3 minute read

Laporan Utama

Next Article
Salam Redaksi

Salam Redaksi

Bisnis Kampus Lebih Utama

Saat ini, kampus lebih mengutamakan sektor bisnis daripada kelengkapan fasilitas akademik. Ada yang menilai kampus seperti perusahaan

Advertisement

Joko (bukan nama sebenarnya) tampak canggung saat memasuki Food Court di Kampus III. Usai memesan menu yang diinginkan, bukan mendapat makanan dan minuman pesanannya, ia malah diberi selembar nota oleh pedagang. “Bayar ke kasir dulu mas,” ujar Joko menirukan ucapan pedagang tersebut kepada Amanat, Kamis (16/01/2020).

Waktu itu, mahasiswa prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) memang baru pertama kali mengunjungi Food Court. Ia juga baru tahu, jika untuk makan di tempat tersebut harus membayar terlebih dahulu.

“Kurang nyaman saja dengan sistem seperti itu, harus bolak-balik dan memakan waktu yang

lama, belum antreannya. Jujur, saya sendiri lebih suka makan dulu baru bayar,” tuturnya.

Selain itu, mahasiswa asal Bojonegoro ini juga menilai harga menu yang ada di Food Court tergolong cukup tinggi. “Dari segi rasanya sih standar, tapi harganya cukup mahal untuk kantong mahasiwa UIN,” jelasnya.

Pandangan berbeda, diutarakan Nazilatul Setyoningsih. Mahasiswi prodi Ekonomi Islam (EI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) itu tak merasa terganggu dengan sistem baru yang ada di kantin kampus.

“Saya sendiri merasa nyaman di Food Court Kampus III,” akunya.

Menurutnya, kantin baru yang ada di Kampus III lebih modern dengan variasi menu yang cukup beragam. Mahasiswi asal Demak tersebut juga mengatakan rasa makanan di sana enak dan tidak merasa keberatan mengenai harga yang ada di Food Court Kampus III.

“Tempatnya kekinian, menunya juga bervariasi dan bisa buat kumpul-kumpul gitu,” katanya.

Food Court Kampus III sudah diresmikan pada akhir Maret 2019. Kantin ini memang tak hanya bergaya modern, namun juga menerapkan sistem ekonomi Islam, yakni bagi hasil. Meski terdapat delapan lapak pedagang, namun mereka tak diperbolehkan melakukan transaksi secara langsung dengan pembeli. Kampus telah menyiapkan dua kasir yang akan dijadikan pembayaran seluruh padagang yang ada di lokasi tersebut.

Selain itu, di Food Court tidak menerapkan sistem sewa lapak tahunan. Sebagai gantinya, pedagang yang ada di sana diharuskan menyetorkan keuntungan bersih yang diperoleh sebesar 13 persen setiap pekan ke Badan Layanan Umum (BLU).

Dulang lebih banyak keuntungan

Percobaan sistem baru dalam manajemen pengelolaan kantin di UIN Walisongo terbukti moncer. Staf Ahli Pusat Pengembangan Bisnis (PPB) UIN Walisongo, Atika Dyah Perwita mengungkapkan, saat ini omzet bisa mencapai Rp30 juta setiap pekan. Dari omzet tersebut, kampus bisa mendapatkan jatah keuntungan sebesar Rp4 juta.

“Omzet mingguan Rp30 juta, sehingga Food Court bisa memberi pemasukan buat UIN rata-rata per minggu Rp4 juta,” ungkapnya, Rabu (15/01/2020).

Jika dikalkulasi, dalam satu tahun sedikitnya kampus bisa meraup keuntungan se-

besar Rp192 juta hanya dari satu bangunan Food Court.

Wajar saja melihat banyaknya keuntungan yang didapat, saat ini kampus kembali membangun Food Court yang lokasinya berada di belakang Dekanat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) Kampus II.

Saat ditanya mengenai konsep kantin ke depan, Fahroza Arifian dari PPB mengaku belum tahu. Menurutnya, perkembangan pengelolaan dan sistem sepenuhnya kebijakan dari rektor.

“Belum tahu, pembangunan juga belum selesai sepenuhnya dan dari pimpinan juga belum menyerahkan nanti siapa yang akan mengelola, apakah pusat bisnis atau ke bagian lain,” imbuhnya.

Nasib kantin lama

Setelah berdirinya Food Court di Kampus III sampai saat ini belum ada dampak yang dirasakan oleh beberapa pedagang kantin di lingkungan UIN Walisongo.

“Kalaupun ada ya, kita ga pengen mikir-mikir kayak gitu, selalu berfikir untuk memperbaiki diri, kualitas, khususnya kecepatan melayani dan rasa masakan,” kata salah satu pedagang di kantin Kampus II yang enggan disebut namanya.

Meski begitu, pria yang masih berstatus mahasiswa pascasarjana UIN Walisongo ini menyayangkan sikap kampus yang lebih mengutamakan pembangunan kantin dari pada fasilitas akademik. Ia mencontohkan, saat ini Perpustakaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) masih digabung dengan Perpustakaan FITK.

“Idealnya kan kampus itu prioritas di bidang akademik, salah satu tugasnya bagaimana caranya meningkatkan fasilitas yang menunjang kegiatan akademik mahasiswa. Tapi kenapa akhir-akhir ini yang dibangun malah Food Court yang bergerak di bidang bisnis, sebenarnya UIN, Universitas atau perusahaan?,” sesalnya.

Menanggapi hal tersebut, kepala Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan, Priyono mengatakan, prioritas kampus saat ini membangun Food Court terlebih dahulu. Meski begitu, bukan berarti fasilitas akademik tidak diperhatikan oleh kampus. Ia menegaskan, semua harus ada strateginya.

“Tujuan dibangunnya Food Court itu kan mencari keuntungan, nah dari keuntungan tersebut baru bisa untuk mendanai yang lain, seperti perpustakaan dan fasilitas lainnya,” tutupnya.n

Omzet mingguan Rp30 juta, seh“ ingga Food Court bisa memberi pemasukan buat UIN rata-rata per minggu Rp4 juta

Atika Dyah Perwita

Staf Ahli Pusat Pengembangan Bisnis UIN Walisongo

Mohammad Hasib

This article is from: