buletin
AMANAT
Edisi 23 - Februari 2020 ISSN: 0853-487X
U n t u k M a h a s i s w a d e n g a n P e n a l a r a n d a n Ta k w a
Eduwisata Berbayar di Kampus Peradaban
Kelahiran Spesies Pembunuh
Bisnis Kampus Lebih Utama
Melestarikan Nuansa Budaya Jawa
DAFTAR
Pemimpin Umum
ISI
Riduwan
Redaktur
6-8 | Laporan Utama
Bisnis Kampus Lebih Utama
Agus Salim I, M. Syarif Marzuki, Khalimatus S, Afridatun N, Ibnu Abdillah
Pemimpin Redaksi Mohammad Hasib
Sekretaris Redaksi Ramadhani Sri Wahyuni
Reporter Fatimah Azzahrok, Faiq Yamamah, Umar Said Y, M.Syamsul Maarif, M. Bakhtiar Luthfi, Gatot Susilo, Yessi Zuana K, Ali Muhtarom, Ilara Dina Y, Endang Paniati, Nabila, Fauzan Aflachi
Editorial Salam Redaksi Artikel Rehat Fotografi Resensi Buku Resensi Film Opini Feature Cerpen Puisi Sosok Esai
4 5 15-16 17 18-19 20-21 22-23 24-25 26-27 28-30 31 32-33 34
9-11 | Laporan Pendukung
Dominasi Orang Dalam di Food Court
Layouter Muhammad Shafril Hidayat
Fotografer Nafiatul Ulum
Staf Ahli M.Iqbal Shukri, Sigit A.F
12- 14 | Laporan Khusus
Eduwisata Berbayar di Kampus Peradaban
4
Editorial
Bisnis Walisongo
B
elum lama ini, UIN Walisongo meresmikan Food Court di Kampus III, tepatnya di depan Gedung Serba Guna (GSG). Kantin itu bergaya lebih modern dibandingkan dengan kantin yang sudah ada sebelumnya. Di sisi lain, terdapat perbedaan di berbagai aspek. Diantaranya pedagang tidak diperbolehkan melakukan transaksi secara langsung dengan pembeli, kemudian sistem kerjasama antara pemilik kedai dengan pihak kampus yang semula menggunakan sistem sewa menjadi sistem bagi hasil.
lustrasi: M Hasib
Hasil penelusuran Amanat menemukan pro dan kontra di kalangan mahasiswa mengenai keberadaan Food Court kampus III, ada yang mendukung karena bangunannya kekinian, ada juga yang tidak setuju dengan harga yang kurang pas dengan kantong mahasiswa. Namun, akhir tahun ini kampus lebih memilih membangun Food Court di Kampus II, tepatnya di belakang Kantor Dekanat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. Padahal, melihat fenomena Perpustakaan Fakultas Sains dan Teknologi yang masih digabung dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sangat riskan untuk sekelas universitas yang sudah terakreditasi A. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan kampus yang sekarang sudah menjadi Badan Layanan Umum, kebijakan tersebut memperbolehkan kampus untuk mencari sumber anggaran sendiri. Di sisi lain, kampus sebagai tempat berproses dan menimba ilmu, seyogyanya lebih memprioritaskan kebutuhan mahasiswa di bidang akademik daripada mencari peluang bisnis, karena sumber anggaran pun tidak sepenuhnya dari BLU.
Redaksi Edisi 23 |Februari 2020
Salam Redaksi
5
Satu Rasa Untuk Karya
P
erjalanan adalah kompleksitas rasa dan peristiwa. Ada yang patah kemudian bangkit untuk terus tumbuh dan ada yang memutuskan pergi, untuk menghilang dan tak kembali. Begitulah, dinamika masalah yang mengiringi kami selama ini. Jatuh bangun kami rasakan. Rasa tidak pantas yang seringkali menggoyahkan, membuat kami sadar bahwa hanya dengan kekuatan tim-lah kita bisa mengatasinya, bersama untuk saling menatih melewati batuan terjal dan memberikan dukungan satu sama lain. Tidak hanya itu, kehangatan kekeluargaan yang kami dapat juga turut andil dalam proses penyelesaian buletin edisi 23 kali ini. Sebuah edisi yang mengangkat tentang babak baru kegiatan perekonomian di UIN Walisongo Semarang. Dengan Food Court yang menjadi bahan utama kajian buletin kali ini, tim redaksi berupaya untuk memaparkan dinamika yang ada di dalamnya.
mingguan 30 juta, dan mampu memberi pemasukan untuk kampus rata-rata 4 juta per minggu, FoodFourt tak ubahnya sebagai salah satu ladang penghasilan untuk BLU. Tidak cukup sampai disini saja, wacana planetarium yang akan dijadikan tempat wisata berbayar juga kami coba angkat menjadi sebuah laporan khusus. Rentetan fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan baru, untuk apakah semua penghasilan itu? Bukankah ini adalah lembaga pendidikan dan bukan sebuah perusahaan? Selain menyajikan laporan faktual yang terjadi di dalam kampus, buletin ini juga menyajikan rubrikasi lain. Seperti artikel, resensi film serta buku, puisi, cerpen, opini, esai, sosok, feature dan fotografi. Hal ini kami lakukan semata-mata agar para pembaca bisa mendapatkan informasi dan pandangan baru tentang fenomena-fenomena yang ada. Simak lebih jauh untuk menikmatinya. Selamat membaca.
Diresmikan pada tanggal 25 Maret 2019, Food Court Kampus III yang mempunyai omzet
Edisi 23 |Februari 2020
Redaksi
6
Laporan Utama
Bisnis Kampus Lebih Utama
(Amanat/Hasib)
Saat ini, kampus lebih mengutamakan sektor bisnis daripada kelengkapan fasilitas akademik. Ada yang menilai kampus seperti perusahaan
J
oko (bukan nama sebenarnya) tampak canggung saat memasuki Food Court di Kampus III. Usai memesan menu yang diinginkan, bukan mendapat makanan dan minuman pesanannya, ia malah diberi selembar nota oleh pedagang.
“Bayar ke kasir dulu mas,” ujar Joko menirukan ucapan pedagang tersebut kepada Amanat, Kamis (16/01/2020). Waktu itu, mahasiswa prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) memang baru pertaEdisi 23 |Februari 2020
ma kali mengunjungi Food Court. Ia juga baru tahu, jika untuk makan di tempat tersebut harus membayar terlebih dahulu. “Kurang nyaman saja dengan sistem seperti itu, harus bolak-balik dan memakan waktu yang
Laporan Utama
standar, tapi harganya cukup mahal untuk kantong mahasiwa UIN,” jelasnya. Pandangan berbeda, diutarakan Nazilatul Setyoningsih. Mahasiswi prodi Ekonomi Islam (EI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) itu tak merasa terganggu dengan sistem baru yang ada di kantin kampus. “Saya sendiri merasa nyaman di Food Court Kampus III,” akunya. Menurutnya, kantin baru yang ada di Kampus III lebih modern dengan variasi menu yang cukup beragam. Mahasiswi asal Demak tersebut juga mengatakan rasa makanan di sana enak dan tidak merasa keberatan mengenai harga yang ada di Food Court Kampus III. “Tempatnya kekinian, menunya juga bervariasi dan bisa buat kumpul-kumpul gitu,” katanya. lama, belum antreannya. Jujur, saya sendiri lebih suka makan dulu baru bayar,” tuturnya. Selain itu, mahasiswa asal Bojonegoro ini juga menilai harga menu yang ada di Food Court tergolong cukup tinggi. “Dari segi rasanya sih
Food Court Kampus III sudah diresmikan pada akhir Maret 2019. Kantin ini memang tak hanya bergaya modern, namun juga menerapkan sistem ekonomi Islam, yakni bagi hasil. Meski terdapat delapan lapak pedagang, namun mereka tak diperbolehkan melakukan Edisi 23 |Februari 2020
7
transaksi secara langsung dengan pembeli. Kampus telah menyiapkan dua kasir yang akan dijadikan pembayaran seluruh padagang yang ada di lokasi tersebut. Selain itu, di Food Court tidak menerapkan sistem sewa lapak tahunan. Sebagai gantinya, pedagang yang ada di sana diharuskan menyetorkan keuntungan bersih yang diperoleh sebesar 13 persen setiap pekan ke Badan Layanan Umum (BLU). Dulang lebih banyak keuntungan Percobaan sistem baru dalam manajemen pengelolaan kantin di UIN Walisongo terbukti moncer. Staf Ahli Pusat Pengembangan Bisnis (PPB) UIN Walisongo, Atika Dyah Perwita mengungkapkan, saat ini omzet bisa mencapai Rp30 juta setiap pekan. Dari omzet tersebut, kampus bisa mendapatkan jatah keuntungan sebesar Rp4 juta. “Omzet mingguan Rp30 juta, sehingga Food Court bisa memberi pemasukan buat UIN rata-rata per minggu Rp4 juta,” ungkapnya, Rabu (15/01/2020). Jika dikalkulasi, dalam satu tahun sedikitnya kampus bisa meraup keuntungan se-
