3 minute read

Artikel

Next Article
Resensi Buku

Resensi Buku

Seiring berkembangnya teknologi dan digitalisasi, istilah disrupsi semakin populer akhir-akhir ini. Ya, disrupsi telah menimbulkan kegamangan luar biasa di kalangan masyarakat luas. Jika dilihat dari definisinya, disrupsi seringkali dimaknai sebagai sebuah perubahan yang terjadi pada hal-hal yang mendasar. Atas dasar itu, seolah masyarakat dituntut untuk melakukan perubahan jika, tak ingin ‘mati’ dalam roda perputaran zaman.

Laju disrupsi pun semakin kencang dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan data pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara, yang cukup signifikan. Menurut Google dan Temasek dalam laporan e-economy Asia Tenggara, nilai ekonomi digital ASEAN 2018 sudah mencapai US$72 miliar atau lebih dari Rp1.048 triliun. Bahkan, nilai ekonomi digital Asia Tenggara pada 2025 diprediksi mencapai US$240 miliar, lebih tinggi dari yang perkiraan semula US$200 miliar.

Advertisement

Dampak dari era disrupsi pun kiranya menyasar pada sistem informasi dalam dunia Jurnalisme. Filterisasi yang seharusnya menjadi tempat pembendung justru, tak lagi mampu menahan derasnya laju arus informasi yang mengalir. Hingga akhirnya, sering ditemui berita hoaks yang menjalar dikalangan masyarakat. Informasi yang mengalir begitu cepat, namun keakuratan dan kebenaran belum tentu didapat. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (kominfo) selama kurun waktu dari pertengahan tahun 2018, jumlah konten hoaks meningkat. Pada bulan Agustus 2018 misalnya, hanya ada 25 kasus berita hoaks. Lalu, meningkat tajam kala memasuki tahun politik yang mencapai 175 kasus di bulan Januari 2019. Lonjakan itu terus meningkat di bulan Februari yang mencapai 353 kasus. Dan akhirnya berada di angka 453 pada bulan Maret 2019.

Sulit mencari kebenaran

Membanjirnya informasi di lautan dunia maya, membuat tak sedikit orang kelabakan dan mempertanyakan ulang kebe-

Disrupsi dan Masa Depan Jurnalisme

narannya. Apalagi, kebenaran merupakan hal terpenting dan menjadi elemen pertama dalam panggung jurnalisme. Pentingnya membicarakan kebenaran ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Mereka menempatkan kebenaran sebagai prinsip pertama dalam jurnalisme. Sebab, kebenaran di sini bukan merujuk kepada kebenaran filsafat melainkan kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat juga belum mampu membedakan antara berita yang memiliki nilai kebenaran berita yang belum tentu kebenarannya. Akibatnya, masyarakat seringkali terjebak dalam realitas semu yang berujung pada tindakan saling menghujat. Yang harus dilakukan masyarakat adalah belajar bersikap skeptis;ragu. Mereka boleh saja membaca informasi namun, harus mempunyai rasa keraguan sehingga, memiliki naluri untuk melakukan check and recheck. Sikap keraguan inilah yang akan mengembalikan masyarakat menjadi manusia bernalar dengan dasar yang jelas. Hal ini pula yang telah diingatkan jauh-jauh hari oleh Rene Descartes, seorang filsuf mod-

Data Kominfo pada “ bulan Agustus 2018 misalnya, hanya ada 25 kasus berita hoaks. Lalu, meningkat tajam kala memasuki tahun politik yang mencapai 175 kasus di bulan Januari 2019. Lonjakan itu terus meningkat di bulan Februari yang mencapai 353 kasus. Dan akhirnya berada di angka 453 pada bulan Maret 2019.

ern yang menekankan kita untuk berpikir lebih skeptis, “Jika aku berpikir meragu maka aku ada”.

Clickbait dan tantangan jurnalisme

Seiring menjamurnya media online, turut pula mendorong tingginya fenomena clickbait. Ankesh Anand, dari Indian Institute of Technology, dalam tulisannya yang berjudul We used Neural Networks to Detect Clickbaits: You won’t believe what happened Next! mengatakan bahwa clickbait merupakan istilah untuk judul berita yang dibuat agar pembaca atau warganet digiring masuk ke sebuah situs web demi mendulang keuntungan rating suatu web. Bukan itu saja, bahasa yang digunakan pun cenderung bersifat provokatif. Chen, Conroy, dan Rubin (2015), mengatakan bahwa karakteristik clickbait di antaranya tidak ada penyelesaian kata, menggunakan kata langsung/ajakan, kata provokatif, kata hiperbola/bombastis, bahasa menegangkan, bahasa ambigu, serta kata ganti yang cenderung tidak terselesaikan. Lalu, dirangkai sedemikian rupa dan dibuat bombastis dengan dalih bahwa, seolah berita tersebut mempunyai nilai kebenaran absolut. Tentu saja informasi yang tidak berlandaskan pada akurasi data membuat masyarakat panik. Padahal, esensi kegiatan jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah memberikan informasi bagi warga negara untuk bebas, serta dapat mengatur dirinya sendiri dengan sejahtera. Pernyataan ini menegaskan bahwa fenomena clickbait memudarkan esensi jurnalisme yang, tujuan utamanya adalah hanya menampilkan berita sensasional tanpa mementingkan nilai kebenaran. Menarik untuk dinantikan bagaimana kemudian strategi yang akan digunakan jurnalisme dalam menghadapi tantangan yang semakin garang ini? n

M. Bakhtiar Luthfi

*Penulis adalah mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam 2018

This article is from: