Buku Kuliah Lapangan Facade 2019: Surabaya-Malang, Jawa Timur

Page 1

Volume 3 / 2020 ISSN 2620-472X

Kuliah Lapangan Arsitektur ITB

FAÇADE SURABAYA - MALANG



Volume 3 / 2020 ISSN 2620-472X

Kuliah Lapangan Arsitektur ITB

FAÇADE SURABAYA - MALANG


Penyunting

:

Kepala Tim

:

Ajani Raushanfikra

Konseptor

:

Ajani Raushanfikra Krisna Agustriana Valeryn Horlanso Bunga Aninditya

Tim Materi

:

Krisna Agustriana Valeryn Horlanso Geofani Kurniawaty Yovanni Christine Asia Luthfiah Kevin Mochamad Oktafarel Amara Faza Rukmana

Tim Layout

:

Dhayita Mriyanggani Cintantya Puti Azalia Ichsan Bella Sofie Jayanti Irvi Syauqi Selendra Safira Fitri Annisa

Sketsa

:

Arsitektur ITB 2017

Foto

:

Arsitektur ITB 2017

Penyunting Foto :

Fadhilah Sayogo Bella Sofie Jayanti Dhayita Mryanggani Cintantya

Foto sampul

Rania Angela

:



A i

Pendahuluan

PRAKATA Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Kuliah Lapangan Arsitektur ITB “Façade” 2019 dapat berjalan dengan lancar dan buku perjalanan kuliah lapangan kami dapat terselesaikan dengan baik. Kuliah lapangan “Façade” merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Program Studi Arsitektur ITB dalam rangka memperluas perbendaharaan kata arsitektur dengan mengalami ruang secara langsung. Pada kali ini, kuliah lapangan “Façade” mengambil lokasi di Surabaya, Malang, dan Batu. Façade merupakan branding dari kuliah lapangan itu sendiri yang dimulai dari tahun 2017. Façade memiliki arti wajah bangunan, diharapkan dengan branding Façade ini kami dapat menggali ilmu arsitektur lebih daripada sekadar tampak atau muka luar bangunan saja. Buku kegiatan kuliah lapangan ini merupakan persyaratan yang diharapkan Prodi Arsitektur ITB yang menceritakan perjalanan dan kami kemas dalam bentuk kumpulan rekaman obyektif narasi, sketsa, dan foto dari objek arsitektur yang dikunjungi maupun arsitek yang ditemui. Dalam proses penyusunan buku ini, kami hendak mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dan turut membantu keberjalanan kuliah lapangan kami:


Prakata

A ii

1. Bapak Aswin Indraprastha selaku Kepala Program Studi Sarjana Arsitektur ITB yang telah membantu keberjalanan kuliah lapangan, 2. Ibu Christina Gantini, Ibu Widiyani, Bapak Dibya Kusyala, dan Bapak Ahmad Zuhdi Allam selaku dosen pembimbing kuliah lapangan yang telah membimbing kami dari perencanaan acara hingga penyusunan buku kuliah lapangan 3. Fransiskus Asisi, Nikolas Fiansa, Joshua Aditya, dan Ardelia Jessica selaku pengurus kuliah lapangan Arsitektur ITB sebelumnya, 4. Seluruh mahasiswa Arsitektur ITB 2017, 5. Pihak sponsor dan donator yang telah memberikan bantuan dana 6. Ibu Tri Rismaharini, Walikota Surabaya yang telah memberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan pemaparan tentang pemerintahan Kota Surabaya 7. Bapak Adrian Prakoso dan Bapak Dwi Cahyono yang telah memberikan ilmunya kuliah pengantar mengenai kota Surabaya dan kota Malang. 8. Pihak-pihak lain yang belum kami sebutkan. Kami menyadari bahwa buku perjalanan kami masih memiliki banyak kekurangan sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Semoga buku ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya tentang arsitektur di Indonesia, serta memberi pengayaan tentang karya arsitektur modern di Indonesia. Kami selaku panitia pelaksana kuliah lapangan Façade 2019 mengucapkan terimakasih dan selamat membaca.

Calvin Timothy Ketua Panitia Pelaksana Kuliah Lapangan Arsitektur ITB ‘Facade’ 2019


A Pendahuluan iii

KATA PENGANTAR Dokumentasi Façade 2019: Surabaya & Malang. Buku dokumentasi Façade 2019 adalah hasil karya dan hasil kerja keras sekitar 83 mahasiswa Arsitektur angkatan 2017 di bawah bimbingan empat dosen pembimbing yang pada akhir Juli dan awal bulan Agustus tahun 2019 lalu mengadakan kuliah lapangan selama kurang lebih satu minggu ke dua kota di Jawa Timur, yakni Surabaya dan Malang. Seperti halnya dokumentasi Façade sebelum-sebelumnya, tujuan dari penerbitan dokumentasi ini adalah memupuk semangat kolaborasi dalam menghasilkan suatu karya bersama dalamrangkaian program ‘liburan sambil belajar’. Pembelajaran dalam konteks kegiatan ekstrakurikuler ini menurut hemat kami sangatlah diperlukan untuk menambah pengalaman melihat, menyaksikan, merasakan hal-hal baru yang sudah pasti sulit dipenuhi pada program kurikuler reguler yang rigid dan sempit waktunya. Mahasiswa arsitektur perlu memperbanyak ‘jalan-jalan’ dan melihat ke luar untuk mengasah indera dan rasa mereka. Dalam singkatnya waktu ekskursi ke dua kota dan beberapa obyek tujuan, maka sifat dari dokumentasi ini adalah sebuah catatan perjalanan dengan narasi, sketsa, foto serta video yang menggambarkan rekaman-rekaman antusiasme mahasiswa dalam mengalami obyek-obyek kota dan arsitektur. Dua kota yang menjadi obyek ekskursi yakni Surabaya dan Malang masing-masing memiliki cerita dalam wajah bangunan-bangunan kolonial, wajah kampung-kampung kota dan juga metamorfosis perkembangan kemajuan yang menyisakan jejak-jejak masa lalu seperti sepanjang Embong Malang di Surabaya atau Kayutangan dan Ijen di Malang. Menarik untuk disimak bagaimana narasi yang dituliskan dari kacamata mahasiswa arsitektur terhadap kampung-kampung kota di Malang yang bersolek mewarnai dirinya.


Kata Pengantar

iv A

Sebagai sebuah catatan perjalanan, buku Faรงade 2019 cukup baik dalam memotret tidak hanya obyek-obyek tujuan ekskursi, tetapi proses kolaborasi dan kerja bersama dalam tahap persiapan, pelaksanaan dan ketika perjalanan, serta proses pembuatan buku ini sendiri. Buku ini adalah karya bersama satu angkatan yang seyogyanya merupakan kebanggaan dari angkatan 2017. Akhirnya kami mengucapkan selamat atas terbitnya cuku dokumentasi Faรงade 2019 yang pastinya akan menambah akumulasi pengetahuan terhadap kota-kota di Indonesia. Apresiasi yang tinggi kami sampaikan kepada para dosen pembimbing, segenap tim penyusun buku, tim dokumentasi dan semua tim yang membantu menyukseskan kegiatan kuliah lapangan Faรงade 2019 sehingga berjalan lancar dan sukses.

Terima kasih.

Aswin Indraprastha, PhD, IAI Ketua Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung


v A

Pendahuluan

Dr. Ir. Christina Gantini, M. T. Pembimbing Kuliah Lapangan

Kuliah lapangan arsitektur diakui sebagai momen penting, dalam pembelajaran di Program Studi Arsitektur ITB. Setiap perjalanan kuliah lapangan akan membantu mahasiswa untuk mengalami dan berinteraksi dengan cara yang paling jujur ​​dengan lingkungan binaan. Tujuan perjalanan setiap kuliah lapangan biasanya memberikan mahasiswa pengalaman di luar kegiatan kampus. Dari sana, mahasiswa dapat mempelajari apa yang telah mereka pelajari di perguruan tinggi dan mengalami apa yang tidak diajarkan di sekolah arsitektur. Apa yang dipikirkan siswa mungkin akan sangat berbeda dari kenyataan, oleh karena itu, kuliah lapangan adalah langkah penting bagi mahasiswa untuk fokus berkenalan dengan lingkungan nyata dibawah arahan dosen pembimbing. Pada saat bersamaan mahasiswa juga memiliki waktu guna mengarahkan, memilih, memilah, berbagai kondisi faktual yang dialaminya sebagai bekal kelak mengembangkan minat yang lebih khusus di masa depan. Dalam kuliah lapangan Façade kali ini, mahasiswa memperoleh banyak pengetahuan yang tidak dapat dilihat dan dialaminya pada saat menjalani perkuliahan. Catatan perjalanan kuliah lapangan di dua kota yakni Surabaya dan Malang dapat dilihat pada keseluruhan buku ini. Berbagai rekaman dan momen kegiatan selama kuliah lapangan adalah hasil olah pengalaman mahasiswa tingkat dua, yang baru memasuki dunia ‘belajar ber-arsitektur’. Tidak seluruh rekaman perjalanan dapat lengkap ditulis dalam buku, namun semoga sebagian kecil dari hasil kerja kolektif mahasiswa ini, dapat menjadi catatan ringkas namun padat atas seluruh kegiatan yang mereka lakukan. Semoga buku ini dapat berguna dan menjadi inspirasi, ajang pembelajaran, penambah khasanah pengetahuan, dan wawasan arsitektur berupa pengayaan ragam arsitektur Indonesia.


Kata Pengantar

Avi

Widiyani Pembimbing Kuliah Lapangan

Kegiatan kuliah lapangan ini bertujuan untuk menambah perbendaharaan arsitektur yang diperoleh langsung dari apa yang dilihat di lapangan yang relatif jauh untuk dikunjungi mahasiswa di saat kuliah sedang berlangsung. Pilihan kunjungan ke kota Malang dan Surabaya diharapkan dapat memberikan wawasan tentang kota lama/ peningglaan Belanda baik tatanan kota maupun bangunan. Selain itu mahasiswa dapat mempelajari bangunan-bangunan modern maupun pemanfaatan kembali (adaptive reuse) bangunan heritage. Di samping hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur kegiatan kuliah lapangan juga memberi pengalaman bagi mahasiswa untuk belajar berorganisasi dan bernegosiasi yang merupakan bekal penting kelak setelah lulus menjadi sarjana. Terakhir, kuliah lapangan memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk berkreasi, berekspresi baik dalam bentuk tulisan, foto dan sketsa yg dapat kita nikmati dalam buku Faรงade ini. Saya sangat menghargai kerja keras mahasiswa dalam mempersiapkan dan mengatur perjalanan, serta mengkurasi dan menyusun buku ini. Terima kasih!


vii A Pendahuluan

Dibya Kusyala S.T,M.T Pembimbing Kuliah Lapangan

Kuliah Lapangan bertajuk Façade 2019 diselenggarakan oleh mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung 2017. Masa persiapan, pelaksanaan, sehingga pameran dan pembuatan buku merupakan sebuah proses panjang yang menguras fokus, tenaga, dan biaya selama satu tahun sejak mereka memasuki tingkat kedua dalam penjurusan pendidikan di Program Studi Arsitektur. Beragam rangkaian acara diselenggarakan dengan penuh antusias oleh seluruh peserta dimotori sekelompok panitia inti. Mereka tiada lelah merangkai diskusi, rencana, dan menurunkannya dalam runutan kegiatan dan pembagian peran. Dalam rangka mengawal tujuan awal yang diamanahkan, yaitu pemahaman yang lebih baik akan kosakata arsitektur yang baru, proses merekam ruang dan lokasi yang sedang potensial untuk berkembang secara arsitektural yaitu Surabaya dan Malang, dengan kehadiran komunitas muda yang aktif berdiskusi dan menghasilkan karya di kota mereka. Keseriusan peserta dan panitia adalah hal yang paling disyukuri oleh para pembimbing. Kami berempat berharap semoga buku yang menjadi buah pikir dan usaha bersama Angkatan 2017 ini terus memberi semangat bagi adik kelas dan menjadi rujukan informasi yang berharga sehingga berkontribusi dalam pemahaman Arsitektur nusantara yang lebih baik dari tahun ke tahun. Terima kasih kami tujukan pada panitia, peserta, juga sponsor, dan tentunya Program Studi Arsitektur ITB, beserta Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB yang memberi kesempatan terwujudnya Kuliah Lapangan Façade 2019 di Surabaya dan Malang.


Kata Pengantar

A viii

Ahmad Zuhdi Allam S.T., M.Hum Pembimbing Kuliah Lapangan

Kuliah Lapangan, pada awalnya, adalah tradisi yang dilaksanakan secara mandiri oleh mahasiswa arsitektur guna menyiapkan diri dalam melakukan studio. Kini, kuliah lapangan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembelajaran di kampus. Meski demikian, keinginan, kebutuhan, dan kesiapan mahasiswa tetap menjadi pertimbangan paling utama dalam penyelenggaraan kuliah lapangan ini. Dalam kuliah lapangan kali ini mahasiswa arsitektur angkatan 2017 telah berhasil menyelenggarakan kuliah lapangan dengan baik. Dengan segala keterbatasan dan tantangan, para panitia kuliah lapangan bisa menyusun acara kuliah lapangan yang menarik dan mengesankan. Pada beberapa objek kunjungan, para peserta mendapatkan pengalaman yang belum tentu akan mereka dapatkan di kemudian hari. Melalui buku ini, para peserta kuliah lapangan belajar menuangkan apa yang mereka lihat, amati, dan rasakan di Kota Malang dan Kota Surabaya. Selain menjadi hasil dokumentasi, semoga buku ini bisa menjadi tonggak sejarah (milestone) dalam penyelenggaraan kuliah lapangan dan menjadi sumber pembelajaran bagi mahasiswa di masa mendatang. Lebih dari itu, semoga buku ini bisa menjadi sumber kebanggaan bagi para peserta kuliah lapangan angkatan 2017.


ix Pendahuluan

DAFTAR ISI

Prakata Kata Pengantar Daftar Isi Prolog

i iii ix 2

Bagian Satu : Surabaya Singgah di Pesisir : Surabaya Sang Pengawas Laut : Monumen Jalesveva Jayamahe Jejak Religi : Sunan Ampel Peninggalan Kolonial Usaha Raksasa Liem Seeng Tee : House of Sampoerna Tak Semanis Namanya, Gula : Jalan Gula, Kopi, Karet Mengheningkan Cipta : Tugu Pahlawan Wajah Kampung Sekarang : Kampung Lawas Maspati Kini Tempat Pahlawan : Museum H.O.S Tjokroaminoto Warisan yang Paling Dipelihara : Hotel Majapahit Kabar Tuinhuis Saat Ini : Gedung Grahadi Napas Terakhir Paul Rudolph : Intiland Tower Yang Ikut Mempercantik Kota : Ara Studio Oasis di Tengah Kota : Taman Bungkul Kesimpulan Surabaya

4 6 10 13 17 21 24 28 31 34 40 44 48

50 54


Daftar Isi

Bagian Dua : Malang

x

56

Tinggal di Pedalaman : Malang Tugu Tandaku, Arek Malang : Alun-alun Tugu Muka Pusat Kota : Alun-alun Melipir di Kayu Tangan : Gereja Kayutangan Toko Tahun Tigapuluhan : Toko Oen Bergenbuurt oleh Karsten : Jalan Ijen Kolonial, Jawa, dan Peranakan : Hotel Shalimar Buah Tangan si Kolektor Seni : Hotel Tugu Pemandangan Tiga Gunung : Hotel Singhasari Kampung Warna-warni Kampung Biru Arema Kampung Putih Kesimpulan Malang

Epilog Daftar Referensi

58 62 64 66 69 72 76 80 84 88 91 94 98

102 114


xi Pendahuluan


Facade : Surabaya - Malang 1


2

A

Prolog


Prolog

3

PROLOG Oleh : Krisna Agustriana

“ Kota sebagai suatu organisme yang hidup akan selalu berada dalam suatu siklus alam, yaitu lahir, bersemi, tumbuh dan berkembang, dan bahkan pada akhirnya suatu saat akan punah.“ ___________

Kutipan di atas sangat tepat untuk mengawali buku ini. Pesisir & Pedalaman: Façade Surabaya-Malang Mahasiswa Arsitektur 2017 Institut Teknologi Bandung merupakan sebuah usaha menghimpun kepingkeping yang ada dan masih tersisa dari dua kota yang didatangi. Tiga hari di Surabaya dan dua hari di Malang. Dalam waktu yang sangat singkat tersebut, sekitar 90 orang mahasiswa secara berkelompok menyebar ke berbagai tempat. Mahasiswa mengumpulkan sejumlah informasi dan mengambil hal-hal yang dapat dipelajari untuk kemudian dituangkan dalam catatan perjalanan ini. Kepada semua pihak yang telah membantu, dosen pembimbing dan panitia kuliah lapangan, terima kasih. Tim dokumentasi yang foto-fotonya terlampir di dalam buku ini, tim sketsa yang torehan penanya terpajang dalam buku ini, tim naskah yang data dan tulisannya dapat dibaca dalam buku ini, terima kasih. Mungkin apa yang ditulis dalam catatan ini terlampau jauh dari sebuah buku yang sempurna. Namun sejumlah mahasiswa berusaha keras untuk menyelesaikan kisah ini, walaupun secara bersamaan masih banyak hal lain yang harus dipikirkan sebagai orang yang sebentar lagi dituntut matang oleh zaman. Sebagai mahasiswa, sebagian besar dari kami adalah amatir. Sama sekali bukan fotografer profesional, seniman tersohor, atau penulis terkenal. Kami hanyalah beberapa orang yang sedang dan mau belajar. Dan ingin, berkarya. Buku ini, kami persembahkan untuk mereka yang ingin menjadi bagian dari pemerhati, yang ingin mencari tahu wajah kota dulu dan ingin mengetahui apa yang terjadi saat ini. Harapannya, dengan adanya kisah ini pembaca bisa ikut pergi belajar bersama kami. Singgah. Walau sebentar. Tinggal sejenak. Meski hanya dalam benak. Salam hangat.


4

Bagian Satu : Surabaya


Singgah di Pesisir, Surabaya

SURABAYA

5

5


6

Bagian Satu : Surabaya

SINGGAH DI PESISIR : SURABAYA

Tulisan oleh Ajani Raushanfikra

Kalau kita menyusuri sisi Timur Tanah Jawa dari Jawa Barat ke arah Timur, kita akan sampai di kota ini. Panas suasananya, bangunannya berada dimana-mana, dan padat, itulah Surabaya. Bicara tentang Surabaya, seringkali dikaitkan dengan nilai perjuangan dan kepahlawanan. Menurut Handinoto (1996) dan Hariska (2017) hari jadi Kota Surabaya yang ditetapkan setiap tanggal 31 Mei 1293, hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya dalam menghadapi pasukan Mongol. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai Sura (ikan hiu/berani), dan pasukan Raden Wijaya yang menyerang dari barat digambarkan sebagai Baya (buaya/bahaya). Jika disimpulkan, penggambaran tersebut dapat diartikan keberanian menghadapi bahaya yang datang mengancam. Menurut Hariska (2017), dahulu Surabaya merupakan salah satu wilayah di bawah kekuasaan Majapahit dan Sungai Kalimas merupakan gerbang dari kerajaan terbesar di Asia ini. Pada masa kekuasaan Islam di sekitar abad ke-14, Surabaya merupakan salah satu wilayah Kesultanan Demak. Penyebar agama Islam terbesar di pulau Jawa pada masa tersebut adalah Wali Songo. Yakni Sunan Ampel, menjadi tokoh di kota Surabaya dan beliau mendirikan Kawasan Ampel yang dilengkapi dengan masjid dan pesantren.

Foto oleh Amanda


Singgah di Pesisir, Surabaya

7

Setelah Kesultanan Demak runtuh, Surabaya menjadi sasaran empuk kekuasaan Kesultanan Mataram. Namun tak berlangsung lama di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kekuasaan atas Surabaya jatuh kepada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1743. Selanjutnya permukiman bagi orang Eropa mulai dibangun oleh VOC dimulai dari kawasan Jembatan Merah kemudian menyebar hingga ke arah Selatan, Keputran dan sekitarnya. Sedangkan, di sebelah Timur kawasan Jembatan Merah tepatnya di kawasan Kembang Jepun, Kapasan, dan Pasar Atom merupakan permukiman bagi orangorang Cina. Menurut Graf (2008), pada masa kependudukan kolonial, kota Surabaya yang menjadi gerbang memasuki pulau Jawa ini telah dirancang menjadi kota pelabuhan utama. Pelabuhan diperuntukkan sebagai ‘collecting centers’ dari rangkaian terakhir kegiatan produksi perkebunan Hindia Belanda untuk diekspor ke Eropa. Pemerintah Surabaya berharap lokasi pelabuhan Surabaya yang ada di timur Pulau Jawa dapat menjadi ‘penyeimbang’ atas kota industri Jawa lainnya yaitu Batavia (Jakarta).

Sketsa Oleh Firqi

Sebagai kota pelabuhan utama yang sarat akan aktivitas perdagangan menyebabkan kota Surabaya juga diprioritaskan sebagai pusat industri oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga banyak bangunan kolonial di sekitar Surabaya. Bangunan-bangunan kolonial ini masih dapat terlihat hingga saat ini seperti di sekitar Jembatan Merah, kantor pemerintahan Surabaya, dan Gedung Grahadi. Rancangan pembangunan Surabaya sebagai kota industri membuat penataan kota ini terlihat ‘semrawut’. Terdapat area permukiman di tengah-tengah daerah industri dan hal tersebut masih berlanjut hingga sekarang. Dalam perjalanan ini tampak bahwa Surabaya masih berambisi untuk menjadi sebuah kota industri atau mungkin dapat kami analogikan setara dengan kota metropolitan.

Foto oleh Luthfia

Selama tiga hari menyusuri Kota Surabaya, kami mendatangi kawasan Sunan Ampel, beberapa peninggalan bangunan kolonial, permukiman, monumen, dan museum. Beberapa akan kami sampaikan pada bab selanjutnya. Pada bab ini, kami akan mengajak pembaca menyusuri pembangunan Kota Surabaya. Dimulai dari pelabuhan Surabaya, lalu menyusuri sungai Kali Mas, kemudian menyisir dan memasuki bangunan-bangunan kolonial serta ruang Kota Surabaya


8

8

Bagian Satu : Surabaya


Singgah di Pesisir, Surabaya

9

9


10

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Luthfia

Kapal KRI di Jalesveva Jayamahe

-7.195416, 112.739505

SANG PENGAWAS LAUT : JALESVEVA JAYAMAHE Tulisan oleh Kevin Mochammad Oktafarrel

Foto oleh Irsyad (Kiri) Pemandangan laut dari dalam Monumen Jalesveva, (Kanan) Suasana di dalam Monumen

Foto oleh Irvi


Sang Pengawas Laut : Jalesveva Jayamahe

11

“ “Jalesveva Jayamahe” berarti “Di Laut Kita Berjaya “ ___________

Patung perwira TNI AL setinggi 30 meter lengkap dengan pedangnya berdiri kokoh di atas museum terlihat seperti mengawasi hamparan laut Kota Surabaya. Ia seolah menantang ombak dan badai yang akan datang. Sang pengawas laut ini berhasil mewarnai langit dan laut Surabaya dengan kegagahannya. Kehadirannya menjadi simbol bahwa angkatan laut Indonesia siap berjaya. Melihat sang perwira dari dekat merupakan pengalaman menarik yang hanya bisa dirasakan ketika mengunjungi monumen Jalesveva Jayamahe. Monumen Jalesveva Jayamahe, yang didirikan di atas tanah Surabaya pada 1990, merupakan salah satu destinasi yang kami datangi. Monumen ini dirancang dan dibangun selama 6 bulan oleh seorang seniman lulusan seni rupa ITB bernama Nyoman Nuarta. Monumen yang menjadi salah satu ikon angkatan laut di Surabaya ini memiliki nama yang diadopsi dari motto angkatan laut “Jalesveva Jayamahe” yang berarti “Di Laut Kita Berjaya”. Sosok patung perwira TNI AL memperkuat arti nama dari monumen ini. Sang perwira ini divisualisasikan sebagai sosok pahlawan yang sedang mengawasi lautan lengkap dengan pedangnya seakan siap menjadi pelindung dari terjangan badai dan ombak yang datang serta melambangkan jayanya kita atas laut sendiri.

Foto oleh Irvi

Jalesveva Jayamahe

Monumen Jalesveva Jayamahe berdiri di atas bangunan museum setinggi 60 meter dan patungnya sendiri setinggi 30 meter (Indriani, 2019). Bangunan yang dikelilingi oleh Teluk Laming ini memiliki geometri dasar silinder yang terdiri dari tiga lantai dan satu basement. Pada area basement terdapat beberapa toko cindera mata dan kafetaria, serta auditorium. Memasuki lantai pertama, pengunjung dapat melihat maket Monumen Jalesveva Jayamahe beserta dengan miniatur kapal TNI AL. Naik ke lantai 2, terdapat miniatur kapal milik RI dan jenis lencana TNI AL. Tak hanya itu, pada lantai 2, kami dapat mempelajari salah satu modul patung karya Nyoman Nuarta ini beserta cara menyambung modul-modul tersebut. Tiba di lantai 3, kami menyaksikan hasil dokumentasi kegiatan TNI AL dalam bentuk video di bawah langit-langit yang berbentuk dome dengan lukisan langit beserta awan yang menghiasinya.


12

Bagian Satu : Surabaya

“ Kilauan cahaya matahari menghiasi tiap gerakan ombak yang menggulung dan menghempas tepi daratan

Walaupun lantai 3 adalah lantai teratas, pengunjung tetap dapat mengakses rooftop— tempat kaki patung sang perwira berdiri—melalui tangga yang tersedia. Dari rooftop ini, kami dibuat takjub dengan indahnya pemandangan yang kami saksikan dengan ditemani angin yang berhembus lembut. Terlihat indahnya kilauan cahaya matahari menghiasi tiap gerakan ombak yang menggulung dan menghempas tepi daratan. Selain mengunjungi museum, di kawasan Monumen Jalesveva Jayamahe, kami beruntung mendapat kesempatan untuk menaiki salah satu kapal TNI AL sepanjang 120 meter. Menurut informasi yang didapatkan saat kunjungan, kapal ini memiliki kapasitas maksimal 800 orang dan jumlah awak 136 orang dan dilengkapi dengan dek rumah sakit untuk menampung para kru kapal yang membutuhkan bantuan medis juga heliport.

Foto oleh Irvi

Miniatur KRI yang dipamerkan di dalam monumen

Sketsa oleh Zufar Kapal-kapal di sekitar monumen

Foto oleh Diajeng

Pintu masuk KRI dr.Soeharso


Jejak Religi : Kawasan Sunan Ampel

13

Foto oleh Diajeng

-7.227648, 112.742580

JEJAK RELIGI :

KAWASAN SUNAN AMPEL

Tulisan oleh Zufar Azka Prabaswara

Foto oleh Diajeng

Suasana Jalan Ampel Masjid

Foto oleh Diajeng


14

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Diajeng

Pedagang kaki Lima di Kawasan Ampel

Berbicara soal kampung peninggalan zaman kolonial di Surabaya, rasanya tak lengkap jika tidak mengunjungi Kampung Arab. Tempat ini merupakan salah satu hasil kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda yaitu membagi wilayah residensial warga berdasarkan etnis. Kampung Arab didirikan oleh Sunan Ampel— salah satu Wali Songo yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di nusantara—sejak abad ke-14 sebagai tempat peribadatan, berkumpul, sekaligus saksi kehidupan berbagai zaman. Beliau juga turut andil dalam membangun Surabaya ketika runtuh pada zaman Kerajaan Majapahit. “Sunan Ampel memiliki harapan untuk ‘memanusiakan manusia’ yang berarti kita sebagai manusia hendaknya membantu satu sama lain dan tidak saling mengganggu.” kata Bapak Zaid.

Foto oleh Irvi

Pintu Masuk Masjid Ampel

Keinginan Sunan Ampel adalah menciptakan lingkungan sekitar yang damai dan hidup harmonis meskipun memiliki kepercayaan dan ras yang berbeda. Saat itu Sunan Ampel mengajarkan orang-orang di lingkungannya untuk ‘bekerja’ dan akhirnya berdampak pada peningkatan perekonomian kampung tersebut. Jalan Ampel-Masjid mengawali perjalanan kami ketika menyusuri Kampung Arab ini. Di tempat ini terdapat banyak pedagang yang sebagian besar menjual makanan, busana muslim, dan pernak-pernik Islami lainnya. Kemudian tibalah kami di Masjid Ampel yang berdiri sekitar tahun 1421 atau pertama kali kawasan ini dibentuk. Ketika itu pembangunan masjid dilakukan bersama-sama dengan para penduduk tanpa memandang ras atau agama.


Jejak Religi : Kawasan Sunan Ampel

“ Sunan Ampel memiliki

harapan untuk “Memanusiakan manusia” yang berarti kita sebagai manusia hendaknya membantu satu sama lain dan tidak saling mengganggu. “

___________

Foto oleh Irvi

Foto oleh Irvi

Foto oleh Bella

Suasana Pasar Ampel di malam hari

Detail Kolom Masjid Ampel

Menurut sang penjaga masjid, sejak pertama kali dibangun Masjid Ampel memiliki menara yang masih digunakan untuk mengumandangkan azan tanpa bantuan pengeras suara hingga tahun 1950-an. Awalnya Masjid Ampel didirikan dengan 16 soko/tiang yang membagi masjid tersebut ke dalam 16 bagian. Soko terbuat dari kayu jati yang keasliannya masih dipertahankan hingga saat ini. Soko diukir dengan bentuk segi delapan yang merupakan jumlah huruf arab dari Allah dan Muhammad (alif, lam, lam, ha, mim, ha, mim, dal). Soko setinggi 17 meter menandakan jumlah rakaat yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim setiap harinya dalam 5 kali waktu shalat

Foto oleh Irvi Syauqi

Suasana Masjid Ampel

15


16

Bagian Satu : Surabaya

“ Hingga kini kawasan Sunan Ampel merupakan tempat wisata religi yang semakin ramai didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri“ ___________

Seiring perubahan zaman, masjid tertua di Indonesia ini telah beberapa kali mengalami perluasan yang mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik arsitekturnya dari zaman dulu hingga sekarang. Beliau juga menyampaikan, perluasan pertama terdapat pada kolom kayu yang bernuansa arsitektur Yunani. Sedangkan pada perluasan kedua, penggunaan kolom telah beralih dengan menggunakan material beton. Perluasan masjid dipelopori oleh Mbah Shonhaji atau dikenal dengan Mbah Bolong selaku imam besar pada abad ke 15 M.

Keramaian ini meluas secara merata hingga kawasan perdagangan di lorong pasar yang diteduhi oleh kanopi dan menerus sampai Jalan Sasak yang menjadi destinasi kami berikutnya. Seperti area tempat kami masuk, di area jalan Sasak juga terdapat ruko-ruko dengan mayoritas menjual busana muslim, minyak wangi, AlQuran dan buku-buku agama. Perjalanan kami di Kampung Arab berakhir di Jalan Panggung. Pada saat kami berkunjung terbetik kabar bahwa pemerintah setempat sedang berusaha menjadikan area Kampung Arab sebagai pusat wisata.

Hingga kini kawasan Sunan Ampel merupakan tempat wisata religi yang semakin ramai didatangi oleh pengunjung dari berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri.

Foto oleh


Peninggalan Kolonial Usaha Raksasa Liem Seeng Tee : House of Sampoerna

17

Foto oleh Namira

Tanamera Coffee, Kafe yang berlokasi di House of Sampoerna

-7.230747, 112.734239

PENINGGALAN KOLONIAL USAHA RAKSASA LIEM SEENG TEE : HOUSE OF SAMPOERNA Tulisan oleh Ulfaatus Saadah

Sketsa oleh Kevin

Tampak depan bangunan Museum House of Sampoerna

Foto oleh Irvi

Bungkus rokok sebagai Dekorasi museum


18

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Irvi

View Pintu masuk Museum dari dalam

House of Sampoerna merupakan museum yang terletak di Jalan Taman Sampoerna No.6, Krembangan Utara, Kecamatan Pabean Cantian, Kota Surabaya. Karena kepopulerannya, museum ini menjadi salah satu destinasi yang “wajib� dikunjungi wisatawan yang ingin menelusuri wilayah Kota Surabaya. Pabrik rokok Sampoerna merupakan pemilik dan pengelola museum. Museum ini memiliki arsitektur bangunan kolonial yang unik untuk dilihat. Pameran di dalam museum dapat menambah pengetahuan pengunjung akan industri rokok. Seperti yang diketahui rokok merupakan salah satu pemasukan terbesar negara di Indonesia. Bagi kami, berkunjung ke museum ini juga dapat memperkaya wawasan terhadap adaptive-reuse dengan kasus tipologi museum. Dikutip Ari Hafidz (sejarahlengkap.com, 2019), bangunan ini dibangun pada 1862 oleh pada zaman Pemerintah Belanda. Awalnya, bangunan ini merupakan panti asuhan yang dikelola oleh Belanda. Hingga akhirnya dibeli oleh Liem Seeng Tee untuk dijadikan tempat produksi rokok. Seiring berjalannya waktu, sebagian besar ruang-ruang bangunan kini dijadikan museum umum sebagai rekam jejak perjalanan beliau dalam membangun usaha ‘raksasa’-nya, saat ini dikenal dengan nama HM Sampoerna. Menurut pemandu wisata House of Sampoerna, kunjungan wisatawan setiap harinya adalah sekitar 300-500 orang dan mencapai 1000 orang per hari bila musim liburan tiba.

Foto oleh Irsyad

Suasana Tanamera Coffee Foto oleh Irsyad

Terdapat tiga bangunan utama di kompleks House of Sampoerna. Gedung museum sejarah Sampoerna menempati bangunan utama dan terbesar sekaligus menjadi ikon dari House of Sampoerna. Pada awalnya, bangunan utama ini merupakan sebuah bioskop. Di belakang gedung utama terdapat pabrik rokok. Di sayap kanan bangunan utama ini terdapat gedung museum seni. Sedangkan di sayap kiri bangunan utama terdapat kafe serta tempat penjualan suvenir. Fasad depan bangunan utama berbentuk simetris dan sangat mencolok dengan penempatan empat kolom tepat di depan pintu masuk. Selain itu, terdapat jendela pada masing-masing sisi kiri dan kanan yang mendukung bentuk simetris tersebut.


Peninggalan Kolonial Usaha Raksasa Liem Seeng Tee : House of Sampoerna

19

“ Dibangun pada tahun 1913, House of Sampoerna berupa gedung mewah bergaya kolonial Belanda yang menjadi rekam jejak perjalanan Liem Seeng Tee dalam membangun usaha ‘raksasa’-nya hingga saat ini dikenal dengan nama HM Sampoerna.“ ___________

Foto oleh Namira

Interior dan koleksi Museum

Foto oleh Nathalia

Pemandangan pabrik


20

Bagian Satu : Surabaya

Bangunan utama terdiri dari dua lantai dan menampilkan berbagai macam koleksi yang berkaitan dengan rokok Sampoerna; mulai dari berbagai macam produksi cengkeh dalam maupun luar negeri, benda-benda peninggalan Keluarga Sampoerna, sejarah perusahaan tersebut, hingga koleksi produk rokok Dji Sam Soe dari tahun ke tahun, juga seluruh produk rokok konsumsi dalam negeri maupun produk rokok yang diekspor ke berbagai belahan dunia. Di ujung belakang bangunan, sayap kiri dan kanan terdapat tangga menuju lantai dua. Di lantai dua terdapat sebuah kaca besar yang memperlihatkan suasana bangunan pabrik rokok kretek yang berada di belakangnya. Jika berkunjung pada hari kerja, dari sini pengunjung dapat melihat kegiatan para karyawan dalam mengemas rokok-rokok, mulai dari pembungkusan tembakau dan cengkeh hingga proses pengemasan untuk distribusi. Hal menarik lainnya dari pengelola museum bergaya arsitektur zaman kolonial ini adalah tawaran program tour wisata heritage ke beberapa spot di Surabaya. Untuk ikut wisata ini pengunjung harus mendaftar terlebih dahulu. Selanjutnya dengan menggunakan bus seorang pemandu akan menjelaskan hal-hal terkait tempat-tempat bersejarah yang akan didatangi.

“ Hal menarik lainnya dari pengelola museum bergaya arsitektur zaman kolonial ini adalah tawaran program tour wisata heritage ke beberapa spot di Surabaya.“ ___________

Foto oleh Irvi

Dekorasi Museum berupa display rempah-rempah yang digunakan dalam rokok

Foto oleh Irvi

Bangunan Belakang


Tak Semanis Namanya : Jalan Gula

21

Foto oleh Nathalia

-7.236719, 112.738303

TAK SEMANIS NAMANYA: JALAN GULA

Tulisan oleh Anifa Farah


22

Bagian Satu : Surabaya

Jalan Gula terletak sekitar 200 meter dari Jembatan Merah di kota Surabaya. Jika dibandingkan dengan Jalan Karet dan Jalan Kopi, Jalan Gula cenderung lebih lebar. Terdapat lebih dari tiga bangunan yang dinyatakan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya yang terletak di jalan Gula. Namun pada kenyataannya beberapa bangunan cagar budaya tersebut sudah dirombak habis-habisan. Untungnya, perombakan bangunan yang terjadi belum sampai merusak garis sempadan yang sudah terbentuk di Jalan Gula. Garis inilah yang masih dapat menyelamatkan eksistensi Jalan Gula, karena dengan adanya bangunan yang terbangun seragam di batas sempadan, suasana kolonial masih bisa terasa.

Foto oleh Margaret Bangunan di Jalan Gula

Bangunan yang berjajar di Jalan Gula terbagi menjadi tiga kategori, yaitu digunakan, dialih fungsikan, atau ditinggalkan. Bangunan yang digunakan masih berfungsi seperti tujuan awal dibangun. Contohnya rumah abu Keluarga Han. Rumah abu ini sampai sekarang masih terawat dan rutin dibersihkan. Walaupun memang terlihat tidak berpenghuni, rumah abu tetap digunakan untuk sembahyang pada saat harihari perayaan. Bangunan kategori kedua adalah bangunan dialih fungsikan: bangunan yang digunakan untuk fungsi lain, misalnya toko. Bangunan dengan fungsi toko adalah yang paling banyak ditemui di Jalan Gula. Kategori bangunan toko memiliki nasib yang tidak sebaik rumah abu karena kebanyakan bangunan telah dirombak dan dibagi menjadi partisi-partisi kecil untuk kemudian disewakan kembali ke pemilik baru. Dengan adanya pemisahan kepemilikan, otomatis perawatan bangunan tidak seragam lagi. Selain itu faktor dari bisnis yang dikelola mengakibatkan mau tidak mau bangunan tua itu menanggung konsekuensi dari berbagai kegiatan fungsi baru yang berlangsung di sana.

Foto oleh Nathalia Bangunan di Jalan Gula

Foto oleh Nathalia Bangunan Gereja Kristus Tuhan


Tak Semanis Namanya : Jalan Gula

23

Sketsa oleh Annissa Rumah Abu Han Bwee Koo

Sketsa oleh Firqi

Ada lagi nasib bangunan yang paling tidak beruntung diantara ketiganya yaitu bangunan yang ditinggalkan: artinya bangunan dirombak, dan atau diberi partisi, dialih fungsikan, dan keadaan tidak berjalan baik seperti ekspektasi. Kemudian, bagian bangunan ini ditinggalkan. Padahal sejatinya bangunan tersebut dinobatkan sebagai bangunan cagar budaya yang dalam sepanjang waktu cagar budaya, bangunan ini tidak ada kehidupan dan aktivitas apa pun. Bahkan saking mengharapkan kehidupan, sepertinya bangunan cagar budaya ini sudah merasa dirinya beruntung saat kami kunjungi.

“ Bahkan saking mengharapkan kehidupan, sepertinya bangunan cagar budaya ini sudah merasa dirinya beruntung saat kami kunjungi. “ ___________

Foto oleh Nathalia Banyak bangunan di daerah ini yang difungsikan sebagai gudang.


24

Bagian Satu : Surabaya

-7.246283, 112.737825

MENGHENINGKAN CIPTA: TUGU PAHLAWAN Tulisan oleh Nadhira Khansa

Foto oleh Flavio Monumen Tugu Pahlawan

Foto oleh Flavio Patung Soekarno - Hatta yang tengah membacakan teks proklamasi


Mengheningkan Cipta : Tugu Pahlawan

Berada di pinggir jalan yang ramai, posisi Tugu Pahlawan dan Museum 10 November dirancang mundur ke belakang dan diturunkan dari level jalan, sehingga jauh dari kesan bising kendaraan berlalu lalang. Ketika memasuki area ini kita disambut oleh patung Soekarno-Hatta yang sedang berpidato dan pilar-pilar serupa dinding gerbang, suasana yang sunyi seketika memunculkan kesan tenang dan rasa hormat. Tugu Pahlawan yang terletak di tengah kawasan, menjadi monumen utama yang sakral untuk menunjukkan hasil dari sebuah perjuangan. Tugu Pahlawan berbentuk seperti paku terbalik; memiliki makna sebagai pengingat bagi para penjajah agar tidak lagi menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi. Tugu ini tinggi menjulang berukuran 41,15 m, memiliki lengkungan-lengkungan (canarules) berjumlah 10, dan kemudian dibagi menjadi 11 ruas, melambangkan tanggal 10, bulan 11, dan tahun 45 sebagai waktu peristiwa bersejarah untuk arek-arek Suroboyo. Tepat di depan tugu, terdapat diorama 1:1 yang menggambarkan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Di belakang tugu terdapat Museum 10 November yang berisikan dokumentasi dan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di tanggal tersebut. Di bagian bawah tugu dihiasi dengan ukiran trisula bergambar cakra, stamba, dan padma sebagai simbol api perjuangan.

25

Gelap, mencekam. Suasana yang terasa saat memasuki Museum 10 November Surabaya. Seakan mengenang prahara mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman tentara sekutu. Berbagai dokumentasi pertempuran 10 November dipamerkan dalam museum dengan satu patung besar di tengahnya. Tak hanya foto dan dokumentasi, terdapat maket yang mereplika peristiwa 10 November yang menggambarkan bangunan yang dipenuhi lautan manusia, para pejuang yang tengah kesakitan, juga bercak-bercak darah yang terlihat jelas, sehingga membuat beberapa hati para pengunjung terhanyut emosinya. Sebuah buku tulis yang berisikan coretan pemikiran-pemikiran Bung Tomo juga dipamerkan. Pengalaman di dalam museum diakhiri dengan adanya setitik cahaya seolah mengakhiri peristiwa 10 November. Secara umum penerangan utama dalam gedung museum dibuat tidak terlalu terang sehingga pencahayaan setempat di setiap artefak seperti mempunyai daya tarik tersendiri.

“ Tugu Pahlawan berbentuk

seperti paku terbalik; memiliki makna sebagai pengingat bagi para penjajah agar tidak lagi menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi. “

___________

Foto oleh Cindy Atap louvre berundak bangunan museum


26

Bagian Satu : Surabaya

“ Pidato tersebut adalah pidato

yang sama, yang disampaikan untuk mengobarkan semangat arekarek Suroboyo untuk berjuang melawan tentara sekutu tanpa rasa takut.“

___________

Foto oleh Irsyad

Pengalaman saat berada di museum yang sesekali memunculkan perasaan marah menggebu membayangkan betapa kejam dan barbarnya perlakuan tentara sekutu pada penduduk pribumi digantikan dengan adanya sebuah asa penyemangat yang muncul dari rekaman pidato Bung Tomo yang menggema pada sudut-sudut museum. Pidato tersebut adalah pidato yang sama, yang disampaikan untuk mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo untuk berjuang melawan tentara sekutu tanpa rasa takut. Kini, pidato tersebut membawa pengunjung untuk mengenang, merasakan, dan mendoakan para pahlawan yang gugur di medan pertempuran.

Patung Bung Tomo

Foto oleh Flavio Suasana ruang pameran Museum

Foto oleh Adela Lorong yang menyambut perjalanan awal museum


Mengheningkan Cipta : Tugu Pahlawan

27

27


28

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Nathalia

Suasana Kampung Lawas Maspati

-7.247605, 112.736577

WAJAH KAMPUNG SEKARANG: KAMPUNG LAWAS MASPATI Tulisan oleh Muhammad Barkah

Pajangan pada Salah Satu Rumah di Kampung Lawas Maspati

Foto oleh Nathalia

Perpustakaan di Kampung

Foto oleh Margaret


Wajah Kampung Sekarang : Kampung Lawas Maspati

29

“Merdeka dari sampah.� ___________

Foto oleh

Keterangan foto

Foto oleh Margaret

Suasana Kampung Lawas Maspati

Kampung Lawas Maspati mulai tergerak untuk memajukan diri berawal dari program pemerintah dalam hal ini ibu Risma, Walikota Surabaya, yang bertemakan “Merdeka dari Sampah�. Program ini mengundang warga dari masing-masing kampung untuk berlomba menyumbang ide dan pemenang nantinya akan dibantu oleh pemerintah, praktisi juga akademis untuk merealisasikannya. Salah satu praktisi tersebut adalah Mas Dani, seorang seniman yang peduli akan nasib kampung-kampung di perkotaan Surabaya.

Berdasarkan wawancara kami dengan Mas Dani, Kampung Lawas Maspati memiliki sekitar 6070 Kepala Keluarga di setiap RT. Kampung ini muncul karena keberadaannya para abdi dalem keraton tinggal berdekatan dengan keraton dan membentuk sebuah kampung. Kampung tersebut memiliki beberapa tempat sejarah dan peninggalan arsitektur yang khas, misalnya rumah Mataram yang berundak, rumah beratap joglo, dan masjid yang berarsitektur seperti kelenteng Tionghoa, juga rumah jengki. Nama rumah jengki diresmikan setelah kemerdekaan Indonesia karena pemerintah merasa harus ada arsitektur rumah lokal yang khas dari kampung-kampung tersebut.


30

Bagian Satu : Surabaya

Sekolah Ongko Loro Kampung Lawas Maspati

Menurut Mas Dani, praktisi seniman yang peduli, Surabaya perlu mempertahankan kampungkota. Karena di Kota Surabaya tak ada bentang alam yang menjadi daya tarik untuk memberi nilai lebih terhadap pariwisata. Terlebih kampung-kota Surabaya menyimpan nilai-nilai sejarah pada bangunan-bangunan rumahnya. Kelebihan dari kampung-kota Surabaya adalah setelah program “Merdeka dari Sampah� mereka melanjutkan dengan program Green and Clean, ucap Mas Dani di wawancaranya dengan kami. Sedangkan baru-baru ini program yang dicanangkan adalah Surabaya Smart City, yaitu pengolahan pariwisata, ekonomi, limbah dan lainnya secara mandiri oleh warga setempat. Program-program dimungkinkan terjadi karena dari awal warga menggagas ide untuk memenangkan lomba-lomba antar kampungkota. Dari program-program ini pertumbuhan kampung yang terjadi lebih mengakar karena berasal langsung dari warga yang tinggal di dalam kampung-kota tersebut. Salah satu gagasan warga Kampung Lawas Maspati yang menarik adalah tiap desa mempunyai tanaman toga (tanaman berkhasiat obat) yang menjadi salah satu penghasilan warga dan juga ciri khas tiap RT.

Foto oleh Margaret

Kafe Omah Tua

Sketsa oleh Firqi

Foto oleh Margaret Salah Satu Penguni Kampung Lawas Maspati


Kini Tempat Pahlawan : Museum H.O.S Tjokroaminoto

31

Foto oleh Irvi

Suasana di dalam Museum HOS

-7.252280, 112.737775

KINI TEMPAT PAHLAWAN MUSEUM H.O.S TJOKROAMINOTO Tulisan oleh Valeryn Horlanso

Foto oleh Irvi

Gerbang Kampung Peneleh

Foto oleh Irvi

Plang Museum HOS Tjokroaminoto


32

Bagian Satu : Surabaya

Jika kota-kota lain dikenal dengan wisatawisata khas kota seperti wisata kuliner ataupun wisata khas daerahnya, maka Kota Surabaya menawarkan wisata sejarah bagi para pengunjungnya. Berbagai wisata sejarah telah dibangun di Kota Surabaya, dan museum ini menjadi salah satu media untuk ‘mencatat’ sejarah kota Surabaya dan dipublikasikan agar dapat diketahui oleh masyarakat. Kota Surabaya, yang juga dikenal sebagai Kota Pahlawan menegaskan kembali identitasnya sebagai kota bersejarah dengan ‘menyulap’ kediaman salah satu pahlawan kota, dan juga salah satu pemimpin Sarekat Islam yaitu Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) menjadi sebuah museum sejarah.

“ Tempat Indekos ini kemudian dihuni oleh muridmurid Hadji Oemar Said, yang juga merupakan orangorang yang berperan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. “

Selain berfungsi sebagai tempat tinggal beliau, bangunan tersebut juga berfungsi sebagai tempat indekos (M. Bahrul Marzuki, 2019). Beberapa kamar dijadikan tempat untuk dihuni oleh murid-murid Hadji Oemar Said, yang juga merupakan orang-orang yang berperan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, seperti Munawar Musso, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Raden Darsono Notosudirdjo, dan juga Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno (“Sejarah Bangsa di Museum HOS Tjokroaminoto”, 2019).

Foto oleh Irvi Benda pamer museum HOS Tjokroaminoto

Benda pamer museum HOS Tjokroaminoto

Foto oleh Irvi


Kini Tempat Pahlawan : Museum H.O.S Tjokroaminoto

Museum ini sebenarnya sudah dibuka untuk umum sejak tahun 2010 dan dikelola oleh masyarakat sekitar (“Museum HOS Tjokroaminoto di Peneleh Gang VII”, 2018), namun baru diresmikan pada tahun 2017. Museum yang sangat bersejarah ini kemudian menjadi salah satu aset dan target pengunjung di Kota Surabaya, terutama di Kampung Peneleh yang merupakan kampung tertua di Surabaya (Athiraniday Subagio, 2017). Arsitektur khas Jawa terlihat pada bangunan dua lantai yang telah berdiri sejak 1880 ini (“Sejarah Bangsa di Museum HOS Tjokroaminoto”, 2019). Pada bagian luar bangunan terdapat pagar berwarna hijau dengan panjang satu meter dan atap berbahan dasar bambu. Saat masuk ke dalam museum, pengunjung akan disuguhi interior sederhana ala rumah Jawa berupa lantai rumah berwarna kuning kecokelatan dan merah tua yang merupakan khas rumah lawas menambah kesan kolonial pada museum.

33

Foto oleh Adela Salah Satu Bangunan di Kampung Peneleh

Interior museum juga dilengkapi dengan buku-buku sejarah, barang-barang seperti pakaian serta perabotan berbahan kayu jati asli peninggalan Belanda oleh keluarga HOS Tjokroaminoto yang berasal dari masa Hindia Belanda. Dinding ruangan juga dihiasi dengan foto-foto perjuangan dan aktivitas atau sejarah HOS Tjokroaminoto dan penjelasan singkat tentang foto tersebut, termasuk juga fotofoto dan profil penghuni rumah indekos ini pada masanya juga menambah keaslian dan kenyataan sejarah pada museum ini.

Foto oleh Irvi Suasana di dalam Museum


34

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Nathalia Penampilan Gedung Hotel Majapahit dari Innercourt

-7.259484, 112.739978

WARISAN YANG PALING DIPELIHARA: HOTEL MAJAPAHIT Tulisan oleh Cahaya Albari

Foto oleh Fran

Lobi Hotel Majapahit

Foto oleh Margaret

Hotel Majapahit di waktu malam


Warisan yang Paling Dipelihara : Hotel Majapahit

35

Foto oleh Nathalia Resepsionis Hotel Majapahit

Hotel Majapahit merupakan hotel bintang lima terletak di Jalan Tunjungan no. 65, Kota Surabaya. Berdasarkan hasil tur oleh pemandu wisata di Hotel Majapahit disampaikan bangunan hotel ini adalah bangunan bersejarah yang pembangunannya dimulai pada 1900 dan selesai pada 1 Juni 1910. Hotel ini didirikan oleh Sarkies Bersaudara, pebisnis asal Iran. Sejak awal, bangunan Hotel Mejapahit sudah difungsikan sebagai tempat penginapan atau hotel dengan nama Oranje Hotel Soerabaia. Fasad Hotel Majapahit memiliki gaya arsitektur modern yang terlihat jelas dari kesederhanaan fasade, elemen garis yang simetris dan bersih, rancangan yang terbuka dengan banyak elemen kaca, dan kejujuran material beton. Fasad Hotel Majapahit didominasi oleh warna putih dan elemen garis berwarna abu. Salah satu yang menjadi ikon Hotel Majapahit yang terlihat dari fasadnya adalah sebuah menara yang terletak di sisi kiri bangunan. Di menara inilah tempat terjadinya peristiwa perobekan bendera merah-putih-biru (bendera Belanda) yang dilakukan oleh ‘arek’ Surabaya yang marah akibat adanya peristiwa propaganda bendera Belanda pada 19 September 1945.

Foto oleh Nathalia

Sketsa oleh Nathania

Interior Ruang Tunggu Hotel Majapahit

“ Di sana adalah tempat terjadinya peristiwa perobekan bendera merahputih-biru oleh ‘arek’ Surabaya akibat adanya peristiwa propaganda bendera Belanda pada 19 September 1945. “ ___________

Tempat Terjadinya Peristiwa Perobekan Bendera Belanda


36

Bagian Satu : Surabaya

Ruang Peralihan di Hotel Majapahit

Setelah melewati pintu masuk bangunan hotel, terdapat ruang lobi yang luas dan nyaman. Lobi ini bergaya art nouveau dan merupakan bangunan tambahan pada 1932. Lobi Hotel Majapahit yang menyediakan banyak tempat duduk, pemandangan taman dalam, dan bar kecil yang membuat tamu hotel nyaman. Selain banyak tempat duduk, ada pula area resepsionis, toko suvenir, dan area servis serta akses langsung menuju salah satu fasilitas restoran.

Foto oleh Rania

Foto oleh Nathalia Koridor Hotel Majapahit

Inner Court Hotel Majapahit Foto oleh Margaret


Warisan yang Paling Dipelihara : Hotel Majapahit

Sarkies Restaurant

Foto oleh Adela

Interior Lobi Hotel Majapahit

Foto oleh Yodha

Koridor Hotel Majapahit

Foto oleh Rania

37


38

Bagian Satu : Surabaya

“ Gaya arsitektur yang terlihat jelas adalah gaya Art Nouveau. “ ___________ Lobi dan bangunan hotel utama terhubung oleh lorong yang mengarahkan pada suatu aula besar yang berfungsi sebagai pusat hiburan pada masa kolonial Belanda. Aula ini berkapasitas hingga 500 orang, bertingkat dua dengan void yang besar. Gaya arsitektur yang terlihat jelas adalah gaya art nouveau, dengan ukiran dekorasi yang organik. Hotel Majapahit memiliki 143 kamar dengan empat tipe kamar: classic room, heritage room, legendary sweet, dan presidential. Di sekitar bangunan utama terdapat tiga taman, yaitu House Garden, East Garden, dan North Garden. Setiap kamar menghadap langsung pada satu di antara tiga taman yang terdapat di dalam lingkungan hotel ini.

Foto oleh Irvi

Aula Hotel Majapahit

Inner Court Hotel Majapahit

Foto oleh Nathalia


Warisan yang Paling Dipelihara : Hotel Majapahit

Foto oleh Irvi

Interior Kamar Presidential Suites

Foto oleh Elfira

Tangga di Kamar Presidential Suites

Foto oleh Irvi

Interior Kamar Presidential Suites

39


40

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Cindy

Detail Ornamen pada Atap Gedung Grahadi

-7.262464, 112.743456

KABAR TUINHUIS SAAT INI: GEDUNG GRAHADI Tulisan oleh Yovanni Christine

Foto oleh Flavio

Eksterior Gedung Grahadi dari Arah Barat Daya

Foto oleh Thea

Ramp di Bagian Timur Gedung Grahadi


Kabar Tuinhuis Saat Ini : Gedung Grahadi

Gedung Negara Grahadi dibangun pada masa berkuasanya Residan Dirk Van Hogendorps tepatnya pada tahun 1795. Pada saat itu, ia tertarik pada sebuah lahan kosong yang menghadap ke utara yaitu ke arah Kali Mas yang sangat jernih dan hendak membangunnya sebagai kediaman baru baginya. Ketika telah dibangun, gedung ini dikenal dengan nama tuinhuis. Tuinhuis merupakan sebutan untuk rumah musim panas di Eropa yang dikelilingi oleh taman bunga yang indah. Tempat pemiliknya dapat minum-minum teh sambil melihat perahu-perahu yang melewati gedung ini, di sore hari. Saat itu perahu-perahu tersebut juga dimanfaatkan sebagai moda transportasi. Namun, pada tahun 1810, ketika Herman Willem Daendels berkuasa, gedung tersebut direnovasi. Gedung yang letaknya semula menghadap ke Kali Mas (utara) diganti menjadi menghadap ke selatan. Lalu, Daendels memberi gaya The Empire Style dengan menambah pilar yang bergaya ‘Doric’. Sekarang, tuinhuis dikenal dengan sebutan Gedung Grahadi. Nama Grahadi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Graha berarti rumah dan Adi memiliki makna derajat tinggi. Pada awalnya, lokasi Gedung Grahadi yang berada di pinggiran kota difungsikan sebagai rumah kebun untuk peristirahatan pejabat Belanda dan pada waktu tertentu digunakan untuk tempat pertemuan dan pesta. Seiring dengan pertumbuhan kota, kini lokasi Grahadi berada di tengah kota dan digunakan untuk tempat menerima tamu Gubernur Jawa Timur, pelantikan pejabat, dan upacara peringatan hari nasional seperti Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

41

Foto oleh Thea

Teras di Depan Gedung Grahadi

“ Dewasa ini, Tuinhuis tempo dulu dikenal dengan sebutan Gedung Grahadi.“ ___________


42

Bagian Satu : Surabaya

Gedung Grahadi memiliki luas lahan sebesar 1,6 hektar dengan luas bangunan utamanya 2.016 m2 dan luas bangunan penunjang sebesar 4.126 m2. Arsitektur bergaya Oud Holland Stijl, bangunan utama yang memiliki atap yang menjulang tinggi kekar yang memberi kesan berwibawa dan pelatarannya yang sangat luas. Bangunan utama gedung yang terletak di bagian tengah memiliki 4 kamar, 1 ruang rapat, dan tempat kerja. Pada bagian teras bangunan utama terdapat sejumlah meja dan kursi dan nampak pada langit-langit menggantung lampu-lampu bergaya klasik serta lantainya yang terbuat dari marmer. Hingga saat ini bangunan inti Gedung Grahadi belum pernah mengalami perubahan. Hanya karena kebutuhan beberapa fungsi ruang akibat perubahan kegiatan, pada kedua sisinya ditambahkan Balai Timur dan Balai Barat. Balai Timur difungsikan sebagai tempat beristirahat tamu kenegaraan dan ajudannya. Sedangkan, Balai Barat digunakan sebagai tempat pertemuan/ gedung acara dinas yang bisa menampung hingga 600 orang. Tepat di samping Balai Barat terdapat pantry.

Foto oleh Cindy

Koridor di Balai Barat Gedung Grahadi

Foto oleh Cindy

Pelataran Gedung Grahadi

Gedung Grahadi berwarna putih bersih memperlihatkan kesan formal. Dalam pemeliharaannya, gedung ini dicat setiap tahun dalam menyambut hari kemerdekaan. Gedung ini memiliki pilar-pilar yang bagian atas dan bawahnya dihiasi dengan warna kuning keemasan. Ukiran yang berada pada bagian atas pilar menggambarkan sejarah Surabaya

Sketsa oleh Nico

Detail Ornamen Jendela Gedung Grahadi


Kabar Tuinhuis Saat Ini : Gedung Grahadi

“ Gedung ini berwarna putih bersih sehingga terlihat sangat formal.“ ___________

Foto oleh Thea

Sketsa oleh Bonifasius

Suasana Gedung Grahadi

43


44

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Irvi Balkon Intiland Tower

-7.272870, 112.742736

NAPAS TERAKHIR PAUL RUDOLPH: INTILAND TOWER

Tulisan oleh Dhayita Mryanggani Cintantya

Foto oleh Yodha Detail Fasad Intiland Tower

Foto oleh Irsyad Fasad Intiland Tower


Napas Terakhir Paul Rudolph : Intiland Tower

45

“ Bangunan inilah yang menjadi simbol pertumbuhan dan perkembangan di tanah Indonesia.“ ___________

Surabaya. Embong, Kaliasin. Di Jalan Panglima Sudirman, sebelum berbelok ke Jalan Basuki Rachmat atau lurus terus ke Jalan Urip Salaman, berdirilah sebuah bangunan putih, megah, dan mencolok. Mengajak siapa pun yang lewat untuk berpaling sebentar. Sejenak. Sekejap. Seketika berhenti untuk mengaguminya. Bangunan putih tersebut adalah Intiland Tower karya Paul Rudolph (1918-1997) yang tidak saja dikenal oleh warga sekitar, tapi juga dunia. Bangunan ini juga menjadi simbol pertumbuhan dan perkembangan bangunan tropis di Indonesia. Sebelum menjadi karya terkenal Paul Rudolph, di tanah ini berdiri sebuah bioskop yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Bioskop Bayu. Dalam pembangunannya, Intiland Tower ini sempat ditentang oleh masyarakat setempat akibat kekhawatiran mereka akan keamanan dan kenyamanan lingkungan setempat. Hal ini diatasi dengan pemasangan fitur-fitur pengaman oleh kontraktor di rumah-rumah masyarakat setempat, yang berada di samping proyek. (“Intiland Tower Surabaya”, 2018). Sesudah dibangun, gedung ini pun berfungsi sebagai perkantoran dan pusat perbelanjaan. Hingga akhir-akhir ini Intiland Tower memiliki fungsi penuh sebagai kantor dan tempat retail.

Intiland Tower merupakan salah satu dari sekian karya Paul Rudolph di Asia Tenggara pada masa akhir karirnya. Hal ini terungkap dikutip pada esai Robert Bruegmann, “Tahun 1970-an, merupakan era di mana Rudolph menghilang, yang ditandai sebagai era transisi pada masa hidupnya. Bermacam seri atas komisi-komisi baru di Asia Tenggara bermunculan yang membuat tahun 1980-an sebagai saat krusial pada akhir karirnya sebagaimana pertengahan 1960-an sebagai saat krusial untuk awal karirnya.” (Gul Hasan, 2017). Sayangnya, Paul Rudolph meninggal dunia di bulan yang sama dengan akhir pembangunan dari Intiland Tower, sehingga Intiland Tower merupakan karya terakhir Paul Rudolph di dunia. Sebelumnya Paul Rudolph merancang bangunan Wisma Dharmala Sakti di Jakarta. Dengan menggunakan konsep arsitektur tropis yang sama dengan Wisma Dharmala Sakti, Paul Rudolph merancang Intiland Tower. Dan dapat juga kami mengerti konsep apa yang berusaha beliau sampaikan begitu kami melangkahkan kaki di menara tersebut. Tampak cahaya matahari terbiaskan ketika kami menyusuri koridor dan ruang-ruangnya.

Foto oleh Irvi Jendela Fasad Intiland Tower


46

Bagian Satu : Surabaya

“ ...bagaimana ia dapat menggunakan sistem unitunit modular sebagai suatu cara untuk mengeksplorasi spasial, bentuk, serta potensi estetika bangunan.“ ___________

Terik panasnya mentari Surabaya dikurangi tanpa menepis cahaya yang masuk dengan menggunakan teras dan overhang yang kemiringannya mencapai 64 derajat. Selain itu, penggunaan teras dengan overhang miring ini mampu menekan biaya penggunaan lampu serta penghawaan buatan. Walaupun demikian penggunaan teras dengan overhang miring ini terpaksa harus mengorbankan luasan ruang kantor. Di Asia Tenggara, Paul Rudolph akhirnya mulai dapat mengeksplorasi nilai-nilai beserta idenya melalui komisi yang dia dapat dari para klien kaya raya. Tidak seperti halnya masyarakat di negara barat yang agak tertutup, masyarakat di Indonesia sangat terbuka akan visi modernist dari Paul Rudolph. Foto oleh Irvi Tanaman di Intiland Tower

Suasana di dalam Intiland Tower

Foto oleh Irvi


Napas Terakhir Paul Rudolph : Intiland Tower

47

Foto oleh Irvi

Bangunan-bangunan yang Ia rancang dapat menjadi simbol berkembangnya arsitektur tropis di negara-negara Asia, seperti Singapura dan Indonesia. Hal yang menjadi ciri dari karyakarya Paul Rudolph ini adalah penggunaan sistem unit modular sebagai suatu cara untuk mengeksplorasi spasial, bentuk, serta potensi estetika bangunan. Selain itu bangunan didesain dan disesuaikan dengan keadaan iklim tropis lingkungannya yang cenderung panas dan lembap. Hal ini dapat kami rasakan sewaktu mengunjungi Intiland Tower; unit-unit modular yang ditumpuk sedemikian rupa ini tetap terasa sejuk dan memiliki cahaya yang sangat memadai dari peletakan teras yang saling bergantungan.

Pemandangan Jalanan Surabaya dari atas Intiland Tower

Sayangnya, karya-karya luar biasa Paul Rudolph di Asia Tenggara ini sering dilihat hanya sebagai catatan tambahan dari karya-karyanya yang lain. Menurut Paul Rudolph: The Late Works (De Alba, 2003) hal ini dikarenakan terlambatnya jadwal pembangunan, jarak yang jauh dari Barat, dan ketidak pedulian Rudolph akan mempromosikan dirinya sendiri di media, menyebabkan kehebatan karya-karya ini tidak begitu tampak pada masa akhir karirnya. Maka untuk mengakhiri tulisan ini, jayalah selalu, Paul Rudolph!

Foto oleh Irvi Suasana di dalam Intiland Tower


48

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Bella

Ruang Kumpul bersama di tengah bangunan

-7.281267, 112.738670

YANG IKUT MEMPERCANTIK KOTA : ARA STUDIO

Tulisan oleh Thomas Handoko

Foto oleh Bella

Plang intu masuk C2O library & collaborative

Foto oleh Bella

Ruang kerja yang berhadapan dengan taman belakang


Yang Ikut Mempercantik Kota : ARA Studio

49

“ Menurut kami, karya yang dihasilkan oleh ARA Studio telah membuat wajah kota Surabaya menjadi lebih baik. “ ___________

Pagi hari yang cerah menemani perjalanan kami ke C2O library & collaborative di Jalan Cipto no. 22, Kota Surabaya. C2O library & collaborative merupakan perpustakaan independen dan tempat kerja bersama sekaligus merupakan tempat kerja ARA Studio. (Barbara Hahijary, 2016, https://indonesiadesign.com/story/ process-oriented) ARA Studio merupakan biro konsultan yang terdiri dari beberapa arsitek, desainer dan insinyur dengan basis di Surabaya dan Bali. Biro ini didirikan pada 2009 oleh Hermawan Dasmanto dan Goya Tamara Kolondam. Pada 2012, Erel Hadimuljono bergabung dan memberikan wajah baru ARA Studio yang bertahan hingga sekarang. Menurut Handoko (2019), Dalam menciptakan karyanya, ARA Studio mencoba melakukan pendekatan penelitian, desain, karakter proyek serta klien, sehingga terjadi kesinambungan antara bangunan, manusia dan alam. Jenis proyek yang dikerjakan ARA Studio sangat beragam, mulai dari bangunan komersial, retail, universitas, hingga bangunan publik. Studio ini merancang Taman Pelangi di Surabaya yang menjadi cikal bakal tumbuhnya taman-taman lain di kota ini. ARA studio juga merancang berbagai proyek bangunan seperti di antaranya Kudos Coffeeshop and Office, SOHO di Kendangsari, Sunter House, Sampoerna University, Bulak Fish Market dan masih banyak lagi. Menurut kami, karya yang dihasilkan oleh ARA Studio telah membuat wajah kota Surabaya menjadi lebih baik.

Foto oleh Cindy

Pintu menuju taman belakang

Misalnya saja tempat yang kami kunjungi ini, C2O library & collaborative, merupakan tempat yang terbilang kecil, namun memberikan dampak yang besar terhadap kecintaan akan buku bagi penduduk kota Surabaya. C2O library & collaborative merupakan tempat yang nyaman dan baik sebagai tempat berinteraksi dengan buku yang merupakan sumber literatur. Seperti yang kita tahu, buku merupakan salah satu penanda majunya sebuah peradaban kota. Selain berinteraksi dengan buku, C2O library & collaborative juga menjadi tempat yang baik untuk berinteraksi antar berbagai komunitas. Berbagai komunitas dapat belajar, mengkaji dan saling berbagi informasi, sehingga menciptakan keberagaman yang kompleks melalui satu tempat yang kecil ini. Sebagai mahasiswa, kami sangat mengapresiasi karya-karya ARA Studio yang telah banyak memberikan manfaat di kota Surabaya. Bagaimana ARA Studio mampu memberikan pengaruh dan keseimbangan yang baik antara bangunan, lingkungan, dan manusia patut dicontoh oleh arsitek maupun biro arsitek lainnya di Indonesia.


50

Bagian Satu : Surabaya Vegetasi di Taman Bungkul

Foto oleh Diajeng

-7.291118, 112.739833

OASIS DI TENGAH KOTA TAMAN BUNGKUL

Tulisan oleh Larasati Putri K.

Foto oleh Diajeng

Foto oleh Bella

quotes chimpi kalo ada

Tempat bermain anak

Suasana di Taman Bungkul


Oasis di Tengah Kota : Taman Bungkul

51

“ Taman Bungkul sebagai

peraih penghargaan The 2013 Asian Townscape Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik se-Asia pada tahun 2013. “ Foto oleh Bella

Fasilitas permainan skateboard di Taman Bungkul

Taman Bungkul, salah satu taman di kota Surabaya yang memiliki tempat istimewa tersendiri di hati para arek-arek Suroboyo. Taman yang berlokasi di Jl. Raya Darmo Surabaya ini memiliki luas area sekitar 900 m2 dan dilengkapi dengan sarana fasilitas publik yang lengkap, mulai dari taman bermain anak, amphiteater, area papan meluncur, jogging track, dan juga tersedia akses internet nirkabel gratis untuk para pengunjungnya. Selain fasilitas utama, fasilitas pendukung yang ditawarkan taman ini juga dalam keadaan baik, seperti musholla, toilet, area pujasera dan area parkir kendaraan. Berlokasi di area yang cukup padat di kota Surabaya, penataan ruang pada taman ini menjadikan taman Bungkul seolah kontras dengan lingkungan sekitar taman yang banyak gedung-gedung perkotaan dan lalu lintas yang padat. Taman ini berhasil mengolah ruangruang luar menjadi nyaman untuk pengunjung serta dibuat seolah berada di dalam lingkungan yang masih asri dengan banyaknya vegetasivegetasi yang ada di sekeliling maupun di dalam taman.

Untuk membedakan fasilitas satu dan lainnya, taman ini memanfaatkan perbedaan material lantai, contohnya pada taman bermain anak menggunakan paving block, wilayah berjalan menggunakan batu pecah, dan wilayah jogging track menggunakan ubin. Akses menuju dan di dalam taman juga sangat baik serta tidak membingungkan pengunjung karena terdapat wayfinding dan signage yang jelas. Tempat sampah pun ada di setiap sudut taman sehingga membuat pengunjung merasa terdorong untuk selalu menjaga kebersihan taman. Perancangan dan pemeliharaan taman yang baik, serta pemenuhan fungsi taman sebagai area hijau dan juga area hiburan bagi warga Surabaya yang terfasilitasi dengan nyaman, menghantarkan Taman Bungkul sebagai peraih penghargaan The 2013 Asian Townscape Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik se-Asia pada tahun 2013. Pencapaian taman Bungkul tersebut tentunya juga membuat nama kota Surabaya semakin dikenal dan terpandang di ranah Internasional.


52

Bagian Satu : Surabaya

Foto oleh Diajeng

Fasilitas bermain anak Foto oleh Bella

Amphiteater Taman Bungkul

Foto oleh Bella

Foto oleh Flavio

Ramp

Jalan setapak Taman Bungkul

Foto oleh Bella

Foto oleh Bella

Suasana Taman Bungkul

Pujasera


Bagian Satu : Surabaya

53

53


54

Bagian Satu : Surabaya

MERANGKUM PERJALANAN, SURABAYA ‌ Tulisan oleh Krisna Agustriana

Adalah hal yang tepat, mengawali perjalanan dari sebuah museum monumental yang menjadi simbol kejayaan di perairan. Jayamahe Jalasveva. Di laut kita berjaya. Sebagaimana diketahui bahwa Surabaya mempunyai anugerah ketika ditilik letak geografisnya. Arus transportasi laut skala regional sampai internasional berpangkalan di kota bagian Timur Jawa. Keadaan ini pulalah yang menjadi alasan besar mengapa kolonialisme pernah singgah di sana selama berabad-abad lamanya. Selama ratusan tahun itu, kota ini ikut berkembang. Akibat kedatangan VOC pada tahun 1743, Surabaya telah menjadi kota industri selain Batavia. Kegiatan ini menjamah Surabaya dan menjadi salah satu hal krusial yang ikut membentuk kota seperti saat ini. Beberapa peninggalan terukir dalam bagaimana beberapa bangunan didirikan. Salah satunya terangkum dalam langgam arsitektur kolonialisme. House of Sampoerna. Hotel Majapahit. Gedung Grahadi. Ketiga bangunan tersebut adalah sedikit dari ratusan bangunan cagar budaya yang berhasil kami kunjungi. Sisa-sisa gaya kolonialisme lainnya masih dapat dicicipi misalnya di sekitar Jembatan Merah dan Jalan Tunjungan. Wijkenstensel—peraturan yang mengategorikan perkampungan berdasarkan etnis—mewariskan beberapa area di Surabaya dengan ciri khasnya masing-masing. Salah satunya adalah Kampung Arab di Jalan Ampel Kejoran yang merupakan kawasan perdagangan dan menjadi pusat ilmu agama Islam. Gapura tinggi besar dengan ornamen dua naga dapat ditemukan di Jalan Kembang Jepun dan menjadi penanda bahwa area sekitar sempat ditempati oleh orang Tionghoa. Pada masa awal, Kampung Pecinan terbentuk di sekitar Jalan Karet (Pecinan Kulon) dan Jalan Tepekong (kini Jalan Coklat). Beberapa bangunan tua seperti klenteng dapat ditemukan di sana.

Foto Oleh Irvi


Merangkum Perjalanan, Surabaya ...

55

Foto oleh Namira

Sejak zaman pasca kemerdekaan, orang Eropa sudah tidak tersisa lagi di bumi Surabaya. Kampung yang dulu menampung mereka, saat ini hanya menyisakan wajah-wajah bangunannya saja. Contohnya, perkantoran dan pertokoan berarsitektur Belanda dapat ditemukan di sekitar Jalan Rajawali dan Jalan Veteran. Terlepas dari bagaimana dampak kedatangan Belanda terhadap pertumbuhan kota Surabaya, perjuangan untuk melepaskan diri dan menjadi bebas tidak akan pernah ternilai harganya. Arek-arek Suroboyo adalah pejuang yang sangat gigih. Sampai peristiwa berdarah di Jembatan Merah pun, mereka tetap memperjuangkan kemerdekaannya. Tak peliklah rasanya apabila Surabaya menyandang gelar sebagai kota pahlawan. Rekam jejak orang-orang berjasa ini dimuseumkan di beberapa penjuru Surabaya seperti misalnya Tugu Pahlawan dan Museum 10 Sepuluh November di Jalan Pahlawan, Alun-alun Contong, Bubutan dan Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Paneleh Gang VII No. 29-31. Selain kedua tempat yang kami kunjungi tersebut, kami juga mengunjungi Museum W.R. Supratman, Museum Bank Indonesia, dan Museum Surabaya (Gedung Siola) yang banyak menceritakan perjalanan perjuangan penduduk di kota Surabaya bertahun-tahun silam. Dewasa ini, Surabaya—tempat terakhir di mana Intiland Tower karya Paul Rudolph dibangun—semakin mempercantik diri. Atas dasar kerja sama pemerintah dan warganya, program seperti Merdeka dari Sampah dapat menciptakan kampung inovatif seperti Kampung Lawas Maspati. Dengan bantuan para ahli juga, Surabaya dapat dengan percaya diri membenahi kotanya menjadi lebih baik. Misalnya semakin maraknya perancangan taman-taman kota modern yang diprakarsai oleh Taman Pelangi karya ARA Studio. Jika bermain ke bagian Barat Kota Surabaya, dapat ditemukan pembangunan proyek-proyek superblok dan tempat tinggal di gedung bertingkat oleh beberapa perusahaan seperti PT Ciputra Development Tbk dan PT Intiland Development Tbk. Bagaimana ya kira-kira rupa kota pesisir lima tahun dari sekarang?


56

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Yodha


57 57

MALANG MALANG


58

Bagian Dua : Malang

TINGGAL DI PEDALAMAN, MALANG Tulisan oleh Thomas Handoko

Sejarah Kota Malang dimulai dari masa kerajaan Hindu-Buddha pada saat Kerajaan Kanjuruhan menjadikan Kota Malang sebagai ibu kota kerajaannya. Setelah Kerajaan Kanjuruhan, kota Malang sempat dikuasai oleh beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Jenggala, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak hingga Kesultanan Mataram.

Foto oleh Margaret

Pada 1767, kompeni dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), memasuki kota Malang dan menjadikannya sebagai daerah perdagangan kompeni. Pada 1821, kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipusatkan di sekitar daerah Kali Brantas. Kota Malang mulai mempunyai asisten residen pada tahun 1824 karena telah mempunyai status afdeling sebagai sebuah wilayah admistratif yang setingkat dengan kabupaten. Enam puluh tahun berselang, perumahan didirikian di bagian barat kota dan alunalun dibangun. Tanggal 1 April 1914, Malang ditetapkan sebagai kotapraja dan tanggal ini sekaligus menjadi hari ulang tahun tahun Kota Malang.

Foto oleh Namira

Seperti kota-kota lain di Indonesia, Malang mulai berkembang pada saat penjajahan Belanda. Sebelum tahun 1914, Kota Malang difokuskan untuk kepentingan ekonomi. Ciri utamanya adalah alun-alun dijadikan sebagai pusat kota yang dikelilingi oleh gedung adminstratif dan religius.


Tinggal di Pedalaman, Malang

59

Foto oleh Irvi

Pola permukiman yang terbentuk dibagi atas pengelompokkan masyarakat majemuk yang menjadi penghuni kotanya. Daerah permukiman orang Eropa terletak di sebelah barat daya alunalun, daerah permukiman orang Cina terletak di sebelah Tenggara alun alun, dan orang Pribumi kebanyakan menempati daerah kampung di sebelah Selatan alun-alun. Sejak tahun 1914, kota Malang merupakan salah satu kota yang direncanakan dengan baik oleh perencana kota yang berasal dari Hindia Belanda, Ir Herman Thomas Karsten. Saat itu, kota Malang telah memiliki 8 tahap perencanaan kota yang dikenal dengan nama Bouwplan I s/d VIII. Kota Malang mulai berkembang dengan pesat mulai saat itu dan menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Perkembangan arsitektur Kota Malang tidak terlepas dari pengaruh Hindia Belanda yaitu gaya arsitektur “Indische Empire�. Gaya ini dapat dilihat dari gedung-gedung pemerintah seperti Gedung Asisten Residen di alun-alun pusat Kota Malang yang sekarang sudah hancur.

Sebenarnya, beberapa bangunan peninggalan lain dapat ditemukan di sekitar alun-alun kota. Namun karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, daerah tersebut cepat berkembang atau berubah, beberapa bangunan peninggalan Belanda di sana pun sudah tidak ada. Sebagian besar bangunan kolonial yang tersisa di kota Malang pada saat ini dibangun setelah 1920 yang diistilahkan sebagai arsitektur kolonial modern atau gaya “Nieuwe Bouwen�. Arsitektur kolonial modern dapat dilihat pada Gereja Hati Kudus Jesus, Javasche Bank, Palace Hotel, Zusterschool, Fraterschool, Balai Kota Malang, dan sebagainya. (Sumber: Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman. Yogyakarta: Ombak.) Selama dua hari, para mahasiswa mengunjungi beberapa kawasan dan bangunan sejarah yang masih tersisa, kampung tematik, dan beberapa hotel. Tidak seperti Surabaya, kota ini terlampau sejuk dan cukup nyaman untuk ditinggali. Entah sebentar saja. Atau selama dan sepanjang usia.


6060 Bagian Dua : Malang


Tinggal di Pedalaman, Malang

61


62

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Namira

Kantor Walikota Malang yang terletak di depan Alun-Alun Tugu

-7.976961, 112.634077

TUGU TANDAKU: ALUN-ALUN TUGU Tulisan oleh Amara Faza

Foto oleh Irsyad

Kantor Walikota Malang yang terletak di depan Alun-Alun Tugu

Foto oleh Irsyad


Tugu Tandaku : Alun-Alun Tugu

63

“ Awalnya alun-alun yang masih berupa taman ini diberi nama JP Coen Plein. “ ___________

Terhampar di tengah kota, Alun-Alun Tugu atau Alun-Alun Bundar ini telah menjadi saksi bisu perkembangan kota Malang sejak zaman kolonial hingga kini. Alun-Alun ini terletak tepat di Utara Balai Kota Malang yang pada awal sejarahnya, memang merupakan halaman pelengkap dari bangunan tersebut. Pada zaman kolonial, Alun-Alun Tugu masihlah sangat sederhana. Area melingkarnya merupakan sebuah taman terbuka tanpa pagar maupun tugu. Awalnya alun-alun yang masih berupa taman ini diberi nama ‘JP Coen Plein’, sebagai simbol kehormatan kepada Gubernur Jenderal Jaan Pieterzoen Coen yang juga dikenal sebagai pendiri Batavia. Namun setahun setelah kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus 1946, terdapat inisiatif arek-arek Malang untuk mendirikan tugu di tengah Taman Jaan Pieterzoen Coen. Peletakan batu pertama pada pembangunan monumen ini dilakukan oleh Soekarno dan A.G. Suroto. Lalu, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 17 Agustus 1950, masyarakat Kota Malang mendesak pemerintah untuk mengubah struktur pemerintahan daerah dengan menjadikan warga pribumi sebagai pemimpinnya. Ketika itu, proses pembangunan Monumen Tugu sudah 95% selesai, dihancurkan oleh Belanda. Hal ini dikarenakan oleh kekesalan Belanda terhadap gigihnya arek-arek Malang dalam mempertahankan wilayahnya dari agresi tersebut. Pada Tahun 1953, Monumen Tugu dibangun kembali oleh Pemerintah Kota Malang dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia kala itu, Ir. Soekarno.

Foto oleh Irsyad

Tugu Alun-Alun

Alun-Alun Tugu Malang ini dibangun dengan memperhatikan sejumlah hal. Monumen berada di tengah kota melambangkan pusat untuk kelima penjuru arah. Arah utama merupakan arah pada Balai Kota Malang, dan empat jalan lainnya merupakan jalan yang bermuara di Alun-Alun Tugu Malang ini. Monumen Tugu juga punya artinya sendiri. Puncak tugu melambangkan sebuah bambu runcing yang merupakan senjata arek-arek Malang dalam memperjuangkan kemerdekaan pada kala itu. Terdapat juga rantai yang menggambarkan persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia yang tidak dapat dipisahkan oleh penjajah. Selain itu, makna pada bintang yang memiliki 17 pondasi dan 8 tingkat, serta tangga yang membentuk 4 dan 5 sudut. Apabila semua angka ini dikorelasikan akan membentuk tanggal kemerdekaan kita, yakni 17 Agustus 1945.


64

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Safira

-7.982206, 112.630769

MUKA PUSAT KOTA : ALUN-ALUN MALANG Tulisan oleh Ajani Raushanfikra

Foto oleh Diajeng

Rumah burung

Foto oleh Margaret

Air Mancur menari


Muka Pusat Kota : Alun-alun Malang

65

“ Suasana teduh ini dilengkapi dengan kicauan burung-burung yang berterbangan. “ ___________

Selain Alun-alun Tugu, Malang memiliki satu lagi pusat kota yaitu Alun-alun Malang. Alunalun ini terletak di Jalan Merdeka Selatan, dan dikelilingi oleh beberapa bangunan penting kota Malang. Di sebelah barat terdapat bangunan religius yaitu Masjid Jami, di sebelah timur merupakan kantor admisnistratif Bupati, di sebelah utara terdapat pusat perberlanjaan Sarinah dan disebelah selatan ada Hotel Pelangi dan Kantor Pos

Kondisi area jalan maupun rerumputan dirasa cukup bersih. Sampah-sampah tidak banyak ditemukan dan sebagian besar telah dibuang pada tempatnya. Paving block yang ada di alun alun juga terawat dengan baik. Menurut wawancara kami dengan para penjaga, alunalun memiliki shift jaga pada pukul 7 pagi hingga 3 sore dan 3 sore hingga 11 malam. setelah pukul 11 malam, tidak terdapat penjagga di Alun-alun Malang.

Saat berjalan-jalan di Alun-alun Malang, kami merasakan suasana yang teduh. Suasana yang teduh ini berasal dari perpohonan teduh dan beberapa pohon beringin yang sudah cukup tua usianya. Suasana teduh ini dilengkapi dengan kicauan burung yuang bertebangan. Pemerintah kota Malang membangun rumah burung yang nyaman sehingga burung-burung ini betah dan meramaikan suasana alun alun Malang. Di tengah alun-alun terdapat fasilitas air pancur yang dapat disaksikan oleh pengunjung. Pertunjukkan tarian air pancur ini dilakukan empat kali dalam sehari, yaitu pukul 7 pagi, 4 sore, 7 malam dan 9 malam dengan durasi waktu masing-masing 1 jam (Aminudin, 2016). Pemerintah Kota Malang telah mengatur air pancur ini agar menyala secara otomatis. Di bagian tengah pula, terdapat tempat duduk berundak-undak yang dapat difungsikan sebagai sebuah amfiteater. Bagian rerumputan yang terdapat di sekeliling alun-alun dapat digunakan pengunjung sebagai tempat duduk santai ataupun area piknik dadakan bersama keluarga.

Foto oleh Margaret

Gedung Sarinah yang terletak di dekat alun-alun

Foto oleh Safira

Pos pengaman Alun-alun


66

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Cindy

Pintu Masuk Gereja

-7.980377, 112.631106

MELIPIR DI JALAN KAYUTANGAN :

KAMPUNG HERITAGE KAYUTANGAN

Tulisan oleh Krisna Agustriana

Foto oleh Diajeng

Foto oleh Rania

Keterangan foto: (Kiri) Tangga gereja (Kanan) Eksterior gereja


Melipir di Jalan Kayutangan : Kampung Heritage Kayutangan

67

“ Gereja Kayutangan merupakan salah satu peninggalan ketika Kota Malang masih berstatus sebagai Kabupaten.“ ___________

Foto oleh Cindy

Interior altar

Selesai bersantai di alun-alun kota, jika mau bisa melipir ke beberapa tempat bersejarah lainnya. Berdekatan dengan Toko Oen, tepat di seberangnya terdapat sebuah bangunan yang baru-baru ini ditetapkan oleh Kota Malang sebagai cagar budaya meskipun sudah berdiri sangat lama. Gereja Katolik Hati Kudus Yesus merupakan salah satu gereja tertua di Malang. Gereja yang dirancang oleh arsitek M. J. Hulswit pada tahun 1905 bergaya neo-gotik, aliran yang sedang populer dalam pembangunan gerejagereja Eropa. Sebut saja Gereja Notre-Dame di Paris dan Wetsminster Abbey di Inggris. Ciri yang paling lazim dari gereja neo-gotik adalah memiliki menara. Gereja Katolik Hati Kudus Yesus memiliki dua menara kembar setinggi 33 meter yang sempat hancur ketika ditabrak oleh pesawat yang mengalami kecelakaan tahun 1967. Akhirnya, menara yang dirancang oleh Albert Grunberg yang mulai dibangun pada 3 Oktober 1930 ini direnovasi.

Sebagaimana ciri arsitektur kolonial periode sebelum 1914, gereja ini memiliki wajah dan denah bangunan yang simetri dengan penyelesaian detail bangunan yang sangat rinci. Pada muka bangunan terdapat pintu bergaya neo-gotik dengan busur lancip dan jendela bundar (rose window) berbentuk bunga. Kedua hal yang merupakan elemen utama pada fasad memberikan kesan simetris yang kuat terhadap bangunan yang memiliki panjang 41 meter, lebar 11.4 meter, dan tinggi 15,2 meter ini. Sejauh 350 meter atau sekitar 5 menit berjalan kaki dari gereja, terdapat sebuah tempat wisata yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2018: Kampung Kayutangan. Kampung ini memberikan edukasi sejarah melalui arsitektur rumah peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih terawat dengan baik hingga saat ini. Barang-barang antik seperti sepeda ontel, peralatan masak, jendela, kamera, dan beberapa perabotan rumah masih dapat ditemukan di sana. Selain itu, kampung ini masih memiliki sisa peradaban masa lalu seperti pertokoan, makam Eyang Honggo Kusumo, kuburan Tandak, Pasar Krempyeng, irigasi Belanda, saluran air, dan tangga seribu.


68

Bagian Dua : Malang

Kedua tempat itu, Gereja Katolik Hati Kudus Yesus dan Kampung Warisan Kayutangan, terletak di kawasan Kayutangan yang memiliki nilai historis yang tinggi. Setelah masuknya Belanda pada tahun 1767, area Kayutangan difungsikan menjadi tempat permukiman penduduk dari Eropa. Jalan Kayutangan juga memiliki peran penting karena menjadi sumbu utama arah Utara-Selatan yang menghubungkan kawasan pusat perdagangan dan menjadi jalur lalu lintas utama kota Malang dengan kota lain. Menurut kesaksian warga asli Malang yaitu Oei Hiew Hwie dan A. V. B. Irawan, asal-usul nama Kayutangan diambil karena pada waktu itu di sepanjang jalan Kayutangan tumbuh pohonpohon yang daunnya berbentuk telapak tangan yang mengembang. Dengan dicanangkannya Kampung Warisan dan Gereja Kayutangan sebagai cagar budaya, mereka optimis kawasan bersejarah ini akan tetap terpelihara dan terus berkembang.

Foto oleh Cindy

Keterangan foto: Detail jendela patri

Foto oleh Diajeng

Keterangan foto: Tempat paduan suara

“ Jalan Kayutangan juga memiliki peran penting karena menjadi sumbu utama arah Utara-Selatan yang menghubungkan kawasan pusat perdagangan dan menjadi jalur lalu lintas utama kota Malang dengan kota lain. “ ___________ Foto oleh Rania

Keterangan foto Deretan jendela gereja Foto oleh


Toko Tahun Tiga Puluhan : Toko Oen

69

Foto oleh Irvi

-7.980600, 112.630343

TOKO TAHUN TIGA PULUHAN: TOKO OEN

Tulisan oleh Bonifasius Bhaskara B.

Foto oleh Rania

Foto oleh Irvi


70

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Irvi

Suasana Toko Oen

Foto oleh Cindy

Detail kolom dan plafon di dalam Toko Oen

Toko Oen Malang didirikan pada 1930, berdasarkan wawancara dengan Bapak Siswanto yang merupakan pengelola toko tersebut. Walaupun sudah berdiri sejak lama, Toko Oen Malang bukan yang pertama kali didirikan. Toko Oen yang pertama didirikan berada di Yogyakarta. Pada awalnya juga, ada beberapa cabang toko. Sekarang, hanya tersisa dua Toko Oen di Indonesia, di Malang dan di Semarang. Toko ini dibangun oleh seorang pengusaha Tionghoa keturunan Belanda bernama Nyonya Liem Goe Nio. Kabarnya, Toko Oen Malang sudah dijual ke pengusaha bernama Danny Mugianto. Hanya Toko Oen di Semarang yang masih asli dimiliki oleh keluarga Liem Goe Nio. Pengaruh arsitektur art deco di toko ini terlihat pada dekorasi dan langgam arsitektur secara keseluruhan. Dekorasi berupa elemen-elemen horizontal terlihat pada gabble pada fasad bangunan. Elemen-elemen dekoratif didesain secara elegan dan memberikan kesan mewah, merepresentasikan langgam art deco yang menjadi tren pada masanya. Dekorasi lain ditempatkan di atas pintu dan jendela sebagai bouvenlight (cahaya atas) berupa hiasan kaca berwarna dan berpola, yang juga marak ditemukan di bangunan pada zaman tersebut.

Toko Oen hanya memiliki satu ruang utama, yaitu ruang duduk dan tempat makan untuk pelanggan yang luasnya kira-kira empat ratus meter persegi, dengan dua puluh meja dan delapan puluh tempat duduk. Uniknya, terdapat dua buah dekorasi di tengah ruangan yang menyerupai kolom dan sebenarnya adalah saluran drainase yang terselubung, sehingga sebetulnya tidak ada kolom satu pun yang diletakkan di tengah ruangan tersebut. Suasana di dalam ruangan seperti suasana tahun tiga puluhan. Furnitur untuk tempat duduk terdiri dari bahan kayu dan anyaman rotan tua. Kondisi dalam ruangannya terasa seperti di dalam bangunan rumah kolonial. Pelayan yang juga berpakaian seperti pelayan Hindia Belanda menambah kesan suasana zaman dulu. Toko ini terkenal dengan es krimnya. Namun, mereka juga menyajikan kuliner lain. Di depan pintu masuk, terdapat berbagai jenis roti dan kue kering khas Belanda seperti speculaas, havermout, dan kaastengel pada bagian counter berbentuk persegi panjang. Selain itu, terdapat juga kue basah khas Indonesia.


Toko Tahun Tiga Puluhan : Toko Oen

Foto oleh Cindy

Interaksi Pengunjung

Foto oleh Irvi

Banner sambutan

Foto oleh Fran

Detail Jendela Kaca berwarna

“ Elemen-elemen dekoratif didesain secara elegan dan memberikan kesan mewah, merepresentasikan langgam art deco yang menjadi tren pada masanya “ ___________

Foto oleh Irvi

71


72

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Margaret

-7.972064, 112.621893

BERGENBUURT OLEH IR . H THOMAS KARSTEN JALAN IJEN

Tulisan oleh Geofani Kurniawaty

Foto oleh Cindy

Suasana Jalan Idjen


Bergenbuurt oleh Ir. H. Thomas Karsten : Jalan Ijen

Jalan Ijen merupakan jalan kembar elok di tengah Kota Malang dan menjadi salah satu jalur yang ikonis. Menurut arkeolog Dwi Cahyono pada kuliah pengantar Facade : Surabaya Malang, jalan tersebut merupakan bagian dari suatu Kawasan yang dirancang oleh arsitek Belanda, Ir. Herman Thomas Karsten sejak tahun 1935 yang terbagi ke dalam 8 tahap perencanaan dan pembangunan. Jalan Ijennya sendiri masuk dalam tahap ke-5.

73

Foto oleh Irsyad

Gereja Katolik Katredal Ijen

Dilansir dari Kompas, pada masa Hindia Belanda, Kawasan tersebut dikenal dengan nama Bergenbuurt dengan arti kawasan Jalan Pegunungan yang merupakan daerah elite bagi para bangsa Belanda dan bangsa-bangsa negara Eropa lainnya dalam bentuk vilavila. Bahkan, sejak dahulu kawasan tersebut juga sering disebut sebagai kawasan mandiri karena terdapat sejumlah fasilitas yang dapat menunjang aktivitas keseharian masyarakat. Misalnya gereja katedral sebagai tempat ibadah, sekolah, pasar, rumah listrik, dan sebagainya. Memasuki kawasan tersebut terasa seperti bukan berada di Indonesia. Sejumlah kendaraan hilir mudik dari arah Selatan ke Utara maupun sebaliknya. Pohon-pohon palem dan bangunanbangunan kolonial peninggalan Hindia Belanda menghiasi dua tepi jalan tersebut. Suasana Jalan Ijen sangat kental terasa sebagai daerah warisan Hindia Belanda yang tidak dapat ditemui selain di Kota Malang. Jalan Ijen memiliki jalur pedestrian yang nyaman, rindang, bersih, dan lebar. Selain itu, daerah pedestrian juga ramah terhadap para difabel dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti tempat minum gratis, kursi taman, hingga adanya tempat sampah di beberapa titik dengan pembagian jenis sampah yang jelas. Daerah pedestrian diapit oleh ruang terbuka hijau dan deretan pohon palem yang terawat dengan baik.

“ Kawasan tersebut dikenal

dengan nama bergenbuurt dengan arti kawasan jalan gunung-gunung yang merupakan daerah elit bagi para bangsa Belanda dan bangsa-bangsa negara Eropa lainnya dalam bentuk vila-vila. “

___________


74

Bagian Dua : Malang

Ruang terbuka hijau juga diletakkan pada bagian median jalan menambahkan pemandangan dan suasana yang tenang dan teduh. Sayang, terdapat vila-vila yang sudah diganti dengan rumah bergaya modern. Walaupun begitu, suasana Hindia Belanda masih sangat terasa dan tidak mengurangi pesona jalan tersebut. Rumah-rumah di Jalan Ijen pada umumnya terdiri dari 1 lantai dengan langit-langit dan atap yang tinggi menyesuaikan dengan curah hujan yang tinggi dan hawa yang sejuk di Kota Malang. Di sepanjang Jalan Ijen, terdapat beberapa landmark yang menjadi fasilitas ruang penting bagi penghuni kota Malang, di antaranya adalah perpustakaan kota, Katedral Ijen, Museum Brawijaya, dan Monumen Melati. Wilayah ini sudah seperti paket lengkap dengan nuansa yang apik.

Foto oleh Margaret

Perpustakaan umum Kota Malang

Foto oleh Fran

Suasana Jalan Idjen


Bergenbuurt oleh Ir. H. Thomas Karsten : Jalan Ijen

Foto oleh Irsyad

Trotoar Jalan Ijen

75


76

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Fran

Perpustakaan Hotel Shalimar

Foto oleh Safira

Perpustakaan hotel The Shalimar

-7.969989, 112.625176

KOLONIAL, JAWA, DAN PERANAKAN: HOTEL THE SHALIMAR Tulisan oleh Yorangga Citra

Soga Boutique

Foto oleh Safira Keramik Restoran yang Tidak Pernah Diganti Sejak Awal Dibangun

Foto oleh Nathalia


Kolonial, Jawa, dan Peranakan: Hotel The Shalimar

77

Dari Taman Tjerme terlihat sebuah bangunan berlanggam ‘art-deco’ berwarna putih. Pohonpohon rindang di depannya membuat suasana menjadi sejuk dan asri. Bangunan tersebut adalah Hotel Shalimar. Hotel yang memiliki langgam art deco, nieuwe bouwen yang masih kuat dengan arsitektur kolonial dengan perpaduan arsitektur Jawa dan Peranakan ini ternyata merupakan bangunan bersejarah. Berdasarkan informasi yang didapat dari website resmi Hotel Shalimar, hotel ini dirancang oleh Ir. Muller pada tahun 1933, bangunan Hotel Shalimar dulunya merupakan Societeit, tempat bersosialisasi kaum muda Belanda untuk menikmati musik, tarian dan makanan. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1964 sampai 1993 bangunan berfungsi sebagai kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Sejak 1994, mulailah bangunan ini dijadikan tempat penginapan dengan nama yang berbeda-beda, hingga akhirnya menjadi Hotel Shalimar. Menyusuri koridor dengan ukiran cantik dari gebyok Jawa, akhirnya pengunjung sampai di lobi Hotel Shalimar. Walaupun sederhana, lobi ini terkesan elegan dengan hiasan porcelain koleksi pemilik hotel. Tepat di belakang koridor tersebut, terdapat lounge dan juga restoran. Interior dinding lounge ini didominasi oleh warna putih, sementara lantainya berwarna cukup gelap sehingga menciptakan kontras yang memiliki keindahan tersendiri. Dari lounge yang memiliki setting semi-alfresco (ruang terbuka), kami dapat menikmati suasana hotel sambil melihat kolam renang yang di sampingnya terdapat fasilitas gym dan spa. Kolam renang ini sedikit lebih terpisah dari pusat keramaian hotel untuk menciptakan privasi. Sebagai tempat bersejarah, hotel ini tetap mempertahankan bentuk bangunan asli. Restoran De Hemel adalah salah satu ruangan yang paling otentik. Bergaya arsitektur kolonial yang kental. Kami dapat membayangkan dulunya sebagai tempat berkumpul kaum elit Belanda, bahkan keramik lantainya tidak diganti sejak pertama dibangun.

Foto oleh Margaret

Detail Ukiran Kayu Pintu Masuk

“ Dirancang oleh Ir. Muller pada tahun 1933, bangunan Hotel Shalimar dulunya merupakan Societeit, tempat bersosialisasi kaum muda Belanda melalui musik, tarian dan makanan. “

___________


78

Bagian Dua : Malang

“ Restoran De Hemel adalah salah

satu ruangan yang paling otentik. Bergaya arsitektur kolonial yang kental. Kami dapat membayangkan dulunya sebagai tempat berkumpul para elit Belanda, bahkan keramik lantainya tidak diganti sejak pertama dibangun.

__________ Pada salah satu koridor hotel terdapat satu pohon yang konon katanya sudah berdiri sejak pertama kali hotel ini dibangun. Maka, keberadaannya dipertahankan dan dianggap sebagai bagian dari hotel. Koridor tersebut memisahkan area restoran dari fasilitas hotel lainnya seperti Soga Boutique, perpustakaan dan klinik. Kolom vertikal yang bergaya kolonial yang menjadi pemisah antara restoran dan koridor juga memberikan pengalaman unik. Berbeda dengan restoran, Perpustakaan dan Butik memiliki interior yang cukup hangat dengan gaya Jawa dan Peranakan. Pada setiap fasilitas ini terdapat papan nama yang disertai dengan Bahasa Belanda. Terdapat sebuah gedung yang terbagi menjadi 2, yaitu new wing dan new building dengan jumlah kamar sebanyak 44. Walau sebenarnya terdiri dari 3 lantai saja, gedung ini terasa memiliki 6 lantai karena adanya split level.

Restoran De Hemel Foto oleh Fran

Foto oleh Rois

Hotel the Shalimar

“


Kolonial, Jawa, dan Peranakan: Hotel The Shalimar

79

Kamar dalam hotel ini disatukan oleh lorong yang berisi barang-barang koleksi pemilik berupa topeng, guci, batik, dan berbagai koleksi lainnya. Masing-masing zona tersebut terdiri dari 3 lantai dengan koridor yang didesain baik untuk menutupi area-area servis seperti plumbing.

Foto oleh Safira

Hotel Shalimar memiliki 5 tipe kamar yaitu deluxe dan superior deluxe, kamar standar, executive room yang dilengkapi sofa dan workstation, Kamar jenis Royal dilengkapi dengan ruang tamu dan balkon pribadi, dan presidential suite yang memiliki dua kamar tidur, dua kamar mandi dan ruang tamu, meja makan dan dapur yang luas.

Interior Kamar

Shalimar juga memiliki ruangan yang dapat disewa untuk acara yaitu, Ir. Muller Meeting Room untuk pertemuan kecil dan De Tjakra Hall untuk pertemuan besar yang dapat diperluas area sewanya sampai ke bagian luar ruangan bagian teras yang juga difungsikan sebagai atap dari lobi penerimaan yang berada pada lantai 1. The Shalimar Boutique Hotel Malang mempertahankan nilai historis bangunannya, sehingga memberikan pengalaman berbeda dan berkesan. Jauh dari tipikal bangunan tua, Hotel Shalimar ini berhasil menyajikan desain yang berkolaborasi antara gaya arsitektur kolonial, Jawa, dan Peranakan tanpa meninggalkan konteks sejarahnya. Foto oleh Nathalia

Interior Kamar


80

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Irsyad

-7.892812,112.550193

PEMANDANGAN TIGA GUNUNG: HOTEL SINGHASARI

Tulisan oleh Evelyn Sarah Rumondang

Foto oleh Namira

Balkon Kamar Hotel Singhasari Foto oleh Namira

Fasad Bata Hotel Singhasari


Pemandangan Tiga Gunung: Hotel Singhasari 81

Foto oleh Foto oleh Namira

Drop Off Hotel Singhasari

Perjalanan kami berikutnya membawa kami ke daerah Batu, spesifiknya di Jalan Ir. Soekarno no. 20. Kami mampir di sebuah hotel bintang 5 megah yang bernama Hotel Singhasari. Sesampainya di sana, kami melihat daerah drop-off dengan kanopi yang struktur atapnya terekspos. Lobi Singhasari berbentuk pilotis dan memiliki pemandangan ke arah taman hotel di tengah dan memberikan kesan yang megah sekali. Lobi hotel dilengkapi dengan penerangan berwarna hijau yang warnanya akan digantiganti sesuai musim. Kami disambut dengan hangat oleh pihak hotel yang memberikan kami suguhan camilan sore. Sambil memakan camilan sore, seorang staf menceritakan sejarah dan latar belakang hotel ini. Hotel Singhasari mulai dibangun pada tahun 2010 dan diresmikan pada tahun 2012. Walaupun hotel ini terinspirasi dari Kerajaan Singhasari yang dulu pernah berjaya di Indonesia, Hotel Singhasari tidak memberikan kesan tua karena sengaja menggabungkan unsur natural dan kontemporer di dalamnya. Lokasi ini pun dipilih karena posisinya yang strategis, hotel ini memiliki pemandangan tiga gunung, yaitu Gunung Panderman, Gunung Arjuno, dan Gunung Kawi. Tidak seperti tipikal hotel lainnya yang merupakan bangunan highrise, Hotel Singhasari hanya terdiri dari tiga lantai karena memiliki lahan yang sangat luas.

“ Lobi Singhasari berbentuk

pilotis dan memiliki pemandangan ke arah taman hotel di tengah dan memberikan kesan yang Megah sekali“

______________________ Foto oleh


82

Bagian Dua : Malang

“ Hotel Singhasari benar-benar

memberikan kenyamanan bagi para pengunjung. Penataan arsitektur interior serta landscape ditambah dengan pelayanan yang hangat mampu memberikan kenyamanan bagi kami, yang hanya berkunjung sejenak tanpa menginap.“

Kami diizinkan untuk melihat-lihat seluruh tipe kamar yang ada di Hotel Singhasari. Menurut informasi yang ada di website resmi hotel, Singhasari memiliki lima tipe kamar, yaitu deluxe room, premiere room, pool access-room, dan suite room. Seluruh unit kamar di hotel memiliki fasilitas yang hampir sama, yaitu tempat tidur untuk dua orang, ruangan ber-AC, safe deposit box, TV dengan koneksi satelit, balkon, dan akses internet. Yang membedakan antara ruangan yang satu dengan lainnya adalah luas ruangannya. Tipe Deluxe Room memiliki luas ruangan 32 m2. Sedangkan Premiere Room memiliki luas 52 m2 dan memiliki pandangan ke arah Gunung Panderman dan Gunung Arjuno. Pool access room memiliki balkon yang mendapat akses langsung ke kolam renang. Khusus suite room, memiliki luas 60 m2 dengan tambahan ruang tamu yang luas dan mempunyai servis butler 24 jam.

Foto oleh Irsyad

Detail Atap Hotel Singhasari

Wedding Chapel Hotel singhasari

Foto oleh Irsyad


Pemandangan Tiga Gunung : Hotel Singhasari

Sampai saat ini (Agustus 2019), pembangunan di Hotel Singhasari ternyata masih belum selesai. Kami juga diberi kesempatan untuk melihat unit baru yang sedang dikembangkan, yaitu tipe villa. Sebagai prototipe, Developer telah membuat lima unit private villa untuk mengetahui tingkat permintaan unit ini. Terdapat dua jenis unit, yaitu one-bedroom villa dan two-bedroom villa. Setiap unit memiliki fasilitas yang sama dengan Suite Room dengan tambahan kolam renang privat. Pemandu kami mengatakan bahwa bila lima unit ini terjual dengan baik, maka pembangunan vila akan dilanjutkan. Selain menyediakan fasilitas tempat peristirahatan, Hotel Singhasari juga menyediakan berbagai pilihan venue untuk menyelenggarakan acara pernikahan. Selengkapnya, tertera pada website resmi Hotel Singhasari, tersedia Kertanegara Convention Hall yang berkapasitas 5000 orang, dan Tumapel Ballroom seluas 529 m2 yang berkapasitas 500 orang. Hotel Singhasari juga menyediakan fasilitas pernikahan di luar ruangan, yaitu Tlowangi Poolside dan garden wedding dan dilengkapi dengan fasilitas wedding chapel.

Foto oleh Irsyad

Interior Kamar Hotel Singhasari

83

Foto oleh Namira

Fasilitas Kolam Renang Hotel Singhasari

Back of the house hotel memiliki bangunan laundry service tersendiri yang juga menerima dan menyediakan fasilitas laundry untuk hotel lainnya di Malang. Hotel Singhasari memberikan dan mengutamakan kenyamanan bagi para pengunjung. Penataan arsitektur interior serta lanskap ditambah dengan pelayanan yang hangat mampu memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya, tak terkecuali untuk kami yang hanya berkunjung sejenak tanpa menginap.


84

Bagian Dua : Malang

Foto oleh Cindy

Interior SaigonSan Restaurant

-7.977032, 112.633378

BUAH TANGAN SI KOLEKTOR SENI : HOTEL TUGU

Tulisan oleh Diajeng Adiningrum

Foto oleh Diajeng Foto oleh Foto oleh Cindy

Detail atap SaigonSan Restaurant

Bak Mandi Semi-Outdoor pada Apsara Residence


Buah Tangan Kolektor Seni: Hotel Tugu

Dari Alun-Alun Bundar Malang terlihat bangunan bergaya Belanda, tepatnya di Jalan Tugu No.3. Hotel Tugu namanya. Meskipun menampilkan nuansa kolonial pada fasadnya, Hotel Tugu bukanlah bangunan peninggalan kolonial. Pemandu tur hotel tersebut mengatakan bahwa Hotel Tugu baru mulai beroperasi tahun 1990. Menurut pemandu tur, sang pemilik hotel merupakan seorang kolektor, pencinta seni, dan pecinta sejarah. Oleh karena itu, Hotel Tugu banyak menggunakan benda seni dan benda bersejarah sebagai elemen dekorasinya. Ruang publik di dalam hotel seakan menjadi galeri seni tersendiri. Beliau awalnya terinspirasi untuk mengoleksi barang-barang tersebut karena tidak ingin barang antik Indonesia diambil dan diperdagangkan di pasar gelap di negara lain. Ornamen dan dekorasi Hotel Tugu yang terinspirasi dari negara-negara Indo-Cina seperti Vietnam, Thailand, Laos, Kamboja, dan India membuat ruangan di dalamnya menjadi beragam. Setiap ruangan memberikan pengalaman ruang yang berbeda-beda. Berdasarkan informasi dari pemandu tur, Hotel Tugu memiliki konsep utama “rumah besar” atau ‘plesiore house’, yaitu tamu diterima selayaknya keluarga yang datang dari jauh. Tidak ada ruangan yang tertutup di Hotel Tugu, kecuali ruang-ruang kamarnya.

85

Masuk ke bangunan hotel, tamu disambut dengan ruangan bernuansa India bernama Ruang Tirta Gangga yang berarti air yang mengalir dari sungai di India. Kemudian menelusuri ruang Mongolian yang berkisah tentang perjalanan Marcopolo. Naik ke atas, di lantai 2 terdapat Keraton Ballroom di tengah hotel yang terinspirasi dari Keraton Jawa. Kembali berjalan, terlihat ruangan bernuansa merah bernama Bangsal Merah Boepati yang menorehkan kisah perang bupati di Jawa Timur. Di salah satu sudut bangunan, terdapat Endless Love Avenue dengan dominasi warna ungu pada dindingnya. Di ujung Lorong, sebuah ruang terbuka beserta panggung besar yang disebut The Sahara. The Sahara menceritakan dongeng 1001 malam dalam langgam Art Nouveau dan Art Deco. Hotel Tugu juga menyediakan berbagai jenis tempat makan yang menyuguhkan berbagai suasana. Melati Restaurant memberikan latar Malang Tempo Doeloe dengan suasana klasik dan romantis. Tugu Tea House menampilkan dekorasi selayaknya di Alun-alun Kota Malang jaman dahulu.

“ Hotel Tugu, bagaikan kotak penuh kejutan, mampu memberikan pengalaman ruang tidak terduga. Begitu banyak detail pada setiap sudut ruangnya, akan selalu ada memori yang dapat direkam.

Foto oleh Cindy

Eksterior salah satu bangunan di Hotel Tugu


86

Bagian Dua : Malang

Endless Love Avenue

SaigonSan, dengan restoran dan rooftop-nya, mengikat sukma Indo-Cina. Royal Angkor yang terletak tepat di sebelah SaigonSan, terilhami oleh reruntuhan Angkor Wat di Kamboja. Ban Lam Wine Shop & Bar menghadirkan budaya Eropa dalam interiornya. Babah Room menggambarkan perkawinan campuran antara etnis Tionghoa dan Pribumi, didukung dengan adanya wayang potehi sebagai bukti akulturasi budaya. Hotel Tugu memiliki 49 kamar, dengan masingmasing kamar memiliki interior yang berbeda satu sama lain, bahkan termasuk kasurnya. Salah satunya Apsara Residence, membuat ruang-ruang romantis sambil membubuhkan warna dengan lembut. Ada pula Raden Saleh Suite sebagai kamar termewah di Hotel Tugu yang menggunakan ragam hias Jawa dalam interiornya.

Foto oleh

Foto oleh Cindy

Foto oleh Ajeng

Interior Kamar Tidur Zamrud of East Java Suites

Kamar lain juga memiliki interior yang tak kalah unik, antara lain Babah Suite, The Zamrud of East Java Suite, Devata Suite, Honey Moonlight Suite, Executive Suite, dan Superior Deluxe.

Foto oleh Cindy

Interior Kamar Tidur Zamrud of East Java Suites

Tak hanya menjunjung tinggi unsur kebudayaan dalam arsitektur dan interiornya, Hotel Tugu juga memiliki agenda rutin untuk merayakan keberagaman pada setiap tanggal 15, dengan mengadakan sebuah acara bertema kebudayaan Indonesia. Hotel Tugu, bagaikan sebuah kotak penuh kejutan, mampu memberikan pengalaman ruang yang tidak terduga. Begitu banyak detail pada setiap sudut ruangnya. Akan selalu ada memori yang dapat direkam.


Buah Tangan si Kolektor Seni : Hotel Tugu 87 87


88

Bagian Dua : Malang Dekorasi pada jalan di Kampung WarnaWarni

Foto oleh Diajeng

-7.982953,112.637523

KAMPUNG WARNA-WARNI Tulisan oleh Pamela Felita

Foto oleh Cindy

Kampung Warna Warni dari Jembatan Ngalam

Foto oleh Diajeng


Kampung Tematik : Kampung Warna-warni

89

Kampung Jodipan, atau biasa dikenal sebagai Kampung Warna Warni adalah kampung wisata pertama yang ada di Kota Malang. Kampung ini terletak di Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Dulunya, kampung ini merupakan sebuah perkampungan kumuh yang padat penduduk, namun kini menjadi kampung wisata yang menarik baik bagi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Setibanya disana, kami langsung disambut oleh beragam kombinasi warna dari sederetan rumah warga yang terletak di tepian Sungai Brantas. Pemilihan warna dari dinding dan atap yang dicat dengan beragam warna membuat bangunan menjadi tidak monoton dan menghasilkan kombinasi warna yang menarik.

Foto oleh Rania

Konsep kampung warna-warni ini digagaskan oleh mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari Universitas Muhammadiyah Malang dan sebuah pabrik cat yang berpusat di Kota Malang. Konsep yang diusung kampung ini hampir sama dengan kampung warna-warni yang berada di Rio de Janeiro, Brasil. Kampung ini terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kampung Tridi dan Kampung Jodipan yang dihubungkan dengan sebuah Jembatan Ngalam (atau lebih dikenal sebagai Jembatan Kaca).

Foto oleh Rania

Salah satu pintu masuk Kampung Warnawarni

Foto oleh Diajeng

Suasana dan dekorasi Kampung Warna-warni


90

Bagian Dua : Malang

Jembatan ini dirancang oleh dua mahasiswa Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan merupakan jembatan kaca pertama di Indonesia. Jembatan berwarna kuning emas memiliki 25 meter dan lebar 1,25 meter serta berada di ketinggian 9,5 meter ini juga menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung ke Kampung Warna-Warni. Bentuknya yang unik, lantai berbahan kaca serta dilatarbelakangi oleh pemandangan warna-warni dari Kampung Tridi dan Kampung Jodipan yang cantik menjadikan jembatan ini menjadi destinasi yang dikunjungi bagi mereka yang ingin berburu foto. Jembatan ini hanya dapat menampung hingga 50 orang.

Foto oleh Diajeng Jembatan Ngalam dan Kampung Warna Warni

Foto oleh Rania Salah satu tangga di kampung warna warni

“ warna dari dinding dan atap yang di cat dengan beraneka ragam warna tidak monoton sehingga menghasilkan kombinasi warna yang indah.“ ___________

Foto oleh Rania Suasana Kampung


Kampung Tematik : Kampung Biru Arema

Foto oleh Fran

Tangga menuju Kampung Biru Arema

-7.981096,112.637260

KAMPUNG BIRU AREMA Tulisan oleh Ajani Raushanfikra

Foto oleh Safira

Jendela salah satu rumah di Kampung Biru

Kampung Biru Arema dari Jalan

Foto oleh Fran

91


92

Bagian Dua : Malang

“ Inisiasi dilakukan pertama kali tahun 2012 bersamaan dengan kampung tematik lainnya seperti kampung warna-warni. “ ___________

Pagi itu kami menyusuri Jembatan Brantas, di sisi jembatan tersebut terdapat sebuah area yang dipenuhi dengan bangunan berwarna biru. Di sanalah berdiri sebuah kampung, yang biasa dipanggil Kampung Biru ‘Arema’. Untuk menuju kampung ini, kami menuruni sebuah turunan curam. Begitu sampai, di gerbang kampung terdapat pos pembelian tiket, dan kami dikenakan biaya sebesar Rp 3000 per orang. Biaya masuk tersebut digunakan sebagai biaya pengembangan dan pengelolaan kampung. Selain mendapatkan tiket masuk, kami juga mendapatkan gantungan kunci Kampung Biru Arema yang dibuat oleh warga kampung sendiri. Kampung ini terletak di sisi sungai, yang menjadi daya tarik sendiri bagi visual kampung ini.

Menurut Ketua RW 04, sebenarnya, inisiasi Kampung Biru Arema diawali oleh pihak pemerintah kota Malang. Pengelolaan seharihari dilakukan oleh warga, dengan pengawasan dan penyuluhan berkala yang diadakan oleh pemerintah daerah Kota Malang setiap 10 bulan sekali. Inisiasi dilakukan pertama kali tahun 2012 bersamaan dengan kampung tematik lainnya seperti kampung warna-warni. Ketika kami berkeliling kampung, kami berkesempatan untuk dipandu oleh Ketua RW 04 Kota Malang, beliau menyampaikan bahwa hampir semua bangunan di kampung ini telah dicat dengan warna biru pada bagian atap serta dinding bangunan. Pada awalnya, tidak mudah untuk mengajak warga membangun tema di kampung ini namun pengurus kampung berjuang hingga perlahan masyarakat mulai tergerak untuk membantu program pemerintah.

Foto oleh Nathalia Hiasan di Kampung Biru

Foto oleh Safira Suasana Kampung Biru di area pintu masuk


Kampung Tematik: Kampung Biru Arema

Warna biru diambil dengan alasan yang selaras dengan logo klub sepak bola Arema yang juga merupakan simbol Kota Malang. Warna biru yang mencolok dan unik ini kemudian dijadikan sebagai objek foto maupun background yang bagus ketika wisatawan ingin berfoto. Menyenangkan berada di kampung ini, warga dengan ramah menyambut kami. Wajar saja, warga sudah terbiasa karena kampung ini sudah menjadi salah satu destinasi para wisatawan ketika berkunjung ke Kota Malang. Pengelolaan dan kondisi kampung yang baik membuat kampung biru kini menjadi terkenal dan kondisi ini juga tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Menurut pengamatan kami, dorongan dari pemerintah dapat memajukan kampungkampung tematik sehingga mendukung usaha peningkatan kualitas hidup dan pengembangan lingkungan perkotaan dengan menampung kreativitas warga yang beragam.

Foto oleh Nathalia

93

Foto oleh Fran

Suasana Kampung Biru

“ Warna biru diambil dengan alasan yang selaras dengan namanya. Arema sebagai simbol Kota Malang,“ ___________


94

Bagian Dua : Malang

-7.972420,112.630934

KAMPUNG PUTIH

Tulisan oleh Irvi Syauqi Selendra

Foto oleh Namira

Kampung putih


Kampung Tematik : Kampung Putih

95

“ Dekorasi yang menghiasi Kampung Putih juga berasal dari barangbarang bekas yang didaur ulang, seperti plastik bekas, botol-botol bekas, dan lain sebagainya. “

___________

Foto oleh Irvi

Suasana Kampung Putih

Kampung Putih terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Dinamakan Kampung Putih karena warna dinding dari rumah-rumahnya dicat putih bersih, dengan atap berwarna abu-abu dan lis berwarna hijau. Semuanya seragam, memberikan kesan bersih dan tertata rapi. Awalnya, Kampung Putih dibentuk dalam rangka pembersihan kampung yang kumuh. Pembersihan kampung sudah dilakukan sejak tahun 1981. Antusias warga sekitar cukup baik untuk melakukan penataan dan pembersihan kampung agar lingkungan kampung menjadi lebih sehat dan nyaman untuk ditinggali.

Karena antusias yang tinggi tersebut, baik oleh warga maupun pihak-pihak penggerak, sebuah perusahaan cat mensponsori kegiatan pembersihan ini, sehingga kemudian dipoles lah kampung ini menjadi warna putih. Kampung ini kemudian diresmikan namanya menjadi Kampung Putih pada tahun 2017. Pengecatan Kampung Putih juga dilakukan untuk membuat kampung ini menjadi kampung wisata, serta dapat meningkatkan ekonomi warga. Kampung Putih juga memiliki sebuah taman atau landmark yang bernama Wall of Love. Letaknya cukup menjorok masuk ke bagian dalam Kampung Putih, sehingga dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi Kampung Putih. Kesadaran warga akan kebersihan lingkungan terlihat pada kunjungan kami ke Kampung Putih. Tidak ada sampah yang berserakan, tidak ada bau busuk, serta tidak semrawut. Interaksi antar warga pun terjalin dengan baik. Anak-anak saling bermain, ibu-ibu saling berbincang, serta warga-warga lainnya beraktivitas seperti biasa— mencuci sayuran, menjemur baju, menjemur kerupuk, dan lain sebagainya. Dekorasi yang menghiasi Kampung Putih juga berasal dari barang-barang bekas yang didaur ulang, seperti plastik bekas, botol-botol bekas, dan lain sebagainya.


96

Bagian Dua : Malang

Pada kenyataannya, tidak banyak pengaruh pada perkampungan setelah resmi menjadi Kampung Putih. Taman atau Lokasi Wall of Love juga masih sepi pengunjung. Namun, efek yang signifikan terasa oleh para warganya adalah menjadi lebih sadar dan peka akan kebersihan lingkungan. Ada-tidaknya pengunjung, sepi-ramainya pengunjung, tidak menyurutkan para warga untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan Kampung Putih. Untuk mempertahankan kebersihannya, Kampung Putih memiliki beberapa aturan untuk para warganya serta tidak segan untuk memberikan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan kebersihan. Setiap pagi, para warga melakukan giliran bersih-bersih, gotong royong, dan beberapa kali juga mengadakan kegiatan bersihbersih sungai. Jika ada warga yang kedapatan membuang sampah sembarangan atau ke dalam sungai, maka akan diberi peringatan dan ditindaklanjuti oleh lurah apabila kejadian tersebut masih terulang. Distribusi sampah pada Kampung Putih masing dilakukan secara individu. Distribusi dilakukan dari tiap rumah untuk kemudian disalurkan ke TPS. Kampung Putih masih menunggu disediakan fasilitas gerobak sampah dari pemerintah untuk mempermudah pengumpulan sampah, meski tenaga kerjanya sudah tersedia. Menurut kami, untuk menaikkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kampung Putih tidak hanya dengan mengecat rumah menjadi putih dan menyediakan sebuah taman atau landmark sebagai tempat berkumpul atau sebagai spot foto, tetapi juga harus menunjang dan menyediakan fasilitas-fasilitas tambahan untuk pengunjungnya.

Sketsa oleh Hafidz Rumah-rumah Kampung Putih

Foto oleh Irvi


Kampung Tematik : Kampung Putih

97

“Kampung Putih mengajarkan

kami banyak pelajaran, yaitu untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan mulai dari warganya sendiri“

___________

Warga Kampung Putih memiliki kreativitas yang baik untuk mengolah dan mendaur ulang bahan menjadi bahan dekorasi, sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi warga dengan menjual cinderamata khas Kampung Putih. Selain itu, kebutuhan toilet umum yang mumpuni untuk pengunjung juga dibutuhkan untuk mengakomodasi pengunjung yang datang. Penjualan usaha skala rumahan juga dapat dilakukan oleh warga untuk meningkatkan ekonomi setempat. Kampung Putih mengajarkan kami banyak pelajaran, yaitu untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan mulai dari warganya sendiri. Semoga kebersihan Kampung Putih terus terjaga dan kedepannya wisata Kampung Putih semakin berkembang dan dapat menejahterakan warganya!

Foto oleh Namira Hiasan yang dibuat oleh warga Kampung Putih dari sampah.

Sketsa oleh Nathania


98

Bagian 2 : Malang

MERANGKUM PERJALANAN, MALANG ‌

Ada hawa dingin yang membujuk untuk tinggal dan menetap. Letaknya kira-kira 450 meter di atas permukaan laut dan dikelilingi perkebunan. Tak ayal apabila Malang dijadikan sebagai tempat peristirahatan pada masa kolonial. Sebelum tahun 1914, kota ini merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan dan termasuk sebuah kota kabupaten. Seperti ciri khas kabupaten di pulau Jawa pada umumnya, Malang juga memiliki alun-alun yang berfungsi sebagai halaman dari ibu kota pada masanya. Area terbuka menjadi pusat yang dikelilingi oleh gedung peribadatan, perumahan, pasar, dan pusat pemerintah. Konsep ini disebut sebagai catur tunggal. Dan Malang masih menganut hal itu dengan keberadaan Masjid Jami di bagian barat alun-alunnya. Ketika Belanda singgah, alun-alun ini menjadi wadah perlawanan kultural yang dikerahkan oleh arekarek Malang. Mereka menggelar kesenian lokal misalnya ludruk untuk menyambangi kegiatan sosialita elit di Gedung Concordia yang sekarang telah berganti menjadi pusat perbelanjaan Sarinah. Sejak berubah menjadi kotamadya (gemeente), dilakukanlah pengembangan kota. Rencana ini termaktub dalam hasil rancangan Thomas Karsten secara bertahap yang dikenal dengan Bouwplan I-VIII. Salah satu hasil karyanya adalah alun-alun bundar yang menjadi bentuk hegemoni kaum Belanda dengan tetap mengangkat makna alun-alun dalam kosmologi Jawa.


Merangkum Perjalanan, Malang ...

99

Foto oleh Margaret

Peninggalan bangunan kolonial di Malang mestinya tidak sebanyak Surabaya. Terlebih, taktik bumi hangus untuk menghalau serangan Belanda dalam Agresi Militer 1947 telah membuat banyak bangunan bersejarah harus mengalami kerusakan. Beberapa yang tersisa dapat ditemukan di daerah Klojen. Selain itu, di sekitar alun-alun dan daerah Kayutangan pun menyimpan sisa-sisa peninggalan zaman kolonial. Gereja Kayutangan, Toko Oen rasa tahun tiga puluhan, dan Kampung Wisata Kayutangan. Dan yang paling cantik adalah Jalan Ijen yang merupakan tahap ke-5 dalam rancangan Thomas Karsten. Terlepas dari hubungannya dengan masa kolonial, Malang memang menyejukkan dan memiliki potensi pemandangan alam yang potensial untuk dijual. Pemandangan tiga gunung dapat terlihat di Hotel Singhasari. Konsep hunian sementara ini menjadi hal menarik yang dapat diulik dari kota ini. Kami berhasil mengunjungi Hotel Tugu yang letaknya berdekatan dengan alun-alun tugu dan Hotel Shalimar yang bergaya arsitektur kolonial. Bukan hanya sekedar singgah sebentar lalu pergi, tempat hunian seperti perkampungan di Kota Malang juga mendapat perhatian. Mengusung tema kampung tematik, wilayah seperti Jodipan, Kiduldalem, Klojen disulap mempunyai warna-warninya sendiri. Selain untuk pembenahan area tempat tinggal, kampung ini telah menjadi tempat wisata yang dapat meningkatkan kualitas ekonomi penduduk dan kesadaran untuk tetap menjaga lingkungan setempat. Begitulah, cerita kami ketika singgah di kota sejuk ini.

Foto Oleh Rania


100 Facade : Surabaya - Malang

100


Facade : Surabaya - Malang 101 101


102

Epilog

EPILOG

Tulisan Oleh Krisna Agustriana

Dalam bukunya, Suryadi Jo Santoso menuliskan bahwa kota-kota kolonial di Jawa terbagi atas Kota Pasisir dan Pedalaman ditinjau dari letak geografisnya. Di bagian timur Jawa, Surabaya dan Malang adalah pesisir dan pedalaman. Menjadi bagian dari bagaimana kolonialisme pernah mengakar di buminya, kedua kota tersebut menyimpan kenangan kelam sampai akhirnya dapat merdeka seperti sekarang. Jika ingin berbicara soal darah yang tumpah, getir bisa kapan saja meruah. Namun pada akhirnya, perjuangan bumiputra untuk mengambil kembali sesuatu yang menjadi miliknya, bukanlah kesia-sian belaka. Untuk menutup buku perjalanan ini, berikut adalah percakapan antara salah seorang dari kami dengan Bapak Dwi Cahyono ketika mengikuti kuliah pembekalan tentang kolonialisme di Malang:

“Bahkan sisa bangunan Belanda yang menjulang, bukannya bisa saja membawa luka lama atas penderitaan yang pernah ditimbulkannya?� “Memang arsiteknya bisa saja dari Belanda. Tapi yang membangun adalah tangantangan orang Indonesia. Yang kerja adalah orang Indonesia.�

Sekian. Terima kasih. Sampai Jumpa.


Facade : Surabaya - Malang 103 103

Foto Oleh Diajeng

Kawasan Sunan Ampel, Surabaya

Foto Oleh Diajeng

Kampung warna-warni, Malang


104

Epilog

TERIMA KASIH Kami ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak yang telah membantu dan mendukung Kegiatan Kuliah Lapangan Facade 2019 ini. Perjalanan kami tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik tanpa bantuan pihak-pihak di bawah ini: 1.Bapak Aswin Indraprastha selaku Kepala Program Studi Sarjana Arsitektur ITB 2. Ibu Christina Gantini, Ibu Widiyani, Bapak Dibya Kusyala, dan Bapak Ahmad Zuhdi Allam selaku dosen pembimbing kuliah lapangan 3. Ibu Tri Rismaharini, Walikota Surabaya Periode 2010-2020 4. Bapak Adrian Perkasa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga 5. Bapak Dwi Cahyono, Museum Malang Tempo Doeloe 6. Ibu Selfi, protokol Pemerintah Kota Surabaya 7. Bapak Mintararno dan Kopral Andik Potmar, penanggung jawab Kawasan KRI dan Monumen Jalesveva Jayamahe. 8. Pihak Gedung Grahadi 9. Bapak Patrianto Ananta Toer, Sales Manager Hotel Majapahit Surabaya 10. Bapak Janry Manu, Human Resource Manager The Shalimar Boutique Hotel Malang 11. Bapak Aditya Kurniawan, Public Relation The Singhasari Resort Malang 12. Pihak Hotel Tugu Malang 13. Bapak Andy Rahman, Pihak Andyrahman Architect 14. Bapak Clifford Sutedjo dan Bapak Yoda Philo, Pihak Spasi Architect 15. Bapak Hermawan Dasmanto, Pihak ARA Studio 16. Bapak Paulus, Pihak Paulus Setyabudi Architects 17. Ibu Silvia Fransiska, PT Ciputra Surya Tbk 18. Bapak Dimas dan Ibu Thea, pengelola Spazio dari PT Intiland Development Tbk 19. Pihak Graha Natura, PT Intiland Development Tbk 20. Ibu Dwi Ayu, PT Intiland Development Tbk 21. Ibu Aprilia, Kepala Kantor Permata Jingga 22. Bapak Agung, pengelola Villa Puncak Tidar 23. Pihak Pengelola Kawasan Ijen 24. Pihak Kota Araya 25.Bapak Sabar Swastono, Ketua RW Kampung Lawas Maspati 26. Warga Kampung Biru Arema 27. Warga Kampung Putih 28. Warga Kampung Warna Warni 29. Bapak Zeid Muhammad Yusuf, takmir masjid dan makam dan warga Sunan Ampel 30. Pihak Museum Tugu Pahlawan 31. Pihak Museum House of Sampoerna 32. Pihak Museum HOS Tjokroaminoto 33. Bapak Siswono, pengelola Toko Oen Malang 34. Pihak- pihak lain yang belum kami sebutkan


Facade : Surabaya - Malang

Foto oleh Irsyad Adrian Perkasa, pemateri kota Surabaya

Foto oleh Nathalia Dwi Cahyono, pemateri kota Malang

Foto oleh Nathalia

Foto oleh Margaret

Kunjungan ke Andy Rahman Architect, Sidoarjo

Pemberian kenang-kenangan pada Ibu Risma

Foto oleh Nathalia

Foto oleh Nathalia

Kunjungan ke Universitas Ciputra, Surabaya

Kunjungan ke Universitas Ciputra, Surabaya

Foto oleh Irvi Kunjungan ke Citraland, Surabaya

Kunjungan ke Citraland, Surabaya

105


106

Epilog

Foto oleh Irvi Kunjungan ke proyek arsitek Paulus Setiabudhi, Surabaya

Kunjungan ke proyek arsitek Paulus Setiabudhi, Surabaya

Foto oleh Nathalia Kunjungan ke Spazio Tower, Surabaya

Kunjungan ke proyek Spasi Architect, Surabaya

Foto oleh Margaret

Foto oleh Margaret

Foto oleh Yodha

Kunjungan ke the Araya, Malang

Kunjungan ke Permata Jingga, Malang

Foto oleh Diajeng

Foto oleh Diajeng

Kunjungan ke Villa Puncak Tidar, Malang

Kunjungan ke Graha Natura, Malang


Facade : Surabaya - Malang

Bermain di Jatim Park, Malang

Kunjungan ke House of Sampoerna, Surabaya

Makan bersama di , Malang

Kunjungan ke Kampung Biru Arema, Malang

Foto oleh Bella Kunjungan ke Sunan Ampel, Surabaya

Foto oleh Rania Bertemu Ibu Risma

107


108 108 Epilog

Sketsa oleh Firqi Masjid Jami, Malang

SKETSA

Sketsa oleh Hasna Gedung Anno, Surabaya

Sketsa oleh Firqi Jembatan Merah, Surabaya

Sketsa oleh Annisa Rumah Ibadah Han Bwee Koo, Surabaya


Facade : Surabaya - Malang

Sketsa oleh Firqi Jalan Karet, Surabaya

Sketsa oleh Firqi Hotel Majapahit, Surabaya

Sketsa oleh Firqi Kampung Biru, Malang

Sketsa oleh Stella Kampung Biru, Malang

109

Sketsa oleh Farrel Pasar Ampel, Surabaya

Sketsa oleh Boni Gedung Grahadi, Surabaya

Sketsa oleh Farrel Miniatur Kapal KRI, Jalesveva Jayamahe, Surabaya

Sketsa oleh Falah Jalesveva Jayamahe, Surabaya


110

Epilog

Sketsa oleh Farrel Jalan Gula, Surabaya

Sketsa oleh Boni Gedung Cerutu, Surabaya

Sketsa oleh Firqi Kampung Lawas Maspati, Surabaya Sketsa oleh Boni Koridor Hotel Majapahit, Surabaya

Sketsa oleh Annisa Gereja Immanuel, Surabaya

Sketsa oleh Nathania Hotel Majapahit, Surabaya


Facade : Surabaya - Malang 111 111

Sketsa oleh Zufar Gedung Grahadi, Surabaya

SKETSA Sketsa oleh Hafidz Makam Belanda,

Sketsa oleh Falah Hotel Majapahit, Surabaya


112

Epilog


Facade : Surabaya - Malang 113 113


114

Daftar Referensi

DAFTAR REFERENSI Agmasari, Silvita. 2018. Menginap di Jantung Kota Malang, Hotel Tugu nan Ikonik. Diakses pada 21 November 2019, dari https://travel.kompas.com/read/2018/09/07/072000727/menginap-di-jantung-kota-malang-hotel-tugu-nan-ikonik. Aminudin. 2016. Kerennya Air Mancur ‘Menari’ di Alun-Alun Malang, Kerap Jadi Ajang Selfie. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3160352/kerennya-air-mancur-menari-di-alun-alun-malangkerap-jadi-ajang-selfie Basundoro, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman. Yogyakarta: Ombak Graf, Andt dan Chua Beng Huat. 2006. Port Cities in Asia and Europe. London : Routledge. Diakses dari https://books.google.co.id/books?id=ouDVAAAAMAAJ&q=gemeente+1906 Hafidz, Henry. 2019. Sejarah Museum House of Sampoerna dan Koleksinya. Diakses dari https://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-museum-house-of-sampoerna Hahijary, Barbara. 2016. The Process-Oriented ARA Studio. Diakses dari https://indonesiadesign.com/ story/process-oriented Handinoto. 1996. Perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya, 1870-1940. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Diakses dari (https://books.google.co.id/books?id=SFORAgAAQBAJ&pg=PT165&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false) Hariska, Fajar Aldi. 2017. Dampak Kerjasama Sister City antara Kota Surabaya dan Kochi Jepang [Skripsi]. Yogyakarta (ID) : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Diakses dari http://repository. umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16492/F.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y Harun. 2018. Museum HOS Tjokroaminoto di Peneleh Gang VII. Diakses dari http://www.beritametro. news/plesir/museum-hos-tjokroaminoto-di-peneleh-gang-vii Hasan, Zoya Gul. 2018. Unpacking Paul Rudolph’s Overlooked Architectural Feast in Southeast Asia. Diakses dari https://www.archdaily.com/883921/unpacking-paul-rudolphs-overlooked-architectural-feats-in-southeast-asia Hotel Shalimar. 2015. About The Shalimar Hotel. Diakses pada 26 Oktober 2019, dari https://www. theshalimarhotel.co.id/about/. Indriani, Dita Feby. 2019. Sejarah Museum Jalesveva Jayamahe. Diakses pada 10 Oktober 2019, dari https://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-museum-jalesveva-jayamahe Juwono, Indri. 2015. Tugu Hotel Malang : Magical Little Asia. Diakses pada 21 November 2019, dari https://tindaktandukarsitek.com/2015/09/15/tugu-hotel-malang-magical-little-asia/ Marzuki, M Bahrul. 2019. Kota Surabaya Menjadi Tuan Rumah Kongres Paliatif Internasional 2019. Diakses dari https://www.jatimtimes.com/baca/198284/20190802/074300/kota-surabaya-menjadi-tuan-rumah-kongres-paliatif-internasional-2019 Ratnasari, Elise Dwi. 2018. Bermalam bak ‘Raja Gula’ di Malang. Diakses pada 21 November 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180728154756-269-317742/bermalam-bak-raja-gula-di-malang


Facade : Surabaya - Malang

115

Setiap Gedung Punya Cerita. 2018. Intiland Tower Surabaya. Diakses dari https://www.setiapgedung. web.id/2018/12/wisma-intiland-surabaya.html?m=1 Timur Jawa. 2019. Sejarah Bangsa di Museum HOS Tjokroaminoto. Diakses dari http://www.timurjawa.com/2019/01/27/sejarah-bangsa-di-museum-hos-tjokroaminoto/ Winita, Yusriah Ulfah. 2019. Sejarah Monumen Tugu Pahlawan Surabaya. Diakses pada 11 November 2019, dari https://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-monumen-tugu-pahlawan


116

KEPANITIAAN Pembina Aswin Indraprastha, S.T., M.T., M.Eng., Ph.D. Pembimbing Dr. Ir. Christina Gantini, M.T. Widiyani Dibya Kusyala, S.T., M.T. Zuhdi Allam

Dana Usaha Evelyn Sarah Rumondang Hasna Lathifah Budiman Cahaya Albari Irman Arini Rahma Diani Kosasih Aurelia Silviana Theodora Azahra Nuralika Putri Ali Arifin

Ketua Calvin Timothy

Kreatif Firqi Alfathani

Sekretaris Jenderal Yorangga Citra Arundati

Grafis Zufar Azka Prabaswara Faiz Agra Kurnia Aribawa Aji Bayu Triantoro Darien Ilham Hananditya Adela Amandari

Sekretaris Diajeng Adiningrum Thomas Handoko Bendahara Dian Okta Viryani Yodha Sulistiyono Humas dan Perizinan Abigael Alisa Nava Ivana Cindy Tricia Deena Hutagaol Hafidza Fara Hapsari Fran William Salma Saida Az-Zahra Nathalia Sponsorship Nathania Andiani Larasati Putri Kartika Raisa Shafira Affandi Yosephine Rania Angela Adelia Tio Novita Jennifer Gracia Setiawan Bonifasius Bhaskara Bryantama

Publikasi Muhammad Irsyad Alfaridzi Pamela felita julyanto Muhammad Barkah Namira Anatri Yasmin Dyah Cahyamawarni Materi Krisna Agustriana Acara Alya Fitrianadira Brian Filbert Pradharma Luthfia Khoirunnisa Trinanda Sidik Kusumah Salsabila Ditrasti Margaret Yudhia Aditama Deva Dwirangga Ario Soaduon Abraham Flavio Darell


Facade : Surabaya - Malang

Riset Valeryn Horlanso Geofani Kurniawaty Yovanni Christine Eunike Naibaho Asia Luthfiah Kevin Mochamad Oktafarel Amara Faza Rukmana Operasional Yolanda Virgin Regina Akomodasi dan Transportasi Thea Amelia Vellissa Ivory Patricia Stella Felisha Utama Diandri Taqia Alnindya Nadhira Alya Qatrunnada Edison Budi Setiawan Nadhira Khansa Adelia Fariida Asahi Logistik dan Konsumsi Alvin Halim Ulfatus Sa’adah Sumarna Shania Adhalia Sharif Nico Lim Salsabila Assyifa Adrizal Mario Auliya Firasyan Muhammad Abdul Azis

Output Bunga Aninditya Mayang Pourine Pameran Fadhilah Sayogo Putri Annissa Zhafira Febriyanti Puti Osfiani Mawangi Febrina Rahmi Nur Annisa Hafidz Muhamad Anifa Farah Suryandari Buku Ajani Raushanfikra Dhayita Mriyanggani Cintantya Puti Azalia Ichsan Bella Sofie Jayanti Irvi Syauqi Selendra Safira Fitri Annisa Foto dan Video Prayoga Arya Wirasana Amanda Aufa Khairunnisa Muhammad Helmi Falah Nur Elfira Cimarko Putri Sonita Pingkan Natashya Roiswahid Dimas Pangestu

117


118

KEPANITIAAN Tim Sketsa

Tim Foto

Kevin Mochamad Oktafarel Hasna Lathifah Budiman Ario Soaduon Abraham Stella Felisha Utama Annissa Zhafira Febriyanti Arini Rahma Diani Kosasih Auliya Firasyan Muhammad Darien Ilham Hananditya Firqi Alfathani Nathania Andiani Sonita Pingkan Natashya Puti Azalia Ichsan Hafidza Fara Hapsari Cahaya Albari Irman Hafidz Muhamad Dhayita Mriyanggani Cintantya Shania Adhalia Sharif Puti Osfiani Mawangi Raisa Shafira Affandi Nico Lim Zufar Azka Prabaswara Adelia Tio Novita Pamela felita julyanto Calvin Timothy Bonifasius Bhaskara Bryantama

Fran William Ulfatus Sa’adah Sumarna Nathalia Safira Fitri Annisa Margaret Yudhia Aditama Namira Anatri Yasmin Adela Amandari Trinanda Sidik Kusumah Irvi Syauqi Selendra Yodha Sulistiyono Nava Ivana Cindy Tricia Deena Hutagaol Diajeng Adiningrum Thea Amelia Yosephine Rania Angela Flavio Darell Bella Sofie Jayanti


Facade : Surabaya - Malang

Tim Video

Tim Wawancara

Aji Bayu Triantoro Diandri Taqia Alnindya Dyah Cahyamawarni Roiswahid Dimas Pangestu Luthfia Khoirunnisa Nadhira Alya Qatrunnada Prayoga Arya Wirasana Nadhira Khansa Adelia Muhammad Irsyad Alfaridzi Amanda Aufa Khairunnisa Dian Okta Viryani Abigael Alisa Thomas Handoko Larasati Putri Kartika Mario Elfira Cimarko Putri

Yorangga Citra Arundati Geofani Kurniawaty Anifa Farah Suryandari Valeryn Horlanso Muhammad Barkah Bunga Aninditya Mayang Pourine Ajani Raushanfikra Fadhilah Sayogo Putri Asia Luthfiah Amara Faza Rukmana Evelyn Sarah Rumondang Aurelia Silviana Theodora Ali Arifin Deva Dwirangga Salma Saida Az-Zahra Alya Fitrianadira Abdul Azis Krisna Agustriana Salsabila Ditrasti Yovanni Christine Eunike Naibaho Vellissa Ivory Patricia Alvin Halim Jennifer Gracia Setiawan Brian Filbert Pradharma Yolanda Virgin Regina

119


TERIMAKASIH SPONSOR

DONATUR

PT. Panbil PT Golden Energy and Mines Tbk

RELASI MEDIA




SAMPAI JUMPA DI FAÇADE SELANJUTNYA!


Kegiatan Kuliah Lapangan “Façade” Program Studi Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Labtek IXB Jalan Ganesha 10, Bandung 41032 Indonesia facade@ar.itb.com

ISSN 2620-472X


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.