Teropong Kota
FEBRUARI 2011
Lestari
Wayang Potehi Berkat Lima Merpati
Boneka itu terbuat dari ukiran kayu dan kain kantung. membentuk rupa-rupa tokoh dan kostum khas negeri China. Dalam panggung pementasan, bergerak-gerak sesuai alur kisah sang dalang. Cerita yang dimainkan mengandung falsafah kehidupan, tentang kebaikan dan keburukan. Inilah sebuah kesenian peninggalan Hokian, Wayang Potehi.
Sang Dalang : Pengabdian Mujiono terhadap warisan budaya leluhurnya selama tiga dasawarsa, berbuah manis bagi kehidupan pribadinya.
Kostum yang dikenakan wayang melambangkan kostum kerajaan China. Dalang itu memainkan beberapa karakter, mulai dari panglima, seekor babi, sampai seorang wanita. Semua mahir dilakukannya. Sang Dalang Tak menyangka bahwa kesenian wayang dari China, ternyata orang pribumi lah dalangnya. Seorang pria berusia 50 tahun bernama Mujiono. Dedikasinya selama 30 tahun untuk Wayang Potehi tidak sia-sia, jam terbang yang sudah mencapai seluruh Indonesia memacunya untuk semakin berkembang. Berawal dari masa kecil Mujiono, yang kebetulan rumahnya tepat berada di depan klenteng. Ia tertarik un-
tuk menggeluti Wayang Potehi, karena sering melihat dan mencerna isi ceritanya. “Ceritanya mengandung falsafah kehidupan, tentang kebaikan dan keburukan,� ujarnya. Dan seketika itu, sambil belajar, terjunlah ia sebagai dalang Wayang Potehi. Dulu, Wayang Potehi dipentaskan untuk ritual. Orang China percaya bahwa dengan mementaskan wayang Potehi bisa mendatangkan hoki dan membuang sial. Konon, jika tidak diadakan ritual, pementasan Wayang Potehi akan gagal. Pernah suatu ketika seorang dalang terluka tangannya terkena golok yang seolah-olah sengaja melukai tangan dalang itu. Seiring berjalannya waktu, Potehi dipentaskan untuk hiburan. Di
Surabaya, Wayang potehi tetap menunjukan eksistensinya berkat Lima Merpati. Menjelang perayaan Imlek, kelompok ini banyak diundang ke kota-kota lain untuk mementaskan Wayang Potehi. Lima Merpati adalah sebuah komunitas satusatunya di Surabaya yang melestarikan pementasan Wayang Potehi. Lima yang berarti jumlah anggotanya, dan merpati yang punya kiasan tak pernah ingkar janji. “Harapan saya agar wayang potehi tetap eksis, jangan sampai musnah. Karena bagaimanapun juga potehi ini juga budaya yang jangan sampai hilang, harus kita lestarikan,� pesan Mujiono, Sang Dalang. N: Ayu Kartika, Willy/ F: Ramon )
W
ayang Potehi secara rutin dimainkan di klenteng tua di sudut kota, tak jauh dari KyaKya Kembang Jepun. Lokasinya tepat di Jalan Dukuh. Dari luar, klenteg itu tampak usang dan tak terurus. Warna merah dan kuning yang mendominasi Klenteng Dukuh terlihat menghitam. Mulai rapuh dimakan usia. Kepulan asap lalu lalang kendaraan tiap harinya, menambah usang klenteng itu. Ketika mulai memasuki lokasi ini, segerombolan orang berusia senja sedang duduk-duduk di teras klenteng. Mereka seperti sudah akrab dengan tempat itu. Saat mulai memasuki klenteng, tercium aroma dupa yang menyengat hidung. Kondisinya gelap, hanya diterangi lilin-lilin besar berwarna merah dengan cahaya kuning api. Tiang-tiang penyangga klenteng dilingkari naga berwarna hijau, terlihat masih kokoh. Namun, ada hal menarik di dalam klenteng itu. Sebuah kesenian yang tak banyak orang tahu. Kesenian wayang yang berasal dari negeri panda, dari sebuah provinsi bernama Hokian. Wayang yanga terbuat dari ukiran kayu dan kain kantung yang disebut Wayang Potehi. Hampir setiap hari Wayang Potehi dimainkan, sesuai jadwal yang ditentukan. Meski tidak banyak penonton, pementasan Wayang Potehi tetap digelar. Sepotong-sepotong cerita disuguhkan dengan durasi dua jam. Biasanya cerita yang dimainkan berkaitan dengan kerajaan atau sejarah negeri China. Masing-masing cerita bisa selesai dalam hitungan bulan. Di Klenteng Dukuh, panggung pementasan Wayang Potehi berbentuk kotak seperti panggung boneka tangan, dengan ornamen-ornamen khas Tiongkok. Terlihat seorang dalang berdarah Jawa memainkan wayang itu dengan tangannya. Boneka-boneka wayang itu seolah hidup, apalagi ditambah lagulagu dan permainan alat musik musik yang sangat khas.
Resensi
FEBRUARI 2011
Judul buku Penulis Penerbit Terbit Harga
: Ranah 3 Warna : Ahmad Fuadi : Gramedia : 23 Januari 2011 : Rp. 38,000
Ampuhnya Man Jadda Wa Jadda
A
lif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Apa impiannya ? Sangat tinggi. Ia ingin belajar teknologi tinggi di kota Bandung seperti Prof. BJ Habibie, sang mantan presiden ketiga di negeri ini. Bahkan ia ingin merantau sampai ke benua Amerika.
mulai bertanya-tanya. Sampai kapan dia harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini. Hampir saja dia menyerah. Ru- p a n y a
Menggugah tekad dan inspiratif. Ya, Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa. Ya, Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar. Ditulis oleh Ahmad Fuadi, seorang mantan wartawan Tempo dan VOA. Setelah sukses menulis buku pertamanya yang berjudul Negeri 5 Menara, kini penerima delapan beasiswa luar negeri dan pencinta fotografi ini kembali menulis buku trilogi yang memilih kalimat man jadda wajada sebagai pesan dari bukunya.
Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dirinya mampu lulus UMPTN. Ia sadar, ada satu hal penting yang tidak ia miliki. Ijazah SMA. Ya, bagaimana mungkin mengejar semua citacita tinggi tersebut tanpa ijazah. Terinspirasi dari semangat tim dinamit Denmark, dia mencoba mendobrak rintangan berat. Dia berhasil lulus UMPTN dan mendapat kursi disalah satu perguruan tinggi di bandung yaitu, UNPAD dan mengambil jurusan HI (Hubungan Internasional). Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah segera menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan
yaitu “man shabara zhafira”. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia akhirnya bertekad untuk menyongsong badai hidup satu persatu.
“mantra” man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidupnya. Alif teringat “mantra” kedua yang diajarkan di Pondok Madani,
Ahmad Fuadi pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway dan University of London. Bahkan ia meniatkan sebagian royalti dari trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara. Sebuah yayasan sosial yang berfungsi untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan. (N: Rama)
Event Di Balik Reportase Kriminal
S
etelah sukses menggelar diskusi “Mengejar Wedhus Gembel” dan “Media di Tengah Tol”, For Pro (Forum Progresif) AWS kembali mewarnai kampus dengan diskusi bertajuk “The Secret Files”. Diskusi yang digelar Rabu (26/01) ini menghadirkan Noor Arief, wartawan kriminal dan Asisten Redaktur Pelaksana koran Memorandum. Ia merupakan salah satu alumni Stikosa-AWS yang bersedia menyumbangkan ilmu dan waktunya untuk memberi sedikit pengetahuan serta pengalamannya pada mahasiswa.
FEBRUARI 2011 juga menjelaskan berbagai fenomena dan kesulitan selama mencari berita kriminal. Ia harus mengorek-korek sisi kejelekan seseorang untuk dipublikasikan kepada khalayak umum. “Awal-awalnya nggak tega,“ akunya. Ia pun tidak doyan makan karena selalu melihat kengerian-kengerian, seperti orang tenggelam atau darah berceceran. Namun sekarang, Arief mengaku telah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Menurut
Zurqoni,
Koordinator
For Pro AWS, diskusi ini digelar sebagai pemicu dan pengobar semangat agar semua mahasiswa Stikosa-AWS selalu aktif dan berkembang maju. “Diskusi ini digelar sebagai rangkaian event For Pro AWS yang sudah menjadi agenda bulanan, minimal 1 bulan sekali,” ujarnya. Ia menambahkan, diskusi ini juga bertujuan mendekatkan alumni Stikosa-AWS dengan mahasiswa yang masih berstudi di kampus ini. (N: Isnaini Kurnia/ F:Herman D. )
Dalam diskusi itu, Arief menjelaskan cara mengoptimalkan reportase berita kriminal yang penuh resiko dan tantangan. Menurutnya, kriminal yang ada di masyarakat cenderung cepat berubah dan penuh dengan inovasi serta trik. “Karena semakin canggihnya alat yang digunakan dalam melakukan tindak kriminalitas, seorang kriminal bisa berinovasi dengan lebih matang,” katanya. Laki-laki yang telah menjadi wartawan kriminal selama 12 tahun ini
Tangkap Bebek, Bersihkan Korupsi
D
anau seluas sekitar 20 meter persegi di Stikosa-AWS, pada Kamis (27/01) pukul 13.00, disulap para mahasiswa sebagai tempat perlombaaan yang cukup meriah. Sejumlah 15 mahasiswa peserta lomba, turun ke danau untuk menangkap bebek. Lomba yang diadakan oleh For Pro AWS itu memang mengusung tema “bebek” (bersih-bersih korupsi). Uniknya, bebek yang ditangkap berkalungkan tulisan “Gayus”. Lomba itu diadakan sebagai salah satu wujud dukungan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. “Contohnya Gayus, meskipun sudah ditangkap dan dimasukkan ke dalam sel, dia masih bisa plesir-an,” tutur Abu Darda, penanggungjawab kegiatan. Seperti prinsip yang digunakan dalam lomba itu, “bebek” bukan hanya
singkatan dari “bersih-bersih korupsi”, tetapi juga diperumpakan sebagai “Gayus”. Aturan mainnya, peserta harus menangkap bebek sambil ditutup matanya. Setelah itu, bebek dibakar dan kemudian dimakan. “Hal itu sebagai simbolisasi untuk mengupas tuntas korupsi di Indonesia, yang menjadi wacana dimulai dan dibangun oleh mahasiswa,” tutur Abu. Perlombaan yang berhadiahkan dua buah handphone itu dimanfaatkan mahasiswa sebagai ajang meramaikan kam-
pus. Salah satu pemenang lomba, Ririk Panca Febriana, mengaku tidak menyangka dirinya mendapat hadiah handphone. “Seru banget acaranya, sampai-sampai dapat lumayan banyak luka baik di tangan maupun di kaki. Saya hanya berniat meramaikan acara, tidak menyangka menjadi pemenang,. Mumpung handphone CDMA lagi rusak,” papar perempuan berjilbab itu. Ia pun berterimakasih kepada For Pro AWS yang telah membuat Stikosa-AWS dikenal banyak orang. (N: Isnaini Kurnia/ F:Helmy Y. )
Tips
FEBRUARI 2011
Hidup Seimbang Agar Gemilang
I
ngin aktif berorganisasi tapi jadwal kuliah penuh, belum lagi antrean tugas dari dosen. Membuat kita berpikir dua kali untuk memilih mana lebih diprioritaskan. Kita pasti ingin kedua kegiatan tersebut bisa berjalan seimbang. Ada beberapa tips yang mungkin bisa dijadikan solusi mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah cara sederhana yang biasa dilakukan M.S. Hadiarsa, yakni membuat mind and mapping (peta pikiran) untuk setiap kegiatan yang akan dilakukannya. Ternyata, kebiasaan ini sudah ia lakukan sejak SMP (Sekolah Menengah Pertama). Mapping yang disusun, digunakannya untuk mempermudah menghafal mata pelajarannya. “Waktu SMP dulu aktivitas saya sekolah sama ekstrakurikuler,” tutur lakilaki yang akrab disapa Arsa ini. Bahkan sampai kuliah pun, mahasiswa yang aktif beroganisasi di teater Lingkar, Kopi, dan PRC ini masih membuat peta pikiran yang digunakannya untuk menjadwal kegiatannya selama sebulan. “Dengan metode ini kita dapat melihat visualisasi karya pemetaan pemikiran kita,” ulasnya. Berbeda dengan Norma Anggara, agar semua kegiatan lebih terjadwal, ia membuat list dalam bentuk agenda. Biasanya, ia mengagendakan kegiatannya
selama seminggu. “Jadi saya selalu membuat agenda jadwal kegiatan itu selama seminggu. Kalau sudah selesai melaksanakan kegiatan itu baru saya coret,” ungkap perempuan yang sering dipanggil Inunk ini. Norma juga membuat daftar kegiatan dalam agendanya sejak SMP. “Saat itu saya sadar kegiatan setumpuk dan susah untuk mengingat semua jadwal,” akunya. Selain bermanfaat menata waktu dan mengingat kegiatan yang harus dilakukan, Norma menambahkan daftar agenda itu juga untuk mencatat target dan visi misi hidup. Nampaknya, bagi kedua mahasiswa tersebut, baik mapping dan agenda ini berguna membantu dan mempermudah untuk mengingat aktivitas dan tugas yang harus mereka rampungkan. Nah, jika tidak ingin jam kuliah, kerja, dan organisasi Anda kacau balau, mungkin membuat mapping atau menyusun agenda dapat membantu menyelesaikan permasalahan Anda dalam membuat jadwal dari prioritas ke minoritas. (N: Aulia)
Norma Anggara
Arsa Hadiarsa
Norma Anggara
Profil
FEBRUARI 2011
Gembul Jadi Presiden