3 minute read

Sosok

Next Article
Cerpen

Cerpen

Dok. Pribadi

Tekad dan Keyakinan Adalah Kunci

Advertisement

“Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja”.

Begitulah motto dari Wachidatun Ni’mah, wanita kelahiran Rembang, 23 Februari 1993 silam yang kini telah menjadi dosen luar biasa di Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Walisongo. Perjuangannya untuk mendapat gelar sarjana yang tidak mudah, membuat Walisongo. Jurusan ini dipilihnya bukan karena ia telah mahir tetapi karena bosan dengan Bahasa Arab. Pasalnya saat duduk di Madrasah Aliyah (MA), jurusan Anick adalah Bahasa Arab.

Tidak seperti kebanyakan orang yang dapat dengan mudah mendapatkan ijin orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Anick harus meyakinkan mereka terlebih dulu. “Orang kita punya Tuhan kok. Laa haula walaaquwwata illa billah,” begitulah kalimat yang diungkapkan Anick kepada orangtuanya, hingga akhirnya mereka luluh dan mengijinkannya mendaftar ke perguruan tinggi. Namun dengan syarat hanya satu kali pendaftaran dan di satu universitas saja. Selama kuliah ia bergelut dengan kerasnya perjuangan. Ia jarang sekali makan siang. Tidak adanya uang dan keinginan untuk tirakat menjadi alasannya. Jika memang benar-benar ingin makan maka Anick hanya makan nasi dengan kerupuk. Kerasnya perjuangan tidak hanya ia rasakan saat duduk di bangku S1. Kuliah di luar negeri dengan beasiswa tak menjamin hidupnya tenang-tenang

alumnus S2 University of Canberra ini selalu percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan untuk siapapun yang ingin menuntut ilmu.

Sebelum menimba ilmu di negeri kanguru, Anick sapaan akrabnya telah lebih dulu menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Inggris di UIN

saja. Peliknya kehidupan tetap melingkari dirinya, bahkan sebelum ia diterima di sana.

Saat ditemui oleh Amanat Anick bercerita bahwa untuk mewujudkan mimpinya S2 di luar negeri, ia pernah meminjam uang temannya sebesar 3 juta rupiah untuk ikut les bahasa Inggris dan mendaftar International English Language Testing System (IELTS). Basah kuyup setelah pulang les karena berjalan kakipun pernah ia lalui. Pesan sang kiai menjadi kunci semangatnya. “Semua ini tentu tidak lepas dari doa kiai dan orangtua saya. Kiai saya selalu berpesan untuk mengamalkan 3 manajemen kesuksesan. Yakni management of time (waktu), management priority (prioritas), dan management taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah),” terang Anick. Awalnya, orang tuanya tidak menyetujui kuliah di luar negeri karena khawatir akan biaya. Pasalnya, beasiswa hanya akan cair setelah mahasiswa sudah berada di luar negeri. Namun karena dorongan berbagai pihak, orang tuanya rela menjual ladang sebesar 30 juta untuk mimpi sang putri tercinta. Sebanyak 20 juta ia habiskan untuk tiket pesawat dan beberapa peralatan seperti koper, baju hangat dll. Sedangkan sisanya ia gunakan untuk uang saku saat di Australia. Namun uang sisa yang ia pegang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama seminggu. Minggu berikutnya ia harus pontang panting meminjam uang demi kelangsungan hidupnya. Keadaan ini diperparah dengan beasiswanya yang belum juga cair hingga 3 bulan lebih. Dalam posisi itu, Anick hanya bisa menangis dan tidak berani bercerita kepada orang tuanya. Saat itu, ia hanya makan nasi dengan lauk kentang, atau membeli tulang ayam yang dibanderol sembilan ribu rupiah/kg yang ia masak dengan cabai dan garam saja. Karena di Australia, harga makanan yang tidak sehat justru lebih mahal dibanding makanan sehat.

Hingga keadaan itu membawanya pada tempat penjualan ikan untuk bekerja. Bukan kehidupan jika tidak ada pasang surut badai yang menghampiri. Setelah ia mampu melunasi hutang-hutangnya termasuk mengganti uang sebesar 30 juta kepada ayahnya. Memasuki semester tiga, keuangannya kembali terganggu. Lagi-lagi karena beasiswa yang belum cair. Namun hasil tidak menghianati usaha, berkat uang simpanan dari hasil kerja ia dapat hidup. Tidak hanya itu dengan uang beasiswa yang ia sisihkan, kini ia memiliki peternakan bebek di rumahnya. Dan berhasil memberangkatkan umroh kedua orangtuanya sepulang kuliah S2 dari University of Canberra.

Harus ada yang direlakan, begitulah kehidupan bekerja. Jika upacara wisuda adalah momen yang dinanti-nanti, Anick harus merelakan itu. Ia sempat bingung ketika mengahadapi pilihan mengikuti wisuda atau langsung pulang ke Indonesia untuk mengajar di kampusnya dulu. Namun, karena melihat manfaat ke depannya ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia “Kalau graduation hanya dapat momen sekali. Tapi kalau pulang saya bisa langsung mengajar. Kalau enggak ikut graduation, nanti gampang foto pake toga saja,” ucapnya. n

Nafiatul Ulum

This article is from: