Majalah Soeket Teki Edisi 9

Page 1


Penerbit: Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Izin Penerbitan: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 tahun 1984 ISSN: 0853-487X Pelindung: Rektor UIN Walisongo Pembimbing: Joko Tri Haryanto, Musyafak, Hamidun Nafi’ Syifauddin, Nur Zaidi, Fajar Bahruddin Achmad, Sigit Aulia Firdaus Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Riduwan Pemimpin Redaksi: Mohammad Azzam Ashari Dewan Redaksi: Mohammad Iqbal Shukri, Naili Istiqomah, Muhammad Syarif Marzuki, Khalimatus Sa’diyah, Liviana Muhayatul Khoiroh, Iin Endang Wariningsih Ilustrator Mohammad Hasib, Zulfiyana Dwi Hidayanti Desain Nur Fitrya Madani Tata Letak Ibnu Abdillah Alamat Kantor Redaksi: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Kampus III Lt. 1 Universitas Islam Negeri Walisongo, Jl. Prof. Hamka No, 3-5, Tambak Aji, Kec. Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50185 Email: redaksi.skmamanat@gmail.com

2

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


SALAM REDAKSI

M

Membangun Peradaban

enjadi tanggung jawab besar bagi tim redaksi untuk tetap konsisten mempersembahkan majalah sastra Soeket Teki. Memang tidak mudah, namun melihat antusias penikmat sastra khususnya di lingkungan UIN Walisongo, semangat kami menyala untuk menerbitkannya kembali. Meskipun harus menghapus beberapa rubrikasi namun hal itu tidak akan merubah identitas dari majalah ini. Identitas menjadi harga mahal yang harus kami jaga. Maka, redaksi senantiasa menghadirkan aspek budaya yang menjadi ciri khas majalah Soeket Teki. Sedikit gambaran, dalam edisi kali ini kami mengangkat pertunjukam kolaborasi dua budaya dari negara berbeda, Indonesia dan Jepang di rubrik reportase. Kemudian, ada juga resensi dari film dan buku peraih berbagai penghargaan nasional dan internasional. Kami juga menyajikan rubrik wawancara khusus Eka Kurniawan, sekaligus mengkaji karya dan biografinya di rubrik kajian. Tidak ketinggalan, beberapa karya cerpen dan puisi dari warga

Soeket Teki Bicara

Kampoeng Sastra Soeket Teki serta pemenang sayembara Soeket Teki juga tersaji dalam menu sajian majalah Soeket Teki edisi 9 ini. Sekumpulan karya yang kami ciptakan tidak lain ialah sebuah usaha untuk turut andil menjalankan tugas membangun sebuah peradaban. Sastra dan budaya memiliki berbagai tujuan, diantaranya mengangkat nilai kemanusiaan. Nilai ini akan mengimbangi modernitas dan teknologi untuk sebuah peradaban yang kokoh di kemudian hari. Tugas yang cukup berat. Pada suatu titik, kami merasa kalah. Namun, jika menyerah, selesai sudah. Besar harapan kami, persembahan ini dapat menjadi oase budaya di tengah modernitas zaman dan kemajuan teknologi, terkhusus di lingkungan UIN Walisongo. Menjadi wadah ekspresi bagi rasa dan tindak laku insan dalam kehidupan. Merasuk dalam hati dan jiwa setiap pembaca. Sebab, kata Mahatma Gandi; “Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan di dalam jiwa rakyatnya.” Semoga bermanfaat dan, selamat membaca! Redaksi

Sastra dengan Rasa

3


(Soeket Teki/Syarif Marzuki)

Reportase

Perjumpaan Wayang Gaga dan Kyogen dari Jepang

H

ening malam itu pecah oleh suara kentongan. Tiupan seruling, petikan ukulele serta bunyi lonceng pun turut bersahutsahutan menciptakan alunan musik tradisional. Alunan musik tersebut merupakan pertanda pentas Wayang Gaga yang berkolaborasi dengan Kyogen, dimulai, Kamis (20/08/2019). Puluhan wajah penasaran yang sedari tadi memenuhi Gedung Monod Diephuis Kawasan Kota Lama Semarang lantas terbayarkan. Wayang Gaga sendiri adalah kelompok kesenian yang berasal dari Kampung Umbul Sari Desa Mijen Kecamatan Mijen Kota Semarang, sedangkan Kyogen merupakan teater humor tradisional Jepang. Untuk pertama kalinya kelompok kesenian ini berhasil

4

menyajikan pertunjukan seni Kyogen dipadu dengan pentas boneka wayang yang terbuat dari bambu. Pertunjukan berdurasi kurang lebih setengah jam ini berjudul “Yashima”. Menceritakan seorang jenderal prajurit di zaman kerajaan Jepang era dulu bernama Yoshitsune. Sosok Yoshitsune diperagakan oleh Minami mahasiswa asal Jepang jurusan Tradisi Budaya di Tokyo School of Arts. Untuk memerankan tokoh Yoshitsune, Minami mengenakan yukata hitam dan mambawa galah. Penonton asal Kendal, Yenni Zanuba merasa terpukau atas pertujukan kolaborasi tersebut. Pasalnya, ia belum pernah melihat secara langsung pertunjukan yang memadukan dua kesenian dari dua negara.

Soeket Teki Bicara

n

Pentas kolaborasi Wayang Gaga dan Kyogen

“Saya sangat mengapresiasi tim yang menampilkan pertunjukan itu, keren idenya,” ujarnya. Dalang boneka bambu sekaligus pengurus dari Wayang Gaga Andi mengatakan, ide kolaborasi ini sendiri muncul ketika Minami berkunjung ke Sanggar Wayang Gaga pada Februari 2019 lalu. “Kami terkesan, karena bisa melihat Kabuki secara langsung, akhirnya muncullah ide untuk menggabungkan dengan wayang,” ujarnya saat ditemui di Sanggar Wayang Gaga pada Senin (09/09/2019). Komunikasi pun berlanjut melalui email dan messenger, Minami mengirimkan beberapa naskah yang pada akhirnya terpilihlah kisah Yoshitsune. Pada awal Agustus 2019 Minami datang ke Indonesia,

Sastra dengan Rasa


namun saat itu dia mengikuti Summer School di Solo. Sembari menunggu kedatangannya, teman-teman dari Wayang Gaga merancang boneka yang nantinya akan digunakan saat pertunjukan. Sebenarnya mereka sudah membuat wayang papak (dua dimensi) namun karena terlalu monoton akhirnya dibuat model yang baru. “Kami buat boneka tiga dimensi dari bambu,” ungkapnya. Lelaki yang juga akrab disapa Mas Kartun itu juga mengatakan, bahwa pertunjukan kolaborasi menghabiskan waktu satu hari untuk latihan. Ia dan kawan-kawan mengaku kesulitan komuniksi saat latihan. Hal itu wajar, sebab kolaborasi tersebut menyangkut dua negara dengan bahasa yang berbeda. “Akhirnya kami menggunakan kode, ketika mendengar bahasa yang seperti ini berarti mulai memasuki gerakan yang begini,” jelasnya. Andi juga tak menampik bahwa Komunitas Wayang Gaga juga belajar banyak dari kolaborasi itu, terutama soal komitmen orang Jepang. Hal yang paling mencolok adalah saat proses latihan. Itu didapati dari kepribadian yang ditunjukkan oleh Minami. Minami memiliki semacam ritual, ia mengepel seluruh panggung yang akan menjadi tempat latihan maupun pertunjukan. Ketika mengepel tidak asal-asalan, ia mengepel menggunakan sebuah kain dengan posisi jongkok. Bahkan tidak ingin ada orang lain yang membantunya. Hal itu tetap

dilakukan meskipun lantai panggung nampak bersih. “Itu semacam ritual, layaknya budaya bagi mereka,” ujarnya. Poin lain yang patut dicontoh adalah komitmen dalam latihan. Bagaiamanapun kondisinya kalau sudah bertekad untuk latihan, ia tetap latihan. Meskipun yang lain sudah istirahat. “Saat itu kita sedang istirahat, tongkrang-tongkrong dan santesante,” tuturnya sembari tertawa mengingat-ingat. Mengenal Wayang Gaga

Secara bahasa, kata Pambuka Septiardi, salah satu penggagas adanya komunal ini, Wayang Gaga tidak memiliki arti namun mengandung filosofis. Ia diinisiasi oleh beberapa orang yang memiliki pemikiran sama berada di Kampung Gaga, yang kemudian berganti nama menjadi Umbul Sari. Ia bersama dua sahabatnya, Suryo Cahyono dan Teguh Arif Romadhoni sering bertemu untuk sekadar melakukan obrolan ringan. Nah, dari obrolan itu muncul wacana membentuk sebuah komunal yang bernama Wayang Gaga. Wayang Gaga sendiri beraneka macam bentuk dan bahan. Ada yang menyerupai wayang kulit terbuat dari jerami. Ada pula yang terbuat dari bambu dan daun kelapa atau aren mirip wayang orang seukuran orang dewasa. Selain model bentuk tersebut, Wayang Gaga juga memiliki bentuk lain menyerupai wayang golek. Untuk bahan pembuatanya menggunakan apa yang diperoleh dari lingkungan

Soeket Teki Bicara

sekitar. Seperti akar pohon, daun singkong, hingga pohon jagung. Tujuan utama pendirian komunitas ini, kata Pambuka, tak lain untuk mengedukasi masyarakat terutama anakanak. Hal ini dilakukan dengan menggelar pertunjukan pementasan wayang sebagai ajang mendidik anak supaya tidak lepas kontrol terhadap perubahan yang terjadi di era modern. Selain pementasan, ada juga upaya untuk mengajak anakanak membuat sesuatu dengan bahan baku apa yang ditemukan di sekitar, sehingga mereka lebih peduli terhadap lingkungan. Bahkan ada juga yang datang untuk belajar menulis, menggambar, bernyanyi, dan bermain musik juga diajarkan. “Yang sedang kami upayakan adalah pembentukan sumber daya manusia yang mampu dijadikan referensi, sehingga memiliki nilai jual, bahkan pembentukan lingkup ekonomi kreatif,” katanya. Pambuka sendiri mengaku tidak tahu pasti kapan komunitas ini didirikan. Yang jelas, pada tahun 2014 sudah mulai menggelar pementasan. Hingga saat ini, total ada sepuluh orang yang ikut menghidupi komunitas. Dengan banyaknya upaya yang telah dilakukan, Pambuka berharap kelompok kesenian ini tak hanya sebatas komunal, sanggar, maupun lembaga saja, namun sebagai komunitas pembawa spirit kampung. Tentu dengan pesan moral yang mengedukasi.n

Sastra dengan Rasa

Syarif Marzuki

5


Cerita Pendek

Memeluk Kaktus n Naili Istiqomah

Malam telah kehilangan sunyinya, jerit dan isak tangis berkali-kali mengusik tidur. Seorang tetangga baru datang dengan sederet keanehan yang membuat resah warga. Rinang namanya, laki-laki dengan tangis setiap malam yang sialnya kamarnya berdekatan dengan kamarku. 6

Soeket Teki Bicara

Baru tadi pagi aku berkenalan. Sebagai tetangga aku juga pantas penasaran dengan sosok lelaki aneh itu, setiap malam berteriak mondar-mandir di jalan memanggil sebuah nama. Barangkali dia menunggu kekasihnya yang belum pulang, pikirku mencoba berbaik sangka. Sastra dengan Rasa


Naili Istiqomah- Memeluk kaktus

Dibanding dengan yang lain, aku adalah orang yang cukup nyaman bertetangga dengan Rinang. Namaku Kirana, tetapi mereka lebih suka memanggilku Kiki.

setelah itu tawanya terbahak-bahak tanpa aku tau apa yang membuatnya tertawa. Pikirku ia senang mendapatkan air es, tak apalah jika dihabiskan.

Kata orang, Rinang di pagi dan malam adalah orang yang beda. Pagi adalah tawa dan malam adalah lara baginya. Tiap pagi saat aku berangkat kerja, ia menyapa ramah sembari merawat tanaman kaktus di depan rumahnya yang cukup luas.

“Rinang! Rinang cah bagusku, ayo balik Nang! Ibu udah siapkan makan siang,” teriak Ibu Rinang dari depan rumah.

Dengan memakai topi dan sepatu bot, laki-laki itu seperti hendak berkebun. “Sedang beraktingkah dia? Atau hanya ingin diperhatikan?” bermacam pertanyaan selalu memenuhi kepalaku tiap pagi. Namun sekali lagi aku selalu tersentuh dengan jeritannya saat memanggil Nawangsih setiap malam. Mengingatkanku pada kegilaan Majnun yang mencintai Layla. **** Sore itu, aku baru saja pulang dari kerja, dan Rinang kembali mengejutkanku dengan ulahnya. Ia memajang semua tanaman kaktus menjadi huruf N di teras rumahku. Ia bahkan tidak memberiku waktu untuk berpikir karena secepat kilat ia meraih lenganku dan membawa ke kaktus-kaktusnya

Aku jawab senyum teriakan Ibu itu, apalagi Rinang bersedia pulang bersyarat, aku ikut dengannya. Tak ada pilihan, senyum ramah ini harus diselesaikan dengan ikut Rinang ke meja makan. Rinang layaknya tuan rumah, menawarkan beberapa hidangan, melihat aku yang masih enggan memilih tepatnya malu-malu. Rinang begitu antusias mengambilkan makanan begitu saja. Menyantap masakan seenak ini terasa ganjil ketika memandang wajah Ibu Rinang yang gusar. Entah apa yang ia pikirkan, batinku. Lima belas menit kami habiskan dengan diam. Rinang meninggalkan meja dengan tawanya yang keras. Inginku mencoba membuka obrolan, namun Ibu Rinang buru-buru menarikku ke dalam kamarnya. Ia bercerita lama, dan aku tak bisa berkata-kata selain menganggukkan kepala.

Ibu Rinang bergeser ke dekat ku. Ia berbisik “Bagaimana dengan tanaman kaktusku, lirih di telinga untuk memintaku menjauhi indah bukan?” Rinang. Aku bertanya alasannya, namun ia selalu “Bukan saja indah. Tapi layak dijual. Jika menjawabnya dengan penolakan. kau bersedia menjual online pasti banyak yang “Demi keselamatanmu, pulanglah, dan tertarik membeli,” jawabku. segera kunci pintu rumahmu,” jelasnya. Ia tersenyum lalu melepas topi, begitu ***** juga dengan sepatu botnya. Wajah merahnya menandakan letih. Entah karena dorongan Surya telah meninggalkan langit. Ku kunci apa yang membuatku menyodorkan air es semua pintu dan jendela rumah. Kata-kata kepadanya. Sekilas Rinang terkejut, namun Ibu Rinang kini menghantuiku. Aku tak berani Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

7


Naili Istiqomah- Memeluk kaktus

bersuara, aku tak berani kemana-mana. Satu kecap suara dari mulutku pun tak terdengar. “Nawangsih, Nawangsih, buka jendela kamarmu. Ayo pulang. Kenapa tadi siang kamu pergi dan tak berpamitan denganku?” teriak Rinang sembari memukul jendela berulangulang. Sesekali ia terdiam dan menangis lalu memanggil nama yang ku kira kekasihnya itu. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Ku biarkan dia berdiri di samping rumahku. Suaranya terasa pilu dan menyayat kala memanggil Nawangsih. Ia seperti serigala yang baru saja ditinggal mati kawannya. Hatiku terketuk untuk kesekian kali. Tanpa pikir panjang aku membuka jendela dan memintanya masuk ke kamarku melalui jendela tersebut. Ia masuk membawa payung hitam dan selembar foto wanita berambut panjang berhidung mancung. Aku melihatnya seksama. Dan tak bisa lagi disangkal ia seperti diriku. Rinang masih memegang tanganku yang masih lemas tak percaya dan menatap mataku dalam. Kakiku gemetar melihat tatapannya. Rinang menjadi begitu murka, ia mencekikku dan matanya mendelik. Jari jemarinya yang dingin pun bergetar. Batinku, kenapa Rinang menjadi seperti ini? Giginya menggigit kosong. Lalu memakiku. “Kamu itu Nawangsih. Kamu itu kekasihku. Kenapa kamu meninggalkanku? Tapi lihat! Lihat! Sekarang akhirnya kamu kembali padaku,” teriak Rinang. Aku mencoba untuk melepaskan kedua tangannya. Bangsat! tangannya begitu kuat. Aku 8

Soeket Teki Bicara

kehilangan napasku dalam sejenak, urat-urat nadiku serasa mau putus. Mati. Dalam khayalku mungkin aku akan mati. Keringatku bercucuran keluar tiada henti. Tenggorokanku pun tak bisa menelan air ludahku sendiri. Tuhan selamatkan aku dari orang tak waras ini, batinku menjerit. Ia mencekikku lama, sampai aku tak sadar telah pipis di celana. Rupanya air seni ini membawa berkah. Rinang melepaskan cekikannya. Secepat mungkin aku berlari ke kamar mandi, dan di sinilah Tuhan memperlihatkan jalan. Mataku menatap langit-langit kamar mandi. Entah memang kebetulan atau bagimana, ventilasi kamar mandi kontrakanku ternyata rusak. Segera aku memanjat dinding bak mandi. Lalu tanganku meraih ventilasi yang jebol itu, kujadikan tanganku sebagai tumpuan untuk mengangkat tubuhku, aku melompat dari dinding kamar mandi, tanpa merasa takut. Tentu saja jatuh dan tersungkur ke tanah. Ternyata sakitnya minta ampun. Aku yang terkapar mencoba menahan rasa sakitku, tak pernah menyerah untuk berusaha bangkit. Suaraku terlalu lirih untuk berteriak meminta pertolongan selepas keluar dari kamar mandi. Gelap gulita, yang ku dengar hanyalah cuitan burung hantu di atas pohon mangga. “Aku harus lari dari sini,” kataku menyemangati diri sendiri. Baru saja aku berlari ada seseorang yang menarik tanganku, dan menyuruhku diam. Dia menggunakan tutup wajah. Sehingga aku tak mengenalinya. Setelah melalui gang-gang perkampungan. Dia mengajakku lari ke arah jalan Sastra dengan Rasa


Naili Istiqomah- Memeluk kaktus

raya. Tanpa melepas tudung kepalanya ia segera menyuruhku pergi. Namun aku penasaran dan gemetaran siapa sebenarnya dia. Setelah kuanggukkan kepala, dengan sengaja aku meraih tudung kepala itu, begitu pula dengan tutup wajahnya. Terbukalah wajah teduh yang ia miliki. Namun matanya tajam, setajam mata Rinang. “Ibu?” “Iya, sudah kuperingatkan kepadamu untuk menjauhi Rinang. Mengapa kau tak menghiraukan ucapanku,” cerca ibu itu kepadaku. “Aku tak tega melihat ia menangis. Apalagi siang hari tadi dia begitu baik kepadaku,” jelasku padanya dengan bibir yang bergetar ketakutan. Ibu Rinang menyayangkan ketika aku mengontrak di rumah itu. Jika tidak keluar dengan segera katanya hidupku akan diganggu terus-menerus oleh Rinang yang sedang mengidap depresi. Setelah kejadian ini akhirnya Ibu Rinang mau bercerita kenapa ia menyuruhku pergi dan menjauhi Rinang. “Waktu itu, saat Rinang berusia dua puluh tahun ia memiliki adik bernama Nawangsih. Mereka tumbuh bersama. Aku pun memberikan kasih sayang yang sama. Sebagai kakaknya, Rinang begitu menyayangi dan rela berkorban demi adik kesayangannya. Itu juga atas anjuranku, sebab ketika Nawangsih lahir, ayahnya pergi entah kemana serta tak pernah memberikan kabar. Saat mereka lulus sekolah tinggi, aku menikahkan Nawangsih dengan kekasihnya yang selama ini disembunyikan dari Rinang. Kabar bahagia itu aku sampaikan kepada Rinang. Bukannya Soeket Teki Bicara

restu yang Nawangsih dapatkan, justru Rinang menyatakan perasaannya dan mengeluarkan kata serapah. Sebagai adik Nawangsih tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun keadaannya pernikahan Nawangsih dan kekasihnya tetap berlangsung,” kata Ibu Rinang. Malam pengantin baru itu menjadi malam yang buruk bagi Ibu Rinang. Anak lelakinya yang seharian terlihat murung tiba-tiba saja memaki suami Nawangsih. Dengan tegas suaminnya menegaskan jika Nawangsih itu adiknya. Dan tidak diperbolehkan seorang kakak menikahi adiknya. Sejak itulah Nawangsih tidak menerima keadaannya. Rinang pun sering marah kepadanya tanpa alasan. Untuk menghindari percekcokan, Ibu terpaksa memberikan rumah kontrakan yang aku tinggali itu kepada Nawangsih dan kek asihnya. Saat itu pula sikap Rinang selalu aneh dan menggodai adiknya sendiri. Senggang beberapa hari di bawah malam hari yang hujan deras, dan gemuruh halilintar Ibu memaksa Nawangsih dan suaminya untuk pergi dari sini. Sewaktu itu pula Rinang bertanya di mana Nawangsih pergi, Ibu pun mengatakan mereka sudah keluar negeri untuk bulan madu. Untuk itulah ia setiap malam menunggu Nawangsih pulang. Adapun sikap Ibu terhadap Rinang tak diam begitu saja. Ibu juga menasehatinya untuk menghilangkan perasaannya terhadap Nawangsing itu, karena semakin sakit rasanya jika mencintai seseorang yang tidak mencintai kita sama halnya dengan memeluk kaktus, semakin erat semakin tertancap durinya.n Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki Sastra dengan Rasa

9


Puisi

“Ruh” Kepada Tuan

Atas onggokan kegaduhan dan gulana dalam perantauan

Tuan, Apa kau mengenal sajak Sebab dengan itu, Aku bicara padamu Menyambung rindu dan menenggelamkan rasa pada setiap kata yang kucipta Sebab dengan itu, Aku mendekap malam Bersama doa-doa yang rapalnya adalah tentangmu Sebab dengan itu, Aku mencipta bising di kepala –ku Mengeja namamu Dalam wirid yang menggebu Setiap harap kulempar tinggi-tinggi Biar terpasung di atap langit Lalu turun menjadi hujan yang menyegarkan

Semu bayangmu, dalam dekapan keangkuhan Berdikariku di pelupuk senja jingga, mencarimu. Bola panas selaksa bersemayam dalam jiwa-jiwa temaram Mereka tak tahu arah kemana kan terbang melayang Ruh.... Setiap sukma yang dapat berbicara Yang telah mengerti apa inti alam semesta. Akankah dapat bercakap denganmu? Dalam ratapan sinar purnama, bisakah jiwa berteriak? “Mengapa semesta hancur akibat ulahmu?”

Semarang, Mei 2019

A.M Maryam Lahir di Jepara, 13 Juni 1998, mahasiswa UIN Walisongo. 10

Ruh, bisakah kelanaku bersua denganmu?

Soeket Teki Bicara

Wadhichatis S. Lahir di Rembang pada 14 Agustus 1998, mahasiswa UIN Walisongo. Sastra dengan Rasa


Menghamba Ala Indonesia Riuh gemuruh langit Jakarta yang gaduh Di lima detik menuju senja yang kau sebut Maghrib Di sana, Katedral bertetangga Istiqlal Dihantarkan asap tua hingga pelataran Dibujuk peluh, Disambut mimbar acuh, Menghamba ala Indonesia; Emas berbongkah-bongkah ditanamnya dalam tanah Gunung dipindahkannya dalam kertas Hujan diserapnya dalam kapas Maka, tak hanya sajadah Sawah Rumah Hingga tempat sampah Menghamba ala Indonesia ; Melarungkan doa dengan jala Melangitkan harapan dengan gala Surga adalah milik kita, Yang menghamba dengan tenggang rasa

Doa di Ujung Fajar di ujung fajar sebelum nadi kota berdetak kurangkai wirid untuk pertiwi kujahit luka di kaki dengan rapal doa “Tuhan,” kataku, “Jangan biarkan bhinneka ini lepas” sungguh, tubuhku telah tercabik sayapku tak lagi mampu terbang tinggi terkoyak oleh harapan demi pita yang kugenggam, seboyan agung ini Di batas pagi sebelum gaduh sebelum luka baru tergores kuingin doaku turun membasuh duka sebagai embun agar luntur setiap ego dan pudar semua dendam biar bhinneka yang kugenggam, tetap tungga ika. Semarang, 2019

Semarang, Juni 2019

Adis Hadisah

Lahir di Pemalang, 18 November 1999, mahasiswa UIN Walisongo.

