kuat. Mereka tak tersentuh. Lalu massa semakin marah, menilai pemerintah tak becus mengurusnya. Malam itu massa yang sejak beberapa watu sebelumnya sempat turun berdemo ke halaman DPRD, kini turun kembali menuju kompleks Kelompok Idris. Bak gelombang yang mengamuk mereka mendatangi sebuah kerajaan besar di sebelah utara kota dan hendak menundukkannya. Massa, preman kelompok iblis, dan polisi berkumpul di tempat yang sama. Pertempuran hebat terjadi. Gama yang menjadi bagian dari massa menyimpan baik memori pada kepalanya. Ia bertahan hingga pagi, menyaksikan korban berjatuhan, puluhan orang tumbang di jalanan. Paginya, massa yang lebih besar datang entah dari mana, menyerbu kompleks Kelompok Idris. Saat itu tak ada lagi preman yang menghalangi. Polisi yang berjaga tak menyangka akan datang massa sebanyak itu. Mereka mengamuk menghancurkan apapun yang ada di dalam sana. Yang terjadi setalah itu, kekuatan yang lebih besar datang ke kota. Mereka menaburkan abu hingga orang tak mampu lagi melihat mana yang benar dan mana yang terlihat benar. Seperti biasa, kasus HAM menguap begitu saja tanpa kejelasan. Dua tahun kemudian, pemilu dan pilkada sukses terselenggara, orang-orang mulai tak peduli lagi. Tragedi itu benar-benar menjadi cerita. Sayangnya cerita itu memiliki Lorong gelap dan tak pernah ada yang mampu memberi cahaya, hingga kini. Gama memiliki dua pekerjaan berat. Pertama, memastikan bagaimana fakta dan kebenaran pada tragedi kelam itu. Lalu, mengolahnya menjadi susunan cerita nan apik, yang akan menjadi sejarah baru, dari pikirannya. Tidak mudah mengumpulkan data-data yang dibutuhkan sebagai modal untuk keakuratan cerita. Gama mulai memetakan sumber-sumber data sesuai alur yang telah dibuatnya. Di proyek kali ini imajinasi Gama dituntut untuk memenuhi keakuratan fakta, tetapi bisa menciptakan cerita yang unik dan dramatis.

Sastra dengan Rasa

27


Mohammad Azzam Azhari - Persembahan Terakhir

Kuncinya ialah memastikan data yang telah diperoleh akurat. Untuk itu Gama mulai mengaitkan satu data ke data yang lain. Ia ingin menyusun bangunan megah, yang pilarnya masih tercecer entah di mana. Satu bulan lebih ia habiskan mengumpulkan pilar-pilar yang tercecer itu. kini tinggal membangun pondasi. Lalu disusunnya satu per satu, pasaknya, atapnya. Namun ia belum menemukan pilar utama. Pilar yang menjadi pusat berdirinya suatu bangunan megah. Setiap bangunan sempurna, pasti memiliki pilar utama sebagai pusat yang menjadi kunci kokohnya sebuah kerangka. Di waktu yang tinggal dua minggu, Gama masih beruasaha mengakses sumber data yang menjadi pilar utama. Kang Marco, seseorang yang bukan siapa-siapa di kalangan orang biasa. Namun ia-lah yang memegang informasi lebih banyak dari siapapun. Ia memiliki mata dan telinga di seluruh kota, di gorong-gorong, di markas paling aman, di menara-menara yang tinggi, di manapun. Sudah dua minggu terakhir sejak semua data terkumpul, ia fokus ke sumber tersebut. Mencari pilar terakhir yang bisa menopang semuanya. Tidak mudah, bahkan hanya untuk mengetahui akses menghubungi Kang Marco. Pada akhirnya, serigala yang lapar selalu menemukan mangsanya sekalipun di kegelapan malam. Mangsanya kali ini bukanlah ular ataupun musang, melainkan babi hutan raksasa dari sarangnya. Ketika Gama sampai di titik lokasi yang disepakati, ia disambut dua orang pria berpostur dan penampilan biasa. Ia diajak masuk ke dalam warung makan sederhana. Kemudian keluar melalui pintu belakang. Ada komplek perumahan yang sempit dan kumuh. Mereka bertiga berjalan sepanjang tidak petak rumah untuk sampai ke semak belukar. Mereka menembus semak dan tiba di taman yang cukup luas. Taman ini seperti labirin. Wajah Gama datar mengukuti komando dua orang tadi sambil memperhatikan sekitar dengan bola matanya, tanpa sedikit pun menoleh. Mereka sampai di ruangan luas dengan lampu berpijar terang. Dinding dan atap berwarna putih 28

Soeket Teki Bicara

bersih. Ruangan terbagi menjadi dua dengan hanya di pisahkan oleh sebidang kaca. Gama dipersilakan masuk ke bagian ruangan di balik kaca itu menemui lelaki tua. Diliat dari perawakannya ia sepertinya telah berusia 60 tahun. Ia memakai switer hitam tebal dengan celana kain berwarna krem. Duduk di atas bantal duduk. Itu lah Kang Marco. “Kau tahu siapa aku?” “Nyatanya aku bisa sampai sini,” “Kudengar kau dulu juga ikut menyerang kami, apakah sekarang kau mempercayaiku? “Tak ada yang ku percaya di dunia ini.” “Hahahaha, apa yang kau butuhkan dari orang tua sepertiku anak muda?” “Sedikit informasi, kang,” “Apakah informasi yang tercecer di luar kurang? Bukankah masyarakat dan media sudah canggih dalam menyediakan informasi? hahaha.” Si Tua itu terkekeh dengan nada mengejek. “Apalagi hanya untuk sebatas film? Kau bahkan bisa membuat cerita yang lebih heroik dan dramatis dengan kepalamu sendiri kan?” tambahnya. Gama tersenyum memberi hormat. Kemudian diam sesaat bersiap menyerang sang babi hutan dengan kata-kata yang tepat. Ia sudah menyiapkan semuanya sedari awal. Hanya butuh waktu 30 menit untuk mereka saling saling menyerang, bertukar kata, kalimat. Gama lantas pamit. Ia bungkukkan badan dengan rasa hormat yang dalam. “Ingat kesepakatannya, jika tidak ingin hal buruk terjadi padamu,” mata Kang Marco menatap tajam kepada Gama. “Kami hampir hancur dalam tragedi itu, atas apa yang tak pernah kami lakukan.” Napas Gama terhembus lega ketika diantar keluar dari markas Kang Marco. Jika ada kesalahan sedikit saja bisa hancur rencana besar Gama. Lebih dari itu, bisa mengancam nyawanya sendiri. Dua minggu waktu yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan naskah tersebut. Langsung ia hubungi sang produser untuk mengirimkan naskah skenario yang sudah selesai. Pagi itu, setelah email berisi naskah dikirim. Ia mendengar teriakan Amel dari dapur. Di sana terlihat Sinta telah terduduk di dinding dapur

Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Azhari - Persembahan Terakhir

memegangi lengan Amel yang basah oleh tangisan. Gama lantas menggendong tubuh perempuan yang beratnya hampir separo dari berat badannya sendiri menuju mobil. Dua hari Sinta dirawat di ICU, ginjalnya kambuh. Gama duduk sambil memangku kepala Amel yang tertidur di kursi ruang tunggu. Dokter sedang melakukan pemeriksaan di dalam ruangan. Wajah lelah Gama menatap putri kecil yang tetap terlihat sedih meskipun tengah tertidur. Matanya berkaca dan hatinya rapuh. Namun tetap, Ia tidak akan menangis. Ketika membuka ponsel, Gama baru sadar jika si produser telah beberapa kali menelponnya. Ada pesan teks dari si produser. “Nanti malam kita ketemu” Ia bertemu di ruangan sebuah hotel yang jauh dari pusat kota. Ada sekitar sepuluh orang di ruangan, mereka semua berpaiakan rapi. “Jadi gini, skenariomu kita terima, tapi harus ada perubahan pada beberapa scene dan dialog.” Si Produser berkata dengan lugas dan tegas. Tapi dibalik ketegasannya, ia menyembunyikan setumpuk rasa tekanan yang begitu besar. Tekanan itu seperti datang dari seisi ruangan tersebut. Gama mengiyakan. Kemudian berbagai kesepakatan dibuat. Sebenarnya kesepakatankesepakatan itu sangat tidak disetujui Gama, tetapi ia tidak bisa berpikir panjang dan jernih dibawah bayang-bayang kondisi Sinta, istrinya yang kian memburuk. Ia sangat membutuhkan untuk mengambil kesepakatan ini. Nilainya cukup besar, sepuluh kali lipat dari harga honor yang biasa ia dapatkan. Di kemudian hari, Gama baru menyadari, jika proyek film itu sepenuhnya dikontrol oleh seseorang yang sangat berpengaruh di kota itu. Plot dan alur telah dibelokkan, apalagi mengenai fakta-fakta yang didapatkannya ketika observasi, terputar balikkan. Nilai kebenaran yang diyakini Gama melebur, seakan hilang. Tetapi tak ada pilihan baginya selain menurut. Gama juga harus menerima kenyataan bahwa Sinta tak bisa tertolong. Ia meninggal. Satu dari dua perempuan yang ia ingin jaga samapai kapan pun, pergi meninggalkannya.

Soeket Teki Bicara

“Jaga Amel untuk saya, mas. Tetaplah menjadi tauladan bagi Amel, bahwa engkau memiliki mata hari tajam, yang mampu bersikap terhadap mana yang benar dan mana yang terlihat benar,” pesan terakhir Sinta ketika sempat sadar dua hari sebelum meninggal. Berbulan-bulan kemudian ia hanya hidup berdua bersama Amel, perempuan terakhir yang ia cintai. Filmnya sudah tayang seminggu lalu. Di tiga hari pertama penayangannya telah menyeret jutaan pasang mata untuk menonton. Pro kontra silih berganti bersautan, tetapi seperti layaknya permainan. Yang menang ialah yang menciptakannya. Bagaimana dengan Gama, tak ada yang lebih kecewa darinya ketika menyaksikan hasil akhir film tersebut. Ia tak bisa mewujudkan baris terakhir pada puisinya dahulu di pementasan terakhir yang luar biasa itu. Pesan terakhir Sinta pun seperti air mata manusia yang basah ketika mengantarkan si mati untuk terakhir kali. Kemudian kering dan hilang. Ia mengadukan kegelisahannya di bibir pantai. Ia ingin perasaannya hilang bersama ombak yang menghapus jejak langkah manusia. Kata-kata yang tak pernah didengar siapapun terhembus bersama napas yang semakin sesak. Sehelai daun kuning jatuh dari dahannya, melayang lembut di atas pasir putih. Lalu, Gama melihat gadis kecilnya sedang membangun istana megah. Saat ini, ia hanya perlu menjaga Amel, agar tetap membangun kebahagiaan di istana hatinya. Senyumnya mulai sedikit merekah. Sedetik kemudian, selongsong peluru tajam tiba-tiba telah menembus pelipis dan tertancap di kepala Gama. Ia tak pernah dan tak akan pernah tahu dari mana asal tembakan itu. Amel melihat dengan mata kepala sendiri, ayahnya yang tumbang seketika. Air matanya menetes, satu, dua, tiga tetes. “Ayah,” rintihannya begitu lirih hingga kalah dengan hembusan angin. Kata itulah yang terakhir keluar dari mulut Amel. Sampai kematiaannya, mulut mungil itu tak pernah terbuka lagi.n Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki

Sastra dengan Rasa

29


RESENSI BUKU

Kembara Suluk Adiluhung Jawa

A

Judul : Centhini - Kekasih yang Tersembunyi Penulis : Elizabeth D. Inandiak Penerjemah : Laddy Lesmana (bersama Elizabeth D. Inandiak) Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Tahun Terbit : 2018 Tebal : 407 hlm Resentator : Rizkyana Maghfiroh

30

ku adalah kenangan bersama seratus dua puluh juta manusia Jawa, pengembaraan edan luar batas, dua belas jilid, empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, dua ratus ribu bait lebih, begitu kata pembacaku yang langka. Paragraf pembuka yang menurut saya benar adanya. Saya bahkan menemukannya di rak "Sastra" paling bawah dan dalam, tertutup barisan buku terbitan baru yang (sepertinya) lebih digandrungi khalayak. Berlapis plastik tipis sobek sana-sini yang ketika saya pegang, sekonyongkonyong debu tebal berpindah ke telapak tangan. Seolah mengamini pernyataan langkanya peminat dan pembaca Serat Centhini. Saya dibuat terkejut ketika mengetahui buku yang isinya kejawen, justru diterjemahkan dari bahasa Prancis. Dengan judul asli Les Chants de I'île à dormir debout — Ie Livre de Centhini. Tetapi kemudian, saya menemukan Pengakuan Centhini: Namun bahkan dalam huruf Latin, aku tetap kabur bagi bangsaku. Hanya segelintir para terpelajar masih bisa menerobos wangsalanku, istilah-istilah ajaran kebatinanku yang terasing dari bahasa Sanskerta dan Arab, lagak gayaku yang purba dan tajam. Ya, aku maha karya yang terancam sirna sebab bahasa yang dipakai

Soeket Teki Bicara

untuk menyusunku, bahasa Jawa, sedang bunuh diri. Tiga kalimat yang cukup sebagai jawaban, sekaligus tamparan atas minimnya minat masyarakat Nusantara pada karya sastra dan budaya lokal. Selain itu, juga berkembangnya anggapan bagi beberapa ahli Jawa bahwa Serat Centhini terlalu suci untuk diterjemahkan sekaligus terlalu mesum untuk dibahas. Memang benar, sebab di dalam Suluk Adiluhung Jawa ini mengandung ilmu kasampurnan (dalam beragama, berfilsafat, dan asmaragama). Centhini berkisah tentang dua pengembaraan. Pertama, perjalanan spiritual Jayengresmi (Amongraga) sembari mencari kedua adiknya pasca Kerajaan Giri diserbu Sultan Agung pada awal abad XVII. Kedua, minggatnya Cebolang dari rumah orang tua karena merasa dirinya hina dina. Cebolang remaja yang terjebak dalam nafsu birahi dan dapat bersenggama oleh perempuan maupun lelaki. Meski pada halaman 86 dijelaskan bahwa tualang asmaragama Cebolang berada di luar kendali. Hal ini menjadi tantangan bagi penulis, Elizabeth D. Inandiak—sastrawati berdarah Prancis yang amat mencintai sastra Jawa—untuk melahirkan Centhini versi baru yang bisa dinikmati semua kalangan tanpa mengubah karakter asli serat.

Sastra dengan Rasa


Rizkyana Maghfiroh - Kembara Suluk Adiluhung Jawa

Ia harus mencari padanan kata dan merangkai narasi yang lebih sopan agar adegan cabul lebih bisa diterima. Seperti pada bab "Minggatnya Cebolang" dan "Buku Kesembilan" yang penuh syahwat. Bahkan, tiga pujangga yang bertugas menulis sebelas jilid lain merasa jijik dengan jilid kesembilan yang ditulis sendiri oleh Pangeran Anom Hamengkunegara III. Ketiga pujangga yang ditugasi menyusun Sang Suluk itu sendiri terganggu oleh kehadiran lancang remaja ini dalam macapat mereka sehingga mereka menyerahkan tembangnya yang paling liar kepada Putra Mahkota Surakarta Adiningrat. Among Hamengkunegara III sangat gembira bisa membubuhkan gayanya dalam karya yang ia pesan. Paradoks Dua Kembara Pada awal abad ke17, setelah gagal membujuk ayahnya—Sunan Giri—agar mencegah perang dengan Kerajaan Mataram, Jayengresmi memilih meninggalkan Kerajaan Giri. Dalam kembara spiritualnya, ia selalu disambut hangat oleh masyarakat setempat. Dalam setiap persinggahan, ada ilmu baru yang Jayengresmi serap. Ia lalu mengubah nama menjadi Amongraga (Yang Memikul Raganya). Kelana terus berlanjut hingga angin membawa mereka ke Wanamarta, sebuah daerah di Majalengka. Tempat Ki Panurta mendirikan pondok

dengan ribuan santri yang tak pernah berhenti mengisi malam dengan zikir. Di pondok itulah ilmunya diuji, diadu dengan Ki Panurta, dan sebagai hadiah atas kemenangannya, ia dinikahkan dengan putri sulung Ki Panurta: Tambangraras. Kendati menikah dengan gadis cantik dan pandai, Amongraga tetap teguh mencapai tujuan hidupnya. Ia ingin terpisah dengan raganya dan memusatkan hati dan pikiran kepada Zat Ilahi. Namun, garis takdir tak dapat ditolak. Perjalanan spiritual Amongraga bertahun lamanya justru berakhir sia-sia. Meski ilmu kebatinannya telah mencapai titik puncak, dalam diri Amongraga masih ada setitik dendam atas kehancuran kekuasaan ayahnya. Amarah itulah yang menggerogoti seluruh ilmu dan kesempurnaan dalam dirinya. Berbanding terbalik dengan Cebolang—putra Syekh Akhadiyat—yang dalam kelananya selalu jatuh dalam liang sanggama. Tidak membedakan antara lelaki atau perempuan, ningrat atau abdi dalem, siang atau malam, sepi atau ramai; tiada pantangan. Namun, ia justru bertaubat dan menemukan puncak kebahagiaan bersama Rancangkapti (putri Giri) hingga akhir hayat. Dua tokoh dengan karakter berbeda. Yang satu taat, lainnya nekat. Yang satu tawakal, satunya binal. Sejak awal, pembaca pasti dibuat gemas dengan Cebolang

Soeket Teki Bicara

yang tak kenal latar, bahkan pernah menyetubuhi seluruh perempuan di Kadipaten Dhaha. Juga dibuat takjub dengan ketaatan Amongraga dan tutur katanya yang padat berisi, puitis, dan magis. Paradoks yang sesuai dengan kehidupan kita. Di mana orang dihormati karena ilmunya. Si alim pun pasti merasa bangga. Hingga melupakan fakta bahwa setitik hasrat dalam hati, tanpa disadari kelak akan menggerogoti kemuliaan diri. Dan dalam petualangannya, Cebolang yang mudah terperosok, bukan karena ia tak memiliki pendirian. Justru Cebolang sedang mencari jati diri. Meski hanya menulis ulang 10% dari kitab aslinya, Inandiak mampu mengajak pembaca dalam kembara. Mendalami kehidupan di Jawa masa itu, terlelap dalam ajaran kebatinan Amongraga, dihempas ke dalam dunia zakar dan farji, lalu dikejutkan dengan akhir yang tak sesuai ekspektasi. Penggunaan pengandaian untuk mengganti bahasa cabul memang sedikit membingungkan, tetapi justru menambah kosakata dan menuntut pembaca berpikir nalar. Satu-satunya yang mengganggu adalah sering ditemukannya kesalahan ketik. Centhini—Kekasih yang Tersembunyi dapat menjadi alternatif untuk berkenalan dengan sastra Jawa tanpa takut pusing memahami tembangtembang yang puitis dan metaforis.n

Sastra dengan Rasa

31


RESENSI FILM

(Dok. Internet)

Semangat Perempuan Modern dalam Kisah Klasik

Judul Film: Layla Majnun Sutradara: Monty Tiwa Penulis Naskah: Alim Sudio, Monty Tiwa Durasi: 119 menit Produser: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Pemeran: Acha Septriasa, Reza Rahardian, Baim Wong Produksi: Starvision Plus Tanggal Edar: 11 Februari 2021 Resentator: Nur Aeni Safira

32

K

isah cinta melankolis memang cukup eksis hadir di segala zaman. Kemasyhuran cerita legendaris Layla Majnun karya Nizami Ganjavi dari abad ke-12 nyatanya masih bertahan hingga kini. Kali ini Rumah Produksi Starvision, mengadaptasi kisah itu dengan judul yang sama, Layla Majun. Film ini tayang perdana di Netflix pada pada 11 Februari 2021

Soeket Teki Bicara

Uniknya, Kisah Laila Majnun dalam film ini disajikan dengan rasa lokal Keindonesiaan. Pemeran utamanya, Layla (Acha Septriasa) dan ibnu Salam (Baim Wong) dikisahkan sebagai warga Indonesia, kemudian bertemu dengan sosok Samir (Reza Razahardian) sebagai orang asli Azerbaijan Dalam film Layla Majnun (2021), problem cinta klasik khas Timur

Sastra dengan Rasa


Nur Aeni Safira - Semangat Perempuan Modern dalam Kisah Klasik

Tengah dibawa Monty Tiwa, ke zaman modern. Segala persoalan dan budaya yang ditampilkan dalam film seutuhnya menggunakan seting waktu zaman sekarang. Diceritakan, Layla, terjebak pada problem perjodohan. Ia dijodohkan oleh keluarganya sendiri tanpa sepengetahuannya dengan Ibnu Salam. Perjodohan itu bukan tanpa alasan, melainkan sebagai usaha mengangkat derajat ekonomi keluarga, dan juga penebusan hutang keluarga Layla yang terlalu besar terhadap Ibnu Salam. Paman Layla senidiri bagian tim sukses Ibnu Salam yang sedang mendaftarkan diri sebagai calon bupati. Di tengah perjodohan tersebut, Ia bertemu dengan Samir, lelaki Azerbaijan ketika Laila menjadi Dosen Tamu di negara tersebut. Kisah cinta yang berbau klise antara Ibnu Salam, Layla dan Samir menjadi premis utama dalam film ini. Perempuan Jawa dan patriarki Terdapat perpaduan kisah klasik dan modern yang cukup menarik. Hal itu ditampilan ketika Layla memberi sebuah sarat untuk perjodohannya dengan Salam. Ia mau menerima perjodohan

tersebut asalkan tidak dibatasi haknya ketika sudah menikah dan diizinkan mengajar di Azerbaijan setelah prosesi lamaran. Syarat itu pun disetujui. Persoalan kedudukan perempuan dalam budaya Jawa kembali ditunjukkan oleh Monty Tiwa, sang penulis skenario sekaligus sutradara, bahkan lebih gamblang. Pada scene di kelas ketika Layla mengajar sebagai dosen tamu, ada diskusi perihal perempuan Jawa, Layla menunjukkan budaya Jawa dengan kebaya dan kain jarik yang dikenakan oleh salah satu mahasiwinya. Kain jarik yang dikenakan membuat pemakaian kesulitan untuk berjalan seperti biasanya yang kemudian muncul komentar dari salah satu mahasiswa "Perempuan di Jawa itu lemah dan selalu berada di belakang laki-laki". Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih dianggap di belakang lakilaki. Mahasiswa yang lain lantas menyetujuinya. Namun tidak dengan Samir. Ia mengatakan dengan sudut pandang yang lain. Hal itulah yang menarik perhatian Layla pada sosok Samir. Sejak awal, kedudukan perempuan Indonesia dalam film ini memang cukup

Soeket Teki Bicara

mendapat sorotan. Monty Tiwa melaui karakter Layla ingin menunjukkan posisi perempuan dalam bangsa timur modern. Tidak seperti tokoh Layla pada cerita versi klasiknya, Layla dalam film ini memiliki karakter mandiri, religious, dan memegang teguh budaya Jawa, selayaknya gambaran perempuan Jawa modern. Layla bukan dari kalangan keluarga berada seperti takoh Layla pada versi Nizami Ganjavi. Tetapi Layla memiliki karir yang bagus, itu menunjukkan karakter perempuan yang kuat di zaman modern. Sayangnya, semangat feminisme dalam diri Layla tidak bertahan lama dalam film. Sosok perempuan kembali digambarkan sebagai peran pendamping ketika Layla kembali ke Indonesia. Ia bertugas mendampingi calon suaminya untuk berkampanye sebagai calon bupati. Monty Tiwa agaknya tidak ingin menunjukkan supremasi pada diri perempuan dalam film ini. Karena pada kenyataannya di zaman modern pun, praktik patriarki masih kerap terjadi di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan Indonesia yang menempati peringkat 101 dari 156 dalam hal

Sastra dengan Rasa

33


Nur Aeni Safira - Semangat Perempuan Modern dalam Kisah Klasik

Gender Gap (Purnamasari, 2021). Saat menjadi pendamping, Layla justru sering mendapat perlakuan buruk dari Ibnu Salam. Ibnu Salam yang awalnya diperlihatkan sebagai sosok yang romantis, tiba-tiba berubah ketika mengetahui hubungan Layla dengan Samir ketika di Azerbaijan. Karakter Ibnu Salam ini selayaknya seperti karakter politisi pada umumnya, yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Layla Majnun, film dan legenda Meskipun film ini terinspirasi dari kisah klasik Layla Majnun karya Nizami Ganvani, keduanya merupakan dua kisah yang berbeda. Dari segi plot, kesamaan hanya ada pada premis utama, yakni cinta dua manusia yang tidak bisa bersatu. Karakter dari tokohtokoh yang ada dalam film, hanya Samir yang mendekati karakter Qais. Hal itu ditunjukkan dengan rasa cintanya kepada Layla yang membuat Qais gila. Dalam Layla Majnun (2021), Samir memiliki rasa cinta yang begitu besar kepada Layla. Ketika ia 34

mengetahui hubungan Layla dengan Salam, dan kemudian ditinggal oleh Layla yang pulang ke Indonesia, Samir menunjukkan kegilaannya. Ia melampiaskan dengan berkelana seorang diri dan menyepi di sebuah bukit. Hal yang sama yang dilakukan Qais ketika dipisahkan dengan Layla. Selebihnya Monty Tiwa hanya mengait-ngaitkan beberapa unsur kisah klasik Layla Majnun pada abad-12 ke dalam film ini. seperti pemilihan latar tempat Azerbaijan, dimana dari sana lah kisah klasik Layla Majnun bermula. Namun, di film ini, penggunaan latar Azerbaijan berhasil dieksploarisasi secara makmisal. Berbeda dari film-film Indonesia lain yang hanya memanfaatkan latar negara lain untuk diambil “pemandangannya” saja. Budaya, bahasa, serta tempat-tempat bersejarah di Azerbaijan berhasil meningkatkan kualitas cerita. Untuk menghidupkan vibes kisah klasik Layla Majnun, sang sutradara menampilkan beberapa scene yang memperlihatkan patung Nizami Ganvani. Selain itu ada pula pengguanan syair yang puitis pada karya Ganvani dalam dialog para tokohnya.

Soeket Teki Bicara

Lebih dari sekedar dialog, kepuitisannya tergambar juga pada sinematografi. Seperti pada scene saat Layla menangis di apartemennya. Semua gorden ditutup rapat. Sementara diluar, diperlihatkan siluet diri Samir sedang berdiri dan membacakan syair. Syair yang sama, yang dibacakan Qais kepada Layla. Dari Scene itu menunjukkan, bahwa film ini tidak sekedar drama cinta klise semata. Namun ada sisi-sisi romantis dari kisah cinta klasik yang jarang ditampilan pada film-film Indonesia yang lain. Film ini juga, meskipun bergenre drama romantis dan tidak terfokus pada isu feminisme, tetap mampu menunjukkan potret kedudukan perempuan dalam kehidupan sosial. Pantas jika film Layla Majnun (2021) berhasil memperoleh beberapa penghargaan. Di Festival Film Bandung, penghargaan dengan kategori Pemeran Utama Pria Terpuji diraih Reza Rahardian dan kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji diraih oleh Acha Septriasa. Begitu pula di Festival Film Indonesia mendapatkan 8 nominasi termasuk Skenario Adaptasi Terbaik.n

Sastra dengan Rasa


Cerita Pendek

Perempuan yang Jatuh Cinta pada Laut n Hasan Tarowan

A

ku sama sekali tidak ingin mengatakan ini, meski hanya sekali. Ini sangat berat. Jika terlanjur terjadi, kau akan semakin jauh. Tapi lebih berat lagi ketika aku tidak mengatakannya. Sebab aku tahu bagaimana cara mengatakan: satu hari adalah waktu yang panjang dan aku akan tetap menunggumu di pantai ini. ----Ia tahu, mereka tidak akan pernah benar-benar bersama. Tapi aku mengagumi keberaniannya menyampaikan beberapa kemungkinan yang akan dipilih jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Begitulah sampai suatu hari nanti, rupanya kenyataan tak semanis yang dibayangkan. “Mengapa harus aku?” “Aku tidak punya alasan khusus...” Perempuan itu mencoba menghindari tatapan tajam kekasihnya. Tatapan mata yang membuat dirinya bergidik dan membuat jantungnya berdetak dengan irama tak beraturan. Bukan karena seperti peristiwa tiga tahun silam, saat pertama kali dia menggenggam tangan kekasihnya lalu mengatakan cinta, melainkan perasaan takut. Takut bila laki-

Soeket Teki Bicara

laki yang ada disampingnya nekat. Ia tahu, bukan duri ikan dan batu karang yang akan membuat hatinya luka, melainkan kepergiannya. “Sampai kapan kita akan seperti ini?” “Sampai laut mengering.” “Tidak masuk akal.” “Sama tidak masuk akalnya dengan pertanyaanmu.” Debur ombak begitu riuh. Ia memandang ke arah laut, permukaannnya bergelombang. Merasakan dingin menjalar ke dalam tubuhnya. Ia tak peduli ketika angin mengacakngacak rambutnya. Bahkan tak khawatir masuk angin. Hembusan angin sore itu begitu kencang sampai dua kancing bajunya terlepas. Ia tak peduli. Ia biarkan saja bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Bagi orangorang yang tinggal di pesisir, angin dan laut mungkin seperti dua sisi mata pisau, tidak bisa dipisahkan. “Kadang aku membayangkan, kita menjadi sepasang ikan yang berenang di laut lepas, bebas, lalu bersama menyusuri batu-batu karang.” Perempuan itu kembali membuka obrolan. Dia tatap wajah kekasihnya dengan mata berkacakaca, seperti mencari kesungguhan di kedua bola matanya. “Apa kau ingin menjadi seekor ikan tongkol?” Tanya lelaki itu. Sastra dengan Rasa

35


Hasan Tarowan - Perempuan yang Jatuh Cinta pada Laut

“Sepertinya menjadi ikan buntal lebih baik.” Kemudian keduanya meloloskan pandangannya ke tengah laut. Di barat matahari mulai turun. Deburan ombak terdengar lebih kasar. Perahuperahu nelayan mulai berbalik arah. Istri-istri mereka sudah menunggu di rumah dengan rasa cemas yang luar biasa. Dan perempuan itu, kau tau apa yang dia lakukan? Dia turun ke tengah laut, hingga separuh badannya basah. Dengan sangat hati-hati ia berjalan, seakan tak ingin satu ikan pun merasa terganggu dengan kehadirannya. Aku mengamatinya dari jauh. Pelan sekali perempuan itu berjalan, langkahnya penuh pertimbangan. Ia seperti mencari sesuatu. Waktu bergulir menuju maghrib. Perempuan itu terus melanjutkan pencarian, ia mengamati sekitar. Kadang menyelupkan tangannya ke air, tapi tak menemukan apa-apa. Brengseknya, ia sebenarnya tak tahu apakah yang dicarinya masih jauh atau sudah dekat. Dia hanya membawa sebuah harapan dalam hatinya. “Apa yang membuatmu berlagak seperti orang gila?” Laki-laki yang sedari tadi hanya diam mengamati tiba-tiba bertanya. “Aku sedang mencari sesuatu.” “apa yang kau cari?” “Kesunyian.” Laki-laki itu tampak berpikir sejenak, lalu menimpali dengan jawaban yang jelas-jelas bertujuan untuk menertawainya. “Barangkali kau bisa menemukannya di perpustakaan.” Perempuan itu hanya diam, lantas menggelengkan kepalanya. Perempuan itu menghela nafas. Bukan hanya kali ini saja ia menghadapi situasi semacam itu. Nyaris tak seorang pun paham isi hatinya. Dia menginginkan kesunyian. Namun, orang-orang justru menikmati hiruk pikuk yang memuakkan. “Apakah hanya kematian satu-satunya jalan menuju kesunyian cinta…” Kata-kata itu mengalir begitu saja. Walaupun dia tahu, laki-laki itu tidak akan mendengar suaranya. Karena dia mengatakannya di dalam hati. Ia terus bergerak menuju garis pantai, air mata perempuan itu keluar lebih cepat dari yang aku bayangkan. 36

Soeket Teki Bicara

Ia mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Bibirnya bergetar. Dia tidak berhenti menangis. Air matanya jatuh. Deras sekali. Barangkali matanya adalah laut yang tidak pernah surut. Perempuan itu mematung didepan kekasihnya. Kira-kira adakah hal yang lebih mungkin dilakukan seorang laki-laki yang tiba-tiba melihat kekasihnya bersikap aneh seperti itu, selain bualan? “Buka matamu. Lihatlah baik-baik, di titik itu senja akan benar-benar berakhir.” Kata laki-laki itu sambil menunjuk matahari yang mulai kemerahan. “Di sanalah Tuhan menggantungkan semua kepastian. Seperti takdir, senja tidak pernah datang terlambat.” Perempuan itu hanya diam menahan tangis. Ingatannya terbang ke masa silam, kepada suara lirih ibunya yang ia dengar menjelang ajalnya. Jika pada titik tertentu, manusia tidak akan sanggup untuk menanggung keinginannya sendiri dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka. **** Kau pernah bilang sangat suka laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku. Namun, dari beberapa catatan di buku harianmu aku pernah membaca tentang itu tanpa sepengetahuanmu: tentang keinginanmu berdiri di pinggir pantai soresore dan menyaksikan ikan-ikan berlompatan. Selain itu, di halaman yang lain, kau juga menuliskan keinginan yang tak kalah membuatku terkejut, kau mengatakan bahwa perayaan petik laut telah membuatmu kagum terhadap Sumenep dan ingin menghadirinya suatu hari nanti. Kemudian, setelah itu, sambil membetulkan posisi tidur aku telentang menatap langit-langit kamar lalu membuat sebuah adegan dalam kepalaku: pada satu sore yang sendu, kau berdiri menghadap laut, menyaksikan ikan melompat-lompat melakukan pertunjukan seperti sedang tampil dalam sebuah sirkus. Aku tak tahu bagaimana persisnya kau mulai jatuh cinta pada laut. Tetapi ketika kau menuliskannya, aku seperti membaca sebuah ikrar, bergetar dalam hatiku. Barangkali benar, kau memang mengindap kelainan jiwa karena terlalu gampang jatuh cinta. Sastra dengan Rasa


Hasan Tarowan - Perempuan yang Jatuh Cinta pada Laut

“Matamu biru, seperti laut.” Katamu suatu ketika. Ah, selalu tak mudah mengajakmu bercakapcakap. Padahal kau tahu, setiap kali mendengar kata laut aku akan teringat pada sosok ayah. Tarian gelombang putih yang bergulung-gulung itu terlihat bagaikan kain kafan. Itulah pemandangan yang selalu kusaksikan sejak kecil. Ibu selalu mengajakku ke pinggir laut, setiap kali aku merasa rindu dengan ayah. “Salah satu dari jutaan ikan di laut itu adalah ayahmu,” kata ibu. Ibu selalu bercerita bahwa ayah telah menjadi ikan. Selalu, dengan bibir bergetar dan mata yang layu, ibu bercerita bagaimana suatu malam ayahku diseret ombak, kapalnya diobrak-abrik badai. Aku masih berumur tujuh tahun, saat itu. Ibu mendengar cerita dari paman, bersama tiga nelayan lainnya yang saat itu selamat dari maut. Setelah hari ke tujuh, dari tengah laut muncul puluhan lumba-lumba. Membuat sebuah pertunjukan. Sebagian warga percaya jika lumbalumba itu adalah jelmaan roh-roh orang yang meninggal di dasar laut. Dan setiap malam purnama, ketika air mulai pasang puluhan lumba-lumba itu selalu muncul ke permukaan dan melompat melawan arus, kemudian hilang begitu saja. Sebesar dan seluas apa kuburan ayah? Di mana tempat dia bersemayam? Aku tidak begitu peduli dan tidak pernah mananyakan hal itu pada ibu. Tetapi aku percaya, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang dan jarak antara hamba dan Tuhannnya hanya setipis bibir pantai. Selain kematian ayah, sudah banyak kematian yang kami saksikan di sini. Tentu bukan saja kematian ikan-ikan karena ditangkap oleh para nelayan. Tapi juga terjadi pada tetangga kami, teman kami, dan saudara-saudara kami. Kemarin, televisi ramai-ramai memberitakan jika kapal selam KRI Nanggala-402 Tenggelam di Kedalaman 838 Meter di perairan utara Bali. Dan sejumlah 53 awak kapal dinyatakan gugur. Namun, aku tak akan berlama-lama bercerita tentang kematian ini. Karena bisa saja ada sebagian orang yang merasa sedih dan takut. Biarlah kematian menjadi kesunyian masing-masing.

Soeket Teki Bicara

Aku bangkit dari tempat tidur, hujan sore tadi masih menyisakan genangan di halaman. Malam ini, ibuku tidak banyak bertanya. Tapi ia tetap membuatkanku kopi, mengambilkan laptop di kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku belum tidur, tapi tidak bertanya mengapa aku memilih teras samping sebagai tempat, apalagi sudah larut begini. Ibu kembali ke kamar. Dan aku mulai menuliskan sesuatu. Ceritakan padaku tentang laut. Kali ini saja, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak orang yang bercerita tentang laut. Apakah masih menarik menceritakan sesuatu yang telah berulang kali dikisahkan? Lalu masihkah ada kemungkinan lain tentang itu? Tentu tidak ada. Tapi kau telah memintanya dan dengan senang hati aku akan menuruti permintaanmu. Aku mulai memikirkan kalimat pembuka. Ini kalimat yang akan menjadi penentu seluruh isi cerita. Aku mulai berpikir dan mengumpulkan segenap kemampuan untuk paragraf pertama. Kali ini aku harus serius. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, sampai aku merasa otakku tidak berfungsi. Ketika pikiranku hampir mendekati jalan buntu, tiba-tiba ada sebuah kalimat melintas. Di laut, Perahu-perahu nelayan diseret angin, sementara aku terombang-ambing di antara matamu dan mata hujan. Aku sendiri tak mengerti. Barangkali tarian laut adalah cara cinta menuturkan dirinya, lalu hanyut bersama arus waktu. Sejujurnya, aku bisa menulis tentang laut dengan begitu indah jika aku mau. Tapi apalah gunanya keindahan jika tak menyelesaikan apaapa? Aku tidak memiliki alasan yang cukup untuk melakukannya. Sudah banyak kita lihat orang-orang yang mengagumi keindahan laut dengan setengah mampus, tapi gagal menghadirkan satu pertanyaan, siapa dibalik keindahan itu? Sampai akhirnya, aku menyadari sesuatu. Benar katamu, saat kita bertengkar hebat waktu itu. Ibarat buih di laut, kehidupan ini hanyalah detak-detik waktu yang mengalir dalam keriuhan yang sia-sia. Aku memang payah, Alina. Aku tidak bisa menulis tentang laut dengan begitu indah seperti yang aku inginkan. Laut di matamu itulah sebabnya. Sastra dengan Rasa

37


Hasan Tarowan - Perempuan yang Jatuh Cinta pada Laut

Sangat sulit diterjemahkan. Kali ini aku akan berterus terang bahwa bening matamu itu, sangat sulit dirumuskan dalam kata. Matamu seperti laut biru, yang menyimpan rahasia dan penuh misteri. Sebenarnya aku ingin sekali menafsirkan laut di matamu dengan kata-kata, dengan bentuk bahasa paling sederhana dan yang paling mungkin dimengerti. Tetapi, itulah kelemahanku, semakin aku menatap matamu dengan sepenuh penghayatan, semakin aku terseret ke kedalaman matamu. Lagi pula, aku tahu kau begitu mencintai laut. Setiap kali kau bercerita tentang kerinduanmu kepada laut, atau saat ketika kau berada di suatu pantai, aku merasakan laut bergetar di dadamu. Suatu waktu, ketika kau mengungkapkan kekecewaanmu terhadap rencana pemerintah terkait reklamasi di pulau A dan pulau C di kotamu, aku melihat laut bergemuruh di matamu. Sungguh, ketika itu, sebagai anak seorang nelayan, aku benarbenar merasa malu. Sebab penghayatanku terhadap laut tidak setulus dan sebening kecintaanmu. “Selasa depan, setelah upacara petik laut, aku akan mengajakmu makan malam.” “Aku akan berangkat dengan bis paling awal.” Dua bunyi notifikasi memecah hening. Aku terdiam dengan cangkir tertahan di bawah dagu setelah membaca pelan-pelan isi pesanmu. Sudah berapa kali purnama kita tidak bertemu? **** Perasaanku makin tak menentu ketika mendekati menit-menit sebuah upacara sakral. Upacara rokat tase’ atau petik laut adalah upacara adat, atau ritual yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas melimpahnya hasil laut yang didapatkan selama satu tahun. Selain itu, merupakan doa keselamatan bagi para nelayan, serta permohonan rezeki untuk tahun-tahun yang akan datang. Sebagian masyarakat pesisir percaya jika laut memiliki peran sentral dalam kehidupan sehari-hari, sebagai perantara atau medium agar terhubung dengan dzat yang lebih besar. Itulah sebabnya acara petik laut selalu berlangsung meriah setiap tahun. Matahari mulai tinggi. Semua warga terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ibu, seperti ibu-ibu yang lain, sedang menyiapkan 38

Soeket Teki Bicara

sesajen yang akan dimasukkan ke dalam replika perahu hias. Aneka buah dan sayur, kepala kambing, kembang tujuh rupa, ayam berwarna hitam, dan satu nasi tumpeng ukuran besar sudah siap tersaji. Di sudut yang lain, beberapa orang laki-laki dewasa terlihat sedang memasang dekorasi tambahan atau membetulkan letak bendera yang terpasang pada tiang-tiang perahu. Perahu-perahu inilah yang nanti akan membawa warga ke tengah laut untuk mengikuti prosesi larung sesaji. Setelah lokasi larung sesaji ditentukan, para nelayan akan bersiap membawa perahu hias yang berisi sesajen, diiringi perahu-perahu hias lainnya. Biasanya, perahu-perahu yang mengiringi prosesi larung sesaji diharuskan mengelilingi perahu yang berisi sesajen selama tiga kali sebelum akhirnya kembali ke darat. Siang itu langit tampak gelap. Aku dan Alina berada di atas perahu yang sama. Karena itulah aku tidak mencemaskannya. Aku tahu dia lebih senang laut daripada gunung. Dulu aku pernah bertanya mengapa? Dia menjawab dengan enteng, “Aku ingin menjadi ikan,” katanya. Sungguh aku aku juga tak mengerti kenapa cuaca tiba-tiba menjadi sekacau ini. Sejumlah perahu tampak berseliweran menuju garis pantai. Para penumpangnya berteriak-teriak saling mengingatkan. Kilat petir dan bunyi guntur bersahutan seperti dihamburkan dari langit yang membuat orang-orang tiarap gemeteran. Tubuh ini rasanya beku. **** Kasih, setiap kali orang berkata, “Lautan itu pahit, bila kau tak benar-benar mengerti hakikatnya. Begitu pula dengan cinta.” Aku sama sekali tidak berusaha menolak atau menyangkalinya. Bagiku, cinta adalah satu-satunya jalan terbaik yang mesti ditempuh. Akulah lautan itu. Semua yang sampai padamu adalah sentuhan terakhir seorang perempuan paling setia, sebuah gelombang yang mengakhiri dirinya. Aku sering kali berandai-andai tentang kita, bagaimana jika cinta adalah aku, dan kau adalah umpan di pancing para nelayan? Apa yang akan terjadi jika seandainya aku nyangkut di kail itu? Semula aku percaya jika puncak semua pemberian adalah nyawa, tetapi setelah aku Sastra dengan Rasa


Hasan Tarowan - Perempuan yang Jatuh Cinta pada Laut

mengenalmu, aku kira tidak ada persembahan lain yang paling agung selain cinta. Aku belum tahu pasti apa yang bisa aku lakukan dengan keadaan ini. Orang-orang telah lama meninggalkan pantai ini tanpa mau mengingatnya lagi. Jalan setapak yang dulu sering kita lewati menuju pantai ini telah ditumbuhi rerumputan. Orang-orang telah dilayarkan jauh dari tempat ini dan mereka tidak akan pernah kembali. Aku masih ingat ketika kau memegang tanganku sebelum perahu itu terguling diterjang ombak. Waktu itu kau berusaha menggapai tanganku tapi tubuhku yang mulai lemas tidak sanggup melawan deras arus yang menggulung kita. Sebab itu aku mulai pasrah, mungkin aku sudah ditakdirkan menjadi bagian dari laut. Aku meluncur ke dasar serupa jangkar yang dilepaskan. Suatu hari nanti, pada suatu pagi yang entah, jika kau pergi ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan yang berenang di antara terumbu karang, mungkin salah satu dari ikan-ikan itu adalah aku. Sejak peristiwa itu kita tidak pernah bertemu lagi, kasih. Kau harus tahu, kadang di antara desir angin yang mengantarkan gelombang ke tepi pantai, aku menyelinap untuk melacak bekas-bekas jejak kaki kita. Walaupun aku tahu, hembusan angin dan hempasan air telah lama menghapus jejak itu. Tapi aku ingat, di atas batu besar dekat pohon kelapa itu, kita pernah berteduh sebelum memutuskan untuk ikut acara petik laut. Tentu kau juga masih ingat. Akulah yang bersikeras mengajakmu untuk ikut prosesi larung sesaji ke tengah laut. Padahal kau sudah berulang kali mengingatkan, jika ajakanku ini sangat beresiko karena cuaca sedang tidak bagus. Tapi semua sudah terlambat dan kadung terjadi. Kali ini dadaku mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata yang tiba-tiba ingin diungkapkan. Karena itulah aku menulis surat ini untukmu. Meski aku tahu kau tidak akan pernah membacanya. Tapi kau harus tahu, di dasar laut ini, aku begitu menderita oleh himpitan kesepian. Walaupun di sekitarku banyak ikan-ikan yang hampir gila akibat perasaan kehilangan, setelah salah satu kerabat mereka dimangsa oleh ikan lain yang lebih besar.

Soeket Teki Bicara

Atau anak-anak ikan yang bermain di dekat terumbu karang tapi tidak tahu mesti mencari pelukan siapa ketika lapar datang. Jika dibandingkan dengan ikanikan itu, nasibku masih sedikit lebih beruntung, karena setiap kali merasa kesepian, aku masih bisa menulis surat untukmu. Sebenarnya aku tahu jika kau tidak akan mampu menangkap isi surat-suratku ini dengan sempurna. Karena surat-surat yang kukirimkan ini tidak mudah dipahami hanya dengan sekali baca. Tapi tak mengapa, tentu kau sudah mafhum, aku tidak bisa menuliskan surat ini dengan bahasa lain selain lewat isyarat angin dan riak ombak. Aku hanya perlu menjadi satu sapuan ombak untuk menyapa jejak-jejak kakimu di tepi pantai, atau angin yang pelan-pelan mengelus-elus rambutmu ketika hatimu ditundukkan oleh kesedihan. “Cinta yang tulus akan menghapus kesedihan dari sebuah perpisahan.” Semula aku tidak pernah membayangkan kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut laki-laki sepertimu. Sangat sulit dipercaya. Tapi sejak saat itu pula aku mulai menafsir-ulang tentang peristiwa pertemuan dan perpisahan yang silih berganti dalam hidup ini. “Kesedihan tidak akan ditemukan pada diri seseorang yang sepanjang hidupnya dipenuhi oleh cinta,” katamu di lain waktu. Aku benar-benar merinding ketika mendengar kalimat itu. Aku coba cari-cari ke dalam jiwa untuk dapat merasakan lagi getaran-getaran yang muncul, seperti ketika aku hendak mengatakan cinta padamu. Aku selalu mendatangi tempat di mana perahu yang kita tumpangi dulu tenggelam. Pertemuan kita yang terakhir telah membuka pintu penantian yang panjang. Kau tak mungkin datang ke tempat ini seperti aku mendatangi sisa-sisa papan kayu yang mulai ditumbuhi terumbu karang. Aku tahu itu mustahil. Akan tetapi, demi semua yang sudah berlalu, aku menyimpan surat-surat ini untukmu dengan tabah, dengan pengharapan yang tak pernah layu.n Sumenep, April 2021.

Sastra dengan Rasa

39


ESAI

(Dok. Internet)

Mengada dengan Cinta

P

abila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia walau jalannya sukar dan curam. Dan pabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya. Walau pedang di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.

40

Sajak di atas merupakan sepenggal jawaban Almustafa ketika ditanya masyarakat perihal cinta. Almustafa adalah tokoh fiksi dalam buku monumental “Sang Nabi” yang ditulis penyair sekaligus filsuf besar asal Lebanon yakni Kahlil

Soeket Teki Bicara

Gibran pada tahun 1920. Ia dikisahkan sebagai orang bijak yang diasingkan ke sebuah pulau selama 12 tahun. “Dia yang mencintai tak pernah menyadari kedalaman dirinya sendiri sampai saat berpisah tiba.”

Sastra dengan Rasa


Mohammad Hasib - Mengada dengan Cinta

*Mohammad Hasib

Begitulah yang dirasakan masyarakat ketika masa pengasingan Almustafa selesai, dan dijemput untuk meninggalkan pulau itu. Seluruh masyarakat berkumpul di gerbang kota, lalu meminta Almustafa menjawab jeritan jiwa

mereka. Gibran memiliki keajaiban dalam menyentuh emosi. Kata-katanya seoalah mampu menyembuhkan jiwa dan memberi harapan kepada yang menderita. Sang Nabi menjadi simfoni kehidupan yang menakjubkan. Ia menyentuh semua aspek dalam kehidupan manusia; cinta, pernikahan, pekerjaaan, keluarga, politik, agama, bahkan kematian. Tak heran, buku ini telah diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa dan menjadikannya salah satu dari sepuluh buku yang paling banyak diterjemahkan dalam sejarah. Kahlil Gibran adalah satu, dari sekian banyak penyair dan filsuf yang meletakkan cinta untuk memandang segalanya. Di khazanah Islam kita mengenal Jalaluddin Rumi yang juga berbicara dalam bahasa yang sama. Rumi pernah mengatakan bahwa cinta adalah sesuatu yang diciptakan Tuhan pertama kali (R. Mulyadi Kertanegara, 1996). Dan pada akhirnya, cinta pula yang yang akan mengantarkan seorang pecinta kepada tuhannya.

Soeket Teki Bicara

Bahasa Cinta Jika kita mencermati karya-karya Kahlil Gibran atau Rumi, cinta telah menjadi dasar dari gambaran realitas yang ia lukiskan dengan kata-kata. “Cinta: engakaulah badanku,” kata Gibran. Mereka berbicara tentang universalisme cinta yang dijadikan sebagai cara pandang, tindakan, dan tujuan manusia hidup di dunia. Bagi Gibran misalnya, keberadaan cinta membawa manusia untuk sampai pada kesejatian hidup lantaran cinta mengandung ketulusan, kemerdekaan, penyucian, dan juga keindahan. Cinta menyelimuti setiap dimensi manusia baik yang lahir maupun batin. Alirannya, memantulkan warna-warni keindahan hati seorang pecinta dan yang dicinta, lalu sampai pada telaga rasa serta rasio, dan mewujud dalam semua hal. (Fahruddin Faiz, 2015) Kahlil Gibran memang seorang anak zaman. Ia dibentuk oleh “kebrutalan kemanusian”; perang dunia, tirani di akhir masa Kesultanan Turki, dan ortodoksi gereja. Konteks itulah yang mendefinisikan

Sastra dengan Rasa

41


Mohammad Hasib - Mengada dengan Cinta

dirinya sebagai apa, dan harus bagaimana. Salah satu karya besar yang dilahirnya Gibran untuk menangkap realitas dimana ia hidup yakni Novel Al-Ajniha Al-Mutakassira (Sayap-sayap Patah, 1912). Buku ini menceritakan kisah cinta yang tragis sepasang dua insan yang dipisahkan oleh otoritas gereja yang mengabdi pada nafsu. Pada periode setelahnya, suara Gibran semakin lantang. Ia mendedikasikan sejumlah puisi atas pandangannya mengenai kekuatan besar yang mengusai Lebanon. "Mati Adalah Umatku" dan "Kasihan Bangsa" adalah responnya atas kematian 80.000 orang di Gunung Lebanon yang dipicu oleh Kesultanan Turki. Cinta juga digunakan Kahlil Gibran dalam memandang kehidupan beragama. Meskipun dibesarkan sebagai seorang Kristen Maronit, sebagai seorang Arab ia tidak hanya dipengaruhi oleh agamanya sendiri tetapi juga oleh Islam, terutama oleh mistisisme para Sufi . Pengetahuannya tentang sejarah berdarah Lebanon, memperkuat keyakinannya pada kesatuan fundamental agama. Sebuah sajak yang menunjukkan perhatian besarnya terhadap persoalan ini yakni; “Kamu adalah saudaraku dan aku mencintaimu.

42

Aku mencintaimu ketika kamu bersujud di masjidmu, dan berlutut di gerejamu dan berdoa di rumah ibadatmu. Anda dan saya adalah putra dari satu iman—Roh. Dan mereka yang ditetapkan sebagai kepala di atas banyak cabangnya adalah seperti jari-jari di tangan keilahian yang menunjuk pada kesempurnaan Roh.” Dalam setiap karya-karyanya, Gibran meminimalisir untuk menunjuk pada Tuhan tertentu dari tradisi agama-agama yang ada. Ia lebih menekankan pada keutamaan manusia dan kebebasannya dalam bertindak secara benar. Gibran menegaskan bahwa, manusia diturunkan ke bumi adalah sebagi duta-duta cinta serta kasih sayang, dan merepresentasikiannya dalam segala hal. Tentang Tuhan, cukuplah orang tahu bahwa Dia adalah segalanya, dan manusia berada dalam diri-Nya. Apa yang dikatakan Gibran ini, agaknya senada dengan pemahaman para mistikus dan sufi dalam dunia Islam. Konsep itu sering dipahami sebagai Wahdatul al Wujud dengan tokoh-tokohnya seperti Ibnu Arabi, Al Hallaj, Rumi, maupun Abu Yazid Al Buztami. Rumi berkata; “kau harus hidup dalam cinta, sebab manusia yang mati

Soeket Teki Bicara

tidak dapat melakukan apapun. Siapa yang hidup? Dia yang dilahirkan oleh cinta.” Cinta dan Arogansi Masyarakat Gibran dan Rumi tidak hanya penting dalam kajian sastra, lebih dari itu, pikiran-pikiranya tentang kehidupan—atau lebih spesifik ke kehidupan keberagamaan—memberi nyawa untuk kerukunan umat manusia. Jika kita hari ini sering berbicara tentang persaudaraan sesama agama, persaudaraan sesama warga negara, dan persaudaraan sesama manusia, maka semua itu hanya bisa terwujud dan diikat oleh cinta. Di hari ini, teriakan kebencian masih jauh lebih menggema dari pada cinta dan kasih sayang. Banyak orang terjebak dalam doktrin keagamaan yang sempit; atas nama agama darah bisa mengalir dimanamana, atas nama agama kebencian terhadap yang tak sepaham seolah menjadi sah dilakukan, juga atas agama kejahatan kemanusiaan sering dibenarkan. Cinta hilang di sana, menjadikan manusia bukan lagi manusia. Cinta tak sekedar nyawa dari sastra, tapi juga nyawa kemanusian untuk menuju pada Tuhan.n

Sastra dengan Rasa

*Pemimpin Umum SKM Amanat


Edisi : 2020

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

43


“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus berbicara. Karena jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra berbicara dengan kebenaran.” Seno Gumira Ajidarma

Surat Kabar Mahasiswa

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

44

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.