Pr ogr am St udi Ar s i t ek t ur Sek ol ahAr s i t ek t ur ,Per enc anaan,danPengembanganKebi j ak an I ns t i t utT ek nol ogi Bandung Kor eaAr c hi t ec t ur al Ac c r edi t i ngBoar d Canber r a Ac c or d
Vol ume2/ 2019 I SSN2620-472X
© 2019 Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan Para Penulis Dilarang memperbanyak bagian atau keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa persetujuan tertulis dari Program Studi Arsitektur ITB. No part of this book may be reproduced in any manner whatsoever without written permission from the Architecture Program, ITB. Façade adalah produksi dari Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, Indonesia. Façade is a production of the Architecture Program, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung, Indonesia. Dicetak di Bandung, Indonesia. Printed in Bandung, Indoenesia. PROGRAM STUDI ARSITEKTUR SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN School of Architecture, Planning, and Policy Development Institut Teknologi Bandung (ITB). Labtek IXB Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Indonesia T (022) 250 0046 W www.ar.itb.ac.id ISSN 2620 - 472X (Complete Set) ISSN 9772620-472024 (vol. 2)
Kuliah Lapangan “Façade” Arsitektur ITB 2016 Tim Penyunting : Dr. Ir. Christina Gantini, M.T. Indah Widiastuti, S.T., M.T., Ph.D. Dr. Eng. Arif Sarwo Wibowo, S.T., M.T. Suhendri, S.T., M.Sc. Kepala Tim
:
Muhammad Rafi Akbar Siraj
Konseptor : Muhammad Rafi Akbar Siraj Mohammad Ilham Akbar Fransiskus Asisi Dwinugroho Tim Materi : Heidi Aisha Muthia Wening Sekargalih Hanan Marta Lina Angel Tang Ari Rizki Hamdar Mohammad Ilham Akbar Fransiskus Asisi Dwinugroho Muhammad Rafi Akbar Siraj Nabila Fairuza Arkansyah Farras Setiawan Firdha Adelia Said Kania Salsabila Tim Layout : Muhammad Rafi Akbar Siraj Mohammad Ilham Akbar Fransiskus Asisi Dwinugroho Nabila Fairuza Arkansyah Farras Setiawan Heidi Aisha Alyssa Fadhilla Ratu Intan Mutia Sketsa
:
Arsitektur ITB 2016
Foto
:
Arsitektur ITB 2016
Penyunting : Albertus Siswo Yulianto Foto Azizah Rahmazahra Harsanto Bella Febrilia Josephin Maria Pastika Muhammad Arya Wicaksono Foto sampul
:
Arkansyah Farras Setiawan
Hak cipta milik Panitia Kuliah Lapangan “Façade” Arsitektur ITB.
Prakata
PRAKATA
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya, buku laporan kuliah lapangan yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Kuliah Lapangan Arsitektur ITB 2018 “Façade” dapat diselesaikan dengan baik. Kuliah lapangan Arsitektur ITB merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Program Studi Sarjana Arsitektur ITB dalam rangka membekali mahasiswa dengan pengalaman mengenali dan menjelajahi perbendaharaan arsitektur secara langsung di lokasi, juga sebagai penggenap materi yang telah diberikan di kelas AR2231 Sejarah dan Tradisi Arsitektur di Indonesia. Pada tahun ini, kuliah lapangan mengambil lokasi di Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Façade merupakan branding dari kegiatan kuliah lapangan itu sendiri. Facade memiliki arti “wajah bangunan”, diharapkan dengan branding Façade ini kami dapat menggali ilmu arsitektur lebih daripada sekedar hanya tampak atau bagian luar bangunan saja. Buku laporan kegiatan kuliah lapangan ini merupakan persyaratan keluaran yang diharapkan oleh Prodi Arsitektur ITB, dan berisi kumpulan rekaman hasil pengalaman mengamati di tempat. Rekaman dalam buku terdiri dari atas hasil berupa rekaman narasi, sketsa, pengukuran, dan dokumentasi foto dari objek arsitektur yang dikunjungi maupun arsitek yang ditemui. Kami hendak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini dari awal hingga akhir: 1. Bapak Aswin Indraprastha, selaku Kepala Program Studi Sarjana Arsitektur ITB yang telah membantu keberjalanan kuliah lapangan, 2. Ibu Christina Gantini, Ibu Indah Widiastuti, Bapak Arif Sarwo Wibowo, dan Bapak Suhendri, selaku dosen pembimbing kuliah lapangan yang telah membimbing kami dari perencanaan kegiatan hingga penyusunan buku, 3. Nikolas Fiansa, Joshua Aditya, Ardelia Jessica, selaku tim konseptor dan ketua dari kegiatan kuliah lapangan Arsitektur ITB sebelumnya yang telah mendampingi, 4. Seluruh mahasiswa Arsitektur ITB 2015, 5. Pihak sponsor dan donatur yang telah memberikan bantuan dana, 6. Pihak-pihak laun yang belum disebutkan. 7. Kami menyadari buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Kami selaku panitia pelaksana Kegiatan Kuliah Lapangan Arsitektur ITB “Façade” 2018 mengucapkan selamat membaca, semoga buku ini berguna bagi pendidikan dan pengayaan keilmuan arsitektur.
Bandung, 1 Mei 2019.
Fransiskus Asisi Dwinugroho Prasetio Ketua Panitia Pelaksana Kuliah Lapangan Arsitektur ITB “Façade” 2018. vi
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Buku Dokumentasi Façade 2018 adalah hasil kerja kolektif 90 mahasiswa angkatan 2017 yang telah melaksanakan Kuliah Lapangan Façade 2018 ke tiga lokasi yakni: Semarang, Solo dan Yogyakarta pada 1- 7 Agustus 2018. Program Kuliah Lapangan “Façade” adalah program ekstrakurikuler tahunan dari Program Studi Arsitektur ITB, yang direncanakan dan dilaksanakan oleh mahasiswa tahun kedua serta dilaksanakan pada masa liburan di akhir semester 4. Gagasan kuliah lapangan satu angkatan ini berangkat dari inisiatif beberapa mahasiswa pada tahun 2015 yang berhasil mengajak rekan-rekan seangkatan untuk berwisata, mengisi liburan sekaligus menambah wawasan tentang arsitektur tradisional dan juga perkembangan arsitektur kontemporer di suatu lokasi. Gagasan ini kemudian dikembangkan dan diangkat menjadi agenda tahunan program studi untuk mahasiswa tingkat 2. Kuliah lapangan Façade ini bukan program wajib dan bersifat sukarela, serta perencanaan dan pengelolaannya dilakukan sendiri oleh angkatan bersangkutan. Di tahun 2018 ini, dari tiga kota di Jawa Tengah yakni: Semarang, Solo,Yogya, ada beberapa tempat di masing-masing kota yang menjadi obyek jalan-jalan dan pengamatan. Perjalanan dimulai dari kawasan Kota Lama, Lawang Sewu dan Klenteng Sam Poo Kong di Kota Semarang, De Tjolomadoe, Pasar Gede, Abhyagiri di Kota Solo, hingga kawasan Kotagede, Kali Code dan Karangwaru Riverside di Kota Yogyakarta. Selain itu rombongan mahasiswa juga berkesempatan mengunjungi dan berdiskusi dengan pakar, yaitu Pak Eko Prawoto, Pak Yuli Kusworo dan Pak Adi Utomo Hatmoko di rumah dan kantornya masing-masing. Alhasil, jalan-jalan atau kuliah lapangan ini sesungguhnya merupakan wadah dan ajang para mahasiswa untuk sejenak keluar dari rutinitas kegiatan kurikuler di kampus, melihat ke luar lalu berinteraksi dengan orang, tempat dan suasana dengan harapan tentu saja, mengasah kepekaan visual, spasial dan rasa dari berbagai tempat dan obyek yang didatangi. Rekaman perjalanan berupa foto-foto, sketsa dan diagram menunjukkan proses memilih, mencerna dan merekam informasi yang merupakan bekal sangat penting untuk menjadi arsitek nantinya. Sudut pandang dan komposisi beberapa foto dan detail sketsa menunjukkan kepekaan terhadap komposisi spasial serta visual yang cukup baik bagi mahasiswa tingkat 2. Hal yang patut dicatat dalam setiap penyelenggaraan kuliah tamu Façade adalah semangat program ini yakni kegiatan rekreasi yang sebisa mungkin bermakna arsitektural. Bagaimana melihat obyek, melihat struktur spasial, melihat pola-pola, melihat makna suatu tempat dari sudut pandang arsitek merupakan salah satu tujuannya. Pada akhirnya, jalan-jalan dan banyak melihat memang merupakan sarana arsitek untuk memperkaya wawasan, pengetahuan dan pengalaman. Selamat kepada mahasiswa angkatan 2017 yang telah menyelenggarakan kuliah lapangan Façade 2018 dengan baik dan bermakna. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para pembimbing kuliah lapangan yang memberikan arahan dan bimbingan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan dan pembuatan buku dokumentasi ini. Semoga buku dokumentasi ini memiliki manfaat bagi pengkayaan pengetahuan arsitektur di Indonesia. Bandung, 6 Mei 2019. Aswin Indraprastha, Ph.D, IAI Ketua Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan vii
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR Kuliah lapangan Façade ini, terselenggara selama 7 hari kalender yakni dari tanggal 1 – 7 Agustus 2018. Lima hari digunakan untuk berkegiatan kuliah lapangan, dan dua hari digunakan untuk mobilisasi seluruh mahasiswa pulang dan pergi. Hari pertama, kepergian rombongan di bagi atas dua kota yang berbeda, yakni sebagian beragkat ke Semarang dan didampingi dua orang dosen pembimbing, dan sebagian lagi menuju kota Solo, didampingi oleh dua dosen pembimbing juga. Mobilisasi peserta kuliah lapangan, untuk selanjutnya akan disebut ‘kulap’, biasanya membutuhkan waktu 1 hari penuh untuk pulang dan pergi mengingat jumlah mahasiswa yang berangkat cukup besar berkisar 100 orang, dan yang paling sulit dalam memobilisasi ini adalah masalah transportasi, di mana peserta seringkali berangkat dan pulang tidak dalam satu transportasi yang sama bahkan tidak dalam satu waktu yang sama, dan bahkan dari tempat/ kota yang berbeda-beda. Hal ini terjadi dikarenakan masalah harga tiket yang mahal, sehingga transportasi harus dipecah-pecah untuk memudahkan mobilisasi. Selain itu, dikarenakan waktu kulap diadakan pada saat libur semesteran, sehingga sebagian mahasiswa ada yang langsung berangkat dari kota asalnya menuju lokasi survai yang ditetapkan.
Persiapan yang dilakukan oleh seluruh siswa, bukanlah pekerjaan yang main-main, membutuhkan keseriusan dan tekad yang besar untuk dapat menyelenggarakan kuliah lapangan pada tiga buah kota yang berbeda, yakni kota Semarang, Solo dan kemudian bertemu di kota Yogyakarta. Persiapan mahasiswa bukan saja meliputi pembuatan buku panduan, mengikuti pembekalan, namun juga sampai mencari sponsorship bagi kegiatan kulap. Keseriusan mahasiswa ini patut diapresiasi tinggi mengingat kulap di Prodi Arsitektur ITB tidak memiliki sks dan berdiri lepas sebagai satu kegiatan utuh yakni dari, oleh dan untuk mahasiswa. Sedari awal, persiapan juga meliputi pemilihan dan pemilahan objek amatan, yakni objek-objek arsitektur vernakular dan berbagai objek arsitektur kontemporer termasuk objek-objek hasil karya arsitek yang terbangun serta mendapat penghargaan maupun apresiasi luas dari masyarakat di tiga kota tersebut. Tidak berhenti dan selesai menetapkan objek kulap, namun masih dilanjutkan melakukan kontak-kontak dan perijinan keberbagai objek amatan kulap yang telah dipilih tersebut. Hal ini semua dilakukan di sela-sela kesibukan mahasiswa mengikuti kuliah, berkegiatan studio, dan segudang aktivitas lainnya. Hari ke dua, adalah hari kulap di dua kota yakni Semarang dan Solo dengan objek amatan antara lain meliputi Kota Lama Semarang, Lawang Sewu (bangunan-bangunan Kolonial Belanda), Sam Poo Kong, Mesastilla Resort, Amanjiwo Resort, dan untuk kota Solo meliputi Pasar Gede (kota tua), Kasunanan Solo, Kampung Laweyan, Revitalisasi Pabrik Colomadu. Dan pada sore hari seluruh rombongan dari dua kota tersebut berangkat menuju kota Yogyakarta. Pada hari ke tiga sampai ke 6, selama 4 (empat) hari mahasiwa melakukan kegiatan objek amatan di Yogyakarta antara lain meliputi Cemeti Art House karya Eko Prawoto, Tembi Rumah Budaya karya Pak Pradipto, Kota Baru, Kampung Kali Code, Pakualaman, Gunungketur, Observasi ke Jeron Beteng (Kauman), dan tak lupa kawasan yang terkenal yakni Kawasan Malioboro (Pajeksan, Gandekan, Ketandan), dll. Semua perekaman objek-objek amatan dilakukan dalam bentuk foto, wawancara, sketsa, pengukuran bangunan dan juga narasi dari setiap objek amatan.
viii
Kata Pengantar
Hasil eksepedisi kulap ini kemudian keluar dalam bentuk dua kegiatan yakni dalam pameran hasil kulap dan penulisan buku dokumentasi. Pameran hasil kulap ini telah terselenggara pada tanggal 21 – 24 Januari 2019. Sebagai tambahan, selain buku dokumentasi kulap ini, semua hasil kulap juga terekam dalam bentuk jejak digital yakni instagram @facadeitb. Di IG tersebut semua kegiatan dari tahap persiapan sampai keluarnya produk hasil kulap dapat di lihat, bahkan meliputi seluruh kegiatan kulap dan amatan objek di tempat lain yang pernah dilakukan oleh Prodi Arsitektur ITB. Tidak cukup rasanya seluruh rekaman perjalanan ditulis disini, namun semoga sebagian kecil dari kegiatan kulap ini dapat menjadi catatan ringkas kegiiatan atas seluruh hasil kerja kolektif. Tidak lupa, sekalai lagi apresiasi yang tinggi diberikan kepada seluruh mahasiswa Prodi Arsitektur Angkatan 2017 atas terselenggaranya kulap di tiga kota Semarang – Solo - Yogyakarta. Semoga buku ini dapat berguna dan menjadi ajang pembelajaran serta penambahan wawasan arsitektur, baik arsitektur tradisional, arsitektur vernakular, arsitektur Kolonial Belanda, arsitektur Kontemporer, dan juga dapat menambah khasanah pengetahuan serta pengayaan ragam arsitektur Indonesia.