Soeket Teki Bicara

M. Azzam A

Lahir di Wonogiri, 23 maret 1999, Lurah Kampoeng Sastra Soeket Teki. Sastra dengan Rasa

11


(Soeket Teki/Mohammad Iqbal)

KAJIAN

Prostitusi dalam Nuansa Realis-Magis

M

embaca novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan seolah membuka jendela mata kita pada sejarah kelam cikal bakal prostitusi yang ada di Indonesia. Karya tersebut berkisah tentang Dewi Ayu seorang pekerja seks komersial di tempat pelacuran Mama Kalong. Eka mengemas cerita pelacur Dewi Ayu dengan latar tempat dan waktu era kolonial. Berikut kutipan novel Cantik itu Luka. Tempat pelacuran mama kalong telah ada sejak masa pembukaan barak-barak tentara kolonial secara besar-besaran (Eka Kurniawan, 2002: 85). Tidak hanya Cantik itu Luka, kisah prostitusi serupa

12

juga disematkan dalam novel monumental tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel Pram terdapat tokoh Nyai Ontosoroh wanita pribumi yang statusnya menjadi gundik. Tuan Mallema mempunyai hak penuh tubuh Nyai Ontosoroh atas transaksi yang pernah ia lakukan. Hal yang menarik dari cerita Eka adalah latar belakang pekerja prostitusi, mereka bukan seorang pribumi, melainkan Noni Belanda. Mereka dipilih dengan paksa dari Blooden Camp, penjara Jepang tempat mereka ditahan untuk kemudian bekerja di tempat prostitusi milik Mama Kalong. Mereka membawa gadisgadis itu dalam jepitan tangan, bagaikan membawa kucing sakit, dan mereka meronta-ronta penuh

Soeket Teki Bicara

kesia-siaan (Eka Kurniawan, 2002: 90). Kenyataan di atas harus dihadapi Noni Belanda pada waktu itu, terutama yang memiliki tubuh cantik. Praktik prostitusi yang ada dalam novel memang tidak tepat untuk dijadikan landasan hipotesis, namun beberapa literatur sejarah menunjukkan adanya kebenaran praktik terlarang tersebut. Raditiyanto mengatakan prostitusi di Batavia merupakan kegiatan yang berkembang pesat di Batavia dan keberadaannya tidak akan pernah bisa dihapuskan. Walaupun Gubernur Jenderal VOC Belanda yaitu J.P. Coen yang secara tegas menolak adanya prostitusi, pada kenyataannya pada saat penggantinya setelah Coen

Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Ashari - Prostitusi dalam Nuansa Realis Magis

tidak lagi memerintah keadaan prostitusi menjadi semakin terkonsentrasi di kawasan Macao Po ( Jakarta Kota) pada abad XVII (Ensains, Vol 1, Mei 2018). Alasan masuk akal praktik prostitusi di masa lalu pernah ditulis oleh Petrik Matanasi di laman tirto.id pada 29 Maret 2017 dengan judul: Obat Kesepian Lelaki Belanda: Nyai, Pelacuran, dan Guling. Matanasi mengungkapkan pendapat Leonard Blusse bahwa, para serdadu sering sekali pergi ke rumah-rumah bordil dan menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuan penghuninya. Perempuanperempuan penghuni rumah bordil itu awalnya adalah perempuan-perempuan Asia yang tak jelas asal usul keluarganya. Tak jarang, mereka adalah budak. Matanasi juga berpendapat, rumah bordil jadi pelarian karena kebanyakan dari orangorang Belanda di tanah koloni itu tak mampu kawin dengan perempuan Belanda. Ongkos mendatangkan perempuan dari Belanda sangat mahal. Lakilaki belanda yang sukses punya istri Belanda adalah mereka yang sudah kaya dengan jabatan pegawai senior. Dan mereka sudah berumur. Penokohan

Di novel Cantik itu Luka yang tebalnya mencapai 505 halaman, Eka mampu menciptakan karakter Dewi Ayu sebagai tokoh sentral dari kompleksitas cerita. Oleh karena itu, Dewi Ayu memiliki karakter unik dan kuat yang melekat

dalam dirinya, sehingga pembaca tak akan melewatkan satu pun paragraf untuk melompati cerita. Ketika menjadi pelacur, Dewi Ayu bukan pelacur biasa, karisma yang dimiliki mampu menyedot perhatian seluruh Halimunda. Ia sungguh menikmati pekerjaannya, merasa bangga atas kepiawaian dan kecantikannya yang mampu menaklukan seluruh lelaki di Halimunda. Adapun proses penciptaan karakter Dewi Ayu yang kuat itu menurut Eka bukan perkara mudah. Penguatan karakter perempuan, yang mana merupakan karakter utama menjadi tantangan penulis laki-laki pada umumnya. Kemudian, karakter yang rumit menjadi tantangan selanjutnya (Wawancara, 23 Oktober 2019).

Eka harus meneliti banyak perempuan dengan pengalaman tidak biasa. Yang pertama, Eka memulai meneliti bekas Jogun Ianfu, perempuan yang menjadi korban dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Penelitian itu ditujukan mematangkan karakter Dewi Ayu yang pernah menjadi Jogun Ianfu. Kemudian, ia meneliti beberapa perempuan yang memiliki pengalaman buruk tentang pemerkosaan, dari data-data tersebutlah kemudian dihimpun sebagai referensi untuk menciptakan reaksi seunik mungkin dari Dewi Ayu usai diperkosa, namun tetap masuk akal. Aspek sosial-politik yang melatarbelakangi karakter Dewi Ayu benar-benar diperhitungkan.

Soeket Teki Bicara

Tidak hanya karakter Dewi Ayu, hampir semua karakter penting dalam novel Cantik itu Luka diciptakan dengan proses serupa. Yang ditulis tidak jauh dari yang dibaca Kisah Dewi Ayu sebagai pelacur tingkat tinggi di tempat Mama Kalong menjadi salah satu pilar pembangun dari keseluruhan cerita novel setebal 505 halaman memiliki periode latar waktu yang cukup panjang. Namun jika diperhatikan lebih jeli, bangunan cerita novel Cantik itu Luka kental dengan formula cerita horor yang mengandung unsur mitologis. Ide dasarnya berkisah seorang hantu yang bangkit dari kubur dan hendak membalas dendam. Selain dalam novel Cantik itu Luka, dua novel karya Eka lainnya juga memiliki unsur-unsur mitologis yang sama. Novel Lelaki Harimau (2004) menceritakan tentang misteri motif pembunuhan yang dilakukan oleh Magio terhadap Anwar Sadat. Margio sangat yakin yang membunuh Anwar Sadat bukanlah dirinya, melainkan kekuatan supranatural dari harimau putih yang ada dalam tubuhnya. Sedang pada novel berjudul O (2016), ada bagian yang menceritakan latar belakang tokoh Bagong yang berasal dari kampung supranatural. Kampung asal Bagong memiliki ciri khusus bahwa setiap warganya berkemampuan magis, berubah menjadi binatang.

Sastra dengan Rasa

13


Mohammad Azzam Ashari - Prostitusi dalam Nuansa Realis Magis

Bagong sendiri diceritakan mati dalam bentuk babi. Ciri khas dari ketiga novel Eka selalu menghadirkan unsur horor dan mitologis dipengaruhi dengan novel yang ia sukai, yaitu novel horor. Eka sendiri mengakui akan hal itu, antara lain karya-karya Abdullah Harahap. Hampir semua novel Abdullah Harahap adalah novel horor seperti Dendam di Balik Kubur (1989), Babi Ngepet (1990) dan lain sebagainya.

Dalam novel karya Eka yang lain, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas, formula horor tidak terlalu kentara. Namun dalam novel ini, ada formula lain yang cukup menonjol yang juga ada di setiap karya Eka yang lain, yaitu banyak menyajikan adegan silat atau laga. Hal ini dipengaruhi oleh bacaan favoritnya, novel-novel karya Ko Ping Ho. Kisah horor dan silat serta persoalan prostitusi, Eka narasikan dengan bahasa vulgar dan lugas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam aplikasi KBBI V vulgar dapat dimaknai sebagai tidak sopan. Sedangkan kata lugas memiliki arti tidak berbelit-belit. Eka bukan tipe novelis yang merangkai setiap kata dengan ornamen berbunga-bunga. Artinya, ketika menyebutkan sesuatu, ia tidak akan mencaricari kata yang indah dan berputar-putar. Misalnya pada kalimat “Orang-orang mulai menganggap kegilaannya kambuh, meskipun ia tak lagi memerkosa sapi dan ayam betina dan tidak

14

pula makan tai” (Eka Kurniawan, 2015: 36). Eka pernah mengatakan, jika melalui novelnya ia ingin membebaskan kata-kata yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia, yang seharusnya bisa disampaikan. Novel pertama Eka terbit usai momen reformasi, di mana kebebasan bersuara bisa didapatkan, termasuk bagi penulis. Namun, satu hal yang membatasi Eka, yaitu rasisme. Sangat jarang bahkan mungkin tidak ada dalam semua novelnya yang menyinggung rasisme. (Wawancara, 23 Oktober 2019). Eka, dan label “Realis-Magis” yang dilekatkan

Banyak orang yang melabeli Eka dengan novelis beraliran realis-magis. Beberapa karya ilmiah dan artikel popular juga menyebut demikian. Eka sendiri dalam sebuah wawancara (23 Oktober 2019) tidak menolak label itu. Ketika novel “Cantik itu Luka” disandingkan dengan beberapa novel karya Gabriel Garcia Marquez ataupun Salman Rusdhie, mereka memang memiliki persamaan struktur yang menunjukkan unsur realis-magis.

Kata “magic” sendiri diberi pengertian “misteri kehidupan” sementara kata “magical” mengacu pada segala bentuk yang berkaitan dengan hal di luar kebiasaan yang berkaitan dengan spiritual atau hal yang tidak dapat diukur dengan ilmu rasional. Penulis realis-magis akan membawa hantu, malaikat, jin, iblis, keajaiban, mukjizat, dan kemampuan supranatural ke

Soeket Teki Bicara

dalam cerita (Sundusiah, Jurnal LINGUA, Vol. 12: 2015).

Di awal cerita novel Cantik itu Luka, Eka menceritakan Dewi Ayu yang bangkit dari kubur setelah kematiannya selama dua puluh tahun. Selepas itu, ia berakivitas layaknya orang normal yang baru bangun dari tidur panjang. Dewi Ayu bahkan mengingat apa saja sebelum ia mati. Ia lalu pulang ke rumahnya, menyapa Cantik dan pembantunya, minum teh, dan mandi.

Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Ashari - Prostitusi dalam Nuansa Realis Magis

Shodancho sebagai jendral terpilih. Ia juga mengisahkan bahwa tragedi penembak misterius (Petrus) pada masa Orde Baru adalah ulah dari Shodancho yang hendak menghabisi preman yang dipimpin oleh Maman Gendeng. Unsur yang sama akan ditemukan juga pada karya Gabriel Garcia Marquez dan Salman Rusdhie. Marquez lewat novel One Hundred Years of Solitude (1967) menceritakan sejarah bangsanya melalui cerita kroni keluarga sebagai alegori dari Amerika. Salman dengan novel Midnigth’s Children (1981) dengan kisah perjalanan anak yang lahir di hari kemerdekaan India. Anak itu, dalam novel Salman, menjadi alegori dari India itu sendiri.

Dok. Internet

Di tengah cerita, Eka pun mengisahkan hantu-hantu dari mayat pembantaian di Halimunda bertamu ke rumah Kamerad Kliwon yang baru keluar dari penjara. Mereka bercakap-cakap layaknya tamu manusia, duduk di kursi, dan bercerita banyak hal.

Apa yang diceritakan Eka itu mirip dengan apa yang diceritakan Gabriel Garcia Marquez dalam novel One Hundred Years of Solitude (1967). Marquez menceritakan seorang wanita yang telah mati mendatangi pembunuhnya dan

menitipkan surat wasiat, layaknya orang hidup. Dalam aliran realis-magis, penulis menghadirkan sejarah dalam ceritanya. Namun sejarah tersebut ada di antara benar dan palsu. Realis-magis ada di antara keduanya. Dalam novelnya, Eka menceritakan sejarah terpilihnya jenderal Sudirman sebagai jenderal pertama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dikarenakan penolakan

Soeket Teki Bicara

Dari sudut pandang Eka, sejarah semua benar berdasar cara pandang masing-masing. Untuk itulah, dalam novelnya, sebagai karya sastra ia ciptakan dunianya sendiri. Eka membungkus ulang sejarah itu sesuai fantasinya, menggambarkannya dengan gaya baru.

Di Indonesia, gaya penulisan yang seperti itu (realis-magis) belum cukup populer bagi kalangan pengarang maupun pembaca. Meskipun demikian, novel-novel karya Eka Kurniawan ini mampu menembus pasar Internasional. Dengan hadirnya gaya realismagis ini, setidaknya telah memperkaya varian genre novel di Indonesia yang berkualitas.n

Mohammad Azzam Ashari

Sastra dengan Rasa

15


(Soeket Teki/Azzam Ashari)

Eka Kurniawan

Lahir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975. Sekarang menetap di Jl. Legoso Raya Perumahan Griya Pesona Rama Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tanggerang Selatan, Banten Buku-buku lainnya Coret-coret di Toliet (2000), Lelaki Harimau (2004), Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (2005), Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (2005), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas (2014), Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015), 0 (2016). Karyanya yang paling populer novel Cantik itu Luka (2002) Peraih gelar Prince Claus Award dari Kerajaan Belanda tahun 2018

16

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


WAWANCARA

Pemerintah Masih Takut dengan Buku Awal Oktober lalu, publik digegerkan dengan sikap yang diambil oleh sastrawan kondang Eka Kurniwan. Ia tegas menolak, Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

hari ini tidak ada bedannya dengan rezim Orde Baru. Lantaran ada kesepemahaman elite politik pada masa Orde Baru dari segi ketakutannya terhadap buku. Masyarakat dibatasi pengetahuan dan pemahamannya terhadap sejarah negerinya sendiri.

Airlangga Pambudi, seorang pengamat politik dari Universitas Airlangga menilai pemerintahan

Berikut hasil wawancara ekslusif kami dengan Eka Kurniawan.

Sikap yang diambil Eka waktu itu memang bebarengan dengan rentetan peristiwa tindakan pemerintah yang dianggapnya salah. Terhitung sejak saat Eka menolak anugerah, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang pemerintah begitu gencar melakukan razia buku-buku kiri yang dianggap membahayakan keutuhan negara. Sebut saja razia buku di Kediri pada 26 Desember 2018, disusul di Padang pada 8 Januari 2019, dan di Probolinggo pada 27 Juli 2019.

Mengapa kemarin anda menolak penghargaan dari Kemendikbud?

Sikap yang diambil penulis novel Lelaki Harimaum itu, seolah mencerminkan perlawanannya. Bahkan, ketika Tim Redaksi Soeket Teki, Mohammad Iqbal Shukri dan Mohammad Azzam Ashari berkunjung di kediamannya Rabu, 23 Oktober 2019, raut wajah kekecewaan masih tergambar jelas ketika diajak membahas kesusastraan di Indonesia. Negara, kata dia, belum bisa menjamin keamanan kerja-kerja kebudayaan, dalam hal kebebasan berekspresi.

Selama ini apakah perhatian pemerintah tidak ada?

Ya, karena pemerintah minim perhatian terhadap kesusastraan Indonesia. Negara belum bisa menjamin keamanan terhadap kerja-kerja kebudayaan. Buktinya masih banyak aktivitas penyitaan buku di beberapa daerah.

Ya ada sih, tapi menurutku mereka tidak menyentuh halhal yang begitu penting dan signifikan. Kalau urusannya yang happy-happy sih mereka mendukung, seperti banyak festival di mana-mana. Pemerintah mendukung, kalau urusannya yang tidak mengancam mereka (pemerintah).

Soeket Teki Bicara

Maksudnya mengancam? Bisa dilihat masih ada aktivitas penyitaan buku, masih ada pembubaran diskusi kalau temanya tidak sejalan. Itu menjadi problem mendasar. Negara belum mampu menjamin keamanan. Ya mungkin di undang-undang itu ada jaminan berekspresi, bahkan penyitaan buku pun sebenarnya dilarang. Saya kira itu watak negara

Sastra dengan Rasa

17


ini, bikin aturan tapi tidak dilaksanakan sendiri. Ya memang belum ada yang berubah sejak zamannya Soeharto dalam konteks itu. Apa dampak dari razia buku? Secara tidak langsung aktivitas penyitaan menimbulkan ketakutanketakutan. Pertama orang takut mendirikan toko buku. Kedua mungkin penulisnya takut untuk menulis buku yang seperti itu. Ketiga, pembaca juga takut membaca, jadinya merembet ke mana-mana. Kita sering ngomong peningkatan literasi, tapi dalam kenyataannya kita dibuat takut untuk baca buku.

Sementara pemerintah sendiri tidak melakukan upaya tersendiri misalkan menambah insfratruktur perpustakaan sampai daerah-daerah gitu. Ya mau tidak mau kita berharap supaya distribusi buku dikerjakan oleh swasta. Semakin banyak toko buku ya semakin bagus. Sekarang, bagaimana orang mau mendirikan toko buku aja menjadi takut. Udah keuntungan margin toko buku kecil gitu. Sementara tidak ada jaminan keamanan. Kalaupun nggak digeruduk oleh aparat, bisa saja digeruduk ormas. Siapa yang akan melindungi dan siapa yang akan membela. Pemerintah berdalih, buku kiri mengancam negara, bagaimana tanggapan anda?

18

Ya kalau ada masalah, aspekaspek kriminal atau mengancam NKRI, ya masuk ke pengadilan saja. Sebenarnya sederhana saja. Karena undang-undangnya mengatakan seperti itu. Aparat tidak bisa menindak toko buku, tanpa surat dari pengadilan atau dari hakim. Maju dulu ke pengadilan, ini udah belum apaapa disita, dibubarin. Dari karya-karya yang dihasilkan, apakah anda pernah mendapatkan pertentangan dari pihak tertentu?

Ya pernah sih tapi biasa aja. Kalau yang menentang sih banyak, tetapi kalau sampai mendatangi aku sih nggak ada. Seperti dikritik melalui tulisan pernah, ya ngritiknya bermacammacam. Seperti ngritik tentang buku Cantik itu Luka. Ada yang ngritik dari segi aspek moral, aspek fakta sejarah juga banyak. Ya semakin lama saya semakin enggak mengikuti. Ya kalau suka dibaca, kalau enggak ya cari novel lain kan gitu. Seperti yang aku katakan juga, sastra kan ya pertarungan nilai-nilai, pertarungan gagasan. Artinya orang turun ke jalan banyak yang mati untuk nurunin Soeharto kalau tidak ada nilainilai yang terganggu kan ya ngapain gitu. Pertentangan nilai itu tetap ada, ya tergantung kamu berani menunjukkan nilai-nilai yang kamu percayai atau ya sudah mingkem aja gitu. Tapi buatku kalau sebagai penulis ya, nggak ada alasan

Soeket Teki Bicara

untuk bungkam. Ngapain jadi penulis kalau nggak bersuara. Dalam beberapa karya, anda menggunakan bahasa frontal seperti pembahasan seks yang sebenarnya tabu. Bagaimana anda menanggapi hal itu? Ya sebenarnya, saya tidak hanya sedang membicarakan seks secara frontal, tapi terhadap yang lain juga seperti itu. Dalam arti seluruh novel itu saya tidak suka menulis dengan berbunga-bunga. Misalnya dalam Cantik itu Luka tidak hanya berbicara seks, aku menuliskan A ya A, seperti menuliskan “wajahnya buruk seperti anak babi” ya aku tuliskan saja. Jadi tidak hanya sebatas frontal pada aspek seks saja. Ya mungkin yang disebut secara verbal dan frontal itu, yang secara visual itu nampak. Artinya itu bukan cuma diurusan seks tapi keseluruhan. Selain itu aku kira faktornya banyak ya, pertama aku generasi penulis yang pasca runtuhnya Rezim Soeharto, kita taulah zaman Soeharto seperti apa. Artinya aku berhak merayakan kebebasan berekspresi, ngapain harus malu-malu lagi. Enggak hanya urusan seks tapi semuanya, ngomongin politik ya blak-blakkan saja. Aku tumbuh dalam generasi seperti itu. Mungkin generasi sebelumku akan berbeda situasinya, mereka ngomong politik serba hati-hati, ngomongin seks serba hati-hati. Sebagai generasi yang muncul pasca

Sastra dengan Rasa


Bagaimana anda memandang sastra hari ini?

hancurnya Soeharto ya aku merasa aku tidak memerlukan hal yang seperti itu.

Aku merasa bahwa tabu itu harus difamiliarisasi. Tabu itu kan menjadi tabu karena kita menjadikan sesuatu itu menjadi aliens, yang asing jangan sebutsebut gitu. Untuk membuat tidak tabu ya, salah satunya difamiliarisasi, ya disebut-sebut gitu. Menurut anda apakah sastra itu ada batasan-batasan tertentu? Ya, batasannya bahasa, artinya setiap orang punya nilai-nilai gitu, dan nilai-nilai itu juga bisa membatasi kita juga. Sederhana saja misalkan aku mungkin bisa menulis tentang seks dengan rileks, tapi aku tidak mungkin menulis melalui novel menjelek-jelekan seseorang karena latar belakang etnis apa gitu. Buatku itu sudah keluar dari nilai-nilai yang aku percayai, artinya itu juga

bisa membentengi diri untuk menciptakan batas untuk diriku sendiri.

Batasan diri, dalam hal aku tidak akan mengatakan sesuatu hal yang rasis. Buatku rasisme itu sebuah nilai yang harus aku lawan, dan aku tidak akan melakukannya. Setidaknya aku mencoba selalu sadar untuk tidak melakukannya. Bisa saja ternyata jauh di ketidaksadaranku bisa saja bocor gitu. Spesifiknya rasisme itu sendiri membedakan orang lain dengan warna kulit misalnya, Buat ku itu sesuatu yang absurd. Karena orang terlahir tidak karena memilih warna kulitnya. Bagaimana mungkin itu menjadi sesuatu yang membuat orang saling membenci, yang harus menerima konskuensi yang tidak adil gitu. Orang tidak pernah memilih dilahirkan dengan kulit Arab, China atau Papua, hitam atau putih.

Soeket Teki Bicara

Saya melihat, ada situasi yang berubah dari 20 tahun lalu yang mempengaruhi perkembangan sastra itu sendiri. Salah satunya faktor media, dahulu ruang perkembangan sastra ada di koran, katakanlah sebagai medium tempat publikasi dan tempat sentral untuk membaca. Namun sekarang medium publikasi berkembang, seperti munculnya media daring dengan dukungan internet. Bahkan dari produk jurnalistik baik cetak maupun daring pun sudah sedikit tergerus, saya rasa ngefek juga pengaruhnya terhadap kesusastraan. Tapi mungkin belum terlalu solid, mungkin sebagian orang masih menulis di koran, sebagian lagi sudah muncul di internet, seperti Wattpad. Artinya ada perubahan yang signifikan dalam konteks medium. Apakah hal itu mempengaruhi kualitas karya sastra? Ya mungkin secara tidak langsung akan berefek pada kualitas juga, namun dalam konteks itu aku masih berspekulasi karena aku bukan pengamat sastra dalam arti mengamati penulis. Sebagai penulis ya saya sebagai random saja satu atau dua, bukan spesifik sebagai pengamat sastra. n

Sastra dengan Rasa

Mohammad Iqbal Shukri

19


Puisi

Hilangnya Bola dalam Rongga

Bergegas Jejak cahaya membias

Ke kanan, ke kiri Bola dalam rongga itu mengamati kulit mulus dan hidung mancung Basah oleh ratap dan duka Masih ke kanan dan ke kiri

menembus antara batang dan daun padi Lalu bayang-bayang bergegas menyatu pada alam, belum sampai pekat

Luput darinya, banyak luka di kaki Senyum jerat tanpa henti Bola itu tak mengerti, ia juga diamati, dalam rongga gelap, hanya ada pusara keinginan seperti yang di kanan dan kiri

Kakinya telanjang, terburu-buru mencari jalan pulang Secepat mungkin berlomba pamit dengan jingga Menuju batas cakrawala lewat ujung pematang sawah

Lalu perlahan tenggelam,

Semarang, Juli 2019

tiada dirinya lagi Semarang, Oktober 2019

Iin Endang W. Lahir di Semarang 12 Januari 1997, Warga kampoeng Sastra Soeket Teki Semarang

20

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Cerita Pendek

Mereka Ingin Memotong Kepalaku n Ibnu Abdillah

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

21


Ibnu Abdillah - Mereka Ingin Memotong Kepalaku

“Tolong persiapkan semua apa yang perlu, yang tidak tinggalkan,” begitulah pesan dari manajer sebelum aku matikan ponsel dan bolham lampu berpendar kecil di sudut ruangan bercat putih kusam. Kutinjau lagi presentasi terbaikku, coba cek lagi, mempelajarinya kembali, mengolah vokal lagi, sebelum berkas kerja masuk tas hitam beludru. Ini langkah menuju hasil maksimal, pikirku. Meyakinkan mereka mau bekerja sama denganku. Aku sudah siapkan kemeja biru muda lengan panjang, itu kemeja terbaik yang kupunya, dasi biru tua dan celana panjang hitam yang aku beli seminggu lalu. Bagiku itu jadi pemadu yang serasi. “Aha...lihatlah kaca tersenyum memandangiku.”

di

depanku

Menurutku disiplin bukan suatu hal yang patut dibanggakan, tapi harus dijadikan kebiasaan. Percaya atau tidak, aku baru sekali telat masuk kantor sejak awal diterima di PT Avovi. Kalau kau tak percaya cek saja absensi sidik jari di kantorku, atau kau bisa tanya pada semua karyawan, semua tahu aku orang yang disiplin tepat waktu. Itu sebabnya aku dipercayai oleh Pak Broto manajerku, sebagai kepala marketing perusahaannya. Ketika senggang jadi tidak tenang, jantung berdebar, tak sabar ingin segera mendapat kata ‘sepakat’ dengan proposal terbaik buatanku, ya yang ditunggu-tunggu

22

Soeket Teki Bicara

tanda tangan persetujuan kerja sama bisnisku dengannya. Istriku berjanji alarm akan berbunyi sebelum pukul 09:30 WIB mengingatkan pertemuanku dengan klien di Cafe Birdness. Rasa senang bukan kepalang jika berhasil bisnis dengan mereka, itu bukan perkara sepele, aku tahu itu. Sebab itu aku tak mau datang terlambat apalagi sampai mengecewakan mereka, itu modal utama. Ah semoga... Sebab sudah dua hari lalu aku berjanji dengan mereka untuk presentasi kerja sama. **** Ternyata hari ini lain cerita, saat keadaan genting terburu-buru aku malah terjebak kemacetan yang tak kuduga sebelumnya, seliweran mobil, motor, becak sampai bus semua berjalan merayap pelan membendung laju mobilku. “Ada truk sembako terbalik di depan pak, putar balik saja,” kata seorang pengendara motor yang sedang putar arah memberi tahu. Tapi mau bagaimana lagi, tak banyak yang bisa dilakukan dengan setang bulat berdiameter 36,5 cm selain gas kecil, bermain kopling setengah, selebihnya rem. Tak ada pilihan untuk putar balik, itu membuang waktu. Hanya sabar merayap dan beradu klakson dengan pengendara lain. “Halo-halo Bu Rum, iya, kamu sudah datang?” tanyaku.

Sastra dengan Rasa


Ibnu Abdillah - Mereka Ingin Memotong Kepalaku

“Iya, di Cafe Birdness, aku terlambat ini, sekarang wakili saya ya terlebih dahulu,” timpalku lagi tanpa menunggu jawaban. Perintah singkat itu mengakhiri percakapan telepon seluler dengan wakil baruku Bu Arum namanya. Aku hanya dapat memastikan calon kolegaku tidak kecewa, lalu buru-buru menilai buruk perusahaan kami terlalu dini. Jujur saja aku kurang begitu percaya dengan wakil baruku dalam hal merayu, meskipun penampilannya cukup ayu, badannya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat, gigi gingsul dan rambut ikal disanggul, bonusnya ia masih perawan. Jika dibandingkan dengan istriku? “Barang kali sama cantiknya,” gumamku sembari fokus mengendarai mobilku. Setelah sekian lama, sampailah aku di tempat tujuan, di Cafe Birdness. Ku buka pintu ruang meeting sambil membenarkan letak kacamataku. Mata kubuka lebar-lebar, mencari sekumpulan orang duduk di meja nomor 12. Akhirnya... Aku duduk termangu di tengah mereka, sebelah kanan Pak Gatot Sudiro bersama istrinya, Bu Anisa. Beliau manajer PT Karya Utama, perlu kau tahu kami sudah cukup akrab dengannya semenjak pertemuan bisnis awal tahun lalu. Sebelah kiri Bu Shofia dari PT Axetroit, satu-satunya wakil yang hadir di sini, manajernya Pak Widigdo berhalangan datang

Soeket Teki Bicara

sebab mengantar istrinya. Di depanku semuanya manajer, Pak Agus Sumarno, Pak Sobirin dan Bu Fatmawati, mereka tampak serius menyimak penjelasan ucapan demi ucapan wakilku. Aku mencoba mencairkan suasana, kuawali menghirup aroma coffee late pesananku sebelum menyeruputnya pelan. Ah...! Astaga aku tersadar yang kuminum rasanya manis. Seketika Bu Shofia memandang aneh, Bu Fatmawati berisyarat menunjuk jarinya ke arah Bu Shofia samar, sambil mengedipkan mata. “Maaf bu, maaf tidak sengaja,” ucapku. Malunya bukan main, tapi bagaimana bisa, aku ingat betul pelayan tadi menaruh pesananku tepat di sini. Aku yakin itu coffee late pesananku, kenapa sekarang bisa berpindah jadi aneh seperti ini. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala menahan malu di sebelah Bu Shofia, ada apa ini? Kenapa bisa seperti ini, tidak masuk akal. Sampingku Bu Anisa tiba-tiba berteriak histeris, Pak Gatot spontan langsung menyibakkan lenganku. Astaga.... tanganku menggaruk kepala istrinya. Suasana jadi kacau, Pak Agus dan Pak Sobirin bukannya meredam suasana malah tertawa cekikikan. Semuanya jadi kacau, semua diam menatapku aneh. Presentasi pun kami akhiri lebih cepat. Aku pulang dengan Bu Arum, sepanjang perjalanan

Sastra dengan Rasa

23


Ibnu Abdillah - Mereka Ingin Memotong Kepalaku

aku hanya termenung di sampingnya. Pun ia tidak banyak bicara, sesekali mulutnya terbuka menanyakan arah menuju rumahku. Aku masih tak percaya kejadian ini, kalau Pak Subroto tahu bisa-bisa aku dipecat. Aku adalah karyawan terbaik kebanggannya, ia juga sudah menganggapku seperti saudara sendiri. Terus terang saja, aku takut otak di kepalaku ternyata konslet, rusak, waduh. Ini gila, bisa heboh ini nanti, jatuh harga diriku jatuh, aku bisa diceraikan istriku, bagaimana nanti dengan pekerjaanku? Nanti jadi omongan tetangga. Kepala marketing sekarang sebegini gilanya ya? Ini masalah harga diri. Rasa khawatir semakin menjadi, kepalaku semakin pening ingin pecah, rasanya ada yang mengikat kuat, keringat membanjiri wajah, dari kening merembes ke leher, aku tak betah. Kurogoh saku celanaku mengambil sapu tangan. “Praaakkk..! tangannya melayang ke pipiku. “Sadar Pak!” bentak Bu Arum. Astaga! aku tersadar sebab tanganku merogoh saku kiri celananya. Kenapa kejadian ini terulang. Oh astaga..! “Maaf-maaf, Arum, tadi tidak sengaja.” “Begini Pak, Arum lihat kepala bapak sudah tidak beres,” jawabnya serius. “Lebih baik dibuang saja.”

24

Soeket Teki Bicara

Bagaimana mungkin saya melakukan aktivitas saya tanpa kepala? Tapi perkataan Bu Arum mungkin ada benarnya juga, melepas kepala dan seisinya berarti melepaskan bebanku yang berat ini. “Jangan lupa pak, saran saya dicoba,” tegas Bu Arum sekali lagi yang menurunkan ku di depan rumah. “Ayah pulang...” seruku sampai di rumah. Istriku duduk bersandar di sofa, ia menyipitkan mata memandangiku, wajahnya cemberut juga tak mengeluarkan barang sekata, mungkin jengkel panggilan teleponya 18 kali tidak direspon. “Ma? Kok diam.” Tanpa ditanya aku juga ceritakan masalahku dan saran terbaik dari Bu Arum. Masih tanpa sahutan, aku belum selesai bercerita istriku malah berlari keluar rumah, aku tidak tahu. Tak lama suara gaduh, kakinya gemuruh mendekat, semakin dekat suaranya bersorak: kami siap! kami siap! lepaskan! lepaskan! semakin dekat suaranya semakin lirih, tahutahu mereka sudah ada di ruang tamuku. Iya, istri dan puluhan warga bersiap membetot otak dan kepalaku. Krriiiing..! tepat pukul 09:20 WIB dering alarm memecah pagi. Aku bangun gelagapan. Seketika aku jadi ngilu sendiri.n Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki

Sastra dengan Rasa


Puisi

Prosenium Di balik prosenium anak kecil sedang melucuti bingkai dunia; Di satu sisi ia lihat setengah cahaya Kecil merambat Hangat Di sisi lain Ia dengar dinding fajar berbisik pada satu daun yang pergi, “aku rindu mempermainkanmu.” Di sana Ia coba menafsirkan potret yang selama ini ditangkapnya. Meluruskan bayang antara yang mungkin dan mustahil. Sedang di prosenium- yang lain. Ada yang diam-diam menyiasati potret dirinya.

Semarang, 2019

Ulang Tahun bagaimana mungkin hati ini merasa sakit hanya karena kamu lupa mengucapkan selamat ulang tahun untukku? Sedang aku tau setiap hari kelahiranku kau berkati aku dengan pahala puasamu. sedang aku tau setiap tarikan napasmu kau senantiasa mendoa keselamatanku. Sekali lagi aku bertanya: Bagaimana mungkin aku layak untuk marah kepadamu. Jika setiap aliran darahku mengalir bersama keringatmu.

Manggihan, 2019

Liviana M. K.

Lahir di Kudus pada, 9 Oktober 1998. Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki.

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

25


Cerita Pendek

Lelaki yang Terluka n Mohammad Azzam Ashari

Tak ada yang meragukan kesalehan Kiai Munib. Ratusan kitab telah ia kuasai, ribuan hadis dan Alquran berserta terjemahannya telah ia hafal di luar kepala. Ia ajarkan semua kepada ribuan murid dan tetangganya, pada semua orang, pada semua orang yang mau menerima ilmunya. Ia ajarkan lewat ceramah sore di kampung, di madrasah, di tempattempat di mana ia diundang untuk berceramah, di rumahnya ketika anak-anak berkumpul untuk berlajar mengaji setelah maghrib. Tak pernah Kiai Munib absen mengimami salat di masjid kampung kecuali saat dhuhur waktu ia menjaga toko. Sering hanya sebatas satu-dua orang yang ikut berjamaah. Bahkan, tidak jarang ia harus salat sendirian usai menunggu hingga setengah jam lebih tak ada barang satu jamaah yang datang. Namun 26

Soeket Teki Bicara

tak pernah menghentikan semangatnya untuk menghidupi masjid di kampungnya. Al-Ulama Warosatul Anbiya yang dalam

Bahasa Indonesia berarti Ulama adalah pewaris para nabi sungguh tercermin dalam diri dan jiwa Kiai Munib. Tidak ada yang mampu menyangkal, siapapun, saat gelar agung itu tersemat padanya, dalam perbuatannya, ataupun perkataannya. Bukan hanya kesalehan ilmu yang Kiai Munib miliki. Kesalehan akhlak dan perbuatan pada segala manusia juga telah terpatri dalam pribadinya. Betapapun Ia sedang berbahagia, air mata kesedihan tetap saja membasahi hati ketika tetangganya sedang bersedih. Pun sebaliknya, betapapun ia sedang ditimpa kesedihan, senyum dan syukur yang tulus senantiasa terpancar ketika tetangganya sedang berbahagia. Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Azhari - Lelaki yang Terluka

Kiai Munib, orang paling dipercaya dan dihormati di kampungnya.

bersama sang istri. Ia juga yang kemudian mengimami salat berjamaah.

Dari semua tetangganya, tak pernah ada yang pernah merasa kecewa, atau sakit hati, atau merasa hal-hal buruk pada Kiai Munib. Ia selalu berlaku adil pada setiap tetangganya. Tak pernah ia membenci, seburuk apapun perilaku mereka.

Usai solat maghrib, Kiai Munib memimpin rapat bersama jamaahnya guna persiapan acara pengajian bulanan. Salah satu poin rapat bertujuan menentukan tempat pengajian di bulan ini. Sebenarnya, sebelumnya sudah ditetapkan bahwa pengajian akan diadakan di rumah Pak Namun, enam bulan belakangan, ada Salim, namun Pak Salim baru saja meninggal pendatang yang menjadi tetangga baru Kiai dunia minggu lalu. Munib. Dia lah satu-satunya yang merasa “Ini kira-kira siapa yang mau mengajukan diri mendapat sikap berbeda dari sang kiai. Rusdhi, sebagai penyedia tempat pengganti? InsyaAllah pemuda berusia 30-an tahun yang selalu saya tetap yang mengisi, “ kata Kiai Munib. mengenakan celana ‘cingkrang’ serta janggut “Saya siap kalau rumah saya diminta tanpa kumisnya. menjadi tempatnya. Kebetulan alhamdulillah Dalam kehidupan sosial, Rushdi dikenal saya baru mendapat rezeki lebih. Insyaallah baik oleh masyarakat. Sikapnya lembut, murah sekalian syukuran,” Rushdi menawarkan diri. senyum, dan suka berbagi. Semua tetangganya “Wah alhamdulillah kalau begitu,” sahut pak RT. menyambut baik kehadiran Rushdi di tengah“Ya sudah, gantinya di rumah Pak Rushdi tengah mereka, hanya Kiai Munib, orang yang saja,” sahut seorang warga. tak terlihat senang dengan Rushdi. Lembar demi lembar kejadian dirasakan Rushdi tentang keanehan sikap dari Kiai Munib kepada keluarganya. Kiai Munib tidak pernah menginjakkan kaki di rumah Rushdi, ketika Rushdi syukuran, ketika rushdi sakit, dan dalam keadaan bagaimanapun, tak pernah Kiai Munib datang. Sering, Kiai munib menghindari keberadaan Rushdi.

“Bagaimana Pak Kiai? Setuju tidak?” “Tidak ada yang mau menawarkan tempat selain Pak Rusdhi?” Kiai Munib balik bertanya pada peserta rapat. Dahinya berkerit, matanya menatap dengan sayu. Ekspresi wajahnya seperti orang cemas. “Kalau di rumah saya memang kenapa Pak Kiai?” Sahut Rushdi.

Yang selembar itu, bertumpuk juga, “Ya tidak apa-apa, tapi maaf sepertinya saya semakin tebal. Pada suatu waktu, tidak sangguplah Rushdi memendam pertanyaan tidak bisa hadir. Nanti penceramahnya cari yang lain ya.” besar itu. Jawaban Pak Kiai mengejutkan peserta rapat Azan maghrib berkumdang bersama angin setelah matahari sempurna hilang di ujung yang lain. Mereka bertanya-tanya mengapa barat. Kiai Munib, seperti biasa pergi ke masjid keputusan Pak Kiai berubah seperti itu. Namun Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

27


Mohammad Azzam Azhari - Lelaki yang Terluka

Rushdi tak seterkejut yang lain. Ia langsung saja dan mengikhlaskan tragedi masa lalu, yang juga menanggapinya. telah melukai hati Rushdi selama ini. “Semenjak saya pindah ke kampung sini enam bulan lalu, saya begitu mengenal kesalehan Pak Kiai. Saya mendengar pula dari warga desa ini akan kebajikan Pak Kiai. Tak pernah saya lihat warga di sini yang memiliki rasa tidak hormat pada Pak Kiai. Tak pernah pula Pak Kiai berbuat tak adil dan jahat pada mereka. Saya melihat dengan kepala mata saya sendiri akan kemampuan keilmuan Pak Kiai. Saya saksikan begitu setianya Pak Kiai terhadap masjid, selalu dikunjungi barang salat hanya satu dua orang, atau bahkan sendirian ketika tak ada yang datang.

**** Dua belas tahun lalu, Ia dan keluarga hendak makan siang bersama di sebuah restoran Amerika. Ingin coba-coba makanan dan makan bareng bule kata mereka. Di tengah perjalanan, mereka melihat dua orang dan sebuah motor tergeletak di pinggir jalan. Kiai Munib lantas menghentikan mobilnya. Mereka keluar dari mobil dan menanyakan kepada dua orang tersebut apa yang sedang terjadi.

Kiai Munib langsung menyingkirkan motor yang menindih mereka, sedangkan istri dan anak perempuannya mendekat Saya tahu Mbah Karim, Mbah Kusen, Mbah menawarkan minuman. Narti dan orang-orang tak mampu di desa Istri Kiai Munib memandang nyeri darah ini tak pernah kelaparan barang sehari sebab yang mengucur di dahi dan betis kedua lelaki bantuan Pak Kiai. Namun, begitu berbeda sikap tersebut. Ia berinisiatif membawa keduanya ke Pak Kiai terhadap saya. Saya pernah menuggu rumah sakit terdekat. dalam sakit saya, dalam senang saya, Pak Kiai “Agas, kamu sama Sarah ke restoran duluan, tak pernah datang ke rumah. Saya juga sering berusaha datang ke rumah Pak Kiai, namun tak Abah sama Ibu nanti nyusul habis dari rumah pernah dipersilakan, selalu saja Pak Kiai sedang sakit. Ke Hungry’s Restaurant ya,” Kiai Munib bersibuk. Satu pertanyaan yang tak pernah saya menimpali sambil mengangkat lelaki dengan berani bertanya, yang kian lama menjadi sesak luka di pelipisnya. saya. Apakah Pak Kiai membenci saya? Dan Dua orang ini berpakaian gamis hitam juga Istri saya, atau mungkin akan membenci dengan celana ‘cingkrang’. Mereka meringis anak saya juga yang sebentar lagi akan lahir?” menahan sakit, sambil mengikatkan sorban Kiai Rushdi mengungkapkan perasaannya dengan ke paha agar darah yang keluar bisa tertahan. irama yang cukup meyedihkan. Dua lelaki jika dilihat sekilas berumur kisaran Sementara itu, mata tua Kiai Munib mulai 40 tahunan dengan janggut yang belum beruban basah oleh kesedihan. Bayangannya kembali dan tak berkumis. Butuh waktu 15 menit untuk mereka sampai melayang ke masa lalu, ke sebuah tragedi mengerikan dua belas tahun silam. Di depannya, di rumah sakit pinggir kota. Setelah mengurus Rushdi seakan sedang menghakimi. Hati terdalam administrasi Kiai Munib lantas menemui lelaki Kiai Munib bertanya, sudah siapkah ia memaafkan tadi dan segera pamit. 28

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Mohammad Azzam Azhari - Lelaki yang Terluka

“Saya akan pamit nyusul anak saya.” Kedua lelaki itu membalas dengan anggukan dan senyuman yang begitu tulus, tanda terimakasih. Mereka berdua juga sempat mendoakan sang Kiai agar perbuatan baiknya dibalas oleh Allah dan senantiasa diberi kesehatan serta keselamatan.

Kiai Munib memeluk kedua anaknya. Rahangnya menegang, sekuat yang ia bisa terus menggemakan istighfar. Dari kedua matanya uluh mengalir sangat deras membanjiri wajah yang selalu berseri itu. Ia bersujud di tengah puing reruntuhan, yang panas dari sisa ledakan turut membakar hatinya. “Ya Allah….” Kiai Munib segera menyusul kedua ia merintih. anaknya, menyusul kejadian mengerikan itu. Beberapa waktu usai kejadian itu, luka bakar putranya mulai mengering. Luka Tepat 30 meter sebelum memasuki Kawasan restoran yang dituju, duarr!! Ledakan dalam hati sang Kiai mulai sedikit membaik. dahsyat terjadi di restoran itu. Melihatnya, Hingga sebuah fakta mengejutkan berhasil tubuh Kiai Munib mengejang seakan nyawanya dengan sempurna mengoyak kembali hati tengah dicabut. Jantungnya berhenti berdetak sang Kiai. Orang yang mereka tolong tepat sepersekian detik dan, hatinya membara, sebelum tragedi mengerikan itu, kedua membakar perasaannya yang campur aduk orang yang dalam perpisahannya mendoakan antara marah dan sedih. Sementara itu, istrinya keselamatan sang Kiai, justru muncul di televisi sebagai dalang aksi teror. Islam telah tak sadarkan diri. radikal, begitu kemudian kelompok teroris Lima detik kemudian, tubuhnya seperti itu dikenal. kerasukan setan, keluar dari mobil dan berlari Sejak saat itu, segala hal yang bercirikan ke arah reruntuhan. Ia sibak asap dan sisa radikal menjadi musuh paling dibenci api, melawan panas dan suara-suara aneh yang mendenging di telinganya. Tangannya Kiai Munib. Sejak saat itu pula, Tuhan yang bergetar, seperti kehilangan rasa panas, menyembunyikan orang-orang berpakaian terus menyingkirkan remukan tembok, bara ‘cingkrang’ dari Kiai Munib. kayu, dan apapun yang menimpa tubuh**** tubuh manusia yang tak berdaya, mencari Dan, setelah dua belas tahun berlalu, darah dagingnya yang mungkin terbakar oleh apakah memang kebetulan, atau Tuhan hendak ledakan. menguji batas kesabaran dan keikhlasannya, Lima menit berkutat, Kiai Munib Rushdi hadir menjadi tetangganya dengan akhirnya menemukan yang ia cari. Ia penampilan demikian. Wajahnya begitu saksikan si putri lucu yang mulai beranjak mirip dengan jenggot khasnya, mengingatkan dewasa terkapar hangus, tak lagi bernapas, Kiai munib atas tragedi mengerikan itu, atas bergandengan dengan sang kakak yang dua orang manusia yang membuat hatinya sedang berjuang melawan kematian, terluka. n Lurah Kampoeng Sastra bersama ratusan jiwa yang sekarat atau Soeket Teki bahkan telah menjadi mayat. Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

29


RESENSI BUKU

Air Mata dari

S

ejak pertama kali diterbitkan di Belanda pada 1860, novel ini langsung menggegerkan negara itu. Sehingga, buku ini menjadi salah satu karya terlarang pada masanya lantaran mengusik kemapanan penguasa. Tak heran, karya fenomenal tersebut, mengilhami banyak kaum pergerakan Indonesia pada masa itu. Soekarno, R.A Kartini, dan Tirto Adhi Soerjo adalah di antaranya. Pramoedya Ananta Toer bahkan menyebut, novel itu sebagai “kisah yang membunuh kolonialisme”. Novel yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker sejak di covernya memang sudah bernada getir. Ia menggunakan nama pena Multatuli yang memiliki arti, aku sudah banyak menderita. Benar saja, dalam

30

novel yang ditulis Douwes ini menceritakan penindasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak (Adipati Karta Negara) kepada rakyatnya.

Diceritakan, Max Havelaar (tokoh utama dalam novel tersebut) adalah seorang Asisten Residen Lebak Banten yang selama menjabat menemukan kejanggalan pemerintahan di tempatnya. Ia mendapat laporan dari pribumi bahwa staf-staf kerajaan mengambil paksa hasil pertanian seperti padi, tebu, kayu dan ternak rakyat. Ia juga memperoleh laporan bahwa data-data hasil monopoli tersebut dimanipulasi oleh staf-staf terkait demi menutupi kejahatan pemerintah pribumi, sehingga pejabat dari Belanda hanya mengetahui bahwa pemerintah berjalan dengan baik.

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

(Dok. Intern

Sejarah pergerakan kaum nasionalis di Indonesia zaman kolonialisme tidak berangkat dari ruang hampa. Ia berangkat dari sebuah wacana besar, yang menimbulkan kesadaran bagi kaum pribumi atas nasibnya yang terjajah. Salah satu karya penting yang menimbulkan kesadaran besar pada masa itu yakni, novel Max Havelaar.

et)

Eropa

Judul: Max Havelaar Penulis: Multatuli Penerbit: PT Mizan Pustaka Tebal: 480 halaman/20,5 cm Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno Penyunting: Susanti Priyandari Resentator: Liviana Muhayatul Khoiroh


Liviana Muhayatul Khoiroh- Air Mata dari Eropa

Menurut pandangan pribumi pada masa itu, tindakan raja yang demikian dianggap wajar. Namun, bagi Max Havelaar, tidak. Menurutnya mengambil hak orang lain meski itu ada di wilayah sendiri adalah sebuah kejahatan. Dalam bab 17 misalnya, Max bercerita tentang keluarga Saidjah yang malang. Dua kali kerbau milik keluarga itu harus direlakan diambil oleh bawahan Bupati Lebak tanpa ganti rugi apapun. Di kasus ketiga, ketika keluarga Saidjah menolak memberikan kerbaunya, adik kesayangannya harus meregang nyawa lantaran mencoba mempertahankan kerbau terakhir milik keluarga itu.

Perampasan harta keluarga Saidjah, tak hanya membuat menderita secara ekonomi, pun juga, kisah cinta lelaki tersebut. Pada akhirnya ia harus merantau ke Batavia untuk mengumpulkan modal menikah. Namun, tujuan merantaunya tak terpenuhi. Adinda kekasihnya pada akhirnya pergi jauh dari tanah kelahirannya lantaran tak kuasa menghadapai kesewenangwenangan raja. Dari narasi tersebut Max membuat analisis sederhana mengenai siapa yang menderita, siapa penyebab penderitaan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan. Tergambar jelas rakyatlah yang menderita dan Adipati Karta Negara yang sebagai pejabat pribumilah penyebabnya. Dari gambaran tersebut, terlihat bagaimana ia menolak

kolonialisme yang dilakukan di Hindia Belanda, baik oleh Netherland maupun Raja Jawa sendiri. Max, pada masa itu membicarakan mengenai hak seorang rakyat terhadap penguasa. Kelak, perlawanan tersebut yang akan diteruskan oleh tokoh pergerakan Indonesia di masa selanjutnya; memerangi kolonialisme dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.

Dari narasi tersebut Max membuat analisis sederhana mengenai siapa yang menderita, siapa penyebab penderitaan, dan siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan. Tergambar jelas rakyatlah yang menderita dan Adipati Karta Negara yang sebagai pejabat pribumilah penyebabnya. Membaca lembar demi lembar novel ini membawa pembacanya larut dalam kisah yang disajikan. Hadir perasaan marah, terharu, kecewa, sedih, bahkan perasaan dendam mengenai nasib pribumi yang digambarkan oleh Douwes.

Sebagai novel sejarah monumental, buku ini memang tak hanya banjir pujian, namun juga menuai kritikan dari pengamat sejarah yang hidup setelahnya. Kritik tersebut sebagian besar menyerang

Soeket Teki Bicara

pengambilan cerita yang dipilih oleh Douwes, misalnya mengapa hanya kebusukan yang ditampilkan dalam novel tersebut dari Bupati Lebak dan kroni-kroninya. Sedangkan, penggambaran kebusukan pemerintah Hindia-Belanda sangat minim.

Kritik tersebut memang ada benarnya. Namun, jika melihat konteks di mana novel ini ditulis dan diterbitkan tentu pembaca akan memaklumi hal tersebut. Lagi pula, pesan utama yang penulis tangkap dari pembacaan novel ini adalah semangat, modernisasi dan demokrasi di nusantara, yang bahan bakarnya dibawa oleh Douwes, lalu dinyalakan oleh tokoh-tokoh perjuangan dari kalangan pribumi. Dalam segi isi dan kepenulisan Douwes punya keberanian yang tinggi. Mengambil tema yang berbahaya dengan mengkritik kepada kaumnya sendiri. Keberanian ini adalah modal utama dalam rangkaian ketekunan advokasi yang dilakukan Douwes kepada rakyat pribumi.

Setelah selesai memberontak dengan karya Max Havelaar (1860), dengan nama penanya yang khas Douwes terus menyuarakan semangatnya melawan penindasan dengan menulis Saidjah und Adinda (1860), Wouter Pieterse (1890), Nog eens: Vrye arbeid indie (1871), The Oyster and the Eagle: Selected Aphorisms and Parables, Millioenenstudien (1873). n

Sastra dengan Rasa

31


RESENSI FILM

(Dok. Internet)

Melangkah dari Zona Traumatis

”Diam! Biarin ini semua terjadi. Ini salah gua, tugas gua buat ngelindungi dia! Tapi gua gagal jadi ayah!” Penggalan dialog ayah May dengan pengantar boneka dalam film 27 Step Of May, yang telah beredar di layar bisokop pada tanggal 27 April 2019.

Film garapan sutradara Ravi L ini bercerita tentang perjalanan korban pemerkosaan untuk mendapatkan kembali mental yang runtuh. May gadis yang menjadi korban pemerkosaan oleh sekelompok orang tak dikenal, harus menanggung penderitaan traumatik bertahun-

32

tahun. Ia tinggal bersama sang Ayah dan menjalani kehidupan dalam bayang-bayang trauma. Cerita berawal ketika May pulang dari pasar malam. May disekap oleh seorang pria misterius. Lalu dibawa ke dalam sebuah ruangan, sedang beberapa pria lain sudah menunggu. May kemudian diikat di meja dan diperlakukan keji. Ia diperkosa di sana. Kasus kekerasan seksual yang dialami May dalam film

Soeket Teki Bicara

Judul Film: 27 Steps of May Sutradara: Ravi L. Bharwani Penulis Naskah: Rayya Makarim Durasi: 112 Menit Produser: Wilza Lubis Pemeran : Raihaanun Soeriaatmadja, Lukman Sardi Produksi: Green Glow Picture Tanggal Edar: 27 April 2019

Sastra dengan Rasa

Resentator: Naili Istiqomah


Naili Istiqomah - Melangkah dari Zona Traumatik

27 Steps of May seringkali memberikan dampak pada psikis korban. Derita itu dalam dunia medis biasa disebut dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

memberontak lalu berlari ke kamar mandi. Di kamar bersih diri itulah sosok May menyayat tangan dengan silet sebagai puncak ekspresi trauma yang dialami.

Penderita PTSD akan Film yang ditulis oleh Rayya mengalami beberapa gangguan Makarim memiliki kesan visual kehidupan pribadi maupun cukup kuat. Suasana latar yang sosialnya. Dalam kisah May, cukup hening menjembatani sosok tokoh ini digambarkan penonton melihat keadaan mengalami perubahan yang psikologis May yang tak karuan. cukup signifikan. Usai kejadian Ayah dan May digambarkan pemerkosaan itu, ia tidak lagi dalam pernah berbicara kepada siapa pun dalam kurun waktu delapan tahun, tidak pernah keluar rumah, sorot matanya kosong, Perjuangan hidup wajahnya nampak dingin May untuk keluar dari dan pada momen tertentu zona traumatik tidak menunjukkan kecemasan yang akut. mudah. Meski waktu berlalu

Meskipun menyandang derita trauma luar biasa, sosok May selalu berpenampilan bersih dan rapi layaknya gadis normal dengan sifatnya yang tenang. Ravi berusaha membuat penonton terbawa ke dalam tangga dramatik yang dikemasnya.

Melihat kondisi May yang demikian, sang Ayah (Lukman Sardi) juga berada dalam tekanannya sendiri. Sebagai Ayah ia menyesal atas kegagalan menjaga sang anak. Dalam bayang-bayang penyesalannya, ia juga menghukum dirinya sendiri atas trauma yang dialami anak gadisnya. Kekesalan dan emosi ia lampiaskan pada pertarungan di ring tinju dan tarung bebas.

Meski demikian, hingga May jadi perempuan sosok Ayah tetap berusaha dewasa, bayangan kejadian Pada saat menjalani menjadi ayah yang baik bagi masa trauma, rumah keji selalu melintas dalam anaknya. Semua ia tunjukkan merupakan tempat paling dengan menyempatkan pikirannya. penting bagi May. Ia melewati waktu membantu May ketika masa-masa traumanya di rumah menggunting kain untuk pakaian sederhana. Di sana ia melakukan boneka. Ia juga berusaha sabar berbagai aktivitas dalam menghadapi hubungan dingin usaha untuk mengembalikan hubungan yang cukup dingin, keluarga yang terasa ganjil untuk mentalnya. minim dialog. Adegan-adegan disebut keluarga kecil yang Perjuangan hidup yang ditunjukkan antara tinggal serumah. May untuk keluar dari zona Anak dan Bapak ini tidak Seputar kisah May dan traumatik tidak mudah. Meski menunjukkan adanya hubungan Ayah yang stagnan, sutradara waktu berlalu hingga May jadi sedarah. Bahkan ketika mereka membuat kejutan dengan perempuan dewasa, bayangan makan semeja bersama, tidak ada kemunculan seorang pesulap kejadian keji selalu melintas komunikasi yang terjadi antara (Ario Bayu). Tokoh pesulap ini dalam pikirannya. Selama delapan keduanya. muncul pertama kali ketika May tahun, May menjalani hari-hari Karakter May terlihat kuat mengintip lubang kecil kamarnya sebagaimana penderita PTSD. dalam film, sebab Raihaanun yang tembus rumah sebelah, Selama itu pula, ketika Soeriaatmadja sebagai pemeran tempat di mana tokoh pesulap tangannya bersentuhan dengan May mampu menjiwai peran mengerjakan pekerjaannya. May tangan laki-laki bahkan dengan seorang penderita PTSD. yang sejak awal menunjukkan Ayahnya sendiri, pikirannya akan Mimik wajah, sorot mata, hingga sikap bungkam, sedikit demi mengingat kembali pada saatgelagatnya terlihat natural sedikit menceritakan rasa gelisah saat ia diperkosa. Tubuhnya akan dengan minim dialog. yang ia alami. Melawan PTSD

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

33


(Dok. Internet)

Naili Istiqomah - Melangkah dari Zona Traumatik

Kehadiran tokoh pesulap memunculkan tanda tanya besar bagi penonton, entah kenapa tokoh May begitu dekat dengan si pesulap dalam waktu singkat. Meskipun komunikasi mereka dalam film ditunjukkan hanya dengan isyarat, kedekatan mereka begitu terlihat hangat. Cerita ini ganjil jika flashback karakter tokoh May di awal film. Sutradara seolah meruntuhkan sendiri kuatnya karakter May yang dibangun sejak awal. Wajah Kelam 98 Latar film 27 Steps of May sendiri menggambarkan era reformasi. May, yang merupakan warga Tionghoa menjadi korban dampak kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998. Pada masa itu, etnis Tionghoa mendapat perlakuan tidak senonoh. Berbagai surat kabar ramai memberitakan jika pada masa itu, banyak etnis Tionghoa mengungsi ke luar negeri. Dalam sebuah sesi tanyajawab usai pemutaran terbatas

34

di CGV fx Sudirman, Kamis (18/04/2019) Rayya memang mengaku memperoleh ide awal film tersebut dari kejadian pemerkosaan massal pada Mei 1998.

Dalam data sejarah Kalyanamitra, Organisasi non pemerintah bagi pekerja dan kesetaraan perempuan menyebutkan telah menerima hingga 200 kasus pengaduan pemerkosaan terhadap perempuan beretnis Tionghoa. Dari jumlah tersebut, 189 kasus terverifikasi kevalidannya. Namun ada juga beberapa korban memilih bungkam dan menyimpan rahasia kejadian yang dialami. Mereka menganggap kejadian itu sebagai sebuah aib keluarga dan aib sosial. Pada saat itu pemerintahan yang bersangkutan kurang tanggap atas kejadian tersebut. Para korban pemerkosaan juga tidak mendapatkan penanganan khusus. Mereka akhirnya

Soeket Teki Bicara

terperangkap dalam trauma akan masa lalunya. Di sini, Rayya Makarim menggambarkan korban pelecehan seksual tahun 98 melalui tokoh May. Diakui atau tidak, masyarakat Tionghoa masih dihantui trauma kejadian itu hingga saat ini. Di tengah hegemoni drama roman film Indonesia, Film 27 Step of May termasuk film yang berani mengangkat sejarah kelam bangsa. Film ini juga mengingatkan kita supaya kejadian tersebut tidak terulang, mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kedudukan setara dengan warga negara Indonesia lainnya. Film bergenre drama ini telah menyabet beberapa penghargaan. Penulis Naskah Film 27 Steps Of May, Rayya Makarim berhasil meraih Naskah Pilihan Tempo 2018. Sedang Raihaanun Soeriaatmadja terpilih sebagai aktris pilihan dalam ajang Festival Film Tempo 2018.n

Sastra dengan Rasa


Cerita Pendek

Aku Memeluk Senyum Perempuan yang Menangis di Kamar Mandi n Nur Zaidi

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

35


Nur Zaidi-Aku Memeluk Senyum Perempuan yang Menangis di Kamar Mandi

Angin malam berhembus mengundang Tepat di depan gedung sekolah landscape hujan dini hari, senyum gadis yang ada dalam foto itu diambil, tempat terakhir mereka pelukan, pipinya telah basah. Rupanya genting menjajakan imaji kanak-kanak. Menerka-nerka dan kain jarik di atas tak mampu membendung impian masa depan. mata langit yang maha tinggi. Layaknya umur yang meredupkan warna Langit-langit kain batik yang terbentang kehidupan, waktu juga mengusangkan tintakukuh adalah kesaksian melankolis bocah tinta warna bibir senyum Sri. Tapi setidaknya remaja yang lewat usia, sedangkan pada remang senyum itu tak pernah pudar di mata Azizi . cahaya adalah tempat menaruh harapan terakhir Sekian banyak bibir yang ada, tak satu pun sebelum malam memejamkan mata. dari mereka yang menyungging senyum kecuali Kak Azizi… begitulah suara imaji itu Sri. Entah kenapa pose senyum di zaman 90-an terus memanggil. Malam itu, sesekali gemuruh seolah tabu. Semua berpose berdiri tegak dan angin berhembus kencang menerobos dinding menatap tajam ke depan, menatap curiga mata sela-sela lempengan kayu. Gantungan bohlam lensa kamera. Ada juga yang sengaja melotot. 5 watt pun bermelodi-mendayu kesana kemari Tak ketinggalan guru wali kelas mereka yang mengiringi nyanyian angin. berada paling depan memasang mimik muka Hanya angin, hanya hujan, pikirnya. Tak apa, paling garang. itu mahluk Tuhan. Sedang aku hanya peduli Laci meja belajar dimana ia biasa menyimpan dengan senyum bibirmu saja. Pelukanmu, di sesuatu yang paling berharga juga penuh ranjang ini. Kita berdua. dengan Sri, semua dengan pose senyum yang “Oh, Sri. Begitu juga dengan cantikmu, sama, senyum teduh Sri. Rata-rata foto cetakan molek tubuhmu. Indahmu. Bukankah itu sebuah 3x4 kertas HVS medium close up dengan batas anugerah, hanya saja kesempurnaan akal juga frame bawah dada dan atas kepala. Semua foto sebab petaka kerusakan di dunia ini, termasuk itu ia pungut dari dinding dan kaca jendela ruang kelas; dari daftar peserta tes semester merusak orang lain dan diri sendiri.” hingga denah letak tempat duduk peserta. Sepanjang malam Azizi terus bicara dengan Semua itu Azizi lakukan, sebab ia tak rela Sri. Apa pun yang ia katakan, balas senyum Sri tetap utuh tanpa kata, sedang tubuhnya ketika selesai ujian nanti gambar Sri akan berdiam nyaman dalam peluk jemari lelaki yang ditumbuhi kumis tebal, kutukan tahi lalat sebesar biji jagung, atau tumbuhnya kedua mengadu rindu. tanduk yang menakutkan. Senyum Sri tak pernah berpaling dari kertas Azizi tahu betul sebagian teman lelakinya lawas selebar jari-jari orang dewasa ketika dibentangkan. Sejujurnya foto dalam pelukan itu mahir menggambar, ketika deretan foto itu juga tak hanya membingkai wajah Sri seorang, terpajang di tembok atau papan informasi yang ada juga empat puluh siswa SMA lain ditambah ada di pojokan gedung. Dada Sri yang masih rata kadang-kadang juga dipaksa memakai wali kelas mereka yang mengabadikan diri. 36

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Nur Zaidi-Aku Memeluk Senyum Perempuan yang Menangis di Kamar Mandi

kutang tinta ukuran jumbo, sebesar lingkaran Sontak Azizi berlari menyusuri ruang-ruang tumbler yang mereka teguk saat kehausan. kosong sekolah, sekali ia mendengar jerit dari lantai dua, langkahnya cepatnya berganti lari. Sekali lagi, perlu kau tahu. Apapun yang Sekali lagi jerit itu terdengar dan padam di orang lain lakukan, raut cemberut tak pernah labirin kamar mandi. Arah langkahnya gontai nampak di lengkung bibir Sri barang sekali. menuju kamar mandi, matanya menangkap satu Tidak pernah. pintu yang terbuka. “Oh, Sri. Jika ada yang bertanya, siapa ‘‘Sri.. !?’’ panggilnya terkejut setengah orang yang terus mendoakan kebaikanmu, tak percaya. Ia pun berlari lintang pukang keselamatanmu, maka jawabannya adalah aku. menyusuri labirin mencari-cari setiap ruang Jika ada yang bertanya lagi siapa orang yang yang tersisa. Mengintip puluhan mata jendela paling mencintamu, maka jawabannya juga Aku. kaca. Memastikan bahwa sosok yang tergeletak Tanpa balas. Tanpa menuntut balas.” bukanlah gadis yang sedang ia cari. Mungkin Lihat, ucapnya lagi. Apabila hujan setan, pikirnya. Terngiang jelas di kepala, gadis yang membasahi pipimu, jemariku mudah itu lehernya membiru rambutnya berantakan mengusapnya, kau aman bersamaku dalam pipinya juga basah. Dan, rok bawahnya tersibak pelukanku. Tapi,,, Tiba-tiba suaranya lirih, kali ke atas menutup perut, dadanya koyak. ini hujan benar-benar jatuh dari mata Azizi. Berantakan. Oh, tengah selangkangannya yang Di hadapan wajah Sri, bibirnya kelu tak berani polos penuh bercak darah. Berlendir. berbicara lagi. Sepanjang malam air matanya Belum habis ruang-ruang kosong penasaran bercucuran. yang ingin ia lihat, mata satpam keburu *** menangkapnya. Pelan, ingatannya melayang pada sepotong “Demi Allah, Pak, Aku melihat gadis tergeletak cokelat yang dibeli dari tabungan uang sakunya dua minggu penuh. Sore itu ia berdiri di di toilet,” ucapnya frontal membela diri. depan sekolah melawan getar dalam dadanya, Satpam membenarkan topinya yang masih menunggu Sri yang sedang mengikuti pelajaran lurus, rapi. Seketika membentak. Keluar!!!, tambahan di kelas lain. serunya tanpa menghiraukan kata-kata bocah Tak ada salahnya bertaruh harap pada ingusan di depannya. sepotong cokelat di hari kasih sayang. Siapa tahu, Esok paginya Azizi sengaja datang ke sekolah Sri akan menerima perasaanku, menerima cintaku, lebih awal untuk mengecek toilet. Sosok gadis pikirnya. tempo sore sudah tak ada, toilet pun terlihat lebih Laut keburu menjemput matahari, gelap. bersih dari biasanya, mungkin kali ini penjaga Diperhatikannya cermat berulang-ulang pada setiap sekolah datang lebih awal dan berhasil mengusir wajah gadis yang berjalan meninggalkan pagar besi lumut dan bau kencing yang menghuni ruang itu sekolah. Benar, Sri juga tak ada dalam rombongan sejak pertama kali ia masuk sekolah. Hanya kran air yang tak berubah, mengalir dengan malas. terakhir sebelum pintu-pintu kelas dikunci. Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

37


Bocah-bocah lain mulai berdatangan, namun ia belum juga melihat Sri. Sepuluh menit lagi bel masuk kelas menderit, pada setiap anak yang ditemui ia bertanya tentang Sri. Semua menggeleng kepala tak tahu. Setelah bel masuk memanggil-manggil pada akhirnya Azizi memutuskan bertamu ke kantor menanyakan Sri pada wali kelasnya. Pada jawaban yang tak diharapkan guru itu mengatakan, Sri telah pindah sekolah, kemarin. Tak puas dengan satu jawaban, ia pun bertanya cerewet pada guru-guru yang lain hingga diusir dari kantor sekolah. Bagi teman-teman Sri, jawaban seperti itu cukup masuk akal. Selesai. Tapi tidak dengan Azizi.. Tempo hari teman-teman Sri juga bertanyatanya, tapi sepekan kemudian semua membisu. Riwayat Sri juga menghilang dari data sekolah tanpa jejak. Sekali Azizi bertanya tentang Sri, maka ia dianggap gila, yang terakhir ia akan dikeluarkan dari sekolah jika masih menanyakan Sri, padahal ujian akhir sekolah tinggal menghitung hari. Sejak saat itu ia memilih kesunyian dan memendam ceritanya sendiri.

Puisi

Jika Kau Sehelai Bulu Angsa *Jeteha Jika kau sehelai bulu angsa Raut tajamkan dirimu, jadilah pena Ceburkan dirimu di samudera tinta Aduk di dasarnya Gelorakan di ombaknya Gores semua kertas dan pikiran Jadilah mata untuk pengetahuan Jadilah lidah bagi kebenaran Jadilah perhiasan di altar kecendikiawanan Atau kalau tidak, kau hanya bulu angsa Yang diterbangkan angin entah ke mana

Andai air, lumut-lumut, dinding, dan segala yang ada di kamar mandi dapat bicara, pasti mereka akan membela Azizi. Tanpa jawab, tanpa kabar. Sri benar-benar telah pergi darinya. Setiap mengingat basah pipi gadis itu, seketika matanya juga basah berhari-hari.

Semarang, 2019

Sekian tahun, aku benar-benar tak mampu membendungnya, biar pedih itu tetap bergejolak dalam benakku. Sedangkan senyummu tetap aman dalam pelukanku. Selamanya, ucapnya sebelum ayam berkokok dan pagi menutup mata untuk selama-lamanya.n Batang-Semarang, 2020 38

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Puisi

Santri Kecil di Musala Kecil Seorang santri kecil di musala kecil duduk malu-malu di baris belakang Diejanya lirih huruf alif ba ta tsa di kitabnya Kitab turutan lusuh tanpa sampul Dulu kitab itu milik kakaknya Kakaknya dulu santri di musala yang sama

Kakaknya seorang santri juga, hafal Alquran juga Bulan lalu, ia tewas bersama bom rakitan Bunuh diri meledakkan pos polisi Kini santri kecil itu masih belajar mengaji Ayah ibunya berharap ia menjadi Kiai Ulama yang berilmu dan bijaksana

Lima tahun lalu sang kakak pergi

Bukan menjadi ustaz yang hafal Alquran

Katanya hendak belajar agama

Tapi sikapnya radikal dan tidak toleran

Ia mondok di pesantren yang lain

Yang hafal hadis-hadis tapi menebarkan kebencian

Tahun lalu kakaknya pulang Sang kakak telah hafal Alquran, ayahnya bangga Tapi sikapnya jadi berbeda, ibunya berduka

Santri kecil itu masih belajar mengeja alif ba ta tsa Semoga kelak hidupnya menjadi rahmah bagi semesta

Dia selalu mencela ibadah ayahnya Tiada hari tanpa mengutuk aparat negara Tak habis-habis memaki pancasila Jeteha Lahir di Semarang, alumni Skm Amanat

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

39


ESAI

Sastra Populer yang

(Soeket Teki/ Mohammad Azzam)

Terpinggirkan

Putri Marino aktris yang melejit lewat film Posesif, baru saja menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul PoemPM terbitan Bentang Pustaka. Sayangnya, kelahiran buku yang sudah ia citakan sejak lama itu harus diwarnai dengan berbagai intrik dan perdebatan tak berujung.

40

Pada 3 Januari lalu, sang aktris mengunggah foto penggalan puisi yang ada di bukunya. Unggahan itu lantas menjadi trending topic di twitter, banyak netter yang memperdebatkan dan mempertanyakan kualitas puisi dari Putri Marino. Seperti akun @wildwip yang menilai

Soeket Teki Bicara

puisi istri Chicco Jerikho itu hanya sebuah kutipan. “Dear Putri Marino, that’s not a poem, thats only a quote,” tulis @wildwip Tidak hanya Putri Marino, Fiersa Besari pun demikian. Musisi dan penulis kelahiran Bandung itu, juga

Sastra dengan Rasa


*Khalimatus Sa’diyah

Pram auto suci,” begitu sepenggal kalimat dari cuitannya. Fiersa ataupun Putri Marino sebenarnya tidak sendiri. Dalam perjalanannya, perkembangan sastra memang diwarnai oleh beberapa intrik. Salah satunya adalah kehadiran sastra populer yang ada keberadaannya namun seakan dinafikan oleh beberapa pihak. Entah dengan alasan apa, mereka dalam hal ini akademisi, tidak memberikan ruang untuk karya sastra populer.

pernah mengalami book shaming yang dilakukan oleh akun @disseduh. Meskipun berakhir pada permintaan maaf oleh sang pelaku, namun sebelumnya Fiersa sempat membalas cuitan akun itu dengan satu kalimat menohok. “Seolah membaca Fiersa adalah dosa, dan membaca

Misalnya, ihwal buku teks utama yang wajib dipelajari mahasiswa sastra adalah karya-karya mereka sastrawan yang telah mapan seperti Armijn Pane, Chairil Anwar, Budi Darma, Nh Dini, Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Damono, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, atau Oka Rusmini. Padahal pada saat bersamaan, sastra yang banyak beredar dan diperbincangkan di luar adalah sastra populer jenis chicklit, teenlit, metropop, komik (asli maupun

Soeket Teki Bicara

terjemahan), dan berbagai jenis sastra cyber. Dengan melihat nilai estetik, struktur, dan tema beberapa orang mengklaim bahwa karya sastra populer tak layak disebut sebagai karya sastra. Berdalih tak menyuarakan suatu fenomena sosial besar dan lain sebagainya, mereka menganggap sastra populer sebagai karya receh dan tak layak didiskusikan seperti karya-karya besar Pram ataupun Laksmi Pamuntjak. Mereka lupa bahwa karya sastra dapat dinilai dari banyak sudut pandang. Tidak diperhitungkannya sastra populer dalam ranah akademik dan ruang apresiasi, tentu tidak lepas dari karakteristik yang dilekatkan padanya. Paradigma sastra populer yang tinggi kadar hiburan semakin tidak bernilai dan bermanfaat bagi pembaca perlu diubah. Karena pada hakikatnya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami,dan dimanfaatkan oleh masyarakat. (Damono;1978).

Sastra dengan Rasa

41


Khalimatus Sa’diyah - Sastra Populer yang Terpinggirkan

Tidak semua karya sastra harus bertemakan hal-hal besar, yang menguras otak ketika membacanya. Karena seperti yang Budi Darma ungkapkan, sastra terbagi menjadi dua genre yaitu, sastra serius dengan sastra hiburan. Sastra hiburan yang pada perjalanannya disebut sebagai sastra populer didefinisikan sebagai karya sastra untuk pelarian dari kebosanan, rutinitas sehari-hari, atau dari masalah yang sukar diselesaikan. Dari definisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa sastra populer sesungguhnya tidak menyalahi fungsi sastra sebagai media rekreatif. Mengharapkan lahirnya sebuah prosa atau puisi dengan gaya bahasa estetik dan tema-tema perlawanan, barangkali masih menjadi angan pada dekade ini. Tidak adanya momentum dan perkembangan teknologi menjadi salah satu alasan. Perkembangan sastra jenis pop yang masif dan mampu menjadi gambaran sosial yang realis harfiah, cukup menjadi alasan untuk kita memberi ruang bagi sastra populer. Karena tidak semua sastra populer berisi hiburan. Ada kalanya, mereka juga menyuarakan hal-hal yang

42

sedang terjadi di institusi masyarakat itu sendiri dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Sayangnya, kita masih berdiri pada keangkuhan dan kesombongan. Tidak bisa melihat kehadiran sastra populer sebagai wadah ekspresi dan media bersuara untuk mereka yang tak didengar oleh siapapun itu; pemerintah, orang tua, pacar, atau teman. Karena sekali lagi kita tidak bisa menampik kehadiran orang-orang yang menjadikan sastra sebagai media curahan, ucapan, serta proyeksi bagi perasaan dan pikiran pengarang. Tidak ada ukuran pakem untuk menilai karya sastra di mata pembaca. Semua aliran mempunyai segmen pembacanya sendiri. Terlepas dari nilai estetik dan struktur yang menjadi

Paradigma sastra populer yang tinggi kadar hiburan semakin tidak bernilai dan bermanfaat bagi pembaca perlu diubah

Soeket Teki Bicara

alasan pendikotomian karya sastra. Sebuah karya sastra yang baik seharusnya mempunyai kekuatan moral dan mampu mencerahkan para penikmatnya, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan dan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-perorangan. Yang dalam arti luasnya ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Karena meskipun sastra adalah karya fiksi, namun ke-fiksian itu tidak menutup kemungkinan pada hadirnya efek transformatif terhadap pembaca dan masyarakat. Sastra sebaiknya juga membuka kemungkinankemungkinan yang sebelumnya tidak dapat dilihat oleh realitas yang dianggap benar. Menutup ruang apresiasi dan kritik bagi karya sastra populer tentu bukan jalan yang tepat, karena bagaimanapun sastra jenis itu yang kini menguasai pasar dan dibaca oleh banyak khalayak. Jika sastra jenis pop dirasa tidak bisa memberikan manfaat bagi peradaban bangsa, seharusnya mereka dirangkul bukan hanya diolok-olok tanpa diberitahu di mana letak kekurangan dan kesalahannya. n

Sastra dengan Rasa


Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa

43


44

Soeket Teki Bicara

Sastra dengan Rasa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.