8
Laporan Utama
besar Rp192 juta hanya dari satu bangunan Food Court. Wajar saja melihat banyaknya keuntungan yang didapat, saat ini kampus kembali membangun Food Court yang lokasinya berada di belakang Dekanat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) Kampus II. Saat ditanya mengenai konsep kantin ke depan, Fahroza Arifian dari PPB mengaku belum tahu. Menurutnya, perkembangan pengelolaan dan sistem sepenuhnya kebijakan dari rektor. “Belum tahu, pembangunan juga belum selesai sepenuhnya dan dari pimpinan juga belum menyerahkan nanti siapa yang akan mengelola, apakah pusat bisnis atau ke bagian lain,” imbuhnya. Nasib kantin lama Setelah berdirinya Food Court di Kampus III sampai saat ini belum ada dampak yang dirasakan oleh beberapa pedagang kantin di lingkungan UIN Walisongo. “Kalaupun ada ya, kita ga pengen mikir-mikir kayak gitu, selalu berfikir untuk memperbaiki diri, kualitas,
“
Omzet mingguan Rp30 juta, sehingga Food Court bisa memberi pemasukan buat UIN rata-rata per minggu Rp4 juta Atika Dyah Perwita Staf Ahli Pusat Pengembangan Bisnis UIN Walisongo
khususnya kecepatan melayani dan rasa masakan,” kata salah satu pedagang di kantin Kampus II yang enggan disebut namanya. Meski begitu, pria yang masih berstatus mahasiswa pascasarjana UIN Walisongo ini menyayangkan sikap kampus yang lebih mengutamakan pembangunan kantin dari pada fasilitas akademik. Ia mencontohkan, saat ini Perpustakaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) masih Edisi 23 |Februari 2020
digabung dengan Perpustakaan FITK. “Idealnya kan kampus itu prioritas di bidang akademik, salah satu tugasnya bagaimana caranya meningkatkan fasilitas yang menunjang kegiatan akademik mahasiswa. Tapi kenapa akhir-akhir ini yang dibangun malah Food Court yang bergerak di bidang bisnis, sebenarnya UIN, Universitas atau perusahaan?,” sesalnya. Menanggapi hal tersebut, kepala Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan, Priyono mengatakan, prioritas kampus saat ini membangun Food Court terlebih dahulu. Meski begitu, bukan berarti fasilitas akademik tidak diperhatikan oleh kampus. Ia menegaskan, semua harus ada strateginya. “Tujuan dibangunnya Food Court itu kan mencari keuntungan, nah dari keuntungan tersebut baru bisa untuk mendanai yang lain, seperti perpustakaan dan fasilitas lainnya,” tutupnya.n
Mohammad Hasib
9
(Amanat/Hasib)
Laporan Pendukung
Dominasi Orang Dalam di Food Court Siapapun boleh mendaftarkan diri untuk mempunyai lahan di Food Court. Namun pihak kampus juga berhak memilih, siapa yang pantas diterima dan ditolak.
P
embangunan Food Court dinilai menjadi angin segar bagi berbagai pihak. Tentunya bagi mereka yang ingin meyalurkan usaha di bidang kuliner. Selain itu, pembangunan gedung Food Court juga bersamaan dengan informasi yang berhembus tentang dibukanya pendaftaran bagi calon penjual di Food Court.
Akhirnya beberapa orang mencoba mendaftarkan diri. Sebut saja Dinda (bukan nama sebenarnya), melihat informasi pendaftaran yang tersebar di stori WhatsApp, ia lantas bergegas pergi ke Kantor Pusat Pengembangan Bisnis (PPB). Hal itu dilakukannya untuk menanyakan kebenaran info dan tata cara mendaftar. Edisi 23 |Februari 2020
>> Tiga pembeli sedang membayar makanan yang mereka pesan ke kasir Food Court UIN Walisongo.
Akhirnya setelah mendapat jawaban, Dinda berkeinginan mendaftarkan diri. Bermodal nekat, ia penuhi semua berkas persyaratan yang ditangguhkan. Segera ia kumpulkan berkas yang telah dipersiapkan ke Kantor PPB.
10
Laporan Pendukung
“
Pengumuman tiba, Dinda otomatis dianggap mengundurkan diri. dinyatakan lolos dan berhak melanjutkan pada tahap Teka-teki temannya yang seleksi berikutnya, yakni Jadi terus terang, tidak datang pun tertes wawancara. Kebememang kalau bisa orang jawab. Dinda mendaparuntungan tetap pada dalam tapi kan kenyataannya tkan jawaban dari diri Dinda, ia dinyaseperti itu. Memang dia (Dinda) temannya. takan lolos bersama 15 peserta lain, salah mendapat nilai tinggi sekali itu, “Sudah malas karesatu diantaranya adalah tinggi sekali itu! Sehingga na isinya orang dalam teman Dinda. semua,” kata Dinda meDinda mengaku kala itu dirinya mendaftar dengan mengumpulkan dua berkas, dengan nama yang berbeda. “Satu pakai nama saya sendiri, yang satunya pakai nama tante saya dengan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) nya, nah yang lolos itu yang pakai nama tante saya,” ujarnya saat diwawancarai Amanat, Jumat (23/08/2019) Perjuangan Dinda belum berakhir, tahap selanjutnya adalah Beauty Contest. Dalam tahap tersebut peserta diberi waktu 20 menit untuk menghidangkan dua menu makanan. Menu pertama, makanan atau minuman utama, kedua, makanan unggulan yang sesuai dengan proposal yang diajukan. Kemudian peserta mempresentasikannya.
bagaimanapun itu kita menangkan
nirukan jawaban temannya.
Rahman El junusi
Dinda kaget, dan baru menyadarinya. Bahwa pada saat Beauty Contest, beberapa peserta saling mengenal.
Mantan Kepala PPB Ada sembilan indikator penilaian oleh juri. Diantaranya kehalalan makanan, variasi menu, harga terjangkau, rasa makanan, higienis, keamanan makanan, komitmen terhadap peraturan UIN Walisongo dan prospek serta pengalaman usaha. Namun saat hari Beauty Contest tiba, pikiran Dinda dibuat bingung. Temannya tidak datang, meskipun dinyatakan lolos. Kemudian setelah acara (Beauty Contest) selesai, Dinda berupaya menanyakan alasan temannya tidak datang. Sebab secara tidak langsung, peserta yang tidak datang mengikuti tahap seleksi, Edisi 23 |Februari 2020
“Beberapa peserta adalah dari dosen, saya mengenalnya,” terang Dinda yang saat ini juga masih berstatus mahasiswa. Dua pekan setelah Beauty Contest, kembali Dinda dinyatakan lolos saat pengumuman, Rabu (03/10/2018). Peserta yang diterima berjumlah delapan. Dinda sebagai salah satu peserta yang lolos, dengan perolehan nilai tertinggi. Delapan orang tersebut berhak berjualan di Food Court Kampus III. Teka-teki bisnis orang dalam Berdasarkan penelusuran Amanat, pemilik kedai
Laporan Pendukung
di Food Court berjumlah delapan orang. Dua orang berstatus sebagai Dosen di UIN Walisongo. Tiga orang berstatus pegawai di UIN Walisongo. Dua orang adalah pedagang kantin lama. Serta satu orang yakni Dinda sebagai orang luar. Menanggapi isu keberpihakan orang dalam, mantan Kepala PPB Rahman El junusi, membantah. Menurutnya dalam penilaian sudah fair dan terbuka. “Kita fair mas, semua transparan, kalau kita berpihak pada orang dalam, percuma kita umumkan, jelas percuma. Apalagi diumumin di web begini percuma. Wong kita diumumkan ke luar,” sanggah Rahman, Kamis (23/01/2020). Meski demikian, Rahman tidak menutup kemungkinan lebih mengutamakan orang dalam. Sebab memudahkan dalam hal komunikasi. Hal itu didasarkan pada pengalaman beberapa tahun silam. Tentang pedagang yang memindahkan kepemilikan kedainya, tanpa sepengetahuan pihak kampus. Orang dalam salah satu solusi supaya kasus tersebut tidak terjadi lagi.
Untuk memudahkan komunikasi dan ada keterikatan dengan jabatan di dalam UIN Walisongo. Tim penilaian, kata Rahman, sudah bekerja sesuai prosedur. Dengan mengacu indikator penilaian yang ada, sehingga memudahkan juri untuk menilai. “Jadi terus terang, memang kalau bisa orang dalam tapi kan kenyataannya seperti itu. Memang dia (Dinda) mendapat nilai tinggi sekali itu, tinggi sekali itu! Sehingga bagaimanapun itu kita menangkan,” jelas Rahman yang sekarang juga menjabat sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) tersebut. Kepala Badan Pelayanan Umum (BLU) Priyono, turut menanggapi. Priyono memaklumi, sebab menurutnya komunikasi itu penting. “Pertama memang kalau jenengan nyewa, kemudian keluar disewakan orang lain, tanpa konfirmasi itu jelas salah, makanya saya agak memaklumi,” jelasnya, mencontohkan. Meskipun begitu, lanjut Priyono, sebuah kompetisi
Edisi 23 |Februari 2020
11 11
harus dilaksankan dengan cara profesional dan proporsional. Di lain sisi juga bukan hanya berbicara normatif, melainkan juga kemanusiaan. “Saya tidak bisa memungkiri apabila ada yang memiliki nilai sama, orang luar dapat nilai 10, kemudian orang dalam 10 itu kita cenderung orang dalam. Namun apabila jaraknya jauh, orang luar 10, orang dalam lima ya enggak bisa, karena kita harus berorientasi terhadap pelayanan,” katanya, saat ditemui di Kantornya pada kamis, (23/01/2020). Namun menurutnya, dalam kompetisi tersebut, pihak kampus tidak membatasi peserta untuk ikut berpartisipasi. Semua diberi kesempatan, baik itu mahasiswa, dosen, pegawai ataupun orang luar. “Pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan golongan IV tidak boleh mendaftar, seperti Kepala Bagian (Kabag) keatas,” pungkasnya. n
M. Syamsul Maarif
12
Laporan Khusus
Eduwisata Berbayar di Kampus Perad
(Amanat/Shafril)
Selain sebagai ciri khas, Planetarium direalisasikan menjadi wisata baru di UIN Walisongo. M kampus tetap memberlakukan tarif bagi mahasiswanya.
M
uhamad Irsyad Satriya masih tak percaya dengan kabar yang didengar. Sebelumnya, ia mengira, gedung baru Planetarium yang dibangun di Kampus III UIN Walisongo, sepenuhnya akan digunakan untuk kepentingan
mahasiswa, khususnya yang dari prodi Ilmu Falak. Namun siapa sangka, perkiraan Irsyad salah. Dari sebuah kabar media massa di Jawa Tengah, ia memperoleh informasi bahwa gedung megah kebanggaan UIN Walisongo itu juga akan Edisi 23 |Februari 2020
dijadikan sebagai destinasi wisata. Yang lebih mengagetkan dia adalah, untuk menikmati fasilitas di dalamnya mahasiswa juga harus bayar. “Ya agak lucu sih. Itu kan fasilitas kampus untuk mahasiswa, masa ada beban biaya juga,” ungkap mahasiswa prodi Ilmu
Laporan Khusus
daban
Meski begitu,
pus harus kembali mengingat tujuan awal dibangunnya Planetarium. Menurutnya, jika kampus benar menjadikan tempat tersebut sebagai destinasi wisata, aspek pendidikan tidak boleh ditinggalkan. “Kita bisa melihat misal Observatorium Bosca, Lembang, Jawa Barat. Ya untuk riset juga untuk wisata edukasi,” imbuhnya. Satu-satunya di PTKIN Sejak awal, Gedung Planetarium memang menjadi gedung unggulan dalam mega proyek pembangunan di UIN Walisongo. Gedung yang dirancang dengan kapasitas 290 orang ini akan mempunyai tiga lantai. Lantai satu akan difungsikan sebagai museum astronomi. Kemudian, di lantai dua akan dijadikan tempat menonton film. Lalu lantai tiga, difungsikan sebagai penelitian.
Falak ini setengah percaya, Rabu (22/01/2020).
Gedung yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern ini digadang menjadi Planetarium termegah yang ada di Asia Tenggara. Tak berhenti di situ, gedung tersebut juga diproyeksikan menjadi tolok ukur masyarakat dalam melihat kampus ini.
Meski begitu, mahasiswa asal Kuningan Jawa Barat itu tak terlalu mempermasalahkan. Namun, ia menekankan, kam-
Salah satu Tim User yang bertugas merancang Planetarium, Ahmad Syifaul Anam mengatakan, pembangunan Gedung
>> Gedung Planetarium dalam tahap pembangunan.
Edisi 23 |Februari 2020
13
Planetarium dan Observatorium akan menjadikan prodi Ilmu Falak sebagai ciri khas UIN Walisongo. “Keinginan mendirikan planetarium sejak 2012, ingin mengembangkan kekhasan dari UIN Walisngo, maka dilacaklah kekhasan itu yaitu falak,” ungkapnya, Senin (13/01/2020). Ia melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa prodi Ilmu Falak yang terpilih. Alasan pertama yakni, rektor pertama dalam sejarah UIN Walisongo, yakni Zubair Umar Al Jailani merupakan ahli ilmu falak. “Zubair Umar Al Jailani merupakan orang yang sudah dikenal di seluruh dunia, dia merupakan pengarang kitab Al Khulas yang dipakai di Mekah Al Mukarammah,” ujarnya. Alasan yang kedua yaitu karena Ilmu Falak merupakan salah satu komoditas unggulan dari UIN Walisongo yang Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lain tidak bisa menandinginya. Maka dari itu, ada keinginan besar disamping mengembangkan institusi namun juga untuk menonjolkan kekhasan dari UIN Walisongo yaitu Planetarium dan Observatorium.
14
Laporan Khusus
“Jadi kita ingin mengembangkan kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki PTKIN lain, maka jangan heran kalau UIN memiliki falak menjadi salah satu distingsi dari UIN Walisongo, the one and only,” tandas Anam. Mahasiswa harus bayar Anam membenarkan, dirancangan ke depan Gedung Planetarium juga akan dijadikan sebagai destinasi wisata masyarakat umum. Hal tersebut, baginya tak melanggar aturan. Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut tak akan mengganggu aktivitas akademik yang akan berlangsung. “Sebagai lembaga BLU, UIN Walisongo merupakan salah satu lembaga pemerintah yang diizinkan untuk menjalankan bisnis,” terang Dosen Ilmu Falak itu. Anam sangat optimis bahwa Planetarium milik UIN Walisongo akan banyak dikunjungi dari berbagai macam kalangan mulai dari mahasiswa umum, anak sekolah sampai masyarakat umum. “Menurut saya planetarium sifatnya adalah entertainment dan edukatif, jadi selain untuk penelitian mahasiswa, juga bisa untuk mengajarkan masyarakat tentang astronomi melalui pertunjukan film,” pungkasnya.
Saat disinggung soal biaya masuk ke gedung tersebut, ia menegaskan bahwa siapa pun tak terkecuali mahasiswa UIN Walisongo juga akan dikenai tiket masuk. Namun, soal nominal uangnya saat ini masih menjadi pembicaraan pihaknya. “Tentu nanti akan dikenakan biaya, namun belum tahu berapa nominalnya karena belum ada kesepakatan. Yang jelas akan ada pengkategorian antara mahasiswa UIN Walisongo, mahasiswa umum, dan masyarakat umum,” pungkasnya. Hal senada juga diungkapkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Mohamad Arja Imroni. Ia menegaskan bahwa UIN Walisongo adalah kampus BLU. Maka pemanfaatannya akan diperluas menjadi satu wisata atau edutainment. “Kampus yang sudah menjadi BLU itu memang dituntut untuk memaksimalkan aset-asetnya untuk mendapatkan pendapatan sendiri, dan nantinya pendapatan tersebut untuk membiayai operasional kampus,” sambungnya. Sementara itu, Mukhlasin Sobri, mahasiswa Ilmu Falak angkatan 2016 mengaku kecewa dengan biaya yang akan diberlakukan untuk masuk ke Planetarium. Menurutnya, Edisi 23 |Februari 2020
“
Tentu nanti akan dikenakan biaya, namun belum tahu berapa nominalnya karena belum ada kesepakatan. Yang jelas akan ada pengkategorian antara mahasiswa UIN Walisongo, mahasiswa umum, dan masyarakat umum Ahmad Syifaul Anam, S.H.I., MH.
Tim User Planetarium Uin Walisongo Semarang
sebagai salah satu penunjang akademik, Planetarium harus diberlakukan sama seperti fasilitas penunjang akademik lain yang ada di kampus. "Perpustakaan, laboratorium hukum dan fasilitas lain kan gratis. Tapi mengapa Planetarium harus berbayar," ucap Sobri keheranan.n
Muhammad Shafril H
Artikel
S
eiring berkembangnya teknologi dan digitalisasi, istilah disrupsi semakin populer akhir-akhir ini. Ya, disrupsi telah menimbulkan kegamangan luar biasa di kalangan masyarakat luas.
15
Disrupsi dan Masa Depan Jurnalisme
Jika dilihat dari definisinya, disrupsi seringkali dimaknai sebagai sebuah perubahan yang terjadi pada hal-hal yang mendasar. Atas dasar itu, seolah masyarakat dituntut untuk melakukan perubahan jika, tak ingin ‘mati’ dalam roda perputaran zaman.
Hingga akhirnya, sering ditemui berita hoaks yang menjalar dikalangan masyarakat. Informasi yang mengalir begitu cepat, namun keakuratan dan kebenaran belum tentu didapat.
Dampak dari era disrupsi pun kiranya menyasar pada sistem informasi dalam dunia Jurnalisme. Filterisasi yang seharusnya menjadi tempat pembendung justru, tak lagi mampu menahan derasnya laju arus informasi yang mengalir.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (kominfo) selama kurun waktu dari pertengahan tahun 2018, jumlah konten hoaks meningkat. Pada bulan Agustus 2018 misalnya, hanya ada 25 kasus
Ilustrasi: Faiq Y
Laju disrupsi pun semakin kencang dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan data pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara, yang cukup signifikan. Menurut Google dan Temasek dalam laporan e-economy Asia Tenggara, nilai ekonomi digital ASEAN 2018 sudah mencapai US$72 miliar atau lebih dari Rp1.048 triliun. Bahkan, nilai ekonomi digital Asia Tenggara pada 2025 diprediksi mencapai US$240 miliar, lebih tinggi dari yang perkiraan semula US$200 miliar.
Edisi 23 |Februari 2020
berita hoaks. Lalu, meningkat tajam kala memasuki tahun politik yang mencapai 175 kasus di bulan Januari 2019. Lonjakan itu terus meningkat di bulan Februari yang mencapai 353 kasus. Dan akhirnya berada di angka 453 pada bulan Maret 2019. Sulit mencari kebenaran Membanjirnya informasi di lautan dunia maya, membuat tak sedikit orang kelabakan dan mempertanyakan ulang kebe-
16
Artikel
narannya. Apalagi, kebenaran merupakan hal terpenting dan menjadi elemen pertama dalam panggung jurnalisme. Pentingnya membicarakan kebenaran ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Mereka menempatkan kebenaran sebagai prinsip pertama dalam jurnalisme. Sebab, kebenaran di sini bukan merujuk kepada kebenaran filsafat melainkan kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat juga belum mampu membedakan antara berita yang memiliki nilai kebenaran berita yang belum tentu kebenarannya. Akibatnya, masyarakat seringkali terjebak dalam realitas semu yang berujung pada tindakan saling menghujat. Yang harus dilakukan masyarakat adalah belajar bersikap skeptis;ragu. Mereka boleh saja membaca informasi namun, harus mempunyai rasa keraguan sehingga, memiliki naluri untuk melakukan check and recheck. Sikap keraguan inilah yang akan mengembalikan masyarakat menjadi manusia bernalar dengan dasar yang jelas. Hal ini pula yang telah diingatkan jauh-jauh hari oleh Rene Descartes, seorang filsuf mod-
“
Data Kominfo pada bulan Agustus 2018 misalnya, hanya ada 25 kasus berita hoaks. Lalu, meningkat tajam kala memasuki tahun politik yang mencapai 175 kasus di bulan Januari 2019. Lonjakan itu terus meningkat di bulan Februari yang mencapai 353 kasus. Dan akhirnya berada di angka 453 pada bulan Maret 2019.
ern yang menekankan kita untuk berpikir lebih skeptis, “Jika aku berpikir meragu maka aku ada”.
Clickbait dan tantangan jurnalisme Seiring menjamurnya media online, turut pula mendorong tingginya fenomena clickbait. Ankesh Anand, dari Indian Institute of Technology, dalam tulisannya yang berjudul We used
Neural Networks to Detect Clickbaits: You won’t believe what happened Next! mengatakan bahwa clickbait merupakan istilah untuk judul berita yang dibuat agar pembaca atau warganet digiring masuk ke sebuah situs web demi mendulang keuntungan rating suatu web. Bukan itu saja, bahasa yang digunakan pun cenderung berEdisi 23 |Februari 2020
sifat provokatif. Chen, Conroy, dan Rubin (2015), mengatakan bahwa karakteristik clickbait di antaranya tidak ada penyelesaian kata, menggunakan kata langsung/ajakan, kata provokatif, kata hiperbola/bombastis, bahasa menegangkan, bahasa ambigu, serta kata ganti yang cenderung tidak terselesaikan. Lalu, dirangkai sedemikian rupa dan dibuat bombastis dengan dalih bahwa, seolah berita tersebut mempunyai nilai kebenaran absolut. Tentu saja informasi yang tidak berlandaskan pada akurasi data membuat masyarakat panik. Padahal, esensi kegiatan jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah memberikan informasi bagi warga negara untuk bebas, serta dapat mengatur dirinya sendiri dengan sejahtera. Pernyataan ini menegaskan bahwa fenomena clickbait memudarkan esensi jurnalisme yang, tujuan utamanya adalah hanya menampilkan berita sensasional tanpa mementingkan nilai kebenaran. Menarik untuk dinantikan bagaimana kemudian strategi yang akan digunakan jurnalisme dalam menghadapi tantangan yang semakin garang ini? n
M. Bakhtiar Luthfi *Penulis adalah mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam 2018
Rehat
17
KOMIK STRIP
Faiq Yamamah Edisi 23 |Februari 2020
Fotografi
Edisi 23 |Februari 2020
Dok. Pribadi
Kampung Jawi Gunung Pati, Semarang
Kampung Jawi yang berlokasi di Jl. Kalialang Lama, RT.02/RW.01, Sukorejo, Kec. Gunung Pati, Kota Semarang ini buka setiap hari, mulai jam 17.0023.00 WIB. Selain menyuguhkan makanan khas Jawa Tengah namun juga hiburan dan suasananya yang sangat kental dengan Budaya Jawa.
Edisi 23 |Februari 2020
20
Resensi
Kelahiran Spesies Pembunuh Judul Buku : Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia Penulis: Yuval Noah Harari Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (Dok. Internet)
Tahun terbit: 2017 Halaman: 520 halaman Resentator: Fatimah Azzahrok
D
alam kurun waktu 3,8 miliar tahun lalu, terjadi peristiwa maha dahsyat yang melanda alam raya. Sebuah ledakan besar telah menciptakan kehidupan ruang dan waktu, energi, molekul dan zat lain yang menjadi penanda lahirnya sebuah organisme atau makhluk hidup. Homo Neandertal, Erectus, Denisova, Rudolfensis, Soloensis, dan Florensis adalah organisme yang lebih dulu tercipta (sebelum Sapiens) akibat ledakan tersebut. Ketika Sapiens pertama kali lahir di dunia, jumlah mereka
hanya diperkirakan mencapai angka 1 juta jiwa. Mereka tidak istimewa, tidak punya kekuasaan bahkan tidak cukup kuat untuk bergulat dengan binatang lainnya. Baru sekitar 70.000 tahun silam, terjadilah revolusi kognitif yang menjadi awal dari sejarah perjalanan ‘gelap’ Sapiens. Mereka berkelana menuju Semenanjung Arab lalu, menyebar di wilayah Eropa yang sudah dihuni lebih dahulu oleh spesies lain berupa Homo Neandertal, Denisova dan spesies lain. Ketika antar spesies yang belum saling mengenal bertemu Edisi 23 |Februari 2020
dalam satu wilayah, tentu akan menimbulkan sedikit pertanyaan. Bagaimana kisah yang terjadi ketika Sapiens bertemu dengan mereka? Apakah mereka akan melakukan perkawinan layaknya manusia saat ini, atau malah saling membunuh demi berebut kekuasaan? Yuval Noah Harari kemudian menganalisis kehidupan mereka dalam dua teori besar. Pertama, teori perkawinan campur (interbreeding theory) dan yang kedua berupa teori penggantian (replacement theory). Dalam teori pertama menga-
Resensi
takan, kedua spesies tersebut melakukan perkawinan dan mengembangkan keturunan mereka. Hal itu dapat dibuktikan dengan fakta yang mengatakan bahwa, 1-4 persen DNA Sapiens yang mendiami daerah Timur Tengah dan Eropa merupakan DNA Neandertal serta, 6 persen DNA manusia Denisova dalam DNA orangorang Melanesia dan pribumi Australia masa kini. Namun, pandangan berbeda justru terdapat di teori kedua. Teori penggantian mengemukakan bahwa Sapiens dan spesies lain kurang memilki rasa ketertarikan seksual antar spesies. Dalam teori ini juga dijelaskan bagaimana kemudian Sapiens melakukan genosida terhadap spesies lain. Yuval Noah Harari sendiri memberikan penjelasan sederhana pada buku ini. Awalnya, Sapiens hanyalah makhluk terbelakang dibanding Neandertal yang memiliki otak lebih besar, otot lebih kuat, serta kemampuan beradaptasi terhadap cuaca dingin dengan lebih efektif. Sementara, Sapiens merupakan makhluk yang suka hidup dalam gua. Namun, semua berubah ketika revolusi kognitif melanda Sapiens yang terjadi sekitar
30.000-70.000 tahun silam. Sejak saat itu, mereka memiliki kemampuan berburu yang lebih baik. Mereka juga menjadi lebih cerdas, mampu berpikir, dan menciptakan bahasa untuk berkomunikasi satu sama lain dibanding Neandertal dan spesies lain, yang menyebabkan Neandertal semakin terpojok dan mengalami kesulitan mendapatkan makanan. Hal inilah yang kemudian diduga menjadi penyebab kepunahan mereka. 'Pembunuh diri sendiri dan masa depan’ Tak dapat dipungkiri, revolusi kognitif telah membuat Homo Sapiens mengubah pola hidup dan kebutuhannya. Mengalahkan semua spesies dan meluncur cepat di jalur bebas hambatan. Namun, ada hal lain yang membuat Sapiens menjadi makhluk revolusioner. Revolusi sains membantu Sapiens menemukan jawaban atas ketidaktahuan yang selama ini dialami manusia. Menembus batas cakrawala dan membuat mereka menjadi makhluk yang tidak bisa lagi dibayangkan. Sejalan dengan itu disadari atau tidak, adanya revolusi sains secara perlahan akan Edisi 23 |Februari 2020
21
membunuh Sapiens dan masa depan mereka sendiri. Ketika sains dikuasai, maka akan muncul kekuatan pendampingnya. Kapitalisme, sebuah gagasan yang awalnya bersifat ekonomi namun, dalam perjalanannya berubah menjadi karakter menyeramkan yang menjalar ke segala segmen. The Wealth Nations karangan Adam Smith adalah tesis revolusioner yang mengubah pandangan manusia terhadap uang/laba dan kemakmuran. Secara jahat, tesis ini akan memberikan pemahaman bahwa "kita boleh tamak karena itu akan meningkatkan ekonomi kolektif" Akibatnya, berbagai cara akan dilakukan demi persaingan memperebutkan ekonomi yang semakin sengit. Belum lagi proyek sains modern di bidang robotik, rekayasa genetik, dan nuklir sebagai babak baru proyek Gilgamesh yang saat ini sedang gencar dilakukan berbagai negara. Jika mereka masih menerapkan pola yang seperti itu, bukan tidak mungkin Sapiens akan terbunuh dengan sendirinya.n
22
Resensi
Makna Perempuan Sebagai Kanca Wingking
(Dok. Internet)
Menjadi salah satu drama biopik Indonesia, Habibie & Ainun 3 besutan sutradara kenamaan Hanung Bramantyo ini tidak hanya mengisahkan romantisme BJ Habibie dengan Hasri Ainun Besari saja. Lebih dari itu, film yang tembus hingga 2 juta penonton ini mengisahkan tentang bagaimana Ainun muda yang diperankan oleh Maudy Ayunda menggapai mimpinya.
Judul: Habibie Ainun 3 Sutradara: Hanung Bramantyo Produser: Manoj Punjabi Skenario: Ifan Ismail Produksi: MD Pictures Durasi: 121 menit Resentator: Yessi Zuana K
“Saya mencintai Ainun, saya tidak penah merasa ditinggalkan Ainun. Karena beliau selalu berada di hati saya”.
B
egitulah salah satu cuplikan dalam trailer film Habibie Ainun 3 yang rilis 19 Desember 2019 kemarin. Sekilas memang terlihat seperti film yang mengusung genre romantis. Namun perlahan jika diperhatikan secara seksama, ekspektasi itu akan terpatahkan dengan sendirinya. Edisi 23 |Februari 2020
Mengambil latar belakang waktu tahun 1950-an atau saat Ainun duduk di bangku SMA dan kuliah, film ini diawali dengan adegan saat Habibie menceritakan sosok Ainun kepada anak dan cucu-cucunya di ruang keluarga atas permintaan mereka sendiri. Ainun muda yang oleh Habibie dijuluki seperti gula jawa digambarkan sebagai sosok cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Keinginannya ini dilatarbelakangi oleh kesengsaraan hidup bangsa Indonesia pada masa penjajahan yang diceritakan pada kilas balik saat Ainun masih kanak-kanak.
Resensi
Pada saat itu, Ainun kecil ikut membantu perjuangan ibunya dalam menjalankan tugas sebagai bidan. Derasnya hujan, besarnya resiko tertangkap tentara Jepang, maupun jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk menolong warga yang akan melahirkan tidak menghalangi Ibunya dalam melaksanakan tugasnya. Sejak itulah kecintaannya kepada bangsa semakin mengakar. Keinginan kuat untuk mengabdi kepada bangsanya membawa Ainun muda belajar di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Waktu membawa Ainun terus tumbuh, ia berhasil menjadi mahasiswa kedokteran yang berani menentang segala bentuk perploncoan dan diskriminasi terhadap perempuan. Sifat keperempuanan dan kegigihan yang melekat pada dirinya menjadikan Ainun sebagai sosok idola di kalangan pemuda. Hingga membuat seorang bernama Ahmad jatuh hati padanya. Namun kisah mereka tak berujung sampai altar pernikahan. Ingatan Ainun kembali melompat pada seorang laki-laki yang pernah ia temui saat perpisahan SMA. Laki-laki yang bercita-cita mempersatukan Indonesia dengan
pesawat terbang, yang secara tidak langsung membuat Ainun merasa takjub. Laki-laki itu adalah Rudy Habibie. Optimisme Rudy terhadap bangsanya membuat Ainun mulai meragu pada Ahmad. Diperankan oleh Jefri Nichole, sosok Ahmad dikenal sebagai pemuda cerdas dengan segudang keraguan terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Baginya, orang Indonesia memiliki banyak kebobrokan mentalitas, mulai dari masalah kecil seperti suka berprasangka buruk hingga kecurangan dalam hal politik. Inilah yang membedakan Rudy dengan Ahmad di mata Ainun. Hubungan asmara ketiganya dibawakan dengan sangat dewasa tanpa ada pertentangan khas cerita asmara anak remaja. Representasi makna kanca wingking Menjadi pertanyaan menarik memang, bagaimana seorang Ainun yang penuh ambisi rela untuk melepas pekerjaannya. Setelah ia disunting Habibie, dengan berbekal dua koper pakaian mereka bertolak dari tanah air pada tahun 1962. Pada saat itu dengan suka rela Ainun meninggalkan pekerjaan sebagai asisten Edisi 23 |Februari 2020
23
di bagian kesehatan anak Fakultas Kedokteran UI. Saat tiba di Jerman pun ia memilih untuk tidak bekerja. Meskipun sempat hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit, Ainun tetap memilih untuk menjadi istri dan ibu seutuhnya. Pilihan hidup Ainun, mengingatkan kita pada filsafat Jawa yang mengatakan bahwa perempuan sebagai Kanca wingking. Meskipun untuk beberapa hal, kata ini dimaknai negatif, namun jika ditelisik lebih jauh ada kedalaman makna yang terkandung di dalamnya. Kanca Wingking mirip dengan Tut Wuri Handayani yang berarti sebagai teman yang mendorong dari belakang. Memberi dukungan dan semangat serta pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil ke depannya. Tidak hanya sebagai pengupas bawang, pengulek cabai, pemarut jahe dan lengkuas di dapur. Lewat film ini, Ainun seolah ingin memberi tahu bahwa tidak bermasalah untuk berperan di belakang layar atau menjadi Kanca wingking.Karena pada hakikatnya kesetaraan tidak hanya bersifat material saja, tetapi juga kesetaraan yang bersifat nilai.n
24
Opini
Ketika Pengguna Medsos Tak Lagi Bijak taminasi oleh konten-konten rekayasa media sosial (baca: Twitter).
Hal itu disebabkan adanya kecenderungan penggguna Twitter di Indonesia yang lebih atraktif dan bersemangat dalam menuliskan cuitan. Tidak jarang, jika hasil obrolan di lini masa menjadi trending topik atau topik yang paling banyak dibicarakan.
Yang terjadi selanjutnya, trending topik disulap menjadi salah satu ukuran popularitas. Seseorang tidak perlu tampil di media massa untuk menjadi terkenal. Melalui media sosial mereka bisa menjadi sosok yang terkenal, tanpa harus memasuki media massa terlebih dahulu. Hal ini berbanding terbalik kala berada di 2-3 dekade lalu di mana, parameter seseorang terkenal adalah saat ia muncul di media massa; cetak maupun elektronik.
Trending topik yang merupakan hasil perang tagar oleh mesin atau kelompok yang terorganisir di media sosial (medsos) khususnya Twitter, telah menimbulkan kekhawatiran akan pihak-pihak tertentu yang mendominasi ruang publik di Indonesia. Ruang publik yang awalnya sehat pun, perlahan terkon-
Memang tidak salah, ketika ada netizen yang memanfaatkan Twitter untuk tujuan popularitas. Namun, adanya kebebasan berekspresi yang terbangun di media sosial seperti Twitter inilah yang kemudian memunculkan masalah baru. Di mana, kebanyakan jika ada topik tertentu yang tidak disukai Edisi 23 |Februari 2020
oleh netizen maka tanpa bisa dihalangi, mereka pun ramai-ramai mem-bully orang-orang yang terlibat dalam topik tersebut. Bahkan, tidak jarang netizen yang kreatif lantas membuat meme atau gambar lucu orang-orang tertentu sebagai bahan tertawaan. Sebaliknya, jika topik tersebut disukai maka para netizen ramai-ramai mendukung dan menjadikannya sebagai trending topik yang positif. Mengkaji fenomena ini, dapat dilihat bahwa penggunaan kode tagar atau hashtag sebagai salah satu penanda
Ilustrasi: Faiq Y
B
erdasarkan laporan finansial Twitter di kuartal ke-3 tahun 2019 pada Oktober lalu, Indonesia diklaim menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna aktif harian Twitter paling besar di dunia. (Kompas, 30/10/2019).
Opini
kan oleh orang-orang yang mengikuti dan mencari tagar yang bersangkutan. Hari ini pun, isu yang menjadi trending topik justru membuat masyarakat pengguna Twitter dengan cepat terpengaruh, baik sekedar ikut berkomentar, meretweet, atau membuat tweet baru dengan hashtag dan isu topik yang sama.
dari fitur Twitter, ikut mempermudah sebuah topik untuk dibicarakan. Sebenarnya, penggunaan tanda tagar (hashtag) di Twitter ini, bertujuan untuk memahamkan orang lain tentang topik yang dimaksudkan oleh pengguna hashtag. Lalu, untuk meningkatkan intensitas tentang topik yang dimaksud, maka kemudian pengguna lain ikut meretweet dan membuat hashtag yang sama. Hanya dengan meletakkan tagar atau hashtag di bio, sebuah akun atau informasi akan lebih mudah ditemu-
Seperti halnya yang terjadi pada tagar #UninstallTokopedia, #TangkapSukmawati, #KamiBersamaRasulullah, #KamiBersamaGusMuwafiq dan berbagai tagar lain yang membuat pengguna Twitter cepat terpengaruh. Sangat disayangkan ketika masyarakat dengan mudah menggunakan perang tagar sebagai ‘alat’ untuk membela dan melindungi, yang berujung pada kebencian. Jika pola semacam ini terus berlanjut, bagaimana nasib ruang publik di masa depan? Media sosial sebagai ruang publik Media sosial bisa digolongkan sebagai ruang publik yang digunakan manusia untuk melakukan berbagai interaksi komunikatif. Konsep ini, sejalan dengan Edisi 23 |Februari 2020
25
pemikiran Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman pengikut Mazhab Frankfrut yang lebih dikenal sebagai mazhab teori kritis. Menurutnya, Facebook, Twiter, blog, dan berbagai macam platform media sosial lain, telah menjadi ruang publik populer yang dipakai masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas komunikasi. Komunikasi yang terbangun di media sosial pun bisa beragam bentuk, maksud, dan tujuannya. Ruang publik dalam uraian Habermas sendiri merujuk pada realitas kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk bertukar pikiran, berdiskusi serta membangun opini publik secara bersama. Meskipun berperan sebagai ruang publik, tidak seharusnya media sosial digunakan sebagai ajang untuk saling menyindir, mengejek, apalagi menghasut. Menggunakan secara bijak merupakan solusi yang efektif digunakan saat ini. n
Ramadhani Sri Wahyuni *Penulis adalah mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam 2018
26
Feature
(Amanat/Shafril)
Melestarikan Nuansa Budaya Jawa
M
alam itu, Jumat (27/09/2019) di bawah temaram lampu minyak dan obor, terpancar cahaya kuning kecoklatan, menerangi jalan menuju Pasar Jaten. Pasar yang terletak di Desa Kalialang Lama, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunung Pati tersebut, memang menyajikan sensasi berbeda dibanding tempat wisata kuliner pada umumnya. Ada lebih dari 20 pedagang yang mengenakan
pakaian Jawa lurik lengkap dengan belangkon di kepala, siap memanjakan pengunjung dengan kuliner tradisionalnya. Mulai dari sego pecel, sego kluban, gethuk, ndog cenil serta aneka makanan dan minuman tersedia di Pasar Jaten ini. Suasana kampung yang teduh dengan rimbunnya pepohonan, semakin terasa syahdu kala alunan musik gamelan perlahan merambah membran telinga pengunjung. Bukan hanya itu, pengunjung di Edisi 23 |Februari 2020
>> Pengunjung menikmati aneka jajanan di Kampung Jawi.
Pasar Jaten Semarang juga bisa menyaksikan pertunjukkan berbagai kesenian tradisional yang dimainkan oleh warga seperti karawitan, keroncong, dan jathilan. Gapura berbentuk gubug berdiri gagah menyambut kedatangan pengunjung. Di sebelah timur pasar, bangunan yang diberi nama Menara Kepeng, bersiap memanjakan
Feature
setiap pasang bola mata dari ketinggian 15 meter. Penggagas Pasar Jaten, Siswanto menceritakan awalnya Pasar Jaten dibuka setiap pagi jam 08:00-11:00 WIB. Namun, melihat antusias pengunjung yang tinggi, pihaknya kemudian memberanikan diri dan berinisiatif membuka Pasar Jaten setiap malam kecuali hari Senin. “Awalnya pasar ini hanya dibuka setiap hari Minggu Legi. Namun, karena mendapat sambutan positif dari pengunjung, kami putuskan untuk menambah jam bukanya,” jelas Siswanto. Selain itu, masih menurut Siswanto, nama Pasar Jaten sendiri diambil berdasarkan lokasi pasar yang berada di tengah rimbunan dan teduhnya pepohonan jati. Yang membuat tempat ini menjadi unik adalah semua ragam makanan dan minuman tersebut disajikan menggunakan piring bambu dan gelas dari batok kelapa.
kampung tematik. Selain itu, dengan mengusung tema adat Jawa, masyarakat ingin pasar yang diresmikan oleh Walikota Semarang pada Minggu (25/02/2019) lalu, memperkenalkan kembali budaya Jawa yang semakin hilang tergerus zaman. “Saya ingin mengembangkan daerah Kalialang ini menjadi salah satu destinasi wisata kebudayaan Jawa di Semarang,” jelasnya. Siswanto juga merasa prihatin dengan kebudayaan Jawa sekarang. Menurutnya, kebudayaan Jawa sudah terjajah oleh budaya asing yang dengan mudahnya menggerogoti akar budaya Jawa.
Melanjutkan program pemerintah
Bak gayung bersambut, gagasan yang dibangun masyarakat Kalialang ini, rupanya mendapat sambutan hangat dari salah satu pengunjung, Susi Susanti (50). Perempuan yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pasar Jaten tersebut, menganggap destinasi wisata ini sebagai tempat yang cocok untuk bernostalgia dengan budaya Jawa.
Sejalan dengan program kampung tematik yang diadakan oleh Pemerintah Kota Semarang, masyarakat setempat kemudian berinisiasi untuk mengembangkan daerah Kalialang ini menjadi
“Waktu pertama kali datang, saya langsung merasakan adem ayem dan natural banget. Suasana tradisional khas Jawa juga terasa kental, berbeda dengan tempat yang lain,” ujarnya. Edisi 23 |Februari 2020
27
Meningkatkan perekonomian Di samping sebagai wisata kuliner, Pasar Jaten ini juga membantu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Nantinya, setiap keuntungan dari pedagang akan mendapat potongan sebesar 10 persen sebagai iuran bersama pengembangan fasilitas pasar. Salah satu pedagang di Pasar Jaten Nanik Rahayu (47) mengaku dirinya terbantu dengan adanya destinasi wisata kuliner ini. Ia mengatakan, pendapatannya lebih banyak dibandingkan saat ia masih menjadi pedagang bakso di tempatnya dahulu. “Dulu sebelum ada angkringan ini, keuntungannya kadang sehari cuma 100 ribu, bahkan pernah hanya terjual 1 mangkok saja. Kalau sekarang sudah bisa mencapai 1 juta mbak,” jelasnya. Demikian juga, Anik Bambang (38) mengatakan dengan adanya Kampung Jawi sangat membantu perekonomian keluarga. “Sebelum ada Kampung Jawi, saya kerjanya di pabrik, jauh dari rumah, tapi kalau sekarang saya kerja di angkringan jadi dekat dengan rumah, sekalian juga bisa ngurus keluarga mbak,” pungkasnya. n
Nabila
Cerpen
28
Mengusaikan Sumpah
Ilustrasi: Faiq Y
n Ilara Dina Yahya
H
ari ini Minggu. Hari dimana Umi akhirnya berhasil memaksaku untuk mengobati rindu yang sudah lima tahun menumpuk di dada. Dan aku? Biasa saja. Bahkan ketika langkahku sampai di halaman bangunan yang bagiku rindunya sudah membusuk.
Bangunan itu ialah rumah, yang sempat menjadi saksi pada saat alasan menangis paling hebat adalah ketika umi menyuruhku tidur dan tidak mengijinkanku bermain. Bangunan yang seharusnya tetap menjadi saksi aku tumbuh sampai sekarang di usia
Edisi 23 |Februari 2020
Cerpen
dua puluh. Dan bangunan yang lima tahun ini setengah mati aku hindari. Aku ingat sekali pernah dengan cepat ingin pulang sembari tersenyum sumringah, membayangkan saat itu abah dan umi tergopoh menyambutku di depan pintu dan aroma masakan yang sudah enam bulan ini libur masuk ke perutku karena kewajiban belajar di tanah rantau kala itu. “Ayo nak dipercepat semua hanya tinggal menunggu kamu”, ucap umi sambil menyentuh bahuku sebab aku masih berpaku pada pikiranku. Dan langkahku kian dalam memasuki rumah ini, samar-samar mulai terdengar ramai orang yang sedang membaca lantunan surat Yasin. Hatiku mulai bergetar dengan mata yang rasanya tak kalah panas karena terlalu kuat menahan air mata yang harus jatuh. Sekuat tenaga tidak kubiarkan berlinang memilih meninggikan ego, dan berusaha tidak peduli sama sekali. Namun tiba-tiba hening saat seseorang tergopoh-gopoh menghampiriku dengan mata merah bengkak dan tubuh yang kurasa semakin kurus dari terakhir kali aku melihat. “Maaf, maafkan kesalahanya. Jangan siksa dia kumohon, agar ajalnya dipermudah” kata seseorang tersebut dengan nada serak. “Tapi nanti dulu tadi apa katanya? Menyiksa? Bukankah segalanya begini sebab dia yang merusak lalu kenapa dia pula yang merasa tersiksa?” Batinku berontak. Mari berbicara tentang menyiksa, saat lima tahun lalu dimana rinduku masih sederhana ingin pulang dan makan masakan umi namun harus dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari bayangan.
29
“Hancur mbak hancur, sudah usai segalanya”, umi berkali-kali berkata, tanpa aku tau maksudnya. Lalu pandanganku beralih ke abah, bertanya dengan isyarat mengapa umi seperti ini. Lama, sampai akhirnya abah dengan pelan menyentuh pundak umi dan meminta untuk menyudahinya. Belum penuh tangan abah menyentuh pundaknya tiba-tiba umi berkata kepada abah dengan kata dan nada yang tak pernah kudengar sebelumnya. “Jangan menyentuhku dan anakku, kau yang menghancurkan segalanya. Lihatlah apa yang kau lakukan, lihatlah anakmu ini, tak berpikirkah engkau sebelum bertindak”. Keterkejutanku tidak sampai di situ kala sorak-sorai teriakan warga memenuhi halaman rumah. Dan tiba-tiba orang yang ku kenal sebagai guru abah sudah di sini dengan raut wajah yang sulit aku artikan, ia meminta abah untuk bersumpah atas nama Tuhan bahwa ia tidak pernah melakukan hal yang hina itu. Aku bahkan masih mencerna, ketika orangorang berduyun-duyun datang memenuhi halaman rumah. “Kita bantu abahmu nak, umi sudah salah menebak. Abahmu tidak bersalah dia hanya korban. Tidak pernah umi melihat dia mempermainkan sumpah, maka umi yakin abahmu benar”. Umi tiba-tiba berubah pikiran berbelok ingin membela abah. Dan aku bertanya-tanya kenapa. Umi menghela napas seperti sedang mengatur kata yang kiranya pas untuk diberi tahu kepadaku. “Abahmu terfitnah zina kala sedang menerima tamu seorang perempuan, entahlah bagaimana cerita aslinya sebab umi juga sempat
Edisi 23 |Februari 2020
30
Cerpen
percaya bahwa abahmu punya seorang yang lain,” ucap umi. Aku terdiam tak sanggup berkata. Keadaan di luar rumah sangat mengenaskan. Pot bunga yang umi rawat rusak, kaca jendela yang pecah dan teras yang penuh dengan tanah bercampur kotoran. “Dasar ustad gadungan,” ucap warga satu. “ngaku pinter agama tapi zina,” ucap warga lainya “ndue utek tapi rak dinggo, mikir!,” ucap warga lainnya lagi. Mereka saling menimpali satu sama lain. Aku sudah tidak lagi peduli siapa yang berkata demikian. Karena ada hal yang lebih aku pedulikan, adalah aku serta abah umiku yang diminta pergi oleh warga-warga ini. Bukan diminta tetapi diusir lebih tepatnya. Hei apa-apaan kalian! Rumah ini adalah rumah pemberian kakekku. Rumah masa kecil abah dan aku. Kalian tak ada hak mengusir kami. Aku hanya mampu mengatakan hal tersebut di dalam hati, terlalu takut memperkeruh suasana. Abah memilih mengalah meninggalkan semuanya sebab kulihat dari wajahnya sudah lelah karena percuma saja abah sudah dianggap salah maka segala kata bahkan sumpah hanya isapan jempol tanpa makna. Entah kekuatan darimana sebelum pergi keberanianku tiba-tiba memuncak dan berkata. “Aku bersumpah ini adalah fitnah, siapapun dia yang sudah memfitnah kudoakan ajalnya dipermudah ketika maafku dan kedua orang tuaku sudah sampai,” kataku sambil menatap seseorang yang kurasa sebagai biang kekacauan ini. “Nak ikhlaskan yang sudah terjadi yaaa. Karena kebenaranpun sudah terbukti.” Ucap abah sembari merangkul bahuku dan menyadarkanku dari bayangan lima tahun yang lalu.
Sungguh aku masih berat untuk melakukannya apalagi jika teringat orang yang memfitnah abah adalah pakdhe, kakak abah sendiri yang setelahnya ku tau karena atas dasar iri serta ingin merebut rumah yang kakek berikan padaku. Tetapi nuraniku juga memberontak. Tak tega melihat tangisan budhe yang memohon karena keadaan pakdhe yang masih mengambang antara hidup dan mati. Akhirnya aku hanya bisa mengangguk pertanda memaafkan. Lalu terdengar banyak helaan nafas lega dan innalillahi wa innailaihi rojiun pakdhe sudah tiada, setelah dua malam sulit meregang nyawa. Terdengar isakan lebih histeris dari budhe dan anak-anaknya. Lalu aku pergi memilih menyendiri merenungkan apakah aku sudah benar-benar bisa memafkan? Dan tiba-tiba aku didekap abah sembari abah berkata “kamu hebat nak! Abah bangga kamu mampu mengikhlaskan dan berdamai dengan semuanya,” kata abah dengan air matanya. Kami menangis berdua, mungkin sangat lama mengingat masa sulit selama lima tahun kemarin. Sampai umi memanggil kami mengatakan bahwa jenazah pakdhe akan segera dikebumikan. Dan di sinilah aku sekarang, di antara orang-orang yang berpakaian serba hitam, di antara orang-orang yang membawa bunga-bunga untuk taburan makam. Saat jenazah mulai di penuhi tanah, budhe kembali menghampiriku dan mengatakan terimakasih tanpa henti. Dan di situ aku merasa bahwa sudah semestinya aku berdamai dengan masa lalu, mengusaikan sumpah yang seharusnya memang sudah usai, dan tidak memupuk luka sampai menjadi busuk sampai berakahir dengan penyakit hati. Nauzubillah.n
Edisi 23 |Februari 2020
Puisi
Perempuan Pembunuh Malam Pukul 12 dini hari, waktu Indonesia bercinta Wanita jalang mulai menjajakan diri Laki-laki hidung belang mulai mencari harga yang tinggal hingga obralan harga diri Jalan yang biasanya macet kini menjadi sepi berganti padat arus lampiasan hasrat birahi Wanita itu sudah berdandan layaknya bidadari Dari remaja hingga paruh baya Nikmat bercinta sudah tak menjadi arti, materi dan tuntutan dunia yang paling berarti Ratusan laki-laki sudah singgah di tubuhnya Menghisap segala madu yang tersisa, kini kian habis dimakan usia. Malam semakin pekat, bekas hujan meninggal kan luka, kopi kopi sudah berganti miras, wajah kalem sudah menjadi beringas. Berahi sudah sudah meraja lela
31
Luka Negeriku Sengsara kau yang masih muda, Sekarat derita mununggu tetesan rahmatnya Masa mudamu menderita karna kemarau karna hujan tak menjanji pada bumi walau setangkup tangan Sengsara kau mati menderita tanah leluhurmu dimakan ulah tangan manusia, kemarau tak berkesudahan, tanah-tanah merekah, pohon-pohon lenyap hangus terbakar. Pagiku kini tak seindah dulu, embun pagi yang sejuk bergati asap abu, sesak peluh menemani fajar hingga senja. Kini tetesan air telah telah tiba, bukan tampak bahagia namun kau semakin terluka, karna bencana semakin merjalela. Kini Tuhan seolah menjadi kambing buta, tapi kau lupa ulah tak berbudimu pada tanah kelahiranmu.
Wanita jalang, kembali sembelum fajar subuh tiba, menanti hisab hingga terbitnya Rahmat dan taubat.
*M. Syamsul Maarif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Edisi 23 |Februari 2020
Walisongo. Jurusan ini dipilihnya bukan karena ia telah mahir tetapi karena bosan dengan Bahasa Arab. Pasalnya saat duduk di Madrasah Aliyah (MA), jurusan Anick adalah Bahasa Arab. Tidak seperti kebanyakan orang yang dapat dengan mudah mendapatkan ijin orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Anick harus meyakinkan mereka terlebih dulu.
Dok. Pribadi
Tekad dan Keyakinan Adalah Kunci “Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja”.
B
egitulah motto dari Wachidatun Ni’mah, wanita kelahiran Rembang, 23 Februari 1993 silam yang kini telah menjadi dosen luar biasa di Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Walisongo. Perjuangannya untuk mendapat gelar sarjana yang tidak mudah, membuat
“Orang kita punya Tuhan kok. Laa haula walaaquwwata illa billah,” begitulah kalimat yang diungkapkan Anick kepada orangtuanya, hingga akhirnya mereka luluh dan mengijinkannya mendaftar ke perguruan tinggi. Namun dengan syarat hanya satu kali pendaftaran dan di satu universitas saja.
alumnus S2 University of Canberra ini selalu percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan untuk siapapun yang ingin menuntut ilmu.
Selama kuliah ia bergelut dengan kerasnya perjuangan. Ia jarang sekali makan siang. Tidak adanya uang dan keinginan untuk tirakat menjadi alasannya. Jika memang benar-benar ingin makan maka Anick hanya makan nasi dengan kerupuk.
Sebelum menimba ilmu di negeri kanguru, Anick sapaan akrabnya telah lebih dulu menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Inggris di UIN
Kerasnya perjuangan tidak hanya ia rasakan saat duduk di bangku S1. Kuliah di luar negeri dengan beasiswa tak menjamin hidupnya tenang-tenang
Edisi 23 |Februari 2020
Sosok
saja. Peliknya kehidupan tetap melingkari dirinya, bahkan sebelum ia diterima di sana. Saat ditemui oleh Amanat Anick bercerita bahwa untuk mewujudkan mimpinya S2 di luar negeri, ia pernah meminjam uang temannya sebesar 3 juta rupiah untuk ikut les bahasa Inggris dan mendaftar International English Language Testing System (IELTS). Basah kuyup setelah pulang les karena berjalan kakipun pernah ia lalui. Pesan sang kiai menjadi kunci semangatnya. “Semua ini tentu tidak lepas dari doa kiai dan orangtua saya. Kiai saya selalu berpesan untuk mengamalkan 3 manajemen kesuksesan. Yakni management of time (waktu), management priority (prioritas), dan management taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah),” terang Anick. Awalnya, orang tuanya tidak menyetujui kuliah di luar negeri karena khawatir akan biaya. Pasalnya, beasiswa hanya akan cair setelah mahasiswa sudah berada di luar negeri. Namun karena dorongan berbagai pihak, orang tuanya rela menjual ladang sebesar 30 juta untuk mimpi sang putri tercinta. Sebanyak 20 juta ia habiskan
untuk tiket pesawat dan beberapa peralatan seperti koper, baju hangat dll. Sedangkan sisanya ia gunakan untuk uang saku saat di Australia. Namun uang sisa yang ia pegang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama seminggu. Minggu berikutnya ia harus pontang panting meminjam uang demi kelangsungan hidupnya. Keadaan ini diperparah dengan beasiswanya yang belum juga cair hingga 3 bulan lebih. Dalam posisi itu, Anick hanya bisa menangis dan tidak berani bercerita kepada orang tuanya. Saat itu, ia hanya makan nasi dengan lauk kentang, atau membeli tulang ayam yang dibanderol sembilan ribu rupiah/kg yang ia masak dengan cabai dan garam saja. Karena di Australia, harga makanan yang tidak sehat justru lebih mahal dibanding makanan sehat. Hingga keadaan itu membawanya pada tempat penjualan ikan untuk bekerja. Bukan kehidupan jika tidak ada pasang surut badai yang menghampiri. Setelah ia mampu melunasi hutang-hutangnya termasuk mengganti uang sebesar 30 Edisi 23 |Februari 2020
33
juta kepada ayahnya. Memasuki semester tiga, keuangannya kembali terganggu. Lagi-lagi karena beasiswa yang belum cair. Namun hasil tidak menghianati usaha, berkat uang simpanan dari hasil kerja ia dapat hidup. Tidak hanya itu dengan uang beasiswa yang ia sisihkan, kini ia memiliki peternakan bebek di rumahnya. Dan berhasil memberangkatkan umroh kedua orangtuanya sepulang kuliah S2 dari University of Canberra. Harus ada yang direlakan, begitulah kehidupan bekerja. Jika upacara wisuda adalah momen yang dinanti-nanti, Anick harus merelakan itu. Ia sempat bingung ketika mengahadapi pilihan mengikuti wisuda atau langsung pulang ke Indonesia untuk mengajar di kampusnya dulu. Namun, karena melihat manfaat ke depannya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia “Kalau graduation hanya dapat momen sekali. Tapi kalau pulang saya bisa langsung mengajar. Kalau enggak ikut graduation, nanti gampang foto pake toga saja,” ucapnya. n
Nafiatul Ulum
34
Esai
Masyarakat Konsumerisme “…Para konsumer kini mencari sesuatu yang personal dan menyenangkan pada objek-objek yang mereka beli. Akibatnya, objek harus bisa dimuati kualitas sensual; selain dapat dimengerti ia juga harus dapat ‘dirasakan’.” (Francois Burkhardt).
H
ari ini, ungkapan itu sepertinya pantas disematkan dalam diri manusia generasi abad 21. Sebuah dentum diskursus sedang didedahkan. Ada gempita, sepertinya, yang menyongsong nalar diskursus tersebut. Postmodernisme; sebuah risalah filosofis yang tak terpisahkan dalam tatanan sosiologis, melahirkan masyarakat konsumtif. Namun, pemaknaan masyarakat konsumtif bukan lagi dipahami sebagai kehidupan yang mengakumulasi benda atau barang material melainkan, halusinasi tentang citra diri dan makna simbolik yang, menyelinap di balik benda-benda konsumsi tersebut. Film bollywod berjudul Confessions of a Shopaholic, telah menggambarkan bagaimana budaya konsumerisme memorakporandakan manusia. Tokoh Rebecca Bloomwood menjadi bukti dari emanasi gaya hidup konsumerisme masyarakat kita yang, kemudian dijuluki sebagai manusia Shopaholic; suka berbelanja. Pada dasarnya, potret konsumerisme telah lahir sejak awal peradaban manusia seperti masa-masa kerajaan Mesir kuno, Babylonia kuno, dan zaman Romawi kuno. Yang masih menjadi pertanyaan, mayoritas manusia postmodern tidak menyadari tanda yang telah nampak dalam budaya konsumerisme. Manusia postmodern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun, konsumsi yang dilakukan bukan lagi dimaknai sebagai kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekadar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Lebih dari itu, budaya konsumerisme perlahan beranak pinak dalam saban generasi. Konsumerisme, dalam Alquran dikatakan sebagai bagian dari sikap israaf (QS. al-A‘raf: 31)
dan tabziir (QS. al-Isra’: 26-27). Israaf oleh Alquran digunakan untuk menunjukkan pengonsumsian sesuatu yang pada dasarnya halal, namun terlarang karena kadarnya yang berlebihan. Sedangkan tabziir diartikan sebagai sikap konsumtif yang melampaui batas secara mutlak terhadap segala sesuatu. Islam juga menggugat tradisi konsumerisme karena darinya, karakteristik masyarakat yang hedonis itu bermula. Terlepas dari pemaknaan akan sikap israaf dan tabziir, ingin penulis katakan bahwa konsumerisme itu tak ubahnya seperti ajang sayembara, yang di dalamnya terdapat manusia dengan hasrat tinggi;berlomba-lomba untuk memiliki sesuatu. Masih segar dalam ingatan penulis, bagaimana kemudian Jean Baudrillard menelanjangi konsumerisme dengan karya besar tentang masyarakat konsumsi. Lalu, Yasraf Amir Piliang mencoba untuk meretas konsumerisme lewat bukunya Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Semua itu adalah upaya mengonstruksi dan meleburkan nilainilai untuk menumbuhkan kesadaran bahwa, konsumerisme siap menerkam kita kapan saja dan di mana saja. Agaknya, budaya konsumerisme yang telah mengakar rumput ini, perlu untuk dijadikan perhatian. Akankah kita sebagai masyarakat postmodern mampu terhindar dari realitas semu konsumerisme atau, malah terjebak dalam infinitive tsukoyomi — kenyataan palsu — seperti yang dirancang oleh Uchiha Madara pada Perang Dunia Shinobi ke-4 dalam anime Naruto?
Edisi 23 |Februari 2020
Faiq Yamamah
di
Edisi 23 |Februari 2020