Tabloid SKM Amanat Edisi 133

Page 1

AMANAT Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Untuk Mahasiswa Mahasiswa dengan dengan Penalaran Penalaran dan dan Taqwa Takwa

Menolak Padam! Aktivis mahasiswa yang kelimpungan menghadapi pandemi, mulai menemukan solusi mengatasi ancaman kegagalan kaderisasi organisasi.

Edisi 133/Desember 2021 ISSN: 0853-487X


TERAS

SURAT KABAR MAHASISWA

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit:

Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Semarang Izin Terbit: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X PELINDUNG Rektor UIN Walisongo Semarang PENANGGUNG JAWAB Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PEMBINA Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan PEMIMPIN UMUM Mohammad Hasib SEKRETARIS UMUM Irfana Ulya BENDAHARA Syifa Mariyatul Kibtiyah, Rani Nur Latifah PEMIMPIN REDAKSI Agus Salim Irsyadullah SEKRETARIS REDAKSI Ramadhani Sri Wahyuni REDAKTUR PELAKSANA Sigit Aulia Firdaus, Nur Zaidi, M. Iqbal Shukri, M. Azzam Ashari, Afridatun Najah, Khalimatus Sa’diyah, MANAJER AMANAT.ID Muhammad Shafril Hidayat REDAKTUR AMANAT.ID Nabila, M. Syamsul Maarif, Nur Aeni Safira Saffina Qurrotunnida Faizati DESK BERITA Ita Erviana DESK ARTIKEL Burhanuddin Robbany DESK VIDEOGRAFI Rudy Darmawan, Amelia Anisatul Khoiriyah DESK SASTRA BUDAYA Nurul Fitriyanti, Umi Salamah LAYOUTER Ilham Munif ILLUSTRATOR Ridho Alamsyah, Latifatul Munawaroh KOORDINATOR REPORTER Eva Nur Yuliana KOORDINATOR MEDIA SOSIAL & IT Rizkyana Maghfiroh, Tri Beby Sari REPORTER Ivatunisa Khasanah, Ati Auliyaur Rohmah, Ayu Siti Marfuah, Yuli Melinia, Debora Ananda HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Muhammad Shokhiful Fikri, Rizki Nur Fadilah Agung Prastio, Annanda Annisa Al-fath MANAGER USAHA Faiq Yamamah SIRKULASI & PERIKLANAN Muhammad Fauzan Aflachi, Alifa Fadila PUSAT DOKUMENTASI Nafiatul Ulum, Fatimah Azzahrok, STAF AHLI Joko Tri Haryanto, Amin Fauzi, Musyafak, Khoirul Muzaki, Miftahul Arifin, Abdul Arif, Ahmad Muhlisin, Siswanto, Rosidi

SALAM REDAKSI

M

enjadi pengurus organisasi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan sekaligus tantangan. Kita mungkin bisa berbangga mewarisi semangat para pendahulu dengan seribu satu harapan baru. Tapi, di balik euforia itu, tersimpan sebuah tanggungjawab besar yang harus diselesaikan. Sebagai nahkoda baru, kita dihadapkan pada persoalan baru yang bahkan tak ditemukan dalam periode masa lalu. Kita tahu, hari ini gelombang pandemi memporakporandakan setiap celah kehidupan termasuk organisasi. Tiang-tiang penyangga organisasi satu per satu runtuh tergerus kerasnya hantaman gelombang pandemi. Meskipun berada di tengah badai sekalipun, nahkoda baru dituntut untuk menjaga keseimbangan kapalkapal menghindari resiko karam. Dalam hal ini, keselamatan kru adalah tanggungjawab nahkoda. Begitu pula dengan organisasi, seorang pemimpin adalah cahaya penuntun dalam kegelapan. Kalaupun seorang pemimpin tak dapat menembus kegelapan, setidaknya ia mampu menjadi penerang dan penenang di tengahtengah kepanikan. Lalu, berjalan bersama menuju cahaya terang di ujung lorong. Hal itu pula yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa (Ormawa) di UIN Walisongo Semarang. Meski pandemi membabat habis agenda dan program kerja yang telah dirancang,

2

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

sekaligus kaderisasi yang juga dalam ancaman, namun menyerah adalah sikap yang begitu dijauhi. Dalam Tabloid edisi 133 yang sedang anda baca ini, menyimpan energi perlawanan yang tetap berkobar. Aktivis UKM yang berjalan tertatih di hadapan pandemi, berjuang keras menyelamatkan kaderisasi sebagai penerus tongkat estafet organisasi. Sebuah perjuangan menolak kalah melawan keterbatasan dan berusaha menjadi manusia kuat. Meski begitu, di tengah kondisi pesakitan seperti ini, ada saja pihakpihak yang seolah menyulut bara dalam sekam. Kampus dengan segala kuasanya, memiliki wacana menghapus UKM yang dianggap tidak berkembang. Hal itu menjadi hidangan yang kami sajikan selanjutnya dalam laporan akreditasi Ormawa. Kami juga tak luput dalam mengkaji persoalan moral akademisi. Nampaknya, kampus sebagai lembaga bermartabat tinggi juga masih diam seputar isu pelecehan seksual yang marak terjadi di perguruan tinggi. Seolah moral akademisi itu telah runtuh dihadapan nafsu berahi . Meski beberapa rubrikasi mengalami penghapusan dengan pertimbangan yang matang, namun kami menghadirkan edisi khusus guna meruwat dan mengobati luka akan ingatan sejarah yang mulai tergantikan oleh kebudayaan baru mahasiswa. Selamat membaca!

Redaksi

Sentilan Bang Aman Pendaftar di UKM kok sepi, apa kurang promosi ya? Nunggu flash sale aja biar rame. Pak, di masa pandemi organisasi mahasiswa sulit berkembang. Cari solusi sendiri dulu, saya juga bingung belum nemu solusinya. Ada wacana akreditasi ormawa nih boss, yang nggak berkembang bakal ditendang Solusi aja belum dapat, gimana mau berkembang. Blokk. Asyiikk. Lulus nggak harus bikin skripsi. Mohon maaf, hanya berlaku bagi angkatan tertentu. Gawat. Kampus-kampus memilih tutup mulut isu pelecehan seksual Ketahuan belum sikat gigi ya. Uwwuuu … Bang Aman yang kadang pakewuh Ilustrasi: Mohammad Hasib

Menjaga Muruah Organisasi


LAPORAN UTAMA

Organisasi Mahasiswa

Menolak Padam!

Aktivis mahasiswa yang kelimpungan menghadapi pandemi, mulai menemukan solusi mengatasi ancaman kegagalan kaderisasi organisasi.

Sepi Peminat Perubahan kondisi 180 derajat ketika pandemi datang membuat semua aktivis mahasiswa kelimpungan. Selain program kerja yang tak jalan, kaderisasi yang menjadi inti keberlangsungan organisasi juga terancam. Pengumpulan data yang dilakukan Amanat memperlihatkan, terjadi penurunan signifikan dalam penerimaan anggota baru di sejumlah organisasi mahasiswa. UKM WSC misalnya, pada kondisi normal jumlah pendaftar bisa mencapai 400-600 pendaftar. Ketika diterjang badai pandemi, pendaftar hanya di kisaran 150. Lalu, pada UKM Resimen Mahasiswa (Menwa) hanya mendapat jumlah pendaftar sebanyak 90. Hal itu berbanding terbalik ketika masa sebelum pandemi yang bisa mencapai 150 pendaftar. Sedang, di SKM Amanat jumlah pendaftar yang biasanya menyentuh 300400 pendaftar di acara UKM Ekspo, pada penerimaan tahun 2020 hanya sampai 120 orang. “Dari jumlah itu, yang mengumpulkan berkas persyaratan hanya sampai 60 mahasiswa. Lalu, yang sampai diterima menjadi kru magang hanya sekitar 15 orang. Padahal biasanya bisa sampai 30 orang,” kata, Pemimpin Umum SKM

baru dalam Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) 2021. Azmi mewajibkan mahasiswa baru untuk memilih 4 UKM. Rinciannya, dua UKM tingkat fakultas dan dua UKM tingkat universitas. “Ya kita pada PBAK kemarin mewajibkan mahasiswa baru untuk daftar di UKM. Bebas mau milih UKM apa saja,” jelasnya, Jumat (03/09). Sekilas, alternatif solusi yang diberikan oleh Dema memberi dampak positif bagi perkembangan UKM dalam penjaringan dan kaderisasi anggota baru. Namun aturan yang diberikan oleh Dema tidak mewajibkan mahasiswa baru yang mendaftar di UKM, terlibat aktif sebagai anggota UKM. Azmi mengaku tak ingin mewajibkan mahasiswa untuk terlibat aktif dalam suatu UKM. Baginya, kesadaran berorganisasi adalah hak mahasiswa yang tidak bisa dipaksakan. “Aturan itu tidak memaksa mahasiswa baru untuk aktif berorganisasi. Ini hanya untuk membantu memperkenalkan UKM kepada mahasiswa baru,” terangnya. Menanggapi hal itu, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Achmad Arief Budiman mengaku visi kesadaran berorganisasi mahasiswa baru UIN Walisongo masih terbilang minim. Arif berpandangan, minimnya kesadaran berorganisasi di masa pandemi terjadi akibat mahasiswa baru kurang mengenal lingkungan organisasi kampus. Padahal, organisasi bagi Arif, penting untuk menunjang keterampilan mahasiswa. “Mahasiswa baru itu kan belum mengenal organisasi-organisasi kampus. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik saat acara pemilihan ketua umum di depan gedung Jadi mereka harus dikenalkan dulu, supaya PKM Universitas kampus 3 UIN Walisongo Semarang, Kamis (16/12) tahu pentingnya mengikuti organisasi,” Amanat 2020, Muhammad Syarif Marzuki, dengan Gatotkaca; melebur diri dalam jelasnya pada Selasa (04/05). kobaran api untuk menjadi pribadi baru Senin (21/04). Harapan Baru Mendengar keluh kesah para ketua dengan pemahaman yang berbeda. Guna menjaga kaderisasi tetap UKM, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Dengan demikian, Keputusan Direktur berjalan, sejumlah aktivis UKM mendorong Universitas (Dema-U) periode 2020, Jendral Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun Rubaith Burhan Hudaya, menggelar 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Arief untuk membuka akses aktivitas forum bebas pada Minggu (9/9/2020) di Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi keorganisasian di dalam kampus. Gayung sebuah tempat di kawasan BPI Ngaliyan. Keagamaan Islam (PTKI), menemukan bersambut, keinginan aktivis UKM untuk Pertemuan itu dihadiri para ketua UKM konteksnya. Peraturan ini menjelaskan membangkitkan kembali gairah dan lingkup Universitas. Segala persoalan bahwa, masyarakat akademis adalah sebuah semangat keorganisasian mahasiswa, dunia organisasi mahasiswa disampaikan tatanan di mana warganya melaksanakan mendapat lampu hijau dari Arief. Namun, Arief harus membuat silih berganti oleh para ketua di masing- kegiatan akademis yang bersifat kurikuler, ko-kurikuler dan ekstrakurikuler. Dengan kesepakatan bersama berupa penjadwalan masing UKM. Sayangnya, kebingungan dan kata lain, Ormawa juga menjadi paru-paru bagi UKM yang hendak berkegiatan di keresahan yang dibawa para ketua UKM, perguruan tinggi untuk memompa nafas dalam kampus, khususnya menempati gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). tak lantas menemukan solusi baru di civitas akademica. Mantan Aktivis HMJ TH (sekarang-IAT) Adanya penjadwalan ini, dimaksudkan forum itu. Solusi yang ditawarkan oleh Rubaith saat itu, hanya mengalihkan 2015, Leak mengatakan, salah satu isu yang untuk mengurangi jumlah kerumunan di proses kaderisasi anggota baru melalui menjadi sorotannya di masa pandemi adalah dalam kampus. “Kita bayangkan jumlah UKM di jalur online. Rubaith tak menampik tentang masa depan aktivis mahasiswa intra. jika pengalihan ini menjadi satu- Menurutnya, Ormawa sangat membantu fakultas dan universitas sangat banyak, satunya solusi. Disinggung mengenai mahasiswa untuk mampu learning how dan akan menimbulkan kerumunan. Saya to think (belajar bagaimana berpikir), minta UKM sementara dalam satu minggu teknis pelaksanaan, Rubaith memilih learning how to do (belajar bagaimana harus masuk dijadwal dua kali,” tegas Arief. mengembalikan ke masing-masing UKM. melakukan), learning how to be (belajar Dalam mempertimbangkan konteks “Solusi saat ini hanya pengalihan ke menjadi dirinya sendiri), dan learning how to online. Teknisnya kami kembalikan ke live together (belajar bagaimana harus hidup pandemi, Arief mengaku dilema ketika dihadapkan dengan keputusan ini. Di satu masing-masing UKM. Sebab, tiap-tiap bersama orang lain). UKM kan beda-beda fokusnya,” katanya “Seorang mahasiswa tentu harus sisi, organisasi telah menunda beberapa saat dihubungi Amanat melalui panggilan mengalami petulangan belajar, sebelum kegiatan secara tatap muka langsung yang WhatsApp pada Minggu (25/04). mengalami petualangan dalam hidup. berimbas pada kacaunya pola kaderisasi. Saya tidak bisa yakin jika layar gawai dapat Di sisi lain, organisasi harus tetap survive Kala Ormawa Tak Jalan demi keberlangsungan kaderisasi, lebihSejak dulu, kampus dimitoskan menggantikan Ormawa,” tandas pria yang lebih prestasi. kini berprofesi sebagai konten kreator di sebagai kawah candradimuka bagi Meski begitu, Arief menekankan mahasiswa. Seseorang yang masuk ke Kota Semarang, Kamis (09/09). seluruh pihak untuk tetap menerapkan tempat ini diharapkan bisa memiliki Kesadaran Minim Visi keselamatan dan kesehatan sebagai kesaktian seperti sosok Gatotkaca. Jika Memasuki tahun ajaran 2021/2022, acuan utama. Arief juga membatasi tokoh pewayangan tersebut mampu kegagapan dalam menjalani proses jumlah mahasiswa dalam satu UKM yang merubah ototnya menjadi kawat dan kaderisasi anggota baru perlahan mulai menyelenggarakan kegiatan di dalam tulangnya menjadi besi, maka seorang menemukan solusi. Ketua Dewan Eksekutif kampus. mahasiswa ditargetkan mampu menjadi Mahasiswa Universitas (Dema-U) periode “Tentunya kegiatan saat jam kantor. kompas bangsanya. 2021, Muhammad Azmi Ali bergerak cepat. Kami juga kordinasi dengan fakultas untuk Sebab itu, dalam catatan sejarah, Azmi melihat, ada kegagalan dalam pola melakukan penataan di gedung PKM mahasiswa menyandang berbagai kaderisasi anggota baru pada tahun 2020. masing-masing. Sehingga kegiatan tetap predikat prestisius seperti, agent of Hal itu yang disinyalir menjadi penyebab berjalan. Jumlahnya maksimal 10 orang per change, agent of control, guardian velue, minimnya minat mahasiswa baru untuk UKM itu untuk latihan dan aktivitas lain,” dan iron stock. Untuk sampai pada bergabung ke dalam organisasi kampus. pungkasnya.n tingkatan itu, mahasiswa tentu harus Tak ingin jatuh ke lubang yang sama, Agus Salim I menjalani proses yang sama panasnya Azmi lantas memberlakukan peraturan

(Amanat/ Agus)

D

ihadapan layar gawai, raut wajah Sri Widarti mendadak muram. Usai melakukan rapat koordinasi virtual bersama pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Walisongo Sport Club (UKM WSC), Sri terpaksa mengganti beberapa program kerja organisasi yang telah dirancang sebelumnya. Terhitung, sejak empat bulan usai Rektor UIN Walisongo, Imam Taufiq mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-1727/Un.10.0/R/HM.00/3/2020 perihal Pengaturan Kegiatan Pelayanan dan Kegiatan Akademik dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19, segala bentuk aktivitas akademik maupun non akademik harus dikerjakan dari rumah, termasuk aktivitas keorganisasian. Pengumuman itu sekaligus menjadi mimpi buruk aktivis mahasiswa. Hasil pengamatan Amanat di lapangan, sebagian besar aktivis mahasiswa di UIN Walisongo memilih kembali ke daerah asal. Sebagian lagi, bertahan di di Kota Semarang sembari terus menjari jalan keluar. Sri Widarti memilih kembali ke daerah asal dan hanya bisa memantau aktivitas keorganisasian melalui jaringan internet dengan harap-harap cemas. Dalam kondisi pandemi, kekhawatiran Sri memang cukup beralasan. Terlebih lagi, fokus kegiatan WSC adalah bidang olahraga yang dalam beberapa cabang mengharuskan pertemuan secara tatap muka. “Hampir 90 persen program kerja mati. Fokus ke latihan secara pribadi. Kita hanya mantau dari rumah,” ucap ketua WSC tersebut pada Jumat (23/04). Persoalan itu, tak hanya dialami Sri Widarti. Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Persaudaraan Setia Hati Terate (UKM PSHT), Lukman Hakim juga merasakan hal serupa. Ia harus memeras otak demi menjaga keberlangsungan iklim organisasi. Lukman sempat mengubah beberapa program kerja untuk menyelaraskan kondisi. Namun, usaha yang dilakukan tak sesuai dengan harapan Lukman. “Kita sudah merubah beberapa program kerja ke bentuk offline. Tapi itu juga kendala. Kita harus mencari tempat latihan baru. Kita juga tidak bisa memaksakan anggota ikut secara offline. Hasilnya sudah bisa ditebak,” ujar Lukman, Sabtu (24/04).

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

3


LAPORAN UTAMA

(Dok. Internet)

Dalam Bayang-bayang Akreditasi Ormawa

Rapat koordinasi wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama lingkup PTKIN se-Indonesia dalam pembahasan akreditasi Ormawa di Ternate, Sabtu-Senin(26-28/10/2019)

Saat Ormawa terseok karena pandemi, birokrasi melempar wacana akreditasi. Konsekuensi aturan itu, Ormawa bisa ditambah atau dihapus.

4

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

M

edio Oktober 2020, di tengah Pandemi Covid 19, sejumlah pejabat UIN Walisongo, mulai Wakil Rektor III, Kepala Biro AAKK, Wakil Dekan III, Kabag, Kasubag, Lembaga Penjamin Mutu (LPM), Bagian Akademik dan Kemahasiswaan, hingga perwakilan Pengurus Ormawa mengadakan pertemuan di Hotel Puri Asri Magelang. Di antara agenda penting dalam pertemuan tersebut yakni penyusunan standar borang akreditasi Ormawa di UIN Walisongo. Aturan ini digadang bisa menjadi cambuk bagi Ormawa untuk meningkatkan kualitasnya baik di bidang administrasi, pengelolaan organisasi, pengkaderan dan hingga prestasi. “Akreditasi Ormawa bukan sebuah usaha untuk mengkerdilkan Ormawa. Justru sebaliknya akan memberikan nilai plus bagi Ormawa,” kata WR III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Achmad Arief Budiman, dalam acara tersebut, sebagaimana dikutip dari website resmi UIN Walisongo. Wacana akreditasi Ormawa di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sebenarnya sudah lama dibicarakan. Dalam Rapat Koordinasi Wakil Rektor/Wakil Ketua Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PTKIN seIndonesia pada akhir Oktober 2019 di Ternate, di Maluku Utara, wacana itu juga dibahas.

Hasil pembahasan itu ditindak- shop untuk merancang akreditasi lanjuti dalam pertemuan di UIN Su- Ormawa,” tandasnya. nan Kalijaga pada Januari 2020. Di Perhatian Dulu, Akreditasi Kemusitu, pembahasan lebih detail yang dian menjurus pada penetapan instruWacana akreditasi Ormawa men untuk melakukan akreditasi. masih menjadi tanda tanya besar di Namun, pandemi Covid-19 yang benak aktivis intra kampus. Meski mulai melanda Indonesia wacana ini masih terus dipada awal Maret 2020 godog, para pengurus membuat wacana Orwama periode 2021 itu tertunda. merasa belum perArief Bunah dilibatkan. diman yang Meski wacana juga hadir hingga pengdalam dua godokan atupertemuan ran akreditasi tersebut meOrmawa telah ngatakan, lama dilakukan, pembahasan Ketua Dema akreditasi OrUIN Walisongo, mawa meruAchmad Arief Budiman Muhammad Azmi pakan hal baru. Wakil Rektor III Ali mengaku sama Meski sudah dua UIN Walisongo sekali belum tahu kali dibahas, aturan penerapannya akan ini masih mentah dan bagaimana. masih perlu digodog. “Dulu, kami pernah menawar“Di samping tidak bisa dibahas sekan untuk terlibat pembahasan ke cara offline, ini adalah sesuatu yang bagian Akademik. Tapi tidak ada baru, dan disadari atau tidak wacana tanggapan dari pihak kampus,” kata ini punya tantangannya tersendiri,” mahasiswa asal Jepara tersebut, Seungkap Arief Budiman, saat ditemui lasa (5/10). di kantornya, Rabu (21/4). Pelibatan pengurus Ormawa Ia mengklaim UIN Walisongo adalah PTKIN pertama yang menin- dalam penggodokan peraturan ini daklanjuti pembahasan akreditasi penting. Ia optimis peraturan baru Ormawa meski di lingkup internal. ini bisa membuat kinerja Ormawa “Sampai saat ini baru UIN Wali- semakin optimal. Tetapi pada prinsongo yang sudah menggelar work- sipnya ia mendukung akreditasi ini.

“Saya tidak ingin jika Ormawa hanya berkutat pada masalah admin saja, mereka harus betulbetul maksimal dalam melakukan kerjanya,”


WAWANCARA KHUSUS “Tapi dengan sosialisasi dulu, kajian yang matang, nggak bisa jika tiba-tiba langsung muncul SK-nya,” ungkapnya, Ketua Racana Walisongo Ahmad Hisyam AsSyafi’I punya pandangan lain. Baginya, memunculkan peraturan akreditasi Ormawa untuk saat ini kuranglah bijak. Menurut dia, masih banyak yang perlu dibenahi sebelum Ormawa masuk ke tahapan akreditasi. “Saat ini perhatian kampus terhadap UKM saja masih minim, kok malah mau diakreditasi,” katanya saat ditemui di Kedai The Reborn, Jumat (19/11). Ia menjelaskan, perhatian pihak kampus terhadap UKM masih rendah. Dari segi anggaran saja, kata dia, dana yang didapatkan Racana selalu kurang tiap tahunnya. Pihaknya bahkan harus menarik iuran anggota hingga menyebar proposal ke pihak luar untuk mendukung kegiatan organisasi. Maklum, dukungan anggaran dari kampus ke UKM Racana hanya berasal dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). “Itu pun sangat kurang, jika harus membaginya lagi untuk biaya akomodasi temanteman.“Kampus sering menutup mata dari sisi anggaran,” tandasnya. Lurah Teater Mimbar, Umi Salamah juga merasa keberatan terhadap wacana Akreditasi Ormawa. Ia takut aturan itu akan menimbulkan intervensi berlebihan pihak kampus terhadap Ormawa. “Jelas menolak, apalagi jika sampai mengekang berlebihan,” katanya, Selasa (5/10).

Ketua Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Walisongo, Ayu Malinda Sari merasa dukungan dari kampus ke UKM sudah cukup. Sesuai prosedur, ia selalu mengajukan proposal pencairan dana jika ingin menyelenggarakan sebuah kegiatan atau perlombaan. Meski ia mengaku prosedurnya agak rumit karena harus melengkapi berbagai syarat administratif. “Tak kira itu juga yang membuat temen-temen dari UKM lain malas untuk ngurusnya. Dan jika nantinya tidak disetujui oleh kampus, ya PSHT nggak ikut, ” tegasnya, Senin (22/11). Ancaman Penghapusan UKM Ditemui Amanat di kantornya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Arief Budiman mengakui pihaknya memang sedang mempersiapkan dengan matang akreditasi Ormawa. Bagaimanapun juga, Akreditasi Ormawa adalah hal yang baru di kalangan PTKIN. Ia menjelaskan, akreditasi Ormawa akan berbeda dengan Akreditasi pada umumnya. Akreditasi Ormawa akan lebih dinamis dan objektif dalam menilai seluruh kegiatan sebuah organisasi. Bukan berkutat pada penilaian administrasi, seperti akreditasi pada umumnya. Instrumen penilaian bisa mencakup tentang tata tertib administrasi, inventaris, kegiatan, maupun prestasi Ormawa. Dengan adanya akreditasi ini, pihaknya berharap seluruh Ormawa baik UKM atau Dema tidak berkutat pada urusan admininstrasi. Lebih dari itu, Ormawa diharapkan bisa lebih optimal menjalankan kegiatannya sebagai wadah mahasiswa untuk lebih aktif dan kreatif.

“Saya tidak ingin jika Ormawa hanya berkutat pada masalah admin saja, mereka harus betulbetul maksimal dalam melakukan kerjanya,” jelas Arief, Rabu (21/4). Konsekuensi dari penerapan akreditasi Ormawa, penghapusan atau penambahan UKM bisa saja terjadi. Tetapi tetap akan ada pembinaan dari pihak kampus untuk meningkatkan kualitas Ormawa. “Semuanya serba mungkin, kalau penambahan UKM bisa, berarti penghapusan UKM juga sangat bisa. Tapi nggak serta merta begitu, ada fungsi yang dilakukan oleh bagian kemahasiswaan untuk pembinaan,” ungkap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Arief Budiman. Kemenag rupanya juga mendukung penuh Akreditasi Ormawa. Harapannya, akreditasi ini akan menjamin, Ormawa hidup dan berkembang secara dinamis. Ia juga berharap rancangan akreditasi benarbenar berorientasi kualitas dan mendukung pada pengembangan diri mahasiswa dan PTKIN pada umumnya. "Jangan sampai akreditasi terkesan hanya berorientasi pada administrasi sehingga menyulitkan para aktivis mahasiswa intra kampus," kata Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan ,Direktorat PTKI Ditjen Pendidikan Islam, Ruchman Basori, dilansir dari pendis.kemenag.go.id (29/10/2019).n

Mohammad Hasib

(Amanat/ Shafril)

Organisasi Harus Tetap Survive

Achmad Arief Budiman Wakil Rektor III UIN Walisongo

Bagaimana Anda melihat kondisi UKM saat ini? Saya rasa UKM sudah mulai bisa beraktivitas, meskipun masih secara terbatas. Tapi hal itu bisa dibuktikan dengan keikutsertaan mereka mengirim perwakilan untuk mengikuti IPPBM di Yogyakarta kemarin. Ini menandakan bahwa UKM-UKM kita sudah bisa mulai beraktivitas seperti biasa. Bahkan, kemarin beberapa UKM juga meraih prestasi. Ini juga bukti bahwa kita bisa bergerak di tengah krisis. Lalu, bagaimana dengan kaderisasinya? Ini yang kemarin juga sempat menjadi perbincangan. Saya menerima keluhan dari dema maupun ketua-ketua UKM. Mereka kesulitan dalamkmembentuk pola kaderisasi. Keluhan mereka juga sudah saya sampaikan ke pak rektor. Beliau juga memahami. Kita juga sudah memberi masukan agar segala kegiatan dialihkan secara daring.

Pemanfaatan teknologi informasi menjadi penting sebagai alternatif yang tepat. Ini tidak hanya berlaku bagi UKM saja. Perkuliahan dan aktivitas lain juga sama. Fokus utama kita saat ini adalah kesehatan. Kita harus membudayakan kebiasaan 3M. Menurut Anda, pola kaderisasi yang efektif di masa pandemi, seperti apa? Setiap UKM harus secara masif melakukan upaya agar tidak terjadi stagnasi kaderisasi UKM. Posisi mahasiswa baru belum datang ke kampus. Langkah kaderisasi tetap bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknoogi digital dan konten-konten dan menyampaikan secara komunikatif kepada mahasiswa baru untuk peningkatan kompetensi mahasiswa. Ketertarikan mahasiswa untuk memilih salah satu UKM ditentukan oleh keberhasilan UKM dalam melakukan sosialisasi kepada mahasiswa baru. Kalau kita diam dan mengharapkan mahasiswa yang aktif, bahkan dalam kondisi normal pun tidak akan terjadi. UKM harus memproduksi konten digital yang lebih menarik lagi. Migrasi dunia riil ke dunia maya. Tetap melakukan aktivitas dengan keterbatasan yang ada. Di sisi lain kita harus bisa memanfaatkan peluang. Tantangan yang ada harus kita ubah menjadi sebuah peluang untuk tetap berkegiatan. Mahasiswa tidak boleh kehilangan kreativitas.

Kita juga harus pahami, di tengah keterbatasan kita tidak boleh terpuruk. Resiliensi kemampuan diri melakukan pertahanan diri tidak terpuruk dan tetap produktif melakukan kegiatan di sela peluang yang diciptakan. Tantangan yang dihadapi aktivis adalah bagaimana situasi ini tetap bisa memberikan peluang dalam melakukan kegiatan. Ini bagian dari sense of crisis. Artinya, kita dituntut untuk memiliki sikap kepekaan, kewaspadaan dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis. Jika diaplikasikan dalam organisasi, seperti apa penerapannya? Organisasi, kita tahu sejatinya menjadi wadah mahasiswa memperluas jaringan dan pengalaman. Namun, di tengah situasi pandemi, membawa tantangan tersendiri. Organisasi saat ini perlu menyadarkan anggotanya mengenai sense of crisis. Hal ini dikarenakan kita yang ada dalam organisasi ini merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, harus bergandeng bersama demi menemukan strategi yang tepat. Ini juga perlu peran pemimpin yang kreatif dan visioner. Mereka harus jeli dalam melihat peluang. Pemimpin juga harus bisa menjadi teladan bagi yang dipimpin. Dengan begitu, organisasi bisa bertahan.

Untuk menuju hal itu, perlu adanya kesadaran. Bagaimana membangun kesadaran di tengah krisis? Satu hal yang penting dimiliki adalah sikap sense of crisis pada setiap orang. Sehingga kesadaran tersebut dapat menumbuhkan semangat di tengah krisis. Tanpa kesadaran ini orang bisa terpuruk dan kehilangan energi untuk melakukan aktivitas.

Dalam kondisi krisis, ada istilah pertahanan terbaik adalah menyerang, bagaimana menurut Anda? Konotasi istilah menyerang tentu harus dimaknai sebagai sikap bagaimana kita tidak kemudian menyerah dengan keadaan. Tetap survive memiliki semangat prima. Keterbatasan yang ada tidak membuat diri lemah dan tetap melakukan hal produktif.n Agus Salim I AMANAT Edisi 133 Desember 2021

5


Kebijakan Tugas Akhir

LAPORAN KHUSUS

Silang Informasi Pengganti Skripsi

(Dok. Istimewa)

Kebijakan tugas akhir pengganti skripsi yang digadang-gadang mempermudah mahasiswa, justru belum satu suara. Mahasiswa kebingungan. Seberapa banyak dampaknya bagi lingkungan dan mahasiswa?

Mahasiswa sedang melakukan ujian Munaqosyah di ruang sidang Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum), Rabu (15/12)

P

agi itu Jumat (19/03) di sebuah rumah kontrakan di Jalan Banjaran Beringin, RT. 002/RW.020, Kel. Bringin Kec. Ngaliyan, Kota Semarang, Sigit harus membuang jauh-jauh ambisi mengerjakan artikel jurnal sebagai tugas akhir masa studi pengganti skripsi. Mahasiswa Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) itu terhalang restu dari pihak fakultas. Dalih penolakan yang diterima mahasiswa angkatan 2014 itu, Fuhum belum mengeluarkan edaran resmi perihal penggantian tugas akhir mahasiswa selain skripsi. Padahal, Rektor UIN Walisongo Imam Taufiq dalam pembukaan Rapat Kerja (Raker) Tahun 2020 di Hotel Laras Asri, Salatiga pada Selasa (21/01/2020), telah mewacanakan pilihan tugas akhir mahasiswa selain skripsi. Bahkan, kejelasan informasi mengenai tugas akhir juga telah dikeluarkan kampus pada akhir April 2020. Rektor menerbitkan Surat Edaran Nomor: B-2124/Un.10.0/R/ PP.00.9/04/2020 tentang Penyesuaian Masa Studi. Pada poin keempat dijelaskan proses penulisan dan pembimbingan skripsi pada semester genap tahun akademik 2019/2020 dapat diganti dalam bentuk penulisan artikel jurnal yang dipublikasikan pada jurnal yang terindeks moraref, atau penulisan buku secara utuh di bawah supervisi dosen pembimbing yang ditunjuk oleh Ketua Program Studi (Kaprodi). Namun, fakultas bersikeras untuk tidak terburuburu mengeluarkan edaran resmi. Merasa ada kejanggalan, ia mencari informasi di sejumlah fakultas lain di lingkup UIN Walisongo. Hasilnya, ditemukan dua mahasiswa yakni dari Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan (FITK) dan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) yang dinyatakan lulus wisuda periode 80 dengan mengerjakan artikel jurnal. Mereka adalah Amalia Nabilah Al-Dama (FITK) dan Muhammad Shofiyullah (FST). Usai melihat temuan itu, Sigit meradang. Mahasiswa asal Jepara itu bergegas kembali menghubungi fakultas. Sayang, harapan tak sesuai keinginan, fakultas enggan menerima tugas akhir selain skripsi dalam bentuk apa pun.

6

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Merasa lelah dan jenuh, ia memutuskan ”Untuk saat ini Fuhum tetap skripsi mengerjakan skripsi sebagai tuntutan bagi angkatan 2019 ke bawah. Tugas perguruan tinggi di akhir studi. akhir selain skripsinya mulai berlaku “Saya menanyakan itu kepada bagi angkatan 2020 dan seterusnya, fakultas, dan ngomong kepada kajur (red: karena menerapkan kurikulum 2020,” kepala jurusan). Tapi kajur menjawab, ujarnya, Selasa (23/03). fakultas belum mengeluarkan edaran. Di satu sisi Sulaiman lebih Padahal saya sudah ancang-ancang mengkhawatirkan sistem pengerjaan persiapan,” katanya. artikel jurnal yang membutuhkan Tak seperti Sigit, Muhammad waktu lama. Dalam buku Pedoman Shofiyullah telah lebih dulu Tugas Akhir tahun 2020 disebutkan mengantongi restu dari Fakultas Sains artikel jurnal harus mendapat dan Teknologi (FST). Bahkan, sebelum persetujuan oleh dosen pembimbing proses pengajuan pun, Shofi telah dan dikirimkan pada jurnal ilmiah merencanakan pengerjaan artikel jurnal yang terindeks (Moraref, Sinta, DOAJ, jauh-jauh hari. atau Scopus). ”Pihak fakultas sudah Usai artikel dikirim, memperbolehkan Sulaiman pun tak bisa mahasiswanya menjamin artikel mengerjakan artikel tersebut bisa jurnal,” kata Shofi terbit di jurnal. Solusi karya ilmiah untuk dihubungi Amanat Ada sebuah pada Rabu proses panjang pengganti skripsi berbentuk (24/02). sebelum artikel jurnal ini masih berlaku,” benar-benar Sementara, diterbitkan. dalam wawancara melalui aplikasi “A r t i k e l Dr. HM Mukhsin Jamil, M.Ag. pesan singkat yang dimaksud Wakil Rektor I Bidang Akademik dan adalah WhatsApp, Amalia yang Kelembagaan UIN Walisongo Nabilah Al-Dama diterbitkan di awalnya mengerjakan jurnal ilmiah yang tugas akhir berupa bersinta minimal skripsi. Namun, Bella, sinta 5, bukan asal begitu disapa kemudian artikel. Proses artikel itu mendapati kebijkan baru dari panjang. Submit-review oleh kampus yang memperbolehkan reviewer, lalu dikembalikan kepada pengerjaan tugas akhir selain skripsi. penulis untuk direvisi jika dimuat. Jika Tak mau berpikir panjang, Bella segera ditolak berarti mahasiswa harus nulis mengubah rencana skripsinya ke dalam dari awal,” tegasnya. artikel jurnal. “Total waktu yang dibutuhkan “Saat itu saya berada di pertengahan minimal 6 bulan jika artikel diterima. semester delapan, sementara proposal Jika ditolak berarti mahasiswa harus skripsi saya belum mendapat acc. Di nulis lagi dari awal, jika ditotal lagi saat itu saya mendapati edaran kampus hampir antara 6-10/12 bulan.” yang memperbolehkan pengerjaan Sementara, di Fakultas Ilmu artikel jurnal sebagai pengganti skripsi. Tarbiyah dan Keguruan (FITK) justru Akhirnya saya mengubah planning,” menerapkan kebijakan sebaliknya. katanya. Sabtu (27/02). Dekan FITK Lift Anis Ma’shumah membolehkan mahasiswanya Beda Penafsiran Adanya perbedaan kebijakan mengerjakan artikel jurnal sebagai pengerjaan tugas akhir selain skripsi, tugas akhir pengganti skripsi. Lift Wakil Dekan I Bidang Akademik dan beranggapan bahwa hal itu sudah resmi dalam buku Kelembagaan Fuhum, Sulaiman Al- termaktub Kumayi ikut merespon. Alasan Fuhum Pedoman Akademik 2020. belum mengaplikasikan kebijakan ”Yang pertama adalah bahwa prosedur lulus dengan artikel jurnal, payung atau aturan itu sudah jelas, menurut Sulaiman kebijakan tersebut aturan itu adalah pedoman akademik berlaku untuk angkatan 2019 ke bawah. 2020. Di situ disebutkan bahwa tugas

akhir mahasiswa tidak hanya berbentuk skripsi, bisa berbentuk hasil penelitian, rancangan dan pengembangan,” ujar Lift kepada Amanat, Jumat (26/03). Dalam kondisi yang serba terhimpit akibat pandemi, Lift memaklumi kesulitan yang dialami mahasiswa dalam pengerjaan skripsi. Lift lantas menerapkan surat edaran tersebut. ”Karena memang masa Covid-19 ini harus kita maklumi beberapa kesulitan yang sering dihadapi mahasiswa. Mulai dari penggalian data, proses bimbingan dan lain sebagainya. Untuk tugas akhir pengganti skripsi sudah dijelaskan bisa diganti dengan yang lain,” jelasnya. Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Saminanto, juga memberi lampu hijau bagi mahasiswanya untuk mengganti skripsi dengan artikel jurnal. “Saya persilakan bagi mahasiswa FST yang punya jurnal dan sudah dimuat bisa diajukan dengan catatan sesuai dengan pedoman dari FST. Karena setiap fakultas mempunyai pedoman yang berbeda. Jadi selama pandemi ini, mahasiswa di bawah angakatan 2020 menulis artikelnya sesuai dengan pedoman angakatan 2020,” tutur Saminanto, Selasa (23/03). Berlaku Terbatas Surat Edaran yang dikeluarkan per 25 April 2020 lalu, adalah sebagai alternatif untuk meringankan mahasiswa dalam pengerjaan tugas akhir. Dalam praktiknya, mahasiswa bisa memilih antara tetap membuat skripsi, artikel jurnal atau karya desain teknologi. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan adanya perbedaan penafsiran antar fakultas. Menanggapi perbedaan penafsiran itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kelembagaan M. Mukhsin Jamil menghimbau dan menegaskan setiap fakultas untuk menerapkan aturan sesuai edaran yang berlaku. Dalam buku Pedoman Akademik 2020, memang tercatat hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang mendapatkan kurikulum 2020. Namun, mempertimbangkan situasi pandemi, mahasiswa di bawah angkatan 2019 diperbolehkan menggunakan aturan itu. “Solusi karya ilmiah untuk pengganti skripsi berbentuk jurnal ini masih berlaku,” jelasnya, Selasa (23/03). Akan tetapi, kemudahan yang diberikan Mukhsin bersifat terbatas. Mukhsin menegaskan, peraturan tersebut hanya berlaku selama pandemi belum berakhir. Artinya, usai pandemi, mahasiswa di bawah angkatan 2019 tidak diperkenankan mengerjakan tugas akhir selain skripsi. “Penulisan artikel boleh sampai pandemi berakhir, silakan saja yang mau menulis asal tetap dengan bimbingan dosen. Untuk kurikulum 2020 memang sudah banyak variasi tapi untuk mahasiswa lama juga boleh sampai surat edaran yang saya buat itu dicabut. Surat edaran ini sebagai terobosan di era Covid-19,” jelas Mukhsin.n

Ramadhani S.W


LAPORAN KHUSUS

Smart and Green University

Ambisi Tinggi Kampus Hijau

UIN Walisongo mengeklaim dalam dua sampai dengan tiga tahun ke depan akan sepenuhnya menjadi kampus hijau. 20 tahun pun tak akan cukup.

Nafsu Tinggi Kampus Hijau Meskipun tidak tertulis pada visi besar UIN Walisongo, Imam mengaku keinginan menjadikan kampus hijau dilatarbelakangi atas dasar amanah statuta hymne UIN Walisongo. Di bait terakhir dalam hymne itu menyebutkan kalimat, “Jayalah Kampus Hijauku” sebanyak dua kali. Imam menafsirkan, Kampus Hijau dalam bait tersebut tak hanya sebatas sebutan, namun sebagai cita-cita. Di samping itu, ia mengakui terdapat kontrak politiik untuk menjadi lembaga pendidikan yang menerapkan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan. Menurutnya, UIN Walisongo memiliki peluang yang besar untuk menuju Kampus Hijau. “Kita harus melakukan perbaikan, kita harus sadar untuk melakukan perbaikan dari sisi kampus yang lebih ramah terhadap lingkungan, sebab Islam mengajarkan kita untuk ramah terhadap lingkungan,” jelasnya, ketika ditemui di ruangannya, Kamis (03/10/2019). Di lain sisi Imam juga menyadari bahwa masih banyak yang harus dibenahi. Ia yakin bahwa dengan dukungan dari stakeholder kampus, impian menjadi kampus hijau akan segera dapat terwujud. “Insfrastruktur kita masih belepotan, manajemen air kita belum sehat, parkir masih kacau, pengelolaan sampah, itu semua akan kita perbaiki, untuk sementara

(Dok. Internet)

K

ampus Hijau (Green University) seolah menjadi konsep besar yang dibawa oleh Imam Taufiq. Sejak dilantik sebagai Rektor UIN Walisongo periode 2019-2023, konsep itu terus didengungkan lewat berbagai saluran, baik media massa maupun media sosial. Apa yang disampaikan memang tak sekadar selesai di ucapan. Pada senin 26 Agustus 2019, Imam beserta jajarannya bertandang ke UIN Raden Intan Lampung, yang dianggap matang menerapkan konsep Kampus Hijau, di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PKTIN). Tak berhenti di situ, satu minggu setelah kunjungan, Ketua Tim Pengembangan Kampus Berkelanjutan dan Berwawasan UIN Raden Intan Lampung Eko Kuswanto didatangkan ke UIN Walisongo. Ia diminta untuk mengisi acara workshop Pengembangan Kampus Hijau di Ruang Sidang Biro Lantai 3 Gedung Rektorat Kampus 1 yang diikuti oleh segenap pimpinan di lingkup UIN Walisongo. Gayung bersambut. Pada awal Desember 2019, UIN Walisongo mendapatkan peringkat kampus hijau nomor 33 secara nasional dan ke 463 secara internasional dari UI Green Matric World University Ranking, usai mendaftarakan diri. Bahkan UIN Walisongo meraih peringkat ke dua nasional tingkat Perguruan Tinggi Keagamaan Isalam (PTKI) se-Indonesia. Sedangkan untuk peringkat pertama, diraih oleh UIN Raden Intan Lampung. UI Green Metric merupakan program dari Universitas Indonesia (UI) untuk pemeringkatan pertama di dunia berbasis komitmen tinggi dalam pengelolaan lingkungan kampus. Pemeringkatan yang dilakukan oleh UI Green Metric of World Universities dilandasi atas beberapa indikator penilaian yang terdiri atas keadaan dan infrastruktur kampus (15 persen), energi dan perubahan iklim (21persen), pengelolaan sampah (18 persen), penggunaan air (10 persen), transportasi (18 persen) dan pendidikan (18 persen).

Executive Briefing menuju World Class University bersama Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI di ruang sidang biro gedung rektorat lantai 3 UIN Walisongo, Selasa (30/07/2019).

waktu tim masih mengkajinya. Untuk tahapan pertama adalah pematangan konsep, jika nanti sudah clear akan kami sampaikan ke publik,” kata pria kelahiran Jombang itu. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Tim Kampus Hijau Mukhsin Djamil. Ia mengatakan akan memaksimalkan sumber daya yang ada. “Ya, untuk mewujudkan kampus hijau kira-kira butuh waktu dua sampai tiga tahun, akan selesai,” katanya, mantab, Rabu (16/10/2019) Melihat enam indikator penilaian UI Green Matric dalam konsep kampus hijau, Mukhsin mengatakan jika dalam pelaksanaanya akan dilakukan secara bersamaan. Tidak ada indikator yang diprioritaskan. Meskipun begitu, bagaimanapun juga pendanaan adalah sesuatu yang vital. Mukhsin mengatakan untuk meminimalisir pengeluaran, ia akan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. “Salah satunya, kita kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup,” jelas Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor I UIN Walisongo. Ditemui di tempat berbeda Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan Abdul Kholiq turut mengatakan, saat ini tidak ada anggran khusus yang diperuntukkan dalam program Kampus Hijau. “Untuk dana atau anggaran kita tidak spesifik dialokasikan pada kampus hijau, kita sifatnya mengalir saja. Kita akan lebih mengedepankan pengelolaan, menghemat pengeluaran dana,” tuturnya, Rabu (22/01/2020) 20 Tahun Pun Tak Cukup Sementara itu, Guru Besar Lingkungan Hidup UNDIP Syafrudin menjelaskan, konsep kampus hijau tak cukup hanya berhenti diperencanaan. Hal itu harus berbanding lurus dengan implementasi yang dilakukan oleh sebuah perguruan tinggi. “Konsep yang diusung dari kampus hijau adalah pembangunan yang berkelanjutan,” katanya, saat ditemui di Gedung Pascasarjana, Senin (11/11/2019).

Ia melanjutkan, meskipun dalam “Harus ada Standar Operasional pemeringkatan UI Green Matric, UNDIP Prosedur (SOP) tertulis, misal SOP menduduki peringkat ke- 4 tingkat penggunaan listrik. Warga kampus harus nasional, ia menganggap bahwa UNDIP memiliki tanggungjawab, meminimalisir belum layak dikatakan sebagai kampus pengeluaran finansial, dan sinergitas warga hijau. kampus dalam mewujudkan kampus hijau bersama-sama,” jelas Guru Besar asal Dikatakan, bahkan dalam waktu Banyuwangi tersebut. 20 tahun sebuah kampus belum bisa Dalam upaya memenuhi berbagai dikatakan menjadi Kampus Hijau. indikator kampus hijau, baik indikator Menurutnya kampus hijau bersifat dari UI Green Matric atau indikator berkelanjutan, dan tiap tahun terus lainnya, Syafruddin mengimbau tentang dituntut untuk pentingnya membuat membuat perbaikan master plan. Hal itu dan mengalami didasarkan untuk peningkatan. memudahkan dalam “UNDIP saja mengukur capaian menurut saya belum dan efisiensi kinerja. bagus, belum bisa “Harus punya dikatakan menjadi master plan, kampus hijau, kalau Insfrastruktur kita masih bel- tidak punya ya kalau tidak boleh jujur loh ya. punya bayangan. epotan, manajemen air kita Air belum dikelola Jangan sampai dengan bagus, belum sehat, parkir masih kepinginnya bangunan dan energi tapi tidak lama belum diganti, kacau, pengelolaan sampah, banyak jalan semua,” kata sampah belum di itu semua akan kita perbaiki, Syafrudin. kelola dengan baik,” Namun, ia ungkapnya untuk sementara waktu tim menggaris bawahi Dasar dari konsep jika dirasa mampu masih mengkajinya. Untuk kampus hijau, masih semua, Syafrudin menurut Syafrudin, tidak menampik tahapan pertama adalah kampus harus jika pemenuhan bisa menciptakan pematangan konsep, jika indikator dilakukan lingkungan yang bersamaan. nyaman bagi warga nanti sudah clear akan kami secara Tetapi, ia tetap kampus dan nuansa menilai tingkat sampaikan ke publik,” akademik berjalan. efisiensi lebih pada “Jika masih penggunaan master banyak mahasiswa Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag. plan. k u p u - k u p u Rektor UIN Walisongo D a l a m (red:kuliah-pulang) menjalankan master itu adalah salah plan, lanjutnya, satu indikator mendasar bahwa kampus harus didasarkan pada kemampuan dan tersebut belum bisa dikatakan kampus skala prioritas. Baik kemampuan financial hijau, karena belum bisa menciptakan rasa atau kelembagaan. nyaman bagi mahasiswa,” tuturnya. “Tahun ini targetnya apa, misal Selain itu, ia menyebut, dalam rangka pengelolaan sampah, terus tahun depan mewujudkan kampus hijau, setidaknya apa,” ujarnya mencontohkan.n ada lima aspek yang harus dipenuhi. Aspek teknis, aspek kelembagaan, aspek Is finansial, aspek peraturan, aspek peran serta masyarakat kampus.

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

7


Humaniora

I

ndah Sulfi Arifiyanti harus relakan hati dan pikirannya dihinggapi rasa takut saat menunggu angkot untuk berangkat ke kampus. Biasanya, ia berdiri di seberang SMP Hasanudin Tugurejo Semarang hingga angkot tiba. Konstruksi jalan menikung, tempat ia berdiri membuatnya was-was, tatkala beberapa kendaraan yang melaju dari arah barat berpacu dengan kecepatan tinggi. Perasaan was-was ia rasakan kembali sepulang dari kampus. Indah harus mau menyebrangi jalan dengan lebar sekitar 15 meter di tikungan yang sama tanpa ada penyeberangan jalan yang menjamin keselamatannya. Indah adalah mahasiswi prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakulatas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo yang bermukim di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hikmah Tugurejo. “Kalau menyebrang sendiri merasa takut dan khawatir tertabrak,” ungkapnya. Lain cerita dengan Indah, Asori (60) warga Tugurejo Semarang memilih bertaruh nyawa dan melanggar aturan demi Pengendara sepeda motor dengan santainya melawan arus di tikungan tugurejo, Semarang, Selasa (28/12) sampai rumah dengan cepat. Asori setiap ( Amanat/ Agus) kali pulang dari menjemput sang anak, dengan mengendarai motor ia memberanikan diri untuk lawan arus. “Masa hanya menjemput anak di Struktur jalan yang menikung membuat Jalan Tugu Rejo setiap tahun tak pernah absen dalam menyumbang angka kecelakaan. SD situ harus ke putaran yang jauh Selain itu kabar yang umum di telinga warga, penyebab lainnya adalah jalan tersebut ada sosok wanita yang sering mengganggu sekali,” kata Asori sambil tertawa, Selasa para pengendara jalan hingga menimbulkan terjadinya kecelakaan. (26/11/2019). Aksi yang membahayakan juga dilakukan oleh warga Tugurejo As’adi (50). “Dalam jangka waktu satu bulan, yaitu itu saya melihat truk tronton seperti terSelain itu, pengendara lawan arus Ia mengaku saat perjalanan ke rumah masuk dalam kategori pelanggaran yang November 2019, terdapat sebanyak 485 bang, terus mobilnya oleng ke kiri sampai dengan mengendarai motor sering mela- akan dikenai sanksi. Hal itu sesuai den- penindakan di wilayah Tugurejo,” pung- menghantam warung fotocopy hingga ruwan arus. Menurutnya itu sudah menjadi gan peraturan UU. LLAJ NO. 22 tahun kasnya. sak parah. Sekarang warungnya sudah pinaktivitas biasa yang dilakukan oleh warga 2009, pasal 287 ayat 1. Dalam peraturan Nihil Respon dah,” terangnya. Tugurejo. Namun ia tidak akan melaku- tersebut diungkapkan bahwa melanggar Menanggapi isu mistis penyebab keDitemui di tempat berbeda, Kepala kan aksi yang sama saat ada polisi yang rambu atau marka: melanggar aturan Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lin- celakaan, Alim tak menampik. Lelaki paruh berjaga di area sepanjang jalan pantura perintah atau larangan yang dinyatakan. tas Dishub Kota Semarang, Ambar Prasetyo baya tersebut tak kaget ketika mendengar tersebut. Dengan rambu lalu lintas atau marka mengaku pihaknya telah menerima lapo- sosok wanita berbaju putih yang sering di“Tidak perlu takut dengan ken- denda maksimal Rp. 500.000 (tapi sesuai ran dari warga Tugurejo. Namun, pihaknya ungkapkan oleh para sopir. daraan dari Barat karena banyak te- dengan keputusan hakim). tak bisa berbuat banyak lantaran, tikungan Sebab dalam sejarahnya, dikatakan mannya, biasanya banyak orang yang “Para pengendara yang melawan arus Tugurejo ternasuk bagian jalur Pantura Alim, tikungan Tugurejo tersebut diapit bareng-bareng nyeberang lawan arus,” sudah ditilang dan lawan arus bukan pi- yang kewenangannya ada di pemerintah oleh dua pemakaman umum. Namun ungkapnya mantap. dengan alasan akan dibangun Puskesmas, dana namun pelanggaran,” kata Fahru- pusat. Meskipun begitu, Ambar mengatakan akhirnya pemakaman umum Tambak Dari pengamatan Amanat, sepan- din saat ditemui Amanat di kantornya, telah berupaya melaporkan keluhan warga, Aji disebelah selatan jalan, di pindah ke jang jalan pantura Tugurejo jarak antara Kamis (14/11/2019). tempat putaran atau U-turn dari timur Sementara itu, Pembantu Unit (Pan- dengan mengirimkan surat ke Menteri Per- pemakaman umum Tugurejo sebelah utara ke barat jaraknya mencapai 7 km. Yakni it) I unit lantas Polsek Tugurejo AIPTU hubungan Republik Indonesia. Hingga em- jalan. kalau dari arah Jerakah U-turn terletak di Suyatno, menambahkan jarak putaran pat sampai lima kali surat telah dikirim ke Proses pemindahan makam tak berjadepan Oase Homy Residence . Kemudian atau U-turn sudah melalui tahap per- pusat, namun hasilnya tetap nihil. lan mulus, ada dua makam yang tidak di “Kami hanya bisa melakukan upaya pindahkan. Namun, pembangunan masih dari arah barat U-turn berada di depan hitungan yang matang, di antaranya SPBU Randu Garut. mempertimbangkan daerah yang rawan kirim surat ke pusat dan memenuhi fasili- tetap dilaksanakan. Hingga puskesmas itu tas kecil jalan seperti memasang rambu selesai di bangun dan beroperasi sampai Tikungan Tugurejo memang menjadi mengalami kemacetan. dan lampu pleasing,” katanya. sekarang, makam tetap berada di dalam jalur penyebrang ekstrem bagi pengguna “Sepanjang jalan juga telah dipasang Ambar lebih menyoroti pada jalan den- lingkup puskesmas. jalan, utamanya pejalan kaki. Pada 23 rambu-rambu tanda dilarang putar balik gan tikungan tajam Tugurejo. Menurutnya “Kata orang-orang dahulu mereka berDesember 2019, sebuah truk hiatau diperbolehkan,” jelasnya. jalan tersebut dapat membahayakan peng- dua adalah saudara sekandung. Sang kakak lang kendali dengan mengDalam upaya endara dan pengguna jalan. namanya Dewi Rukmini kalau adiknya hantam sebuah warung. mencegah kebi“Tikungan yang tajam harus dibuat tidak tahu namanya. Nah sang kakak (Dewi Beruntung, tak ada asaan lawan arus lebih landai, radius tikung diperbaiki,” Rukmini) yang suka mengganggu penggukorban jiwa dalam yang dilakukan harapnya. na jalan hingga menimbulkan kecelakaan,” kejadian tersebut masyarakat, Suy- Arwah Pengganggu Pengguna Jalan ungkap Alim. lantaran warung atno mengaku Penyebab sering terjadinya kecelakaan dalam keadaan Dewi Rukmini, lanjut Alim, meninggal telah melaku- di tikungan Tugurejo, bukan hanya diskosong, dan jadengan tidak wajar. Konon, ia (Dewi Rukkan berbagai ebabkan oleh jalan yang menikung. Nalan tak terlalu mini) dibunuh oleh sang ayah, dengan metindakan. Dari mun menurut cerita yang berkembang di ramai. menggal kepala. Bahkan dikuburkan dens o s i a l i s a s i lingkungan warga Tugurejo, terdapat sisi gan cara yang tidak wajar. Lalu, di kepada selu- mistis penyebab kecelakaan sering terjadi. “Ya, asal dikubur. Jadi arwahnya gentaylokasi yang ruh lapisan Menurut pengakuan warga Tugurejo, angan sampai sekarang,” terang Alim yang sama pada m a s y a r a k a t , Sayyidin Almualim (55), di tikungan tersejuga Ketua RT 06 RW 01 Desa Tugurejo. medio Oktober mulai pelajar, but sejak lama memang sudah sering terja2019, pejalan Beberapa upaya telah dilakukan oleh karyawan peru- di kecelakaan. Khususnya kendaraan besar kaki yang mengiwarga Tugurejo. Salah satunya Alim sendisahaan di sekitar seperti mobil, truk tronton, dan kendaraan Sayyidin Almualim dap ganguan kejilingkungan Tu- besar lainnya yang melintas dari arah barat. ri. Ia bersama temannya, pernah suatu waan menjadi korketika mengupayakan negosiasi dengan gurejo. Sebab selain Ketua RT 6/7 Desa Tugurejo Berdasarkan cerita yang ia dengar dari Almarhum Dewi Rukmini supaya tidak ban tabrak lari di area penjagaan, dan penilan- para korban selamat, Alim mengatakan itu. Korban terkatung-kagan, sosialisasi juga masuk bahwa beberapa Sopir (korban) berupaya mengganggu pengguna jalan. tung seharian tanpa ada yang Namun jawaban tak terduga dilontardalam Prosedur Tetap (Protap) menghindari sosok wanita yang menyememberi pertolongan dengan luka kaki kan oleh Dewi Rukmini kepada Alim. kepolisian. brang dengan baju putih, dengan rambut di sebelah kanan, yang membuatnya “Aku nek wayahe mangan, yo mangan,” “Kami sudah cukup dalam peninda- terurai sepinggul. Hingga akhirnya mereka pincang untuk sementara waktu. ucap Alim, menirukan jawaban Dewi Rukkan bahkan lebih, kami telah melakukan lepas kendali dan menabrak bangunan mini padanya.n Harus Taat Hukum operasi sesuai dengan SOP. Kami kan sekitar jalan. Alih-alih memberi solusi keluhan tidak mungkin selama 24 jam non-stop Di sisi lain Alim, yang sering ronda masyarakat, Kepala Unit Laka Lantas akan berdiri di jalan, jadi adanya rambu- malam di sekitar Gapura masuk gang Desa Polsek Tugurejo Semarang, M. Fahru- rambu harus ditaati oleh masyarakat,” Tugurejo, suatu ketika pernah melihat langsung proses terjadinya kecelakaan. Kejadidin, mengimbau para pengendara motor ujar Suyatno tetap mentaati peraturan. Menurutnya Namun upaya yang dilakukan oleh an tersebut disaksikan Alim empat tahun tindakan lawan arus merupakan budaya Suyatno nampaknya sia-sia. Dalam yang lalu. Vina Ulkonita buruk yang dapat meningkatkan angka pengamatannya, ia mengaku jumlah pel“Sekitar jam satu malam saya ronda potensi kecelakaan. seperti biasa bersama teman-teman. Saat anggar tidak mengalami penurunan.

Bertaruh Nyawa di Tikungan Tugurejo

Ya, asal dikubur. Jadi arwahnya gentayangan sampai sekarang,”

8

Desember 2021

AMANAT Edisi 133


“Dari data yang ada, tercatat sebanyak 24 desa dan kelurahan di Kota Semarang dan Kabupaten Demak bakal terkena dampak pembangunan tol sepanjang 27 km tersebut,” Cornelius Gea LBH Semarang Ditemui terpisah, Kepala Desa Bedono, Agus Salim membenarkan hal tersebut. Diakuinya, Desa Bedono menjadi desa di Pantai Utara Jawa Tengah yang mengalami dampak terparah pembangunan Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak.

( Amanat/ Agus)

D

i sebuah musala di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, dua orang perempuan tak henti-hentinya menatapi rumah yang sudah tak berpenghuni. Engsel bagian bawah pintu depan rumah itu, terlepas. Lantainya dipenuhi pasir. Kaca jendela-jendela pecah sebagian. Beberapa genting berceceran di halaman rumah. Sementara, dinding bagian belakang jebol oleh terpaan ombak laut pantai utara. Pemilik rumah itu adalah Musyaroh yang kini menginjak usia kepala enam. Sejak Medio November 2020, ia tak bisa lagi menempati rumah itu lagi. Bagi warga di sana yang memiliki uang lebih mungkin mampu membeli tanah, dan berpindah rumah. Namun, tidak bagi Musyaroh. Ia hanya bisa mengungsi di musala yang tak lagi digunakan sebagai tempat ibadah di dekat rumahnya. Di musala itu, Musyaroh ditemani anak perempuan semata wayangnya, Siti (35). Sedang sang suami yang bekerja serabutan terbaring lemas diungsikan di rumah menantunya, yang berada di samping musala. Dari penuturan Musyaroh, memang dalam dua dekade terakhir rob sering melanda desa tersebut. Namun, sejak adanya proyek pembangunan Tol dan Tanggul Laut SemarangDemak, intensitas rob yang melanda pemukimannya di semakin meningkat dan parah. Bahkan, hal itu terjadi setiap hari. “Lebih parah, banyak rumah ambruk, soalnya ombak datang disertai angin,” ujar Musyaroh saat ditemui Amanat di kediamannya pada Minggu (14/03). Apa yang dialami Musyaroh, dirasakan juga oleh Subali (45). Meskipun pembangunan proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak tersebut awalnya belum terlalu dirasakan secara siginifikan. Namun, ayah tiga anak itu mengaku telah meninggikan rumahnya dua kali untuk terhindar dari air rob yang sering memaksa merangsek masuk ke rumahnya. “Kalo dampak pembanguanan tol, belum terlalu terasa, mungkin daerah barat yang lebih terdampak,” ujar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan ini, Minggu (14/03).

Humaniora

Air bercampur lumpur mengubur beberapa rumah warga di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Minggu (14/03)

Mereka yang Tersisih dan Tenggelam Pembangunan Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak menyisakan kisah pilu. Warga di Desa Bedono menjadi yang paling terdampak. “Desa Bedono tidak aman karena terkena limpasan rob desa lain, sehingga limpahanan beralih ke desa kami,” tuturnya. Pembangunan Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak, tidak menjadi jaminan wilayah Demak aman dari rob. Dalam kacamata pria yang mulai menjadi Kepala Desa sejak 2016 ini, pemerintah Kota Semarang hanya ingin melindungi wilayah Semarang agar tidak tenggelam. “Belum dikatakan aman untuk daerah Demak. Arti Tol SemarangDemak yang berintegrasi laut ini ya hanya menyelamatkan Kota Semarang, tapi kalau sebutannya Tol SemarangJepara maka yang selamat SemarangDemak,” tegas Agus. Musyaroh dan Subali hanya dua keluarga dari sekian masyarakat pesisir Desa Bedono yang harus menerima kenyataan pahit terkena dampak rob yang semakin sering terjadi. Kini, warga Desa Bedono ibarat mengontrak di tanah sendiri. Setiap saat, mereka harus mengeluarkan uang dengan jumlah tidak sedikit untuk menguruk tanah dan merenovasi rumah. Pernah terbesit dalam benak Musyaroh dan Subali untuk pindah dari kampung halamannya menuju tempat yang lebih aman. Namun, lagilagi, persoalan ekonomi dan keluarga membuat mereka terpaksa bertahan di tanah yang kini terancam tenggelam. Solusi Atasi Rob? Sejak awal Februari lalu, proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak mulai beroperasi. Pembangunan dibagi menjadi dua sesi. Sesi I meliputi ruas Semarang-Sayung sepanjang 10,69 km yang ditargetkan rampung pada Mei

2021. Sementara, sesi II ruas Sayung sampai Kota Demak sepanjang 16,31 km dijadwalkan selesai Mei 2022 mendatang. Jika abrasi besar-besaran yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa tidak segera diatasi, maka wilayah Demak termasuk Desa Bedono akan terancam tenggelam dalam kurun waktu 10-20 tahun. Dikutip dari lrsdkp.litbang.kkp.go.id pada Senin (05/04), laju perubahan garis pantai di Kecamatan Sayung selama 20 tahun terakhir terlihat memprihatinkan. Pada tahun 1997, desa tersebut memiliki daratan seluas 739,2 hektar. Namun, pada 2017 lalu, luas daratan telah berkurang dan hanya tersisa 551,673 hektar. Melihat kondisi daerah pesisir yang semakin parah, Pemerintah telah merencanakan pembangunan Tol berintegrasi Tanggul Laut yang digadanggadang akan menjadi solusi rob yang selama ini menimpa daerah pesisir. Dalam unggahan video Gubernur Jawa Tengah melalui akun Instagram @ ganjar_pranowo, pada Selasa (26/01), Ganjar menyebut jika pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak, selain memperlancar arus transportasi juga dirancang untuk mengatasi rob yang selama ini terjadi di Semarang maupun Demak. Akan tetapi, proyek yang menelan investasi sampai lebih Rp15 triliun ini justru menuai kekhawatiran para pegiat lingkungan dan akademisi karena dianggap tak menyelesaikan banjir air laut pasang (rob) terutama di Kota Semarang dan Demak. Proyek justru membebani lahan dan berdampak buruk terhadap lingkungan. Pengajar Lingkungan

Soegijapranata Semarang Hotmauli Sidabalok, menggaris bawahi problem keadilan lingkungan dalam proyek ini yang bakal menciptakan ketidakadilan ekologis, tatkala sejumlah kerusakan lingkungan harus terjadi. “Proyek diprediksi memberikan potensi kerusakan di pantai Semarang dan Demak. Ada 13,2 km panjang pantai Kota Semarang. Demak 34,1 km,” katanya. Seperti dikutip dari mongabay.co.id, pada Selasa (06/04), material urukan proyek ini memerlukan 4.161.688 m kubik yang nantinya dibuat sebagai tanggul. Untuk badan dan bahu jalan sebanyak 124.184 m kubik, hingga total 4.285.872 meter kubik. Jika satu truk lima meter kubik, tanggul perlu 800.000 truk material urukan. Beban proyek yang besar tersebut akan menyebabkan tanah semakin ambles. Bahkan dalam kurun 2008-2011, di bagian timur Kota Semarang, laju penurunan tanah melebihi 10 cm per tahun. Menurut Cornelius Gea dari LBH Semarang, hal itu perlu dibahas lebih detail karena di berbagai tempat galian C menimbulkan banyak masalah lingkungan, termasuk banjir bandang. Selain amblesan tanah, aktivitas tektonik, dan pengerukan sedimen secara reguler di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas menyebabkan rob semakin parah. “Dari data yang ada, tercatat sebanyak 24 desa dan kelurahan di Kota Semarang dan Kabupaten Demak bakal terkena dampak pembangunan tol sepanjang 27 km tersebut,” pungkasnya.n

Rizki Nur Fadhillah

Program Magister dan Perkotaan Unika AMANAT Edisi 133 Desember 2021

9


Humaniora

Meramu (Lagi) Sketsa Deradikalisasi

10

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

menjelaskan dinamika, dan memberikan perbedaan mana kucing, mana macan,” kata Ketua Persadani, Machmudi Hariono. Untuk mengatasi stigma negatif masyarakat tentang yayasan yang dikelola oleh eks napiter ini, Persadani dengan senang hati mendekati lingkungan rumah tempat eks napiter tersebut tinggal. Keluarga, RT, hingga RW tak luput dari sentuhan Persadani untuk mengadakan sosialisasi dan memberikan penjelasan secara detail. Pada Kamis (15/10/2020) misalnya, Persadani bersama warga membudidayakan ikan lele. Lalu, pada Selasa (22/09/2020), Persadani

Pemutusan Mata Rantai Tidak ada agama mana pun yang membenarkan kekerasan. Tapi, tafsir agama dengan kekerasan itu nyata. Mereka membenarkan fitnah sampai pembunuhan atas nama agama. Tapi terorisme adalah persoalan lain. Mereka tidak bekerja sendirian. Ada seribu satu jaringan yang saling terkoneksi satu sama lain. Dan itu berhasil mereka kerjakan secara rapih dan sistematis. Tindak laku terorisme tidak lahir begitu saja. Ia adalah produk dari Islamisme. Sebuah gerakan keislaman yang merujuk pada pembaharuan dalam dunia islam. Tujuan utama Islamisme

Munculnya prajurit perang residivis ini, menurut Sapto Priyanto terbagi dalam empat jalur. Pertama, masih kuatnya pengaruh kelompok atau jaringan lama. Kedua, adanya labelling dan penolakan masyarakat. Ini akan membuat rasa sakit dan kekecewaan baru. Ketiga, kurang maksimalnya kompetensi pelaksanaan program deradikalisasi yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Dan, yang keempat, tidak semua napiter mengikuti program itu. Kemunculan residivis terorisme itu juga diperkuat data dari Institute For Policy Analysis Of Conflict (IPAC) yang dilakukan pada 2 september 2020.

Dok. Internet

S

alah satu kegagalan pemerintah dalam menghadang laju gelombang kemunculan kembali teroris usai keluar dari penjara (residivis terorisme), adalah tidak adanya metode baru yang ditawarkan. Meskipun pemerintah sudah menghalaunya dengan berbagai cara, mulai dari pencegahan radikalisasi di penjara sampai melancarkan strategi kebijakan publik melawan radikalisasi (counter-radicalization), yang bertujuan untuk mencegah orang-orang masuk organisasi teroris, namun aksi radikalisme dan terorisme masih saja tumbuh subur di berbagai belahan bumi Indonesia. Untuk mengantisipasi kemunculan residivis terorisme, Presiden Jokowi lantas meneken Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan pada 12 November 2019. Peraturan ini mengatur pencegahan melalui Kesiapsiagaan Nasional, dan Kontra Radikalisasi, dan Deradikalisasi. Namun, adanya peraturan tersebut tak membuat pelaku terorisme jera. Program yang selama ini dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), lebih menekankan kepada perubahan ideologi secara langsung dan cenderung mengesampingkan pendekatan secara psikologis pelaku. Hal itulah yang membuat Machmudi Hariono beserta beberapa kawan mantan narapidana teroris (eks napiter) lain, tergugah hatinya untuk mendirikan sebuah yayasan yang berfokus menangani eks napiter tersebut. Mereka memberi nama Yayasan Persadani Semarang. Kemunculan yayasan yang seluruhnya beranggotakan eks napiter ini bermula ketika, Machmudi Hariono, populer sebagai Yusuf, merasa belum menemukan seorang penggerak yang benar-benar menjadi pelopor, terutama di Jawa Tengah dalam menangani eks napiter. “Jadi pertimbangannya saya melihat di Jawa Tengah ini ndak ada figur sosok yang mempelopori, memandegani itu,” kata dia usai ditemui Amanat di sebuah Hotel di Semarang pada Rabu, (14/10/2020). Persadani adalah oase kehidupan eks napiter pasca keluar dari bui. Persadani menawarkan rumah yang nyaman untuk mereka kembali mengarungi kehidupan normal. Tanpa kekerasan, intimidasi, dan dendam membara akibat luka lama. Namun, dalam kacamata salah satu perintis Yayasan Persadani itu, tugas semacam ini tidaklah mudah. Perlu adanya antisipasi untuk mencegah organisasi faham radikal kembali menjangkiti mereka. Perjuangan untuk mendirikan Yayasan, diakui Yusuf tidaklah mudah. Sejumlah keraguan pun mulai muncul. “Saya tahu ini bukan hal mudah. Butuh pendekatan dan pendampingan dari berbagai pihak untuk menjaga para eks napiter tetap cinta NKRI,” ucapnya. Pandangan Yusuf cukup beralasan. Mengingat, sikap anti NKRI yang mendominasi mereka waktu itu, tidak lahir prematur. Sikap anti NKRI itu, kemudian tumbuh bersama doktrin sakit hati dan kekecewaan terhadap pemerintah dan negara. Yusuf dan kolega kini menjadi garda terdepan Persadani dalam membina kembali eks napiter. Walaupun sudah berhati NKRI, namun jika tidak ada pendampingan, ada kemungkinan eks napiter tersebut kembali terjerumus ke faham radikalisme. “Sebelum napiter keluar kita sudah mengkondisikan wilayahnya. Kita akan

mengadakan pelatihan pembuatan sabun sebagai bentuk membuka peluang usaha bagi anggotanya. Persadani tidak hanya mencegah eks napiter kembali ke dunia terorisme, namun Persadani juga memberikan jalan lain bagi anggotanya untuk mengembangkan usaha.

Saya tahu ini bukan hal mudah. Butuh pendekatan dan pendampingan dari berbagai pihak untuk menjaga para eks napiter tetap cinta NKRI,”. Machmudi Hariono Mantan Narapidana Teroris

adalah menyusun sebuah kerajaan dan masyarakat berdasarkan syariat islam. Bahkan, ia secara tegas menolak model pemikiran barat. Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Semarang, Joko Tri Haryanto menjelaskan, Islamisme dapat mengarah kepada bentuk terorisme setelah melewati berbagai tingkatan. “Jadi, dalam Islamisme atau islam politik itu levelnya ada empat, mulai dari fanatisme, ekstrimisme, radikalisme hingga terorisme,” kata Joko saat diwawancarai Amanat di rumahnya, Sabtu (03/10/2020). Dalam hidup keberagamaan, menerapkan sikap fanatik itu sah-sah saja. Namun, ketika sikap fanatik itu tidak mempunyai batasan maka secara tidak langsung akan mengarah kepada tindak intoleran. Level itu akan berkembang menjadi ekstrimisme ketika pelaku menggunakan tindak kekerasan untuk menggapai apa yang diinginkan. Pada taraf ini, Joko melihat ada peluang bagi pelaku dengan ambisinya yang tinggi untuk merubah segalanya. Apa yang diinginkan haruslah tercapai, hingga kemudian mencapai titik radikal. Sementara, tindak laku terorisme akan tercipta jika pelaku menggunakan caracara teror dalam merubah apa yang diinginkan sampai ke akarnya. Dalam disertasi Model Pencegahan Residivisme Teroris di Indonesia yang ditulis oleh Sapto Priyanto dijelaskan bahwa kasus residivis terorisme sudah muncul sejak 2010, ketika markas pelatihan militer Jantho Aceh yang dilakukan terpidana teroris Aman Abdurrahman. Lalu, hal serupa terjadi pada 2016 di mana, sebuah serangan bersenjata dan bom di Jl. MH Thamrin Jakarta, bom gereja Samarinda Kalimantan Timur yang dilakukan oleh residivis terorisme.

Diketahui, sejak tahun 2002 hingga Mei 2020, terdapat 94 orang residivis kasus terorisme dari 825 napiter yang ada. Ditemui Amanat di Hotel Horison Semarang pada Selasa (06/10/2020), Penyuluh Agama Kementerian Agama Kota Semarang, Syarif Hidayatullah mencatat untuk Daftar Pencarian Orang (DPO) terorisme tingkat Jawa Tengah, Semarang menjadi wilayah dengan jumlah DPO terbanyak dibanding Solo. “Selama ini banyak orang yang berpikir kalau Solo menjadi DPO teroris terbanyak. Sebenarnya bukan Solo, tapi Semarang,” ucapnya. Indonesia memang menjadi ladang yang subur untuk berkembangnya terorisme. Dibanding negara-negara lain, diakui Syarif, penanganan terorisme di Indonesia adalah yang paling lembut. Di Singapura, pelaku terorisme bisa dimasukkan dalam penjara bawah tanah. Untuk pelaku teroris yang beraksi menggunakan bahan radioaktif atau bahan peledak nuklir, Singapura tak segan-segan menghukum mati. Tak peduli di mana melancarkan aksinya dan apa pun kewarganegaraannya. Sementara, penanganan terorisme di Indonesia lebih bersifat persuasif. Lantas, untuk memutus mata rantai residivis terorisme dibentuklah sebuah yayasan bernama Persadani. Yayasan itu berfokus pada pembimbingan kembali eks napiter agar tak menjadi residivis terorisme. “Dengan adanya Yayasan Persadani ini, diharapkan eks napiter tak menjadi residivis terorisme,” kata Syarif. Sesuai agenda yang telah ditetapkan, Yayasan Persadani juga berencana mengadakan kajian rutinan tiap minggu yang berfokus pada pembenahan pemikiran.n

Agus Salim I


AMANAT D OELOE

Lulus Tanpa Skripsi Skripsi belum berhasil membentuk mahasiswa seperti yang dicitakan. Butuh opsi lain menuju syarat kelulusan. “Skripsi sebagai tonggak kehidupan mahasiswa sebagai komoditas akademik,” kata Mukhsin Jamil.

W

acana penggantian tugas akhir selain skripsi, telah menjadi perbincangan sejak lama. Dalam terbitan tabloid SKM Amanat edisi 115 tahun 2011, pada rubirkasi laporan utama dengan judul “Lulus Tanpa Skripsi” mengungkap tentang kecenderungan skripsi yang bisa diperjualbelikan. Dari alasan itu, lalu muncul wacana tugas akhir pengganti skripsi. Gayung bersambut, pada (25/4/21), Rektor menerbitkan Surat Edaran Nomor: B-1084/Un.10.0/R/DA.04.05/03/2021 tentang Perpanjangan Masa Studi di masa Pandemi, membuat mahasiswa bisa mengerjakan tugas akhir selain skripsi. Ada beberapa opsi yang bisa dipilih, antara tetap membuat skripsi, artikel jurnal atau karya desain teknologi. Dalam perjalanannya, opsi itu mampu membangkitkan animo mahasiswa dalam memilih mengerjakan tugas akhir. Namun, tak banyak mahasiswa yang mengimplementasikan surat edaran itu. Skripsi masih menjadi bagian penting dalam proses pencapaian akademik mahasiswa. karena masuk dalam kurikulum, skripsi wajib bagi mahasiswa yang akan merampungkan studi strata 1 (S1). Hakikatnya, pemikiran mahasiswa dimanifestasikan ke dalam bentuk sebuah karya, yaitu skripsi. “Skripsi sebagai tonggak kehidupan mahasiswa sebagai komoditas akademik,” kata Mukhsin Jamil. Namun, sebagian kalangan menilai, penetapan skripsi sebagai kurikulum pada kenyataannya belum berhasil membawa mahasiswa menjadi seperti apa yang dicitakan.

Skripsi kini tak lagi cerminan komunitas akademik. Sebab, banyak skripsi yang menyebar di perguruan tinggi tak lagi asli. Hal itu paling tidak salah satunya ditandai dengan kian maraknya praktik jual-beli skripsi. Melihat kenyataan itu, Ketua IKIP PGRI Semarang Sudharto, menyatakan penetapan skripsi sebagai kurikulum wajib bagi seluruh mahasiswa s1 perlu dikaji ulang. Skripsi sebaiknya tak dijadikan satu-satunya alat untuk mengakhiri proses kesarjanaan mahasiswa. Pasalnya, tak semua mahasiswa memiliki kemampuan membuat skripsi. Hal senada diungkapkan oleh Dosen Fakultas Tarbiyyah Abdul Mu’ti. Ia menilai, tak semua mahasiswa memiliki kemampuan menulis. Padahal, skripsi adalah karya yang menuntut adanya kemampuan menulis. “Kalau tak bisa menulis, jangan dipaksa menulis,” ujarnya. Opsi Lain Sudharto mendesak, perguruan tinggi harus memikirkan alternatif selain skripsi untuk mengakomodasi potensi mahasiswa. Yaitu, dengan memberikan opsi lain selain skripsi terhadap mahasiswa berdasarkan kemampuan atau minat mahasiswa. Mengingat target akademik mahasiswa bukan diukur dari kemampuan mereka membuat skripsi. Tapi, berdasarkan kompetensi mahasiswa sesuai konsentrasinya. “Jurusan keguruan targetnya dapat mengajar secara profesional. Itu sudah cukup,” katanya mencontohkan. Di Amerika Serikat yang tingkat pendidikannya maju, dalam program

kesarjanaan, mahasiswa dibebaskan untuk memilih satu dari tiga opsi untuk mengakhiri studinya sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Yaitu, pertama, lewat jalur ujian komprehensif. Kedua, observasi atau report. Indonesia, kata Sudharto, pernah menerapkan sistem serupa. “Dulu mahasiswa diberi pilihan, mau lulus lewat jalur skripsi atau lewat jalur ujian komprehensif,” terangnya. Sekarang, sistem tersebut bisa diterapkan kembali. Atau, jika perlu,

Tabloid Amanat

Edisi 115 Tahun 2011 ditambah d e n g a n opsi lain disesuaikan dengan minat dan kebutuhan mahasiswa. Selain skirpsi dan ujian komprehensif, mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih opsi lain seperti melakukan observasi, membuat report kegiatan, atau menggelar pameran karya. Seperti Fakultas Teknik dan Seni kini, tak lagi membutuhkan skripsi.

lain. Mahasiswa diberi mata kuliah tambahan yang berhubungan dengan kemampuan profesionalitasnya. Selanjutnya, mahasiswa diwajibkan membuat laporan terkait mata kuliah tersebut yang di dalamnya memuta analisis dan unsur temuan (mini research). Tapi tidak diujikan seperti skripsi. Sebab, masih satu paket dengan kata kuliah tersebut. Meski semua opsi yang diberikan berbeda, pada dasarnya setiap opsi tersebut memiliki bobot dan tingkat kesulitan yang sama. Sebab, hakikatnya semuanya adalah manifestasi pemikiran mahasiswa (karya). Hanya, distribusinya saja yang berbeda karena menyesuaikan dengan kemampuan dan minat mahasiswa. Menurut Mu’ti, karya tak harus berbentuk skripsi. “Atau dibebaskan saja, tidak ada skripsi,” tantang Mu’ti.n

Amelia Anisatul K

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

11


MELIPIR

Laboratorium Sosial di Lereng Telomoyo

(Amanat/ Iqbal)

Seiing banyaknya desa yang beralih menjadi desa wisata, beberapa konsep baru dimunculkan. Hal itu dilakukan demi menarik wisatawan untuk berkunjung. Seperti halnya Desa Menari yang mengusung konsep Laboratorium Sosial. Desa Menari ini menyediakan paket wisata outbound desa. Di mana aktivitas masyarakat pedesaan dikemas melalui paket wisata tersebut. Hal itu menjadikan Desa Menari ini cukup berbeda dengan desa wisata lainnya. Sebab pengunjung diajak berinteraksi langsung dengan alam Pengunjung sedang melihat dan mempelajari denah lokasi wisata Desa Menari yang terletak ataupun mengenal aktivitas masyarakat pedesaan. di Dusun Tanon, Desa Ngruwan, Kec. Getasan, Semarang, Sabtu (30/11/2019) Paket wisata Desa Menari menawarkan beberapa kegiatan wisata. Di antaranya “Menari dari kata sempit yakni tarian. Suasana sunyi dan sejuk biasa ditemui pada wilayah pedesaan. Seperti Dusun Tapi sebenarnya menari itu akronim melihat dan berlatih menjadi peternak, Tanon, sebuah desa yang masih asri dengan yang saya kembangkan, yakni menebar aktivitas pertanian, hingga menjadikan rimbunnya pepohanan. Suara burung, harmoni, merajut inspirasi, menuai dolanan tradisional sebagai wisata edukasi. Bukan tanpa tantangan, saat pertama serangga serta hewan lainnya, masih kerap memori,” ungkap Trisno. kali dibuka, pengunjung outbound desa, terdengar memanjakan telinga pengunjung Melalui akronim tersebut diharapkan yang datang. siapapun yang berkunjung ke desa menari hanya berkisar 120 orang. Namun upaya Desa yang terletak di lereng Gunung dapat menikmati nuansa bersahabat untuk mengenalkan dan mengembangkan Telomoyo tersebut, kini telah disulap dengan alam. Sebab, mayoritas paket Desa Menari terus dilancarkan. Akhirnya, seiring berjalannya waktu menjadi desa wisata. Kiranya dengan wisata yang ditawarkan bertitik pada transformasi menjadi desa wisata, Dusun kolaborasi dengan aktivitas masyarakat jumlah pengunjung menuai peningkatan Tanon sekarang sudah banyak dikenal desa. Bahkan, jika ingin memilih paket yang cukup signifikan. Pada 2015 jumlah mencapai 2.071 orang, home stay, wisatawan pun disediakan wisatawan orang. menandakan bahwa Desa Menari semakin Meski begitu, memang nama Gunung tempat menginap di rumah warga. “Kami tidak memiliki aset sama dikenal oleh khalayak. Telomoyo sudah lebih dahulu jadi Hingga kini, berdasarkan hitungan primadona di kalangan masyarakat. sekali. Semua kami kolaborasikan dengan kasarnya, omzet yang didapat oleh Desa Gunung setinggi 1.894 meter tersebut, aktivitas masyarakat lokal,” jelasnya. Menari berkisar Rp 180 juta. sering dijadikan tempat olahraga pemacu Laboratorium Sosial “Jumlah itu belum terhitung dengan adrenalin. Di sisi lain Gunung Telomoyo Berdirinya Desa Menari, memang yang didapat masyarakat sekitar,” jelas yang berhadapan langsung dengan Gunung Merbabu, menjadi daya tarik dari awal dikonsep untuk meningkatkan Trisno. tersendiri bagi atlet internasional ataupun perekonomian masyarakat desa. Dengan Meski demikian, dalam diri Trisno tujuan itu, Trisno bersama pemuda desa, sebenarnya tidak menginginkan jumlah turis asing. Desa Wisata Tanon ini, lebih dikenal menginisiasi sebuah konsep desa wisata wisatawan terus meningkat. Sebab Desa Menari dibangun bukan berdasar untuk khalayak dengan sebutan Desa Menari. berbasis ekonomi kerakyatan. Di mana masyarakat diajak turut ikut menjadi desa wisata murni. Diceritakan oleh Trisno penggagas Desa Menari, pengambilan kata menari diambil andil dalam mengembangkan desa wisata Karena, jika menjadi desa wisata murni, dari kesenian tari yang sudah lekat dalam secara langsung. Dengan catatan, tidak tidak menutup kemungkinan profesi asli kehidupan sosial masyarakat Dusun Tanon. mengganggu atau menghilangkan mata masyarakat desa akan hilang, kemudian beralih ke sektor pariwisata. Dampak lain Kesenian tari telah menjadi hobi pencaharian masyarakat desa. Akhirnya potensi desa dari segi menurut Trisno, ketika jumlah wisatawan masyarakat setempat sejak lama. Dibuktikan dengan adanya tiga kelompok pendidikan, seni, peternakan, pertanian, membludak dikhawatirkan dapat merusak tari besar, masing-masing memiliki lima dan wisata mulai digarap bersama. kondisi alam desa dan sekitarnya. jenis tarian khas yang tidak ada di desa lain. Kemudian apa yang dikerjakan bersama “Saya tidak mau desa ini menjadi desa Berdasarkan potensi desa tersebut, itu, diberi nama konsep laboratorium wisata murni. Sampai saat ini, saya masih konsisten dengan konsep laboratorium Trisno kemudian mendalami kesenian tari sosial. di desanya. Hingga tepatnya pada Februari Masyarakat sangat antusias dengan sosial saya,” terangnya. 2012, Trisno bersama temannya yang kemunculan konsep tersebut. Bahkan Dengan begitu, Desa Menari fokus tergabung dalam kelompok sadar wisata di balik gagasan besar konsep tersebut, pada kualitas desa wisatanya, bukan hanya (Pokdarwis), dicetuskanlah nama Desa pemerintah desa pun juga turut optimis. terpaku pada kuantitas. Ia mencontohkan Menari. “Saya mulai dari titik kecil. Kami garap wisata spot foto alam, dengan asumsi tiket Menurut pria kelahiran 12 Oktober 1981 dari berbagai sisi, yang mengandung nilai- masuk berkisar Rp 5 ribu. Menggunakan kalkulasi, jika ingin mendapatkan tersebut, penamaan Desa Menari tersemat nilai kemasyarakatan,” katanya. penghasilan Rp 50 juta, maka Desa pula filosofi yang lebih mendalam. Menari harus bisa mendatangkan 10 ribu wisatawan. Namun Trisno beranggapan bahwa banyaknya pengunjung yang seperti itu, secara tidak langsung akan mengalami

‘Dipaksa’ Menjaga Reputasi Kampus Pada Senin (13/12) lalu, di ruang sidang senat lantai 4 gedung rektorat UIN Walisongo, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) mengadakan “Halaqoh Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.” Acara tersebut, dihadiri oleh pimpinan kampus, dosen, dan sejumlah aktivis mahasiswa intra. Dalam forum itu, kami diberi ruang untuk berbicara mengenai kasus kekerasan dan pelecehan seksual di UIN Walisongo. Akan tetapi, ketika mempertanyakan peran pers mahasiswa dalam mengawal isu kekerasan dan pelecehan seksual di kampus, saya yang juga menjadi bagian dari pers mahasiswa ‘dipaksa’ menjaga reputasi kampus. Pimpinan tidak mengizinkan pers mahasiswa untuk meliput isu yang terbilang sensitif itu. Alasannya, menjaga nama baik kampus adalah sebuah kewajiban bagi setiap civitas akedemika, sekalipun itu terdapat keburukan yang disembunyikan.

12

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Memang, di forum itu kampus berencana membentuk tim satgas pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus, dengan melibatkan berbagai unsur civitas akademika. Namun, dengan sikap kampus yang mendikotomi pers mahasiswa, seolah menunjukkan jika kampus belum benar-benar memahami cara kerja pers mahasiswa. Menjaga nama baik kampus memang penting. Tapi, tidak dengan semua keburukan yang tersembunyi di dalamnya. Begitu pula dengan menutupi kasus kekerasan seksual, sama halnya abai terhadap trauma yang dialami korban dan berpotensi menimbulkan kejadian serupa di lain waktu. Bukankah UIN Walisongo baru saja meraih predikat sebagai kampus dengan keterbukaan informasi? Lalu, bagaimana dengan persoalan yang satu ini?

Sekarwati Mahasiswa Prodi KPI 2017

Aktivis UKM dalam ‘Belenggu’ SK Baru BLU Beberapa waktu lalu, rektor menerbitkan Surat Keputusan Nomor 680 Tahun 2021 tentang Tarif Layanan P e n u n j a n g Akademik pada Badan Layanan Umum (BLU). Dalam SK yang diputuskan melalui Surat kordinator Bagian Perencanaan dan Keuangan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Nomor: 3640/ Un.10.0/B.1-K.2/HK.01.07/10/2021 tanggal 4 Oktober perihal Permohonan SK Tarif Penunjang Layanan Akademik Tahun 2021 itu, memuat rincian tarif penyewaan fasilitas atau layanan jasa yang ada di UIN Walisongo. Dilihat dari SK rektor yang tertera, segala sarana dan prasarana yang ada di kampus, ternyata tak luput dari biaya. Bahkan untuk mahasiswa sekalipun, kampus tetap memungut biaya penyewaan. Memang, selama masa transisi SK Rektor 680 sampai terbitnya revisi SK Rektor 680 terbaru, mahasiswa tidak dikenakan tarif dalam tes TOEFL dan

kerusakan yang lebih cepat. Jika dibandingkan dengan wilayah yang masih natural dengan sedikit interaksi terhadap manusia. Hal itu menjadikannya lebih terfokus pada kualitas, demi terjaganya kelestarian alam. Namun tetap menghasilkan pendapatan. Dengan begitu jika ingin mendapat hasil Rp 50 juta, maka Desa Menari hanya memerlukan kunjungan sekitar 500 wisatawan. “Pariwisata menurut saya, harus berbasis konservasi, yakni merawat. Karena manusia butuh istirahat, alam juga butuh. Makanya, orang sedikit saja yasng berkunjung tapi dengan kualitas finansial yang lebih besar,” ujar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu. Medium Saudara Lintas Iman Sisi keunikan lain dari Desa Menari, terletak pada sisi kemanusiaan yang diusung. Hal itu tidak bisa dipisahkan dari pengalaman sang penggagas, Trisno sejak 2012 sudah terlibat aktif dalam aktivitas hubungan kemanusiaan, tanpa membedakan suku, agama dan ras seseorang. Kegiatan di Desa Menari dijadikan sebagai salah satu jembatan persaudaraan lintas iman melalui pendekatan budaya, kearifan lokal dan pemberdayaan. Hal tersebut dibuktikan, ketika Desa Menari menerima kunjungan kegiatan bakti sosial dari Paroki Gereja St Paulus Sendangguwo Semarang. Bahkan menjadi tempat life in dari SMA Sedes Sapiente maupun SMP Islam Al Azhar 23 Semarang. “Sejak tahun 2012 sampai saat ini saya terbiasa menerima kunjungan dari rombongan sekolah berbagai karakter keagamaan, rombongan pengajian, komunitas berbagai gereja dan dari rombongan luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Jerman, Filipina, Perancis, Bangladesh dan lain-lain,” tuturnya. Hingga kini, lanjut Trisno, Desa Menari juga menjadi pembelajaran lapangan oleh mahasiswa. Diantaranya mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), UMS, Unika Semarang dan berbagai kampus swasta berbasis keagaman maupun kampus negeri lainnya. “Di sini juga menjadi tempat kuliah lapangan untuk program kearifan lokal dan multikulturalisme dari Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang,” pungkasnya.n

Iin

IMKA selama tiga kali dan digratiskan untuk menggunakan layanan umum kampus, kecuali pada hari Sabtu-Minggu. Namun, jika aturan ini resmi diterapkan hal ini tentu memberatkan, khususnya bagi kalangan aktivis UKM yang harus membayar sewa untuk menyelenggarakan kegiatan di dalam kampus. Saya selaku aktivis UKM sudah mengemban amanah besar untuk meningkatkan prestasi. Saya tidak merasa keberatan jika memang ada dana khusus yang diberikan oleh pihak kampus kepada UKM untuk penyewaan sarana dan prasarana ketika UKM menjalankan kegiatan. Selama ini, dana bagi UKM yang dikucurkan oleh kampus belum sesuai dengan kebutuhan UKM. Zaman telah berubah, begitu pun kebutuhan juga ikut berubah. Tak menutup kemungkinan, UKM harus jatuh bangun mencari dana segar di luar kampus demi terselenggaranya sebuah kegiatan. Besar harapan, kampus bisa lebih memperhatikan nasib serta keberlangsungan sebuah UKM.

Ayu Malinda Sari

Mahasiswa Prodi Ekonomi Islam 2017


(Amanat/ Rani)

SKETSA

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam kelompok "Majelis Pinggiran" sedang melakukan diskusi rutinan di warung kopi Segitiga Mas, Ngaliyan, Semarang, Jumat (19/03).

Ikhtiar Menghidupi Ruang Intelektual Peralihan metode daring membuat pengetahuan menjadi bias. Majelis Pinggiran hadir untuk menghidupkan kembali gairah intelektual mahasiswa.

A

ji Yoga Anindita, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) nampak kesal ketika dihadapkan dengan sejumlah buku di mejanya. Bukan karena ia tidak punya waktu luang untuk membaca, melainkan apa yang ia baca hanya bisa berhenti di kepala. Aji begitu disapa, yang mempunyai kebiasaan berdiskusi setelah membaca, harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menggelar forum diskusi. Pasalnya, sejak pandemi melanda, segala bentuk kegiatan belajar mengajar dan diskusi, dialihkan menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tetapi, dalam pelaksanannya, Aji menganggap sistem yang dilakukan berbagai institusi pendidikan ini memiliki sejumlah kendala di lapangan. Mulai dari kualitas pengajar, pengetahuan yang disampaikan, hingga pemahaman yang diterima menjadi bias. Tidak ingin terninabobokkan keadaan terlalu lama, Aji bersama sekelompok mahasiswa UIN Walisongo Semarang menginisiasi sebuah forum pertukaran ilmu pengetahuan yang tidak bias konfirmasi. Dari hasil diskusi beberapa orang, lahir sebuah forum bernama Majelis Pinggiran. Forum itu mengambil warung kopi sebagai tempat diskusi. “Tidak ada kepentingan apapun. Saya hanya merasakan kuliah online, transformasi keilmuan tidak masuk,” ujar Aji saat ditemui Amanat di sebuah warung kopi di Semarang pada, Jumat (19/03). Dalam forum Majlis Pinggiran tersebut, terdapat beberapa tema

kajian yang dibahas setiap minggunya. Mulai dari filsafat, sosial-politik, islamic studies, dan cultural studies. Di awal pelaksanaan, Aji mengaku sempat beberapa kali ditegur bahkan diusir oleh pemilik warung kopi dan juga Satuan Pengaman (Satpam) yang bertugas jaga di kawasan tersebut. Meskipun telah menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah namun, apa yang dilakukan oleh Aji beserta koleganya dianggap menimbulkan kerumunan dan berpotensi menumbuhkan klaster baru penyebaran Covid-19. Alih-alih gentar, rupanya pengusiran tersebut tak cukup kuat untuk meruntuhkan nyali dan keberanian peserta forum dalam mengikuti sesi diskusi. Mereka tak bergeming sedikitpun dan tetap bergerilya untuk melawan kekosongan pengetahuan di tengah gempuran perang pandemi. Bagi Aji, sebagus apapun pengetahuan yang disampaikan, jika metode penyampaiannya tidak tepat maka, akan menimbulkan pemahaman yang bias. Bahkan, bisa jadi pemahaman yang didapat melenceng jauh dari apa yang disampaikan. Koordinator Pelaksana Majelis Pinggiran, M. Azis Fatkhurrohman mengatakan, forum tersebut diadakan atas kegelisahan beberapa aktivis mahasiswa yang tergabung dalam komunitas literasi Rumpun Sabda Institute dan Sedulur Coffee Literasi (Secoter). Ia menyampaikan, forum tersebut merupakan upaya mengisi dialektika pengetahuan pemuda dan mahasiswa

yang hampir kosong pandemi Covid-19.

dikarenakan

“Awalnya, Majelis ini diadakan agar konfirmasi pengetahuan itu lebih mudah. Selain itu ya biar fokus juga. Kajian online itu kan bisa disambi, seringnya kita suka nggk fokus karena nyambi pekerjaan lain. Kalau offline gini kan kita nggak bisa nyambi, jadi bisa fokus,” kata Azis. Belum Merata Keputusan Aji dan kolega di Majlis Pinggiran untuk melakukan diskusi secara tatap muka, belum banyak diikuti oleh kelompok-kelompok diskusi lain di lingkup UIN Walisongo. Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), salah satu organisasi di kampus tersebut, memilih mengalihkan diskusi tatap muka dengan diskusi dalam jaringan (daring). Ketua KSMW Citra Septianingsih menuturkan diskusi daring dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas WhatsApp. Grup WhatsApp itu dibuat untuk mengakomodir komunikasi peserta diskusi dengan pemateri. Di grup tersebut, pemateri akan mengirimkan paper dan audio pemaparannya terlebih dahulu. Selanjutnya anggota grup merespon dengan pertanyaan dan sanggahan sebagaimana diskusi tatap muka. "Diskusi kami adakan di grup internal anggota. Pemateri akan menyampaikan paper dan audio sebagai pengantar terkait tema diskusi. Setelahnya, dialog dengan peserta grup," kata dia, Selasa, (27/04). Citra menyadari, diskusi secara daring masih banyak kelemahan dibanding diskusi dengan model

tatap muka. Saat ini pihaknya terus mengevaluasi yang sedang dan sudah dikerjakan. "Tentu tidak bisa sama dengan diskusi yang dilakukan seperti biasa. Tapi melihat situasi seperti ini, kami rasa ini metode yang efektif untuk menunjang kebutuhan kawan-kawan akan diskusi," ucapnya. Tak jauh beda dengan KSMW, kelompok diskusi Ordo Futhuwwah juga melakukan hal serupa. Sejak diberlakukan kuliah daring, kelompok diskusi yang berdiri sejak 2014 tersebut juga mengalihkan model diskusinya secara daring. Beragam tema kajian dari berbagai sudut keilmuan didiskusikan untuk menunjang kematangan intelektual anggota. “Alhamdulillah kegiatan tetap berjalan meski tidak begitu intens dan juga tidak bisa melaksanakan majelis secara offline sebagaimana biasanya,” kata ketua Ordo Futhuwwah, Wisnu Prayuda saat dihubungi Amanat melalui pesan WhatsApp pada Jumat (09/04). Namun begitu, mahasiswa jurusan Tasawuf Psikoterapi tersebut tidak memaksa setiap anggotanya untuk mengikuti diskusi yang dilakukan secara daring. Bagi Wisnu, memahami persoalan setiap anggota harus menjadi patokan utama demi terjaganya marwah organisasi. “Hambatannya tentu masalah luangnya waktu. Tapi kami semua saling memahami, barangkali ada aktivitas yang memang harus ditunaikan terlebih dahulu,” kata Wisnu.n Ramadhani S.W AMANAT Edisi 133 Desember 2021

13


REHAT KUIS ASAH OTAK 133 Mendatar 1. Alat penyimpan data komputer 3. Nama bela diri yang dikuasai Sandy dan SpongeBob 5. Ibukota Italia 6. Gadai 7. Gabungan 9. Utama 11. Singkatan dari angkutan pedesaan 12. Fungsi (Dibalik) 13. Lahir 15. Tradisi 17. Kantor berita Australia 19. Hitam (Inggris) 20. Elok; patut; teratu 21. Sebelum 22. Benda langit 24. Beras 25. Jalur kabel pada instalasi listrik menuju titikpentanahan 26. Kaca pembesar 27. Hidup di air dan bernapas dengan insang 28. Panggilan ayah 29. Tokoh dalam film “Finding Nemo” 30. Berasal dari tumbuh tumbuhan

n Komik

14

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Menurun 1. Vampire 2. Hewan ternak 3. Bahas 4. Aplikasi pengolah angka 8. Tidak benar 10. Binatang berpunuk khas timur tengah 11. Bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan 14. Tersedia 15. Rasio 16. Panggilan salat

Ketentuan Menebak 17. Akademi Keperawatan (Singkatan) 18. Vicky 19. Formulir 20. Toko Pakaian 22. Tiang 23. Maaf 25. Gelar bangsawan di Sulawesi 27. Izin Mendirikan Bangnan

1. Tulis jawaban, cantumkan nama, alamat, dan nomor HP yang bisa dihubungi 2. Foto hasil isian KAO 3. Kirim jawaban ke surel redaksi. skmamanat@gmail.com 4. Pengiriman jawaban paling lambat 20 Maret 2022 5. Pemenang akan diumumkan di Tabloid Amanat edisi selanjutnya 6. Diambil dua pemenang, masing-masing mendapatkan satu buku menarik.


OPINI MAHASISWA Peran Mahasiswa di Era Pandemi

H

Pandemi dan Bayang-bayang Identitas Mahasiswa

a m p i r pemindahan semua dua tahun aktivitas menjadi pandemi serba online. Belum menciptakan krilagi tanggung jawab sis, dan selama itu menyelesaikan tugas pula mahasiswa kuliah ataupun proses tidak bergeming. pencarian sumber Mulai dari tersenpengetahuan yang datnya dialekjuga serba online. tika pengetahuan, Tentunya, aktif di tidak adanya organisasi yang praktik interaksi juga berjalan online sosial baik dengan menjadi pilihan ke sesama kalangan sekian atau pilihan akademisi mauterakhir. pun masyarakat Maksimalisasi aksecara langsung, tivitas secara online hingga produktivmembuat para maitas kegiatan mahasiswa masuk sepeGita Fajriyani hasiswa yang mati suri. nuhnya ke dalam ruang Mahasiswa Fakultas Tidak dipungkiri, Ushuluddin dan Humaniora virtual. Mulai dari mencari nafas kehidupan informasi, menjadwalkan kampus tidak hanya kehidupan sehari-hari, hiburan, kohidup dari proses kegiatan belajar munikasi, hingga penyelesaian setiap mengajar (KBM) saja. Lebih dari itu, permasalahanpun dilakukan secara kampus tidak dikatakan "kampus" online. Ketika tidak mampu mengolah ketika tidak ada roda kegiatan dan dan mengendalikan, keadaan ini bisa produksi kreativitas mahasiswa yang saja membuat para mahasiswa terjeberjalan. Seperti eksistensi organisasi bak dalam banjir emosi negatif. kampus baik lembaga intra kampus, Sebagaimana yang dikatakan ekstra kampus, maupun unit kegiatan Carl Gustav Jung bahwa ancaman mahasiswa (UKM). terbesar bagi kehidupan ialah Dunia kampus sudah begitu ketidakmampuan untuk menghadapi terbiasa dengan para mahasiswa kekuatan diri kita sendiri. Keadaan yang mendapat julukan “penghuni yang serba online sangat besar kampus”. Biasanya karena terlalu kemungkinannya menimbulkan sering mondar-mandir mengurus kejenuhan. Di titik ini, akan semakin kehidupan organisasinya, ataupun buruk ketika tidak ada kesadaran akan karena terlalu sering menghabiskan realitas yang berlangsung. waktu untuk organisasi dibandingkan Emosi yang terbentuk akibat berada di dalam kelas maupun di kekeruhan pikiran menimbulkan tempat kos. ketakutan dan kecemasan. Kemudian Meski begitu, keberadaan mendorong ke dalam keadaan panik, organisasi kampus dan para dan secara alami akan mencari aktivisnya menjadi energi tersendiri susuatu yang melegakan (refresh) di dunia perkuliahan. Menjadi dari kejenuhan yang ada. Bukan arena untuk mengaktualisasikan menyelesaikan permasalahan, dan mengembangkan potensi yang melainkan lari dari yang dianggap dimiliki setiap mahasiswa. sebagai “masalah”. Namun, di masa pandemi hal Ketidaksadaran akan dirinya juga tersebut hanya sebatas nostalgia. berdampak pada kesadaran peran Banyak organisasi kampus yang dan posisi sebagai mahasiswa. Ketika sesak nafas dalam mempertahankan selama ini kegiatan berjalan hanya eksistensinya. Mulai dari keharusan beradaptasi dengan pengalihan dari sebatas formalitas, esensilitas antara ruang offline ke online, susahnya dialektika teori dan praktik pada menemukan formula yang tepat untuk akhirnya tidak pernah tersentuh. Mahasiswa kini terancam kehilangan menjaga vitalitas dan produktivitas, hingga SDM yang terkikis serta ruhnya, baik dalam ranah intelektual, proses regenerasi yang tidak berjalan karakter, maupun moral yang bermuara pada ketersembunyian “mahasiswa” maksimal. Minat mahasiswa untuk mengikuti dalam ruang simulacra dan hidup organisasipun jauh berkurang. dalam delusi identitas mahaiswa; Antusiasme berorganisasi dikalahkan bukan benar-benar mahasiswa.n oleh kejenuhan kuliah online dan

Membangun (Kembali) Ruh Mahasiswa “Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu survive, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan,” (Charles Darwin)

Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai seorang intelektual kampus, melainkan menjadi bagian aktif dari masyarakat. Mahasiswa sebagai kelompok sosial yang memiliki akses lebih dalam rapa yang dinah inteletual, selalu ungkapkan diharapkan mampu Charles Darmengaktualisasiwin itu, barangkali kan ilmunya untuk menjadi sesuatu membangun kemayang lebih bermakjuan sistem sosial kena pada kondisi masayarakatan. Sebhari ini. Sebuah agaimana peranankondisi di mana, nya sebagai agent of kita telah hidup Fitroh Nur Ikhsan change, agent of control dan dalam relung-relung media Mahasiswa Fakultas iron stock. Dakwah dan Komunikasi sosial. Mahasiswa bukan Sebagai mahasiswa yang menyandang julukan Agent of hanya sebagai pengamat dalam peran change, agent of control dan iron stock, ini, namun mahasiswa juga dapat tentunya memiliki segumpal harapan melakoni perannya dalam masyarakat. perubahan dalam menghadapi Sebagaimana tugas seorang agent of pusaran gejolak zaman, terlebih change yang memiliki peran krusial dalam membawa perubahan dalam dalam menghadapi situasi pandemi. kehidupan bermasyarakat. Kita sama-sama tahu, Pandemi Di tengah guncangan krisis adalah musibah terbesar di abad akibat Covid-19 ini, sebagai seorang ini. Tak ada satu pun yang siap intelektual perlu memiliki kesadaran menghadapi kedatangannya. untuk benar-benar berusaha Bahkan, untuk sekedar antisipasi, kita keluar dari jeratan realitas semu. tenggelam dalam lautan kegugupan. Pengetahuan menjadi obat dari Berbagai sektor kehidupan mengalami kesakitan pandemi yang menyerang kelesuan hingga ancaman ‘kematian’, kesadaran masyarakat. termasuk dalam dunia akademik. Sikap kritis yang dimiliki mahasiwa Sebagai seorang intelektual di mampu membaca realitas yang tidak menara gading, tak seharusnya ruh baik-baik saja dalam kehidupan mahasiswa ikut terlelap di hadapan bermasyarakat saat ini. Skeptisisme Pandemi. Di antara mereka, ada ini menjadi langkah awal membuka banyak yang lebih memilih menikmati kembali ruang isolasi yang saat ini kenyamanan hidup yang ditawarkan terjadi. Secara perlahan mahasiwa media sosial, ketimbang hidup mampu membuka pintu-pintu realitas memikul tanggungjawab sebagai yang sesungguhnya. intelektual sebagaimana kata Edward Selain modal intelektual, seorang Said. mahaiswa juga memiliki akses Edward Said dalam karya kritisnya untuk mengolah kapabilitas baik Representations of the Intellectual yang dalam ranah skill, karakter maupun kemudian diterbitkan dalam bahasa moralitas. Aset ini menjadi modal Indonesia oleh Penerbit Buku Obor seorang mahaiswa untuk mengarungi dangan judul “Peran Intelektual”, lanju peradaban dan memberikan dengan tegas menyatakan bahwa nyawa bagi kemajuan baik secara seorang intelektual tidaklah berada di individu maupun kolektif. menara gading. Sebaliknya, mereka Bagaimana jika aset ini tidak benarterlibat langsung dalam soal-soal benar diupayakan oleh mahasiswa? kemasyarakatan. Apakah nantinya mahasiswa akan Untuk menjawab tantangan dan mampu membawa diri di dalam persoalan zaman, mahasiswa harus masyarakat dan perannya sebagai berbenah. Perlu adanya satu kesatuan manusia untuk selalu hidup dan visi dan misi yang sama dalam diri menghidupi?n mahasiswa untuk membangun peradaban bangsa.

A

TEMA MENDATANG Menanti Ruang Aman dalam Kampus Kirim opini anda melalui surel: redaksi.skmamanat@gmail.com. Naskah tidak lebih dari 2500 karakter. Sertakan biodata, foto terbaru, dan nomor HP yang bisa dihubungi. Pengiriman naskah paling lambat 17 April 2022. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan dan piagam penghargaan.

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

15


Cermin

Masjid Jami Pekojan, Jejak Peradaban Islam di Semarang

Suasana di sekitar kawasan Masjid Jami Pekojan terlihat sepi

S

ekitar 30 menit kami menempuh perjalanan dengan menggunakan motor dari Ngaliyan menuju Masjid Jami Pekojan. Berada di Jalan Petolongan 1, Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah, Masjid bersejarah tersebut masih berdiri tegak dan kokoh. Meski usianya sudah mencapai satu setengah abad lebih. Letak Masjid Jami Pekojan memang tak jauh dari kawasan Kampung Pecinan. Hingga siapapun yang mau berkunjung, tentu sangat mudah untuk menemukannya. Saat memasuki area Masjid Jami Pekojan, kami dibuat terheran. Sebab Masjid Jami Pekojan dikelilingi puluhan makam berbatu nisan tanpa nama, masing-masing disebelah kiri dan kanan area masjid. Konon dalam sejarahnya tanah yang ditempati Masjid Jami Pekojan, memang dahulunya adalah tanah pemakaman warga sekitar dan Musala. Namun saat dilakukan renovasi dari Musala menjadi Masjid, beberapa makam dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota. Tapi sejumlah makam yang tidak memiliki wali dibiarkan, dan sekarang masih bisa kita lihat di sekeliling Masjid Jami Pekojan. Selain itu, ada satu makam yang letaknya berada di sisi serambi Masjid. Di mana makam tersebut sering dikunjungi para peziarah. Baik dari warga sekitar, ataupun luar daerah. Makam tersebut adalah makam dari Syarifah Fatimah binti Husain bin Ahmad Al Idrus. Syarifah Fatimah dipercaya memiliki sanad keturunan sampai pada Rasulullah SAW. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai perempuan yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

(Amanat/ Iqbal)

Berkembangnya peradaban Islam di Semarang tak luput dari nilai sejarah Masjid Jami Pekojan. Bahkan di Serambi Masjid Pekojan terdapat makam wali Allah yang sanad keturunan sampai pada Rasulullah SAW.

Peziarah berdoa di dekat makam Syarifah Fatimah binti Husain bin Ahmad Al Idrus

16

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Menurut Ketua Takmir Masjid Jami Pekojan, Ali Baharun mengatakan bahwa Syarifah Fatimah termasuk salah satu wali Allah. “Beliau Syarifah Fatimah merupakan wali Allah, beberapa masyarakat dari luar daerah sering ziarah ke sini,” terang Ali, Sabtu (16/11/2019) Namun Syarifah Fatimah ditakdirkan meninggal di usia muda, yakni pada 5 Jumadil Akhir 1290 H. Pohon Bidara Selain itu, sisi menarik dari Masjid Jami Pekojan adalah adanya Pohon Bidara yang berasal dari Gujarat. Terdapat dua pohon Bidara setinggi empat sampai lima meter yang hingga kini tumbuh di lingkungan makam. Pohon dengan buahnya yang kecil tersebut, konon dipercaya mengandung berbagai macam manfaat disetiap bagian pohonnya. Buah kecilnya dengan rasa asam dan sedikit manis diyakini bisa menyembuhkan sakit perut. Tidak hanya itu, daun pohon Bidara yang terbilang kecil pun sering digunakan untuk memandikan jenazah. Sebab daun pohon Bidara dapat membuat mayat tidak bau, dan tidak kaku. Dikatakan Ali, pohon Bidara hanya tumbuh di daerah Masjid Jami Pekojan. Di daerah lain tidak ditemukan pohon yang sama. Menurutnya Pohon Bidara dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa harus sengaja disemai. “Sebab jika disemai pohon ini memang dapat tumbuh, tapi tidak lama dengan sendirinya pohon itu akan mati,” ungkap lelaki yang sekarang berusia 61 tahun tersebut. Bubur India Mendekati waktu magrib tiba, kami melihat beberapa jemaah lalu lalang memasuki masjid. Nampak beberapa orang berpakaian jubah, berperawakan tinggi, hidung mancung datang dan duduk di serambi masjid untuk menunggu waktu salat Magrib tiba. Mereka adalah orang Koja (Keturunan India-Pakistan). Memang kampung tersebut masih kental dengan masyarakat Koja. Hingga daerah Petolongan tersebut, kini lebih dikenal sebagai Kampung Koja. Selain itu di Masjid Jami Pekojan ada kebiasaan yang menarik ketika datang bulan Ramadan. Yakni tradisi buka puasa bersama. Hal itu adalah salah satu upaya pengurus masjid dalam menjaga nilai kerukunan, saling berbagi antar sesama meskipun dalam ruang keberagaman . Berbeda dengan masjid pada umumnya, menu buka puasa di Masjid Jami Pekojan tergolong unik dan menarik.

(Amanat/ Iqbal)

Bukan nasi, melainkan bubur putih dari beras yang dicampur santan kelapa dengan lauk sambal goreng, masyarakat menyebutnya bubur India. Dihidangkan pula menu tambahan lainnya, seperti buah-buahan, kurma. Sedangkan untuk menu minuman beraneka ragam, dari kopi, kopi susu, hingga susu coklat. Khusus pada hari Kamis bulan Ramadhan, lauknya yakni gule kambing. Prosesi pembuatannya pun cukup menarik, diceritakan Ali, bubur dimasak dengan menggunakan dandang besar yang bahannya terbuat dari tembaga. Diperkirakan usianya sudah sangat tua. Menurutnya bukan hanya warga sekitar Masjid Jami Pekojan saja, yang ikut meramaikan kegiatan buka puasa. Melainkan orang dari daerah pinggiran Kota Semarang pun beberapa kali datang. Menjalankan Amanah Sejarah Masjid Jami Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah dalam peradaban Islam di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang. Hal itu ditandai dengan digunakannya masjid sebagai basis penyebaran nilai-nilai Agama Islam, masjid sebagai tempat mengajar hingga berdakwah. Menurut Ali, berdasarkan cerita sejarah yang diterimanya secara turun temurun, bahwa suatu ketika Sunan Bayat atau biasa dikenal Ki Ageng Pandanaran pernah menjadikan Masjid Jami Pekojan sebagai tempat mengajar dan penyebaran Agama Islam. Bahkan, ketika awal Revolusi Kemerdekaan, tepatnya pada pertempuran lima hari di Semarang tahun 1945, para pemuda pejuang kala itu menggunakan masjid ini sebagai basis perjuangan dalam melawan Jepang. “Memang waktu itu bentuk bangunannya belum seperti sekarang ini, bangunan masjid beberapa kali telah mengalami perubahan,” ujar Ali. Nilai-nilai perjuangan yang terkandung dalam sejarah Masjid Jami Pekojan tersebut, dijadikan motivasi Ali dan pengurus lainnya untuk menjaga kelestarian Masjid Jami Pekojan. “Kami mempunyai beban tanggung jawab yang sangat berat sekali, dan sekaligus merupakan amanah dari Allah serta kaum muslimin, karena ini merupakan peningggalan yang berharga dari para leluhur kita demi mengembnagkan dakwah Islamiyah di kawasan Semarang ini,” pungkasnya.n

Zulfiyana Dwi H


S

ebanyak 456 orang berpakaian olahraga dikumpulkan di sebuah lapangan. Mereka ada dalam satu misi memperebutkan hadiah sebesar 45,6 miliar won atau Rp 549,48 miliar. Awalnya, mereka berpikir hanya perlu memainkan sejumlah permainan tradisional Korea. Tapi, ada peraturan mematikan di balik permainan itu. Mereka yang kalah dalam permainan, akan langsung terbunuh. Penggalan kisah di atas adalah adegan pada episode awal serial terbaru Netflix yang mengguncang dunia perfilman belakangan ini. Bahkan, serial ini tercatat menempati peringkat pertama di jajaran serial Netflix pada 90 negara di dunia, sejak 24 September. Sesuai dengan permainan yang dimainkan dalam cerita, film ini diberi judul Squid Game. Alih-alih serial aksi seperti Money Heist atau kisah romantis layaknya Crash Landing of You, Squid Game justru hadir dengan sebuah genre yang unik. Squid Game membuat orang penasaran dalam gambaran kehidupan distopia yang cukup kental. Sutradara film, Hwang Dong Hyuk mengambil sisi kehidupan masyarakat Korea Selatan yang mengalami kesulitan finansial akibat pandemi. Data Bank Sentral Korea (BOK) menyebut jumlah utang rumah tangga Korsel meningkat sebanyak 168,6 triliun won atau lebih dari 10%. Angka itu melampaui perkiraan dari sebesar 5-6%. Hal itu membuat banyak orang mengambil jalan instan mendapat uang dengan cara berhutang. Di samping alur cerita yang menegangkan, tentang para kontestan yang ikut serta dalam permainan hidup dan mati dengan imbalan uang demi mengubah hidup, serial ini tak luput dari pujian. Hwang Dong Hyuk dinilai mampu menggambarkan masalahmasalah nyata yang mempengaruhi kehidupan di Korea Selatan dan mengangkatnya dalam sebuah film.

Resensi

Menertawakan Keputusasaan

Judul Film: Squid Game Sutradara: Hwang Dong Hyuk Penulis Naskah: Hwang Dong Hyuk Durasi: 32-63 menit (9 Episode) Pemeran Utama: Lee Jung-jae, Park Hae-soo, Wi Ha-joon, Produksi: Siren Pictures Inc Distributor: Netflix Resentator: Agus

Imajinasi sutradara asal Korea Selatan ini benar-benar membuat penonton berdecak kagum. Usai menuai sukses dengan kelima film terdahulunya, kali ini Hwang Dong Hyuk hadir membawa cerita yang lebih menguras emosi Namun, rasa kemanusiaan menjadi satu hal yang sering dipertanyakan dalam serial ini. Dalam permainan ini, Hwang Dong Hyuk memilih golongan dari orang-orang putus asa yang terlibat utang sampai miliaran bahkan puluhan miliar untuk dijadikan ‘tumbal’ dalam permainan. Cerminan Putus Asa Mengapa orang-orang seperti Seong Gi-hoon (Lee Jung-jae), Cho Sang Woo (Park Hae Soo), Hwang Jun-ho (Wi Hajoon), Kang Sae-byeok (Jung Ho Yeon), Jang Deok-su (Heo Sung-tae) berani mengambil keputusan yang bisa dibilang terberat dalam hidup dengan mengikuti permainan Squid Game? Tak lain dan tak bukan adalah sebuah keputusasaan yang telah membumbung tinggi. Squid Game adalah cerminan orang-orang frustasi berat dan putus asa. Demi melunasi utang yang menumpuk, mereka siap mengambil risiko kehilangan nyawa dan mengabaikan keluarga.

Media Harus Siap Dikritik Judul : Suara Pers Suara Siapa? Pengarang: Wisnu Prasetya Utomo Penerbit: EA BOOKs Terbit: 2018 Tebal: X + 214 Halaman Resentator: Nur Fitriya Madany

D

i tengah hiruk pikuk banjir informasi sering kali peran jurnalisme menjadi bias. Sekarang penyampai informasi pada publik bukan terpaku pada media saja. Tetapi siapapun dengan media sosial yang dimiliki, dapat menyampaikan informasi pada khalayak. Itu menandakan tantangan media pun bertambah. Perkembangan media online menuntut kecepatan kerja jurnalistik di tengah ruang persaingan media. Meski begitu, sebagai media sejatinya tak melupakan keakuratan berita dan prinsip jurnalistik dari sebuah media. Bukan hanya media, masyarakat kiranya juga dituntut cerdas dalam menyikapi berita atau informasi yang ada. Sedikit banyak pembaca diharapkan paham terkait dunia media. Dengan cara memahami dan mengamati sejauh mana media tersebut menjalankan peran dan fungsinya. Wisnu Prasetya Utomo melalui buku Suara Pers Suara Siapa? mengajak khalayak untuk berdialektika menyelami dunia media dan jurnalisme. Hal ini karena masyarakat dihadapkan pada realitas membludaknya persebaran media. Di mana keadaan tersebut membuat jendela pengetahuan bagi publik terbuka

lebar. Dengan suguhan yang dilakukan oleh aktor media massa dalam menggunakan berbagai macam perspektif yang dimunculkan. Namun di satu sisi publik dibuat terombang-ambing terhadap banyaknya informasi yang ada. Alhasil buku yang berisi dari kumpulan 26 Artikel penulis, kiranya cukup untuk membukakan wawasan pembaca perihal media dan jurnalisme. Banyaknya medium yang digunakan oleh media, dari televisi, cetak, hingga daring dibedah oleh penulis. Misalnya dalam artikel berjudul Suara Pers Suara Siapa? yang sekaligus dijadikan judul buku ini, penulis membedahnya secara teoritis, praktik, hingga historis. Dari seberapa besar pengaruh pemilik media terhadap berita yang diproduksi. Kemudian bagaimana media mengambil peran dan memosisikan diri pada situasi dan kondisi tertentu. Baik pada isu-isu politik, isu agama, dan isu lainnya. Hal itu tak bisa dipungkiri berkaitan langsung dengan laku jurnalistik dari media dan wartawan. Misalnya saja dalam beberapa istilah standarisasi sebuah berita seperti berita harus obyektif, berimbang, tidak berpihak, memberitakan dua sisi

Uang benar-benar membutakan mata mereka. Namun, kesadaran mereka perlahan kembali usai permainan tahap pertama berupa Red and Green Light dinyatakan selesai oleh pelaksana permainan. Lebih dari 200 orang kehilangan nyawa secara cuma-cuma. Meskipun sebagian besar hadiah yang dijanjikan sudah berada di depan mata, Cho Sang Woo yang merasa tertipu, segera mengajak Seong Gihoon dan peserta lain untuk mengakhiri permainan mematikan ini. Namun, tak semua peserta sepakat dengan apa yang dikatakan Seong Gi-hoon. Harapan Seong Gi-hoon yang nyaris sirna untuk keluar dari permainan ini pun terealisasi. Sebelum seorang pemain memutuskan mengikuti jejak kelompok Seong Gi-hoon usai pelaksana permainan mengadakan voting. Seong Gi-hoon dkk yang menganggap keluar dari permainan sebagai bentuk keselamatan hidup, ternyata masih dihadapkan pada kondisi yang sama sebelum mereka mengikuti permainan Squid Game ini. Rupanya mereka tak tahan hidup di bawah kolong kemiskinan untuk yang dan lainnya. Berawal dari bagaimana berita itu dibuat, Wisnu Prasetyo Utomo membuat analisis dengan menggunakan dua pandangan. Pertama berita dalam pandangan positivistik. Artinya pandangan tersebut mengandung realitas objektif di luar diri media dan wartawan. Sehingga tugas media dalam hal ini hanya dituntut untuk menampilkan realitas yang ada, tanpa efek dramatisasi dan lainnya. Wartawan hanya dimaknai sebagai pelopor peristiwa, penyalur yang netral dan bebas kepentingan. Pandangan tersebut kiranya abai terhadap pola perilaku produksi yang dilakukan oleh media yang seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai, normanorma atau keyakinan-keyakinan tertentu. Dengan demikian dikatakan mustahil bahwa berita hanya dianggap sebagai cerminan realitas. Kedua berita dalam pandangan konstruksi realitas. Jika menggunakan pandangan ini, wartawan adalah orang yang berkepentingan. Sebab dalam proses awal pembuatan berita, wartawan sudah memiliki posisi, dan kepentingan sebelum terjun ke lapangan. Hingga terkadang bias berita pun sering kali terjadi. Sebab realitas yang dicoba diangkat wartawan menjadi berita bersifat dinamis, plural, dan dialektis. Proses-proses tersebut masuk sebagai tahap pembingkaian (Framing), menonjolkan bagian tertentu dari sebuah peristiwa. Dengan meminjam pandangan Merril, Professor jurnalisme di Universitas Missouri, penulis seolah ingin mengatakan bahwa objektivitas jurnalisme adalah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil. Memang kiranya pandangan tersebut telah mendekati kebenarannya. Bisa dilihat dalam perkembangan jurnalisme online. Produksi sebuah berita yang dihasilkan

kedua kali. Pemilik permainan yang mengetahui hal itu, lantas kembali mendatangi rumah mereka dengan sebuah kode kertas yang digunakan saat pertama kali mengumpulkan orang-orang penuh putus asa. Peserta dengan nomor urut 001, Oh Il Nam (Oh Young Soo) yang ternyata dalang di balik permainan ini pun, kembali girang. Ia berhasil mengelabuhi ratusan orang untuk sekedar memenuhi ambisi menyaksikan orangorang dengan rasa putus asa, saling bertarung mengakhiri hidup. Menurut sutradara, Hwang Dong Hyuk, sebagaimana dikutip dari American Variety (24/09), serial ini merupakan alegori dari “jahatnya” kehidupan di bawah tatanan sistem kapitalisme, khususnya di Korea Selatan. Di Squid Game, para peserta harus melalui permainan kejam demi mendapat kekayaan, sama seperti dunia nyata yang penuh kekejaman bagi mereka yang miskin. Begitu tuturnya. Permainan dari film yang terdiri dari 9 episode ini, berakhir dan Seong Gihoon dinyatakan sebagai pemenang. Ia pun langsung diantar Front Man (orang yang menjemput Seong Gi-hoon di awal) dan pulang ke daerahnya. Meskipun Seong Gi-hoon mendapat hadiah yang diimpikan semua orang berupa uang senilai 45,6 miliar won, namun ia tak bahagia. Sesampai di rumah, Seong Gi-hoon disambut oleh jasad ibunya yang telah terbujur kaku di dalam kamar. Persoalan ekonomi memang menjadi hal krusial dalam kehidupan. Hidup tanpa uang dan terlilit utang adalah satu rasa frustasi dan putus asa yang tak bisa tergambarkan. Kita beruntung, Squid Game adalah sebuah serial drama fiksi. Tak bisa terbayangkan jika serial ini diterapkan dalam kehidupan sesungguhnya. Miris. n

acap kali hanya bersumber pada satu narasumber saja. Atau bisa dikatakan hal itu sebagai laku realitas psikologis. Hingga berita yang demikian, secara tidak langsung telah membuat standar obyektif jurnalisme dari cover both side, keberimbangan, tidak berpihak dan lainnya menjadi terkaburkan. Maka media selain menjalankan tugas imperatifnya di era demokrasi sebagai watchdog (anjing penjaga), ia harus siap untuk dikritik, supaya tetap berada dijalur yang tepat. Namun terkadang kritik terhadap struktur malah dianggap sebagai serangan personal. Meski begitu laku kritik terhadap media tetap perlu dilakukan. Sebab ketika media bebas dengan apa yang dituliskan berdasar undangundang kebebasan pers. Maka media pun semestinya siap untuk dikritik. Hal itu semata demi menyelamatkan prinsip jurnalisme media. Buku ini pun mengulasnya dalam artikel berjudul “mengapa media susah menerima kritik?” (hlm. 199). Dalam artikel lainnya, penulis menyuguhkan beberapa studi kasus perihal dunia media yang pernah terjadi di Indonesia. Seperti bagaimana media berperan ditahun politik, maraknya media partisan yang muncul, hingga ketika industrialisasi media berjalan dan pengaruhnya terhadap berita yang dihasilkan. Meskipun studi kasus yang dianalisis dalam beberapa artikel di buku ini terbilang kasus yang sudah berlalu beberapa tahun belakangan. Namun, pisau analisis yang digunakan penulis kiranya cukup membuka ruang wawasan bagi pembaca terhadap dunia media dan jurnalisme. Hingga kemudian dapat merangsang pembaca untuk berani bersikap tanpa dirundung kegagapan pengetahuan pada media massa.n

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

17


Artikel

Relasi Intelektual dan Kekuasaan Oleh: Amin Fauzi

W

alaupun penolakan terjadi dimana-mana. Aturan itu tetap disahkan. Setahun kemudian, Mahkamah Konstistusi (MK) mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Di lini massa, berita mengenai keterlibatan para akademisi kembali bermunculan. Komentarnya lebih nyinyir, bahkan ada yang mengutip pernyataan filsuf Perancis Julian Benda (1997) mengenai penyebutan pengkhiatan kaum intelektual.

Masih segar dalam ingatan. Saat ramairamainya pembahasan Rancangan UndangUndang Cipta Kerja (Omnibus Law), diberitakan bahwa sejumlah akademisi terlibat dalam Satgas Omnibus Law. Sontak, berbagai komentar nyinyir ditujukan para akedemisi tersebut. Pasalnya, regulasi tersebut dianggap tidak berpihak pada rakyat, dan cenderung memihak kapada kepentingan oligarki. Tak pelak, aksi demonstasi untuk menyerukan penolakan regulasi tersebut terjadi dimanamana.

18

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Sebuah cibiran yang memekakkan telinga bila memang respon netizen itu didengarkan dengan hati. Lantas, siapakah sebenarnya kaum intelektual (intelegensia)? apakah para akademisi tersebut layak disebut sebagai kaum intelektual? Apakah akademisi yang larut dalam kepentingan penguasa masih bisa disebut sebagai intelektual?

dari setiap pertarungan kekuasaan, negosiasi politik dan kebijakan yang diambil. Jauh sebelum itu, bapak bangsa kita Mohammad Hatta, ketika berpidato di kampus Universitas Indonesia tahun 1957, telah meningatkan, kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negera dan masyarakat. Kaum inteligensia adalah bagian dari rakyat, warga negara yang samasama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warganegara yang terpelajar, yang tahu menimbang buruk dan baik, yang tahu menguji benar dan salah dengan

“intelektual” kita. Bahkan, ada yang destruktif. Bahkan, banyak pula aktivis yang ketika menjadi mahasiswa begitu kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik praktis yang tidak memihak kepentingan rakyat, tapi ketika sudah lulus justru hanyut dalam pusaran politik praktis yang lebih mengedepankan ego kepentingannya tersebut. Belum lagi, sikap acuh tak acuh yang mulai menyerang anak muda kini, terbentangnya arus globalisasi, justru menjadikan kaum terpelajar menjadi semakin teralienasi dengan masyarakatnya, sikap individualisme terlihat lebih menonjol dibandingkan sebuah kolektifitas.

Tak pelak, ketika sudah menjadi sarjana, seakan tugas untuk selalu mengembangkan keilmuannya sudah selesai, kesadaran untuk mengimplementasikan tanggung jawab intelektual mereka kian Ya, sebenarnya perdebatan luntur. Mereka disibukkan antara relasi intelektual dengan dengan kepentingan kerja Ribuan sarjana kekuasaan sudah lama terjadi industrial, kalau yang di kalangan ilmuwan. kebetulan masuk di tercetak setiap tahunnya, tapi birokrasi disibukkan Menurut Filsuf Italia, Antonio Gramsci (1978), apakah ribuan sarjana itu mampu dengan urusan-urusan praktis nan pragmatis. seorang intelektual bertugas menghubungkan memberi keseimbangan untuk Tantangan Intelaktual ketidakpuasan individual menjadikan Indonesia ini lebih baik Kini ke dalam bentuk aktivisme Saya kira sudah sosial kolektif. Dengan dan bermartabat, atau jangansaatnya kaum intelektual segenap keilmuannya, merevitalisasi diri, ketika kaum intelektual diharapkan jangan hanya justru menjadi negara ini didera badai mampu membawa pergerakan krisis nilai, maka kaum yang nyata serta menjadi agen beban bangsa intelektual yang menjadi perubahan sosial. Mereka harus benteng harapan terhadap mengenali kebenaran dan juga penegekan nilai-nilai moralitas, berani memperjuangkan kebenaran bukan justru terhanyut dalam krisis itu, meskipun menghadapi tekanan nilai itu. dan ancaman. Senyampang dengan itu, Julian Benda justru memberikan garis demarkasi yang jelas. Menurut dia, sebuah bentuk pengkhianatan kaum intelektual apabila mereka terlibat dalam kancah politik kekuasaan dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, lalu melupakan tugasnya sebagai penjaga moral (Julien Benda, 1997).

pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya adalah intelektuil dan moril. Ya, intelektual dengan segudang ilmu yang dimiliki, tidak hanya berdiri tenang di atas menara gading dengan sebongkah keilmuannya, tapi mampu terjun ke lapangan menyuarakan kebenaran.

Sebaliknya, Sosiolog Inggris Michael Burawoy (2004) menilai, justru intelektual di lingkaran kekuasaan dibutuhkan, bahkan harus dirawat. Hal ini difungsikan sebagai public sociology, yakni komitmen pengetahuan dari kalangan intelektual untuk mengabdikan ilmunya bagi kesehatan kehidupan civil society, social engagement, dan political activism.

Persoalannya, apakah intelektual yang ada selama ini masih berperan untuk misi moril dan intelektuil, atau hanya sekedar materil?

Dengan begitu, intelektual dalam pusaran kekuasaan dibutuhkan untuk memberikan navigasi wawasan sosial yang lebih luas tentang apa pengaruh situasi sosial masyarakat bagi proses penyelenggaraan negara, dan apa efek sosial yang terjadi di masyarakat

Memang banyak intelektual yang sudah memberikan kontribusi kepada negeri melalui pergerakan pribadi maupun kolektif, baik pemberdayaan maupun kritisisme, namun masih tetap saja ada sejumlah perilaku pasif bahkan negatif yang masih dilakukan

Ribuan sarjana tercetak setiap tahunnya, tapi apakah ribuan sarjana itu mampu memberi keseimbangan untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik dan bermartabat, atau janganjangan hanya justru menjadi beban bangsa.

Memang, di tengah kecamuk meterialisme dan radikalisme, idealisme menjadi barang yang mahal. Meskipun demikian, panji-panji idealisme harus tetap ditiupkan. Intelektual harus selalu mengambil di posisi manapun untuk menentang ketidakbenaran dengan pertimbangan ilmu yang diemban selama ini. Tantangan intelektual kini bukan lagi represi kolonial atau dominasinya pemerintahan orde baru. Tetapi, tantangan utama intelektual bebas kini adalah ketidakadilan di segala lini, baik itu secara politis, ekonomi, lingkungan, pendidikan, sosial, maupun budaya. Tantangannya adalah bagaimana para intelektual itu mengenali masalah di lingkungannya masing-masing dan berusaha memecahkannya.n *) Domisioner Pemimpin Redaksi SKM Amanat 2007/2008, saat ini menjadi anggota Bawaslu Rembang


Tajuk

Agama Kura-kura; Sebuah Usaha Mengenali Diri Sendiri

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

D

alam dua tahun ke belakang, aktivitas Ormawa (Organisasi Mahasiswa) UIN Walisongo mengalami mimpi buruk yang bakal terekam dalam ingatan dan sejarah. Pasalnya, pada Maret 2020 lalu, Rektor menerbitkan Surat Edaran dengan Nomor B-1727/Un.10.0/R/ HM.00/3/2020 perihal Pengaturan Kegiatan Pelayanan dan Kegiatan Akademik dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19. Surat itu, mengatur tentang segala bentuk aktivitas akademik maupun non akademik yang harus dikerjakan dari rumah, termasuk aktivitas keorganisasian. Edaran itu, jelas memberi shock therapy bagi aktivis mahasiswa, tak terkecuali aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mereka tak bisa berbuat banyak. Sebagian aktivitas dan kurikulum keorganisasian yang telah dirancang, terhenti seperti mati suri. Padahal, kurikulum organisasi teramat penting sebagai asupan gizi mahasiswa untuk berkembang. Jika dalam prosesnya mahasiswa tidak diberi asupan yang bergizi, lantas bagaimana kaderisasi dalam organsiasi akan berjalan? Persoalan kaderisasi memang menjadi hal yang dikhawatirkan oleh aktivis UKM. Selain pengurus internal yang dihadapkan dalam kondisi serba kebingungan, petaka lain pun datang dari proses penjaringan mahasiswa baru. Mereka yang digadang-gadang bakal menjalankan roda organisasi di tahun mendatang, mengalami penurunan minat bergabung ke dalam organisasi. Ada dua penyebab yang memungkinkan mahasiswa baru mengurungkan niatnya. Pertama, kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pengurus UKM. Kondisi ini mengakibatkan mahasiswa baru minim informasi seputar dunia keorganisasian. Sehingga banyak dari mereka yang memilih tak mendaftarkan diri ke UKM. Kedua, waktu yang diberikan oleh Dema dalam kegiatan UKM Ekspo pada gelaran PBAK terlalu singkat. Dalam kondisi normal, kita mungkin bisa memaklumi perihal singkatnya durasi yang biasanya diberikan oleh Dema setiap kali UKM Ekspo. Tetapi, melihat situasi Pandemi, segalanya menjadi pertimbangan. Belum lengkap informasi yang didapat, mahasiswa baru dihadapkan pada singkatnya durasi presentasi masing-masing UKM. Hal ini membuat fokus mahasiswa terpecah. Dema dan pimpinan kampus yang diharapkan mampu memberi solusi atas keluh kesah mahasiswa pun, tak mampu bicara banyak. Hal ini yang kemudian membuat aktivis UKM mengambil langkah sepihak untuk berjuang menghidupkan nafas organsiasi dengan mengindahkan arahan dari pimpinan yang juga dilanda kebingungan. Namun, baru saja melangkahkan kaki, punggung mereka terkena cambuk wacana akreditasi Ormawa. Akreditasi Ormawa adalah sebuah langkah

Kolom

yang bakal diambil oleh pimpinan kampus sebagai acuan bagi UKM dalam menjalankan roda organisasi kemahasiswaan sekaligus ajang pelatihan berorganisasi bagi pengurus dan anggota Ormawa. Akreditasi Ormawa bukanlah seperti akreditasi pada umumnya. Akreditasi Ormawa akan lebih dinamis dan objektif dalam menilai seluruh kegiatan sebuah organisasi. Tak hanya berkutat pada penilaian administrasi—seperti akreditasi pada umumnya—instrumen penilaian bisa mencakup tentang tata tertib administrasi, inventaris, kegiatan, maupun prestasi Ormawa. Ormawa diharapkan bisa lebih optimal dalam menjalankan segala aktivitas sebagai wadah mahasiswa untuk lebih aktif dan kreatif. Sudah jatuh tertimpa tangga, adalah perumpamaan yang barangkali pantas diberikan kepada aktivis UKM. Sekilas, wacana yang dilempar pimpinan tak menimbulkan percikan api. Tetapi, jika dikaji lebih matang, konsekuensi dari aturan itu, dapat berimbas pada penambahan atau penghapusan Ormawa. Jelas, ini merupakan mimpi buruk bagi aktivis UKM. Di saat Ormawa sedang terseok diterjang badai pandemi dan perhatian dari kampus terhadap UKM masih minim, pimpinan justru melempar sebuah wacana yang dapat merugikan kehidupan berorganisasi mahasiswa. Adanya penerapan jam malam dan pembatasan aktivitas keorganisasian mahasiswa di dalam kampus misalnya, sebagai sebuah skema kampus untuk membatasi ruang gerak aktivis UKM. Di satu sisi, kampus terus menekan setiap UKM untuk menghadirkan prestasi. Padahal, fasilitas yang dimiliki mahasiswa untuk mengembangkan skil dan kemampuan ada di dalam kampus. Jika nantinya akreditasi Ormawa diterapkan, pembatasan aktivitas berorganisasi mahasiswa kiranya perlu dipertimbangkan ulang. Jangan sampai organisasi yang seharusnya menjadi tempat belajar kedua bagi mahasiswa, keberadaanya justru terancam tereliminasi oleh akreditasi Ormawa. Padahal, keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menjelaskan bahwa, masyarakat akademis adalah sebuah tatanan di mana warganya melaksanakan kegiatan akademis yang bersifat kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Dengan kata lain, ormawa juga menjadi paruparu perguruan tinggi untuk memompa nafas civitas akademis. Penulis tidak dapat membayangkan, bagaimana jadinya jika sebuah peruguran tinggi berkembang tanpa adanya wadah bagi perkembangan skil dan kemampuan mahasiswa yang tertuang dalam Ormawa.n

Redaksi

S

uatu waktu, menjelang perayaan natal dan pergantian tahun, seorang teman yang beragama Kristen bertanya melalui pesan singkat, "Apa arti islam menurutmu?" Dengan disertai emotikon nyengir. Pertanyaan itu muncul sekaligus sebagai jawaban setelah sebelumnya menerima ucapan selamat natal. Saya kaget membaca pertanyaan itu di notifikasi WhatsApp. Lama sekali Saya tidak membuka pesan itu, selain benar-benar memikirkan dan merenungkan jawabannya. Setelah itu, baru kemudian Saya mengirimkan pesan balasan, "Islam adalah rumah. Rumah bagi segala kehidupan." Sebuah rumah yang selalu kita bawa kemanapun kita pergi dengan gairah cinta. Suatu tempat yang mengajarkan kita pulang untuk senantiasa merawat kerinduan-kerinduan kepada ilahi. Seperti halnya kura-kura yang sedang melakukan perjalanan rohani untuk mencari makanan-makanan jiwanya. Mengarungi kedalaman lautan untuk menyaksikan beragam keindahan di dalamnya dan meraih sebanyak mungkin hakikat hidup. Islam adalah rumah tempat kita pulang, dan mendapati ketentraman didalamnya. Tetapi, sebelum tulisan ini bergerak lebih panjang dan menyita banyak waktu untuk menyelesaikan membaca, mari kita sama-sama membayangkan, sebuah rumah yang halamannya dipenuhi rerumputan, dindingnya retak, gentengnya bocor, kayu yang ada didalamnya telah lapuk termakan oleh amarah dan dendam. Barangkali, dalam jeda waktu yang sebentar, rumah itu akan runtuh di tengah kehidupan masyarakat yang damai dan sangat tenang padahal menyimpan 'penyakit' yang sangat ganas dan mematikan. Hari ini kita melihat sekat-sekat, celah, dan kamar-kamar yang coba diisi dengan agama, tapi sedikit yang dapat menghilangkan dahaga. Tidak sedikit orang-orang yang menyebut dirinya pemuka agama berperan sebagai tokoh yang memainkan dirinya sebagai pencipta agama. Contoh kecilnya ialah ketika seseorang ulama atau yang mengaku ustadz berani mencaci dan mengecam penganut agama lain, bahkan juga menghina agamanya sendiri karena adanya perbedaan dalam menafsirkan firman Tuhan. Perbuatan intoleransi sekelompok orang selalu menyangkutpautkan dengan agama. Lalu muncul seutas pertanyaan, apa akibat dari semua ini? Kita seperti sedang mengalami ilusi keberagaman. Atau mungkin ada fakta lain yang tidak disadari, kita yakin jika Tuhan itu masih ada dan hidup dalam diri kita, padahal sudah sejak lama kita membunuhNya. Seandainya kita masih ingat ketika Zaid bin Amr berdoa, “Wahai Tuhan, seandainya aku tahu bagaimana engkau ingin disembah, begitulah aku akan menyembahMu, tetapi aku benar-benar tidak tahu." Mungkin cara-cara dakwah yang banyak didominasi oleh ujaran kebencian terhadap orang-orang yang berbeda kepentingan maupun agama tidak akan pernah terjadi. Karena ajaran agama itu menyejukkan, bukan menakutkan. Artinya, hubunganhubungan antar agama yang ada hari ini adalah hubungan yang penuh dengan ketegangan. Agama seperti kehilangan nilai-nilai kasih sayang dalam berhubungan dengan sesama manusia, bahkan dengan Tuhan itu sendiri. Ada satu hal yang paling pokok dari manusia dalam menjalani kehidupan beragama sehari-hari, kita harus terus berupaya merenungi hakikat dari seorang hamba. Karena pengetahuan akan jati diri ini merupakan salah satu tujuan dari agama, dan hasrat untuk memahami (hakikakat seorang hamba) akan membawa kita pada satu sikap yang disebut toleransi. Sebab agama ada, hanyalah sebagai jembatan menuju ke hadiratNya. Proses perkenalan dengan diri sendiri inilah yang akan membawa kita pada pemahaman bahwa tiap-tiap agama memiliki keyakinannya sendiri, tugas kita sebagai sesama pemeluk agama adalah saling menghargai. Pada sisi lain, kita harus berkali-ulang merawat 'kebodohan' kita masingmasing agar terus belajar, menempa diri dengan penuh kesabaran dalam menempuh siklus kehidupan.n

Hasan Tarowan, esais, alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah. AMANAT Edisi 133 Desember 2021

19


Kajian

Runtuhnya Moral Akademisi

Oleh: Agus Salim Irsyadullah

“Bukankah

kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan manusia menjadi lebih bermakna?

U

niversitas di Indonesia tak hentihentinya dirundung kemalangan. Belum usai urusan semakin merosotnya kebebasan akademik dan demokrasi di kampus dengan segala dampaknya, kini persoalan lebih pelik mengarah pada runtuhnya moral akademisi;pelecehan seksual. Lembaga paling terhormat sekaligus penjaga gerbang kebenaran di hati masyarakat, justru diamdiam menyimpan kejahatan paling memalukan;pelecehan seksual yang begitu disembunyikan dan bahkan tertutup rapat hingga bisa puluhan tahun. Pada medio Juni hingga akhir Juli tahun lalu misalnya, kasus pelecehan seksual terjadi di Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram). Pelecehan itu dilakukan oleh salah satu dosen di fakultas tersebut. Ia melecehkan seorang mahasiswi yang tengah menjalani bimbingan skripsi.

20

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Usai terbukti bersalah dengan melanggar Kode Etik Dosen Unram yang tertuang dalam Peraturan Rektor No.1 Tahun 2011, dosen itu lantas dikenai sanksi Komisi Etik FH Unram. Ia dijatuhi dua sanksi: (1) diskors selama lima tahun, atau 10 semester, dari kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi;pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, pengabdian pada masyarakat; (2) diberhentikan dari jabatan sekretaris bagian (hukum) pidana. Sanksi tersebut, rupanya tak lantas membuat pelaku pelecehan seksual lain di kalangan perguruan tinggi ikut jera. Terbukti setahun berselang, pelecehan seksual di lingkungan kampus kembali terjadi. Lalu, pada Oktober 2021, mahasiswa di Universitas Riau menerima pelecehan seksual yang diduga keras di lakukan oleh dekan di kampusnya. Ia yang hanya berniat melakukan bimbingan skripsi justru mendapatkan pelecehan seksual yang membuat psikis korban terganggu. Laporan kombinasi investigasi yang dilakukan oleh Tirto.id, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post dari FebruariMaret 2019 menyebut, pelaku pelecehan seksual di kampus terdiri dari dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain. Korbannya 96 persen adalah mahasiswi. Sebanyak 20 persen tak melapor dan 50 persen tak menceritakan pada siapapun. Suburnya perkembangan predator kampus ini, didasari oleh tipisnya payung hukum pelecehan seksual di kampus. Angin segar barangkali telah berhembus ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Meski terjadi riak-riak penolakan yang menyebar dan membentuk kubangan yang terstruktur, dan disertasi tafsir dan sentimen politik identitas yang dianggap merugikan korban, namun ada yang perlu mendapat perhatian lebih serius. Sebagian dari masyarakat melihat bahwa pelecehan seksual yang menimpa perempuan adalah kesalahan dari perempuan itu sendiri. Disadari atau tidak, menempatkan perempuan korban pelecehan seksual sebagai penyebab tindak laku pelecehan seksual adalah buntut dari peng-hegemonian sistem patriarki yang telah melekat di masyarakat. Jauhariyah dalam buku Akar Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (2016) menyebut patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi superior memberikan pandangan bahwa laki- laki adalah pihak yang berhak memimpin, menguasai, bahkan dalam aspek gender, yaitu menguasai perempuan. Pandangan ini akhirnya mengakibatkan perempuan diperlakukan sewenang-wenang, yang justru merugikan perempuan, baik dari segi fisik maupun psikologisnya. Namun, patriarki tak selalu menjamin terciptanya ruang pelecehan seksual di ranah akdemis. Melihat maraknya kasus pelecehan seksual yang ada, tampaknya menara gading kini hanya sekedar pencetak intelektual yang minim akal budi, bahkan tak dibutuhkan oleh masyarakat.

Jika masyarakat berpendidikan gagal bersikap profesional dan berakal budi, lantas apa bedanya mereka dengan masyarakat yang kerap dicap tidak berpendidikan? Kemunduran Moral “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”. Kalimat yang tertera di batu nisan makam Immanuel Kant tersebut seolah menegaskan jika moral adalah bentuk keunggulan tertinggi manusia dibanding makhluk lain. Melalui moral, manusia dapat menemukan hakikat kemanusiaannya. Namun, yang terjadi hari ini adalah sebaliknya. Kita diperlihatkan pada satu kondisi di mana, moral tak lagi menjadi pertimbangan dalam sebuah tindakan. Pelecehan seksual yang menggerogoti sendi-sendi dunia akademisi kita, telah mengubur moralitas ke lubang paling dalam. Kita mungkin mengamini apa yang dikatakan Francis Bacon seorang Empirisme Inggris yang mengagungkan semboyan knowledge is power. Tapi, apa jadinya jika ilmu pengetahuan itu tak dibarengi dengan tumbuhnya moralitas? Aktivitas akal memang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah memberikan kemajuan bagi kehidupan manusia. Tapi, maraknya berbagai kasus demikian, menitik pada satu kenyataan bahwa moralitas negeri ini sedang dilanda krisis berat. Pelecehan seksual—terlebih lagi dalam kampus— adalah sebuah bentuk kemunduran moral kemanusiaan paling mengerikan. Guru cum dosen, sebagaimana yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara adalah digugu dan ditiru;Ia pengajar ilmu dan penuntun laku. Namun, dalam kasus ini, guru justru seolah tak memiliki moral dan cenderung menjadi moral destroyer. Penegasan adagium orang dengan pendidikan tinggi belum tentu mempunyai etika, akhlak dan moralitas yang baik, mungkin ada benarnya. Fakta di lapangan justru membuktikan bahwa banyak orang yang berpendidikan tinggi memiliki kelakuan yang melanggar nilai-nilai kehidupan (agama dan moralitas) dalam bermasyarakat. Etika dan moral seharusnya menjadi landasan tingkah laku manusia dengan segala kesadarannya. Ketika moralitas tidak ditakuti atau dihargai maka masyarakat akan kacau. Moralitas mempunyai nilai yang universal, di mana seharusnya menjadi spirit landasan tindakan manusia. Moralitas muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. Permasalahan moral di tengahtengah euforia pengagungan akal di zaman modern barangkali berada di titik paling mengkhawatirkan. Artinya bahwa di era globalisasi ini, ilmu tidak lagi mampu mengantarkan kita pada pemahaman agama dengan baik yang dapat terwujud melalui terjaganya akhlak dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga kehidupan manusia menjadi lebih bermakna? Atau mungkin ada sebuah alternatif untuk sebuah revolusi dalam moral seorang akademisi, dengan mengganti semboyan milik Francis Bacon, dari knowledge is power menjadi knowledge is power but moral is more.

Pelaku-Korban; Moralitas Tuan-Budak Berdasarkan penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS), sebanyak 99,8 persen pelaku pelecehan seksual adalah orang yang dekat ataupun dikenal oleh korban. Sehingga, ini menyebabkan korban pelecehan seksual, tak mempunyai keberanian untuk melaporkan tindak pelecehan seksual kepada pihak yang berwenang. Ada semacam ketakutan atau trauma tersendiri, atau bahkan lebih menaruh rasa hormat terhadap pelaku. Seorang pengamat kebijakan publik di Kota Mataram, Aliurridha dalam sebuah artikelnya berjudul Dosen Pelaku Pelecehan Seksual Diskorsing tapi Dapat Izin Belajar lanjut Doktoral, Ini Sanksi Apa Hadiah? menyatakan bahwa ketakutan akan keterungkapan identitas diri merupakan penghalang utama mereka untuk melapor. Hal ini tak terlepas atas praktik moralitas tuan-budak antara dosen dengan mahasiswa, antara pimpinan dengan dosen biasa, antara senior dengan junior di kampus. Mengkaji pemikiran Nietzsche tentang manusia, ia membagi dalam dua bagian. Pertama, moralitas tuan, dan kedua moralitas budak. Moralitas tuan, dalam pandangan Nietzsche adalah sebuah mentalitas superior. Sebagai pelaku pelecehan seksual misalnya, mereka cenderung merasa ada semacam kebebasan dalam bertindak tanpa determinasi oleh tuntutan atau larangan, yang membuat mereka bebas dalam melakukan aksinya. Sementara, korban yang memiliki moralitas budak, hanya bisa memendam kebencian dan rasa takut. Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk menjadi subjek atas tindakannya sendiri. Moralitas yang ada pada mereka adalah moralitas kelamahan dan ketakutan untuk bertindak secara otonom Moralitas budak adalah reaksi atas tindakan orang lain. Dari sudut pandang psikologis, Nietzsche menggambarkan budak sebagai seorang yang memendam agresi sehingga agresi itu menjadi beracun jika tidak diungkapkan secara “alami”. Telah menjadi rahasia umum bahwa dalam beberapa kondisi, dosen dianggap superior dan mahasiswa menempatkan dalam relasi yang subordinat. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki posisi bargaining yang setara, mereka umumnya tidak berdaya dan lemah ketika berhadapan dengan ulah sebagian oknum dosen yang tak senonoh. Dzeich & Weiner (1990), dalam buku The Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus menyatakan salah satu tipe tindak pelecehan seksual yang marak terjadi di kampus ialah yang mereka sebut dengan istilah quid pro quo, yaitu seseorang dengan kuasa yang dimilikinya memiliki peluang untuk menundukkan korban. Dengan bujuk rayu yang penuh intensi seksual, mereka tak segan-segan menampilkan sosok pengabul hingga pelindung yang membuat mahasiswa tertipu. Barangkali, guyonan Frank Zappa, musikus rock Amerika tahun 1940, akan menjadi kecupan manis di jidat pimpinan kampus dan pemangku kebijakan pendidikan. Zappa bertutur, “Jika Anda ingin bercinta, pergilah ke perguruan tinggi. Tapi, jika Anda ingin pendidikan, maka pergilah ke perpustakaan.”n


Warisan

Ramuan Warisan Kerajaan Demak Bintoro Pembeli tengah menunggu pesanan bubur Jamu Coro di kawasan Kalituntang, Demak, Jumat (27/08)

M

ens Sana In Corpore Sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Seutas petuah itu, selalu menjadi nasihat yang dipakai untuk menyerukan pentingnya menjaga kesehatan tubuh. Ada beragam cara yang bisa dilakukan, mulai dari olahraga, makan bergizi, hingga meneguk segelas jamu, yang bagi sebagian orang dipercaya mampu menjaga kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam buku Cerita Jamu karya Nova Dewi terbitan Yayasan Pikir Buat Nusantara menyebut, tradisi meminum jamu sudah ada sejak zaman prasejarah neolitikum, di mana manusia pada saat itu menggunakan batu yang diasah untuk bercocok tanam dan beternak. Pada masa ini pula, manusia purba telah mengolah tanaman untuk kehidupan sehari-hari, termasuk juga untuk pengobatan. Seiring berkembangnya zaman, tradisi meminum ramuan herbal untuk kesehatan ini pun tetap terjaga hingga zaman Kesultanan Demak Bintoro. Tak banyak yang tahu, soal Kesultanan Demak Bintoro yang menjadi salah satu jalur perdagangan rempahrempah, hingga menjadi daerah yang kaya akan rempah-rempah. Pengetahuan maupun literatur mengenai posisi strategis Demak dalam jalur perdagangan rempah nusantara, belum banyak diketahui. Demak— dalam kacamata awam—lebih populer sebagai salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia. Begitu pun dalam prasasti zaman Majapahit masa pemerintahan Hayam Wuruk. Nama Demak hanya disebut sebatas menjadi salah satu dari 33 pangkalan dari jaringan Iintas air pada masa itu. Namun, catatan Tome Pires, seorang ahli obat-obatan dari Portugis dalam buku Summa Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur: dari Laut Merah hingga negeri China) membuktikan kebenaran itu. Demak menjadi salah satu kota di Jawa Tengah yang menjadi jalur komoditi yang kaya akan rempah-rempah. Berkat kekayaan rempah-rempah yang dimiliki, lantas membuat orangorang waktu itu tergerak untuk membuat sebuah ramuan herbal penghangat tubuh, yang diberi nama Jamu Coro. Jamu ini diracik menggunakan bahan 15 rempahrempah, yang terdiri dari akar wangi, pekak, serai, jahe emprit, kayu manis,

cabe kuyang, air pandan, serai, santan dan bahan rempah lain. Wawancara dengan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Glagah Wangi, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten (Disdikbud) Kota Demak, Ahmad Widodo pada Jumat (27/08) menyebut, dahulu Jamu Coro digunakan sebagai minuman rutin dalam setiap perjamuan di kerajaan. Sebelum menjadi Jamu Coro, orangorang dahulu sering menyebut sebagai Wedang Coro. Wedang dalam filosofi Jawa berarti ngawe-ngawe kadang. Jika diartikan dalam bahasa indonesia menjadi merawat persaudaraan. Sedangkan coro merupakan cara. Maka, makna filosofis dari Wedang Coro yaitu cara untuk merawat persaudaraan. Yang menjadi pembeda antara Jamu Coro dengan jamu-jamu yang lain ada pada komposisi dan bentuk penyajiannya. Meskipun terdapat banyak rempah-rempah, namun bahan campuran rempah dari rasa jamu coro yang dominan adalah Jahe Emprit. Jahe Emprit merupakan salah satu jenis jahe yang ada di Indonesia. Berbeda dengan jahe-jahe lainnya, jahe yang dikenal dengan nama latin Zingiber officinale var amarum ini, punya bobot rimpang berkisar antara 0,5-0,7 kg/rumpun. Struktur rimpangnya kecil dan berlapislapis. Begitu pun dengan daging rimpangnya yang berwarna putih kekuningan. Sementara, untuk tinggi rimpang mencapai 11 cm dengan panjang antara 6-30 cm. Selain kecil, ruas jahe ini juga agak rata dan sedikit menggembung. Sebuah studi yang dipublikasikan di National Institute of Health menjelaskan, ekstrak Jahe Emprit mengandung antioksidan yang bagus untuk menjaga daya tahan tubuh dan kesehatan kardiovaskular. Selain Jahe Emprit yang menjadi ciri khas pada Jamu Coro, kini penjual Jamu Coro mulai berinovasi dengan menambahkan tepung beras. Sehingga, penikmat jamu ini bisa menikmati dalam bentuk bubur maupun jamu biasa seperti pada umumnya. Meskipun ada sedikit inovasi, namun secara khasiat Jamu Coro tidak berubah dan dengan rasa yang sedikit hangat, pedas, manis dan segar yang dihasilkan merica yang dibubuhkan dalam minuman tradisional itu.

(Amanat/ Shafril)

Keunikan lain dari ramuan herbal warisan Kesultanan Demak Bintoro ini adalah banyak dijajakan di kampungkampung pada pagi hari dengan wadah berupa klenthing yang terbuat dari tanah dan ditutup dengan segumpal kain yang terbungkus plastik. Sementara, untuk mengambilnya dari dalam klenthing membutuhkan alat berupa potongan bambu kecil dengan gagang berupa kayu. Untuk menjaga kehangatan jamu dan ciri khas warisan leluhur, jamu disimpan di klenthing dan ditutup menggunakan kain yang telah dilapisi plastik. Krisis Regenerasi Tsunami informasi tentang pola kehidupan budaya Barat, Timur, dan berbagai macam asal dan bentuknya, seolah ikut meretas dan membongkar akar budaya bangsa Indonesia yang notabene adalah budaya Timur. Imbasnya, mereka melupakan warisan budaya masa lalu bangsa. Tak terkecuali penjual Jamu Coro di daerah Demak, yang ikut terpengaruh gelombang tersebut, dan bisa dikatakan mengalami krisis regenerasi. Meskipun penjual Jamu Coro mengadu nasib ke luar Kota, namun mayoritas penjual adalah ibu-ibu dengan usia di atas 30 tahun. Tak banyak dari kaum muda yang mau melestarikan warisan Kesultanan Demak Bintoro ini. Mereka lebih memilih pekerjaan lain dengan gaji yang lebih menjanjikan. Dari luas wilayah yang mencapai sekitar 897,4 km2, dengan 14 Kecamatan dan 249 Desa/Kelurahan hanya beberapa desa yang masih memproduksi Jamu Coro. Diantaranya, Desa Rejosari Kecamatan Karangtengah. Lalu, daerah Poncowati, Poncoharjo, Karangmlati dan Ngalas Purwo di Kecamatan Bonang. Pada masa kepemimpinan Raden Patah dan Demak menyandang sebagai ibu kota, tentu menjadi jalur perdagangan rempah-rempah nusantara maupun mancanegara. Sejarah rentetan Demak jaman dulu, dalam wawancara dengan Ahmad Widodo menyebut jika Dukuh Poncowati Desa Poncoharjo menjadi tempat bermukimnya Sunan Kudus. Sementara, Desa Karangmlati dan Dukuh Sodagaran adalah wilayah para saudagar. Kini, setelah para tokoh tersebut wafat, praktis penjual Jamu Coro terus berkurang. Desa Rejosari Kecamatan Karangtengah adalah penduduk dengan mayoritas sebagai penjual

Jamu Coro. Tak hanya dijual, di sana, Jamu Coro masih disuguhkan acara prapatan atau selametan. Meski begitu, beberapa masyarakat desa di Demak juga masih menjual Jamu Coro. Namun, dengan jumlah penjual yang lebih sedikit. Bahkan, bisa dihitung jari. Raih Penghargaan API Meskipun Jamu Coro mengalami krisis regenerasi, namun tak menyurutkan semangat penjual Jamu Coro untuk berhenti dan meninggalkan warisan leluhur ini. Usaha gigih mempertahankan warisan itu, kini mulai berbuah hasil. Di tengah gempuran Pandemi yang belum usai, keberadaan Jamu Coro kini mulai diserbu para pembeli. Ada yang percaya, Jamu Coro mampu menangkal penularan Covid-19. Ada juga yang ingin sekedar mencicipi kekhasan rasa Jamu Coro yang kini perlahan mulai populer di kalangan masyarakat. Memang belum ada kajian atau pun penelitian secara klinis yang menganggap jamu—terutama Jamu Coro—dan rempah-rempah lain yang bisa menangkal Covid-19. Namun, khasiat yang dirasakan tak dapat membohongi penikmatnya. Kekhasan rasa yang ada pada Jamu Coro, membuat minuman kuliner asli Demak ini mampu meraih juara 2 dalam penghargaan Anugerah Pesona Indoesia (API) Award 2021 sebagai kategori minuman tradisional yang berlangsung di Stable Berkuda Sekayu, Musi, Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa (30/11). Minuman yang juga terkenal sebagai wedang blung ini mampu bersaing dengan kopi khop dari Kabupaten Aceh Barat, Liberka Meranti Bone, Serbat Mangga Kweni dari Kabupaten Tanggamus, Suruthamere dari Kabupaten Muna, Susu Kuda liar dari Kabupaten Sumbawa, The Gaharu dari Kabupaten Sijunjung, Teh Telang dari Kota Palangkaraya, dan Toge Panyabungan dari Kabupaten Mandailing Natal. Melihat perannya yang banyak dalam dunia kesehatan, rempahrempah merupakan warisan yang harus tetap dilesatarikan. Begitu juga dengan Jamu Coro yang selalu dinantikan kenikmatan dan kekhasan rasanya.n Rizky Nur Fadhillah

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

21


CERITA PENDEK

Berebut Tanah

Oleh: M. Syarif Marzuki

“Siapa yang menyuruhmu?’’ kata Jumali, Teriakannya kali ini lantang, sehingga aku dan istriku mendengar dengan jelas.

atas apa yang aku dengar, sehingga aku tidak menelan mentah-mentah apa yang diucapkannya. Ya, aku tahu meskipun ia adalah orang yang telah melahirkanku. Mungkin tetangga kanan kiri memiliki prasangka yang sama, itu terlihat dari cerita mereka meskipun cara penyampaiannya berbeda-beda. Pada intinya warga desa sedang tidak ramah dengan urusan tanah. Ada informasi lain yang mengganggu pikiranku, apalagi kalau bukan rencana pembangunan vila-vila megah di area umbul, memang masih dugaan. Yang pasti harga tanah yang terkena proyek pembangunan vila akan melambung dari biasanya berkali-kalipat tak wajar. Parahnya lagi, Umbul itu akan diubah menjadi danau buatan yang lebih luas. Tentang Umbul, kata para tetua kampung, mulanya hanya sumber mata air biasa, kemudian diubah menjadi waduk untuk persediaan air warga saat musim kemarau. Benar tidaknya aku

di mana saja asalkan uang mereka kantongi. Sisi lain nuraniniku cukup heran dengan pikiran warga kampung sini apabila benar-benar ingin pindah ke kota, rela menukar tanah yang pernah membesarkan mereka dengan imingiming nominal. Aku kira sebanyak apapun yang di miliki akan habis di sana, tapi tidak dengan tanah. Sebagai orang desa, kenyataannya hidup seperti itu yang aku jumpai di kota. Ah, sial. Pikiranku malah justru melayang ke sana. Umbul itu memang cukup luas, dalamnya sekitar dua meter diapit dua gundukan tanah tinggi yang dipenuhi ladang warga. Satu hal yang pasti, di umbul ada batu besar tepat di sebelah pohon beringin yang rimbun, di sanalah tempat favoritku masa kanakkanak, selain menyenangkan tempat itu juga menjadi tempat persembunyianku dan teman-teman ketika mencuri di ladang warga. Mana mungkin aku bisa begitu mudahnya melupakan umbul itu.

S

edari subuh aku duduk di atas kursi kecil di kamar mandi dengan dua ember tumpukan pakaian kotor yang sudah aku sikat bersih sebagiannya. Sebagai suami yang baik, Aku tidak tega membiarkan istriku yang hamil 4 bulan untuk melakukan perannya, mencuci baju seperti harihari biasa. Hari ini Aku hanya menyuruh istriku membuatkan teh, karena memang aku tidak terlalu suka dengan kopi apalagi jika sepagi ini meneguknya. Aku yakin lambungku pasti menyelilit tidak karuan. Sudah tiga bulanan ini aku tinggal di rumah Emak yang berada di kampung. Setelah tahu bahwa istriku hamil, aku lekas memboyongnya pulang ke rumah Emak, sebuah desa yang jauh dari kota. Tempat yang tidak banyak berubah semenjak aku merantau 10 tahun lalu. Sekian tahun suasananya masih saja damai dan sejuk. Pepohonan juga masih rindang, daunnya pun mendayudayu ramah. Perihal apa yang tidak bisa ditemukan di kota adalah ketenangan di tempat ini. Namun sayangnya warga desa tidak sedamai dulu. Ada kekhawatiran yang akhir-akhir ini membuat mereka geram dan tidak tenang. Belakangan ramai pemasangan patok tanah secara ilegal, seolah orang-orang berlomba untuk memiliki ladang dan tanah seluasluasnya selagi mereka bisa, kata Emak. Kegaduhan ini disebabkan tak pernah ada pemasangan patok legal para warga pemilik tanah. Itu jelas terlihat dari semua ladang dan tanah yang ada di desa ini, sebagian besar tak memiliki sertifikat tanah yang mereka kelola secara resmi. Lantas Aku tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Emak. Dua hari lalu aku mencoba mencari kejelasan

22

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Ilustrasi: Latifatul Munawaroh

tidak terlalu memikirkan, saat lahir tempat itu sudah ada. Sebagian warga akan berpikir heran atau bahkan bertanya-tanya, jika proyek pembanguanan vila dan umbul benar terjadi, apakah warga masih diberi izin akses ke danau itu ?. Atau jangan-jangan danau buatan itu memang dikhususkan untuk kaum elit tertentu alias si pemilik vila nantinya. Bagaimana jika masyarakat desa memang membutuhkan air terutama di saat musim kemarau melanda? Atau mungkin mereka akan dibuatkan waduk yang baru, rasanya tak mungkin. Peduli amat bagi mereka yang tergiur tumpukan rupiah, hidup bisa

lenganku sangat kuat. Ia tak sengaja melihat dua orang yang berseteru di tepi Umbul. Suaranya memang tak terlalu jelas, tapi gestur tangan Bapak Tua menunjuk-nunjuk pria kurus yang ada di depannya, sedangkan mimik mukanya nampak memaki-maki. Aku dan istriku hanya diam saling berbisik memergoki pertikaian mereka, aku tak ingin mereka mengetahui kedatangan kami, apalagi gelagak istriku juga terlihat ketakutan. Oh, astaga, aku baru ingat bapak tua itu adalah Jumali, ucapku kepada istri yang sedari tadi penasaran. Aku ingat betul perawakan Jumali, tubuhnya masih saja kekar padahal usianya kini mungkin kisaran 50 tahun. Benar itu Jumali, kataku kembali meyakinkan Istriku. Saat kanak-kanak aku sering berurusan dengannya, karena ia mendapati aku mencuri singkong dengan teman-teman sebaya di ladangnya. Dan di batu umbul itulah tempat paling aman bersembunyi saat dikejar Jumali. Nahas pria kurus itu kini tersungkur ke tanah. Meskipun usianya terlihat lebih muda ia harus mengakui kekuatan si tua Jumali. “Siapa yang menyuruhmu?’’ kata Jumali Teriakannya kali ini lantang, sehingga aku dan istriku mendengar dengan jelas. Praak…. Seketika Jumali memukul lengan pemuda itu dengan patok yang baru dicabutnya. Mungkin ini bagian kecil yang diceritakan Emak dan beberapa tetanggaku terkait ribut-ribut urusan tanah. Aku yakin si Jumali sedang ngotot memperjuangkan tanah miliknya, sebab aku tahu Jumali adalah salah satu pemilik tanah di dekat Umbul. “Sedangkan pria asing itu aku kurang mengenalnya,” jelasku kepada istri yang terus bertanya penasaran. Sejujurnya aku ingin tetap di sini menyaksikan pertikaian mereka sampai akhir, tapi aku juga tak tega melihat istriku yang ketakutan apalagi ia sedang mengandung anak pertamaku. Apa boleh buat, aku segera mengajaknya pulang.

Hanya tinggal tiga pakaian saja *** yang belum disikat, ada baiknya “Identitasku terbongkar ?,” aku pergi menengok umbul dengan “Aman bos,” istriku. Setidaknya itu pilihan terbaik “Kerja bagus,” pujiku kepada pria ketimbang pikiranku tak karuan, istriku yang mengaku lengannya patah dan juga pasti tak menolak karena seminggu mukannya biru lebam. Meskipun gagal ini ia hanya diam di rumah. setidaknya ia masih bisa kupercaya. *** Aku segera pulang, takut kalau Sepanjang jalan ke Umbul aku malam ini istriku terbangun dan aku tak senyum-senyum sendiri mengingat ada di sampingnya.n tingkah nakal masa lalu, perihal pohon beringin ternyata kini semakin besar dengan akar-akarnya yang menyentuh tanah. Aku tak sabar ingin mendekat pohon itu. Istriku yang sedari tadi diam terkejut ketakutan, tangannya memilin

*) Pemimpin Umum SKM Amanat 2020


Berlatih Menari di Gedung Sobokartti

(Amanat/ Hasib)

Atas Nama Tari

Sekelompok remaja sedang berlatih menari di halaman Gedung Sobokartti, Minggu (14/03).

M

alam Jumat, di sebuah gedung di Jalan Dr. Cipto, No.31 Kebonagung, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Aroma khas kasunanan Surakarta tercium pekat dalam baluran dinding berukir limas, tiang kayu penyangga, dan langit atap dengan lampu gantung. Di dalamnya, suara gamelan melengking di sela kebisingan kota. Alunan Gending, saron, gambang, dan gong saling sahut memenuhi udara. Dari sudut ruangan, belasan gadis berusia 12 tahunan, mengenakan pakaian adat jawa, berjalan pelan mengikuti iringan gamelan. Sebuah geletar merambat naik dari kaki gadisgadis itu. Tubuhnya bergerak luwes penuh tenaga. Malam itu adalah pentas bulanan kebudayaan yang rutin diselenggarakan di Gedung Volkstheater Sobokartti. Sebuah Gedung peninggalan Pangeran Prangwadana atau KGPAA Mangkunagoro VII dan campur tangan kolonial Belanda, Thomas Karsten. Sobokartti lahir dari kecintaan Ratu Wilhelmina, penguasa Kerajaan Belanda pada masa itu, ketika melihat tarian Jawa yang dibawakan oleh anak dari Mangkunegoro VII. Setelah jatuh cinta pada keanggunan penampilannya, Ratu Wilhelmina meminta Thomas Karsten, arsitek yang juga mendirikan Lawang Sewu, untuk menampung para seniman Jawa agar bisa mengembangkan potensinya. Maka pada tahun 1920an, akhirnya Sobokartti diresmikan untuk pertama kalinya. Namun, gedung bernilai sejarah tinggi ini tak banyak dikenal masyarakat luas perihal aktivitas di sana. Orang-orang di luar gedung hanya mengetahui Sobokartti sebatas sebuah tempat pementasan. Padahal, Gedung kesenian Sobokarti tak sebatas panggung pementasan semata. Di sana terdapat pusat pelatihan taritarian Jawa. Sejumlah tarian rutin dimainkan. Ada Tari Semarangan, Tari Soyong, Tari Kukilo, Tari Rantaya Putri dan beberapa tarian lain dari kebudayaan Jawa. Tak ketinggalan, ada Pendhalangan, Karawitan, dan Sinden. Ketua Perkumpulan Sobokartti, Dyamil Sutrisno

mengatakan, sanggar tari Sobokartti menjadi wadah untuk memulai langkah pertama memaknai seni tari. Dalam kacamata Sutrisno, begitu disapa, pihaknya terbuka untuk masyarakat yang hendak berlatih tari-tarian. Sutrisno bersama para pelatih tari bahkan siap untuk memberikan pelatihan secara intens. “Kami di sini sama-sama untuk belajar seni, siapapun orangnya, dari manapun asalnya, jika ada niat untuk belajar budaya dan berproses bersama, kita siap melatihnya setulus hati. Dari nol, hingga menjadi apa yang diinginkan. Sejatinya, itulah makna dari Sobokartti,” ujar Sutrisno kepada Amanat, Minggu (14/03). Sutrisno juga mengaku, selama pandemi ini, antusias anak-anak untuk berlatih menari di pendopo Sobokartti justru semakin meningkat. Sebab, selama ini banyak anakanak yang merasa jenuh saat menghabiskan waktu dengan belajar daring di rumah. "Karena anak-anak kepengin mengisi waktu luang ditambah lagi bosan di rumah hanya untuk belajar online, maka peminat latihan menari di sini malah tambah banyak. Sekarang ada 100 orang lebih yang ikut latihan tari yang terbagi setiap dua jam sekali. Tapi tetap dengan protokol kesehatan ketat," tambahnya. Mencetak Kader Keseriusan Sobokartti dalam mencetak kader-kader penari muda, tak sebatas isapan jempol semata. Setiap orang yang sudah terdaftar untuk mengikuti pelatihan tari di Sobokartti, akan dikelompokkan sesuai jenjang usia dan kadar kemampuan. Pengelompokan tarian sesuai usia ini, menurut Sutrisno sudah dilakukan sejak lama. Hal ini dilakukan untuk melihat potensi dan perkembangan anak dalam mengikuti proses latihan menari. “Memang dari dahulu sudah disesuaikan dengan porsinya usia. Telah dikelompokkan kalau untuk anak-anak, menari tarian klasik. Anak-anak kecil diajarkan tari dasar rantoyo atau gerakan dasar tarian-tarian,” tutur lelaki paruh baya tersebut. Salah satu guru tari, Yuli mengaku, ia bersama pengurus kesenian di Gedung Sobokartti

SASTRA BUDAYA juga sudah membuat jadwal latihan bagi penari-penari muda untuk menunjukkan bakatnya. Sutrisno membagi jadwal latihan merata setiap harinya. Ada empat kelas dalam pelajaran menari dengan kesesuaian usia. Kelas A, dengan usia minimal 3,5-7 tahun diselenggarakan dua kali pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB dan hari Minggu pukul 09.00 WIB. Kelas B, kisaran usia 8-10 tahun dengan porsi latihan setiap hari Jumat pukul 16.00 WIB dan hari Sabtu pukul 10.00 WIB. Di kelas C, ada anak remaja 11-14 tahun, yang memulai latihan pada hari Selasa pukul 16.30 WIB dan Sabtu pukul 10.00 WIB. Lalu, di kelas D yang didominasi usia dewasa diberikan jadwal latihan pada hari Selasa Pukul 16.30 dan hari Minggu Pukul 11.00 WIB. “Memang untuk pemula kita ajarkan tari dasar terlebih dahulu. Dan dari zaman dulu pun memang sudah seperti itu. Cuma untuk perkembangannya, saat ini ditambah tari kreasi mengikuti perkembangan zaman modern sekarang ini,” sambung Yuli Mempertahankan Budaya Sutrisno menyadari, perkembangan zaman kini telah mengancam warisan kebudayaan. Menurutnya, peran generasi muda dalam mempertahankan budaya, juga kesenian Jawa sangat dibutuhkan. Sutrisno menegaskan, tugas semacam ini tak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak. “Ini bukan semata jadi tanggung jawab stakeholder atau yang merasa memiliki. Pemerintah, swasta, pelaku seni, masyarakat luas, itu juga harus berpikir bagaimana Sobokartti akan tetap hidup. Juga anakanak sekolah. Jadi ada niat baik dari semua kalangan,” tegasnya. Di saat sejumlah cagar kesenian budaya di Semarang di renovasi, Sobokartti masih tetap utuh. Sutrisno membandingkan Sobokarti dengan kawasan Kota Lama misalnya, yang baru-baru ini sedang dilakukan pemugaran dan renovasi. Pria yang sejak 1986 menjaga gedung Sobokartti mengatakan, sebagai cagar budaya tak seharusnya Sobokartti direnovasi. Proses renovasi menurut Sutrisno bakal menghilangkan nilainilai sejarah yang terkandung di dalamnya. “Tidak ada pembaharuan informasi tentang kondisi Sobokartti, karena memang tidak ada yang berubah. Soalnya inikan cagar budaya, tidak boleh diubah-ubah,” pungkasnya. Meski begitu, Sutrisno masih beruntung dengan adanya dana perawatan gedung yang berasal dari sawadaya masyarakat, mampu menjaga keaslian dan ‘keperawanan’ Sobokartti.n

n Sajak- Sajak Endang

Suluk Renjana Di setiap sesaknya jalan kota Lembaran wajah buram bertebaran Menyuguhkan kisah

Ku urai halaman demi halaman Di antaranya, satu yang tak pernah selesai kubaca Ia yang menyelinap kemudian menjelma rasa

Lantas mengukir cerita menjadi kita Yang kelak saling membaca Hingga berujung di hari tua

Semarang, 2019

Kopi Kompromi Bisikmu terbang di sepertiga malam Beranjak menuju langit yang maha tinggi Seperti hujan, pelan menyirami harapan semu

Bahkan ketika ku kira takkan mendung Rintik masih membasahi benih anganku Begitu juga basah bibirmu Beribu harap darimu berhamburan Diantaranya yang terbanyak, agar si kecil selalu bahagia, tanpa keluh kepayahan

Di sela tasbih engkau juga menyulam doa Jangan pernah ia terluka Tumpah ruahkan padaku saja Biar ku terima segala bala Hingga habis tak tersisa

Hujan itu pun belum pernah reda Sejak engkau mulai meminta berkah Adalah saat pertama ku mengenal dunia Maka dengan syukur, ku sambut rintik demi rintiknya Semarang 2019

Iin Endang Wariningsih Warga Kampoeng Soeket Teki SKM Amanat. Penyair Kelahiran Semarang, 12 Januari 1997

Nurul Fitriyanti

AMANAT Edisi 133 Desember 2021

23


SOSOK

Peduli Sampah untuk Kemanusiaan K iranya manusia sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab untuk saling menolong antarsesama. Demikian halnya yang dilakukan oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Dalam menjalani kehidupannya Eliz, sapaan akrabnya, memiliki prinsip supaya apa yang dilakukan dapat bermanfaat bagi orang lain. Prinsip tersebut mulai ia terapkan di lingkungan tempat tinggalnya, yakni Perumahan Ngaliyan Indah RW III Kelurahan Ngaliyan Kecamatan Ngaliyan Semarang. Melalui aktivitas kelompok pengajian putri Masjid At-Taqwa, Eliz menyalurkan ide gagasan yang inspiratif. Salah satunya idenya yaitu mendirikan Gerakan Seribu Rupiah (GSR). Awal mula berdirinya GSR, tak luput dari kebiasaan Eliz yang memiliki jiwa penolong. Eliz kemudian mencari alternatif lain supaya aktivitas kebaikan bisa dilakukan secara kelembagaan. Akhirnya, ia mulai menuangkan gagasan pembentukan GSR dalam forum rutinan kelompok pengajian putri Masjid At-Taqwa. Namun, tidak semua anggota menyambutnya dengan baik. Hal itu tidak lantas menurunkan semangatnya. Sebab di sisi lain, yang setuju atas gagasan Eliz pun tidak sedikit. Pada 10 April 2007, GSR resmi berdiri. Berdirinya GSR bukan tanpa tujuan, selain didasari inisiatif Eliz pribadi, GSR ditujukan untuk membantu masyarakat yang dirasa membutuhkan bantuan.

Curriculum Vitae

Nama : Misbah Zulfa Elizabeth TTL : Pontianak, 7 Januari 1962 Lulusan: S1, S2, S3 jurusan Antropologi UGM

24

Desember 2021

AMANAT Edisi 133

Menurutnya, meskipun di lingkungan perumahan Ngaliyan Indah mayoritas masyarakat tergolong mampu, jika hanya diukur dari bangunan fisik rumah. Namun, saat disurvei, ternyata beberapa keluarga masuk dalam kategori membutuhkan bantuan. "Siapa yang tahu rumahnya bagus, ibunya terlihat seperti orang mampu, tetapi ternyata waktu itu ada delapan orang anak yang tidak terbayarkan SPPnya, bahkan ada yang sudah dua tahun tidak menerima raport karena tidak bisa membayar SPP," ungkapnya prihatin, saat diwawancarai Amanat pada Rabu (23/10/19). Melihat kondisi seperti itu, Eliz beserta anggota ibu-ibu pengajian lainnya semakin mantap dengan mendirikan GSR. Meski prinsip GSR bersifat sukarela dan kebersamaan, tetapi ternyata dalam perjalan masyarakat RW III sangat antusias dalam menyambut GSR. Dibuktikan dengan terkumpulnya dana, yang kala itu dapat digunakan untuk membantu anak-anak yang terbelit problem pendidikan dalam hal finansial. Program bantuan untuk pendidikan tersebut, sekarang berganti nama menjadi Beasiswa GSR. Selama 2007-2020, GSR juga memiliki beberapa program lain, di antaranya Warung GSR, GSR Peduli Dhuafa, GSR Peduli Lingkungan (GSR Eco Care), GSR Pinjaman Kuliah. Peduli Lingkungan, Visi Kemanusiaan Eliz tergolong pribadi yang berjiwa sosial. Hal itu Eliz terapkan dalam program GSR Peduli Lingkungan. Melalui GSR Peduli Lingkungan, Eliz berhasil merubah mindset masyarakat tentang sampah. Baginya permasalahan yang dihadapi negara yang belum selesai adalah sampah. Namun, di tangan Eliz, sampahsampah tersebut dapat dikelola hingga bernilai tinggi.

Sistem yang diciptakan Eliz pada GSR peduli lingkungan adalah GSR mengumpulkan kertas dari warga kemudian menjualnya ke perusahaan perajang kertas untuk recycling. Untuk waktu pengumpulan tidak terbatas. Sedangkan penjualan dilakukan setelah kertas terkumpul banyak. Selain kertas, GSR juga memanfaatkan sampah plastik dan botol minuman bekas. Kemudian dijual pada pengepul sampah. Hasil penjualan tersebut dimanfatkan untuk membantu kaum dhuafa. “Sebelumnya mereka menganggap ini hal yang merepotkan, sekarang sudah bisa menata. Di rumah-rumah sekarang sudah ada kardus untuk mengumpulkan kertas yang sudah tidak terpakai,” terang Eliz yang sekarang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Walisongo. Sikap Tegas Sikap kepeduliannya pada lingkungan, ditularkan Eliz dalam lingkup akademis yang ia geluti sekarang. Dosen pengampu mata kuliah antropologi tersebut terbilang aktif dalam mengingatkan dan mengajak mahasiswa untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Bahkan, Eliz tidak segansegan membuat larangan tegas untuk mahasiswanya. “Perkuliahan saya tidak ada mahasiswa yang menggunakan sampul plastik pada bukunya. No plastik, kalau ada yang menggunakan plastik tidak saya terima,” tegas Dosen kelahiran Pontianak itu. Bukan hanya plastik, penggunaan kertas untuk makalah, Eliz mengimbau mahasiswanya untuk memaksimalkan penggunaan dua sisi kertas harus terpakai. Hal itu dilakukannya sebagai upaya untuk mengurangi persebaran sampah kertas.

Eliz menganggap masyarakat atau pun mahasiswa, acap kali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya telah melakukan pemborosan. “Padahal kertas yang dikonsumsi berasal dari bubuk kayu. Sedangkan bubuk kayu dibuat dari pohon. Sekarang hutan atau pepohonan sudah mulai berkurang karena banyaknya penebangan,” pungkasnya.n

Nur Ainun L


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.