Bandung, 6 Mei 2019 Dr. Ir. Christina Gantini, MT. Dosen Pembimbing Studi Eksursi Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur Kelompok Keahlian Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan
ix
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR Ekskursi, bagi mahasiswa arsitektur, adalah salah satu metode belajar yang tak tergantikan sekaligus penyegaran segala indera dari penatnya proses belajar di studio. Belajar dan refreshingitulah yang menurut saya menjadi pengalaman utama dari kegiatan Façade 2018 yang diadakan oleh Mahasiswa AR ITB angkatan 2016. Diskusi panjang di antara para mahasiswa , mahasiswa dengan dosen pembimbing, dan mahasiswa dengan prodi, telah menetapkan tujuan Façade 2018 ini adalah beberapa objek arsitektural di sekitar Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Melalui ekskursi atau kunjungan “singkat” ke objek-objek arsitektural pilihan, mahasiswa bisa mengenal dan merasakan lebih dalam mengenai arsitektur itu sendiri. Penyelenggaraan kegiatan ini terbilang “singkat” karena waktu yang tersedia untuk melakukan kunjungan ke berbagai objek arsitektural di Semarang, Solo, dan Yogyakarta tentu sangat kurang dibandingkan dengan banyaknya hal yang masih bisa digali. Namun demikian, dengan kerja sama yang baik di antara AR ITB 2016, setiap anggota semestinya dapat saling berbagi ilmu dan wawasan. Juga, mahasiswa secara kolektif. perlu melakukan diseminasi atas pengetahuan yang diperoleh dari ekskursi ini. Untuk itu, program pameran Façade 2018 (yang telah berlangsung) serta Buku Façade ini menjadi sarana diseminasi pengetahuan tersebut. Terlebih lagi Buku Façade ini, ia bukan hanya dipandang sebagai kumpulan karya fotografi, sketsa, maupun tulisan dari setiap mahasiswa AR ITB 2016. Tetapi AR ITB 2016 perlu memandangnya sebagai buku yang menampilkan hal-hal yang diserap oleh semua indera, diolah sebagai pengetahuan, dipilah secara kolektif, serta ditampilkan menjadi sesuatu yang bisa menambah wawasan pembacanya.
Bandung, 6 Mei 2019 Suhendri, ST., M.Sc. Dosen Pembimbing Studi Eksursi Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan
x
Kata Pengantar
Membangun pengetahuan di bidang arsitektur tidaklah cukup hanya melalui perkuliahan di kelas dan bekerja di studio saja. Berbicara tentang arsitektur adalah berbicara tentang ruang, yang sudah pasti sangat erat kaitannya dengan cipta, rasa dan karsa. Semua itu memerlukan stimulasi seluruh panca indera manusia. Kegiatan Faรงade ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk mengasah hal-hal tersebut, melalui pengalaman skala, bentuk, ruang, material, warna, tektonika, dan yang tidak kalah penting adalah interaksi sosial dengan masyarakat. Pengalaman para peserta Faรงade di Semarang, Solo dan Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam rangka apresiasi terhadap arsitektur lokal-tradisional, maupun modern-kontemporer. Berbagai penyelesaian tantangan dan permasalahan ruang serta konservasi bangunan yang telah dilakukan oleh para arsitek profesional yang dikunjungi selama perjalanan akan menjadi perbendaharaan pengetahuan yang nyata dalam diri para peserta, yang dapat dipelajari dan diterapkan untuk berbagai tugas perancangan arsitektur di perkuliahan dan studio, maupun praktek profesional di kemudian hari.
Bandung, 6 Mei 2019 Dr.Eng. Arif Sarwo Wibowo, ST., MT. Dosen Pembimbing Studi Eksursi Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur Kelompok Keahlian Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan
xi
Daftar Isi
DAFTAR ISI
Prakata
vi
Bagian 1: Semarang
1
Kata Pengantar
vii
Bab 1. Kota Lama
5
Daftar Isi
xii
Semarang
xii
Bab 2. Lawang Sewu
17
Bab 3. Sam Poo Kong
25
Daftar Isi
Bagian 2 : Solo
31
Bagian 3 : Yogyakarta
67
Bab 4. Pasar Gede
35
Bab 8. Kotagede
71
Bab 5. De Tjolomadoe
43
Bab 9. Kampung Kali Code
83
Bab 6. Rempah Rumah
53
Bab 10. Karangwaru Riverside
89
Bab 11. Kauman
97
Bab 12. Pakualaman
109
Bab 13. Malioboro
119
Bab 14. Kampung Domes
125
Karya Bab 7. Abhayagiri
61
xiii
Daftar Isi
Bab 15. Gereja Bintaran
135
Bab 16. Hotel Phoenix
141
Bab 17. Museum Gunung
151
Merapi
Bab 18. Tembi Rumah
159
Budaya
Bab 19. Cemeti Art House
169
Bab 20. Galeri dan
175
Homestay Lorong
Bab 21. Wisma Kuwera
185
Bab 22. Rumah Eko
191
Prawoto
Bab 23. Arkom Jogja
197
Bab 24. Global Rancang
201
xiv
Selaras
Bagian 4 : Penutup
206
Daftar Isi
xv
Bagian 1 : Semarang Bangunan Hero Coffee (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
1
Semarang
BAGIAN 1
SEMARANG
2
Bagian 1 : Semarang
Semarang merupakan sebuah kota yang sarat akan objek arsitektur bersejarah. Kami menelusuri kawasan Kota Lama Semarang, gedung Lawang Sewu, dan klenteng Sam Poo Kong, untuk mengetahui sejarah,elemen arsitektur, dan upaya konservasi dari jejak kolonial Eropa dan kebudayaan Tionghoapada arsitektur kota Semarang.
Puncak menara Lawang Sewu (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
3
Semarang
4
Bagian 1 : Semarang
5
Bab 1 : Kota Lama Semarang
BAB 1
KOTA LAMA SEMARANG
Kota Lama Semarang merupakan kawasan perdagangan pada abad 19-20. Gedung-gedungyang dibangun pada masa Hindia-Belanda masih terlihat dan letaknya terkelompokkan secara terpisah dari sekelilingnya membuatnya dijuluki Outstadt atau Little Netherlands. Didampingi staf BPK2L (Badan Pengelola Kawasan Kota Lama), kamiberkeliling melihat berbagai bangunan di dalam kawasan Kota Lama Semarang dan mempelajari upaya-upaya konservasi yang telahdilakukan oleh BPK2L.
Facade bangunan (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
6
Bagian 1 : Semarang
Peta Kota Lama Semarang, disusun oleh: M.Hafid Mubarak
7
Bab 1 : Kota Lama Semarang
LEGENDA 1. Gedung Outdetrap 2. Gereja Blenduk 3. Gedung Jiwasraya 4. Marba 5. Spiegel 6. Gedung Resto Pringsewu 7. Gedung Hero Coffee 8. Gedung Monod Diephuis
8
Bagian 1 : Semarang
Gedung Outdertrap
Tampak depan Gedung Outdertrap (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Gedung Outdertap pada awalnya berfungsi sebagai kantor dari De Locomotief, yaitu koran berbahasa Belanda pertama di Kota Semarang. Gedung Outdertrap pun kini menjadi milik pemerintah Kota Semarang dari hasil lelang pada tahun 2015, dan telah selesai dikonservasi. Gedung ini rencananya akan digunakan sebagai pusat informasi kawasan Kota Lama Semarang pada lantai satu dan kantor BPK2L pada lantai dua, juga dapat digunakan oleh berbagai komunitas untuk mengadakan acara. Nama Gedung Outdertrap (“tangga tua� dalam bahasa Belanda) diambil dari dua tangga di sisi kanan dan kiri depan gedung tersebut. Sayangnya, tangga di sisi kanan telah hilang.
9
Bab 1 : Kota Lama Semarang
Ruang pada bagian depan hasil konsrvasi lengkung bata dan lantai asli (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Ruang terbuka pada bagian belakang untuk mengadakan acara (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Konservasi dilakukan dengan cara melakukan peninggian elevasi lantai satu dengan menggunakan lantai bermaterial marmer, sebagai respon terhadap penurunan muka tanah di kota Semarang. Demi kestabilan, struktur lantai dua diperkuat dengan menambahkan rangka baja. Pada bangunan ini terdapat banyak elemen arsitektur asli yang masih dipertahankan secara penuh, seperti tiang di dalam ruangan dan pada teras depan serta seluruh pintu. Selain itu terdapat pula elemen arsitektur yang dipertahankan sebagian karena memiliki nilai sejarah yang tinggi, seperti lantai dan lengkung bata yang dibiarkan asli. Untuk konservasi lantai, lantai asli dengan elevasi yang lebih rendah dipertahankan dibawah salah satu tiang dan dapat dilihat dari lantai kaca di atasnya. Untuk lengkung bata, pada awalnya tidak terlihat karena berupa dinding penuh. Saat konservasi, lengkung bata tersebut ditemukan dan akhirnya tidak ditutup dengan plester dan cat agar terlihat.
10
Bagian 1 : Semarang
Gereja Blenduk Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel, atau dikenal sebagai Gereja Blenduk (julukan yang berarti kubah), merupakan gereja kristen tertua di Jawa Tengah dan salah satu ikon kota Semarang. Gereja ini dibangun pada tahun 1753 dengan bentuk yang berbeda dengan sekarang. Pada tahun 1875, barulah bentuk gereja seperti sekarang, mengambil inspirasi dari gereja St. Paul di kota London karya Sir Christopher Wren. Dua menara gereja ditambahkan pada renovasi oleh W.Westmaas pada 1895.
Menara Gereja Blenduk (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Tampak Gereja Blenduk (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
11
Bab 1 : Kota Lama Semarang
Fungsi menara di puncak kubah adalah untuk mengintip kedatangan tentara Inggris, karena terlihat Laut Jawa yang berjarak hanya sekitar satu kilometer ke arah utara dari gereja. Jalan Suari yang mengarah ke gereja dulu dinamakan kerkstraat (jalan gereja dalam bahasa Belanda).
Jalan Suari (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Gereja Blenduk total telah direnovasi sebanyak empat kali, terakhir pada tahun 2007 oleh BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya). Sayangnya, semenjak peristiwa pemboman gereja di Surabaya pada bulan Mei 2018, Gereja Blenduk tidak dibuka untuk umum sehingga kami tidak bisa mengamati interior gereja.
Gereja Blenduk (Sketsa oleh Ike Kurniawati)
12
Bagian 1 : Semarang
Gedung Jiwasraya
Perpsektif Gedung Jiwasraya dari Jalan Letjen Suprapto (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Jendela Gedung Jiwasraya (Foto oleh Bella Febrilia)
Gedung Jiwasraya dirancang pada tahun 1916 oleh arsitek Thomas Karsten, yang memiliki banyak karya arsitektural di kota Semarang. Dulu, gedung ini berfungsi sebagai kantor Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ) atau perusahaan asuransi. Bentuk melengkung dari bangunan dibuat untuk mengimbangi kemegahan dari Gereja Blenduk, serta gedung Marba dan Spiegel di sekitarnya. Pada gedung ini terdapat lift pertama di Indonesia. Lift ini berkapasitas satu orang dan digunakan oleh manajer untuk pergi ke kantornya di lantai atas
13
Bab 1 : Kota Lama Semarang
Gedung Marba dan Gedung Spiegel
Perspektif Gedung Marba (Foto oleh Angel Tang)
Perspektif Gedung Spiegel (Foto oleh Angel Tang)
Di Jalan Letjen Suprapto terdapat dua gedung dengan nuansa bata merah yang kental terlihat pada fasadnya, yaitu gedung Marba dan Spiegel. Kedua gedung tersebut menggunakan bata merah yang dibuat di satu pabrik, yang produk batanya juga digunakan untuk membangun bangunan kesusteran Gedangan. Nama Gedung Marba merupakan singkatan dari nama pemiliknya, seorang Yaman bernama Marta Badjunet. Marba pernah menjadi kantor usaha pelayaran dan juga toko modern, namun saat ini tidak difungsikan. Gedung Spiegel dahulu merupakan toko alat keperluan rumah tangga dan kantor, dan sekarang Gedung Spiegel telah direstorasi menjadi sebuah kafe. Gedung Spiegel menggunakan dinding bata sebagai penahan beban utama. Namun dinding bata tersebut disembunyikan oleh plester dan cat, hanya menyisakan ekspos berbentuk lengkung yang membingkai jendela. Hal ini berbeda dengan Gedung Marba yang menjadikan bata sebagai material ekspos yang dominan pada fasadnya. 14
Bagian 1 : Semarang
Gedung Pringsewu dan Gedung Hero Coffee
Perspektif Gedung Pringsewu (Foto oleh Angel Ta
Perspektif Gedung Hero Coffee (Foto oleh Angel Tang)
Gedung Pringsewu dan Hero Coffee merupakan dua gedung di daerah Kota Lama yang terkait dengan seorang tokoh ternama di Semarang bernama Oei Tiong Ham. Oei Tiong Ham merupakan pendiri usaha multinasional pertama di Asia Tenggara yang juga berperan sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa di Semarang. Usaha perdagangannya sangat sukses, dan ia dijuluki sebagai ‘Raja Gula Asia.’ Perusahaannya memiliki banyak cabang dari New York hingga Hong Kong, dan Oei Tiong Ham sendiri pernah dinobatkan sebagai orang terkaya dari Shanghai hingga Australia. Kantor utama Oei Tiong Ham di Semarang kini menjadi restoran Pringsewu. Bentuk gedung asli masih dipertahankan, bahkan lantai kayu pada interior restoran masih asli. Gedung lain milik Oei Tiong Ham sekarang menjadi kafe Hero Coffee. Gedung ini memiliki pengaruh Tionghoa yaitu corak khas Hokkian berupa bentuk bulan sabit pada bagian atap. 15
Bab 1 : Kota Lama Semarang
Gedung Monod Diephuis
Fasade Gedung Monod Diephuis (Foto oleh Zanetta Auriel)
Interior Gedung Monod Diephuis (Foto oleh Zanetta Auriel)
Satu lagi gedung yang terkait dengan Oei Tiong Ham adalah bekas kantor dari Monod Diephuis & Co, yaitu sebuah perusahaan broker ekspor hasil bumi ke Eropa yang melayani Oei Tiong Ham Concern (OTHC, sekarang PT Rajawali Nusantara Indonesia). Gedung ini memiliki gaya arsitektur modern de Stijl, terlihat pada atap datar dan jendela vertikal yang berjajar. Pada bangunan, ditemukan bahwa semen tidak digunakan, sehingga dalam konservasinya hanya menggunakan pasir, kapur, bata merah, dan cat yang bisa bernafas. Rencananya gedung ini akan menjadi galeri, perpustakaan, aula pernikahan, dan hotel VIP.
16
Bagian 1 : Semarang
BAB 2
LAWANG SEWU Lawang Sewu (seribu pintu dalam bahasa Jawa) merupakan sebuah bangunan yang pernah menjadi bangunan perkantoran yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda dan dikenal karena jumlah pintunya yang banyak. Kami menelusuri sejarah dan elemen-elemen arsitektur Lawang Sewu sebagai salah satu ikon kota Semarang.
17
Bab 2 : Lawang Sewu Perspektif Lawang Sewu (Foto oleh Ester Dorothy N.)
18
Bagian 1 : Semarang
Bangunan Utama Lawang Sewu (Sketsa oleh: Kania Salsabila)
Lawang Sewu dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Pada awal dibangun, yaitu pada 27 Februari 1904, bangunan ini menggunakan nama Het Hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor pusat NIS). Lawang Sewu dirancang oleh arsitek C. Citroen (Firma J. F. Klinkhamer dan B. J. Quendag). Rancangan Lawang Sewu menggunakan pola massa bangunan membentuk setengah lingkaran dengan bangunan utama sebagai pusatnya. Seluruh proses perancangan Lawang Sewu dilakukan di Belanda, baru kemudian gambargambar rancangan tersebut dibawa ke Kota Semarang.
19
Bab 2 : Lawang Sewu
Koridor luar Lawang Sewu (Sketsa oleh: Ike Kurniawati)
Lawang Sewu merupakan istilah berbahasa Jawa yang berarti seribu pintu. Bangunan ini disebut demikian oleh masyarakat karena memiliki pintu dengan jumlah yang sangat banyak. Namun kenyataannya, jumlah pintu di bangunan ini tidak mencapai seribu, yaitu hanya 429 pintu dengan daun pintu lebih dari 1200 buah karena banyak pintu yang memiliki lebih dari satu daun pintu, bahkan dapat mencapai empat daun pintu. Jendela tinggi dan lebar yang terdapat di bangunan ini juga membuatnya terlihat memiliki banyak pintu, karena masyarakat sering menganggap jendela yang tinggi lebar tersebut sebagai pintu.Banyaknya pintu dan jendela ini dirancang sesuai iklim tropis yang membutuhkan banyak bukaan untuk sirkulasi udara.
20
Bagian 1 : Semarang
Pada tangga utama Lawang Sewu terdapat empat panel kaca patri besar yang dilukis oleh J.L Schouten, seorang insinyur sipil/bangunan yang juga seniman kaca patri dan telah banyak memulihkan jendela gereja. Lukisan kaca patri ini menceritakan tentang latar belakang dibangunnya Lawang Sewu sebagai kantor pusat administrasi kereta api (NIS). Pertama, diceritakan kekayaan alam pulau Jawa sebagai sumber eksploitasi dan pelindung jalur kereta api di Jawa dan kota-kota pelabuhan (Batavia dan Semarang) sebagai tempat dikumpulkannya kekayaan alam tersebut (tengah atas). Kemudian, digambarkan Dewi Fortuna dan Dewi Sri (tengah bawah) yang melindungi jalur kereta api serta ratu-ratu Belanda (kanan) dan kota-kota dagang Belanda sebagai penerima hasil eksploitasi (kiri).
Kaca patri pada tangga utama (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
21
Bab 2 : Lawang Sewu
Ilustrasi pada kaca patri (Foto oleh Hilman Prakoso)
22
Bagian 1 : Semarang
Sambungan kayu pada kuda-kuda atap Lawang Sewu (Foto oleh Ihsan Maulanar R.)
23
Bab 2 : Lawang Sewu
Pada loteng Lawang Sewu, terlihat struktur atap dari kayu. Bentuk atap berupa perisai dengan kuda-kuda yang berjejer memanjang dan pada arah lebarnya melengkung setiap setengah meter untuk meratakan beban dari bentang yang lebar. Kemudian, pada perubahan arah kemiringan atap, terdapat sambungan kayu kompleks antara tiga elemen utama, yaitu: dua arah kuda-kuda dan jurai. Sambungan ini merupakan rangkaian batang-batang kayu yang saling mengunci melalui kombinasi berbagai takikan dan jepitan. Selain atap kayu, elemen konstruksi menarik dari Lawang Sewu adalah penggunaan bligor, yaitu campuran pasir, kapur, dan bata merah yang digunakan sebagai pengganti semen yang lebih awet, menyerap air, dan tidak mudah retak.
Loteng Lawang Sewu (Foto oleh Ihsan Maulanar R.)
24
Bagian 1 : Semarang
BAB 3
SAM POO KONG Kelenteng Sam Poo Kong adalah sebuah tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang dulunya merupakan tempat persinggahan Laksamana Zheng He (Cheng Ho), seorang penjelajah asal Tiongkok yang beragama Islam. Kami menelusuri perpaduan yang menarik antara budaya Jawa, Tionghoa, dan Islam yang tersaji
Kelenteng Sam Poo Kong (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
25
Bab 3 : Sam Poo Kong
26
Bagian 1 : Semarang
Perspektif Sam Poo Kong (Foto oleh Ester Dorothy N.)
Asal muasal Klenteng Agung Sam Poo Kong diawali ketika tahun 1416, armada Laksamana Zheng He merapat ke pantai Simongan karena juru mudinya, Wang Jing Hong sakit keras. Sementara juru mudinya, Wang Jing Hong, menyembuhkan diri, Laksamana Zheng He pun melanjutkan pelayarannya ke Timur untuk menuntaskan misi perdamaian dan perdagangan keramik serta rempah. Selama di Simongan, Wang Jing Hong memimpin anak buahnya untuk menggarap lahan, membangun rumah dan bergaul dengan penduduk setempat. Lingkungan sekitar gua berkembang dan makmur. Demi menghormati pimpinannya, Wang mendirikan patung Zheng He di gua batu tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar, yang kemudian bekembang hingga menjadi kelenteng Sam Poo Kong.
27
Bab 3 : Sam Poo Kong
Kelenteng ini merupakan akulturasi dari kebudayaan Tionghoa dan Jawa. Hal ini dapat terlihat dari arsitektur bangunannya. Desain atap kelenteng berbentuk limasan yang juga khas digunakan untuk rumah masyarakat Jawa. Bangunannya pun mirip Joglo yang tidak punya sekat dinding. Unsur Jawa ini juga cukup kuat di beberapa bagian ornamen kelenteng, antara lain pada pahatan atau hiasan batu yang mengingatkan pada candi-candi di pulau Jawa.
Perspektif Sam Poo Kong (Foto oleh Ester Dorothy N.)
Ornamen lantai (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
28
Bagian 1 : Semarang
Ornamen dinding (Foto oleh Ihsan Maulanar R.)
Sementara itu, unsur kebudayaan Tionghoa dapat terlihat di ujung atap yang cenderung meruncing naik serta penggunaan warna merah yang mendominasi kelenteng.Adapun unsur kebudayaan Tionghoa yang kuat pada penggunaan ornamen relief naga, burung hong, dan kura-kura pada tiang struktur dan di alas patung. Sementara itu, penopang atap kelenteng ini cukup unik karena konstruksi balok penyangga atap dibangun tanpa kuda-kuda.
Penggunaan warna merah sebagai corak Tionghoa (Foto oleh Ihsan Maulanar R.)
Menariknya, kelenteng ini juga memiliki pengaruh unsur Islam karena Laksamana Zheng He sendiri dipercaya menganut agama Islam. Hal tersebut terlihat pada penataan altar di dalam gua batu yang menghadap ke tenggara sehingga umat yang beribadah menjadi menghadap barat laut (kiblat). Dalam fengshui, arah ini juga dipercaya baik karena menghadap ke laut dan membelakangi gunung.Corak Islam juga terlihat pada bagian langit-langit yang memiliki warna hijau dan keberadaan beduk. Saat ini Kelenteng Sam Poo Kong digunakan sebagai tempat peribadatan umat tridarma (Kong-Hucu, Tao,dan Budha). Dalam kawasan kelenteng terdapat beberapa bangunan, diantaranya bangunan utama (kelenteng utama), Goa Pemujaan, Kelenteng Kyai Juru Mudi, Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Kyai Nyai Tumpeng, Kelenteng Kyai Tjundrik Bumi, dan Kyai Jangkar.
29
Bab 3 : Sam Poo Kong
Perspektif Sam Poo Kong (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Penggunaan warna hijau sebagai corak Islam (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
30
Bagian 2 : Solo Gapura Pasar Klewer, Solo (Foto oleh Hans Marvin)
31
Solo
BAGIAN 2
SOLO
32
Bagian 2 : Solo
Solo adalah kota yang terkenal karena batik dan keratonnya, memiliki berbagai tempat dengan nilai arsitektur masing-masing yang unik. Kami berkesempatan mengunjungi beberapa tempat di antaranya. Tempat-tempat tersebut adalah Pasar Gede dan De Tjolomadoe dengan sejarahnya masing-masing, Rempah Rumah Karya yang mengajarkan kita untuk menggunakan material bekas, dan Abhayagiri dengan lanskap yang menawan.
35
Solo Ornamen Atap Keraton Solo (Foto oleh Hans Marvin)
Kota Surakarta, atau dikenal sebagai “Kota Solo,� merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah. Sejak abad ke-14, Solo telah dikenal sebagai sebuah perlintasan perdagangan. Manifestasi arsitektur dari peran Solo sebagai pusat perdagangan tersebut terlihat pada dua destinasi Kuliah Lapangan kami, yaitu Pasar Gede Solo dan Pabrik Gula Colomadu.
34
Bagian 2 : Solo
BAB 4
PASAR GEDE
35
Bab 4 : Pasar Gede
Pasar Gede Hardjonegoro merupakan salah satu pasar tradisional yang tersohor di Kota Solo. Pasar ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman yang berada di tengah kota sehingga mudah dijangkau oleh banyak kalangan guna berbelanja dan membeli berbagai macam kebutuhan.
Pintu utama Pasar Gede (Foto oleh M. Ilham Adisty)
36
Bagian 2 : Solo
Bangunan Pasar Gede Hardjonegoro dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten. Pembangunan Pasar Gede selesai pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gede Hardjonegoro. Pasar ini diberi nama pasar gede atau “pasar besar� karena terdiri dari atap yang besar dan memiliki pintu gerbang di bangunan utama yang terlihat seperti atap singgasana. Nama Hardjonegoro sendiri diambil dari salah seorang anak bangsa keturunan Tionghoa yang juga mendapat gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Keraton Surakarta.
Tampak depan Pasar Gede (Foto oleh Calista Pranoto)
37
Bab 4 : Pasar Gede
Perspektif depan Pasar Gede (Foto oleh Calista Pranoto)
Perspektif samping Pasar Gede (Foto oleh Calista Pranoto)
38
Bagian 2 : Solo
Suasana luar Pasar Gede (Sketsa oleh Glenizza Iruka)
Pasar gede sendiri terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan Jalan Sudirman. Masing-masing dari kedua bangunan ini terdiri dari dua lantai. Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara Arsitektur Eropa dan Spasialitas Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan akibat serangan Belanda. Lalu Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih wilayah dan melakukan renovasi kembali pada tahun 1949. Untuk perbaikan atap baru selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Kemudian bangunan kedua dari Pasar Gede digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.
Suasana Selasar Luar Pasar Gede (Sketsa oleh Farhan Qalbain)
39
Selasar Luar Pasar Gede (Sketsa oleh Zaky Abdullah M.)
Bab 4 : Pasar Gede
1
2
3
4
5
6
7
8
1. Selasar luar Pasar Gede (Foto oleh M. Ilham Adisty) 2. Suasana di lantai satu Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 3. Suasana di lantai satu Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 4. Suasana di lantai satu Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 5. Suasana di lantai satu Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 6. Suasana di lantai dua Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 7. Suasana di lantai dua Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 8. Suasana di lantai dua Pasar Gede (Foto oleh Dinda Nadhila A.)
40
Bagian 2 : Solo
Pasar Gede Solo disebut sebagai salah satu monumen sejarah kota Solo karena merupakan pasar utama di Solo yang menjadi tempat jual-beli sejak era Belanda. Bahkan, sejak berdirinya pasar tersebut, Pasar Gede Solo telah menjadi pusat perdagangan bagi masyarakat pribumi, Cina, dan Belanda.Berbeda dengan beberapa pasar tradisional di Solo atau Jogja yang biasanya dikenal sebagai sentra oleh-oleh dan buah tangan, Pasar Gede Solo justru dikenal sebagai pusat kebutuhan pokok. Aneka sayur segar, bumbu dapur, daging hingga buah-buahan tersedia secara lengkap
Suasana dalam pasar (Foto oleh M. Ilham Adisty)
41
Bab 4 : Pasar Gede
Suasana dalam pasar (Sketsa oleh Clifton Reinerdus S.)
Suasana dalam pasar (Sketsa oleh Bakam Maulana D.)
42
Bagian 2 : Solo
BAB 5
DE TJOLOMADOE Pabrik Gula Colomadu (PG Colomadu) adalah sebuah bangunan pabrik gula yang kini telah berubah menjadi tempat wisata. Colomadu sendiri memiliki arti kata dari kata “Colo” yang artinya gunung dan “Madu” yang berarti manis. Pabrik yang berlokasi di Jalan Adisucipto no 165 Kabupaten Karanganyar, Yogyakarta ini dahulunya merupakan salah satu produsen gula yang didirikan oleh KGPAA Mangkunagara IV pada tahun 1861 dan telah menjadi saksi bisu zaman keemasan dari agroindustri pada masa kolonial Belanda sebagai pabrik gula terbesar se-Asia Tenggara.
43
Bab 5 : De Tjolomadoe Perspektif Colomadu (Foto oleh Dinda Nadhila A.)
44
Bagian 2 : Solo
Sekarang, Colomadoe tidak lagi difungsikan selayaknya pada masa lampau sebagai pabrik gula namun telah direvitalisasi menjadi tempat wisata dan komersial. Revitalisasi ini sendiri digagas oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT PP (Persero) Tbk, PT PP Properti Tbk, PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero), dan PT Jasa Marga Properti yang membentuk sebuah joint venture dengan nama PT Sinergi Colomadu.
Tampak depan Colomadoe (Foto oleh M. Ilham Adisty)
45
Bab 5 : De Tjolomadoe
Fasad bangunan (Foto oleh M. Ilham Adisty)
46
Bagian 2 : Solo
Bagian dalam lorong (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Perspektif Colomadu (Foto oleh Calista Pranoto)
47
Bagian luar lorong (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Bab 5 : De Tjolomadoe
Pada awalnya, jika ditinjau dari arsitekturnya, gaya arsitektur Indies mendominasi PG Colomadu ini dan seiring perkembangan zaman berubahlah menjadi gaya Art Deco. Dengan luasan bangunan sebesar 1,3 Ha dan luas lahan 6,4 Ha, PG Colomadu direvitalisasi sedemikian rupa dengan tetap mempertahankan nilai dan kekayaan historis guna menciptakan suasana pabrik gula pada masa lalu. Selain itu, bentuk dan fasade bangunannya masih tetap dipertahankan dan dengan sedikit perawatan.
48
Bagian 2 : Solo
Di dalam bangunan Colomadu terdapat beberapa ruangan yang disebut dengan “stasiun� antara lain stasiun Gilingan, Karbontasi, Ketelan dan Penguapan. Nama stasiun tersebut merupakan nama dari mesin-mesin pabrik yang masih terdapat di sini dan dicat kembali sebgaia bentuk revitalisasi.
1
2
3
4
5
6
1. Stasiun Gilingan (Foto oleh M. Ilham Adisty) 2. Stasiun Gilingan (Foto oleh M. Ilham Adisty) 3. Stasiun Penguapan (Foto oleh M. Ilham Adisty) 4. Stasiun Penguapan menuju Stasiun Ketelan (Foto oleh Dinda Nadhila A.) 5. Besali Cafe pada Stasiun Ketelan (Foto oleh Nisrina Amalia F.) 6. Besali Cafe pada Stasiun Ketelan (Foto oleh Nisrina Amalia F.)
49
Bab 5 : De Tjolomadoe
Mesin untuk membuat gula (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Mesin untuk membuat gula (Foto oleh Dinda Nadhila A.)
Fungsi masing-masing stasiun sangat beragam seperti stasiun Gilingan menjadi stasiun yang memiliki banyak sekali foto-foto sebelum dan sesudah pabrik gula direvitalisasi, stasiun Kabontasi menjadi pusat oleh-oleh dan kerajinan, stasiun Ketelan menjadi kawasan makanan dan minuman, dan stasiun penguapan erdapat mesin penguapan yang sangat besar dan terdapat pula kedai kopi. Selain itu, terdapat balai bernama Sarkara Hall yang dapat difungsikan sebagai tempat konser berukuran 65x45 m2 dan mampu menampung sekitar 3000 orang. Kawasan disekitarnya turut andil dalam revitalisasi sehingga sedemikian rupa berubah menjadi lebih rapih dan tertata serta terdapat sebuah plaza dengan tulisan “De Tjolomadoe� dimana selain sebagai landmark pabrik gula ini juga menjadi sebuah nama baru bagi hasil revitalisasi PG Colomadu ini.
Sarkara Hall (Foto oleh M. Ilham Adisty)
50
Bagian 2 : Solo
Bangunan colomadu sendiri, walaupun terlihat bergaya Art Deco dari luar, nuansa ruang dalamnya sangat bersifat industrialis dengan penggunaan material baja sebagai strukturnya mulai dari kolom hingga atap.
Rangka atap baja (Foto oleh M. Ilham Adisty)
51
Bab 5 : De Tjolomadoe
Detail sambungan kolom baja dengan rangka fasade (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Rangka kolom baja (Foto oleh M. Ilham Adisty)
52
Bagian 2 : Solo
BAB 6
Rempah Rumah Karya Rempah Rumah Karya adalah kantor dan gudang serta tempat pengujian bahan dari arsitek Paulus Mintarga. Biro ini dikenal atas penggunaan bahan sisa dan bekas untuk menghasilkan arsitektur yang menarik.
53
Bab 6 : Rempah Rumah Karya Fasad dengan tanaman (Foto oleh Vania Andriani T.)
54
Bagian 2 : Solo
Penggunaan kayu dan besi bekas dalam konstruksi tangga (atas) dan rangka bangunan (bawah) (foto oleh Kahfi Aziz A.)
Rempah Rumah Karya terletak di Jl. Adisucipto no. 56, Kabupaten Karanganyar. Nama ‘Rempah’ merupakan singkatan dari ‘remukan’ dan ‘sampah,’ sesuai dengan karakter bangunan yang menggunakan bahan bekas dalam konstruksinya. Gagasan Rempah Rumah Karya lahir dari pengalaman Paulus Mintarga sebagai kontraktor, yang menemukan bahwa material sisa yang selama ini tertumpuk pada gudang dapat diolah dan digunakan kembali sebagai bahan bangunan.
55
Bab 6 : Rempah Rumah Karya
Suasana naungan penyambut (foto oleh Dinda Nadhila A.)
Pada saat memasuki Rempah Rumah Karya, pengunjung akan disambut oleh sebuah naungan berbentuk payung baja yang diselimuti oleh vegetasi, dikelilingi oleh kumpulan meja dan kursi. Pengalaman ruang dari naungan yang teduh namun tetap mendapatkan banyak cahaya matahari, ditambah dengan unsur alam yang kental, menghasilkan kesan yang menyambut dan terbuka.
56
Bagian 2 : Solo
Fasad kantor (foto oleh M. Ilham Adisty)
57
Bab 6 : Rempah Rumah Karya
Interior kantor (atas) (foto oleh Calista Pranoto)
Penggunaan bahan bekas pada ornamen dinding (kiri) dan perabot (kanan) (foto oleh M. Ilham Adisty)
Kemudian, di sebelah naungan tersebut merupakan kantor biro arsitektur yang memiliki fasad bangunan yang unik; karena terbuat dari bahan bangunan bekas seperti potongan kayu, cacahan bambu, kusen bekas, dan kaca bekas dengan pola yang acak. Penggunaan sak semen yang dilapisi aspal, cacahan bambui, dan wiremash pun turut andil pada elemen atap sehingga membentuk kerangka seperti rumah keong. Lalu, dinding dan lantainya berasal dari styrofoam yang dipasang dengan wiremash dan bambu. Penggunaan bahan bangunan bekas ini menjadi contoh bahwa bahan yang tersisa masih mampu kita berdayakan sehingga selain memiliki manfaat kepada kita sebagai pengguna, dapat juga mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan dari produksi dan pembuangannya.
58
Bagian 2 : Solo
Detail tangga (atas) dan naungan (bawah) (Foto oleh Callista Pranoto)
59
Bab 6 : Rempah Rumah Karya
Detail struktur atap (atas) dan armatur lampu (bawah) (Foto oleh Callista Pranoto)
60
Bagian 2 : Solo
BAB 7
ABHAYAGIRI
Abhayagiri merupakan sebuah restoran yang terletak di Sumberwatu Heritage Resort, sebuah resor yang berusaha melestarikan budaya lokal Jawa. Terletak di lahan bertopografi miring dengan pemandangan indah, Abhayagiri merupakan contoh bangunan restoran yang menanggapi kondisi tapak dan sangat mengapresiasi budaya setempat.
61
Bab 7 : Abhayagiri
Pemandangan dari Abhyagiri (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
62
Bagian 2 : Solo
Perspektif suasana Abhyagiri Foto oleh M. Ilham Adisty)
Abhyagiri berarti “bukit yang sunyi�. Nama tersebut diambil dari prasasti Abhyagiri Wihara (729M) yang ditemukan di situs Ratu Boko. Abhyagiri Restaurant berjarak 20 km dari Keraton Yogyakarta. dan diresmikan pada tanggal 8 September 2012 oleh Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X
63
Bab 7 : Abhayagiri
Perspektif suasana Abhyagiri (atas) (Sketsa oleh Glenizza Iruka) Area makan luar (bawah) (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Sumberwatu Heritage Resort tempat Abhyagiri Restaurant berada didirikan untuk mengakomodasi kebutuhan formal dalam penjamuan tamu-tamu diplomatik, bilateral dari instansi pemerintah lainnya. Resor ini dibangun dengan mengedepankan keunikan Yogyakarta dengan standar pelayanan tinggi. Konsep bangunan pada Sumberwatu Heritage Resort dirancang oleh keluarga pemilik, diawali dengan pembangunan joglo sebagai ikon bangunan Jawa, kemudian dilanjutkan dengan rancangan lanskap oleh Yohanes Pasaribu, Abhyagiri Restaurant oleh Andhi Pakerti, dan bangunan lainnya oleh Ira Hartanto.
64
Bagian 2 : Solo
Detil konstruksi (atas) (Foto oleh Nisrina Amalia F.) Dek observasi pemandangan (bawah) (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Rancangan pada restoran ini memadukan unsur-unsur tradisional dengan modern. Atap dan materialnya mengadaptasi arsitektur tradisional, tetapi elemen-elemen seperti kaca, baja, menggambarkan konsep modern yang dikandungnya. Material untuk atap sebagian besar menggunakan flat silica sand. Material tersebut lebih awet dan tahan lama menghadapi cuaca ekstrem dan ringan. Sementara itu, struktur utama bangunan mengombinasikan konstruksi beton bertulang dan rangka baja WF, dengan tujuan antisipasi gempa dan kecepatan pembangunan.
65
Bab 7 : Abhayagiri
Area makan terbuka dan semi terbuka (Foto oleh Nisrina Amalia F. )
Elemen perancangan yang dapat diamati dari restoran ini adalah interaksi ruang dalam dan ruang luar yang erat, melalui tempat-tempat makan terbuka dan semi terbuka yang langsung terhubung dengan ruang luar. Selain itu, konsep lanskap banyak mengedepankan area terbuka, dan bangunan dibangun mengikuti kontur tanah sehingga tidak menghalangi lanskap alami yang sudah ada, misalnya, kontur menurun yang memberikan sudut pandang pemandangan pada Gunung Merapi, Candi Prambanan, dan Candi Sojiwan.
66
Bagian 3 : Yogyakarta
Ornamen dinding (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
67
Yogyakarta
BAGIAN 3
YOGYAKARTA
68
Bagian 3 : Yogyakarta
69
Yogyakarta
Kota sejuta kenangan yang hendak ku rekam disetiap pijakan langkah. Menanti senja dengan secangkir teh hangat sambil memandang kerukunan dan keguyuban warga. Elok nan manis diseluruh panca indera diriku. Semua seakan berpadu pada peraduan yang indah dan hendak berlanjut setelah sang fajar terbit kembali.
Perspektif mata burung Yogyakarta (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
70
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 8
KOTAGEDE Kotagede adalah sebuah kawasan bersejarah di Yogyakarta. Selain menjadi saksi bisu perkembangan Kerajaan Mataram Islam, kawasan ini juga dipenuhi oleh arsitektur bersejarah, terutama rumah joglo.
71
Bab 8 : Kota Gede
Atap rumah warga (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
72
Bagian 3 : Yogyakarta
Kotagede adalah sebuah kawasan bersejarah yang merupakan saksi bisu lahirnya kerajaan Mataram Islam. Berawal dari berdirinya sebuah kerajaan di tengah hutan pada tahun 1575 yang diprakarsai oleh Ki Ageng Pamanahan sebagai asal mula berdirinya Kerajaan Mataram. Kotagede saat ini merupakan sebuah kecamatan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Pada 17 Agustus 2006, dibentuk Organisasi Pengelola Kawasan Pusaka Kotagede yang kemudian mendapat dukungan dana JICA 2006/2007.
73
Bab 8 : Kota Gede
Atap rumah warga (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Gang di antara dua rumah (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
74
Bagian 3 : Yogyakarta
Tempat-tempat penting seputar Kotagede adalah Masjid Agung Kotagede, Makam raja-raja Mataram, Sendang Selirang, Pasar Kotagede, Kampung Pekaten-Masjid Perak, ,dan Between Two Gates. Di sekitar tempat-tempat tersebut, sebagian besar rumah penduduknya merupakan bangunan joglo yang masih lestari meskipun beberapa di antaranya mengalami kerusakan saat gempa 2006 dan sudah mengalami renovasi. Rumah joglo awalnya dibangun dengan material kayu sebagai struktur utama, dinding, kuda-kuda atap, dan atap sirap. Tetapi seiring berjalannya waktu, material dinding yang awalnya kayu diganti dengan batu bata dan material penutup atap yang awalnya sirap diganti dengan genteng. Pada bangunan ini, terdapat beberapa jumlah ruangan yaitu, pendopo, joglo, sentong (tengah, wetan, kulon), gandok (wetan, kulon), pawon (dapur dan kamar mandi). Tak hanya itu, bangunan ini juga memiliki keunikan yaitu, pintu gaya kolonial, ragam hias yang dipajang berasal dari masa lampau, dan lantai berbahan semen merah. Selain rumah joglo, di kawasan Kotagede terdapat pula Sendang Selirang, yaitu pemandian untuk peziarah makam raja-raja Mataram. Sendang memiliki ketinggian tanah yang lebih rendah dari makam, sehingga terdapat kumpulan undakan beserta gerbang yang menghubungkan sendang dengan makam. Sendang Selirang terbagi menjadi dua, yaitu sendang kakung (untuk pria) dan sendang putri (untuk wanita).
Pintu depan rumah (atas) (Foto oleh Dinda Nadhila A.) Masjid Agung Kotagede (tengah) (Foto oleh Kahfi Aziz A.) Atap rumah warga (bawah) (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
75
Bab 8 : Kota Gede
76
Bagian 3 : Yogyakarta
Denah Omah UGM (Gambar oleh M. Ilham Akbar)
77
Bab 8 : Kota Gede
Denah Sendang Selirang (Gambar oleh Kahfi Aziz A.)
78
Bagian 3 : Yogyakarta
Emper dan pendopo (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Bangku depan rumah warga (Foto oleh Dinda Nadhila A.)
Teras depan rumah warga (Foto oleh Dinda Nadhila A.)
79
Bab 8 : Kota Gede
Soko guru (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Langit-langit rumah warga (Foto oleh Edly Tsara N.)
Teras rumah warga (Foto oleh Edly Tsara N.)
80
Bagian 3 : Yogyakarta
Detail lantai (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Detail umpak (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
81
Detail skur baja (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Bab 8 : Kota Gede
Detail skur kayu (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
82
Bagian 3 : Yogyakarta Perspektif Kampung Kali Code (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
83
Bab 9 : Kampung Kali Code
BAB 9
KAMPUNG KALI CODE Kampung Kali Code merupakan perkampungan yang terletak di bantaran Sungai Kali Code, Kotabaru. Tempat ini menjadi salah satu ikon di Kotabaru pemberdayaan yang dilakukan oleh mendiang Y.B. Mangunwijaya.
84
Bagian 3 : Yogyakarta
Dinding dan railing bambu (atas) serta corak ornamen rumah (bawah) (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
85
Bab 9 : Kampung Kali Code
Kampung warna-warni yang terletak di bantaran Kali Code, Kotabaru, 650 meter dari ibukota Yogyakarta ini merupakan karya besar dan merakyat dari mendiang Romo Magunwijaya. Pada tahun 1980-an, kondisi bantaran Kali Code sangat buruk karena dipenuhi sampah rumah tangga dari permukiman yang kumuh dan tidak tertata. Umumnya, rumah hanya dibangun menggunakan bambu, gedek (anyaman bambu), dan kardus. Kemudian pada pertengahan 1980-an, mendiang Romo Mangunwijaya bersama para mahasiswa dan relawan menata kawasan tersebu, didasari oleh kepeduliannya yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan di Kali Code. Hal ini dilakukan untuk menciptakan lingkungan Kali Code yang bersih dan indah, sehingga lebih layak huni. Warga diperbolehkan menempati rumah-rumah yang sudah mereka tempati. Romo Mangunwijaya juga menata sarana sanitasi dan fasilitas umum masyarakat. Baru sekitar tahun 2015, rumah-rumah yang ada di Kampung Kali Code dicat warna-warni agar menarik, terinspirasi perkampungan yang ada di Rio de Janeiro, Brazil. Transformasi inilah yang semakin menarik wisatawan untuk berkunjung dan meningkatkan perekonomian warga setempat.
Suasana Kali Code (Sketsa oleh Dinta Tiara)
86
Bagian 3 : Yogyakarta
Balai pertemuan warga (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Tentunya selain warna-warninya yang menarik, ada keunikan lain yang menjadi nilai lebih kampung ini. Arsitektur rumah-rumah warga tetap dipertahankan seperti aslinya, yakni menggunakan material kayu dan bambu. Perubahan hanya banyak terjadi pada cat dinding atau perbaikan atapnya. Lalu, rumah-rumah dan jalanan ditata dengan baik mengikuti kontur tapak yang alami, sehingga tampak berlevel-level dan berkelok. Tempat pertemuan warga (Paseban) yang berada di pusat pemukiman itu sampai sekarang masih tetap seperti aslinya, dengan bentuk atap lancip. Yang terakhir, setiap rumah memiliki struktur tiang yang unik berbentuk huruf A.
87
Bab 9 : Kampung Kali Code
Balai pertemuan warga (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Berkat perbaikan permukiman yang merakyat dan merespon konteks tapak ini, Kampung Kali Code dihadiahi penghargaan Aga Khan Award for Architecture, sebuah penghargaan internasional di bidang arsitektur, pada tahun 1992.
88
Bagian 3 : Yogyakarta
Suasana Karangwaru Riverside (Foto oleh M. Ilham Adisty)
89
Bab 10 : Karangwaru Riverside
BAB 10
KARANGWARU RIVERSIDE Karangwaru Riverside merupakan ruang terbuka hijau yang terletak di bantaran Sungai Buntung, Kelurahan Karangwaru. Karangwaru Riverside dibangun karena adanya keinginan untuk menumbuhkan semangat masyarakat untuk menjadikan lingkungan hinuannya lebih hijau, asri, dan produktif.
90
Bagian 3 : Yogyakarta
Mural dinding pembatas (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Suasana sungai (atas) (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Karangwaru Riverside terletak di Kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Memiliki tipologi sebagai tempat rekreasi, Karangwaru Riverside ini merupakan sebuah taman atau ruang terbuka hijau yang dibangun di pinggiran Sungai Buntung. Mulai tahun 2009, penataan dilakukan secara bertahap dengan mengubah pola pikir warga agar mau ikut serta dalam pengubahan kawasan Sungai Buntung menjadi kawasan yang tertata dan tidak kumuh. Karangwaru Riverside ini dibangun lengkap dengan fasilitas pendukung untuk pejalan kaki, tempat duduk bagi yang ingin singgah, aneka permainan anak (ayunan, ban-ban bekas yang disulap lebih menarik, dan lain sebagainya), dan shelter yang semuanya disediakan untuk umum. Tempat ini juga dibuat agar mudah diakses masyarakat sebagai perwujudan dari keinginan menjadikan kawasan permukiman yang hijau, asri, dan produktif.
91
Bab 10 : Karangwaru Riverside
Suasana shelter (bawah) (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Rumah menghadap sungai (Foto oleh Calista Pranoto)
Hal lain yang membuat tepi sungai yang hulunya ada di Kabupaten Sleman ini menarik adalah polesan seni serta mural mendidik yang banyak digambar di dinding-dinding pembatas antara sungai dan rumah penduduk. Di lokasi ini terdapat jembatan yang oleh warga dimodifikasi sehingga bentuknya menarik. Jembatan tersebut sekaligus menjadi sebuah gapura yang terbuat dari bambu. Di titik nol, sebutan untuk wilayah ujung hilir sungai sebelum masuk terowongan dan menyatu dengan sungai Winongo, disediakan lokasi yang lebih luas dan dihiasi dekorasi artistik serta keteduhan pohonpohon yang rindang. Rumah-rumah yang tadinya membelakangi sungai pun sekarang mulai tertata apik menghadap sungai, sehingga secara tidak langsung membuat masyarakat tidak lagi membuang sampah ke sungai karena sudah menganggap area tersebut sebagai halaman rumah.
92
Bagian 3 : Yogyakarta
Potongan Karangwaru Riverside (Gambar oleh Kahfi Aziz A.)
93
Bab 10 : Karangwaru Riverside
94
Bagian 3 : Yogyakarta
Jembatan sekaligus gapura (atas) (Sketsa oleh Kahfi Aziz A.) Pemandangan sungai dari shelter (bawah) (Sketsa oleh Clifton Reinerdus S.)
95
Bab 10 : Karangwaru Riverside
Detail Shelter (atas) (Sketsa oleh Kahfi Aziz A.) Suasana Karangwaru Riverside (bawah) (Sketsa oleh Clifton Reinerdus S.)
96
Bagian 3 : Yogyakarta
Suasana Jalan Kampung Kauman (Foto oleh M. Ilham Adisty)
97
Bab 11 : Kauman
BAB 11
KAUMAN Kampung Kauman merupakan sebuah permukiman yang dibangun sebagai tempat tinggal pengurus Masjid Gedhe Kerajaan Mataram dan tumbuh sebagai basis dari organisasi Islam Muhammadiyah. Kami menelusuri Kampung Kauman untuk mengetahui sejarah dan perkembangan arsitekturnya baik dalam skala rumah maupun permukiman. 98
Bagian 3 : Yogyakarta
Tampak depan Masjid Gedhe (Foto oleh Calista Pranoto)
99
Bab 11 : Kauman
100
Bagian 3 : Yogyakarta
101
Bab 11 : Kauman
Kampung Kauman terletak di Kota Yogyakarta, berdiri pada tahun 1773 bersamaan dengan berdirinya Masjid Gedhe. Masjid Gedhe sendiri merupakan peninggalan dari Kerajaan Mataram, dimana para pengurus masjid kala itu diberikan tempat tinggal di sekitar Masjid Gedhe. Dari sanalah kemudian terbentuk Kampung Kauman yang merupakan tempat tinggal bagi pengurus masjid. Kampung Kauman menjadi terkenal karena kental akan basis dari organisasi Islam Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yang memang berasal dari kampung ini. Tokoh-tokoh lain yang juga berasal dari kampung ini adalah Ki Bagus Hadikusuma, Nyai Ahmad Dahlan, KH Abdul Rozak Fachruddin, KH Ahmad Badawi, KH Fakih Usman, dll. Selain itu, Kampung ini juga mewadahi komunitas terbesar keturunan Arab di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perspektif eksterior Masjid Gedhe (atas) (Foto oleh Kahfi Aziz A.) Detail jam gerbang Masjid Gedhe (kiri bawah) dan susunan atap Masjid Gedhe (kanan bawah), (Foto oleh Calista Pranoto)
102
Bagian 3 : Yogyakarta
Detail sambungan kayu dalam Masjid Kauman (kiri) dan detail lampu interior Masjid Kauman (kanan), (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
103
Bab 11 : Kauman
104
Bagian 3 : Yogyakarta
Secara umum, bangunan di Kampung Kauman menggunakan material kayu. Atap pada Masjid Gedhe dahulunya menggunakan alang-alang kemudian diganti dengan atap sirap dan sekarang menggunakan atap seng. Sedangkan lantainya menggunakan material batu kali yang saat ini sudah diganti dengan marmer.
Perspektif rumah warga Kampung Kauman, (Foto oleh M. Ilham Adisty)
105
Bab 11 : Kauman
Detail dinding dan bukaan rumah warga Kampung Kauman (Foto oleh Calista Pranoto)
106
Bagian 3 : Yogyakarta
Suasana jalan Kampung Kauman (Foto oleh Calista Pranoto)
Suasana pemukiman Kampung Kauman, sangat unik dengan skala ruang dan lebar gang maupun jalan yang sempit. Lebar jalan sekitar 4 meter namun dibatasi oleh tiang-tiang lampu, membuat kendaraan roda 4 tidak dapat berlalu, sementara mesin kendaraan roda 2 pun harus dimatikan saat melintas
107
Bab 11 : Kauman
Ada peraturan bagi pemakai jalan bahwa dilarang mengendarai kendaraan dan perjalanan harus dilakukan dengan jalan kaki. Selain untuk menjaga dan menghormati sesama pemakai jalan juga bertujuan untuk menjaga ketenangan suasana belajar mengajar para murid santri di Pesantren Kauman.
108
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 12
PAKUALAMAN Pakualaman merupakan sebuah kecamatan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan ini mencakup dua wiayah keluarahan, yaitu Kelurahan Gunungketur dan Purwokinanti.
Atap rumah makan di Kecamatan Pakualaman (Foto oleh Cantika Wiba F.)
109
Bab 12 : Pakualaman
110
Bagian 3 : Yogyakarta
Kecamatan Pakualaman terletak di antara Sungai Code dan Sungai Manunggal. Nama “Pakualaman� diambil dari Puro Paku Alaman, kediaman resmi Sri Paduka Pakualam yang terletak di tengah-tengah kecamatan ini. Puro Paku Alaman sendiri merupakan satu dari dua istana yang ada di Daerah istimewa Yogyakarta, yang mana merupakan istana dari Kadipaten Pakualaman. Seperti halnya Kraton Kasultanan Yogyakarta, Puro ini berada dalam komplek kerajaan yang dilengkapi dengan alun-alun, masjid, dan museum.
Foto taman dalam Puro Pakualaman, didokumentasikan oleh: Cantika Wiba F.
Puro Pakualaman (Foto oleh Cantika Wiba F.)
111
Bab 12 : Pakualaman
Gerbang Puro Pakualaman (Foto oleh Cantika Wiba F.)
Taman dalam Puro Pakualaman (Foto oleh Cantika Wiba F.)
112
Bagian 3 : Yogyakarta
Abdi Dalem (Foto oleh Cantika Wiba F.)
Suasana jalan sekeliling Puro Pakualaman (Foto oleh Cantika Wiba F.)
113
Bab 12 : Pakualaman
Permukiman warga pun terbentuk akibat adanya komplek Kadipaten ini. Komplek ini awalnya diisi oleh para abdi dalem yang tinggal dalam rumah Gedek (bambu) dengan rancangan rumah yang seragam, di sebelah timur, seperti bedeng yang dibagi-bagi. Seiring waktu, permukiman ini berkembang dengan adanya para pendatang yang memadati daerah Pakualaman ini. Para pendatang ini melihat adanya lahan kosong sehingga mereka pun meminta izin untuk membangun permukiman pada Pakualaman. Hal tersebut pun mempengaruhi arsitektur daerah Pakualaman yang semula berisikan rumah Gedek semakin hari semakin tergeser dengan rumah bata.
Bedeng yang terbengkalai (Foto oleh Cantika Wiba F.)
114
Bagian 3 : Yogyakarta
Gang perumahan warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
Perspektif rumah warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
115
Bab 12 : Pakualaman
Beranda rumah warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
Tampak depan rumah warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
116
Bagian 3 : Yogyakarta
Ornamen atap rumah warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
Ornamen ukiran pada kolom rumah warga (Foto oleh Cantika Wiba F.)
117
Bab 12 : Pakualaman
Salah seorang warga, Pak Rusmandi, ketua RW 09, pun bercerita bahwa sebenarnya ada aturan yang mewajibkan sebagian dinding rumah masih harus menggunakan Gedek, namun hal tersebut banyak dilanggar dan akhirnya dimaklumi oleh pihak Pakualaman. Sayangnya, sekarang tinggal 1-2 rumah yang menggunakan Gedek, sisanya sudah menggunakan dinding bata dan permanen.
118
Bagian 3 : Yogyakarta Fasad toko-toko pada Jalan Malioboro (Foto oleh Vania A.)
119
Bab 13 : Malioboro
BAB 13
MALIOBORO
Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya karena dianggap merupakan tempat bersejarah yang memiliki nilai budaya dan pariwisata yang
120
Bagian 3 : Yogyakarta
Jalan Malioboro (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Jalan Malioboro (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Jika dilihat dari artinya, Malioboro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Hal ini ada hubungannya dengan masa lalu jika Keraton mengadakan acara besar, maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan karangan bunga. Kata Malioboro juga berasal dari nama orang Inggris yang bernama “Marlborough� yang pernah tinggal di sana pada tahun 1811 hingga 1816. Pendirian jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).
121
Bab 13 : Malioboro
Deretan pertokoan di Jalan Malioboro (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Awalnya, Malioboro merupakan pusat perdagangan bagi warga Yogyakarta. Kawasan Jalan Malioboro merupakan poros imajiner kraton Yogyakarta ini berkembang menjadi kawasan perdagangan akibat sejumlah faktor, yaitu letaknya yang strategis karena berdekatan dengan pusat perekonomian dan pemerintah, dan faktor keamanan yang terjamin karena berdekatan dengan benteng serta pusat kekuasaan.
Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pariwisata Yogyakarta, fungsi perdagangan tersebut mulai ditambah dengan pariwisata, dan toko-toko bahan-bahan pokok untuk warga pun banyak berubah fungsi menjadi toko oleh-oleh dan rumah makan untuk wisatawan.
Saat ini, Malioboro telah menjelma menjadi kawasan wisata dengan jumlah pengunjung yang sangat tinggi. Untuk menyediakan fasilitas memadai bagi warga dan juga turis, maka dilakukan proyek revitalisasi trotoar yang dirancang oleh tim arsitek A+A Studio. Perancangan ini berupa penggantian material dan penambahan fasilitas seperti bollard dan tempat parkir sepeda.
122
Bagian 3 : Yogyakarta
Bangunan masa HindiaBelanda (Foto oleh Arkansyah Farras S.) Fasade pertokoan (Sketsa oleh Kania Salsabila)
Dapat dilihat bahwa kawasan jalan Malioboro ini dipenuhi dengan sederet bangunan yang dibangun pada masa pemerintahan HindiaBelanda dengan tipologi bangunan komersil.
123
Bab 13 : Malioboro
Bangunan pada kawasan Malioboro (Sketsa oleh Ike Kurniawati)
Gerbang Kampung Ketandan (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Namun, bangunan-bangunan yang terdapat pada kawasan Malioboro ini tidak sepenuhnya dibangun dengan arsitektur Eropa, melainkan merupakan campuran dengan arsitektur Cina dan arsitektur Jawa. Elemen dari arsitektur Cina yang menonjol di sini adalah bagian atap yang berbentuk lancip pada bagian sudut atap dan bubungan, serta adanya sejumlah ornamen khas di dinding, lisplang, dan lubang angin.
Tampak depan pertokoan (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
124
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 14
KAMPUNG DOMES Kampung Domes adalah sebuah desa berisi kumpulan rumah tahan gempa berbentuk kubah. Desa ini dibangun oleh organisasi Domes for the World untuk Dusun Ngelepen, Sleman, yang mengalami amblas akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 2006. 125
Bab 14 : Kampung Domes
Perspektif Mata Burung Kampung Domes (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
126
Bagian 3 : Yogyakarta
Welcome Galeri Kampung Domes (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Desa Wisata Rumah Domes berlokasi di Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Sleman. Berada sekitar 19km dari Keraton Yogyakarta. Awal mulanya desa ini merupakan desa yang sama dengan desa-desa lainnya. Namun setelah gempa bumi berkekuatan 5,9 SR yang terjadi pada tahun 2006, wilayah sekitar desa ini mengalami kehancuran sehingga banyak sekali korban luka maupun koban jiwa. Pihak Domes for the World (DFTW) yang mengetahui bencana gempa tersebut kemudian datang mengunjungi lokasi. DFTW kemudian bekerja sama dengan World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) dan Emaar Properties untuk membangun kembali Dusun Nglepen. Proyek tersebut dilakukan dari bulan September 2006 hingga bulan April 2007.
127
Bab 14 : Kampung Domes
Suasana Kampung Domes (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Kampung ini akhirnya diresmikan pada tanggal 29 April 2007 dengan total 80 unit bangunan: 71 unit berupa hunian dan 9 unit berupa fasilitas umum yaitu mushola, pendidikan, rumah kesehatan, dan 6 MCK. Unit- unit bangunan ini memiliki desain yang sama yaitu berbentuk dome atau kubah. Karena hal tersebut, desa ini mendapat respon positif dari pengunjung dan warga sekitar sehingga desa ini mulai menerima pengunjung secara resmi dan mengubah nama desanya menjadi Desa Wisata Rumah Domes. Desain dari rumah dome tersebut memang sengaja didesain khusus untuk anti gempa, dengan ukuran 7 x 7 m2 di atas tanah seluas 9 x 18 m2. Dengan bentuk bangunan menyerupai dome atau kubah, bangunan diyakini tahan terhadap goncangan gempa, bahkan efek gempa tidak terlalu terasa bagi penghuni didalamnya.
128
Bagian 3 : Yogyakarta
Akan tetapi, rumah dome ini memiliki kekurangan, dikarenakan ukurannya yang tergolong kecil dan sempit, banyak warga yang merasa kurang nyaman, sedangkan setiap 1 keluarga rata-rata memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak. Selain itu pekarangan yang disediakan bagi mereka dirasa masih kurang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kekurangan lain dari rumah dome adalah kondisi termal dalam bangunan dirasa kurang nyaman, karena bukaan yang terlalu sedikit dan lantai 2 yang sangat dekat dengan langit-langit, sehingga menyebabkan kondisi panas dan pengap.
Interior lantai satu rumah dome (Foto oleh Bella Febrilia)
129
Bab 14 : Kampung Domes
Interior lantai satu rumah dome (Foto oleh Bella Febrilia)
Interior lantai dua rumah dome (Foto oleh Bella Febrilia)
130
Bagian 3 : Yogyakarta
Skur teritisan jendela (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Jendela rumah domes (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
131
Bukaan pintu rumah domes (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Bab 14 : Kampung Domes
Seperti yang telah disebutkan, semua unit hunian atau bangunan berbentuk sama. Bangunan tersebut terbuat dari beton berbentuk kubah dan beton tersebut berperan sebagai komponen struktural secara keseluruhan. Karena itu, perletakan bukaan pintu dan jendela adalah sama untuk setiap unit dan berjumlah tidak banyak agar tidak mengurangi kekuatan dari kubah beton untuk berdiri sendiri. Jendela dan pintu dari unit bangunan ini terbuat dari kayu yang disambung langsung menggunakan paku/baut pada beton. Setiap jendela dan pintu juga diberi teritisan tambahan yang juga terbuat dari kayu dan berpenutup atap genteng. Hal ini dikarenakan bangunan tersebut tidak memiliki teritisan untuk melindungi jendela dan pintu dari hujan. Secara keseluruhan, dapat diamati bahwa rumah dome, walaupun tahan terhadap gempa, kurang cocok dengan iklim Indonesia yang tropis.
Unit hunian warga Kampung Domes (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
132
Bagian 3 : Yogyakarta
133
Bab 14 : Kampung Domes
Tampak
Denah dan Tampak Rumah Dome (Gambar oleh M. Ilham Akbar)
Rumah Dome terbuat dari kubah beton setebal 10 cm, dengan diameter rumah sebesar 7 m dan tinggi 4,7 m. Setiap rumah terdiri atas dua akses, yaitu pintu depan yang menuju ruang tamu dan pintu belakang menuju dapur. Selain kedua ruang tersebut setiap unit hunian memiliki dua kamar tidur di lantai satu dan sebuah gudang di lantai dua. Gudang yang terbuat dari rangka kayu tersebut memiliki sebuah void ke arah ruang tamu, membuat ketinggian langit-langit ruang tamu menjadi lebih tinggi.
134
Bagian 3 : Yogyakarta
135
Bab 15 : Gereja Bintaran
BAB 15
GEREJA BINTARAN Dusun Bintaran berlokasi di Kelurahan Srimulyo, Kecamatan Piyungan, 11.4 km dari ibukota Yogyakarta. Dusun ini merupakan kawasan pemukiman yang terkenal dengan arsitekturnya yang bergaya khas Eropa. Salah satunya adalah Gereja Katolik Santo Yusuf Bintaran.
Perspektif Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
136
Bagian 3 : Yogyakarta
Gereja Katolik Santo Yusuf Bintaran atau lebih dikenal sebagai Gereja Bintaran merupakan gereja jawa pertama di Yogyakarta. Bangunan peribadatan dengan arsitektur kolonial ini terdapat pada Jalan Bintaran Kidul No.5, Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Menurut sejarah, Gereja Bintaran didirikan mulai tahun 1933 karena semakin bertambahnya jumlah umat katolik di Yogyakarta, yang tak mungkin tertampung lagi dalam sebuah gudang di timur Gereja Kidul Loji. Gereja Bintaran juga mempunyai peran dalam proses perjuangan kemerdekaan. Pada saat Ibu Kota Pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta, Gereja Bintaran menjadi tempat persembunyian keluarga Bung Karno dan Hatta yang kala itu dibuang ke Bukit Tinggi. Gereja ini juga menjadi tempat rintisan sekolah pribumi Kolese Debrito, dan sering kali digunakan sebagai tempat pertemuan kelompok gereja Katolik, salah satunya adalah Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) yang berlangsung dari tanggal 12 sampai dengan 17 Desember 1949 yang mana menghasilkan Partai Katolik Indonesia. Kini, Gereja Bintaran menjadi cagar budaya yang dilindungi oleh negara berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 tentang Penetapan Situs Dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala Yang Berlokasi Di Wilayah Propinsi DIY Sebagai Benda Cagar Budaya Atau Kawasan Cagar Budaya.
137
Bab 15 : Gereja Bintaran
Perspektif Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
Pintu Masuk Utama Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
138
Bagian 3 : Yogyakarta
Tampak Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
Interior Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
Secara Bintaran
visual
bangunan
memiliki
Gereja
keunikan
bila
dibandingkan dengan gereja-gereja lainnya yang ada di Yogyakarta. Gereja ini mempunyai atap plat beton lengkung tinggi yang diapit oleh atap datar. Luas bangunan gereja adalah 720 m² yang berdiri di atas lahan seluas 5024 m². Bangunan ini sendiri memiliki tinggi 13 m, lebar 20 m dan panjang 36 m. Pertemuan Atap Lengkung dengan Atap Datar (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
139
Bab 15 : Gereja Bintaran
Gereja Bintaran memiliki banyak bukaan berupa kerawang dengan pola lingkaran yang berbentuk bunga di sepanjang dindingnya. Bukaan ini membuat Gereja Bintaran tidak memerlukan penghawaan buatan dan juga pencahayaan dari lampu di siang hari karena cahaya matahari yang masuk pada bukaan sudah cukup sebagai penerangan ruangan juga angin yang melewati bukaan ini juga cukup untuk membuat ruangan tidak terasa pengap.
Interior Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
Interior Gereja Bintaran (Foto oleh Ratu Intan Mutia)
140
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 16
HOTEL PHOENIX
Hotel Phoenix merupakan sebuah bangunan bersejarah yang telah memiliki fungsi sebagai rumah tinggal, kantor, dan hotel. Hotel ini adalah sebuah contoh renovasi bangunan bersejarah yang menonjolkan unsur-unsur heritage sebagai identitas dan nilai jualnya. 141
Bab 16 : Hotel Phoenix
Lobby kolam renang Hotel Phoenix (Foto oleh M. Ilham Adisty)
142
Bagian 3 : Yogyakarta
Perspektif Hotel Phoenix (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Perspektif Hotel Phoenix (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
143
Bab 16 : Hotel Phoenix
Menurut sejarah, hotel ini dulunya adalah rumah tinggal pengusaha bernama Kwik Djoen Eng yang dibangun pada tahun 1918. Akibat krisis ekonomi pada tahun 1930-an, banyak properti miliknya yang tersebar di sejumlah daerah harus lepas kepemilikan, termasuk rumah tinggalnya di Yogyakarta ini. Rumah bergaya Indis (Indische Landhuis) tersebut dijual kepada Liem Djoen Hwat, yang kemudian disewakan kepada orang Belanda, D.N.E. Franckle. Franckle kemudian mengubah rumah ini menjadi sebuah hotel bernama Hotel Splendid. Pada masa penjajahan Jepang, hotel ini dikuasai dan diganti nama menjadi Hotel Yamato, hingga hotel tersebut kembali ke pemiliknya, Liem Djoen Hwat. Pada tahun 1946-1949 ketika Yogyakarta menjadi ibu kota pemerintahan Indonesia, bangunan bekas Hotel Yamato digunakan sebagai Kantor Konsulat China. Selang dua tahun, bangunan ini kembali digunakan sebagai hotel dengan nama Hotel Merdeka hingga tahun 1987. Pada tahun 1993, bangunan hotel direnovasi tanpa mengubah bentuknya dan kembali difungsikan sebagai hotel dengan nama Phoenix Heritage Hotel. Pada 14 Mei 2004 namanya berganti menjadi Grand Mercure, yang bertahan hingga 29 Maret 2009. Akhirnya pada 30 Maret 2009, nama Grand Mercure diganti menjadi The Phoenix Hotel Yogyakarta hingga sekarang.
144
Bagian 3 : Yogyakarta
Portico (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
145
Bab 16 : Hotel Phoenix
Kaca patri pada portico (Foto oleh Edly Tsara N.)
Hotel ini didesain dengan memadukan langgam Jawa dan Belanda yang sangat kental. Atap tinggi, lantai dari marmer kuno, permainan dinding, desain jendela, dan desain balkon kental dengan gaya Belanda. Di sisi lain, desain kanopi, kolom-kolom, listplank, ornamen dan furnitur interiornya merupakan khas arsitektur tradisional jawa. Contohnya dapat dilihat pada bagian portico di mana terjadiya perpaduan kedua gaya arsitektur. Detail-detail ukiran jawa pada kolom, desain listplank, lampu, dan ukiran pada ventilasi atap, dipadukan dengan kaca patri khas Belanda di bagian atas portico.
146
Bagian 3 : Yogyakarta
Kesan heritage juga diperkaya dengan barang-barang antik yang dipajang. Lukisanlukisan kuno masih menempel di beberapa bagian. Bahkan hingga aspek yang detail pun memberikan kesan heritage. Railing pada tangga melingkar yang dilewati pengunjung memiliki pola yang menarik. Gagang pintu yang dibentuk dan diukir, mencerminkan kebudayaan jawa. Hotel pun menjadi bangunan akomodasi yang lebih mirip galeri seni.
Elemen interior/furnitur berupa kursi kayu (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
147
Gagang pintu yang dibentuk/diukir (Foto oleh Edly Tsara N.)
Bab 16 : Hotel Phoenix
Tangga utama Hotel Phoenix (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
148
Bagian 3 : Yogyakarta
Ruang laundry (Foto oleh Edly Tsara N.)
Ruang penerimaan bahan makanan (Foto oleh Edly Tsara N.)
Ruang tangki atap (Foto oleh Edly Tsara N.)
149
Bab 16 : Hotel Phoenix
Tentu setiap hotel memiliki area yang tidak dikunjungi oleh pengunjung atau bersifat privat yang disebut dengan Back of the House. Back of the House ini merupakan area berkaitan dengan sistem mekanikal, utilitas, dan servis dari Hotel Phoenix.
Ruang tangki bawah (Foto oleh Edly Tsara N.)
Ruang pipa kolam renang (Foto oleh Edly Tsara N.)
150
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 17
MUSEUM GUNUNG MERAPI Museum Gunung Merapi merupakan sebuah bangunan museum yang bertujuan untuk memberikan edukasi rekreatif pada masyarakat mengenai Gunung Merapi. Kami mempelajari citra eksterior dan penyusunan serta konten ekshibisi untuk mengetahui bagaimana museum ini mencapai tujuan tersebut
151
Bab 17 : Museum Gunung Merapi
Perspektif Museum Gunung Merapi (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
152
Bagian 3 : Yogyakarta
Museum Gunung Merapi merupakan fasilitas edukasi seluas 3.5 ha ini terletak di Desa Harjobinangun, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Museum ini diprakarsai oleh Badan Geologi dan Pemerintah DIY; mulai dibangun tahun 2005 dan selesai pada tahun 2009. Peresmian bangunan, dan pembukaan untuk umum baru dilakukan pada tahun 2010. Bangunan museumnya sendiri memiliki luas 4470m2. Bentuk geometri seperti sebuah gunung berapi, dengan bentuk kerucut yang terpancung, dan material selubungnya yaitu bitumen berwarna hitam. Hal ini dibuat sesuai dengan filosofi, dan budaya yang disesuaikan dengan adat setempat. Museum ini memiliki fungsi sebagai sarana edukasi yang rekreatif, sehingga dapat mencapai tujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman tentang aspek ilmiah, maupun sosial-budaya yang berkaitan dengan gunung berapi khususnya gunung merapi.
153
Bab 17 : Museum Gunung Merapi
Tampak Museum Gunung Merapi (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Sekuens tangga pintu masuk (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Pintu masuk utama (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
154
Bagian 3 : Yogyakarta
Ruang eksibisi dalam (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Sebagai fasilitas edukasi, museum 2 lantai ini memiliki ruang theater, ruang koleksi dan juga ruang peraga yang memiliki wahana interaktif terkait gunung berapi dan kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah ring of fire. Selain itu, museum juga memiliki fasilitas penunjang seperti kantor, panggung dan lapangan serbaguna yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mengadakan acara seperti gathering. Ketika memasuki bangunan, pengunjung akan langsung disuguhkan dengan replika Gunung Merapi yang dapat disimulasikan ketika sedang terjadi gempa dan bagaimana Gunung Merapi mengeluarkan asap.
155
Bab 17 : Museum Gunung Merapi
Ruang eksibisi dalam (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Ruang eksibisi depan (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
156
Bagian 3 : Yogyakarta
Eksibisi bencana meletusnya Gunung Merapi (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Koleksi benda pasca meletusnya Gunung Merapi (Foto oleh M. Ilham Adisty)
Selain informasi dan pengetahuan seputar gunung berapi secara keseluruhan, Museum Gunung Merapi ini juga memajang koleksi-koleksi bekas bencana meletusnya Gunung Merapi. Tidak hanya benda, namun juga cerita-cerita dan informasi terkait bencana tersebut.
Eksibisi bangunan Museum Gunung Merapi (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
157
Bab 17 : Museum Gunung Merapi
Perawatan museum ini, karena masih dapat dikatakan sebagai bangunan baru relatif mudah. Belum ada kerusakan yang mengharuskan renovasi besar. Keluhan yang muncul pun sebatas sering munculnya beberapa titik rembesan kala hujan turun. Kekurangan dari Museum ini adalah karena masih dekat dengan Gunung Merapi, museum ini tidak bisa berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi masyarakat apabila
Ramp (Foto oleh: Arkansyah Farras S.)
Atrium Lantai 2 (Foto oleh: Arkansyah Farras S.)
158
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 18
TEMBI RUMAH BUDAYA
Tembi Rumah Budaya merupakan sebuah museum sekaligus resor dan hotel yang terletak di kawasan kampung kerajinan Gabusan Manding Tembi. Museum ini menjadi saksi lahirnya karya kreatif berbasis masyarakat lokal.
159
Bab 18 : Tembi Rumah Budaya
Atap Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
160
Bagian 3 : Yogyakarta
Bale Sentolo (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Tembi Rumah Budaya merupakan bangunan dengan tipologi museum sekaligus hotel dan resor. Lokasinya berada di Jalan Parangtritis km. 8,4, Kelurahan Tembi Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan ini dirancang oleh arsitek bernama Euginus Pradipto, dan selesai dibangun tahun 1999. Pada tahun 2007, bangunan yang awalnya sebuah lembaga studi Jawa ini diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkbuwono X, bersamaan dengan Desa Tembi sebagai kawasan kampung kerajinan Gabusan-Manding-Tembi (GMT).
161
Bab 18 : Tembi Rumah Budaya
Lobi Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Bangunan utama dari Tembi Rumah Budaya ini memiliki luas 212 m2 yang menempati tanah seluas 3500 m2 . Tempat ini, khususnya bagian museumnya memiliki fungsi untuk menyimpan dokumentasi sekaligus memberikan informasi tentang sejarah dan budaya Jawa. Museum ini menyimpan setidaknya 3000 koleksi benda-benda antik, kuno dan bersejarah, mulai dari tungku dan dandang, keris dan tombak, peralatan pertanian, peralatan seni dan batik, foto-foto, hingga perpustakaan dengan 5000 buah koleksi.
Atap Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras)
162
Bagian 3 : Yogyakarta
163
Bab 18 : Tembi Rumah Budaya Halaman tengah Tembi Rumah Budaya, (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Lokasi Tembi Rumah Budaya di kampung kerajinan beserta museumnya yang memamerkan seluk beluk budaya jawa dengan jelas, membuatnya menjadi saksi dari lahirnya karya kreatif berbasis masyarakat lokal. Museum ini tidak dibiayai oleh lembaga manapun. Semua kegiatan yang diselenggarakan bersifat nirlaba. Untuk memenuhi kebutuhan, Tembi mendapatkan pemasukan dari fasilitas yang disediakan di sana seperti bale karya, bale rupa, bale inap, perpustakaan, kolam renang, dan rumah makan. Di sini sering diselenggarakan berbagai kegiatan seni budaya seperti pameran seni rupa, pertunjukan seni tradisional maupun kontemporer, pentas tari dan teater, musik, hingga pembacaan puisi.
Halaman tengah Tembi Rumah Budaya (kiri) (Foto oleh Bella Febrilia) Koleksi museum (kanan) (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Atap Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras)
164
Bagian 3 : Yogyakarta
Di antara dua bangunan (atas) dan Jendela bangunan Tembi Rumah Budaya (bawah) (Foto oleh Arkansyah Farras)
165
Bab 18 : Tembi Rumah Budaya
Atap Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras)
166
Bagian 3 : Yogyakarta
Interior Tembi Rumah Budaya (atas) dan Soko Guru pada bangunan Tembi Rumah Budaya (bawah) (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Dari segi arsitektural, keunikan dari bangunan ini adalah penerapan teknologi konstruksi yang modern untuk rancangan bernuansa tradisional. Hal tersebut terlihat pada penggunaan rangka beton bertulang pada sebagian bangunan, namun tetap menggunakan atap limasan. Selain itu, konstruksi tradisional soko guru kayu dengan pondasi umpak, serta susunan batu bata untuk pagar dan gerbang, tetap terlihat.
167
Bab 18 : Tembi Rumah Budaya
Penggunaan dan permainan konstruksi batu-bata sebagai dinding pagar dan gerbang, (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
Atap Tembi Rumah Budaya (Foto oleh Arkansyah Farras)
168
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 19
CEMETI ART HOUSE
Cemeti Art House merupakan sebuah pusat seni independen karya arsitek Eko Prawoto. Bangunan yang memadukan arsitektur tradisional Jawa dengan industrial modern ini contoh penciptaan ruang yang mendukung pameran serta residensi dari berbagai kalangan seniman. 169
Bab `19 : Cemeti Art House Ruang Pameran Cemeti Art House (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
170
Bagian 3 : Yogyakarta
171
Bab 19 : Cemeti Art House
Rumah Seni Cemeti atau “Cemeti Art House� adalah pusat seni independen yang didirikan 31 Januari 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Rumah seni ini berlokasi di Jalan DI. Panjaitan 41, Yogyakarta. Sejak 1988, Rumah Seni Cemeti telah secara aktif memamerkan karya dari seniman-seniman kontemporer Indonesia maupun mancanegara. Pada tahun 1999, dibangunlah bangunan Rumah Seni Cemeti yang dirancang oleh arsitek Eko Prawoto. Bangunan ini dibangun dengan paradoks lokal global memadukan arsitektur tradisional Jawa dengan konsep industrial modern. Arsitektur tradisional Jawa terlihat pada penggunaan material lokal yaitu dinding dan bukaan kayu serta rangka kayu dan bambu pada atap joglo, terutama di ruang penerima. Konsep industrial modern terlihat pada penggunaan kolom beton ekspos dan cat putih polos, terutama di ruang perantara dan galeri.
Perspektif Cemeti Art House (atas) (Foto oleh Albertus Siswo Y.) Ruang perantara Cemeti Art House (bawah) (Foto oleh Edly Tsara N.)
172
Bagian 3 : Yogyakarta
Ruang penerima (atas) (Foto oleh Edly Tsara N.) Pencahayaan pada Cemeti Art House (bawah) (Foto oleh Edly Tsara N.)
Ruang pameran dibentuk dengan dinding berwarna putih polos. Warna putih tanpa aksen digunakan untuk membuat kesan netral. Hal tersebut dilakukan agar ruangan pameran tersebut dapat digunakan semua seniman dengan aliran apapun. Pencahayaan alami dioptimalkan melalui pencahayaan langsung dari luar dengan bukaan semaksimal mungkin. Lantai ruangan secara keseluruhan menggunakan ubin berwarna kuning dan bukan keramik.
Eksibisi pada Cemeti Art House (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
173
Bab 19 : Cemeti Art House
Denah Cemeti Art House (Gambar oleh M. Furqon)
174
Bagian 3 : Yogyakarta
175
Bab 20 : Galeri dan Homestay Lorong
BAB 20
GALERI DAN HOMESTAY LORONG
Galeri dan Homestay Lorong merupakan sebuah galeri yang ditujukan untuk menjadi ruang pameran karya seni. Terdapat pula homestay yang ditujukan untuk mencari inspirasi seni dan kolaborasi dalam jangka waktu panjang. Galeri ini berlokasi di kawasan kampung seni Nitiprayan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kawasan ini terkenal dengan banyaknya aktivitas dan komunitas seni tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Perspektif Fasad Galeri (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
176
Bagian 3 : Yogyakarta
Galeri dan Homestay Lorong merupakan karya arsitek Yoshi Fajar Kresno Murti yang beliau dirikan bersama Alloysius Suko Widigdo dan Maria Ambar Sulistyowati. Yoshi Fajar Kresno Murti merupakan lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada tahun 2000 hingga 2008, beliau aktif bergabung bersama Yayasan Pondok Rakyat. Pada tahun 2008, beliau mulai bekerja sebagai Koordinator Riset dan Pengembangan Program di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yang didirikannya bersama Farah Wardhani. Yoshi Fajar Kresno Murti merupakan seorang arsitek yang mempunyai kepekaan tinggi pada struktur dan material. Beliau pun sangat menekuni bidang sosial dan pertukangan, sehingga beliau sering menyebut dirinya sebagai kepala tukang, bukan seorang arsitek.
Perspektif kamar tidur (kiri) dan lorong samping (kanan) homestay (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
177
Bab 20 : Galeri dan Homestay Lorong
Perspektif fasad homestay (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
Galeri lorong merupakan salah satu karya beliau yang didirikan pada tahun 2013. Bangunan ini merupakan bangunan galeri lorong kedua setelah sebelumnya didirikan di Sorowajan, yang sekarang menjadi stockroom. Terletak di Kampung Seni Nitiprayan, Galeri Lorong memiliki konteks seni yang kuat. Selain menjadi ruang pamer bangunan ini juga menjadi homestay bagi yang ingin tinggal mendapatkan inspirasi dalam waktu yang relatif panjang. Pada Galeri dan Homestay Lorong tersedia dapur bersama yang berfungsi sebagai ruang interaksi. Sementara itu, ruang pameran
berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan seniman kreatif lintas generasi dan disiplin, penghubung keberagaman kegiatan dan karya seni. Tujuan Galeri Lorong adalah menjadi medium seni, ruang dialog segar bagi seni dan pengaruhnya pada kemajuan masyarakat, pengasahan kemampuan teknis, serta mengembalikan seni pada sifat kerajinan dan keterampilannya. Hal ini terlihat pada berbagai material dan detail konstruksi yang sengaja diekspos sebagai elemen estetika. Hal tersebut sesuai dengan salah satu filosofi desain dari Yoshi Fajar, yaitu anarki dalam berarsitektur.
178
Bagian 3 : Yogyakarta
Perspektif fasad galeri (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
Anarki dalam berarsitektur berarti kebabasan dari sistem, tidak sekadar mengikuti konvensi yang sudah ada, namun senantiasa mengulik karakter material dan struktur. Material beton, kayu, bambu, dan baja dipadukan dalam berbagai bentuk dan sambungan. Hal ini terlihat pada rangka beton bertulang yang diekspos, rangka atap dan sekur kayu pada lantai dua homestay, gabungan struktur baja silinder dan bambu pada kanopi galeri, dan banyak lagi detail-detail menarik baik pada eksterior maupun interior.
179
Bab 20 : Galeri dan Homestay Lorong
Suasana balkon lantai dua homestay (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
Selain anarki, filosofi Yoshi Fajar yang banyak dikenal adalah Arsitektur Ugahari yang berarti kesederhanaan. Secara lebih jauh, Ugahari merupakan cara pandang dalam berarsitektur yang mengutamakan kecukupan dan kenyamanan bagi penghuninya secara lokal, kontekstual, dan spesifik. Artinya, desain tidak menjadi tujuan akhir, namun hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan filosofi ugahari tersebut bagi penghuninya.
180
Bagian 3 : Yogyakarta
181
Bab 20 : Galeri dan Homestay Lorong
Perspektif suasana ruang galeri, (Foto oleh Mutiara Asmara P. (kiri, atas) dan Ester Dorothy N. (bawah))
Pencerminan dari ugahari yang mempunyai arti kesederhaan dapat terlihat pada interior dari galeri dan homestay lorong, seperti pintu yang tidak serasi satu sama lain karena pintu-pintu tersebut didapatkan dari barang bekas. Ketidakserasian tersebut membuat interior dari galeri dan lorong homestay terlihat unik namun tidak menonjol menjadi sesuatu yang arogan.
182
Bagian 3 : Yogyakarta
Detail-detail konstruksi (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
183
Bab 20 : Galeri dan Homestay Lorong
Denah Homestay (Gambar oleh M. Furqon)
184
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 21
WISMA KUWERA Wisma Kuwera merupakan rumah kediaman arsitek mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau biasa dikenal dengan Romo Mangun. Saat ini Wisma Kuwera difungsikan sebagai Kantor Yayasan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar yang didirikan Romo Mangun.
185
Bab 21 : Wisma Kuwera Fasad Wisma Kuwera (Foto oleh Mutiara Asmara P.)
186
Bagian 3 : Yogyakarta
Rumah ini berlokasi di Gang Kuwera, Jalan Gejayan Mrican, Yogyakarta. Dibangun secara bertahap selama periode 1986 hingga 1999, banyak yang menganggap rumah ini seperti “bertumbuh�. Walaupun Romo Mangun telah meninggal, namun hasil pemikirannya terus bertumbuh, misalnya tentang pentingnya pendidikan dasar, terutama bagi anak miskin, yang kini terus diperjuangkan oleh Yayasan Dinamika Edukasi Dasar yang berkantor di Wisma Kuwera. Salah satu pemikiran Romo Mangun adalah mengutamakan pemikiran kritis anak melalui kesadaran terhadap gejala-gejala di dunia dan melontarkan pertanyaan, bukan menyuapi anak dengan pelajaran yang kaku. Bagi Romo Mangun, bukan peringkat nilai yang penting, namun kesetiakawanan dan rasa ingin tahu.
187
Bab 21 : Wisma Kuwera
Suasana interior (kiri) (Foto oleh Mutiara Asmara P.) Kutipan Romo Mangun (atas) (Foto oleh M. Rafi Akbar) Perspektif dari lantai 2 (bawah) (Foto oleh Ester Dorothy N.)
Rumah ini memiliki beberapa karakteristik arsitektur yang unik dan menarik. Dari luar, sekilas terlihat bahwa rumah ini terdiri dari dua lantai. Namun, ketika memasuki bagian dalam, terlihat bahwa rumah ini memiliki beberapa split level, yaitu ruangan-ruangan yang memiliki level lantai berbeda-beda. Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung terbentuknya kesan ruang yang kaya dan beragam, ada ruang yang intim dengan jarak langit-langit rendah, ada pula yang tinggi.
188
Bagian 3 : Yogyakarta
Detail kayu sebagai transisi dari dinding ke langit-langit (atas) dan mozaik keramik pada dinding (bawah) (Foto oleh M. Rafi Akbar)
189
Bab 21 : Wisma Kuwera
Penggunaan material utama kayu menimbulkan kesan yang hangat di berbagai sudut rumah. Bagian dinding juga menarik. Kebanyakan dindingnya tidak menerus pada bagian atas sampai ke plafon, sehingga menimbulkan kesan dinding yang hanya merupakan sekat ruang yang tidak kaku. Ada pula yang tinggi dindingnya hanya sekitar setengah tinggi ruang.
Penyelesain detil yang diolah di berbagai sudut pun semakin memperkaya kesan yang disebutkan sebelumnya, seperti lantai dari mozaik keramik, kemudian lantai anyaman bambu yang bertemu dengan dinding mozaik kayu triplek, jendela kaca yang memadukan perpaduan kayu, kaca bening dan kaca es, dan lain-lain.
Selain estetis, penyelesain detil-detil ini sesuai dengan filosofi desain dari Romo Mangun, yaitu mengutamakan keterlibatan tukang dan perajin dalam proses pembangunan, sebagai bentuk pemberdayaan tukang dan juga eksplorasi desain.
Perpaduan kayu, kaca bening, dan kaca es (atas) dan perpaduan dinding bata serta jendela melingkar dengan pola ornamen pagar (bawah) (Foto oleh Ihsan Maulanar R.)
190
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 22
RUMAH EKO PRAWOTO
Rumah ini merupakan kediaman dari arsitek Eko Prawoto sekaligus mewadahi sebuah museum pertukangan. Konsep sederhana, alami, terbuka, dan akrab rumah ini diwujudkan dalam sikap dan nilai ruang tradisional, beserta unsur-unsur ketukangan dalam arsitekturnya. 191
Bab 22 : Rumah Eko Prawoto
Rumah dan museum tukang Eko Prawoto (Foto oleh Bella Febrilia)
192
Bagian 3 : Yogyakarta
Pagar bata dan batu (atas) (Foto oleh Arkansyah Farras S.) Pagar dari ranting jatuh dan anyaman bilah bambu (bawah) (Foto oleh Bella Febrilia)
193
Bab 22 : Rumah Eko Prawoto
Observasi ruang tamu (atas) dan museum pertukangan (bawah) (Foto oleh Bella Febrilia)
Rumah kediaman arsitek Eko Prawoto ini berlokasi di Dekso, Kulon Progo. Berdiri di atas lahan seluas 350 m2, rumah ini mengusung konsep sederhana, alami, terbuka, dan akrab. Kedekatan Eko Prawoto dengan pertukangan terlihat pada detail pagar yang memerlukan keterampilan tukang dan juga adanya museum pertukangan di rumah ini. Eko Prawoto menganggap rumah ini merupakan rumah tradisional, dalam konteks sikap dan nilai ruangnya. Ruangan-ruangan dalam rumah tidak dikotak-kotakkan menurut fungsi secara ketat. Rumah menawarkan serangkaian nuansa atau suasana, dan aktivitaslah yang memilih ruang yang sesuai untuk itu. Ini menandakan ruanganruangan dalam rumah ini bisa berubah fungsi sesuai kondisi dan kebutuhannya.
194
Bagian 3 : Yogyakarta Konsep alami dan terbuka juga dijabarkan dengan banyaknya ruang terbuka atau ruang luar. Ruang-ruang terbuka ini kemudian dihiasi dan diisi oleh tanaman-tanaman yang menambah kualitas alami dari rumah ini. Beberapa tanaman bahkan menyentuh ruang-ruang dalam. Hal lain yang unik (dari rumah Eko Prawoto) adalah pohon durian yang berada di tengah-tengah ruang keluarga. Pohon ini sudah ada sebelum bangunan berdiri, oleh karena itu Eko tidak memilih untuk menebang pohon itu melainkan membuat ruangan yang menyesuaikan. Hal ini disebut Eko Prawoto sebagai bangunan yang akrab dengan alam, tidak memusuhi alam. Kesan akrab dirasakan melalui lorong-lorong yang terasa seperti suasana kampung. Batu bata ekspos, terakota, penggunaan material kayu dan bambu bertemu dengan hijaunya tanaman, semua ini saling mendukung dalam menciptakan kesan akrab yang dimaksud.
Penyerahan kenang-kenangan pada Eko Prawoto (Foto oleh Bella Febrilia)
Observasi halaman rumah (Foto oleh Arkansyah Farras S.)
195
Bab 22 : Rumah Eko Prawoto
Penghawaan dan pencahayaan alami (Foto oleh Bella Febrilia)
196
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 23
ARKOM JOGJA Arkom Jogja merupakan sebuah organisasi multidisiplin yang bergerak dalam arsitektur komunitas, yaitu arsitektur yang mendampingi masyarakat. Kami berdiskusi dengan Arkom Jogja beserta salah satu komunitas yang didampinginya, yaitu Paguyuban Kalijawi. 197
Bab 23 : Arkom Jogja
Foto Bersama dengan Arkom Jogja (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
198
Bagian 3 : Yogyakarta
Perwakilan Paguyuban Kalijawi (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Diskusi mahasiswa, Arkom, dan Paguyuban Kalijawi (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Arkom Jogja merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai ilmu multidisiplin yang dideikasikan untuk pergerakan arsitek komunitas, yaitu arsitek yang memiliki keahlian dalam mendampingi dan memberdayakan masyarakat, seperti warga kampung kota, dalam isu-isu spasial. Secara lebih luas, aktivitas Arkom dibagi menjadi: 1. Pemberdayaan komunitas kawasan kumuh seperti kampung-kampung kota 2. Pemberdayaan komunitas yang terdampak bencana 3. Konservasi heritage dengan komunitas 4. Pemberdayaan komunitas daerah pedesaan 5. Pembuatan dana bisnis sosial 6. Institut Arkom (memberikan pendidikan arsitektur komunitas) Tujuan akhir dari Arkom adalah membuat komunitas mampu memberikan solusi, termasuk arsitektural, untuk diri mereka sendiri. Terkadang Arkom sudah tahu masalah suatu komunitas dan solusinya, namun ketika mereka mendatangi komunitas tersebut mereka hanya melakukan pendekatan secara umum dan perlahan memancing permasalahan dan solusi dari komunitasnya sendiri. Hal ini dilakukan melalui obrolan informal, focus group discussions, dan lain-lain. Kemudian, warga didorong untuk menggambar rencana penataan ruang atau bangunan sebagai solusi permasalahan secara mandiri, dengan Arkom sebagai fasilitator.
199
Bab 23 : Arkom Jogja
Yuli Kusworo (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
Salah satu contoh komunitas yang didampingi oleh Arkom Jogja adalah komunitas Kalijawi. Mereka adalah jaringan perempuan/ibu komunitas-komunitas di bantaran sungai Gajahwong dan Winongo. Mereka dipersatukan permasalahan-permasalahan serupa seperti tanah yang tidak stabil, kurangnya sanitasi, kesehatan, dan kesejahteraan. Aktivitas utama mereka yang difasilitasi oleh Arkom adalah membuat tabungan untuk renovasi dan pengembangan ulang fasilitas dan kawasan, serta pemberian kemampuan pada anggota komunitas seperti konstruksi bambu untuk infrastruktur dan fasilitas. Pada kuliah lapangan ini kami berkesempatan mengunjungi balai warga dari Paguyuban Kalijawi. Di sana, kami mendapatkan penjelasan dari Yuli Kusworo, koordinator proyek Arkom Jogja, mengenai arsitektur komunitas. Menurutnya, menjadi arsitek komunitas bukan hanya sekadar kegiatan amal, namun merupakan sebuah profesi. Saat ini terdapat kebutuhan jasa arsitektur yang sangat tinggi dari masyarakat kelas ekonomi bawah, terbukti dari beberapa fenomena seperti jumlah rumah swadaya (tanpa arsitek) yang melebihi setengah jumlah rumah di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan jasa ini dapat didanai oleh berbagai pihak, seperti program-program pemerintah dan corporate social responsibility (CSR). Selain itu, kompetisi di bidang arsitektur komunitas masih sangat rendah karena mayoritas arsitek saat ini berkompetisi ketat untuk melayani sebagian kecil masyarakat, yaitu kelas ekonomi atas.
200
Bagian 3 : Yogyakarta
BAB 24
GLOBAL RANCANG SELARAS Global Rancang Selaras merupakan sebuah konsultan arsitektur yang dikenal memiliki spesialisasi pada perancangan rumah sakit. Kami menyimak sebuah kuliah yang diberikan oleh salah satu pendirinya, Adi Utomo Hatmoko, mengenai arsitektur rumah sakit.
201
Bab 24 : Global Rancang Selaras Penyerahan kenang-kenangan pada Global Rancang Selaras (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
202
Bagian 3 : Yogyakarta
Pemaparan oleh Global Rancang Selaras (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Global rancang selaras adalah sebuah konsultan yang menangani perencanaan dan perancangan bangunan dan kawasan. Lingkup perencanaan dan perancangan yang dilakukan oleh perusahaan dimulai dari studi kelayakan, perencanaan strategi bisnis, evaluasi, masterplan, hingga perancangan bangunan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2004, dan sejauh ini telah merencanakan dan merancang lebih dari 100 aset publik dan pribadi. Spesialisasi yang ditangani oleh Global Rancang Selaras ada pada perancangan rumah sakit. Meskipun demikian, perusahaan tetap menangani desain kawasan dan desain bangunan arsitektur secara umum. Tipologi bangunan yang ditangani meliputi fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, klinik, balai pengobatan), fasilitas pendidikan (TK, SD, SMP, 203
SMA, PT), kantor, bangunan komersil, kawasan residensial, dan lain-lain. Prinsip desain yang dipegang oleh perusahaan adalah prinsip highest and best use untuk meningkatkan nilai aset dan properti dari klien. Pendekatan yang diutamakan ada pada akurasi dan kualitas desain yang berkelanjutan. Pendekatan ini sangat sesuai untuk perancangan rumah sakit yang melibatkan begitu banyak unsur sirkulasi, utilitas, dan hal-hal lain yang sangat diperlukan akurasi dan kualitasnya untuk menjaga kesehatan, keamanan, keselamatan, dan efisiensi bangunan.
Bab 24 : Global Rancang Selaras
Foto Global Rancang Selaras bersama mahasiswa (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Salah satu pendiri PT Global Rancang Selaras adalah Adi Utomo Hatmoko, seorang lulusan Jurusan Teknik Arsitektur UGM dan Master of Architecture and Urban Design Georgia Institute of Technology. Kini beliau bekerja sebagai arsitek dan urban designer di PT Global Rancang Selaras, sekaligus sebagai staf pengajar di Departemen Teknik Arsitektur UGM.
Logo Perusahaan diambil dari: https://globalrancangselaras.com/ (Mei 2019)
204
Bagian 4 : Penutup
Patung monyet di Taman Nasional Gunung Merapi didokumentasi oleh: M. Ilham Adisty
205
Penutup
BAGIAN 4
PENUTUP
206
Bagian 4 : Penutup
Balai di Kawasan Kota Gede (Foto oleh Adilah Nidaul Y.)
Pengamatan yang kami lakukan di Semarang banyak bercerita mengenai peninggalan bangunan kolonial, cerita-cerita sejarah dari masa lalu Semarang, dan upaya orangorang untuk mengkonservasi keberadaan peninggalan tersebut. Dari Kota Lama Semarang kami mengetahui pentingnya keberadaan Semarang sebagai kota perdagangan dan kota pelabuhan, dilihat dari banyaknya bangunan perkantoran dan bangunan yang mendukung aktivitas perniagaan peninggalan kolonial, dan jejak sejarah pendaratan penjelajah dari dataran Tiongkok. Dari BPK2l, kami belajar mengenai bagaimana upaya orang-orang di Semarang melakukan konservasi, seperti mengembalikan bangunan ke wujud aslinya dan mempertahankannya, dengan renovasi hingga rekonstruksi. Tempat-tempat yang kami kunjungi di Kota Solo banyak bercerita mengenai cerita mereka di masa lalu tentang relasi dengan Kasunanan 207
Surakarta dan Praja Mangkunegaran, dan di masa kini tentang pelestarian peninggalan dan cerita unik mengenai penggalian baru dari makna arsitektur. Bangunan-bangunan peninggalan kerajaan di daerah Surakarta masih berfungsi sebagaimana mestinya, seperti pasar dan keraton, namun ada juga yang dialihfungsikan dari pabrik menjadi gedung komersial demi mempertahankan keberadaan bangunan. Terdapat juga cerita mengenai arsitektur ‘sampah’ di rempah rumah karya, yang disusun dari sisa-sisa bahan bangunan dan material yang kemudian digunakan lagi. Cerita pepak yang kami gali dari Yogyakarta bercerita mengenai arsitekturnya dari masa ke masa. Dari masa-masa kerajaan mataram, masa-masa kesultanan, masamasa kolonial, cerita mengenai masyarakat dan perkampungan mereka di masa lalu dan kini, dan cerita mengenai para arsitek lokal.
Penutup
Dinding bata makam Kota Gede (Foto oleh Kahfi Aziz A.)
Dari Kotagede kami belajar mengenai arsitektur vernakular perkampunganperkampungan dan artefak kerajaan yang ada di yogyakarta di masa mataram. Dari Kauman dan Pakualaman kami mengamati cerita arsitektur dari masa-masa kesultanan. Dari observasi di daerah Malioboro dan bangunan kolonial seperti Hotel Phoenix dan Gereja Bintaran kami mendapat pengetahuan mengenai pengaruh arsitektur masa kolonial terhadap Kota Yogyakarta. Tidak luput juga cerita-cerita mengenai kampung yang meremajakan diri seperti Kampung Code Dan Karangwaru, dan kampung yang dibangun ulang dari bencana seperti Kampung Domes. Identitas Yogyakarta di masa kini turut dibentuk oleh arsitek lokal melalui karyakaryanya. Kami mendapat cerita mengenai YB Mangunwijaya melalui Kuwera dan Kampung Code, Eko Prawoto melalui Cemeti Arthouse dan rumah tinggalnya,
Yoshi Fajar mengenai visi ugahari di Galeri dan Homestay Lorong, LSM seperti Arkom dengan visi mengembangkan masyarakat lewat arsitektur, dan PT. Global Rancang Selaras dengan prinsip tepat gunanya. Para arsitek, dengan perbedaan prinsip dan visinya, justru membentuk wajah arsitektur Yogyakarta yang berwarna-warni. Ekskursi kami yang berlangsung selama seminggu memang tidak dapat menggali secara dalam mengenai cerita-cerita arsitektur di tempat yang kami tuju. Namun, kami meyakini apa yang kami amati, dengar, rasakan, rekam, dan tafsirkan akan dapat menjadi cerita yang memperkaya pengetahuan tentang arsitektur Semarang, Solo, dan Yogyakarta ke khalayak yang lebih luas. Demikian kami melanjutkan perjalanan estafet Façade, ekskursi dalam upaya meilhat apa yang lebih dalam dari sekadar wajah luar sebuah bangunan. 208
Bagian 4 : Penutup
Tim Kuliah Lapangan Arsitektur ITB 2016 bersama para pembimbing (Foto oleh Albertus Siswo Y.)
209
Penutup
210
KEPANITIAAN Pembina
Dana Usaha
Aswin Indraprastha, S.T., M.T., M. Eng., Ph.D.
Glenizza Iruka Muhammad Arif Nafsi Muhammad Bakam Maulana Deha Muhammad Furqon Abdul Halim Muhammad Hilyah Al-Awliya
Pembimbing Dr. Eng. Arif Sarwo Wibowo, S.T., M.T. Indah Widiastuti, S.T., M.T., Ph.D. Dr. Ir. Christina Gantini, M.T. Suhendri, S.T., M.Sc.
Ketua Panitia
MSDM Apri Surya Hot Parasian Simbolon Luthfiawati Bahman
Fransiskus Dwinugroho
Operasional Sekretaris Jenderal
Javier Daniswara
Adrio Fachrezzy
Acara Sekretaris Nisrina Amalia Fadhila Alyssa Fadhilla
Bendahara Keny Wijaya Hilman Prakoso
Selvia Diwanty Adilah Nidaul Yumna Muhammad Yusuf Vadya Dzauqiah Verencya Oktaviani Yesaya Christian
Lapangan Humas dan perizinan Cherryl Sastiana Zadhine Sofiani Sabarina Nursalmah Dadang Trio Setiawan
Sponsorship Permata Gabriella Annisa Riany KP Dimas Satrio Danardono Khana Kanun Kusumawedana Nafidzah Nur Amalina Putri Permata Rumahorbo Salsabyla Navira
211
Farhan Qalbain Clifton Reinerdus Sutioso Hans Marvin Hanifa Zainnafsia Muhammad Fahmi Widiarto Natashia Angelina Raden Bagus Muhammad Louay Safarilla
Supporting Muhammad Arkan Haqqi
Logistik Muhammad Ilham Adisty Afifa Junna Nuhafatya Ahmad Ghozali Aissya Jelitawati Zaky Abdullah Muhammad
Konsumsi
Materi
Alya Putri Ashyifa Almajid Habibullah Dinta Tiara Ester Dorothy
Mohammad Ilham Akbar
Riset dan Konten
Cantika Wiba Febrina Mutiara Asmara Pertiwi Vanessa Susanto
Heidi Aisha Angel Tang Ari Rizki Hamdar Dinda Nadhila Augusta Hanan Marta Lina Muthia Wening Sekargalih
Transportasi
Film dan Dokumentasi
Kahfi Aziz Abdillah Gioranike Geraldin Ike Kurniawati Muhammad Arif Mappe Amir Vania Andriani Tamsuli
Albertus Siswo Yulianto Azizah Rahmazahra Harsanto Bella Febrilia Josephin Maria Pastika Muhammad Arya Wicaksono
Kreatif
Buku
Zanetta Auriel
Muhammad Rafi Akbar Siraj Nabila Fairuza Arkansyah Farras Setiawan Kania Salsabila Firdha Adelia Said
Akomodasi
Grafis Raihan Prakasa Calista Pranoto Andita Abiyyuna
Pameran Publikasi dan Media Partner Ratu Intan Mutia Alifa Rosa Ramadhanti Edly Tsara Nabilah Ihsan Maulanar Robbany Nadia Amira Husna
Shabrina Amalia Ihsanti Aminatun Jahroh Mochamad Hafid Mubarak Monica Dewi Ni Wayan Primastuti Shania Maharani
212
TIM BESAR KULIAH LAPANGAN Tim Fotografi
Tim Videografi
Calista Pranoto
Nabila Fairuza
Muhammad Ilham Adisty
Adrio Fachrezzy
Nisrina Amalia Fadhilla
Dinda Nadhila Augusta
Raihan Prakasa
Yulia Firstiannisa Indristary
Kahfi Aziz Abdillah
Hanifa Zainnafsia
Keny Wijaya
Permata Gabriella
Vania Andriani Tamsuli
Heidi Aisha
Hans Marvin
Dimas Satrio Danardono
Bella Febrilia
Arkansyah Farras Setiawan
Shania Maharani
Hilman Prakoso
Hanan Marta Lina
Verencya Oktaviani
Luthfiawati Bahman
Albertus Siswo Yulianto
Andita Abiyyuna
Azizah Rahmazahra Harsanto
Adilah Nidaul Yumna
Zanetta Auriel
Edly Tsara Nabilah
Nadia Amira Husna
Muhammad Furqon Abdul Halim
Alyssa Fadhilla
Cantika Wiba Febrina
Angel Tang
Muhammad Rafi Akbar Siraj
Ester Dorothy Nabasa
Mutiara Asmara Pertiwi
Rafidah Azzar Dea
Ratu Intan Mutia
Josephin Maria Patika
Ihsan Maulanar Robbany
Vadya Dzauqiah
213
Tim Wawancara
Tim Seksta dan Pengukuran
Aminatun Jahroh
Zaky Abdullah Muhammad
Vanessa Susanto
Afifa Junna Nuhafatya
Putri Permata Rumahorbo
Clifton Reinerdus
Dadang Trio Setiawan
Farhan Qalbain Iman
Raden Bagus Muhammad Louay Safarilla
Muhammad Arkan Haqqi
Khana Kanun Kusumawedana
Fransiskus Asisi Dwinugroho
Ahmad Ghozali
Muhammad Arif Mappe Amir
Almajid Habibullah
Yesaya Christian
Salsabyla Navira
Kania Salsabila
Nafidzah Nur Amalina
Ike Kurniawati
Mochamad Hafid Mubarak
Muhammad Hilyah Al-Awliya
Javier Daniswara Alamsyah
Cherryl Sastiana Zadhine
Ari Rizki Hamdar
Alifa Rosa Ramadhanti
Mohammad Ilham Akbar
Firdha Adelia Said
Gioranika Geraldin
Natashia Angelina Theodora Sianturi
Alya Putri Ashyifa
Dinta Tiara
Monica Dewi
Muhammad Yusuf
Sofiani Sabarina Nursalmah
Selvia Diwanty
Annisa Riany KP
Apri Surya Hot Parasian Simbolon
Muthia Wening Sekargalih
Aissya Jelitawati
Muhammad Fahmi Widiarto
Ni Wayan Primastuti Glenizza Iruka Shabrina Amalia Ihsanti Muhammad Bakam Maulana Dehaw
214
Kegi at anKul i ahLapangan “ Faç ade” Pr ogr am St udi Ar si t ek t ur Sek ol ahAr s i t ek t ur ,Per enc anaan,dan PengembanganKebi j ak an I ns t i t utT ek nol ogi Bandung Labt ekI XB J al anGanes ha10,Bandung41032 I ndones i a f ac adear s i i t b@gmai l . c om