No 30
Gelisah Menuju Dewasa ULTIMAGZ Ma ga zi n e
No 30
M arch-Ap r i l
I ssu e
C over S t or y
202 2
p. 14
Putus Rantai "Generational Trauma", Cermin Keluarga yang Salah I n fo I ndones ia
p. 2 0
Usaha Anak Muda dalam Pemutusan Mata Rantai Generasi Sandwich I n fo Ka m pu s
p. 24
Kekerasan Verbal di Kampus: Kuliah Daring Tidak Menjadi Pembatas S o sok Ek s t e r n al
p. 3 2
Inner Child, Kenangan dari Masa Kecil O p i ni I nt ern al
p. 3 6
Mahasiswa dan Kekhawatiran Tentang Masa Depan Eve nt
p. 5 4
Kenal Lebih Dekat dengan Highly Sensitive Person
ULTIMAGZ
2
INFO KAMPUS
SECTION:
COVER DESIGN Daniella Herren
ALAMAT REDAKSI DAN PERUSAHAAN Gedung Universitas Multimedia Nusantara, Ruang B0613 Jalan Scientia Boulevard Gading Serpong, Tangerang, Banten redaksi.ultimagz@gmail.com www.ultimagz.com @ultimagz
PENERBIT
No 30
ULTIMAGZ
4
SECTION:
EDITOR'S NOTE
ULTI MAG Z
Issue N o . 30
EDITOR'S NOTE
Andia Christy Illustrator Aqeela Ara Fayazza Amanda Kristie H. Carolyn Nathasa D. Anathacia Margaretha Pengawas Cheryl Natalia Angelica Jienarta Ninok Leksono Christabella Abigail Daniella Elizabeth H. Graciella Olivia W. Ferdy Setiawan Dewan Pembina Josephine Christina Jesslyn Samiaji Bintang N. Louis Brighton P. muda, idup adalah masa Karen danPhalosa masa muda Veronika Kaban Marina Katarina Venessia Selma B. adalah kebahagiaan.” Michael Ludovico Dewan Penasihat Reynaldy Michael Y. sebagai Kalimat itu hadir WEB DEVELOPER penutup yang Ignatius Haryanto Rizky Azzahra R. menggetarkan hati penonton film “Kampus Biru” Sherly Julia H. Bonifasius Ariesto A.F EDITORIAL pada 1976.Stephanie Amelia W. Sama seperti yangAlfitria tercermin Nefi P. dalam Vanessa Anabelle H. Fernando Khorasani Pemimpin Umum film, usia mahasiswa—atau masa muda—adalah Lifosmin Simon Roberto Sugiharto Fotografer ‘esensi’ hidup. Periode bisa menggunakan Mahdi Husein P. titel Charles Putra Vanessa Angelica Wakil Pemimpin orang dewasa, tetapi masih bisa pula bermainChiquita Aurellia T. Umum Margaretha Netha tanpa main dan eksperimen DISTRIBUTION sepenuhnya & Thefanny Rafael Amory Joseph MARKETING
BOARD
Dewasa Bersama, Gelisah Bersama, Hadapi Bersama
H
“Apakah aku bisa?” “Apakah aku pantas?” “Apakah aku siap?” Terkadang kalimat-kalimat itu berputar-putar di dalam benak hingga lama-lama menjadi kalut. Sayangnya, roda waktu tetap berputar dan tidak tahu ampun. Dalam edisi ULTIMAGZ kali ini, kami telah merangkum kisah-kisah yang mengingatkan terikat oleh beban tanggung jawab finansial bahwa kegelisahan apapun untuk menuju Pemimpin Redaksi maupun emosionalnya. VISUAL DESIGNER Public Relations ‘dewasa’ tidak dihadapi sendiri. Mari dewasa Nadia Indrawinata Nadya Valencia Mahasiswa Katryn tidak Ivaniabisa C. disebut remaja, tetapi bersama, gelisah bersama, dan menghadapinya Wilhelmus William S. Redaktur Pelaksana Eunike Agata belum bisa juga disebut sebagai sepenuhnya bersama. Tidak dapat dipungkiri, kekuatan satu Jessica Elisabeth G. Marshel Ryan Media Relations Vellanda dewasa. Namun, lambat laun mahasiswa kelompok lebih kuat daripada satu individu. Dicky Dharma Putra Layouter akan melihat garis finish. Kemudian Michael ketika Redaktur Foto Alyssa Faza Muhammad Kenza A. Melati Pramesthi melewatinya, Angelia harus Marvella bertransisi ke ‘dewasa’. Michael Andrey Perubahan—apapun bentuknya—sama Revenue & Branding sekali Sekretaris & Michelle Zefanya Chelsy Sutanto Bendahara tidak mudah Nathania untuk dihadapi. Meskipun terkadang Michael Utomo Keisya Librani C. Dennise Nathalie W. menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu, Elisabeth Rene Reporter selalu saja Bryan adaGeorge kegelisahan H. yang menghantui. Alycia Catelyn Menjadi dewasa adalah salah satunya.
5
6
EDITOR'S NOTE
SECTION:
TABLE OF
10 12 14 Surat Pembaca
Almanac
Cover Story
32 36 40 Sosok Eksternal
Opini Internal
54 58 Event
Snapshot
Opini Eksternal
ULTI MAG Z
7
Issue N o . 30
EDITOR'S EDITOR'S NOTE CONTENTS NOTE Dewasa Bersama, Gelisah Bersama, Hadapi Bersama
20H 24 28
idup adalah masa muda, dan masa muda adalah kebahagiaan.” Kalimat itu hadir sebagai penutup yang menggetarkan hati penonton film “Kampus Biru” pada 1976. Sama seperti yang tercermin dalam Info Indonesia film, usia mahasiswa—atau Info Kampus masaSosok muda—adalah Internal ‘esensi’ hidup. Periode bisa menggunakan titel orang dewasa, tetapi masih bisa pula bermainmain dan eksperimen tanpa sepenuhnya terikat oleh beban tanggung jawab finansial maupun emosionalnya. Mahasiswa tidak bisa disebut remaja, tetapi belum bisa juga disebut sebagai sepenuhnya dewasa. Namun, lambat laun mahasiswa Chit Chat akan melihat garis Review finish. Kemudian Cerpenketika melewatinya, harus bertransisi ke ‘dewasa’. Perubahan—apapun bentuknya—sama sekali tidak mudah untuk dihadapi. Meskipun terkadang menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu, selalu saja ada kegelisahan yang menghantui. Menjadi dewasa adalah salah satunya.
44 46 50
“Apakah aku bisa?” “Apakah aku pantas?” “Apakah aku siap?” Terkadang kalimat-kalimat itu berputar-putar di dalam benak hingga lama-lama menjadi kalut. Sayangnya, roda waktu tetap berputar dan tidak tahu ampun. Dalam edisi ULTIMAGZ kali ini, kami telah merangkum kisah-kisah yang mengingatkan bahwa kegelisahan apapun untuk menuju ‘dewasa’ tidak dihadapi sendiri. Mari dewasa bersama, gelisah bersama, dan menghadapinya bersama. Tidak dapat dipungkiri, kekuatan satu kelompok lebih kuat daripada satu individu.
8
SECTION:
EDITOR'S NOTE
Nadia Indrawinata Pemimpin Redaksi
ULTI MAG Z
9
Issue N o . 30
EDITOR'S NOTE Dewasa Bersama, Gelisah Bersama, Hadapi Bersama
H
idup adalah masa muda, dan masa muda adalah kebahagiaan.” Kalimat itu hadir sebagai penutup yang menggetarkan hati penonton film “Kampus Biru” pada 1976. Sama seperti yang tercermin dalam film, usia mahasiswa—atau masa muda—adalah ‘esensi’ hidup. Periode bisa menggunakan titel orang dewasa, tetapi masih bisa pula bermainmain dan eksperimen tanpa sepenuhnya terikat oleh beban tanggung jawab finansial maupun emosionalnya. Mahasiswa tidak bisa disebut remaja, tetapi belum bisa juga disebut sebagai sepenuhnya dewasa. Namun, lambat laun mahasiswa akan melihat garis finish. Kemudian ketika melewatinya, harus bertransisi ke ‘dewasa’. Perubahan—apapun bentuknya—sama sekali tidak mudah untuk dihadapi. Meskipun terkadang menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu, selalu saja ada kegelisahan yang menghantui. Menjadi dewasa adalah salah satunya.
“Apakah aku bisa?” “Apakah aku pantas?” “Apakah aku siap?” Terkadang kalimat-kalimat itu berputar-putar di dalam benak hingga lama-lama menjadi kalut. Sayangnya, roda waktu tetap berputar dan tidak tahu ampun. Dalam edisi ULTIMAGZ kali ini, kami telah merangkum kisah-kisah yang mengingatkan bahwa kegelisahan apapun untuk menuju ‘dewasa’ tidak dihadapi sendiri. Mari dewasa bersama, gelisah bersama, dan menghadapinya bersama. Tak terelakkan lagi, kekuatan satu kelompok lebih kuat daripada satu individu.
10
SECTION:
SURAT PEMBACA Winnie Jurnalistik (2019)
Sebagai mahasiswa jurnalistik, saya sangat bangga dengan ULTIMAGZ. Saya selalu takjub karena ULTIMAGZ selalu berani meliput isu-isu yang sejatinya harus diketahui oleh publik. Jangan pernah puas di titik ini. Selalu skeptis dan semangat meliput!
Fareza Ananda Putra Sistem Informasi (2020)
Menurut saya, ULTIMAGZ adalah media yang memberikan informasi serta berita yang informatif dan bermanfaat bagi saya sebagai pembaca. Situs ULTIMAGZ sendiri sangat menarik karena menyajikan berbagai pilihan berita serta informasi yang bisa dibaca. Harapan saya untuk ke depannya, semoga ULTIMAGZ bisa lebih sering update berita-berita terbaru dan terkini sehingga dapat lebih menarik perhatian pembacanya.
S U R AT P E M B A C A
ULTI MAG Z
11
Issue N o . 30
Fidelia Indhira Teknik Lingkungan Universitas Pertamina
Winnie Jurnalistik (2019)
Saya memiliki teman yang kebetulan memperkenalkan majalah ULTIMAGZ. Menurut saya, majalah ini memiliki kualitas yang sangat baik dan memberikan informasi yang inovatif serta kreatif. Dari segi ilustrasi yang ditampilkan pun juga sangat menarik pembaca untuk membaca berita yang ada. Semangat ULTIMAGZ!
Rossalyn Amarantika Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Dari segi konten dan layout, ULTIMAGZ mencerminkan kreativitas dan sisi inovatif mahasiswa UMN. Saya melihat ULTIMAGZ bukan hanya sebagai sarana berkarya, tetapi juga potensial sebagai portofolio karya yang bisa membantu mahasiswa saat masuk ke dunia kerja nantinya. Satu hal yang mungkin bisa dioptimalkan adalah distribusi dan promosi ULTIMAGZ versi PDF. Mungkin bisa berkolaborasi dengan media sosial kampus, jurusan, atau UKM lainnya untuk memperluas akses pembaca ke versi PDF. Selain itu, sebagai media kampus/media komunitas, mungkin porsi liputan mengenai kegiatan mahasiswa dan kampus bisa ditambah sehingga 'sense of belonging' mahasiswa lain juga bisa terbangun.
writer Maria Katarina editor Jessica Elisabeth illustrator Amanda Kristie
12
ALMANAC
SECTION:
Almanac Maret - April 2022
reporter Carolyn Nathasa Dharmadi editor Nadia Indrawinata illustrator Karen Phalosa
01 Maret - Hari Kesadaran Self Harm
21 Maret - Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia Hari ini diawali oleh temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan atas peristiwa pembantaian oleh polisi terhadap demonstran yang sedang berdemo dengan damai. Peristiwa tersebut terjadi di Sharpeville, Afrika Selatan pada 1960. Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia berawal dari para demonstran yang memprotes hukum rasis dan penuh dengan diskriminasi di salah satu daerah Afrika Selatan. Demonstrasi tersebut menewaskan 69 orang dan puluhan lainnya luka-luka. Kemudian, pada 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan tanggal 21 Maret sebagai hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia untuk memperingati tragedi Sharpeville.
Meningkatkan kesadaran tentang bahaya self harm Hari Kesadaran Self Harm pada 1 Maret tiap tahunnya berfokus meningkatkan pendidikan dan dukungan pada masalah yang sering dihadapi para remaja hingga orang dewasa. Self harm atau tindakan cedera diri terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk memotong, menggaruk, meninju, atau menelan bahan kimia yang beracun dan berbahaya. Mereka yang melukai diri sendiri melakukannya karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya termasuk mengatasi rasa takut, stres, kecemasan, depresi, atau mendorong perasaan positif. Remaja merupakan usia yang paling rentan jika berkaitan dengan self harm. Hal ini ditunjukkan dengan angka statistik tertinggi untuk cedera akibat melukai diri sendiri. Penelitian oleh Jean Twenge menunjukkan bahwa sekitar 15 persen remaja dan 17—35 persen siswa telah melakukan self harm. Selain itu, orang yang terlibat dalam kegiatan yang merugikan diri sendiri sering kali tiga setengah kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri. Lingkaran setan ini akan berulang jika setelah tindakan melukai diri sendiri, individu merasa malu atau bersalah. Akibatnya, membuat mereka melukai diri sendiri lagi. Hari Kesadaran Self Harm ini dibuat untuk menangkal hal tersebut.
ULTI MAG Z
13
Issue N o . 30
08 Maret - Hari Perempuan Internasional Gender equality today for a sustainable tomorrow Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Khusus tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membawa tema mengenai “Kesetaraan gender hari ini untuk masa depan yang berkelanjutan”. Tentunya juga dengan menyerukan aksi iklim untuk dan oleh perempuan. Melansir unwomen.org, terdapat hubungan penting antara gender, kesetaraan sosial, dan perubahan iklim. Slogan mengenai kesetaraan gender ini ingin menyuarakan bahwa dengan menyadari jika saat ini tidak ada kesetaraan gender, masa depan yang berkelanjutan dan setara tidak akan mudah dijangkau. Perempuan mengalami dampak besar dari krisis iklim karena memperkuat ketidaksetaraan gender yang ada, juga menempatkan kehidupan dan mata pencaharian perempuan dalam risiko. Di seluruh dunia, perempuan lebih bergantung pada sumber daya alam. Namun, mereka justru memiliki akses yang lebih sedikit ke sumber daya alam. Perempuan juga sering kali memikul tanggung jawab yang tidak proporsional untuk mengamankan makanan, air, dan bahan bakar. Hal itu membuat perempuan menanggung beban dampak iklim. Mereka memiliki peran penting untuk memimpin dan mendorong perubahan dalam adaptasi, mitigasi, dan solusi iklim. Tanpa keterlibatan setengah dari populasi dunia, kecil kemungkinan solusi untuk planet yang berkelanjutan dan dunia setara gender akan terwujud di masa depan.
7 April - Hari Kesehatan Sedunia Demi dunia yang lebih sehat Pada 1948, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadakan Majelis Kesehatan Dunia untuk pertama kalinya. Pada agenda tersebut, majelis memutuskan untuk memperingati 7 April sebagai Hari Kesehatan Dunia. Hari tersebut pertama kali dirayakan pada 1950, bertepatan dengan hari berdirinya lembaga kesehatan dunia. WHO merupakan badan khusus milik PBB yang bekerja untuk mengatasi kesehatan masyarakat internasional. Melansir dari laman resmi WHO, organisasi kesehatan tersebut telah mengangkat masalah kesehatan penting selama 50 tahun terakhir. Perayaan Hari Kesehatan Sedunia dilakukan dengan berbagai kegiatan untuk memusatkan perhatian dunia pada aspek-aspek penting dari kesehatan global. Sumber: tirto.id, who.int, unwomen.org, nationaltoday.com Twenge, J. M. (2020). Increases in depression, self harm, and suicide among US adolescents after 2012 and links to technology use: Possible mechanisms Psychiatric Research and Clinical Practice, 2 (1), 19-25.
14
SECTION:
COVER STORY
ULTI MAG Z
Issue N o . 30
CONTOH TRAUMA YANG DIWARISKAN atau memukul adalah perilaku adaptif Melansir refinery29.com, salah untuk bertahan hidup. Sebab, orang tua satu generational trauma pertama pada zaman dahulu belum memiliki alat, yang pernah dipelajari adalah efek energi, teladan, dukungan, atau ruang Holocaust kepada anak-anak dan untuk berbicara dengan ramah, lembut, cucu-cucu penyintas oleh psikiater dan penuh kasih kepada anak-anak Kanada pada 1966. Holocaust adalah mereka. Hal ini diakibatkan oleh stres pembantaian sistematis terhadap terus-menerus dari trauma penindasan enam juta orang Yahudi Eropa oleh atau perjuangan historis. rezim Nazi Jerman pada 1939 hingga 1945. Apa yang ditemukan cukup DAMPAK GENERATIONAL TRAUMA mengejutkan, cucu-cucu dari korban BISA DESTRUKTIF Holocaust, dua generasi yang terpisah Pretty Marsella menjelaskan bahwa dari peristiwa traumatis sebenarnya, trauma ini hadir karena adanya social mengalami tingkat tekanan emosional learning theory yaitu ketika anak-anak yang tergolong tinggi. belajar dari mengamati orang lain. Pada Inilah tepatnya yang dilakukan kasus generational trauma, anak-anak generational trauma. Satu generasi belajar dengan mengamati perilaku selamat dari peristiwa traumatis, tetapi orang tua atau kakek-neneknya, dan efek mental dan fisik dari peristiwa hasil dari perilaku tersebut bisa baik tersebut bergema ke keturunan mereka atau buruk. untuk generasi berikutnya. “Anak-anak bisa menyerap perilaku, Trauma ini bisa dilihat berulang kemudian diinternalisasi oleh mereka, kali, tidak hanya untuk para penyintas dan terus-menerus diulang hingga Holocaust. Namun, juga untuk para mereka dewasa. Karena mereka penyintas dari kelompok lain seperti anggapnya sudah menjadi suatu pola orang-orang yang selamat dari kebiasaan yang selalu diobservasi perbudakan dan genosida, korban sejak kecil,” ujar Marsella. kekerasan seksual, dan banyak lagi. Paparan generational trauma dapat Contoh lainnya adalah ketika memiliki efek seumur hidup kepada seseorang mungkin tumbuh dalam anak-anak. Kedewasaan dan usia jarang rumah tangga yang keras seperti orang memengaruhi kapan atau bagaimana tua yang meneriaki atau memukul trauma itu terjadi, tetapi dapat anak-anaknya writer Alycia ketikaCatelyn, marah. Ini Graciella berasalOlivia memengaruhi Widjaja reaksi setiap individu dari trauma dan rasa editor sakit Jessica yang Elisabeth belum terhadapnya. Ketika masih muda, anakterselesaikan. Pasalnya, illustrator Daniella membentak Herrenanak mungkin belum bisa menafsirkan
Putus Rantai Generational Trauma, Cermin Keluarga yang Salah
15
Dalam memutus generational trauma, tentu prosesnya tidak instan.
16
SECTION:
K
C I NOFVOE R K AS M TO PR UY S
etika kita memikirkan hal-hal yang diwarisi dari nenek moyang, kita mungkin memikirkan hal-hal seperti pusaka keluarga, nama, tradisi, kenangan berharga, ciri-ciri fisik, dan bahkan kekayaan. Apa yang mungkin tidak dipikirkan adalah sesuatu yang tidak ingin kita warisi, yakni trauma. Inilah yang disebut generational trauma. Generational trauma, juga disebut intergenerational trauma, adalah luka emosional yang meluas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Efeknya dapat dilihat pada individu, keluarga, dan seluruh komunitas. Siklus trauma yang diwariskan pun sering kali berulang. Ketika efek trauma diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya, anak-anak bisa membentuk keterikatan yang tidak sehat karena mempelajari gaya hidup orang tuanya. Anak-anak itu pun nantinya tumbuh dengan menunjukkan efek yang sama seperti orang tua mereka ketika memiliki anak sendiri. Dengan demikian, siklus trauma generasi berlanjut sampai seseorang memutuskan untuk mengatasi trauma tersebut dan menghancurkannya. “Jenis trauma ini memang memengaruhi perkembangan anak seumur hidup sampai dewasa. Banyak anak yang memang terpengaruh karena background dari keluarga atau peristiwa yang terjadi dari leluhur mereka,” jelas Psikolog Pretty Marsella ketika diwawancarai ULTIMAGZ (03/03/22). Marsella mengatakan bahwa akar dari trauma ini adalah adanya peristiwa tragis yang menghadirkan luka, baik secara fisik maupun psikis. Seseorang lebih mungkin mengalami generational trauma jika salah satu orang tua atau kakek dan nenek mereka memiliki trauma.
ULTI MAG Z
17
Issue N o . 30
CONTOH TRAUMA YANG DIWARISKAN Melansir refinery29.com, salah satu generational trauma pertama yang pernah dipelajari adalah efek Holocaust kepada anak-anak dan cucu-cucu penyintas oleh psikiater Kanada pada 1966. Holocaust adalah pembantaian sistematis terhadap enam juta orang Yahudi Eropa oleh rezim Nazi Jerman pada 1939 hingga 1945. Apa yang ditemukan cukup mengejutkan, cucu-cucu dari korban Holocaust, dua generasi yang terpisah dari peristiwa traumatis sebenarnya, mengalami tingkat tekanan emosional yang tergolong tinggi. Inilah tepatnya yang dilakukan generational trauma. Satu generasi selamat dari peristiwa traumatis, tetapi efek mental dan fisik dari peristiwa tersebut bergema ke keturunan mereka untuk generasi berikutnya. Trauma ini bisa dilihat berulang kali, tidak hanya untuk para penyintas Holocaust. Namun, juga untuk para penyintas dari kelompok lain seperti orang-orang yang selamat dari perbudakan dan genosida, korban kekerasan seksual, dan banyak lagi. Contoh lainnya adalah ketika seseorang mungkin tumbuh dalam rumah tangga yang keras seperti orang tua yang meneriaki atau memukul anak-anaknya ketika marah. Ini berasal dari trauma dan rasa sakit yang belum terselesaikan. Pasalnya, membentak
atau memukul adalah perilaku adaptif untuk bertahan hidup. Sebab, orang tua pada zaman dahulu belum memiliki alat, energi, teladan, dukungan, atau ruang untuk berbicara dengan ramah, lembut, dan penuh kasih kepada anak-anak mereka. Hal ini diakibatkan oleh stres terus-menerus dari trauma penindasan atau perjuangan historis. DAMPAK GENERATIONAL TRAUMA BISA DESTRUKTIF Pretty Marsella menjelaskan bahwa trauma ini hadir karena adanya social learning theory yaitu ketika anak-anak belajar dari mengamati orang lain. Pada kasus generational trauma, anak-anak belajar dengan mengamati perilaku orang tua atau kakek-neneknya, dan hasil dari perilaku tersebut bisa baik atau buruk. “Anak-anak bisa menyerap perilaku, kemudian diinternalisasi oleh mereka, dan terus-menerus diulang hingga mereka dewasa. Karena mereka anggapnya sudah menjadi suatu pola kebiasaan yang selalu diobservasi sejak kecil,” ujar Marsella. Paparan generational trauma dapat memiliki efek seumur hidup kepada anak-anak. Kedewasaan dan usia jarang memengaruhi kapan atau bagaimana trauma itu terjadi, tetapi dapat memengaruhi reaksi setiap individu terhadapnya. Ketika masih muda, anakanak mungkin belum bisa menafsirkan
Dalam memutus generational trauma, tentu prosesnya tidak instan.
18
SECTION:
trauma yang terjadi sampai mereka dewasa. Pasalnya, generational trauma dapat berlangsung secara turun-temurun, artinya dapat berpindah antargenerasi. Trauma yang dialami di rumah ini berdampak pada bagaimana anak-anak melakukan banyak hal. Misalnya, dari cara bereaksi dan sembuh dari trauma masa depan atau pengalaman sehari-hari. Marsella juga mengatakan bahwa, bila generational trauma tidak segera disadari dan tidak ditangani, sifatnya bisa sangat merusak. Dampak negatif yang bisa diakibatkan oleh trauma ini kepada anak ketika mereka dewasa juga banyak. Marsella menyebutkan beberapa seperti mengalami trust issues (tidak mudah percaya dengan orang lain), kesusahan melakukan relasi dengan orang lain, kesulitan dalam mencari pasangan hidup, mengalami kecemasan (anxiety) atau depresi, dan merasa tidak aman terus-menerus. SADARI UNTUK PATAHKAN SIKLUS GENERATIONAL TRAUMA Bicara mengenai generational trauma mungkin menjadi sebuah ketakutan sekaligus tanda tanya terkait cara memutus rantai trauma ke generasi selanjutnya. Trauma ini dapat dipatahkan secara perlahan dan kuncinya adalah penyadaran diri. Menurut Marsella, seseorang yang memiliki permasalahan mental
COVER STORY
lebih sulit diatasi apabila penderitanya tidak menyadari kondisinya sendiri. “Sebenarnya untuk berubah atau ke arah yang lebih baik, maka seseorang harus sadar. Tentu akan berbeda ketika seseorang bertemu dengan psikolog, tetapi timbul perasaan enggan dan malas. Pasti secara pengobatannya tidak akan efektif,” jelas Marsella. Trauma yang dialami setiap orang tentu akan menimbulkan perbedaan reaksi. Bahkan, beberapa di antaranya kerap kali tidak menyadari adanya trauma karena gejalanya yang tidak signifikan. Namun, gejala-gejala ringan juga perlu disadari dan diwaspadai. Misalnya, kehilangan konsentrasi, perasaan yang cenderung emosional, kerap dihantui pikiran masa lalu, dan gangguan tidur. Apabila berbagai gejala ini disadari, sebaiknya tidak asal melakukan selfdiagnose (mendiagnosa diri) dan segera cari bantuan profesional. Setiap individu memerlukan proses penyembuhan yang berbeda. Meskipun demikian, Marsella mengatakan bahwa penyembuhan secara konsisten dapat meminimalkan bahkan memutus rantai generational trauma. Ketika telah menyadari sedari dini, pola asuh yang diturunkan berpotensi membaik seiring berjalannya waktu. BENTUK PENANGANAN GENERATIONAL TRAUMA Menyadari dan memiliki keinginan untuk berubah tidaklah cukup untuk menangani permasalahan generational trauma. Diperlukan berbagai langkah dan bantuan yang tepat untuk mengobatinya. Berikut cara penanganan generational trauma secara lebih lanjut.
ULTI MAG Z
19
Issue N o . 30
1. Atasi permasalahan inner child dengan bantuan profesional Melansir kompas.com, inner child merupakan ingatan dan emosi yang terekam semasa kecil. Ingatan ini dapat membentuk luka yang biasa disebut sebagai luka batin. Menurut Marsella, salah satu metode penyembuhan trauma yang dilakukan oleh bantuan profesional yakni dengan penyembuhan inner child. “Pada beberapa kasus tertentu, terapis akan membawa (pasien) kembali ke inner child, jadi kayak digali kembali kenangan yang menyakitkan, harus mengakui, harus jujur. Kalau terapi dilakukan dengan tepat, maka akan jadi pemulihan. Tetapi jika dilakukan dengan cara yang salah, maka luka yang lama justru terbuka kembali,” ujar Masella. 2. Bercerita dan mendapat dukungan Sering dianggap remeh, bercerita atau curhat justru memiliki dampak baik bagi pemulihan trauma. Bercerita dapat menjadi salah satu cara menuangkan perasaan terpendam yang menjadi bagian dari terapi. “Penting sekali untuk kita berbagi emosi negatif untuk dikeluarkan. Dengan bercerita, didengarkan, dan mendapat masukan dapat dikatakan sebagai bentuk dari terapi. Selain itu, dukungan dari orang sekitar itu juga sangat efektif untuk membantu proses penyembuhan,” tutur Marsella. Namun, bercerita tentu membutuhkan tempat yang tepat. Tidak semua orang dapat menjadi sandaran atau pemberi solusi yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan selektif untuk memilih seseorang sebagai ‘ruang cerita’.
3. Sabar dan berkomitmen pada proses Pemulihan dari trauma bukanlah suatu hal yang singkat. Dalam prosesnya, tak menutup kemungkinan bahwa tindakan negatif masih timbul sewaktu-waktu. Di sinilah perlunya kesabaran untuk menyadari dan mengingatkan diri sendiri untuk rileks. Penting juga bagi setiap individu untuk berkomitmen dalam proses. “Proses pemulihan bukan perkara mudah. Ketika mengalami generational trauma dari orang tua, kerap kali saya sendiri juga mengalami kembali kecemasan. Pada saat ini, penting untuk mengingatkan diri agar lebih rileks. Namun, yang terpenting adalah komitmen pada prosesnya,” ucap Marsella. Konsisten menuju perubahan ke arah yang positif tentunya diperlukan dalam proses pemulihan. Pasalnya, penyembuhan butuh kesadaran diri dengan tujuan untuk menerima atau acceptance hingga akhirnya dapat berdamai dengan masa lalu. Generational trauma tentu bukan perkara yang mudah untuk dilewati. Ingat bahwa yang dapat diubah bukanlah kondisi orang lain atau orang tua, melainkan diri sendiri. Agar individu dapat sembuh dan tidak memengaruhi generasi selanjutnya, siklus generational trauma perlu ditangani dan diputus. Menempatkan kembali cinta dan kehangatan ke dalam rumah mungkin dimulai dari diri sendiri, tetapi bukan perjalanan yang harus dilalui sendiri.
20
SECTION:
INFO INDONESIA
Usaha Anak Muda dalam Pemutusan Mata Rantai Generasi Sandwich Reynaldy Michael Yacob, Rizky Azzahra Rahmadanya
writer
G
enerasi muda yang bertumbuh dewasa, pada masa ini sering kali dituntut untuk 'berperan ganda' dalam kehidupan finansial. Mereka dipaksa menanggung beban dari dua generasi dalam lingkup keluarganya, yaitu orang tua dan dirinya sendiri. Beban finansial ini akan semakin bertambah ketika mereka telah memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Pada saat itu, generasi mereka dipaksa menanggung beban finansial tiga generasi di dalam keluarganya. Fenomena ini akhirnya menjadi kekhawatiran generasi muda akan beban finansial mereka di masa depan. Generasi roti lapis (sandwich generation) adalah istilah penyebutan untuk generasi yang berada di posisi tersebut. Generasi ini tidak hanya membiayai diri mereka sendiri, tetapi juga dipaksa untuk membiayai generasi atas dan bawah mereka. Istilah generasi sandwich pertama kali diusung oleh Dorothy Miller pada 1981 melalui artikel jurnal berjudul The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of The Aging. Istilah ini kemudian terus berkembang di antara akademisi karena dinilai sebagai fenomena sosial ekonomi yang kompleks
Reynaldy Michael Yacob Vellanda
photographer editor
dan menarik. Meskipun istilah ini belum familiar di telinga orang Indonesia, nyatanya banyak juga masyarakat yang secara sadar ataupun tidak merupakan korban dari generasi sandwich ini. Mengulik dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sebesar 77,82 persen biaya rumah tangga lansia ditopang oleh keluarga yang masih bekerja pada 2017. Hal ini berarti, lebih dari tiga per empat lansia di Indonesia menghibahkan beban hari tuanya ke anak-anak mereka yang juga masih menanggung beban dirinya sendiri dan mungkin ditambah tanggungan generasi di bawahnya. Namun, apa sebenarnya penyebab dari hal ini? Untuk menelusuri fenomena ini lebih lanjut, ULTIMAGZ telah menghubungi penulis The Last Sandwich Generation. The Last Sandwich Generation sendiri adalah buku karya delapan anak muda dengan berbagai latar belakang, tetapi dengan tujuan yang sama yakni memutus rantai generasi sandwich di Indonesia. ULTIMAGZ pun melakukan wawancara daring dengan perwakilan penulisnya, yaitu Yahya Ayyasy dan Bella Safira pada Sabtu (05/03/22). “Ternyata kalau kita telusuri lagi, itu (generasi sandwich) terjadi karena (korbannya) kurang bijak
ULTI MAG Z
21
Issue N o . 30
Wawancara perwakilan penulis the last sandwich generation, Yahya Ayyasy dan Bella Safira pada Sabtu (05/03/22). (ULTIMAGZ/Reynaldy Michael Yacob)
dalam manajemen finansial atau keuangan,” jelas Yahya saat membahas penyebab generasi sandwich. Yahya dan Bella kemudian menjelaskan bahwa generasi sandwich umumnya terjadi karena seseorang tidak mampu mengelola uangnya dengan baik. Kegagalan mengelola uang ini dapat berupa tindakan hedonisme ketika memiliki uang lebih, tidak memiliki tabungan jangka panjang, tidak mempersiapkan dana pensiun, dan lain-lain. Cara mengelola uang yang hanya menggunakan sudut pandang jangka pendek akan berujung pada krisis keuangan di kemudian hari. Hal ini tercermin dari banyaknya orang tua yang tidak menyiapkan kebutuhan hari tuanya. Pada akhirnya, mereka menjadi ketergantungan dengan penghasilan anak-anaknya yang sebenarnya juga sudah memiliki tanggungan dan kebutuhannya sendiri. Namun, permasalahannya tidak berakhir sampai di situ. Kebiasaan buruk yang telah terjadi secara turun-temurun dan dinormalisasikan
secara tidak sadar malah membentuk 'budaya toksik'. Banyak orang yang melihat beban orang tua memanglah seharusnya ditanggung oleh anak-anaknya yang sudah dewasa. Sebaliknya, orang dewasa yang tidak menanggung kebutuhan orang tuanya malah dianggap tidak berbakti atau bahkan durhaka. Selain problematika keuangan pada orang dewasa dan orang tua, remaja yang terlambat mandiri juga menjadi faktor lain dari generasi sandwich ini. “Nah, orang barat ‘kan, ketika mereka sweet seventeen ditepuk tangani. Tetapi ketika (berusia) 18 (tahun), mereka disuruh keluar dari rumah, disuruh hidup mandiri. Kalau di Indonesia, ‘anak saya nggak apa-apa deh (tetap bergantung pada orang tua)’,” ucap Yahya memberi contoh. Keterlambatan menginjak kedewasaan dan kemandirian ini mengakibatkan jangka waktu tanggungan orang tua dalam membiayai kebutuhan anaknya menjadi semakin lama. Alhasil, uang
22
SECTION:
INFO INDONESIA
yang seharusnya bisa ditabung oleh orang tua untuk mempersiapkan masa pensiun kembali terpakai untuk kebutuhan anaknya yang sebenarnya sudah berada di usia produktif. Fenomena terjepit seperti sandwich ini menghadirkan dampak buruk. Melansir dari tempo.com, orang-orang yang termasuk dalam generasi sandwich biasanya memiliki beberapa masalah dalam kesehatan, keuangan, dan keinginan diri sendiri (one's self fulfilling). Hal serupa juga dikatakan oleh Russell Ward dan Glenna Spitze dalam artikel "Sandwich Generation Caregivers: Ethical Legacies Throughout Generation" oleh Marts. Mereka menjelaskan bahwa seseorang yang terjepit di antara generasi tua dan generasi muda kemungkinan memiliki tingkat stres serta beban yang tinggi. Permasalahan yang ditimbulkan oleh fenomena generasi sandwich ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga terjadi kepada anak di usia remaja. “Kalau kita lihat generasi sandwich, biasa bilangnya (terjadi di usia) 40 tahun sampai 50 tahun. Padahal, di usia kayak kita (usia mahasiswa), itu ‘kan ngalamin juga ‘kan?” ungkap Bella dalam wawancara bersama ULTIMAGZ. Menurut Yahya, generasi sandwich ini berbahaya jika dibiarkan terus terjadi secara turun-temurun. Dengan terlalu banyaknya menanggung beban orang lain di dalam keluarga, fenomena ini dapat menyebabkan terhalangnya seseorang meraih impian. Keadaan sandwich atau terjepit antara dua generasi ini akan terus berlangsung jika tidak ada usaha memutus rantai. Lalu, bagaimana cara memutus rantai dari generasi sandwich ini? MEMUTUS RANTAI SANDWICH Memutus rantai generasi sandwich bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak dapat dilakukan. Untuk itu, berikut ULTIMAGZ telah merangkum beberapa cara untuk memutus rantai dari generasi sandwich.
1. Lakukan perencanaan untuk masa depan Ketika masih dalam usia yang produktif, seseorang dapat membuat daftar perencanaan untuk tahun-tahun mendatang dan apa saja yang ingin dicapainya. Bisa juga dengan menambahkan visi dan misi sebagai target.
2. Memiliki tambahan pemasukan Perkembangan zaman menyebabkan semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, seseorang dapat menambahkan sumber penghasilan untuk menghindari terjadinya generasi sandwich. Sumber penghasilan tambahan dapat berupa passive income, bekerja lepas, atau investasi.
ULTI MAG Z
23
Issue N o . 30
3. Menyiapkan program pensiun
4. Bicarakan dengan anggota keluarga
Saat di usia yang sudah tidak lagi produktif, kebutuhan seseorang masih terus berlanjut. Untuk itu, agar dapat memiliki hidup berkecukupan dan nyaman saat hari tua, seseorang dapat mempersiapkan dana pensiun sedari bekerja. Hal ini dipersiapkan agar kebutuhan saat pensiun tidak perlu diemban oleh generasi penerus. Kini, sudah banyak lembaga keuangan yang menyediakan program dana untuk para pensiunan. Tidak hanya untuk pekerja, masyarakat umum pun bisa mengikutinya.
Berbicara mengenai posisi generasi sandwich, mungkin akan menjadi konsep baru yang sulit diterima oleh orang-orang dari generasi tua. Tak jarang pula, topik pembahasan ini jadi berakhir canggung. Namun, hal ini harus tetap dibicarakan. Sebab pemutusan rantai generasi sandwich baru bisa dilakukan dengan adanya kerja sama antargenerasi.
Dalam memutus rantai generasi sandwich, dibutuhkan peran besar dari generasi muda di Indonesia. Yahya Ayassy dan Bella Safira mengatakan bahwa masa depan negara ini adalah anak muda karena mereka adalah generasi yang nantinya akan memimpin Indonesia. “Melihat data statistik dari BPS tahun 2020, ternyata 27 persen generasi Indonesia adalah generasi (anak) muda. Kebayang, enggak? Apa yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun atau 50 tahun ke depan? Atau titik klimaksnya itu di tahun 2045. Artinya, generasi penerus kita ini akan mengisi posisi-posisi penting di Indonesia, teman-teman. Entah itu di pemerintahan, di perusahaan, di sekolah atau di apapun itu,” kata Yahya menjelaskan. Oleh karena itu, untuk mencegah berlanjutnya generasi sandwich, generasi muda harus mempersiapkan diri agar rantai tradisi ini dapat berhenti pada generasi mereka saja. Dengan begitu, tidak akan ada lagi penghentian impian seseorang karena tanggungan finansial berlebihan ataupun tidak lagi memiliki masa tua yang akan memberatkan generasi penerusnya. Sumber: tempo.co, skillacademy.com, Marts, S. Z. (2013). Sandwich Generation Caregivers: Ethical Legacies Throughout Generation
24
SECTION:
INFO KAMPUS
Kekerasan Verbal di Kampus:
Kuliah Daring Tidak Menjadi Pembatas reporter Josephine Arella & Louis Brighton Putramarvino editor Nadia Indrawinata illustrator Venessia Selma Brigitte
Memang sih dia gak nyebut nama, cuma kita manusia, kita punya perasaan, lah, ya. Kok dia nyindir gue, ngerendahin gue?
B
egitulah pernyataan Mars (bukan nama sebenarnya), salah satu penyintas kekerasan verbal di lingkungan kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Kekerasan verbal merupakan jenis kekerasan yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi dapat meninggalkan dampak yang cukup signifikan. UMN juga tidak luput dari hal ini. Baik secara daring maupun luring, kekerasan verbal masih kerap terjadi di antara sivitas UMN. M e l a n s i r h e l l o s e h a t .c o m , s e j u m l a h penelitian membuktikan bahwa korban kekerasan verbal dapat mengalami trauma psikologis yang serius. Bentuk kekerasan verbal ini pun datang dalam berbagai bentuk. Dapat berupa kata-kata yang menyakitkan
seperti manipulasi, menuduh, mendominasi percakapan, membentak, bahkan mengancam. TEMAN BELUM TENTU AMAN Theresia Vania, mahasiswa Jurnalistik 2021, menceritakan kepada ULTIMAGZ pada Rabu (01/03/22) bahwa dia pernah menjadi korban kekerasan verbal. Kekerasan yang dialami berupa percakapan yang didominasi oleh temannya. Hal ini dia rasakan ketika sedang melakukan kerja kelompok secara daring. “Harusnya kan kalo ngerjain tugas fokusnya ke tugas aja. Dia malah ngomong ke mana-mana dan sometimes dia kayak mau ngajak ngobrol aku tapi kayak nuduh, kayak ‘Ih diam banget, sih, lu,’ gitu,” jelas Theresia.
ULTI MAG Z
25
Issue N o . 30
Mengenai hal ini, Theresia tidak pernah bercerita kepada siapa pun lantaran takut dirinya nanti dianggap ‘terlalu diam’. Padahal, kenyataannya ia tidak merasa seperti itu. Kekerasan verbal yang didapatkan dari teman juga dialami oleh Milli (bukan nama sebenarnya). Milli menceritakan bahwa teman satu kuliahnya kebetulan tinggal di kos yang berdekatan dengan dirinya. Kekerasan verbal didapatkan Milli ketika bertemu secara langsung. Salah satu kekerasan verbal yang Milli dapatkan berupa kata-kata atau perlakuan yang merendahkan. Ketika itu, Milli menunjukkan hasil tugas yang dia rasa telah dikerjakan sebaik mungkin kepada temannya karena diminta. Namun, hasil jerih payahnya malah ditertawakan oleh temannya tersebut. DOSEN TURUT ANDIL Kekerasan verbal nyatanya tidak hanya diberikan oleh teman. Seperti yang diceritakan oleh Mars, dia mendapatkan bentuk kekerasan verbal dari dosennya sendiri. Menurutnya, dosen tersebut mengatakan hal yang merendahkan para mahasiswa secara tersirat.
Di kelas, dosen tersebut menyuruh mahasiswa mengumpulkan tugas ke dalam Google Drive kelas. Mars mengungkapkan sering kali hasil pekerjaan mahasiswa dibanding-bandingkan secara terangterangan saat kelas berlangsung. Tak hanya itu, dosennya juga akan menghapus hasil tugas yang dianggap ‘tidak layak’ olehnya. Mars juga mengatakan bahwa teman-temannya merasakan hal yang sama dengan dirinya. Terkait hal ini, Mars tidak ada niatan untuk melapor kepada pihak kampus. Namun, ia sudah menyuarakan pendapatnya melalui form evaluasi dosen yang biasanya harus diisi sebelum ujian semester. Terkait perlakuan dosennya, Mars menyampaikan bahwa ia berharap supaya dosen tersebut jangan mengharapkan hasil yang sempurna jika dirinya sendiri tidak bisa memberi materi secara maksimal. “Jangan cuma salahin pihak mahasiswa, dosen juga pasti ada ambil bagian dalam permasalahan itu,” tegas Mars.
Aku kasih lihat tugas aku yang gak seberapa itu, tapi itu menggunakan usaha yang lumayan bagi aku. Terus abis itu dia ngetawain tugas aku. Aku cukup sakit hati karena ini effort aku diketawain.
26
SECTION:
SITUASI KEKERASAN VERBAL DI UMN Jenis kekerasan verbal yang paling sering dialami adalah kata-kata yang bermaksud merendahkan dan percakapan yang didominasi oleh lawan bicara. Sebanyak 7 dari 15 responden mengaku pernah mengalami kedua jenis kekerasan verbal tersebut. Dari seluruh responden yang mengaku pernah mengalami kekerasan verbal, hanya 40 persen yang pernah melaporkannya. Sebanyak 6 dari 15 responden mengatakan bahwa mereka melaporkan ke teman mereka. Hal itu menjadikan teman sebagai orang yang paling sering dihubungi ketika ingin melaporkan kekerasan verbal yang telah diterima. KODE ETIK MAHASISWA UMN Di UMN, larangan terhadap kekerasan verbal telah diatur dalam Kode Etik Mahasiswa UMN. Pasal 2 dari Kode Etik Mahasiswa mengatur sikap, tindakan, dan ucapan yang diharapkan dari seorang mahasiswa UMN. Nomor 6 dari pasal tersebut mengatakan bahwa mahasiswa harus “berinteraksi dengan sesama sivitas akademika dengan menjunjung tinggi tata susila dengan penuh tanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, sopan santun, sesuai norma agama, mentaati hukum.” Untuk memastikan berjalannya Kode Etik Mahasiswa, UMN pun membentuk Dewan Etik Mahasiswa (DEM). Menurut pasal 5 dari Kode Etik Mahasiswa, DEM berwenang untuk menerima dan memproses pengaduan pelanggaran kode etik. Mereka juga bertugas menentukan sanksi yang pantas diberikan dengan mengacu pada
INFO KAMPUS
dokumen Ketentuan Penanganan Pelanggaran Peraturan Mahasiswa UMN. Ketika dihubungi oleh ULTIMAGZ untuk membahas mengenai masalah kekerasan verbal yang terjadi di kampus, pihak DEM mengatakan bahwa mereka saat ini belum bisa diwawancara. Hasil survei yang ULTIMAGZ lakukan masih merupakan ujung dari gunung es, mengingat jumlah responden baru menjangkau segelintir dari keseluruhan mahasiswa di UMN. Di luar survei ini, masih ada kemungkinan kasus lain yang terjadi di balik layar. Terlepas siapa pun pelakunya, penting mewaspadai keberlanjutan dari kekerasan verbal antar sivitas akademika. Tak hanya itu, hal ini juga penting untuk diselesaikan demi terwujudnya UMN sebagai tempat aman.
Beberapa anak (lain) gitu juga langsung (hasil pekerjaannya) kayak dibilang enggak layak. (Rasanya) kayak beliau tidak melihat usaha kita. Kalau beliau gak suka, ya sudah, tugas kita dihapus dari Google Drive kelas.
ULTI MAG Z
27
Issue N o . 30
Mayoritas responden yang mengaku menjadi penyintas kekerasan verbal dari teman mereka. Sebanyak 12 dari 15 responden mengaku menjadi penyintas kekerasan verbal dari teman.
Sementara itu, dosen menjadi pelaku kekerasan verbal tertinggi kedua dengan jumlah 4 dari 15 responden yang mengaku telah mengalami hal tersebut.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh ULTIMAGZ, kekerasan verbal juga masih terjadi di UMN. Dari 167 responden, 15 orang mengaku pernah mengalami kekerasan verbal di lingkungan kampus.
28
SECTION:
SOSOK INTERNAL
RIVALDO STEVANUS:
BANGKIT DARI KEGAGALAN, MENUAI KEBERHASILAN writer Christabella Abigail Loppies, Aqeela Ara photographer Chiquita Aurellia Tjandra editor Jessica Elisabeth
Wawancara pihak Ultimagz dengan mahasiswa UMN, Rivaldo Stevanus pada (03/03/22).
ULTI MAG Z
29
Issue N o . 30
Menerima kesalahan, itu yang aku pertama lakuin. Gak ignore, terima. Lalu, yang kedua langsung mikir, ini apa yang bisa aku lakukan selanjutnya, dan solusinya seperti apa, jalanin.
B
ahagia dan bersyukur. Itulah dua kata yang mewakili perasaan Rivaldo Stevanus saat dirinya dinyatakan berhasil lulus sidang skripsi pada Desember 2021 lalu. Rivaldo merupakan mahasiswa program studi Komunikasi Strategis angkatan 2017 di Universitas Multimedia Nusantara. Setelah 4,5 tahun menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, Rivaldo kini telah dinyatakan lulus sidang akhir dan berhak mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi. SEMPAT GAGAL LULUS SIDANG Di balik keberhasilan itu, Rivaldo sudah terlebih dahulu merasakan pahitnya kegagalan. Enam bulan sebelumnya, tepatnya pada Juni 2021, ia sempat menjalani sidang skripsinya yang pertama. Namun, saat itu ia gagal dan dinyatakan tidak dapat lulus. Kepada ULTIMAGZ, Rivaldo menceritakan bahwa proses pembuatan skripsi tersebut sebenarnya dapat ia lalui dengan lancar di bawah arahan dosen pembimbingnya. Akan tetapi, ternyata ada beberapa kesalahan yang baru terlihat saat sidang berlangsung. Hal inilah yang kemudian membuat dirinya belum bisa diluluskan. “So far, pas semester delapan itu gak ada masalah. Tapi, ternyata pas sidang, ada beberapa hal yang dipermasalahkan. Dari segi penulisan, dari segi isi skripsi aku, yang itu juga
tidak disadari oleh aku dan dospem (dosen pembimbing),” kata Rivaldo saat dihubungi ULTIMAGZ pada Kamis (03/03/22). “Jadi, dari hal tersebut pun, dosen penguji dan ketua sidangnya merasa skripsi aku itu belum layak untuk diluluskan, karena juga kemarin itu nilainya tidak mencukupi,” ujar Rivaldo. Akhirnya dosen penguji, ketua sidang, dan dosen pembimbing sepakat agar Rivaldo menyusun ulang skripsinya. Kegagalan tersebut tentu membuat Rivaldo merasa sedih. Kenyataan yang berbanding terbalik dengan harapannya untuk lulus pun membawanya kepada situasi sulit yang membuatnya bingung. “Pastinya, sedih ada, bingung juga ada, dan juga campur aduk sebenarnya. Karena aku merasa kalau skripsi yang aku jalanin udah aman-aman aja dan lancar-lancar aja, tapi ternyata hasilnya kontradiktif banget dengan yang aku pikirin itu, jadinya emang bikin aku bingung.” Berada dalam posisi itu membuatnya tidak nyaman. Perasaan sedih, khawatir, dan bingung menyelimuti Rivaldo. Terlebih lagi, saat itu ia juga melihat teman-temannya berhasil lulus, sedangkan dirinya tidak. Rivaldo bahkan sempat berpikir bahwa ia hanya dikerjai. Saat itu, Rivaldo melewati fase yang cukup sulit dalam hidupnya. Kurang lebih selama satu minggu ia merasa sedih dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
30
SECTION:
SOSOK INTERNAL
Rivaldo bingung mengapa dirinya bisa gagal saat Hal yang kemudian Rivaldo lakukan untuk teman-temannya sudah berhasil lulus sidang. bisa bangkit dari rasa sedih tersebut adalah dengan mengakui kesalahan dan mencoba untuk BANGKIT DAN MENERIMA KEGAGALAN menerima kegagalannya. Setelah itu, ia pun Namun, Rivaldo kemudian merasa bahwa memikirkan langkah yang harus dilakukan untuk berlarut-larut dalam kesedihan hanya akan memperbaiki skripsinya. menghambat prosesnya untuk maju. Cukup satu Di samping itu, lingkungan dan keluarga yang minggu penuh untuk Rivaldo meluapkan dan positif juga memiliki peran yang sangat penting bagi mengekspresikan rasa sedihnya. Setelah itu, Rivaldo. Dukungan dari mereka terus memotivasi Rivaldo berpikir bahwa ia tidak boleh berlama-lama Rivaldo dalam proses perbaikan skripsi hingga lagi di zona ini. Ia harus bangkit dan maju untuk akhirnya dinyatakan lulus pada sidang kedua. memulai halaman yang baru. Walaupun mengalami kegagalan pada sidang “Ya sudah, maju saja untuk hal tersebut karena pertama, Rivaldo tetap merasa bahwa ada sisi memang realitasnya harus maju,” ungkap Rivaldo. positif yang bisa diambil. Melalui pengalamannya
ULTI MAG Z
I ssue N o . 30
tersebut, ia bisa memberikan motivasi dan masukan untuk mahasiswa lainnya yang akan menghadapi sidang skripsi. “Aku merasa ada kebanggan tersendiri kalau aku gak lulus (sidang pertama) karena aku merasa, apapun yang aku jalanin prosesnya selama gak lulus itu, aku bisa bagi ke orang lain. Supaya orang lain gak ngerasain kayak aku,” lanjutnya.
beda. Hal itulah yang juga menjadi pelajaran bagi Rivaldo. Dari peristiwa yang sudah Rivaldo lewati, ia menilai mungkin bagi orang lain hal tersebut adalah suatu kemunduran karena tidak lulus tepat empat tahun. Akan tetapi, bagi Rivaldo, mengulang skripsi merupakan pengalaman yang luar biasa. “Jadi, at least kalian bisa merasakan proses kalian sendiri, kalian bisa nikmatin proses kalian PESAN UNTUK ULTIMATES sendiri, tanpa melihat dan ngebandingin (dengan) Kepada Ultimates, Rivaldo pun berpesan orang lain. Kalian bisa paham nilai yang kalian untuk tidak membandingkan proses diri dapetin dari segala proses yang kalian dapat, selama sendiri dengan orang lain karena faktanya, perkuliahan ataupun nanti kalian di dalam pekerjaan. setiap orang memiliki proses yang berbeda- Itu menurutku sangat berlaku," tutupnya.
31
32
SECTION:
SOSOK EKSTERNAL
Inner Child, Kenangan dari Masa Kecil writer Andia Christy, Cheryl Natalia photographer Margaretha Netha editor Nadia Indrawinata
P
erbincangan mengenai kesehatan mental mulai marak dibicarakan masyarakat, tak terkecuali pembahasan inner child. Namun, pemahaman inner child masih sering dihubungkan dengan berbagai konotasi dan stereotip negatif. Saat ini sudah banyak praktisi yang berkecimpung di dunia kesehatan mental dan siap membawa perubahan, Adi Prayuda salah satunya. Mengambil pendekatan jeda, dalam buku Luka, Performa, Bahagia hasil tulisannya dengan Intan Maria Lie, Adi menanggapi inner child sebagai konstruksi mental yang ada dalam diri manusia. “Inner child adalah akumulasi dari bayangan, citra, dan pengalaman di masa lalu yang masih ada sampai saat ini,” ujar Adi saat diwawancarai oleh ULTIMAGZ pada Senin (07/03/22).
kecil kita terkait dengan pendidikan, pola asuh, relasi dengan orang tua; dan pengalaman apapun yang sifatnya bisa, pertama adalah menyenangkan dan yang kedua, bisa juga menciptakan penderitaan atau kesedihan,” jelas Adi. Memiliki konstruksi mental tertentu akan masa kecil atau inner child adalah hal yang normal. Setiap momen mulai usia 0 sampai 8 tahun atau periode emas (golden age) seorang anak bisa menjadi kenangan yang masih terbayang hingga saat ini. Hanya saja, inner child yang umumnya muncul dalam benak dan dipahami publik adalah inner child yang terluka (wounded inner child). Sifat inner child bahagia jarang dibahas masyarakat awam karena tidak menciptakan dampak traumatis atau dianggap menjadi masalah.
SEMUA ORANG MEMILIKI INNER CHILD Secara sadar maupun tidak sadar, inner child hadir dalam setiap pribadi manusia dengan konstruksi ingatan yang berbeda. “Punya gambaran; punya pengalaman akan masa
DAMPAK INNER CHILD YANG TERLUKA Ada luka batin yang tidak mudah disembuhkan dan akhirnya berimbas pada pola pikir dan emosi individu. Ini bisa terkait dengan inner child traumatis atau inner child yang terluka.
ULTI MAG Z
33
Issue N o . 30
Wawancara dengan Adi Prayuda melalui Zoom pada Senin (07/03/22).
Relasi dengan emosi inilah yang kemudian mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Luka batin di masa lalu bisa jadi tidak sepenuhnya kesalahan diri sendiri. Terdapat banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, mulai dari pola pengasuhan dari orang tua maupun pendidikan. Kejadian-kejadian yang emosional bisa membekas dalam diri seorang anak, terutama di fase golden age. Menyadari bahwa ada sesuatu yang harus disembuhkan adalah langkah yang penting. Apabila hanya trauma ringan, maka bisa dibantu meditasi, hening sendiri, dan mengubah pola hidup keseharian. Namun, jika lebih dari itu, tentu membutuhkan perhatian yang lebih pula dan bantuan profesional.
Banyak kekerasan yang berlangsung dalam relasi rumah tangga, kalau ditrack ke belakang, ditemukan bahwa masih ada luka batinPERLUKAH yangMENYEMBUHKAN belum INNER CHILD? Sama seperti luka lainnya, inner child yang sepenuhnya pulih terluka perlu disembuhkan, apalagi jika sudah mengganggu terkait innerkeseharian dan relasi dengan orang lain. Untuk segala emosi yang dirasakan, langkah child-nya.
utama menghadapinya adalah disadari dan tidak dilawan. Bila ditekan, bahkan dilawan, dalam jangka panjang bisa menjurus pada efek yang tidak baik bagi kesehatan mental dan tubuh. Dengan tidak menyalahkan faktor eksternal, seseorang sudah bergerak di jalur pemulihan. Namun, jika terus menyalahkan orang lain dan kondisi eksternal, akan sulit dan lama untuk pulih. Meskipun kesadaran pribadi berperan penting, orang-orang di sekitar pun bisa menjadi support system. Terutama, dalam hal mengajak untuk sadar bahwa ada luka batin yang belum terselesaikan dan perlu disembuhkan. Adi dan rekan-rekan praktisi lainnya terus menggaungkan permasalahan ini, demikian juga membantu dan mengajak melihat ke dalam diri. Salah satunya melalui buku yang ia tulis. Inner child yang terluka sekalipun tidak terlihat, bukan berarti tidak ada, karena merupakan aspek mental. Kesadaran dan keinginan untuk sembuh merupakan keputusan yang krusial.
34
SECTION:
SOSOK EKSTERNAL
Inner Child, Kenangan dari Masa Kecil writer Andia Christy, Cheryl Natalia photographer Margaretha Netha editor Nadia Indrawinata
P
erbincangan mengenai kesehatan mental mulai marak dibicarakan masyarakat, tak terkecuali pembahasan inner child. Namun, pemahaman inner child masih sering dihubungkan dengan berbagai konotasi dan stereotip negatif. Saat ini sudah banyak praktisi yang berkecimpung di dunia kesehatan mental dan siap membawa perubahan, Adi Prayuda salah satunya. Mengambil pendekatan jeda, dalam buku Luka, Performa, Bahagia hasil tulisannya dengan Intan Maria Lie, Adi menanggapi inner child sebagai konstruksi mental yang ada dalam diri manusia. “Inner child adalah akumulasi dari bayangan, citra, dan pengalaman di masa lalu yang masih ada sampai saat ini,” ujar Adi saat diwawancarai oleh ULTIMAGZ pada Senin (07/03/22).
kecil kita terkait dengan pendidikan, pola asuh, relasi dengan orang tua; dan pengalaman apapun yang sifatnya bisa, pertama adalah menyenangkan dan yang kedua, bisa juga menciptakan penderitaan atau kesedihan,” jelas Adi. Memiliki konstruksi mental tertentu akan masa kecil atau inner child adalah hal yang normal. Setiap momen mulai usia 0 sampai 8 tahun atau periode emas (golden age) seorang anak bisa menjadi kenangan yang masih terbayang hingga saat ini. Hanya saja, inner child yang umumnya muncul dalam benak dan dipahami publik adalah inner child yang terluka (wounded inner child). Sifat inner child bahagia jarang dibahas masyarakat awam karena tidak menciptakan dampak traumatis atau dianggap menjadi masalah.
SEMUA ORANG MEMILIKI INNER CHILD Secara sadar maupun tidak sadar, inner child hadir dalam setiap pribadi manusia dengan konstruksi ingatan yang berbeda. “Punya gambaran; punya pengalaman akan masa
emosi individu. Ini bisa terkait dengan inner child traumatis atau inner child yang terluka.
Dalam konsep healing, sebenarnya hal tersebut adalah hak bagi setiap individu untuk DAMPAK INNER CHILD YANG TERLUKA menyembuhkannya Ada luka batin yang tidak mudah disembuhkan dan akhirnya berimbas pada pola pikir dan atau tidak.
ULTI MAG Z
35
Issue N o . 30
Wawancara dengan Adi Prayuda melalui Zoom pada Senin (07/03/22).
Relasi dengan emosi inilah yang kemudian mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Luka batin di masa lalu bisa jadi tidak sepenuhnya kesalahan diri sendiri. Terdapat banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, mulai dari pola pengasuhan dari orang tua maupun pendidikan. Kejadian-kejadian yang emosional bisa membekas dalam diri seorang anak, terutama di fase golden age. Menyadari bahwa ada sesuatu yang harus disembuhkan adalah langkah yang penting. Apabila hanya trauma ringan, maka bisa dibantu meditasi, hening sendiri, dan mengubah pola hidup keseharian. Namun, jika lebih dari itu, tentu membutuhkan perhatian yang lebih pula dan bantuan profesional. PERLUKAH MENYEMBUHKAN INNER CHILD? Sama seperti luka lainnya, inner child yang terluka perlu disembuhkan, apalagi jika sudah mengganggu keseharian dan relasi dengan orang lain. Untuk segala emosi yang dirasakan, langkah
utama menghadapinya adalah disadari dan tidak dilawan. Bila ditekan, bahkan dilawan, dalam jangka panjang bisa menjurus pada efek yang tidak baik bagi kesehatan mental dan tubuh. Dengan tidak menyalahkan faktor eksternal, seseorang sudah bergerak di jalur pemulihan. Namun, jika terus menyalahkan orang lain dan kondisi eksternal, akan sulit dan lama untuk pulih. Meskipun kesadaran pribadi berperan penting, orang-orang di sekitar pun bisa menjadi support system. Terutama, dalam hal mengajak untuk sadar bahwa ada luka batin yang belum terselesaikan dan perlu disembuhkan. Adi dan rekan-rekan praktisi lainnya terus menggaungkan permasalahan ini, demikian juga membantu dan mengajak melihat ke dalam diri. Salah satunya melalui buku yang ia tulis. Inner child yang terluka sekalipun tidak terlihat, bukan berarti tidak ada, karena merupakan aspek mental. Kesadaran dan keinginan untuk sembuh merupakan keputusan yang krusial.
36
SECTION:
OPINI INTERNAL
ULTI MAG Z
37
Issue N o . 30
Mahasiswa dan Kekhawatiran Tentang writer Andia Christy, Sherly Julia Halim photographer Chiquita Aurellia Tjandra editor Vellanda
Always end the day with a positive thought. No matter how hard things were, tomorrow’s fresh opportunity to make it better.
K
utipan di atas merupakan kata-kata motivasi favorit Yanuar Lurisa Aldio, salah satu konselor Student Support Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ia paham ada masa di dalam hidup yang membuat dirinya dan mahasiswa merasa khawatir sehingga butuh sebuah motivasi. Khususnya, di masa perkuliahan ketika mahasiswa memiliki berbagai pertimbangan untuk masa depannya. Menurut Yanuar, kekhawatiran memang sering muncul saat seseorang dihadapi dengan banyak pertimbangan atau situasi. Lalu, kekhawatiran tersebut memunculkan perasaan dan pemikiran negatif. Mahasiswa UMN pun tak bisa mengelak dari hal ini. Berdasarkan survei mandiri ULTIMAGZ, 49,3 persen dari 75 responden mahasiswa UMN merasa khawatir tentang pekerjaan di masa depan. Hal ini berkaitan dengan 56 persen responden yang juga merasa khawatir skill-nya saat ini belum cukup untuk mengemban kewajiban kerja di masa depan. “Saya merasa belum memiliki skill yang cukup untuk mencapai rencana-rencana saya ke depannya,” ujar Calysta Christoviani, mahasiswi Desain Komunikasi Visual (DKV) 2020 sebagai salah satu responden survei.
38
SECTION:
PANDANGAN SEORANG KONSELOR ATAS PERASAAN KHAWATIR Ujaran kekhawatiran seperti Calysta sudah sering didengar Yanuar. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, ia sering menjumpai mahasiswa yang mengkhawatirkan dua hal. Pertama, khawatir tidak bisa mengikuti mata kuliah. Mahasiswa merasa tidak bisa mengimbangi komunikasi dengan teman-temannya terutama ketika berhadapan dengan kerja kelompok, termasuk perihal khawatir tidak mendapatkan teman. Semua seputar masalah relasi. Kedua, tentang karier. Mahasiswa tidak yakin dengan kemampuannya sehingga tidak tahu arah mana yang harus mereka hadapi setelah dunia perkuliahan berlalu. Bila ditanyakan apakah itu hal yang normal, menurut Yanuar, tentu saja normal. Setiap orang berhak untuk merasakan khawatir. “Itu adalah perasaan atau pikiran yang muncul yang membuat lo semakin sadar. ‘Oh, ternyata gue masih manusia, lho. Gue masih punya pikiran dan gue masih punya kecemasan lho’,” ungkapnya ketika diwawancarai ULTIMAGZ pada Kamis (03/03/22). Kekhawatiran memang berada di dalam pikiran manusia. Namun, Yanuar menjelaskan bahwa manusia sebenarnya bisa lepas dari rasa khawatir. Kekhawatiran masih bisa diatur dan dikondisikan. Walau tidak akan hilang untuk selama-lamanya, tetapi dapat diatasi selama perasaan itu tidak menimbulkan kecemasan dan stres berlebihan. MENGATASI KEKHAWATIRAN Setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi masalah. Namun, strategi untuk mengatasinya beragam. Hal pertama yang dapat dilakukan ialah mengenali diri sendiri. Ini sangat krusial karena menurut Yanuar, semua masalah akan mudah diatasi ketika seseorang
OPINI INTERNAL
mengenal diri sendiri. Mahasiswa bisa memulai dengan memahami kelebihan dan kekurangan. Bisa dengan bertanya kepada diri sendiri, bagaimana diri ingin dikenal dan didefinisikan. “Lo bisa gak jelasin diri lo siapa?” ujarnya. “Kalau mikirnya gue mahasiswa UMN, itu ‘kan cuma status. Tapi lo itu siapa? Lo itu bisa apa? Apa kelebihan dan kekurangan lo?” ungkap Yanuar. Dengan berusaha mencari dan menjawab, mahasiswa dapat mulai mengimbangi setiap kekurangan dan meningkatkan kelebihan yang dimiliki. Hal ini juga dapat membantu mahasiswa untuk bisa menempatkan diri pada masa perkuliahan, fokus pada mata kuliah yang betulbetul diinginkan, termasuk memahami profesi yang cocok untuk diri sendiri. Setelah menemukan jawaban, hal selanjutnya yang bisa dilakukan ialah menyusun strategi. Mahasiswa perlu memikirkan apa yang sangat penting bagi dirinya lalu mengutamakan hal tersebut. Kemudian, beranikan diri untuk terjun kepada hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu contoh yang diberikan Yanuar adalah ketika khawatir tentang berat badan. Dari kekhawatiran tersebut, pandangan orang lain termasuk lawan jenis dan diri sendiri bisa dilawan dengan memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Dengan begitu, mahasiswa dapat bangkit dan mengasah potensi diri sendiri.
Namun, Yanuar menjelaskan bahwa manusia sebenarnya bisa lepas dari rasa khawatir.
ULTI MAG Z
Issue N o . 30
Tim ULTIMAGZ melakukan wawancara dengan Yanuar Lurisa Aldio, konselor Student Support UMN
“Misalnya, takut kelihatan gemuk di depan orang, lo akhirnya memutuskan untuk olahraga. Nah, olahraga apa yang cocok dengan gue? Diet apa yang cocok dengan gue?” ujarnya, “Kalau ada beberapa yang tidak cocok untuk olahraga atau diet, mereka memberanikan diri untuk konsultasikan dengan dokter. Dari situ mereka tahu, 'oh gue harus begini'.”
atau bahkan benda-benda yang ingin didapatkan. Faktor tersebut mampu mengingatkan dan mendorong motivasi awal diri mahasiswa. Contohnya, mencari tempat ‘healing’ untuk membangkitkan motivasi dan mood, maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa melepas stres. Yanuar pun mengingatkan mahasiswa bisa berkonsultasi di Student Support UMN jika mengalami masalah kekhawatiran. Ada beberapa FAKTOR EKSTERNAL YANG DAPAT konselor yang telah dibekali ilmu untuk BERKONTRIBUSI membantu para mahasiswa mengelola rasa Dalam kehidupan, terdapat beberapa faktor khawatir, kebingungan, ataupun kekosongan yang bisa mendewasakan manusia. Namun, yang dialami. terkadang, manusia tidak dapat membantu “Mengisi kekosongan itu bukannya kita dirinya sendiri. Oleh karena itu, kontribusi faktor jadi pacar atau ayang-ayangan lo. Enggak,” eksternal tidak kalah penting. candanya, “Tapi kayak membantu lo untuk yakin Faktor eksternal bisa berupa keluarga, teman, dengan diri lo.”
39
40
SECTION:
OPINI EKSTERNAL
Coping Mechanism Akibat Ekspektasi, Apakah Boleh? writer Michael Ludovico Palma De Manggut, Vanessa Anabelle Herlin photographer Margaretha Netha editor Nadia Indrawinata
“Kapan, sih, kamu lulus S-1?” “Kapan kamu bisa seperti dia yang sudah memiliki rumah di usia muda?” “Kapan kamu akan punya pasangan?”
P
ertanyaan basa-basi tersebut sering didengar, apalagi saat acara kumpul keluarga. Tanpa disadari, pertanyaanpertanyaan itu memberikan ekspektasi atas hidup yang berdampak pada kesehatan mental. Kondisi kesehatan mental menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, terkadang lebih sulit untuk menyadari adanya gangguan kesehatan mental. Pada zaman sekarang, gangguan ini sering timbul akibat ekspektasi dari orang-orang sekitar. Setiap orang memiliki cita-cita, ambisi, dan juga tujuan atas diri mereka masingmasing. Namun, terkadang sebelum seseorang benar-benar paham tentang apa yang menjadi
arah hidupnya, ia sudah disuguhi dengan konsep kesuksesan atau pencapaian menurut masyarakat. Hal ini bisa ditemukan di media sosial yang sudah menjadi konsumsi seharihari. Ada banyak anak muda yang menunjukkan kesuksesan hidup masing-masing. Hampton dkk. dalam artikel "Social Media and the Cost of Caring" menyebutkan bahwa dari media sosial dapat muncul kecemasan sosial, perasaan iri, dan 'takut ketinggalan' dengan apa yang dicapai orang lain. Selain itu, mudahnya akses ke media sosial turut menyebabkan adanya ekspektasi yang semakin besar dari orang-orang sekitar, khususnya orang terdekat. ULTIMAGZ mewawancarai Virdha Emmalianna
ULTI MAG Z
41
Issue N o . 30
Yudha sebagai perwakilan dari salah satu akun yang bergerak di bidang psikologi di Instagram yaitu @kitaberkisah. Perempuan yang kerap disapa Vey ini merupakan seorang Sarjana Psikologi dan CEO Office dari @kitaberkisah. Menurutnya, ekspektasi dapat membawa seseorang menuju dua situasi yang berbeda. “Kita mungkin bisa ngomong kalau social expectations (ekspektasi sosial) adalah hal buruk karena dia menciptakan pressure ke orang-orang muda. But, not to mention, kadang social expectations juga memiliki benefits yang bisa meng-encourage orang-orang atau teman-teman muda untuk semangat menggapai impiannya,” ujar Vey. Dalam menghadapi kondisi tertekan, seseorang pasti pernah melakukan sesuatu untuk
menghadapi masalah ini. Hal ini biasanya disebut dengan teori coping mechanism. Menurut teori Carver, cara mengatasi atau coping mechanism berarti upaya untuk mencegah atau mengurangi ancaman, bahaya, kerugian, dan perasaan sakit akibat sebuah kondisi. Menurut Vey, anak muda sudah sering melakukan coping mechanism tanpa mengetahui teori tersebut. Tujuannya adalah mengatasi tekanan di dalam diri akibat permasalahan di kehidupan, seperti ekspektasi sosial. Terdapat banyak cara untuk melakukannya, baik yang termasuk ke dalam kategori sehat maupun tidak sehat. Coping dengan cara sehat merupakan langkah yang ditempuh untuk mengatasi tekanan dan
42
SECTION:
tidak memberikan kerugian terhadap orang yang menerapkan. “Contoh coping mechanism yang sehat dan baik untuk diri kita adalah bermeditasi, ngelakuin yoga, olahraga, atau kita sunmori (sunday morning ride),” tambah Vey. Selanjutnya, terdapat cara coping yang termasuk ke dalam kategori tidak sehat. Vey mengatakan jenis coping ini mengarah pada sesuatu yang buruk untuk dilakukan. Sebagian orang tidak memiliki sumber daya yang cukup seperti dukungan dari keluarga atau kurang literasi. Akhirnya, mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika menemukan masalah. “Sebagian teman-teman yang kayak gitu, mereka (dengan sumber daya kurang) bisa saja cenderung memilih untuk menyakiti dirinya sendiri. Mereka melakukan self harm atau bisa saja mereka memilih untuk minum alkohol, drugs, atau yang lebih ekstrem lagi,” katanya. Ketika sedang mengalami permasalahan, terkadang seseorang memiliki ambisi besar untuk mengatasinya. Hanya saja, terkadang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. “There is to say, kalau segala hal di dunia ini yang berlebihan itu enggak baik. Kami pun sebagai practitioner di dalam psikologi juga percaya kalau segala hal yang berlebihan itu enggak baik. Jadi, lakukanlah apapun dengan secukupnya, termasuk dalam hal yang sedang kita bahas di sini adalah coping mechanisms,” ujar Vey. Agar mengetahui coping yang dilakukan tidak berlebihan, perlu adanya mindfulness sederhana yang mengarahkan seseorang untuk sadar dengan keadaan sekitarnya.
OPINI EKSTERNAL
There is to say, kalau segala hal di dunia ini yang berlebihan itu enggak baik. Kami pun sebagai practitioner di dalam psikologi juga percaya kalau segala hal yang berlebihan itu enggak baik. Jadi, lakukanlah apapun dengan secukupnya, termasuk dalam hal yang sedang kita bahas di sini adalah coping mechanisms.
ULTI MAG Z
43
Issue N o . 30
Vey mengatakan bahwa coping bukan prioritas. “The concept about mindfulness itu mereka akan stop dengan sendirinya, dan mereka sudah tahu kalau priority mereka bukan lagi nonton film, bukan lagi sunmori, tapi adalah kerja atau melanjutkan hidup. Sebenarnya orang-orang itu punya kesadarannya masing-masing, mereka sudah cukup atau belum melakukan coping mechanism,” ujarnya. Permasalahan memang menjadi sesuatu
yang memberatkan seseorang. Sering kali orang mencoba mengatasinya dengan berbagai langkah, baik positif maupun negatif. Dalam menjalani prosesnya, ada akibat-akibat yang dirasakan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah seseorang tidak dapat lepas dari ekspektasi lingkungan sekitar. Namun, yang jelas, standar orang lain tidak boleh dijadikan sebagai acuan karena prioritas setiap individu berbeda.
Tim Ultimagz melakukan wawancara dengan perwakilan @kitaberkisah, Virdha Emmalianna Yudha pada Selasa (08/03/22).
44
SECTION:
C H I T C H AT
ULTI MAG Z
45
Issue N o . 30
CHIT CHAT H
ubungan antara anak dan orang tua menjadi hal penting dalam keluarga. Namun, seiring bertambah dewasa, hubungan anak dengan orang tua terkadang mulai renggang. Hal ini dapat dilihat ketika anak memasuki fase remaja dan mulai lebih sering tertutup dengan orang tua mereka. Dilansir dari liputan6.com, psikolog Roslina Verauli mengatakan bahwa remaja perlu waktu untuk membangun identitasnya sendiri. Hal ini juga semakin dipersulit dengan emosi remaja yang tidak stabil akibat situasi-situasi yang mereka hadapi setiap harinya. Untuk itu, ULTIMAGZ mewawancarai beberapa mahasiswa di Universitas Multimedia Nusantara terkait pandangan mereka terhadap hal ini.
reporter Louis Brighton Putramarvino videographer Rafael Amory Joseph editor Nadia Indrawinata
46
SECTION:
REVIEW
writer Stephanie Amelia Wijaya editor Jessica Elisabeth
"Takut" Ciptaan Idgitaf Gambarkan Proses Menuju Dewasa yang Tak Sesuai Ekspektasi Transisi dari remaja menuju dewasa tentu dialami semua orang. Hanya saja masa-masa ini dianggap menakutkan karena dituntut untuk menangani tanggung jawab yang lebih besar. Ketakutan dalam menghadapi masa ini juga dirasakan oleh Idgitaf dalam lagunya berjudul “Takut” yang menggambarkan ketakutannya untuk menjadi dewasa. “Takut” ciptaan Idgitaf atau yang biasa dipanggil Gita ini dirilis pada 1 Oktober 2021. Lagu bergenre pop ini bercerita tentang seorang remaja yang baru saja menginjak usia 20-an. Usia tersebut membuatnya resah. Persepsi mengenai dewasa yang dikira menyenangkan karena bebas berekspresi dan terlepas dari kekangan orang tua, kini lenyap. Pertengahan dua lima Selanjutnya bagaimana? Banyak mimpi yang terkubur Mengorbankan waktu tidur Ku tak tahu apa lagi yang 'kan kukejar Melalui lagu ini pendengar tahu bahwa dewasa ternyata tidak seperti apa yang pikirkan. Menjadi dewasa berarti harus mulai mengejar mimpi dan bukan sekadar bersenang-senang. Hal ini juga mengharuskan semua orang untuk bertindak lebih bertanggung jawab. Sebab di masa dewasa, perbuatan tersebut harus ditanggung oleh diri sendiri bukan orang tua.
Aku sudah dewasa Aku sudah kecewa Memang tak seindah yang kukira Aku sudah dewasa Aku sudah kecewa Memang tak sekuat yang kukira Pesan dari lagu berjudul “Takut” menggambarkan bahwa umur yang kian bertambah menuju dewasa berarti akan ada banyak orang perlahan mulai pergi. Masa kecil yang penuh mimpi dan ekspektasi akan hancur ketika beranjak dewasa. Tumbuh kesadaran bahwa nyatanya meraih mimpi tidak semudah itu, akhirnya mengakibatkan kekecewaan di masa depan. Banyak mimpi dan ekspektasi yang lenyap selama bertumbuh karena tersadar bahwa kehidupan nyata kerap kali tidak sesuai harapan.
REVIEW
ULTI MAG Z
47
Issue N o . 30
NKCTHI: Tidak Semua Keluarga Baik-Baik Saja Kisah keluarga sering ditampilkan bak dongeng yang menunjukkan keluarga bahagia. Hal ini berbeda dengan "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini" (NKCTHI). Film ini mengangkat kisah sebuah keluarga yang terpaksa harus menyembunyikan perasaannya masing-masing dan bersikap seolah semua baik-baik saja. Angkasa, si sulung harus menanggung beban yang besar sedari kecil. Beban ini membuat Angkasa tumbuh menjadi pria yang menyembunyikan perasaan dan amarah. Sementara itu, Aurora, si anak tengah merasa kehadirannya tidak dianggap oleh keluarganya sendiri. Sebab ayahnya, Narendra hanya berfokus pada Awan, si bungsu yang menjadi pusat perhatian keluarga. Inilah yang menjadi konflik utama film garapan Angga Dwimas Sasongko. Tidak sampai sana, ketidakadilan ini juga menyebabkan masalah baru. Awan tumbuh menjadi sosok yang tidak mandiri karena sejak kecil selalu dibantu dan dipenuhi kebutuhannya. Film yang diangkat dari buku karya Marchella FP ini mengisahkan satu keluarga yang sebenarnya menyimpan luka dalam, tetapi terpaksa menyembunyikannya dan berusaha terlihat baikbaik saja. Film ini menyadarkan bahwa hal-hal kecil seperti menyembunyikan perasaan ternyata
tidak bisa dibiarkan. Terlihat dari ayahnya yang berusaha baik-baik saja. Namun, hal ini justru berdampak pada kurang seimbangnya kasih sayang yang didapat anak-anaknya lalu membuat mereka terlalu cepat dewasa. Sementara itu, Awan yang menjadi pusat perhatian ayahnya harus tumbuh menjadi anak tidak mandiri. Akibat dari tidak adanya keterbukaan pada keluarga ini justru membangun luka baru yang membekas. Dari sini Ultimates bisa melihat, terlepas apapun alasan seseorang harus menyembunyikan lukanya, kejujuran dan saling terbuka tetap menjadi kunci dari keluarga yang bahagia.
48
SECTION:
Lirik "Beranjak Dewasa" Memaknai Proses Dewasa Lebih Cepat Lagu “Beranjak Dewasa” yang dinyanyikan oleh
intens dan menggema menyimbolkan ia bukan
Nadin Amizah menggambarkan bahwa proses
lagi seorang remaja.
beranjak dewasa merupakan permulaan dari
Pada akhirnya ini semua
kehidupan sebenarnya. Dirilis pada 2020, lagu ini
Hanyalah permulaan
memiliki makna yang dalam di setiap kalimatnya.
Pada akhirnya kami semua
Kita beranjak dewasa
Berkawan dengan sebentar
Jauh terburu seharusnya
Lagu ini bercerita bahwa dalam proses beranjak
Bagai bintang yang jatuh
dewasa akan ada banyak pertemuan yang disertai
Jauh terburu waktu
dengan perpisahan, seperti dalam hubungan
Mati lebih cepat
pertemanan. Perjalanan yang menjadi tahap
Potongan lirik di atas memiliki makna yang
awal melepas status remaja ini mengisahkan
cukup dalam karena menggambarkan proses
proses menuju dewasa penuh lika-liku. Misalnya,
dewasa yang terlalu dini atau terlalu cepat.
harus mengalami perpisahan, terpaksa beranjak
Kalimat tersebut menjelaskan sebuah kondisi
dewasa lebih cepat, dan menghadapi kematian
tidak menyenangkan seperti perpisahan yang
yang lebih dekat. Menjadi dewasa berarti harus terbiasa dengan
harus dihadapi dengan kedewasaan. “Beranjak
Dewasa”
diwarnai
dengan
adanya pertemuan yang disertai perpisahan dan
aransemen musik dengan nuansa nada ‘gelap’
tetap harus menghadapi kenyataan. Akan ada
dan dreamy. Kemudian, disertai dengan nada
banyak kondisi tidak menyenangkan yang harus
yang menunjukkan suasana positif dan optimis.
diterima dan membuat setiap orang terpaksa
Pada akhir lagu, suara Nadin yang terasa lebih
menjadi dewasa.
REVIEW
ULTI MAG Z
49
Issue N o . 30
Adanya Ketidakadilan Dibalik Kebahagiaan Keluarga Madrigal Film musikal yang berlatar tempat dan budaya Kolombia ini menceritakan kisah keluarga Madrigal yang hidup dalam rumah ajaib, Casita. Dipenuhi unsur keceriaan dan tawa, "Encanto" memiliki makna tersirat karena menggambarkan kondisi yang banyak dialami keluarga di kehidupan nyata. Ketidakadilan dialami Mirabel karena ia lahir di keluarga yang masing-masing anggotanya memiliki kemampuan magis. Mulai dari kakak Mirabel, Isabela yang memiliki karunia sihir untuk menumbuhkan tanaman dan membuat bunga mekar serta Luisa yang sangat kuat. Ibu Mirabel, Julietta juga memiliki karunia berupa kekuatan untuk menyembuhkan. Sayangnya, Mirabel tidak memiliki kemampuan apapun. Hal ini membuatnya harus tumbuh menjadi anak yang terkucilkan karena dianggap tidak berguna. Sehari-hari, Mirabel sibuk mencari bakat apa yang seharusnya ia punya dan terus mencoba agar bisa bermanfaat bagi keluarga. Mirabel
terpaksa tumbuh dewasa lebih cepat karena terus merasa insecure dan membandingkan dirinya dengan seluruh anggota keluarga yang memiliki kemampuan hebat. Sampai akhirnya, Casita terancam karena keberadaan sihir mereka yang mulai memudar. Visual “Encanto” penuh dengan warna budaya dan latar pemandangan Kolombia. Film produksi Disney ini juga disertai dengan lagu-lagu orisinil karya Lin-Manuel Miranda. Lagu-lagu tersebut berhasil membuat penonton merasakan berbagai emosi seperti terharu, gugup, hingga berjoget terbawa irama. Film ini berpesan bahwa setiap orang memiliki perannya masing-masing dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Contohnya, kedua kakak Mirabel yang dianggap berbakat juga memiliki kekurangannya masing-masing. Mirabel yang dianggap tidak berguna justru menjadi anggota keluarga paling berperan menyelamatkan Casita.
50
SECTION:
CERPEN
ULTI MAG Z
51
Issue N o . 30
Cermin Usang Keringat membasahi sekujur tubuh Renjani. Jantungnya berpacu, bersyukur masih berdetak. Tubuhnya gemetar, meringkuk berbalut selimut hitam kesayangan. Sayup-sayup terdengar suara sirene ambulans lewat di depan rumah. Sejak kepergian mendiang adiknya, bisingnya sirene ambulans bak mimpi buruk bagi gadis itu. “Renjani,” panggil Ayah berulang kali dengan nada lembut, diiring oleh ketukan pintu. Entah sudah berapa lama pria itu berdiri di sana. Lidah gadis itu terlalu kelu, bahkan untuk mengiyakan saja tak mampu. Ya, Ayah selalu tahu serangan panik akan hadir setiap mendengar suara itu. Perlahan-lahan Renjani mengatur napas dan berusaha menenangkan diri. Gadis berusia 21 tahun itu berusaha melafalkan hitungan dalam kepala guna mengecoh pikiran. Selang lima belas menit, serangan panik pun mereda. Ia memberanikan diri bertemu Ayah. Ketika membuka pintu, tampak sosok pria paruh baya membawa segelas susu cokelat hangat sembari tersenyum. Tak banyak bicara, ia mengusap surai legam gadis semata wayangnya dan menatap matanya lekat-lekat. “Minum dulu,” ujarnya sembari menyodorkan gelas kepada anaknya. Renjani tersenyum sembari mengambil susu cokelat buatan ayahnya. Tak ada percakapan yang terbangun. Ayah terus mengamati anak gadisnya, memastikan ia baik-baik saja. Renjani yang tengah meneguk susu cokelat pun tak nyaman diperhatikan layaknya tontonan.
writer Graciella Olivia Widjaja editor Vellanda illustrator Angelica Jienarta
“Aku masuk dulu, ya,” ucap Renjani membalikkan badan. Sebelum pintu benar-benar tertutup rapat, Ayah kembali melontarkan petuah untuk sang anak. “Renjani besok istirahat saja, ya, jangan ngampus dulu. Ibu tadi titip pesan, obat-obat kamu jangan lupa diminum, ya,” pinta Ayah. “Iya, Ayah,” turutnya tanpa pikir panjang. Renjani kembali masuk ke kamar dan mengambil beberapa obat dari lacinya. Entah sudah berapa lama ia harus berkawan dengan obat penenang. Belakangan ini, Renjani lebih sulit mengendalikan emosi dan pikirannya. Kata orang, quarter life crisis terjadi di usia 25 tahun, tetapi dirinya justru mengalami guncangan emosi lebih awal dari yang semestinya. Tanda tanya terus berputar dalam benaknya.
"Sebenarnya Aku Kenapa?" Mentari menampilkan cahaya dari balik jendela. Hari ini, Renjani bolos kuliah. Namun, sejak pukul 3 dini hari, memori terus berputar layaknya cuplikan kaset video yang telah rusak. Sekelebat ingatan penuh keceriaan di masa kanak-kanak. Adegan dua anak manusia yang tengah bertikai memperebutkan mainan kesukaan. Perlahan semuanya luput tergantikan oleh bising suara ambulans dan tangisan. Renjani bergidik ngeri, menghapus awan-awan yang mulai menggerayangi kepalanya. Gadis itu bergegas dari kasurnya, sudah lama ia tidak
52
membersihkan beberapa ruangan di rumah. Seperti biasa, ayahnya pergi menjajakan patung pahat kepada para kolektor seni. Ketimbang larut dalam pikiran, ia putuskan untuk menyusuri seisi rumah. Menyapu, mengepel, hingga membereskan gudang yang telah lama tidak dibuka. Tak banyak barang. Hanya beberapa kanvas milik ibunya yang tertutup kain, kardus yang tersusun rapi, dan sebuah cermin yang berdebu. Ralat, tidak hanya cermin, semuanya penuh debu tanpa terkecuali. Bermodalkan sebuah serbet kumal, ia mengelap setiap debu tak bersisa. Hingga tinggal satu lagi, cermin. Dilihatnya sebuah cermin setinggi 1,7 meter dengan pinggiran kayu yang dipahat oleh Ayah. Begitulah keluarga seniman. Saat hendak membersihkan kaca, tanpa disadari muncul sosok anak perempuan dari pantulan cermin dan berada di belakangnya. Ia terperanjat, ketika ditengok, sosoknya hilang. Bukan, ini bukan kisah mistis. Anak kecil itu tak berpindah tempat, bayangannya tampak nyata di dalam cermin. Ketika dilihat lebih jelas, sosok tidak asing. Ia Renjani semasa kecil. Renjani menutup mulutnya, sebisa mungkin tidak berteriak dan menciptakan kegaduhan. Dari pantulan cermin, tampak Renjani kecil berlari menuju pintu keluar. Langkahnya terhenti, ia melambaikan tangan
SECTION:
seolah mengajak berpetualang melalui cermin. Jiwa petualang Renjani bergelora, ia mencoba mengulurkan tangannya. Tembus. Renjani memasuki wilayah gudang di dalam cermin. Mencoba mengikuti Renjani kecil yang keluar dari pintu. Ia menutup pintu dan suasana berubah, tampak seorang anak kecil terbaring di atas kasur rumah sakit. Tubuhnya lebam dan membiru. Itu bukan dirinya. Di samping kasur, Ayah berdiri dengan postur gahar dan belum beruban. Saat matanya beralih, Renjani tak kuasa menahan tangis. Setelah sekian lama, ia dapat melihat lagi sosok wanita ayu yang tak lain adalah ibunya. Ketika ia mencoba menghampiri ibunya, Renjani kecil memasuki ruang rawat. Renjani mundur selangkah. Sorot mata sang ibu berubah tajam sembari berdiri dan berjalan mendatangi Renjani kecil. “Lihat ini, Rena begini garagara siapa? Gara-gara kamu! Siapa yang suruh main jauhjauh? Sekarang Rena sudah enggak ada,” teriak ibunya. Ayah berusaha menahan sang ibu. Renjani kecil hanya menunduk, menahan air mata agar tetap pada tempatnya. Tiba-tiba tubuh Ibu gemetar, keringat bercucuran. Tubuhnya limbung. Ayah mengajak Ibu untuk duduk. Ayah berusaha membantu Ibu mengatur pernapasan dalam tempo lambat sembari mengusap punggung tangan wanita itu.
CERPEN
Renjani kecil menyaksikan semuanya, dadanya naik turun. Emosi dan kalut bercampur jadi satu. Anak itu berlari keluar kamar rawat. Renjani mengikuti langkah anak itu. Meskipun perasaan campur aduk, tetapi ia berusaha mencari apa yang terjadi dengan dirinya di masa kecil. Renjani kecil keluar dari rumah sakit, menyusuri tempat parkir. Ia menangis sekencang-kencangnya. Tak lama, terdengar sirene ambulans. Renjani dewasa seketika berjongkok, menutup kedua telinganya. Namun, dirinya begitu terkejut melihat Renjani kecil berdiri di tengah jalan tempat ambulans melintas. Terlihat ambulans gawat darurat membunyikan sirene dan mengklakson. Renjani bangkit, menarik Renjani kecil ke dalam dekapannya. Keduanya seolah saling mendengar cerita tanpa berujar kata. Tangisan mereka pecah. Renjani dewasa mengusap-usap punggung Renjani kecil. Ketika Renjani dewasa melepas dekapan, ia menggenggam kedua tangan mungil dirinya di masa kecil. “Jani, nangis saja, ya, jangan ditahan. Gak apa-apa, ya. Aku tahu Jani salah, tapi manusia pasti bisa salah,” ujar Renjani dewasa sambil terus meneteskan air mata. “Aku minta maaf, ya. Mengurung perasaan sendiri, mengisolasi diri. Mulai sekarang, jangan paksakan diri, ya. Terutama untuk jadi kuat. Jani sudah cukup baik. Semua akan baik-baik saja, ya?” lanjutnya.
ULTI MAG Z
53
Issue N o . 30
Renjani kecil terus menangis sesenggukan. Renjani dewasa kembali mendekap sosok kecilnya. Seolah keduanya bersatu dan saling menguatkan di kala rapuh. Sama-sama mencari kata damai dengan diri sendiri. “Terima kasih, ya, Jani sudah kuatkan aku, terus sayangi aku, ya,” ucap Renjani kecil di dalam dekapan. “Pasti.” Renjani dewasa bergandengan tangan dengan Renjani kecil. Keduanya berjalan menuju gudang rumah. Sebelum benar-benar pulang, Renjani dewasa tersenyum dan mengusap kepala anak kecil itu. Anak kecil itu mendongak ke arahnya, terlukis guratan bahagia dari wajah anak itu. “Jani, semuanya akan baik-baik saja, ya?” tanya anak kecil itu dengan polosnya. “Iya,” jawab Renjani. Renjani dewasa kembali menembus sebuah cermin usang. Ketika ia berbalik, sosok Renjani kecil telah menghilang entah ke mana. Renjani mengusap cermin itu. “Terima kasih, ya,” ucapnya sembari menghadap dirinya sendiri di depan cermin. Sabtu, 23 Agustus 2008, Renjani menghabiskan akhir pekan bersama Rena, adiknya. Mereka pergi ke taman bermain sambil menaiki sepeda. Renjani mengencangkan laju sepeda tanpa menghiraukan keberadaan Rena. Nahasnya, Rena ditemukan tewas usai kejadian tabrak lari di usianya yang baru menginjak lima tahun. Renjani menyaksikan tubuh Rena yang berlumuran
darah dipapah ke dalam ambulans. Kejadian itu menyisakan trauma bagi Renjani. Pada usia remaja, Renjani mengidap anxiety disorder. Sejak saat itu, ia terus berurusan dengan obatobatan. Hubungannya dengan Ibu mulai membaik. Ayah dan Ibu kerap menemani gadis itu ketika mengalami serangan panik. Renjani rutin menjalani terapi untuk menyembuhkan trauma dalam dirinya. Kini, Renjani menyadari akan pentingnya kehidupan dan penerimaan diri. Seluruh peristiwa masa lalu tak dapat diubah dan hidup akan terus berjalan. Kondisinya mulai membaik. Obatobatan yang dikonsumsi perlahan berkurang. Ia kembali melangkah dengan mantap. Tujuannya hidup kembali disusun.
Perlahan tapi pasti, aku akan tetap hidup dengan kakiku dan untuk diriku.
54
SECTION:
Kenal Lebih Dekat dengan Highly Sensitive Person writer Caroline Nathasa Dharmadhi photographer Charles Putra editor Vellanda
B
anyak orang masih salah kaprah dengan pemahaman highly sensitive person (HSP). Seseorang dapat dikatakan sebagai HSP jika ia memiliki reaksi yang kuat terhadap stimulus tertentu. Hal ini disampaikan oleh Auliya Ulil Irsyadiyah dalam webinar berjudul “Highly Sensitive Person: Identik Cengeng, Lebay, dan Baper” pada Sabtu (05/03/22). HSP adalah seseorang yang memiliki kadar sensitivitas atau kepekaan tinggi. Selain itu, HSP memiliki sebutan lain yaitu sensory processing sensitivity (SPS). Individu dengan sensitivitas tinggi ini umumnya akan lebih peka terhadap stimulasi yang terjadi di lingkungannya. Umumnya pelabelan yang tinggal pada orang dengan tingkat sensitivitas tinggi identik dengan istilah ‘bawa perasaan’ (baper). Namun, psikolog klinis yang akrab disapa Ulil ini menganggap bahwa tidak semua label 'baper' itu benar adanya.
“Sensitif dan baper itu adalah dua hal yang berbeda. Kalau istilah baper itu lebih merujuk pada orang yang mudah tersinggung secara emosional, sementara orang yang sensitif lebih cenderung memiliki reaksi yang kuat terhadap stimulus tertentu,” ujarnya. Istilah HSP pertama kali diperkenalkan oleh Elaine Aron, seorang psikolog dari Amerika yang memulai penelitiannya pada 1991. Ulil juga menjelaskan bahwa secara keseluruhan sekitar 15 hingga 20 persen populasi manusia di dunia adalah orang-orang HSP yang memiliki tingkat sensitivitas secara emosional, fisik, maupun interaksi sosial. “Setiap orang yang HSP ini memiliki tingkat sensitivitasnya masing-masing, misalnya orang dengan indra perasa yang kuat malah jadi chef atau orang yang pendengarannya sensitif biasanya jadi musisi, dan sebagainya,” jelas Ulil.
EVENT
ULTI MAG Z
Issue N o . 30
55
56
SECTION:
Penyebab utama sensitivitas tinggi ini berasal dari genetik yang dibawa manusia dan lingkungan sekitarnya. Orang dengan HSP umumnya memiliki orang tua yang juga memiliki sensitivitas tinggi atau dikelilingi oleh orang-orang dengan sensitivitas yang serupa. HSP dianggap lebih terganggu karena stimulus seperti suara, bau, cahaya, emosi, dan perasaan tertentu. Akibatnya, mereka mungkin melakukan upaya untuk menghindari situasi yang mengganggu sensitivitasnya. Namun, di sisi lain, sensitivitas tinggi juga memiliki sifat positif. Hal ini dianggap berkaitan dengan tingkat kreativitas yang lebih tinggi, hubungan pribadi yang lebih kaya, dan apresiasi yang lebih besar terhadap estetika. KARAKTERISTIK HIGH SENSITIVE PERSON Ulil membagikan beberapa karakteristik orang dengan sensitivitas tinggi. Teori ini juga diungkap oleh Elaine Aron dalam bukunya yang berjudul Highly Sensitive Person. Hal ini terbagi dalam empat spektrum yang saling terkait, Ultimates dapat mengetahui keempat karakteristik utama tersebut sebagai berikut.
02 Overstimulated Jika suka memerhatikan setiap hal kecil dalam situasi rumit, intens, atau berlangsung terlalu lama, Ultimates bisa dikategorikan sebagai HSP. Semua ini diakibatkan karena kemampuan para HSP dalam menerima rangsangan yang begitu peka membuatnya menerima banyak informasi. Akhirnya, mereka merasa tidak nyaman dan merasa kewalahan. “HSP yang overstimulated cenderung memproses banyak hal sehingga mereka jadi mudah stres,” ungkap Ulil. 03 Emotionally reactive and empathetic Kehebatan dari para HSP adalah tingkat empatinya yang tinggi. Namun, stimulus berlebih juga bisa membuat mereka bereaksi berlebihan secara emosional. Hal ini akhirnya menimbulkan salah kaprah tentang HSP dan konsep ‘baperan’.
04 Sensitive to subtle stimuli Seperti yang telah disinggung sebelumnya, HSP adalah pribadi yang perasa. Mereka dapat merasakan suara, bau, cahaya, emosi, dan perasaan tertentu lebih baik dari orang lain. Ulil juga membagikan pengalamannya sendiri sebagai salah satu orang yang memiliki 01 Depth of processing sensitivitas tinggi. Ia bisa dengan mudah Seorang HSP cenderung memiliki ‘radar’ yang lebih membedakan wangi orang lain yang sering peka dari orang pada umumnya. Ia bisa merasakan bersamanya hingga mudah sadar dengan halberbagai hal yang lebih dalam dari orang lainnya, hal kecil. entah dalam bentuk rasa sakit, penglihatan, pendengaran, dan stimulus lainnya. Mereka lebih banyak memproses, menghubungkan, dan membandingkan apa yang mereka perhatikan dengan pengalaman masa lalu secara sadar maupun tidak. Dengan begitu, orang-orang HSP biasanya memiliki intuisi yang baik.
HSP yang overstimulated cenderung memproses banyak hal sehingga mereka jadi mudah stres.
EVENT
ULTI MAG Z
57
Issue N o . 30
Event yang diadakan oleh @layakbahagia.id pada Sabtu (05/03/22) menghadirkan psikolog Auliya Ulil, M. Psi., sebagai narasumber.
FAKTA DAN MITOS HIGHLY SENSITIVE PERSON Biasanya orang mengasosiasikan HSP dengan jenis kepribadian tertentu, seperti introver. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 30 persen HSP berkepribadian ekstrover. Hal ini mematahkan salah satu mitos mengenai kepribadian introver adalah orang yang sensitif dan ‘baperan’. Tak jarang juga banyak orang yang mengira bahwa HSP adalah gangguan mental. Nyatanya,
HSP merupakan aspek dalam penilaian kepribadian seseorang, bukan gangguan mental. Bagi seorang HSP, Ulil juga banyak bercerita mengenai caranya hidup dengan sensitivitas tinggi. Ia selalu berpikir bahwa sensitivitas tinggi adalah sesuatu yang positif. “HSP itu hal yang normal, bahkan bisa menjadi sarana bagi kita untuk mengembangkan diri sendiri secara lebih optimal ke depannya,” tuturnya.
58
SECTION:
SNAPSHOT
photographer photographerRafael Rafael Amory Amory Joseph J
SNAPSHOT
ULTI MAG Z
Issue N o . 30
photographer Margaretha Netha
photographer Charles Putra
photographer Melati Pramesthi
59
60
photographer Chiquita Aurellia Tjandra
photographer Margaretha Netha
SECTION:
SNAPSHOT
ULTI MAG Z
61
Issue N o . 30
photographer Melati Pramesthi
62
SECTION:
photographer Chiquita Aurellia Tjandra
SNAPSHOT
ULTI MAG Z
63
I ssue N o . 30
photographer Chiquita Aurellia Tjandra
@ultimagz
@ultimagz
ULTIMAGZ
No 30
ULTIMAGZ
MARCH-APRIL EDITION