2 minute read

Opini

Next Article
Esai

Esai

Ketika Pengguna Medsos Tak Lagi Bijak

Berdasarkan laporan finansial Twitter di kuartal ke-3 tahun 2019 pada Oktober lalu, Indonesia diklaim menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna aktif harian Twitter paling besar di dunia. (Kompas, 30/10/2019).

Advertisement

Hal itu disebabkan adanya kecenderungan penggguna Twitter di Indonesia yang lebih atraktif dan bersemangat dalam menuliskan cuitan. Tidak jarang, jika hasil obrolan di lini masa menjadi trending topik atau topik yang paling banyak dibicarakan.

Trending topik yang merupakan hasil perang tagar oleh mesin atau kelompok yang terorganisir di media sosial (medsos) khususnya Twitter, telah menimbulkan kekhawatiran akan pihak-pihak tertentu yang mendominasi ruang publik di Indonesia. Ruang publik yang awalnya sehat pun, perlahan terkontaminasi oleh konten-konten rekayasa media sosial (baca: Twitter).

Yang terjadi selanjutnya, trending topik disulap menjadi salah satu ukuran popularitas. Seseorang tidak perlu tampil di media massa untuk menjadi terkenal. Melalui media sosial mereka bisa menjadi sosok yang terkenal, tanpa harus memasuki media massa terlebih dahulu. Hal ini berbanding terbalik kala berada di 2-3 dekade lalu di mana, parameter seseorang terkenal adalah saat ia muncul di media massa; cetak maupun elektronik.

Memang tidak salah, ketika ada netizen yang memanfaatkan Twitter untuk tujuan popularitas. Namun, adanya kebebasan berekspresi yang terbangun di media sosial seperti Twitter inilah yang kemudian memunculkan masalah baru. Di mana, kebanyakan jika ada topik tertentu yang tidak disukai oleh netizen maka tanpa bisa dihalangi, mereka pun ramai-ramai mem-bully orang-orang yang terlibat dalam topik tersebut.

Bahkan, tidak jarang netizen yang kreatif lantas membuat meme atau gambar lucu orang-orang tertentu sebagai bahan tertawaan. Sebaliknya, jika topik tersebut disukai maka para netizen ramai-ramai mendukung dan menjadikannya sebagai trending topik yang positif.

Mengkaji fenomena ini, dapat dilihat bahwa penggunaan kode tagar atau hashtag sebagai salah satu penanda

dari fitur Twitter, ikut mempermudah sebuah topik untuk dibicarakan. Sebenarnya, penggunaan tanda tagar (hashtag) di Twitter ini, bertujuan untuk memahamkan orang lain tentang topik yang dimaksudkan oleh pengguna hashtag.

Lalu, untuk meningkatkan intensitas tentang topik yang dimaksud, maka kemudian pengguna lain ikut meretweet dan membuat hashtag yang sama.

Hanya dengan meletakkan tagar atau hashtag di bio, sebuah akun atau informasi akan lebih mudah ditemukan oleh orang-orang yang mengikuti dan mencari tagar yang bersangkutan.

Hari ini pun, isu yang menjadi trending topik justru membuat masyarakat pengguna Twitter dengan cepat terpengaruh, baik sekedar ikut berkomentar, meretweet, atau membuat tweet baru dengan hashtag dan isu topik yang sama.

Seperti halnya yang terjadi pada tagar #UninstallTokopedia, #TangkapSukmawati, #KamiBersamaRasulullah, #KamiBersamaGusMuwafiq dan berbagai tagar lain yang membuat pengguna Twitter cepat terpengaruh.

Sangat disayangkan ketika masyarakat dengan mudah menggunakan perang tagar sebagai ‘alat’ untuk membela dan melindungi, yang berujung pada kebencian. Jika pola semacam ini terus berlanjut, bagaimana nasib ruang publik di masa depan?

Media sosial sebagai ruang publik

Media sosial bisa digolongkan sebagai ruang publik yang digunakan manusia untuk melakukan berbagai interaksi komunikatif. Konsep ini, sejalan dengan pemikiran Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman pengikut Mazhab Frankfrut yang lebih dikenal sebagai mazhab teori kritis.

Menurutnya, Facebook, Twiter, blog, dan berbagai macam platform media sosial lain, telah menjadi ruang publik populer yang dipakai masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas komunikasi. Komunikasi yang terbangun di media sosial pun bisa beragam bentuk, maksud, dan tujuannya.

Ruang publik dalam uraian Habermas sendiri merujuk pada realitas kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk bertukar pikiran, berdiskusi serta membangun opini publik secara bersama.

Meskipun berperan sebagai ruang publik, tidak seharusnya media sosial digunakan sebagai ajang untuk saling menyindir, mengejek, apalagi menghasut. Menggunakan secara bijak merupakan solusi yang efektif digunakan saat ini. n

Ramadhani Sri Wahyuni

*Penulis adalah mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam 2018

This article is from: