Walisongo. Jurusan ini dipilihnya bukan karena ia telah mahir tetapi karena bosan dengan Bahasa Arab. Pasalnya saat duduk di Madrasah Aliyah (MA), jurusan Anick adalah Bahasa Arab. Tidak seperti kebanyakan orang yang dapat dengan mudah mendapatkan ijin orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Anick harus meyakinkan mereka terlebih dulu.
Dok. Pribadi
Tekad dan Keyakinan Adalah Kunci “Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja”.
B
egitulah motto dari Wachidatun Ni’mah, wanita kelahiran Rembang, 23 Februari 1993 silam yang kini telah menjadi dosen luar biasa di Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Walisongo. Perjuangannya untuk mendapat gelar sarjana yang tidak mudah, membuat
“Orang kita punya Tuhan kok. Laa haula walaaquwwata illa billah,” begitulah kalimat yang diungkapkan Anick kepada orangtuanya, hingga akhirnya mereka luluh dan mengijinkannya mendaftar ke perguruan tinggi. Namun dengan syarat hanya satu kali pendaftaran dan di satu universitas saja.
alumnus S2 University of Canberra ini selalu percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan untuk siapapun yang ingin menuntut ilmu.
Selama kuliah ia bergelut dengan kerasnya perjuangan. Ia jarang sekali makan siang. Tidak adanya uang dan keinginan untuk tirakat menjadi alasannya. Jika memang benar-benar ingin makan maka Anick hanya makan nasi dengan kerupuk.
Sebelum menimba ilmu di negeri kanguru, Anick sapaan akrabnya telah lebih dulu menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Inggris di UIN
Kerasnya perjuangan tidak hanya ia rasakan saat duduk di bangku S1. Kuliah di luar negeri dengan beasiswa tak menjamin hidupnya tenang-tenang
Edisi 23 |Februari 2020