AR4151 Seminar Arsitektur Semester I 2017-2018

Page 1

AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016



ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

PROSIDING

AR 4151 SEMINAR ARSITEKTUR

Dosen Pengampu: Dr. AGUS SUHARJONO EKOMADYO, S.T., M.T.

2016-2017



Prosiding AR4151 Seminar Arsitektur ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

Editors Sri SURYANI Nissa Aulia ARDIANI

School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung

Copyright and Reprint Permission All rights reserved. This book, or parts thereof, may not be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording, or any information storage and retrival system now known or to be invented, without written permission from Architecture Seminar

All Rights Reserved. Š 2017 by School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung, INDONESIA Tel. +62-22-2504962, Fax. +62-22-2530705



DAFTAR ISI

Interpretasi Ruang Gelap Nyawang ................................................................................................................................. 1 Aspek Pemeliharaan pada Rancangan Arsitektur Masjid Salman ITB ............................................................ 13 Evaluasi Peletakan Anchor Tenant Terhadap Pergerakan Pengunjung di Paris Van Java ..................... 23 Evaluasi Ketersediaan Ruang Berdasarkan Standar pada Gedung Pertunjukan di Kota Bandung ..................................................................................................................................................................................... 33 Keserasian Kaidah Konservasi dengan Penerapannya pada Bangunan Laboratorium Hidraulika dan Laboratorium Mekanika Fluida........................................................................................................ 41 Koridor Sekolah Sebagai Ruang Interaksi Sosial Antar Siswa ............................................................................ 61 Dimensi Pengendalian pada Babakan Siliwangi sebagai Ruang Hijau Kota .................................................. 71 Aspek Arsitektural yang Mendukung Warunk Upnormal Memikat Kaum Muda ....................................... 79



AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

INTERPRETASI RUANG GELAP NYAWANG Mudita LAU[1], Devin SETIAWAN[2], dan Zakky IBRAHIM[3] Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: lau.mudita@yahoo.com[1]; dayveen@gmail.com[2]; zakkyibrahim19@gmail.com[3]

ABSTRAK Sebuah ruang yang nyata dan terbentuk secara fisik, dapat memiliki berbagai interpretasi yang berbeda terhadapnya dari berbagai pandangan. Hal ini lah yang terjadi di dalam Kawasan Gelap Nyawang Timur, Bandung, sebuah kawasan yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Bandung dengan kulinernya yang beragam. Terdapat perbedaan pandangan antara ruang yang di desain, interpretasi ruang dari penggunanya, serta ruang yang sebenarnya tercipta. Berdasarkan teori The Production of Space oleh Henri Lefebvre, fenomena ini merupakan bentuk dari Ruang Sosial dari Produk Sosial, yang di klasifikasikan dalam Konsepsi Triad. Perbedaan interpretasi ruang terhadap Kawasan Gelap Nyawang ini menyebabkan pengembangan kawasan yang menjadi terkendala dan tidak berkelanjutan. Tulisan ini menjabarkan pendekatan triad spasial Lefebvre dalam menganalisa perbedaan interpretasi ruang. Kata Kunci: Gelap Nyawang, Perbedaan Interpretasi Ruang

1.

PENDAHULUAN Jalan Gelap Nyawang, Bandung, merupakan kawasan yang terkenal dengan beragam

kulinernya. Terutama di kalangan mahasiswa di daerah sekitarnya seperti ITB, yang memiliki preferensi terhadap kuliner yang murah dan lezat. Di luar fakta tersebut, ternyata Kawasan Gelap nyawang memiliki sejarah yang panjang dan erat kaitannya dengan keberadaan pedagang kaki lima, dan pihak ITB serta Pemerintah Kota. Kawasan Gelap Nyawang, awalnya di desain untuk mengatasi (merelokasi) para pedagang kaki lima yang memenuhi Jalan Ganesha. Kawasan ini juga pernah direncanakan sebagai kawasan wisata terpadu bersama dengan Masjid Salman ITB (Wisata Rohani), Kampus ITB (Wisata Edukasi) dan Kebun Binatang (Wisata Kuda). Namun beberapa kali perencanaan dan desain yang dibuat baik dari pihak ITB maupun pemerintah kota seringkali menemui kendala, baik dari masyarakat setempat, maupun pemegang kebijakan, yang menghambat pembentukan kawasan ini. 1


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Meskipun pada akhirnya Kawasan Gelap Nyawang ini berhasil terbentuk secara infrastruktur, namun terdapat beberapa ketidaksesuaian antara desain dan peruntukan awal kawasan dengan kenyataan di Lapangan. Ketidaksesuaian ini dapat ditelaah berdasarkan kualitas ruang yang terbentuk, serta persepsi berbagai pihak terhadap ruang yang tercipta di kawasan ini. Dalam hal ini terdapat beberapa persepsi mengenai ruang gelap Nyawang yang tercipta, baik itu dari pihak perancang, user dari space yang adalah para pedagang, serta ruang yang sebenarnya tercipta. Dari pihak perancang, persepsi mengenai ruang Gelap Nyawang ini akan menjadi persepsi mengenai kawasan yang diinginkan untuk mengatasi permasalahan pedagang kaki lima. Sementara dari user yang adalah pedagang, persepsi mengenai kawasan ini akan berdasarkan pada fungsi nya untuk mewadahi kebutuhan mereka dalam mencari nafkah. Seiring berjalannya waktu dan pergantian kepengurusan, terdapat perbedaan kebijakan sehingga permasalahan yang ada di gelap nyawang belum dapat terselesaikan dengan solusi yang berkelanjutan. Penelitann yang ini mencoba membantu pemetaan dinamika yang terjadi di gelap nyawang dengan harapan bisa dijadikan acuan bagi peneliti lebih lanjut maupun pengemban kebijakan yang dalam pengembangan kawasan kedepannya.

2.

TINJAUAN SINGKAT TEORI TRIAD SPASIAL LEFEBVRE

2.1. Praktik Spasial (Spatial Pratice) Sebuah masyarakat akan menciptakan sebuah ruang masyarakat, yang berdasarkan usulan dan asumsi awal dari masyarakat itu sendiri, di dalam interaksi yang bersifat lokal. Ruang masyarakat ini diciptakan secara perlahan dan pasti sambal disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada. Dari perspektif analisis, praktik spasial suatu masyarakat muncul melalui peretasan ruang oleh masyarakat. Praktik spasial dalam Neokapitalisme berada dalam ruang yang dirasakan. Praktik spasial mengandung asosiasi yang sangat erat antara rutinitas sehari-hari dan realitas perkotaan (rute dan jaringan yang menghubungkan tempat yang dirancang untuk pekerjaan, kehidupan pribadi, dan rekreasi. Asosiasi ini bersifat paradoks, karena ini menyangkut pemisahan ekstrim dari tempat-tempat yang dihubungkan. Performa dan kompetensi spasial setiap masyarakat hanya dapat di evaluasi secara empiris. Oleh karena itu, praktik spasial dapat di definisikan dengan kehidupan sehari-hari seorang penjual, di sebuah proyek perumahan bersubsidi milik pemerintah, jika mengambil kasus yang ekstrim namun signifikan. Jalan raya atau politik tentang 2


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

transportasi udara tidak diikutkan di dalam pertimbangan. Praktik spasial juga harus memiliki suatu kesatuan erat tapi tidak koheren. 2.2. Representasi Ruang (Representations of Space) Ruang yang terkonsep, bagi saintis, perencana, urbanis, teknokrat, dan social engineer berupa identifikasi terhadap apa yang ditinggali dan dirasakan dengan apa yang dipahami. Ini adalah ruang yang dominan di masyarakat manapun. Konsepsi ruang memiliki kecenderungan ke arah sistem tanda yang verbal. Representasi ruang terikat pada hubungan produksi dengan; (1)pengetahuan, (2)tanda, (3)kode, (4)hubungan frontal, dan (5)urutan dari hubungan yang mengaktifkan. 2.3. Ruang Representasional (Representational Space) Ruang sebagaimana dihuni melalui citra dan simbol yang terasosiasi, karenanya juga termasuk ruang bagi “penghuni” dan “pengguna”. Tetapi ia juga ruang bagi seniman, penulis, dan filsuf yang mendeskripsikan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Inilah ruang dominan yang dialami dengan pasif, dimana imajinasi cenderung berubah dan menyesuaikan. Ruang ini melapisi ruang fisik, membuat penggunaan simbolik dari objekobjek di dalam ruang itu. Jadi, dengan sedikit pengecualian, ruang representasional dapat dikatakan sebagai ruang yang mengarah ke sistem simbol dan tanda non-verbal yang memiliki sedikit atau lebih koherensi. Ruang representasional mengandung simbol kompleks, terkadang dikode, dan terhubung ke sisi rahasia atau terselubung dari kehidupan sosial dan seni (yang pada akhirnya didefinisikan lebih sebagai kode ruang yang representasional daripada sebagai kode ruang semata). 3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Dalam penelitian seminar ini dipilih sebuah kawasan relokasi pedagang kaki lima, yakni Kawasan Gelap Nyawang. Kawasan ini terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah Timur dan Wilayah Barat. Wilayah Timur memiliki infrastruktur yang lebih tertata, sedangkan Wilyah Barat memiliki infrastruktur yang tidak tertata. Pedagang pada kedua wilayah ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Penelitian ini hanya membahas Kawasan Gelap Nyawang Wilayah Timur. Alamat bangunan : Jalan Gelap Nyawang Timur Blok B, Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 3


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer menggunakan metode kualitatif yakni dengan wawancara. Mengumpulkan data sekunder melalui studi pustaka.

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

Pendekatan yang digunakan untuk menjabarkan hubungan dan definisi dari interpretasi terhadap ruang yang ada pada Kawasan Gelap Nyawang adalah teori Triad Spasial Levebfre. Dengan pendekatan bagaimana suatu ruang terbentuk (production of space), proses terbentuknya ruang melalui persepsi perancang dan pedagang (sebagai inhabitant dan user) dijabarkan. Teori ini menjelaskan bagaimana ruang terbentuk melalui tiga tinjauan, yaitu: (1)Spatial Pratice, (2) Representations of space, dan (3) Representational Space. 4.1. Penjabaran Perspektif Pedagang dengan Spatial Practice Spatial Practice dalam konteks Kawasan Gelap Nyawang terjadi pada interpretasi pedagang terhadap kavling-kavling yang mereka gunakan. Dimana pada kasus ini, para pedagang (user) mendefinisikan ruang kavling mereka sebagai ruang yang mereka ‘miliki’. Kavling-kavling untuk berdagang tersebut, selain digunakan sebagai tempat untuk berdagang, juga mereka gunakan untuk meletakan barang secara permanen. Dengan kata lain kavling-kavling tersebut menjadi teritori milik masing-masing pedagang yang tidak boleh diakuisisi oleh pihak lainnya. Fenomena ini sejalan dengan teori Henri Lefebevre yang menyatakan bahwa Spatial Practice mempunyai relasi yang kuat antara daily routine dan urban reality. Daily Routine dalam kasus ini didefinisikan dalam artian kegiatan utama para user (pedagang) di Gelap Nyawang yang merupakan kegiatan menjual makanan. Sementara itu Urban Reality yang dapat diartikan sebagai rute dan jalur yang menghubungkan tempat-tempat diluar tempat kerja, seperti tempat tinggal maupun rekreasi. Keberadaan dua ruang itu seharusnya saling sinergis (atau saling mendukung) satu sama lain, dengan kata lain keberadaan lokasi kerja serta lokasi tempat tinggal harus mudah diakses satu dengan lainnya. Kecenderungan para pedagang yang meninggalkan semua alat-alat dagang nya dan membuat zona permanen menunjukkan bahwa hal itu lebih convenient bagi mereka meskipun resiko untuk hilang lebih tinggi. Dibandingkan membawa pulang alat-alat tersebut ke tempat tinggal maing-masing. Hal ini menunjukan bahwa adanya pemisahan antara tempat-tempat yang ideal nya berhubungan.

4


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Hal tersebut juga sesuai dengan teori bahwa masyarakat akan mengusulkan dan membuat asumsi untuk menciptakan persepsi ruang. Para pedagang di Gelap Nyawang membuat asumsi bahwa kavling-kavling tersebut boleh mereka perlakukan sesuai dengan keinginan mereka sebagai bagian dari teritori yang mereka miliki. Bahkan dalam beberapa kasus, kavling-kavling ini disewakan maupun diperjual-belikan kepada pedagang lain.

4.2. Perspektif Perancang dengan Representations of Space Lefebvre menjelaskan bagaimana perancang atau urbanis memahami ruang yang dialamai atau ditinggali langsung oleh masyarakat (inhabitants) dengan ilmu-ilmu yang mereka pahami. Pemahaman tersebut kemudian dibentuk menjad sesuatu yang memiliki wujud fisik. “Representations of Space take on a physical form. Maps, plans, models and designs are such forms. According to Lefebvre, representations of space are about the history of ideologies” (Lefebvre, 1991) Dengan demikian perancang memiliki fungsi untuk menata berbagai hubungan antar ruang yang terjadi dalam bentuk fisik seperti peta, gambar, maupun rancangan. Representasi inilah yang mengikat ruang pada suatu konteks tertentu. Konteks ini dihasilkan melalui hubungan-hubungan yang ada, dan karenanya ia terhubung pada ilmu pengetahuan, tanda, kode, dan hubungan-hubungan yang bersifat langsung. Gelap Nyawang direncanakan untuk dikembangkan dalam proyek revitalisasi taman ganesha. Proyek ini dibawahi langsung oleh pemerintah pusat melalui salah satu kementriannya yang bekerjasama dengan pihak kampus. Kawasan yang menjadi tempat revitalisasi menggunakan setengah dari bahu jalan utama Jalan Gelap Nyawang dengan pertimbangan lebar dan frekuensi penggunaan jalan. Pada awal perancangannya, Pedagang Kaki Lima seharusnya dipindahkan ke kawasan Gelap Nyawang agar jalan Ganesha steril dan dikelola langsung sebagai salah satu jalan dalam kampus. Trayek angkot yang melewati jalan Ganesha juga akan dialihkan ke jalan Gelap nyawang agar mahasiswa pergi dan datang melalui jalan ini dan akan berinteraksi secara langsung dengan pedagang. Diharapkan jalan ganesha sebagai muka kampus dapat bersih dan pedagang memiliki tempat yang layak dengan tetap menjamin adanya konsumen mahasiswa. Mengacu kepada teori Lefebvre representasi dari ruang: “… tied to the relations of production and to the ‘order’ which those relations impose, and hence to knowledge, to signs, to codes, and to ‘frontal’ relations” (Lefebvre, 1991).

5


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Oleh karena itu perancang merepresentasikan ruang yang terikat pada hubungan yang memproduksinya. Dengan demikian hal tersebut juga terikat pada ilmu pengetahuan, tanda, kode, dan perhubungannya secara langsung. Lefebvre juga menjelaskan bahwa : ”These spaces ‘intervene’ by construction and by architecture, as a project embedded in a spatial context and a texture which call for ‘representations’ that will not vanish in the symbolic or imaginary realms.” (Lefebvre, 1991) Pemberian makna tersebut tidak hanya berbentuk ide abstrak yang imajiner ataupun simbolis, tapi tertanam dalam konteks spasial dan tekstur yang memperlihatkan bentuk representasi nyata. Oleh karena itu dalam rancangan digunakan suatu konsep untuk mempertahankan representasi tersebut. Rancangan kavling pedagang seharusnya memiliki konsep terbuka sehingga bagian belakang bangunan bisa langsung terlihat dari bagian depannya. Pedagang kaki lima tidak membuat infrastruktur tetap berupa bilik berdinding agar jalan bisa tetap hidup dan memiliki kesan terbuka. Pedagang tidak memilki hak milik terhadap kavling, hanya hak guna pakai terbatas yang diatur oleh suatu sistem penyewaan. Hal ini bertujuan untuk tetap dapat membatasi penggunaan ruang sekaligus upaya untuk menjaga representasi ruang

4.3. Ruang yang terjadi melalui Representational Space Ruang representasional adalah ruang sebagaimana dihuni melalui citra dan simbol yang terasosiasi, karenanya juga termasuk ruang bagi “penghuni” dan “pengguna”. Tetapi ia juga ruang bagi seniman, penulis, dan filsuf yang mendeskripsikan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lefebfre: “space as directly lived through its associated images and symbols, and hence the space of ‘inhabitans’ and ‘users’., but also some and perhaps of those, such as few writers and philosophers, who describe and aspire to do no more than describe.” (Lefebvre, 1991) Ruang representational merupakan suatu pertemuan antara bagaimana ruang dirasakan (perceived) dan dipahami (conceived). Ia merangkul tempat bagi gairah, bagi tindakan, dan bagi ruang yang dihidupi. Oleh karenanya ia bisa dikualifikasi dalam berbagai cara. Ruang representasional dapat berupa direksional, situasional, ataupun relasional. Hal ini karena secara esensial ia kualitatif, tidak pasti, dan berubah-ubah. “Representational spaces is alive: it speaks. It has an affective kernel or centre: Ego, bed, bedroom, dwelling, house; or: square, church, graveyard. It embraces the loci of passion, of action and of lived situations, and thus immediately implies time. Consequently it may be

6


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

qualified in various ways: it may be directional, situational or relational, because it is essentially qualitative, fluid and dynamic.� (Lefebvre, 1991) Mengacu dari penjabaran Lefebvre, dapat dilihat bahwa implementasi gagasan dari perancang pada kawasan Gelap Nyawang tidak sepenuhnya berhasil. Jalan ganesha tidak dikontrol dan disterilkan sehingga trayek angkot tidak dialihkan ke jalan Gelap Nyawang. Imbasnya, kawasan pedagang tidak menjadi tempat turun-naik penumpang angkutan umum yang menuju kampus. Hal tersebut dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan pihak kampus yang tidak melanjutkan kebijakan yang ada di gelap nyawang. Fenomena ini sejalan

dengan

yang

disampaikan

oleh

Lefebvre

mengenai

keterikatan

ruang

representational dengan nilai historis dan waktu. Pemaknaannya yang terikat waktu membuat ia menjadi suatu bentuk yang terus berubah. Ruang ini erat hubungannya dengan elemen simbolik dan imajiner karena keterikatannya dengan sumber yang ada di sejarah. Ruang representasional sejatinya ruang hidup, ia berbicara melalui keterikatannya dengan semua elemen yang ada. Ia menjadi pusat hubungan yang membentuk ruang. Pertemuan antara representasi ruang oleh perancang dengan ruang yang dirasakan pedagang menunjukkan perbedaan persepsi tentang suatu ruang. Kedua persepsi ini berjalan berdampingan dan menghasilkan ruang yang dihidupi. Ruang ini tidak sepenuhnya terikat pada konsistensi dan keterpaduan. Oleh karena itu terdapat perbedaan dalam ruang representasional. Berikut akan dijabarkan perbedaan ini dalam dua pembahasan berbeda, yaitu secara ruang fisik yang terbentuk dan nilai simbolisme yang ditunjukkan melalui pemaknaan pedagang terhadap kepemilikan kavling. Secara ruang fisik yang terbentuk kita dapat melihat ada perbedaan antara ruang yang dipersepsikan oleh perancang dengan dirasakan oleh pedagang. Ruang dirancang dengan konsep terbuka sehingga bagian belakang kavling dapat terlihat dari bagian depan. Namun yang terjadi sebaliknya, Kavling berbentuk bangunan permanen dengan bilik berdinding sehingga bagian belakang kavling justru menjadi dapur yang tertutup. Seharusnya Pedagang menggunakan gerobak yang tidak berupa infrastruktur tetap. Jenis dapur yang digunakan untuk memasak berubah menjadi dapur berat yang tidak bisa dipindah. Akhirnya hal ini menyebabkan bagian belakang Gelap Nyawang menjadi kumuh dan tertutup. Konsep terbuka yang dirancang justru tidak tercapai. Perbedaan terjadi karena pedagang merasa tempat yang telah diberikan memiliki simbolis yang berbeda dengan perancang. Ruang representasional tidak terikat pada konsistensi dan kepaduan karena maknanya sendiri yang terus berubah. Sesuai yang disampaikan oleh Lefebvre, “Representational spaces, on the other hand, need obey no rules of consistency or cohesiveness. Redolent with imaginary and symbolic elements, they have their source in history 7


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

– in the history of a people as well as in the history of each individual belonging to that people.� (Lefebvre, 1991) Makna simbolis berupa rasa kepemilikan yang kuat menghasilkan infrastruktur tetap. Hal ini tercermin melalui bilik berdinding dan penggunaan dapur jenis berat yang tidak dapat dipindah.

Berikut disajikan tabel yang menggambarkan perpindahan kepemilikan dari pedagang yang berada di kawasan Gelap Nyawang yang kami dapatkan dari hasil wawancara. Tabel 1. Tabel Perpindahan Pedagang No

Nama Lapak

Tempat Berdagang Sebelumnya

Keterangan

1

Ramen Rider

Pendatang baru

Pemilik merupakan alumni ITB. Bukan merupakan peserta relokasi

2

Ni Rina

Pendatang baru

Pembeli tangan ketiga. Bukan merupakan peserta relokasi.

3

Black Romantic

Pendatang baru

Kepemilikan oleh 6 orang dan merupakan alumni ITB. Bukan merupakan peserta relokasi.

4

Sari Lamak

Pindahan dari Lapak Ni Rina

Pedagang peserta relokasi

5

Diva

Pendatang baru

Pembeli lapak. Bukan merupakan peserta relokasi.

6

Bebek Garang

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

7

Mitha

Pedagang dari dekat UNPAD

Pedagang peserta relokasi

8

Dodi

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

9

Iting

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

10

Jabal Juice

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

11

Warung Arsyad

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

12

Nasi Bakar

Liwet

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

13

Ayam kabita

Cola

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

14

Warung Dewo Jus

Pendatang baru

Pembeli tangan ketiga. Bukan merupakan peserta relokasi.

15

Warung Tuyu

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

van

8


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

16

Soto Betawi

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

17

Resha

Pedagang dari Jalan Ganesha

Pedagang peserta relokasi

18

Kabita

Pedagang dari Gedung Seni Rupa

Pedagang peserta relokasi

19

Ayam Goreng Ganesha

Pedagang dari Baltos

Pedagang peserta relokasi

20

Sinar Garut

Pedagang dari Ciungwanara

Pedagang peserta relokasi

21

Kapau Jaya

Pedagang dari Dipatiukur

Bukan merupakan peserta relokasi.

Pemaknaan pedagang terhadap kepemilikan kavling merupakan simbolisme dari ruang yang dirasakan oleh pedagang. Pada praktiknya, sistem dengan hak guna pakai yang dirancang tidak sepenuhnya diterapkan oleh pedagang. Pemaknaan pedagang yang direlokasi dari jalan ganesha kami bagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pedagang yang menetap dan pedagang yang mengalihkan (termasuk menjual dan menyewakan) hak guna pakai. Pedagang yang memindahkan hak guna dibagi menjadi dua sub kelompok, yaitu pedagang yang menjual hak guna dan pedagang yang memindahkan hak guna. Pedagang yang mengalihkan (menjual dan memindahkan) hak guna ditinjau sebagai cara pedagang tersebut memaknai ruang. Hal ini bisa terjadi beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, dorongan ekonomi, dan paradigma berpikir. Namun hasil temuan yang paling dominan adalah tingkat pendidikan dan dorongan ekonomi. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara pedagang memaknai simbolisme ruang dan melihatnya sebagai suatu komponen dalam sistem yang lebih besar (dalam hal ini kami membandingkannya dengan konteks urban). Dorongan ekonomi menghadapkan masyarakat pada realita kehidupan sehari-harinya. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan dasar membuat prioritas untuk melihat gambaran yang lebih luas (konteks urban) tergeser. Relita ruang yang dirasakan (perceived) ditinjau dari posisinya antara realita-realita yang ada. Berkaca pada Teori Lefebvre, praktik sosial yang dialami oleh masyarakat berada antara realita kehidupan sehari-hari dan realita urban : �‌Under neo-capitalism, it embodies a close relation, within perceived space, between daily reality and urban reality� (Lefebvre, 1991) Dari hasil wawancara, kami menemukan bahwa tingkat pendidikan dan kebutuhan ekonomi sejalan dengan pemahaman realita sehari-hari dan posisinya dalam konteks urban. Pada akhirnya hubungan manusia dengan pemahamannya terhadap gambaran yang lebih besar selalu terbentur pada keterpenuhan kebutuhan dasarnya.

9


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5.

PENUTUP

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan suatu kawasan yang melibatkan banyak stakeholder, terutama sebagai penggunanya, ada banyak faktor diluar desain fisik yang harus dipertimbangkan. Perancangan berdasarkan desain yang ideal tidak selalu relevan dalam keadaan tersebut. Meninjau kasus Gelap Nyawang, terdapat perbedaan antara desain dari perancang, dengan pandangan penggunanya

(pedagang)

terhadap ruang tersebut. Dengan

menggunakan pendekatan konsep triad spasial dalam production of space, kami menjabarkan perbedaan pada spatial practice dan representations of space yang menghasilkan representational space. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk pengembangan maupun revitalisasi kawasan menjadi terkendala karena tidak relevan (sejalan) dengan kebutuhan para penggunanya. Sebaiknya dalam perencanaan lebih lanjut, aspek spatial practice harus lebih dipertimbangkan agar pengembangan yang terjadi tidak berjalan secara sepihak dari pihak pemegang kebijakan. Mempertimbangkan kebutuhan dasar yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap posisinya pada suatu gambaran yang lebih besar (konteks urban) akan membuat desain lebih efektif. Karena yang kami temukan pada kasus Gelap Nyawang bukan permasalahan fisik, tetapi tingkat pemaknaan simbolisme masyarakat terhadap ruang yang sangat dipengaruhi oleh tingkat keterpenuhan kebutuhan dasarnya. Dengan mempertimbangkan aspek tersebut, efek yang dihasilkan akan lebih signifikan dan dapat berjalan secara berkelanjutan. Pada akhirnya, implementasi desain akan lebih sesuai dengan proses perancangan.

1.

REFERENSI

Anderson, Hannah. Hannah Winkle. 2007. http://hannahwinkle.com/ccm/Lefebvre.htm (accessed 12 8, 2016). Effendi, Prasetyo Muhammad, and Mudita Lau. Ganyang dari Perspektif Perancang. 2016. Ibrahim, Muhammad Zakky. Rekaman Percapakan Realita Kehidupan Pedagang Gelap Nyawang. 2016. Lefebvre, Henri. Production of Space. Oxford: Basil Blackwell, 1991. Mangoenkoesoemo, Yuka Dian Narendra. culturalidiot. 2 17, 2012. http://culturalidiot.blogspot.co.id/2012/06/henri-lefebvre-dialektika-spasialdan.html (accessed 12 8, 2016).

10


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pramudita, Ria Ayu. me in the timeline. 2 7, 2012. https://riaayupramudita.wordpress.com/2012/08/07/mengingat-kembalirevitalisasi-ganesha/ (accessed 10 8, 2016).

11


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

12


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ASPEK PEMELIHARAAN PADA RANCANGAN ARSITEKTUR MASJID SALMAN ITB Karimah HANNAVERANI(1), Wahyu NURINA(2), dan Viona Moudiani PUTRI(3)

Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)rimahannaverani@students.itb.ac.id; (2)wahyunurina@students.itb.ac.id; (3)vionamoudiani@studens.itb.ac.id

2.

ABSTRAK Bangunan senantiasa dirancang untuk mewadahi kegiatan manusia yang semakin bertambah

seiring

waktu.

Pemeliharaan

bangunan

menjadi

penting

untuk

mempertahankan kenyamanan pengguna dalam melakukan kegiatan tersebut. Masjid Salman ITB merupakan masjid yang memiliki berbagai aktivitas dan kegiatan di dalamnya, tidak hanya bersifat keagamaan namun juga bersifat sosial dan akademik. Achmad Noe'man sebagai arsitek yang tumbuh dalam suasana keagamaan yang kental dalam keluarga dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh arsitektur modern, merancang Masjid Salman ITB dengan konsep yang berbeda, yakni konsep semangat Islam. Konsep tersebut diperlihatkan melalui bentuk rancangan Masjid Salman ITB yang bersifat free maintenance mempertimbangkan planned maintenance seperti struktur bentang lebar dengan talang raksasa, ventilasi dan pencahayaan alami, kejujuran material melalui beton ekspos dan penggunaan kayu, perluasan ruang shalat berupa teras dan kerawang yang berbentuk besar. Namun seiring waktu, idealisme arsitek menyulitkan pemeliharaan sehingga perlu adanya preventive dan running maintenance, seperti munculnya kebocoran pada atap, tumbuhnya lumut pada beton, dan mahalnya perawatan kolam. Studi kasus Masjid Salman ITB memperlihatkan bahwa aspek pemeliharaan diperlukan dalam merancang sebuah bangunan karena dapat memengaruhi konsep rancangan yang berkaitan dengan kebutuhan pengguna dan keberlanjutan bangunan baik dari aspek teknologi, prediksi cuaca, kemampuan pengelolaan dan biaya ekonomi yang dikeluarkan secara berkala. Kata Kunci: pemeliharaan, bangunan, Masjid Salman ITB, Achmad Noe'man

1.

PENDAHULUAN

Bangunan senantiasa dirancang untuk mewadahi kegiatan manusia. Kegiatan manusia pun bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dan akan terus bertambah dengan seiringnya waktu. Bangunan dapat dianggap berhasil jika dapat hidup dan berperan dalam mewadahi 13


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

kegiatan-kegiatan tersebut. Pemeliharaan memiliki peran penting untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dalam bangunan agar dapat dilakukan dengan nyaman dan berkelanjutan. Oleh karena itu, ada baiknya jika dalam merancang sebuah bangunan turut mempertimbangkan aspek pemeliharaannya. Masjid Salman ITB adalah sebuah masjid di Jalan Ganesha yang memiliki berbagai aktivitas dan kegiatan di dalamnya. Kegiatan di Masjid Salman ITB tidak hanya bersifat keagamaan, namun juga bersifat sosial dan akademik. Banyaknya kegiatan di Masjid Salman ITB juga didukung oleh letaknya yang dekat dengan institusi pendidikan sehingga hiruk-pikuk kegiatan pelajar ikut terlihat di lingkungan masjid. Untuk menunjang kegiatan- kegiatan tersebut, pemeliharaan pun dilakukan oleh tim manajemen bangunan. Masjid Salman ITB. Pemeliharaan tidak hanya dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi pengguna, namun juga untuk mempertahankan karakter Masjid Salman ITB yang telah dirancang sedemikian rupa oleh arsiteknya. Oleh karena itu, Masjid Salman ITB dipilih sebagai studi kasus penulisan makalah ini.

Makalah ini ditulis dengan maksud untuk mengetahui dan memahami bagaimana pemeliharaan dapat mempengaruhi perancangan arsitektur. Dalam studi kasus ini, Masjid Salman ITB diidentifikasi bagaimana pemikiran arsiteknya pada awal konsep perancangan yang berkaitan dengan pemeliharaan serta perancangan bangunan yang memengaruhi pemeliharaan seiring waktu pemakaian. Penulisan makalah ini melingkupi bangunan utama Masjid Salman ITB, teras dan taman di sekitar bangunan utama dengan metode wawancara, studi literatur dan observasi.

2.

ASPEK PEMELIHARAAN DALAM PERANCANGAN ARSITEKTUR

Berbagai macam kegiatan yang diwadahi dalam suatu bangunan mengakibatkan bangunan tersebut membutuhkan pemeliharaan agar dapat mendukung kehidupan di dalamnya secara nyaman dan berkelanjutan. Pemeliharaan dalam arsitektur merupakan upaya pengontrolan berupa inisiasi, organisasi, dan implementasi untuk menjaga bangunan pada kondisi ideal yang diinginkan, baik mempertahankan ataupun mengembalikan pada keadaan tertentu (Lee, 1995 : 14-15). Kepuasan pengguna dalam pemakaian bangunan merupakan salah satu faktor penentu standar pemeliharaan. Pengguna bangunan yang menjalankan aktivitas di dalamnya memengaruhi bagaimana bangunan tersebut harus dipelihara dan turut serta menentukan keadaan ideal yang diharapkan dari pemeliharaan. Dengan berbagai fungsidan aktivitas yang diwadahi, bangunan harus terlindungi dari cuaca sehingga keamanan pengguna terjamin. Kondisi di dalam bangunan pun harus sesuai dengan kebutuhan pengguna 14


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

misalnya melalui selubung bangunan yang berfungsi sebagai penyaring intensitas cahay dan udara yang masuk serta meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan seperti noise dan panas (Lee, 1995 : 14-15) Titik berat dari pemeliharaan adalah memahami kebutuhan pengguna dan penggunaan bangunan yang efisien dan ekonomis. Seringkali disaat bangunan selesai dibangun, kebutuhan pemeliharaan bangunan meningkat akibat meningkatnya kebutuhan pengguna yang tidak terpikirkan sebelumnya dalam tahap perancangan sehingga

kemudian

mengakibatkan peningkatan biaya pemeliharaan dan perawatan bangunan (Schrag, 2016). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, terdapat beberapa jenis pemeliharaan yaitu planned maintenance, preventive maintenance, dan running maintenance. Planned maintenance merupakan pemeliharaan yang sudah direncanakan, terorganisir dan telah dipikirkan sebelum pemakaian. Preventive maintenance merupakan pemeliharaan yang dilakukan pada interval atau keadaan tertentu yang bertujuan mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan, sedangkan running maintenance merupakan pemeliharaan yang dilakukan saat sebuah objek sedang dipakai (Lee, 1995 : 17).

3.

PERANCANGAN MASJID SALMAN ITB

Masjid Salman ITB merupakan masjid kampus pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1964 dan dirancang oleh Achmad Noe'man. Achmad Noe'man adalah seseorang yang memiliki ketertarikan dalam dunia seni dan bangunan terutama pada arsitektur modern dan Bauhaus (Ekomadyo, 2003 : 2). Sejak kecil, Achmad Noe'man tumbuh dalam suasana keagamaan yang kental di keluarga dan lingkungannya (Utami, 2002 : 9). Dalam perancangan Masjid Salman ITB, Ahmad Sadali, kakak dari Achmad Noe'man mempunyai andil yang besar. Beliau merupakan orang yang mendorong Achmad Noe'man untuk membuat masjid yang tidak biasa dan tidak mengikuti arsitektur kubah yang sering digunakan pada zaman tersebut.1 Awal terbangunnya Masjid Salman ITB didukung oleh keinginan mahasiswa ITB untuk memiliki fasilitas beribadah sekaligus mewadahi kegiatan dakwah dan

diskusi.

Sebelumnya, Aula barat menjadi ruang sementara yang digunakan mahasiswa dan dosen ITB untuk shalat Jumat. Akhirnya pada tahun 1964 gambar rancangan Masjid Salman ITB ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno. Masjid Salman ITB diresmikan oleh Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Doddy Tisna Amidjaja, bersamaan denga shalat Jumat pertama pada tanggal 5 Mei 1972 (Dewiyanti, 2016 : 45-48). Dalam perancangan masjid, Achmad Noe'man mempercayai bahwa masjid harus sederhana, yang paling penting adalah semangat Islamnya dan bagaimana masjid menjadi fasilitas yang dapat membuat umatnya kembali kepada Allah. Konsep semangat Islam 15


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

tersebut ditunjukan melalui pemakaian Masjid Salman ITB yang tidak hanya sebagai tempat ibadah keagamaan, namun juga mewadahi kegiatan sosial seperti berdiskusi, belajar mengajar dan berorganisasi. Kegiatan tersebut diwadahi dalam berbagai fasilitas Masjid Salman ITB seperti bangunan utama masjid, teras, taman dan Rumah Kayu. Bangunan utama Masjid Salman ITB dikelilingi oleh teras sebagai perluasan ruang shalat dan juga sebagai tempat berdiskusi serta kegiatan belajar mengajar. Tidak hanya itu, taman di bagian Timur juga mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Kegiatan organisasi dan diskusi juga dapat dilakukan di Rumah Kayu. Rumah Kayu merupakan bangunan dua lantai di bagian Tenggara masjid yang berfungsi sebagai kantor dan unit serta dilengkapi dengan perpustakaan, ruang diskusi dan ruang percetakan. Fasilitas-fasilitas ini senantiasa untuk mendukung kebutuhan pengguna masjid tanpa mengurangi nilai berbagi dan toleransi sesama pengguna karena digunakan bersama-sama, baik pengguna temporal atau tetap, komunitas masjid atau tamu, anak-anak atau dewasa maupun laki-laki atau perempuan (Dewiyanti, 2016 : 81,169). Taman di bagian Barat masjid ditanami pohon rindang berupa tanaman produktif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kolam yang memiliki filosofi sebagai refleksi diri manusia dirancang di sekeliling bangunan utama masjid sampai ke taman di bagian Timur.2

Gambar 1. Denah Bangunan Utama dengan Kolam di Sekelilingnya (Sumber: Utami, 2002)

Bangunan utama Masjid Salman ITB merupakan ruang utama yang digunakan untuk kegiatan shalat. Dalam melaksanakan shalat, kerapatan shaf merupakan kewajiban agar syaitan tidak dapat masuk dan mengganggu khidmatnya shalat. Dari konsep inilah, Achmad Noe'man menggunakan struktur bentang lebar dalam merancang Masjid Salman ITB dengan geometri bangunan kotak sederhana dan atap yang seolah-olah terangkat untuk ventilasi udara (Dewiyanti, 2016 : 72-73). Bangunan utama Masjid Salman ITB memiliki ketinggian dua lantai dengan jendela di bagian atas untuk memberikan kesan ruang yang luas. Mezannine di lantai dua diperuntukan untuk tempat shalat perempuan apabila di 16


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

lantai dasar sudah penuh. Atap bangunan utama masjid dirancang menyerupai talang raksasa yang bertujuan untuk menangani bentang lebar serta menanggapi cuaca agar tidak terjadi kebocoran pada inti bangunan, tetapi disalurkan ke tepi bangunan. Dari rancangan atap inilah, Achmad Noe'man membawa konsep free maintenance.3

Gambar 2. Potongan Masjid Salman ITB (Sumber: Utami, 2002)

Konsep semangat Islam juga diperlihatkan melalui kesederhanaan dan kejujuran material di Masjid Salman ITB. Lantai bangunan utama masjid menggunakan material semen yang ditutupi karpet. Plafon, langit-langit, mezannine dan sangkar lampu yang digubah seperti bentuk stalaktit pada gua menggunakan material kayu, sedangkan atap menggunakan material beton ekspos.4 Pada tampak Utara, Selatan dan Barat dirancang menggunakan kewarang berwarna merah bata sebagai warna alami yang memberikan kesan melembutkan beton dari tampilan keseluruhan masjid. Kerawang dirancang sedemikian rupa agar air hujan yang masuk ke dalam kerawang mudah untuk dialirkan ke tanah.5

Gambar 3. Sangkar lampu Masjid Salman ITB Pada perancangan awal Masjid Salman ITB, Achmad Noe'man telah memikirkan aspek pemeliharaan (planned maintenance) seperti mezzanine dan teras sebagai ruang perluasan shalat, atap yang ditinggikan sebagai ventilasi udara dan pencahayaan alami, atap yang menyerupai talang raksasa, sangkar lampu yang memanjang untuk memudahkan

17


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

pencapaian, serta kerawang dengan lubang yang besar dan kemiringan untuk mengalirkan air hujan ke tanah.

18


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

PEMELIHARAAN MASJID SALMAN ITB

Seiring berjalannya waktu, rancangan awal Masjid Salman ITB semakin memengaruhi pemeliharaannya. Penyelesaian masalah pun muncul akibat konsep-konsep rancangan yang dirasa menyulitkan aspek pemeliharaan. Atap masjid yang sebelumnya dirancang sebagai talang raksasa ternyata memunculkan masalah berupa kebocoran secara menahun. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya teknologi dan kemampuan sumber daya dalam membangun atap bentang lebar saat pembangunan serta meningkatnya curah hujan kota Bandung saat ini. Pelapisan atap dengan aspal dan cat anti air serta penambahan talang menjadi solusi untuk menangani permasalahan kebocoran ini. 6 Banyaknya sumbangan berupa material saat pembangunan menyebabkan desain yang dibuat sebisa mungkin memanfaatkan material yang ada secara maksimal seperti beton ekspos misalnya. Namun dengan seiring waktu pemakaian, beton ekspos yang diharapkan memudahkan perawatan ternyata menimbulkan lumut sehingga pada akhirnya beton tersebut harus dilapisi cat.7 Lantai di dalam masjid yang pada awalnya hanyalah semen ditutup karpet kemudian diganti menggunakan lapisan parket kayu agar lebih indah dan mudah dirawat. Tidak hanya itu, lantai ruang wudhu dan kamar mandi yang menggunakan sumbangan material keramik bertekstur licin pada saat ini dalam proses penggantian material dengan yang lebih baik.8

Gambar 4. Pemeliharaan Masjid Salman ITB (Sumber: http://kabar.salmanitb.com/2013/10/11/warna-baru-ruang-utama-masjid-salmanitb/ )

Prinsip Achmad Noe'man mengenai masjid yang seharusnya tanpa kolom dan langit- langit yang cukup tinggi ternyata menimbulkan kesulitan dalam pemeliharaan bangunan sehingga dibutuhkan scaffolding untuk merawat langit-langit dan lampu.9 Lampu interior Masjid Salman ITB sendiri pada awalanya menggunakan lampu berwarna kuning untuk menciptakan suasana romantisme dengan Allah, namun ternyata konsep tersebut 19


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

menyebabkan pengguna masjid kesulitan membaca dengan pendar cahayanya. Lampu tersebut sempat diganti dengan lampu bercahaya putih. Saat ini, lampu dikembalikan ke konsep awal perancangan dengan menggunakan teknologi lampu LED berwarna kekuningan dengan intensitas cahaya yang cukup terang untuk membaca.10 Tidak hanya itu, prinsip Achmad Noe'man bahwa sumber suara harus berasal dari arah depan atau mimbar pun saat ini tidak bisa dilanjutkan karena kebutuhan pengguna masjid yang semakin meningkat. Saat ini, pengeras suara ditambahkan di berbagai sisi masjid. Dengan penambahan peralatan berupa speaker dan cctv mengakibtkan kabel terpaksa diletakkan apa adanya sehingga terlihat kurang tertata.11 Konsep kolam yang mengelilingi masjid ternyata menimbulkan kesulitan dalam pemeliharaan dan memakan biaya yang cukup besar. Kolam tersebut ditiadakan dan diganti menjadi taman rumput sebagai upaya pencegahan (Dewiyanti, 2016 : 78). Banyaknya aktivitas di lingkungan Masjid Salman ITB memunculkan perkembangan kompleks masjid, misalnya ruang serbaguna. Tidak hanya untuk mewadahi kebutuhan ruang, pertumbuhan kompleks masjid juga dimaksudkan untuk menambah penghasilan masjid guna kehidupan dan pemeliharaan bangunan yang berkelanjutan.12

Gambar 5. Kolam yang Menjadi Taman Konsep arsitek untuk menjadikan bangunan yang bersifat free maintenance ternyata tidak luputdari pemeliharaan yang bersifat mencegah atau biasa disebut preventive maintenance. Pemeliharaan pencegahan ini muncul dalam kasus perancangan kolam di sekeliling masjid. Tidak hanya itu¸ running maintenance juga tetap diperlukan untuk menjaga bangunan tetap dalam keadaan yang diinginkan seperti pengecatan beton, penambahan speaker dan cctv, serta penggantian warna cahaya lampu.

20


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5.

PENUTUP

Dalam merancang Masjid Salman ITB, Achmad Noe'man sebagai arsitek telah mempertimbangkan aspek pemeliharaan secara terencana (planned maintenance) seperti atap yang menyerupai talang raksasa untuk menanggapi cuaca, bentuk sangkar lampu yang memanjang seperti stalaktit agar mudah dijangkau untuk pembersihan dan kerawang yang berbentuk besar untuk mempermudah pemeliharaan. Namun, masih

ada

idealisme

Achmad Noe'man terhadap arsitektur modern yang kurang sesuai dengan kondisi saat ini sehingga banyak melewatkan perencanaan preventive maintenance. Oleh karena itu, dibutuhkan running maintenance untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setelah pembangunan Masjid Salman ITB. Preventive maintenance dilakukan pada Masjid Salman ITB yaitu meniadakan kolam, sedangkan running maintenance yang dilakukan pada Masjid Salman ITB antara lain melapisi atap dengan aspal, penambahan talang, beton ekspos dilapisi cat, lantai dilapisi parket kayu, lantai kamar mandi dalam proses penggantian material, scaffolding untuk merawat langit-langit dan lampu, lampu yang mengalami pergantian dari kuning menjadi putih kemudian menjadi LED kuning, pengeras suara yang ditambahkan di berbagai sisi, kabel yang bertambah akibat penambahan pengeras suara, serta pembangunan perkembangan kompleks Masjid Salman ITB yaitu ruang serbaguna. Pertimbangan aspek pemeliharaan diperlukan dalam merancang sebuah bangunan oleh arsitek. Rancangan yang baik akan memperhatikan aspek pemeliharaan karena dapat mempengaruhi pembiayaan pemeliharan bangunan. Aspek pemeliharaan akan sangat memengaruhi konsep rancangan bangunan karena berkaitan dengan kebutuhan pengguna dan penanganannya dalam jangka panjang. Terdapat beberapa hal yang memengaruhi pemeliharaan bangunan, antara lain kebutuhan pengguna, teknologi yang semakin berkembang, pola cuaca yang mengalami perubahan, serta kemampuan pengelola bangunan dan tim pemeliharaan untuk melakukan pemeliharaan berkelanjutan. Oleh karena itu, perancangan harus mempertimbangkan aspek pemeliharaan agar rancangan bangunan dapat mewadahi kebutuhan pengguna, sesuai dengan teknologi yang digunakan dan dapat berkelanjutan, sesuai dengan prediksi cuaca dalam jangka panjang, sesuai dengan kemampuan pengelola dan tim pemeliharaan bangunan, dan dapat menekan biaya ekonomi yang dikeluarkan secara berkala.

6.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada narasumber kami: Dhini Dewiyanti sebagai penulis disertasi Masjid Salman Bandung Sebuah Tinjauan Fenomenologi terhadap Makna Eksistensial; Imam 21


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Choirul Basri sebagai pengurus Yayasan Pembina Masjid Salman ITB; dan Fauzan Noe’man sebagai putra dari Achmad Noe’man. 7.

DAFTAR PUSTAKA

Dewiyanti Dhini (2016). Masjid Salman Bandung Sebuah Tinjauan Fenomenologi terhadap Makna Eksistensial. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Ekomadyo, Agus. S. (2003). Islam, Indonesianity, and Modernity in Architecture of Achmad Noe’man. Surabaya : Universitas Petra. Lee, Reginald (1995). Building Maintenance Management- 3rd ed. Great Britain : Blackwell Science.

Schrag, Stephen. Smith, Karen. Stollenwerk, Brett (2007). Designing for the Care and

Maintenance

of

Buildings.

http://www.buildings.com/article-

details/articleid/5376/title/designing-for-the-care-and-

maintenance-of-

buildings, diakses 13 November 2016 Utami (2002). Dinamika Pemikiran dan Karya Arsitektur Masjid Achmad Noe’man. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

1 Wawancara

dengan Dhini Dewiyanti, September 20016.

2, 3,5,7,11 Wawancara

dengan Fauzan Noe'man, November 2016.

4,6,8,9,10,12 Wawancara

dengan Imam Choirul Basri, Oktober 2016.

22


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI PELETAKAN ANCHOR TENANT TERHADAP PERGERAKAN PENGUNJUNG DI PARIS VAN JAVA Salsabila Putri UTAMI (1), Patricia KAREN (2), dan Dian INAYAH (3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) salsa.acha14@gmail.com; (2) karenpatricia12195@gmail.com; (3) dian.inayah@gmail.com

ABSTRAK Terdapat berbagai macam destinasi hiburan masyarakat kota, salah satu diantaranya adalah Mall. Keberhasilan sebuah Mall sebagai destinasi hiburan bergantung pada peletakan Anchor Tenant. Paris van Java merupakan salah satu mall favorit yang ada di Bandung. Mall ini memiliki berbagai jenis tenant serta beberapa Anchor Tenant. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konfigurasi Anchor tenant terhadap pergerakan pengunjung Paris van Java, mengetahui faktor lain yang dapat berpengaruh sebagai magnet, serta mengevaluasi konfigurasi Anchor Tenant dan nonAnchor Tenant yang ada. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara. Hasil dari wawancara diolah, kemudian hasil analisis digunakan untuk bahan evaluasi serta untuk mengetahui pengaruh konfigurasi Anchor Tenant terhadap pergerakan pengunjung. Kata Kunci: anchor tenant, sirkulasi, Paris Van Java

3.

PENDAHULUAN

Mall merupakan destinasi hiburan yang sering dikunjungi oleh masyarakat kota. Masyarakat biasanya berkunjung ke mall untuk langsung pergi ke destinasi - destinasi tertentu sesuai dengan keinginannya. Destinasi yang paling sering dikunjungi biasanya berupa Tenant; bioskop, hypermart, toko buku, department store, atau food court. Bandung merupakan sebuah kota besar yang hampir sebagian besar masyarakatnya mengunjungi mall sebagai tempat rekreasi. Paris Van Java merupakan salah satu mall terpopuler di Bandung. Berdasarkan klasifikasi bentuk mall oleh Maithland dalam Yempormase (2013:11), Paris van Java merupakan Intergrated Mall (Mall terpadu) yaitu penggabungan mall terbuka dan tertutup. Mall ini memiliki puluhan tenant didalamnya yang dapat menarik pengunjung. Menurut Harvey M. Rubenstein, tenant-tenant tersebut biasa dikenal dengan istilah Magnet atau Anchor Tenant. Umumnya Anchor Tenant merupakan tenant yang menyewa ruang yang cukup besar serta memiliki daya tarik pengunjung yang besar. Oleh karena itu, peletakan Anchor Tenant ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah Mall. Hampir seluruh mall di ibukota yang berhasil menarik pengunjung memiliki Anchor Tenant. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian ini dengan mengetahui konfigurasi Anchor Tenant dan Non- Anchor Tenant di Paris van Java dan pergerakan pengunjung di dalam Paris van Java. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konfigurasi tersebut terhadap pergerakan pengunjung di Paris van Java dan mengetahui Non- Anchor tenant yang berpengaruh sebagai magnet serta memberikan evaluasi terhadap konfigurasi Anchor tenant dan Non- Anchor tenant yang ada sekarang.

23


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

KAJIAN TEORI

Untuk mendukung analisis pengaruh Anchor Tenant terhadap pergerakan pengunjung di Paris Van Java digunakan beberapa teori pendukung tentang lingkungan kerja. 4.1. Pemahaman Mall 4.1.1.

Pengertian Mall

Beberapa pengertian mall yang diambil dari beberapa sumber: a. Menurut Rubenstain, secara tradisional kata mall dapat diartikan sebagai sebuah daerah berbentuk memanjang yang dinaungi pepohonan dan biasanya difungsikan untuk berjalan-jalan. b. Mall merupakan sebuah tempat perbelanjaan yang memiliki inti sebanyak satu maupun beberapa department store besar sebagai daya tarik (Anchor Tenant) dari retail-retail kecil dan tempat makan makan yang menghadap ke koridor utama mall atau pedestrian yang merupakan unsur utama dari sebuah mall, dengan fungsi sebagai sirkulasi dan sebagai ruang publik untuk interaksi antar pengunjung dan pedagang (Maitland dalam Marlina, 2008:215). Sehingga dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Mall adalah sebuah fasilitas komersil yang berfungsi sebagai fasilitas rekreasi yang didesain untuk menghubungkan dua atau lebih retail besar sebagai magnet pengunjung dan dikelilingi oleh retail-retail kecil. Pengunjung mall melakukan kegiatan rekreasi dengan berjalan-jalan sambal melihat barang-barang yang dijual. 4.1.2.

Elemen-Elemen Mall

Harvey M. Rubenstein menjabarkan elemen-elemen yang ada pada mall sebagai berikut: a. Atrium Atrium adalah ruang kosong atau void yang diapit secara horizontal oleh lapisan lantai kedua atau lebih, dengan ketinggian dua lantai atau lebih yang menjadi pusat orientasi. b. Magnet(Anchor Tenant) (Penjelasan lebih lanjut pada bagian 2.2. Anchor Tenant) c. Koridor Koridor merupakan ruang pejalan kaki. Koridor terbagi menjadi dua macam yakni: 1. Koridor Utama 2. Koridor Sekunder(tambahan) d. Street furniture Merupakan elemen desain yang melengkapi suatu jalan. Contoh: kursi, lampu jalan, patung, kolam, tempat duduk, tempat sampah, pot tanaman, dan lain-lain. 24


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.2. Anchor Tenant Pertokoan dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu, Anchor Tenant dan Non-Anchor Tenant. Anchor Tenant merupakan retail utama atau paling besar sementara Non-Anchor Tenant merupakan retail-retail kecil yang berada di antara Anchor Tenant. Anchor Tenant adalah penyewa ruang yang mempunyai potensi besar untuk bisa menarik pengunjung dengan skala yang besar. Peletakan Anchor Tenant berkaitan juga dengan komposisi peletakan seluruh tenant yang ada di mall. Komposisi yang baik dibutuhkan agar sirkulasi pengunjung menyebar ke segala penjuru mall. Komposisi ini memperhatikan beberapa pertimbangan, diantaranya tipe, ukuran, jumlah, serta lokasi tenant berdasarkan kelas. Menurut Darlow (1972), dalam menata mall terdapat berapa pola Anchor Tenant yang dapat digunakan pada desain mall. Anchor Tenant (M) merupakan tenant dari berbagai brand terkenal. Hal ini dikarenakan brand yang terkenal dapat menarik minat pengunjung dan dapat menjadi pusat perhatian dibandingkan dengan retail lain.

P elet akk an Anc hor Ten ant me mili ki Rule of Thumb diantaranya:

Gambar 1 Pola peletakan Anchor Tenant (Sumber: Darlow)

1. Meletakkan Anchor tenant pada ujung yang bersebrangan dan meletakkan tenant yang lebih kecil pada ruang yang menghubungkan kedua Anchor Tenant. 2. Meletakkan Anchor tenant jauh dari pintu masuk utama untuk menarik pengunjung melewati tenant yang lebih kecil. 3. Menghindari culs de sac karena mengurangi pergerakan pengunjung

Lokasi peletakan tenant juga dipengaruhi beberapa poin berikut: a.

Arus pengunjung

25


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Arus pengunjung yang paling tinggi berada di bagian tengah mall (biasanya berada atau deat dengan food court) b.

Penyebaran toko yang memiliki tipe barang/jasa yang sama Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan kerumunan hanya pada satu sisi. (Carter & Haloupek (2002))

c.

5.

Pemusatan Tipe Toko (Des Rosiers, et al. (2009); Eppli & Shilling (1995))

DESKRIPSI KASUS

5.1. Tinjauan Kasus Dalam penelitian seminar ini, dipilih Paris Van Java sebagai objek penelitian untuk mengevaluasi peletakan Anchor Tenant terhadap pergerakan pengunjung. Paris van Java merupakan pusat perbelanjaan atau mall yang terletak di Jl. Sukajadi No. 137-139, Bandung, Jawa Barat 40162. Mall ini diresmikan pada bulan Juli 2006. Mall ini dirancang dengan nuansa open air yang alami serta konsep bangunan dengan desain mediteranian. Paris Van Java terbagi menjadi 4 level yaitu Resort Level, Glamour Level, Sky Level, dan Concourse Level. Anchor Tenant mall ini adalah Sogo Department Store, Carrefour, toko buku Gramedia, dan bioskop CGV Blitz. Berikut adalah daftar tenant yang ada di Paris van Java: Tabel 1. Daftar Tenant Paris Van Java Lantai

Tenant

LG (Concourse Level)

A&W, Advance, ATM Bank Mega, ATM OCBC NISP, Canadian Chiropractic, Carrefour, D'Glace Ice Cream, Indovision, Jurassic World Kids Playground, Kids Smile, Kid X, Mister Baso, Mr. Blend, PAXI Barbershop, Pet & Co, Snack Corner, TUSBowl Asian Street Food

UG (Glamour Level)

Allamanda, ATM BCA, ATM Mandiri, Bank BJB, Bao Dim Sum, Bellagio, Boeatan Bandung Bagus-Bagus, BreadTalk, Cellini, Charmant, Chocodot, Chocolat, Cold Stone Creamery, Cool Kids, D'Paris, D'Renbellony, Daiso, Dicken's, Dot Bravo, Dravyena Couture, ELC (Early Learning Center), Et Cetera, EVB, Fisik, Game Master(Sekarang sudah pindah ke lantai sky level), Global Fortuna, Gramedia, Guardian, Ice Cream Gentóng, Heartwarmer, Icons, Innovation Store, Jonas Photo, Just For Kids, Justice, Kettler, KhakiKakiku, Kimochi, Kinderhaus, Lock n Lock, Loly Poly, M1 Hobby, Marie Kay, Mikkiyo, Miss Selfridge, Missha, Mothercare, Myrtle, My Size, Naughty, Nautica, New Look, Next, Opera, Ozero, Papa Xous, Papaya Supermarket, Payless Shoesource, Pendopo Anjani, Perfect Health, Pet & Co Resto, Pet Shop, Puma, Purezento, Qua Li, Quinna Molla, Rinnai, Risik, Sagoo Kitchen, Samba, Shaga Fitness & Health, Skechers, Smitten Yoghurt, Soccer Station, Sogo Dept. Store, Sour Sally, SpEx Symbol, Sport Station, Sushi Tomo, Symbolize, Tahu Talaga, This Is April, Thumb Thumb Bear, Tifanny's House, Tutti Frutti, Valire, Wahana Kerang, Wakaka Simply Asian Meals, Wellcomm, X8, XOXO, Zona Digital

GF (Resort Level)

Aigner, Arnon Brook, ATM ANZ, ATM Citibank, ATM HSBC, Auntie Anne's, Azzura, Baby belle, Bally H.O.B, Bébé Bloom, Beetlebug, Berry Castle, Blitzmegaplex, BMC, Briko, Burger King, By The Sea, Cache & Cache, Cafe Halaman, Calvin Klein, Carla On Stage, Central Watch, Charles & Keith, Chung Gi Wa, Converse, Crackberry, DairyQueen, Day's & Smoothie, De'ritz, Diamond House, Dorothy Perkins, Duta Suara Musik, Everbest, Evita Peroni, Front Page, Giordano, H&M, Inul Vizta Family Karaoke, J.CO Donuts & Coffee,

26


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 Javana Bistro, Jeju Ice Cream, KFC, Kenny Rogers Roasters, Kipling, Lacoste, Laya, Le Monde, La Pucci, La Senza, Liebeskind Berlin, Little Tokyo, Logo, Lumière, Manchester United Café & Bar, Mango, Marks & Spencer, Marks & Spencer Food Section, Memang Beda Art Giftshop, Ménél, Mocha Blend, Nike, Nine West, Nixon, One Art, Optik Melawai Gallery, Optik Seis, Optik Tunggal, OXA, Paris Hilton, Pepper Lunch, Perfect Fit, Phoebe & Chloe, Planet Sports, Planet Surf, PLG, Précieux, Promod, Quiksilver, Raffels, Rip Curl, Rollaas Cafe, Roxy, Samaya, Samsonite, Secret Garden, Shin Men Japanese Resto, Skin Food, Sogo Dept. Store, Sport Station, Stradivarius, Stocking House, Sushigroove, Swatch, Ta Wan Restaurant, The Body Shop, The Face Shop, The King Duck, The Pancake Parlour, Tissot, Top Man Top Shoes, Travelogue, Urban Icon, Vans, Victoria"s Secret, Watch Club, Watch Zone, Wonderful Batik, Wongbandung, Zara, Zenbu, Zoom, Zuki Suki 1 (Sky Level)

CGV Blitz, Celebrity Fitness Express, CLCC, DailyFresh, Garden Ice, Ginza Teppanyaki, Lactasari, Optimal Chiropractic, Richeese Factory, Samudera Suki

P7

CGV Blitz Velvet Class

Soho Building

Aviary, Daily Foodhall, Telkomsel Grapari, Wall Street English (Sumber: Wikipedia, 2016 )

Gambar 5 Denah PVJ lantai 1 (Sky) (Sumber: http://parisvanjava.id/)

Gambar 6 Denah PVJ lantai Blitz (Sumber: http://parisvanjava.id/)

27


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 2 Denah PVJ lantai LG (Concourse)

Gambar 3 Denah PVJ lantai UG (Glamour)

(Sumber: http://parisvanjava.id/)

(Sumber: http://parisvanjava.id/)

Gambar 4 Denah PVJ lantai GF (Resort) (Sumber: http://parisvanjava.id/)

5.2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan survey langsung ke Paris van Java dan purposive sampling melalui wawancara pengunjung. Jumlah data yang diolah berjumlah 17 data dari 17 responden berbeda. Tabel 1 menunjukkan data daftar responden yang di wawancarai dan Tempat Tujuan awal mereka datang ke Paris Van Java. Hasil dari wawancara responden ini akan digunakan untuk memperoleh data penelitian. Tabel 2. Daftar Responden No.

Tempat Tujuan Awal

Berkunjung bersama

Nama

Umur

Teman / sendiri

Karissa Retna Gabby Mita Nurul Nora Retno Raja

21 Tahun 21 Tahun 21 Tahun 20 Tahun 21 Tahun 21 Tahun 21 Tahun 20 Tahun

9

Ari

23 Tahun

10 11

Putri Nanda

26 Tahun 21 Tahun

HnM Wall Street HnM Gramedia HnM CGV Blitz FukuZushi HnM/ Stradivarius Gramedia CGV Blitz

Rahmawati Meli Dewi

61 Tahun 31 Tahun 32 Tahun

Carrefour Zara, HnM Pertama kali

1 2 3 4 5 6 7 8

1 2 3

Keluarga

28


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4 5 6

Arlene Esti Tina

20 Tahun 45 Tahun 48 Tahun

berkunjung HnM The Body Shop Sogo

(Sumber:Data Penulis )

Melalui wawancara dengan responden didapatkan data-data mengenai tempat tujuan awal tiap responden, Anchor Tenant yang sering dikunjungi, fasilitas umum yang sering dikunjungi, serta urutan tenant-tenant yang dikunjungi responden saat berkunjung ke Paris van Java. Hasil wawancara ditunjukan pada diagram satu sampai diagram enam.

Diagram 1 Responden yang langsung Mengunjungi Tujuan Awal

Diagram 2 Responden yang langsung pulang (Sumber: Analisis Penulis)

(Sumber: Analisis Penulis)

Diagram 3 Anchor Tenant

Diagram 4 Fasiltas Umum

(Sumber: Analisis Penulis)

(Sumber: Analisis Penulis)

29


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Diagram 5 Alur pergerakan pengunjung yang berkunjung bersama teman (Sumber: Analisis Penulis)

6.

Diagram 6 Alur pergerakan pengunjung yang berkunjung bersama keluarga (Sumber: Analisis Penulis)

ANALISIS DAN INTERPRETASI

6.1. Analisis Data Dari gambar denah PVJ pada tinjauan kasus dapat disimpulkan bahwa letak Anchor Tenant di dalam PVJ diletakkan di ujung- ujung koridor yang ada di Paris van Java. Akan tetapi, tidak ada lantai yang memiliki Anchor Tenant di kedua ujungnya, mayoritas dari Anchor tenant berada di sisi kiri dari pintu masuk utama. Selain itu terdapat Anchor Tenant yang letaknya bersebelahan yaitu Sogo dan Gramedia di Lantai UG (Glamour). Hal lain yang dapat disimpulkan adalah setiap lantai pada Paris van Java memiliki jumlah koridor yang berbeda. Pada lantai LG (concourse) hanya terdapat satu koridor utama, Pada lantai UG ( Glamour) terdapat satu koridor utama dan satu koridor sekunder, Pada lantai GF (Resort) terdapat satu koridor utama dan dua koridor sekunder sedangkan pada lantai 1 (sky) tidak terdapat koridor penghubung antar ujung mall karena digunakan sebagai rooftop parking. Dari hasil wawancara responden yang telah dilakukan terdapat lima orang yang memiliki tempat tujuan awal ke Anchor tenant yang dapat dilihat di tabel 1. Dari jumlah reponden yang ada, 12 orang langsung mengunjungi tempat tujuan awal, dan semua responden tidak langsung pulang setelah mengunjungi tempat tujuan awal mereka yang dapat dapat dilihat dari diagram satu dan dua. Pada diagram tiga dapat disimpulkan bahwa Gramedia merupakan Anchor tenant yang paling sering dikunjungi responden pada kunjungannya ke Paris van Java yaitu sebanyak sepuluh orang, diikuti Sogo sebanyak delapan orang, CGV blitz 7 orang dan Carrefour sebanyak enam orang. Pada diagram empat dapat dianalisis bahwa toilet merupakan fasilitas umum yang paling sering dikunjungi pengunjung. Dari hasil wawancara responden yang telah diolah menjadi diagram lima dan enam dapat dilihat pola pergerakan dari tiap responden dan dapat disimpulkan frekuensi pergerakan pengunjung pada tiap koridor ditiap lantainya. Pada pola pergerakan responden yang berkunjung bersama teman frekuensi pergerakan terbesar berada di koridor utama lantai GF (Resort) dan di ujung- ujung koridor lantai GF (resort) dan LG (Glamour) sedangkan pada koridor sekunder ditiap lantai frekuensi pergerakannya cukup kecil sebagaimana dapat dilihat pada diagram lima. Pada pola pergerakan responden yang berkunjung bersama keluarga frekuensi pergerakan terbesar juga tersapat pada koridor 30


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

utama lantai GF (Resort) dan di ujung sisi kiri dari pintu masuk utama. Selain itu dapat diamati bahwa frekuensi pergerakan di koridor- koridor di lantai UG (Glamour) lebih besar dibandingkan pada responden yang berkunjung bersama teman sebagaimana dapat dilihat pada diagram 6.

/ SENDIRI

KELUARGA

Diagram 7 Perbedaan Preferensi Anchor Tenant pada tiap kategori (Sumber: Analisis Penulis)

Perbedaan yang dapat dilihat dari hasil wawancara responden yang berkunjung bersama teman dan responden yang berkunjung bersama keluarga adalah preferensi Anchor Tenant yang dikunjungi. Pada responden yang berkunjung bersama teman Anchor Tenant yang lebih sering dikunjungi adalah CGV Blitz dan Gramedia sedangkan pada responden yang berkunjung bersama keluarga yang lebih sering dikunjungi Sogo dan Carrefour. 6.2. Interpretasi Data Dari analisis yang telah dilakukan, konfigurasi letak Anchor Tenant dan pergerakan pengunjung di Paris van Java belum cukup baik. Anchor Tenant sudah diletakan jauh dari pintu masuk serta pada sisi-sisi koridor diletakan tenant-tenant kecil. Namun, Anchor Tenant di Paris van Java hanya diletakan disalah satu ujung saja yakni ujung kiri pintu masuk utama dan terdapat Anchor Tenant yang letaknya bersebelahan. Sedangkan pada sirkulasi koridor yang ada di Paris van Java, frekuensi pergerakan pengunjung terbesar hanya terjadi di daerah koridor utama Ground Floor serta di ujung sisi kiri dari pintu masuk. Hal ini dikarenakan mayoritas tenant yang ada di groundfloor berada dekat dengan pintu masuk sehingga lebih sering diakses pengunjung. Mayoritas responden mengunjungi Non-Anchor Tenant lain sebelum mengunjungi Anchor Tenant. Berdasarkan hal tersebut Anchor Tenant di Paris van Java sudah menjalankan perannya untuk menarik pengunjung melewati tenant lain. Dilihat dari pola pergerakan responden, ditemukan bahwa mayoritas responden mengunjungi tenanttenant baju seperti H&M, Berskha, dan Stradivarius. Hal ini menunjukan bahwa tenant tersebut dapat menarik pergerakan responden menuju tenant tersebut, sehingga tenanttenant ini juga dapat berperan sebagai magnet lain. Selain itu, Fasilitas umum seperti toilet juga dapat menarik pergerakan pengunjung kearahnya. Jadi konfigurasi Anchor Tenant, non-Anchor Tenant yang dapat berperan sebagai magnet, serta fasilitas umum yang sering digunakan dapat mempengaruhi pergerakan pengunjung di Paris van Java. 31


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pergerakan responden yang berkunjung bersama teman dan yang bersama keluarga memiliki pola pergerakan yang berbeda saat mengunjungi Paris van Java. Hal ini disebabkan karena memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap tenant yang dikunjungi. 7.

PENUTUP

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, konfigurasi Anchor Tenant di Paris van Java masih belum baik karena letaknya tidak berjauhan dan tidak memiliki anchor di kedua ujungnya. Sehingga menyebabkan pola pergerakan pengunjung yang tidak merata di semua koridor yang ada di Paris van Java. Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi pola pergerakan pengunjung, seperti Non-Anchor Tenant yang dapat berperan sebagai magnet, dan fasilitas umum. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa preferensi Anchor Tenant di setiap kelompok pengunjung, yakni keluarga dan anak muda, berbeda. Oleh karena itu, selain konfigurasi Anchor Tenant, desain konfigurasi ruang Paris van Java harus juga memperhatikan preferensi pengunjung agar tidak diletakkan berdekatan ataupun berada di sisi yang sama. 8.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Stephen(1991). “Tenant Placement in Planned Shopping Centres : Implication of an Observation Survey”. Jounal of Property Research, 179-187. Susanta, I Nyoman(2016). “Beach Mall di Gianyar, Bali”. Jurnal Arsitektur. Carter, Charles C. & Allen, Marcus T. (2012). A Method for Determining Optimal Tenant Mix (Including Location) in Shopping Centers. Cornell Real Estate Review, 10, 72-85. http://parisvanjava.id/

32


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI KETERSEDIAAN RUANG BERDASARKAN STANDAR PADA GEDUNG PERTUNJUKAN DI KOTA BANDUNG Elvira TANAYA (1), Eunike ELIZABETH (2), dan Gabriela KARNADI (3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) elviratanaya@students.ar.itb.ac.id; (2) eunikelizabeth@students.ar.itb.ac.id; (3) gabriela.k@students.ar.itb.ac.id

ABSTRAK Potensi seni yang tinggi di Kota Bandung ditunjukan dengan banyaknya komunitas seni baik formal maupun informal. Komunitas- komunitas ini tentunya melakukan pementasan yang membutuhkan ruang untuk mewadahi kegiatan tersebut. Sehingga muncul kebutuhan yang tinggi akan ruang pertunjukan yang salah satunya diwujudkan melalui gedung pertunjukan. Namun, keberadaan gedung pertunjukan tidak hanya sebatas pada ketersedian serta kemampuannya untuk digunakan. Pemenuhan kebutuhan ruang secara maksimal dan efesien juga harus diperhatikan dengan melihat kesesuaiannya dengan standar. Terdapat beberapa gedung pertunjukan di Kota Bandung yang sering digunakan sebagai tempat pementasan seni yaitu Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat “Dago Tea House�, Gedung Pertunjukan Rumentang Siang, dan Gedung Kesenian Sunan Ambu. Pada Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, lobby utama ditunjukan untuk melayani pejabat pemerintah sedangkan publik menggunakan lobby alternatif yang tidak berkeadaan seperti lobby pada umumnya. Pada Gedung Pertunjukan Rumentang Siang, perubahan fungsi bangunan dari bioskop ke gedung pertunjukan menyebabkan beberapa bagian bangunan seperti auditorium dan belakang panggung tidak memiliki kesesuaian dengan standar. Sedangkan pada Gedung Kesenian Sunan Ambu, lokasinya yang berada di kawasan perguruan tinggi menyebabkan pelayanan khusus pada penonoton kurang diperlukan yang ditandai dengan sirkulasi utama yang bercampur antara penonton dengan performer. Kesenjangan antara standar dengan implementasi pada ketiga gedung ini terjadi akibat kecenderungan pengurus dalam memperlakukan gedung serta perubahan fungsi yang pernah terjadi, sehingga menghasilkan ketidaksesuaian dengan standar. Maka, dalam merancang gedung pertunjukan perlu memperhatikan aspek pengurus dan pemegang kepentingan serta kesiapan arsitek terhadap re-desain bangunan yang beralih fungsi agar bangunan tetap sesuai dengan standar. Kata Kunci: Standar, gedung pertunjukan, kesesuaian, ketersediaan ruang, pengurus, fungsi

9.

PENDAHULUAN

Bandung merupakan sebuah kota yang memiliki potensi seni yang tinggi, salah satunya ditunjukan dengan banyaknya komunitas seni. Berdasarkan data yang berasal dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Bandung, terdapat lebih dari lima ratus lingkung seni atau sanggar yang memiliki legalitas. Di luar itu juga, terdapat komunitas-komunitas seni yang bersifat informal. Sanggar maupun komunitas tersebut tentunya melakukan pementasan dalam jangka waktu tertentu. Dengan banyaknya kegiatan pementasan tersebut, maka muncul juga kebutuhan yang tinggi akan ruang pertunjukan. Salah satu wujud ruang pertunjukan tersebut adalah gedung pertunjukan. Gedung pertunjukan membutuhkan kelengkapan ruang tertentu agar dapat mewadahi kegiatan pertunjukan dengan maksimal. Maka, dibutuhkan suatu ketentuan terhadap 33


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

kebutuhan ruang gedung pertunjukan, yang dirumuskan dalam standar gedung pertunjukan. Namun tidak semua gedung pertunjukan memenuhi standar yang ada, pada kenyataannya kelengkapan ruang yang disediakan juga berbeda-beda sekalipun dikelola oleh dinas yang sama. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai evaluasi ketersediaan ruang berdasarkan standar pada gedung pertunjukan di Kota Bandung.

10. STANDAR GEDUNG PERTUNJUKAN Berdasarkan Time-Saver Standards for Building Types, sebuah gedung pertunjukan dibagi menjadi tiga area/ zonasi, yaitu Front of the House, House, dan Back of The House. Area Front of the House merupakan bagian depan dari gedung pertunjukan sebagai perantara menuju auditorium utama. Area ini dibagi menjadi dua bagian utama yaitu meliputi lobby dan parkir. Pada area lobby terdapat ticketing, toilet penonton, dan area konsensi serta berfungsi sebagai ruang sosialisasi penonton sehingga area ini harus menciptakan kesadaran pengunjung akan ruang serta kemudahan akses pada seluruh fasilitas yang ada. Selain itu, pada area parkir yang terdiri dari drop-off dan tempat parkir, haruslah memiliki kemudahan dalam akesibilitas, mewadahai seluruh penonton yang berkendara serta terlindung dari cuaca. Area yang didominasi sebagai kegiatan pengunjung ini, haruslah memperhatikan kenyamanan dan kemudahan pencapaian dalam mengakses setiap fasilitas yang ada. Oleh karena itu, konfigurasi antar ruang harus jelas yang ditandai dengan efesiensi sirkulasi untuk menciptakan kemudahan wayfinding. Area utama pada gedung pertunjukan berupa auditorium, yang disebut sebagai zona House. Sesuai dengan arti gedung pertunjukan itu sendiri, sebagai tempat mempertunjukan seni kepada penonton, maka kualitas auditorium harus memberi kenyaman visual serta audial bagi penonton. Beberapa prinsip yang mempengaruhi kualitas visual berupa jarak panggung dengan tempat duduk baris pertama minimal 1,5 meter, tinggi panggung minimal 75 – 100 sentimeter, tinggi setiap baris kursi penonton minimal 24- 30 sentimeter dengan jarak semakin tinggi ke belakang, dan rancangan tempat duduk berbentuk radial untuk mencegah terhalangnya pandangan penonton. Sedangkan kualitas audial diperoleh dari perancangan akustik yang memperhatikan sifat pemantulan dan penyerapan bunyi. Pemantulan bunyi dihasilkan melalui material dengan permukaan keras dan diaplikasikan dengan perundakan pada langit- langit bangunan sedangkan penyerapan bunyi dihasilkan melalui material lunak dan berpori yang diaplikasikan pada dinding bangunan. Area Back of the House, merupakan area khusus bagi performer sebagai pengisi kegiatan pada gedung pertunjukan itu sendiri. Area ini meliputi ruang ganti yang terbagi menjadi ruang ganti utama (untuk satu orang dengan kamar mandi dalam) dan umum (untuk beberapa orang dan tidak selalu beserta kamar mandi), toilet performer yang berada di belakang panggung dan mudah diakses dari panggung dan ruang ganti, ruang penyimpanan alat, loading dock dengan akses langsung ke panggung tanpa terlihat oleh sirkulasi penonton, dan kantor produksi untuk mengatur aspek produksi seperti pencahayaan dan suara. Oleh karena fungsi ruang pada area ini yang ditujukan bagi performer, maka peletakannya harus memperhatikan sirkulasi performer dan saling berdekatan satu sama lain untuk memudahkan mobilisasi dalam berkegiatan 11. GEDUNG PERTUNJUKAN DI KOTA BANDUNG Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gedung adalah bangunan tembok dan sebagainya yang berukuran besar sebagai tempat kegiatan, seperti perkantoran, pertemuan, perniagaan, pertunjukan, olahraga, dan sebagainya. Sedangkan, seni pertunjukan adalah sebuah keahlian/keterampilan yang memiliki nilai keindahan dan makna khusus yang dikomunikasikan dengan cara dipertontonkan pada suatu ruang pertunjukan kepada penonton. (Isabella, 2008). Maka, gedung pertunjukan adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk mewadahi kegiatan seni yang akan dipertunjukan kepada penonton. 34


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi terhadap gedung pertunjukan di Bandung dari segi kesesuaian dengan standar serta kualitas ruang tersebut. Gedung Pertunjukan yang dipilih sebagai objek penelitian seminar ini adalah Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat “Dago Tea House” (Jalan Bukit Dago Selatan No. 53 A, Bandung), Gedung Kesenian Rumentang Siang (Jalan Baranang Siang No.1, Bandung), dan Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI (Jalan Buah Batu No. 212, Bandung). Pengamatan dan analisis dilakukan berdasarkan komponen gedung pertunjukan menurut Time Saver for Building Types, yaitu Front of the House, House, dan Back of The House.

Gambar 1. Denah Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat

Gambar 2. Denah Gedung Sunan Ambu ISBI

35


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Denah Gedung Rumentang Siang

12. KESESUAIAN GEDUNG PERTUNJUKAN DI BANDUNG DENGAN STANDAR Berdasarkan data yang diperoleh, pada gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat “Dago Tea House� terdapat lobby yang tidak memiliki konsesi dan tidak ditujukan untuk melayani publik, tetapi ditujukan untuk melayani pejabat pemerintah saja. Untuk publik, disediakan lobby alternatif yang berada di selasar samping gedung pertunjukan dan masuk melalui pintu samping dari gedung pertunjukkan. Pada saat ramai, antrean masuk ke gedung bertabrakan dengan jalur kendaraan karena tidak tersedianya ruang yang memadai bagi pengunjung untuk mengantre maupun menunggu. Kekurangan pada bangunan ini juga terletak pada tidak tersedianya jalur khusus bagi pejalan kaki dari gerbang masuk menuju pintu masuk gedung. Hal ini menyebabkan pejalan kaki harus berbagi jalan dengan pengendara bermotor yang akan membahayakan dirinya maupun pengendara bermotor. Selain itu, toilet untuk publik jauh dari pintu utama gedung dan tidak memiliki signage. Sehingga dapat menyulitkan pengunjung untuk menggunakan fasilitas toilet tersebut.

Gambar 4. Lobby utama Teater Tertutup

36


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 5 Lobby alternatif Teater Tertutup

Penyebab dari kekurangan bangunan ini terjadi karena pengurus gedung mengkhususkan fasilitas front of the house untuk melayani pejabat pemerintah saja, sebab jika lobby utama dapat digunakan oleh publik maka fasilitas jalur teduh dan toilet dapat juga digunakan oleh publik. Tidak tersedianya lobby serta fasilitas penunjang untuk publik, menjadikan Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat tidak sesuai dengan standar gedung pertunjukan. Gedung Pertunjukan Rumentang Siang memiliki lobby dengan fasilitas lengkap, yaitu toilet dan konsesi. Lobby ini ditujukan untuk umum dan memberikan kesan penyambutan dengan ketinggian langit-langit setinggi dua lantai, serta kemudahan wayfinding. Namun, konfigurasi ruang di backstage kurang baik, terutama pengaturan ruang rias yang memisahkan area pria dan wanita hanya dengan sekat dinding serta peletakan toilet yang tidak mudah diakses oleh seluruh performer. Toilet hanya tersedia di dalam ruang rias pria dan di samping ruang persiapan, sehingga performer dari ruang rias wanita harus melewati ruang lain terlebih dahulu untuk dapat mencapai toilet.

Gambar 6. Lobby Rumentang Siang

Pada bagian auditorium, ketinggian pandangan pada tempat duduk baris akhir tepat sejajar dengan ketinggian panggung, sehingga dapat menyebabkan ketidaknyamanan visual akibat terhalangnya pandangan panggung dengan penonton lain. Kekurangan pada bangunan menyebabkan tidak tercapainya standar bagi gedung ini. Hal ini disebabkan, karena pada awalnya bangunan ini tidak didesain untuk memenuhi fungsi gedung pertunjukan, namun gedung bioskop Gedung Kesenian Sunan Ambu tidak memiliki fasilitas yang lengkap, terutama pada lobby yang tidak memiliki konsesi serta tidak memberi kesan menyambut karena lobby berupa koridor panjang dengan ketinggian langit-langit yang rendah. Koridor panjang juga menyebabkan wayfinding yang kurang baik dalam gedung ini. Selain wayfinding, sirkulasi 37


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

penonton dan performer bersatu. Hal ini sangat tidak sesuai dengan standar gedung pertunjukan, karena pemisahan jalur sirkulasi bagi penonton dan performer adalah suatu hal yang penting. Selain itu, auditorium memiliki pengaturan tempat duduk berbentuk segi empat dengan tonjolan kolom pada bagian samping sehingga terdapat beberapa titik yang terhalang. Namun, jika ditinjau dari lokasi gedung yang berada di dalam kawasan perguruan tinggi serta ditujukan untuk kepentingan pendidikan mahasiswa, maka pelayanan khusus pada penonton memang tidak terlalu diperlukan.

Gambar 6. Lobby Gedung Sunan Ambu

Gedung-gedung pertunjukan yang banyak digunakan, yakni Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Rumentang Siang, dan Sunan Ambu memiliki kesenjangan antara standar gedung pertunjukan dengan pemenuhannya dalam gedung-gedung tersebut. Kesenjangan tersebut mengakibatkan kondisi gedung pertunjukan tidak cukup berkualitas dalam mengakomodasi kebutuhan pementasan pertunjukan di kota Bandung 13. ASPEK PENENTU KESESUAIAN GEDUNG PERTUNJUKAN DENGAN STANDAR Semua gedung pertunjukan yang ada di Bandung berada dalam pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Meskipun berada dalam naungan pengelolaan dari dinas yang sama, kualitas gedung berbeda satu sama lain. Kekurangan dan kelebihan, serta pemenuhan standar gedung pertunjukan juga memiliki perberbedaan antar gedung pertunjukan satu dengan lainnya. Dalam perbedaan yang telah dipaparkan pada analisis sebelumnya, ditemukan kesenjangan antara standar gedung pertunjukan dengan pemenuhannya di lapangan. Kesenjangan terjadi dikarenakan beberapa hal, yakni pengurus bangunan dan fungsi awal bangunan. Pengurus bangunan berperan dalam menentukan sejauh apa renovasi gedung dilakukan serta perawatan apa yang dikerjakan pada gedung pertunjukan. Selain itu, dalam hal penggunaan gedung dan ruangan-ruangan di dalamnya, pengurus memiliki kewenangan dalam menentukan siapa saja yang dapat dan tidak dapat menggunakan serta mengakses ruangan-ruangan yang ada. Pada kasus Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, lobby yang seharusnya digunakan untuk melayani publik ditutup menjadi tempat yang khusus melayani pejabat pemerintah. Hal ini berakibat pada pelayanan kepada publik yang menurun dan tidak nyaman, sebab tidak ada desain front of the house yang berpatokan kepada publik . Berbeda dengan standar yang memberikan area front of the house sebagai area publik. Pada gedung pertunjukan Sunan Ambu, didapati lobby yang dikunci pada hari-hari dimana tidak ada aktivitas yang berlangsung di dalam gedung, sehingga akses tidak sebebas pada gedung Rumentang Siang. Kebebasan akses terhadap area front of the house pada gedung Sunan Ambu dipegang oleh staff ISBI. Dalam kasus gedung pertunjukan Rumentang Siang, pengurus bangunan membuka akses lobby beserta fasilitas front of the house lainnya kepada publik setiap hari. Sehingga desain yang memang ditentukan untuk melayani dan mengakomodasi kebutuhan publik lewat front of the house dapat terpenuhi. 38


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Hal ini yang membuat Rumentang Siang memenuhi standar gedung pertunjukan dalam area front of the house. Hal ini menunjukan bahwa akses terhadap ruang-ruang dipengaruhi oleh pengurus gedung kesenian. Di sisi lain, akses terhadap ruang-ruang akan berpengaruh terhadap pemenuhan standar gedung kesenian. Terjadinya kesenjangan juga disebabkan oleh fungsi bangunan tersebut, baik karena terjadinya perubahan fungsi maupun karena fungsi yang tidak ditujukan untuk umum. Gedung Pertunjukan Rumentang Siang merupakan gedung yang dibangun pada era Belanda, dengan fungsi awal berupa bioskop. Seiring berjalannya waktu, Indonesia merdeka dan pemerintah memberikan gedung tersebut kepada seniman sebagai gedung kesenian. Maka terjadi perubahan fungsi gedung yang semula berfungsi sebagai bioskop menjadi gedung pertunjukan. Kesenjangan yang terjadi akibat perubahan fungsi gedung menyebabkan sulitnya terpenuhi standar gedung kesenian, serta sulitnya mencapai tingkat nyaman bagi pengguna gedung sebab gedung ini pada awalnya di desain sebagai gedung bioskop. Hal ini membuat konfigurasi ruang dan ketersediaan lahan akan terbatas dalam memenuhi standar juga kualitas gedung pertunjukan. Pada gedung Sunan Ambu, gedung dibangun dengan tujuan utama sebagai wadah pendidikan bagi mahasiswa didalamnya. Sehingga gedung tersebut sejak awal difungsikan sebagai tempat pendidikan, bukan pemenuhan pelayanan terhadap ruang pertunjukan umum masyarakat Bandung. Sehingga dalam implementasi desain gedung, adanya tumpang tindih sirkulasi antara performer dan penonton bukanlah masalah besar, sebab penonton dan performer sama-sama berasalah dari dalam kampus dengan tujuan pendidikan bukan komersil maupun pertunjukan ke masyarakat luas. 14. PENUTUP

Adanya kecenderungan tertentu dalam memperlakukan akses ruangan oleh pengurus bangunan, menghasilkan kesesuaian/ketidaksesuaian gedung pertunjukan dengan standarnya. Perbedaan fungsi awal gedung dengan penggunaannya sekarang sebagai gedung kesenian juga dapat memberikan kesenjangan terhadap penerapan standar dalam sebuah desain. Selain itu, kesenjangan dengan standar dapat terjadi jika fungsi bangunan tidak ditujukan untuk publik seperti yang terjadi pada gedung Sunan Ambu. Sehinga dapat disadari bahwa desain tidak selalu selaras dengan implementasi. Pihak pengurus serta fungsi gedung berpengaruh terhadap implementasi desain sebuah gedung pertunjukan. Maka, dalam mendesain gedung perlu mempertimbangkan pengurus maupun pemegang kepentingan agar gedung dapat tetap memenuhi standar. Jika terdapat kasus dimana pengurus membutuhkan ruangan untuk melayani golongan tertentu, gedung harus tetap menyediakan ruangan untuk umum yang memenuhi standar. Pada gedung yang mengalami peralihan fungsi, arsitek harus siap dengan proses re-desain yang memiliki kondisi awal bangunan yang tidak memadai sehingga perlu penyesuaian agar tetap sesuai dengan standar. 15. DAFTAR PUSTAKA Andreas, Isabella Isthipraya (2008) Analisis Kebutuhan Interior Ruang Panggung dalam Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Barat (Requirements Analysis of Stage Space for Traditional West Java Performance Art) dalam Jurnal Ambiance Universitas Krsiten Maranatha Chiara, Joseph De dan Michael J. Crosbie (2001). Time Saver for Building Types Fourth Editon. New York: McGraw-Hill.

39


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dinas

Pariwisata dan Budaya Jawa Barat (2015). Rekapitulasi Seni/Sanggar/Padepokan Per Kecamatan Disbudpar Tahun 2015.

Data

Seni

Budaya

Lingkung

Neufert, Ernst, Peter Neufert, dan Johannes Kister (2012).Neufert’s Architect’s Data Fourth Edition. Oxford: Wiley Blackwell.

40


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

KESERASIAN KAIDAH KONSERVASI DENGAN PENERAPANNYA PADA BANGUNAN LABORATORIUM HIDRAULIKA DAN LABORATORIUM MEKANIKA FLUIDA Andyani Putri KINANTI(1), Mawaddah WARAHMAH(2), Anggun Indah SARI(3), Fadhila Imanaranti SANTOSA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) andyaniputri@students.ar.itb.ac.id; (2) mawaddah.warahmah@students.ar.itb.ac.id; (3)anggun.indah@students.com, (4)fadhilaimanaranti@yahoo.co.id

ABSTRAK Konservasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan demi melindungi informasi akan sejarah yang terkandung dalam sebuah objek/artefak. Kaidah yang menjadi patokan pelaksanaan konservasi pada tiap negara, bahkan tiap objek akan beberda-beda bergantung pada nilai-nilai yang menjadi perhatiannya. Berdasarkan nilai-nilai yang mendasari pelaksanaan konservasi, jurnal ini akan membahas bagaimana konservasi menjadi sesuai dengan kebutuhan pengguna yang terwujud melalui pengembangan elemen-elemen dan analisis dampak pengembangan pada kedua bangunan bersejarah di kampus ITB, yaitu Laboratorium Hidraulika dan Laboratorium Mekanika Fluida. Kata Kunci: konservasi, kaidah, nilai, Laboratorium Hidraulika, Laboratorium Mekanika Fluida.

16. PENDAHULUAN Konservasi arsitektur adalah penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi. Dalam Burra Charter, konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Bangunan-bangunan bersejarah yang merupakan artefak peninggalan sejarah dapat menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa yang memilikinya. Aula Barat dan Timur ITB contohnya yang telah menjadi kebanggan kampus ITB, salah satu institut tertua di Indonesia, dan menjadi saksi bisu dalam perkembangan Indonesia sendiri. Aula Barat dan Aula Timur adalah salah satu representasi dari langgam bangunan pada zaman itu yang merupakan manifestasi dari kejeniusan Mclaine Pont dalam mengawinkan teknologi modern dengan arsitektur lokal Indonesia. Bukankah kita beruntung, bangunan dari zaman 41


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

entah berapa lampau silam itu masih berdiri kokoh, terjaga keasliannya, dan kita sebagai manusia yang hidup di masa milenium ini dapat tetap menikmatinya. Tentunya bangunanbangunan tersebut tidak dapat bertahan selama itu dengan sendirinya, bukan? Terdapat hal-hal maupun upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia untuk membuat bangunan bersejarah itu tetap terawat sehingga layak untuk dinikmati oleh manusia masa sekarang. Hal itulah yang disebut dengan konservasi arsitektur. Laboraorium Hidraulika serta Laboratorium Mekanika Fluida merupakan contoh lain bangunan bersejarah yang umurnya hamper setua Aula Barat dan Aula Timur. Kedua gedung tersebut dirancang oleh Maclaine Pont bersamaan dengan master plan ITB. Dalam mempertahankan bangunan cagar budaya yang ada di ITB, maka dilakukan langkahlangkah perbaikan yang sesuai dengan konteks bangunan tersebut. Perbaikan bangunan cagar budaya di ITB sering dilakukan dengan metode konservasi. Salah satu tujuan pelaksanaan konservasi adalah untuk mempertahankan identitas Kampus ITB.

17. PRINSIP DAN NILAI KONSERVASI Konservasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Namun pada dasarnya konservasi lebih bersifat kondisional. Konservasi sebuah bangunan tidak hanya mempertahankan masa lampau tapi juga mempertimbangkan kondisi saat ini yang berkaitan dengan bangunan tersebut. Sementara, tiap kasus konservasi memiliki urgensi yang berbeda-beda. Untuk itu, konservasi sulit untuk distandardisasi. Untuk menentukan kesesuaian dengan kaidah konservasi Laboratorium Mekanika Fluida serta Laboratorium Hidraulika, maka digunakan kaidahkaidah sebagai berikut. 17.1. Prinsip-prinsip konservasi Prinsip-prinsip konservasi akan menjadi dasar pijakan dalam mempertimbangkan berbagai

keputusan

dalam

pelaksanaan

konservasi.

Dasar

pertimbangan

dari

mengonservasi adalah integritas dan keaslian (Orbasli, 2007). Sementara, menurut Architectural Heritage Protection: Guidelines For Planning Authorities, cara melestarikan sebuah bangunan adalah tetap menggunakan bangunan yang bersangkutan secara aktif. Penggunaan yang paling baik bila bangunan tersebut digunakan berdasarkan fungsi aslinya. Jika tidak, dituntut kehati-hatian dalam merawat bangunan tersebut agar tidak rusak karena berubah fungsi. Namun, sebelum eksekusi konservasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah meneliti sejarah bangunan tersebut dan memahami secara keseluruhan kondisi bangunan tersebut. Dalam hal ini diperlukan peran para ahli konservasi sehingga konservasi dapat 42


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dilakukan tepat sasaran sesuai dengan nilai yang ada pada bangunan tersebut. Nilai-nilai tersebut pula yang melandasi nilai khas dan karakteristik utama yang akan dibawa pada bangunan tersebut dan menjadi fokus konservasi. Peran ahli juga mencegah terjadinya intervensi dalam pelaksanaan konservasi, yaitu perbaikan yang dilakukan berlebihan sehingga dapat mengurangi karakter dan nilainilai sejarah bangunan itu sendiri. Jadi sebaiknya perbaikan dilakukan sesedikit mungkin dan hanya sebanyak yang diperlukan. Selain itu, pada bangunan lama, akan ada suatu saat dimana bangunan tersebut mengalami perubahan bentuk karena adanya perkembangan arsitektur terkait kebutuhan pengguna. Perubahan tersebut dapat dilihat seperti adanya penambahan beranda, balkon, dan lain-lain. Namun, perubahan tersebut tidak harus dikembalikan kebentuk awalnya jika dikonservasi. Pada dasarnya, untuk memelihara keautentikan bangunan bersejarah, lebih baik mengambil langkah memperbaiki dibanding mengganti elemen-elemen bangunan yang ingin dikonservasi. Hal ini disebabkan karena penggantian elemen asli dari sebuah bangunan dengan replika modern dapat mengurangi karakteristik bangunan. Konservasi yang baik seharusnya dilakukan dengan perbaikan dan penambahan elemen bangunan secara jujur. Maksudnya perbaikan dan penambahan yang dilakukan tidak terkesan memanipulasi bahkan sampai membingungkan catatan sejarah bangunan tersebut. Selain itu, perbaikan dan penambahan yang dilakukan tidak boleh mengurangi integritas visual bangunan tersebut. Penggunaan bahan dan metoda dalam konservasi bangunan harus tepat guna untuk mempertahankan bangunan dan memperpanjang umur bangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis terhadap bahan dan metoda yang akan dipakai. Apabila terjadi suatu penambahan dalam bangunan bersejarah yang bersangkutan, harus dipastikan bahwa penambahan tersebut dapat dibongkar tanpa meninggalkan kerusakan pada bangunan. Mencegah kerusakan berkala pada bangunan merupakan focus utama konservasi. Prinsip yang juga harus diperhatikan pada pelaksanaan konservasi adalah memperhatikan peraturan bangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 17.2. Nilai-nilai konservasi Pelaksanaan konservasi sebuah bangunan dimulai dengan menentukan nilai-nilai konservasi yang ada pada bangunan tersebut. Dengan menentukan nila-nilai konservasi kita dapat menentukan alasan mengkonservasi. Konservasi dapat dilakukan melalui banyak pendekatan nilai untuk kemudian dikhususkan ke dalam bentuk konservasinya (Orbasli, 2007). Beberapa nilai yang menjadi landasan sebuah bangunan dikonservasi antara lain nilai usia, nilai pendidikan, nilai arsitektural, nilai historis, nilai, artistik, nilai asosiatif, nilai budaya, nilai lokalitas, nilai emosional, nilai ekonomis, nilai lanskap, nilai 43


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

politik, nilai ilmu pengetahuan, nilai publik, nilai agama dan spiritual, nilai social, nilai simbolik, nilai teknik serta nilai terhadap kota. Nilai usia serta kelangkaan, karena sebuah nilai dapat berubah seiring waktu. Biasanya nilai sebuah benda juga akan bertambah ketika semakin langka. Kemudian, nilai arsitektural. Kekhasan arsitektur dapat menjadi nilai yang mendasari konservasi. Sebuah arsitektur dapat mewakili periode sejarah, perkembangan teknologi, bahkan budaya serta kondisi sosial masyarakat sekitarnya. Selanjutnya, Nilai artistik yang menganggap bangunan sebagai perwujudan sebuah karya seni dan menganggap karya seni merupakan hal tak terpisahkan dari bangunan yang akan dikonservasi. Nilai asosiatif yaitu nilai dari sebuah bangunan yang menjadi saksi sebuah sejarah, misalnya tempat terjadinya suatu peristiwa penting tentu memiliki nilai yang membuat bangunan tersebut pantas dikonservasi. Nilai budaya, yaitu merupakan nilai yang menunjukkan identitas sebuah budaya yang dipertahankan dalam rangka meneruskan nilai-nilai tradisi. Misalnya, rumah-rumah adat dari berbagai suku di Indonesia yang masing-masingnya memiliki identitas tersendiri, yang didasari filosofi akan sebuah keyakinan serta tradisi yang berbeda-beda. Sementara itu, Nilai ekonomis menjadikan sebuah bangunan konservasi memiliki potensi besar untuk daya tarik pariwisata, misalnya karena nilai-nilai sejarah serta budaya yang dimiliki bangunan tersebut. Selain itu, sejarah berharga salah satunya karena dapat menjadi pembelajaran. Benda-benda historis dapat menjadi alat pembelajaran akan sebuah sejarah bahkan makna sejarah, maka dari itu sebuah bangunan memiliki nilai pendidikan. Nilai emosional tua mbuh akibat sejarah yang memiliki keterikatan emosional terhadap seseorang dengan wujud sebuah bangunan atau sebuah tempat. Sementara nilai historis merupakan nilai dari sebuah bangunan yang tidak hanya merupakan saksi sejarah namun pelaku sejarah. Nilai lanskap merupakan nilai akibat Keterkaitan bangunan bersejarah dengan konteks lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, lokalitas dapat diperoleh dari kekhasan yang membuat suatu tempat berbeda dari tempat-tempat lain. Lokalitas bisa didapat dari nilainailai budaya. Yang tak kalah berpengaruh untuk menjadikan suatu bangunan menjadi bangunan konservasi adalah nilai politik. Hal ini diesebabkan karena konservasi merupakan hal tak terpisahkan dari politik. Politik memengaruhi keputusan dan kebijakan mengenai konservasi, sebaliknya, konservasi menyatakan sebuah kekuasaan.

44


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Selain itu, publik bisa jadi memiliki keterikatan tertentu dengan suatu objek arsitektur atau suatu tempat. Maka dari itu, kepentingan publik menjadikan konservasi sesuatu yang penting dan menjadikan suatu bangunan memiliki nilai publik. Sementar itu, nilai agama dan spiritual timbul apabila bagi seorang pemeluk agama, tempat ibadah bukan hanya sekedar bangunan, melainkan sebuah tempat keramat yang menjadi bagian dari perjalanan spiritualnya. Selanjutnya, nilai ilmu pengetahuan yaitu nilai yang tumbuh apabila sebuah bangunan merupakan sumber informasi yang kaya misalnya mengenai teknologi membangun, yang berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara, nilai sosial tumbuh di tempat-tempat bersejarah dan menjadi lebih berarti apabila tempat tersebut memiliki nilai positif terhadap lingkungan sekitar secara sosial. Selain itu, nilai simbolik. Nilai simbolik merupakan sebuah interpretasi dan makna suatu bangunan bagi berbagai kalangan dan generasi. Nilai – nilai simbolik itu dapat bermakna dan diinterpretasikan dengan berbeda bagi kelompok yang berbeda pula. Setiap orang memaknai suatu bangunan dengan caranya sendiri, berdasarkan nilai budaya mereka dan pengertian mereka masing – masing terhadap peristiwa masa lalu. Selanjutnya, nilai teknik. Hal-hal teknis mengenai keterbangunan merupakan informasi yang yang sangat berharga, misalnya teknik konstruksi untuk material tertentu atau teknik konstruksi terkait kondisi lingkungan tertentu. Terakhir, nilai terhadap kota yang tumbuh akibat sebuah bangunan tidak dapat terpisah dari lingkungan sekitarnya. Kontribusi suatu bangunan tertentu terhadap lingkungan sekitarnya, seperti bangunan terdekat, jalan, dan wilayah perkotaan, juga dapat menjadi nilai tersendiri.

18. LABORATORIUM HIDRAULIKA DAN LABORATORIUM MEKANIKA FLUIDA

18.1. Sejarah Singkat 1. Mekanika Fluida Laboratorium Mekanika Fluida pada mulanya bernama Waterloopkundig Laboratorium I yang diresmikan pada tanggal 05 juni 1936. Laboratorium ini dibangun dan dimiliki oleh Direktur Departement van Verkeer en Waterstaat. Gedung ini terletak di antara gedung sipil dan gedung fisika ITB dan memiliki panjang 35 meter, lebar 12 meter, dan luas 420 meter persegi. Pada masa kependudukan Jepang, fungsi yang awalnya laboratorium sempat berubah

45


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

menjadi asrama Kogyo Daigaku. (Kisah perjuangan unsur ganesa 10 dalam kurun waktu 1942-1950, 1995) Pada perkembangannya bangunan laboratorium ini telah mengalami banyak perubahan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan. Saat ini gedung Laboratorium Mekanika Fluida digunakan oleh Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. 2. Laboratorium Hidraulika Laboratorium hidraulika pada awalnya juga memiliki nama Waterloopkundig Laboratorium II yang dibangun setelah Waterloopkundig Laboratorium I (Laboratorium Mekanika Fluida) ada dan mulai digunakan pada tahun 1941. Laboratorium ini ditujukan untuk penelitian maritim/pelabuhan dan sungai, milik Direktur Departement van Verkeer en Waterstaat (Departemen PU). Ruang utama laboratorium ini memiliki panjang 70 meter, lebar 20 meter, luas 1.400 meter persegi. Ruang laboratorium ini terdiri atas: •

Ruang Praktikum Hidraulika

Ruang Praktikum Teknik Kelautan

Ruang Penelitian Bangunan Air

Ruang Penelitian Saluran Terbuka

Ruang Kepala/Peneliti/Teknisi/Asisten

Ruang Rapat

Pada saat ini laboratorium Hidraulika digunakan oleh program studi Sipil dan program studi Kelautan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. 18.2. Tinjauan Berdasarkan nilai-nilai konservasi Orbasli, Laboratorium Mekanika Fluida beserta laboratorium Hidraulika dapat disimpulkan memiliki beberapa nilai konservasi tersebut, di antaranya: nilai usia, nilai arsitektural, nilai pendidikan, nilai asosiatif, nilai ilmu pengetahuan, serta nilai teknik. Nilai-nilai tersebut diwakili oleh elemen-elemen bangunan yang ada. Demi nilai-nilai tersebut terwujud, elemen-elemen yang mewakilinya haruslah dijaga keasliannya. Misalnya untuk mewujudkan nilai pendidikan, khusunya untuk pendidikan historis. Kedua laboratorium tersebut merupakan bangunan yang mewakili masa indische.

46


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

18.3. Pengumpulan Data Tahun 2012, dalam rangka pengembangan kampus ITB, Laboratorium Hidraulika dan Laboratorium Mekanika Fluida direnovasi dengan dana hibah dari JICA. Denah dan foto tampak bangunan awal kedua laboratorium saat masih Laboratorium Waterloopkundig I & II dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Sementara itu, dalam pengembangannya, bangunan Laboratorium Mekanika Fluida telah mengalami perubahan– perubahan yang dapat dirinci seperti pada tabel di bawah ini. Aspek Keaslian

Kondisi Awal

Kondisi Saat Ini

Bentuk Desain Denah

Ruang berbentuk hall Penambahan ruang-ruang (lihat Gambar 3.3.1 untuk fungsi kantor dan ruang ) kelas dengan dinding partisi Penambahan area musholla, WC, dan pantry (Area mezanin 1A) (lihat Gambar 3.3.2 )

Tampak

Penambahan selasar mengubah tampak bangunan tersebut (kolom dan atap) (lihat Gambar 3.3.3 dan 3.3.4 )

Potongan

Penambahan lantai mezanin dan dinding partisi, serta dinding dinding bata tetap untuk fungsi laboratorium. Penambahan atap dan kolom selasar baru. (lihat Gambar 3.3.5, 3.3.6, dan 3.3.7 )

Material Atap

Penutup atap dengan material sirap

Penggantian kerangka atap yang lapuk serta sirap pada pintu masuk utama laboratorium Penggantian struktur baru serta atap PVC untuk kanopi selasar utama Penggantian rangka atap serta zink metal corrugated pada gudang belakang dan kantor, termasuk monitel roof 47


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dinding Lantai

Pengecatan kembali pada dinding Ubin PC 200 x 200 Asphalt

Penggantian lantai laboratorium dengan material (lihat Gambar 3.3.7 )

Koral lepas

Ubin PC 200 x 200

Koral sikat

KIA. Keramik KW1 200 x 200

KIA. Keramik KW1 200 x 400

KIA. Keramik KW1 400 x 400

Linolium (lantai mezanin)

Karpet Keramik 300 x 300

Plafon

Terdapat plafon

Penambahan plafon pada ruang – ruang pendukung Pengecatan seluruh plafon (lihat Gambar 3.3.7 )

Tangga

Penambahan tangga dengan material kayu pada area mezanin

Bukaan

Penambahan jendela dan pintu baru. Perbaikan pintu, jendela, dan teralis. Pengecatan pintu dan jendela eksisting.

Kolom

Perbaikan kolom dengan finishing coating Perbaikan kolom baru dengan finishing coral sikat Penambahan kolom baru dengan finishing coral sikat (lihat Gambar 3.3.3 & 3.3.4 )

Kanopi dan lantai selasar

Penurunan atap agar jendela atas dapat dibuka Penggantian tiang kanopi Penggantian atap kanopi Perbaikan perkerasan lantai selasar (lihat Gambar 3.3.3 & 3.3.4 )

Kuda – kuda

Pengecatan kuda – kuda (lihat Gambar 3.3.7) 48


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Proses dan Teknik Konstruksi

Konstruksi baru pada selasar utama

Tempat, Konteks, dan Lingkungan Sekitar

Pemugaran taman utara menggunakan desain baru dengan penambahan elemen taman, seperti sculpture, area duduk, ramp, planter box Renovasi ground water tank Penambahan elemen area duduk pada taman selatan Pembongkaran talud taman belakang dan pembuatan talud baru Pembuatan dinding pagar baru di taman belakang

Fungsi dan Penggunaan Fungsi ruang

Laboratorium

Penambahan fungsi ruang – ruang pendukung kegiatan laboratorium

Fungsi mekanikal

Penghawaan alami

Penggunaan pengahawaan buatan (AC)

Tabel 3.3.1. Data kondisi awal dan kondisi saat ini bangunan Lab. Mekanika Fluida ITB Dari tabel di atas terlihat bahwa cukup banyak perubahan yang dilakukan pada bangunan, terutama pada mezanin dan selasar utama. Penambahan lantai dengan mezanin di dalam bangunan merupakan upaya untuk mengakomodasi fungsi-fungsi pendukung kegiatan laboratorium, seperti ruang mushola, pantry, ruang kantor, dll. Perubahan yang disebabkan oleh bertambahnya kebutuhan pengguna akan sirkulasi yang nyaman diwujudkan dengan penambahan selasar beserta kanopi sebagai peneduh. Keterangan Gambar :

Gambar 3.3.1 . Denah tahun 1941

Gambar 3.3.2 . Denah tahun 2012

Laboratourium Mekanika Fluida.

Laboratourium Mekanika Fluida. 49


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar di atas merupakan perbedaan antara denah Laboratorium Mekanika Fluida yang lama sebelum dikonservasi dengan denah Laboratorium Mekanika Fluida yang telah dikonservasi. Terdapat penambahan ruang – ruang dengan fungsi baru, seperti pantry, musholla, toilet, dll.

Gambar 3.3.3 . Tampak tahun 2016

Gambar 3.3.4 . Tampak tahun 2016

Laboratorium Mekanika Fluida.

Laboratorium Mekanika Fluida.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, perbedaan utama terdapat pada penambahan selasar dan kanopi. Dapat dilihat pada gambar bahwa selasar dan kanopi tambahan menggunakan material coral sikat dan PVC yang tidak selaras dengan material bangunan eksisting (batu alam dan atap sirap).

Gambar 3.3.5 . Potongan tahun 2012

Gambar 3.3.6 . Potongan tahun 2012

Laboratorium Mekanika Fluida.

Laboratorium Mekanika Fluida.

50


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3.3.7. Tampak kuda – kuda, plafond, lantai, dan partisi Laboratorium Mekanika Fluida tahun 2012. Konservasi juga mengubah material lantai dengan material lain dengan maintenance yang lebih mudah. Selain itu, terdapat penambahan plafond pada ruang – ruang tambahan. Pengecatan kembali juga dilakukan pada plafond dan kuda – kuda kayu. Bangunan Laboratorium Hidraulika juga mengalami perubahan – perubahan yang dapat dirinci seperti pada tabel di bawah ini. Aspek Keaslian

Kondisi Awal

Kondisi Saat Ini

Bentuk Desain Denah

Berbentuk hall sehingga fungsi dapat lebih fleksibel (lihat Gambar 3.3.8 )

Penambahan ruang-ruang untuk fungsi pendukung dengan dinding partisi (lihat Gambar 3.3.9)

Tampak

(lihat Gambar 3.3.10 )

Penambahan pagar wire mesh, tanaman rambat, dan bukaan baru (lihat Gambar 3.3.11 )

Potongan

Penambahan lantai mezanin dan dinding partisi ((lihat Gambar 3.3.12 & 3.3.13 )

Material Atap

Penutup atap dengan material sirap Skylight dengan material kaca biasa

Penutup atap bangunan utama masih menggunakan sirap (lihat Gambar 3.3.14 ) Penggantian material skylight dengan kaca tempered (lihat Gambar 3.3.15)

Dinding

Pengecatan dinding fin plester eksisting sisi luar dan dalam

Lantai

Penambahan lantai mezanin ((lihat Gambar 3.3.16 ) 51


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Plafon

Penambahan plafon pada ruang fungsi tambahan dengan material gypsum

Tangga

Penambahan tangga dengan material baja

Bukaan

Pekerjaan kusen baru (1 modul / bidang) Penggantian / perbaikan list dinding jendela kaca Pembersihan dan pengecatan kaca bouvenlight Penggantian dynabolt support dinding jendela kaca ke kuda – kuda (struktur) Penggantian kaca nako dengan jendela area lantai mezanin Pengecatan kusen kayu, rangka profil kayu luar dan dalam ((lihat Gambar 3.3.17)

Talang

Pengecatan talang tegak / vertikal (keseluruhan) Pengecatan talang horizontal (keseluruhan)

Konsol kayu

Pengecatan konsol kayu (keseluruhan) ((lihat Gambar 3.3.18)

Pintu air

Pengecatan pintu air

Kuda – kuda

Pengecatan kuda – kuda kayu (keseluruhan) ((lihat Gambar 3.3.19)

Lampu

Penambahan lampu gantung ((lihat Gambar 3.3.20)

Batu alam

Pembersihan (penyikatan) batu alam ((lihat Gambar 3.3.21)

Proses dan Teknik Konstruksi

Tidak ada perubahan

Tempat, Konteks, dan Lingkungan Sekitar

Pemasangan paving blok, grass blok, batu alam, dan kantin taman Pemasangan wire mesh pagar eksisting Pemasangan pondasi pagar dan pagar baru Pemasangan railing jembatan 52


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Perbaikan perkerasan beton jembatan Perbaikan perkerasan entrance kantor dosen Pekerjaan pedestrian lanskap sisi samping saluran Perbaikan / renovasi pada parkir Perbaikan saluran Studio room tidak direnovasi Ramp tidak direnovasi (lihat Gambar 3.3.11 ) Fungsi dan Penggunaan Fungsi ruang

Laboratorium hidraulika Penambahan fungsi ruang (ruang kerja, ruang administrasi, ruang rapat, ruang dosen, ruang tamu, musholla, pantry, perpustakaan, gudang,

Fungsi mekanikal

Penghawaan alami

Penambahan pengahawaan buatan (AC)

Tabel 3.3.2. Data kondisi awal dan kondisi saat ini bangunan Lab. Hidraulika ITB Perubahan signifikan yang dilakukan pada bangunan Laboratorium Hidraulika berada pada penambahan mezanin pada sisi barat bangunan. Sementara material-material yang terlihat pada façade bangunan dipertahankan sesuai dengan material asli.

Keterangan Gambar :

Gambar 3.3.8. Denah tahun 1941

Gambar 3.3.9. Denah tahun 2012 Laboratourium

Laboratourium Hidraulika.

Hidraulika. 53


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar di atas merupakan perbedaan antara denah Laboratorium Hidraulika yang lama sebelum dikonservasi dengan denah Laboratorium Hidraulika yang telah dikonservasi.

Gambar 3.3.10. Tampak tahun 1941

Gambar 3.3.11. Tampak tahun 2016

Laboratorium Hidraulika dari arah Barat Daya

Laboratorium Hidraulika.

dan Tenggara. Gambar di atas menunjukkan perbedaan antara tampak Laboratorium Hidraulika yang lama sebelum dikonservasi dengan tampak Laboratorium Hidraulika yang telah dikonservasi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, perbedaan utama terdapat pada wire mesh / pagar tanaman rambat, penambahan pada ruang luar / lanskap, seperti perkerasan, dan perbaikan pada jembatan serta parkir luar.

54


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3.3.12. Potongan tahun 2012

Gambar

3.3.13.

Potongan

Laboratorium Hidraulika.

Laboratorium Hidraulika.

tahun

Gambar di atas merupakan gambar potongan dari Laboratorium Hidraulika tahun 2012 sesudah mengalami konservasi.

Gambar 3.3.14. Atap sirap Laboratorium

Gambar 3.3.15. Skylight dari kaca tempered

Hidraulika tahun 2016.

Laboratorium Hidraulika tahun 2016.

Gambar di atas menunjukkan atap sirap beserta skylight dari Laboratorium Hidraulika. Skylight digunakan sebagai pencahayaan alami pada bangunan, penggantian material skylight ditujukan untuk aspek keselamatan. Selain itu, pada gambar dapat terlihat bahwa atap sirap terlihat tidak seragam. Menurut wawancara, atap sirap tersebut sebagian telah mengalami pergantian dan sebagian yang lain belum (masih atap sirap yang lama). Pergantian atap sirap yang tidak merata itu disebabkan oleh mahalnya atap sirap dan kurang tersedianya biaya.

55

2012


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3.3.16. Mezanin – mezanin sebagai

Gambar 3.3.17. Bukaan - bukaan

tambahan fungsi ruang Laboratorium

Laboratorium Hidraulika tahun 2016.

Hidraulika tahun 2016. Gambar di atas merupakan mezanin yang ditambahkan oleh JICA setelah dilaksanakan renovasi. Mezanin – mezanin tersebut difungsikan sebagai ruang – ruang dengan fungsi baru. Sedangkan, bukaan – bukaan pada Laboratorium Hidraulika juga mengalami berbagai perbaikan, yang berupa penggantian komponen dan pengecatan ulang.

Gambar

3.3.18.

Konsol

-

konsol

Laboratorium Hidraulika tahun 2016.

Gambar 3.3.19. Kuda - kuda Laboratorium Hidraulika tahun 2016.

Gambar di atas merupakan konsol – konsol dari Laboratorium Hidraulika yang mengalami pengecatan ulang. Kuda – kuda kayu dari bangunan ini juga mengalami pengecatan ulang, namun tidak mengalami perubahan struktur. Struktur masih merupakan struktur asli yang telah ada pada saat awal dibangun.

56


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3.3.21. Batu alam pada Laboratorium

Gambar 3.3.20. Lampu gantung Laboratorium Hidraulika tahun 2016.

Hidraulika tahun 2016.

Lampu gantung ini ditambahkan oleh JICA saat proses konservasi sebagai penerangan Laboratorium Hidraulika pada saat malam. Lampu ini cenderung lebih terfokus ke bawah dan tidak menyebar. Menurut wawancara, hal yang lumayang mengganggu adalah adanya bagian yang sangat terang pada persimpangan cahaya dua lampu. Batu alam pada Laboratorium Hidraulika tidak mengalami perubahan dan hanya mengalami pembersihan / penyikatan. 19. ANALISIS DAN INTERPRETASI

19.1. Analisis Data Pada renovasi yang dilakukan tahun 2012, terdapat perubahan baik berupa penambahan, perbaikan maupun penggantian dari elemen-elemen bangunan sebagaimana yang telah dijabarkan di tabel 3.3.1. dan 3.3.2. Sementara nilai-nilai konservasi dari sebuah bangunan menentukan sikap konservasi terhadap elemen bangunan, karakter bangunan dapat terwujud apabila elemen-elemen bangunan yang mewakili nilai-nilai konservasi dipelihara. Tabel di bawah ini menjelaskan apakah sikap terhadap suatu elemen bangunan yang dilakukan dalam rangka renovasi tahun 2012 sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa dilihat dari dampak yang timbul dari sikap tersebut. Elemen bangunan

Lantai mezanin

Dampak

Kesesuaian dengan Kaidah

Penambahan ruang berupa mezanin pada kedua bangunan dapat mendukung pengembangan kegiatan laboratorium

Sesuai kaidah, karena penambahan ruang yang mendukung fungsi utama dan tidak merubah nilai-nilai yang ingin dipertahankan dalam kedua bangunan tersebut

57


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Selasar dan kanopi

Perubahan tampak pada bangunan Lab. Mekanika Fluida dengan adanya selasar baru dapat menyesuaikan dengan iklim tropis dan memenuhi kebutuhan pengguna namun dapat merubah tampak bangunan tersebut. Penggunaan material tidak serasi dengan karakter bangunan bersejarahnya.

Tidak sesuai kaidah, karena perubahan tampak dan penggunaan material yang tidak mewakili periode sejarahnya sehingga merusak nilai arsitektural bangunan tersebut.

Penutup atap sirap

Penggunaan penutup atap sirap dapat mengoptimalkan kenyamanan termal di dalam ruangan namun dapat menimbulkan permasalahan baru pada biaya dan maintenance. Selain itu, penggunaan material atap sirap tidak sustainable karena menggunakan kayu ulin sebagai bahan bakunya.

Sesuai kaidah, karena atap sirap merupakan salah satu material lokal yang dapat mempertahankan nilai arsitektural, asosiatif, dan lokalitas bangunan.

Finishing lantai

Perubahan material finishing lantai dilakukan untuk penyesuaian dengan kebutuhan saat ini dan kemudahan perawatannya.

Sesuai kaidah, karena perubahan material tidak merusak nilai-nilai yang ingin dipertahankan.

Plafon

Penambahan plafon dilakukan untuk peningkatan kenyamanan sebagai konsekuensi dari penambahan fungsi ruang pendukung.

Sesuai kaidah, karena penambahan plafon tidak merusak nilai-nilai yang ingin dipertahankan.

Tangga

Penambahan tangga sebagai sirkulasi pelengkap kebutuhan ruang mezanin.

Sesuai kaidah, karena penambahan tangga hanya bersifat fungsional.

Penggantian bukaan kaca biasa menjadi kaca tempered pada skylight Laboratorium Hidraulika

Penggantian bukaan menjadi kaca tempered merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keselamatan pengguna dari serpihan kaca yang pecah akibat getaran.

Sesuai kaidah, karena peningkatan keselamatan tidak mengusik kaidah.

58


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Perbaikan desain taman

Perbaikan desain taman meningkatkan kualitas ruang publik karena menciptakan ruang-ruang interaksi baru, meningkatkan kenyamanan dan keselamatan pengguna. Namun penambahan vegetasi menutup tampak bangunan.

Sesuai kaidah. Vegetasi yang menutup tampak bangunan tidak menempel pada muka bangunan dan sifatnya reversible.

Tabel 2. Analisis dampak dan kesesuaian konservasi bangunan Lab. Hidraulika dan Lab. Mekanika Fluida ITB terhadap kaidah konservasi yang benar. Dari tabel di atas didapatkan bahwa dari elemen bangunan yang dianalisis melalui dampak dan kesesuainnya dengan kaidah konservasi, pengembangan Laboratorium Hidraulika sudah sesuai dengan kaidah konservasi yang benar sedangkan pada Laboratorium Mekanika Fluida memiliki satu elemen bangunan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang benar, yaitu dalam hal penambahan selasar dengan material baru yang menjadi intervensi bagi karakteristik bangunan. Pada kedua laboratorium tersebut, penggunaan sirap pada penutup atap, pada dasarnya memenuhi kaidah konservasi. Mempertahankan atap sirap pada kedua bangunan tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan nilai pendidikan, arsitektural, asosiatif, dan lokalitas bangunan. Namun saat ini material sirap merupakan material yang cukup langka dan memiliki harga yang mahal sehingga penggunaan atap sirap ini dapat menyebabkan membengkaknya biaya dan kesulitan dalam maintenance.

19.2. Saran Pada Laboratorium Mekanika Fluida, selasar dan kanopi dapat didesain lebih serasi dengan karakter bangunan dengan melakukan pendekatan material, misalnya material penutup atap kanopi yang transaparan tanpa warna. Sementara kolom penyangga kanopi menggunakan material batu kali yang serasi dengan kolom eksisting. Penggunaan sirap sebagai penutup atap merupakan hal yang tepat, karena atap sirap mengandung nilai-nilai yang mencerminkan karakter historis bangunan. Selain itu, konservasi yang baik dilakukan dengan perbaikan dan penambahan elemen bangunan secara jujur dan tidak memanpulasi. Sehingga biaya perawatan yang mahal perlu diimbangi dengan nilai ekonomis yang saat ini belum dimiliki kedua bangunan tersebut. Untuk mendapatkan nilai ekonomis tersebut, salah satunya melalui pengelolaan laboratorium berbasis entrepreneur.

59


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

20. PENUTUP

Penerapan konservasi pada bangunan Laboratorium Hidraulika secara umum telah memenuhi kaidah konservasi yang benar. Sedangkan pada bangunan Laboratorium Mekanika Fluida terdapat satu pengembangan elemen bangunan yang tidak memenuhi kaidah konservasi yang benar, yaitu penambahan selasar utama beserta kanopi sebagai peneduhnya. Penambahan lantai selasar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pengguna yang berkembang saat ini namun desain selasar yang kurang memperhatikan konteks bangunan dapat merusak tampak bangunan. Hal ini dapat merusak nilai arsitektural yang seharusnya dipertahankan dari bangunan konservasi. Nilai-nilai konservasi mencerminkan karakter suatu bangunan, hal tersebut diwakili oleh elemen-elemen bangunan itu sendiri. Dengan dilakukannya konservasi, jiwa/spirit/cerita yang terdapat pada sebuah bangunan bersejarah dapat terus dipertahankan, nilai-nilai yang terkandung pun tidak akan pudar. 21. DAFTAR PUSTAKA Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Orbasli, A. (2007). Architectural Conservation: Principle and Practice. John Wiley & Sons. Kerr, J. S. (1982). The Conservation Plan. Australia. ITB. (1995). Kisah perjuangan unsur ganesa 10 dalam kurun waktu 1942-1950. Bandung: Penerbit ITB

60


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

KORIDOR SEKOLAH SEBAGAI RUANG INTERAKSI SOSIAL ANTARSISWA ARYANTI, Dimas MANGGALA, dan M. Fadhil FATHUDDIN Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: aryantitjang@gmail.com; dimemanggala@gmail.com; muhammadfadhilf30@gmail.com

ABSTRAK Pembelajaran merupakan proses di mana suatu lingkungan secara disengaja dikelola untuk menghasilkan respon terhadap situasi dan kondisi tertentu yang mana pembelajaran ini merupakan substansi dari pendidikan (Corey). Kata pembelajaran mengacu pada sistem yang dikelola sebuah lingkungan, dalam hal ini ialah sekolah. Hasil pembelajaran dipengaruhi oleh tiga hal berikut (Alessandro De Gregori, 2007), yaitu (1) filosofi pendidikan dan praktik pedagogis, (2) arsitektur sekolah dan lingkungan binaan, serta (3) psikologi lingkungan yang kaitannya mencakup hubungan pelajar terhadap tempat dan konteks sosialnya. Keberhasilan pelajar tidak ditentukan oleh aspek kognitif saja, melainkan kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan lingkungan sekolahnya, yang dapat terjadi di kelas, ruang publik, dan koridor. Adapun koridor adalah ruang sirkulasi yang menghubungkan ruang-ruang dalam bangunan. Bina Bangsa School Bandung (BBSB) merupakan sekolah yang memliki nilai sosial. Yanto Effendi sebagai arsitek menerapkan nilai tersebut pada perancangan bangunan sekolah BBSB, namun kurang memperhatikan koridor sebagai ruang interaksi sosial antarsiswa. Hal tersebut memunculkan fenomena intensitas interaksi sosial antarsiswa yang tidak merata di seluruh koridor sekolah. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi intensitas interaksi sosial antarsiswa di koridor, yaitu (1) tempat duduk, (2) benda seni, (3) bukaan, dan (4) waktu. Kata Kunci: hasil pembelajaran, interaksi sosial, koridor, Bina Bangsa School Bandung

22. PENDAHULUAN Salah satu cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan konstitusi Negara Indonesia, adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan komponen utama dalam pembangunan negara kita ke depannya. Pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Belajar merupakan proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu (Sudjana, 1989:28). Sedangkan, pembelajaran merupakan proses dimana suatu lingkungan secara disengaja dikelola untuk menghasilkan respon terhadap situasi dan kondisi tertentu yang mana pembelajaran ini merupakan substansi dari pendidikan (Corey). Kata pembelajaran mengacu pada sistem yang dikelola sebuah lingkungan, dalam hal ini ialah sekolah. Di Indonesia sendiri, sistem pembelajaran sangat terpacu pada aspek pedagogi yang sangat kaku. Kurikulum 2013 menganggap aspek materi pelajaran sangat penting, sehingga mengesampingkan aspek-aspek lain, seperti pembentukan karakter, yang salah satunya dapat dijabarkan melalui metode interaksi sosial (Komisi Nasional Pendidikan). Keberhasilan pelajar tidak ditentukan oleh aspek kognitif saja, melainkan kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan lingkungan, berempati kepada orang lain, dan menghargai orang lain. Hal tersebut didukung oleh Hurlock yang memaparkan bahwa anak diharapkan mampu mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu yang meliputi, (1) 61


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

keterampilan membantu diri sendiri, (2) keterampilan sosial, (3) keterampilan sekolah, (4) keterampilan bermain. Oleh karena itu, pelajar diharapkan mampu menjalin hubungan interaksi sosial yang baik di lingkungan sekolah. Salah satu interaksi sosial yang terjalin di sekolah adalah interaksi antarsiswa yang menjadi fokus utama dalam penelitian kali ini. Interaksi sosial antarsiswa tidak hanya terjadi di dalam kelas, namun ruang-ruang lain, seperti ruang publik (kantin, lobi, dan taman), bahkan koridor sekolah. Penelitianpenelitian mengenai ruang kelas sebagai ruang interaksi sosial sudah banyak dilakukan. Adapun ruang publik, sesuai sifatnya, sudah tentu akan menunjang interaksi sosial sehingga kurang relevan terhadap penelitian. Oleh karena itu, koridor menjadi objek penelitian kali ini. 23. ARSITEKTUR SEKOLAH Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini mengacu dalam buku Learning Environments: Redefining the Discourse on School Architecture yang ditulis oleh Alessandro De Gregori. Di dalam bukunya menyatakan bahwa hasil pembelajaran di sekolah dipengaruhi tiga hal yang masing-masing hal tersebut saling berkaitan, yaitu (1) filosofi pendidikan dan praktik pedagogis, (2) arsitektur sekolah dan lingkungan binaan, serta (3) psikologi lingkungan yang kaitannya mencakup hubungan pelajar terhadap tempat dan konteks sosialnya.

Gambar 2. Grafik hubungan aspek-aspek yang mempengaruhi keluaran pembelajaran. (Sumber: Learning Environments: Redefining the Discourse on School Architecture)

Filosofi pendidikan dan praktik pedagogis adalah sistem ilmu pengajaran yang diterapkan suatu instansi sekolah pada pelajar, dalam Indonesia sendiri dapat mengacu pada kurikulum 2013, namun beberapa sekolah, terutama instansi swasta, dapat memilih sistem yang lain, seperti mengkopi sistem-sitem pembelajaran luar negeri. Arsitektur sekolah dan lingkungan binaan merupakan elemen-elemen yang ada di sekolah tersebut. Dalam kasus kali ini, ruang-ruang arsitektur yang sangat berakitan dengan pelajar ada tiga, yaitu kelas, koridor, dan ruang publik (taman, taman bermain, lobi, plaza, atau kantin). Dan maksud dari psikologi lingkungan yang kaitannya mencakup hubungan pelajar terhadap tempat dan konteks sosialnya adalah bagaimana para pelajar mampu berinteraksi terhadap ruang ataupun sosialnya. Gambar 1 menggambarkan hubungan yang jelas dari ketiga hal yang telah dijabarkan. Untuk kasus penelitian ini akan dilihat bagaimana relasi yang terjadi antara arsitektur sekolah dengan konteks sosial pelajarnya. Adapun menurut National Association for the Educational of Young Children (NAEYC) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang sekolah, yaitu membuat lingkungan visual yang kaya dan menyenangkan; menyediakan ruang untuk memamerkan karya para pelajar; menciptakan lingkungan sosial; merancang hubungan ruang luar dengan ruang dalam yang baik; menciptakan ruang-ruang penghubung yang mendorong orientasi dan komunikasi; menciptakan ruang yang fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan praktek pengajaran; membuat entrance yang menarik. 62


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

23.1. Interaksi Sosial Menurut Baum et al (1996), interaksi terbagi dalam beberapa kategori, dan berdasarkan ruangnya, jenis-jenis interaksi adalah (1) interaksi intim yang jarak interaksinya terjadi sekitar 0-45 cm; (2) interaksi pribadi yang jarak interaksinya terjadi sekitar 45-120 cm; (3) interaksi sosial yang jarak interaksinya terjadi sekitar 120-360 cm; dan (4) interaksi publik yang jarak interaksinya terjadi >360 cm. Adapun bentuk interaksi dalam jarak sosial terbagi menjadi menyapa, berjabat tangan, mengobrol, dan kegiatan lainnya. 23.2. Karakter Fisik Koridor Dalam jurnal Influences of Physical Environment on Corridor Walking yang ditulis Zhipeng Lu, Susan D. Rodiek, Mardelle M. Shepley and Michael Duffy, mengemukakan karakter fisik sebuah koridor dan terdefinisikan dalam tiga aspek, yaitu -

Keamanan Aspek ini ditinjau dari elemen-elemen arsitektural yang hanya berupa kondisi fisik dari handrails, dan penutup lantai.

-

Kenyamanan Aspek ini ditinjau dari beberapa hal, yang mencakup kondisi dan pengadaan tempat duduk, lebar dan panjang dimensi koridor, serta lokasi toilet

-

Estetika Pada aspek ini ditinjau dari kondisi dan pengadaan yang meliputi karya seni, pemandangan yang disuguhkan bukaan, dan tanaman.

24. DESKRIPSI KASUS 24.1. Tinjauan Kasus Dalam memilih sekolah sebagai studi kasus penelitian kali ini harus memiliki beberapa kualifikasi tertentu, yaitu merupakan sekolah yang didesain khusus oleh arsitek agar bisa didapatkan data yang valid untuk membandingkan sebuah desain sekolah terhadap implementasinya; merupakan sekolah yang memiliki nilai sosial dalam sistem pendidikannya; dan merupakan sekolah dengan kampus yang mencakup beberapa jenjang pendidikan. Bina Bangsa School Bandung (BBSB) merupakan salah satu sekolah yang memenuhi dua kualifikasi tersebut. BBSB didesain oleh Yanto Effendi dari Modernspace. Nilai yang dibawa oleh BBSB adalah integritas, sosial, semangat, dedikasi, simpati, dan inspiratif. Dan jenjang-jenjang pendidikan di BBSB mencakup dari preschool (Taman Kanak-Kanak) sampai junior college (Sekolah Menengah Atas). Berdasarkan hasil wawancara dengan arsitek, BBSB didesain dengan konsep sustainable building untuk menjawab isu pemanasan global. Konsep ini sengaja dipilih agar bangunan dapat memberi pembelajaran kepada penggunanya mengenai lingkungan. Kemudia diimplementasikan, salah satunya, pada pengunaan lahan untuk bangunan sebesar 30% dari total luas lahan dan sisanya digunakan sebagai ruang terbuka untuk area resapan air juga sebagai taman yang ditanami pohon-pohon untuk digunakan sebagai aktivitas belajar. Konsep fasade sengaja digubah seperti sirip-sirip untuk menghalangi sinar matahari masuk. Dalam menjawab isu sosial siswa, arsitek melakukan pendekatan umum seperti zonasi ruang publik yang baik, seperti dengan kantin yang bersebelahan langsung dengan lapangan futsal, hall, juga teras bermain. Pemilihan sistem dapur yang terpusat pada kantin juga merupakan solusi lainnya. Namun, dalam tahap perancangan koridor, arsitek tidak mempertimbangkan isu sosial yang khusus. Koridor dibentuk menyesuaikan konfigurasi denah ruang-ruang kelas yang ada (yaitu berbentuk huruf ‘U’), sehingga fungsinya cenderung sebagai penghubung saja. Tapi, ada beberapa hal yang sengaja didesain arsitek 63


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

mengenai aspek fisik koridor, yaitu menyediakan fasilitas berupa tempat duduk, pengadaan mading di tiap dinding eksterior kelas, dan lebar koridor yang sengaja dapat menampung para siswa untuk berkumpul. 24.2. Pengumpulan Data Setelah mempertimbangkan banyak koridor di sekolah Bina Bangsa School Bandung beserta dengan karakteristiknya, akhirnya dipilih 2 koridor yang representatif sebagai titik-titik penelitian (lihat Gambar 2 dan Gambar 3).

Gambar 2. Denah Lt. 1 Bina Bangsa School Bandung (Sumber: Dokumentasi penulis)

64


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Denah Lt. 2 Bina Bangsa School Bandung (Sumber: Dokumentasi penulis )

Pengamatan dilakukan pada hari Jumat dari pukul 09.45-12.45. Rentang waktu tersebut dipilih karena mencakup waktu pergantian kelas biasa ke kelas Bahasa Mandarin, waktu istirahat, dan waktu makan siang sehingga kemungkinan terjadi interaksi di koridor jadi lebih besar. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di titik-titik pengamatan, didapat data banyaknya siswa yang melakukan interaksi informal dengan interval waktu pengamatan setiap 30 menit (lihat Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 3. Data Hasil Pengamatan Koridor 1 No

Jam

Total Interaksi

Menyapa

Berjabat Tangan

Mengobrol

1

09.45-10.15

24

2

0

22

2

10.15-10.45

6

0

0

6

3

10.45-11.15

15

3

0

12

4

11.15-11.45

14

1

0

13

5

11.45-12.15

14

3

0

11

6

12.15-12.45

19

0

0

19

92

9

0

83

Total

(Sumber: Dokumentasi penulis )

65


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Koridor 2 No

Jam

Total Interaksi

Menyapa

Berjabat Tangan

Mengobrol

1

09.45-10.15

12

1

0

11

2

10.15-10.45

1

0

0

1

3

10.45-11.15

33

2

0

31

4

11.15-11.45

0

0

0

0

5

11.45-12.15

16

0

0

16

6

12.15-12.45

14

3

0

11

76

6

0

70

Total

(Sumber: Dokumentasi penulis)

25. ANALISIS DAN INTERPRETASI 25.1. Analisis Data Pengamatan Dari data yang diperoleh di Tabel 1 dan Tabel 2, didapat akumulasi jumlah interaksi sosial di koridor-koridor yang dijadikan sebagai titik penelitian. Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan intensitas interaksi sosial yang terjadi pada waktu pengamatan yaitu pada pukul 09.45-12.45.

Gambar 4. Grafik Intensitas Interaksi Sosial Pada Koridor,1 (Sumber: Dokumentasi penulis)

66


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 5. Grafik Intensitas Interaksi Sosial Pada Koridor 2 (Sumber: Dokumentasi penulis )

Dari data yang didapat pada gambar 4 dan 5, interaksi sosial pada koridor 1 rata-rata lebih banyak dibandingkan koridor 2. Pada pukul 10.45-11.15 interaksi sosial di koridor 2 lebih tinggi dibandingkan di koridor 1 karena pada jam tersebut sedang ada pergantian kelas biasa ke kelas Bahasa Mandarin pada tingkat secondary. Hal ini juga terjadi pada pukul 11.45-12.15, karena pada jam tersebut siswa tingkat secondary dan junior college sedang mengalami jam makan siang. 25.2. Analisis Karakter Fisik Koridor Menurut Zhipeng Lu et al. (2010), terdapat karakter fisik di koridor yang mempengaruhi aktivitas sosial yang terjadi di koridor. Adapun tabel 3 menunjukan hasil observasi karakteristik fisik koridor di BBSB. Tabel 3. Analisis karakter fisik koridor Aspek

Sub-aspek

Keamanan

Railing

Koridor 1

Koridor 2 Pada Koridor 2 tidak menggunakan railing karena tidak menghadap void.

Koridor 1 menggunakan railing dengan pola yang menarik dan tinggi railing 1,25 m. Penutup Lantai

Penutup lantai material keramik .

menggunakan

Penutup lantai menggunakan material keramik.

67


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 Tempat duduk

1.

Kenyamanan

2.

Panjang Lebar

Pada koridor 1, ada 2 meja dengan 2 kursi dan disusun berhadapan. Juga ada 2 meja yang memiliki 1 kursi.

1. Pada koridor 2, setiap meja hanya memiliki 1 kursi . 2. Kursi dan meja pada koridor 2 tidak memiliki barang apapun.

Kursi dan meja di koridor 1 banyak diletakkan barang keperluan sekolah.

Panjang koridor 1 adalah 31,211 m

Panjang koridor 2 adalah 28,5 m

Lebar koridor 1 adalah 2,271 m

Lebar koridor 2 adalah 2,332 m

Pada koridor 1, mading yang ada sangat interaktif dengan penggunaan konfigurasi warna yang menarik

Pada koridor 2, mading yang ada menggunakan konfigurasi warna yang lebih monoton.

Benda seni

Bukaan Estetika

1.

Koridor 1 langsung menghadap void yang dibawahnya merupakan taman.

1. Koridor 2 memiliki jendela yang menghadap ke padang rerumputan sekolah di ujung koridor.

2.

Koridor 1 relatif terang karena mendapat pencahayaan dari void.

2. Koridor 2 relatif gelap karena pencahayaan yang didapat hanya melalui jendela yang berada di ujung koridor.

68


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 Tanaman

Pada koridor tanaman.

2

tidak

terdapat

Pada Koridor 1 memiliki secondary skin yang terdiri dari pot-pot tanaman. (Sumber: Dokumentasi penulis )

25.3. Interpretasi Data Berdasarkan analisis data pengamatan di BBSB, didapatkan beberapa aspek yang mempengaruhi banyaknya interaksi sosial yang terjadi di koridor. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tempat duduk Jumlah tempat duduk yang berada di koridor mempengaruhi kenyamanan koridor. Dengan adanya tempat duduk akan menfasilitasi orang untuk melakukan aktivitas di koridor , dengan begitu maka secara tidak langsung akan mendorong interaksi sosial di koridor. 2. Benda seni Benda seni di koridor Bina Bangsa School Bandung merupakan mading yang menempel di dinding eksterior kelas. Mading yang menarik akan menjadi atraksi bagi orang –orang sehingga secara tidak langsung akan mendorong terjadinya interaksi sosial. 3. Bukaan Jumlah dan luas bukaan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam koridor. Dengan banyaknya cahaya yang masuk akan membuat sebuah koridor menjadi terang sehingga meningkatkan estetika dan kenyamanan di koridor. Dengan begitu akan meningkatkan jumlah pengguna koridor sehingga akan mendorong terjadinya interaksi sosial. 4. Waktu Aspek waktu seperti ketika terjadinya pergantian kelas, waktu istirahat, dan waktu makan siang sangat mempengaruhi banyaknya siswa yang melewati koridor sehingga pada waktu-waktu tersebut interaksi sosial yang terjadi di koridor akan meningkat. 25.4. Implementasi Desain Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa intensitas interaksi sosial di koridor sekolah BBSB tidak tersebar merata. Terdapat koridor yang banyak terjadi interaksi sosial antarsiswa, adapula koridor yang tidak banyak terjadi interaksi sosial antarsiswa. Fenomena ini terjadi akibat kurangnya perhatian arsitek saat merancang koridor sekolah sebagai ruang interaksi sosial. Berkaitan dengan itu, terdapat kesenjangan antara nilai yang dibawa sekolah dengan implementasi desain bangunan BBSB. 26. PENUTUP Bina Bangsa School Bandung memiliki nilai-nilai dalam pendidikannya, salah satunya adalah nilai sosial. Yanto Effendi memasukkan nilai tersebut dalam perancangan bangunan 69


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

BBSB, namun tidak memasukkannya saat perancangan koridor sekolah. Oleh karena itu, terjadi intensitas interaksi sosial yang tidak merata pada koridor-koridor di BBSB. Pada awalnya perancangan sekolah perlu dipertimbangkan perancangan koridor sebagai ruang interaksi sosial antarsiswa. Adapun aspek yang mendorong terjadinya interaksi sosial antarsiswa di koridor sekolah adalah sebagai berikut: tempat duduk, benda seni, bukaan, dan waktu. Rekomendasi yang dapat penulis berikan bagi perancangan sekolah di masa mendatang yaitu memerhatikan perancangan koridor sekolah sebagai ruang interaksi sosial antarsiswa dengan cara mempertimbangkan aspek-aspek seperti yang sudah disampaikan. Hal ini akan menjadi salah satu cara untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa. 27. DAFTAR PUSTAKA De Gregori, Alessandro (2007). Learning Environments: Redefining the Discourse on School Architecture. New Jersey: New Jersey School of Architecture. Zhipeng Lu, Susan D. Rodiek, Mardelle M. Shepley, and Michael Duffy (2009). Influences of Physical Environment on Corridor Walking Among Assisted Living Residents: Findings From Focus Group Discussions (Sage Publications). Baum., et al (1996). Environmental Psychology. Texas: Harcourt Brce College Publisher.

70


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

DIMENSI PENGENDALIAN PADA BABAKAN SILIWANGI SEBAGAI RUANG HIJAU KOTA Khansa ANASTYA(1), Rana Nafisa NURDINA(2), dan Dane Amilawangi(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1 khansa.anastya@gmail.com; (2) nafisa.nurdina@gmail.com; (3) amilawangi@gmail.com

ABSTRAK Ruang terbuka hijau adalah ruang yang vital bagi sebuah kota. Salah satu fungsi ruang terbuka hijau adalah sebagai ruang publik. Ruang publik yang berkualitas memiliki elemen-elemen yang ada di teori Good City Form dari Kevin Lynch. Pada penelitian ini, diambil kasus hutan kota Babakan Siliwangi (Baksil) di Kota Bandung yang terbengkalai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab kurang terawatnya Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau kota. Penelitian dilakukan melalui metode studi literatur, observasi lapangan dan wawancara narasumber terkait. Dengan teori Good City Form, diduga bahwa terdapat permasalahan pada dimensi pengendalian dan dengan teori agency model, dipetakan pihak-pihak yang terlibat. Melalui observasi lapangan dan wawancara, ditemukan gap antara beberapa pihak yaitu pengelola (Diskamtam) dengan pengguna (kelompok seniman Baksil). Gap ini adalah akibat dari kurangnya kendali dan koordinasi dalam pengelolaan Baksil antara pihak yang terkait. Oleh karena itu, sebaiknya Diskamtam mendirikan UPT untuk mengelola Baksil atau jika tidak mampu maka diserahkan ke pihak lain. Selain itu, koordinasi antara pihak pengelola dan pengguna sebaiknya diperbaiki agar terjalin komunikasi yang baik. Kata Kunci: ruang terbuka hijau, Babakan Siliwangi, dimensi pengendalian, pihak yang berwenang

1.

PENDAHULUAN

Ruang terbuka hijau adalah suatu ketentuan dalam mewujudkan ruang-ruang yang membuat sebuah kota mempunyai kualitas hidup yang baik. Menurut UU no 24 tahun 2002, kawasan perkotaan harus mengalokasikan sekurang kurangnya 30% luas kawasan untuk RTH. Dan â…” dari RTH itu dapat digunakan oleh masyarakat dengan distribusi yang disesuaikan dengan sebaran penduduk. Ruang ini vital bagi suatu kota karena dapat menyediakan berbagai fungsi. RTH mempunyai fungsi ekologi yaitu sebagai paru-paru kota, sebagai area resapan kota dan sebagai tempat yang mengkonservasi lingkungan. Selain itu, RTH mempunyai fungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat dan berinteraksi satu sama lain. RTH juga dapat menjadi elemen estetis bagi sebuah kota. Di beberapa negara, ruang terbuka hijau sudah disertai dengan pengelolaan yang baik. Diantaranya adalah di New York, Amerika Serikat dan Singapura. New York memiliki ruang terbuka hijau yang sangat luas, yaitu Central Park. Central Park merupakan Urban Park seluas 315 hektar yang terbentang di tengah kota. Central Park dikelola oleh organisasi non-profit Central Park Conservancy. Organisasi ini memiliki misi untuk merestorasi, mengatur, serta mengembangkan Central Park dan hubungannya dengan aktivitas publik. Contoh lain di Asia, yaitu di Singapura, juga terdapat ruang terbuka hijau yaitu Mount Faber Park, Telok Blangan Hill Park dan Kent Ridge Park. Ketiga hutan kota ini terhubung dengan satu jalur, serta dirancang dan dirawat dengan baik. 71


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Indonesia sendiri mempunyai sumber daya alam yang kaya, berbagai jenis flora yang unik. Namun dalam pesatnya pembangunan kota-kota besar, sumber daya alam tersebut seringkali dilupakan. Saat ini pemerintah negara mulai gencar dalam memperbaiki kualitas ruang hijau di berbagai kota besar di Indonesia. Beberapa kota tersebut adalah Surabaya, Bali, Yogyakarta, dan lain lainnya. Namun tak bisa dipungkiri, masih ada ruang-ruang hijau di sekitar kita yang masih tampak terbengkalai walau wacana untuk diperbaiki sudah lama terdengar. Salah satu kasus RTH yang selalu dijumpai setiap hari adalah Babakan Siliwangi. Babakan Siliwangi adalah hutan kota di Bandung yang menampung berbagai kegiatan masyarakat. Saat ini Babakan SIliwangi terlihat terbengkalai karena lingkungan serta fasilitas lainnya yang tidak dirawat dengan baik. Kondisi ini diduga dikarenakan kurangnya pengawasan oleh pihak yang berwenang. Ini mengakibatkan timbulnya beberapa ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pengguna. Untuk meneliti kasus ini, akan digunakan beberapa metode untuk mengumpulkan data. Metode itu adalah dengan studi literatur, observasi lapangan dan wawancara narasumber. 2. RUANG TERBUKA PUBLIK DAN PENGENDALIAN OLEH PIHAK YANG BERWENANG Ruang terbuka publik adalah bentuk ruang yang dipakai bersama-sama berupa jalan, jalur pejalan kaki, taman, plaza, fasilitas, transportasi umum, dan sebagainya (Projects for Public Spaces in New York, 1989). Ruang terbuka publik pada umumnya dapat menampung aktivitas masyarakat. Menurut Roger Scurton (1984) ruang publik memiliki ciri diantaranya memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, serta menjadi tempat bertemunya pengguna ruang publik. Ruang terbuka publik dapat berupa ruang terbuka hijau maupun non hijau. Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan area yang memanjang berbentuk jalur atau area mengelompok, yang penggunaannya bersifat terbuka sebagai tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. Ruang publik yang berkualitas memiliki elemen-elemen yang dirumuskan dalam teori Good City Form oleh Kevin Lynch. Namun, pada teori Good City Form belum terdapat penjelasan mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam keberjalanan suatu ruang publik yang baik. Penjelasan tentang pihak terlibat dijelaskan melalui teori Agency Models dari Patsy Healey. Sehingga dalam penelitian ini, digunakan dua teori sebagai landasan untuk menganalisis data yaitu teori Good City Form dari Kevin Lynch dan teori Agency Models dari Patsy Healey. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang teori tersebut. Kevin Lynch membuat teori pribadi mengenai Good City Form yang bertujuan untuk menghasilkan pemukiman yang berkualitas dan berkelanjutan yang berlandaskan asas keterbukaan dan keterhubungan. Kemudian, Kevin Lynch juga mendefinisikan adanya meta-criteria yaitu keadilan dan efisiensi yang kemudian bisa diterapkan kepada 5 dimensi pelaksanaan ( vitality, sense, fit, access, and control). Dimensi pengendalian merupakan salah satu dari 5 dimensi pelaksanaan Good City Form. Dimensi ini berhubungan dengan fenomena bagaimana sebuah tempat selalu ditempati para penggunanya dan diawasi oleh pihak yang berwenang. Kemudian disebutkan pula adanya beberapa aspek yang dibawahi oleh dimensi pengendalian ini diantaranya kesesuaian (congruence), tanggung jawab (responsibility), dan kepastian (certainty). Aspek kesesuaian mengarah kepada bagaimana sebuah tempat diawasi dengan pihak yang tepat sehingga menghasilkan keamanan, kepuasan, dan kebebasan untuk penggunanya. Aspek tanggung jawab mengarah pada bagaimana kemampuan sebuah pihak untuk mengurus suatu tempat. Apakah pihak yang bertugas mengurus sebuah tempat itu mampu bertanggung jawab atas tempat tersebut dengan baik. Aspek yang terakhir yaitu kepastian, dimana pihak yang melakukan fungsi pengendalian harus benar-benar mengerti mengenai cakupan yang dikendalikannya sehingga pihak tersebut dapat lebih percaya diri ketika melakukan tugasnya. Agency model adalah salah satu model dari proses development yang menunjukan hubungan antar pihak-pihak yang terlibat. Model ini menjelaskan proses dari sisi pandang 72


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

behavioral dan institusional. Sehingga, model ini membuka kompleksitas dari aktivitas dalam proses development, siapa saja pihak yang berpartisipasi dalam aktivitas tersebut dan apa peran dari masing-masing pihak. Dalam hal ini ada beberapa model proses yang dipengaruhi banyak faktor. Ada beberapa model yang memperhitungkan jenis keputusan dan siapa yang mengambilnya, ada model yang menjelaskan jenis kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Namun yang ditekankan dalam kasus Babakan Siliwangi adalah proses pengelolaan, bukan pembangunan. Sehingga model yang dipakai adalah model dari Bryant et al. (1982) yang menjelaskan pihak-pihak yang terlibat secara detail.

(sumber: Healey, Patsy (1991). Models of Development Process: a review. pp. 224-232)

3.

BABAKAN SILIWANGI

Babakan Siliwangi adalah salah satu RTH yang ada di Kota Bandung. Hutan yang mempunyai luas total 3.8 hektar ini dinamakan Lebak Gede di era kolonial, dan sejak itu sudah dianggap sebagai warisan alam Kota Bandung. Pada tahun 1950-1980an, terdapat upaya komersialisasi dengan dibangunnya tempat makan dan sanggar seni. Selanjutnya pada tahun 1990-an dibangun Sasana Budaya Ganesa di lahan Babakan Siliwangi, dan ada isu pembangunan Babakan Siliwangi menjadi pusat wisata dengan disegelnya kontrak dengan developer, PT EGI. Namun, sampai tahun 2000an, pembangunan tidak dilakukan karena adanya protes masyarakat setempat. Hingga pada akhirnya hutan ini diresmikan PBB sebagai salah satu world urban forest pada tanggal 27 September 2011, berdasarkan undang undang tentang RTH kota. Sejak diserahkannya kepemilikan Babakan Siliwangi kepada Pemerintah Kota di tahun 2008, Babakan Siliwangi sekarang menjadi tempat beraktivitas untuk kaderisasi kemahasiswaan, tempat penelitian mahasiswa, dan lain-lain. Babakan Siliwangi sebagai ruang hijau Kota Bandung keberadaannya terlihat kurang terawat dan cenderung terbengkalai. Fakta-fakta ini terungkap melalui observasi lapangan penulis ke Babakan Siliwangi. Terlihat adanya beberapa fasilitas didalam Babakan Siliwangi seperti Forest Walk yang keberadaannya tidak terawat, banyak papan kayu tempat berjalan yang keropos. Kemudian terdapat pula sanggar lukis yang kebersihannya masih kurang, padahal aktivitas seniman disana cukup aktif. Selanjutnya, pada bagian hutan Baksil terdapat fasilitas kandang domba dan panggung yang biasa digunakan untuk adu domba, namun kini keberadaannya juga tidak terawat. Di saat musim hujan sering terjadi pohon tumbang.

73


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1. Forest Walk (sumber: dokumentasi pribadi)

Gambar 2. Sanggar Lukis Babakan Siliwangi (sumber: dokumentasi pribadi)

Gambar 3. Kondisi Hutan Babakan Siliwangi (sumber: dokumentasi pribadi)

74


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 4. Kandang Domba (sumber: dokumentasi pribadi)

Selanjutnya, dalam rangka mengumpulkan data primer, kami mewawancarai Pak Dadang Iradi, Sekretaris Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung mengenai pengelolaan Babakan Siliwangi. Pada wawancara ini, aspek-aspek yang kami tanyakan diantaranya adalah pengelolaan Babakan Siliwangi, serta rencana kedepannya untuk Babakan Siliwangi. Di awal wawancara, Pak Dadang menjelaskan tentang pembagian kerja pada Diskamtam. Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung terbagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian Pemakaman, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Pertamanan. Bagian RTH mengurus median jalan, pepohonan, serta jalur-jalur hijau. Bagian pertamanan mengurus taman-taman di kota bandung. Lingkup pekerjaan bagian pertamanan diantaranya adalah memelihara, menata, serta mengawasi. Terdapat banyak taman di kota Bandung yang dikelola oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Masing masing taman dikelola oleh kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) masing-masing, Salah satu taman yang dikelola oleh bagian pertamanan Diskamtam adalah Babakan Siliwangi. Namun, untuk saat ini untuk kawasan hutan kota Babakan Siliwangi belom ada kantor UPT khusus yang mengurus. Pak Dadang menjelaskan tiga aspek yang harus dipenuhi oleh Diskamtam untuk Babakan Siliwangi, diantaranya adalah menjaga kehutanannya, mengatur kondisi kehutanan, serta menampung aktivitas. Menurut Diskamtam, Babakan Siliwangi cukup sulit untuk diurus karena lahannya yang luas, serta fungsi ekologisnya yang cukup vital. Untuk saat ini, menurut Pak Dadang, bentuk pengelolaan yang dilakukan untuk Babakan Siliwangi dari Diskamtam adalah mengirim orang secara berkala untuk mengawasi dan membersihkan kawasan Babakan Siliwangi. Pak Dadang Iradi menyebutkan, kantor UPT yang khusus untuk mengurus kawasan Hutan Kota Babakan Siliwangi baru akan dibentuk ketika rencana Revitalisasi Hutan Kota Babakan Siliwangi mulai berjalan. Menurut pak Dadang, proyek ini menjadi salah satu program prioritas dari Walikota Bandung. Hal ini ditandai dengan adanya anggaran untuk revitalisasi di kawasan tersebut. Saat ini, revitalisasi Babakan Siliwangi sampai pada tahap pelelangan. Terdapat tiga konsep utama dalam revitalisasi Babakan Siliwangi yang merupakan visi dari Walikota Bandung. Tiga konsep tersebut diantaranya adalah: 1) Menjadi area terbuka publik 2) Memiliki fungsi sosial yang tinggi 3) Menyediakan fasilitas pendukung yang memadai 4) Menjadi sarana olah raga bagi warga Bandung Pak Dadang Iradi menjelaskan bahwa pada rencana Revitalisasi Babakan Siliwangi, akan disediakan ruang untuk kegiatan kelompok seniman yang sudah ada disana. Menurut Pak Dadang, ruang seniman yang sudah ada di Babakan Siliwangi sekarang kurang baik dan kegiatannya kurang berkembang. Selajutnya, kami menanyakan apakah ada komunikasi 75


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

antara pihak pemerintah dengan masyarakat Babakan Siliwangi, terutama kelompok seniman. Pak Dadang mengatakan, usaha untuk komunikasi kepada masyarakat adalah melalui media cetak dan media sosial. Selain itu kami mewawancarai Pak Freddy, salah satu seniman dari Sanggar Olah Seni yang sudah menetap di Babakan Siliwangi sejak tahun 90-an. Sanggar ini didirikan oleh tiga seniman yang terkenal di Bandung, diantaranya Popo Iskandar, Barli dan Tony Yusuf. Sejak itu, masyarakat yang menempati Babakan Siliwangi dan berkegiatan secara aktif adalah kelompok seniman di sanggar tersebut. Mengenai pengelolaan Babakan Siliwangi, Pak Freddy mengatakan bahwa tidak pernah ada campur tangan dari pemerintah. Pemerintah pun tidak mengirimkan satupun orang untuk menjaga kebersihan Babakan Siliwangi. Bahkan, kantor kelurahan yang berada di sebelah sanggar pun tidak pernah melakukan apapun untuk ikut serta dalam merawat Babakan Siliwangi. Sehingga, jika ada pohon yang tumbang dan menghalangi sirkulasi pengunjung, Pak Freddy dan kelompok seniman lain lah yang menyingkirkan dan merapikannya. Sehari-harinya pun Pak Freddy dan para seniman yang meluangkan waktu mengambil sampah yang ditinggalkan pengunjung. Semua dilakukan atas rasa kepemilikan terhadap Babakan Siliwangi. Pak Freddy mengatakan, jika ada suatu kegiatan yang akan diselenggarakan di Babakan Siliwangi, maka pihak tersebut akan mengadakan sosialisasi bersama para seniman. Hal tersebut seharusnya berlaku juga kepada pemerintah. Saat ada isu bahwa Babakan Siliwangi akan direvitalisasi oleh pemerintah, sempat diadakan sosialisasi. Namun setelah itu, tidak ada kabar lebih lanjut mengenai proses revitalisasi itu. Pak Freddy hanya dapat mendapat informasi melalui media lain seperti koran. 4.

KONDISI AKTUAL PENGELOLAAN BABAKAN SILIWANGI

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat gap dalam informasi yang diberikan dari kedua sumber. Pihak dari pemerintah mengatakan bahwa ada petugas yang dikirim secara berkala untuk mengawasi dan membersihkan Babakan Siliwangi. Namun, pernyataan ini tidak sesuai dengan informasi yang diberikan oleh kelompok seniman yang sehari-hari berada di lingkungan Babakan Siliwangi. Menurut kelompok seniman tersebut, tidak pernah ada petugas dari pemerintah yang secara langsung membersihkan, merawat, ataupun mengawasi area Babakan Siliwangi. Ada juga informasi yang melengkapi informasi lain, seperti saat pihak seniman yang berkata bahwa terjadi putusnya informasi mengenai revitalisasi setelah disosialisasikan. Berdasarkan informasi dari Diskamtam, ini terjadi karena sistem baru yang mengandalkan media sosial sebagai media untuk memberitahu informasi, dan bukan melalui sosialisasi dengan masyarakat langsung. Berdasarkan Teori Agency Model dapat dipetakan pihak-pihak yang terlibat dan tahap-tahap yang terjadi dalam proses pengelolaan Babakan Siliwangi. Berdasarkan data yang kami dapat, pihak-pihak yang terlibat dalam proses perawatan serta rencana pengembangan Babakan Siliwangi diantaranya adalah: 1. Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung 2. Kelurahan Babakan Siliwangi 3. Kelompok Seniman Babakan Siliwangi 4. Masyarakat Bandung Pihak-pihak ini tidak semua terlibat secara langsung, tetapi ada yang berlaku sebagai pelaku primer dan pelaku sekunder. Dalam hal ini, yang mempunyai kuasa untuk mengambil keputusan terhadap apa yang terjadi di Babakan Siliwangi adalah Diskamtam. Namun, keputusan-keputusan ini akan terasa dampaknya paling besar terhadap pengguna Babakan Siliwangi, yaitu kelompok seniman Babakan Siliwangi. Selain itu juga akan berdampak pada Kantor Kelurahan yang berada di area Babakan Siliwangi, juga masyarakat Bandung yang sesekali beraktivitas di Babakan Siliwangi. Berdasarkan teori Kevin Lynch pada Good City Form ada beberapa aspek yang dibawahi oleh dimensi pengendalian ini diantaranya kesesuaian (congruence), tanggung 76


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

jawab (responsibility), dan kepastian (certainty). Pada kasus Babakan Siliwangi, pihak yang memegang peran untuk mengendalikan adalah Dinas Pemakaman dan Pertamanan kota Bandung. Setelah ini akan dibahas satu persatu mengenai perbandingan antara aspekaspek pengendalian pada teori Good City Form dengan aspek pengendalian pada Babakan Siliwangi. Dalam hal ini, aspek kesesuaian mengarah kepada bagaimana sebuah tempat diawasi dengan pihak yang berwenang sehingga menghasilkan keamanan, kepuasan, dan kebebasan untuk penggunanya. Melihat dari kondisi Babakan Siliwangi pada saat ini, dapat disimpulkan bahwa keamanan, kepuasan serta kebebasan pengguna kurang terwujud. Pada lingkungan Babakan Siliwangi, terdapat area-area yang dikuasai oleh preman-preman parkir yang menempati lokasi tersebut secara ilegal. Pada beberapa titik di lingkungan Babakan Siliwangi juga terdapat bekas tindakan vandalisme. Selain itu, karena tidak memadainya pengawasan pada area Babakan Siliwangi yang luas, beberapa lokasi menjadi tempat tinggal kaum gelandangan dan rawan terjadi tindak kriminal. Kemudian, hutan pada Babakan Siliwangi juga tidak dirawat. Sehingga jika ada pohon yang tumbang dan mengganggu akan dibiarkan. Semua Ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengunjung Babakan Siliwangi. Adapun pengguna Babakan Siliwangi yang permanen seperti Komunitas Seni Babakan Siliwangi merasa tidak puas dengan perawatan fasilitas dan lingkungan. Tetapi tidak pernah ada tindakan dari Diskamtam yang membuat penggunapengguna tersebut lebih nyaman. Aspek yang ke dua yaitu tanggung jawab, mengarah pada bagaimana kemampuan dari sebuah pihak untuk mengurus suatu tempat. Pada kasus ini, dapat diperhatikan tentang bagaimana pihak Diskamtam melaksanakan tanggung jawabnya dalam mengurus Babakan Siliwangi. Selain Babakan Siliwangi, Diskamtam bertanggung jawab atas ruang terbuka hijau di kota Bandung, jalur hijau, median jalan dan taman kota. Setiap taman di Kota Bandung memiliki kantor UPT yang khusus mengelola taman tersebut. Namun, untuk Babakan Siliwangi, belum ada kantor yang secara khusus mengelola ruang kota tersebut. Sehingga, pengawasan, pembersihan maupun perawatannya tidak berjalan dengan baik. Menurut Kepala Diskamtam, kantor UPT untuk Babakan Siliwangi baru akan didirikan setelah proyek revitalisasi selesai. Aspek yang terakhir yaitu kepastian mengacu kepada cakupan hal yang dikendalikan sehingga terdapat perasaan aman untuk mengendalikannya. Dalam hal ini skala Babakan Siliwangi yang merupakan hutan kota jelas jauh lebih besar dari skala taman yang sudah dikendalikan oleh Diskamtam. Adapun hutan kota lain yang terletak di Bandung adalah Taman Hutan Raya Juanda yang merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sehingga, Diskamtam tidak mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengendalikan kawasan dengan skala hutan. Kurangnya pengalaman dan kebingungan dalam mengendalikan dalam skala ini menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan Babakan Siliwangi. 5.

PENUTUP

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola ataupun membangun suatu RTH, perancangan yang baik tidak cukup. Dalam proses implementasinya, banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi keadaan. Salah satu faktor yang terlihat dalam kasus ini adalah koordinasi dan kendali dari pihak-pihak yang berwenang. Pada kasus Babakan Siliwangi, pengendalian yang kurang baik oleh pihak yang berwenang (Diskamtam) disebabkan oleh tidak terpenuhinya tiga aspek pengendalian. Tiga aspek pengendalian menurut Kevin Lynch adalah kesesuaian, tanggung jawab dan kepastian. Selain itu, pihak yang berwenang ini juga tidak menjalin koordinasi yang baik dengan pihak pihak lain yaitu kelompok seniman Babakan Siliwangi. Seharusnya, Diskamtam tidak menunggu sampai revitalisasi selesai untuk mendirikan UPT. Dengan demikian, lingkungan dan fasilitas yang sudah ada dapat digunakan dengan nyaman. Atau, jika Diskamtam tidak mampu mengelola RTH dengan skala hutan kota, lebih baik diserahkan saja ke pihak yang mampu seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 77


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Selain itu, akan lebih baik jika Diskamtam memberikan informasi melalui sosialisasi langsung, karena sosialisasi tidak langsung seperti melalui media sosial tidak menjamin ketersampaian informasi dengan baik. Dengan demikian, mungkin akan terjalin komunikasi dan koordinasi yang lebih baik antara Diskamtam dan pengguna Babakan Siliwangi. Sehingga, aspirasi dari pihak pengguna dan pihak lain yang terlibat dapat menjadi pertimbangan atas tindakan yang akan dilakukan. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Lynch A. Kevin (1981). A Theory of Good City Form. , MIT Press, USA Healey, Patsy (1991). Models of Development Process: a review. pp. 224-232 https://id.wikipedia.org/wiki/Babakan_Siliwangi http://regional.kompas.com/read/2009/10/08/11350678/Hentikan.Pembangunan.di.Babakan.Sili wangi https://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/14/058544814/bandung-gelar-sayembaradesain-babakan-siliwangi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota http://nasional.news.viva.co.id/news/read/248785-lima-kota-paling-hijau-di-indonesia

78


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ASPEK ARSITEKTURAL YANG MENDUKUNG WARUNK UPNORMAL MEMIKAT KAUM MUDA Freddy TJAHYADI (1), Richard ANDERSEN (2), dan Benedictus Thomas Pradipta Tri Prakasa WASISTAWILASA (3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) freddy_tjahyadi@rocketmail.com; (2) rich_art1895@yahoo.com; (3) chen.pradipta@gmail.com ABSTRAK Sebagai sebuah kafe yang menyediakan hidangan sederhana dengan harga yang relatif mahal, Warunk Upnormal mampu memikat konsumen hingga larut malam. Pengunjung yang didominasi oleh pelajar SMA dan mahasiswa tingkat sarjana, sebagai bagian dari Generasi Z memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Kesenangannya untuk berdiskusi, peduli dengan kesehatan, dan kecenderungan escapism demi suasana baru juga turut mendukung Warunk Upnormal dalam memikat kaum muda. Terlebih lagi, dengan desain arsitektural yang baik – dengan memperhatikan faktor-faktor seperti pencahayaan, penghawaan, penerangan, warna dan terkstur, kebisingan, kebersihan, ergonomi, sirkulasi, use of space, serta universal design principle - maka terbentuklah sense of attachment oleh pengunjung dengan kafe tersebut. Dengan menggunakan studi literatur serta metode observasi, wawancara, dan kuesioner, data kenyamanan subjektif setiap individu yang memiliki jawaban homogen dapat dijadikan kondisi kenyamanan yang objektif. Dengan demikian, desain arsitektural yang diimplementasikan pada Warunk Upnormal ini dikatakan berhasil untuk memikat kaum muda. Oleh karena itu, penelitian ilmiah mengenai “Aspek Arsitektural yang Mendukung Warunk Upnormal Memikat Kaum Muda” dibuat, dengan tujuan agar dapat memperjelas aspek arsitektral apa saja yang perlu diperhatikan untuk menghadirkan kualitas ruang yang baik dan nyaman bagi pengguna, khususnya kaum muda. Kata Kunci: kaum muda, aspek arsitektural, karakteristik, suasana ruang, kenyamanan

1.

PENDAHULUAN

Warunk Upnormal adalah sebuah kafe yang menyediakan hidangan sederhana layaknya warung kopi konvensional. Menu makanan yang ditawarkan kafe ini relatif sederhana, yaitu aneka olahan indomie, roti bakar, susu segar, dan kopi. Akan tetapi, harga yang ditawarkan relatif lebih mahal dari pada warung kopi pada umumnya. Namun demikian, kafe ini tetap saja ramai pengunjung bahkan hingga larut malam. Mayoritas konsumen kafe ini adalah siswa SMA dan mahasiswa tingkat sarjana, yang mana merupakan kaum muda bagian dari Generasi Z. Generasi kelahiran tahun awal 1990an hingga akhir 2010an ini (Tulgan, Bruce and RainmakerThinking, Inc. 2013. Meet Generation Z: The second generation within the giant “Millennial” cohort. New Haven: RainmakerThinking, Inc.) memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka menyenangi diskusi, peduli akan kesehatan, dan cenderung memiliki sifat escapism demi mencari suasana baru. Berdasarkan fakta tentang Generasi Z, “apa saja kriteria yang dipenuhi Warunk Upnormal sehingga diminati Generasi Z?”

79


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.

KAJIAN TEORI

2.1. Generasi Z Generasi Z ini memiliki beberapa karakteristik yang diantaranya escapist (Wood, Stacy. Generation Z as Consumers: Trends and Innovation. North Carolina: NC State University), peduli kesehatan (Sladek, Sarah and Alyx Grabinger. Gen Z: The first generation of the 21st Century has arrived!. XYZ University), serta senang berdiskusi (Getting to Know GEN Z: Exploring middle and high schoolers’ expectations for higher education. New Jersey: Barnes&Noble College). Escapism memiliki arti “the tendency to seek distraction and relief from unpleasant realities, especially by seeking entertainment or engaging in fantasy”. (https://en.oxforddictionaries.com/definition/escapism diakses pada tanggal 2 Desember 2016). Sifat ini berdampak pada kegiatan yang mereka lakukan dalam kesehariannya, yaitu tidak betah untuk diam di rumah. Adanya alternatif tempat selain rumah menjadi pilihan bagi Generasi Z untuk berkegiatan, lebih – lebih jika alternatif ini didesain dengan baik. Karakteristik yang juga khas dari kaum generasi muda ini adalah kepeduliannya terhadap kesehatan diri sendiri, termasuk dalam memilih ruang untuk beraktifitas yang bersih dan nyaman. Selain itu, berdasarkan riset oleh Barnes&Noble College, 80% siswa memilih untuk belajar bersama – sama dengan temannya. Bentuk kegiatan belajar yang dilakukan biasanya berupa diskusi kelompok. 2.2. Pengaruh Desain Terhadap Intensitas Penggunaan Suatu Tempat Menurut Hurlock, mahasiswa cenderung mengikuti teman sepermainannya mulai dari kebiasaan hingga tempat beraktifitas mereka. Dengan sifatnya yang juga cenderung escapist dan suka mencari suasana baru, kelompok generasi ini selalu berusaha mencari tempat, selain rumah mereka, untuk berkumpul. (Hurlock, E. 1996. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga) Selain itu, menurut Gehl, kaum muda akan betah untuk tetap berada di suatu tempat dalam jangka waktu yang cukup lama bahkan mereka akan kembali untuk mengunjungi tempat tersebut jika suatu tempat didesain dengan baik serta memenuhi ekspektasi mereka. Dengan kata lain, tempat yang didesain dengan baik akan memunculkan sense of attachment bagi mereka terhadap tempat tersebut. (Gehl, J. 1986. Life between Buildings: Using Public Space. New York: Van Nostrad Reinhold Company). Berdasarkan kecenderungan yang telah disebutkan di atas, maka jelas terdapat pengaruh yang signifikan dari desain sebuah tempat terhadap kebiasaan dari kaum muda. Semakin baik desain dari suatu tempat, maka semakin digemari pula tempat tersebut untuk dijadikan sebagai tempat bertemu, atau yang lebih akrab dikenal sebagai “tempat nongkrong”. Desain yang baik mencakup pertimbangan – pertimbangan bangunan yang sehat. Bangunan yang sehat memerhatikan antara lain aspek pencahayaan, penghawaan, dan kebersihan. Bangunan yang memenuhi kriteria ini tentunya dapat meningkatkan kekondusifan untuk berkegiatan, salah satunya berdiskusi, yang digemari kaum Generasi Z. 2.3. Aspek Arsitektural – Studi Kenyamanan Ruang Nyaman berarti segar;sehat (http://kbbi.web.id/nyaman diakses pada tanggal 3 Desember 2016) sedangkan kenyamanan adalah keadaan nyaman; kesegaran; kesejukan. Kolcaba (2003) menjelaskan bahwa kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang bersifat individual dan holistic. Dengan terpenuhinya kenyamanan dapat menyebabkan perasaan sejahtera pada diri individu tersebut. Ada tiga buah aspek kenyamanan (Kolcaba 2003): 80


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

- kenyamanan fisik: berkenaan dengan sensasi tubuh yang dirasakan oleh individu itu sendiri. Ada pun faktor-faktor yang mempenaruhi fisik manusia secara langsung seperti warna, suhu, pencahayaan, suara, - kenyamanan psikospiritual berkenaan dengan kesadaran internal diri, yang meliputi konsep diri, harga diri, makna kehidupan, seksualitas hingga hubungan yang sangat dekat dan lebih tinggi, dan - kenyamanan sosial kultural berkenaan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial atau masyarakat (keuangan, perawatan kesehatan individu, kegiatan religius, serta tradisi keluarga). Berikut ini keterangan dari faktor – faktor yang mempengaruhi kondisi kenyamanan fisik seorang individu akibat kualitas ruang berdasarkan Dr. Bill Hettler (Executive Director of the National Wellness Institute) sirkulasi, penerangan, warna dan tekstur, angin, temperatur, kebisingan (akustik), kebersihan, ergonomic, use of space, universal design principle. Faktor – faktor tersebut akan mempengaruhi kenyamanan manusia ketika berada di dalam sebuah ruangan. 3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Warunk Upnormal adalah sebuah kafe yang tergolong ramai pengunjung khususnya oleh kaum muda yang gemar “nongkrong” bahkan hingga larut malam. Kafe yang ramai ini sudah membuka banyak cabang tersebar di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Di Kota Bandung sendiri—kota di mana Warunk Upnormal pertama diresmikan—terdapat lebih dari 10 gerai (www.warunkupnormal.com diakses pada tanggal 3 Desember 2016). Ada pun mayoritas konsumen kafe ini adalah siswa SMA dan mahasiswa tingkat sarjana yang mana merupakan kaum muda Generasi Z. Kaum ini cenderung bersifat escapism atau menyenangi pencarian pengalaman baru. Pengalaman baru yang dimaksud bertujuan untuk mencari hiburan sebagai pelarian dari kepenatan kehidupan sehariharinya. Ada pun Generasi Z memiliki kegemaran untuk “nongkrong”, di luar rumah, untuk salah satunya berdiskusi dengan teman secara langsung. Namun, tidak semua tempat pun menjadi preferensi kaum muda sebagai tempat berkumpul. Tentu terdapat keunggulan dari suatu tempat yang mana mampu memunculkan sense of attachment bagi mereka terhadap tempat tersebut. Dengan adanya fenomena ini, penulis berhipotesis bahwa sentuhan arsitektur yang dihadirkan pada Warunk Upnormal menjadi salah satu faktor yang berperan dalam memikat kaum muda. 3.2. Pengumpulan Data Untuk membuktikan hipotesis tersebut di atas, penulis melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data ditempuh dengan tiga metode, yakni metode observasi, wawancara langsung, dan penyebaran kuesioner. Metode observasi dilakukan untuk mengamati suasana beberapa gerai Warunk Upnormal secara langsung, di antaranya Warunk Upnormal Jl. Dipati Ukur No.3 dan Jl. R.E Martadinata (Riau) No. 114. Berikut ini adalah foto suasana di kedua gerai Warunk Upnormal.

81


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1 Warunk Upnormal Jl. R.E. Martadinata (Riau) No. 114 – Outdoor (sumber: dokumentasi kelompok)

Gambar 2 Warunk Upnormal Jl. R.E. Martadinata (Riau) No. 114 – Indoor (sumber: dokumentasi kelompok)

Gambar 3 Warunk Upnormal Jl. Dipati Ukur No. 3 (sumber: dokumentasi kelompok)

82


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Metode wawancara dilakukan secara spontan oleh penulis kepada beberapa sample acak pengunjung yang hadir di gerai tersebut. Ada pun hasil dari wawancara ini relatif homogen. Para pengunjung mengutarakan daya tarik dari Warunk Upnormal ini terletak pada fasilitas yang disediakan serta keragaman inovasi menu makanan yang ditawarkan.

Gambar 4 Foto Proses Wawancara (sumber: dokumentasi kelompok) Metode terakhir menggunakan kuesioner. Pertanyaan yang terdapat di dalam kuesioner berhubungan dengan delapan faktor kualitas ruang yang mempengaruhi kenyamanan fisik, merujuk dari Executive Director of the National Wellness Institute.

83


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 4. Sampel Hasil Kuesioner Warunk Upnormal Usia Pekerjaan Cabang Upnormal Nyaman atau tidak di Upnormal Alasan

Kesan Material dan Warna Perabot

Kesan Material dan Warna Lantai

Kesan Material dan Warna Dinding

Ambience

Penghawaan

Pencahayaan

nyaman untuk membaca nyaman untuk bekerja nyaman untuk ngobrol nyaman untuk pacaran nyaman untuk makan nyaman untuk bermain tidak nyaman Other Skala Pencahayaan dingin adem lembab kering panas Other Skala Penghawaan Tingkatan Kebisingan Skala Kebisingan nyaman untuk membaca nyaman untuk bekerja nyaman untuk ngobrol nyaman untuk pacaran nyaman untuk makan nyaman untuk bermain tidak nyaman Other hangat intim/ romantis fancy/ mewah cozy vintage industrialis kekinian (gaul) minimalis homey menambah nafsu makan Other hangat intim/ romantis fancy/ mewah cozy vintage industrialis kekinian (gaul) minimalis homey menambah nafsu makan Other hangat intim/ romantis fancy/ mewah cozy vintage industrialis kekinian (gaul) minimalis homey menambah nafsu makan Other

19 - 21 Kuliah Cihampelas Iya Ada wifi, permainan, dan suasananya nyaman

19 - 21 Kuliah Riau Iya Harga terjangkau, musik enak, ada ruang terpisah untuk smoking dan no smoking

15 - 18 Kuliah Ciwalk Iya

15 - 18 Kuliah Braga, Dipati Ukur Iya

Suasananya bagus V

Tempatnya cozy

V V

V V

V

V V

V V V V

V V

3

4

4

3

V

V

V

V

3 Ramai 3

4 Ramai 4

4 Ramai 4

3 Ramai 4

V

V

V

V

V

V V

V

V

V

V

V

V

V V

V V V

V

V V V

V

V V

V

V

V V

V V V

V

V

V V V

V V

V V

V V

V

V V

V V

V V

V

V

V V

V V V

V

84


Kesan Warna Lampu

AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

hangat intim/ romantis fancy/ mewah cozy vintage industrialis kekinian (gaul) minimalis homey menambah nafsu makan Other

Kesan Bukaan Lebar

V V

V V V V

Sejuk, cahaya matahari lebih masuk, membuat udara masuk lebih mudah 4

Suasana lebih hidup karena terasa ramai

Suasana lebih hidup karena terasa ramai

Nampak hidup, transparan 3 V V

3 V V V

V

4 V V V V

V

V

3 Ya V

5 Ya V

4 Ya V

4 Ya V

Ya V

Ya V

Ya V

Ya V

Teratur Padat V V

Teratur Pas

Teratur Pas

Teratur Pas

V

Komposisi Lay-Out Ruang

Alasan Kenyamanan Meja

Alasan Kenyamanan Kursi

Kebersihan

Skala Ambience tempat makannya bersih ruangannya bersih kasirnya bersih toiletnya bersih ruang sewanya bersih outdoornya bersih tidak bersih Other Skala Kebersihan Kursinya nyaman atau ngga? Nyaman kok Tinggi tidak pas Panjang tidak pas Lebar tidak pas Terlalu keras Terlalu empuk Ga ada sandaran Sandaran ga pas Ga ada sandaran tangan Sandaran tangan ga pas Other Meja makannya nyaman atau ngga? Nyaman kok Ketinggian tidak pas Panjang tidak pas Lebar tidak pas Tidak suka dengan bahan mejanya Other Keteraturan Penyusunan Perabot Kepadatan Perabot Toilet mudah ditemukan Kasir mudah ditemukan Ruang sewa mudah ditemukan

V

Desain Inklusif

Fasilitas

V Other Nggak ada apa -apa Ada sofa Ada wifi kencang V Ada colokan listrik V Buka hampir/ bahkan 24 jam V Other Kelengkapan fasilitas? Lengkap nyaman bagi orang tua nyaman bagi ibu hamil nyaman bagi pengguna kursi roda tidak ramah V Other Nama Start Date (UTC) 2016-11-20 11:54:44 Submit Date (UTC) 2016-11-20 12:00:42

V

V

V

V V

V

V

V V Lengkap V V

V V V

Lengkap

Lengkap

V

V

V

Silky 2016-11-21 00:37:41 2016-11-21 00:43:48

Carin 2016-11-22 16:54:562016-11-22 16:16:05 2016-11-22 17:39:102016-11-22 16:20:38

Tabel di atas menunjukan 4 sampel acak yang diambil dari 100 responden. Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan ini : https://drive.google.com/open?id=0ByIZDd5Spt6eemxaOGVpd0dlNWM 85


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Tabel 2 – 14. Hasil Olahan Kuesioner

86


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Grafik – grafik di atas merupakan hasil olahan kuisioner yang telah diisi oleh 100 responden. Ada tiga belas buah aspek yang dinilai dalam menilai kenyamanan ruang berdasarkan delapan faktor yang diutarakan oleh Dr. Bill Hettler. Bisa terlihat bahwa mayoritas aspek yang dinilai mendapatkan umpan balik positif dari para responden. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan faktor – faktor tersebut sudah terpenuhi.

87


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.2. Interpretasi Data Aspek kenyamanan fisik seorang individu dapat diukur berdasarkan delapan faktor, disebutkan Dr. Bill Hettler. Kedelapan faktor tersebut secara bersama-sama menjadi penentu dari tingkat kenyamanan seseorang di suatu ruang. Namun demikian, faktor – faktor yang dikuantifikasikan menjadi skala angka untuk mengukur kenyaman manusia ini tentunya tetap mengandung unsur subjektivitas yang mana sangat beragantung pada persepsi dari tiap-tiap responden. Untuk mengantisipasi unsur subjektivitas dalam penyimpulan data, penulis merujuk Space and Place: The Perspective of Experience karya Yi Fu Tuan. Menurutnya, ruang diklasifikasikan menjadi dua buah jenis, yaitu subjective space dan objective space. Subjective space merupakan sebuah ruang yang tercipta di dalam alam bawah sadar setiap individu, sedangkan objective space merupakan kumpulan gagasan dari berbagai sudut pandang subjective space. Fenomena ini menjelaskan bahwa kumpulan sudut pandang subjektif dari banyak orang terhadap suatu ruang dapat disimpulkan menjadi suatu persepsi komunal yang sifatnya objektif bila kumpulan nilai – nilai subjektif tersebut mengatakan hal yang sama. (Tuan, Yi-Fu. 1997. Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota) Melihat pada hasil dari pengumpulan data diatas, dapat dikatakan bahwa Warunk Upnormal telah memenuhi kriteria – kriteria seperti pada aspek pencahayaan, penghawaan, ambience, memunculkan kesan material pada dinding, ruangan yang bersih, perabot yang nyaman, orientasi menuju kasir, serta fasilitas penunjang karena lebih dari setengah total responden memiliki perspektif yang sama. Tentu dalam pengumpulan data akan didapatkan sebuah atau beberapa pandangan yang berbeda dari pandangan responden pada umumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor eksternal seperti perbedaan pengelola dan manajemen pada setiap gerainya. Selain itu, penentuan Objective Space ini disimpulkan dari pandangan mayoritas jumlah responden yang menyuarakan hal yang sama, bukan berlandaskan suatu teori (YiFu Tuan, 1977). Oleh karena itu, ada kemungkinan juga, diluar faktor eksternal yang mempengaruhi, bahwa responden yang merespon hanyalah sebagian minoritas. 5.

PENUTUP

Melihat dari tiga belas kelompok data terkait kenyaman akibat kualitas ruang yang telah dikumpulkan serta menimbang berbagai pandangan dari studi literatur mencakup antara lain terkait faktor – faktor yang mempengaruhi aspek kenyamanan, teori subjective dan objective space, teori kecenderungan siswa untuk belajar berkelompok, teori tentang kepedulian kaum muda pada kesehatan, teori tentang escapism, teori tentang kebiasaan siswa untuk mengikuti kebiasaan grup bermainnya, serta teori tentang kaum generasi Z sebagai pangsa pasar, dapat disimpulkan bahwa “aspek arsitektural yang dihadirkan oleh Warunk Upnormal” berhasil menarik perhatian kaum muda dengan aspek pencahayaan, penghawaan, ambience, memunculkan kesan material pada dinding, ruangan yang bersih, perabot yang nyaman, orientasi menuju kasir, serta fasilitas penunjang. Untuk kesimpulan, dapat dikatakan bahwa “aspek arsitektural yang dihadirkan oleh Warunk Upnormal” berhasil menarik perhatian kaum muda karena telah memenuhi faktor – faktor yang dapat menilai aspek kenyamanan individu secara objective.

6.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes & Noble College. Getting to Know GEN Z: Exploring middle and high schoolers’ expectations for higher education. New Jersey: Barnes&Noble College.

88


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Kolcaba, K. 2003. Comfort theory and practice: a vision for holistic health care and research. New York: Springer Publishing Company. Gehl, J. 1986. Life between Buildings: Using Public Space. New York: Van Nostrad Reinhold Company. Hurlock, E. 1996. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Sladek, Sarah and Alyx Grabinger. Gen Z: The first generation of the 21st Century has arrived!. XYZ University. Tuan, Yi-Fu. 1997. Space and Place: The Perspective of Experience. Minneapolis: University of Minnesota. Tulgan, Bruce and RainmakerThinking, Inc. 2013. Meet Generation Z: The second generation within the giant “Millennial” cohort. New Haven: RainmakerThinking, Inc. Wood, Stacy. Generation Z as Consumers: Trends and Innovation. North Carolina: NC State University. kbbi.web.id/nyaman diakses pada tanggal 3 Oktober 2016. en.oxforddictionaries.com/definition/escapism diakses pada tanggal 2 Desember 2016. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41143/4/Chapter%20II.pdf_ diakses pada tanggal 24 November 2016. www.warunkupnormal.com diakses pada tanggal 3 Desember 2016.

89


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

90




ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

PROSIDING

AR 4151 SEMINAR ARSITEKTUR

Dosen Pengampu: DEWI LARASATI, S.T., M.T., Ph.D

2016-2017



Prosiding AR4151 Seminar Arsitektur ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

Editors Sri SURYANI Nissa Aulia ARDIANI

School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung

Copyright and Reprint Permission All rights reserved. This book, or parts thereof, may not be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording, or any information storage and retrival system now known or to be invented, without written permission from Architecture Seminar

All Rights Reserved. Š 2017 by School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung, INDONESIA Tel. +62-22-2504962, Fax. +62-22-2530705



DAFTAR ISI

Evaluasi Kenyamanan Studo Arsitektur pada Universitas di Bandung ................................................1 Penilaian Masyarakat akan Performa Alun-Alun Bandung Pasca Renovasi .................................... 13 Evaluasi Pasca Huni Bangunan Perpustakaan Pusat ITB ......................................................................... 23 Pengaruh Perubahan Gaya Hidup Kongko-Kongko Masyarakat Terhadap Desain Arsitektur Cafe ................................................................................................................................................................................. 35 Preferensi Masyarakat Kota Bandung dalam Memilih Restoran Dilihat dari Aspek Arsitektural: Studi Kasus Jalan Progo .............................................................................................................. 45 Realita Implementasi Bangunan dengan Konsep Ramah Lingkungan ............................................... 65 Desain Arsitektur sebagai Prediktor Keberhasilan Art Space di Kota Bandung ............................. 73 Tingkat Keberhasilan Konsep Desain Mall Paris Van Java dalam Menarik Pengunjung .. 85



AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI KENYAMANAN STUDIO ARSITEKTUR PADA UNIVERSITAS DI BANDUNG Erma TSANIA(1), Erdiani ERWANDI(2), dan Teresa ZEFANYA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)erma.tsania911@gmail.com; (2)erdiani.erwandi@gmail.com; (3)fanytanuriady@gmail.com

ABSTRAK Pendidikan arsitektur membutuhkan kondisi khusus dalam memfasilitasi kegiatan belajar mengajar berstudio. Studio arsitektur adalah tempat di mana terjadi kegiatan belajar mengajar arsitektural dan tempat interaksi antara mahasiswa dan mahasiswa serta mahasiswa dan pembimbing. Kualitas studio yang tepat akan meningkatkan kualitas lingkungan belajar arsitektur dan kenyamanan pengguna itu sendiri. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi kondisi studio dan menentukan persepsi mahasiswa terhadap studio tempat mereka bekerja. Evaluasi kenyamanan studio dilaksanakan melalui metode berbasis studi literatur, observasi dan pengukuran lapangan, wawancara dan pengambilan kuesioner. Objek penelitian evaluasi studio dipilih empat universitas di Bandung sesuai dengan akreditasi yang ditetapkan Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, yaitu ITB, UNPAR, UPI, dan UNIKOM. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan fisik akan memberikan pengaruh langsung terhadap kenyaman pengguna, namun desain ruang studio arsitektur tidak menjadi faktor utama penentu kenyamanan mahasiswa dalam pelaksanakan kegiatan belajar mengajar arsitektural. Faktor utama penentu kenyamanan mahasiswa dalam mengerjakan studio perancangan arsitektur ditentukan oleh kurikulum dan peraturan akademik program studi arsitektur masing-masing universitas. Kata Kunci: studio arsitektur, kualitas, kenyamanan, evaluasi, Bandung

1.

PENDAHULUAN

Studio arsitektur menjadi pusat pendidikan arsitektur itu sendiri. Oleh karena itu, mahasiswa arsitektur menghabiskan hampir seluruh waktu kuliahnya di dalam studio desain arsitektur. Akan tetapi, ada kecenderungan mahasiswa mengerjakan tugas studio di luar ruangan studio. Hal ini mengindikasikan bahwa mahasiswa cenderung produktif mengerjakan tugas studio di luar studio desain. Tempat yang dipilih oleh mahasiswa dalam mengerjakan tugas studio, seringkali tidak cocok untuk digunakan mengerjakan tugas studio. Namun mahasiswa arsitektur tetap memilih mengerjakan tugas-tugas tersebut di luar studio, seperti rumah, kosan, dan cafĂŠ. Sedangkan beberapa mahasiswa tetap memilih untuk mengerjakan tugas di ruang studio, walaupun tidak sedikit dari mereka yang mengeluhkan kualitas studio tempat mereka bekerja. Terkait dengan permasalahan di atas, penelitian kualitas studio arsitektur dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi kualitas studio arsitektur terhadap kenyamanan pengguna, khususnya mahasiswa, serta menentukan persepsi mahasiswa sebagai pengguna studio terhadap kenyamanan lingkungan belajar studio. Penelitian evaluasi studio ini menghasilkan suatu saran desain studio arsitektur yang dapat memberikan kenyamanan bagi mahasiswa. Penelitian ini difokuskan pada studio-studio arsitektur pada empat universitas di Bandung, yaitu ITB, UNIKOM, UNPAR dan UPI yang dipilih berdasarkan atas perbedaan kelengkapan sarana dan prasarana pada program studi arsitektur di setiap universitas 1


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

yang telah terakreditasi oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan rincian sebagai berikut: ITB, universitas negeri akreditasi A, UNPAR, universitas swasta akreditasi A, UPI, universitas negeri akreditasi B dan UNIKOM, universitas swasta akreditasi B. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Studio sebagai Komponen Utama Pendidikan Arsitektur Menurut Anthony dalam Lueth (2008), budaya pendidikan arsitektur (culture of architectureal education) adalah pembelajaran studio berbasis projek (project-based studio approach). Sedangkan budaya studio desain arsitektur (architectural design studio culture) adalah suatu interaksi belajar antar mahasiswa dan mahasiswa serta mahasiswa dan pembimbing, dimana mahasiswa akan tetap melanjutkan pekerjaan proyek mereka tanpa kehadiran pembimbing. Fungsi studio desain arsitektur sebagai komponen utama secara konsekuen menyebabkan studio arsitektur sebagai ruang utama mahasiswa beraktivitas. Hal ini dikarenakan studio menjadi tempat utama kegiatan proses mengajar dan belajar terlaksana. Mahasiswa dan pembimbing menghabiskan sebagian besar waktunya secara sosial maupun akademik di studio. Dengan demikian, studio diharapkan dapat menyediakan suatu kondisi nyaman baik dari faktor fisik maupun psikologis. 2.2. Kualitas Studio Arsitektur Berdasarkan Prinsip Arsitektur Tropis Menurut Setiawan (1995), ruang menjadi aspek pembahasan penting dalam studi arsitektur lingkungan. Fungsi ruang sebagai wadah kegiatan manusia harus memenuhi kebutuhan pengguna yang secara sinergis akan menciptakan kenyamanan fisik dan psikologis bagi penghuninya. Menurut Herman dalam Obeidat (2012) menyatakan bahwa desain suatu ruang kelas akan mempengaruhi tingkat kreativitas, konsentrasi, perilaku, kinerja, dan kebahagiaan mahasiswa. Oleh karena itu, studio desain arsitektur yang terencana dengan baik, akan meningkatkan pengalaman proses. Penataan interior, kenyamanan perabot, pencahayaan, dan penghawaan di dalam ruang studio harus diperhatikan dengan teliti. Menurut SNI Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan, iluminansi yang dibutuhkan pada ruang gambar adalah 750 lux. Sedangkan temperatur udara interior yang nyaman pada daerah tropis lembab menurut Santoso (2012) adalah 23-260C. 2.3. Dampak Kualitas Studio Terhadap Kenyamanan Pengguna Penelitian Tumusiime (2013) terkait persepsi mahasiwa terhadap studio arsitektur menyebutkan bahwa ukuran studio terkait erat dengan aspek privasi mahasiswa. Ukuran studio yang besar dapat menyediakan keberagaman aktivitas. Namun ukuran studio yang terlalu besar akan mengakibatkan ketidakefektifan penggunaan ruang, mahasiswa cenderung berkumpul di sudut-sudut ruangan. Beberapa mahasiswa juga menginginkan suatu ruang tersendiri untuk menjaga privasi dan konsentrasi mereka. Selain ukuran studio, interaksi visual yang dihasilkan studio dapat meningkatkan respon positif pada proses belajar mahasiswa. Fasilitas studio yang memadai akan meningkatkan motivasi dan komitmen mahasiswa untuk mengerjakan tugas studio. Selain itu, penggunaan tekstur dan warna pada studio akan meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa. 2.4. Evaluasi Studio Arsitektur Berdasarkan penelitian Obeidat (2012) aspek interior menjadi pertimbangan penting dalam aktivitas belajar mengajar desain. Penelitian tersebut menyebutkan aspek-aspek penting interior studio desain. Berikut ini urutan empat aspek penting interior studio, yaitu pencahayaan, penataan perabotan, fleksibilitas, dan penghawaan. Pencahayaan dianggap penting karena proses desain berurusan dengan garis, bentuk, dan warna. 2


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Aktivitas ini sangat membutuhkan kualitas pencahayaan yang layak. Studio desain juga membutuhkan perabotan spesifik seperti meja gambar dan kursi yang dapat mengakamodasikan pergerakan, perubahan, dan kenyamanan. Selain itu fleksibilitas penataan perabotan menjadi sangat penting mengingat tingginya interaksi antar sesama mahasiswa serta mahasiswa dan pembimbing. Penelitian juga menunjukkan aspek penghawaan merupakan aspek penting dikarenakan suhu mempengaruhi kenyamanan proses belajar mengajar desain arsitektur. Warna pada studio desain diungkapkan sebagai aspek interior yang tidak penting. Selain empat aspek interior tersebut, 86% responden mengindikasikan bahwa studio desain yang ideal mampu mengakomodasi kebutuhan proses menggambar tangan maupun komputasional. 3.

DESKRIPSI KASUS

Penelitian terhadap kualitas studio arsitektur perlu diadakan untuk mengevaluasi kenyamanan pengguna, khususnya mahasiswa, dalam menggunakan studio arsitektur. Penelitian ini difokuskan pada studio-studio arsitektur pada empat universitas di Bandung, yaitu ITB, UNIKOM, UNPAR dan UPI. Pemilihan objek didasarkan atas perbedaan kelengkapan sarana dan prasarana pada program studi arsitektur di setiap universitas yang telah terakreditasi oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan rincian sebagai berikut: ITB, universitas negeri akreditasi A, UNPAR, universitas swasta akreditasi A, UPI, universitas negeri akreditasi B dan UNIKOM, universitas swasta akreditasi B. Kriteria kenyamanan yang dipilih peneliti dalam mengevaluasi kualitas studio terhadap kenyamanan pengguna, terdiri dari kriteria fisik studio arsitektur dan persepsi mahasiswa terhadap kualitas ruang studio arsitektur. Kriteria fisik studio meliputi kondisi pencahayaan, kondisi penghawaan, dan kondisi fasilitas yang tersedia pada setiap studio arsitektur. Persepsi mahasiswa terhadap kualitas studio arsitektur meliputi efektivitas dan produktivitas pengerjaan tugas, tingkat konsentrasi mahasiswa selama di ruang studio arsitektur. 3.1. Tinjauan Kasus Data yang dikumpulkan dari setiap Studio Perancangan Arsitektur di ITB, UNPAR, UPI dan UNIKOM meliputi pengguna masing- masing studio, jadwal studio, luas studio, fasilitas yang tersedia di dalam studio, akses menuju studio tersebut serta denah studio yang menunjukkan bentuk dan penataan perabotan di dalam masing- masing studio. Semua studio di UNPAR, UPI dan UNIKOM hanya dapat dipergunakan pada jam studio, sebaliknya studio- studio di ITB dapat digunakan 24 jam pada hari Senin- Sabtu. Tabel 1. Tabel Data Umum Masing – Masing Studio Universitas ITB

UNPAR

Studio Lantai 4

Pengguna Tingkat 2

Jadwal Studio Senin dan Selasa, 09.00 - 17.00

Luas 28m x 20m

Lantai 5

Tingkat 3

Selasa dan Rabu, 09.00 - 17.00

28m x 20m

Lantai 6

Tingkat 4

28m x 20m

Studio Tugas Akhir

Tugas Akhir

Senin, 11.00 – 17.00 Selasa, 09.00 – 17.00 Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, 09.00 – 17.00

Gedung X

Studio Perancangan Arsitektur 5 Studio

Senin dan Kamis, 07.00 – 15.00

28m x 34m

28m x 20m

Fasilitas yang Tersedia Meja tracing, stop kontak, papan tulis, rak maket, loker barang, panel karya Meja tracing, stop kontak, loker barang, panel karya, Meja gambar, stop kontak, panel karya, mezanin sebagai tempat maket, kipas angin Meja gambar, stop kontak, panel karya

Akses Tangga utama, tangga kebakaran, lift

Meja gambar, stop kontak, papan tulis, AC

Koridor utama

Tangga utama, tangga kebakaran , lift Tangga utama, tangga kebakaran Tangga lift

utama,

Selasa dan Jumat,

3


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Perancangan Arsitektur 6 Studio Akhir Arsitektur Gedung 45

UPI

Studio Perancangan Arsitektur 1 Studio Perancangan Arsitektur 2 Studio Perancangan Arsitektur 3 Studio Perancangan Arsitektur 4 Studio Perancangan Arsitektur 1 Studio Perancangan Arsitektur 2 Studio Perancangan Arsitektur 3 Studio Perancangan Arsitektur 4

Lantai 3

UNIKOM

Lantai 7

Tingkat 1

Tingkat 2

Tingkat 3

07.00 – 15.00 Selasa, Rabu dan Jumat, 07.00 – 15.00 Selasa dan Jumat, 07.00 – 15.00

54m 27.4m

x

Meja gambar, lemari pengumpulan tugas, panel sebagai sekat antar angkatan

Koridor utama, selasar

10m x 16m

Meja belajar, stop kontak, papan tulis, proyektor , meja maket

Tangga utama, tangga kebakaran, lift

Kelas A: Senin, 33, 35 m2 Meja gambar, stop 07.00 – 13.-00 kontak, papan tulis, AC, proyektor Kelas B: Senin, 13.00 – 19.00 Kelas A: Rabu, 07.00 – 13.00 Kelas B: Rabu, 13.00 – 19.00 Kelas A: Selasa, 07.00 – 13.-00 Kelas B: Selasa, 13.00 – 19.00 (Sumber: Hasil Kuesioner dan Wawancara)

Tangga utama, tangga kebakaran, lift

Senin dan Kamis, 07.00 – 15.00 Senin dan Kamis, 07.00 – 15.00 Selasa dan Jumat, 07.00 – 15.00 Senin 10.00 – 15.00 Selasa 13.00-17.00 Rabu 13.00-17.00 Kamis 07.00 – 10.20

3.2. Pengumpulan Data 1. Data Hasil Pengukuran Tabel 2. Penghawaan Setiap Studio Universitas

Nama Studio

AC

Kelembaban (mmHg)

Temperatur Efektif (0C)

Zona Nyaman

ITB

Studio Lantai 4 Studio Lantai 5 Studio Lantai 6 Studio TA

-

75 75 71.5 64

28 27 28 26

x x x ˅

UNPAR

Studio Gedung X Studio Gedung 45

˅ ˅

85.5 61.5

24 23

˅ ˅

UPI

Studio 3

-

82

27

˅

UNIKOM

Studio Lantai 7

˅

90

25

˅

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 3. Pencahayaan Studio Universita s

Nama Studio

Iluminansi (Lux)

4


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ITB

Studio Lantai 4 Studio Lantai 5 Studio Lantai 6 Studio TA

UNPAR

Studio Gedung X Studio Gedung 45

500 390 210 30

540 340 140 70

500 360 300 90

530 230 200 140

180 360 90 460

280 440 120 380

380

265

280

320

200

343

487

397

418

170 220

70

150

60

80

280

456

280

230

280

150

103

100

205

372

273

536

508

395

375

438

UPI

Studio 3

380

145

200

120

155

180

110

135

65

UNIKOM

Studio Lantai 7

35

65

75

60

85

105

97.5

75

95

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

2. Data Hasil Kuesioner dan Wawancara Tabel 4. Kehadiran Mahasiswa selama jam Studio TINGKAT KEHADIRAN MAHASISWA DI STUDIO

PROSENTASE (%) ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

Hadir dari awal jam studio, pulang setelah jam studio berakhir

31.5

69

74.4

76.5

Hadir dari awal jam studio, pulang setelah asistensi

32.6

10.3

15.4

17.6

Hadir dari awal studio, pulang pada jam istirahat

0

3.4

0

0

Hadir setelah jam makan siang, pulang setelah jam studio berakhir

2

3.4

5.1

0

Hadir ketika ada dosen atau ada asistensi saja

24.7

6.9

0

0

Lain-lain

7.9

6.9

5.1

5.9

100

100

100

100

TOTAL

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 5. Kehadiran Mahasiswa Setelah Jam Studio Kehadiran Mahasiswa Setelah Jam Studio

PROSENTASE (%) ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

YA

15.4

20.7

15.4

29.4

TIDAK

84.6

79.3

84.6

70.6

JUMLAH RESPONDEN (ORANG)

39

29

39

17

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 6. Aktivitas Mahasiswa yang Dilaksanakan Selama Jam Studio TINGKAT KEHADIRAN MAHASISWA DI STUDIO

PROSENTASE (%)

ITB

UNPAR

UPI

UNIK OM

Tugas Studio Perancangan Arsitektur

95.5

86.2

97.4

94.1

Tugas Studio Lain

43.8

6.9

5.1

23.5

PR Mata Kuliah Lain

43.8

20.7

5.1

17.6

Jalan-jalan Keliling Studio untuk melihat pekerjaan lain

58.4

55.2

41

29.4

Jalan-jalan keluar studio

40.4

34.5

17.9

23.5

Baca komik. main game, nonton film, dan lain-lain

31.5

34.5

7.7

35.3

Tidur

38.2

37.9

12.8

29.4

Makan

51.7

44.8

25.6

47.1

5


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Lain-lain TOTAL

5.6

6.9

0

5.9

100

100

100

100

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 7. Kegiatan Asistensi yang Dilaksanakan Dosen TEMPAT DAN WAKTU ASISTENSI

PROSENTASE (%) ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

Studio pada jam studio

70.8

89.7

25.6

82.4

Studio di luar jam studio

6.7

0

2.6

0

Ruang dosen pada jam studio

16.9

6.9

2.6

0

Ruang dosen di luar jam studio

2.2

0

64.1

5.8

3.4

11.8

5.1

11.8

100

100

100

100

Lain-lain TOTAL

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 8. Tingkat Konsentrasi Pengerjaan Tugas di Studio KESANGGUPAN DALAM BERKONSENTRASI

PROSENTASE (%) ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

YA

40

46.7

60

60

TIDAK

60

53.3

40

40

JUMLAH RESPONDEN (ORANG)

15

15

15

15

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

Tabel 9. Tingkat Keefektifan Pengerjaan Tugas di Studio PROSENTASE (%)

SKALA KONSENTRASI

ITB

UNPAR

UPI

1

13.3

0

0

0

2

13.3

0

26.7

26.7

3

60

80

40

40

4

6.7

20

26.7

26.7

5

6.7

0

6.7

6.7

JUMLAH RESPONDEN (ORANG)

15

15

15

15

UNIKOM

(Sumber: Hasil Pengukuran di Lapangan)

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1 ANALISIS DATA KUANTITATIF 1. Tingkat Pencahayaan Ruang Dalam Studio Standar Pencahayaan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk ruangan menggambar (dalam kasus ini Studio Perancangan) adalah 750 Lux. 2. Tingkat Penghawaan Ruang Dalam Studio

6


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Temperatur udara interior yang nyaman pada daerah tropis lembab menurut Santoso (2012) adalah 230C -260C 3. Fasilitas Studio Tabel 10. Analisis Data Kuantitatif Obyek Studi

Pencahayaan (Lux)

Kesimpulan *

Penghawaan (°C)

Kesimpulan *

Fasilitas

177 327 370 172

X X X X

26 26 28 26

V V X V

V V V V

347 234

X X

23 24

V V

X X

165

X

27

X

V

77

X

25

V

X

ITB Lantai 6 Lantai 5 Lantai 4 TA UNPAR Gedung45 Gedung X UPI Lantai 3 UNIKOM Lantai 7

*Keterangan : X (memenuhi standar) dan V (tidak memenuhi standar) (Sumber : Hasil Observasi Peneliti )

4.2 ANALISIS DATA KUALITATIF 4.2.1 ANALISIS DATA KUANTITATIF Tingkat kenyamanan dapat tinjau melalui : 1. Tingkat Kehadiran Mahasiswa Selama Jam Studio 2. Tingkat Kehadiran Mahasiswa Setelah Jam Studio 3. Kegiatan Mahasiswa yang Berlangsung di Studio 4. Kegiatan Dosen yang Berlangsung di Studio 5. Tingkat Pengerjaan Tugas di Studio Tabel 11 Tingkat Kehadiran Mahasiswa Selama dan Setelah Jam Studio ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

31.5

69 10.3

74.4 15.4

76.5 15.4

84.6

79.3

84.6

70.6

15.4

20.7

15.4

29.4

Selama Jam Studio Dari awal sampai akhir studio Dari awal sampai asistensi Dari awal sampai istirahat Dari istirahat sampai akhir studio

32.6

Setelah Jam Studio Berada di studio Meninggalkan studio

(Sumber : Hasil Observasi Peneliti )

Berdasarkan Tabel 11 Tingkat Kehadiran di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kurang dari setengah mahasiswa Arsitektur ITB (dari setiap angkatan) yang hadir dari awal hingga berakhirnya jam studio, namun berlaku sebaliknya untuk UNPAR, UPI, dan UNIKOM. 2. Semua mahasiswa Arsitektur dari keempat universitas akan meninggalkan studio masing – masing setelah jam studio berakhir. Tabel 12. Kegiatan yang berlangsung di Studio ITB

UNPAR

UPI

UNIKOM

Mahasiswa

7


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Mengerjakan Tugas SPA Jalan – jalan keliling studio untuk melihat pekerjaan orang lain Makan

95.5 58.4

86.2 55.2

97.4 41

94.1 29.4

51.7

44.8

25.6

47.1

25.6

82.4

Dosen Asistensi pada jam studio Asistensi di luar jam studio

70 89.7

Keterangan : data diambil dari prioritas kegiatan – kegiatan mahasiswa berdasarkan kuisioner. (Sumber : Hasil Observasi Peneliti )

Berdasarkan Tabel 12 Kegiatan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hampir setiap mahasiswa mengerjakan tugas studio Perancangan Arsitektur di Studio. 2. Prioritas kegiatan kedua di studio adalah melihat pekerjaan orang lain untuk studio ITB, UNPAR dan UPI, sedangkan makan di studio adalah prioritas kedua untuk mahasiswa Arsitektur UNIKOM. Tabel 13. Tingkat Pengerjaan Tugas ITB (%)

UNPAR (%)

UPI (%)

UNIKOM (%)

6.7 60 13.3

0 80 0

6.7 40 0

6.7 40 0

100 % 50 % 0%

0 6 0

0 7.6 0

2.3 6 0

2.3 3 0

Konsentrasi mahasiswa

40

46.7

60

60

Efektivitas pengerjaan * 100 % 50 % 0% Produktifitas **

* ditinjau berdasarkan tingkat pengerjaan tugas studio selama jam studio **ditinjau berdasarkan tingkat penyelesaian tugas studio selama jam studio

Berdasarkan Tabel 13 Tingkat Pengerjaan Tugas di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Mahasiswa Arsitektur yang sama sekali tidak bisa mengerjakan tugas selama jam studio di studio hanya terdapat di ITB dan UNPAR. 2. Mahasiswa Arsitektur yang tidak bisa menyelesaikan tugas hingga selesai di studio hanya terdapat di ITB dan UNPAR. 3. Mahasiswa Arsitektur ITB dan UNPAR lebih sulit berkonsentrasi dalam pengerjaan tugas ketika di studio, berlaku sebaliknya untuk mahasiswa UPI dan UNIKOM. 4.3 INTERPRETASI DATA 4.3.1 Interpretasi Data Kuantitatif Berdasarkan analisis data fisik studio arsitektur yang terdiri dari kondisi pencahayaan dan penghawaan serta data fasilitas penunjang studio dari masing-masing studio di ITB, UNPAR, UPI dan UNIKOM dapat diketahui bahwa : 1. Kondisi pencahayaan pada keempat universitas objek, tidak ada yang memenuhi SNI pencahayaan pada ruang gambar yaitu 750 lux 2. Kondisi penghawaan pada studio ITB yang memenuhi standar penghawaan yakni 230C -260C hanya pada studio Tugas Akhir. Sedangkan kondisi penghawaan studio UPI tidak memenuhi standar suhu kenyamanan. Studio UNPAR dan UNIKOM juga tidak memenuhi standar penghawaan karena menggunakan penghawaan buatan. 8


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3. Kondisi fasilitas studio di ITB dan di UPI memiliki fasilitas penunjang yang cukup lengkap, sedangkan studio di UNPAR dan di UNIKOM tidak memiliki fasilitas penunjang yang lengkap. 4.3.2 Interpretasi Data Kuantitatif Tingkat kenyamanan studio Arsitektur ITB, UNPAR, UPI dan UNIKOM dapat ditinjau melalui : Tabel 14. Interpretasi Data Faktor Penentu a.

Kehadiran selama jam studio. Studio ITB tidak nyaman karena kurang dari setengah jumlah angkatan yang hadir penuh selama jam studio. Studio UNPAR, UPI dan UNIKOM nyaman karena lebih dari setengah jumlah angkatan yang hadir penuh selama jam studio.

a.

Kehadiran setelah jam studio. Studio ITB, UNPAR, UPI dan UNIKOM tidak nyaman karena semua mahasiswanya meninggalkan studio setelah jam studio selesai.

Kondisi

Studio UNPAR, UPI dan UNIKOM memiliki fungsi ganda selain sebagai studio perancangan juga sekaligus sebagai kelas. Selain itu juga terdapat tugas harian yang harus dikumpulkan pada saat itu.

Studio UNPAR, UPI dan UNIKOM memiliki batasan penggunaan karena adanya pergantian pengguna setelah jam studio berakhir. Hal ini dikarenakan semua angkatan menggunakan satu studio yang sama.

Interpretasi data yang diperoleh : -

-

Mahasiswa Arsitektur UNPAR, UPI dan UNIKOM memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dikarenakan terdapat penambahan fungsi dan adanya batasan waktu penggunaan studio serta penambahan substansi kewajiban di studio yang secara tidak langsung mengharuskan mahasiswanya untuk datang selama jam studio (dari awal hingga berakhirnya jam studio) Mahasiswa Arsitektur ITB memiliki tingkat kehadiran yang paling rendah meskipun tidak ada batasan waktu dan jenis penggunaan serta kepemilikan tempat yang sudah jelas dimiliki secara perorangan. Tingkat kehadiran mahasiswa Arsitektur di studio tidak dipengaruhi oleh tingkat kenyamanan ruang studio.

-

Studio arsitektur ITB diinterpretasikan tidak nyaman dikarenakan mahasiswa yang hadir secara penuh pada jam studio arsitektur dari awal hingga akhir hanya kurang dari setengah jumlah total mahasiswa. Di lain pihak, studio arsitektur pada universitas lain dapat diinterpretasikan nyaman karena mahasiswa yang hadir pada jam studio arsitektur dari awal hingga akhir lebih dari setengah jumlah total mahasiswa.

-

Berdasarkan faktor kehadiran mahasiswa setelah jam studio, dapat diinterpretasikan bahwa seluruh studio di keempat universitas tidak nyaman dikarenakan seluruh mahasiswa meninggalkan studio setelah jam studio selesai.

b.

Kegiatan mahasiswa Studio ITB, UNPAR, UPI dan UNIKOM nyaman sebagai tempat untuk mengerjakan tugas studio Studio ITB, UNPAR, dan UPI nyaman sebagai tempat untuk melihat pekerjaan teman di dalam studio.

a.

Studio ITB dan UPI memiliki fasilitas gambar yang lengkap, berbanding terbalik dengan studio UNPAR dan UNIKOM. Tata letak peralatan gambar di dalam studio UNIKOM tidak sesuai dengan standar kenyamanan studio.

Kegiatan dosen Studio ITB, UPI, dan UNIKOM nyaman sebagai tempat untuk asistensi sedangkan UNPAR tidak.

9


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

c.

Pengerjaan tugas studio Studio ITB dan UNPAR tidak nyaman karena mahasiswanya memiliki tingkat konsentrasi dan pengerjaan hingga penyelesaian tugas di studio yang rendah, berbanding terbalik dengan UNIKOM dan UPI.

Standar tempat yang dibutuhkan oleh mahasiswa Arsitektur ITB lebih tinggi disbanding mahasiswa Arsitektur UNPAR, UPI dan UNIKOM. Didukung oleh data penyelesaian tugas, mahasiswa Arsitektur ITB lebih banyak yang mengerjakan di tempat co – working space.

Interpretasi data yang diperoleh : -

Mahasiswa Arsitektur UNIKOM dan UPI merasa nyaman dengan studio yang sudah ada jika dilihat dari tingkat konsentrasi dan pengerjaan hingga penyelesaian tugas di studio yang tinggi. Hal ini juga didasari oleh universitas yang terakreditasi B dimana pemenuhan kebutuhan sudah tercukupi secara standar. Mahasiswa Arsitektur UNPAR tidak nyaman karena dengan belum lengkapnya fasilitas sebagai universitas terakreditasi A maka sulit untuk mencapai konsentrasi hingga mampu menyelesaikan tugas di studio. Sedangkan mahasiswa Arsitektur ITB menetapkan standar yang lebih tinggi dalam hal pemenuhan kebutuhan studio meskipun sebagai universitas yang terakreditasi A sudah sesuai standar kelengkapan fasilitasnya. (Sumber: Analisis Peneliti )

5.

PENUTUP

Lingkungan belajar studio desain arsitektur menjadi komponen tunggal dalam sistem pendidikan arsitektur, sehingga fasilitas dan kualitas studio harus dipenuhi pihak universitas dengan benar. Para pendidik arsitektur dan mahasiswa menghabiskan waktu yang lama di dalam studio, baik secara teoritikal maupun praktikal. Kualitas fisik ruang studio akan memberikan dampak langsung terhadap kenyamanan penghuni studio. Kualitas pencahayaan dan temperature adalah komonen yang sangat penting dalam menciptakan ruang interior studio arsitektur. Selain itu, komponen perabot studio seharusnya dapat dipindahkan, dapat disesuaikan, dan fleksibel. Tersedianya ruang penyimpanan yang cukup dan mudah diakses akan menambah kualitas kenyaman studio bagi penggunanya. Kebutuhan studio saat ini, tidak hanya terbatas pada proses menggambar tangan secara tradisional, namun juga kebutuhan desain dengan penggunaan computer. Oleh karena itu, perlu diperhatikan fasilitas penunjang studio terkait dengan kemajuan teknologi digital, seperti stop kontak dan wifi. Dengan demikian dapat tercipta lingkungan belajar studio yang nyaman dan menyenangkan. Dampak dari kualitas fisik studio sebagai tempat belajar utama pendidikan arsitektur menjadi isu penting yang harus diperhatikan untuk mencapai lingkungan belajar yang nyaman. Namun, kualitas fisik bukan menjadi faktor utama yang menentukan kriteria kenyamanan mahasiswa mengerjakan tugas di studio. Kurikulum dan peraturan akademik yang berperan utama dalam menentukan kenyamanan mahasiswa. Berdaasarkan analisis, faktor yang lebih dominan mempengaruhi kenyamanan adalah peraturan dan kewajiban studio. Sehingga harus ada keseimbangan antara beban studio dengan kualitas studio. Namun bukan berarti pemadatan kurikulum diperlukan untuk ‘menahan’ mahasiswa untuk berada di studio. Sehingga yang lebih penting adalah bagaimana program studi menciptakan suasana place making bagi studio dan mahasiswanya, jadi kesan mahasiswa terpaksa atau tertahan tertiadakan. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Aliyu et al. 2014. Design and Construction of a Drafting Table and Chair using Ergonomic Principles.Int.J(2):973976 Badan Standardisasi Naisonal.2000.SNI Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan. BSN. Jakarta. Evans, H. Benjamin. 1980. Daylight in Architecture. New York : Architectural Record McGraw-Hill Publication Company Gartiwa, M. (2010). Morfologi Bangunan dalam Konteks Kebudayaan. Bandung. Muara Indah.

10


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gross, M.D. dan Do, E.Y. 1997. The Design Studio Approach : Learning Design in Architecture Education. Design Education Workshop, J. Kolodner & M. Guzdial (eds.) Edu Tech/NSF, College of Computing, Georgia Institute of Techonology, September 8-9, Atlanta. Lueth, P.L.O. 2008. The architectural design studio as a learning environment : a qualitative exploration of architecture design student learning experiences in design studios from first-thuough fourth-year. Dissertation. Iowa State University. Iowa. Lee, G. Learning Spaces. Achitecture University of Nottingham. Obeidat, A dan Al-Share,R. 2012. Quality Learning Environments: Design-Studio Classroom. Asian Culture and History Vol. 4, No2, July 1, 2012. Canadian Center of Science and Education. Panero, J. dan Zelnik, M. 2003. Dimensi Manusia & Ruang Interior Buku Panduan untuk Standar Pedoman Perancangan. Jakarta: Erlangga Santoso, E.I. 2012. Kenyamanan Termal Interior pada Bangunan di Daerah Beriklim Tropis Lembab. Indonesia Green Technology Journal Vol. 1 No. 1, 2012. Setiawan, H. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku: Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidakan dan Kebudayaan. Tumusiime, H. 2013. Learning in Architecture : Students’ perception of the architecture studio. AAE Conference 2013. Faculty of the Built Environment, Uganda Martyrs University. Uganda.

11


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

12


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PENILAIAN MASYARAKAT AKAN PERFORMA ALUN-ALUN BANDUNG PASCA RENOVASI Adisti YONITA(1), Pradnya SIGMANANDYA(2), dan Ashari YUDHA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)adistiwidia@students.itb.ac.id; (2)pradnyaemeralda@students.itb.ac.id; (3)ashari.yudha10@gmail.com

ABSTRAK Ruang terbuka publik merupakan aspek penting dari sebuah perkotaan yang dinilai memiliki kontribusi positif bagi kualitas kehidupan masyarakatnya. Akan hal tersebut, dewasa ini Pemerintah Kota Bandung mulai concern meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang publik yang ada di Kota Bandung dalam upaya peningkatan taraf kebahagiaan masyarakatnya. Mengambil salah satu contoh kasus Alun-Alun Bandung yang pada akhir tahun 2014 lalu direnovasi dan mengalami perubahan yang cukup signifikan, kami melakukan penelitian akan bagaimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap Alun-Alun Bandung saat ini. Respon yang didapat ternyata memperlihatkan bahwa masyarakat jauh lebih senang akan fasilitas Alun-Alun Bandung saat ini dibandingkan dengan sebelum direnovasi. Hal ini kami simpulkan dari data-data yang telah kami ambil dan lakukan. Walaupun telah mendapat respon yang baik, tentu lah masih ada aspek yang perlu diperbaiki dan dievaluasi, seperti kurangnya naungan dan aspek natural. Aspek-aspek yang harus diperbaiki tersebut nantinya akan membantu peningkatan performa Alun-Alun Bandung sebagai ruang publik yang baik sesuai dengan teori yang ada dan berdasarkan pengamatan kebutuhan masyarakat akan ruang publik yang diinginkan. Kata Kunci: ruang terbuka publik, alun-alun, kepuasan, masyarakat

1.

PENDAHULUAN

Sebuah kota yang nyaman, pada dasarnya harus memiliki fasilitas yang dibutuhkan masyarakatnya. Pada umumnya, kota besar di dunia memiliki ruang publik yang dapat pula menjadi ikon kebanggaan masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa kepemilikan dari masyarakat kota terhadap ruang publik yang tersedia sangat besar. Ruang publik merupakan ruang tempat berkumpul dan seyogyanya menjadi pusat kegiatan utama komunitas kota. Sebuah komunitas yang terwadahi dan memiliki fasilitas pendukung kegiatan mereka akan merasa lebih memiliki dan memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Masyarakat Kota Bandung terkenal sebagai masyarakat yang kreatif dan penuh pemuda yang aktif. Masyarakat kota ini pun terkenal memiliki kebiasaan berkumpul bersama keluarga dan sahabat disaat akhir minggu atau saat lengang. Masyarakat Kota Bandung memiliki banyak aktivitas berdasarkan komunitas yang mereka miliki. Salah satu wadah yang dibutuhkan masyarakat Kota Bandung adalah ruang publik yang dapat mengakomodasi banyak hal misalkan sebuah ruang luas yang mencakup banyak kalangan. Di Indonesia sendiri ruang publik dalam cakupan kawasan yang luas seperti kota biasa disebut Alun-alun. Alun-alun merupakan sebuah ruang terbuka publik pada pusat kota yang menjadi pusat aktivitas dan orientasi masyarakat maupun pemerintah kota. Pada Kota Bandung, alun-alun merupakan ruang terbuka publik utama yang dicirikan oleh sebidang tanah luas dan dikelilingi bangunan-bangunan fungsional baik itu bangunan pemerintahan, komersial, maupun sarana ibadah. Seiring dengan berjalannya waktu, Alun13


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Alun Bandung mengalami transformasi dalam segi desain dan bentuk demi mengakomodir kebutuhan warganya pada masing-masing waktu kala itu. Renovasi terakhir yang dilakukan ialah pada akhir tahun 2014 di mana membuat perubahan yang sangat signifikan. Yang awalnya kurang didesain dengan baik, kumuh oleh begitu banyaknya jumlah pedagang kaki lima di sana, dan sangat tidak tertata, menjadi sebuah ruang terbuka publik yang jauh lebih menarik secara visual dan mengundang banyak orang untuk datang kesana sebagai sarana sosialisasi dan rekreasi. Renovasi tersebut dilakukan pemerintah dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas ruang terbuka sebagai sarana rekreasi dan sosialisasi di mana dapat berpengaruh terhadap taraf kebahagaiaan masyarakat yang tinggal dan menaikan citra suatu kota agar nyaman untuk dihuni. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Kriteria Ruang Terbuka Publik yang Baik Ruang terbuka publik adalah ruang luar dengan kebebasan akses untuk semua orang (Jacobs, 1961; Madanipour, 1999). Ruang terbuka publik dikatakan berhasil apabila dapat menjadi sebuah tempat yang kondusif untuk orang-orang berinteraksi sosial (Danisworo, 1989; Whyte, 1985). Menarik banyak pengunjung untuk melakukan kegiatan mereka di sana (Danisworo, 1989; Whyte, 1985), dengan tingginya keberagaman aktivitas yang terjadi (Rivlin, 1994; CABE and DETR, 2001), dengan pengguna baik itu perseorangan maupun grup (Rossi, 1982; Gehl, 2002), informal dan cocok untuk dijadikan sarana rekreasi (Whyte, 1985; Project for Public Space, 2000), demokratif dan nondiskriminatif bagi semua pengguna (Carr, 1992), menyerap berbagai kalangan dan umur, termasuk ornag-orang dengan disabilitas dan juga sektor informal (Gehl, 2002; CABE and DETR, 2001). Ruang publik terbuka yang baik harus dapat mengedepankan kenyamanan psikologis dan keamanan (Danisworo, 1989). Dalam dimensi fisik, kriteria ruang publik terbuka yang berkualitas yakni yang memiliki kejelasan dan kemudahan akses (Danisworo, 1989; Carr, 1992; Rivlin, 1994). Sebuah ruang publik terbuka yang menyenangkan dapat dicapai dengan kualitas arsitektur yang baik (Danisworo, 1989; Carr, 1992), aspek visual dan detail yang menarik (Gehl , 2002; Avila 2001). Unsur alam merupakan faktor penting pada ruang publik terbuka yang dapat meningkatkan kenyamanan, relaksasi, pengalaman yang menyenangkan, dan mengantisipasi iklim dengan menempatkan pohon sepanjang jalur pedestrian dan area duduk (Kaplan and Kaplan, 1989; Carr, 1992; Gehl, 2002; Avila, 2001). 2.2. Lapangan Pusat Kota (Central Square) Ruang publik ini sebagai bahan pengembangan sejarah berlokasi di pusat kota yang sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan formal seperti upacara-upacara peringatan hari nasional, sebagai rendevous point koridor-koridor jalan di kawasan tersebut. Di samping untuk kegiatan-kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi, maupun apresiasi budaya (Darmawan, 2003). 2.3. Ruang Publik Terbuka dan Kualitas Kehidupan Banyak penelitian menemukan bahwa ruang terbuka publik memiliki keterkaitan dengan aspek kualitas hidup (QOL) seperti kesehatan fisik dan mental, interaksi sosial, tingkat kejahatan, dan nilai ekonomi dari properti. Riset dilakukan oleh Cattel (2008), menunjukan bahwa ruang terbuka publik dalam kehidupan sehari-hari dianggap memiliki pengaruh positif kepada baik kesejahteraan individu maupun kelompok.

14


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Alun-alun merupakan suatu ruang publik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai kegiatan. Jika berbicara tentang ruang terbuka publik, maka tidak bisa dilepaskan dengan berbagai teori tentang aspek-aspek yang menentukan kesuksesan ruang publik. Begitu pula dengan Alun-Alun Bandung. Alun-Alun Bandung merupakan suatu area terbuka yang berlokasi didepan Masjid Raya Bandung. Alun-Alun Kota Bandung mengalami renovasi besar yang rampung pada tanggal 20 Desember 2014. Pasca mengalami renovasi tersebut, aktivitas masyarakat di taman Alun-Alun Bandung menjadi lebih aktif jika dibandingkan dengan sebelum renovasi. Dari yang tadinya dipenuhi oleh pedagang kaki lima dan tidak layak dijadikan sebagai tujuan rekreasi, saat ini Alun-Alun Bandung dipenuhi oleh banyak pengunjung yang ingin berekreasi dengan murah meriah setiap kali hari libur serta dari sore menjelang malam hari. Hasil observasi kami memperlihatkan bahwa masyarakat yang datang ke sana antusias dengan fasilitas yang dimiliki Alun-Alun Bandung saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan fasilitas-fasilitas di sana yang hampir setiap saat ramai dan dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara saat observasi, masyarakat pun merasa puas terhadap Alun-Alun Bandung pasca renovasi dan menganggap bahwa Alun- Alun Bandung telah menjadi ruang publik yang baik bagi masyarakat. Padahal pada beberapa teori tentang ruang publik, terdapat beberapa aspek yang sebaiknya dipenuhi agar suatu ruang publik memenuhi fungsinya sebagai sarana beraktivitas masyarakat. Sedangkan Alun-Alun Bandung belum tentu memenuhi segala aspek tersebut. Pada penelitian ini akan diteliti evaluasi pasca huni dari Alun-Alun Bandung berkaitan tentang teori ruang publik yang baik.

Gambar 1. Suasana taman Alun-Alun Bandung dari atas (Sumber: http://ayobandung.com/read/20160710/64/10579. Diakses pada 2 Desember 2016)

Cakupan ruang yang terdefinisi sebagai Alun-Alun Bandung adalah sebagai berikut: A. Taman rumput sintetis B. Taman zigzag C. Area depan perpustakaan D. Taman koridor bangku E. Playground F. Taman fitness

15


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 2. Fasilitas taman Alun-Alun Bandung (Sumber: Dokumen pribadi)

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1. Teknik Pengambilan Sampel Teknik Pengambilan Sampel pada penulisan jurnal ini adalah teknik Simple Random Sampling dan Snow-ball sampling Dalam penulisan ini teknik sampel yang digunakan adalah penarikan sampel secara sederhana (Simple Random Sampling) dengan prinsip dasarnya adalah bahwa setiap populasi mempunya peluang yang sama untuk ditarik sebagai anggota sampel. Jumlah sampel yang besarnya ‘n’ yang dapat ditarik dan anggota dalam populasi adalah N. Populasi Populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas secara ciri-ciri yang telah ditetapkan. Kualitas atau ciri-ciri tersebut dinamakan Variable. 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi. Survey sampel dapat di definisikan sebagai prosedur dimana hanya sebagian dari populasi saja yang di pergunakan untuk menentukan sifat dan serta ciri yang di kehendaki dari perusahaan. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 66 masyarakat Kota Bandung. Sedangkan Snow-Ball Sampling dilakukan dilakukan dengan menentukan sample pertama. Sampel berikutnya ditentukan berdasarkan informasi dari sample pertama, sample ketiga ditentukan berdasarkan informasi dari sample kedua, dan seterusnya sehingga jumlah sample semakin besar, seolah-olah terjadi efek bola salju Sample yang digunakan adalah beberapa representasi stakeholder AlunAlun Bandung antara lain Dewan Keluarga Masjid, pihak Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung, dan Dinas Perhubungan Kota Bandung.

3.2.2. Metode Pengumpulan Data Dalam mengerjakan jurnal ini, penulis melakukan beberapa tahap pengerjaan antara lain : 1. Observasi langsung ke lapangan Observasi langsung ke lapangan dilakukan 4 kali, adapun waktunya adalah; 6 Agustus, 14 Oktober, 26 Oktober untuk memperhatikan aktivitas pengunjung serta melihat perubahan aktivitas apa saja yang terjadi antara siang dan malam hari. Pada 16


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

tanggal 30 Oktober dilakukan wawancara khusus ke 15 pengunjung alun-alun untuk melakukan validasi data. 2. Wawancara pemangku kepentingan Wawancara stakeholder dilakukan tanggal 26 Oktober kepada Bapak Aos Sutisna selaku pihak DKM dan pada 9 November kepada Bapak Iwan selaku pihak Dinas Pemakaman dan Pertamanan Kota Bandung. 3. Penyebaran kuesioner Penyebaran Kuesioner dilakukan secara online pada tanggal 13 November ke masyarakat Kota Bandung. Kuesioner dibuat berdasarkan checklist dari karakteristik ruang publik yang baik oleh Kaplan and Kaplan, 1989; Carr, 1992; Gehl, 2002; Avila, 2001. didapatkan 66 responden dari survey yang telah disebarkan. 4. Studi literatur Dilakukan Studi Literatur buku dan jurnal yang membahas Public Space antara lain Project for Public Spaces (2000), How to Turn a Place Around: A Handbook of Creating Successful Public Spaces, New York: Project For Public Space, The Social Life of Small Urban Spaces 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data 4.1.1. Karakteristik Responden Responden yang kami teliti terdiri dari 34,8% pria dan 65,2% wanita. Untuk penghasilan, didapat data 39,4% berpenghasilan < Rp 1.000.000, 25,8% berpenghasilan Rp 1.000.000 – 1.490.000, 30.3% berpenghasilan Rp 1.500.000 – 2.990.000 dan 4.5% Rp 3.000.000 – 5.000.000 dan 0% yang berpenghasilan diatas Rp. 5.000.000. 4.1.2. Kegiatan Pengguna Hasil survey kami akan kegiatan yang dilakukan pengguna ditunjukan dengan jenis kegiatan berjalan-jalan sebesar 29%, berfoto-foto sebesar 20%, bersantai sebesar 35%, kegiatan organisasi sebesar 6%, keperluan ibadah sebesar 4%, dan tugas kuliah sebesar 6%. Dari wawancara pun didapatkan beberapa preferensi kegiatan yang dilakukan di alun-alun, sebanyak 10 dari 15 orang yang diwawancara mengajak bermain anak dan merasa cocok mengajak keluarganya bersantai di sini. Selain itu, mayoritas pemuda-pemudi memilih datang untuk sekedar berfoto. 4.1.3. Level Kepuasan untuk Alun-Alun Bandung Menilai kriteria ruang publik yang baik tergantung pada penilaian dan kepuasan pengguna akan kebutuhan yang dapat diakomodir pada ruang publik tersebut. Beberapa penelitian mengenai Quality of Life dan relasinya terhadap aspek fisik dari ruang terbuka dapat disimpulkan dari pengukuran angka kepuasan pengguna (Campbell, 1976; Marans, 1988; Salleh, 2008). Dari hasil survey, didapatkan angka 3,894 dari skala 5 bahwa Alun-Alun Bandung sudah ikonik dan penilaian keseluruhan dari Alun-Alun Bandung didapat angka 3,682 dari skala 5. Sedangkan penilaian terhadap masing-masing aspek pada Alun-Alun Bandung diperlihatkan oleh line chart berikut:

17


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Grafik garis akan kepuasan pengguna Efek psikologis keberadaan Alun-Alun Bandung terhadap pengguna sesuai kuesioner didapatkan nilai rataan 3.6 dari skala 5. Didapatkan data pula mengenai tempat favorit alun-alun menurut pengunjung adalah 48,5% bagian rumput sintetis (A), 22.7% bagian taman zig-zag (B), 15.2% bagian tempat duduk-duduk di depan perpustakaan (C), 12,1% bagian taman utara(D), dan 1.5% bagian gym area (F).

Gambar 4. Fasilitas taman Alun-Alun Bandung (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Secara keseluruhan, masyarakat berpendapat Alun-Alun Bandung sudah cukup ikonik untuk Kota Bandung. 3.96 dari skala 5.

4.1.4. Hasil Wawancara A. Pihak DKM Drs. H. Aos Sutisna, M.Ag selaku pihak DKM Masjid Raya Raya mengharapkan alun-alun menjadi ruang publik yang semua orang bisa menikmatinya. Hal tersebut berdampak positif ke masjid karena ramainya pengunjung menyebabkan masjid pun menjadi ramai akan orang yang shalat di sana. Pengelolaan alun-alun sendiri tidak dilakukan masjid tapi oleh Pemda dan Diskamtam. Pandangan mengenai alun-alun sebagai ruang publik, sudah baik dan terpenuhi. Namun, Beliau berpendapat jika sebaiknya ada fasilitas naungan lebih karena jika hujan biasanya pengunjung Alun-Alun Bandung berhamburan ke Masjid, dan hal tersebut mengakibatkan koridor teras masjid menjadi becek dan kotor ditambah dengan orang-orang yang menunggu hujan reda sambil makan di sana. 18


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

B. Pengunjung umum Saat dirata-rata, nilai alun-alun menurut 15 orang adalah 8.3 dari skala 10. Mereka semua merasa perbedaan alun-alun pasca renovasi dan menganggap renovasi adalah hal positif. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan bersama keluarga dan teman. Semua responden yang diwawancarai langsung sebanyak 15 orang mengaku akan datang kembali. Taman rumput sintesis merupakan yang paling favorit yakni sebanyak 9 dari 15 responden, yang terfavorit kedua merupakan taman zigzag. 13 dari 15 responden menganggap alun-alun sudah cukup ideal dengan beberapa saran tambahan.

4.2. Interpretasi Data no kriteria ruang publik sumber yang baik 1 Kebebasan akses Jacobs, 1961; Madanipour, 1999

2

Banyak pengunjung dengan keberagaman aktivitas yang dapat dilakukan

Whyte 1985

3

Informal dan cocok menjadi sarana rekreasi

Whyte 1986

4

Demokratif dan nondiskriminatif

Whyte 1987

Eksisting Berdasarkan analisis tapak, diketahui bahwa posisi Alun-Alun Bandung berada di lokasi jalan protokol kota Bandung yaitu Jl. Asia Afrika dan Jl. Dalem Kaum secara akses tergolong sangat mudah karena posisi sangat strategis. Akses kendaraan beroda sangat terakomodasi, bis damri, angkot, ojek, serta kendaraan pribadi. Setelah dilakukan observasi dan penyebaran kuesioner, didapatkan bahwa aktivitas yang dilakukan cukup bervariasi mulai dari yang formal dan informal. Kebanyakan datang ke tempat memang untuk melakukan lebih dari satu aktivitas kegiatan yang dilakukan, antara lain adalah kegiatan berjalan-jalan sebesar 29%, berfoto-foto sebesar 20%, bersantai sebesar 35%, kegiatan organisasi sebesar 6%, keperluan ibadah sebesar 4%, dan tugas kuliah sebesar 6%. Mayoritas pengguna pun pernah merasakan seluruh bagian dari alun-alun. Mayoritas kegiatan adalah informal, masyarakat yang berkumpul, bercanda tawa dan berpiknik secara bebas. Terdapat pula beberapa pedagang asongan yang menjual makanan untuk mengakomodasi kebutuhan pengunjung. Sebagai sarana rekreasi, sangat cocok karena aktivitas informal dan bebas dapat dilakukan di alun-alun Hasil analisis tapak, menunjukkan terdapat kualitas universal design yang mempermudah difabel untuk bergerak. Selain itu, secara desain, tidak terdapat pagar pembatas atau penghalang besar yang terkesan menghalangi keseluruhan 19


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5

Menyerap semua kalangan

Gehl 2002, CABE dan DETR 2001

6

Mengedepankan kenyamanan psikologis dan keamanan

Danisworo 1989

7

Arsitektur baik dan visual yang menarik

Danisworo 1989, Carr 1992

8

Unsur alam, antisipasi iklim yang baik dan penempatan pohon

Kaplan and Kaplan 1989, Carr 1992, Gehl 2002, Avila 2001

alun-alun itu sendiri. Dapat dilihat dari analisis pengguna melalui observasi langsung, kalangan yang datang beragam, mulai dari menengah bawah hingga ke atas, umur sangat muda hingga tua, berbagai suku dan jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat pula dari hasil survey, wawancara dan observasi langsung Menurut survey, Alun-Alun Bandung telah cukup mengedepankan kenyamanan psikologis Untuk kenyamanan, didapat rataan 2.6 dari skala 5, yang artinya masih sedang. Masih ada banyak yang dapat di tingkatkan dari aspek kenyamanan tempat. Namun demikian, masyarakat mengaku bangga dan bahagia memiliki Alun-Alun Bandung. 3.6 dari skala 5. Masyarakat Bandung menganggap AlunAlun Bandung cukup ikonik dengan nilai 3.96 dari skala 5. Hal ini membuktikan desain Alun-alun sudah cukup baik secara arsitektur sehingga presentable untuk pengunjung luar Bandung kunjungi. Mayoritas masyarakat Bandung, mengharapkan adanya pepohonan yang lebih banyak di daerah dalam sekitar alunalun sebagai naungan hujan dan peneduh. Hal tersebut tidak ditemukan di Alun-Alun Bandung.

4.2.1. Kesimpulan Dari data yang diperoleh, kita dapat menilai bahwa aspek-aspek penting yang menunjang sebuah ruang publik yang baik telah dimiliki oleh Alun-Alun Bandung. Melalui observasi langsung, kami meninjau secara keseluruhan fasilitas, kegiatan yang terjadi di sana, serta aspek-aspek lainnya telah ada sesuai teori ruang publik yang baik. Sedangkan hasil survey dan wawancara, mayoritas responden menilai Alun-Alun Bandung dengan respon yang positif yakni semua aspek kepuasan berada diatas 2,5 dari skala 5 yang berarti kepuasannya lebih dari cukup. 5.

PENUTUP

Penilaian masyarakat akan performa alun-alun pasca renovasi dapat menentukan telah baik atau tidaknya alun-alun tersebut. Dari hasil observasi terdapat 86% penduduk Bandung sudah cukup puas dengan alun-alun baru. Namun memang terdapat beberapa hal yang dianggap masih perlu perbaikan antara lain, pada aspek keamanan dan kenyamanan serta pengelolaan unsur alam pepohonan sebagai elemen pendukung public space yang kurang menaungi alun-alun sehingga terkesan panas.

20


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA

Beck JL (1989).Statistical system identification of structures. Proceedings Fifth InternationalConference on Structural Safety and Reliability (ICOSSAR’89), New York, pp. 1395–1402. Kinsler LE, Frey AR, Coppens AB, and Sander JV (2000). Fundamentals of Acoustics.JohnWiley & Sons, Inc. Fourth Edition. CABE and DETR (2001) The Value of Urban Design, London: Thomas Telford Project for Public Spaces (2000) How to Turn a Place Around: A Handbook of Creating Successful Public Spaces, New York: Project For Public Space Whyte, William H. (1985) The Social Life of Small Urban Space. Washington DC : The Conservation Carr, Stephen. (1992) Public space, New York, NY, USA : Cambridge University Press

21


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

22


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI PASCA HUNI BANGUNAN PERPUSTAKAAN PUSAT ITB Ditrisa TARANADIA(1), Dyan Noviera PUTRI(2), dan Karlina WAHYUNINGTYAS(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)ditrisataranadia@students.ar.itb.ac.id; (2)dyannovieraputri@students.ar.itb.ac.id; (3)karlinaw@students.ar.itb.ac.id

ABSTRAK Perpustakaan Pusat ITB sudah berdiri sejak tahun 1987. Setelah mengalami beberapa kali renovasi, pada tahun 2013 Perpustakaan Pusat ITB kembali diresmikan. Selama 3 tahun beroperasi pasca renovasi, perlu dilakukan peninjauan efektivitas performa bangunan dalam aspek teknis dan fungsional. Performa bangunan ini akan memengaruhi tingkat kepuasan pengguna selama pemakaian. Salah satu upaya untuk mengetahui hal tersebut adalah melalui evaluasi pasca huni. Evaluasi pasca huni dapat memberikan feedback terhadap Perpustakaan Pusat ITB dari tahap awal hingga selesai dibangun dan selama masa pemakaian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, penyebaran kuesioner, dan pengukuran. Setelah melakukan metode tersebut ditemukan hasil bahwa pengguna sudah cukup puas dengan pelayanan Perpustakaan Pusat ITB saat ini. Akan tetapi, berdasarkan hasil pengukuran, Perpustakaan Pusat ITB belum memenuhi standar bangunan perpustakaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan fisik bangunan dengan tetap meningkatkan kualitas pelayanan. Pada masa mendatang, diharapkan penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan untuk perbaikan Perpustakaan Pusat ITB dan perancangan proyek sejenis. Kata Kunci: evaluasi pasca huni, perpustakaan, tingkat kepuasan

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan sebuah sarana penunjang yang didirikan untuk mendukung kegiatan civitas akademika. Fungsi dari perpustakaan adalah sebagai pusat edukasi, informasi, penelitian, publikasi, deposit karya dan pengetahuan, serta interpretasi. Pemenuhan fungsi ini harus didukung dengan desain yang baik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan civitas akademika, tidak terkecuali Perpustakaan Pusat ITB. Perpustakaan Pusat ITB diresmikan kembali pasca renovasi pada awal tahun 2013. Diperlukan penilaian terhadap bangunan Perpustakaan ITB setelah 3 tahun pemakaian pasca renovasi. Penilaian tersebut khususnya dilakukan terhadap aspek fungsional dan teknis Perpustakaan Pusat ITB pasca renovasi dalam hal akomodasi kebutuhan civitas akademika. Dengan dilakukannya Evaluasi Pasca Huni ini, diharapkan dapat diketahui performa bangunan dan tingkat kepuasan pengguna. 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, antara lain performa bangunan terutama dari aspek fungsional dan teknis, pemenuhan kebutuhan pengguna, serta tingkat kepuasan pengguna terhadap bangunan Perpustakaan Pusat ITB. 23


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

1.3. Tujuan Evaluasi pasca huni bangunan Perpustakaan Pusat ITB dilakukan untuk mengetahui performa bangunan terutama dari aspek fungsional dan teknis. Melalui peforma bangunan dapat diketahui tingkat kepuasan pengguna terhadap bangunan Perpustakaan Pusat ITB, sehingga dapat diketahui sejauh mana bangunan Perpustakaan Pusat ITB telah memenuhi kebutuhan pengguna. 2.

KAJIAN TEORI

Dalam penelitian ini, dibutuhkan teori-teori terkait evaluasi pasca huni dan standarstandar yang berlaku pada bangunan perpustakaan. Teori terkait evaluasi pasca huni digunakan sebagai dasar pengetahuan untuk melakukan penelitian, sedangkan standar digunakan sebagai tolak ukur antara kondisi eksisting terhadap persyaratan yang seharusnya. 2.1. Guide to Post Occupancy Evaluation, University of Westminster Evaluasi Pasca Huni adalah cara untuk memberikan umpan balik tentang keseluruhan siklus hidup bangunan dari konsep awal hingga selama masa pemakaian. Informasi dari umpan balik ini dapat digunakan untuk acuan terhadap proyek di masa mendatang, baik dalam proses perancangan maupun performa teknis bangunan. Dari Pedoman Evaluasi Pasca Huni yang ada di Guide to Post Occupancy Evaluation, University of Westminster (Alastair Blyth dan Anthony Gilby, 2006), diambil tiga poin penting untuk disoroti dalam penelitian ini. Kesesuaian performa bangunan dengan perencanaan awal merupakan salah satu hal yang ingin diketahui. Selain itu kebutuhan pengguna yang berpotensi berubah seiring keberjalanan waktu juga menjadi perhatian dalam penelitian ini. Poin terakhir adalah pelajaran apa saja yang bisa didapatkan dari Evaluasi Pasca Huni Perpustakaan Pusat ITB untuk proyek-proyek sejenis pada masa yang akan datang. Evaluasi pasca huni berfokus pada 3 bidang, yaitu: proses, kinerja fungsional, dan kinerja teknis. Penelitian ini difokuskan pada kinerja fungsional dan teknis. Kinerja fungsional antara lain ruang (ukuran, hubungan, kesesuaian), kenyamanan (pencahayaan, suhu, ventilasi, kebisingan dari lingkungan), amenitas (kelengkapan, kapasitas, dan peletakkan dari layanan dan peralatan). Kinerja teknis antara lain sistem fisik (pencahayaan, penghawaan, ventilasi, akustik), adaptabilitas (kemampuan untuk mengakomodasi perubahan). Tabel 1. Persyaratan Desain dan Kinerja Bangunan Bangunan secara keseluruhan 1

Karakteristik Fisik

Ukuran Jumlah lantai Fleksibilitas

2

Sirkulasi / akses

Vertikal / horizontal Pengguna Petunjuk

3

Keamanan

Kebakaran Keamanan selama pemakaian

4

Lingkungan

Penghawaan Pencahayaan Suara Udara

5

Pencahayaan

Pemanfaatan cahaya alami Cahaya buatan Kendali terhadap pemakaian cahaya

6

Pengamanan Kebakaran

Sistem alarm

24


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Jalur evakuasi Alat pemadam api ringan (APAR) Pengelompokkan Ruang 1

Zonasi

2

Hubungan spasial

3

Karakteristik Fisik Detail pada Ruang

1

Karakteristik fisik

2

Kegiatan yang berkaitan

3

Hubungan dengan ruang lain

4

Layanan pada bangunan

(Sumber: Blyth, Alastair dan Anthony Gildy. University of Westminster (2006). Guide to Post Occupancy Evaluation.)

Teknis evaluasi pasca huni dalam penelitian ini dilakukan melalui empat cara yaitu studi lapangan dan observasi, wawancara, kuesioner mengenai ulasan tahap operasional, serta pengukuran. 2.2. An Exploratory Literature Review of Post Occupancy Evaluation Jurnal An Exploratory Literature Review of Post Occupancy Evaluation (Chikezie. Eke, Clinton. Aigbavboa, dan Wellington. Thwala, 2013) menjelaskan pengertian mengenai evaluasi pasca huni. Di dalam jurnal tersebut dijelaskan evaluasi pasca huni adalah istilah umum untuk berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memahami bagaimana performa bangunan setalah terbangun. Evaluasi pasca huni adalah ulasan tentang performa teknis dan fungsional bangunan selama masa pemakaian. Evaluasi pasca huni dan performa bangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Menerapkan penggunaan evaluasi pasca huni dalam sebuah organisasi akan membantu untuk mengidentifikasi hubungan antara kualitas bangunan dengan performa aktivitas pengguna. Hal ini penting untuk melakukan evaluasi pasca huni karena menunjukkan seberapa baik performa bangunan untuk memenuhi kebutuhan pengguna dan mencapai tujuan organisasi. Terdapat tiga fase dalam pelaksanaan evaluasi pasca huni, yaitu: 1. Perencanaan Evaluasi Pasca Huni Hal yang paling penting dari bagian ini adalah kriteria dari performa yang dibutuhkan evaluator untuk mengidentifikasi metode pengumpulan data. Elemen performa bangunan seperti, kesehatan, keamanan, efisiensi, dan budaya harus menjadi prioritas. 2. Melaksanakan Evaluasi Pasca Huni Selama proses pelaksanaan evaluasi pasca huni metode yang paling tepat digunakan adalah kuesioner. 3. Menerapkan Evaluasi Pasca Huni Ketika semua data sudah dianalisis, evaluator harus melaporkan temuannya. Ulasan dari hasil keluaran bisa diimplementasikan untuk penyempurnaan performa bangunan. Melakukan evaluasi pasca huni terhadap suatu bangunan tentu saja memiliki keuntungan. Keuntungan terbesar dari pelaksanaan evaluasi pasca huni terwujud saat informasi tersebut disebar-luaskan kepada pembaca. Informasi dari evaluasi pasca huni tidak hanya menyajikan penyelesaian masalah tapi juga menyediakan data-data pembanding untuk proyek sejenis pada masa mendatang. Melalui jurnal ini ada beberapa hal yang dapat dipelajari. Poin pertama adalah sebagian besar organisai di dunia mengadaptasi evaluasi pasca huni sebagai alat untuk 25


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

mengevaluasi performa bangunan mereka. Pelajaran selanjutnya adalah bangunan merupakan aset tak bergerak dan itu dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti iklim yang berpengaruh pada kebutuhan perawatan. Maka dari itu, penting untuk selalu mengevaluasi bangunan karena akan membantu desainer ataau pemangku kepentingan untuk menentukan masalah yang memengaruhi kinerja bangunan. 2.3. Standar Nasional Perpustakaan (SNP 010:2011) Tabel 2. Standar Teknis Bangunan Perpustakaan No.

Temperatur

Kelembaban

1

Ruang koleksi buku

Area

20-25oC

45-55% rH

2

Ruang koleksi microfilm

20-25oC

20-21% rH

3

Area baca pemustaka

20-25oC

4

Area kerja

20-25oC

(Sumber: Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Perpustakaan (SNP). SNP 010:2011. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta.)

2.4. Architect’s Data, Ernst & Peter Neufert 3rd Edition Tabel 3. Standar Pencahayaan Bangunan Perpustakaan No.

Ruang

Pencahayaan

1

Ruang baca

300-850 lux

2

Ruang penyimpanan buku

150-300 lux

3

Ruang servis (non-workplace)

100-300 lux

4

Ruang administrasi

250-500 lux

(Sumber: Neufert, Ernst and Peter (2000). Architect’s Data. Third Edition. Wiley)

3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Perpustakaan Pusat ITB telah mengalami revitalisasi dan renovasi beberapa kali semenjak berdiri pada tahun 1987. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2011 dan diresmikan pada tanggal 28 Januari 2013. Renovasi ini dilakukan melalui kerjasama antara Direktorat Sarana dan Prasarana ITB dengan Indah Karya sebagai kontraktor, dengan berfokus pada renovasi desain interior secara besar-besaran pada tiap lantainya. Perpustakaan Pusat ITB saat ini memiliki beragam fasilitas, di antaranya adanya ruang baca yang luas di tiap lantai, ruang koleksi buku, toko buku, ruang serbaguna, ruang pelatihan IT, American Corner, Nation Building Corner, ruang Audio Visual, ruang penitipan tas, ruang staf, musholla, dan lain-lain. Setelah tiga tahun berjalan, perlu dilakukan penilaian terhadap bangunan Perpustakaan Pusat ITB untuk mengetahui performa bangunan pasca renovasi. Penilaian ini dilihat dari pemenuhan kriteria secara teknis dibandingkan dengan standar yang ada, serta melalui skala kepuasan pengguna terhadap kinerja secara fungsional dari Perpustakaan Pusat ITB.

26


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1. Bangunan Perpustakaan Pusat ITB Sumber: copyright Syahr Banu

Gambar 2. Interior Ruang Baca Perputkaan Pusat ITB Sumber: www.itb.ac.id

3.2. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, penyebaran kuesioner kepada staf perpustakaan dan mahasiswa ITB, serta pengukuran. Observasi dan pengukuran dilakukan untuk pengumpulan data terkait aspek teknis, sedangkan wawancara dan penyebaran kuesioner digunakan sebagai data terkait aspek fungsional. 3.2.1.

Kuesioner Pengguna

Kuesioner pengguna ditujukan kepada mahasiswa ITB dan mendapatkan respon sebanyak 58 responden. Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pengunjung terhadap fasilitas bangunan Perpustakaan Pusat ITB.

27


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Tingkat Kepuasan Pengguna Perpustakaan Pusat ITB Dalam kuesioner yang disebarkan, selain pertanyaan terkait tingkat kepuasan, terdapat pula pertanyaan bebas terkait keinginan pengguna, perubahan yang diharapkan, serta hal yang dianggap sukses. Respon dari pertanyaan tersebut dikelompokkan menjadi kinerja fungsional dan teknis berdasarkan Guide to Post Occupancy Evaluation, University of Westminster (2006). Secara umum respon pengguna didominasi oleh kategori ruang dan amenitas seperti pengaturan ruang baca, perbaikan toilet dan musholla, serta pelatakan sirkulasi vertikal. Sedangkan terdapat beberapa hal yang dianggap sukses antara lain furnitur yang nyaman dan ruang belajar kelompok yang memadai. 3.2.2.

Kuesioner Staf

Kuesioner ini ditujukan kepada staf perpustakaan dimulai dari staf ruang penitipan barang, staf bagian pelayanan dan sirkulasi buku, hingga kepala bagian pengadaan dan katalog, dan mendapatkan respon sebanyak 26 responden. Tujuan dari kuesioner ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan staf terhadap fasilitas bangunan Perpustakaan Pusat ITB.

Gambar 4. Tingkat Kepuasan Staf Perpustakaan Pusat ITB Dalam kuesioner untuk staf, terdapat pula pertanyaan bebas terkait keinginan pengguna, perubahan yang diharapkan, serta hal yang dianggap sukses. Secara umum respon staf terhadap pertanyaan tersebut juga didominasi oleh ruang 28


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dan amenitas. Staf menginginkan beberapa pengadaan dan perbaikan seperti pengadaan ruang koleksi buku dan perbaikan fasilitas musholla, pantry, dan toilet staf. 3.2.3.

Pengukuran

Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran terhadap pencahayaan, temperatur, kelembaban udara, dan suara. Pengukuran ini dilakukan di beberapa titik pada tiap lantai bangunan perpustakaan pukul 12.00-14.00 WIB dan dihitung rata-ratanya, data rata-rata ini kemudian dibandingkan antar lantainya.

Gambar 5. Hasil Pengukuran Cahaya Rata-rata

Gambar 6. Hasil Pengukuran Temperatur Rata-rata

Gambar 7. Hasil Pengukuran Kelembaban Udara Rata-rata

29


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.4.

Observasi

Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi bangunan Perpustakaan Pusat ITB terkait ruang dan failitas bagi pengunjung khususnya mahasiswa dan staf. Selain itu, observasi ini diperlukan untuk menemukan permasalahan arsitektur yang terdapat pada Perpustakaan Pusat ITB. Observasi ini dilakukan pada tanggal 28 September 2016 saat siang hari.

Gambar 8. Kondisi Lantai 1 Perpustakaan Pusat ITB

Gambar 9. Kondisi Ruang Staf di Lantai 1

Gambar 10. Kondisi Lantai 2 Perpustakaan Pusat ITB

30


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 11. Kondisi Lantai 3 Perpustakaan Pusat ITB

Gambar 12. Kondisi Lantai 4 Perpustakaan Pusat ITB

Gambar 13. Kondisi Lantai Basement Perpustakaan Pusat ITB

31


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.5.

Wawancara

Wawancara dilakukan dengan Ibu Leni Fatimah dari Bagian Konsultasi dan Ibu Lilis dari Bagian Sirkulasi Perpustakaan Pusat ITB sebagai narasumber. Menurut narasumber, Perpustakaan Pusat ITB sudah cukup nyaman secara keseluruhan namun, masih bisa lebih baik lagi. Beberapa perbaikan yang diinginkan oleh narasumber antara lain penataan ulang ruang baca dan rak buku, perbaikan toilet dan musholla, serta perbaikan pendingin ruangan. Selain itu, narasumber juga menginginkan perubahan dan pengadaan diantaranya pemanfaatan basement sebagai pujasera untuk mahasiswa dan pemajangan buku baru di lantai 1. 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Hasil kuesioner yang disebarkan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan rata-rata pengguna terhadap Perpustakaan Pusat ITB adalah 3.53 dan tingkat kepuasan rata-rata staf adalah 3.25 dalam skala 1-5. Kedua nilai tersebut meunjukkan bahwa pengguna dan staf sudah merasa cukup puas dengan performa Perpustakaan Pusat ITB. Hasil pengukuran Perpustakaan Pusat ITB menunjukkan bahwa rata-rata intensitas cahaya sebesar 163.25 lux, temperatur sebesar 26.45 °C, kelembaban udara sebesar 63.325% rh, dan intensitas suara sebesar 52.175 dB. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa Perpustakaan Pusat ITB masih belum memenuhi standar-standar yang berlaku. 4.2. Interpretasi Data Dari data yang didapat, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan pengguna Perpustakaan Pusat ITB yaitu mahasiswa dan staf sudah cukup puas, yaitu berada pada skala 3.53 dari 5, terhadap kinerja perpustakaan ditinjau dari segi fungsional terkait ruang, kenyamanan, dan kelengkapan fasilitas bangunan. Sayangnya ditinjau dari data pengukuran dan observasi, masih banyak kriteria teknis yang nyatanya dibawah standar. Namun, ternyata kriteria teknis yang dibawah standar ini tidak memengaruhi kepuasan pengguna terhadap bangunan, justru kelayakan fasilitas yang ada di dalam bangunan lebih memengaruhi kepuasan pengguna. Sehingga, perlu dilakukan peningkatan kelayakan fasilitas dan kriteria teknis yang memenuhi standar untuk mendapatkan tingkat kepuasan pengguna yang maksimal. 5.

PENUTUP

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna merasa cukup puas terhadap aspek fungsional pada Perpustakaan Pusat ITB, seperti kualitas ruang, kenyamanan, pelayanan, dan fasilitas. Akan tetapi, performa bangunan dalam aspek teknis secara umum belum memenuhi standar perpustakaan yang berlaku. Walaupun pengguna sudah merasa cukup puas perlu dilakukan perbaikan terhadap aspek teknis dengan tetap meningkatkan kualitas aspek fungsional.

32


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI 7330:2009. Perpustakaan dan Kepustakawanan. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Perpustakaan (SNP). SNP 010:2011. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta. Blyth, Alastair dan Anthony Gildy. University of Westminster (2006). Guide to Post Occupancy Evaluation. Chikezie. Eke, Clinton. Aigbavboa, and Wellington. Thwala (2013). An Exploratory Literature Review of Post Occupancy Evaluation. International Conference on Civil and Environmental Engineering (CEE’2013). Neufert, Ernst and Peter (2000). Architect’s Data. Third Edition. Wiley Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 Tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Scherer, Jeffrey (2013). Questionnaire about Library Buildings. IFLA

33


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

34


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PENGARUH PERUBAHAN GAYA HIDUP KONGKO-KONGKO MASYARAKAT TERHADAP DESAIN ARSITEKTUR CAFE M. Indra RHAMADHAN, M. Fajri Arief MAHMUDA, M. Darma PARAMARTA Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)indrarhamadhan@gmail.com; (2)mufarda@gmail.com; (3)darmaparamarta@gmail.com

ABSTRAK Perubahan gaya hidup kongko-kongko masyarakat urban saat ini telah beralih dari tempat yang sederhana menjadi tempat yang nyaman dan berkelas. Cafe merupakan tempat yang ramai dikunjungi masyarakat untuk kongko-kongko. Cafe yang sejatinya dirancang untuk kongko-kongko kini telah digunakan oleh masyarakat bukan hanya untuk kongko-kongko saja namun juga untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan tertentu. Warunk Upnormal merupakan cafe yang ramai dikunjungi oleh masyarakat meskipun menu yang dihidangkan merupakan menu yang sederhana seperti indomie. Disana pengunjung melakukan banyak aktivitas seperti bercengkrama, bahkan mengerjakan tugas. Melihat hal diatas paper ini akan membahas bagaimana pengaruh perubahan gaya hidup terhadap desain arsitektur cafe yang direspon oleh Warunk Upnormal. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan observasi langsung dan menyebarkan kuesioner pada pengunjung. Kata Kunci: gaya hidup, kongko-kongko, arsitektur, cafe, predictor 1.

PENDAHULUAN

Dewasa ini telah terjadi perubahan dan perkembangan gaya hidup pada masyarakat di Kota Bandung, dalam hal ini disoroti pada kebiasaan kongko - kongko. Kongko - kongko sendiri memiliki makna berkumpul membicarakan sesuatu tanpa arah yang pasti. Kebiasaan tersebut banyak berkembang di kalangan remaja dan mahasiswa. Jika melihat beberapa tahun kebelakang, kebiasaan kongko - kongko berpusat di tempat - tempat yang cenderung sederhana, murah dan mudah diakses di lingkungan sekitarnya. Aktivitas yang dilakukan pun terbatas hanya pada berbincang bincang. Namun, akhir - akhir ini kebiasaan kongko - kongko ini mengalami perluasan makna, terutama pada aspek kegiatan dan lokasi. Kongko - kongko tidak hanya dilakukan di warung atau pekarangan tempat tinggal, namun sudah merambah cafe - cafe yang terletak di kawasan yg cukup jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Kegiatannya pun mulai beragam. Tidak hanya berbincang - bincang, namun juga dapat membicarakan tugas - tugas kuliah/sekolah, meeting sederhana, dan sebagainya. Perluasan kebiasaan itu, berakibat pada meningkatnya tuntutan masyarakat akan fasilitas yang menampung gaya hidup tersebut. Keinginan masyarakat tersebut telah memicu meningkatnya kemunculan cafe – cafe yang memfasilitasi kebiasaan baru itu. Salah satunya adalah cafe bernama Warunk Upnormal. Warunk Upnormal selain menawarkan kenyamanan untuk bersosialisasi pengunjungnya, juga menawarkan jenis - jenis makanan yang dahulunya sederhana dan dianggap murah namun, dengan inovasinya, dibuat lebih bergengsi dan lebih menarik. Misalnya saja pada produk seperti mie instant. Tidak hanya warunk upnormal, inovasi dan perkembangan ini juga memicu munculnya cafe - cafe lain dengan tema yang serupa. Banyaknya pilihan cafe yang memfasilitasi kebiasaan masyarakat tersebut mempengaruhi preferensi masyarakat dalam memilih cafe yg akan dikunjungi. Preferensi cafe – cafe tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti aspek jenis makanan, harga, 35


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

pelayanan, dan dari aspek arsitekturnya. Disini penulis ingin menyoroti pengaruh aspek arsitektur dalam menjadi preferensi pengunjung cafe. Pada penelitian ini penulis berfokus pada faktor - faktor arsitektur yang memengaruhi preferensi pengunjung Warunk Upnormal, khususnya Warunk Upnormal. Aspek arsitektur pada cafe Warunk Upnormal terletak pada desain interior, desain eksterior, dan pola ruangnya. Aspek arsitektur suatu cafe dibentuk oleh beberapa faktor seperti faktor kenyamanan visual, audial, termal, olfaktori, juga, suasana, pola pengaturan ruang, dan sebagainya. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka Tentang Gaya Hidup Gaya hidup menurut Webster’s Universal Dictionary and Thesaurus (2003) gaya hidup atau lifestyle berarti sikap yang istimewa mengenai kebiasaan hidup manusia yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Menurut Laurens (2005:4) terdapat dua pendapat mengenai dasar pembentuk perilaku manusia. 1.

Nature Semua perilaku manusia merupakan pembawaan biologis manusia yang berkaitan dengan genetika

2. Nuture Semua perilaku manusia berasal dari pengalaman dan pelatihan sehingga merupakan kristalisasi dari budaya yang berlaku bagi manusia tersebut Menurut Kotler (2002) gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang� dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, menurut Minor dan Mowen (2002), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu.

bagaimana

Menurut Halley (1997) dalam Okterina (2008), terdapat dua versi kehidupan seharihari masyarakat modern saat ini, yang pertama adalah pengalaman estetik yang berkaitan dengan nilai nilai demokratis. Ciri-cirinya, penggunaan ruang publik seperti taman dan jalan sudah dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Masyarakat tidak lagi menggunakan ruang publik untuk berkumpul dengan orang-orang yang tidak saling kenal, karena simbolisasi dari ruang publik tersebut sudah diperkenalkan ke dalam kehidupan privat, contohnya pool hall dan taman. Pada versi yang pertama itu masyarakat lebih mandiri dan kecanggihan teknologi tidak dipergunakan untuk kemewahan. Sedangkan versi yang kedua adalah pentingnya menunjukkan identitas kelas yang berkuasa atau powerful class, yaitu generasi yang memproduksi entertainment dan barang-barang mewah. 2.2. Tinjauan Pustaka Mengenai Konsumerisme Baudrillard (1998 : 32-33) menyatakan, situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataannya manusia tidak akan pernah merasa terpuaskan atas kebutuhankebutuhannya. Teori konsumsi Baudrillard, mengatakan bahwa masyarakat konsumeris pada masa sekarang tidak didasarkan kepada kelasnya tetapi pada kemampuan konsumsinya. Siapapun bisa menjadi bagian dari kelompok apapun jika sanggup mengikuti pola konsumsi kelompok tersebut.

36


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.3. Tinjauan Pustaka Mengenai Perubahan Gaya Hidup Menurut (Soekanto 1982:303), perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat mengenai nilai – nilai sosial, norma – norma sosial, pola – pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga – lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan tersebut berkaitan dengan waktu dan terus mengalamai perkembangan. Beberapa faktor yang memengaruhi perubahan tersebut antara lain: 1. Kontak dengan kebudayaan lain 2. Kemajuan sistem pendidikan 3. Sikap menghargai hasil karya seseorang & keinginan untuk maju 4. Toleransi terhadap perubahan – perubahan yang menyimpang 5. Sistem lapisan masyarakat yang terbuka 6. Penduduk yang heterogen 7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap perkembangan bidang – bidang tertentu 8. Orientasi ke depan 9. Meningkatnya nilai taraf hidup Gaya hidup kongko-kongko di Indonesia sudah ada sejak jaman dahulu tetapi mengalami beberapa perubahan seiring berkembangnya jaman. Pada jaman dulu, kongkokongko biasanya hanya dilakukan di warung kecil, taman, ataupun tempat-tempat yang nyaman untuk mengobrol dan kegiatan yang dilakukan juga lebih sederhana. Namun saat ini, kegiatan kongko-kongko lebih banyak dilakukan di cafe-cafe. Bagi para penyuka kegiatan kongko-kongko ini, mereka membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana itu berupa tempat, kenyamanan yang ditawarkan, dan juga produk yang tersedia. Faktor-faktor yang menjadi latar belakang kegiatan kongko-kongko antara lain kecenderungan orang-orang sekarang yang selalu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk berkumpul bersama dan pada akhirnya akan membentuk kelompok-kelompok dengan kepentingan yang sama. 2.4. Tinjauan Pustaka Mengenai Cafe/Restoran Menurut Marsum W.A (2005) definisi restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisasikan secara komersial, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamu, baik berupa kegiatan makan maupun minum. Dari klasifikasi restoran (Indrayana, 2006:32), Warung Upnormal termasuk dalam jenis cafe, yaitu tempat untuk makanan dan minuman, dapat berupa makanan dan minuman cepat saji dengan suasana suguhan yang santai dan cenderung tidak resmi. 3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Produk-produk Cita Rasa Prima (CRP) memang diilhami dari makanan-makanan lokal khas Indonesia. CRP menyasar kalangan konsumen usia muda. Nilai inovasi dan diferensiasi itu sendiri dapat ditemukan dalam nama-nama brand kuliner baru dari CRP dan konsepnya. Salah satunya di brand mereka Warunk Upnormal. “Kami menciptakan sebuah konsep nongkrong (bersantai bersama teman-teman –red) tapi pakai mi instan,” Bedanya, mi instan kebanyakan hanya disajikan di warung-warung biasa yang kurang ‘kekinian’ tetapi Warung Upnormal menyajikan dan mengemas makanan siap saji itu dengan lebih menarik di sebuah kafe berdesain interior lebih bagus mirip kafe sehingga sesuai dengan selera anak muda zaman sekarang. Pada penelitian ini kami meneliti Warunk Upnormal yang ada di Bandung. Kami memilih tiga Warunk Upnormal untuk pengambilan data yaitu data fisik dan kuesioner, yaitu Warunk Upnormal Jalan Dipatiukur, Warunk Upnormal Jalan Braga, dan Warunk Upnormal Jalan Martadinata. Tiga lokasi tersebut dipilih karena merupakan cabang yang cukup baru dengan menggunakan tipologi bangunan yang hampir sama serta pengunjungnya yang selalu ramai. Selain itu berdasarkan lokasi ketiga upnormal tersebut mewakili segmen pasar yang berbeda. Upnormal Dipatiukur terletak di kawasan 37


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

pendidikan yang dekat dengan mahasiswa dan pelajar, Upnormal Braga terletak di kawasan wisata yang dekat dengan para wisatawan, dan Upnormal Martadinata terletak di kawasan komersil yang dekat dengan pekerja kantoran. 3.2. Pengumpulan Data 3.2.1.

Data Pengunjung

38


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.2.

Data Fisik

Dari ketiga Warunk Upormal yang kami survey yaitu Upnormal Braga, Upnormal Dipatiukur, dan Upnormal Riau ketiganya memiliki kondisi fisik yang hampir serupa. Warunk Upnormal memiliki ciri khas pada fasade bangunannya dengan menggunakan secondary skin berlatar warna hitam dengan tulisan Warunk Upnormal yang besar berwarna putih. Selain itu Upnormal biasa menggunakan bangunan yang sudah ada lalu direnovasi seperti bangunan yang dahulunya berfungsi sebagai rumah atau pun toko. Setiap Warunk Upnormal biasanya memiliki fasilitas parkir yang cukup luas, terutama untuk motor. Tempat parkir biasa terletak di depan bangunan sehingga ketika datang ke Upnormal yang pertama dilihat adalah kendaraan parkir. Terkecuali di Braga karena disana sempadan nol, parkir motor di bahu jalan dan parkir mobil memanfaatkan fasilitas tempat parkir umum. Memasuki bangunan Upnormal rata-rata memiliki pintu masuk yang lebar sehingga dapat masuk secara bersama-sama. Setelah masuk bangunan kita dapat langsung mencari tempat duduk baik itu diarahkan oleh pegawainya atau pun mencari sendiri. Setelah mendapat tempat duduk kita dapat memesan menu makanan dan minuman, pemesanan harus dilakukan di kasir dan langsung bayar disana. Setelah memesan, pesanan akan diantar ke tempat duduk. Sirkulasi bangunan sangat jelas mengarahkan ke tempat-tempat umum seperti kasir, toilet, mushala, dan pintu keluar.

39


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tempat duduk di Upnormal sebagian besar manggunakan material kayu dengan dua, empat, dan enam tempat duduk. Selain itu juga tersedia meja panjang dengan tempat duduk lebih dari enam di ruang privat. Bentuk meja ada yang persegi, persegi panjang, dan lingkaran. Biasanya meja bundar di tempat makan outdoor. Program ruang Warunk Upnormal terdiri dari tempat makan outdoor, tempat makan indoor, kasir, privat room, dapur bersih, dapur kotor, toilet, dan mushala. Layout ruang cukup mudah dimengerti, perbedaan ruang publik dan privat sangat jelas. Fasilitas umum seperti toilet dan mushala cukup mudah ditemukan. Beberapa Warunk Upnormal terdiri dari dua lantai namun ada juga yang hanya satu lantai. Warunk Upnormal memiliki rancangan kasir yang menyatu dengan dapur bersih mirip seperti bar. Desain kasir memiliki warna utama warna hitam dan terbuka. Pengunjung dapat melihat pegawai mengolah minuman dan makanan yang mudah dibuat seperti kopi dan roti bakar. Terdapat akses langsung bagi pegawai untuk keluar masuk kasir. Yang paling menarik dari Warunk Upnormal adalah desain interiornya. Meskipun menu yang dihidangkan sederhana namun dengan desain interior yang menarik dapat meningkatkan citra makanan dan juga membuat betah pengunjung yang datang. Warunk Upnormal memiliki grand desain interior yang telah kami survey dari tiga upnormal. Material dinding menggunakan plester dan juga batu bata ekspose. Material lantai menggunakan beton, marmer, dan keramik bermotif. Material langit-langit terdiri dari dua yaitu berplafond fan tidak berplafond. Pemilihan warna interior lebih dominan warna gelap dan hangat seperti hitam dan cokelat. Selain itu ada juga warna abu beton dan merah batu bata. Penggunaan lampu pada malam hari menggunakan cahaya warna kuning yang menimbulkan kesan hangat sehingga pengunjung betah berlama-lama di Upnormal sembari kongkokongko bersama teman. Untuk menambah menarik interior, dinding upnormal dipenuhi dekorasi kata-kata dan benda-benda yang menarik seperti mural bahkan sepeda. Beberapa Warunk Upnormal memiliki taman dibagian depannya dan ada juga yang memiliki inner court di dalam bangunannya, yang cukup berbeda yaitu di braga taman yang berfungsi sebagai tempat makan outdoor terletak di lantai dua. Ruang outdoor ini biasanya dipakai sebagai smoking area untuk pengunjung yang ingin merokok. Selain mengutamakan keindahan Warunk Upnormal juga memperhatikan kenyamanan. Untuk penghawaan dalam bangunan upnormal menggunakan penghawaan buatan yaitu menggunakan AC, namun sebenarnya beberapa bangunan upnormal memiliki sirkulasi udara yang baik dengan memiliki banyak bukaan. Untuk pencahayaan, pada siang hari Warunk Upnormal menggunakan pencahayaan alami yang cukup melimpah meskipun ditambah pencahayaan buatan untuk menambah suasana bukan sebagai pencahayaan utama. Warunk Upnormal memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk membuat pengunjung betah berlama-lama disana. Wi-fi kencang, stop kontak hampir di setiap kursi, board games, toilet yang nyaman, mushala, jam buka hingga larut malam, fasilitas parkir, serta meja dan kursi yang cukup nyaman. Dengan fasilitas yang memadai suasan yang dihadirkan cukup hangat dan nyaman untuk kongko-kongko bersama teman-teman.

40


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1.1.

Analisis Pengunjung

Data kuesioner yang disebar kepada 68 pengunjung upnormal Dipatiukur, R.E Martadinatha, dan Braga mengatakan bahwa para pengunjung menyukai fasilitas wifi (sejumlah 41.94%) yang ada di Warunk Upnormal. Selain itu, fasilitas yang juga cukup menjadi daya tarik para pengunjung adalah stop kontak (sejumlah 20.43%) untuk menunjang kebutuhan aktivitas mereka. Selain itu, kami meneliti terkait jenis dan posisi tempat duduk yang diminati oleh para pengunjung untuk mengetahui jenis tempat duduk apa yang diminati. Jenis tempat duduk yang paling diminati oleh pengunjung adalah kursi kayu dengan meja pendek dan juga sofa dengan meja panjang yang memiliki masing-masing 30.88% dari keseluruhan responden. Untuk preferensi posisi duduk (lantai 1 / lantai 2), pengunjung lebih memilih untuk duduk di lantai 1 ketimbang lantai 2, dengan presentase 55% responden. Selanjutnya preferensi tentang pemilihan tempat duduk (indoor/outdoor) mayoritas pengunjung lebih menyukasi duduk di dalam ruangan (indoor) dengan presentase 70.45%. Seiring dengan berkembangnya gaya hidup manusia, aktivitas manusia pun menjadi hal yang disoroti pada penelitian kami ini. Aktivitas yang dilakukan dapat menjadi cerminan gaya hidup yang sedang terjadi. Menurut hasil kuesioner, aktivitas yang paling banyak dilakukan pengunjung upnormal adalah makan dan minum (41.67%). Tidak hanya itu, aktivitas yang lumayan banyak dilakukan oleh pengunjung Warunk Upnormal adalah bercengkrama dengan pengunjung lain (33,33%). Untuk mengetahui perkembangan gaya hidup manusia yang direspon oleh Warunk Upnormal, kami juga meneliti lingkar sosial apa yang paling banyak memanfaatkan fasilitas cafe ini. Menurut data kuesioner, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pengunjung Warunk Upnormal dilakukan bersama teman mereka (67,65%). Namun selain itu, masih juga terdapat kemungkinan bahwa pengunjung upnormal pergi bersama pasangan dan rekan kerja mereka. Selanjutnya, kami ingin mengetahui pada era sekarang ini seberapa besar lingkar sosial yang dimiliki oleh seseorang. Ternyata, jumlah teman berkunjung mereka pun beragam, sebagian besar jumlah teman berkunjung mereka sebanyak 2 sampai 4 orang (55%). Hal ini juga mempengaruhi terhadap perancangan cafe tersebut dari segi pemilihan jenis / layout kursi untuk para pengunjung. Jenis pengunjung Warunk Upnormal beragam mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, dan wiraswasta, dan pengunjung yang mayoritas mengunjugi Warunk Upnormal adalah para mahasiswa (67,69%) dengan usia 21-50 tahun (58,82%). Data tersebut menunjukkan bahwa gaya hidup kongko-kongko yang diwadahi oleh Warunk Upnormal adalah gaya hidup untuk para remaja (15-25 tahun) dan pada usia produktif (30-40 tahun). 4.1.2.

Analisis Fisik

Menurut hasil pengamatan, bangunan Warunk Upnormal memiliki cir khas. Ciri khas yang dimiliki bangunan Warunk Upnormal adalah menggunakan fasade secondary skin berlatar warna hitam dengan tulisan Warunk Upnormal yang besar berwarna putih. Selain itu, Upnormal biasa menggunakan bangunan yang sudah ada lalu direnovasi. Setiap Warunk Upnormal biasanya memiliki fasilitas parkir yang cukup luas, baik parkir motor maupun mobil yang disediakan selalu terisi penuh terutama pada saat malam hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengunjung Warunk Upnormal adalah masyarakat golongan menengah dan aktivitas kongkokongko dilakukan mulai dari sore hari dan puncaknya adalah pada saat malam hari. Pada bagian dalamnya, Sirkulasi sangat jelas mengarahkan ke tempattempat umum seperti kasir, toilet, mushala, dan pintu keluar. Layout ruang cukup mudah dimengerti, perbedaan ruang publik dan privat sangat jelas. Fasilitas umum 41


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

seperti toilet dan mushala cukup mudah ditemukan. Desain interior yang menarik dapat meningkatkan citra makanan dan juga membuat betah pengunjung yang datang. Selain itu, Warunk Upnormal memiliki grand design interior yang menggunakan plester dan juga batu bata ekspose. Material lantai menggunakan beton, marmer, dan keramik bermotif. Grand design menjadi hal yang penting untuk sebuah cafe yang memiliki banyak cabang. Adanya grand design mampu mempermudah orang-orang mengenali cafe tersebut, semakin mudah dikenal sebuah bangunan akan meningkatkan preferensi pengunjungnya. Beberapa Warunk Upnormal memiliki taman dibagian depannya dan ada juga yang memiliki inner court di dalam bangunannya. Penyediaan Taman dan inner court ini bagaikan oase tersendiri pada masyarakat kota yang mampu meningkatkan daya tarik bagi pengunjung 4.2. Interpretasi Data Para pengunjung Warunk Upnormal mayoritas adalah para mahasiswa remajadewasa yang berada dalam masa – masa produktif. Para remaja-dewasa tersebut pun memiliki kebutuhan bersosialisasi yang cukup besar, dilihat dari kecenderungan para pengunjung datang tidak sendiri melainkan bersama dengan teman sebaya maupun pasangan mereka. Pada era modern sekarang ini, lingkar sosial seorang manusia yang berkunjung pada sebuah cafe relatif kecil sekitar 2-4 orang saja, ini bisa dilihat dibagian data. Menurut hasil analisis, Fasilitas yang ditawarkan oleh sebuah cafe / rumah makan pun juga cukup menjadi sorotan para pengunjung. Fasilitas yang paling dibutuhkan oleh para pengunjung di era sekarang adalah adalah stop kontak (sumber listrik) dan koneksi wifi (internet) yang dapat menunjang kebutuhan mereka untuk produktif dan bersosialisasi. Pilihan jenis dan variasi tempat duduk pada sebuah cafe pun ikut menjadi penting karena akan memengaruhi preferensi pengunjungnya, pada Warunk Upnormal yang menjadi pilihan utama para pengunjungnya adalah posisi tempat duduk di dalam ruangan (indoor) yang berada di lantai dasar dengan jenis tempat duduk sofa yang dapat mengakomodir banyak pengunjung di meja yang panjang. Preferensi tersebut ditimbulkan dari kenyamanan yang diinginkan oleh pengunjung dalam menikmati makanan dan bersosialisasi. Hal ini juga mempengaruhi perancangan sebuah cafe dari segi pemilihan jenis dan layout kursi untuk para pengunjung. Selain itu, pertimbangan elemen – elemen estetika dari arsitektur sendiri dapat meningkatkan nilai jual sebuah cafe. Elemen – elemen estetika tersebut akan menimbulkan ambience kepada para pengunjung agar terus mengunjungi Warunk Upnormal. 5.

PENUTUP

Perubahan gaya hidup kongko-kongko masyarakat masa kini dialami oleh masyarakat kalangan remaja dan dewasa. Belakangan ini, kongko-kongko tidak hanya dilakukan di warungwarung kecil di sudut kota melainkan juga terjadi di cafe-cafe ditengah kota. Kongko-kongko pun sudah mengalami pergeseran makna dari membicarakan sesuatu tanpa arah yang pasti menjadi berkumpul, dan bersosialisasi baik melakukan suatu hal prooduktif maupun tidak. Upnormal merespon hal tersebut dengan sangat baik dari segi arsitekturnya, Kebutuhan masyarakat untuk saling bercengkrama dan bersosialisasi ditemani dengan santapan yang disajikan menjadi suatu penawaran yang sukses diterima oleh masyarakat. Pada era modern ini, pemilihan jenis makanan yang ditawarkan oleh sebuah cafe tidaklah menjadi satu – satunya pertimbangan utama, Fasilitas – fasilitas penunjang kebutuhan masyarakat untuk dapat melakukan hal produktif dan bersosialisasi satu sama lain dan juga daya tarik dari estetika suatu cafe harus menjadi pertimbangan para pengusaha yang bergerak di bidang kuliner.

42


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean P. (2006). Masyarakat Konsumsi, Jakarta Soekanto, Surjono. (1982). Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta Geddes & Grosset. (2003). Webster’s Universal Dictionary and Thesaurus, Listyorini, S. (2012). Analisis Faktor- faktor Gaya Hidup dan Pengaruhnya Terhadap Pembelian Rumah Sehat Sederhana. Jurnal Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya, Malang. Okterina, A. (2008). Pengaruh Gaya Hidup Modern Dan Persepsi Penghuni Terhadap Karakter Fisik Perumahan Cluster Di Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponogoro, Semarang Kusumadelia, L. (2008). Gaya Hidup Manusia dan Arsitektur Pasar di DKI Jakarta (Studi Kasus: Pasar Kramat Jati dan Carrefour MT Haryono. Skripsi. Universitas Indonesia, Depok. A.W Marsum. (2005). Restoran dan Segala Permasalahannya. Edisi IV. Yogyakarta

43


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

44


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PREFERENSI MASYARAKAT KOTA BANDUNG DALAM MEMILIH RESTORAN DILIHAT DARI ASPEK ARSITEKTURAL STUDI KASUS JALAN PROGO Retnasih WIDIATMANI(1), Shafira ANJANI(2), dan Inneke RIZKY(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)retnasih@students.ar.itb.ac.id; (2)shafiranjani@students.ar.itb.ac.id; (3) inneke-rizky@students.itb.ac.id

ABSTRAK Disamping wisata alamnya, kini Bandung juga semakin terkenal dengan wisata kulinernya. Tersedia berbagai jenis varian makanan tersebar di kota Bandung. Dampak lain dari meningkatnya wisata kuliner di Kota Bandung ialah terjadinya pertumbuhan restoran yang kian meningkat. Jalan Progo merupakan salah satu kawasan di Kota Bandung yang menjadi salah satu destinasi kuliner yang populer. Terdapat banyak restoran tersebar di Jalan Progo. Tidak hanya variasi makanan yang beragam namun yang menarik dari Jalan Progo adalah tema-tema yang digunakan pada restoran. Pemilihan tema pada suatu restoran berhubungan dengan suasana yang ingin dibangun oleh pemilik restoran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi pengunjung dalam memilih restoran di Jalan Progo dilihat dari aspek arsitektural. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner. Hasil dari pengolahan data kuesioner dapat memberikan kesimpulan mengenai aspek tertinggi yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih restoran di Jalan Progo. Kata Kunci: restoran, ambience, skala, fasilitas, aspek arsitektural

1.

PENDAHULUAN

Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu destinasi wisata yang populer di Indonesia. Tidak hanya bagi warga domestik, banyak turis mancanegara menjadikan Bandung sebagai salah satu tujuan wisatanya. Jumlah wisatawan yang mendatangi Bandung mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan karena keberagaman objek wisata yang tersedia di Bandung. Kondisi alam yang sejuk dan dikelilingi pegunungan menjadikan Bandung nyaman untuk dikujungi. Pesona alam ini juga turut memikat banyak wisatawan. Disamping wisata alamnya, Bandung juga semakin terkenal dengan wisata kulinernya. Berbagai jenis varian makanan tersebar di Kota Bandung. Dampak lain dari meningkatnya wisata kuliner di Kota Bandung adalah pertumbuhan restoran yang kian meningkat. Jalan Progo merupakan salah satu kawasan di Kota Bandung yang menjadi salah satu destinasi kuliner yang populer. Banyak restoran tersebar di Jalan Progo. Beragam variasi makanan dan suasana ditawarkan oleh restoran-restoran di Jalan Progo. Kini restoran-restoran turut berlomba mengembangkan desain restoran demi menarik perhatian pengunjung. Setiap restoran membawa tema berbeda yang menjadi ciri tersendiri bagi restoran tersebut. Tema terbentuk dari aspek arsitektural. Tema-tema restoran ini menjadi perhatian bagi pengunjung dalam memilih restoran secara tidak langsung. Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui preferensi pengunjung dalam memilih restoran di Jalan Progo dilihat dari aspek arsitektural.

45


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.

KAJIAN TEORI

2.1. Restoran Pengertian restoran menurut Marsum (1994), restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara komersial, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya baik berupa makan maupun minum. Terdapat beberapa tipe restoran. Menurut Wojowasito dan Poerwodarminto (Marsyangm, 1999:71) restoran atau tempat makan terbagi menjadi 22 tipe yaitu, 1. A’la Carte Restaurant 2. Table D ‘hote Restaurant 3. Coffe Shop atau Brasserei 4. Cafelaria atau Cafe 5.

Canteen

6. Continental Restaurant 7. Carvery 8. Dining Room 9. Discotheque 10. Fish and Chip Shop 11. Grill Room (Rotisserie) 12. Inn Tavern 13. Night Club/Super Club 14. Pizzeria 15. Pan Cake Hoii.se/Creperie 16. Pub 17. Snack Bar/Cqfe/Milk Bar 18. Specialitiy Restaurant 19. Terrace Restaurant 20. Gourmet Restoran 21. Family Type Restaurant 22. Main Dining Room

46


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.2.

Pengaruh Aspek Arsitektural dalam Penciptaan Ambience

Sebuah restoran pada umumnya memiliki ruang-ruang seperti ruang makan, dapur dan cuci piring, ruang manajer, ruang staff, ruang penyimpanan makanan, ruang pendingin makanan, toilet, dan lain-lain. Pengunjung hanya dapat mengakses ruang makan beserta failitas umum lainnya seperti toilet dan tempat ibadah. Ruang makan merupakan ruang paling utama dalam sebuah restoran disamping dapur. Hal ini dapat membedakan satu restoran dengan restoran lainnya. Oleh karena itu sebuah ruang makan seharusnya memiliki eksterior dan interior yang didesain dengan baik. Aspek arsitektural meliputi desain interior. Desain interior turut menjadi penting karena mampu mendefinisikan suatu ruangan melalui elemen-elemennya seperti tekstur dan warna. Gambaran visual ini mampu memberi pengalaman ruang pada penggunanya. Desain interior mampu menciptakan persepsi akan suatu tempat secara baik serta mampu membangkitkan efek dari suasana yang ada. Desain interior mampu menciptakan dan mengemas lingkungan secara keseluruhan, menambahkan efek sensual, dan memahami lingkungan sekitar. Setiap tempat memiliki atmosfer dan suasana yang berbeda ketika pengunjung memasukinya. Efek ini kadang langsung dapat dirasakan karena suasana atau atmosfer yang sangat kuat. Hal ini kemudian berdampak pada pengalaman dan mood akan tempat tersebut. Ambience atau suasana bisa tercipta dari kondisi subjek atau karakter objek. Ambience adalah sebuah pengalaman akan suatu persepsi dari subjek dan merupakan penjelasan kembali karakter subjek tersebut melalui pandangan subjektif penggunanya (Bohme, 1995). Ambience tidak hanya bisa dirasakan, tetapi juga bisa diciptakan dalam konteks karya estetik yang bertujuan memberikan nilai daya tarik lebih pada lingkungan dan benda-benda sekitar tanpa meninggalkan fungsi tempat tersebut. 2.3. Pengalaman dalam Arsitektur Memahami arsitektur tidak cukup dari tampak dan bentuk saja. Arsitektur dapat dipahami secara komprehensif dengan mengamati tujuan dan proses perancangan. Pemahaman dapat diperoleh dengan peka terhadap warna dan tekstur yang dipilih pada suatu bangunan (Rasmussen, 1964). Beberapa elemen berperan dalam memberikan pengalaman arsitektural. Elemen-elemen tersebut antara lain: 1. Skala dan proporsi Skala dan proporsi dalam arsitektur tidak terelakkan. Namun tidak ada ketentuan khusus mengenai tepat atau tidaknya skala dan proporsi yang digunakan. Skala dan proporsi bangunan salah satunya bergantung pada fungsi. 2. Warna Variasi warna pada bangunan digunakan untuk menonjolkan bentuk, pembagian ruang, dan elemen arsitektonis. Warna tidak hanya digunakan untuk menonjolkan material dan struktur, tetapi juga digunakan untuk memperjelas komposisi dan artikulasi hubungan antar ruang. Beberapa warna dapat mengubah persepsi terhadap suatu ruangan. Warna dapat membuat suatu ruangan tampak besar-kecil, dingin-hangat, dan lain-lain. 3. Tekstur Variasi material memberikan kesan yang berbeda. Perbedaan ini dapat dirasakan secara visual dan meraba. Terkadang perbedaan antar material sulit dibedakan. 4. Cahaya Pencahayaan pada suatu ruangan sebaiknya diatur agar tidak monoton. Bayangan yang tercipta dari pencahayaan yang tidak monoton dapat meningkatkan daya tarik suatu 57


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ruangan. Monoton atau tidaknya pencahayaan di suatu ruangan lebih bergantung pada kualitas pencahayaan daripada kuantitasnya. Pemahaman terhadap arsitektur tidak memiliki peraturan dan kriteria khusus karena setiap bangunan memiliki standar masing-masing. Pengalaman arsitektural akan bertambah dengan memahami elemen-elemen arsitektural tersebut. 3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Hingga November 2016, terdapat delapan restoran yang berada di Jalan Progo. Delapan restoran tersebut terbagi kedalam empat klasifikasi restoran menurut Marsyangm (1999), yaitu: 1. Cafetaria atau cafĂŠ: Suatu restoran kecil yang mengutamakan penjualan cake (kuekue), sandwich (roti isi), kopi dan teh. Pilihan makanannya terbatas dan tidak menjual minuman beralkohol. 2. Continental Restaurant: Suatu restoran yang menitik beratkan hidangan continental pilihan dengan pelayanan elaborate atau megah. Suasananya santai, susunannya agak rumit, disediakan bagi tamu yang ingin makan secara santai. 3. Specialty Restaurant: Suatu restoran yang suasana dan dekorasi seluruhnya disesuaikan dengan tipe khas makanan yang disajikan atau temanya. Restoran semacam ini menyediakan masakan Cina, Jepang, Italia dan sebagainya. Pelayanannya sedikit banyak berdasarkan tatacara negara tempat asal makanan spesial itu. 4. Family Type Restaurant: Suatu restoran sederhana yang menghidangkan makanan dan minuman dengan harga tidak mahal, terutama disediakan untuk tamu-tamu keluarga maupun rombongan. Berikut adalah klasifikasi dan restoran yang termasuk di dalamnya. Tabel 1. Klasifikasi Restoran di Jalan Progo Jenis Restoran Nama Restoran Mom's bakery Cafetaria Kopi Pogo Ngorea Giggle Box Continental Restauran Please Please Please Qahwa Specialty Restaurant Tokyo connection Family Restaurant Hummingbird (Sumber: Analisis Penulis)

Penelitian dilakukan hanya pada empat restoran, yaitu Qahwa, Tokyo Connection, Hummingbird, dan Please Please Please. Keempat restoran ini dipilih berdasarkan kesamaan klasifikasi yang dimiliki. 3.1.1.

3.1.1. Qahwa

Qahwa merupakan restoran yan bertema ala timur tengah. Restoran ini menyediakan makanan-makanan khas timur tengah serta suasana makan di timur tengah. Suasana tersebut dimunculkan dari dekorasi-dekorasi di dalam restoran serta musik yang mengiringi di dalam restoran. Warna yang dominan digunakan 58


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

pada restoran ini adalah warna merah, cokelat, dan emas. Sedangkan material yang paling banyak digunakan adalah kayu dan keramik.

Gambar 1. Suasana interior Qahwa (Sumber: www.makansampaikenyang.com)

3.1.2.

3.1.2. Tokyo Connection

Tokyo Connection merupakan salah satu restoran yang menyediakan japannese food dengan harga yang terjangkau. Area makan tidak hanya terdapat di dalam bangunan, melainkan juga di luar bangunan. Warna yang mendominasi pada Tokyo Connection adalah warna cokelat, krem dan hitam. Material yang digunakan kayu, ubin dan rotan.

Gambar 2. Suasana Interior Tokyo Connection (Sumber: www.sebandung.com)

3.1.3.

3.1.3. Hummingbird

Hummingbird Eatery dibuka pada tahun 2009 dan menjadi pelopor tempat makan di Jalan Progo. Restoran yang juga merupakan guest house ini memiliki interior dengan tema burung sebagai elemen-elemen penghias dan didominasi kayu. Restoran ini menyajikan berbagai menu seperti western dan asian food. Palet warna kuning dan permainan material berupa kayu dan kawat besi mendominasi interior dan eksterior restoran.

59


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Suasana Interior Hummingbird (Sumber: www.anakjajan.com)

3.1.4.

3.1.4. Please Please Please

Desain Please Please Please cafĂŠ terinspirasi dari film di tahun 50an , warna -warna pink dan hijau mendominasi setiap sudut ruangan. Menu yang ditawarkan didominasi oleh makanan barat dengan sentuhan Indonesia seperti balacan pasta. Selain itu terdapat juga berbagai jenis kopi dan jus. Please Please Please menggunakan warna hijau tosca, peach dan cokelat. Material yang dominan digunakan pada restoran ini adalah kayu, keramik, dan batu alam.

Gambar 4. Suasana Interior Please Please Please (Sumber: Dokumen pribadi, 2016)

3.2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah survei langsung ke restoranrestoran di Jalan Progo dan menyebarkan kuesioner kepada masyarakat umum. Survei pada restoran berfokus untuk mendata ciri khas dari tiap restoran berdasarkan warna, material, variasi pola dan tekstur, serta tata ruang restoran. Hasil survei kemudian diolah menjadi hasil analisis ciri khas tiap restoran yang selanjutnya akan dipertanyakan tingkat preferensinya kepada pengunjung. Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan dengan jenjang tingkat kepuasan pengunjung terhadap aspek-aspek seperti warna, material, variasi pola dan tekstur, skala dan proporsi, fasilitas penunjang, pencahayaan, dan musik. Aspek warna, material, dan variasi pola dan tekstur disajikan untuk tiap restoran yang berbeda. Jumlah data yang diolah dari hasil kuesioner berjumlah 120 data dari 120 individu berbeda.

60


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Dari hasil data yang diperoleh dari kuesioner dengan responden sejumlah 120 orang, ditemukan tingkat kesukaan pengunjung terhadap penggunaan warna di Hummingbird memiliki hasil yang tertinggi dibandingkan dengan preferensi terhadap ketiga warna lainnya. Dilihat dari aspek arsitektural, responden memilih skala sebagai salah satu alasan terkuat untuk meningkatkan suasana sebuah restoran. Sedangkan, aspek tertinggi yang dijadikan masyarakat sebagai preferensi dalam memilih restoran di Jalan progo adalah fasilitas penunjang. Fasilitas penunjang dapat berupa seperti wi-fi, toilet, musholla, playground, dan lain-lain. Diagram 1. Nilai Preferensi Pengunjung berdasarkan Warna, Material, Pola dan Tekstur pada Restoran di Jalan Progo

(sumber: analisis penulis)

Diagram 2. Preferensi Pengunjung pada Restoran di Jalan Progo

(sumber: analisis penulis)

4.2. Interpretasi Data Sebuah restoran yang baik akan membuat para pengunjungnya ingin datang kembali ke restoran tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang pengunjung memilih 61


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

sebuah restoran dapat dibagi menjadi faktor desain dan faktor non desain. Faktor desain yang ada pada sebuah restoran dapat membangun sebuah ambience. Ambience dapat dibentuk oleh berbagai jenis unsur-unsur yang ada di dalam desain. Untuk sebuah restoran, unsur desain tersebut meliputi warna, material, variasi pola dan tekstur,serta skala dan proporsi. Penerapan unsur-unsur desain tersebut harus diolah sedemikian rupa untuk menciptakan ambience yang baik. Dari pengolahan data ditemukan tingkat kesukaan pengunjung terhadap penggunaan warna, material dan pola-tektstur pada restoran Hummingbird memiliki hasil yang tertinggi dibandingkan dengan restoran lainnya. Warna yang digunakan pada Restoran Hummingbird adalah warna dengan nuansa kuning dan cokelat. Warna-warna tersebut memberikan kesan hangat, luas, dan meningkatkan selera makan. Sedangkan material yang mendominasi pada restoran adalah kayu dan kawat besi yang digunakan sebagai selubung eksterior bangunan luar Hummingbird. Material kayu digunakan pada beberapa elemen seperti lantai, penutup dinding dan langit-langit ruangan yang menciptakan tekstur unik pada restoran Hummingbird. Sedangkan pola pada restoran Hummingbird terlihat dari pola lantai dimana terdapat perpaduan antara lantai tegel, ubin dan kayu.

Gambar 5. Warna yang mendominasi Hummingbird (Sumber: Analisis Penulis)

Gambar 6. Material yang digunakan pada Hummingbird (sumber: Dokumen pribadi, 2016)

Gambar 7. Pola kayu dan ubin pada Hummingbird (sumber: Dokumen pribadi, 2016)

62


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pengunjung menyadari bahwa unsur-unsur desain tersebut dapat membuat ambience yang baik pada restoran khususnya skala dan proporsi. Selain itu, faktor non desain juga diperlukan untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya Faktor non desain dapat berupa penyajian makanan,variasi menu,pelayanan,cara pemasaran,dan lainlain. Berdasarkan penelitian fasilitas penunjang yang ada pada suatu restoran menjadi pertimbangan pengunjung dalam memilih sebuah restoran. Oleh karena itu, untuk membuat pengunjung akan selalu kembali pada suatu restoran dibutuhkan desain yang baik terutama skala dan proposi serta kelengkapan fasilitas di dalam restoran. 5.

PENUTUP

Dari hasil penelitian aspek arsitektural berupa skala dan proporsi merupakan aspek yang paling memengaruhi preferensi masyarakat dalam memilih restoran di Jalan Progo. Skala dan dan proporsi dapat ditunjukan dari tata letak, pemilihan, dan ukuran furnitur. Disamping aspek arsitektural, fasilitas penunjang juga menjadi faktor yang memengaruhi masyarakat dalam memilih restoran. Dalam merancang restoran, skala, proporsi, serta fasilitas penunjang sebaiknya menjadi perhatian utama. Akan tetapi ambience juga tidak boleh luput dari pertimbangan perancangan karena membentuk karakter restoran. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Heap, Dustin. (2014). “How Restaurant Ambiance Affects The Bottom Line”. https://www.signs.com/blog/howrestaurant-ambiance-affects-the-bottom-line/, diakses tanggal 5 Oktober 2016. Hill, McGraw. (2002). Interior Design Handbook of Professional Practice. JohnWiley & Sons, Inc. Fourth Edition. Munavizt, Setzer. (2010). “Pengertian dan Klasifikasi Rumah Makan atau Restoran”. http://pariwisatadanteknologi.blogspot.co.id/2010/06/pengertian-dan-klasifikasi-rumah-makan.html, diakses tanggal 21 September 2016. Rassmusen, Steen Eiler. (1964). Experiencing Architecture. MIT Press.

63


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

64


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

REALITA IMPLEMENTASI BANGUNAN DENGAN KONSEP RAMAH LINGKUNGAN

Andria Priscilla LANGI(1), Catharina Kartika UTAMI(2), dan Victorina ARIF(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)dria.andria.andria@gmail.com; (2)utami.catharina@gmail.com; (3)vhinaarif95@gmail.com

ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui realita implementasi bangunan dengan konsep ramah lingkungan dengan mencari tahu mengenai variable-variabel yang mempengaruhi proses perancangan dan pembangunan gedung dari awal mula perancangan hingga gedung terbangun. Objek penelitian ini adalah Gedung CIBE ITB. Dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui wawancara stakeholder mengenai proyek dan penyebaran kuesioner kepada pengguna sebagai upaya mendapatkan data evaluasi pasca huni pada bangunan. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan kasus-kasus khusus dalam proses proyek serta menentukan faktor-faktor khusus yang mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan alam masa proyek berjalan. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam proyek pembangunan Gedung CIBE terjadi perubahan mendasar dalam rancangan yang menyebabkan bangunan yang terbangun saat ini tidak lagi dapat disebut sebagai bangunan dengan konsep ramah lingkungan karena kriteria-kriteria khusus yang diajukan oleh stakeholder terkait proyek ini tanpa adanya upaya integrasi dari awal proyek dimulai. Kata Kunci: kosep rancangan, ramah lingkungan, Gedung CIBE ITB, proyek

1.

PENDAHULUAN Konsep bangunan ramah lingkungan banyak diwujudkan dalam berbagai aplikasi pada

proses pra-rancangan yaitu pada rancangan konfigurasi ruang, rencana efisiensi energi, teknologi bangunan, rancangan fasad, hingga rencana pencahayaan dan penghawaan. Penerapan-penerapan konsep ini membentuk suatu gambar rancangan yang menarik, namun seringkali ditemukan bangunan-bangunan yang terbangun pada akhirnya jauh dari visi awalnya karena berbagai aspek lain yang mempengaruhi dalam proses pengembangan rancangan dan konstruksi. Hal ini menyebabkan suatu perencanaan proyek harus dibuat dengan tujuan yang jelas sedari awal untuk mengusahakan terwujudnya konsep-konsep yang dicita-citakan. Dalam proyek yang dijalankan, banyak faktor yang mempengaruhi dan faktor-faktor ini yang membentuk bangunan hingga proyek selesai dijalankan. Perlu disadari bahwa faktorfaktor ini bisa saja muncul dari berbagai elemen proyek. Pengertian yang mendalam mengenai faktor-faktor penting yang mempengaruhi inilah yang membuat proyek dapat berjalan dengan lancar hingga terbangun. Penelitian ini mencari tahu lebih dalam faktor65


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi rancangan dalam pembangunan Gedung CIBE ITB. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Organisasi Membangun Dalam menjalani sebuah proyek perlu perlu adanya manajemen proyek agar semua kegiatan yang terjadi dapat terintegrasi dengan baik. Berdasarkan buku Project Management Body of Knowledge (2000), disebutkan bahwa definisi dari manajemen proyek adalah ‘the application of knowledge, skills, tools, and thecniques to project activities to meet project requirement’. Dalam memanajemen sebuah proyek ada beberapa lingkup yang termasuk di dalamnya, yaitu: Project Integration Management, Project Scope Management, Project Time Management, Project Cost Management, Project Quality Management, Project Human Resource Management, dan Project Communications Management. Proses dari manajemen proyek dapat dibagi menjadi lima kelompok tiap prosesnya, yaitu: 1. Proses inisiasi

→ merumuskan proyek dan fase

2. Proses perencanaan

→ mendefinisikan dan menyempurnakan tujuan yang ada

juga memilih opsi-opsi yang terbaik dalam menentukan kemana proyek tersebut akan dibawa. 3. Proses Eksekusi

→ mengkoordinasi sumber daya manusia dan sumber daya

lainnya yang akana terlibat dalam rencana 4. Proses kontrol

→ memastikan bahwa tujuan dari proyek tetap terawasi dan

mengukur setiap progres secara teratur agar tindak-tindak pengkoreksian dapat tetap dilakukan jikalau perlu 5. Proses penutupan

→ menutup proyek secara final.

Gambar 1. Interaksi Antar Fase

66


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Sumber: Project Management Body of Knowledge (2000)

2.2. Green Building Green Building adalah bangunan yang sejak dimulai tahap perencanaan, pembangunan, pengoperasian hingga dalam operasional pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berpegang kepada kaidah berkelanjutan (Green Building Council Indonesia, 2010) Bangunan hijau (green building) didesain untuk mereduksi dampak lingkungan terbangun pada kesehatan manusia dan alam, melalui efisiensi dalam penggunaan energi, air dan sumber daya lain perlindungan kesehatan penghuni dan meningkatkan produktifitas pekerja mereduksi limbah / buangan padat, cair dan gas, mengurangi polusi / pencemaran padat, cair dan gas serta mereduksi kerusakan lingkungan. Berdasarkan penilaian evaluasi GBCI (Green Building Council Indonesia) tahun 2012, terdapat enam aspek yang menjadi pedoman yaitu: Tepat Guna Lahan (Approtiate Site Development / ASD) 1. Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency & Conservation / EEC) 2. Konservasi Air (Water Conservation / WAC) 3. Sumber dan Siklus Material (Material Resource and Cycle / MRC) 4. Kualitas Udara & Kenyamanan Ruang (Indoor Air Health and Comfort / IHC) 5. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and Environment Management / BEM) Penerapan dari segi desain bangunan terdiri dari: 1. Bentuk dan orientasi bangunan 2. Shading dan reflektor 3. Sistem penerangan 4. Water recycling system 3.

DESKRIPSI KASUS

Bangunan yang menjadi objek kasus dalam penelitian ini adalah Gedung CIBE ITB yang terletak di sisi barat ITB. Bangunan ini berfungsi sebagai gedung kuliah serta laboratorium bagi civitas akademika Jurusan Tenik Sipil ITB. Pengguna gedung ini adalah dosen-dosen serta mahasiswa Jurusan Teknik Sipil dari 3 angkatan. 3.1. Tinjauan Kasus Nama objek

: Gedung CIBE ITB

Alamat

: Jalan Ganesha 10, Bandung

Luas Lahan

: 2150 m2 67


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Jumlah Lantai

: 6 lantai + 2 lantai basement

Luas Bangunan Total

: 9194 m2

Building Coverage Area

: 1977 m2

Gambar 2. Kondisi Eksterior dan Interior Gedung CIBE (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1.

Gambar

Terjadi beberapa perubahan pada data gambar yang didapat. Perubahan yang paling signifikan adalah berkurangnya jumlah lantai dan hilangnya beberapa elemen unggulan konsep ramah lingkungan yang dibawa dalam sayembara.

Gambar 3. Perubahan gambar Rancangan Gedung CIBE ITB (Sumber: Dokumen PIU)

68


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.2

Wawancara

Wawancara stakeholder proyek Gedung CIBE ITB dalam penelitian ini meliputi wawancara dengan Bapak Mahfud sebagai perwakilan pihak Project Implementation Unit (PIU) ITB, Bapak Iwan Sudrajat sebagai perwakilan Komite Sayembara kompleks gedung baru ITB, dan Bapak Muhammad Abduh sebagai perwakilan Jurusan Teknik Sipil ITB.

Tabel 15. Data Hasil Wawancara Stakeholder (Sumber: Data Penulis )

3.2.2.

Kuesioner

Kuesioner terdiri dari 24 pertanyaan yang meliputi pertanyaan mengenai biodata umum, dan pertanyaan spesifik mengenai kualitas pencahayaan dan penghawaan di Gedung CIBE ITB sebagai usaha melengkapi data Post Occupancy Evaluation. Partisipan dari kuesioner ini adalah 50 mahasiswa Jurusan Teknik Sipil ITB yang saat ini masih aktif berkegiatan di gedung CIBE ITB.

69


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Kuesioner Diagram 1. Penalian Responden Terhadap Kondisi Pencahayaan Ruang di Dalam Gedung CIBE

(Sumber: Hasil Analisis Penulis 2016)

Berdasarkan hasil responden terkait pencahayaan ruang di dalam Gedung CIBE, didapati bahwa keadaan pencahayaan alami dalam gedung sudah cukup baik untuk mengakomodasi kebutuhan beraktivitas. Sedangkan, sistem pencahayaan buatan seperti lampu juga dirasakan responden sudah baik.

Diagram 2. Penialian Responden Terhadap Kondisi Pengahawaan Ruang di Dalam Gedung CIBE (Sumber: Hasil Analisis Penulis 2016)

Berdasarkan hasil responden terkait kondisi penghawaan ruang di dalam Gedung CIBE, didapati bahwa pengguna merasa kurang nyaman terhadap penghawaan alami dalam gedung. Sedangkan keadaan ventilasi dalam gedung menurut respon masih belum memadai atau belum cukup mengakomodasi kegiatan beraktivitas pengguna. 70


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.2. Interpretasi Data Berdasarkan pengumpulan data-data yang didapat, dapat disimpulkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada gedung CIBE adalah: a. Pengurangan jumlah lantai dari 11 lantai menjadi 8 lantai yang menyebabkan pemadatan program ruang b. Hilangnya atrium yang memungkinkan terjadinya cross ventilation c. Eliminasi elemen-elemen konsep ramah lingkungan berupa tabir hijau, wind turbine, dan green rooftop d. Perubahan rancangan pengolahan fasade barat-timur Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai aspek antara lain: a. Perubahan kriteria pembangunan dari pihak pemrakarsa proyek (pergantian rektor dalam keberjalanan proyek) b. Perubahan stakeholder-stakeholder yang terkait dalam keberjalanan proyek (ITBKementrian Pendidikan) c. Keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pendanaan, salah satunya disebabkan oleh peningkatan biaya struktur untuk memenuhi syarat bangunan tahan gembpa yang terbaru d. Kurangnya integrasi dalam proyek serta penyimpanan arsip secara berkelanjutan dari awal penggagasan proyek hingga bangunan selesai dikonstruksi. Perubahan-perubahan ini menyebabkan beberapa efek yang dirasakan langsung oleh pengguna gedung, antara lain: a. Kurangnya kenyamanan dalam sistem penghawaan. Berdasarkan hasil kuesioner, pengguna merasa dibutuhkan tambahan sistem penghawaan buatan karena gedung dirasa terlalu panas untuk beraktifitas. b. Kurangnya pencahayaan alami untuk beraktifitas dalam gedung sehingga menurut hasil kuesioner pengguna bergantung pada pencahayaan buatan. 5.

PENUTUP

Penelitian yang dilakukan terhadap gedung CIBE, melalui pengumpulan data gambar, wawancara, dan kuesioner evaluasi pasca huni, memberikan gambaran bagaimana suatu proyek dijalankan dan bagaimana pengaruh keberjalanan proyek terhadap kondisi bangunan pasca terbangun. Mempelajari kasus ini meningkatkan pengetahuan dan wawasan bagi arsitek dan pemrakarsa proyek untuk mempersiapkan suatu proyek secara lebih matang serta mengusahakan terjadinya suatu integrasi dalam setiap elemen proyek.

71


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

1.

DAFTAR PUSTAKA

Green Building. https://en.wikipedia.org/wiki/Green_building (Diakses 22 November 2016) Green Building Council Indonesia. Greenship Panduan Penerapan Perangkat Penilaian Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0, 2010. Jakarta: Green Building Council Indonesia Project Management Institute. Project Management Body of Knowledge, 2000. Pennsylvania: Four Campus Boulevard.

72


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

DESAIN ARSITEKTUR SEBAGAI PREDIKTOR KEBERHASILAN ART SPACE DI KOTA BANDUNG CATHRINE, I Made Benny ASMARAJAYA, dan Maria Anggitha JUSUF Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: cathrine.sastrawijaya@gmail.com; benny.asmara@yahoo.com; mariaanggitha2@gmail.com

ABSTRAK Seni merupakan hal yang seringkali diabaikan dalam kehidupan manusia modern. Salah satu langkah yang dilakukan untuk memunculkan kembali antusiasme manusia pada bidang seni adalah melalui art space. Art space berkembang sebagai bentuk kontemporer dari galeri seni yang lebih mampu menarik minat pengunjung dari berbagai kalangan. Perkembangan art space tersebar di berbagai daerah, termasuk juga di Kota Bandung. Keberhasilan sebuah art space dapat dilihat dari seberapa besar pengaruh yang diberikan terhadap masyarakat, diukur dari banyak pengunjung dan dampak yang diberikan terhadap pengunjung. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan keberhasilan sebuah art space adalah desain arsitekturnya. Desain arsitektur dalam art space dapat berperan dalam meningkatkan daya tarik art space dan sebagai wadah presentasi seni yang baik. Aspek desain yang paling mempengaruhi respon pengunjung terhadap art space adalah suasana serta pengaturan ruang dalam dan luar yang didasari oleh konsep yang kuat dan menarik Kata Kunci: neighborhood open space, quality of life, perception, low income settlement

1.

PENDAHULUAN

Gaya hidup di era modern menuntut manusia untuk fokus terhadap pekerjaan sehingga hal-hal terkait seni dan budaya seringkali ditinggalkan. Melihat hal ini, beberapa pihak mencoba untuk menciptakan hal yang dapat mengingkatkan kembali ketertarikan manusia terhadap seni dan budaya, salah satunya melalui art space. Art space berkembang di berbagai tempat di dunia termasuk juga di Kota Bandung. Art space merupakan versi kontemporer dari galeri seni dan memiliki nilai tambah baik itu dalam hal karya seni yang dipamerkan, cara menyajiannya, fungsi tambahan, hingga desain arsitektur yang menarik. Keberhasilan sebuah art space di capai saat art space dapat berperan sebagai wadah seni yang memberikan pengaruh terhadap manusia yang mengunjunginya. Dalam hal ini, arsitek berperan untuk menciptakan ruang yang mampu meningkatkan kembali antusiasme manusia dalam bidang seni dan budaya melalui sebuah art space. Permasalahan yang diangkat terkait dengan topik ini adalah jenis serta aspek desain arsitektur seperti apa yang menjadi prediktor keberhasilan art space di Kota Bandung dan bagaimana desain arsitektur mempengaruhi keberhasilan art space di Kota Bandung. Dari permasalahan tersebut, terdapat dua tujuan dari penelitian ini. Pertama, mengetahui jenis serta aspek arsitektur yang menjadi prediktor keberhasilan art space di Kota Bandung. Kedua, menyimpulkan bagaimana desain arsitektur dapat mempengaruhi keberhasian art space di Kota Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menjadi acuan desain bagi mahasiswa arsitektur dalam merancang art space di Kota Bandung. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur sebagai dasar teori, wawancara arsitek art space untuk mengetahui konsep dasar dan pola desain sebuah art space, kuesioner pengunjung untuk mengetahui respon pengunjung terhadap desain arsitektur art space dan pegaruhnya terhadap keberhasilan 73


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

art space tersebut, serta observasi langsung yang dapat memperdalam penelitian terkait aspek arsitektur yang mempengaruhi kesuksesan art space. 2.

KAJIAN TEORI

Galeri adalah sebuah selasar atau tempat, dapat pula diartikan sebagai tempat yang memamerkan karya seni tiga dimensional, karya seorang atau sekelompok seniman atau bisa juga didefinisikan sebagai ruangan atau gedung tempat untuk memamerkan benda atau karya seni (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Seni menurut Leo Tolstoy adalah ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya. (Sumarjo, 2000:62). Maka definisi dari galeri seni adalah sebuah ruang atau gedung yang mewadahi kegiatan transferisasi perasaan dari seniman kepada pengunjung melalui media yang berupa karya seni sang seniman. Art Space merupakan sebuah galeri seni kontemporer dan non-profit yang memiliki tujuan dalam memelihara dan melestarikan seni dengan fokus terutama pada seniman dan penikmat seni (Natasya). Definisi Kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini. (KBBI). Nonprofit adalah yang bukan untuk memperoleh keuntungan (KBBI) 2.1. Persyaratan Galeri Seni Berdasarkan Ernst Neufert (1999), ruang untuk memperagakan hasil karya seni, bendabenda budaya dan ilmu pengetahuan harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Benar-benar terlindung dari pengrusakan, pencurian, kebakaran, kelembaban, kekeringan, cahaya matahari langsung dan debu. 2. Setiap peragaan harus mendapat pencahayaan yang baik. 3. Biasanya ruang pamer hasil karya dibagi berdasarkan dengan koleksi yang ada. 4. Peragaan benda-benda hendaknya dapat dilihat tanpa kesulitan Sudut pandang manusia biasanya 54o atau 27o dari ketinggian mata sehingga dapat disesuaikan dengan hasil karya yang diberi cahaya pada jarak 10 meter. Menurut Bramantio Darkim (2013), beberapa pertimbangan yang menjadikan sebuah galeri seni menarik antara lain: 1. Lokasi yang mudah dicapai. 2. Tema racangan arsitektur sesuai dengan objek yang dipamerkan. 3. Kejelasan pada alur sirkulasi di dalam galeri. Sementara, untuk ruang pamer, harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Pencahayaan obyek dan ruangan yang baik. 2. Penghawaan ruangan yang baik. 3. Terlindung dari kemungkinan pengrusakan atau pencurian. Adapun galeri seni diharapkan memiliki fleksibilitas ruang, sirkulasi pengunjung dan barang yang baik, dan penataan barang yang menarik. Fasilitas yang umumnya tersedia pada galeri antara lain adalah ruang pamer, ruang penyimpanan, ruang workshop, kantor pengelola, Art Shop, serta fasilitas penunjang seperti lobby, kafetaria, perpustakaan, toilet dan tempat parkir.

74


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.2. Elemen Arsitektur Galari Seni 2.2.1.

Pencahayaan

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405 tahun 2002, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Pengaturan cahaya pada lingkungan ruang dalam bertujuan menyinari berbagai bentuk elemen-elemen yang ada di dalam ruang, sehingga ruangan menjadi teramati dan dapat dirasakan suasana visualnya. Pencahayaan pada galeri seni mempengaruhi kualitas ruang pamer dan penampilan benda seni yang dipamerkan. Untuk ruang pameran, museum dan pameran lukisan membutuhkan besar penerangan sebesar 250 lux dengan warna cahaya yang dianjurkan adalah putih netral dan putih hangat. (Neufert,1999) 2.2.2.

Tata Ruang Galeri

Tata ruang merupakan cara atau teknik mengatur ruang (ruang tidur, ruang kantor, ruang kerja, ruang resepsionis dan sebagainya). Tata ruang yang baik hanya dapat diwujudkan melalui perancangan yang baik. Keberhasilan suatu perancangan tidak hanya berarti letak ruang yang efisien, proporsi yang baik, dengan pintu dan jendela yang dibutuhkan, tetapi juga yang lebih penting adalah penempatan perabot pada tempat yang tepat. 2.2.3.

Sirkulasi

Sirkulasi adalah pengarahan dan bimbingan atau tapak yang terjadi dalam ruang, kesan langsung terhadap ruang akan dipengaruhi oleh sirkulasi-sirkulasi yang terorganisir dengan baik dan keseimbangan menjadikan lalu lintas kegiatan menjadi lancar. 2.2.4.

Lansekap

Menurut Suharto (dalam Susanti 2000) lansekap mencakup semua elemen pada wajak/karakter tapak, baik elemen alami (natural landscape), elemen buatan (artificial landscape), dan penghuni atau makhluk hidup yang ada di dalamnya (termasuk manusia). Ashihara (dalam Susanti, 2000) di dalam bukunya membagi elemen lansekap ke dalam tiga bagian : Hard Material : perkerasan, beton, jalan, paving block, gazebo, pagar, dan pergola Soft Material : tanaman dengan berbagai sifat dan karakternya Street Furniture : elemen pelengkap dalam tapak, seperti bangku taman, lampu taman, kolam, dan sebagainya 2.2.5.

Kebisingan

Menurut Leslie (1993), kebisingan adalah tiap bunyi yang tidak diinginkan oleh penerima. Sehingga tiap bunyi yang mengalihkan perhatian mengganggu, atau berbahaya bagi kesehatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau belajar) dianggap sebagai bising. Kebisingan menjadi suatu isu dalam penelitian ini karena suasana yang tenang dan jauh dari kebisingan dirasa menjadi suatu pertimbangan penting dalam merancang suatu galeri seni. Suasana yang tenang mampu membuat orang yang berada di dalamnya menjadi lebih fokus dalam menikmati isi dari hal yang di pamerkan dalam suatu galeri seni.

75


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.2.6.

Estetika

Francis D.K. Ching dalam bukunya, Arsitektur; Bentuk, Ruang, dan Tatanan menyebutkan beberapa elemen-elemen penunjang arsitektur adalah sebagai berikut: Proporsi, Skala, Kesatuan, Komposisi, Datum, Hierarki, Harmoni – kontras, Repetisi – irama, dan Aksen. 3.

DESKRIPSI KASUS

Objek penelitian merupakan tiga art space yang paling diminati pengunjung di Kota Bandung menurut InfoBDG Media Networks yaitu Selasar Sunaryo Art Space, Lawangwangi Creative Space dan Salian Art. 3.1. Tinjauan Kasus 3.1.1.

Selasar Sunaryo Art Space Selasar Sunaryo Art Space terletak di Jalan Bukit Pakar Timur No. 100, Bandung, Jawa Barat. Art space seluas 5000 m2 ini diresmikan pada tanggal 5 September 1998. Pemilik dari art space ini merupakan Bapak Sunaryo juga juga merupakan seorang seniman lukis dan patung lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Selasar Sunaryo dirancang oleh seorang arsitek bernama Baskoro Tedjo bersama dengan pemiliknya sendiri, Pak Sunaryo atau yang lebih akrab disapa Pak Naryo.

Berdasarkan InfoBDG pada bulan April 2016, angka pengunjung art space ini mencapati 30,745 orang dalam setahun. Angka ini menempatkan Selasar Sunaryo sebagai art space yang paling sering dikunjungi di Kota Bandung diikuti oleh Lawangwangi Creative Space dan juga Salian Art. Gambar 1 Selasar Sunaryo

Konten yang dipajang di galeri Selasar Sunaryo berupa Lukisan, Patung dan karya seni kontemporer lainnya. Bentuk kegiatan utama di Selasar Sunaryo pameran seni dan workshop dengan kegiatan penunjang seperti art performance dan pameran temporer. Ada fasilitas pendukung berupa pustaka selasar, kopi selasar, cinderamata selasar dan amphitheater. 3.1.2.

Lawangwangi Creative Space

Gambar 2 Lawangwangi Creative Space

Lawangwangi Creative Space terletak di Jl. Dago Giri no 99A–101, Kecamatan Mekar Wangi, Bandung. Art space ini dimiliki oleh seorang pemerhati dan pecinta karya seni bernama Andonowati. Tujuan dari Art space ini didirikan adalah untuk mewadahi para seniman untuk dapat memamerkan sekaligus menjual karya seni mereka kepada sesama seniman atau masyarakat. Art space ini dirancang oleh Baskoro Tedjo, dan diresmikan pada bulan Januari 2010.

Lawangwangi Creative Space berdiri di kawasan pinggiran Kota Bandung pada lahan seluas 6000m2 dengan luas bangunan 2000m2. Konten yang dipajang pada Art Space ini berupa Lukisan, Patung dan karya seni kontemporer lainnya 76


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Bentuk kegiatan utama pada Lawangwangi Creative Space berupa pameran seni dengan kegiatan penunjang seperti pameran temporer dan pementasan seni. Art space juga memiliki beberapa fasilitas pendukung berupa cafĂŠ dan design space. 3.1.3.

Salian Art Salian Art beralamat di Jl. Sersan Bajuri No 86 KM 3,8, Lembang, Bandung Barat. Salian Art diresmikan pada tahun 2014 dan dirancang oleh tim dari Budi Pradono Architect. Konten yang dipajang pada art space ini berupa lukisan, patung dan karya seni kontemporer lainnya. Kegiatan utama pada art space ini cukup serupa dengan dua art space sebelumnya yaitu pameran karya seni dan kegiatan penunjang seperti pameran temporer dan pementasan seni. Terdapat pula fasilitas pendukung pada art space ini berupa Coffee and Eatery.

Gambar 3 Salian Art

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1.

Wawancara

Wawancara dilakukan pada tanggal 2 November 2016. Narasumber adalah Bapak Bakoro Tedjo yang merupakan arsitek dari Selasar Sunaryo Art Space dan Lawangwangi Creative Space. Hasil dari wawancara dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut : i.

Tujuan atau goal dalam merancang harus ditetapkan diawal. Art space menurut Baskoro Tedjo merupakan suatu wadah untuk mempertemukan karya seniman dengan calon pembeli. Jadi tugas arsitek dalam merancang art space adalah menciptakan ruang-ruang pamer yang baik dan mampu mengangkat citra karya seniman yang di buat dan mampu menarik calon pembeli untuk membeli karya seni tersebut. ii. Tapak merupakan poin utama dalam merancang Selasar Sunaryo dan Lawangwangi Baskoro Tedjo berpendapat bahwa bangunan apapun yang akan dibangun, harus sesuai dengan tapak sekitarnya. Untuk Lawangwangi yang berada di daerah bukit dan memiliki pemandangan keluar yang baik, maka orientasi sdari manusia juga harus dibuat untuk dapat menikmati suasana tersebut. Sedangkan untuk Selasar Sunaryo iii. Kurator seni merupakan faktor lain kesuksesan art space.. Keberhasilan art space bukan dari arsitekturnya saja. Arsitek hanyalah meneydiakan tempat, namun ada peran dari pada kurator seni yang berfungsi untuk menghidupkan kegiatan di art space tersebut. Kurator bertugas sebagai Event Organizer yang merancang segala macam kegiatan pameran seni dalam setahun iv. Pemahaman tentang latar belakang klien harus diperhatikan dalam proses merancang ataupun dalam mengajukan gagasan-gasan desain. Latar belakang pemilik Selasar Sunarto adalah seorang seniman lukis dan patung yang memiliki sense terhadap ruang, bentuk, dan masa. Maka dari itu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bentuk dan rupa, 77


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

desain art space ini juga mengacu pada akar seni Pak Naryo, dan disempurnakan dengan detail akhir dari sang seniman. 3.2.2.

Kuesioner pengunjung

Teknik pengumpulan data sekunder yang pertama dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner. Data akhir pada penelitian ini didasarkan pada kuesioner pada tanggal 8 November hingga 15 November 2016 dengan jumlah responden sebanyak 95 orang. Berdasarkan hasil kuesioner, didapat bahwa mayoritas pengisi kuesioner berusia 15-24 tahun (92 dari 95 responden) dengan jenis pekerjaan paling banyak adalah pelajar/mahasiswa (91 dari 95 responden). Saat ditanya art space apa saja yang pernah dikunjungi selama di Bandung, Selasar Sunaryo merupakan art space yang paling banyak dikunjungi. Diikuti dengan Lawangwangi di posisi kedua dan juga Salian Art diposisi ketiga. Data tersebut dapat dilihat pada grafik

100 Selasar Sunaryo Art Space Lawang Wangi Creative Space Salian Art

68 54

19 6

Lainnya

0

dikanan. Gambar 4 Art space yang paling sering Sedangkan untuk tujuan dikunjungi mengunjungi art space-art space tersebut, terdapat beberapa alasan yang sering dipilih oleh responden, yang pertama alah untuk melihat karya seni yang dipajang (69 dari 95 responden) dan juga hanya untuk sekedar berjalan-jalan dan menikmati suasana (68 dari 95 responden). Untuk alasan lain, dapat dilihat dari grafik di bawah ini. Tabel 1 Tujuan responden mengunjungi art space 100 69

Melihat karya yang dipamerkan 68 45

42

42 2

6

Sekedar jalan-jalan dan menikmati suasana Foto-foto

0

Berdasarkan kuesioner, didapati bahwa pertimbangan sebagian besar responden dalam memilih art space adalah tempat yang tergolong bagus. Adanya acara tertentu dan juga melihat karya seni merupapakan alasan yang cukup dominan namun masih berada di bawah alasan bagusnya tempat atau art space yang dikunjungi. Pertimbangan bagus dalam point ini masih sangat subjektif berdasar penilaian responden itu sendiri. Data dari point pertanyaan ini dapat dilihat dari tabel dibawah

78


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 2 Pertimbangan responden dalam memilih art space 100

Karya seni yang ingin dilihat 72 40

47

29

27

0

Tempat art space bagus Ada acara tertentu Ada cafe/restoran/butik didalamnya Sedang hits

4

Dalam kuesioner juga ditanya penilaian responden terhadap tingkat pengaruh desai arsitektur terhadap kesuksesan dan keramaian sebuah art space. Data ini dihimpun dalam bentuk nilai dengan rentang 1 sampai dengan 5. Angka 1 mewakili penilaian tidak mempengaruhi, dan angka 5 mewakili penilaian sangat memengaruhi. Dari hasil kuesioner didapat bahwa sebagian besar responden menilai desain arsitektur sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan keramaian art space. Hal ini dapat dilihat dari grafik di kanan.

80 60

59

40 20

28 7

0

1

0

Di dalam kuesioner ini, kami 5 4 3 2 1 meminta responden untuk memberikan penilaian terhadap Gambar 5 Tingkat pengaruh desain arsitektur masing-masing art space yang terhadap kesuksesan dan keramaian dikunjungi. Penilaian yang diberikan berupa nilai dengan rentang skala 1 sampai dengan 5. Berdasarkan hasil tersebut, didapati bahwa Selasar Sunaryo mendapat nilai rata-rata tertinggi dengan nilai 3,08 dari 5, disusul oleh Lawangwangi Creative Space dengan nilai 2,73 dari 5, dan Salian Art dengan nilai 1,53 dari 5. Sedangkan untuk faktor penentu penilaian responden, didapati bahwa suasana di art space merupakan suatu hal yang paling penting bagi sebagian besar pengunjung. Pengaturan ruang dalam art space dan juga konsep art space secara keseluruhan juga merupakan faktor dominan yang di pilih oleh responden. Kesamaan akan penilaian ini nantinya yang akan dijadikan sebagai bahan analisis terkait kriteria-kriteeria terhadap faktor-faktor penentu tersebut di masing-masing art space yang dijadikan objek penelitian. Tabel 3 Faktor penentu penilaian responden terhadap art space Selasar Sunaryo Suasana Art Space (%) Pengaturan Ruang Dalam (%) Pengaturan Ruang Luar (%) Kenyamanan Terhadap Indera (%) Konsep Art Space (%) Kemudahan Sirkulasi (%) Bentuk dan Tampak Bangunan (%) Lainnya (%) Belum Pernah Menunjungi (%)

20 17 13 16 13 8 8 0 5

79

Lawang Wangi 18 13 12 12 14 6 10 0 15

Salian Art 10 5 3 4 7 1 2 0 68

total 48 35 28 32 34 15 20 0 -


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Analisis dilakukan melalui data-data yang didapat melalui wawancara langsung arsitek bersangkutan dan juga kuesioner online kepada 95 respondonen. 4.1.1.

Wawancara

Wawancara dilakukan pada tanggal 2 November 2016. Narasumber adalah Bapak Bakoro Tedjo yang merupakan arsitek dari Selasar Sunaryo Art Space dan Lawangwangi Creative Space. Hasil dari wawancara dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut : Di Indonesia, art space tidak memiliki ketentuan yang jelas, namun art space dapat didefinisikan sebagai ruang yang mempertemukan seniman dan karya seninya dengan calon pembeli. Dalam mendesain sebuah art space ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu arsitektur perlu memiliki konsep yang jelas dan menarik serta desain yang dirancang perlu merespon dan mengambil keuntungan dari tapak yang ada. Pendekatan desain yang digunakan dalam merancang art space dapat berbeda-beda tergantung pada pemilik art space. Bila pemilik adalah seorang seniman, maka desain perlu menyesuaikan dengan pendekatan seniman. Contohnya pada Selasar Sunaryo, pemiliknya adalah seorang perupa, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bentuk dan rupa melalui maket. Seniman juga dapat ikut berkolaborasi dengan arsitek sehingga desain yang dimunculkan dapat merespon karya seni yang akan dipamerkan dengan lebih baik. Namun bila pemilik adalah seorang pencinta seni yang tidak memiliki karya, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan melalui konsep fleksibilitas. Melalui pendekatan ini, arsitek dapat meyakinkan pemilik, bahwa bangunan bersifat fleksibel dan desainnya dapat beradaptasi bila di masa depan akan terjadi perubahan fungsi selain galeri seni. Dalam mengahadapi perubahan dimasa depan, ada dua hal yang perlu diperhatikan arsitek dalam merancang art space. Yang pertama adalah bentuk karya seni yang semakin tak terduga baik dari sifat, bentuk, dan besarannya, sehingga desain sebuah art space perlu dibuat sedemikian rupa agar dapat menampung berbagai jenis dan ukuran karya seni. Yang kedua, art space tidak boleh terbatas hanya sebagai sebuah bangunan, karena seni sebaiknya dibuat mendatangi masyarakat, sehingga seni dapat dinikmati oleh lebih banyak orang. Keberhasilan sebuah art space tidak hanya ditentukan oleh desain arsitektur, namun juga ditentukan oleh peran pihak-pihak lain, terutama kurator art space yang menentukan program-program yang aan diadakan di art space tersebut. Maka penting bagi arsitek untuk menyediakan wadah yang fleksibel dan dapat mendukung berbagai program dari kurator art space tersebut. 4.1.2.

Kuesioner pengunjung

Dari kuesioner yang diberikan kepada responden, dapat diinformasikan bahwa art space yang paling banyak dikunjungi oleh responden adalah Selasar Sunaryo Art Space, disusul dengan Lawang Wangi Creative Space, dan yang paling jarang dikunjungi adalah Salian Art. Tujuan utama responden mengunjungi art space adalah untuk melihat karya yang dipamerkan dan sekedar berjalan-jalan dan menikmati suasana. Selain itu para responden mengunjungi art space untuk foto-foto, mendatangi event, dan mengunjungi fungsi pendukung. Aspek utama yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih art space untuk dikunjungi adalah tempat art space yang bagus. 80


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Lebih dari 80% responden berpendapat bahwa desain arsitektur sebuah art space merupakan salah satu prediktor keberhasilan art space tersebut. Aspek-aspek arsitektur yang paling berpengaruh adalah suasana, pengaturan ruang dalam dan luar, serta konsep art space. 1. Suasana Menurut hasil pengamatan, Selasar Sunaryo Art Space memiliki suasana yang tenang, nyaman, menyenangkan, tidak terisolasi, ramah terhadap pengunjung, dan bersatu dengan alam. Lawang Wangi Creative Space memiliki suasana modern, simple, clean, tenang, menyenangkan, nyaman, ramah terhadap pengunjung. Salian Art memiliki suasana yang playful dengan permainan komposisi elemen alam, tidak terisolasi, menyenangkan, tenang, dan nyaman serta ramah terhadap pengunjung. Ketiga art space tersebut memiliki beberapa jenis suasana yang sama, yaitu suasana yang tenang, nyaman, menyenangkan, dan ramah terhadap pengunjung. Suasana yang tenang dapat ditentukan oleh faktor kebisingan dan juga minimnya elemen dekorasi dan arsitektural yang menggangu konsentrasi pengunjung. Kenyamanan dapat dipengaruhi oleh desain yang sesuai dengan iklim dan bagaimana desain dapat mengakomodasi tingkat kenyamanan yang dibutuhkan oleh masingmasing indera manusia. Suasana yang menyenangkan dapat diwujudkan dengan permainan desain yang dapat menarik perhatian dan memancing keingin tahuan pengunjung selama berada di dalam art space. Sementara itu, keramahan terhadap pengunjung dapat dicapai dengan mewujudkan entrance yang bersifat menerima dan terbuka tanpa terganggu dengan fungsi pendukung yang bersifat komerial. Keberadaan fungsi komersial sebaiknya dihindari pada bagian masuk karena dapat memunculkan keengganan bagi para pengunjung yang akan masuk. Ke empat jenis suasana tersebut dapat dijadikan acuan atau standar desain arsitektur yang berperan sebagai prediktor keberhasilan art space di Kota Bandung. Selain ke empat jenis suasana yang dimiliki ketiga art space tersebut, terdapat juga beberapa suasana yang sifatnya spesifik mengikuti konsep yang dibawa oleh masingmasing art space. 2. Pengaturan Ruang Dalam dan Ruang Luar Pengaturan ruang di dalam art space sangat mempengaruhi kualitas ruang dan kenyamanan pengunjung dalam menikmati karya seni yang dipamerkan. Berdasarkan pengamatan langsung kepada tiga objek yang diteliti, terdapat beberapa kesamaan konsep pengaturan ruang dalam ketiga art space tersebut. Ketiga objek mengatur ruang di dalam galeri dengan pusat orientasi kepada objek seni yang dipamerkan, sehingga mempengaruhi layout ruang serta penggunaan warna dan material yang digunakan di dalam ruang pamer. Peletakkan ruang pamer itu sendiri juga diatur agar menjadi pusat di dalam bangunan dengan didukung dengan adanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya seperti cafĂŠ dan art shop. Zoning atau pembagian fungsi di dalam bangunan terlihat dengan jelas sehingga tidak membuat pengunjung bingung. Pembedaan fungsi di dalam ketiga bangunan sangat terlihat namun setiap fungsi tetap terhubung satu dengan lainnya dengan desain alur sirkulasi yang baik. Peletakkan ruang di dalam ketiga bangunan memanfaatkan keberadaan ruang luar yang memiliki konteks tapak yang cukup menarik. Dalam pemanfaatan tapak dan ruang luar, terdapat perbedaan konsep dalam masing-masing bangunan. Selasar Sunaryo dibuat berfokus pada ruang pamer yang memiliki sekuens alur pengunjung yang tertata dan didesain agar pengunjung memiliki pengalaman ruang yang berbeda saat mengunjungnya. Pemanfaatan tapak lebih dimaksimalkan pada fasilitas cafĂŠ dan amphitheater yang dimiliki oleh Selasar Sunaryo. Pemanfaatan tapak pada 81


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Lawangwangi juga dimanfaatkan pada fasilitas cafĂŠ nya, bukan pada ruang pamer yang dimilikinya. Ruang pamer cenderung tertutup, namun terdapat lobby dan selasar pada bangunan yang dapat digunakan secara fleksibel sebagai ruang pamer dan lebih terbuka dan lebih berinteraksi dengan ruang luar. Sedangkan Salian Art memanfaatkan konteks tapak dan memasukkan ruang luar ke dalam ruang pamer. Terdapat sebuah taman kecil dengan elemen batu yang menonjol di dalam ruang pamer. Keberadaan ruang luar di dalam ruang pamer ini memberikan kesan yang berbeda dimana pada umumnya galeri seni cenderung tertutup dan dipisahkan dari ruang luar. Salian Art didesain dengan pengaturan ruang yang menciptakan vistavista yang menarik di dalam bangunan. 3. Konsep Konsep merupakan suatu hal yang menjadi dasar dalam melandasi setiap ekseskusi desain. Konsep-konsep arsitektur yang ada ketiga art space ini cukup beragam. Untuk Selasar Sunaryo dan Salian Art, konsep menyatu dengan alam menjadi suatu hal yang dapat terasa dari bentuk bangunan dan tapak yang ada. Namun pada selasar Sunaryo, konsep menyatu dengan alam lebih terasa melalui pengolahan tapak dan juga massa-massa bangunan. Hal ini yang membuat karakter Selasar Sunaryo menjadi sangat kuat. Sedangkan untuk Lawangwangi, konsep utama yang diinginkan adalah konsep yang modern, minimalis, clean, dengan membawa konsep kolonial era 50-an. Konsep di Lawangwangi dibuat super high flexibility untuk dapat mengakomodasi kegiatan lain yang mungkin dilakukan saat art space ini sudah tidak berfungsi sebagai suatu art space. 4.2. Interpretasi Data Berdasarkan hasil analisis data mengenai respon pengunjung terhadap desain arsitektur art space dan pengaruhnya terhadap keberhasilan art space, dapat disimpulkan tiga aspek arsitektur yang paling berperan sebagai prediktor keberhasilan art space di Kota Bandung. Ketiga aspek tersebut adalah suasana, pengaturan ruang dalam dan luar, serta konsep arsitektur. Suasana art space menentukan kenyamanan dan memberikan pengalaman yang berbeda bagi pengunjung, hal ini mempengaruhi keputusan pengunjung untuk mengunjungi art space setelah kunjungan pertamanya. Pengaturan ruang luar dan dalam art space dapat memberikan pengalaman lebih bagi pengunjung dan menyediakan opsi pemajangan karya yang beragam sehingga art space bersifat fleksibel dan tidak monoton, menyebabkan pengunjung dapat mengunjungi art space berkali-kali tanpa merasa bosan. Suasana serta pengaturan ruang dalam dan luar didasari oleh konsep arsitektur. Konsep arsitektur art space harus kuat dan menarik sehingga dapat menjadi faktor pendukung daya tarik art space bagi pengunjung. 5.

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis dari data-data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa jenis serta aspek arsitektur yang menjadi prediktor keberhasilan art space di Kota Bandung adalah suasana dan pengaturan ruang, keduanya didasari pada konsep arsitektur art space yang kuat dan menarik. Desain arsitektur dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah art space di Kota Bandung dengan menciptakan bangunan art space yang menarik pengunjung serta nyaman digunakan dengan tetap menjadi wadah yang mengutamakan karya seni yang dipamerkan.

82


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA

Ching, Francis DK. 2008. Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta: Erlangga. Darkim, Bramantio. 2013. Perancangan Galeri Seni Bilah Nusantara dengan Penerapan Arsitektur Jawa di Sleman, Yogyakarta (Jurnal). Malang: Universitas Brawijaya. Ernst, Neufert. 1999. Data Arsitek. Jakarta: Erlangga. Doelle, Leslie L. 1993. Akustik Lingkungan. Jakarta: Erlangga.Toby W. Rush. Elements and Principles of Design in Art. Natasya. Pengembangan Alur Sirkulasi, Sistem Display dan Pencahayaan pada Bandung Contemporary Art Space. Bandung: Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 Pierre von Meiss . Elements of Architecture: From Form to Place. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB

83


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

84


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

TINGKAT KEBERHASILAN KONSEP DESAIN MALL PARIS VAN JAVA DALAM MENARIK PENGUNJUNG INDA RAHMANIA(1), PELANGI HELIA PUTERI(2), DAN FERRY FERNANDO(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)indaarahmania@gmail.com; (2) pelangihelia@yahoo.com; (3)ferryff05@gmail.com

ABSTRAK Arus perkembangan kota Bandung menyebabkan adanya pergeseran jenis wisata, dari wisata heritage menjadi wisata hiburan modern seperti mall berkembang sangat pesat. Paris Van Java/ PVJ menjadi sebuah studi kasus yang sangat menarik karena ditengahtengah perkembangan desain mall yang sangat monoton, PVJ hadir dengan konsep desain yang sangat berbeda, seperti, konsep al-fresco dining ataupun konsep semi-outdoor. Fakta bahwa PVJ adalah mall yang sangat popular di kalangan warga Bandung maupun pendatang Jakarta menyebabkan sebuah dugaan bahwa konsep mall PVJ menjadi salah satu factor penentu kesuksesan mall tersebut. Studi ini membahas konsep desain PVJ yang menciptakan ruang yang disukai oleh pengunjung melalui teori environmental preference dari Kaplan. Penelitian ini menemukan bahwa konsep desain PVJ memberikan elemen kebaruan kepada pengunjung serta memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dengan mempertahankan keselarasan lingkungan.

1.

PENDAHULUAN Pada tahun 2010, Bandung adalah kota ke-3 dengan mall terbanyak di Indonesia,

dengan jumlah mall di Bandung lebih dari 37 mall. Dari sekian banyak mall yang dibangun, ada sebuah kesamaan atau kemiripan yang menyebabkan desain mall yang ada menjadi sangat membosankan. Desain mall yang tertutup rapat dengan susunan koridor yang dipenuhi oleh retail-retail yang biasa menyebabkan mall menjadi sangat monoton. Hal ini menjadi sebuah masalah karena, walaupun tetap ada kebutuhan hiburan modern, turis/pendatang dari mall tersebut membutuhkan sebuah elemen kebaruan dari mall tersebut. Desain yang membosankan membuat mall menjadi kurang stand-out / kurang memiliki tingkat komparasinya. Konsep mall PVJ yang unik dengan menawarkan suasana ruang luar bagi para pengunjungnya diduga menjadi salah satu penyebab utama mall ini banyak dikunjungi. Dengan konsep suasana luar ini, retail-retail di lokasi-lokasi strategis menjadi objek perhatian pengunjung yang signifikan. Oleh karena itu, pengolahan fasad retail yang baik tidak hanya menjadi suatu keharusan akan potensi pelayanan kepuasan pengunjung, namun juga menjadi media yang tepat bagi mall untuk menerapkan konsepnya secara jelas. Penelitian ini didasarkan pada kemapanan konsep mall PVJ terhadap kesesuaian dan pemenuhan kebutuhan para pengunjung mall. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi konsep yang ditawarkan mall PVJ dan mendapatkan pengetahuan baru akan isu kunsi kesuksesan mall PVJ. Metode penelitian yang digunakan adalah berupa penyebaran kuesioner kepada para pengunjung mall PVJ secara acak dan menganalisis fasad retail di Mall PVJ satu demi satu dengan cara sorting.

85


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2. KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Teori Preferensi Ruang Sebagai Bangunan Mall, suasana ruang/pengalaman menjadi elemen yang sangat penting. Menurut Champion, Hunt and Hunt (2010), Imej atau pencitraan mall memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi pengunjung. Hal ini akan mempengaruhi keputusan pengunjung untuk berbelanja, seperti impulse buying. Teori ini juga didukung oleh Dennis (2011). Menurut beliau, persepsi/pencitraan terhadap mall sangat berpengaruh terhadap penjualan dari mall tersebut. Oleh karena itu, wajah/citra mall menjadi sangat penting bagi pengunjung. Citra/wajah mall yang dominan biasanya adalah lingkungan atau ruang yang terbentuk. Hal ini meliputi wajah retail, plafon, dll. Desain mall yang baik adalah desain yang ruangnya menarik dan disukai pengunjung. Untuk mendapatkan kriteria desain yang disukai orang, penelitian ini menggunakan teori Model of Environmental Preferences oleh Kaplan. Menurut Kaplan, ada 4 faktor utama penentu preferensi atau minat orang, yaitu, kompleksitas (complexity), keterbacaan (legibility), keselarasan (coherence) dan ketidaktahuan (mystery). 2.2 Kriteria Mall berdasarkan buku Design Standards of Christina Mall Berdasarkan buku Design Standards of Christina Mall, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi suatu mall yang baik: a. Mall harus memiliki filosofi desain utama. Filosofi desain ini dapat diperlihatkan melalui jenis material dan faktor estetika yang diterapkan dalam perancangan Mall.

b. Hasil rancangan yang strategis untuk menyelesaikan masalah desain Mall terbesar, biasanya kendala desain secara umum yang dihadapi di Shopping Mall adalah perletakan retail atau tenan. c. Perlengkapan arsitektural yang disediakan oleh Mall untuk masing-masing retail atau tenan. Perlengkapan tersebut bisa berupa kondisi dinding pemisah, struktur atap dan langit-langit, dinding luar, dan lain-lain. d. Mall membebaskan retail atau tenan untuk merancang muka bangunan, interior toko, pilihan warna interior, dsb sesuai dengan karakter retail tersebut. Namun Mall memiliki aturan umum untuk kriteria desain muka retail atau tenan, diantaranya: ketinggian muka bangunan toko, jalan masuk retail, ketentuan lebar dan tinggi pintu, material muka bangunan (kriteria material yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan), dan lain-lain. e. Kriteria zona kontrol: lantai, langit-langit, dan pencahayaan. f. Kriteria desain interior retail: lantai, langit-lqngit, pencahayaan, dinding, dan elemen interior. g. Kriteria desain penunjuk arah muka bangunan, meliputi ketentuan penunjuk arah, jenis penunjuk arah.

86


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3. DESKRIPSI KASUS

Nama objek Lokasi Tanggal di buka Jumlah toko dan servis Total luasan retail Luaslantai Kapasitas parkir Pemilik Arsitek

: Paris Van Java Mall : Jalan Sukajadi, No. 137 – 139, Bandung, Jawa Barat : Juli 2006 : 200+ : 4,700 m2 : 4 floors : 2,000 + : Wawa Sulaeman : Wawa Sulaeman

3.1 Tinjauan Kasus Berlokasi di Jl. Sukajadi yang merupakan jalur utama kendaraan dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, Paris Van Java Mall memiliki konsep Mall Semi Open Air . Terdapat arcade retail yang diletakkan di ruang luar yang diberi kanopi untuk melindungi pengunjung dari hujan. Selain itu, Paris Van Java juga mengusung tema Al-fresco dining, dimana pengunjung dapat menikmati kuliner di ruang terbuka. Konsep desain interior Paris Van Java adalah dengan memperlakukan ruang dalam seperti jalanan bergaya kolonial. Hal ini terlihat dari furnitur-furnitur seperti lampu jalan yang ada di dalam ruangan. Muka retail diperlakukan seperti fasad bangunan dan diberi gaya fasade bangunan art-deco.. Selain itu, Paris Van Java terletak di kawasan yang cukup ramai dan padat dengan tujuan wisata maupun komersial. Bangunan Mall ini terdiri dari total enam lantai dengan konsep yang berbeda disetiap lantainya, yaitu Soho Building, P7, Sky Level, Reosrt Level, Glamour Level, dan Concourse Level.

3.2 Pengumpulan Data 3.2.1. Data Survey Lapangan Terdapat enam pembagian lantai di Paris Van Java Mall, yaitu Concourse Level, Glamour Level, Resort Level, Sky Level, P7, dan Soho Building. Dimana Concourse Level ditempati oleh beberapa tenant makanan dan juga supermarket sebagai salah satu anchor point. Glamour Level ditempati oleh beberapa tenant makanan kebutuhan sehari-hari. Resort level di dominasi oleh Food and Beverage dan juga sandang. Untuk Sky level hingga Soho Building di tempati oleh beberapa fungsi lifestyle. Yang akan disoroti untuk analisis adalah Concourse Level, Glamour Level, dan Resort Level.

87


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

a.

Concourse Level

Gambar 1,2 & 3. Denah skematik Concourse Level, Glamour Level, dan Resort Level. (Sumber : http://parisvanjava.id/ )

Concourse Level merupakan lantai terendah, yang berada di basement lantai 2. Pada lantai ini terdapat supermarket Carrefour dan juga tempat parkirnya, dan juga beberapa tenant makanan. Di lantai ini juga terdapat beberapa bench untuk duduk pada hallway. Lantai ini dapat di akses melalui lift atau eskalator sebelah selatan di Via La Rambias (di depan Sogo Department Store). Glamour level terletak di bawah Ground Level. Pada lantai ini di dominasi oleh tenant pakaian dan juga footwear. Anchor Point pada lantai ini adalah Sogo Department Store. Lantai ini dapat diakses melalui lift, escalator Via Puerta Vallarta yang berada di dekat plaza utama, dan juga melalui escalator Via La Rambias (di depan Sogo Department Store). Sedangkan Resort level merupakan lantai utama. Pada lantai ini di dominasi oleh tenant pakaian juga Food and Beverage. Selain itu terdapat Anchor Point berupa Sogo Department Store. Lantai ini memiliki beberapa akses, dianataranya melalui akses utama yang berada ditengah dan juga dua akses samping masing-masing di sayap kanan dan kiri bangunan. Pada level ini digunakan konsep open air dimana sirkulasi merupakan bagian terbuka yang hanya ditutup kanopi transparan.

88


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.2 Hasil Kuisioner Jumlah responden yang mengisi kuisioner ini berjumlah 64 responden. Responden di dominasi oleh mahasiswa dengan umur rata-rata 16-24 tahun dan lebih dari setengahnya berjenis kelamin wanita. Kuisioner ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui preferensi pengguna terhadap konsep yang ada di Paris Van Java Mall dan juga mencari masukan dan evaluasi dari kondisi objek saat ini.

Faktor - faktor yang mempengaruhi Daya Tarik Mall 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

4.39 3.53

4.53 3.93

4.18

3.85

4.02

4.19

4.42

4.13

3.85

4.23

Gambar 2. Linechart faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik mall. 4. 4.1

ANALISIS DAN INTERPRETASI Analisis Data

4.1.1. Analisis kuisioner Dari sebanyak 69 responden, sebanyak 54 atau 78% dari responden mengaku pernah mengunjungi PVJ. Walaupun alasannya cukup variatif, mayoritas datang ke PVJ bukan untuk melakukan kegiatan yang spesifik seperti belanja, melainkan untuk menikmati suasana tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa PVJ berhasil menciptakan suasana yang disukai oleh pengunjung. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa mayoritas responden mengunjungi mall 1x 1 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebaruan yang diberikan oleh mall PVJ. Data 4 dan 5 menunjukkan adanya sebuah fenomena yang menarik. Responden menunjukkan bahwa tujuan utama mereka ke mall bukan untuk wisata kuliner, namun produk terbanyak yang dibeli adalah produk makanan dan minuman. Hal ini

89


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

mengindikasikan bahwa terjadi perubahan motif saat sebelum datang dan sesudah tiba di Mall. Penelitian ini merumuskan bahwa terjadi fenomena impulse buying pada saat responden/pengunjung tiba. Hal ini terkait kepada konsep desain retail makanan yang berbentuk al-fresco dining. Retail makanan yang terletak di area outdoor dan sekitar sirkulasi memberikan stimulus dan kebaruan yang menyebabkan pengunjung menyukai lingkungan tersebut. Terlebih lagi, konsep alfresco dining masih cukup jarang ditemukan di Mall di bandung. Menurut survey, wayfinding di mall PVJ relative baik, dengan orientasi arah bukan terdapat pada anchor melainkan retail-retail yang ada. Wayfinding biasanya berkorelasi dengan elemen/komponen yang terpenting bagi pengguna. Orientasi yang berpusat pada retail-retail menunjukkan bahwa wajah retail menjadi elemen penting yang mendefinisikan ruang bagi pengguna. Selain itu, dari data yang terdapat pada diagram garis terlihat bahwa elemen terpenting yang menentukan kesuksesan PVJ adalah kriteria kenyamanan atau suasana. Hal ini terlihat dari 3 hal yang paling diminati, yakni ventilasi dan penghawaan, faktor estetika maupun suasana. 4.2.1 Analisis fasad Fasad Paris van Java Mall dapat dikategorikan kedalam beberapa kategori berbeda, sedikitnya 13 kategori yang dikelompokan berdasarkan metode pengelompokan acak (Gambar terlampir). Tipe 1

Terdapat pemisahan 2 level yang kentara. Material dinding adalah bata yang dibiarkan tanpa aci maupun cat dinging. Fasad dengan tegas menampilkan kolom bata yang cukup besar.

Tipe 2

Merupakan restoran/cafĂŠ dengan fasad sesuai dengan karakter retail masing-masing. Kursi meja pengunjung diletakkan hingga menempati area di depan retail. Tidak terdapat pintu maupun jendela.

Tipe 3

Kolom tidak menerus hingga level 2 seperti fasad retail-retail di sekelilingnya. Kolom juga tidak dibuat menonjol dari dinding luar. Terdapat balok yang dibuat kentara yang memisahkan level 1 dan 2. Dengan nama retail menempel di balok. Level 2 merupakan jendela bersegmen dan berjalusi.

Tipe 4

Retail relatif sempit memanjang. Fasad retail relatif datar. Level 1 dan 2 tidak terlihat balok pemisah yang kentara. Level 2 memiliki fasad berupa jendela persegi bersegmen. Warna fasad relatif monokrom.

Tipe 5

Retail terbuka lebar, tanpa pintu, tanpa jendela. Pengunjung langsung dapat melihat hampir keseluruhan isi retail. Bagian atas fasad terdapat nama retail, besar, dan menyala.

Tipe 6

Fasad depan dihiasi kolom-kolom yang lebar menerus hingga fasad yang seolah-olah adalah lantai 2 retail. Masing-masing kolom berkepala unik. Secara umum, kolom berukuran raksasa. Jenis fasad ini memiliki 3 klasifikasi khusus, yaitu retail dengan level kedua yang memiliki fasad berupa jendela persegi bersegmen dan berjalusi, retail dengan level kedua yang memiliki fasad berupa pagar sehingga menciptakan kesan balkon, dan retail dengan level kedua yang tidak memiliki

90


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

jendela, namun ditutupi iklan. Jenis fasad seperti ini ditemukan paling banyak di retail-retail Mall PVJ..

Tipe 7

Seolah-olah terdapat 2 level. Level kedua bergaya arsitektur kolonial dengan pemilihan warna krem/monokrom. Fasad depan relatif datar. Ada yang terbuka dan ada yang dilengkapi pintu kaca lebar yang selalu terbuka. Nama retail dipasang menyala di atas fasad masuk.

Tipe 8

Terdapat pemisahan level 1 dan 2 yang kentara. Level 1 berupa kombinasi kaca dan pintu glass yang lebar dari kolom ke kolom. Level 2 dilengkapi dengan pagar balkon memanjang.

Tipe 9

Fasad berupa kaca dan pintu glass seluas satu trafe (dari kolom ke kolom). Memiliki kanopi kecil sebagai titrisan. Fasad level 2 berupa kaca hampir setinggi pintu dengan pagar yang memberi kesan seperti retail memiliki balkon kecil di level 2. Gambar 34 & 35. Contoh Fasad Tipe 10.

Tipe 10

Fasad level 1 relatif datar. Terkesan seperti gerbang dengan pintu dan jendela kaca yang lebar. Fasad level 2 berupa jendela dengan balkon berlogokan khas masing-masing retail.

Tipe 11

Anchor. Karena tempat yang disediakan sangat luas, maka fasad depan dibuat memanjang terbuka, menyambut pengunjung dengan menampilkan langsung barang-barang yang dijual oleh retail anchor ini. Tidak ada penunjukkan karakter dari brand retail.

Tipe 12

Seolah-olah memiliki 2 level. Ada sentuhan karakter tradisional. Tidak hanya mencamtumkan nama retail namun juga logo. Desain fasad mengesankan khas arsitektur nusantara. Menggunakan jalusi.

Tipe 13

Fasad retail ini termasuk yang paling modern dan bebas dibandingkan dengan pengelompokkan jenis fasad yang lain. Tidak seperti retail-retail yang lain, retail jenis ini tidak berusaha memberi kesan memiliki 2 level. Retail ini membuka langit-langit pemisah sehingga jarak floor to ceiling retail menjadi lebih tinggi. Material fasad yang digunakan berupa kaca-kaca lebar. Warna yang dipilih untuk menghiasi fasad juga sangat mencirikan karakter brand.

91


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 5& 6. Fasad colonial Via Latino dan Fasad Modern Via Rancita. (Sumber : dokumentasi pribadi )

Dilihat dari semua tipe fasad retail di Mall PVJ, ditemukan dua tipe fasad yang paling dominan. Kedua tipe ini kebetulan berada di lantai utama Mall PVJ, yaitu level resort. Fasad dominan pertama merupakan fasad klasik kolonial yang ditemukan di kawasan Via Latino, yaitu sebelah kanan dari pintu masuk utama mall. Sedangkan fasad dominan kedua dari retail Mall PVJ merupakan fasad retail yang lebih modern, dimana retail menggunakan material kaca lebar dan transparan sebagai muka tokonya, juga retail dengan fasad modern ini sama sekali tidak menonjolkan adanya pembagian dua lantai yang kentara, sehingga memiliki ketinggian langit-langit yang berbeda dengan retail klasik kolonial secara signifikan. Kedua fasad inilah yang membentuk desain mall PVJ secara keseluruhan. Beberapa tipe lain seolah mengambil satu benang merah dari salah satu desain fasad retail ini. Fasad dari retail-retail ini memiliki karakter yang khas yang berbeda dengan fasad ataupun desain retail di mall-mall lain di kota Bandung. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penting Mall PVJ banyak digemari oleh para pengunjung.

Dari analisis hasil kuisioner dan analisis fasad, maka dapat disimpulkansebagai berikut: 1. Elemen terpenting yang menentukan kesuksesan PVJ adalah kriteria kenyamanan atau suasana. 2. Wayfinding di mall PVJ relatif baik, dengan orientasi arah bukan terdapat pada anchor melainkan retail-retail yang ada. 3. Orientasi berpusat pada retail-retail. Hal ini menunjukkan bahwa wajah retail menjadi elemen penting yang mendefinisikan ruang bagi pengguna. 4. Mall PVJ yang menawarkan konsep ruang luar memiliki 13 tipe fasad retail yang menjadi keunikan konsep desain mall secara keseluruhan. 5. Terdapat dua tipe fasad retail yang dominan ditemukan di mall PVJ, kedua tipe ini seolah menjadi acuan dalam pengembangan koridor tipe fasad lainnya.

4.2 Interpretasi Data Konsep Mall PVJ memang berbeda dengan kebanyakan Mall yang ada di Indonesia. Namun selain konsep Mall yang menawarkan suasana selayaknya pengunjung sedang berjalan-jalan di ruang terbuka dengan di kanan-kiri koridor utama pengunjung dapat mencuci mata melihat barang jualan, Mall PVJ juga menawarkan ragam desain fasad retail yang khas dan arsitektural. Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa keunikan ragam desain fasad retail ini tidak semerta-merta acak maupun seragam semua. Namun ada pola-pola yang diterapkan pada konsep keselarasan dan keberagaman muka toko. Ada pun ditemukan beberapa dari pola ini, walaupun cukup berbeda, namun memiliki benang merah desain yang cukup tegas. 92


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Ditemukan ada sebanyak 13 jenis fasad retail yang jelas terlihat di sepanjang koridor-koridor Mall PVJ. Juga diketahui bahwa pengelompokkan retail-retail ini tidak hanya ditemukan di zona atau level yang sama, namun juga di zona atau level yang lain. Beberapa retail tidak masuk ke dalam klasifikasi 13 jenis fasad ini dan tidak memiliiki kesamaan yang berarti dengan retail lain sehingga tidak dapat dijadikan jenis fasad baru. Fasad-fasad retail yang tidak terkelompokkan ini akhirnya diputuskan untuk dimasukkan ke kategori outliers, dimana fasad retail sangat mencirikan brand mereka seolah tidak terpengaruh oleh gaya desain Mall PVJ secara umum. Retail-retail outliers ini memang tidak ditemukan di zona-zona utama di level utama Mall PVJ, seperti Via Las Rambias dan Via La Ranchita di Level Resort. Retail yang tidak termasuk klasifikasi ini ditemukan di level Glamour dan level Concourse. Ke-13 jenis fasad ini, sesuai dengan hasil kuesioner dengan pertanyaan seberapa berpengaruh kah muka retail Mall PVJ mempengaruhi minat pengunjung untuk datang ke Mall PVJ, ternyata menjadi faktor yang secara signifikan menambah daya tarik Mall PVJ.

5.

PENUTUP

Dari hasil survey dan analisis yang terlah dilakukan, dapat dikatakan bahwa Paris Van Java Mall memiliki desain yang baik dan disukai oleh orang. Dimulai dari bentuk konsep baru yang masih jarang di terapkan di mall-mall di Indonesia, yaitu konsep open air. Selain itu bentuk muka bangunan yang mengusung gaya eropa yang sangat bervariasi juga memberikan kompleksitas yang tinggi tetapi masih mempertahankan koherensi dari desain tersebut.

6.

DAFTAR PUSTAKA

Abkar, Mahdieh., Kamal, Mustafa M.S., Maulan, Suhardi., Davoodi, Sayeed Rasoul., Determining the visual preference of urban landscape. Universiti Putra Malaysia. 2011. Inc, General Growth Properties. Christina Mall Design Standard. 2009. Wardhani, Apriliana Dyah. Evolusi Aktual Aktivitas Urban Tourism di Kota Bandung dan Dampaknya Terhadap Pembentukan Tempat-Tempat Rekreasi. Universitas Diponegoro. 2012. http://architecture.uonbi.ac.ke/sites/default/files/cae/builtenviron/architecture/Factors%20that%20Influen ce%20the%20Success%20of%20Shopping%20Malls%20-%20A%20Cas_0.pdf http://1000warnaindonesia.blogspot.co.id/2015/11/7-mall-dengan-konsep-eco-living-terbaik.html http://www.bandungtourism.com/files/PERDA_01-2013_RIPPDA_1.pdf http://reganforrest.com/tag/kaplan/ http://repository.maranatha.edu/10072/2/1063074_Chapter1.pdf http://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2012/10/TI2012-01-p005-008-Motivasi-Pengunjung-keShopping-Mall-pada-Studi-Kasus-Bandung-Indah-Plasa1.pdf

93


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

94




ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

PROSIDING

AR 4151 SEMINAR ARSITEKTUR

Dosen Pengampu: INDRA BUDIMAN SYAMWIL, M.Sc. Ph.D

2016-2017



Prosiding AR4151 Seminar Arsitektur ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

Editors Sri SURYANI Nissa Aulia ARDIANI

School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung

Copyright and Reprint Permission All rights reserved. This book, or parts thereof, may not be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording, or any information storage and retrival system now known or to be invented, without written permission from Architecture Seminar

All Rights Reserved. Š 2017 by School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung, INDONESIA Tel. +62-22-2504962, Fax. +62-22-2530705



DAFTAR ISI

Analisis Aspek Utama dalam Memilih Bambu sebagai Material Arsitektur ......................................................... 1 Hubungan Antara Tren Arsitektur dan Tren Produk IKEA ...................................................................................... 13 Desain & Implementasi Industrialisasi Prefabrikasi Arsitektur dalam Pengadaan Perumahan & Permukiman: Sejarah dan Warisannya Kini ................................................................................................................. 27 Pengaruh Arsitektur Modular Terhadap Sistem Pengukuran Tradisional: Studi Kasus Tatami dan Asta Kosala Kosali............................................................................................................................................................. 43 Aspek Pembangunan Berkelanjutan dalam Penggunaan Pre-fabrikasi Material Kayu pada Bangunan Bertingkat ............................................................................................................................................................... 60 Disfungsi Taman Pasupati ..................................................................................................................................................... 70 Evaluasi Desain Jalur Pejalan Kaki di Sekitar Balai Kota Bandung ....................................................................... 76 Studi Fasilitas Perpustakaan Perguruan Tinggi ............................................................................................................ 92 Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Terhadap Kebutuhan Ruang Bekerja Pelaku Industri Kreatif Digital........................................................................................................................... 100



AR 4151 –Arsitektur 2016

ANALISIS ASPEK UTAMA DALAM MEMILIH BAMBU SEBAGAI MATERIAL ARSITEKTUR Firdha RUQMANA, Ghina MARDHIYANA Z., dan Salsabila AHMADI Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: firdha.ruqmana30@students.itb.ac.id; ghnmz@students.itb.ac.id; salsabila.ahmadi@students.itb.ac.id

ABSTRACT Bamboo is an architecture material that can be used in many creative way. Many countries use bamboo as alternative sustainable material for their architecture projects. In Indonesia, bamboo is claimed as traditional architecture material. However, the use of bamboo as traditional architecture material in Indonesia is rare nowadays and the use of bamboo as modern architecture material is more or less the same. This study hopefully can help the readers is distinguishing bamboo potential as architecture material and what aspects should be use as main aspect as consideration in choosing bamboo as material for architecture projects. There are two methods that is used in this study; interview and study of literature. From these methods, we found that there are four aspects that can be used as consideration in choosing bamboo as architecture material. The first aspect is sustainability and eco-friendly, the second aspect is material strength, and the last aspect is economy. After further analysis, from these aspects, there is one main aspect that should become main consideration for using bamboo as architecture material, that is sustainability and eco-friendly. Furthermore, bamboo’s sustainability and eco-friendly features are the best amongst other materials, especially in country like Indonesia where bamboo can grow almost anywhere. Besides its sustainability and eco-friendly features, bamboo is also known as earth quake resistant material (just like woods). Because Indonesia is a country where earthquake strikes often, bamboo is actually a very advantageous material that can be developed further in architecture projects. Key words: bamboo as architecture material, aspects, sustainability and eco-friendly,

earthquake resistant material. 1.

PENDAHULUAN

Bambu merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. Bambu juga memiliki manfaat yang beraneka ragam dan hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Salah satu manfaat bambu adalah sebagai material arsitektur. Inovasi bambu sebagai material arsitektur ini sudah banyak dilakukan dan diperkenalkan khususnya di kalangan praktisi arsitektur mancanegara. Akan tetapi bambu sebagai material arsitektur masih belum banyak dimanfaatkan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini sangat disayangkan mengingat ketersediaan bambu di Indonesia yang sangat melimpah dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan. Di balik masih sedikitnya pemanfaatan bambu sebagai material arsitektur di Indonesia, beberapa hasil karya penggunaan bambu yang sudah ada dapat dijadikan sebagai panutan, seperti Green School Bali oleh arsitek John Hardy serta OBI Eco Campus karya Andry Widyowijatnoko. Selain di Indonesia, hasil karya dari luar negeri pun dapat membuktikan bahwa menjadikan bambu sebagai material arsitektur adalah pilihan yang tepat, seperti yang terdapat di negara Asia Tenggara dan negara-negara di Amerika Selatan. Berdasarkan hasil karya yang sudah ada, terdapat beberapa aspek yang menjadi pertimbangan dalam memilih bambu sebagai material arsitektur. Dan jika diteliti lebih jauh lagi, 1


AR 4151 –Arsitektur 2016

terdapat sudut pandang utama dalam pemilihan bambu sebagai material arsitektur. Melalui sudut pandang ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih mengenai bambu sebagai material arsitektur di kalangan masyarakat, sehingga dapat mengoptimalisasikan potensi yang dimiliki oleh bambu, terutama di Indonesia. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Tanaman Bambu Bambu merupakan tanaman yang tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan). Tanaman ini juga termasuk tanaman yang pertumbuhannya paling cepat karena sistem rhizome-dependen nya. Dalam sehari, bambu bisa tumbuh hingga 60 cm. Batang bambu berbentuk silindris dan memiliki buku-buku (node) seperti tebu. Jarang antar buku-buku itu membentuk ruas (internode). Bagian-bagian bambu dapat dilihat pada (Gambar 1.) Bambu dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu monopodial dan sympodial. Bambu kategori monopodial ini dapat menyebar lebih luas, jauh dari induknya, sedangkan sympodial tumbuh berdekatan dengan tanaman induknya, sehingga lebih lamban penyebarannya. (Bess, 2001).

Gambar 1. Bagian-bagian tanaman bambu (Kiri), bambu monopodial dan sympodial (Kanan) (Sumber: Bamboo in Japan, 2001 )

2.2. Jenis-jenis Bambu Terdapat 1100 jenis bambu di dunia. Terdapat bambu dalam jumlah yang banyak dan berbagai macam serta tumbuh dengan cepat di daerah tropis seperti Indonesia. Diperkirakan ada 50 jenis bambu di Indonesia dan 16 diantaranya adalah bambu endemik Indonesia. Bambubambu di daerah tropis seperti di Indonesia dapat tumbuh dan memiliki tinggi 5-20 meter. Beberapa jenis bambu dan karakteristik serta pemanfaatannya adalah sebagai berikut: ▪

Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad. var. viridis Kurz).

Bambu Apo (Gigantochloa achmadii Widjaja).

Bambu Atter (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz ex Munro).

Bambu Aya (Gigantochloa ridleyi Holttum).

Bambu Bali (Schizostachyum brachy cladum Kurz).

Bambu Belang ke (Gigantochloa pruriens Widjaja). Juga disebut bambu regen atau bambu yakyak di Sumatera Utara dan Aceh. Rebungnya yang sangat banyak berambut halus bisa digunakan sebagai sayur. Bambu ini juga bisa digunakan sebagai material bangunan, untuk membuat lemang, dan perhalaan. Memiliki selubung batang yang berambut halus. Batangnya sangat lurus dan bisa mencapai ketinggian 20 m. Oleh karena itu bambu ini sering digunakan untuk memanen kelapa sawit. 2


AR 4151 –Arsitektur 2016

Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult. F) Backer). Tumbuh berdekatan dalam satu gugusan, tingginya mencapai 20 m, berdimeter hingga 15 cm dengan ketebalan 11.5 cm. Terdapat rambut halus berwarna coklat pada bagian bawah batang. Daun telinga selubung batangnya bundar dan sedikit berambut. Spesies ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2000meter di atas permukaan laut dan menyebar luas di daerah tropis. Karena ketebalannya, bambu ini baik digunakan sebagai kolom, material bangunan, dan pembangunan jembatan. Rebungnya sangat lezat sebagai sayuran.

Bambu Batu (Schizostachyum caudatum Backer ex Hyne).

Bambu Cangkoreh (Dinochloa scandens (BI ex Nees) O. Kuntze).

Bambu Cina (Bambusa glaucescens (Willd.) Sieb. ex Munro).

Bambu Dabo (Gigantochloa apus (Schult.) Kurz).

Bambu Duri (Bambusa blumeana Bl, ex, Schult.f.). Bambu ini dapat ditemui di sepanjang aliran sungai dan sawah di Jawa. Selain itu juga dapat tumbuh dengan baik di daerah gersang seperti Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Bambu ini memiliki banyak cabang yang tumbuh secara horizontal dari bagian bawah dan berduri. Batangnya lurus dan berjumbai. Tingginya bisa mencapai 25 m dengan diameter 10 cm. Bambu Duri biasanya tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 300 m di atas permukaan laut. Bambu ini dapat dimanfaatkan untuk anyaman, material bangunan, dan kertas.

Bambu Duri-Ori (Bambusa arundinacea (Retz. Willd)). Bambu ini dikenal dengan nama “pring ori” dan memiliki batang yang lebih hitam serta berduri dari bambu lainnya. Bambu Duri-Ori berasal dari Kalimantan dan negara di Asia Tenggara. Dapat ditemukan di lahan kering dan tumbuh pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut. Bambu ini memiliki banyak manfaat seperti dapat digunakan sebagai material bangunan, kerajinan anyaman, bahkan sebagai bahan kertas. Bambu yang masih muda dapat digunakan sebagai sayuran. Bambu Duri-Ori memiliki keunikan yaitu akan mati setelah memproduksi bunga dalam jangka waktu 30 tahun.

Bambu Embong (Bambusa horsfieldii Munro).

Bambu Eul-eul (Nastus elegantissimus (Hassk.) Holtt). Bambu ini tumbuh secara liar dan hanya dapat tumbuh di daerah Pangalengan (Jawa Barat) pada ketinggian 15002000 m di atas permukaan air laut. Bambu Eul-eul memiliki karakteristik dinding batang yang tipis, rongga yang besar, jarak antar ruas sekitar 45-60 cm, jarak yang panjang. Lapisan pelepah bambu mudah gugur, dan berwarna keunguan saat berumur muda, serta bentuknya seperti pita. Bambu ini dapat tumbuh hingga 25 m, dengan diameter 3-4 cm dan selalu bersaing dengan tumbuhan lain yang tumbuh didekatnya. Bambu ini mudah patah karena dindingnya yang tipis dan tidak cocok sebagai material bangunan. Akan tetapi, bambu ini dapat membantu menahan erosi tanah pada lahan yang terjal. Beberapa dimanfaatkan sebagai tempat pengeringan tembakau dan dinding anyaman.

Bambu Gendang (Bambusa ventricosa McClure).

Bambu Gombong (Gigantochloa peudo arundinacea (Steud.) Widjaja). Bambu ini digolongkan ke dalam kluster yang mengumpul, batangnya kecil, berkelopak seperti daun telinga, batangnya berwarna hijau dengan ruas berwarna kuning. Di Indonesia, tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m di atas permukaan air laut serta akan tumbuh di lahan yang kering. Bambu ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Di desa-desa di Indonesia, biasa digunakan sebagai alat irigasi atau sebagai pipa. Selain itu dapat digunakan sebagai material bangunan, kerajinan anyaman, dan sebagainya. Penyebarannya biasa dengan stek bambu dan tidak pernah menghasilkan bibit.

Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaja). 3


AR 4151 –Arsitektur 2016

Bambu Jalur (schizostachyum longispiculatum Kutz).

Bambu Jepang (Thyrsostachys siamensis).

Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad. var. Striata Lodd. ex. Lindl).

Bambu Lengka (Gigantochloa nigrociliata (Buese) Kurz). Bambu Lengka termasuk ke dalam kluster berumbai, memiliki warna hitam kehijauan dengan tinggi mencapai 12 m dengan diameter 2-5 cm. Bambu ini ditemukan secara liar di daerah Sumatera, Bali dan Jawa. Hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m di atas permukaan air laut. Bambu ini tidak digunakan sebagai material bangunan karena memiiki daya tahan yang rendah. Biasanya digunakan sebagai material pagar, gubuk sawah, dan dinding anyaman. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas dan penyebarannya.

Bambu Lengka-tali (Gigantochloa hasskarliana (kurz) Backer ex Heyne).

Bambu Loleba (Bambusa atra Lind).

Bambu Manggong (Gigantochloa manggong Widjaja).

Bambu Mayan (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja). Bambu ini terkenal di daerah Banten sebagai bahan pangan. Karakteristik morfologinya mirip dengan Bambu Gombong, memiliki batang berwarna kuning kehijauan, dengan ruas kekuningan. Bambu ini juga digunakaan sebagai konstruksi bangunan. Dibutuhkan penelitian lebih untuk mengembangkan kemampuan bambu ini.

Bambu Perling (Schizostachyum zollingeri steud).

Bambu Pringgendani/ Bambu Cina.

Bambu Strip Putih (Bambusa glaucescens (Willd.) Sieb. ex Munro f, albovariegata (Makino) Muroi).

Bambu Swiss (Bambusa glaucescens (Willd.) Sieb ex Munro var. elegans (Kosdzumi) Muroi).

Bambu Talang (Schizoostachyum brachycladum Kurz). Bambu ini ketinggiannya bisa mencapai 15 m dengan diameter sekitar 8 cm dan warna kuning kehijauan. Batang tuanya memiliki banyak cabang dalam ukuran yang sama. Bambu ini memiliki permukaan yang tipis dan batang yang ringan, dapat disusun menjadi atap, kerajinan tangan, struktur bangunan, dan pipa air. Bambu ini biasa tumbuh pada dataran rendah hingga ketinggian 300 m diatas permukaan air laut, akan tetapi di Sulawesi dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut.

Bambu Tali (Gigantochloa apus (Schult.) Kurz). Di Jawa dan Bali bambu ini digunakan sebagai anyaman, struktur bangunan, furnitur, dan alat musik. Termasuk ke dalam kategori kluster yang mengumpul, dengan batangkunging kehijauan, ruas yang berdekatan, daun yang menguncup. Bambu ini dapat tumbuh dengan baik pada ataran rendah hingga ketinggian 1500 m di atas permukaan air laut. Tinggi batang bisa mencapai 15-20 m.

Bambu Tamiang (Schizostachyum iraten Steud).

Bambu Toi (Schizostachyum lima (Blanco) Merr).

Bambu Tutul (Bambusa vulgaris Schrad). Bambu ini memiliki batang berwarna hijau dengan tutul kecoklatan. Bambu ini sangat berguna sebagai bahan furnitur, kerajinan tangan, dinding bahkan sebagai material lantai. Morfologinya sama dengan Bambu Kuning dan Bambu Ampel. Bambu ini tersebar banyak di bagian Timur Indonesia.

Bambu Umit (Schizotachyum latifolium Gamble).

Bambu Uncue (Phyllostachys aurea A.& Ch. Riviere). 4


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.

DESKRIPSI KASUS

Dari sekian jenis bambu, terdapat beberapa jenis bambu yang dijadikan material arsitektur. Melalui wawancara dan studi literatur dari pihak yang telah menggunakan bambu sebagai material arsitektur, akan ditemukan aspek-aspek pertimbangan sehingga bambu dipilih sebagai materialnya. 3.1. Tinjauan Kasus 3.1.1.

Penggunaan Bambu sebagai Material Arsitektur

Bambu sudah banyak digunakan sebagai bahan material. Menurut Jurnal Bamboo as a Building Material (Sharma P., Dhanwantri K., Mehta S., 2014:251-253) Bambu sudah digunakan pada hampir seluruh bagian dari konstruksi rumah. Deskripsi detailnnya akan dijelaskan di bawah: â–Ş

Pondasi Pemanfaatan bambu sebagai pondasi masih sangat terbatas, karena memiliki permasalahan yang sama seperti kayu, yaitu akan memburuk jika bertemu langsung dengan tanah dan akan rusak dalam waktu singkat kecuali diawetkan terlebih dahulu dengan cara yang paling efektif. Terlepas dari hal itu, bambu lebih sering digunakan sebagai pondasi atau material pendukung pada konstruksi rumah panggung. Tipe bambu sebagai pondasi diidentifikasikan sebagai berikut:

â–Ş

a)

Bambu kontak langsung dengan tanah: Bambu diletakan di atas tanah atau dimasukkan ke dalam tanah. Untuk kekuatan dan kestabilannya, bambu dengan diameter dan dinding yang tebal dan ruas yang berdekatan lebih banyak digunakan. Apabila tidak ditemukan, dapat menyatukan bambu-bambu yang berukuran kecil kemudian diikat menjadi satu. Pondasi seperti ini dapat rusak dalam kurun waktu 6 bulan hingga 2 tahun, maka diperlukan penanganan preservatif.

b)

Bambu diletakkan di atas batu atau kaki beton: Ketika digunakan sebagai bantalan, bambu harus ditempatkan tidak langsung kontak dengan tanah pada pondasi batu atau beton. Bagian bambu yang digunakan adalah yang lebih besar dan lebih kaku.

c)

Bambu komposit/kolom beton: Tambahan beton dapat digunakan dengan menempatkan bambu pada pipa lastik yang berdiameter sama. Hasilnya adalah bambu sebagi pondasi yang tahan lama.

d)

Tiang Pancang Bambu: biasa digunakan untuk menstabilisasikan tanah yang lunak dan mengurangi pergerakan pada bangunan. Bambu yang dibelah, diisi dengan sabut kelapa lalu diikat dengan kabel baja.

Lantai Lantai kemungkinan berada pada level permukaan tanah, dan oleh karena itu hanya dibebani oleh gaya tanah, baik dengan menggunakan atau tidak menggunakan penutup alas dari bambu. Solusi yang ditawarkan yaitu dengan meninggikan lantai dasar di atas tanah dengan menjadikan konstruksi lantai panggung. Hal ini dapat meningkatkan kenyamanan dan kebersihan serta dapat menyediakan ruang tertutup di bawah lantai. Bagian permukaan lantai dapat dibuat menjadi lebih stabil dengan melapisinya menggunakan papan bambu yang terbuat dari dinding bambu yang diratakan. Beberapa tipe yang dapat digunakan antara lain:

5


AR 4151 –Arsitektur 2016

â–Ş

a)

Batang bambu kecil: Daapat langsung diikat dan diratakan secara bersama.

b)

Bambu dibelah: Bambu yang dibelah secara memanjang dengan lebar menjadi beberapa sentimeter.

c)

Bambu yang diratakan: Dibentuk dengan membelah batang bambu lalu dihilangkan bagian diafragmanya, kemudian diratakan, maka akan menghasilkan papan bambu yang dapat disatukan dengan dipaku atau diikat begitu saja. Dapat dilapisi dengan semen untuk alasan kebersihan dan kenyamanan karena sulit untuk dibersihkan.

d)

Tikar bambu: bambu dalam bentuk tipis dengan ketebalan beberapa mm. Kemudian dibentuk menjadi anyaman yang ukurannya disesuaikan dengan tuntutan pengguna. Lalu dikeringkan untuk menghilangkangkan 6-10% kadar air, setelah itu direkatkan satu sama lain meguunakan lem untuk memastikan ikatan pada bagian yang overlap. Pada konstruksi menggunakan tikar atau anyaman bambu, digunakan resin.

e)

Bambu-plastik Komposit: merupakan teknologi inovatif dimana serat bambu menjadi material baku dan digabungkan dengan plastik sebagai material inti dari perlantaian. Hal ini memiliki tingkat resistansi terhadap air yang tinggi dan dimensi kestabilan yang lebih daripada lantai biasa.

Dinding Penggunaan bambu yang paling ekstensif yaitu pada konstruksi dinding dan partisi. Elemen mayor adalah kolom dan balok, umumnya merupakan bagian atau kerangka struktural. Mereka menahan beban bangunan itu sendiri dan beban penghuni serta beban yang dipengaruhi oleh cuaca. Pengisi antara kerangka bagian dibutuhkan untuk melengkapi dinding. Tujuannya untuk melindungi dari hujan, angin dan binantang, privatisasi dan sebagai bracing untuk kestabilan secara keseluruhan struktur ketika menerima beban horizontal.

â–Ş

Atap Atap diperlukan untuk perlindungan terhadap cuaca ekstrim seperti hujan, sinar matahari dan angin, serta menyediakan tempat tinggal dan ruang yang jelas dibawah naungannya. Hal yang lebih penting adalah atap harus cukup kuat terhadap angin dan beban penutup atap. Dalam hal ini bambu merupakan material yang ideal karena kuat, tahan, dan ringan. Struktur atap bambu dapat terdiri dari gording, kasau, dan kuda-kuda.

6


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 2. Judul Gambar (Kanan) dan Judul Gambar (Kiri) (Sumber: https://www.guaduabamboo.com/. Diakses pada tanggal 23 November 2016)

3.1.2.

Bambu sebagai Bahan Bangunan di Indonesia

Berdasarkan Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI-1982) oleh Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, terdapat enam syarat bambu agar dapat menjadi material bangunan, yaitu: a) Bambu harus berumur tua, berwarna kuning jernih, hitam atau hijau tua; dalam hal terakhir berbintik putih pada pangkalnya; berserat padat dengan permukaan yang mengkilap; di tempat bukunya tidak boleh pecah. b) Pelepuh dan barang anyaman seperti bilik, gedek dan lain-lain harus terbuat dari bambu yang direndam dengan baik. Barang anyaman yang harus tahan lama harus terbuat dari bambu jenis terbaik dengan garis tengah minimum4cm dan harus terbuat dari kulit bambu. c) Bambu untuk tiang, pipa air, atap (atap bambu/genting bambu) atau cerucuk stabilisasi tanah, harus dari jenis tahan lama dengan garis tengah minimum 8 cm. d) Bambu yang telah direndam di air harus berwarna pucat (tidak kuning, hijau tua atau hitam) dan berbau asam yang khas, sedang bila dibelah dibagian dari ruas tidak boleh terdapat rambut dalam yang justru terdapat dalam bambu yang belum direndam. e) Bambu yang termasuk jenis bambu yang tahan lama: •

Jenis besar: bambu Betung dan bambu Gombong.

Jenis sedang: bambu Andong dan bambu Temen.

Jenis kecil: bambu Apus dan bambu Tali.

f) Jenis-jenis bambu tahan lama, umumnya termasuk kelas awet III, sehingga perlu diawetkan terlebih dahulu.”

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1.

Penggunaan Bambu sebagai Material Arsitektur

Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Budi Faisal praktisi arsitek dan pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dikatakan bahwa bambu merupakan material paling sustainable (berkelanjutan) karena senantiasa tumbuh di berbagai macam 7


AR 4151 –Arsitektur 2016

kondisi lahan. Dalam waktu 5 tahun saja, bambu sudah bisa ditebang dan digunakan sebagai bahan bangunan. Bambu memiliki daya tarik yang lebih kuat dibandingkan dengan baja, beton dan kayu, sedangkan untuk daya tekannya lebih kuat daripada kayu. Pada bambu terdapat vascular bundle, di mana vascular bundle tersebut apabila diukur maka akan menghasilkan daya tarik yang dua kali lebih besar daripada daya tarik yang dimiliki baja. Hampir semua bagian bambu bisa digunakan. Jika dalam skala yang lebih besar, hutan bambu lebih baik daripada hutan pinus karena dapat menahan air dan erosi. Bambu menyerap CO2 4 kali lebih baik dari pohon lain serta dapat mengeluarkan 35% oksigen lebih banyak dari tanaman lain. Di samping itu, bambu memiliki beberapa kekurangan, diantaranya bambu sangat rentan terhadap rayap dan jamur. Bambu juga tidak tahan apabila terkena cahaya matahari dan air hujan terus menerus, oleh karena itu, jika dijadikan sebagai material bangunan, bambu harus diberi atap agar terlindung dari sinar matahari dan hujan. Selain itu, bambu merupakan material yang kuat akan gempa. Bangunan yang terbuat dari corcoran batu bata atau beton, akan lebih cepat hancur dibandingkan bangunan yang terbuat dari material bambu. Bambu yang besar dan kuat yaitu bambu petung dan bambu gembong. Sedangkan untuk bambu yang dimanfaatkan karena kelenturannya yaitu bisa menggunakan bambu tali atau bambu temen. Bangunan yang menggunakan material bambu akan memakan initial cost (biaya awal) lebih murah 30% daripada menggunakan bata, akan tetapi untuk perawatannya akan lebih mahal daripada bangunan yang menggunakan bata. Bambu harus melalu fase pengawetan terlebih dahulu utnuk diguanakan sebagai material. Pengawetan dengan cara tradisional yaitu dengan merendam bambu di kolam, lumpur, sungai, atau pantai selama 4-6 bulan. Bambu yang melalui pengawetan tersebut dapat tahan sampai 75 tahun apabila tetap terlindungi dari hujan dan sinar matahari. Sementara pengawetan dengan cara modern, yaitu dengan merendamnya pada campuran 95% air dan 5% boraks atau formalin, yang akan memakan waktu pengawetan lebih singkat dibandingkan dengan cara tradisional. 3.2.2.

Comparative Analysis Of The Tensile Strength Of Bamboo And Reinforcement Steel Bars As Structural Member In Building Construction (2015)

Bambu disebut dapat menjadi material pengganti baja, dan telah melalui uji daya tarik yan hasilnya dibandingkan dengan uji daya tarik baja. Perbadingaannya dipaparkan pada tabel berikut. Tabel 1. Hasil Uji Perbandingan Daya Tarik antara Baja dan Bambu Sample Size 10mm 12mm 16mm 20mm 25mm

High Yield Steel Bar

Mild Steel Bar

Bambu

Tensile Strength (N/mm²) 457.13 689.12 711.61 713.40 792.90

Tensile Strength (N/mm²) 290.49 508.08 508.71 372.98 701.74

Tensile Strength (N/mm²) 31.55 31.07 68.82 62.66 94.60

Breaking Elongation (%) 19.25 26.10 35.27 30.72 26.11

Breaking Elongation (%) 51.61 39.57 55.53 23.68 29.65

Breaking Elongation (%) 0.00 0.00 15.07 12.10 10.91

8


AR 4151 –Arsitektur 2016 (Sumber: Comparative Analysis of The Tensile Strength Of bambu And Reinforcement Steel Bars As Structural Member In Building Construction, 2015)

Berdasarkan uji tersebut, dengan menggunakan baja dan bambu yang berdimensi kurang lebih sama, diperoleh hasil bahwa daya tarik bambu sangat lemah dari daya tarik baja dan sangat rapuh ketika dibebani. Hal ini merupakan kerugian apabila menggunakan bambu sebagai material struktural. Oleh karena itu, penelitian di atas menyimpulkan bahwa bambu tidak dapat digunakan sebagai material struktural dan tidak bisa digunakan untuk menopang beban yang berat, akan tetapi dapat digunakan sebagai tekonologi konstruksi yang ringan, seperti sebagai partisi, dinding, dan langit-langit. (Ogunbiyi, 2015:52)

3.2.3.

Bamboo (Anang Sumarna, 1987) Data yang dikutip dari literatur tersebut, diantaranya: • • • •

3.2.4.

FAO and Dinas Kehutanan melaporkan hampir 70% rumah di Indonesia menggunakan konstruksi bambu. Dan di jawa 95% (Sindoesoewarno, 1963). Penilitian di India, menggunakan bambu untuk concrete akan mengurangi biaya pembangunan rumah 33%. Pembangunan rumah menggunakan material bambu akan lebih sustainable di daerah yang sering terjadi gempa bumi. Di Indonesia bambu digunakan untuk concrete dan walls coated by cement seperti di sukabumi. Di Bali dan Toraja, digunakan sebagai atap. Dan berdasarkan native people di toraja, rumah bambunya bisa bertahan lebih dari 100 tahun.

Eco House Book (Terence Conran, 2009) Data yang dikutip dari literatur tersebut, diantaranya: • • • •

• •

3.2.5.

Bambu pertumbuhannya luar biasa cepat, dapat diperbaharui, dan tersedia dalam jumlah yang banyak. Dibutuhkan 5-6 tahun bagi bambu untuk menjadi dewasa. Dan hanya membutuhkan sedikit campur tangan manusia dalam budidayanya. Secara alami tahan lama dan tidak membutuhkan pupuk, bahkan meningkatkan kualitas tanah. Kelemahan utama secara ekologis, bambu yang banyak digunakan untuk produksi lantai, panel, dan worktops tumbuh di China dan Indonesia sehinnga terkait dengan biaya transportasi. Hal ini meningkatkan embodied energi. Selain itu, formaldehida (formalin) digunakan dalam proses laminatingnya. Sebagai pembentuk papan untuk lantai, serat bambu sangat stabil dan tahan. Bahkan lebih kuat dan tahan lama dibanding dengan serat maple ataupun oak. Linda Garland, Founder Environmental Bamboo Foundation percaya bahwa bambu mempunyai potensi besar sebagai material struktural pada konstruksi yang ramah lingkungan.

Environmental Bamboo Foundation

Pada situs http://www.bamboocentral.org/, Environmental Bamboo Foundation memberikan beberapa alasan mengapa memilih bambu. Alasan tersebut adalah:

9


AR 4151 –Arsitektur 2016

• •

• •

• •

3.2.6.

Bambu terlibat dalam peristiwa penting seperti Thomas Edison yang sukses menggunakan karbonisasi filamen bambu pada eksperimen bola lampunya. Edison juga menggunakan bambu sebagai tulangan perkuatan kolam renangnya. Dan hingga saat ini, kolam tersebut belum pernah bocor. Serta kegunaannya yang tiada tara bahkan sebagai jarum phonograph pertama Alexander Graham Bell. Bambu mampu bertahan saat bom Hiroshima berlangsung dan memberikan penghijauan pertama di sana. Daya tarik yang melebihi baja ringan (lebih dari 52000 Pounds of pressure psi) dan rasio daya tahan beban yang melebihi grafit. Bambu merupakan tamanan kayu yang terkuat dan salah satu penyebaran habitat yang terluas, lebih dari 1500 spesies berkembang di tempat yang beragam. Pertumbuhannya juga yang paling cepat, 2 inchi perjam (beberapa spesies tumbuh 1,5 meter perhari). Bambu merupakan kanopi untuk penghijauan yang pertumbuhannya tercepat. Bambu bisa menghasilkan 35% lebih banyak oksigen dibandingkan rata-rata pohon. Bahkan bambu mengambil lebih dari 12 ton CO2 di udara perhektarnya. Bambu juga dapat menurunkan intensitas cahaya dan pelindung dari sinar ultraviolet. Dapat mencegah erosi karena sistem akarnya yang menyebar. Bambu juga merupakan tanaman perintis yang bisa tumbuh di tanah yang rusak hingga menjadi tanah yang subur lagi. Bambu merupakan material bangunan terkuat. Daya tarik bambu lebih kuat dibanding baja (28.000 vs. 23.000 pounds per square inch). Di daerah tropis, bambu bisa tumbuh dengan sendirinya. Di Costa Rica, 60 ha tanaman bambu dapat membangun 1000 rumah (jika menggunakan kayu memerlukan 500 ha). Sehingga dengan menggunakan bambu, dapat menyelamatkan hutan hujan. Rumah yang terbuat dari bambu tahan gempa. Di Limon, Costa Rica, hanya bangunan bambu dari National Bamboo Project yang masih berdiri setelah gempa berlangsung pada 1992. Fleksibilitas dan keringanannya membuat struktur bangunan ini mengikuti goyangan gempa. Bambu Tunas dapat dijadikan makanan. Dan ekstrak bambu dapat dijadikan obat. Bambu dapat dimanfaatkan sebagai elemen lanskap dan sistem pengolahan limbah air yang alami.

Guadua Bamboo

Guadua Bamboo merupakan pengekspor bambu tropis di Amerika Latin. Melalui situs https://www.guaduabamboo.com/, Guadua Bamboo mengungkapkan realita membangun dengan menggunakan bambu. • •

Anggapan bahwa membangun dengan material bambu lebih murah dibanding dengan material yang lain tidaklah benar. Karena dari 1500 spesies bambu, hanya sedikit yang bisa dijadikan material bangunan. Banyak yang beranggapan bahwa bambu juga kebal terhadap hama. Faktanya bambu mengandng banyak starch atau gula yang mengundang serangga. Sehingga tanpa treatment khusus, bambu hanya bertahan kurang dari dua tahun. Bahkan beberapa spesies yang kebal dengan kondisi alami seperti Phyllostachys, masih memerlukan penanganan yang tepat untuk bisa bertahan lama. Tetap memilih bambu karena bambu merupakan material yang paling sustainable. Bangunan bambu merupakan bangunan yang tahan gempa. Maka, biaya yang murah dan konstruksi bambu tidak bisa disamakan, karena 10


AR 4151 –Arsitektur 2016

penggunaan bambu bertujuan untuk arsitektur yang berkelanjutan dan sebagai pilihan material dengan standar kualitas yang sama.

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Berdasarkan data yang didapatkan, dapat ditemukan beberapa aspek dalam pertimbangan memilih bambu sebagai material arsitektur. Aspek-aspek tersebut adalah: sustainability dan ramah lingkungan, kekuatan material, dan ekonomi. Dari ketiga aspek tersebut, aspek yang mendominasi adalah aspek berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal ini karena jika dilihat dari aspek kekuatan, masih ada material yang memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan bambu. Kekuatan bambu juga tidak dapat dipastikan dan dikontrol, karena merupakan material alam yang memiliki variasi kekuatan yang berbeda di setiap batang dan spesiesnya. Sedangkan dari segi ekonomi, walaupun sangat mudah di dapatkan di Indonesia, bambu hanya murah di biaya awalnya saja. Jika dihitung hingga perawatannya, biaya menggunakan material bambu terbilang mahal karena memerlukan perawatan yang khusus. Maka sustainability dan ramah lingkungan merupakan aspek yang paling tepat sebagai pertimbangan utama dalam memilih bambu sebagai material arsitektur. Hal ini juga merupakan keunggulan bambu yang tidak dimiliki oleh material lain. Bambu dikatakan sebagai material yang sustainable karena mampu tumbuh di berbagai kondisi lahan bahkan di lahan yang rusak. Untuk mencapai tingkatan dewasa dan dapat menjadi material, bambu hanya memerlukan waktu 5-6 tahun serta tidak memerlukan campur tangan manusia. Oleh karena itu pertumbuhan bambu sangat berlimpah dan mudah diperoleh khususnya di daerah tropis. Dengan lahan yang terbatas, penanaman bambu untuk material bangunan dapat menjadi solusi pemenuhan sumber material masa depan. Bangunan yang terbuat dari bambu juga tahan gempa. Karena memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Keunggulan bambu ini sudah terbukti di berbagai daerah yang pernah terjadi gempa bumi seperti di Costa Rica, pada 1992. Fleksibilitas dan keringan bambu menjadikan bangunan dari National Bamboo Project sebagai satu-satunya bangunan yang masih berdiri akibat gempa bumi tersebut. Bambu juga dapat dikatakan sebagai material yang ramah lingkungan karena bersumber dari tanaman yang dapat membantu meningkatkan kualitas tanah. Tanaman bambu juga mampu menahan erosi tanah. Dalam skala yang lebih besar, hutan bambu mampu menghasilkan oksigen yang lebih banyak serta dapat menyerap CO2 lebih banyak daripada tanaman lain. Maka apabila kebutuhan bambu sebagai material meningkat, hal ini akan meningkatkan budidaya bambu pula. Dengan banyaknya pertumbuhan bambu, maka kualitas lingkungan juga akan meningkat. Hal inilah yang menjadi perhatian utama penggemar bambu dan pecinta lingkungan untuk saat ini. Bambu dapat menjadi memperbaiki kondisi alam yang semakin memburuk dan tetap bisa memenuhi kebutuhan industri pembangunan. 4.2. Interpretasi Data Aspek sustainability dan ramah lingkungan menjadi aspek utama yang dapat terlihat dari bangunan-bangunan bermaterial bambu dan sudah terbangun hingga saat ini. Green School Bali, Ibuku, dan Outward Bound Indonesia Eco Campus Jatiluhur merupakan contoh bangunan yang menggunakan material bambu sebagai material utama dan mengedepankan aspek sustainable serta ramah lingkungannya. Bangunan-bangunan ini juga menjadi bukti bahwa bangunan yang menarik dapat dibuat dari material yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

11


AR 4151 –Arsitektur 2016

5.

PENUTUP

Di antara berbagai aspek dalam mempertimbangkan bambu sebagai material arsitektur, aspek yang mendominasi adalah keberlanjutan dan ramah lingkungan. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan erat satu sama lain. Untuk material bambu, hal ini memang menjadi sudut pandang yang utama, karena bambu sendiri memiliki keunggulan dan kekhasan pada aspek tersebut. Di samping itu, keberlanjutan dan ramah lingkungan memang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Hal ini lah yang membuat bambu lebih sering dilirik. Akan tetapi masih sedikit masyarakat yang mengetahui betapa besar perubahan yang akan terjadi jika berpikir dari sudut pandang keberlanjutan dan ramah lingkungannya. Jika masyarakat telah mengetahui dan menerapkannya, maka akan banyak dampak positif yang terjadi pada lingkungan, hal itu karena masyarakat adalah pihak yang berpengaruh besar pada pembangunan dan pelestarian lingkungan. 6.

DAFTAR PUSTAKA Bess, Nancy Moore (2001). Bamboo in Japan. Tokyo. Kodansha International Ltd. Conran, Terence (2009). Eco House Book. London. Conran Octopus. pp 79. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (1982). Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia. Bandung. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. Ogunblyl, Moses A., Olawale, Simon O., Tudjegbe Oke E., dan Akinola S. R.2015.Comparative Analysis of The Tensile Strength Of bambu And Reinforcement Steel Bars As Structural Member In Building Construction.International Journal of Scientific & Technology Research Volume 4, Issue 11, pp. 48-52. Sharma, P., Dhanwantri, K., dan Mehta, S.2014.Bamboo as a Building Material.International Journal of Civil Engineering Research Volume 5, Number 3, pp. 249-254. Sumarna, Anang (1987). Bamboo. Bandung. Angkasa.

PUSTAKA ONLINE Environmental Bamboo Foundation. Why Bamboo. http://www.bamboocentral.org/. Diakses pada tanggal 7 Desember 2016. SchrĂśder, StĂŠphane (2010). The Reality about Building with Bamboo. https://www.guaduabamboo.com/. Diakses pada tanggal 23 November 2016.

12


AR 4151 –Arsitektur 2016

HUBUNGAN ANTARA TREN ARSITEKTUR DAN TREN PRODUK IKEA Levina Dewi MARCELIA(1), Nurul Rahma Kurnia SARI

(2),

dan Dwi ASTUTI(3)

Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)levinadm@gmail.com; (2)nurul.rks@gmail.com; (3)dwiaastuti@gmail.com

ABSTRAK Tren merupakan kata yang tak bisa lepas dari keseharian hidup manusia. Tren berlaku pada berbagai aspek kehidupan termasuk arsitektur hingga produk furnitur. Tren arsitektur dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari kebutuhan, perubahan gaya hidup, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat, gerakan ataupun event-event tertentu seperti perang dunia. Trentren desain yang lain juga turut mempengaruhi tren arsitektur yang ada. Yang membedakan tren arsitektur dengan tren desain yang lain adalah periode perubahan tren arsitektur yang lebih lama dibandingkan tren desain lainnya. Seperti halnya tren arsitektur, tren produk furnitur pun terus berubah dan berkembang. IKEA sebagai salah satu perusahaan peritel furniture hadir dan menjadi trendsetter dalam perkembangan produk furniture. IKEA menawarkan gaya hidup dimana masyarakat menggunakan barang sesuai kebutuhannya, produk furniture yang dijual praktis dan mudah dirangkai sendiri. IKEA mampu menciptakan general taste bagi konsumennya yang berada diberbagai belahan dunia. Namun begitu dengan semboyan marketing democratic design nya seolah-olah IKEA mengeluarkan produk yang baik, yang menyesuaikan kebutuhan kita sehingga tumbuh keinginan kita untuk membeli produkproduk IKEA. Melihat fenomena industri yang ada, hubungan antara tren arsitektur dengan tren produk IKEA tidak dapat dikatakan dengan pasti mana yang mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Tren keduanya berkembang bersamaan, dan terpengaruh oleh banyak faktor. Untuk saat ini IKEA lebih mampu mengambil peluang dan memimpin pasar furnitur global. Kata Kunci: IKEA, arsitektur, tren, trendsetter, industri

1. 1.1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tren arsitektur dari tahun ke tahun mengalami perkembangan serta perubahan yang cukup signifikan. Pada periode klasik tren arsitektur bangunan mengarah kepada gaya bangunan Yunani kuno, sedang pada periode romantik tren arsitektur bangunan banyak yang memiliki ornamen-ornamen yang cukup mendetail. Tren ini terus berkembang seiring perubahan zaman hingga pada periode neo-klasik terjadi kejenuhan akan rumitnya ornamen dari periode romantik dan tren pada zaman itu kembali merujuk kepada ketenangan dan kesederhanaan. Selanjutnya pada tahun 1910 dimulailah era arsitektur modern yang mengutamakan fungsionalisme dan purisme. Pada era arsitektur modern tren bangunan hingga produk interior yang menjadi elemen pelengkap bangunan berkembang begitu dinamis. Perkembangan ini dipengaruhi oleh banyak aspek mulai dari gaya hidup yang serba compact hingga kesadaran akan konsep bangunan yang sustainable. Demi menunjang kebutuhan akan produk furniture yang terus berkembang mengikuti tren, IKEA, salah satu perusahaan peritel untuk rumah tangga dari Swedia hadir untuk memenuhi kebutuhan pengguna.

13


AR 4151 –Arsitektur 2016

IKEA merupakan peritel untuk rumah tangga dari Swedia yang didirikan pada tahun 1943 oleh Ingvar F. Kamprad. IKEA berkantor pusat di Delft, Belanda. Katalog IKEA yang berisi info produk IKEA diperkirakan adalah buku yang pendistribusiannya kedua terluas setelah Alkitab dan biasanya diperbaharui pada Bulan Agustus. Pada tanggal 15 Oktober 2014, Hero Supermarket, pemegang lisensi IKEA di Indonesia telah membuka gerai pertama IKEA di Alam Sutera, Tanggerang, Banten, Indonesia. IKEA Alam Sutera merupakan toko ke-364 dan yang paling baru dari 46 negara di dunia. IKEA juga sudah menjalin kerja sama dengan industri lokal di Solo, Jawa Tengah dengan mengambil bahan baku dan pengrajin dari daerah Solo dan Jogja. Produk-produk lokal tersebut akan dipasarkan IKEA ke pasar internasional. Produk-produk yang dijual IKEA mengutamakan kepada produk furnitur kreatif yang memiliki harga terjangkau. Dalam perkembangannya produk furnitur IKEA juga terus mengalami perubahan tren. Pada awal kemunculannya, di tahun 50-an tren retro menjadi konsep utama dari produk-produk IKEA. Memasuki era 60-an dan 70-an desain dengan warnawarna netral seperti abu-abu dan cokelat banyak digunakan. Pada tahun 80-an dan 90-an desain furnitur lebih ekspresif dengan warna-warna berani yang muncul sebagai aksen ditengah warna-warna netral. Konsep desain furnitur ini masih bertahan hingga saat ini namun dengan penambahan produk-produk berteknologi terbarukan. Tren yang dibawa oleh IKEA dari masa ke masa terus berkembang, begitu pula perkembangan tren arsitektur. Oleh karena itu, pada laporan seminar ini penulis melakukan penelitian mengenai hubungan antara perkembangan tren arsitektur dengan perkembangan produk-produk furnitur dari IKEA. 1.2

Rumusan Masalah Hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya : 1. Apa hubungan antara perkembangan tren arsitektur dengan tren produk IKEA? 2. Bagaimana cara IKEA mampu mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan tren arsitektur?

1.3

Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui hubungan antara perkembangan tren arsitektur dengan tren produk IKEA. 2. Mengetahui cara IKEA mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan tren arsitektur.

2.

KAJIAN TEORI

Aspek tren semakin menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Tren semakin tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat karena tren tidak hanya berkaitan dengan sandang melainkan juga papan bahkan pangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : “trend atau mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam cara atau bentuk terbaru pada suatu waktu tertentu (tata pakaian, potongan rambut, corak hiasan, dan sebagainya).� Trend atau mode atau fesyen (inggris: fashion) adalah gaya berpakaian yang populer dalam suatu budaya. Secara umum, fesyen termasuk masakan, bahasa, seni, dan arsitektur. Tren pada tiap lapisan masyarakat berbeda-beda jika dilihat dari segi usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, selera, serta letak geografis. Perkembangan tren sangat dipengaruhi oleh kemampuan produsen dalam menguasai pangsa pasar. Tren yang berkembang di masyarakat bisa jadi merupakan tren pasar. Tren pasar ini diciptakan oleh para produsen yang memiliki andil atau pengaruh besar pada perkembangan pasar.

14


AR 4151 –Arsitektur 2016

2.1

Analisis Tren Berdasarkan Teori Dow

Awalnya, prinsip-prinsip dari Teori Dow digunakan hanya untuk indeks saham di Amerika. Teori Dow diciptakan oleh Charles Dow. Menurut Charles Dow faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran akan tercermin dalam indeks harga pasar. Faktorfaktor ini tidak dapat diramalkan, namun demikian faktor tersebut telah diperhitungkan oleh pasar dan tercerminkan dalam perilaku indeks harga pasar tersebut. Dow mengklasifikasikan tren pasar sebagai berikut: 1. Major Trend : merupakan trend jangka panjang dari pergerakan market, biasanya ditentukan dalam kurun waktu minimal 1 tahun. 2. Medium Trend : merupakan kecenderungan pergerakan harga untuk kerangka waktu jangka menengah biasanya antara 2 minggu sampai 3 bulan dan merupakan gerak koreksi dari major trend. 3. Minor Trend : pergerakan harga dalam kurun waktu pendek, biasanya dalam kurun harian dan sebagai gerak koreksi dari medium trend. 3.

DESKRIPSI KASUS

Perkembangan tren banyak terjadi pada berbagai aspek kehidupan. Tren juga berkembang pada lingkung arsitektur. Tren yang berkembang dalam arsitektur tidak hanya serta merta berpengaruh pada model desain yang dibuat oleh sang arsitek, tren ini juga mempengaruhi hingga ke elemen yang lebih lanjut seperti desain interior dan bahkan furnitur. Dalam penulisan makalah ini, penulis membahas tren yang berfokus pada arsitektur dan furnitur khususnya furnitur yang dikeluarkan oleh perusahaan peritel kenamaan IKEA. 3.1. Tinjauan Kasus Berikut merupakan pembahasan mengenai perkembangan tren arsitektur ketika IKEA mulai dibangun yaitu pada tahun 1943 dan perkembangan tren pada produk-produk IKEA dari masa ke masa. 3.1.1.

TREN ARSITEKTUR

Di dalam dunia arsitektur terdapat tren-tren desain yang terus berubah dan berkembang setiap waktunya. Yang membedakan tren di arsitektur dengan tren desain yang lain adalah tren desain secara umum biasanya hanyalah bersifat sementara dan sesaat, namun tren dalam arsitektur akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Adanya tren di dalam arsitektur sebenarnya memudahkan arsitek serta klien dalam menyamakan persepsi selera. Karena setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda namun dengan mengikuti tren maka akan lebih mudah untuk menemukan titik terang melalui tren yang sedang pupuler dimasanya. Tren arsitektur terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Tren-tren ini banyak dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di dunia. Tren arsitektur pada abad 21 dimulai dengan gerakan modernisme tahun 1920 yang menolak hiasan-hiasan ataupun elemen dekoratif. Arsitek-arsitek seperti Louis Sullivan, Frank Lloyd Wright, and Irving Gill yang memiliki gaya modernis mulai mendominasi dan menjadi ikon arsitek dunia. Pada masa ini bangunan bercirikan kejujuran struktur, anti-ornamen, bentuk geometri yang simple dengan material yang didominasi baja serta kaca. Tren ini kemudian disebut sebagai International Style.

15


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 1. Tren arsitektur international style (kiri) Villa Savoye karya Le Corbusier, (kanan) Bauhaus, Dessau, Walter Gropius.

Pada tahun 1939 sampai 1945 terjadi perang dunia kedua, akibat perang banyak Negara-negara yang bangkrut sehingga kehidupan masyarakat khususnya di Eropa mengalami perubahan yang drastis, fokus dari tren desain berpindah membidik pasar masyarakat menengah bahkan menengah ke bawah, banyak material yang sebelumnya digunakan sebagai senjata perang dimanfaatkan menjadi material furnitur serta bangunan. Pasca perang dunia kedua, gaya hidup masyarakat hidup lebih sederhana dan praktis. Desain yang kompak dan modular pun mulai muncul pada era ini. Karena itu permintaan akan hunian prefabrikasi meingkat secara global, hunian semacam ini menyediakan denah yang terbuka sehingga orang memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri ruang-ruang didalamnya. Untuk memisahkan antar ruang yang ada digunakan furnitur, partisi non-permanen, beda ketinggian, dll. Tren desain pada masa ini sangat terpengaruh oleh fungsionalisme, prinsip dimana semua objek didesain berdasarkan fungsi yang akan diakomodasi.

Gambar 2. Hunian Prefabrikasi Habitat 67, Montreal, Canada karya Moshe Safdi

Dengan berakhirnya perang dunia kedua, saat kondisi sosial ekonomi global sudah mulai membaik sehingga standar kehidupan pun meningkat lagi. Kombinasi ini mengantarkan pada budaya konsumtif masyarakat dan terus bertahan sampai dekade selanjutnya. Gaya baru yang muncul ini disebut Tren Kontemporer. Tren ini mencoba memunculkan ide-ide baru yang segar, pendekatan modernis mulai digunakan lagi. Simetri serta geometri bukan lagi menjadi patokan bagi bangunan. Cahaya matahari menjadi aspek penting yang diperhatikan, batas antara alam dengan ruang dalam pun semakin blur. Pada tren kontemporer, arsitek menjadi lebih bebas dan ekspresif dalam menggunakan warna, material, konstruksi, serta tekstur. Tokoh arsitek dengan teori kontemporernya diantaranya Peter Eisenman, Bernard Tschumi, Gilles Deleuze. Teori Arsitektur Kontemporer berfokus kepada posisi arsitektur di dalam kebudayaan secara umum, dan pemikiran khusus dan filosofis yang berkaitan dengan arsitektur yang humanis. 16


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 3. Contemporary Arsitektur (kiri) Guggenheim Museum karya Frank Gehry dan (kanan) VitraHaaus karya Herzog de Meuren

Semenjak tahun 2000 tren arsitektur dipengaruhi oleh urbanisme dan globalisasi. Dengan pemahaman yang baru mengenai tata kota, banyak teori bermunculan mengenai kondisi urban di bumi ini (E.G. Rem Koolhaas's Bigness). Mengikuti isu urban yang ada tren minimalis pun muncul untuk menjawab dengan desain-desainnya yang kompak dan praktis. Kemudian isu pemanasan global yang masih hangat memunculkan tren green building, bangunan yang ramah lingkungan yang tidak merusak bumi.

3.1.2.

TREN PRODUK IKEA

Produk-produk IKEA di update setiap tahunnya. Perkembangan desain IKEA dari tahun ke tahun ini dapat dilihat di Museum IKEA yang berada di Almhult. IKEA yang didirikan pada tahun 1943 diawali dengan desain retro dengan warna yang cerah, kursi bersudut tumpul, serta lampu-lampu berbentuk bulat.

Gambar 4. Produk IKEA dengan latar bertema retro pada tahun 1940an.

Selanjutnya pada era 60an dan 70an, warna netral seperti cokelat dan abu-abu mulai mendominasi. Produk IKEA yang baru dikeluarkan dan ditampilkan dengan setting ruang yang sesuai sehingga menarik konsumen.

17


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 5. Produk IKEA dengan warna netral ditambah aksen warna berani pada tahun 80 dan 90an.

Pada tahun 80-an serta 90-an, desain furnitur menjadi lebih ekspresif lagi. Muncul warna-warna berani seperti merah dan kuning yang menjadi aksen ditengah tengah warna yang natural. Bentuk yang ditawarkan menjadi lebih simple namun ditambah dengan permainan detail. Perpaduan material pun muncul seperti kayu dengan metal atau dengan plastik.

Gambar 6. Produk IKEA dengan warna netral pada tahun 60 dan 70an.

Meskipun mengalami perubahan desain tampilan produknya, namun secara garis besar IKEA tetap mempertahankan desainnya yang compact, praktis, serta mudah dirangkai. 3.2.

Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pembagian kuesioner dan wawancara beberapa narasumber ahli di bidang arsitektur dan desain produk. 3.2.1. Kuesioner Kuesioner yang dibagikan bertujuan untuk memahami hubungan antara daya beli produk IKEA dan kebutuhan konsumen, kualitas produk, harga produk, serta tren desain. Kuesioner ditujukan bagi responden yang merupakan konsumen IKEA. Dari 87 responden, berikut merupakan data yang diperoleh :

Grafik 1. Usia dan Jenis Kelamin Responden

GRAFIK 2. PRODUK IKEA YANG DIMINATI Lemari atau rak Pernak-pernik interior Lampu Peralatan dapur Sofa atau kursi Meja Buku dan alat tulis Tempat tidur Boneka dan mainan Lain-lain

18


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.2.2. Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber yang merupakan ahli di bidang arsitektur, desain interior, dan desain produk. Dari wawancara yang telah dilakukan telah didapat data seperti berikut: 19


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.2.2.1. Ir. Indra Budiman Syamwil, M.Sc., Ph.D. (arsitek dan konsumen IKEA) Pada tahun 1985 IKEA di Inggris memiliki kesan produk yang berbasis lifestyle dan memiliki warna yang agak monokromatik. Produk IKEA memiliki skala yang tidak besar sehingga cocok bagi orang yang menyukai arsitektur hunian berukuran kecil gaya Jepang. Produk IKEA selalu mempertahankan desainnya yang simple, fleksibel, adjustable, bermodul, dan tidak berlebihan. Contoh lain di Jepang adalah MUJI yang mempertahan desainnya yang monokrom. Selain desain yang simple, budaya do-ityourself juga cukup menarik di beberapa negara dikarenakan harga tukang yang cukup mahal. Produk IKEA dinilai mudah untuk dipasang sehingga konsumen bisa mengandalkan petunjuk yang ada di produk itu sendiri. Untuk negara yang bersifat highdensity, produk-produk simple yang dihasilkan beberapa industri bukan menjadi sekedar produk namun juga menjadi kultur dan gaya hidup masyarakat. Kita dapat mempelajari budaya Jepang yang memiliki kultur bahwa barangbarang yang ada di tempat tinggal masyarakatnya adalah barang yang memang dibutuhkan pada saat itu. Setelah digunakan untuk beberapa lama, barang yang dinilai tidak diperlukan akan dibuang. Hal tersebut menimbulkan banyaknya ‘sampah’ yang masih layak pakai. Oleh karena itu, ‘sampah’ tersebut bisa digunakan kembali oleh pihak yang membutuhkan atau jika sudah rusak dapat didaur ulang. Siklus penggunaan barang ini merupakan siklus yang diprediksi dalam sisi sosial oleh industri-industri furnitur. Menurut Pak Indra, budaya tersebut baik untuk diterapkan di negara dengan kepadatan tinggi. Siklus tersebut juga dapat diterapkan pada furnitur seperti furnitur IKEA. Produk IKEA seperti menawarkan gaya hidup dimana masyarakat menggunakan barang yang sesuai dengan kebutuhannya. Pada dasarnya, dewasa ini masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa rumah menunjukkan kelas sosial, sehingga orang berlomba-lomba membuat rumah seluas dan sebesar mungkin. Pendapat tersebut tidak cocok untuk disesuaikan dengan negara dengan kepadatan tinggi. Oleh karena itu, IKEA seperti menawarkan gaya hidup yang sesuai dengan kebutuhan namun dengan gaya yang trendy dan berkualitas. IKEA sendiri cocok untuk berada di negara dengan mid-income dimana Indonesia adalah salah satunya. Produk IKEA dirancang untuk memahami life-cycle masyarakat, sehingga produk tersebut dapat bertahan lama yang berguna bagi banyak pihak sebelum didaur ulang. Untuk masyarakat dengan mid-income, produk IKEA dirasa dapat memenuhi kebutuhan namun memiliki kualitas yang bagus dan mengikuti tren. Setelah masa midincome, produk IKEA dinilai tidak akan cocok lagi bagi masyarakatnya. Masyarakat dengan high-income akan mulai memiliki selera yang tinggi dan tentunya unik dimana mereka dapat memiliki barang yang bersifat limited. Hal tersebut berlawanan dengan produk IKEA yang diproduksi massal. Produk IKEA sangat cocok di tempat yang berkembang dalam skala kecil. Di Indonesia sendiri, kelompok terkecil yang dapat ditemukan adalah Rukun Tetangga (RT) dan setiap kelompok tersebut memiliki kesempatan untuk berkembang sehingga kelak mempengaruhi kelompok dengan skala yang lebih besar seperti Rukun Warga (RW). Sifat-sifat seperti itu yang dinilai cocok bagi produk sejenis IKEA. IKEA sendiri memiliki prinsip democratic design. Menurut Pak Indra, democratic design pada produk IKEA berarti mencari tahu desain yang tepat yang bisa bersifat universal. Konsumen akan dibuat merasa bahwa kebutuhannya terpenuhi. Hal tersebut juga sebenarnya disebabkan oleh branding dari industri IKEA sendiri. Namun diluar itu, konsumen juga memiliki hak untuk memberi saran bagi perancang produk IKEA. Oleh karena itu, selagi memproduksi barang sesuai kebutuhan secara massal, produk IKEA akan terus dikembangkan lagi dari waktu ke waktu. 3.2.2.2. Indah Widiastuti, S.T., M.T., Ph.D. (dosen teori arsitektur ITB) Tren produk IKEA sebenarnya merupakan fenomena ‘industri’. Segala sesuatu dibuat lebih mudah untuk dibeli, terlebih lagi dewasa ini konsumen memiliki kelas sosial ekonomi yang lebih blur, masyarakat kelas menengah pun dapat membeli produkproduk “mewah” karena seringkali terdapat penawaran seperti diskon, cicilan, ataupun varian produk dengan harga terjangkau untuk dapat dibeli oleh semua golongan 20


AR 4151 –Arsitektur 2016

masyarakat. IKEA mampu menjadi industri yang bukan saja memproduksi barang fungsional dan cantik, tapi bisa juga mereproduksi selera. Hal tersebut memberi efek bagi konsumen ingin membeli benda yang baru lagi, dan seterusnya, sehingga IKEA pun tidak pernah kehilangan pasar. Hal yang lebih ekstrem adalah IKEA mampu menciptakan lifestyle, sehingga konsumen tidak dapat membeli perabot lain selain IKEA. Sebagai contoh konsumen yang awalnya membeli cangkir IKEA menjadi tertarik untuk membeli meja makan IKEA. Banyak konsumen berbelanja ke IKEA setiap bulan padahal itu bukanlah suatu kebutuhan namun hanya ingin mengikuti tren yang ada. Tren produk IKEA yang minimalis mungkin berhubungan dengan arsitektur minimalis, karena tren sesuatu pastilah berhubungan satu sama lain. Saat kita merancang suatu bangunan, furnitur yang kita desain akan menyesuaikan dengan gaya arsitektur bangunannya. Namun ada juga beberapa orang yang mendesain rumahnya dibuat cocok dengan produk IKEA yang sudah ada karena mereka menyukai produkproduk IKEA. Selain itu, IKEA juga hadir dari tradisi yang cukup lama, sehingga cukup familiar bagi semua orang. Sebenarnya yang dilakukan oleh IKEA sama dengan apa yang dilakukan Bauhaus yaitu IKEA tidak menghadirkan hal baru, namun yang terjadi memang industri berperan penuh untuk mengendalikan orang. Dewasa ini, permasalahan yang ada adalah bagaimana arsitek harus bersikap. Antara arsitektur dan IKEA sebenarnya sama-sama hasil dari kerja desain, namun IKEA mampu menjadi industri yang besar. Di IKEA sendiri, selalu terjadi rolling designer dan di setiap produknya selalu dicantumkan nama perancangnya sehingga designer merasa sangat dihargai. Dewasa ini industri desain produk dapat masuk ke arsitektur seperti contohnya adalah house fashion dari Jepang. Suatu saat nanti, mungkin saja komponenkomponen arsitektur dijual di toko-toko seperti IKEA, dan jika itu terjadi maka arsitek akan kehilangan pekerjaannya. Hal yang ditekankan pada kasus ini adalah kekuatan industri di mana kriya yang merupakan hasil karya seni dapat menjadi hasil karya industri. Dalam arsitektur, industri yang merambah ke lifestyle seperti IKEA di antaranya LABO dan URBANE, namun skalanya masih sangat jauh jika dibandingkan dengan IKEA yang berskala internasional. Jika berbicara masalah tren, zaman dahulu sesuatu yang benar ada pusatnya, namun di zaman sekarang tren apapun bisa muncul, dan tren-tren yang ada harus didukung oleh industri. Tren-tren di dunia terutama tren desain mempengaruhi satu sama lain. Tren berbagai bidang sebenarnya selaras antara satu sama lain, namun siapa yang bisa menguasai industri itulah yang akan menjadi trendsetter. Karena itu sebenarnya bukan desain IKEA yang dibuat menyesuaikan masyarakat, namun sebenarnya kita dibuat seolah-olah IKEA mengeluarkan produk yang baik, yang menyesuaikan kebutuhan kita sehingga tumbuh keinginan kita untuk membeli produkproduk IKEA. Hal tersebut dikarenakan kuatnya pengaruh industri IKEA. 3.2.2.3. Yuki Agriardi, S.Sn., M.A. (dosen desain interior ITB) Periodisasi tidak hanya ada di arsitektur. Periodisasi juga ada di interior. Jika dilihat dari design timeline apa yang terjadi di arsitektur juga terjadi di interior. Misal kalau dilihat dari masa revolusi industri maka perubahan itu sangat nyata, tidak hanya pada layout desain interior tetapi juga pada produk-produknya terutama furnitur yang digunakan. Kalau dipertanyakan ada atau tidaknya pengaruh dari gaya arsitektur kepada produk interior pasti ada. Sebagai contoh di arsitektur tren sekarang makin ringan, makin hemat kolom agar space yg bisa digunakan makin luas jadi yaa pasti itu mempengaruhi produk (furnitur) interior. Perkembangan tren yang mana lebih mempengaruhi antara trend arsitektur dengan tren produk furnitur itu tergantung dilihat dari perspektif yang mana dulu. Ada yang memang desain bangunan sudah ditetapkan dari awal sedemikian rupa sehingga pemilihan produk interiornya menyesuaikan bangunan yang telah ada, ada juga yang karena seseorang sangat menyukai furnitur tertentu maka ia ingin desain 21


AR 4151 –Arsitektur 2016

rumahnya/bangunannya yang memungkinkan untuk bisa diisi oleh perabot furnitur dengan merk tersebut, tetapi ada pula zaman dimana arsitek tidak hanya merancang bangunannya tetapi juga sudah memikirkan desain interiornya hingga kepada membuat furnitur sendiri jadi prosesnya bersamaan. Inilah mengapa, bahwa mana yang lebih mempengaruhi itu tergantung dari kondisi dan perspektif mana kita melihat. Jika dipertanyakan tren itu siapa yang menciptakan, dilihat sampai ke pangkalnya itu ada semacam "trend forecasters" yang berkumpul bersama-sama merumuskan tren pada tahun-tahun tertentu. Namun mana yang keluar sebagai tren utama/trendsetter itu bergantung kepada siapa yang mampu menguasai pasar. Maka jika dilihat lebih jauh lagi sebenarnya ada panduan trend untuk seluruh desain sehingga telpon seluler sekalipun bisa serasi bahkan dengan mobil. Kesimpulannya siapa yang mampu menguasai media, yang mampu menguasai pasar maka dialah yang mampu menjadi trendsetter. Jadi bukan kita yang menciptakan tren tetapi media yang mengatur tren untuk kita. 3.2.2.4. Andar Bagus Sriwarno, M.Sn., Ph.D. (dosen desain produk ITB) IKEA dibuat untuk menjembatani persoalan lingkungan. IKEA berusaha menjawab persoalan yang mulai muncul pada tahun 1930-an yaitu adanya teknologi dan kebutuhan produksi masal akan suatu barang dengan teknologi yang tersedia. Merujuk kepada revolusi industri dimana dibutuhkannya recovery pada masa setelah perang maka daerah Skandinavia yang tak terkena dampak perang terlalu parah melihat kesempatan tersebut yaitu dengan konsep yang disebut knock down. Knock down adalah kondisi desain flat dimana desain bisa dibuat di daerah-daerah terpisah kemudian baru digabungkan disuatu tempat dan dengan desain sederhana yang tak memerlukan banyak sumberdaya. Inilah cikal bakal IKEA. IKEA mendesain berdasarkan global market dimana desain yang dijual di Negara Indonesia harus bisa juga dijual di Malaysia, Jepang dan lain sebagainya. IKEA men-general taste-kan si pengguna, mempengaruhi bahwa pengguna diseluruh dunia akan menyukai desain tersebut jika tidak suka maka pengguna termasuk ketinggalan jaman. Inilah yang disebut desain dengan selera global. Desain ini terus berkembang. Gaya hidup semakin dipengaruhi oleh pendapatan, semakin tinggi pendapatan maka semakin eksklusif gaya hidup. Hal ini berpengaruh pula pada desain yang terus berkembang, bahkan tren desain furnitur dapat berubah dalam hitungan bulan, berbeda dengan tren arsitektur yang cukup lama biasanya dalam periode tertentu dan pada periode tersebut gaya atau tren tersebut terus dikembangkan sehingga gaya/tren pada arsitektur cenderung bertahan lebih lama. Mengenai democratic design ini dipengaruhi oleh marketingnya yang sangat baik. Hal ini berkaitan dengan hierarki yang disebut dengan general maslow. General maslow ini berbicara mengenai kebutuhan manusia yang pasti sama pada dasarnya. Semakin pesat pertumbuhan penduduk maka kebutuhan ruang semakin besar padahal ruang yang tersedia tak berkembang sehingga ide furnitur compact pasti terjual. Orientasi IKEA itu lebih kepada market bukan eksklusif desain, sehingga yang bisa diterapkan dari sini adalah adaptasi. Artinya adaptasi disini adalah pemangku kepentingan dalam desain bisa mengurangi ego sehingga ditemukan jalan tengah atau adaptasi dan pada hasil akhir desainnya dapat diterima oleh khalayak umum 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Berdasarkan hasil kuesioner yang telah disebar dan memperoleh 87 responden dengan persentasi responden wanita sebanyak 72% dan pria 28% diketahui bahwa rentang usia konsumen yang memberi produk IKEA paling banyak ada pada usia dewasa-muda yaitu usia 2130 tahun. Selanjutnya merujuk kepada grafik kedua diketahui bahwa produk IKEA yang paling 22


AR 4151 –Arsitektur 2016

diminati adalah produk lemari atau rak. Melalui survey/kuesioner pengguna juga diketahui bahwa konsumen percaya akan produk IKEA sebagai tren terbarukan yang dapat meningkatkan nilai sosial si pengguna sehingga harga yang masih dirasa cukup tinggi untuk harga pasaran furnitur di Indonesia bukanlah hambatan bagi si calon konsumen. Konsumen percaya bahwa harga yang cukup tinggi ini masih sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Hal lain yang menjadi pertimbangan utama daya beli konsumen selain harga yang menempati posisi pertama yaitu, kualitas, compactness, keunikan desain, warna, kebutuhan, dan tren. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan konsumen tetap IKEA diketahui bahwa IKEA sebenarnya tidak melakukan banyak perubahan desain dari tahun ke tahun. Namun keunikan IKEA dalam menciptakan tema pada setiap keluaran produk terbarunya selalu mampu membuat konsumen terus ingin membeli. Tema yang dibawakan oleh produk IKEA pun selalu berhubungan dengan hal-hal yang akrab dengan kehidupan konsumen sehingga konsumen akan merasa nyaman dengan desain IKEA yang terus berganti-ganti tema. Semisal tema produk IKEA terbaru merupakan tema musim yang akan dihadapi atau isu desain yang sedang ramai seperti isu green dan sustainability. Merujuk kepada hasil wawancara dengan akademisi arsitektur, menurut beliau tren produk IKEA merupakan fenomena industri dimana IKEA tidak hanya memproduksi barang tetapi juga mampu mereproduksi selera. Hal ini yang mengakibatkan konsumen selalu ingin membeli produk IKEA. Ini erat kaitannya dengan konsumen membeli bukan lagi karena kebutuhan melainkan karena keinginan. Tren produk IKEA yang cenderung minimalis mungkin berhubungan dengan arsitektur minimalis dalam perkembangannya. Ketika arsitek merancang, furnitur yang didesain juga akan menyesuaikan dengan gaya arsitektur bangunannya. Antara IKEA dan arsitektur sebenarnya sama-sama hasil dari kerja desain, namun IKEA mampu menjadi industri yang besar. Berbeda dengan akademisi arsitektur, akademisi dari desain interior lebih menyoroti kepada bagaimana IKEA mampu mereproduksi selera secara global. Pasar IKEA yang tidak hanya berada pada satu negara mengharuskan IKEA mampu melahirkan desain yang dapat diterima berbagai negara diberbagai belahan dunia. Berbicara mengenai tren, akademisi desain interior menyebutkan bahwa tren dibentuk bukan hanya semata-mata oleh desainer. Lebih jauh lagi ada yang disebut dengan “trend forecaster� yang bekerja bersama-sama menentukan tren yang akan ada. Namun pada pelaksanaannya, tren tidak cukup dibentuk oleh hasil dari pertemuan “tren forecaster�, tren yang sesungguhnya atau yang muncul dalam kehidupan nyata justru bergantung kepada produsen mana yang mampu menguasai pasar. Semakin besar kekuatan produsen dalam hal marketing dan promosi maka semakin besar peluangnya untuk menjadi trendsetter. Selanjutnya menurut akademisi dari desain produk yang sekaligus pernah bekerja di IKEA, beliau menyebutkan bahwa IKEA lahir untuk menjembatani persoalan lingkungan dimana pada masa awal kelahiran IKEA merupakan masa revolusi industri. Pada saat itu perkembangan teknologi sangat pesat dan dibutuhkannya recovery pada masa setelah perang, maka lahirlah IKEA di daerah Skandinavia dengan konsep knock down. Konsep ini yang terus dipegang oleh IKEA hingga sekarang. IKEA juga mendesain berdasarkan global market dimana para desainer akan merumuskan bersama hierarki kebutuhan manusia yang sesungguhnya akan merujuk pada hal yang sama meski berada diberbagai belahan dunia. Dalam proses desain di IKEA, adaptasi adalah hal utama yang mampu dipenuhi oleh para desainer. Para desainer mampu menurunkan ego masing-masing untuk dapat menghasilkan bukan karya otentik dengan desain eksklusif melainkan desain yang mampu diterima oleh semua orang dengan bermacam ras dan tempat tinggal. Dari hasil kuesioner dan wawancara dapat disimpulkan bahwa antara tren arsitektur dengan tren produk furnitur IKEA tidak dapat dikatakan dengan pasti mana yang mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Perkembangan gaya hidup konsumen yang dipengaruhi berbagai aspek terutama usia dan profesi juga semakin menambah faktor perkembangan tren suatu produk karena ini erat hubungannya dengan selera. Tren arsitektur dan tren produk IKEA sama-sama berkembang seiring perjalanan waktu. Banyak faktor yang 23


AR 4151 –Arsitektur 2016

dapat mempengaruhi tren yang ada dan IKEA mampu menerjemahkan kondisi tersebut sehingga dapat menguasai pasar bahkan menjadi trendsetter di dunia furnitur. 4.2. Interpretasi Data Sebagaimana telah dibahas dalam analisis data diatas bahwa perkembangan tren tidak hanya semata-mata karena tren diciptakan oleh seseorang. Tren muncul akibat berbagai proses panjang. Hal ini bersesuaian dengan Teori Dow dimana pada intinya disebutkan bahwa tren merupakan persoalan siapa yang mampu menguasai pasar. Berbagai taktik penjualan yang dilakukan serti diskon sekalipun mampu membuat produk tersebut menjadi buruan utama konsumen dan berakhir sebagai tren. Menurut Charles Dow banyak faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran. Faktor-faktor ini tidak dapat diramalkan, namun demikian faktor tersebut telah mampu diperhitungkan oleh pasar. Hal ini juga yang tersiasati oleh IKEA sebagai industri furnitur yang mampu menciptakan general taste. 5.

PENUTUP

Tren memang merupakan hal yang erat kaitannya dengan masyarakat modern. Ketika manusia dianggap tertinggal oleh tren maka hal ini pun mampu mempengaruhi status sosial manusia tersebut. Tren akan terus bergulir seiring keberjalanan waktu. Tidak ada yang tahu secara pasti mana tren yang lebih kuat sehingga tren pada suatu produk desain mampu mempengaruhi yang lainnya. Tren merupakan ilusi yang diciptakan oleh kemampuan marketing suatu industri besar. Produsen mana yang mampu menguasai pasar maka produsen tersebutlah yang menciptakan tren. Sebagai konsumen yang cerdas ada baiknya kita tidak hanya berfokus untuk mengikuti perkembangan tren dengan alasan agar tidak ketinggalan zaman. Lebih dari itu, sebagai konsumen yang cerdas kita harus mampu memilih mana tren yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kita agar tidak diperdaya oleh pasar yang pada akhirnya menjadikan kita manusia yang berlaku boros. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Tren Arsitektur, (2015). http://www.archipost.com/trend-arsitektur/ [dikutip 9 Desember 2016] Kathryn Henderson. (2015). An Illustrated History of American Design Trends by Decade, http://www.complex.com/style/2015/05/an-illustrated-history-of-american-designtrends-by-decade/1960s-atomic-age-space-age [dikutip 9 Desember 2016] Lauren Amstrong. (1995). A Window into Architectural Trends of the 1930s, 1940s, and 1950s, http://www.brynmawr.edu/cities/courses/98-255/p1/p2lar.html [dikutip 9 Desember 2016] Becky

Oeltjenbruns. (2013). 1940s & 1950s Furnitur and Interior Design, http://www.causeafrockus.com/2013/11/1940s-1950s-furnitur-interior-design/ [dikutip 9 Desember 2016]

Galeri

Arsitektur. Desain Furnitur IKEA dari Masa ke Masa, http://www.galeriarsitektur.com/a786/desain-furnitur-ikea-dari-masa-ke-masa [dikutip 9 Desember 2016]

24


AR 4151 –Arsitektur 2016

Teori Dow, (1882). http://www.ifcmarkets.co.id/ntx-indicators/dow-theory Desember 2016]

[dikutip 9

Forex Indicators. How To Choose Indicators, http://forex-indicators.net/how-to-chooseindicators [dikutip 9 Desember 2016] Definisi Tren, (2015). http://dokumen.tips/documents/pengertian-eksistensi-dan-trend.html [dikutip 9 Desember 2016]

25


AR 4151 –Arsitektur 2016

26


AR 4151 –Arsitektur 2016

DESAIN & IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PREFABRIKASI ARSITEKTUR DALAM PENGADAAN PERUMAHAN & PERMUKIMAN: SEJARAH DAN WARISANNYA KINI Arif Satya WIRAWAN (1), Bennedictus BAGUSTANTYO (2), dan Yantra Tri TIRTOAJI (3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) arifsatyawirawan@students.itb.ac.id; (2) b.bagustantyo@students.itb.ac.id; (3) yantra.aji@gmail.com

ABSTRAK Pengadaan perumahan dan permukiman telah menjadi persoalan dunia dalam satu abad terakhir. Hal ini dikarenakan terjadinya pertumbuhan penduduk dalan jumlah besar yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah hunian. Maka dari itu, muncul keinginan dan usaha di berbagai negara untuk memproduksi rumah yang kompak, terjangkau, dan massal. Keinginan ini pun didukung dengan adanya proses industrialisasi prefabrikasi dalam arsitektur di awal abad XX. Industrialisasi arsitektur sendiri merupakan pembaharuan teknologi dari tenaga manusia menjadi modern dalam menghasilkan material bangunan, memproduksi elemenelemen bangunan, dan dalam proses membangun. Sehingga, tercapai kuantitas dan kualitas produk yang maksimal dengan menghemat sumber daya. Sedangkan prefabrikasi sendiri ialah turunan bentuk dari industrialisasi yang merubah wajah sistem pembangunan. Sebagai tanggapan terhadap seluruh kondisi tersebut, muncul beragam karya arsitektur yang sebagian besarnya dapat dikatakan sebagai terobosan (avant-garde) perumahan dan permukiman yang memanfaatkan proses industrialisasi prefabrikasi di zamannya seperti Archigram, Arsitektur Metabolisme, Habitat 67, New Haven Housing, dan sebagainya. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk meninjau dan mengevaluasi perancangan dan implementasi karya-karya arsitektur bersejarah yang memanfaatkan arsitektur prefabrikasi industri dalam menjawab persoalan hunian yang layak bagi banyak orang. Evaluasi ini menuntun ke penemuan warisan sejarah desain dan implementasi industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam penyediaan hunian masa kini. Dari hasil tinjauan ditemukan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan proyek pengadaan perumahan dengan cara industrialisasi prefabrikasi mengalami keberhasilan dan kegagalan baik dari segi ekonomi, sosial, sampai terlalu kecilnya kemungkinan proyek tersebut untuk diwujudkan. Sedangkan warisan-warisan yang tersisa dari industrialisasi prefabrikasi secara umum berupa elemen open system dan closed system. Pembelajaran yang didapat dari semua itu untuk pengadaan perumahan dan permukiman kedepannya yaitu perlunya mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan dan permukiman. Kata Kunci: industrialisasi arsitektur, prefabrikasi arsitektur, perumahan, permukiman

1.

PENDAHULUAN: RUMAH DAN INDUSTRIALISASI PREFABRIKASI

Sekitar 34%-67% dari total volume bangunan dalam setiap negara adalah perumahan dan permukiman (Gyula, 1998: 36). Hal ini dikarenakan rumah sebagai tempat tinggal pada dasarnya merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tidak hanya itu, ketersediaan perumahan yang memadai juga termuat dalam Pasal 11 Hukum HAM Internasional (The International Bill of Rights) oleh The International Covenant on Economic, Social, and Cultural 27


AR 4151 –Arsitektur 2016

Rights (ICESCR). Meskipun demikian, UN Habitat (2014) menyatakan bahwa saat ini, sekitar 30% penduduk urban di dunia dan sekitar 35% penduduk desa di dunia masih tinggal dalam permukiman yang kumuh dan tidak layak (lihat Gambar 1). Dengan kata lain, lebih dari 2 Miliar orang masih membutuhkan hunian yang lebih baik.

Gambar 1.Fenomena permukiman kumuh yang terjadi di berbagai negara di kota maupun desa.

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Jumlah Penduduk Dunia Tahun 1700-2000-an.

(Sumber: bottleworx.co.za, 2016)

(Sumber: metinmediamath.wordpress.com, 2013)

Persoalan pengadaan perumahan dan permukiman tersebut sesungguhnya telah menjadi isu global selama satu abad terakhir. Hal ini dikarenakan terjadi ledakan jumlah penduduk dunia (hingga sekitar 600%) selama kurun waktu abad XX (lihat Gambar 2). Dengan meningkatnya populasi dunia, jumlah permintaan (demand) terhadap rumah pun selalu bertambah. Akan tetapi, hal ini tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penawaran (supply) rumah yang terbatas dari segi ketersediaan lahan, biaya, dan sebagainya. Oleh karenanya, bersamaan dengan dimulainya era modern pasca perang, muncul keinginan dan usaha di berbagai negara untuk memproduksi rumah yang kompak, terjangkau, dan massal. Keinginan ini pun didukung dengan adanya proses industrialisasi prefabrikasi dalam arsitektur yang dianggap sebagai salah satu solusi penyediaan bangunan yang hemat dan cepat. Sebagai respon atas kondisi tersebut, muncullah beragam karya arsitektur yang memanfaatkan proses industrialisasi prefabrikasi. Tercatat, terdapat cukup banyak perancangan arsitektur yang dapat dikatakan sebagai terobosan (avant-garde) dalam penyediaan hunian massal selama era modern hingga pasca modern yang telah lampau seperti Archigram, Metabolisme, Habitat 67, dan sebagainya. Fenomena desain arsitektur itu pun terjadi di berbagai belahan dunia dan sebagian besar telah terrealisasi. Beberapa diantaranya bahkan dapat dikatakan sebagai perancangan yang eksesif, besar, hingga utopis. Oleh karena itu, dengan latar belakang itu semua, muncul rumusan masalah: 1) Bagaimana evaluasi desain dan implementasi beberapa karya sejarah terobosan arsitektur dengan industrialisasi prefabrikasi untuk menyuplai perumahan dan permukiman? 2) Bagaimana warisannya dalam industrialisasi prefabrikasi arsitektur untuk penyediaan perumahan dan permukiman di masa kini? 3) Apa pembelajaran itu semua dalam pengadaan perumahan dan permukiman ke depannya? Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk meninjau dan mengevaluasi perancangan dan implementasi karya arsitektur bersejarah yang memanfaatkan arsitektur prefabrikasi industri dalam menjawab persoalan hunian yang layak bagi banyak orang. Untuk mencapai tujuan itu, dilakukan pembahasan dengan studi literatur yang melingkupi konsep industrialisasi prefabrikasi dalam arsitektur, penggalian histori berbagai kasus arsitektur terobosan (avantgarde) dengan industrialisasi prefabrikasi untuk pengadaan hunian, evaluasi desain dan implementasi karya-karya arsitektur tersebut, dan warisan sejarah desain & implementasi industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam penyediaan hunian masa kini dan ke depannya. 28


AR 4151 –Arsitektur 2016

Harapannya, tulisan ini dapat menjadi pembelajaran desain dan implementasi dalam pengadaan perumahan dan permukiman dengan industrialisasi prefabrikasi arsitektur yang lebih baik. 2.

INDUSTRIALISASI PREFABRIKASI ARSITEKTUR: KONSEP UMUM, SEJARAH, DAN KLASIFIKASI

Industrialisasi secara umum merupakan usaha menggalakkan kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan, misalnya mesin. Hal ini turut ditegaskan oleh Bonnome dan Leonard (1959), serta Blachere (1988) bahwa pada dasarnya proses industrialisasi ditandai dengan proses mekanisasi, sehingga penekanan terletak pada teknologi membangunnya bukan produknya. Industrialisasi ini memiliki tujuan memaksimalkan jumlah dan kualitas produk dengan menghemat tenaga manusia (Warszawki, 1999). Dengan demikian, industrialisasi arsitektur secara spesifik dapat diartikan sebagai pembaharuan teknologi dari tenaga kasar menjadi modern dalam menghasilkan material dan elemen-elemen bangunan, serta dalam proses membangun bangunan. Industrialisasi ini dipengaruhi oleh metode desain yang modern dengan menggunakan ilmu sains tentang struktur, fisika bangunan, hingga teknologi komputer. Salah satu turunan bentuk dari industrialisasi adalah prefabrikasi. Prefabrikasi merupakan industri manufaktur dari elemen bangunan yang terjadi di luar situs pembangunan. Sebelumnya, prefabrikasi tanpa industrialisasi sudah pernah dilakukan namun dengan adanya industrialisasi, maka prefabrikasi menjadi lebih efisien. Industrialisasi prefabrikasi arsitektur telah meningkatkan produktivitas dalam pembangunan, meningkatkan kondisi kerja dengan adanya proses perpindahan dari pabrik menuju situs pembangunan, dan mengantarkan konstruksi ke era industri modern. Ini semua mulai terjadi setelah Perang Dunia II. Saat itu, terjadi permintaan tinggi terhadap perumahan, sekolah, dan berbagai bangunan sipil lainnya di hampir semua negara Eropa. Kebutuhan yang tinggi terhadap bangunan, menjadi sebuah kesempatan untuk mengadakan pengembangan dengan teknologi terbaru pada saat itu. Dengan demikian, industrialisasi prefabrikasi telah merubah wajah sistem pembangunan. Satu dari perubahan-perubahan yang terlihat jelas dengan adanya industrialisasi prefabrikasi arsitektur adalah dalam penggunaan material bangunan. Material kayu pada awalnya digunakan sebagai bahan utama prefabrikasi. Bangunan prefabrikasi bebahan kayu ini umum dijumpai pada rumah dibuat oleh Inggris untuk diekspor ke berbagai tempat daratan kolonialnya seperti Afrika dan Australia. Dengan Industrialisasi, material kayu ini pun berkembang menjadi berbagai macam material seperti baja, aluminium, beton, dan bahkan polimer. Keseluruhan bahan material tersebut masing-masing dirakit industri menjadi elemenelemen prefabrikasi arsitektur. Thomas Bock (2015) dalam Robotic Industrialization mengklasifikasikan produk industrialisasi prefabrikasi berdasarkan kompleksitas konstruksinya. Antara lain: 1. Komponen (1D) Merupakan elemen paling sederhana. Biasanya merupakan elemen linear atau satuarah. Misalnya: Kolom, Balok, Tangga, dsb. 2. Panel (2D) Merupakan elemen yang paling cocok untuk program bangunan dengan fungsi ruang yang berulang. Penggunaan material panel seperti dinding akan meningkatkan efisiensi biaya, proses, dan waktu konstruksi bangunan. 3. Volumetrik (3D) Merupakan elemen prefabrikasi yang paling kompleks. Terdiri dari modul-modul ruangan (komponen-komponen mandiri) atau panel-panel yang disusun bersama dalam pabrik. Keuntungannya adalah kualitas tingkat tinggi dari instalasi seperti utilitas. Misalnya: Volumetrik kamar mandi dan atau dapur beton pra-cetak. 29


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 3 - Klasifikasi produk prefabrikasi berdasarkan kompleksitas produknya. Kiri komponen, tengah panel, dan kanan volumetrik. (Sumber: Robotic Industrialization, 2015)

Sedangkan sistem produksi komponen, panel, dan volumetrik sebagai elemen industrialisasi prefabrikasi arsitektur dapat diklasifikasikan menjadi: 1.

Open System Open system merupakan elemen arsitektural maupun struktural dasar yang dicetak secara umum dan pasaran oleh industri untuk membentuk bagian-bagian dari bangunan. Melalui sistem ini, konsumen dapat memilih modul dan ukuran elemen yang disediakan oleh industri. Biasanya elemen open system antara lain dapat berupa: kolom, plat, balok, tangga, dan sebagainya. Perakitan dan instalasi komponen pada sistem ini bisa dalam berbagai macam cara dan langkah penyusunan.

2. Close System Close system merupakan elemen prefabrikasi yang dicetak secara terbatas seturut rancangan dari konsumen. Oleh karenanya, biasanya close system dapat terdiri dari elemen-elemen kecil seperti komponen dengan sambungan yang dirancang khusus, panel dengan sistem sambungan dan perancangan yang khusus pula, hingga volumetrik yang berukuran besar yang dirancang terbatas. Secara umum, industrialisasi prefabrikasi arsitektur baik open system maupun close system sangat memengaruhi perancangan dan implementasi. Elemen-elemen tersebut memberikan berbagai kemungkinan dan membuka jalan kreativitas desain yang memiliki batasan-batasan tertentu. Seringkali dibutuhkan perubahan dalam konsep arsitektural dan perubahan detail karena adanya batasan dalam penggunaan mesin, dan sebagainya. Hal ini menjadi tantangan dan tanggung jawab bagi arsitek dan insinyur untuk membuat terobosan dalam perancangan dan penerapannya. Telah banyak persoalan desain yang dipecahkan oleh sebagian besar arsitek dan insinyur melalui kerjasama sebagai profesional. Sehingga desain yang tercipta adalah desain yang saling menguntungkan dan dapat diterima khalayak. Namun, tidak sedikit pula karya industrialisasi prefabrikasi arsitektur yang mengalami kegagalan dan penolakan. Oleh karena itu, arsitek perlu untuk mempelajari desain dan implementasi elemen industrialisasi prefabrikasi. Dengan demikian, ide-ide arsitek dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan tidak menyebabkan masalah sampingan.

30


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.

INDUSTRIALISASI PREFABRIKASI ARSITEKTUR DALAM PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemajuan teknologi menyebabkan adanya industrialisasi prefabrikasi arsitektur yang mengakibatkan terciptanya beragam bangunan yang memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut. Hal ini turut mendorong pengadaan perumahan dan permukiman yang menggunakan prefabrikasi industri untuk menjawab kebutuhan akan hunian yang tinggi. Pengadaan perumahan dan permukiman dengan industrialisasi prefabrikasi dapat ditinjau secara historis. Dalam sejarahnya, terdapat banyak kasus arsitektur mulai dari yang kecil, sederhana, hingga arsitektur terobosan (avant-garde). Namun saat ini, fenomena arsitektur terobosan yang besar, berlebihan, bahkan sulit terrealisasi seperti sejarahnya tersebut, semakin jarang dijumpai. Sebagian besar yang tersisa adalah pengadaan perumahan dan permukiman dengan industrialisasi prefabrikasi dalam bentuk yang sederhana, kian maju, dan praktis. 3.1. Menggali Histori Berbagai Kasus Perancangan dan Implementasi Pengadaan Perumahan dan Permukiman Secara umum, di awal masa modern, banyak perumahan dan permukiman hasil industrialisasi prefabrikasi. Pada tahun 1945-1948, terdapat beberapa rumah prefabrikasi yang bersifat temporer seperti portal house (terdiri dari kayu lapis dan baja tekan), aluminium bungalow, ARCON, dan uni-seco, masing-masing jenis diproduksi hingga ribuan jumlahnya. Namun, pada akhirnya sistem ini ditinggalkan demi sistem yang lebih maju. Amerika, sebuah perusahaan bangunan kapal mencoba membuat industri rumah prefabrikasi namun turut mengalami kegagalan. Selama tahun 1947-1951, pengembang di New York, Levitt & Sons membangun sekitar 17.000 rumah murah dengan bentuk yang identikal. Pada masa yang sama, Jepang melakukan pembangunan rumah secara pesat kurang lebih 10.000 unit per tahunnya dengan menerapkan manufaktur otomatis diterapkan. Di beberapa negara di eropa pun melakukan hal yang serupa namun dengan skala yang lebih kecil. Pada awalnya, terjadi kesuksesan namun semakin banyak produksi yang dihasilkan, timbul kritikan karena rumah yang terkesan monoton. 3.1.1. Narkomfin Building dan Unite d’Habitation: Penginspirasi Pengadaan Hunian Yang Layak dan Berhasil Meskipun bukan melalui industrialisasi prefabrikasi Narkomfin Building dan Unite d’Habitation merupakan salah dua beberapa karya arsitektur terobosan (avant-gade) pengadaan permukiman yang layak, berhasil, dan terpengaruh teknologi industri. Sehingga, kedua bangunan ini menginspirasi karya-karya arsitektur terobosan (avant-gade) lainnya. Narkomfin Building merupakan apartemen 5 lantai di Moskow, Rusia karya Moisei Ginzburg dan Ignaty Milinis yang dibangun sejak 1928 dan selesai tahun 1932. Bangunan ini dikenal sebagai arsitektur konstruktivis (arsitektur modern di Uni Soviet) untuk hidup kolektif radikal yang timbul sebagai upaya mengatasi kota sosialis yang terlalu penuh (Mull, 2013). Ide apartemen sebagai sebuah hunian untuk masyarakat tinggal secara bersama-sama juga bertujuan untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari masyarakat pasca perang, menghilangkan kesenjangan, dan menormalkan kembali kehidupan para korban perang. Meskipun demikian, pada akhirnya Narkomfin justru menjadi tempat tinggal bagi orang-orang penting nomenklatura. Menteri keuangan dari kelompok tersebut menjadi yang pertama tinggal di apartemen ini. Bangunan ini justru kemudian menjadi hotel dengan pelayanan yang baik. Terdapat 54 unit hunian di dalam bangunan ini dengan sistem sirkulasi single-loaded corridor. Unit-unit hunian tersebut terdiri dari dua lantai dengan satu lantai sejajar koridor dan lantai yang lainnya berada di atas atau di bawah koridor.

31


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 4. Lini Masa Prefabrikasi Karya Arsitektur Sebelum dan Setelah Industrialisasi (Sumber: Smith, Ryan E, 2010)

Unite d’Habitation sendiri merupakan salah satu karya Le Corbusier yang terinspirasi dari Narkomfin Building. Apartemen ini berlokasi di kota Marseille, Perancis dan dibangun tahun 1952. Proyek ini merupakan proyek berskala besar pertama yang diterima oleh Le Corbusier. Pada tahun 1947, Eropa masih merasakan dampak dari Perang Dunia Kedua. Saat itulah Le Corbusier diminta untuk merancang sebuah perumahan multi-family untuk orang-orang Marseille yang kehilangan rumahnya karena pengeboman di Perancis. Pada bangunan ini selain terdapat unit-unit hunian juga terdapat fasilitas-fasilitas sosial seperti trek lari, klub, taman kanak-kanak, gym, dan sebuah kolam renan dangkal. Hal yang menarik dari karya Le Corbusier ini yaitu organisasi spasial dari unit-unit residensialnya. Bangunan ini memiliki 18 lantai dengan sirkulasi horizontalnya berupa double-loaded corridor yang hanya terdapat pada 5 lantai saja. Hal ini dimungkinkan 32


AR 4151 –Arsitektur 2016

karena unit-unit huniannya dirancang menjadi dua lantai, dengan satu lantai memanjang dari sisi bangunan ke sisi bangunan yang lain sedangkan lantai yang lainnya bertemu dengan koridor. Rancangan tersebut membuat koridor pada bangunan hanya ada setiap tiga lantai.

Gambar 5. Narkomfin Building di Rusia karya Moisei Ginzburg tahun 1929.

Gambar 6. Unite d’Habitation di Marseille, Perancis karya Le Corbusier tahun 1952.

(Sumber: wikipedia.com, 2007)

(Sumber: Wikipedia.com, 2010)

3.1.2. Archigram: Arsitektur Neo-Avant-Garde Tanpa Arsitektur Populasi masyarakat Inggris pada tahun 1960-an diprediksi akan meningkat secara drastis karena berbagai alasan. Enam orang arsitek antara lain Peter Cook, Warren Chalk, Ron Herron, Dennis Crompton, Michael Webb, dan David Greene menaruh perhatian mereka pada perkembangan kota-kota di Inggris. Mereka memelopori majalah arsitektur Archigram yang terbit pertama kali di London pada Mei 1961. Majalah Archigram yang pertama merupakan respon terhadap tren yang terjadi di London, menentang arsitektur yang memakai label “modern” namun tidak menerapkan hampir semua dari filosofi-filosofi “modern”. Archigram menyatakan bahwa modernisme harus menjunjung semua hal yang baru dan menentang rutinitas atau kebiasaan praktek dan pendidikan arsitektural. Kritik ini terutama ditujukan terhadap penggunaan elemenelemen industrialisasi prefabrikasi arsitektur yang mengurangi estetika arsitektur. Karena itulah Archigram disebut sebagai arsitektur neo-avant-garde tanpa arsitektur. Walking City karya Ron Herron tahun 1964 mungkin merupakan gambaran yang paling dikenal yang dihasilkan oleh Archigram, namun Plug-In City milik Peter Cook paling menggambarkan secara menyeluruh semua euforia-euforia Archigram pada masa-masa awalnya. Plug-In City terinspirasi dari proyek Algiers milik Le Corbusier, Karl-Marx Hof karya Karl Ehn di Vienna, serta Unite d’Habitation karya Le Corbusier. Elemen-elemen dari karya-karya tersebut yang berupa asas kolektivitas (the principle of collectivity), unitunit apartemen yang terpengaruh dari elemen-elemen industrialisasi prefabrikasi arsitektur dapat ditukar, dan penggabungan jaringan-jaringan transportasi. Plug-In City merupakan sebuah karya berupa rangka-rangka raksasa yang saling bersilangan yang kemudian dijadikan tempat untuk memasang berbagai fasilitas kota mulai dari blok-blok hunian hingga sarana-sarana transportasinya.

33


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 7. Walking City, Archigram karya Ron Herron tahun 1964.

Gambar 8. Plug-In City karya Peter Cook yang menggambarkan seluruh euforia Archigram.

(Sumber: Scribol.com, 2007)

(Sumber: Archdaily.com, 2013)

3.1.3. Arsitektur Metabolisme: Arsitektur Organisme Hidup Setelah perang dunia kedua, banyak kota-kota penting di Jepang yang hancur. Tidak banyak proses konstruksi yang berlangsung pada tahun-tahun tersebut. Perekonomian Jepang mulai berkembang pesat saat terjadinya perang Korea dimana Jepang menjadi sekutu Amerika. Walaupun pertumbuhan ekonominya sangat pesat, pada akhir 1950an Jepang masih kesulitan dalam menyediakan tempat tinggal bagi masyarakatnya yang belum memiliki rumah. Kesadaran bahwa negara tersebut telah kalah perang, dan mengalami kehancuran yang hebat saat kota Nagasaki dan Hiroshima dibom atom, memunculkan keinginan untuk merekonstruksi identitas nasionalnya. Pada tahun 1955 sanpai 1964, populasi penduduk Jepang meningkat dari 13,28 juta jiwa menjadi 18,86 juta jiwa. Ditambah dengan kemampuan lahan negaranya yang hanya memungkinkan sebagian saja yang bisa dijadikan lahan untuk bangunan, lahirlah pergerakan arsitektur Metabolisme. Kata metabolisme dalam arsitektur metabolisme berasal dari Bahasa Yunani metabole yang berarti organisme hidup dengan fungsi-fungsi biokimia. Sifat ini diterapkan pada non-living organization/systems yang dapat merespon atau beradaptasi dengan pengaruh-pengaruh eksternal dan mampu mengubah karakteristiknya berdasarkan pengaruh-pengaruh tersebut. Konsep Manifesto Metabolism 1960: Proposals for a New Urbanism diumumkan pada Tokyo World Conference tahun 1960, setahun setelah pembubaran CIAM, tentang desain industri oleh Kisho Kurokawa, Kiyonori Kikutake, Fumihiko Maki dan Masato Otaka. Manifesto tersebut berisi esai-esai dan proyek-proyek visioner, dengan gambar-gambar dari Kikutake yang paling memungkinkan untuk diwujudkan. Proyek Marine City milik Kikutake dipilih untuk pameran Visionary Architecture di Museum Seni Modern di New York. Proyek tersebut menunjukan desain teoritis yang menjawab isu pengakomodasian populasi yang tumbuh menjadi jutaan, pada lahan-lahan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya seperti di laut dan di langit. Publikasi tersebut juga berisi esai oleh Noboru Kawazoe, ketua teoritis dari kelompok tersebut, yang berbicara tentang bencana nuklir dan mempromosikan kesatuan antara manusia dan alam serta evolusi masyarakat menjadi satu kesatuan seperti sebuah organisme hidup. Dia menutup esai tersebut dengan "Masa konstruktif kita akan menjadi masanya metabolisme. Keteraturan terlahir dari kekacauan, dan kekacauan dari keteraturan. Kepunahan sama dengan penciptaan. Ini adalah sesuatu yang harus ditemukan dalam kota-kota yang akan kita buat, kota-kota yang mengalami proses metabolisme secara konstan".

34


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 9. Marine City karya arsitektur metabolisme Kiyunori Kikutake.

Gambar 10. Space City karya arsitektur metabolism Arata Isozaki.

(Sumber: sean-edward.com.au, 2011)

(Sumber: sangbleumagazine.com, 2014)

The Metabolists mengembangkan skema-skema organik mereka tentang jaringan kota-kota sebagai respon pada isu-isu aktual. Salah satu masalah utama yaitu kurangnya infrastruktur yang komprehensif di Jepang yang merupakan hambatan bagi pertumbuhan ekonomi dan fisik urban. Mobilitas yang ditingkatkan dikemukakan sebagai kebebasan individual. Proposal-proposal urban desain dari anggota-anggota yang lain termasuk Tange berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang topologi. Mereka tidak membayangkan pengisian jalan-jalan dan sistem transportasi publik baru untuk memecahkan tugas ini, namun mereka membuat sebuah bentuk organisasi baru yang melampaui kota yang sudah ada. Fokusnya yaitu menyatukan semua aspek urban kedalam satu organisme besar dengan jaringan-jaringan yang mengalir melalui rangka tiga dimensional yang menopang kontainer-kontainer untuk berbagai unit-unit fungsional dengan siklus hidup yang berbeda-beda. Megastruktur ini memiliki cabang yang memecah lalu lintas jan jalur transportasi yang besar menjadi jalan-jalan pada skala pejalan kaki. Jalur-jalur tersebut menghubungkan fasilitas publik dan komersial dengan perumahan. Perumahan ini berupa unit-unit kapsul yang dapat dilepas dan diganti. Teori tentang kapsul ini dikemukakan oleh Kisho Kurokawa dan dipublikasikan tahun 1969 setelah ia terinspirasi oleh teknologi unit hunian yang dapat dipindah-pindahkan (mobile). Bangunan pertamanya yang mengadopsi teori tersebut yaitu Nakagin Tower di Tokyo yang dibangun tahun 1972 dengan kapsul-kapsul berukuran standar yang dipasang pada core beton bertulang. Core bangunan ini permanen namun kapsulkapsulnya dapat diganti. Setelah Nakagin Tower, muncul bangunan-bangunan kapsul lain dan proyek-proyek kota metabolis yang tidak terwujud. Walaupun arsitektur metabolis gagal untuk memperoleh penerimaan yang lebih luas, idennya tentang kapsul ternyata digunakan pada beberapa bentuk, contohnya kompleks residensial milik moshe shafdie di montreal expo yang tersusun atas kotak-kotak beton modular. Pabrik-pabrik rumah mobile di AS, yang menjadi asal terciptanya teori kapsul tadi, juga mendapat inspirasi lebih lanjut dari pencapaian konsep dan arsitektur metabolis tersebut

35


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 11. Eksterior Nakagin Tower karya arsitektur metabolisme Kisho Kurokawa.

Gambar 12. Interior Nakagin Tower karya arsitektur metabolosme Kisho Kurokawa.

(Sumber: popupcity.net, 2009)

(Sumber: popupcity.net, 2009)

Gambar 13. Ilustrasi konstruksi Nakagin Tower dengan menggunakan bahan industrialisasi prefabrikasi arsitektur berupa elemen-elemen volumetrik close system. (Sumber: metalocus.es, 2011)

3.1.4. Habitat 67 dan New Haven Housing: Eksperimen Solusi Hunian Padat Berkualitas Tinggi Habitat merupakan karya Moshe Safdie yang ia buat untuk World Expo tahun 1967 di Kanada. Bangunan ini berupa unit-unit modular sebanyak 354 buah yang disusun menjadi 158 unit hunian. Ada 18 jenis modul yang dibuat di luar site. Modul-modul 36


AR 4151 –Arsitektur 2016

tersebut ditumpuk satu sama lain dan ruang-ruang kosong di antaranya membentuk taman dan teras. Modul-modul tersebut terlalu berat untuk dipasang maupun dipindahkan, variasi modulnya terlalu banyak, serta membutuhkan peralatan-peralatan dan cetakan-cetakan khusus untuk adukannya. Selain kesulitan-kesulitan di luar site, pekerjaan di site membutuhkan mesin derek yang besar dan banyak tenaga kerja untuk menggabungkan modul-modul tersebut. Konsep plug-and-play ini pada akhirnya tidak menghemat uang justru membuat biaya yang dikeluarkan lebih dari yang seharusnya. Paul Rudolph berpendapat bahwa material yang dipilih oleh Moshe Safdie lah yang menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam proses produksi dan mendirikan modul-modul tersebut. Paul Rudolph merealisasikan sebuah proyek perumahan modular di New Haven pada tahun 1971. Teknologi yang digunakan tidak inovatif, namun proyek tersebut menggunakan tipologi rumah mobile dalam pengembangan perumahan untuk banyak keluarga yang merupakan interpretasi ulang dari bangunan vernakular. Arsitek-arsitek pada era tersebut sudah “menyerah� dengan perumahan mobile karena dianggap tidak penting untuk dipelajari, namun Paul Rudolph tertarik untuk menemukan solusi dengan kualitas desain yang baik dan biaya yang rendah. Proyek tersebut sayangnya memunculkan kesan monoton yang kuat dengan atap-atap lengkung dari rumah mobile, dan dimensi-dimensi yang diulang dalam jumlah banyak justru menimbulkan kesan kumuh. Selain kedua karya tersebut, penggunaan teknologi prefabrikasi juga terjadi pada bangunan Richards Medical Laboratory karya Louis I. Khan di Universitas Pennsylvania.

3.2.

Gambar 14. Habitat 67 di Kanada karya arsitek Moshe Safdie.

Gambar 15. New Haven Housing karya arsitek Paul Rudolph pada tahun 1971.

(Sumber: Archdaily, 2013)

(Sumber: prudolph.lib.umassd.edu)

Warisan Masa Kini

Industrialisasi prefabrikasi arsitektur dari dahulu hingga kini telah mengalami banyak keberhasilan dan ketidakberhasilan. Hal ini membuat desain dan implementasinya menjadi berkembang perlahan. Kegagalan perusahaan rumah di Amerika ketika era industrialisasi prefabrikasi membuatnya lebih berkembang ke open system daripada close system yang lebih terbatas. Kegagalan karya megastruktur juga membuat industrialisasi prefabrikasi lebih memproduksi dalam skala yang lebih kecil seperti komponen, panel, dan volumetrik. Keseluruhannya merupakan warisan sejarah.

37


AR 4151 –Arsitektur 2016

1.

Beberapa contoh warisan saat ini antara lain: Unit kamar mandi dan dapur

Gambar 16. Kiri unit volumetrik kamar mandi dan kanan unit volumetrik dapur . (Sumber: bca.gov.sg)

2.

3.

Unit hunian tunggal Unit hunian ini tersusun atas panel-panel dinding dan komponen-komponen struktur, bukan berupa satu kesatuan yang utuh. Namun perakitan dari unit hunian modular ini dilakukan di pabrik beru kemudian diangkut ke lahan rumah tersebut akan diletakkan. Panel dinding, pintu, dan jendela

Gambar 17. Kiri unit volumetrik kamar mandi dan kanan unit volumetrik dapur. (Sumber: bca.gov.sg)

38


AR 4151 –Arsitektur 2016

4.

Unit tangga

Gambar 18. Unit tangga prefabrikasi. (Sumber: bca.gov.sg)

5.

6.

Unit refuse chute (shaft sampah) Shaft sampah digunakan pada bangunan-bangunan residensial dengan jumlah lantai banyak, berfungsi untuk menyalurkan sampah dari atas ke bawah sehingga penghuni tidak perlu membawa sendiri sampah mereka. Unit shelter perlindungan warga sipil Fungsi dari shelter perlindungan ini yaitu untuk melindungi masyarakat dari senjata ketika saat-saat darurat. Shelter ini dapat disediakan satu buah per satu unit hunian maupun satu untuk beberapa unit hunian sekaligus.

Gambar 19. Unit refuse chute (kiri) dan Unit Shelter perlindungan warga sipil (kanan) (Sumber: bca.gov.sg)

4.

EVALUASI DAN PEMBELAJARAN PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI

Berikut dalam Tabel 1 adalah evaluasi umum ketidakberhasilan dari bangunan dan karya arsitektur yang telah dibahas: Tabel 1. Tabel Evaluasi Umum Bangunan/Karya Arsitektur dengan Industrialisasi Prefabrikasi No 1.

Bangunan/Karya Arsitektur Sebagian besar perumahan di Amerika dan Eropa dengan industrialisasi prefabrikasi (portal house, aluminium bungalow, ARCON, uni-seco, dan sebagainya)

Evaluasi Umum Kegagalan •

Muncul kesan monoton karena keseragamannya

•

Skala bangunan tidak humanis

2.

Archigram (Walking City, Plug-In City)

Terlalu utopis

3.

Metabolisme

Kapsul-kapsul hunian yang dipatenkan 39


AR 4151 –Arsitektur 2016

4.

Habitat 67

Unit-unit hunian dipatenkan (Habitat)

5.

New Haven Housing

Muncul kesan kumuh karena adanya perulangan geometri dan dimensi unit-unit hunian (New Haven Housing)

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab kegagalan pengadaan perumahan dan permukiman dengan sistem industrialisasi prefabrikasi yaitu : 1.

Perulangan pada unit-unit hunian memunculkan kesan monoton bahkan kumuh Perulangan pada unit-unit hunian yang tidak diiringi dengan penambahan variasivariasi tertentu akan membuat perumahan tersebut tampak monoton atau bahkan terlihat kumuh.

2. Skala bangunan yang dirancang tidak humanis Perumahan massal yang banyak dibangun pasca Perang Dunia Kedua memiliki ukuran yang besar sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi para penghuninya. 3. Terlalu utopis Sistem bangunan yang terlalu utopis membuat bangunan tersebut menjadi sangat sulit untuk diwujudkan dengan teknologi yang ada pada saat itu. 4. Dipatenkannya modul-modul unit hunian yang digunakan Modul-modul unit yang dipatenkan menyebabkan mahalnya proses produksi/pengadaan modul-modul unit tersebut sehingga dalam banyak kasus membuat biaya yang dikeluarkan lebih banyak dari yang dianggarkan. Tidak hanya itu, Mark dan Peter Anderson (2007) mengatakan bahwa salah satu pembelajaran yang didapat dari banyaknya usaha-usaha pengadaan perumahan dengan prefabrikasi yaitu terlalu mahalnya pengembangan komponen khusus yang hanya berasal dari satu produsen yang telah dipatenkan. Akibatnya, proses perawatan menjadi sulit dan tidak terjangkau sehingga hampir selalu berakhir pada kegagalan ekonomi walaupun kualitas desain, detail, dan konsep produksi dari komponen tersebut sudah sangat baik. Sedangkan penyebab adanya karya-karya besar yang berhasil terealisasi bergantung pada kondisi perekonomian dan kemauan politik dari suatu negara. Semakin kuat pengaruh politik dan kondisi perekonomian, maka semakin mungkin karya arsitektur terbangun. Meskipun hal ini tidak menjamin penerimaan dan keberlanjutan dari masyarakat. Kesemuanya itu menunjukan bahwa selama perkembangannya, industrialisasi prefabrikasi telah melewati banyak kesuksesan dan kegagalan. Desain dan implementasinya pun berkembang evolusioner (bukan revolusioner) secara perlahan yang prosesnya dipenuhi dengan dialektika tesis dan antitesis, serta mencoba dan gagal (trial and error). Pembelajaran yang didapat dari setiap kegagalan tersebut akan menghasilkan solusi yang lebih baik. Setiap keberhasilan dan ketidakberhasilan tersebut dapat memberikan pandangan tentang perkembangan-perkembangan yang diperlukan dalam proses prefabrikasi selanjutnya (Gyulen, 2003: 39). Walaupun setiap proyek itu memiliki keunikannya masing-masing, namun penerapan sistem prefabrikasi dalam arsitektur dan konstruksi tidak memiliki perbedaan yang signifikan sehingga para arsitek dan ahli konstruksi dapat mempelajari dan menerapkan kelebihan-kelebihan dari prefabrikasi serta menanggulangi atau menghindari kekurangan yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan pertimbangan dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan. Penggunaan sistem bangunan yang memungkinkan bangunan tersebut untuk dibangun dengan teknologi yang ada pada zamannya menjadi poin penting yang harus dipastikan oleh perancang. Supaya biaya produksi dan pengembangan modul-modul yang digunakan tidak terlalu mahal, penggunaan modul khusus yang dipatenkan lebih baik jika dihindari. Kesan humanis terhadap 40


AR 4151 –Arsitektur 2016

bangunan harus muncul dengan menyesuaikan skala bangunan terhadap manusianya. Kesan monoton dan kumuh dari perumahan dan permukiman dapat dihindari dengan cara menambahkan variasi-variasi pada penataan unit-unit hunian yang dirancang. 5.

PENUTUP

5.1. Kesimpulan Evaluasi dari industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan dan permukiman yang telah dilakukan sejak masa perang dunia kedua sampai saat ini yaitu ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan proyek pengadaan perumahan dengan cara industrialisasi prefabrikasi mengalami kegagalan baik dari segi ekonomi, sosial, sampai terlalu kecilnya kemungkinan proyek tersebut untuk diwujudkan. Perulangan-perulangan yang terjadi dalam perumahan jika tidak dirancang dengan baik justru dapat menimbulkan kesan monoton dan kumuh pada perumahan tersebut. Skala bangunan yang terlalu besar dan tidak humanis yang muncul pada perumahan vertikal pun dapat membuat penghuninya merasa tidak nyaman. Ide-ide yang terlalu utopis pada masanya menyebabkan sulitnya proyek tersebut untuk diwujudkan. Penggunaan modul-modul khusus yang dipatenkan dapat menyebabkan biaya produksi dan pengembangan modul-modul tersebut menjadi lebih mahal, membuat pengeluaran menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Sedangkan warisan-warisan yang tersisa dari industrialisasi prefabrikasi secara umum berupa elemen open system dan sedikit closed system. Keseluruhannya tersedia dari komponen kecil dan memiliki ukuran-ukuran yang standar seperti kamar mandi, dapur, tangga, shaft sampah, panel dinding, pintu, dan jendela, shelter perlindungan, hingga yang paling besar yaitu unit rumah tinggal. Namun unit rumah tinggal ini pun tersusun atas unit-unit kecil yang memiliki ukuran-ukuran yang standar sehingga biaya pengadaannya tidak mahal. Pembelajaran yang didapat dari semua itu untuk pengadaan perumahan dan permukiman kedepannya yaitu perlunya mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan dan permukiman. Hal yang paling penting yaitu sistem yang dirancang harus memungkinkan untuk dibangun dengan teknologi yang ada pada zamannya. Penggunaan modul-modul khusus yang dipatenkan sebaiknya dihindari supaya biaya pengadaan modul-modul tersebut tidak terlampau mahal. Skala bangunan yang dirancang juga harus memperhatikan dampak yang akan diberikan kepada penghuni dan penduduk sekitar karena kesan tidak humanis muncul dari ketidaksesuaian skala bangunan tersebut terhadap manusia. Adanya variasi dalam penataan unit-unit hunian dirasa perlu supaya terhindar dari kesan monoton dan kumuh. 5.2. Refleksi Banyak pembelajaran yang didapat dari usaha-usaha industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan permukiman yang telah dilakukan sejak dulu hingga kini. Dalam perjalanannya industrialisasi prefabrikasi arsitektur mengalami banyak kegagalan pun keberhasilan dalam proyek-proyeknya. Proses meninjau kembali setiap kasus tersebut dapat memberikan pandangan dan inspirasi kepada para arsitek dan ahli konstruksi dalam penerapan industrialisasi prefabrikasi arsitektur dalam pengadaan perumahan permukiman kedepannya. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Bock, Thomas, dan Thomas Linner. (2015). Robotic Industrialization: Automation and Robotic Technologies for Customized Component, Module, and Building Prefabrication (1 st ed.). Cambridge, Britania Raya: Cambridge University Press.

41


AR 4151 –Arsitektur 2016

Crompton, Dennis. (2005). Archigram: At Work. Diunduh http://www.megastructure-reloaded.org/archigram/.

8

Desember

2016

dalam

Gyula, Sebestyén. (1998). Construction – Craft to Industry. London: E & FN Spon. ___________________. (2003). New Architecture and Technology. Oxford: Architectural Press. Lynch, Patrick. (2016). Kengo Kuma Unveils Designs for Residential Superstructures in Moscow. Archdaily, 28 November 2016. Diunduh 7 Desember 2016 dari http://www.archdaily.com/800366/kengokuma-unveils-designs-for-residential-superstructures-in-moscow . Merin, Gili. (2013). AD Classics: Habitat 67 / Safdie Architects. Archdaily, 21 Juli 2013. Diunduh 9 Desember 2016 dari http://www.archdaily.com/404803/ad-classics-habitat-67-moshe-safdie. Mull, Robert, Xenia Adjoubei. (2013). Ruins of Utopia. The Architectural Review, 29 Maret 2013. Diunduh 8 Desember 2016 dari http://www.architectural-review.com/essays/ruins-ofutopia/8644716.article. Pernica, Raffaele. (2004). Metabolism Reconsidered: Its Role in The Architectural Context of the World. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, Vol. 3, No. 2, November 2004, h. 357-363. Rose, Alden. (2016). Beyond Metabolism: An Architectural Movement and Its Legacy. Architizer, 11 Agustus 2016. Diunduh 5 Desember 2016 dari http://architizer.com/blog/beyond-metabolism/. Sadler, Simon. (2005). Archigram: Architecture Without Architecture. Cambridge, AS: Massachusetts Institute of Technology. Smith, Ryan E. (2010). Prefab Architecture: A Guide to Modular Design and Construction. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

42


AR 4151 –Arsitektur 2016

PENGARUH ARSITEKTUR MODULAR TERHADAP SISTEM PENGUKURAN TRADISIONAL: STUDI KASUS TATAMI DAN ASTA KOSALA KOSALI Ahmad Nur MAKSUM(1), Julia S. DAHLAN(2), dan Syahr BANU(3)

Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)ahmad.nur.maksum@students.itb.ac.id; (2)juliasdahlab@students.ar.itb.ac.id;

7.

(3)syahrbanu@students.itb.ac.id

ABSTRAK Sistem pengukuran dengan menggunakan modul sudah sangat lazim digunakan dalam proses perancangan arsitektur yang berbasis pada pengukuran, termasuk di Indonesia. Penerapan sistem modul di Indonesia digunakan dalam perancangan hunian hingga bangunan publik. Dahulu, Indonesia menggunakan sistem pengukuran secara tradisional sesuai dengan kebudayaan yang dianut disetiap daerah. Terlihat dari perbedaan bentuk hunian dari masingmasing daerah yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi daerah dan karakter penghuni di dalamnya. Namun, lambat laun penggunaan pengukuran tradisional mulai ditinggalkan dan masyarakat Indonesia lebih mengandalkan sistem yang dapat digunakan secara cepat dan efisien, yaitu sistem modular. Meskipun demikian, tidak selamanya bangunan yang didesain dengan pengukuran tradisional telah dilupakan karena munculnya tren modular ini. Salah satunya di Jepang. Jepang masih menggunakan pengukuran tradisional dalam mendesain bangunannya melalui penggunaan tatami. Tujuan dari penulisan ini adalah: (1) Mengidentifikasi penyebab dilupakannya sistem pengukuran tradisional di Indonesia; (2) Mengidentifikasi alasan masih dipertahankannya tatami hingga sekarang. Kata Kunci: Modular, Tatami, Asta Kosala Kosali, Sistem, Pengukuran, Tradisional, Ken

1.

PENDAHULUAN

Perkembangan Arsitektur Modern dengan prinsip fungsional dan efisiensi ditandai dengan anti pengulangan bentuk-bentuk lama dengan teknologi baru (beton bertulang, baja). Keindahan arsitektur modern dilihat dari pemenuhan fungsi pada elemen-elemen bangunan. Bangunan terbentuk oleh bagian-bagian seperti dinding, jendela, pintu, atap dan lain-lain yang tersusun berdasarkan fungsinya. Tuntutan pengadaan bangunan dengan cepat melahirkan sistem modular yang pengembangannya mengarah pada industrialisasi, dimana produk yang dihasilkan dicapai dengan produksi massal dan sifatnya dapat diulang. Penggunaan sistem modul dalam perancangan arsitektur terlihat dari adanya perhatian khusus terhadap dimensi ukuran yang akan dipakai sebagai standar perencanaan. Dimensi ukuran dasar adalah modul yang digunakan sebagai acuan dalam perencanaan. Sehingga dalam perancangannya, modul ini dapat berkembang menjadi dimensi modular yang merupakan kelipatan dari modul tersebut. Inilah esensi dari arsitektur modular. 43


AR 4151 –Arsitektur 2016

Penggunaan modul dahulu ditentukan oleh besaran ukuran kolom dan jarak kolom. Sedangkan masa kini, modul digunakan dalam industrialisasi bahan-bahan bangunan. Modul bahan bangunan ini dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan ukuran dari sebuah ruangan dan memudahkan dalam implementasinya. Sistem pengukuran dengan menggunakan modul sudah sangat lazim digunakan dalam proses perancangan arsitektur yang berbasis pada pengukuran, termasuk di Indonesia. Penerapan sistem modul di Indonesia digunakan dalam perancangan hunian hingga bangunan publik. Dahulu, Indonesia menggunakan sistem pengukuran secara tradisional sesuai dengan kebudayaan yang dianut disetiap daerah. Terlihat dari perbedaan bentuk hunian dari masing- masing daerah yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi daerah dan karakter penghuni di dalamnya. Namun, lambat laun penggunaan pengukuran tradisional mulai ditinggalkan dan masyarakat Indonesia lebih mengandalkan sistem yang dapat digunakan secara cepat dan efisien, yaitu sistem modular. Meskipun demikian, tidak selamanya bangunan yang didesain dengan pengukuran tradisional telah dilupakan karena munculnya tren modular ini. Salah satunya di Jepang. Jepang masih menggunakan pengukuran tradisional dalam mendesain bangunannya melalui penggunaan tatami. Berdasarkan latar belakang diatas timbul persoalan atau masalah, antara lain: (1) Mengapa sistem pengukuran tradisional sudah dilupakan di Indonesia?; (2) Mengapa tatami masih dipertahankan hingga sekarang? Tujuan dari penulisan ini adalah: (1) Mengidentifikasi penyebab dilupakannya sistem pengukuran tradisional di Indonesia; (2) Mengidentifikasi alasan masih dipertahankannya tatami hingga sekarang. 2. 2.1.

KAJIAN PUSTAKA Sejarah Pengukuran

Pengukuran merupakan kegiatan membandingkan sesuatu dengan sesautu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3). Pengertian tersebut sesuai dengan sejarah pengukuran yang muncul dari pendekatan manusia terhadap benda/aktivitas ataupun peristiwa yang ada disekitarnya. Benda/aktivitas atau peristiwa tersebut kemudian menjadi pembanding dalam mendeskripsikan sesuatu. Sistem pengukuran tersebut ditemukan diberbagai bangunan monumental sepanjang sejarah peradaban manusia dengan hasil pengukuran yang sangat teliti. Salah satunya adalah piramida di Mesir. Bangunan ini memilki alas kubus dengan jarak nominal 230 meter dengan ketepatan ± 14 mm (sedikit lebih kecil dari kecermatan alat ukur yang dipakai). Bahkan ketepatan kesikuan bangunan ± 12 detik. Angka tersebut didapat dari pengukuran menggunakan satuan cubit/ hasta sebagai satuan pembandingnya. Satu cubit sama dengan panjang lengan manusia diukur dari ujung siku sampai ujung jari tengah manusia. Agar ukuran tersebut menjadi ukuran yang bernilai tetap maka raja firaun dengan kekuasaanya menetapkan ukuran cubit kerajaan. Ukuran cubit kerajaan sama dengan panjang lengan raja firaun. Kemudian agar ukuran tersebut dapat digunakan oleh banyak masyarakat mesir dalam membangun pyramid, ukuran cubit kerajaan diperbanyak dengan membuat alat ukur cubit yang disebut royal cubit. Royal cubit ini terbuat dari batu granit hitam yang di pahat. Sedangkan untuk ukuran yang lebih kecil dibuatlah subdivisi cubit meliputi •

1 span= 1 jengkal jari tangan manusia = ½ cubit

1 palm = selebar telapak tangan manusia = 1/6 cubit

1 digit = selebar ujung jari tengah = 1/24 cubit

1 thum breadth = selebar ibu jari

44


AR 4151 –Arsitektur 2016

Peradaban selanjutaya adalah sisitem ukuran yang dibuat bangsa Babilonia tahun 1700 SM yang menggunakan ukuran kus (530 mm)yang sedikit lebih panjang dari ukuran cubit/hasta mesir (524mm). Ukuran kus ini memiliki subdivisi yaitu sushi (1/30 kus) dan foot (2/3 satuan hasta). Kemudian sistem ukuran ini mengalami penyebaran ke negara negara lainnya melalui jalur perdagangan. Salah satunya adalah bangsa Yunani dan Romawi. Di Yunani dan Romawi ukuran dasar yang digunakan adalah kaki yang terbagi kedalam 12 inchi. Bangsa Romawi tidak menggunakan hasta, karena sebagian besar basis ukuran mereka berasal dari gerakan, Adapun ukuran yang mereka miliki adalah lima kaki (feet) yang sama dengan satu langkah (pace) dan 1.0 langkah yang sama dengan 1 mil. Adapun 1 mil Romawi panjangnya cukup dekat dengan satu mil Inggris yang digunakan saat ini. Sistem Romawi kemudian banyak diadopsi dengan variasi lokal, ke seluruh Eropa sebagai penyebaran Kekaisaran Romawi. Pada awal abad ke-13, kerajaan Inggris mengeluarkan peraturan mengenai satuan berat dan satuan panjang. Dalam peraturan tersebut diberikan definisi yang jelas tentang ukuran yang resmi digunakan di wilayah Britania Raya. Peraturan tersebut kemudian dikenal dengan The Magna Charta (1215). Selanjutnya pada masa pemerintahan King Edward I dikenal satuan inchi yang panjangnya sama dengan tiga buah biji jagung yang disusun berjajar. keberagaman sistem satuan tersebut tidak hanya terjadi antar negara saja, tetapi juga didalam satu negara. Contohnya adalah Negara Perancis yang memiliki lebih dari 250.000 satuan yang berbeda. Diderot dan d'Alembert dalam Encyclopédie mereka sangat menyesali keragaman ukuran tersebut, tetapi tidak melihat solusi yang dapat diterima untuk masalah tersebut. Oleh karena peradaban dan budaya manusia yang makin berkembang dan meluas dan adanya hubungan antar masyarakat di seluruh dunia, maka dibutuhkan saling tukar informasi, teknologi, jasa dan perdagangan antar wilayah, sehingga kebutuhan keseragaman satuan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kemudian beberapa ilmuwan Perancis telah mengusulkan sistem ukuran yang seragam setidaknya 100 tahun sebelum Revolusi Perancis. Pemerintah Perancis menyampaikan kepada akademik Ilmu pengetahuan Perancis untuk menggantikan semua sistem yang telah ada. Pada mulanya satuan-satuan pengukuran hanya dinyatakan dengan perasaan atau organ tubuh manusia, seperti depah atau langkah kaki. Namun kemudian sistem tersebut digantikan dengan sistem satuan internasional. Sistem satuan internasoinal yang diusulkan akademik perancis tersebut meliputi: ●

Sebagai dasar pertama, para ilmuwan Perancis memutuskan bahwa semua (system yang umum (universal) dari berat dan ukuran tidak harus bergantung pada standar- standar acuan (referensi) yang dibuat oleh manusia, tetapi sebaliknya didasarkan pada ukuran – ukuran permanen yang diberikan oleh alam.

Sebagai dasar kedua, mereka memutuskan bahwa semua satuan-satuan lainnya akan dijabarkan (diturunkan) dari ketiga satuan dasar yang telah disebutkan tersebut yaitu panjang, massa dan waktu.

prinsip ketiga, mereka mengusulkan bahwa semua pengalian dan tambahan dari satuan-satuan dasar adalah dalam system decimal, dan mereka merancang system awalan-awalan yang kemudian digunakan sampai sekarang.

Pada tahun 1795 usulan akademik Perancis ini dikabulkan dan diperkenalkan sebagai system satuan metrik. System metrik ini tersebar kemana-mana dan akhirnya pada tahun 1875, tujuh belas Negara menandatangani apa yang disebut perjanjian meter (metre convention) yang membuat system satuan-satuan metrik menjadi system yang resmi. Walaupun Inggris dan Amerika Serikat termasuk yang menandatangani 45


AR 4151 –Arsitektur 2016

perjanjian tersebut, mereka hanya mengakuinya secara resmi dalam transaksitransaksi internasional, tetapi tidak menggunakan system metric tersebut untuk pemakaian di dalam negara mereka sendiri. Sistem-sistem satuan diatas dapat dikelompokan kedalam satuan baku dan non baku. Satuan tidak baku adalah satuan yang tidak ditetapkan sebagai satuan pengukuran secara umum atau secara ilmiah, karena pengukuran ini tidak dapat dinyatakan dengan jelas atau tidak dapat digunakan untuk memeriksa ketepatan suatu instrument seperti jengkal, hasta dan lainnya Satuan baku adalah satuan yang ditetapkan sebagai satuan pengukuran secara umum (internasional) karena pengukuran dengan satuan baku dapat dinyatakan dengan jelas dan dapat dipakai untuk memeriksa ketepatan suatu instrument seperti satuan metrik. Satuan metrik ini menjadi satuan yang diakui secara internasional dan membantu masyarakat dalam berbagai bidang seperrti perkembangan ilmu pengetahuan, industri maupun kegiatan ekonomi dan transaksi perdagangan. 2.3.

KEN

Ken merupakan unit ukuran panjang jepang yang dimulai pada awal abad ke-6, ketika ibukota kekaisaran didirikan di kota Nara. (Harada, 1985:48) Ken setara dengan 6 kaki (shaku). Nilai ukuran ken berubah dari waktu ke waktu dan disesuaikan oleh lokasi. Umumnya ukuran ken hampir setara dengan 2 meter atau 6 sampai 7 ft.Saat ini ukuran ken sudah terstandarisasi yaitu 1 9/11 m. Walaupun saat ini terdapat ukuran metric yang dipakai diberbagai negara. Ken tetap menjadi dasar ukuran tradisional yang digunakan orang jepang. Ken digunakan sebagai ukuran proporsi yang menyatakan satu jarak trave atau interval antara dua kolom bangunan. Nilai panjang ken juga dapat berbeda beda dari satu bangunan dengan bangunan lainnya. Namun ketika di masukan kedalam sebuah modul struktur nilai nya selalu konstan. Sebagai contoh . ukuran 1x1 ken Kasuga Taisha's tiny honden's sama dengan 1.9 x 2.6 m 2.4.

SEJARAH MODULAR

Sebelum manusia mengenal sistem ukuran, dalam menentukan ukuran sebuah bangunan digunakan bagian-bagian tubuh dari manusia. Dengan begitu penghuni merasa nyaman ketika menggunakannya (antropometri). Pengukuran ini kemudian dikembangkan oleh Vitruvius. Le Corbusier mengembangkan teori modular Vitruvian dalam menemukan proporsi matematika pada tubuh manusia dan menerapkan pengetahuan tersebut kedalam fungsi arsitektur maupun fasad bangunan. Teori tersebut didasarkan pada matematika (dimensi estetika pada golden section dan angka Fibonacci) dan proporsi tubuh manusia (dimensi fungsional). Modular manusia adalah 183 cm (6feet) tinggi badan dan 226 cm (sekitar 7 feet) apabila lengannya diangkat lurus ke atas. Tinggi pusar ialah 113 cm (27 feet), ukuran tersebut sama dengan setengah tinggi lengan yang diangkat. Ketinggian total (kaki ke lengan mengangkat) juga dibagi dalam golden ratio (ke 140 cm dan 86 cm) pada tingkat pergelangan tangan dari lengan bawah menggantung. Kedua rasio tersebut dibagi lagi menjadi dimensi yang lebih kecil sesuai seri fibonacci. Le Corbusier menggambarkannya sebagai batas pengukuran yang harmonis sessuai dengan skala manusia, berlaku universal untuk arsitektur dan hal-hal mekanik.

46


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 1. Proposi Manusia (Sumber: kompasiana.com)

Gambar 2. Proposi Modular Manusia (Sumber: kompasiana.com)

Terdapat beberapa karakteristik dari sistem modular •

Menginginkan karya arsitektur yang berguna dan dapat diterapkan secara universal

Menghasluskan dan menyederhanakan desain, meniadakan ornamen

Menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (ukuran bentuk dalam suatubangunan tidak berbeda-beda)

Suatu karya harus dapat menyelesaikan masalah

Menggubakan sistem ukuran berdasarkan tubuh manusia, yang kemudian dijadikan proporsi

Teknik dan seni dikerjakan pararel

Bentuk harus menampilkan potensi konstruksi dan estetika

Dalam pelaksanaan pembangunan masa kini, sistem modular memanfaatkan material atau komponen fabrikasi yang di buat di luar lokasi proyek. Sebuah konstruksi modular lebih mengacu kepada volumetrik sebuah ruang, bukan sebagai bagian ruang seperti tembok, atap, atau lantai, namun sebagai sebuah kesatuan ruang. Sebuah modular ratarata telah diselesaikan 60%-90% di luar site yaitu di dalam pabrik kemudian di transportasikan dan dirakit di dalam site sebuah proyek (Velamati, 2012). Elemen-elemen arsitektur seperti plafon, ubin, jendela, pintu dan lain-lain dibuat secara massal di dalam pabrik sehingga memiliki ukuran dan proporsi standar yang dikenakan oleh para produsen perorangan maupun standar-standar industri. Elemenelemen ini kemudian disusun secara bermodul untuk memudahkan bongkar-pasang. Ruang yang akan terbentuk merupakan gabungan dari beberapa susunan modul yang terbagi atas modul panel dinding, modul floor tile, floor carpet tile synthesis, metal siding, metal sunshade, plywood panel, dan cork tackboard. Modul-modul ini telah di set pada ukuran tertentu secara fabrikasi sehingga dapat dirangkai dengan mudah di lapangan tanpa adanya modifikasi dimensi. Keunggulan lainnya dari sistem ini, tidak 47


AR 4151 –Arsitektur 2016

ada lagi limbah material dari proses konstruksi karena modul-modul yang sudah terukur dari awal.

Gambar 3. Sistem Modul Bahan (Sumber:

3. 3.1.

http://openwalls.com/image?id=49815)

STUDI KASUS TATAMI

Tatami adalah alas sejenis tikar yang digunakan sebagai material untuk lantai di ruangan tradisional Jepang. Inti dari tatami tradisional dibuat dari jerami, sedangkan inti dari tatami pada masa kini kadang terbuat dari MDF atau polystyrene foam. Inti dari tatami ini dilapisi dengan anyaman bambu. Ukuran standar dari tatami memiliki perbandingan 2:1 untuk panjang:lebar. Pada bagian yang panjang, tatami memiliki tepian dari kain. Awalnya, tatami diperuntukkan untuk kaum bangsawan. Pada masa Heian, tatami digunakan sebagai alas duduk para bangsawan sedangkan alas lantainya terbuat dari kayu. Tatami mulai digunakan di keseluruhan ruangan pada masa Muromachi. Penyusunan tatami di dalam ruangan menyesuaikan dengan posisi duduk dan etika di ruangan tersebut. Tatami mulai tersebar ke rumah rakyat biasa pada akhir abad 17. Ruangan yang menggunakan tatami disebut washitsu. (Tatami, November 5, 2016)

48


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 4. Washitsu (Sumber:

http://openwalls.com/image?id=49815)

Ukuran tatami awalnya berbeda, sesuai dengan daerahnya masing-masing. Di Kyoto, tatami memiliki ukuran 1.91 m x 0.955 m dan disebut dengan tatami KyĹ?ma. Tatami Ainoma, di Nagoya, memiliki ukuran 1.82 m x 0.91 m. Sedangkan di Tokyo, tatami dengan sebutan tatami Edoma memiliki ukuran 1.76 m x 0.88 m. Tebal tatami biasanya berkisar 5-6 cm. Pada masa sekarang, ukuran tatami yang paling banyak digunakan adalah tatami Nagoya. Ukuran umum ruangan yang menggunakan tatami adalah 4 ½ tatami atau 2.73 m x 2.73 m, 6 tatami atau 2.73 m x 3.64 m, dan 8 tatami atau 3.64 m x 3.64 m. (Tatami, November 5, 2016)

Gambar 5. Contoh Penyusunan Tatami (Sumber:

http://www.tatami.com.my/prod01.htm)

Karena tatami awalnya berasal dari ken yang merupakan sebuah sistem ukuran, proporsi tatami secara fleksibel dapat digunakan sebagai modul lain selain modul lantai.

3.1.1.

THE KATSURA RIKYU VILLA

Salah satu contoh bangunan yang menggunakan tatami untuk alas lantainya adalah Katsura Rikyu Villa. Katsura Rikyu Villa memiliki eksterior bangunan tradisional Jepang pada umumnya dengan pintu geser dan material kayu. Interior bangunannya menggunakan tatami di keseluruhan ruangannya. Katsura Rikyu Villa adalah villa yang dibangun pada abad ke-17 dengan taman dan pendopo di pinggir barat Kyoto. Villa ini adalah salah satu peninggalan sejarah Jepang yang berskala besar. Arsitekturnya dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar dari arsitektur Jepang. Di dalamnya, terdapat shoin (ruang gambar), kamar teh, dan taman untuk berjalan-jalan. Katsura Rikyu Villa dimiliki oleh para pangeran dari keluarga HachijĹ?-no-miya. (Katsura Imperial Villa, November 13, 2016)

49


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 6. Eksterior dan Taman Katsura Rikyu Villa (Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Katsura_Imperial_Villa)

Gambar 7. Salah Satu Interior Katsura Rikyu Villa (Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Katsura_Imperial_Villa)

50


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 8. Denah Keseluruhan Katsura Rikyu Villa (Dengan Penataan Tataminya) (Sumber:

http://www.orientalarchitecture.com/sid/206/japan/kyoto/katsura-imperial-villa)

51


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.1.3.

KENRAK TOKMOTO’S INARI HOUSE

Kenrak Tokmoto’s Inari House adalah contoh bangunan modern Jepang dengan material beton yang menggunakan tatami sebagai acuan untuk proporsi luas ruangan di dalamnya. Pada umumnya, bangunan modern Jepang tidak menggunakan proporsi ukuran tatami di seluruh ruangannya, hanya beberapa ruangan saja.

Gambar 9. Kenrak Tokmoto’s Inari House (Sumber: https://www.dezeen.com/2016/03/25/kenrak-tokmoto-architectures-room-inari-house-tatami-mats-grid-niigatajapan/)

Inari House didesain oleh Tokmoto Architectures Room dengan ukuran 87 m2. Rumah ini hanya memiliki 1 lantai yang dielevasi untuk membentuk ‘kolong’ yang digunakan sebagai parkir mobil. Ruangan di dalam rumah ini dibagi menjadi 13 ruangan dengan luas yang sama dan salah satunya difungsikan sebagai balkon. (Frearson, Maret 25, 2016)

Gambar 10. Denah Inari House (Sumber: https://www.dezeen.com/2016/03/25/kenrak-tokmoto-architectures-room-inari-house-tatami-mats-grid-niigatajapan/)

52


AR 4151 –Arsitektur 2016

Setiap ruangan ini memiliki luas yang cukup untuk 4 ½ tatami, seukuran ruang teh tradisional. Namun, ruangan yang benar-benar menggunakan tatami sebagai alas lantai hanya 4 ruangan di tengah bangunan yang berfungsi sebagai lorong dan tempat berkumpul keluarga. Tatami yang digunakan adalah ¾ tatami sejumlah 6 buah untuk tiap ruangannya. (Frearson, Maret 25, 2016)

Gambar 11. Lorong Tatami (Sumber: https://www.dezeen.com/2016/03/25/kenrak-tokmoto-architectures-room-inari-house-tatami-mats-grid-niigatajapan/)

3.1.4.

RIKEN YAMAMOTO’S ALUMUNIUM HOUSE

Riken Yamamoto‘s Alumunium House, sesuai dengan namanya, dibuat dari alumunium dengan ukuran 7.3 m x 7.3 m oleh Riken Yamamoto. Fasad bangunan ini terinspirasi dari proporsi tatami. (Zaki, Februari 6, 2009)

Gambar 12. Fasad Riken Yamamoto’s Alumunium House (Sumber:

http://inhabitat.com/prefab-friday-riken-yamamoto-ecoms-house/#more-19086)

53


AR 4151 –Arsitektur 2016

Gambar 13. Eksterior Riken Yamamoto’s Alumunium House (Sumber:

3.2.

http://inhabitat.com/prefab-friday-riken-yamamoto-ecoms-house/#more-19086)

ASTA KOSALA KOSALI

Awalnya, Asta Kosala Kosali dibuat sebagai pedoman dalam membuat Pura di Bali. Namun kehidupan masyarakat Bali, utamanya penganut Hindu, tidak bisa dilepaskan dari aktivitas di Pura. Bahkan di rumahpun ada Pura keluarga yang disebut “Pemerajan” atau “Sanggah”, minimal Sanggah Kemulan. Oleh sebab itu, Asta Kosala Kosali kemudian dijadikan acuan dasar dalam setiap membangun apapun di Bali, termasuk pengaturan atau Tata Kota dan Wilayah. Salah satu contoh penerapan Asta Kosala Kosali yang sering dirujuk adalah Desa Pengelipuran Bangli. Mislanya: Pura-Pura dibangun di wilayah ‘keluan’ (hulu) desa, sedangkan rumah penduduk di bangun di wilayah madya (tengah-tengah) desa, dan kuburan dibangun di wilayah ‘teben’ (hilir) desa. (Putra, 2013) Penataan Bangunan biasanya menggunakan anatomi tubuh manusia. Pengukuran didasarkan pada ukuran tubuh, tidak menggunakan meter. Jenis-jenis pengukurannya sebagai berikut:

Gambar 14. Sistem Pengukuran Asta Kosala Kosali (Sumber: inputbali.com)

Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas)

Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)

Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan). (Input Bali, Mei 7, 2015) 54


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.2.1.

RUMAH TRADISIONAL BALI

Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah: 1. Orientasi kosmologi/sanga mandala Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu: •

Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)

Sumbu ritual: Kangin (terbitnya matahari) dan Kauh (terbenamnya matahari)

Sumbu natural: Gunung dan laut

2. Hirarki ruang/tri angga Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali. •

Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.

Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.

Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

3.

Dimensi tradisional bali

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah: Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. (Goesty, Desember 18, 2010) Dalam mendesain menggunakan asta kosala kosali, diperlukan perantara undagi. Undagi adalah sebutan bagi arsitek tradisional Bali. Seorang undagi tidak hanya membekali dirinya dengan ilmu rancang bangun, namun juga harus mempelajari serta memahami seni, budaya, adat, dan agama. Hal tersebut wajib dikuasai oleh seorang undagi agar dalam proses perancangan dan penciptaan karya bangunan selaras dan sejalan dengan konsep Asta Kosala Kosali. (Goesty, Desember 18, 2010)

Gambar 15. Contoh Penataan Rumah Tradisional Bali (Sumber: sutrawidanta.wordpress.com)

55


AR 4151 –Arsitektur 2016

3.2.2.

RUMAH MODERN BALI

Bali kini menjadi tempat bermukimnya aneka suku, ras, dan bangsa, termasuk agama. Percampuran dan perkembangan masyarakat Bali berakibat pada berbagai perubahan yang akhirnya menyentuh lingkungan arsitektur. Salah satunya adalah arsitektur rumah di Bali yang sedang menjamur saat ini yaitu rumah-rumah bergaya modern minimalis yang banyak diminati masyarakat Bali. gaya rumah modern tersebut kondisinya sudah terlepas dari nilai asta kosala kosali dan cenderung mengedepankan fungsionalitasnya. ruang ruang di dalam rumah tidak lagi terpisah sesuai zonasi pada sistem tri angga. Dalam mendesain rumah modern, ritual asta kosala kosali dan perantara seorang undagi sudah ditinggalkan. Ukuran-ukuran elemen bangunan seperti kolom dan pintu tidak lagi menggunakan ukuran anatomi manusia/penghuninya tetapi menggunakan ukuran meter yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya.

Gambar 16. Rumah Modern Bali (Sumber: Google Street Map)

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

Berdasarkan pembahasan di atas, diketahui sistem pengukuran tradisional di Indonesia sudah mulai ditinggalkan masyarakatnya. Berbeda dengan Jepang yang berhasil mempertahankan tatami sebagai sistem ukuran tradisional ke dalam ukuran universal Jepang. Dari studi banding perkembangan penggunaan sistem pengukuran asta kosala kosali di dalam arsitektur Bali dengan sistem pengukuran tatami di Jepang, dapat dianalisis penyebab perbedaan perkembangan tersebut terjadi. Penyebab utama tatami masih bisa dipertahankan adalah kemampuan Jepang menyesuaikan sistem pengukurannya dengan kebutuhan masa kini. Pada awalnya, Jepang menggunakan sistem pengukuran ken, dimana pengukurannya didasarkan dengan ukuran manusia. Sistem pengukuran ini membuat bangunan menjadi nyaman karena sesuai dengan antropometri. Namun, dalam prakteknya, sistem pengukuran ken menyulitkan pengurus aset kerajaan untuk menghitung nilai sebuah bangunan. Maka dari itu, sistem ken diubah ke dalam sebuah sistem yang dapat diterapkan secara universal di Jepang, yaitu sistem modul. Salah satu bentuknya adalah tatami. Selain memudahkan perancangan bangunan di setiap daerah, tatami juga memudahkan dalam penghitungan nilai bangunan, tanpa meninggalkan tradisi pengukuran yang sesuai dengan antropometri. Selain itu, karena berbentuk modul, proporsi tatami juga dapat diterapkan pada perancangan fasad bangunan modern Jepang.

56


AR 4151 –Arsitektur 2016

Munculnya masa industrialisasi adalah salah satu penyebab modul bahan yang diproduksi secara massal menjadi tren. Sehingga sistem pengukuran ken yang ditransformasikan menjadi modul bahan, yaitu tatami, dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu. Berbeda dengan tatami, asta kosala kosali tidak berhasil mempertahankan tradisinya karena basis pengukuran ini berpatokan kepada ukuran penghuninya. Hal ini menandakan bahwa sistem ini akan menghasilkan ukuran yang khusus sesuai dengan pemilik bangunan. Sistemnya terlalu kompleks dan tidak bisa diubah ke dalam tren modul yang banyak digunakan saat ini. Bentuknya yang bukan merupakan sesuatu yang konkrit menyulitkan dalam pengaplikasiannya secara universal. Sistem modul juga memudahkan dalam efisiensi membangun. Ini juga menjadi penyebab hilangnya asta kosala kosali. Dengan semakin tingginya tuntutan kebutuhan akan bangunan dalam waktu singkat, membuat asta kosala kosali sulit memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan sistem modul, mampu diberlakukan secara berulang dengan cepat dan efisien. 5.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa, asta kosala kosali sebagai salah satu sistem pengukuran tradisional Indonesia mulai dilupakan masyarakatnya karena sifatnya yang kompleks dan bentuknya yang tidak konkrit. Sistem pengukurannya yang spesifik membuatnya tidak bisa diuniversalkan. Sehingga sistem asta kosala kosali sulit memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan yang banyak, cepat dan efisien. Berbeda dengan tatami yang menjadi sistem pengukuran bangunan Jepang. Tatami tetap banyak diminati masyarakat nya karena bentuknya yang berupa modul bahan sehingga dapat di universalkan dan mengadaptasi tuntutan kebutuhan pembangunan yang banyak, cepat dan efisien. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Yani, Ahmad. (2011). Sejarah Perkembangan Standar Satuan Internasional. Fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas negeri makasar, makasar Widya A Yusmaniar. 2009, Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta. Jurusan arsitektur fakultas teknik Universitas Sebelas Maret: Surakarta. Ken. (2015, Januari 11). Diakses pada 8 Desember 2016 dari https://en.wikipedia.org/wiki/Ken_(unit) properti rumah. (2013). Kumpulan Desain Arsitektur Rumah Bali untuk Rumah Hunian. Diakses pada 8 Desember 2016 dari http://www.iderumahbaru.com/2013/11/rumah-bali.html Modular Design (2016, November 6). https://en.wikipedia.org/wiki/Modular_design

Diakses

pada

6

Desember

2016

dari

Tatami. (2016, November 5). Diakses pada 8 Desember 2016 dari https://en.wikipedia.org/wiki/Tatami Katsura Imperial Villa. (2016, November 13). https://en.wikipedia.org/wiki/Katsura_Imperial_Villa

Diakses

pada

8

Desember

2016

dari

Frearson, Amy. (2016, Maret 25). Tatami Mats Create Gridded Layout for Kenrak Tokmoto’s Inari House. Diakses pada 8 Desember 2016 dari https://www.dezeen.com/2016/03/25/kenrak-tokmoto-architectures-room-inarihouse-tatami-mats-grid-niigata-japan/ Zaki, Haily. (2009, Februari 6). PREFAB FRIDAY: Riken Yamamoto’s Ecoms House. Diakses pada 8 Desember dari http://inhabitat.com/prefab-friday-riken-yamamoto-ecoms-house/ Putra, Gusti. (2013). Mengenal Asta Kosala Kosali: Tata Ruang dan Bangunan Bali. Diakses pada 29 November 2016 dari http://popbali.com/mengenal-asta-kosala-kosali-tata-ruang-dan-bangunan-bali/

57


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Input Bali. (2015, Mei 7). Asta Kosala Kosali, Fengshui Tata Ruang & Bangunan Bali. Diakses pada 29 November 2016 dari https://inputbali.com/budaya-bali/asta-kosala-kosali-fengshui-tata-ruangbangunan-bali Goesty.

(2010,

Desember

18).

Arsitektur

Bali.

Diakses

pada

29

November

2016

dari

https://sutrawidanta.wordpress.com/2010/12/18/arsitektur-bali/ Wibowo, Mariana dan Aprimavista, Poela Art. Terapan Konsep Bangunan Tradisional Bali pada Objek Rancang-Bangun Karya Popo Danes. Fakultas Seni dan Desain - Program Studi Desain Interior, Universitas Kristen Petra: Surakarta.

58


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

59


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ASPEK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PENGGUNAAN PRE-FABRIKASI MATERIAL KAYU PADA BANGUNAN BERTINGKAT Jovita LIYONIS(1), Aysha NURSHABIRA(2), dan Ike LARASAYU(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)jliyonis@gmail.com; (2)ayshaiueo@gmail.com; (3)larasike@gmail.com

ABSTRAK Aspects of sustainable development, put forward as a solution for human and environment health problems in daily life are also being researched in the architectural field as other disciplines. Development of design and application methods for high rise buildings in accordance with principles of sustainable architecture has a great importance since they have a bigger amount of environmental charge due to their scale and the intense user population regarding the phases of construction, use and deconstruction. Architectural discipline, without giving any harms to natural environment via the facts, begins to lead the ecological and sustainable approaches that responds the needs of humanity. In this area high-rise building known as a most energy-consuming building type, during the construction and lifetime of high-rise buildings, they have most energy consumption and environmental pollution, which is unacceptable. Though the concept of prefabricated timber is not new, this type of construction may be the only hope in obtaining a truly sustainable architecture for the future. In this context, this study area in sustainable concept includes case study of Stadthaus Apartment, Murray Groove, as an example of high-rise buildings in London, UK, and analyze the system of timber prefabrication in supporting sustainable development, in this high-rise building example. Kata Kunci: Sustainability, High-rise Buildings, Timber Prefabrication, Case Study

1.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Fenomena bangunan tinggi berkembang di hampir seluruh negara. Harga tanah yang semakin tinggi serta ketersediaan tanah yang semakin kecil menjadikan bangunan tinggi sebagai solusi dalam menjawab tuntutan ekonomi dan kebutuhan ruang yang semakin mendesak. Oleh karena itu keberadaan bangunan tinggi tidak dapat dihindari, bahkan akan semakin berkembang pesat di masa depan. Namun, di sisi lain bangunan tinggi memiliki dampak yang sangat vital terhadap lingkungan sekitar, termasuk menyumbang efek urban heat island, menghalangi akses cahaya dan angin daerah sekitarnya, serta konsumsi energi yang sangat besar. Dengan menyadari dampak yang ditimbulkan bangunan tinggi, maka aspek pembangunan berkelanjutan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi untuk mengurangi dampak-dampak tersebut. Pre-fabrikasi menjadi salah satu solusi terbaik untuk mendukung aspek pembangunan berkelanjutan pada bangunan tingkat tinggi. Hal ini dikarenakan efisiensi energi dan biaya yang tentunya akan berbeda jauh apabila tidak menggunakan sistem prefabfrikasi. Prefabrikasi menggunakan bahan kayu bukanlah suatu ide yang baru. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, prefabrikasi kayu dirasa dapat menjadi salah satu penghubung kuat antara keberlanjutan dan prefabrikasi.

60


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas muncul tiga persoalan sebagai berikut. • • •

Bagaimana sistem pre-fabrikasi diterapkan pada bangunan tingkat tinggi. Bagaimana menerapkan aspek pembangunan keberlanjutan pada bangunan tingkat tinggi melalui pre-fabrikasi. Bagaimana penggunaan sistem pre-fabrikasi pada bangunan tingkat tinggi memengaruhi fleksibilitas komponen.

1.3.

Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan ini adalah menganalisis bagaimana menerapkan aspek pembangunan berkelanjutan pada bangunan bertingkat melalui sistem pre-fabrikasi kayu.

1.4.

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada tulisan ini adalah dengan studi literatur mengenai aspek pembangunan berkelanjutan dan sistem pre-fabrikasi pada bangunan bertingkat. Selain itu dilakukan pula studi analisis bangunan bertingkat yang sudah ada.

2.

KAJIAN TEORI

2.1.

Aspek Pembangunan Berkelanjutan pada Bangunan Tingkat Tinggi

Bangunan tinggi yang tujuannya untuk mengatasi keterbatasan lahan dan pengurangan penutupan permukaan tanah karena bangunan memiliki dampak besar bagi lingkungan sekitarnya. Menanggapi hal tersebut, maka pentingnya aspek pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan pembangunannya. Proses berkelanjutan meliputi keseluruhan siklus masa suatu bangunan mulai dari proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan. Desain Ramah Lingkungan sebagai Solusi Menanggapi berbagai permasalahan bangunan tinggi, maka desain harus disertai kesadaran ramah lingkungan. Tidak hanya mementingkan kenyamanan dalam ruangan saja, tapi juga bagaimana dampaknya ke lingkungan. Lebih bagus lagi jika bisa memanfaatkan sifat dan perilaku lingkungan untuk menciptakan energi alternatif agar energi bangunan lebih hemat, misalnya memanfaatkan energi solar, angin, atau air. Konfigurasi Antar Bangunan yang “Terukur” Bangunan tinggi yang tujuannya untuk mengatasi keterbatasan lahan dan pengurangan penutupan permukaan tanah dengan bangunan harus benar-benar mampu mempertahankan bahkan menciptakan ruang terbuka baru. Bangunan tinggi dan besar memiliki dampak besar bagi lingkungan sekitarnya. Bangunan tinggi harus tetap berperan bagi lingkungan disekitarnya terutama lingkungan dengan ketinggian berlevel rendah (low rise) atau lingkungan terbuka di sekitarnya. Pengaruh yang dimunculkan salah satunya adalah ventilasi kawasan yang akan mempengaruhi kenyamanan termal di sekitarnya. Dimensi, jarak antar bangunan, dan posisi bangunan memiliki pengaruh terhadap kondisi termal lingkungan. Bentuk, Orientasi, dan Material Bangunan Bentuk dan orientasi bangunan sangat mempengaruhi pola pergerakan udara di lingkungannya.Bentuk yang dimaksud meliputi ketinggian, lebar, bentuk, dan denah bangunan. Orientasi bangunan adalah bagaimana mengatur arah hadap bangunan untuk menyesuaikan arah datangnya angin dan menentukan efek pergerakan udara yang diterima bangunan maupun ruang luar.

61


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Orientasi bangunan berpengaruh pada temperatur udara kawasan sehingga aspek tersebut harus diperhatikan dalam proses penataan kawasan. Namun pengendalian temperatur udara kawasan tidak hanya dipengaruhi oleh orientasi bangunan saja, tetapi juga oleh bahan penyusun dinding yang berperan sebagai penerima dan penyimpan kalor. Penataan penggunaan bahan bangunan dapat membantu mengoptimalkan penataan orientasi yang kurang baik. Penghalang Cahaya Matahari / Sun Shading Perancangan bangunan yang memanfaatkan pembayangan untuk penghematan energi merupakan hal penting bagi bangunan di iklim tropis seperti Indonesia. Mengintegrasikan pembayangan dalam desain keseluruhan dapat dilakukan melalui bentuk massa bangunan, fasad bangunan, dll. Pemanfaatan Angin dengan Wind Turbin Salah satu keuntungan bangunan tinggi dapat memanfaatkan angin sebagai energi alternatif dengan memaksimalkan desain bentuk bangunan yang dapat menangkap angin yang menghantam bangunan dengan menggunakan wind turbin. 2.2.

Sistem Pre-Fabrikasi pada Bangunan

Sistem prefabrikasi adalah metode konstruksi yang mampu menjawab kebutuhan di era ini. Sistem ini sangat baik untuk diaplikasikan pada pembangunan yang membutuhkan komponen dalam jumlah yang besar. Sistem ini memiliki tujuan untuk memproduksi komponen bangunan secara massal dengan harga yang cenderung murah dan memiliki kualitas yang terkontrol. Prefabrikasi terdiri dari kata ‘fabricate’, yang berarti menyediakan material menurut proses manufaktur dengan dimensi yang spesifik. Pada prakteknya sistem ini melakukan manufaktur komponen di tempat khusus, lalu dibawa ke lokasi untuk disusun menjadi suatu struktur utuh. Teknik fabrikasi dapat digunakan beragam aplikasi konstruksi mulai dari direksi kit hingga bangunan-bangunan besar. Pengertian prefabrikasi menurut Habraken (1972) adalah tidak lebih daripada pembuatan komponen-komponen di suatu tempat dan memasangnya di tempat lain, dan bukan berarti diproduksi dengan mesin. Prefabrikasi tidak selalu untuk mempercepat produksi atau mengurangi biaya. Keberhasilan sistem ini bergantung pada kombinasi dari faktor-faktor lokal, ekonomi, dan tenaga kerja setempat. Pada awalnya, sistem ini diciptakan agar pekerjaan dapat dikerjakan secara lebih cepat dan mudah di tempat lain dibandingkan dikerjakan di site. Sistem prefabrikasi jaman modern berawal dari negara-negara Eropa. Struktur prefabrikasi pertama kali digunakan adalah sebagai balok beton prefabrikasi untuk Casino di Biarritz, yang dibangun oleh kontraktor Coignet, Paris 1891. Pondasi beton bertulang diperkenalkan oleh sebuah perusahaan Jerman, Wayss, & Freytag di Hamburg dan mulai digunakan tahun 1906. Pada tahun 1912 beberapa bangunan bertingkat menggunakan sistem pracetak berbentuk komponen-komponen, seperti dinding, kolom, dan lantai diperkenalkan oleh John.E.Conzelmann. Pada pembangunan struktur dengan bahan beton dikenal 3 (tiga) metode pembangunan yang umum dilakukan, yaitu sistem konvensional, sistem formwork, dan sistem prafabrikasi. Pada sistem prefabrikasi, komponen bangunan difabrikasi lalu dipasang di lapangan. Proses pembuatan komponen dapat dilakukan dengan kontol kualitas yang baik. Sistem prefabrikasi telah banyak diaplikasikan di Indonesia. Sistem prefabrikasi yang berbentuk komponen, seperti tiang pancang, balok jembatan, kolom plat pantai. Metoda konstruksi yang memakai komponen prefabrikasi disebut konstruksi prefabrikasi. Ciri-ciri dari konstruksi prefabrikasi adalah: a. Dibatasi oleh proses handling dan transportasi 62


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

b. Komponen yang telah dimanufaktur, harus dirakit dengan presisi c. Komponen prefabrikasi harus terdiri dari berbagai finishing, surfacing, pintu, dan jendela Menggunakan konstruksi prefabrikasi memiliki berbagai keuntungan. Keuntungan tersebut dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu: a. Implikasi Biaya Proses pembuatan komponen bangunan di luar lokasi dapat menurunkan resiko terjadinya perkerjaan yang rumit di lapangan. Penghematan biaya yang dihasilkan dari setiap tingkatan suplai cukup signifikan. b. Pengendalian Waktu Menggunakan sistem prefabrikasi dapat mengurangi masa konstruksi. Prefabrikasi dapat mengurangi hambatan dan halangan yang terjadi selama masa konstruksi. Sehingga dapat membantu mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk pemasangan dan penyelesaian bangunan. c. Site Management Prefabrikasi dapat meningkatkan aktivitas di lapangan dan manajemen lapangan, karena buruh yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Masalah yang terhubung dengan pekerjaan pada site dapat dikurangi atau dihilangkan. d. Pengawasan Kualitas Dengan dibangun di pabrik, maka kualitas dan workmanship dapat diuji terlebih dahulu sehingga kualitasnya lebih dapat terjamin. Pemilihan sistem prefabrikasi bergantung pada penggunaan komponen atau unit prefabrikasi, ukuran material, dan teknik yang digunakan untuk membuatnya. Secara umum sistem prefabrikasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sistem prefabrikasi terbuka, sistem prefabrikasi tertutup, dan sistem prefabrikasi panel besar. 2.3.

Sistem Pre-Fabrikasi Material Kayu Berikut adalah beberapa sistem pre-fabrikasi dengan menggunakan material kayu. Pre-cut System

Sistem pre-cut adalah sistem tertua prefabrikasi dengan otongan kayu diproses, dipotong dengan panjang sesuai kebutuhan, dilekuk atau dibor di pabrik. Kemudian potongan tersebut ditandai dan diangkut ke lokasi untuk perakitan. Angkutan dari pre-cut kayu sederhana karena mereka dapat dibundel ke unit dan dikirim ke situs bangunan. Dibandingkan dengan metode konvensional pemotongan kayu di jatuh panjang di lokasi, sistem ini lebih akurat dalam pengukurannya dan pemborosan bahan diminimalkan. Sistem Panel Modular Di bawah sistem panel modular, komponen bangunan yang dibangun di pabrik oleh dua atau tiga orang tanpa menggunakan crane atau lifting lainnya perangkat. panel dinding dalam ukuran seragam menggunakan modul (M) sebagai unit pengukuran. Unit normal 'M' adalah 1,22 m (4 ft.) Panjang untuk menghitung dengan ukuran kebanyakan bahan cladding di Indonesia seperti kayu lapis, hardboard, chipboard dan papan semen. 2.4.

Penggunaan Sistem Pre-Fabrikasi yang Tidak Monoton Ide dasar dari Sistem Bangunan Industrialisasi/Industrialised Building System (IBS) atau prefabrikasi adalah untuk memindahkan beberapa bagian bangunan yang jauh dari lokasi pembangunan ke lahan manufaktur. Dalam konstruksi IBS, komponen bangunan di prefabrikasi di pabrik dan dikirim ke situs untuk diinstalasi. Pemerintah Malaysia telah 63


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

setuju untuk memperluas metode IBS di sektor konstruksi dengan disahkannya isi IBS Roadmap pada tahun 2003-2010. Salah satu tujuan utama dari roadmap ini adalah untuk memperkenalkan konsep Sistem Bangunan Terbuka /Open Building System (OBS) pada tahun 2010. OBS adalah pendekatan jangka panjang dan sistematis terhadap perkembangan positif dari industri bangunan. Pengenalan OBS tidak hanya akan merekayasa ulang proses konstruksi (supplychain, perdagangan, desain, dll) tapi akan mengubah cara melakukan bisnis dalam konstruksi. Hal ini memungkinkan keterbukaan dalam rantai pasokan IBS dimana pembangun dapat mengajukan tawaran untuk harga komponen yang lebih rendah. Ini mendorong partisipasi dari manufaktur dan perakit untuk memasuki pasar, sehingga menurunkan harga komponen IBS. OBS menciptakan bisnis baru dan mengembangkan perusahaan lebih kecil dan menengah yang mampu memproduksi komponen konstruksi. OBS juga memberikan nilai kepada pelanggan dengan menawarkan nilai estetis, pilihan praktis dan fleksibilitas untuk produk konstruksi pasar yang menguntungkan karena pemasok hanya akan termotivasi untuk berinvestasi dalam produk baru dan hasil inovasi jika mereka dapat meramalkan penjualan yang cukup. Teknologi lokal pada komponen IBS seperti dalam komponen ringan dan interlocking blocks dapat dimanfaatkan sepenuhnya. OBS memungkinkan pelanggan dan calon pembeli rumah untuk terlibat dalam desain, pemilihan melalui komponen bangunan pada awal proyek. Adopsi dari OBS akan sangat menguntungkan industri bangunan karena akan meningkatkan kapasitas produksi, kebutuhan tenaga kerja yang lebih rendah, mempersingkat waktu pembangunan, meningkatkan kualitas dan dalam jangka panjang menurunkan biaya bangunan secara keseluruhan. Definisi Open Building System dan Closed Building System Industrialisasi produksi material dan komponen tidak lebih dari rasionalisasi dan penggunaan koordinasi modular serta teknik perakitan pada teknologi tradisional. Pengecualiannya adalah pada pengelompokkan unit-unit yang telah diproduksi sebelumnya, didistribusikan secara terpisah, pemisahan sebagian besar produksi ke pabrik, dan penggunaan material baru. Pengklasifikasian sistem tersebut dimaksudkan untuk memberkan pemahaman terhadap substansi dan untuk kepentingan evaluasi. Dalam system building proses evaluasi. Dalam Building System proses evaluasi bergantung pada sejumlah besar parameter yang meliputi aspek struktural dan aspek lain, misalnya sifat arsitektural, proses industrialisasi yang digunakan, dan masalah transportasi dan aspek sosial ekonomi. Sistem Industrialisasi dapat pula diklasifikasikan menjadi dua yaitu 1. Sistem Indutrialisasi Tertutup (closed system) Sistem ini disebut juga model approach atau building system yaitu dimana standardisasi terjadi pada tahap akhir dari proses produksi, yaitu pada bangunannya. Tipologi pada skala bangunan didesain dan diproduksi hanya untuk itu saja. Sistem ini memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Bangunan dibangun dalam suatu sistem dimana bagian-bagian atau komponenkomponen sejenis tidak dapat saling dipertukarkan. b. Komponen-komponen bangunan diproduksi oleh satu produsen dengan mengambil inisiatif sendiri untuk melemparkan satu atau beberapa tipe bangunan ke pasar (industry sponsored system). 2. Sistem Indutrialisasi Terbuka (Open system) Yaitu suatu system dimana rangkaian proses produksi, komersialisasi dan kontruksi berasal dari beberapa industri independen, menggunakan komponen-kompoen bangunan yang dapat dirakit di lapangan tanpa masalah. Sistem ini cenderung dapat menghasilkan tipologi bangunan bangunan yang bervariasi. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: 64


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

a. Bangunan dibangun dalam suatu sistem, dimana bagian-bagian komponenkomponen sejenis dapat saling dipertukarkan, Karena itu dapat dirakit dalam konfigurasi dan menghasilkan banyak varian. b. Komponen-kompone bangunan dapat diproduksi oleh beberapa perusahaan dengan suatu sistem yang sama, sehingga tercipta pasaran terbuka. Diperlukan suatu normalisasi atau standardisasi harga. Keuntungan dari open system adalah kebebasan dalam melakukan penukaran komponen dari produksi dan teknologi yang berbeda. Kelemahan dari open system adalah: a. Bentuk dan dimensi komponen mempengaruhi hubungan desain b. Elemen dari sistem yang berbeda biarpun sudah mengikuti koordinasi modular tidak akan dapat disambung bila tidak menggunakan teknologi yang sama. Open Building System vs. Closed Building System Saat ini, masih banyak yang mendukung penggunaan Industrialised Building System (IBS) pada kategori Close Building System, dimana masing-masing produsen komponen memiliki sistem bangunan kepatutan mereka sendiri untuk diadopsi dalam pembangunan proyek. Sebuah sistem tertutup dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu produksi berdasarkan desain klien dan produksi berdasarkan desain pabrik. Kategori pertama dirancang untuk memenuhi kebutuhan spasial dari klien berupa ruang yang dibutuhkan untuk berbagai macam fungsi dalam bangunan serta desain arsitektur tertentu. Dalam hal ini, kebutuhan klien adalah hal yang terpenting dan produsen selalu dipaksa untuk menghasilkan komponen khusus untuk bangunan tertentu. Di sisi lain, produksi berdasarkan desain pabrik termasuk merancang dan memproduksi komponen bangunan yang seragam. Namun demikian, jenis penataan bangunan hanya dapat tergolong hemat secara ekonomi bila pada desain arsitektur ditemukan banyak elemen berulang (large repetitive). Sehubungan dengan ini, Closed System dapat mengatasi masalah kebutuhan elemen yang membludak dengan mengotomatisasi proses desain dan memproduksi permintaan dalam skala yang cukup besar untuk jenis bangunan seperti sekolah yang dapat diperoleh dengan cara massal. Dalam Open Building System (OBS), sebuah bangunan dapat menggunakan dua atau lebih sistem. Hal ini memungkinkan keterbukaan untuk menyeleksi pemasok komponen di mana semua orang bisa menawar untuk menghasilkan harga komponen yang lebih rendah. Produsen dan installer akan mencari model kerjasama yang akan menciptakan manfaat bagi kedua belah pihak. OBS juga memungkinkan prefabrikasi untuk menghasilkan sejumlah elemen dengan kisaran yang telah ditentukan dan pada saat yang sama juga mempertahankan nilai estetika arsitektur. Biaya komponen bangunan akan berkurang dalam jangka panjang karena banyak pilihan yang tersedia di pasar. Hal ini juga memungkinkan terjadinya aplikasi hybrid. 3.

STUDI KASUS BANGUNAN

3.1.

Bangunan Apartemen Stadthaus, Murray Groove di London, UK

Stadthaus adalah bangunan kayu modern kedua tertinggi di dunia dengan ketinggian sembilan lantai dan dirancang serta dibangun oleh Waugh Thisleton Architects. Bangunan ini dibangun menggunakan panel palang berlapis kayu berukuran besar yang digunakan dalam setiap aspek pembangunan termasuk inti bangunan, tangga dan shaft elevator. Sulit untuk membayangkan sebuah bangunan frame kayu dapat berdiri tanpa susunan cross-bracing. Tapi Waugh Thistleton berhasil mendirikan Murray Groove, bangunan multifamily di borough London Hackney. Bangunan ini berhasil dirancang menggunakan produk cross laminated timber (CLT) dari perusahaan bernama KLH, Bangunan ini dirakit menggunakan sistem unikstruktural yang dipelopori oleh KLH di 65


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Austria, menggunakan bilah-bilah kayu yang direkatkan dengan lem formaldehida bebas di bagian tegak lurus untuk membentuk panel. Keuntungan menggunakan CLT adalah kontribusi yang luar biasa untuk membuat konstruksi yang bersifat berkelanjutan. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan energi yang digunakan dalam konstruksi, mengurangi pelepasan panas/kalor selama pengerjaan dengan meningkatkan insulasi dan kekedapan udara, serta mudah dihancurkan dan di daur ulang kembali di kemudian hari. Sistem balok horisontal dan papan dinding struktural vertikal dibuat dari pohon cemara yang tumbuh di hutan yang dilestarkan. Dalam pembangunan Murray Grove, Waugh Thistleton menggunakan produk KLH untuk membuat matriks siku-siku dimana dinding struktural berbeda dalam penempatannya pada masing-masing lantai. Unit apartemen yang lebih besar terletak di lantai bawah dan unit apartemen yang lebih kecil di lantai atas, hal ini memungkinkan dinding struktural dapat ditempatkan untuk meminimalisir beban pada setiap individu balok kayu. Berkat integrasi cross-lamination material, beban dapat ditransfer baik secara vertikal dan horizontal tanpa cross-bracing. Dibutuhkan empat orang tukang kayu dan 27 hari untuk mendirikan panel-panel kayu. Keseluruhan bangunan itu selesai dalam waktu hanya 9 minggu. Ketika dibandingkan dengan bangunan baja identik dan beton, metode konstruksi prefabrikasi ini menawarkan pengurangan berat sampai 400%, 70% reduksi dalam pembuatan pondasi dan jangka waktu konstruksi yang relatif pendek, menyebabkan penghematan secara finansial serta membawa keuntungan bagi lingkungan.

Gambar 1. Cross Laminated Timber Panels (Sumber: KLH UK Slide)

Bangunan ini memiliki sembilan lantai dan merupakan pengembangan dari 29 apartemen. Lantai dasar merupakan bagian komersil, tiga lantai berikutnya merupakan bagian social housing, sedangkan lima lantai paling atas adalah perumahan yang bersifat privat atau pribadi. Desain dari bangunan ini adalah memiliki struktur honeycomb, memiliki denah yang berputar, serta menggunakan struktur load bearing walls, begitu pula dengan dinding dan lantainya.

Gambar 2. Denah Lantai yang Diputar 66


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 (Sumber: KLH UK Slide)

Melalui desain ini, Pickard mampu menampilkan suatu bangunan prefabrikasi yang sederhana tapi sangat elegan, tidak seperti dari tampilan ‘buatan mesin’ dan kesan ‘palsu’ yang sering timbul saat melihat bangunan prefabrikasi. Tampilan material warna kayu dan warna abu-abu metalik yang muncul dari terra-cotta serta screen alumunium pada balkon semakin menunjang kesan nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Selain itu, dengan adanya denah lantai yang diputar, bangunan ini menunjukkan kemungkinan fleksibilitas yang dapat dicapai dengan menggunakan komponen prefabrikasi. Ini sangat berbeda dengan bangunan prefabrikasi lain yang seringkali tidak terbayangkan bagaimana bisa ada kehidupan didalamnya. Untuk menghemat ruang, koridor internal diganti dengan balkon yang menghadap ke jalan, sekaligus sebagai sirkulasi utama untuk memasuki apartemen. Satu lift dan tangga yang juga prefabrikasi diletakan dibagian sirkular bangunan. Sedangkan balkon pribadi tiap unit yang menghadap ke taman komunal didesain dengan bentuk kurva sederhana yang memberi tekstur berbeda pada tampilan dalam massa bangunan. Bangunan ini menggunakan pendekatan sistem konstruksi modular. Setelah dipabrikasi, 74 modul berupa kotak ringan rangka baja dikirim ke London dengan truk crane untuk perakitan. Kotak-kotak disusun bertumpuk satu sama lain dan didukung oleh pondasi strip beton yang sederhana. Proses pendirian yang hanya 10 hari juga menunjukan keberhasilan metode konstruksi. 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1.

Analisis Bangunan

Tower bangunan ini merupakan struktur yang berhubungan dengan apartemen dalam pola honeycomb disekeliling core bangunan. Elemen-elemen load bearing seperti shaft lift, tangga, dan dinding luar beserta beberapa dinding dalam menyediakan ketahan yang luar biasa untuk memisahkan akustik diantara apartemen dan shaft lift. Walaupun lantai dasar memungkinkan untuk memakai bahan kayu juga, namun para ahli memilih untuk memakai beton bertulang. Selain untuk kelebihan struktural, beton akan memberikan kesan perbedaan yang dramatis antara bangunan dengan lahan di sekitarnya. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah damp proofing yang baik pada lantai dasar. Setiap panel merupakan komponen prefabrikasi, termasuk potongan untuk pintu dan jendelanya. Ketika panel sampai di site, panel-panel ini lalu diatur dan disusun pada posisinya. Delapan lantai struktur kayu ini disusun dalam waktu delapan minggu. Keseluruhan bangunan dibangun dalam waktu sembilan minggu. Mereka menggunakan sistem konstruksi platform. Karena bahannya yang terbuat dari kayu, panel-panel ini bergantung pada selubung bangunan yang dapat melindungi panel dari basah dan pembusukan. Namun walaupun pemasangan di cuaca yang basah menyebabkan ketidaknyamanan, namun tidak akan memberikan efek pada panel karena sistem pada akhirnya akan mengeluarkan uap lembab. Proses produksi pada bangunan ini zero-waste. Semua sisa potongan, serutan kayu, dan lain-lain digunakan kembali oleh KLH. Bahan-bahan sisa ini digunakan untuk menghasilkan panas pada pabrik manufaktur. Selain itu, proses produksinya juga merupakan proses loop tertutup. Listrik untuk kantor dan pabrik disuplai oleh mesin yang didorong oleh biomassa KLH. Panel-panel ini dipotong dan diproses dengan tingkat presisi yang tinggi. 4.2.

Interpretasi Kajian Pustaka

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi 67


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang. Pembangunan berkelanjutan mengandung arti sudah tercapainya keadilan sosial dari generas ke generasi. Dilihat dari pengertian lainnya, pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan nasional yang melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem. Pembangunan yang berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya. Pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1. Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang tidak merusak lingkungan. 3. Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang sama maupun kurun waktu yang berbeda secara berkesinambungan. 4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok, melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan secara berkesinambungan. 5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Aspek Ekologi Waugh Thistleton berkomitmen untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan di dalam arsitektur, dalam usaha untuk membangun bangunan yang mengurangi dampak di planet ini, Para praktisi melihatnya sebagai isu yang penting. Tidak hanya untuk mempertimbangkan penggunaan energi selama umur bangunan, tetapi juga energi yang dikeluarkan dalam memproduksi bangunan. Kayu memasok 0.8t karbon dioksida dalam 1 meter kubik dan akan habis, sebagai perbandingan, produksi baik beton maupun baja merupakan suatu proses energi satu arah intensif yang melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer. Panel juga dapat dengan mudah dibongkar dan digunakan sebagai sumber energi pada akhir umur bangunan. Jadi, kasus penggunaan kayu dibuat baik dari segi pertimbangan lingkungan dan ekonomi yang potensial untuk biaya dan perencaan program. Keberlanjutan Menggunakan sistem panel kayu perfabrikasi mempengaruhi jejak karbon dari bangunan dengan tiga cara. Pertama, produksi semen menghasilkan 870 kg karbon dioksida. Ini setara dengan 237 kg karbon per ton. Ahli keberlanjutan proyek memperkirakan bahwa jika bangunan ini adalah untuk menjadi struktur beton, itu akan mengandung sekitar 950 meter kubik beton. Ini akan membutuhkan 285 ton semen dan akan menghasilkan sekitar 67.500 kg karbon. Selain itu, produksi baja menghasilkan 1.750 kg karbon dioksida, yang merupakan 477 kg karbon per ton. Diperkirakan bahwa bangunan ini jika dibangun dengan beton bertulang, membutuhkan sekitar 120 ton baja, yang berarti akan dihasilkan 57.250 kg karbon. Sementara, 901 meter kubik kayu telah digunakan di dalam gedung. Kayu menyerap karbon sepanjang masa hiduonya dan terus menyimpan karbon sampai akhirnya dipotong. Fabriaksi Stadthaus menyimpan lebih 186.000 kg karbon. Dengan demikian, metode konstruksi yang dipilih telah mengakibatkan pengurangan beban karbon dari bangunan hingga 67.500 + 57.250 + 186.000 = 310.750 kg karbon. Hal ini setara dengan lebih dari 310 ton karbon. Karbon dioksida yang diperkirakan diproduksi dalam generasi energi untuk bangunan, termasuk transportasi dari panel kayu adalah 10.000 kg/tahun. Ini telah sepenuhnya diimbangi dengan penghematan karbon bangunan untuk beberapa 21 tahun. 68


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5.

PENUTUP

Aspek pembangunan berkelanjutan, yang diajukan sebagai solusi untuk keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari juga penting di bidang arsitektur. Pengembangan desain dan aplikasi metode untuk bangunan bertingkat sesuai dengan prinsip arsitektur berkelanjutan memiliki kepentingan besar karena mereka memiliki dampak yang paling besar terhadap lingkungan disbanding bangunan lainnya. Bangunan bertingkat tinggi yang dikenal sebagai jenis bangunan yang memakan energi yang paling besar, selama pembangunan dan masa pakai bangunan bertingkat tinggi, mereka memiliki sebagian konsumsi energi dan pencemaran lingkungan, yang tidak dapat diterima. Meskipun konsep kayu prefabrikasi cukup baru, jenis konstruksi ini mungkin satu-satunya harapan dalam memperoleh arsitektur yang benar-benar berkelanjutan untuk masa depan. Dalam penulisan ini dianalisis konsep berkelanjutan meliputi studi kasus Stadthaus Apartment, Murray Groove, sebagai contoh bangunan bertingkat tinggi di London, Inggris, yang memakai sistem prefabrikasi kayu dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, Dari analisis yang didapat, bangunan ini menggunakan kayu, dimana kayu tersebut memiliki dampak buruk yang lebih kecil terhadap lingkungan. Kayu menyerap karbon lebih banyak dibandingkan material lain yang membuat material tersebut baik untuk lingkungan. Prefabrikasi kayu ini juga memberikan zero-waste baik dalam proses produksi hingga konstruksi. Dari tulisan ini kita dapat mengambil manfaat bahwa closed-system¬ dan kayu pada pre-fabrikasi menunjang aspek pembangunan berkelanjutan. 6.

DAFTAR PUSTAKA Beck JL (1989).Statistical system identification of structures. Proceedings Fifth International Conference on Structural Safety and Reliability (ICOSSAR’89), New York, pp. 1395–1402. Kinsler LE, Frey AR, Coppens AB, and Sander JV (2000).Fundamentals of Acoustics.JohnWiley & Sons, Inc. Fourth Edition. Olivia, Dina (2008). Studi Desain Dinding Prefabrikasi Rumah Massal dari Aspek Kecepatan Membangun. Smith, Ryan (2010)..Prefab Architecture.JohnWiley & Sons, Inc. http://eoinc.weebly.com/

69


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

DISFUNGSI TAMAN PASUPATI Aulia Prakoso NUGROHO(1), Dwiky Fajar RAMADHAN(2), dan Hero RENALDI(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)apn_cc2yahoo.com; (2)dwikyframadhan@gmail.com; (3)hero.riyandi@yahoo.com

ABSTRAK Saat ini Bandung sedang menggalakkan program pembuatan taman kota. Banyak sekali taman kota yang bermunculan di Bandung saat ini. Salah satunya adalah Taman Pasupati. Taman Pasupati atau yang biasa dikenal sebagai Taman Jomblo merupakan taman yang baru diciptakan di Bandung. Namun tak semua taman sesuai dengan fungsinya sebagai ruang publik. Ruang publik yang baik harus dapat dinikmati oleh warganya itu sendiri. Akhir-akhir ini keberadaan Taman Pasupati tidak lagi seramai seperti dulu saat pertama kali dibuka. Banyak faktor yang membuat masyarakat enggan berkegiatan di Taman Pasupati. Faktor itu diantaranya tidak ada kegiatan yang jelas yang dilaksanakan disana, tidak ada komunitas tetap yang berkegiatan, kurangnya perlibatan masyarakat sekitar dalam proses perancangan taman tersebut. Kata Kunci: taman pasupati, ruang publik, sepi, kegiatan

8.

PENDAHULUAN

8.1. Latar Belakang Sebuah kota tentu memerlukan ruang terbuka publik sebagai wadah untuk warganya beraktivitas dan berinteraksi sosial. Terutama di beberapa pusat kota yang memiliki tingkat stress dan aktivitas yang padat mendorong kebutuhan akan ruang terbuka publik sebagai tempat untuk singgah dan bersantai dari hiruk pikuk perkotaan Sehingga perlu adanya sebuah ruang publik yang dapat menampung kebutuhan pengguna dan menjaga keamanan serta kenyamanan penggunanya. Perlu adanya ruang publik yang memiliki desain yang menjawab permasalahan dan kebutuhan agar tepat sasaran dan tepat guna bagi para penggunanya. Dewasa kini, kerap ditemukan banyak ruang-ruang publik yang tidak aktif berkegiatan atau bahkan tidak terawatt lagi. Semakin sepi taman semakin menurunkan minat masayarakat sekitar untuk mampr dan berkunjung ke taman tersebut sekalipun taman itu memiliki daya tarik sendiri seperti memiliki features yang menarik. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketidak sesuaian desain, ketidaknyamanan pengguna, pengguna sudah mulai bosan, dan memang tidak ada komunitas yang merawat dan menghidupkannya. Taman Pasupati atau kerap disebut Taman Jomblo merupakan salah satu taman yang kini menjadi sorotan bahwa tidak adanya kegiatan yang terwadahi di taman tersebut. Disamping itu sangat sedikitnya pengunjung taman tersebut. Bahkan ketika malam hari terdapat beberapa pojok taman yang tidak memiliki cahaya sehingga menjadi tempat yang dijadikan tempat negatif bagi beberapa kalangan pengunjung. 8.2. Tujuan Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang membuat Taman Pasopati tidak diminati oleh masyarakat sekitar.

70


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

8.3. Ruang Lingkup Bahasan Lingkup pembahasan pada karya tulis ini mencakup beberapa poin, yaitu:

9.

•

Taman Pasupati sebagai ruang publik Kota Bandung

•

Respon masyarakat terhadap Taman Pasupati

TINJAUAN TEORI

9.1. Pengertian Ruang Publik Terdapat beberapa definisi ruang publik menurut para ahli. Menurut Stephen Carr (1992), ruang terbuka publik merupakan ruang milik bersama, tempat masyarakat melakukan aktivitas fungsional dan ritualnya dalam suatu ikatan komunitas, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam perayaan berkala yang telah ditetapkan sebagai suatu yang terbuka, tempat masyarakat melakukan aktivitas pribadi dan kelompok. Sedangkan menurut Carmona (2008), Ruang publik berhubungan dengan bagian-bagian pada lingkungan alami dan binaan, publik dan privat, internal dan eksternal, perkotaan dan pedesaan, di mana masyarakat umum mendapatkan akses secara bebas. Dan menurut GIbbert (1972), ruang publik (Civic space) merupakan ruang terbuka sebagai wadah yang dapat digunakan untuk aktivitas penduduk sehari-hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang publik adalah ruang milik bersama yang memiliki akses secara bebas dan dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas. 9.2. Fungsi Ruang Publik Secara umum, menurut Carr (1992) fungsi ruang public ada lima. Tujuan pertama adalah menyejahterakan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat menjadi motivasi dasar karena ruang terbuka public mampu menyediakan jalur untuk pergerakan, pusat komunikasi, dan tempat untuk merasa bebas dan santai. Tujuan kedua adalah meningkatkan kualitas visual (visual enchancement). Dengan adanya kehadiran ruang public, kualitas visual sebuah kota dapat meningkat menjadi lebih manusiawi, harmonis, dan indah. Tujuan ketiga adalah meningkatkan kualitas lingkungan (environmental enchancement). Ruang public di mana di dalamnya terdapat penghijauan memiliki nilai estetika dan paruparu kota yang memberikan udara segar di tengah-tengah polusi. Tujuan ke empat adalah mengembangkan ekonomi (economic development). Pengembangan ekonomi merupakan tujuan utama dari penciptaan dan pengembangan ruang public. Yang terakhir adalah peningkatan kesan (image enchancement). Suatu kesan selalu ingin dicapai dari pembuatan ruang public walaupun tidak tertulis secara jelas.

71


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

9.3. Teori Placemaking pada Ruang Publik Menurut Wikipedia, placemaking merupakan pendekatan yang cukup penting dalam perencanaan, proses desain, dan proses manajerial sebuah ruang publik. Dilengkapi oleh situs pps.org yang diberitahukan bahwa dalam proses pembuatan ruang publik , komunitas menjadi perhatian utama dalam pendekatannya. Oleh sebab itu kegiatan utama yang dilakukan adalah observasi, mendengarkan, dan bertanya kepada masyarakat yang tinggal, bekerja, dan bermain pada daerah tersebut.Untuk terciptanya sebuah tempat yang baik bukan hanya menciptakan sebuah ruang yang menarik dan unik saja namun yang dapat menciptakan interaksi dan mewadahi kebutuhan aktivitas penggunanya. Aktivitas pengguna terjadi apabila tempat tersebut cocok dan sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya. Agar mengetahui kebutuhan pengguna perlu adanya studi dan pendekatan terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya diwadahi oleh pengguna. Oleh karena itu perlu adanya interaksi dan partisipasi dari pengguna agar desain dan rancangan ruang publik menjadi tepat guna. 10. PEMBAHASAN

10.1. Sejarah Taman Pasupati Berdasarkan informasi dari Wikipedia, diberitahukan bahwa Taman Pasupati atau yang dikenal dengan sebutan Taman Jomblo merupakan sebuah taman tematik yang diresimikan oleh Walikota Bandung, Ridwan Kamil, pada tanggal 4 Januari 2014. Tujuan dari didirikannya taman ini adalah sebagai tempat bagi masyarakat untuk berinteraksi. Disamping itu, tempat duduk di taman yang berbentuk kubus selain berfungsi sebagai tempat duduk, juga di rencanakan sebagai tempat memajang karya seni sesuai dengan tema taman tersebut yang untuk kalangan anak muda. Namun sejatinya beberapa waktu terakhir, ditemukan bahwa tidak adanya kegiatan dan interaksi yang terjadi di Taman Pasupati / Taman Jomblo tersebut apalagi pameran karya seni. 72


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

10.2. Kondisi Taman Pasupati Taman Pasupati saat ini sudah berumur tiga tahun. Dari hasil survey yang dilakukan dalam lima waktu berbeda, didapatkan bahwa Taman Pasupati saat ini sudah kekurangan pengunjung. Pada saat survey dilakukan, hampir tidak ada pengunjung yang terlihat beraktivitas di taman tersebut. Dari pengunjung-pengunjung yang datang pun, hanya sedikit sekali yang menggunakan fasilitas duduk yang berupa bangku-bangku berbentuk balok tersebut. Sebagian besar pengunjung justru memilih menggunakan bangku yang berada di sekeliling taman.

10.2.1. Fasilitas Taman

Dari segi fasilitas, Taman Pasupati memiliki fasilitas yang tergolong cukup terawat walaupun ada beberapa furnitur yang rusak. Taman Pasupati memiliki fasilitas yang terjaga kebersihannya. Pada saat survey dilakukan, tidak terlihat adanya sampah berserakan maupun coretan-coretan akibat aksi vandalisme. Akan tetapi, ketika malam hari, Taman Pasupati memiliki pencahayaan yang tergolong kurang. Lampulampu yang seharusnya ada di bawah kubus-kubus tersebut kini tidak dinyalakan kembali sehingga menjadi tidak nyaman untuk mengunjungi taman ketika malam hari. 10.2.2.

Pengguna Taman

Pengguna taman yang ditemui ketika melakukan survey rata-rata berusia dewasa. Para pengunjung tersebut memiliki tujuan utama datang ke taman tersebut adalah untuk mendapatkan akses wifi gratis yang tersedia di Taman Pasupati. Rata-rata pengunjung tersebut datang bersama dengan kerabatnya. Sebagian besar dari responden wawancara mengaku bahwa mereka sering datang mengunjungi Taman Pasupati ketika sore hari untuk mengisi waktu luang. Berdasarkan hasil wawancara pengunjung, juga didapatkan bahwa tidak satupun pengunjung yang mengetahui ataupun terlibat dalam proses perancangan Taman Pasupati.

73


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

10.2.3.

Masyarakat Sekitar

Wawancara yang dilakukan merupakan wawancara terhadap masyarakat sekitar yang merupakan warga yang tinggal di kebon bibit. Narasumber dari pengambilan data ini adalah mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di kebon bibit. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, mereka merasa bahwa Taman Pasupati hanya ramai pada awalnya karena nama dan desainnya yang menarik serta promosi yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung. Akan tetapi, akibat promosi Pemerintah Kota Bandung yang sudah tidak gencar dilakukan lagi dan masyarakat merasa bahwa taman tersebut tidak nyaman digunakan untuk melakukan aktivitas mereka, Taman Pasupati kini kehilangan penggunanya. Fasilitas-fasilitas yang disediakan di Taman Pasupati dirasa tidak mampu mewadahi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh narasumber yang dalam hal ini adalah mahasiswa. 11. ANALISIS DAN INTERPRETASI 11.1. Taman Pasupati dan Tujuannya Sebagai Ruang Publik Sebagai ruang publik, Taman Pasupati dibuat oleh Pemerintah Kota Bandung untuk memenuhi beberapa tujuan. Tujuan tersebut di antaranya adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tersebut harapannya dapat tercapai karena sebuah ruang publik sejatinya mampu mewadahi berbagai aktivitas masyarakat. Akan tetapi, taman ini dirasa kurang dalam mewadahi aktivitas warga. Kekurangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya dari segi perancangan taman. Lokasi Taman Pasupati dan desain tempat duduk yang berbentuk balok tersebut dirasa tidak nyaman oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas mereka. Sedangkan dari segi fasilitas, taman tersebut dirasa masih kurang dalam mewadahi kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan oleh warga. Sebuah ruang publik juga dibuat untuk meningkatkan kualitas visual dari tempat taman tersebut dibuat. Dalam hal ini, Taman Pasupati mampu memenuhi tujuan. Taman Pasupati memiliki desain yang unik dan menarik. Dengan bangku-bangku baloknya yang meliki beragam warna, Taman Pasupati mampu menjadi daya tarik bagi warga yang melihatnya. Hal ini juga terlihat ketika taman ini baru saja selesai dibangun. Promosipromosi dari Pemerintah yang di dalamnya terdapat foto-foto dari taman ini mampu membuat masyarakat penasaran dan datang ke taman ini. 11.2. Placemaking Teori place making menyebutkan bahwa elemen utama dari dibuatnya sebuah ruang publik adalah masyarakat dari tempat ruang publik tersebut dibuat. Dilihat dari segi masyarakat sekitar, Taman Pasupati kurang dalam melibatkan masyarakat setempat pada proses perancangannya. Dari hasil wawancara yang didapat, sebagian besar masyarakat merasa kurang cocok dengan desain dari taman ini. Keterlibatan dari masyarakat dalam perancangan ini kurang diakibatkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah masyarakat memang tidak diambil pendapat dan masukannya ketika perancangan sehingga desain yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan masyarakat tidak merasa memiliki taman tersebut. Kemungkinan kedua adalah masyarakat yang menjadi subyek dalam perancangan taman ini berbeda dengan masyarakat yang saat ini tinggal di sekitar taman. Hal ini disebabkan di sekitar Taman Pasupati sebagian warganya merupakan mahasiswa yang tinggal di kos-kosan sehingga mereka tidak menetap di kawasan sekitar taman tersebut dalam waktu yang lama. Dalam teori place making juga disebutkan bahwa penting bagi sebuah ruang publik memiliki sebuah komunitas yang secara rutin menggunakan ruang publik tersebut untuk berkegiatan. Kegiatan yang dilakukan secara rutin itu penting untuk menghidupkan ruang publik tersebut. Akan tetapi, di Taman Pasupati ini tidak terlihat adanya komunitas yang menggunakan taman ini secara rutin.

74


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

12. KESIMPULAN

Faktor dari kurangnya pengunjung Taman Pasupati antara lain tidak adanya komunitas dan kegiatan yang secara jelas dapat dilakukan di taman ini. Taman ini tidak memiliki komunitas yang secara rutin mengadakan kegiatan yang menghidupkan taman ini. Hal tersebut dikarenakan fasilitas yang tersedia di taman ini kurang menunjang kegiatan secara spesifik. Sebagai contoh taman yang berada di sebelah Taman Pasupati yaitu Taman Skateboard. Taman Skateboard memiliki komunitas dan kegiatan yang jelas sehingga tetap ramai oleh pengunjung. Faktor lainnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat dalam pembangunan taman ini. Hal ini terlihat dari masyarakat yang merasa kurang cocok terhadap desain taman ini dan tidak tersedianya fasilitas yang menunjang kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat di taman ini. Selain itu, program pemerintah untuk memperindah kawasan ini, yang semula merupakan lahan tidak terawat tidak cukup menjadi faktor penarik minat masyarakat untuk berkegiatan di taman ini secara berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan Taman Pasupati yang hanya ramai diawal saja dan hanya diisi dengan kegiatan foto-foto saja. 13. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Tanpa tahun. Taman Pasupati. https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Pasupati, 24 November 2016. Adiwiguno, Tangguh. 2015. Makna Ruang Publik dan Polemik Ruang Publik di Indonesia. https://tangguhadiwiguno.wordpress.com/2015/10/11/makna-ruang-publik-dan-polemik-ruangpublik-di-indonesia/, 24 November 2016. Anonim. Tanpa tahun. What is Placemaking?. http://www.pps.org/reference/what_is_placemaking/, 25 November 2016. Anonim. Tanpa tahun. Placemaking. https://en.wikipedia.org/wiki/Placemaking, 24 November 2016. Sari, Maya. 2015. Ruang Publik Untuk Kehidupan. http://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/ruang-publik-untukkehidupan, 25 November 2016. Esvandi, Dodi. 2014. Taman Jomblo di Bandung Dilengkapi Arena Skateboard Berskala Internasional. http://www.tribunnews.com/regional/2014/01/04/taman-jomblo-di-bandung-dilengkapi-arenaskateboard-berskala-internasional, 24 November 2016. Primanita, Dianing. 2015. Menuju Ruang Publik Kota yang http://www.kompasiana.com/yume_thedreamer/menuju-ruang-publik-kota-yangberkelanjutan_560abf9d4523bd751643bd4d, 24 November 2016. Hadi,

Berkelanjutan.

Syul. Tanpa tahun. Ruang Publik / Public Space. https://syulhadi.wordpress.com/mydocument/umum/komunikasi-antarbudaya/ruang-publikpublic-space/, 22 November 2016.

75


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI DESAIN JALUR PEJALAN KAKI DI SEKITAR BALAI KOTA BANDUNG Rizkia AMALIA(1), Awaliyah MUDHAFFARAH (2), dan Fanisa DYASTARI(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)rizkia.amalia@gmail.com; (2)awaliyahmudhaffarah@gmail.com;

(2)

fanisa.dyastari@gmail.com

ABSTRAK Jalur pejalan kaki mempunyai banyak fungsi, salah satunya sebagai ruang publik dan ruang transisi yang memisahkan jalan dan sebuah tempat. Karena itu desain dari jalur pejalan kaki dapat menjadi sangat bervariasi. Jalur pejalan kaki di kawasan Balai Kota Bandung merupakan salah satu jalur pejalan kaki dengan bentuk yang cukup unik dan menarik untuk dibahas. selain karena bentuknya yang unik dan tidak konvensional, jalur pedestrian ini menjadi area transisi antara jalan raya dan taman balai kota. Dalam tulisan ini kami melakukan evaluasi terhadap jalur pejalan kaki di sekitar Balai Kota Bandung untuk mempelajari keunikan salah satu bentuk jalur pejalan kaki untuk diambil pelajarannya, untuk memberikan gagasan desain yang lebih mumpuni untuk membentuk model desain jalur pejalan kaki baru. Untuk memperoleh data mengenai aktivitas dan faktor-faktor pembentuk jalur pejalan kaki di sepanjang Jalan Merdeka (batas utara-batas selatan Balai Kota), maka di lakukan pengamatan langsung kondisi fisik beserta fasilitas pendukungnya. Pengamatan langsung mengidentifikasi evaluasi dari desain jalur pejalan kaki balai kota. Berdasarkan pengamatan, diambil kesimpulan bahwa desain jalur pejalan kaki harus direncanakan secara menyeluruh. Selain merencanakan aspek internal, aspek eksternal yang berhubungan dengan konteks sekitar ternyata juga penting. Jalur pejalan kaki yang berperan sebagai ruang transisi antara 2 kawasan fungsi harus menjadi satu kesatuan yang menghubungkan kedua kawasan tesebut, sehingga desain menjadi lebih baik, efektif dan memudahkan pejalan kaki. Kata Kunci: desain, jalur pejalan kaki, pejalan kaki

1.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Jalur pedestrian merupakan unsur kelengkapan dari sebuah kota, keberadaannya sangat dibutuhkan oleh warga kota untuk dapat bergerak dengan aman dan nyaman dari satu tempat ke tempat lainnya. Di ibukota seperti Bandung memilliki tingkat mobilitas kendaraan yang sangat tinggi, maka peran jalur pedestrian menjadi sangat penting. Jalur pedestrian juga merupakan salah satu bagian dari elemen-elemen perancangan kawasan yang dapat menentukan keberhasilan dari proses perancangan di suatu kawasan kota. Selain itu jalur pedestrian juga menjadi ruang transisi penghubung fungsi kawasan satu ke fungsi kawasan lainya (Giovani, 1977) seperti kawasan perdagangan, kawasan permukiman dan kawasan budaya. Contohnya berjalan dari suatu kawasan komersial ke kawasan lain seperti kantor sekolah dan lain sebagainya. Keberadaannya dapat menjadi elemen pendukung atau nilai tambah bagi fungsi kawasan itu sendiri. Sebagai bagian dari sistem transportasi perkotaan, elemen jalur pedestrian memiliki keterpaduan dengan sistem transportasi yang ada, seperti tempat parkir, tempat berhenti kendaraan umum (halte) dan sebagainya. Karena fungsi memang diperuntukan untuk pejalan kaki maka dapat juga diklasifikasikan menjadi ruang publik, yang sering kali muncul kegiatankegiatan selain berjalan kaki pada jalur pedestrian. Kegiatan kegiatan itu muncul karena

76


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

kebutuhan fisik dan interaksi dari pejalan kaki itu sendiri, seperti duduk-duduk untuk beristirahat atau berbicara, makan, berjual beli dan lain sebagainya. Saat ini perkembangan fasilitas jalur pedestrian di Bandung sudah mengalami berbagai perbaikan. Desain. Beberapa jalur perdestrian sudah dibuat lebih atraktif dan unik untuk mendukung kenyamanan pejalan kaki. Namun dari kondisi yang terlihat jalur pejalan kaki masih belum digunakan oleh mayoritas pejalan kaki itu sendiri. Hal ini telihat dari jalur pedestrian yang sepi dan kurang digunakan. Kualitas dan kuantitas fasilitas pejalan kaki dinilai kurang memberikan kenyamanan berjalan. Selain itu, penempatan fasilitasnya mungkin menjadi masalah yang menyebabkan ketidakefektifan dalam pemakaian fasilitas tersebut. Untuk itu perlu dilihat apakan elemen-elemen jalur pejalan kaki sudah memenuhi kebutuhan pejalan kaki. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa saja aktivitas yang muncul di jalur pedestrian dan penyebabnya? 2. Bagaimana evaluasi terhadap jalur pejalan kaki ditinjau dari faktor internalnya? 3. Bagaimana evaluasi terhadap jalur pejalan kaki ditinjau dari factor eksternalnya? 1.3. Tujuan 1. Mengetahui aktivitas yang muncul di jalur pedestrian dan penyababnya. 2. Mengetahui evaluasi terhadap jalur pejalan kaki ditinjau dari faktor internalnya. 3. Mengetahui evaluasi terhadap jalur pejalan kaki ditinjau dari faktor eksrnalnya. 1.4. Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, a. Studi Literatur, b. Survei Lapangan Metode dasar penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode secara deskriptif kualitatif, dimana hasil survei lapangan langsung ke lokasi studi kasus akan menjadi data primer. 2.

KAJIAN TEORI 2.1. Definisi Pedestrian

Dalam tata ruang kota saat ini, jalur pejalan kaki merupakan elemen yang sangat penting. Selain karena memberikan ruang yang khusus bagi pejalan kaki, jalur pejalan kaki juga memberikan kemanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki yang melintasi jalur tersebut. Oleh karena itu, ruang pejalan kaki sangat berperan dalam menciptakan lingkungan yang cocok untuk manusia. 77


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pejalan kaki adalah orang yang bergerak dalam satu ruang, yaitu dengan berjalan kaki. Dalam berjalan kaki, Shirvani (1985) mengatakan bahwa penggunaannya memerlukan jalur khusus yang disebut juga dengan jalur pedestrian, yang merupakan salah satu dari elemen-elemen perancangan kawasan yang dapat menentukan keberhasilan dari proses perancangan di suatu kawasan kota. Jalur pedestrian pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus, dimana jalan terbuat dari batu gamping lalu permukaannya di tinggikan terhadap tanah dan pada interval tertentu dibuat ramp untuk menuju ke kelompok hunian pada kedua sisi-sisinya (Kostof, 1992). 2.2. Aspek dan Elemen pada Jalur Pedestrian. Elemen- elemen pada jalur pedestrian atau yang bisa kita sebut dengan perabot jalan adalah fasilitas penunjang kebutuhan pejalan kaki. Elemen-elemen ini ada untuk mendukung aspek kenyamanan dan keamanan pejalan kaki. Elemen pada suatu jalur pedestrian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: elemen jalur pedestrian sendiri (material dari jalur pedestrian), dan elemen pendukung pada jalur pedestrian (lampu penerang, vegetasi, tempat sampah, telepon umum, halte, tanda petunjuk dan lainnya). Elemen elemen tersebut dijelaskan oleh Rubenstein (1992), antara lain : a. Paving, adalah trotoar atau hamparan yang rata. Dalam meletakkan paving, sangat perlu untuk memperhatikan pola, warna, tekstur dan daya serap air. Material paving meliputi: beton, batu bata, aspal, dan sebagainya. b. Penerangan, dibutuhkan untuk menerangi jalur pejalan kaki saat malam hari. Lampu pejalan kaki memiliki kriteria-kriteri dalam perenncanaan yaitu, - Dimensi tinggi lampu 4 – 6 meter. - Jarak penempatan 10 – 15 meter - Tidak menimbulkan black spot atau - Mengakomodasi tempat menggantung / banner umbul-umbul. Penempatan lampu penerangan direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan penerangan yang merata, keamanan dan kenyamanan bagi pejalan maupun pengendara, serta arah dan petunjuk yang jelas. c. Sign atau tanda, merupakan rambu-rambu yang berfungsi untuk memberikan suatu informasi atau larangan melalui tanda. Peletakan sign haruslah gampang dilihat dengan jarak mata manusia memandang dan gambar harus kontras. Sign harus memperhatikan aspek visual, skala dan proporsi huruf dan kekontrasan antara huruf dan latar belakangnya. Tinggi rambu minimum 1.75 m-2.65m. d. Fasilitas bangku, sculpture dan tempat sampah. Bangku mempunyai fungsi sebagai tempat untuk beristirahat bagi para pengguna jalan. Tempat sampah berfungsi sebagai sarana untuk pejalan kaki yang membuang sampah, agar pedestrian tetap nyaman dan bersih. Sculpture, merupakan suatu benda yang memiliki fungsi untuk memberikan suatu identitas ataupun untuk menarik perhatian mata pengguna jalan. Dalam penempatan fasilitas ini diutamakan memperhatikan hal-hal seperti 78


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

-

Penempatannya tidak mengganggu sirkulasi pejalan.

-

Memperhatikan kemampuan pejalan kaki dan kemampuan berjalan membawa barang.

-

Tidak mengganggu keindahan koridor dan pandangan pedestrian maupun pengendara.

-

Jarak penempatan fasilitas maksiman 600-400m.

-

Lebar zona untuk perlengkapan jalan minimal 60 cm dan panjangnya disesuaikan dengan ketersediaan ruang.

e. Fasilitas peneduh atau tanaman peneduh, mempunyai fungsi sebagai pelindung dan penyejuk area pedestrian. Kriteria tanaman peneduh yang baik adalah sebagai berikut:

-

Memiliki ketahanan yang baik terhadap pengaruh udara maupun cuaca.

-

Tidak mengganggu akses pedestrian dalam menyebrang atau ke tempat parkir di badan jalan.

-

mempunyai lebar yang cukup untuk tanaman. Sekitar 1.8-2.4 m dan terintegrasi dengan perlengkapan jalan lainnya.

2.3. Kriteria Perancangan Pedestrian Sesuai dengan namanya, jalur pejalan kaki dirancang untuk memenuhi pejalan kaki. Maka dari itu, dalam perancangannya perlu diperhatikan kebutuhan dan standar-standar yang terkait dengan pejalan kaki itu sendiri. Berikut adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang jalur pejalan kaki menurut Untermann (1983): a. Keselamatan, artinya pejalan kaki terhindar dari bahaya berupa konflik dengan kendaraan bermotor, terperosok, menabrak tiang dan sebagainya. b. Tidak menyusahkan, berarti jalur pejalan kaki harus merupakan jalur terpendek dalam mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, jalur pejalan kaki juga harus bebas dari hambatan yang diakibatkan oleh padatnya pejalan kaki yang berjalan di sana. c. Nyaman, berarti pejalan harus berada di jalur yang mudah dilalui di berbagai tempat. Terlindung dari cuaca buruk, ada tempat istrahat sementara, terhindar dari hambatan yang diakibatkan oleh ruang yang sempit, permukaan jalan yang 79


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

naik turun, dan sebagainya. Jalur pejalan kaki juga harus nyaman digunakan oleh siapa saja termasuk penyandang disabilitas. d. Menarik, jalur pejalan kaki harus terlihat menarik, baik dari segi kegiatan di sekitar jalur tersebut maupun visual agar pejalan kaki senang berjalan di jalur tersebut. e. Aman, berarti terlindung dari kemungkinan terjadinya kejahatan yang disebabkan oleh jalur pejalan kaki yang sepi atau gelap pada malam hari. Menurut highway capacity manual, terdapat pula beberapa faktor perlu diperhatikan dalam perancangan jalur pejalan kaki, diantaranya: a. Faktor-faktor kenyamanan (comfort), seperti pelindung terhadap cuaca, arcade, halte angkutan umum, dan sebagainya. b. Faktor-faktor kenikmatan (convenience), seperti jarak berjalan, tanda tanda petunjuk, dan sebagainya, yang membuat perjalanan dari pejalan menjadi lebih menyenangkan. c. Faktor-faktor keselamatan (safety), yang disediakan dengan memisahkan pejalan dengan lalu lintas kendaraan, seperti mall dan kawasan bebas kendaraan lainnya dan sebagainya. d. Faktor-faktor keamanan (security), termasuk lampu lalu lintas, pandangan yang tidak terhalang ketika menyebrang, dan tingkat atau tipe dari kegiatan jalan. e. Aspek ekonomi yang berkaitan dengan biaya pengguna yang berhubungan dengan penundaan perjalanan dan ketidaknyamanan. 2.4. Kebutuhan Ruang Minimum Pejalan Kaki Untuk bergerak dalam sebuah ruang manusia mempunyai kebutuhan ruang minimum. Ruang minimum ini berbeda ketika sedang diam , berjalan, berjalan membawa barang, maupun untuk difabel. Ketika sedang diam, luas ruang minimum yang dibutuhkan adalah 0.27m2 dihitung dari lebar minimal bentang bahu (0.6m) dan lebar badan (0.45m). Ketika bergerak, manusia membutuhkan hingga 1.08 m2 ruang yang didapatkan dari lebar bahu minimal (0.6m) dan lebar bebas minimum ketika berjalan (1.8m). ketika membawa barang, luasan minimumnya bertambah menjadi 1.35-1.62m2. Untuk pengguna kursi roda, dibutuhkan ruang minimum 2.25m2. ukuran ini didapatkan dari lebar minimum yang dibutuhkan untuk pergerakan kursi roda.

80


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus Jalur pedestrian yang dipilih adalah jalur pedestrian di Jalan Merdeka sekitar Balai Kota Bandung. Balai kota sendiri merupakan pusat pemerintahan administratif kota. Balai kota di Bandung dilengkapi dengan taman kota yang menjadi salah satu paru-paru kota Bandung. Taman Balai Kota ini berbentuk persegi panjang dengan luas sebesar 13.800 m2.an. taman ini memiliki banyak pengunjung yang datang untuk bertemu dengan komunitas, rekreasi keluarga atau sekedar jalan-jalan. Terdapat pula pedagang kaki lima yang mencari keuntungan dengan berjualan di sana. Taman balai kota yang merupakan salah satu ruang publik terbesar dan memiliki tingkat pengunjung yang tinggi pasti dilengkapi dengan elemen-elemen pendukung disekitarnya. Salah satunya adalah jalur pedestrian yang menjadi ruang transisi menuju balai kota itu tersebut. Jalur pedestrian juga menjadi fasilitas penting bagi pejalan kaki untuk mendukung sebuah pusat kota yang padat akan kendaraan bermotor. Disini akan menjelaskan mengenai desain jalur pedestrian yang ada di Jalan Merdeka. 3.2. Pengumpulan Data Berikut ini adalah pemaparan mengenai kondisi dan persoalan fasilitas pedestrian di Kota Bandung. Jalur pedestrian dibagi menjadi dua, yaitu segmen A (dari perempatan Jalan Aceh-Jalan Merdeka sampai pintu masuk Balai Kota) dan segmen B (dari pintu masuk Balai Kota sampai Taman Vanda).

81


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1. Fasilitas Jalur Pedestrian Jl. Merdeka di Segmen A Sumber : hasil survey lapangan, 2016

Keterangan :

A. Sungai Cikapayang yang membelah jalur pejalan kaki dengan balai kota. Bentuk ruang jalur pejalan kaki merespon keberadaan sungai dengan empat tingkat undakan yang melengkung dan menurun menuju sungai. Terlihat fitur yang cukup lengkap dan kondisi trotoar yang baik, namun sedikit dilewati orang,

B. Papan penjelasan yang masih dalam kondisi baik dan masih dapat dibaca. C. Rail pemisah antara jalur yang berundak dengan jalur yang datar. Railing juga menjadi tempat untuk menggantungkan gembok sebagai atraksi bagi pasangan yang dating kesana.

D. Jalur pedestrian dari pintu masuk balai kota yang lebar, bersih dan nyaman untuk berjalan.

82


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

a. Segmen B

Gambar 2. Fasilitas Jalur Pedestrian Jl. Merdeka di Segmen B Sumber : hasil survey lapangan, 2016

Keterangan : A. Fasilitas sungai yang ketinggian airnya dibuat rendah dan dasarnya yang dibuat tidak terlalu licin, sehingga pejalan kaki dapat ditarik untuk bermain pada fasilitas ini. B. Undakan, permukaan jalur pejalan kaki yang lebar dan keberadaan pohon besar yang meneduhkan membuat pedagang kaki lima berjualan di tempat ini. Keberadaan kaki lima juga mendukung pejalan kaki untuk berhenti sejenak dan membeli dagangan mereka. C. Jalur pejalan kaki dilengkapi fitur tempat duduk yang banyak dan dalam kondisi baik. D. Semakin dekat dengan pertigaan Jl. Perintis Kemerdekaan, jalur pejalan kaki melebar dan sebagian wilayahnya bertransformasi menjadi taman kecil dengan elemen dekoratif seperti taman tumbuhan dan patung-patung batu. 83


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.3. Variable yang akan Diamati Variable Faktor Internal

Deskripsi

Fasilitas Pedestrian

Variable ini melihat ketersediaan fasilitas atau elemen-elemen jalur pedestrian, seperti penerangan, sign dan elemen peneduh.

Maintanance

Kualitas perawatan dan kualitas terhadap waktu. Sepetri keretakan atau ketidakmerataan permukaan jalan.

Universal Accessibility

Melihat kemudahan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, melihat keberadaan jalan landau dan pegangan pada jalur pedestrian.

Aesthetik

Melihat unsur estetika dari sebua desain jalur pedestrian. Seperti peletakan sculpture, zoning dan sebagainya.

Variable Faktor Eksternal Buffer

Ruang atau komponen yang membatasi jalur pedestrian dengan elemen lain disekitarnya seperti jalan lalu lintas.

Crosswalks

Melihat keberadaan dan visibilitas dari penyebrangan yang berpotongan antar segmen. Seperti jembatan penyebrangan, zebracross dan rambu lalu lintas yang mengakomodasi pejalan kaki. Tabel 1. Variabel yang diamati sumber : center of disease program and preventon, 2014

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Kegiatan Pada jalur pedestrian Merdeka terdapat beberapa aktivitas yang muncul. Di kedua segmen memang dirancang dengan merespon sungai Cikapayang melalui wahana bermain air yang bisa dipakai oleh anak-anak, maka ini menjadi daya tarik keluarga untuk datang untuk berekreasi, foto-foto dan jalan jalan. Kegiatan selanjutnya adalah aktivitas beli membeli. Saat weekend pengunjung dari Taman Balai Kota maupun Taman Vanda sangatlah ramai, maka banyak pedagang kaki lima yang mencoba mencari untung dengan berjualan di ruas jalur pedestrian Jalan Merdeka. Pedagang kaki lima mayoritas berjualan makanan dan minuman seperti sate, baso cuanki, kopi, dan kerak telor. Kawasan segmen B yang dilengkapi dengan fasilitas duduk yang memadai menjadi salah satu faktor pendukung aktivitas tersebut terjadi.

84


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3 (kiri) dan Gambar 4 (kanan). Aktivitas pejalan kaki yang beragam. Sumber : dokuemntasi pribadi, 2016

Tingkat pengunjung yang datang dengan berkelompok/bersama komunitas juga terlihat cukup banyak. Mereka banyak melakukan kegiatan hanya sekedar untuk jalanjalan, hangout, adapula yang sampai membuat kegiatan champaign. Saat weekend memang jalur ini sering kali menjadi ruang transisi antar dua taman tersebut. Berbeda halnya dengan weekdays, pengunjung biasanya langsung menuju taman tujuannya masing-masing karena disana sudah tersedia tempat parkir, jadi jalur pedestrian jarang dilewati oleh pengunjungnya. Kondisi saat weekday memang lebih sepi dan kurang adanya kegiatan di jalur pedestrian Jalan Merdeka. 4.2. Analisis Data Faktor Internal 4.2.1. Fasilitas Pedestrian 1.1.

Paving Pada kedua segmen, jalur pedestrian menggunakan material paving yang sama yaitu granit. Sifat permukaan granit adalah rata dan tidak bergelombang karena diproses dengan mesin. Sifat granit lebih keras dibandingkan keramik. Batu granit juga memiliki daya serap air relatif kecil yaitu 0,05%. keunggulan granit lainnya adalah mudah dalam perawatan. Maka pemilihan material ini dirasa cukup

1.2.

Penerangan.

Penerangan yang berupa lampu jalan terdapat dengan jarak 6 meter. Namun ternyata peletakan lampu cenderung lebih dekat dengan jalan arteri kendaraan bermotor. Dengan lebar ruas jalan pada kedua segmen, maka muncul black spot yang tidak mendapat sumber penerangan dibagian dalam jalur pedestrian yang dekat dengan sungai. Ruang yang tidak terkena sumber cahaya adalah ruang yang terdapat fasilitas penunjang seperti bangku. Fasilitasnya bangku tersebut pada malam hari juga sering tidak dipakai karena gelap. Maka berdampak pada aspek keamanan dan kenyamanan pejalan kaki saat berjalan di malam hari.

Gambar 5. .Suasana malam hari dengan keadaan yang kurang aman Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

85


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

1.3.

Sign/Rambu lalu lintas

Di jalur pedestrian di Jalan Merdeka terdapat elemen sungai yang membatasi dengan taman Kota Bandung. Maka terdapat rambu rambu yang menghimbau untuk melindungi sungai seperti jangan membuang sampah disungai ada juga informasi mengenai sungai Cikapayang. Selain itu ada pula signage untuk kendaraan bermotor untuk tidak boleh masuk. Adapula informasi tentang fasilitas wifi dan branding Kota Bandung. 1.4.

Peneduh

Pohon pohon di pedestrian ini terdapat di sepanjang jalur pedestrian yang letaknya disebelah sungai sebangai pembatas ke taman kota Bandung. Pada ruas pedestrian segmen A terdapat vegetasi di dekat persimbangan dengan jalan Aceh, namuh setelahnya tidak terlihat adanya pohon. Ketika siang hari maka sangat terasa panas karena tidak adanya elemen peneduh yang cukup. Sebaliknya jalur pedestrian segmen B sangat terlindungi dengan 2 pohon beringin besar yang sudah bisa diperkirakan sudah berumur. Hampir semua ruasnya terlindungi oleh panas matahari dan menambah kenyamanan pejalan. Adapula pohon bamboo yang menambah estetika pada jalur pedestrian segmen B. 1.5.

Bangku, tempat, sampah dan sculpture.

Pada segmen A hanya terdapat 2 bangku yang lataknya berdekatan didekat persimpangan jalan Aceh. Maka di jalur yang tidak terdapat elemen peneduh tersebut tidak terdapat bangku atau fasilitas untuk beristirahat lainnya. Maka terasa sangat jauh untuk menemukan tempat duduk di jalur pedestrian segmen A. sedangkan pada segmen B memang dirancang seperti taman maka terdapat 10 bangku yang tersedia di segmen ini. Lokasinya pun terpisah dengan jarak yang sama, dan nyaman dilengkapi dengan elemen peneduh yang baik. Untuk fasilitas tempat sampah pada kedua segmen sudah dilengkapi dengan tempat sampah dan jumlah dan lokasi nya tidak terlalu jauh satu sama lain. Sculpture pada jalur pedestrian adalah berbentuk batu batu yang berbeda-beda bentu dan tinggi sehingga menjadi daya tarik dan ciri khas taman ini. 4.2.2.

Maintenance

Kondisi jalur pejalan kaki dari segi maintenance secara umum baik. Kondisi paving pada segmen A maupun segmen B masih baik. Tidak ditemukan permukaan jalan yang tidak rata maupun paving yang rusak sehingga dapat membahayakan pejalan kaki.

Gambar 6. Keadaan paving masih baik Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

86


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Maintenance pada furnitur jalur pejalan kaki cukup baik. Bangku-bangku yang tersedia terawat dengan baik. Sculpture yang menjadi elemen estetik dari jalur pejalan kaki juga bersih terawat dengan baik. Tempat sampah yang disediakan juga masih ada dan dapat difungsikan dengan baik. Sayangnya, maintenance untuk penerangan jalur pejalan kaki masih kurang. Lampu yang terdapat di pinggir jalan menyala dengan baik meskipun cukup redup, sedangkan lampu yang digunakan untuk menyinari pohon sebagian besar sudah mati. Sebagian kecil lampu yang masih hidup hanya menyala dengan cahaya yang sangat redup dan tidak cukup sebagai penerangan.

Gambar 7 .tempat sampah pada jalur pedestrian Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

Jalur pejalan kaki ini selesai direnovasi dan dibuka untuk umum pada penghujung tahun 2015. Dalam jangka waktu hampir setahun tidak ada kerusakan berarti yang terjadi pada elemen elemen jalur pejalan kaki. Hal ini mengindikasikan maintenance yang dilakukan dengan baik. 4.2.3. Estetika Keunikan citra dari jalur pejalan kaki di Balai Kota adalah bentuknya yang berundak-undak, berkelok-kelok dan menyatu dengan sungai. Ruang jalan yang dibentuk sedemikian rupa menciptakan suasana playful,menyenangkan dan tidak membosankan. Suasana tersebut menimbulkan keragaman aktivitas baru yang dapat muncul dari pengguna jalan kaki.

Gambar 7 (kiri) dan Gambar 8 (kanan). Pemandangan jalur pedestrian Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

87


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Jika kita memperhatikan lebih detail, kita dapat menyadari bahwa sebagian besar elemen pembentuk jalur pejalan kaki menggunakan material alami seperti bebatuan, granit dan kayu yang ditampilkan apa adanya. Material alami membuat suasana jalur pejalan kaki menyatu dengan fitur alami lainnya seperti pohon besar, taman tanaman dan taman Balai Kota. Pejalan kaki dapat menangkap suasana yang hijau, menyegarkan dan relaks dari penyatuan unsur alam yang dominan, meskipun berada dekat dengan padatnya lalu lintas kendaraan.

Gambar 9. .Suasana jalur pejalan kaki yang hijau Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

Keberadaan pohon-pohon besar di jalur pejalan kaki dirasa menjadi potensi yang baik untuk mendukung fasilitas jalur pejalan kaki. Selain untuk peneduh, pohon diatur agar menjadi salah satu “sculpture� yang unik. Pohon-pohon besar dikelilingi sirkulasi yang mengikuti lingkaran pohon dan membuat pohon-pohon tersebut menjadi pusat perhatian. Pada malam hari, pohon juga diusahakan menjadi elemen estetis dengan bantuan fasilitas penerangan namun tidak bekerja dengan baik.

Gambar 10. Pohon sebagai elemen estetis Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

4.2.4.

Universal Accessibility

Universal accessibility yang dimaksud adalah desain yang memungkinkan pejalan kaki dari berbagai kalangan dapat mengakses jalur pejalan kaki, termasuk bagi mereka yang menyandang disabilitas. Secara umum, jalur pejalan kaki pada balai kota ini sudah cukup mempertimbangkan penyandang disabilitas. Terdapat sebuah ramp pada bagian tengah segmen A yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk mengakses tiga level elevasi dari jalur pejalan kaki ini. Selain itu, juga disediakan jalur khusus untuk tunanetra pada sisi kiri jalur pejalan kaki yang berbatasan dengan jalan raya. Namun, bila diperhatikan lebih jauh, terdapat sedikit ketimpangan terhadap akses untuk penyandang disabilitas, khususnya untuk tuna netra. Jalur khusus tuna netra yang disediakan tidak melalui jalur tengah dan justru berbatasan langsung 88


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dengan jalan raya yang memiliki risiko tabrakan yang tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sulitnya membuat jalur tuna netra yang jelas pada bagian tengah karena banyaknya variasi ketinggian muka jalan. Selain itu, jika ditinjau dari segi standar lebar jalur pejalan kaki, terdapat sebuah bagian pada segmen A yang hanya menyisakan setidaknya 60cm untuk pejalan kaki yang tuna netra. Dengan perbedaan ketinggian dengan muka jalan raya hanya 20cm, tentunya ini akan sangat membahayakan bagi pejalan kaki yang berjalan melalui jalur tersebut.

Gambar 11. Jalur khusus tunanetra yang langsung berbatasan dengan jalan Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

4.3. Analisis Data Faktor Eksternal 4.3.1. Crosswalk 13.1. Jalan Merdeka merupakan jalan kendaraan satu arah. Kendaraan rata-rata melaju dengan cepat, sehingga perlu fasilitas pendukung penyebrangan untuk pejalan kaki. Untuk mengakses Balai Kota dari seberang jalan, terdapat fasilitas penyebrangan berupa zebra cross dan jembatan penyebrangan. Zebracross berada di ujung utara (perempatan Jalan Aceh-Merdeka) dan di ujung selatan (Taman Vanda), sedangkan jembatan penyebrangan berada di dekat tengah pintu utama Balai Kota.

Gambar 12. Fasilitas penyebrangan menuju Balai Kota

89


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

13.2. Lokasi fasilitas penyebrangan mudah ditemukan dan tersebar merata, namun masih kurang difungsikan dengan baik. Pada zebra cross, belum ada rambu yang membantu penyebrangan untuk menghentikan kendaraan, sehingga pejalan kaki cukup takut untuk menyeberang jalan. Jembatan penyebrangan pun jarang digunakan. Sebagai ruang transisi, fasilitas penyebrangan seharusnya mendukung kemudahan pejalan kaki untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan aman dan nyaman. 4.3.2. Buffer Jalur pejalan kaki berbatasan dengan jalur kendaraan, sungai dan balai kota. Transisi jalur pejalan kaki dengan sungai dipertegas dengan perbedaan elevasi (undakan) dan pagar di beberapa tempat. Transisi jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan hanya dipisahkan dengan perbedaan elevasi dan material jalan. Transisi jalur pejalan kaki dan balai kota dipisahkan dengan tembok, sedangkan pada segmen B sudah mulai dibuka. Secara penampilan, jelas terlihat perbedaan peruntukan jalur, namun tidak menjamin keamanan pejalan kaki. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lalu lintas Jalan Merdeka yang satu arah dan berkecepatan konstan memberikan rasa aman yang rendah. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab terhambatnya pejalan kaki mengakses balai kota melalui jalur pejalan kaki ini. .

Gambar 13. Integrasi antara jalur kendaraan, jalur pejalan kaki dan Sungai Cikapayang Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

4.4. Interpretasi Data Berdasarkan analisis data yang didapat, dapat disimpulkan bahwa bentuk jalur pejalan kaki dari faktor internal sudah mencukupi, namun jika ditinjau dari faktor eksternal, desain jalur pejalan kaki masih kurang didukung. Hal ini dibuktikan dengan jarang digunakannya beberapa tempat jalur pejalan kaki segmen A. Faktor eksternal seperti kesulitan akses pejalan kaki, kecenderungan titik perjalanan dan kegiatan di sekitar jalur pejalan kaki menjadi penyebab sepinya jalur pejalan kaki. . 5.

PENUTUP

Kesimpulannya jalur pedestrian kota harus di rencanakan secara menyeluruh. Selain harus direncanakan aspek internalnya ternyata aspek luar yang berhubungan dengan konteks sekitar juga penting. Jalu pejalan kaki yang berperan sebagai ruang transisi antara 2 kawasan fungsi harus menjadi satu kesatuan yang menghubungkan kedua kawasan tesebut. Sehingga desain menjadi lebih efektif dan memudahkan pejalan kaki.

90


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA

Widiani, Ani. 1997. Perancangan Fasilitas Jalan Kaki Berdasarkan Karakteristik Perilaku Pejalan di Kawasan Komersial Merdeka Bandung. Institut Teknologi Bandung. Madella Elmanisa, Adisti. 2008. Strategi Penataan Fasilitas Pedestrian (Studi Kasus : Kota Bandung). Institut Teknologi Bandung. Untermann, Richard K., and Lynn Lewicki. 1984. Accommodating the pedestrian: adapting towns and neighborhoods for walking and bicycling. New York: Van Nostrand Reinhold. Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York. Van Nostrand Reinhold Company

91


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

STUDI FASILITAS PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI Haneke TIARA(1), Taufik TANDIONO(2), dan Lia Veronica WIRJONO(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)hnktiara@gmail.com; (2)taufiktandiono@hotmail.com; (3)wirjono126@yahoo.com

ABSTRAK Perpustakaan merupakan salah satu fasilitas pendukung yang harus ada pada setiap instansi akademik seperti perguruan tinggi. Perpustakaan mengambil peran penting dalam kegiatan pembelajaran mahasiswa. Namun, perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia kurang mendapat perhatian dari pihak perguruan tinggi sehingga terdapat perbedaan dari segi kualitas serta fasilitas yang disediakan perpustakaan di Indonesia dengan perpustakaan di luar negeri. Tulisan ini menyajikan analisis mengenai perbedaan fasilitas perpustakaan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan perpustakaan di universitas luar negeri, analisis faktor–faktor yang mempengaruhi perbedaan fasilitas tersebut serta hubungan ketersediaan fasilitas dengan kebiasaan pengguna perpustakaan. Tulisan ini merupakan analisa dari hasil kuesioner dan wawancara dengan pengurus perpustakaan ITB. Fasilitas –fasilitas seperti Individual study room, microfische cabinets, dan audio lab tidak ditemukan di perpustakaan di ITB. Tidak disediakannya fasilitas –fasilitas tersebut dikarenakan kurangnya inisiatif mahasiswa untuk membaca buku di perpustakaan dan perkembangan teknologi yang memungkinkan informasi dapat direkam dalam bentuk audio dan visual. Tersedianya fasilitas mushola dan ruangan multi fungsi di perpustakaan ITB merespon kebutuhan mayoritas sivitas akademik ITB yang beragama Islam untuk beribadah dan untuk memfasilitasi kegiatan komunitas di perpustakaan. Ketidaklengkapan fasilitas perpustakaan ITB didasarkan pada perilaku mahasiswa yang tidak membutuhkan fasilitas tersebut. Kata Kunci: fasilitas perpustakaan, minat baca, individual study room

14. PENDAHULUAN 14.1. Latar Belakang Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tuntutan untuk mempunyai insiatif dalam belajar atau menuntut ilmu. Sebagai seorang pelajar terutama mahasiswa di sebuah universitas di Indonesia, metode belajar mandiri (self-learning) sangat ditekankan dalam kurikulum yang digunakan. Salah satu implementasi dari self-learning yaitu dengan mencari informasi atau literatur yang bisa didapatkan dengan membaca buku. Berdasarkan hal tersebut, fungsi pendukung dalam sebuah kampus yang harus ada adalah perpustakaan. Perpustakaan berfungsi sebagai tempat menyimpan buku, belajar, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Universitas ternama di Indonesia seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dapat digolongkan sebagai salah satu universitas yang mahasiswanya mampu bersaing dengan mahasiswa universitas luar negeri. Fasilitas perpustakaan universitas ternama tersebut seharusnya mampu mendukung proses pembelajaran mahasiswanya. Namun sayangnya, fasilitas perpustakaan sebagai tempat belajar ini tidak menjadi fokus utama oleh universitas tersebut karena kurangnya antusiasme masyarakat Indonesia dalam pembelajaran mandiri. Sebaliknya, minat membaca dari mahasiswa di universitasuniversitas luar negeri cenderung tinggi. Oleh karena itu ,tidak heran apabila perpustakaan di universitas luar negeri sangat baik dari segi kualitas dan fasilitasnya. 92


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dalam makalah ini, akan dipaparkan mengenai perbandingan fasilitas perpustakaan ITB dengan standar perpustakaan luar negeri.

14.2. Rumusan Masalah 1.Apa perbedaan fasilitas perpustakaan ITB dengan perpustakaan luar negeri. 2.Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan fasilitas perpustakaan ITB dengan perpustakaan luar negeri. 3.Adakah hubungan antara ketersediaan fasilitas perpustakaan dengan kebiasaan pengguna

14.3. Tujuan 1.Menemukan perbedaan fasilitas perpustakaan ITB dengan perpustakaan luar negeri 2.Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan fasilitas perpustakaan ITB dengan perpustakaan luar negeri 3.Menganalisa hubungan antara ketersediaan fasilitas perpustakaan dengan kebiasaan pengguna

1.4

Ruang Lingkup

Penelitian ini melingkupi fasilitas perpustakaan ITB, standar perpustakaan internasional dan metode pembelajaran masyarakat Indonesia.

1.5

Manfaat Penelitian

Mengetahui latar belakang perbedaan penyediaan fasilitas perpustakaan di Indonesia.

1.6

Metode Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner secara online dan wawancara dengan beberapa pengurus perpustakaan program studi ITB. 15. KAJIAN TEORI 15.1. Definisi Perpustakaan Menurut Sulistyo-Basuki (1991:3), perpustakaan ialah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Menurut C. Larasati M ilburga, dkk., perpustakaan adalah suatu unit kerja yang berupa tempat menyimpan koleksi bahan pustaka yang diatur secara sistematis dengan 93


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

cara tertentu untuk dipergunakan secara berkesinambungan oleh pemakainya sebagai sumber informasi. Menurut UU NO 43 THN 2007 Pasal 1, perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan / atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. 15.2. Standar Perpustakaan Internasional Berikut adalah standar perpustakaan yang dipakai secara internasional : Entry Vestibule Exhibits Check Out Reference Computer Terminals AV Work Room Card Catalog Duplication Center ADP Librarian's Office

Lounge Seating Table Seating Reference Desk Research Computer Terminals Housekeeping Tenant suite Librarian's Assistant Work Room Store Room

Periodicals Reference Stacks Collections Stacks Audio Visual Media Collection Carrels Microfiche Cabinets Microfiche Readers Audio Lab Individual Study Room

15.3. Minat Membaca Masyarakat Indonesia Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Hadi Nurahmad, dikatakan bahwa masyarakat Indonesia belum membudayakan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya dibandingkan membaca surat kabar, orang-orang lebih memilih untuk menonton melalui televisi. Budaya yang lebih dominan di Indonesia adalah ‘ngrumpi’. Ngrumpi adalah kegiatan bersosialisasi yang dilakukan secara berkelompok dan suasananya biasanya santai. Contohnya saat ibu-ibu menunggu anak-anaknya di sekolah, mahasiswa yang berkumpul dan saling bercerita d engan teman-teman mahasiswa lainnya. Dalam lingkungan pendidikan, perpustakaan mempunyai peran yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Sehingga perpustakaan disebut sebagai jantung dari suatu sekolah atau p erguruan tinggi. Dilansir dari tulisan Wulung Ajiputra mengenai sudahkah membaca menjadi budaya di Indonesia, disebutkan bahwa salah satu parameter dari pendidikan adalah tingkat kemauan membaca. Di Indonesia, tingkat kemauan membaca dinilai masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang dan Amerika. Hal ini dapat dilihat dari tingkat keramaian perpustakaan perpustakaan yang ada di Indonesia. Ditambah penegasan oleh pernyataan Kepala Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, Arini, dalam seminar “Libraries and Democracy” bahwa OECD mencatat 34,5% masyarakat Indonesia masih buta huruf. Rendahnya tingkat kemauan membaca pada masyarakat Indonesia bukanlah tanpa penyebab. Terdapat faktor-faktor yang berperan dalam rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia, yaitu : 1. Televisi dan radio Di era sekarang, radio memang tidak terlalu signifikan perannya dibandingkan dengan televisi. Orang-orang terutama masyarakat Indonesia secara tidak sadar telah menghabiskan banyak waktu secara intens untuk menikmati tampilan audio visual tersebut. Dalam sebuah penelitian, didapatkan hasil bahwa rata -rata orang Indonesia menonton televisi selama 300 menit dalam sehari, sedangkan di negara negara maju rata-rata hanya 60 menit. 94


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2. Internet Pada era globalisasi yang perkembangan teknologi, informasi dan komunikasinya sangat pesat, jaringan internet merupakan penemuan paling laris yang digunakan untuk mengakses segala hal tersebut. Masyarakat Indonesia yang baru merasakan dampak tersebut masih tenggelam dalam kecanggihan teknologi sehingga orang-orang lupa kalau mereka telah menghabiskan banyak waktu dengan berselancar di dunia maya dan meninggalkan kegiatan-kegiatan lain seperti membaca buku. 3. Budaya Baca Singkat Budaya baca singkat adalah ketertarikan orang-orang dalam membaca bacaan singkat atau ringkas. Budaya ini muncul atau terbentuk karena kemudahan mendapat informasi dengan adanya internet. Seringnya membaca artikel-artikel singkat di internet menyebabkan masyarakat menjadi malas ketika dihadapkan dengan kegiatan membaca buku yang menyita waktu dan konsentrasi. 4. Kurang Berperannya Perpustakaan di Indonesia Dalam era modern ini, perkembangan teknologi informasi serta komunikasi sangat pesat di Indonesia. Namun, perkembangan perpustakaan di Indonesia tidak sepesat perkembangan teknologi informasi. Konsep perpustakaan digital sudah banyak dijumpai di luar negeri, namun di Indonesia, jumlah perpustakaan digital masih sangat sedikit. Bahkan masih banyak perpustakaan di Indonesia yang sistem pengoperasinya masih bersifat manual. 16. DESKRIPSI KASUS

16.1. Tinjauan Kasus Menurut undang-undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 55 menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk menyelenggarakan Perguruan Tinggi harus memiliki Perpustakaan. Tujuan Perpustakaan Perguruan Tinggi (PPT): 1.

Sebagai penunjang pendidikan dan pengajaran maka PPT bertujuan untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi untuk mahasiswa dan dosen sesuai dengan kurikulum yang berlaku

2.

Sebagai penunjang penelitian maka kegiatan PPT adalah mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi bagi peneliti baik internal institusi atau eksternal di luar institusi

3.

Sebagai penunjang pengabdian kepada masyarakat maka PPT melakukan kegiatan dengan mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyajikan dan menyebarluaskan informasi bagi masyarakat Tugas PPT:

1.

Mengikuti perkembangan kurikulum serta perkuliahan dan menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pengajaran atau proses pembelajaran.

2.

Menyediakan pustaka yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam rangka studi.

3.

Mengikuti perkembangan mengenai program-program penelitian yang diselenggarakan di lingkungan PT induknya dan berusaha menyediakan literatur ilmiah dan bahan lain yang diperlukan bagi peneliti.

4.

Memutakhirkan koleksi dengan mengikuti terbitan-terbitan yang baru baik berupa tercetak maupun tidak tercetak.

95


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5.

Menyediakan fasilitas, yang memungkinkan pengguna mengakses perpustakaan lain maupun pangkalan-pangkalan data melalui jaringan lokal (intranet) maupun global (internet) dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasi yang diperlukan. Fungsi PPT :

1.

Studying Center, artinya bahwa perpustakaan merupakan pusat belajar yang dapat dipakai untuk menunjang belajar (mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan dalam jenjang pendidikan)

2.

Learning Center, artinya berfungsi sebagai pusat pembelajaran (tidak hanya belajar) maksudnya bahwa keberadaan perpustakaan di fungsikan sebagai tempat untuk mendukung proses belajar dan mengajar. (Undang-undang No 2 Tahun 1989 Ps. 35: Perpustakaan harus ada di setiap satuan pendidikan yang merupakan sumber belajar).

3.

Research Center, hal ini dimaksudkan bahwa perpustakaan dapat dipergunakan sebagai pusat informasi untuk mendapatkan bahan atau data atau nformasi untuk menunjang dalam melakukan penelitian.

4.

Information Resources Center, maksudnya bahwa melalui perpustakaan segala macam dan jenis informasi dapat diperoleh karena fungsinya sebagai pusat sumber informasi.

5.

Preservation of Knowledge center, bahwa fungsi perpustakaan juga sebagai pusat pelestari ilmu pengetahuan sebagai hasil karya dan tulisan bangsa yang disimpan baik sebagai koleksi deposit, local content atau grey literature

6.

Dissemination of Information Center, bahwa fungsi perpustakaan tidak hanya mengumpulkan, pengolah, melayankan atau melestarikan namun juga berfungsi dalam menyebarluaskan atau mempromosikan informasi.

7.

Dissemination of Knowledge Center, bahwa disamping menyebarluaskan informasi perpustakaan juga berfungsi untuk menyebarluaskan pengetahuan (terutama untuk pengetahuan baru)

ITB mempunyai perpustakaan yang tersebar di setiap jurusan dan sebuah perpustakaan pusat. Dalam penelitian ini ,yang menjadi fokus utama adalah perpustakaan pusat. Perpustakaan pusat mempunyai fasilitas sebagai berikut : Entry Vestibule Exhibits Check Out Reference Computer Terminals AV Work Room Card Catalog Duplication Center ADP Librarian's Office

Lounge Seating Table Seating Reference Desk Research Computer Terminals Housekeeping Tenant suite Librarian's Assistant Work Room Store Room

Periodicals Reference Stacks Collections Stacks Audio Visual Media Collection Carrels Book Store SNI corner Multipurpose Room Musholla

16.2. Pengumpulan Data Data yang ada didapat dengan melakukan penyebaran kuesioner secara online kepada 45 responden yang merupakan mahasiswa di ITB dari berbagai tingkat pendidikan. Tabel 1. Intensitas Kedatangan Mahasiswa ke Perpustakaan Per Minggu Intensitas Kedatangan (per minggu) 0-1 kali 1-3 kali 3-5 kali

Jumlah Orang 26 14 4 96


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Lebih dari 5 kali

1 (Sumber: kuesioner online)

Tabel 2. Kegiatan yang Dilakukan Mahasiswa Dalam Perpustakaan Kegiatan yang Dilakukan Membaca Belajar Browsing Mengerjakan tugas Meminjam Buku Memperpanjang pinjaman buku Tidur Mengobrol Tempat Janjian

Jumlah Orang 22 28 19 30 27 1 15 23 15

(Sumber: kuesioner online)

Tabel 3. Tingkat Kelengkapan Fasilitas Perpustakaan Menurut Mahasiswa Kelengkapan Perpustakaan Menurut Pengguna Lengkap Tidak lengkap

Jumlah Orang 24 21

(Sumber: kuesioner online)

Tabel 4. Fasilitas yang Dirasa Perlu Ada Dalam Perpustakaan Fasilitas yang Diinginkan Stop kontak Internet/Wi-fi Kelancaran arus listrik Tempat privat Tempat print dan fotokopi Kualitas buku lebih baik Sofa/kursi Komputer AC Meja Pena dan kertas gratis Toilet bersih Tempat searching buku Vending machine Mini cafe Rest area

Jumlah Orang 3 4 3 1 1 4 4 5 3 1 1 1 1 1 1 2

(Sumber: kuesioner online)

Tabel 5. Preferensi Tempat Membaca Bagi Mahasiswa Preferensi Tempat Membaca Perpustakaan Rumah/kosan

Jumlah Orang 23 22

(Sumber: kuesioner online)

Tabel 6. Alasan Pemilihan Tempat Membaca 97


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Alasan Preferensi Buku berat Malas mengantri Fokus mengerjakan tugas di perpus Tidak merasa nyaman belajar di rumah/kosan Membaca hanya sebagai hobi Takut lupa mengembalikan buku Meminjam supaya buku tidak dipinjam orang lain Supaya tidak terburu-buru membaca Tidak suka membaca di tempat publik Bisa sambil makan dan minum

Jumlah Orang 18 11 16 8 1 1 4 19 12 2

(Sumber: kuesioner online)

17. ANALISIS DAN INTERPRETASI

17.1. Analisis Data Dari data-data yang telah diperoleh tentang fasilitas yang tersedia di ITB dengan fasilitas yang menjadi standar internasional, ditemukan beberapa perbedaan : Standar Internasional

Fasilitas di ITB

Individual Study Room

Musholla

Microfiche Cabinets

Book Store

Microfiche Readers

SNI corner

Audio Lab

Multipurpose Room

17.2. Interpretasi Data Berdasarkan tabel 1 dan 2, diperoleh data bahwa hanya sekitar 10% dari jumlah mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan dengan tingkat keseringan yang tinggi. Dari jumlah mahasiswa yang rutin mengunjungi perpustakaan tersebut, 37% dari mereka melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan akademik seperti mengobrol dan beristirahat/ tidur. Hasil penelitian tersebut membenarkan tulisan Wulung Ajiputra yang memaparkan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk membaca buku cukup rendah. Berdasarkan tabel 3 dan 4, sekitar setengah dari pengunjung merasa bahwa fasilitas yang disediakan oleh perpustakaan di ITB sudah cukup lengkap. Fasilitas –fasilitas yang menurut mereka perlu ditambahkan adalah vending machine, rest area, dan mini cafe. Fasilitas –fasilitas tersebut bukanlah merupakan fasilitas penunjang kegiatan membaca buku. Individual Study Room yang merupakan fasilitas wajib di perpustakaan luar negeri malahan belum menjadi fasilitas di perpustakaan ITB. Privasi bukanlah kebutuhan yang harus dipenuhi ketika mahasiswa berada di perpustakaan untuk membaca buku. Fasilitasfasilitas yang tidak mendukung akademik tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan fungsi perpustakaan seiring dengan berjalannya waktu. Selain berfungsi sebagai tempat membaca buku, perpustakaan pada saat sekarang ini sudah mulai digunakan sebagai tempat untuk beristirahat, mengerjakan tugas dan sebagainya. Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa hampir setengah dari jumlah mahasiswa yang datang ke perpustakaan memilih untuk meminjam buku dan membacanya di rumah/ kosan daripada membaca di perpustakaan. Banyaknya mahasiswa yang kurang tertarik untuk membaca buku di perpustakaan membuat pihak perpustakaan hanya menyediakan fasilitas-fasilitas yang memiliki tingkat urgensi tinggi untuk disediakan agar suatu perpustakaan dapat beroperasi dengan baik. 98


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

18. PENUTUP

Ketidaklengkapan fasilitas perpustakaan ITB didasarkan pada perilaku mahasiswa yang tidak membutuhkan fasilitas tersebut. Fasilitas yang tidak ditemukan di perpustakaan ITB adalah Individual Study Room, microfische cabinets, dan audio lab. Individual Study Room tidak dibutuhkan karena kurangnya inisiatif mahasiswa dalam meriset secara individu. Microfische cabinets tidak diminati karena banyaknya informasi yang tersebar pada internet dan kurangnya minat membaca pada masyarakat. Tidak tersedianya audio lab dikarenakan minimnya rekaman dalam kegiatan akademik. Fasilitas yang ada pada perpustakaan ITB adalah mushola, book store, SNI corner, dan ruang multi fungsi. Mushola diperlukan karena mayoritas sivitas akademik ITB beragama Islam. Book store menjadi pelengkap fungsi perpustakaan di ITB. SNI corner disediakan sebagai pusat informasi dalam standar-standar Indonesia. Ruangan multifungsi ditujukan untuk kegiatan komunitas perpustakaan. Fasilitas –fasilitas yang disediakan oleh suatu perpustakaan dapat mempengaruhi jenis kegiatan yang dilakukan pengunjung di perpustakaan tersebut. Misalnya penyediaan fasilitas-fasilitas seperti rest area, wi-fi gratis dapat menyebabkan mahasiswa- mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan bukanlah membaca buku, melainkan beristirahat. 19. DAFTAR PUSTAKA http://imadiklus.com/membangun-budaya-baca-di-lingkungan-perguruan-tinggisebagai-upaya-meningkatkan-intelektualitas-mahasiswa/ http://lib.itb.ac.id http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/5346/Standarisasi%20Pe rpustakaan%20Perguruan%20Tinggi.pdf?sequence=1&isAllowed=y http://wbdg.org/space-types/library https://4jiputr4.wordpress.com/2012/02/26/membaca-sudahkah-menjadi-budayadi-indonesia/

99


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP KEBUTUHAN RUANG BEKERJA PELAKU INDUSTRI KREATIF DIGITAL (Studi Kasus Kota Bandung) Estu Putri SEJATI(1), Arlene DUPE(2), dan Gabby UTCHKA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)eputrisejati@gmail.com; (2)arlene.dupe@gmail.com; (3)gabbyutchka@gmail.com

ABSTRAK Perkembangan zaman yang disertai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara langsung maupun tidak langsung memberi pengaruh terhadap gaya hidup berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari gaya dalam bersosialisasi, bertransaksi, hingga dalam menyelesaikan kewajiban-kewajiban pekerjaan. Dalam lingkup pekerjaan, adanya teknologi seperti internet, lambat laun perubahan ini kemudian membentuk definisi dan preferensi baru akan ruang yang digunakan dalam bekerja. Fenomena ini kemudian mulai terlihat dengan munculnya kebiasaan bekerja di luar kantor formal seperti bekerja di cafe, meeting di co-working space, bahkan bekerja dari rumah. Walaupun fenomena ini tidak serta-merta memberi perubahan berarti kepada seluruh jenis pekerjaan, namun bagi pelaku industri kreatif berbasis digital hal ini mengubah banyak hal dalam proses, sistem hingga gaya bekerja. Fenomena ini mengubah intensitas kebutuhan akan interaksi langsung dan digantikan dengan kebutuhan akan internet sebagai media penyelesaian pekerjaan. Di lain sisi, kebutuhan akan ruang bekerja formal pun akan bergeser menjadi ruang-ruang bekerja informal dengan kriteria-kriteria tertentu. Kata Kunci: teknologi informasi dan komunikasi, internet, industri kreatif, gaya bekerja, ruang bekerja, ruang informal, ruang formal.

ABSTRACT Era development, followed by development in information and communication technology, affect people’s lifestyles, both directly and indirectly. These lifestyles including the way to socialized, transact, and work on jobs. In profession, by the existence of technology such internet, formed a new definition and preference of space that used for working. This phenomenon started to be seen by tendency of working in cafe, meeting in co-working space, even working from home instead of office. Even though this phenomenon doesn’t make a really matter change in most jobs, but in digital based creative industry, it changes a lot of things in process, system, even the way of work. It substitute the intensity of direct interaction needs with the need of internet as as tool to get the work done. In the other side, the need of workspace in formal space (office) is going to be shift to informal spaces with criteria that need to be fulfilled. Key Words: information and communication technology, creative industry, way of work, workspace, informal space, formal space

1.

PENDAHULUAN

Teknologi informasi dan komunikasi seperti internet banyak mempermudah manusia dalam mencari sumber informasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Melalui sarana – sarana yang ada dalam internet kita dapat memperoleh informasi dengan mudah, praktis dan cepat sehingga tidak membuang waktu. 100


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Teknologi informasi dan komunikasi banyak memengaruhi setiap unsur rantai nilai, mengubah cara melaksanakan kegiatan bernilai, serta mengubah hubungan antar kegiatan tersebut. Teknologi informasi menyebabkan komunikasi jarak jauh dapat dilakukan dengan mudah. Dan juga menyebabkan informasi tentang keadaan konsumen, harga bahan mentah dan keadaan pasar di semua negara dapat diketahui dengan mudah dan cepat. Hal ini membantu kegiatan sebuah pekerjaan menjadi mudah, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga antar negeri. Sementara itu, di dalam dunia kerja pun, teknologi informasi dan komunikasi banyak berpengaruh, baik itu berpengaruh terhadap cara bekerja maupun terhadap sistem bekerja. Disamping itu, jenis pekerjaan secara umum dibagi menjadi dua yaitu jenis pekerjaan formal dan informal. Pekerjaan formal adalah suatu pekerjaan yang karyawannya bekerja untuk satu perusahaan dan memiliki beberapa jenis perjanjian kerja, penetapan gaji, jam kerja sama setiap tahunnya, dan yang paling penting adalah jenis pekerjaan ini memiliki tempat yang stabil. Disamping itu, pekerjaan informal adalah situasi kerja yang berarti orang-orang yang melakukan pekerjaan ini tidak memiliki kontrak dan bekerja hanya untuk beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Pekerja informal biasanya menjadi pekerja musiman atau temporer. Para pelaku pekerjaan informal ini juga bisa melakukan pekerjaannya hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Cara bekerja yang berubah memengaruhi kebutuhan pekerjaan akan ruang. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan ruang bekerja dari tahun ke tahun. Sebelum abad ke-19 pekerja melakukan kegiatannya di kantor-kantor kecil yang tidak jauh dari rumah bahkan menyatu dengan rumah mereka, hal ini dapat dipertimbangkan sebagai apa yang disebut dengan Small Office/ Home Office (SOHO) pada dewasa ini. Adapun sejak adanya revolusi industri, seluruh produksi dilakukan secara massal yang menyebabkan seluruh pekerja dikumpulkan menjadi satu untuk memproduksi secara bersama-sama. Fenomena ini juga terjadi pada pekerja “berkerah putih� sebagai bagian administratif yang dikumpulkan pada bangunan-bangunan besar. Pada tahun 1980, dengan adanya komputer personal dan faksimili, serta terobosan dalam bidang telekomunikasi, pekerjaan dapat dilakukan secara desentralisasi yang menguntungkan pekerja dalam biaya transportasi serta produktifitasnya. Dimulai sejak pertengahan tahun 2000-an praktik coworking dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Demikianlah teknologi informasi dan komunikasi secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan perubahan cara bekerja, hingga membentuk kebutuhan baru atas ruang bekerja. Dan paper ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap kriteria ruang bekerja pelaku industri kreatif. Sehingga bisa didapatkan hasil ruang kerja seperti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku industri 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Teknologi Informasi dan Komunikasi Teknologi informasi dan komunikasi merupakan istilah umum yang mencakup perangkat komunikasi atau aplikasi meliputi: radio, televisi, telepon seluler, komputer, dan jaringan perangkat keras dan perangkat lunak, sistem satelit dan sebagainya. Menurut Information Technology Association of America (ITAA), teknologi informasi (TI) di definisikan sebagai studi, perancangan, pengembangan, implementasi, dukungan atau pengelolaan sistem informasi berbasis komputer, khususnya aplikasi perangkat lunak dan perangkat keras komputer. Vasudevan (2003) berargumen, bahwa teknologi informasi, dalam rentang waktu yang pendek telah menjadi suatu keharusan dalam setiap organisasi. Teknologi informasi menjadikan revolusi setiap aktivitas kehidupan dan memberi makna baru pada kata ‘kenyamanan’.

101


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Manfaat dari teknologi informasi dalam dunia usaha memungkinkan suatu organisasi dapat bekerja lebih efisien dan untuk memaksimalkan produktivitas. Komunikasi pun dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, serta perlindungan dokumen-dokumen yang dimiliki dapat tersimpan dengan lebih aman. Selain itu, teknologi informasi harus dilakukan dengan aplikasi komputer, yang hampir di setiap tempat kerja bergantung pada alat ini. Sejak sistem komputerisasi semakin berkembang dan begitu banyak digunakan, hal ini memberikan keuntungan untuk menggabungkan teknologi informasi ke dalam organisasi kerja. Disamping teknologi informasi dan komunikasi, ada istilah lain yang tak asing di telinga masyarakat dewasa ini yaitu internet. Internet adalah suatu sistem di seluruh dunia yang terdiri dari jaringan komputer -- jaringan dari jaringan dimana pengguna pada satu komputer dapat dan jika mereka memiliki izin mereka dapat mengakses dan mendapatkan informasi dari komputer lain. Tujuan awal adanya internet (ARPANet) ini adalah untuk menciptakan jaringan, selain itu satu sisi manfaat dari desain ARPANet ini adalah bahwa, karena pesan dapat diarahkan atau dialihkan di lebih dari satu arah, jaringan dapat terus berfungsi bahkan jika bagian itu hancur dalam peristiwa serangan militer atau bencana sekalipun. Ada beberapa peranan Teknologi Informasi antara lain yaitu, sebagai support dalam arti bahwa teknologi informasi mendukung segala aktivitas organisasi agar dapat berjalan dengan cepat, akurat, dan mudah. Sebagai enabler, teknologi informasi memberikan solusisolusi baru dalam menyelesaikan persoalan yangdihadapi organisasi. Sedangkan sebagai business drivers, teknologi informasi menjadi main/core business dalam aktivitas organisasi dalam arti memberikan arah baru dalam bisnis organisasi/ perusahaan Dan karena hadirnya internet dewasa ini kita semakin mudah dalam hal bertukar informasi dan data serta dapat menjalin komunikasi yang lebih dekat dengan orang yang berada jauh dari kita. Dan saat ini dirasa tidak mungkin untuk melakukan kegiatan usaha/bisnis tanpa bantuan teknologi informasi dan komunikasi ini.

2.2. Industri Kreatif Istilah industri kreatif merupakan istilah lain dari industri budaya. Istilah ini pertama kali digunakan pada awal tahun 1990-an di Australia, tetapi kembangkan dengan pesat oleh pemerintah Inggris pada akhir tahun 1990-an. Pemerintah Inggris secara khusus membentuk Unit dan Penanggung jawab Industri Kreatif di bawah Departemen Budaya, Media, dan Olah Raga (Primorac, 2006). Banyak definisi dari industri kreatif, salah satu definisi yang banyak dikutip adalah industri yang mempunyai keaslian dalam kreatifitas individual, ketrampilan dan bakat yang mempunyai potensi untuk mendatangkan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja melalui eksploitasi kekayaan intelektual. Sedangkan menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), industri kreatif adalah (UNCTAD, 2008): •

Siklus kreasi, produksi, dan distribusi dari barang dan jasa yang menggunakan modal kreatifitas dan intelektual sebagai input utamanya;

•

Bagian dari serangkaian aktivitas berbasis pengetahuan, berfokus pada seni, yang berpotensi mendatangkan pendapatan dari perdagangan dan hak atas kekayaan intelektual;

•

Terdiri dari produk-produk yang dapat disentuh dan intelektual yang tidak dapat disentuh atau jasa-jasa artistic dengan muatan kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar;

•

Bersifat lintas sektor antara seni, jasa, dan industri; dan 102


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

•

Bagian dari suatu sektor dinamis baru dalam dunia perdagangan.

Klasifikasi industri kreatif yang ditetapkan oleh tiap negara berbeda-beda. Tidak ada benar dan salah dalam pengklasifikasian industri kreatif ini. Hal tersebut tergantung dari tujuan analitik, dan potensi suatu negara. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia mengelompokan industri kreatif menjadi 14 kelompok bidang industri diantaranya: (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fesyen, (7) vidio, film dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak (13) televisi dan radio, (14) riset dan pengembangan (Mauled: 2010). 2.3. Ruang Bekerja Ruang bekerja adalah suatu tempat untuk melakukan kegiatan yang umumnya berhubungan dengan mata pencaharian atau sumber nafkah. Pekerjaan yang dilakukan bisa bermacam-macam, mulai dari administrasi sampai kreatif. Dalam perkembangannya, kegiatan yang merupakan hobi atau aktivitas untuk mengisi waktu juga layak disebut pekerjaan, apalagi jika hobi atau aktivitas tersebut bisa menghasilkan uang, walaupun mungkin tidak berkala. (Akmal, Imelda. 2007. Seri Menata Rumah Ruang Kerja. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama). Sedangkan definisi tempat kerja menurut OHSAS 18001:2007 ialah lokasi manapun yang berkaitan dengan aktivitas kerja di bawah kendali organisasi (perusahaan). Kenyamanan ruang kerja haruslah diperhatikan karena hal ini dapat berpengaruh pada mood maupun efektivitas dan produktivitas orang yang bekerja di tempat tersebut. Robert Walters menyebutkan variabel desain yang dapat memengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan akan ruang bekerja, antara lain: 1. Ruang privat 2. Partisi visual 3. Ruang berkumpul dan kolaborasi 4. Partisi akustik Dewasa ini, ruang bekerja sudah berkembang. Setiap jenis ruang bekerja memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri terhadap kriteria dan variabel desain. Tadashi UDA (2013) membagi ruang bekerja ke dalam 4 jenis, yaitu: 2.3.1. Small Office/ Home Office (SOHO) Pada umumnya SOHO menawarkan tempat bekerja bagi individu yang memiliki dan mengoperasikan bisnis secara pribadi atau individu yang mempekerjakan diri sendiri (freelancer). Untuk seorang freelancer, SOHO memberikan kebebasan tinggi diakibatkan jarak dengan pekerja lain sangat besar. Namun pekerja cenderung untuk menyendiri.

103


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1. Small Office/Home Office (Sumber:http://www.sohopodomorocity.com/wp-content/uploads/2014/04/soho-poci-showunit-514x390.jpg )

2.3.2. Kantor Korporasi Kantor korporasi merupakan ruang bekerja untuk anggota yang berada di bawah suatu organisasi (perusahaan), dimana biasanya anggota bekerja denga meja-meja yang diatur berdekatan sehingga jarak dengan pekerja lain menjadi sangat dekat. Kantor korporasi juga sangat membatasi akses pekerja dengan orang lain diluar anggota organisasi, hal ini yang membuat keterbukaan kantor korporasi menjadi buram jika dibandingkan dengan jenis ruang bekerja lainnya.

Gambar 2. Kantor Korporasi (Sumber:http://i0.wp.com/www.gultomlawconsultants.com/wp-content/uploads/2014/08/Perbandingan-IzinPendirian-Kantor-Perwakilan-Perusahaan-Asing-Izin-Pendirian-Perwakilan-Perusahaan-Perdagangan-Asing-dan-IzinPendirian-Perwakilan-Perusahaan-Jasa-Konstruksi-Asing.jpg )

2.3.3. Fasilitas Inkubasi Fasilitas inkubasi paling menyerupai coworking space. Ruang bekerja ini merupakan fasilitas untuk mendukung kewirausahaan dari individu maupun korperasi. Fasilitas inkubasi memberikan biaya dan lokasi yang lebih menguntungkan dibandingkan tenant biasa dan kantor sewa, selain itu tersedia juga berupa informasi mengenai aktivitas 104


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

bisnis, seperti strategi bisnis, berkaitan dengan legal dan hukum, serta marketing. Adapun fasilitas ini berbentuk ruang individu ataupun fixed booth.

Gambar 3. Incubator space (Sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/99/53/72/995372df8894047aad7981786a398f34.jpg )

2.3.4. Coworking Office Coworking memiliki arti melakukan pekerjaan secara bersama. Pada dasarnya coworking space merupakan ruang terbuka yang digunakan bersama oleh entitas berbeda dengan keanggotaan dan kunjungan yang dapat dilakukan tanpa reservasi ataupun janji terlebih dahulu. Keanggotaan biasanya menargetkan pihak yang menggunakan ruang secara reguler dan biasanya membayar untuk penggunaan bulanan. Coworking space memiliki kelebihan dalam keterbukaan akan informasi dan relasi.

Gambar 4. Coworking Office (Sumber: https://startupxplore.com/en/blog/wp-content/uploads/2014/08/betahaus-coworking-berlin.png )

3.

DESKRIPSI KASUS

Dewasa ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, tak terkecuali pekerjaan. Mulai dari cara bekerja dan sistem bekerja tidak bisa lepas dari bantuan teknologi ini. Pada kasus ini, bidang pekerjaan yang dibahas adalah bidang pekerjaan industri kreatif dengan Studi Kasus di Kota Bandung). Bidang industri pun bermacam-macam, dan dalam hal ni dikerucutkan menjadi bidang pekerjaan industri kreatif yang berjalan secara digital (memanfaatkan internet sebagai salah satu media bekerja).

105


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.1. Tinjauan Kasus Perkembangan bidang Teknologi Informasi, ilmu pengetahuan dan kreativitas telah memicu wacana mengenai industri kreatif, yang saat ini telah menjadi fenomena global. Dalam industri kreatif khususnya peranan teknologi informasi menjadi dominan dalam menghasilkan karya kreatif. Diantara 13 kelompok industri kreatif, setidaknya 10 industri sangat terkait erat dengan teknologi informasi. Industri tersebut yaitu industri periklanan, arsitektur, desain, video, film dan fotografi, permainan interaktif (game), musik, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, juga riset dan pengembangan.Tersedianya piranti keras sebagai pendukung utama subsektor industri kreatif dalam mengolah data, memproduksi, pasca produksi dan distribusi. Perkembangan teknologi processor ini menawarkan kemudahan-kemudahan yang dapat dinikmati dalam proses pembuatan menjadi lebih cepat dan tingkat kualitas yang dihasilkan lebih baik. Dalam paper ini penulis meninjau kasus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memengaruhi kriteria ruang bekerja yang dibutuhkan oleh para pelaku industri kreatif dalam tiga bidang yaitu sebagai berikut : 3.1.1. Teknologi Informasi Bekerja dengan mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu keuntungan bagi para pekerja, karena mereka dapat bekerja secara fleksibel pun di tempat yang berbeda. Semakin berkembang bumi ini, semakin berkembang pula generasi-generasi yang ada. Salah satu IT yang sangat diandalkan di dunia belakangan ini adalah google. Google mencoba untuk membuat karyawan mereka bahagia dan produktif. Kini perusahaan lain memulai untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi dengan melibatkan karyawan dalam kegiatan kreatif dan menawarkan intensivitas yang membantu mereka menikmati pekerjaan mereka dan merasa positif dengan diri mereka sendiri. Google membiarkan ratusan teknisi software-nya, bisa mendesain meja atau ruang bekerjanya sendiri. Beberapa memiliki meja berdirinya sendiri, dan beberapa dipasang treadmills sehingga mereka bisa berjalan sambil bekerja. Para karyawan mengekspresikan dirinya dengan menulis di dinding. Beberapa terlihat sedikit berantakan, seperti beberapa kemah pengungsi dengan teknologi tinggi, tapi Google mengatakan bahwa memang para teknisi menyukai hal tersebut. Disamping itu google sendiri selain memiliki kantor tetap, dia pun juga memiiki beberapa volunteer yang dapat mengerjakan tugas pekerjaannya di luar kantor. Mereka bisa mengerjakan di lain tempat dengan mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai medianya. 3.1.2. Fesyen Pendekatan melalui dunia maya memberikan keuntungan pada pekerja secara luas, termasuk orang tua yang bekerja sambil mengasuh, pekerja usia lanjut, hingga pekerja profesional yang merupakan generasi Y, yang selalu mendambakan gaya hidup yang fleksibel dari awal. Generasi yang ada masa kini merupakan generasi yang fasih akan dunia digital. Teknologi mobile dan peralatan kolaborasi online telah menimbulkan transformasi akan bagaimana sebuah pekerjaan di industri fesyen di selesaikan. Beberapa perusahaan pun telah mengadopsi teknologi komputasi berbasis cloud atau platform berbagi data seperti Evernote dan Dropbox. Ekspansi global juga memungkinkan untuk terjadinya sistem bekerja melampau perbedaan waktu, batas negara, dan budaya. Menurut Josh Gartner, wakil direktur korporasi internasional JD.com waktu kerja normal tidak terlalu membantu untuk sistem bekerja mereka, korporasi ini tidak bekerja tepat bekerja pada waktu 106


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

pada umumnya (9.00-17.00), melainkan tim mereka tetap bekerja dengan brand fesyen dari US, UK, negara-negara di benua Eropa, China, bahkan Australia juga bekerja. Karyawan tak lagi harus diikat bersama dalam suatu satuan tempat. Dalam keadaan seperti ini, setiap pekerja dapat bekerja bersama-sama dari mana saja di seluruh dunia. Semakin banyak tim yang bekerja melampaui batas waktu, waktu kerja tradisional (9.00-17.00) akan semakin tertinggal zaman. Apabila di telisik melalui sisi konsumen, teknologi memungkinkan untuk melakukan pencarian desainer favorit, merk, toko online melalui telepon genggam dan memesan apapun yang diinginkan dalam hitungan menit. Aksesibilitas ke fesyen favorit juga semakin luas dari yang bisa dibayangkan. Dari sisi penyedia produk fesyen, penjualan, pencarian akan tren, dan stok bisa dilakukan dari hampir dimana saja, dan penentu kebijakan dapat mengawasi berbagai hal yang terjadi di industri fesyen. 3.1.3. Desain Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan dampak yang sangat besar terhadap bidang desain, terutama pada lingkup desainnya sendiri. Dengan adanya komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak untuk desain, seorang awam dapat menciptakan sebuah karya desain. Hal inilah yang membuat definisi desainer menjadi kabur dan nilai desain yang tidak dihargai. Di satu pihak, teknologi ini sangat bagus, menciptakan keragaman, tidak terbatas, dan merupakan mesin yang kuat dalam mempersingkat jarak antar ide dan produk, namun di pihak lainnya teknologi merugikan orang yang memiliki ketertarikan dengan dunia desain biasa. Dalam dunia profesi, lingkungan bekerja desainer menjadi semakin terfregmentasi. Agensi desain bisa dengan mudah dijalankan dari rumah, tidak memerlukan interaksi secara langsung dengan pekerjaan. Pelaku desain hanya perlu menghabiskan waktu di meja setiap saat. Profesi desain tidak dapat dilepaskan dari proses brainstorming, terlebih dalam industri desain yang melibatkan lebih dari seorang desainer saja. Jika pekerjaan dilakukan melalui media internet, brainstorming akan berjarak dan dilakukan secara lepas, walaupun ada teknologi conference call dan video call, tidak dapat menggantikan kebutuhan akan interaksi langsung dan komunikasi yang dilakukan dengan bahasa tubuh. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membantu industri desain dalam sub-bidang pemasaran dan periklanan. Informasi yang dibutuhkan oleh konsumen dapat diperoleh dengan cepat dan mudah. Selain itu, interaksi antara pelaku industri desain dan konsumen dapat dilakukan melalui internet, adapun interaksi langsung masih dibutuhkan. 3.2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode wawancara dan studi literatur. Narasumber yang diwawancara merupakan 3 narasumber yang berbeda latar belakang pekerjaan. Tiga narasumbernya yaitu seorang volunteer dari salah satu perusahaan TI, seorang yang bekerja di start-up fesyen, dan seorang yang bekerja di bidang desain produk. Narasumber 1 Narasumber pertama berasal dari sebuah perusahaan bidang teknologi informasi, spesifiknya dia merupakan seorang volunteer perusahaan ini. Menurutnya, formal dan tidak formalnya suatu kantor ditentukan oleh suasana yang hendak dibawa oleh kantor tersebut. Terkhusus untuk bidang ini, menurut pengakuannya, pekerjaan bisa dilakukan 107


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dengan sistem remote, dimana ia dapat mengerjakan di tempat yang berbeda dengan orang yang menugaskan pekerjaan itu kepadanya. Disamping itu, beliau mengelompokkan ruang bekerjanya sendiri menjadi formal dan non-formal. Untuk ruang bekerja formal, dapat dipisah menjadi formal secara layour maupun struktur ruang bekerja (hierarki). Sementara itu, ruang bekerja informal lebih bebas secara layout. Tapi, menurut beliau di bidang teknologi informasi ini, tetap butuh kantor meskipun pekerjaannya bisa dilakukan dengan berpindah-pindah tempat. Alasan perlu adanya kantor adalah untuk intitas legal dan sebagai interaksi langsung (seperti untuk koordinasi satu sama lain). Narasumber 2 Narasumber kedua berasal dari sebuah perusahaan bidang fesyen, terkhusus pada aksesoris. Perusahaan ini merupakan perusahaan start-up yang mencampurkan elemen tradisional dan modern dalam balutan aksesoris siap pakai. Perusahaan ini berasal dari sebuah school project yang kemudian dilanjutkan menjadi perusahaan independen oleh beberapa pendirinya. Narasumber sendiri merupakan bagian Human Resource Manager merangkap Marketing Manager. Perusahaan ini sekarang dibawah kepengurusan 6 orang dan karena masih sebuah start-up company, secara umum hanya terdiri atas 3 bagian besar yaitu finance, marketing dan operational. Produk mentah yang dijual di buat oleh pihak diluar perusahaan kemudian di assembly oleh perusahaan start-up ini. Tempat yang seringkali digunakan untuk rapat, bertukar pikiran, hingga perancangan rencana kedepan adalah cafe. Sedangkan untuk menyimpan produk, dipilihlah salah satu tempat tinggal dari anggota perusahaan tersebut. Hingga saat ini, tempat rapat yang dipilih masih diantara berbagai variasi cafe atau restauran. Sedangkan untuk keperluan rapat mengenai kolaborasi atau kerjasama lainnya dengan pihak luar, perusahaan ini memilih cafe. Apabila akan dijalin kerjasama dengan perusahaan besar, rapat di langsungkan di kantor perusahaan terkait. Kegiatan marketing yang dilakukan oleh perusahaan ini seluruhnya dilakukan secara online. Tidak hanya kegiatan marketing, mendukungnya teknologi memungkinkan pengadaan rapat koordinasi via conference call saat tidak memungkinkan untuk berkumpul. Menurut narasumber, perbandingan antara rapat koordinasi online dan tatap muka mencapai 3:7. Narasumber 3 Narasumber ketiga berasal dari usaha desain produk, khususnya furnitur. Produk yang ditawarkan merupakan furnitur berbahan dasar beton dengan desain minimalis, mulai dari meja hingga hiasan meja berupa asbak. Narasumber merupakan co-founder dari usaha ini yang juga memiliki tugas dalam bagian Public Relation, kegiatan yang dilakukan pada umumnya adalah pemasaran dan bertanggung jawab terhadap sumber daya manusia dalam produksi. Pemasaran sendiri dibagi menjadi dua, secara langsung dan melalui online. Usaha furnitur ini memiliki kantor di daerah Cikutra, Bandung sedangkan untuk bengkelnya berada di Parompong. Sebelum adanya kantor ini, sebagai usaha start-up pelaku usaha bermarkas di salah satu rumah co-founder. Saat ini walaupun usaha ini merupakan usaha yang tidak terikat korporasi besar, usaha ini memiliki jadwal yang harus dipenuhi. Tidak semua kegiatan pekerjaan harus diselesaikan dengan berada di kantor, seperti pemasaran yang melalui internet, tetapi dengan bekerja di suatu tempat yang sama akan memudahkan koordinasi dengan divisi lain. Untuk pekerjaan relasi secara langsung pada umumnya dilakukan di luar kantor, seperti di cafe ataupun pameran yang berhubungan dengan bidang usaha ini.

108


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Industri kreatif berbasis digital terdiri dari berbagai jenis, contohnya industri kreatif yang berjalan di bidang teknologi informasi, fesyen, dan desain. Dari ketiga industri kreatif ini, masing-masing memiliki kebutuhan akan ruang kerja. Pada industri kreatif di bidang teknologi informasi yang sudah berkembang, pelaku pekerjaan ini memerlukan ruang bekerja yang memudahkan adanya koordinasi antara satu pelaku pekerjaan dengan pelaku yang lain. Karena bidang ini merupakan salah satu bidang yang memiliki tingkat pekerjaan yang cukup sulit di bidang industri kreatif, bidang ini memerlukan koordinasi dan tatap muka dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain yang lebih sederhana. Selain itu, mengingat pekerjaan yang dilakukan lebih banyak bergantung dengan teknologi informasi dan komunikasi (baik perangkat keras maupun perangkat lunak), kantor yang memang didesain dan diperuntukkan untuk bidang ini akan memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibanding dengan tempat lain yang tidak memiliki atau menyediakan fasilitas tersebut. Namun, para pekerja ini juga masih bisa menyelesaikan pekerjaannya di ruang bekerja informal, seperti cafe maupun coworking office namun ruang ini digunakan untuk memfasilitasi pelaku untuk menyelesaikan pekerjaan individu (dengan ketentuan mereka memiliki perangkat keras dan perangkat lunaknya sendiri). Pada bidang fesyen, khususnya dalam ini perusahaan start-up, ruang bekerja yang diperlukan cukup sebatas ruang yang dapat menampung personil dari perusahaan itu sendiri dan menghadirkan keleluasaan personil untuk dapat brainstorming bersama-sama serta mengekspresikan pendapat dan idenya. Maka dari itu cafe maupun coworking space menjadi suatu pilihan utama sesuai dengan sifatnya yang kaya keterbukaan akan informasi dan relasi. Sejalan dengan kebutuhan sebuah industri start-up yang sedang giat-giatnya menghimpun kerjasama dengan perusahaan lainnya. Adanya internet juga memungkinkan kegiatan displaying dan kegiatan pemasaran bisa diselesaikan tanpa harus menggunakan ruangan fisik. Jumlah personil perusahaan yang masih sedikit di dalam perusahaan start-up fesyen ini membuat tercukupkannya kebutuhan koordinasi hanya melalui internet, berbeda dengan perusahaan dengan jumlah personil yang banyak. Kantor tetap bukan menjadi suatu kebutuhan primer yang dibutuhkan sebuah perusahaan start-up bidang fesyen karena sifatnya yang dinamis dan cenderung ‘mengejar bola’. Pada bidang desain yang sudah berkembang, pelaku industri memerlukan ruang bekerja yang memudahkannya dalam berkoordinasi, mengingat kebutuhan akan intensitas koordinasi yang lebih tinggi dibandingkan saat start-up. Kegiatan yang hanya melibatkan divisi tertentu dapat dilakukan secara terpisah dengan ruang yang digunakan untuk koordinasi. Salah satu bentuk kegiatan ini adalah kegiatan di bawah divisi relasi. Pencarian relasi ketika usaha telah berkembang akan berbeda dengan pencarian relasi ketika masih start-up karena tentu relasi yang dimiliki sudah cukup banyak. Hal ini juga menyebabkan kebutuhan akan dua ruang yang berbeda yaitu ruang untuk internal usaha dan ruang untuk membuka relasi. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan kantor sebagai ruang bekerja untuk bidang desain dan pemilihan cafe ataupun pameran sebagai ruang untuk menjalin relasi. 4.2. Interpretasi Data Pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses penyelesaian pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan di dalam sebuah industri kreatif. Baik proses komunikasi dan koordinasi antara internal maupun eksternal industri kreatif dapat di selesaikan melalui internet. Internet memungkinkan pekerjaan secara individual masih bisa dikerjakan secara remote atau mobile.

109


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Walaupun demikian, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak serta merta membuat kebutuhan akan ruang formal yang memungkinkan adanya interaksi langsung dengan rekan kerja kita menjadi hilang. Kebutuhan akan ruang bekerja dimana kita dapat berinteraksi langsung dengan rekan tetap ada, namun kriterianya berbeda-beda sesuai dengan skala perusahaan dan kegiatan yang dilakukan di dalam pekerjaan. 5.

PENUTUP

Teknologi informasi dan komunikasi secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan perubahan cara bekerja, hingga membentuk kebutuhan baru atas ruang bekerja. Studi yang dilakukan terhadap 3 jenis industri kreatif, yaitu Teknologi Informasi, Fesyen, dan Desain menunjukan kebutuhan akan ruang sesuai dengan bidang dan skala industrinya. Dari ketiga bidang tersebut dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi sangat membantu dalam penyelesaian pekerjaan. Walaupun sudah ada teknologi yang memfasilitasi interaksi virtual tetap dibutuhkan interaksi secara langsung yang meliputi ekspresi, bahasa tubuh, dan kontak mata yang tidak dapat digantikan oleh interaksi virtual. Oleh sebab itu diperlukan adanya ruang kerja yang mewadahi kegiatan tersebut baik ruang kerja formal maupun informal. Adapun kebutuhan kedua ruang ini dipengaruhi oleh kebutuhan masing-masing usaha industri. Usaha start-up fesyen belum membutuhkan kantor korporasi dikarenakan kebutuhan ruang hanya sebatas ruang berkumpul bersama yang hanya dibutuhkan pada waktu tertentu sehingga cafe dan coworking space dapat menjadi ruang yang tepat. Untuk seorang volunteer Teknologi Informasi, membutuhkan ruang dimana ia memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang berupa perangkat keras sebagai media kerjanya, bagaimanapun ia lebih memilih kantor korporasi sebagai wadah ia berinteraksi dengan rekan kerja sekalipun pekerjaanya merupakan pekerjaan mobile. Untuk sebuah usaha desain produk yang sudah berkembang kebutuhannya menitikberatkan pada koordinasi secara langsung sehingga membutuhkan kantor korporasi untuk melakukan seluruh kegiatan pekerjaan namun ada kegiatan pekerjaan yang dapat dilakukan secara mobile seperti pemasaran. Dari semua itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memengaruhi kebutuhan akan ruang bekerja. Begitu pula dengan kebutuhan mengenai ruang bekerja pelaku industri kreatif. Namun kebutuhan tersebut berbeda-beda sesuai dengan skala usaha dan kegiatan yang dilakukan di dalam pekerjaan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ternyata tidak secara otomatis mengubah kebutuhan akan ruang kerja sepenuhnya bergeser ke arah virtual. Adanya kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, menyebabkan interaksi sosial tidak semudah itu digantikan sebatas komunikasi melalui internet. Kebutuhan akan ruang bekerja mungkin bergeser dengan adanya kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh teknologi yang telah ada, namun hanya akan menyebabkan penyesuaian bukan perubahan secara signifikan.

110


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

6.

DAFTAR PUSTAKA Chitrakorn, Kati. (2016). The Workplace of the Future [Online]. Tersedia: https://www.businessoffashion.com/articles/careers/the-workplace-of-the-future-barbarian-groupzappos-zalando-jd-value-retail-brunello-cucinelli (diakses pada tanggal 8 Desember 2016 pukul 15.12) Howarth, David. What Effect Has Technology Had on the Design Process within Graphic Design over the Last 25 Years? [Online]. Tersedia: https://www.academia.edu/10855428/What_effect_has_technology_had_on_the_design_process_within _graphic_design_over_the_last_25_years http://ebusiness.mit.edu/erik/itw-final.pdf (diakses pada tanggal 8 Desember 2016) http://searchwindevelopment.techtarget.com/definition/Internet (diakses pada tanggal 7 Desember 2016 pukul 12.25) http://slyce.it/2015/04/01/how-technology-is-driving-the-fashion-industry-forward/ (diakses pada tanggal 8 Desember 2016 pukul 15.00)

http://www.academia.edu/3823751/PERAN_TEKNOLOGI_DALAM_INDUSTRI_KREATIF_INDONESIA pada tanggal 7 Desember 2016 pukul 12.25)

(diakses

http://www.propertygroup.co.nz/assets/Office-space-whitepaper-Final-low-res.pdf (diakses pada tanggal 7 Desember 2016 pukul 12.25) https://www.thesquarefoot.com/leasopedia/what-are-the-different-types-of-office-space tanggal 6 Desember 2016 pukul 16.25)

(diakses

pada

Uda, Tadashi. (2013). What is Coworking? A theoretical Study on the Concept of Coworking. [Online]. Tersedia: http://eprints.lib.hokudai.ac.jp/dspace/bitstream/2115/53982/1/DPA265.pdf (diakses pada tanggal 7 Desember 2016 pukul 22.58) Walters, Robert. Work Space Design Variables and Their Impact on Productivity, Loyalty and Engagement. [Online]. Tersedia: http://www.propertygroup.co.nz/assets/Office-space-whitepaper-Final-low-res.pdf (diakses pada tanggal 7 Desember 2016 pukul 23.11)

111




ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

PROSIDING

AR 4151 SEMINAR ARSITEKTUR

Dosen Pengampu: Prof. IWAN SUDRAJAT, MSA. P.hD

2016-2017



Prosiding AR4151 Seminar Arsitektur ASPEK-ASPEK PERANCANGAN ARSITEKTUR DAN IMPLEMENTASINYA

Editors Sri SURYANI Nissa Aulia ARDIANI

School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung

Copyright and Reprint Permission All rights reserved. This book, or parts thereof, may not be reproduced in any form or by any means, electronic or mechanical, including photocopying, recording, or any information storage and retrival system now known or to be invented, without written permission from Architecture Seminar

All Rights Reserved. Š 2017 by School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung, INDONESIA Tel. +62-22-2504962, Fax. +62-22-2530705



DAFTAR ISI

Efektivitas Ruang Terbuka sebagai Rona Interaksi Informal Mahasiswa di Zona Tenggara ITB .................................................................................................................................................................................................. 1 Identifikasi Kendala Sistem Kantin untuk Mahasiswa di Kampus ITB Ganesha ....................................... 11 Preferensi Mahasiswa Desain Terhadap Layout Studio pada Gedung C.A.D.L. ......................................... 27 Evaluasi Tingkat Kenyamanan Ruang Pembinaan Mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB ..................................................................................................................................................................... 40 Pengaruh Distribusi Spasial dan Kualitas Fisik Terhadap Efektivitas Kerja Unit Kegiatan Mahasiswa Rumpun Seni Budaya di ITB Ganesha ................................................................................................... 52 Tingkat Kepuasan Komunitas Dosen Matematika dan Astronomi Terhadap Fasilitas Gedung Centre of Advance Science (CAS) ...................................................................................................................................... 62 Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Kondisi Fisik Sekretariat Himpunan Program Studi Sarjana di ITB Ganesha ........................................................................................................................................................ 76 Tingkat Kesesuaian Pemanfaatan Laboratorium Uji Doping Institut Teknologi Bandung untuk Fungsi Baru ................................................................................................................................................................. 92



AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EFEKTIVITAS RUANG TERBUKA SEBAGAI RONA INTERAKSI INFORMAL MAHASISWA DI ZONA TENGGARA ITB Suci FEBRIYANI, Annisa Zakira FILLAH, dan Lilis YUNIATI Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: ucifebriyani@gmail.com; annisa.zakira@gmail.com; yliliss30@gmail.com

ABSTRAK Aktivitas yang dilakukan mahasiswa sangatlah beragam, mulai dari kegiatan formal dan informal. Kegiatan informal seperti bersosialisasi, mengerjakan tugas, dan belajar kelompok dapat diwadahi oleh ruang terbuka yang ada di kampus. Ruang terbuka di ITB tersebar di beberapa zona sesuai program studi mahasiswa. Ruang terbuka ini memiliki karakteristik dan keunikannya masing-masing, menimbulkan beragam preferensi mahasiswa dalam menggunakannya. Dari kebutuhan dan kualitas masing-masing ruang, dapat dilihat kolerasinya dengan realisasi penggunaan, kemudian efektivitas dapat diukur. Dari efektivitas ini, dapat dilihat kriteria ruang terbuka yang baik di ITB. Kata Kunci: ruang terbuka, interaksi informal, kriteria

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Ruang berkumpul sudah menjadi kebutuhan mahasiswa untuk berinteraksi dan melakukan kegiatan lain diluar waktu kuliahnya. Kegiatan tersebut dapat berupa mengerjakan tugas, beristirahat, atau sekedar bertemu dengan teman. Mahasiswa tentunya dapat memanfaatkan ruang-ruang di dalam gedung kuliah sebagai ruang berkumpul. Namun padatnya kegiatan akademik di dalam gedung kuliah cenderung menstimulasi rasa bosan dan penat untuk melakukan kegiatan informal seperti diatas. Dalam kasus ini yaitu di Institut Teknologi Bandung (ITB), ruang-ruang berkumpul terbentuk di area terbuka dan berada diantara gedung-gedung kuliah yang ada. Mahasiswa ITB dapat memanfaatkan ruang terbuka ini sebagai sarana interaksi informal dan pengembangan diri. Ruang terbuka dapat dijadikan pemicu keaktifan mahasiswa dan wadah berkumpulnya komunitas yang ada di lingkungan mahasiswa. Karena bersifat publik, ruang terbuka yang dijadikan tempat berkumpul di ITB memiliki akses yang mudah baik untuk mahasiswa maupun orang luar. Karakteristik yang dimiliki ruang terbuka diantaranya adalah suasana yang lebih nyaman dan liveable terutama untuk kegiatan-kegiatan informal mahasiswa. Adanya interaksi langsung dengan lingkungan luar mempengaruhi kualitas ruang yang didapat oleh mahasiswa yang beraktifitas. Di ITB ruang terbuka mewadahi beberapa wilayah yang menjadi pusat aktifitas mahasiswa. Ruang terbuka ini merupakan ruang yang didesain dari awal bersama dengan desain bangunan yang ada di sekitarnya. Berada di berbagai tempat yang berbeda di wilayah kampus, ruang terbuka di ITB memiliki bentuk yang beragam diantaranya berupa taman, selasar, dan courtyard. Keberagaman lokasi dan bentuk ruang terbuka di ITB memunculkan pertanyaan mengenai tingkat optimalisasi penggunaan ruang terbuka tersebut. Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk menganalisis indikator keberhasilan dan kegagalan ruang terbuka di ITB sebagai sarana interaksi informal. 1


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah a. Mengetahui efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi mahasiswa di zona tenggara ITB b. Mengetahui faktor penyebab efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi mahasiswa di zona tenggara ITB 1.3. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah a. Bagaimana efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi mahasiswa di zona tenggara ITB? b. Apa saja faktor penyebab efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi mahasiswa di zona tenggara ITB? 1.4. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Observasi atau pengamatan langsung Observasi dilakukan secara langsung dengan mengamati elemen fisik pada setiap tempat dan mengamati jumlah dan jenis pengguna pada setiap tempat dalam waktu yang berbeda-beda. b. Wawancara Wawancara dilakukan langsung di tempat dalam waktu yang berbeda-beda dengan jumlah responden sebanyak 11 orang di setiap tempat. c. Studi Literatur Studi literatur dilakukan dengan mencari teori dari ahli dan beberapa jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

2.

KAJIAN TEORI

2.1. Definisi Ruang Terbuka Ruang terbuka merupakan suatu tempat atau area yang dapat menampung aktivitas tertentu manusia, baik secara individu atau secara kelompok (Hakim,1993). Secara teoritis pengertian ruang terbuka (open space) adalah: a. Merupakan ruang yang terdiri dari ruang keras (hard space) dibatasi oleh dinding arsitektural serta digunakan untuk aktifitas sosial dan ruang lunak (soft space) didominasi oleh lingkungan alam seperti kebun, jalur hijau, dan taman (Trancik,1986). b. Merupakan ruang 3 dimensi yang dibatasi oleh berbagai elevasi ketinggian seperti bangunan dan pohon (Krier,1979).

2


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dari pernyataan ahli diatas, maka dapat disimpulkan pengertian ruang terbuka adalah ruang yang dapat berupa hard space atau soft space yang dapat menampung aktivitas manusia. Dalam konteks kampus, ragam ruang terbuka dapat berbentuk taman, selasar, courtyard, pilotis, ataupun plaza. Kegiatan yang dapat diwadahi ruang terbuka diantaranya belajar kelompok, istirahat, sosialisasi, makan, meeting point, mengerjakan tugas, kumpul unit, dan mencari koneksi internet. Menurut William Whyte, terdapat lima unsur yang menjadi indikator keberhasilan suatu ruang publik, yaitu hubungan dengan jalan, lingkungan alami, furnitur, makanan – minuman , dan triangulasi. 2.2. Definisi Interaksi Informal Menurut KBBI, interaksi adalah hubungan sosial yang dinamis antara orang perseorangan dan orang perseorangan, antara perseorangan dan kelompok, dan antara kelompok dan kelompok, sedangkan informal berarti tidak resmi. Sehingga pengertian interaksi informal adalah hubungan sosial antara perseorangan atau kelompok yang bersifat tidak resmi. Dalam konteks kampus, interaksi informal dapat berarti hubungan sosial antar perseorangan atau kelompok di luar proses belajar mengajar di kelas. Contohnya antara lain sosialisasi, belajar kelompok, dan kumpul unit. 3.

DESKRIPSI KASUS

Pada penilitian ini, penulis akan membandingkan efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi informal mahasiswa di zona tenggara ITB. Adapun ragam ruang terbuka yang dibandingkan adalah taman lapangan cinta, selasar ATM Center, dan courtyard LFM.

Keterangan: 1.

Taman Lapangan Cinta

2.

Selasar ATM Center

3.

Courtyard LFM

Gambar 1. Peta Lokasi

3


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 2. Selasar ATM Center (Kiri), Courtyard LFM (Tengah), Taman Lapangan Cinta (Kanan)

3.1. Tinjauan Kasus Untuk menilai efektivitas ruang terbuka, penulis menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut.

Variabel Dependent

Dalam variabel independent, motivasi dan karakteristik pengguna akan memengaruhi tingkat kebutuhan terhadap ruang terbuka, sedangkan lokasi, ragam, dan fasilitas akan memengaruhi kualitas ruang terbuka. Kemudian, indikator diambil dari kondisi nyata yang ada di lapangan. Sehingga variabel independent dan indikator akan memengaruhi efektivitas ruang terbuka sebagai rona interaksi informal. 3.2. Pengumpulan Data Error! Reference source not found. menunjukkan perbandingan variabel i ndependent antara tiga ragam ruang terbuka di zona tenggara ITB. Penulis memberikan penilaian dengan skala 1-100 pada setiap variabel berdasarkan hasil observasi. Adapun range penilaian yang kami berikan adalah sebagai berikut : 1-20 sangat buruk; 21-40 buruk; 41-60 cukup; 61-80 baik; 81-100 sangat baik. Tabel 1. Perbandingan Variabel Independent R. Terbuka Variabel

Selasar ATM Center

Courtyard LFM

Taman Lapangan Cinta

4


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Motivasi

Mengambil uang di ATM, meeting point, Isitirahat, mengerjakan tugas, membeli makan di Koperasi

60

Istirahat, mencari koneksi internet, sosialisasi (ngobrol), belajar kelompok, mengerjakan tugas

80

Mengerjakan tugas, istirahat, belajar kelompok, mencari koneksi internet

70

a. Jenis kelamin

55% Perempuan

70% Perempuan

28% FMIPA, 18% Fisika Teknik

tidak dapat dinilai

64% Perempuan

b. Program studi

tidak dapat dinilai

tidak dapat dinilai

c. Angkatan

40% angkatan 2016

Karakteristik

28% FSRD, Arsitektur

18%

50% angkatan 2013

28% MPWK, FMIPA

27%

55% angkatan 2016

Lokasi a. Kedekatan

Unit LFM, ATM Center, Aula Timur, Gerbang Selatan

70

Unit LFM, ATM Center, Aula Timur, Ruang kelas 9009

64

b. Skala

Kampus ITB

Ragam

Selasar, beratap

64

Courtyard, beratap

70

Taman, tidak beratap

40

a. Kursi

8 buah

65.25

7 buah

91.175

2 buah

74.5

b. 1 set meja & kursi

6 buah

7 buah

7 buah

c. Lampu

9 buah

8 buah

4 buah

d. Tempat sampah

4 buah

4 buah

3 buah

e. Sumber listrik

0

7 buah

7 buah

f. Jumlah pohon

8 buah

1 buah

10 buah

Lokal

SAPPK, unit LFM, ATM Center, Boulevard (sirkulasi utama kampus), Campus Center Timur

70

Kampus ITB

Elemen penunjang

Rata-rata nilai

64.8

76.3

63.6

Tabel 2 menunjukkan perbandingan indikator pada tiga ragam ruang terbuka pada lima waktu yang berbeda. Waktu 1 (07.00-11.00) merupakan waktu kuliah di pagi hari; waktu 2 (11.00-13.00) merupakan waktu istirahat; waktu 3 (13.00-17.00) merupakan waktu kuliah di siang hari; waktu 4 (diatas jam 17.00) merupakan waktu selesai kuliah; waktu 5 merupakan hari libur. Penulis memberikan penilaian dengan skala 1-100 pada setiap variabel berdasarkan hasil observasi. Adapun range penilaian yang kami berikan adalah sebagai berikut : 1-20 sangat buruk; 21-40 buruk; 41-60 cukup; 61-80 baik; 81-100 sangat baik.

5


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 2. Perbandingan Indikator Ragam

Selasar ATM Center

Indikator

Bobot

Waktu 1 (07.00-11.00)

Waktu 2 (11.00-13.00)

Waktu 3 (13.00-17.00)

Waktu 4 (diatas 17.00)

Waktu 5 (hari libur)

nilai

skor

nilai

skor

nilai

skor

nilai

skor

nilai

skor

Jenis pengguna (kelompok)

40%

34

13.6

81

32.4

76

30.4

81

32.4

45

18

Jumlah pengguna

15%

42

6.3

100

15

85

12.75

53

7.95

33

4.95

15%

51

7.65

51

7.65

51

7.65

51

7.65

51

7.65

Tingkat kenyamanan

15%

67

10.05

67

10.05

67

10.05

67

10.05

67

10.05

Tingkat kepuasan

15%

78

11.7

78

11.7

78

11.7

78

11.7

78

11.7

Frekuensi dalam minggu

1

Total Courtyard LFM

49.3

72.55

69.75

52.35

Jenis pengguna (kelompok)

40%

30

12

96

38.4

96

38.4

100

40

45

18

Jumlah pengguna

15%

31

4.65

44

6.6

46

6.9

42

6.3

20

3

15%

57

8.55

57

8.55

57

8.55

57

8.55

57

8.55

Tingkat kenyamanan

15%

69

10.35

69

10.35

69

10.35

69

10.35

69

10.35

Tingkat kepuasan

15%

76

11.4

76

11.4

76

11.4

76

11.4

76

11.4

Frekuensi dalam minggu

1

Total Taman Lapangan Cinta

76.8

46.95

75.3

75.6

76.6

51.3

Jenis pengguna (kelompok)

40%

20

8

55

22

0

0

4

1.6

20

8

Jumlah pengguna

15%

10

1.5

24

3.6

0

0

1

0.15

6

0.9

15%

32

4.8

32

4.8

32

4.8

32

4.8

32

4.8

Frekuensi dalam

1

6


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 minggu

Tingkat kenyamanan

15%

69

10.35

69

10.35

69

10.35

69

10.35

69

10.35

Tingkat kepuasan

15%

66

9.9

66

9.9

66

9.9

66

9.9

66

9.9

Total

34.55

50.65

25.05

26.8

33.95

3.3. Analisis Data Diagram 1. Perbandingan Variabel Independent 80

Nilai

75 70 65 60 55 Selasar ATM Courtyard Center LFM

Ragam

Taman Lapangan Cinta

Berdasarkan perbandingan diatas, didapatkan bahwa courtyard LFM memiliki nilai variabel independent yang paling tinggi sebesar 76.3 (baik), selasar ATM Center memiliki nilai sebesar 64.8 (baik) , dan lapangan cinta memiliki nilai terendah sebesar 63.6 (baik).

7


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Diagram 2. Perbandingan Indikator 90 80 70

Nilai

60 Waktu 1 (07.00-11.00)

50

Waktu 2 (11.00-13.00) 40

Waktu 3 (13.00-17.00)

30

Waktu 4 (diatas 17.00)

20

Waktu 5 (hari libur)

10 0 Selasar ATM Center

Courtyard LFM

Taman Lapangan Cinta

Ragam

Berdasarkan diagram diatas, selasar ATM Center memiliki nilai tertinggi pada waktu istirahat (11.00 – 13.00) sebesar 76.8 (baik) dan terendah pada waktu kuliah pagi hari (07.00-11.00) sebesar 49.3 (cukup). Courtyard LFM memiliki nilai tertinggi pada waktu setelah kuliah (17.00 keatas) sebesar 76.6 (baik) dan terendah pada waktu kuliah pagi hari sebesar 46.95 (cukup). Taman lapangan cinta memiliki nilai tertinggi pada waktu istirahat (11.00-13.00) sebesar 50.65 (cukup) dan terendah pada waktu kuliah siang hari (13.00-17.00) sebesar 25.05 (buruk). 3.4. Interpretasi Data Tabel 3 merupakan akumulasi dari nilai potensi dan indikator dari data yang ada diatas. Tabel 3. Nilai Potensi dan Rata-rata Nilai Indikator Ragam

Nilai Potensi

Rata-rata Nilai Indikator

Selasar ATM Center

64.8

64.15

Courtyard LFM

76.3

65.15

Taman Lapangan cinta

63.6

34.2

Berdasarkan analisis data, Courtyard LFM memiliki nilai variabel independent (potensi) tertinggi dikarenakan tingginya motivasi pengguna, ragam ruang terbuka, dan lengkapnya fasilitas pendukung. Interaksi informal seperti istirahat, mengobrol, dan belajar kelompok menjadi motivasi pengguna courtyard LFM. Pengguna pada courtyard LFM yang berinteraksi informal lebih banyak dibandingkan dengan ragam lainnya. Hal ini disebabkan karena kualitas ruang yang lebih menarik dengan adanya innercourt, ruang 8


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

yang terlindungi oleh atap, dan kelengkapan fasilitas seperti adanya kursi, meja, sumber listrik, dan koneksi internet. Selasar ATM Center memiliki nilai variabel independent yang paling rendah dikarenakan motivasi pengguna sebagian besar bukan interaksi informal seperti mengambil uang di atm dan membeli makanan di koperasi. Meskipun tempat ini beratap, namun bentuk ruang yang berupa selasar menyebabkan banyaknya orang yang melintas. Sehingga kurang mendukung terjadinya interaksi informal. Selain itu kurangnya fasilitas yang mendukung seperti sumber listrik juga memengaruhi rendahnya nilai potensi. Sedangkan pada taman lapangan cinta, motivasi pengguna untuk berinteraksi informal cukup banyak. Selain itu tempat ini juga memiliki kedekatan dengan program studi dan memiliki fasilitas pendukung yang cukup lengkap, namun karena ragam yang berupa taman dan tidak beratap menyebabkan pada saat hujan tempat ini tidak dapat digunakan. Hal tersebut berpengaruh kepada nilai potensi yang lebih rendah dibandingkan courtyard LFM. Berdasarkan data perbandingan indikator, selasar ATM Center pada waktu istirahat (11.00-13.00) memiliki nilai yang tertinggi. Banyaknya fasilitas umum yang tersedia seperti ATM, koperasi, dan bank mendorong pengguna untuk datang pada waktu istirahat. Namun sebagian besar dari pengguna datang sendirian sehingga tidak terjadi interaksi informal. Sedangkan pada courtyard LFM, jumlah pengguna lebih sedikit dari selasar ATM Center namun datang secara berkelompok sehingga terjadi interaksi informal. Selain itu selasar ATM Center lebih unggul karena faktor kedekatan dengan jalan utama sehingga mudah diakses. Nilai variabel independent dan indikator di setiap tempat akan memengaruhi efektivitas ruang terbuka. Tabel 4 merupakan nilai potensi dan rata-rata indikator dari setiap ragam.

Tabel 4. Efektivitas Ruang Terbuka Ragam Selasar ATM Center

Potensi Indikator

Rendah

Sedang

Tinggi

Rendah Sedang Tinggi Rendah

Courtyard LFM

Taman Lapangan Cinta

Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Dari tabel di atas maka didapatkan bahwa potensi yang rendah akan menghasilkan realisasi penggunaan ruang yang rendah pula. Sedangkan apabila potensi yang tinggi akan menghasilkan realisasi penggunaan yang tinggi. Kedua hal tersebut akan memengaruhi efektivitas suatu ruang terbuka. Sehingga jika dilihat dari tabel 4 maka courtyard LFM memiliki efektivitas tertinggi dibandingkan ragam lainnya.

4.

PENUTUP

Kampus ITB memiliki ragam ruang terbuka. Masing-masing memiliki potensi yang berbeda beda. Dapat dilihat dari kedekatannya dengan fasilitas dan fungsi lain, bentuk, 9


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

serta kelengkapan fasilitasnya. Potensi ini dapat memengaruhi realisasi penggunaan pada setiap ragam dimana potensi akan berbanding lurus dengan realisasi penggunaan. Kedua hal itu akan memengaruhi efektivitas dan menentukan efektivitas ruang terbuka di ITB sebagai rona interaksi informal. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa courtyard LFM memiliki efektivitas yang paling tinggi. Potensi di ruang terbuka lainnya dapat ditingkatkan dengan meningkatkan fasilitas yang ada. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh masukan seperti menambah vencing machine, water tap, vegetasi, kanopi, dan sumber listrik.

5.

DAFTAR PUSTAKA

Whyte, William H. 1980. The Social Life of Small Urban Spaces. The Conservation Foundation. Washington D.C. Suparman, Agus, dkk. Ruang Terbuka Kota: Salah satu Elemen Perancangan Kota. Jakarta: Universitas Gunadharma.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/53749/4/Chapter%20II.pdf. tanggal 16 November 2016

Diakses

pada

10


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

IDENTIFIKASI KENDALA SISTEM KANTIN UNTUK MAHASISWA DI KAMPUS ITB GANESHA Retno Rasmi ROSATI(1), Raudina RACHMI(2), dan Diah Fitria ARDANI(3)

Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)retnorasmi.uchiha@gmail.com; (2)raudinapksha@gmail.com; (3)diahfitriaardani@gmail.com

6.

ABSTRAK Kantin adalah salah satu fasilitas penunjang pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan perguruan tinggi. Untuk itu sudah selayaknya kampus memiliki kantin yang bisa mengakomodasi semua mahasiswanya serta memenuhi beberapa standar pengadaan kantin. Pada kenyataannya masih banyak kampus yang fasilitas kantin di dalamnya belum cukup untuk mengakomodasi semua mahasiswa serta masih kurang memenuhi standar. Penelitian ini mengidentifikasi apa saja kendala sistem kantin untuk mahasiswa di Kampus Institut Teknologi (ITB) Ganesha. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kantin di Kampus ITB Ganesha belum memenuhi standar. Hal ini ditunjukkan dengan masih kurangnya distribusi spasial kantin, kurangnya kapasitas kantin, dan juga harga yang dirasa masih belum terjangkau. Dari penelitian ini dihasilkan rekomendasi berupa penambahan fasilitas kantin di beberapa titik di dalam Kampus ITB Ganesha. Kata Kunci: kantin, Kampus ITB Ganesha, distribusi spasial, kapasitas

1.

PENDAHULUAN

Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan kampus yang terletak di Jalan Ganesha No.10, Bandung. Kampus ini memiliki area seluas 24 Hektar yang di dalamnya memiliki 12 Fakultas dan 49 program studi sarjana. Saat ini ITB sedang mengalami pembangunan gedung baru di area bagian utara dan barat kampus. Hal tersebut dilakukan untuk menambah kualitas serta kuantitas fasilitas kampus. Setiap tahunnya terdapat ribuan mahasiswa yang diterima di ITB baik Sarjana, Magister, maupun Doktor dan setiap harinya berbagai aktifitas kampus berlangsung mulai dari pagi hari hingga malam hari. Setiap harinya mahasiswa tentu memerlukan waktu istirahat sebagai jeda dalam padatnya beraktivitas. Kantin sebagai fasilitas penunjang, dibutuhkan dalam sebuah kampus untuk mahasiswa beristirahat, makan,

11


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dan minum. Kantin merupakan bagian dari kehidupan dan sudah menjadi kebutuhan sebuah kampus. Kampus ITB Ganesha memiliki banyak kantin yang tersebar di dalamnya. Jenis-jenis kantin yang tersebar pun berbeda-beda, ada yang menyediakan fasilitas duduk ada pula yang tidak. Selain itu penyewa kantin pun beragam, ada yang tunggal dan ada pula yang lebih dari satu penyewa dalam satu kantin. Setiap harinya kantin-kantin ramai dikunjungi mahasiswa terutama pada jam makan siang. Idealnya, kantinkantin di dalam kampus ITB cukup untuk mewadahi kebutuhan mahasiswa dalam mengisi jam istirahatnya. Namun, ternyata tidak hanya kantin dalam kampus saja yang ramai dikunjungi mahasiswa, tetapi tempat makan luar kampus pun banyak dikunjungi mahasiswa pada jam-jam makan siang. Hal tersebut perlu di teliti penyebabnya karena memungkinkan terdapat kendala dalam pelayanan sistem kantin di dalam Kampus ITB Ganesha. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian Kantin Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kantin adalah ruang tempat menjual minuman dan makanan yang terdapat di sekolah, di kantor, di asrama, dan sebagainya. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003, kantin atau rumah makan adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya. 2.2. Persyaratan Lokasi dan Bangunan Kantin Adapun syarat lokasi dan bangunan menurut Kepmenkes 1098/Menkes/SK/VII/2003 dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/52089/4/Chapter%20 II.pdf yang diakses pada 23 November 2016 adalah: a. Lokasi Rumah makan atau kantin terletak pada lokasi yang terhindar dari pencemaran yang diakibatkan antara lain oleh debu, asap, serangga, dan tikus. b. Bangunan Bangunan dan rancang bangun harus dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terpisah dengan tempat tinggal. Pembagian ruang minimal terdiri dari dapur, gudang, ruang makan, toilet, ruang karyawan, dan ruang administrasi. Selain itu, setiap ruangan mamiliki batas dinding serta ruangan yang satu dengan lainnya dihubungkan dengan pintu. Ruangan juga ditata sesuai dengan fungsinya, sehingga memudahkan arus tamu, karyawan, bahan makanan dan makanan jadi, serta barang-barang lainnya yang dapat mencemari makanan. 2.3. JUMLAH KEBUTUHAN FASILITAS KANTIN

12


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tidak ada standar khusus yang mengatur mengenai jumlah kantin yang harus

disediakan oleh sebuah institusi pendidikan. Namun ada beberapa sumber yang bisa diambil sebagai referensi. a. Rancangan Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi Program Pascasarjana dan Profesi menurut Badan Standar Nasional Pendidikan Luas kantin harus sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, dengan luas total minimum 20 m2. b. Standar Sarana dan Prasarana Sistem Penjamin Mutu Internal Universitas Diponegoro dari SPMI-UNDIP/SM/04/005 Fasilitas kantin yang bisa memenuhi keperluan makanan dan minuman bagi dosen, mahasiswa, dan karyawan dengan jam kerja 8 jam/hari harus tersedia minimal 1 unit untuk setiap program studi. c. Pedoman Standarisasi Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Atas dari Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Tahun 2011 Dalam pedoman ini tidak menyebutkan perhitungan secara langsung mengenai kebutuhan kantin. Namun bisa diambil asumsi adanya 9 rombongan belajar dengan masing-masing 32 siswa membutuhkan 72 m2 luas kantin. Sedangkan menurut Neufert dalam Architect’s Data kebutuhan ruang 1 orang untuk makan adalah 1,4 m2. Sehingga bisa dihitung seperti:

Sehingga idelanya, setiap terdapat 288 siswa harus disediakan sebuah kantin yang berkapasitas 51 siswa atau bisa dinyatakan dalam perbandingan yaitu 6:1. 3.

DESKRIPSI KASUS

Kasus yang diangkat dalam penelitian ini mengenai kantin di Kampus ITB Ganesha. Penelitian ini berfokus pada mahasiswa sarjana di Kampus ITB Ganesha karena populasinya yang paling besar yaitu 17030 mahasiswa dari keseluruhan 30337 jumlah mahasiswa ITB Ganesha. Selain itu pusat-pusat kegiatan mahasiswa di Kampus ITB Ganesha didominasi oleh mahasiswa sarjana seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan juga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

13


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.1. TINJAUAN KASUS Dari hasil obeservasi, terlihat persebaran kantin di kampus Ganesa ITB mulai dari bagian selatan kampus hingga utara kampus (Gambar 1). Secara umum kantin di kampus Ganesa ITB memiliki dua jenis kantin yaitu kantin yang memiliki tempat makan dan kantin yang tidak memiliki tempat makan. Kantin yang menyediakan tempat makan berarti memiliki kursi, meja, serta peralatan makan sebagai fasilitas pengunjung untuk makan dan minum di kantin tersebut. Data pengelompokan kantin dapat dilihat pada Tabel 1. Kantin dengan tempat makan Kantin Seni Rupa Kantin Barrack Kantin Eititu Kantin Bengkok Kantin Barat Laut Kantin Borju Labtek V Kantin IWK Kantin Sinergi Corner Kantin East Corner Kantin Saraga Cofee Tofee

Kantin tanpa tempat makan Stall Seni Rupa (Nasi Jepang, Nasi Jamur, Nasi Korea, Krenchise) Kantin Bang Ed, Kantin Bawah Tangga (Labtek IX B ITB) Kantin basement CC Barat Stall GKU Timur A Stall GKU Timur B, di samping parkir GKU Timur Stall GKU Barat Nasi Jamur Labtek Biru Stall Oktagon Kantin Koperasi 72 Sunken Court

Gambar 1 Persebaran Kantin di ITB Ganesha Keterangan Kantin

dengan

tempat duduk

Kantin

tanpa tempat duduk

14


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

GAMBAR 2. PENELITIAN

KERANGKA

BERPIKIR

3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan sistem sensus, dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Kuesioner Kuesioner disebar kepada mahasiswa jenjang sarjana berbagai jurusan di Kampus Ganesha ITB. Kuesioner menanyakan tentang kepuasan mahasiswa akan penyediaan fasilitas kantin di Kampus Ganesha ITB. b. Wawancara Wawancara

dilakukan

kepada

setiap

kantin-kantin

penyedia

makanan di dalam Kampus Ganesha ITB. Wawancara ini bertujuan utuk mengetahui keberjalanan fasilitas kantin dari pihak pengelola kantin itu sendiri. c. Pengamatan

15


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pengamatan dilakukan di lapangan dengan mengunjungi langsung kantin-kantin di Kampus Ganesha ITB. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data-data yang tidak bisa didapatkan dari wawancara dan kuesioner, seperti kondisi kantin dan karakter mahasiswanya. 3.3.2. HASIL PENGUMPULAN DATA Dari kuesioner yang diisi mahasiswa diperoleh data seperti pada Grafik 1 sampai dengan 9. Dari wawancara dengan pengelola kantin diperoleh data seperti pada Lampiran 1.

Grafik 1. Preferensi mahasiswa dalam memilih kantin (N=104)

Grafik 2. Intensitas mahasiswa untuk datang ke kantin di dalam Kampus ITB Ganesha (N=104) Pada Grafik 1 bisa dilihat bahwa 55% dari 104 responden mahasiswa ITB memilih makan di kantin dalam Kampus ITB. Sedangkan 45% lainnya memilih makan di luar kampus. Hal ini menunjukkan bahwa peminat kantin dalam Kampus ITB Ganesha masih tinggi di kalangan mahasiswa.

16


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Pada Grafik 2 bisa dilihat bahwa dalam kurun waktu satu minggu, mahasiswa ITB cukup sering datang ke kantin dalam Kampus ITB Ganesha. 16% dari 104 responden mengaku setiap hari makan di kantin dalam kampus, sedangkan 53% mengaku 3-5 kali makan di kantin dalam Kampus ITB. Sisanya, 31% kurang dari 3 kali makan di kantin dalam Kampus ITB.

Grafik 3. Alasan mahasiswa memilih makan di kantin dalam Kampus ITB Ganesha (N=104)

Grafik 4. Presentase willingness to pay mahasiswa Kampus ITB Ganesha (N=104) Grafik 3 memperlihatkan beberapa alasan mahasiswa memilih makan di kantin dalam Kampus ITB. Alasan yang paling banyak disebutkan adalah karena kedekatan lokasi kantin dengan program studi mereka. Alasan kedua yang paling banyak disebutkan adalah banyaknya pilihan menu. Beberapa responden juga menyatakan alasan lain seperti dekat dengan tempat mereka berkegiatan seperti perpustakaan, ruang unit kegiatan mahasiswa, ruang himpunan mahasiswa. Pada Grafik 4 dapat dilihat angka willingness to pay mahasiswa ITB untuk satu porsi makan berat adalah paliang banyak yaitu 53% dari 104 responden mengaku berkisar antara Rp10000 – Rp15000. Sedangkan terbanyak kedua yaitu 33% berkisar antara Rp15000 – Rp20000.

17


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Grafik 5. Intensitas mahasiswa makan di kantin dalam Kampus ITB Ganesha (N=104)

Grafik 6. Intensitas terjadinya antrian di kantin dalam Kampus ITB Ganesha (N=104) Grafik 5 memperlihatkan intensitas mahasiswa ITB dalam watu sehari makan di kantin dalam Kampus ITB. Paling banyak yaitu 75% dari 104 responden menyatakan hanya makan di kantin dalam kampus satu kali dalam sehari. Kemudian 23% menyatakan makan di kantin dalam kampus sebanyak 2 kali sehari. Sedangkan sisanya 2% menyatakan makan di kantin dalam kampus sebanyak lebih dari 2 kali sehari. Seringnya terjadi antrian saat membeli makan di kantin dalam Kampus ITB bisa dilihat pada Grafik 6. 52% mahasiswa dari 104 responden menyatakan sering terjadi antrian. Sedangkan 46% mengaku jarang mengalami antrian dan 2% sisanya mengaku tidak pernah terjadi antrian.

18


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Grafik 7. Tingkat kebersihan kantin dalam Kampus ITB Ganesha (N=104)

Grafik 8. Kecukupan persebaran kantin dalam Kampus ITB Ganesha (N=104)

Berdasarkan Grafik 7 tingkat kebersihan kantin di dalam Kampus ITB dinilai sudah cukup oleh sebagian besar responden yaitu 63% dari 104 responden. Sedangkan 28% diantaranya menilai kotor dan 9% sisanya menilai bersih. Persebaran kantin di dalam Kampus ITB dinilai sudah cukup oleh 52% mahasiswa dari 104 responden. Sedangkan 37% diantaranya menilai persebaran kantin masih sangat kurang dan 11% sisanya menilai sudah sangat cukup. Grafik 9 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yaitu 75% dari 104 responden memerlukan penambahan fasilitas kantin di dalam Kampus ITB. Sedangkan sisanya yaitu 25% menyatakan tidak perlu. Responden juga menyebutkan beberapa lokasi yang dinilai butuh ditambahkan fasilitas kantinnya. Paling banyak yaitu sebanyak 16 responden menyebutkan di daerah barat dekat Program Studi Teknik Sipil, kemudian 14 responden menyebutkan di daerah tengah sekitar Labtek V, VI, VII, dan VIII, dan 8 responden menyebutkan di gedung baru yaitu Center of Arts, Design, and Language (CADL).

19


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. ANALISIS DATA 4.1.1. Distribusi Spasial Dari hasil obeservasi, terlihat persebaran kantin di kampus Ganesa ITB mulai dari bagian selatan kampus hingga utara kampus (Gambar 1). Secara umum kantin di kampus Ganesha ITB memiliki dua jenis kantin yaitu kantin yang memiliki tempat makan dan kantin yang tidak memiliki tempat makan (Lihat Tabel 1). Kantin yang menyediakan tempat makan berarti memiliki kursi,

meja, serta peralatan.

Gambar 3. (atas) Ilustrasi kantin tanpa tempat duduk (bawah) Ilustrasi kantin dengan tempat duduk Dari 49 program studi di Kampus ITB Ganesha terdapat 11 kantin dengan tempat makan dan 9 kantin tanpa tempat makan. Berdasarkan hasil observasi, dapat terlihat bahwa letak program studi dan letak tempat mahasiswa berkegiatan memiliki kaitan dengan persebaran kantin. Hasil observasi ini didukung pula dengan hasil kuesioner yang menunjukkan bahwa 53 mahasiswa memilih kantin karena kedekatan kantin terhadap program studi dan kegiatan lainnya. Adapun analisis kaitan-kaitan antara kantin dengan fungsi sekitarnya yaitu: a. Rata-rata beberapa jurusan yang berdekatan membentuk sebuah blok. Blok tersebut memiliki 1 kantin bertempat makan dan 1 kantin tanpa tempat makan seperti di area tenggara kampus, program studi Arsitektur, Teknik Lingkungan, dan Planologi merupakan satu blok yang memiliki kantin bawah tangga dan kantin Bang Edi. b. Letak kantin berdekatan dengan gedung perkuliahan, seperti di GKU Timur, GKU Barat, Oktagon, TVST, Labtek Biru c. Letak Kantin berdekatan dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan himpunan mahasiswa, seperti di kantin basement CC Barat, kantin Eititu, Kantin Koperasi 72 Sunken Court, Kantin East Corner. d. Letak Kantin berdekatan dengan sarana kampus, seperti kantin di dekat Sarana Olahraga ITB.

20


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Persebaran kantin di Kampus ITB Ganesha menurut responden 51% dirasa cukup, 10% sangat cukup, dan 37% sangat kurang. Kantin dirasa belum menyebar dikarenakan adanya beberapa program studi yang belum memiliki kantin seperti program studi Teknik Sipil. Selain itu adanya bangunan-bangunan baru di Kampus ITB Ganesha pun belum dilengkapi dengan sarana kantin.

(A)

(B)

Gambar 4. (a) Menunjukkan persebaran program studi di ITB dan Menunjukkan persebaran kegiatan mahasiswa di ITB.

TABEL 2. DATA KANTIN DI KAMPUS ITB GANESHA Nama Kantin

Hari, Jam buka

Kantin dengan tempat makan Kantin Seni Rupa Senin-Jumat 08.00-20.00 Senin-Jumat 07.00-17.00 Kantin Bawah Tangga Arsitektur Kantin Barrack Senin-Jumat, 07.00-19.00 Kantin Eititu Senin-Jumat, 07.00-19.00 Sabtu-Minggu, 08.00-16.00 Kantin Bengkok Senin – Sabtu 09.00-19.00 Kantin Barat Laut Senin-Sabtu, 07.00-20.00 Kantin Borju Senin – Jumat 07.00-15.00 Kantin IWK Senin – Jumat 07.00-15.00 Senin-Jumat 09.00-17.00 Kantin Sinergi Sabtu 10.00-15.00 Corner Kantin East Corner Senin-Sabtu, 08.00-19.00 Kantin Saraga Senin – Sabtu 06.00-19.00 Minggu beberapa tenant buka.

Pengunjung/ hari

Kapasitas (Orang)

150 150

20 10

200 >100

100 70

300-400 440 400 400 200

220 84 52

600-700 80-100 orang, 200 orang saat acara wisuda

200 130

80

21


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Cofee Tofee

Senin-Jumat 07.00-20.00 Sabtu 08.00-16.00 Kantin tanpa tempat makan Stall Seni Rupa Senin-Jumat 06.30 -16.00 Sabtu 09.00-16.00 Stall GKU Timur Senin-Jumat 07.00- 16.00 Stall Nasi Jamur Senin-Jumat 07.30- 15.30 Labtek Biru Kantin Koperasi 72 Senin-Sabtu 08.00-19.00

< 60

14

150

-

200-300 200

-

50

-

Tabel 2 menunjukkan kedekatan kantin dengan fungsi sarana berpengaruh pada jam operasional kantin tersebut. Kantin yang dekat program studi akan cenderung beroperasi pada hari kuliah. Kantin yang dekat dengan Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa cenderung beroperasi pada hari Senin hingga Sabtu. Sementara kantin yang dekat Sarana Olahraga, tenant-tenantnya cenderung beroperasi hingga hari Minggu dikarenakan sarana olahraga yang banyak dikunjungi pengunjung di hari Minggu.

4.1.2. KEBUTUHAN JUMLAH KANTIN IDEAL Mengacu pada Rancangan Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi Program Pascasarjana dan Profesi menurut Badan Standar Nasional Pendidikan, fasilitas kantin di Kampus ITB Ganesha sudah memenuhi standar karena sudah melebihi 20m 2. Sedangkan menurut Standar Sarana dan Prasarana Sistem Penjamin Mutu Internal Universitas Diponegoro, penyediaan fasilitas Kantin di Kampus ITB Ganesha belum memenuhi standar karena belum semua program studi memiliki kantinnya masingmasing. Mengacu pada Pedoman Standarisasi Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Atas, sebuah fasilitas kantin dalam sekolah idealnya memiliki rasio 6:1 antara jumlah siswa dan kapasitas kantin. Dari 17030 mahasiswa sarjana di Kampus ITB Ganesha, idealnya kantin-kantin yang tersedia dapat menampung satu per enam total jumlah mahasiswa yaitu 2838 mahasiwa. Namun, nyatanya kantin di kampus Ganesha ITB hanya berkapasitas 1220 atau memiliki rasio sebesar 14:1. Oleh karena itu, kapasitas kantin di Kampus Ganesha ITB secara keseluruhan belum memanuhi standar.

22


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 5. Diagram perbandingan kapasitas kantin ITB Ganesha dan kapasitas kantil ideal

Kurangnya kapasitas kantin di ITB didukung oleh data dari kuesioner yang menunjukkan bahwa 77% responden mahasiswa ITB Ganesha berpendapat kantin di kampus Ganesha perlu ditambah, diantaranya di area Teknik Sipil, Gedung CADL, Gedung CAS, Gedung CSCR, area tengah kampus (Empat Labtek ITB, Oktagon, TVST). Selain itu adanya kegiatan mahasiswa hingga malam hari membuat beberapa mahasiswa berpendapat bahwa perlu disediakannya kantin yang beroperasi hingga malam hari. Kurangnya fasilitas kantin dan harga yang tidak sesuai dengan kemampuan membayar mahasiswa dapat mengakibatkan minat mahasiswa mengunjungi kantin ITB berkurang. Munculnya pedagang- pedagang kaki lima di sekitar kampus yang menjual makanan lebih murah dan terjangkau dapat membuat mahasiswa lebih memilih makanan di luar kampus dari pada di dalam kampus. Oleh karena itu adanya pengawasan dan subsidi dari ITB diperlukan agar kualitas kantin dapat terjaga dan kuantitas kantin terpenuhi. 4.1.3

PENILAIAN KONDISI KANTIN ITB BERDASARKAN BERBAGAI STANDAR

Dari seluruh analisis sebelumnya, dapat dipetakan penilaian kondisi kantin berdasarkan: a. Standar lokasi kantin yang dekat dengan Program Studi, terletak pada lokasi yang terhindar dari pencemaran yang diakibatkan antara lain oleh debu, asap, serangga, dan tikus. b. Luas kantin minimal 20 m2 c. Bangunan kantin, setiap ruangan memiliki batas dinding serta ruangan yang satu dengan lainnya dihubungkan dengan pintu. d. Ruangan kantin ditata sesuai dengan fungsinya, sehingga memudahkan arus tamu, karyawan, bahan makanan dan makanan jadi, serta barang-barang lainnya yang dapat mencemari makanan.

23


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

7.

TABEL 3. PENILAIAN KONDISI KANTIN

Kantin Kantin Seni Rupa Kantin Bawah Tangga Arsitektur Kantin Barrack Kantin Eititu Kantin Bengkok Kantin Barat Laut Kantin Borju Kantin IWK Kantin Sinergi Corner Kantin East Corner Kantin Saraga Cofee Tofee Stall Seni Rupa Stall GKU Timur Stall Nasi Jamur Labtek Biru Kantin Koperasi 72 Keterangan:

Lokasi

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Luas

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Bangunan

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Ruang

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

✓ ✓ ✓ ✓ ✓

✓ = Memenuhi persyaratan 4.2.

Interpretasi Data

Gambar 7. Beberapa kendala sistem Kantin di Kampus Ganesha ITB

Dari data yang telah dikumpulkan dan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa terdapat beberapa kendala pada sistem kantin di Kampus Ganesha ITB, seperti tidak meratanya distribusi spasial kantin di dalam kampus, kurangnya kapasitas kantin, dan tingginya rata-rata harga makanan yang dijual. Hal ini kemudian mengakibatkan mahasiswa mencari fasilitas makan di luar kampus yang lebih terjangkau dari segi jarak tempuh dan harga makanan yang ditawarkan.

24


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Distribusi spasial kantin di dalam Kampus Ganesha ITB tidak memenuhi standar karena seharusnya setiap jurusan memiliki minimal satu unit kantin sendiri, sementara kantin di ITB tidak merata di setiap jurusan dan pusat-pusat kegiatan mahasiswa, bahkan beberapa jurusan justru jauh dari fasilitas kantin. Kesenjangan yang terjadi antara jumlah kapasitas yang dapat ditampung kantin di Kampus Ganesha ITB dengan jumlah mahasiswa sangat

besar.

Rasio antara

kapasitas kantin di Kampus Ganesha 1:14 sementara idealnya berkisar 1:6. Selain karena kurangnya kapasitas yang dapat ditampung oleh kantin-kantin tersebut, harga makanan dan minuman yang dijual relatif kurang terjangkau.

5.

PENUTUP

Kantin merupakan sebuah fasilitas yang sangat penting dan sudah selayaknya mampu melayani seluruh mahasiswa. Kampus ITB di Ganesha masih memiliki kendala pada sistem kantin dalam kampus, yaitu adanya ketidakmampuan kantin dalam memfasilitasi seluruh mahasiswa, seperti tidak meratanya distribusi spasial kantin dalam kampus, adanya kesenjangan antara jumlah kantin dan jumlah mahasiswa, serta harga makananan yang kurang terjangkau. Untuk itu, seiring dengan pembangunan gedung baru dan peningkatan kualitas 25


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

dari setiap fasilitas kampus yang dilakukan ITB, serta penambahan jumlah mahasiswa setiap tahunnya, ITB perlu menambah jumlah, kapasitas, serta meningkatkan fasilitas kantin untuk menunjang kebutuhan mahasiswa selama berkegiatan di Kampus. Untuk mencapai pemerataan distribusi, ITB perlu membangun kantin baru di sekitar area Jurusan Teknik Sipil, Gedung CADL, Gedung CAS, Gedung CRCS, dan area 4 Labtek kembar seperti pada Gambar 6. Penambahan kantin harus didukung dengan usaha mencapai standar kapasitas kantin untuk menutupi backlog yang terjadi sebanyak 1618 kursi makan, serta mempertimbangkan harga makanan yang dijual dan kebersihan kantin.

6.

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

1098/Menkes/SK/VII/2003. Dikutip dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/52089/4/Chapter%20II .pdf. (23 November 2016) Neufert, Ernst and Peter. (2006). Architect’s Data Third Edition. Blackwell Science, New York. http://kbbi.web.id/kantin (29 November 2016) Rancangan

Standar

Sarana

dan

Prasarana

Pendidikan

Tinggi

Program

Pascasarjana dan Profesi menurut Badan Standar Nasional Pendidikan. Dikutip

dari:

http://bsnp-

indonesia.org/id/wp-

content/uploads/2011/07/Draf-Standar-Sarana-Prasarana- PascasarjanaProfesi-Validasi-Juli-2011.pdf. (29 November 2016) Standar Minimal Bangunan dan Perabot Sekolah Menengah Atas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Direktorat Pembinaan Sma Standar Sarana dan Prasarana Sistem Penjamin Mutu Internal Universitas Diponegoro dari SPMIUNDIP/SM/04/005. Dikutip dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja &uact=8&ved=0ahUKEwiYicjzzc3QAhVCso8KHYHpAPsQFggiMAE&url=http%3A%2 F%2Ftpm.ft.undip.ac.id%2Fwp-content%2Fuploads%2FSM-04-005-SARANA-DANPRASARANA_FT_OK.docx&usg=AFQjCNGCHi86XX41BTfz21ITvnzUQVum7A&sig2= UojfisKPNFCqa15i0tN2Dw&bvm=bv.139782543,d.c2I. (29 November 2016)

26


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PREFERENSI MAHASISWA DESAIN TERHADAP LAYOUT STUDIO PADA GEDUNG C.A.D.L.

Riffani PUTRI(1), Stefanus Junior TUNAS(2), dan Elfine OWEN(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)riffani@students.ar.itb.ac.id; (2)junior.tunas@students.ar.itb.ac.id; (3)elfineowen@students.ar.itb.ac.id

ABSTRAK Di Institut Teknologi Bandung terdapat beberapa program studi desain yang berkegiatan di gedung Center for Art, Design, and Language (C.A.D.L.). Studio desain adalah salah satu fasilitas yang disediakan oleh kampus untuk memenuhi kebutuhan aktivitas akademis mahasiswa desain. Namun keadaan ruang studio yang disediakan belum tentu sesuai dengan preferensi mahasiswa penggunanya. Maka dari itu kami meninjau studio jurusan Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual untuk mengetahui preferensi mahasiswa desain terhadap layout studio yang mereka gunakan berdasarkan aspek sirkulasi, teritorialitas. dan pengelompokan Metode yang kami gunakan yaitu wawancara dan pengisian kuesioner. Dengan metode analisis kuantitatif deskriptif, Mahasiswa Desain Produk memiliki preferensi

layout yang

memiliki space yang fleksibel, cukup ruang interaksi dan sirkulasinya lebih leluasa. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual memiliki preferensi layout yang peletakan mejanya mementingkan sirkulasi utama agar terasa lebih luas. Mahasiswa Desain Interior memiliki preferensi layout yang terasa lebih fleksibel, memiliki interaksi yang maksimal dengan sirkulasi tiga koridor. Aspek utama yang dijadikan alasan mahasiswa memilih preferensi adalah kenyamanan dalam berinteraksi serta sirkulasi yang nyaman. Kata Kunci: layout studio, mahasiswa desain, sirkulasi, teritorialitas, pengelompokan

1.

PENDAHULUAN Dengan pertumbuhan jumlah mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, ITB

memutuskan untuk meningkatkan kapasitasnya dengan membangun gedung-gedung perkuliahan baru.

Selain itu, pengembangan ilmu dari beberapa bidang studi 27


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

membutuhkan fasilitas yang lebih memadai. Ada empat gedung baru yang telah selesai dibangun pada tahun 2015. Salah satu gedung baru ini adalah gedung yang bernama Center for Art, Design, and Language (C.A.D.L.). Gedung ini digunakan sebagai studio Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), UPT Bahasa, serta Gedung Serba Guna. Sebagian besar aktivitas yang terjadi di dalam gedung ini adalah kegiatan mahasiswa FSRD, yaitu mahasiswa Desain Produk, mahasiswa Desain Interior, mahasiswa Desain Komunikasi Visual, mahasiswa Kriya. Proses belajar mengajar mahasiswa jurusan desain dilaksanakan di ruang studio masing-masing. Oleh karena itu, ruang studio merupakan ruang yang penting untuk keberjalanan perkuliahan desain. Sebagai mahasiswa Teknik Arsitektur, yang juga berkecimpung dalam bidang desain, timbul rasa keingintahuan kami apakah studio desain di bangunan C.A.D.L. sudah sesuai dengan preferensi mahasiswa penggunanya. Studio yang kami tinjau antara lain, studio jurusan Desain Produk, Desain Interior, dan Desain Komunikasi Visual. Preferensi layout studio mahasiswa desain yang kami tinjau berdasar pada aspek sirkulasi, teritorialitas, dan pengelompokan. 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Teori Sirkulasi 2.1.1 Definisi Sirkulasi Adapun definisi sirkulasi adalah sebagai berikut: 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono, 2008:1361), sirkulasi adalah suatu peredaran. 2. Menurut Cryil M. Harris (1975) menyebutkan bahwa sirkulasi merupakan suatu pola lalu lintas atau pergerakan yang terdapat dalam suatu area atau bangunan. Di dalam bangunan, suatu pola pergerakan memberukan keluwesan, pertimbangan ekonomis, dan fungsional. 3. Tali yang terlihat dan menghubungkan ruang-ruang dalam suatu bangunan atau tali yang menghubungkan deretan ruang dalam dan ruang luar secara bersamasama (D.K. Ching, 2007). Ruang sirkulasi dapat bersifat (D.K. Ching, 2007) •

tertutup (enclosed) sehingga membentuk sebuah galeri publik atau koridor privat yang menghubungkan ruang melalui gerbang dalam sebuah dinding bidang.

•

terbuka di satu sisi (open on one side) maka membentuk balkon atau galeri yang memberikan sebuah kontinuitas visual dan spatial dengan ruang yang terhubung.

•

terbuka di dua sisi (open on both sides) maka membentuk sebuah tempat lalu lalang yang menjadi sebuah ekstensi ruang yang dilewati 28


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Lebar dan ketinggian sirkulasi sebuah ruang mesti proporsional dengan tipe dan intensitas pergerakan yang diperuntukkannya. Skala yang distinc harus ditetapkan antara tempat jalan publik, hall yang lebih privat, dan koridor servis. Sebuah tempat sirkulasi yang sempit secara alami mendorong gerakan ke depan. Untuk menyediakan alur trafik yang lebih banyak, lebar sirkulasi dapat dibesarkan di beberapa bagian agar dapat menyediakan tempat untuk istirahat, berhenti, atau menikmati pemandangan. 4

2.1.2 Tipe Pola Sirkulasi Menurut D.K Ching di buku, Architecture Space and Order, terdapat beberapa pola sirkulasi yaitu:

• Pola Sirkulasi linear

Gambar 2.1. Pola Sirkulasi Linear (Sumber: D.K. Ching, 2007)

Semua Jalan Pada Dasarnya adalah Linear, akan tetapi yang dimaksud disini adalah jalan yang lurus yang dapat menjadi unsur pembentuk utama deretan ruang seperti gambar 1. • Pola Sirkulasi radial

Gambar 2.2. Pola Sirkulasi Radial (Sumber: D.K. Ching, 2007)

Pola sirkulasi radial memiliki pola jalan yang berkembang dari, atau menuju suatu pusat. • Pola Sirkulasi spiral

Gambar 2.3. Pola Sirkulasi Spiral (Sumber: D.K. Ching, 2007)

Pola spiral adalah suatu jalan menerus yang bersasal dari titik pusat, yang 29


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

berputar mengelilinginya dan bertambah jauh darinya. • Pola Sirkulasi network

Gambar 2.4. Pola Sirkulasi Network (Sumber: D.K. Ching, 2007)

Pola sirkulasi Network (jaringan) terdiri dari beberapa jalan yang mengubungkan titik- titik terpadu dalam suatu ruang.

• Pola Sirkulasi campuran

Gambar 2.5. Pola Sirkulasi Campuran (Sumber: D.K. Ching, 2007)

Suatu bangunan biasanya memiliki suatu kombinasi dari pola-pola yang sudah disebutkan di atas. Akan tetapi, untuk menghindari terbentuknya orientasi yang membingungkan, di bentuklah aturan urutan utama dalam sirkulasi tersebut. 2.2. Teori Teritorialitas 2.2.1 Definisi Teritorialitas Menurut Holahan (Iskandar, 1990), teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Menurut Altman (Prabowo, 1998), penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, merupakan suatu teritorial primer. Fisher (Diputrie, 2010) berpendapat kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi bisa aktual karena pada kenyataannya ia memang benar memiliki, contohnya seperti kamar tidur. Selain itu bisa juga karena merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat, contohnya meja makan di kantin. 2.2.2 Klasifikasi Teritorialitas Klasifikasi Teritori menurut Altman (Diputrie, 2010) yang didasarkan pada 30


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian adalah sebagai berikut: 1. Teritorial Primer Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, dan sebagainya. 2. Teritorial Sekunder Jenis teritori ini lebih longgat pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi- publik. Yang terasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam ruang, toilet, dan sebagainya. 3. Teritorial Umum Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturanaturan yang lazim di dalam masyarakat di mana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat. Contoh teritorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis, dan sebagainya. 2.3. Teori Pengelompokan Dari kondisi kelas yang ada pada studio desain obyek, pengelompokan yang dimaksud disini adalah pengelompokan-pengelompokan angkatan yang dibagi menjadi kelas-kelas kecil, maka dari itu, definisinya lebih mengacu pada sistem peer tutoring agar dosen maupun asistennya dapat lebih fokus dalam mengajar. 1) Peer Tutoring Paul, Lisa, and Vanessa (2006) menyatakan peer tutoring merupakan salah satu metode pembelajaran dimana pelajar akan dibantu oleh teman yang memiliki tingkat yang sama dalam belajar suatu konsep maupun kemampuan (skill). Peer tutoring merupakan metode yang dianggap cukup efektif memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan teori Slavin (1995) bahwa peer tutoring merupakan salah satu bentuk pembelajaran secara kooperatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penerapan peer tutoring pada pembelajaran memungkinkan setiap siswa mendapatkan perhatian yang lebih dan memiliki waktu yang banyak dalam berbicara ataupun mendengarkan. Hal ini memberikan kesempatan pada siswa untuk aktif dalam membangun pengetahuannya. Pendekatan ini biasanya berfokus pada pemecahan masalah dan ini sangat efektif untuk meningkatkan kreativitas, pelaksanaan suatu percobaan, kemampuan memecahkan masalah, dan pembelajaran konsep yang sulit dalam sains dan teknologi. 2) Peer-led Workshop Desain aktivitas pembelajaran dengan teman sebaya memang banyak dikembangkan karena berdasarkan banyak penelitian bahwa peer learning dapat meningkatkan hasil 31


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

belajar siswa. Berdasarkan hal tersebut maka dikembangkanlah pembelajaran workshop dengan bantuan peer. Pada workshop , tutor membantu kerja tim suatu kelompok dalam menyelesaikan suatu permasalahan, studi kasus, dan aktif dalam mengembangkan kemampuan pembelajaran secara umum. Seperti dijelaskan oleh Tien (2002), mahasiswa ataupun pelajar yang mengalami pembelajaran workshop dengan bantuan peer akan lebih mendekati zona perkembangan proksimal karena mahasiswa akan lebih dapat meningkatkan kemampuan mereka. Siswa menjadi bisa saling berkomunikasi dan saling memfasilitasi belajar melalui sarana yang tidak disediakan oleh fakultas. Selain pertukaran informasi, peer juga berperan sebagai sarana konsultasi mengenai strategi pembelajaran yang dapat diterapkan pada mata kuliah tersebut. 3.

DESKRIPSI KASUS

Saat ini, kegiatan perkuliahan di studio-studio gedung C.A.D.L. telah berlangsung. Desain layout studio tempat kegiatan perkuliahan sudah disediakan oleh pihak ITB, tetapi kami belum dapat memastikan apakah layout tersebut sudah sesuai dengan preferensi mahasiswa penggunanya. Oleh karena itu, kami melakukan rangkaian penelitian untuk menghasilkan alternatif layout studio yang akan menjadi stimulus bagi mahasiswa untuk menentukan preferensi mereka. 3.1. Tinjauan Kasus Kami melakukan observasi ke tiga studio pada gedung C.A.D.L., khususnya studio Desain Produk, studio Desain Komunikasi Visual, dan studio Desain Interior. Dari hasil observasi kondisi layout tersebut, kami berspekulasi bahwa terdapat layout ruang yang lebih disukai oleh pengguna studio-studio tersebut. Maka dari itu, kami membuat beberapa contoh layout ruang studio berdasarkan tiga aspek yaitu : sirkulasi, teritorialitas, dan pengelompokan. 3.1.1.

STUDIO DESAIN PRODUK

Studio ini digunakan oleh mahasiswa Desain Produk tingkat akhir. Meja dalam studio ini disusun secara padat. Dalam studio ini terdapat ruang penyimpanan yang akhirnya difungsikan sebagai ruang untuk bekerja juga sehingga total meja dalam ruangan studio ini adalah 27 meja. Jendela menghadap ke arah barat.

32


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

5 3.1.2.

Gambar 3.1. Layout Eksisting Studio Desain Produk STUDIO DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Studio ini digunakan oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual tingkat akhir. Meja dalam studio ini disusun secara cukup beragam, yaitu : ada yang konsentris di tengah dan ada yang menghadap ke dinding serta jendela. Terdapat 21 meja dalam satu ruangan ini. Jendela menghadap ke arah barat.

Gambar 3.2. Layout Eksisting Studio Desain Komunikasi Visual 3.1.3.

STUDIO DESAIN INTERIOR

Studio ini digunakan oleh mahasiswa Desain Interior tingkat tiga. Layout studio serupa juga digunakan oleh mahasiswa tingkat dua. Pada studio ini, mejameja disusun secara berhadapan dalam tiga baris besar. Masing-masing baris menandakan kelas kecil yang berbeda dengan dosen yang berbeda. Sirkulasi terjadi di sela-sela kelompok. Jendela menghadap ke arah timur.

Gambar 3.3. Layout Eksisting Studio Desain Interior 3.2. Pengumpulan Data Setelah observasi, kami membuat sebuah kuesioner yang tertuju pada pengguna 33


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

spesifik studio desain di Gedung C.A.D.L. dengan melampirkan alternatif layout yang kami rancang. Pada kuesioner tersebut, responden memilih layout ruang studio yang paling mereka minati beserta alasannya.

34


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.1.

STUDIO DESAIN PRODUK

Pada kuesioner yang kami buat dan ditujukan kepada mahasiswa pengguna studio Desain Produk, terdapat 4 pilihan layout desain studio yang dapat mereka pilih sesuai preferensi.

Gambar 3.4. Pilihan Layout Studio Desain Produk pada Kuesioner

3.2.2.

STUDIO DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Pada kuesioner yang kami buat dan ditujukan kepada mahasiswa pengguna studio Desain Komunikasi Visual, terdapat 4 pilihan layout desain studio yang dapat mereka pilih sesuai preferensi.

Gambar 3.5. Pilihan Layout Studio Desain Komunikasi Visual pada Kuesioner 3.2.3.

STUDIO DESAIN INTERIOR

Pada kuesioner yang kami buat dan ditujukan kepada mahasiswa pengguna 35


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

studio Desain Interior, terdapat 4 pilihan layout desain studio yang dapat mereka pilih sesuai preferensi.

Gambar 3.6. Pilihan Layout Studio Desain Interior pada Kuesioner 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data 4.1.1.

STUDIO DESAIN PRODUK

Dari 16 responden mahasiswa desain produk, kami memperoleh data bahwa sebanyak 8 responden memilih layout B, 6 responden memilih layout A, 2 responden memilih layout C, dan tidak ada responden yang memilih layout eksisting.

Gambar 4.2. Diagram Hasil Pilihan Mahasiswa Desain Produk 4.1.2.

STUDIO DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Dari 28 responden mahasiswa Desain Komunikasi Visual, kami memperoleh data bahwa sebanyak 14 responden memilih layout B, 6 responden memilih layout eksisting, 6 responden memilih layout C, dan 2 responden memilih layout A.

36


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar

4.2.

Diagram

Hasil

Pilihan

Mahasiswa

Desain

Komunikasi Visual 4.1.3.

STUDIO DESAIN INTERIOR

Dari 24 responden mahasiswa Desain Interior, kami memperoleh data bahwa sebanyak 12 responden memilih layout A, 6 responden memilih layout Eksisting, 3

responden memilih layout B, dan 3 responden memilih layout C. Gambar 4.3. Diagram Hasil Pilihan Mahasiswa Desain Interior 4.2. Interpretasi Data Pada kuesioner yang kami sebarkan, terdapat beberapa alasan untuk mendukung layout studio preferensi mahasiswa pengguna, antara lain sirkulasi yang nyaman, kenyamanan untuk berinteraksi, dan dapat lebih fokus dalam mengerjakan tugas. Sirkulasi yang nyaman adalah sirkulasi yang memenuhi syarat antropometris dan dimensi yang disesuaikan dengan kadar pergerakan. Kenyamanan untuk berinteraksi berhubungan dengan kesesuaian pengelompokan terhadap aktivitas akademis mahasiswa desain yang bersangkutan. Sedangakan fokus mengerjakan tugas dipengaruhi oleh dari kejelasan teritori area kerja pengguna studio itu sendiri. 4.2.1

STUDIO DESAIN PRODUK

Alasan terbanyak responden memilih layout preferensi studio Desain Produk adalah kenyamanan untuk berinteraksi dan sirkulasi yang nyaman, sehingga layout yang paling banyak dipilih responden mahasiswa Desain Produk adalah layout studio B yang memiliki space yang fleksibel, cukup ruang interaksi dan sirkulasinya lebih leluasa. 4.2.2

STUDIO DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Alasan terbanyak responden memilih layout preferensi studio Desain Komunikasi Visual adalah sirkulasi yang nyaman, sehingga layout yang paling banyak dipilih responden mahasiswa Desain Komunikasi Visual adalah layout studio B yang peletakan meja dengan mementingkan sirkulasi utama agar terasa lebih luas. 4.2.3

STUDIO DESAIN INTERIOR

Alasan terbanyak responden memilih layout preferensi studio Desain Interior 37


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

adalah kenyamanan untuk berinteraksi, sehingga layout yang paling banyak dipilih responden mahasiswa Desain Interior adalah layout studio A yang terasa lebih fleksibel, memiliki interaksi yang maksimal dengan sirkulasi tiga koridor. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan salah satu responden, yang menyatakan bahwa dengan adanya interaksi, beliau merasa terpacu dalam mengerjakan tugas individunya. 5.

PENUTUP

Dari sampel mahasiswa-mahasiswa tiga jurusan desain yang kami tinjau, terdapat dua aspek yang sama-sama dianggap penting dalam menentukan preferensi layout studio, yakni kenyamanan dalam berinteraksi, serta sirkulasi yang nyaman. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan utama kedepannya dalam merancang layout sebuah studio untuk mahasiswa desain. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Sugono, D., dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Harris, Cyril M. 2005. Dictionary of Architecture & Construction (edisi keempat). New York : McGraw-Hill Education. Ching, Francis D.K. 2007. Arsitektur : Bentuk Ruang dan Tatanan (edisi ketiga). Jakarta : Erlangga. Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta : Penerbit Gunadarma. Tien, L.T., Roth, V., Kampmeier, J.A. 2001. Peer Led Team Learning. New York : University of Rochester. Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning: Theory, research and practice. (edisi kedua) Boston: Allyn and Bacon.

38


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

39


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

EVALUASI TINGKAT KENYAMANAN RUANG PEMBINAAN MAHASISWA BIDIKMISI TPB PADA ASRAMA SANGKURIANG ITB Wahyu Muharril HAZIM, Putri Isti KARIMAH, dan Maretta Arninda DIANTY Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: arril_wahyu@students.ar.itb.ac.id; putriistikarimah@ymail.com; maretta@students.ar.itb.ac.id

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kenyamanan dan evaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi atau pengamatan langsung, wawancara, serta studi literatur. Hasil pengamatan dan wawancara tersebut kemudian dibandingkan dengan SNI kemudian dianalisis untuk mengetahui tingkat kenyamanannya. Ruang pada Asrama Sangkuriang yang digunakan untuk kegiatan pembinaan dari UPT Asrama ITB adalah ruang serbaguna, ruang tengah, dan kamar. Ruang pembinaan tersebut membutuhkan tingkat kenyamanan ruang yang memadai agar pengguna di dalamnya dapat melakukan aktivitas dengan lancar dan tujuan dari pembinaan dapat tercapai. Kenyamanan ruang terbagi menjadi empat aspek yaitu kenyamanan spasial, audial, termal, dan visual. Dengan membandingkan hasil penelitian dengan standar SNI, didapatkan kenyamanan apa saja yang tercapai dan tidak tercapai pada setiap ruang dan kegiatan pembinaan. Untuk kegiatan tutorial akademik hanya mendapatkan kenyamanan audial dan visual. Untuk kegiatan konseling yang diadakan di kamar hanya mendapatkan kenyamanan spasial dan audial, sedangkan untuk kegiatan konseling yang diadakan di ruang tengah hanya mendapatkan kenyamanan audial dan visual. Dengan masing-masing aspek kenyamanan mempunyai bobot penilaian yang sama, maka tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB sebesar 50%. Kata Kunci: evaluasi, tingkat kenyamanan, spasial, audial, termal, visual

1. 1.1.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Mahasiswa TPB Bidikmisi ITB merupakan mahasiswa tahun pertama di ITB yang mendapatkan beasiswa kurang mampu dari DIKTI berupa uang bulanan dan gratis biaya UKT. Mahasiswa TPB Bidikmisi ITB pada tahun pertama diwajibkan tinggal di asrama ITB untuk memperoleh pembinaan yang telah diprogramkan oleh UPT Asrama ITB. Salah satu asrama ITB yang dihuni oleh mahasiswa TPB Bidikmisi ITB adalah Asrama Sangkuriang. Asrama Sangkuriang adalah asrama mahasiswa TPB Bidikmisi ITB yang terletak di jalan Sangkuriang No.55, Dago, Coblong, Bandung. Asrama ini diperuntukkan bagi mahasiswa putra dan putri TPB Bidikmisi ITB. Selain mahasiswa TPB terdapat juga tutor yang berperan membimbing dan membina penghuni asrama sesuai dengan program dari UPT Asrama. Selain sebagai tempat tinggal, Asrama Sangkuriang juga menjadi tempat pembinaan para penghuninya. Diharapkan penghuni dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan untuk beradaptasi di lingkungan baru melalui program pembinaan. Hal ini tentunya akan dapat menunjang kenyamanan mahasiswa dalam belajar dan bersosialisasi yang sangat berguna utamanya dalam proses peralihan dari SMA ke perguruan tinggi. Untuk mengetahui tingkat kenyamanan asrama sangkuriang ITB sebagai rona pembinaan mahasiswa TPB Bidikmisi ITB perlu dilakukan evaluasi tingkat kenyamanan ruang-ruang 40


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

asrama Sangkuriang yang digunakan sebagai tempat pembinaan sehingga kedepannya apabila terdapat kekurangan dapat diperbaiki. 1.2.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada asrama Sangkuriang ITB. b. Mengetahui evaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada asrama Sangkuriang ITB. 1.3.

Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah

a. Bagaimana tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB? b. Bagaimana evaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB? 1.4.

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah a.Observasi atau pengamatan langsung b.Wawancara c. Studi Literatur

2.

KAJIAN TEORI

2.1. Teori Kenyamanan Spasial Kenyamanan Spasial menyangkut dua aspek yaitu: • Kepadatan Ruangan Dalam menentukan Luas ruangan yang dibutuhkan pada sebuah bangunan ditentukan bersadarkan ketentuan standar luas ruangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk menentukan luas standar unit kamar asrama akan menggunakan standar kebutuhan ruangan minimal yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/kpts/m/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat) yaitu 9 m2, atau standar ambang yaitu 7,2 m2 per orang. • Ergonomi Data Ergonomi menyangkut ukuran fisik atau fungsi dari tubuh manusia. Persyaratan ergonomi mensyaratkan agar peralatan dan fasilitas tersebut sesuai dengan orang yang menggunakan khususnya menyangkut dimensi ukuran tubuh, sehingga memperbaiki efisiensi dan mengurangi kelelahan kerja. Jarak minimal manusia normal untuk melakukan kegiantan sosial minimal adalah 4 ft (sekitar 1.2 m)

2.2. Teori Kenyamanan Audial Sesuai dengan SNI (1993) dalam lingkup kenyamanan audial menyatakan bahwa suara yang nyaman untuk didengarkan di lingkungan perumahan dan sekolah (asrama dan ruang pembinaan dianggap masuk ke dalam lingkup ini) adalah 40-45 dB.

41


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.3. Teori Kenyamanan Termal Kenyamanan termal adalah kondisi pikiran yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal (British Standard BS EN ISO 7730). Kenyamanan termal dapat dicapai bila terjadi keseimbangan termal. Kenyamanan termal dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu temperature udara, temperature radian, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Standar kenyamanan termal pada daerah tropis, seperti Indonesia dapat dibagi menjadi (SNI T 03-6572-2001, Mom & Wiesebron) : •

Sejuk-nyaman, antara temperatur efektif 20,5 0C ~ 22,8 0C TE

Nyaman (optimal), antara temperatur efektif 22,8 0C ~ 25,8 0C TE

Hangat-nyaman, antara temperatur efektif 25,8 0C ~ 27,1 0C TE

Sedangkan untuk kelembaban udara relatif yang dianjurkan adalah 40%-50%. Untuk ruangan yang digunakan banyak orang, kelembaban udara relatif diperbolehkan sekitar antara 55% - 60%. Kecepatan udara yang jatuh di atas kepala tidak boleh lebih dari 0,25 m/ detik dan sebaiknya lebih kecil dari 0,15 m/ detik.

Indeks yang sering digunakan untuk menyatakan kenyamanan termal antara lain : • Effective Temperature (ET) • Predicted Mean Vole (PMV) • Predicted Percentage of Dissatisfied (PPD)

Gambar 1. Grafik Kenyamanan Termal (Sumber: https:// mtnugraha.files.wordpress.com)

2.4. Teori Kenyamanan Visual Kenyamanan visual adalah kondisi dimana seseorang merasa nyaman dengan lingkungan visualnya. Kenyamanan ini bersifat subjektif karena berhubungan dengan kinerja visual seseorang. Kenyamanan visual berhubungan erat dengan tingkat pencahayaan. Sistem atau teknik pencahayaan yang baik akan menghasilkan kenyamanan visual. Kenyamanan visual akan memengaruhi produktifitas dan kondisi psiko-fisiologis pengguna ruang. Kenyamanan visual dapat dicapai dengan pencahayaan alami dan buatan. Namun lebih mudah dicapai dengan memanfaatkan pencahayaan buatan karena dapat dikontrol. Kenyamanan visual dapat dicapai dengan memenuhi : • Pencahayaan (iluminasi) yang seragam • Luminansi yang optimal • Tidak silau • Kondisi kontras yang cukup 42


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

• Warna sesuai aslinya • Tidak ada efek stroboskopik (flicker) 3.

DESKRIPSI KASUS

Pada penelitian ini penulis akan mengevaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada asrama Sangkuriang. Adapun unit-unit yang dianalisis adala bangunan asrama Sangkuriang ITB dan UPT asrama ITB. 3.1. Tinjauan Kasus Untuk mengevaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada asrama Sangkuriang, penulis menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut. VARIABEL INDEPENDEN 1. 2.

Program pembinaan mahasiswa TPB Kondisi fisik asrama 3.

Konfigurasi spasial

4.

Fungsi diakomodasi

5.

Kelengkapan fasilitas

VARIABEL DEPENDEN

VARIABEL ANTARA •

Pelaksanaan

Tingkat Kenyamanan ruang pembinaan:

program pembinaan

yang

Spasial

Audial

Termal

Visual

Variabel independen yang berupa program pembinaan mahasiswa TPB dan kondisi fisik asrama akan memengaruhi kenyamanan ruang pembinaan yang dimasukkan ke dalam variabel dependen, kemudian variabel antara yaitu pelaksanaan program pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kenyamanan ruang pembinaan di asrama Sangkuriang ITB. 3.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan variable independent, variable antara, dan variable dependen sebagai indikator tingkat kenyamanan yang terdiri dari kenyamanan spasial, termal, visual, dan audial. Data yang didapat dibandingkan dengan standar yang baik sehingga didapatkan tingkat kenyamanan ruang pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB pada Asrama Sangkuriang ITB. 3.2.1.

Variabel Independen

3.2.1.1. Program Pembinaan Mahasiswa Bidikmisi TPB Program pembinaan mahasiswa Bidikmisi TPB diturunkan dari visi dan misi UPT Asrama ITB dan mempunyai slogan utama “Living Learning Community” yang diturunkan menjadi empat bdaya praktis, yaitu 4S (Senyum Salam Sapa Kerjasama Musyawarah), GPMS (Gerakan Pungut dan Memilah Sampah), budaya antri (disiplin), hemat dan konservasi energy khususnya air. Selain itu ada evaluasi yang dilakukan lewat kegiatan rutin dengan pola satu mingguan, dua mingguan, dan bulanan. Tabel 2. Kegiatan Pembinaan di Asrama Sangkuriang Waktu pelaksanaan

Jenis kegiatan

Tempat

Seminggu sekali

Kerja bakti dan piket

Kamar kamar

Tutorial akademik

Ruang serbaguna

dan

lingkungan

43


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 Dua minggu sekali (minggu ke 1 dan 3)

Apel dan senam

Parkiran mobil

Konseling

Kamar atau ruang tengah

Sebulan sekali

Pembinaan terpusat

Aula Barat ITB

Dapat disimpulkan kegiatan yang memerlukan kenyamanan ruang pada Asrama Sangkuriang adalah kegiatan tutorial akademik dan konseling. Jadi ruang yang dipakai sebagai ruang pembinaan di Asrama Sangkuriang ITB adalah ruang serbaguna, ruang tengah, dan kamar.

Gambar 2. Interior Ruang Serbaguna Gambar 2. Kamar pada Asrama Sangkuriang Gambar 3. Ruang Tengah (Sumber: Dokumentasi penulis)

3.2.1.2. Kondisi Fisik Asrama Tabel 2. Fasilitas Asrama Sangkuriang No

Fasilitas

1

Fasilitas setiap kamar : • Ruang belajar dan ruang tidur • Kamar mandi 1 • Kamar mandi 2 • Dapur • Ruang jemur Fasilitas tiap lantai : • Ruang tengah Fasilitas lantai 1 gedung A: • Ruang Serbaguna • Ruang pengelola • Ruang tamu • Lobby • Ruang panel • Hunian khusus • Parkir motor Fasilitas lantai 1 gedung B :

2 3

Jumlah

Luas

1 1 1 1 1

12,7 m2 2,4 m2 1,46 m2 1,8 m2 2 m2

1

23,6 m2

1 1 1 1 1 1 1

86,4 m2 21,6 m2 21,6 m2 27 m2 21,6 m2 21,6 m2 86,4 m2

44


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 • • • • • • • •

3.2.2.

Public area Ruang pengelola dan ruang tamu Ruang pengumpulan sampah Lobby Ruang panel Hunian khusus Perpustakaan Selasar

1 1 1 1 1 1 1 1

86,4 m2` 21,6 m2 21,6 m2 27 m2 21,6 m2 21,6 m2 21,6 m2 64,8 m2

Variabel Dependen

3.2.2.1. Kenyamanan Spasial Ruang-ruang yang digunakan untuk melakukan kegiatan pembinaan adalah ruang serbaguna, kamar, dan ruang tengah.

Gambar 3. Letak Ruang Serbaguna pada Denah Lantai Dasar Gedung A dan B (Sumber: Dokumen UPT Asrama ITB) (Sumber: Dokumen UPT Asrama ITB)

Gambar 2. Letak Ruang Tengah dan Kamar pada Denah Lantai 2-5 Gedung A dan B (Sumber: Dokumen UPT Asrama ITB)

3.2.2.2. Kenyamanan Audial Dikarenakan di depan Asrama Sangkuriang sedang dilakukan pembangunan yang cukup mempengaruhi kenyamanan audial, tingkat kebisingan pada Asrama Sangkuriang dihitung pada saat pembangunan sedang berlangsung dan pada saat normal (pembangunan tidak berlangsung). Tingkat kebisingan pada saat normal 42 dB dan pada saat pembangunan berlangsung 75 dB. 3.2.2.3. Kenyamanan Termal Berdasarkan hasil pengukuran, temperatur udara pada Asrama Sangkuriang 24°C dengan kelembaban udara 75%. Angin bergerak dari barat ke timur dengan kecepatan 8km/jam.

45


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.2.4. Kenyamanan Visual Ruang serbaguna menghadap ke arah utara dengan curtain wall di sisi utara dan bukaan penuh di sisi selatan. Ruang tengah terbuka di sisi utara dan selatan namun tertutup dinding di sisi timur dan barat. Sedangkan pada kamar terdapat satu bukaan ke arah utara. Tabel 1 dan 2 menunjukan hasil pengukuran tingkat iluminasi pada ruanganruangan yang mempengaruhi kenyamanan visual dalam kegiatan pembinaan mahasiswa TPB Bidikmisi.

A1

B1

C1

A2

B2

C2

A3

B3

C3

Gambar 3. Titik-Titik Pengukuran Tingkat Iluminasi pada Ruang Serbaguna

A1

A2

A3

Gambar 4. Titik-Titik Pengukuran Tingkat Iluminasi pada Ruang Tengah

Tabel 3. Hasil Pengukuran Tingkat Iluminasi pada Ruang Serbaguna dan Ruang Tengah Gedung A dan Gedung B Ruangan

Ruang Serbaguna

Bagian Ruangan

Gedung A

Gedung B

Tingkat iluminasi (lux)

Tingkat iluminasi (lux)

A1

1560

9500

A2

380

2300

A3

450

1500

B1

1200

11500

B2

380

3000

B3

450

2100

C1

450

12500

C2

350

4500

Keterangan

Siang hari dengan pencahayaan alami

46


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Ruang Tengah

C3

500

2500

A1

850

240

A2

276

117

A3

280

140

A 1

Siang hari dengan pencahayaan alami

A 3

A 2

B 1

B 2

Gambar 4. Titik-Titik Pengukuran Tingkat Iluminasi pada Kamar Tabel 2. Hasil Pengukuran Tingkat Iluminasi pada Kamar Tingkat iluminasi (lux) Ruangan

Kamar

4.

Bagian Ruangan

Siang hari (pencahayaan alami)

Malam hari (sinar lampu)

A1

3

20

A2

4

50

A3

9

1

B1

2

14

B2

3

14

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Tingkat kenyamanan ruang pembinaan didapat melalui pengamatan dan pengukuran langsung pada Asrama Sangkuriang. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada tanggal 26 November 2016 antara pukul 12.00-14.30. 4.1.1.

Kenyamanan Spasial

Kebutuhan fasilitas ruang kamar diukur berdasarkan ruang minimal yaitu 9 m2/orang, dengan kata lain dibutuhkan unit kamar. Dari data luas fasilitas kamar yang ada yaitu 20 minimal yang dibutuhkan adalah 18 m2 maka luas setiap memenuhi standar.

standar kebutuhan 18 m2 untuk setiap m2 sedangkan luas unit kamar sudah

47


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Di asrama sangkuriang terdapat 2 gedung yang masing-masing memiliki 1 ruang serbaguna di lantai dasarnya dan 4 lantai untuk kamar yang masing-massing terdapat 12 kamar diisi 2 orang per unit kamarnya, sehingga total maksimum penghuni asrama sangkuriang adalah 96 orang per gedung. Luas standar untuk ruang berkumpul diukur berdasarkan standar minimal manusia untuk melakukan kegiatan sosial yaitu sekitar 1,2 m sehingga didapatkan luas minimal untuk 1 orang adalah 1,44 m2. Jika dikaitkan dengan jumlah penghuni asrama sangkuriang per gedungnya yaitu 96 orang maka dibutuhkan setidaknya 139 m2 untuk ruang serbaguna. Sedangkan untuk ruang tenagah di setiap lantainya setidaknya membutuhkan 34,5 m2. Dari data luas fasilitas ruang serbaguna yaitu 86.4 m2 dan luas ruangan yang dibutuhkan yaitu 139 m2, maka luas ruang serbaguna yang ada belum memebuhi standar. Ruang tengah memiliki luas 23,6 m2 sedangkan ruangan yang dibutuhkan adalah 34.5 m2, maka luas ruang tengah yang tersedia belum memenuhi standar. 4.1.2.

Kenyamanan Audial

Dikarenakan adanya pembangunan di depan Asrama Sangkuriang yang sifatnya sementara, kenyamanan audial menjadi tidak nyaman. Tetapi jika dalam keadaan normal, kenyamanan audial pada Asrama Sangkuriang ITB sudah memenuhi standar. 4.1.3.

Kenyamanan Termal

Dengan memasukkan data temperatur dan kecepatan angin yang peroleh dari hasil pengukuran kedalam grafik temperatur efektif diperoleh hasil sebagai berikut.

Gambar 4. Grafik Temperatur Efektif (Sumber: http://reader21.docslide.net/)

Titik pertemuan garis kecepatan angin (biru) dan garis temperatur (merah) menunjukan besar temperature efektif yaitu 200C, dan berada di luar kotak ungu sehingga didapatkan hasil bahwa kondisi lingkungan termal asrama sangkuriang kurang nyaman. 4.1.4.

Kenyamanan Visual

Kenyamanan visual ditentukan dengan membandingkan tingkat iluminasi hasil pengukuran dengan tingkat iluminasi ruang standar yang ditetapkan pada SNI 03-2000 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan. 48


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 4. Tingkat Kenyamanan Visual Tingkat iluminasi (lux)

Ruangan

Kesimpulan

Hasil pengukuran (rata-rata)

Standar SNI

Gedung A

Ruang Serbaguna Ruang Tengah

635.5 458.6

200 200

Melampaui Melampaui

Gedung B

Ruang Serbaguna Ruang Tengah

5488.8 165.6

200 200

Melampaui Kurang

4.2 19.8

120-250 120-250

Kurang Kurang

Kamar

Siang hari (pencahayaan alami) Malam hari (pencahayaan buatan)

Pada ruang serbaguna dan ruang tengah secara garis besar sudah melampaui dan mendekati standar SNI. Namun pada pencahayaan kamar, masih jauh dari standar SNI. Hal itu dikarenakan dinding kamar terbuat dari material batako yang tidak diplester sehingga tidak memantulkan cahaya dan membuat tingkat iluminasi pada kamar rendah. 4.2. Interpretasi Data Dari hasil analisis data diatas dapat diinterpretasikan tingkat kenyamanan ruang berdasarkan kegiatan pembinaan yang dilakukan. Tabel 5. Intepretasi Kenyamanan Ruang Pembinaan Berdasarkan Kegiatan Kenyamanan Kegiatan Tutorial akademik (ruang serbaguna) Konseling

Kamar Ruang tengah

Spasial (25%)

Audial (25%)

Termal (25%)

Visual (25%)

X

X

√ X

√ √

X X

X √

Keterangan: √ = tercapai, X = tidak tercapai

Dari tabel diatas dapat dilihat untuk kegiatan tutorial akademik hanya mendapatkan kenyamanan audial dan visual. Dengan bobot tiap aspek kenyamanan yang sama, dapat dihitung kenyamanan ruang pada kegiatan tutorial akademik sebesar 50%. Untuk kegiatan konseling yang diadakan di kamar hanya mendapatkan kenyamanan spasial dan audial, sedangkan untuk kegiatan konseling yang diadakan di ruang tengah hanya mendapatkan kenyamanan audial dan visual. Dapat dihitung kenyamanan ruang pada kegiatan konseling sebesar 50%. Sehingga jika disimpulkan, kenyamanan ruang pembinaan di Asrama Sangkuriang sebesar 50%. 5.

PENUTUP

Asrama sangkuriang ITB jika dilihat dari segi kenyamanan fisik belum sepenuhnya memenuhi standar, terutama kenyamanan termal dan spasial, juga kenyamanan visual di dalam kamar. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan spasial di Asrama Sangkuriang ITB adalah memperluas ruangan. cara ini bisa dilakukan dengan membuat fungsi ruangan ganda dengan menyatukan ruangan dengan ruangan lain yang memiki waktu penggunaan yang berbeda. Untuk meningkatkan kenyamanan termal di asrama Sangkuriang ITB dapat dilakukan dengan mengurangi bukaan, menambah pohon dan mengganti material yang dapat menyimpan kalor. Kenyamanan visual di dalam kamar dapat ditingkatkan dengan menambah jalan masuk cahaya ke dalam kamar dan memberikan finishing dinding dengan warna yang lebih cerah. 6.

DAFTAR PUSTAKA

SNI 03-2000 KONSERVASI ENERGI PADA SISTEM PENCAHAYAAN SNI 03-6386-2000 SPESIFIKASI TINGKAT BUNYI DAN WAKTU DENGUNG DALAM BANGUNAN GEDUNG DAN PERUMAHAN

49


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. : 403/kpts/m/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat)

British Standard BS EN ISO 7730 Calculation of Dewpoint and Wet-bulb Temperature from https://www.easycalculation.com/weather/dewpoint-wetbulb-calculator.php, Desember 2016

Relative diakses

Humidity, tanggal 6

Wonorahardjo, Surjamanto. 2015. Slide Kuliah Fisika Bangunan.

50


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

51


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

PENGARUH DISTRIBUSI SPASIAL DAN KUALITAS FISIK TERHADAP EFEKTIFITAS KERJA UNIT KEGIATAN MAHASISWA RUMPUN SENI BUDAYA DI ITB GANESHA

Siti MAISYAROH(1), Syifa KHOIRUNISA(2), dan Irsal Tri PUTRA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) maisyarohs45@gmail.com; (2) syifacarnation@gmail.com; (3) isalmadel@gmail.com

ABSTRAK Unit Kegiatan Mahasiswa adalah organisasi mahasiswa yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat, baik di bidang olahraga, seni, budaya, keilmuan dan lain-lain. Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM merupakan wadah yang sangat penting dalam pengembangan minat dan bakat setiap individu di perguruan tinggi. Untuk itu sudah selayaknya kampus memfasilitasi UKM-UKM berkegiatan dan bisa mengakomodasi mahasiswanya untuk bisa mengembangkan diri dengan nyaman. Pada umumnya fasilitas UKM pada perguruan tinggi diletakkan secara terpusat. Sehingga kegiatan didalamnya terorganisir dengan baik. Hal ini berbeda kodisi dengan fasilitas UKM di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) Ganesha yang memiliki beberapa titik pusat dalam kampus. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa efektifitas kerja suatu UKM rumpun seni budaya di ITB Ganesha dipengaruhi oleh distribusi spasial dan kualitas fisik fasilitas yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, fasilitas UKM di Kampus ITB Ganesha belum memenuhi standar. Hal ini ditunjukkan dengan masih belum meratanya pemberian fasilitas pada setiap UKM, sehingga berpengaruh terhadap kelancaran UKM berkegiatan. Perbedaan fasilitas yang didapatkan tiap UKM menjadi pertimbangan UKM untuk memilih sarana yang ada sebagai tempat latihan. Distribusi spasial pada sarana latihan menyebabkan lokasi-lokasi UKM berada pada zona-zona di sarana itu berada. Ketika kendala terjadi, UKM-UKM seni Budaya yang ada di Kampus ITB Ganesha berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada untuk mencapai tujuan yang ada. Dari penelitian ini, diketahui bahwa distribusi spasial yang terjadi pada sarana latihan dan kualitas fisik yang ada mempengaruhi dalam efektifitas kerja UKM-UKM tersebut. Kata Kunci: UKM, sarana latihan, distribusi spasial, efektifitas kerja

1.

PENDAHULUAN

Dewasa ini, pendidikan merupakan kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat. Perguruan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai peran penting untuk menentukan kualitas sumber daya manusia, terutama bagi perkembangan dan perwujudan diri individu. Di setiap tingkat pendidikan terdapat berbagai macam bentuk layanan pendidikan atau kegiatan yang dapat mendukung akademik dan nonakademik para pelajarnya. Sama dengan lembaga pedidikan lainnya, Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai lembaga pendidikan perguruan tinggi juga memfasilitasi mahasiswanya untuk berkegiatan baik itu kegiatan akademik dan nonakademik. Kegiatan akademik yang dijalani mahasiswa berupa perkuliahan yang didukung dengan adanya ruang-ruag kelas, laboratorium, studio, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan nonakademik berupa Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

52


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Unit kegiatan mahasiswa (UKM) merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswa di berbagai bidang diluar keilmuan yang dipelajarinya. Unit kegiatan mahasiswa yang ada di ITB berjumlah 89 unit yang terdiri dari berbagai rumpun kegiatan meliputi Rumpun Kesenian, Olahraga, Agama, Media, Kajian dan Pendidikan. Rumpun-rumpun ini berada dibawah pengawasan ITB yaitu Lembaga Kemahasiswaan (LK) dan tergabung dalam Kementrian Seni Budaya dibawah Keluarga Mahasiswa Institut teknologi Bandung ( KM ITB). 2.

KAJIAN TEORI

2.1. Definisi Unit Kegiatan Mahasiswa Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang dibentuk untuk mewadahi bakat, minat dan potensi mahasiswa yang dilaksanakan dalam kegiatan di luar akademik. Salah satu bentuk organisasi mahasiswa adalah Unit Kegiatan Mahasiswa yang biasanya disingkat UKM. UKM yaitu organisasi mahasiswa yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat, baik di bidang olahraga, seni atau lainnya dibawah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Mahasiswa (KM) yang memilik bentuk yang berbeda di setiap perguruan tinggi. Menurut Joseph de Chiara dalam buku Time-Saver Standards for Building Types (edisi keempat) halaman 456. Banyak aspek yang dapat dipertimbangkan dalam merencanakan berbagai tipe program ruang kegiatan mahasiswa seperti kebisingan, pelayanan, kebutuhan, dan sebagainya. Secara garis besar terdapat delapan (8) klasifikasi umum dalam bangunan kegiatan mahasiswa sebagai panduan dalam perencanaan bangunan atau ruang kegiatan mahasiswa. Klasifikasi ruang tersebut memerlukan penyesuaian dengan penggunanya, dalam hal ini adalah mahasiswa. Klasifikasi ruang tesebut antara lain : a) administrasi, pelayanan, dan pemeliharaan (administrative, service, and maintenance) b) pelayanan makanan (food service) c) area tenang (quiet areas) d) teater (theater) e) ruang kriya (workshop) f) ruang permainan (games room) g) ruang luar (outdoor) h) ruang lainnya (miscellaneous) 2.2.

Tinjauan Khusus Objek Studi Sejenis

Dalam tinjauan objek studi sejenis didapatkan unit kegiatan mahasiswa yang terpusat di suatu gedung bersama yang disebut sebagai Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Pusat kegiatan mahasiswa sendiri terdiri dari tiga (3) kata yang memiliki arti tersendiri. Dikutip dari http://pusatbahasa.diknas.go.id, arti pusat kegiatan mahasiswa adalah sebagai berikut : a) pu¡sat n 1 tempat yg letaknya di bagian tengah: Istana Merdeka letaknya di -- kota Jakarta; 2 titik yg di tengah-tengah benar (dl bulatan bola, lingkaran, dsb): -- bumi; lingkaran; 3 pusar; 4 pokok pangkal atau yg menjadi pumpunan (berbagai-bagai urusan, hal, dsb): perguruan tinggi harus menjadi -- berbagai ilmu pengetahuan; 5 orang yg membawahkan berbagai bagian; orang yg menjadi pumpunan dr bagian-bagian;

53


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

b) ke·gi·at·an n 1 aktivitas; usaha; pekerjaan; 2 kekuatan dan ketangkasan (dl berusaha);kegairahan; c) ma·ha·sis·wa n orang yg belajar di perguruan tinggi; Berdasarkan penjelasan tersebut arti pusat kegiatan mahasiswa ialah pokok pangkal yang menjadi tumpuan aktivitas orang-orang yang belajar di perguruan tinggi dengan dukungan berbagai fasilitas yang memadai. 2.2.1.

Eastern Michigan University Student Center

Eastern Michigan University Student Center (EMU Student Center) dirancang oleh arsitek Burt Hill. Bangunan student center ini memiliki luas 181.000 m2, ditujukan untuk menjadi pusat kehidupan mahasiswa dan program edukasi dari kampus. Dana yang dikeluarkan untuk membangun proyek ini kurang lebih 40,4 juta dolar Amerika, termasuk pembangunan supermarket, toko buku, area pertokoan, bank, ruang permainan, dan ruang rapat. Bangunan ini terbagi menjadi 3 bagian utama, lantai 1 untuk fungsi komersil; lantai 2 untuk fungsi administrasi, auditorium, dan perkantoran; serta lantai 3 untuk pendidikan. Lantai dasar ditujukan untuk pengguna bebas, sehingga terdapat berbagai fasilitas yang umum dan dapat diakses oleh banyak orang tidak hanya untuk warga kampus saja. Terdapat toko buku seluas 13.000 kaki persegi termasuk didalamnya area komputer, area pernak-pernik, area buku, dan kafetaria. Sedangkan beberapa vendor retail makanan siap saji seperti Wendy’s, Subway, Taco Bell, Sbarro, dan Panda Express juga menempati area kantin di lantai dasar. Lantai dua terdapat kantor administrasi, pelayanan mahasiswa, laboratorium komputer, ballroom dengan kapasitas 650 kursi yang dapat dibagi dua ruangan, auditorium dengan kapasitas 250 kursi, kedai kopi, galeri mahasiswa, ruang duduk, ruang santai, dan dua ruang rapat. Auditorium di lantai dua ini memiliki peralatan tata suara yang bagus. Di dalam auditorium dapat diputar film, siaran televisi, presentasi, dan bahkan rekaman kamera internet. Menurut direktur EMU student center – Carlos Costa, banyak fleksibilitas untuk mendukung aktivitas di student center ini.

Gambar 1. Denah lantai satu dari EMU Student Center (Sumber : http://www.burthill.com/stories/student_centers)

54


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.2.2.

Kompleks Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Padjajaran

Universitas Padjajaran Bandung yang berlokasi di Jatinangor memiliki banyak UKM yang dapat diikuti oleh mahasiswanya. Lokasi sekretariat UKM di Unpad dibagi menjadi 2 yaitu Kompleks UKM Barat dan Timur. Kompleks UKM Barat terletak di sisi Barat kampus Unpad Jatinangor. Dalam komplek UKM Barat terdapat sekretariat Lingkung Seni Sunda (Lises), Spektrum (UKM Fotografi), Shorinji Kempo, UKM Bridge, Unit Hoki Unpad, dll. Selain itu, terdapat pula Sekretarian Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasisa (BEM Kema) Unpad serta ruang Sekretariat Bersama (Sekber). Sementara itu Kompleks UKM Timur terletak di sisi Timur kampus Unpad Jatinangor. Dalam komplek UKM Timur terdapat sekretariat Pramuka Unpad, Korps Protokoler Mahasiswa (KPM) Unpad, Unit Sepak Bola Unpad (USBU), Resimen Mahasiswa (Menwa) Unpad, Perisai Diri Unpad, Unit Catur Unpad, dan Sekretariat Badan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BPM Kema) Unpad.

Gambar 2. Sekretariat UKM Barat dan Timur (sumber: http://pef.unpad.ac.id/kompleks-unit-kegiatan-mahasiswa/)

3.

DESKRIPSI KASUS

3.1. Tinjauan Kasus ITB merupakan kampus multikultural. Hal ini menjelaskan bahwa banyak kalangan pelajar dari seluruh Indonesia yang memilih ITB sebagai tempat melanjutkan pendidikannya. Adanya keragaman ataupun latar belakang budaya, asal yang sama membuat mahasiswa-mahasiswa saling berkumpul dan membentuk sebuah organisasi baik itu paguyuban maupun UKM. UKM yang berlandaskan kebudayaan ini berada di bawah Kementrian Seni Budaya KM ITB. Tiap-tiap UKM Seni Budaya memiliki kegiatan-kegiatan ditiap kepengurusannya. Kegiatan ini bertujuan untuk memfasilitasi bakat dan minat dari pada anggotanya serta sebagai bentuk konsistensi sebuah organisasi untuk tetap berjalan. Kegiatan-kegiatan 55


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

utama UKM Seni Budaya merupakan sebuah pertujukan baik itu tari, musik, drama, puisi, dan lain-lain. Agar kegiatan berjalan lancar, UKM-UKM mengadakan latihan-laihan sebagai bentuk persiapan pertujukan. Untuk pemenuhan fasilititasnya, pihak kampus menyediakan fasilitas pendukung UKM berupa ruang unit dan juga ruang-ruang terbuka yang dapat dipergunakan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam penelitian ini, penulis akan memetakan UKM Seni Budaya dan juga fasilitas pendukungnya yang ada di kampus ITB Ganesha. Selain itu, penulis juga akan membandingkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki tiap UKM, bentuk prestasi dan bagaimana perbedaan tersebut berdampak pada efektifitas kerja UKM seni budaya ITB Ganesha Untuk mengetahui efektifitas kerja UKM, maka penulis menggunakan kerangka berpikir sebagai berikut :

Gambar 3. Kerangka berpikir penulisan paper (sumber : dokumentasi pribadi)

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1.

Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan datanya, antara lain : a.

Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan guna melihat kondisi UKM seni budaya di ITB Ganesha. Hal ini dilakukan untuk meihat kondisi eksisting dan juga memetakan lokasi-lokasi tempat yang menjadi objek peelitian b.

Wawancara

Wawancara dilakukan ke setiap UKM guna mendapatkan kondisi nyata yang dialami UKM tersebut.

56


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 4. Peta Lokasi UKM Seni Budaya di ITB Ganesha (sumber : google dan dokumentasi pribadi)

4.

Gambar 5. Zona ruang terbuka yang dapat dipergunakan UKM untuk berkegiatan (sumber : google dan dokumentasi pribadi)

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data 4.1.1.

Kuliatas Fisik Ruang Unit Kegiatan Mahasiswa

Berdasarkan peta perseberan UKM-UKM seni budaya ITB Ganesha ( Gambar 4), Lokasi UKM-UKM seni budaya di ITB Ganesha dapat dibagi menjadi 3 daerah berdasarkan letak sekretariat UKM-nya, antara lain: a. Campus Center Barat b. Selasar Mektan c. Sunken Court Fasilitas ruang yang diberikan kepada UKM ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak Direktorat Sarana dan Prasarana (SP) ITB. Ruang yang diberikan kepada pihak UKM meliputi ruang sekretariat dan juga ruang penyimpanan sebagai tempat penyimpatan alat-alat atau benda penting lainnya. Ruang unit bukan hanya berperan sebagai ruang simbolis suatu UKM. Ruang ini merupakan tempat para anggota UKM untuk berkumpul dan berkegiatan. Kegiatan yang terjadi disini dapat bagi menjadi 2 jenis yaitu kegiatan formal dan informal. Kegiatan formal yang terjadi antara lalin berupa rapat koordinasi pengurus atau panitia suatu acara, atau sebagai tempat berdiskusi. Ruang unit juga merupakan tempat transit bagi mahasiswa menunggu perkuliahan selanjutnya yang memiliki rentan yang waktu yang berjauhan dengan perkuliahan selanjutnya. Pada rentan waktu tersebut, mahasiswa sering sekali mengisinya dengan mengerjakan tugas, istirahat, makan siang, berlatih ataupun sekedar bercengkrama dengan temannya. Aktivitas ini merupakan bentuk dari kegiatan informal yang terjadi di 57


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ruang unit. Berdasarkan survey yang telah dilakukan, kami mengkategorikan Ruang UKM menjadi 3 kategori, : a. Kecil, dengan luasan < 6 m2 b. Sedang, dengan luasan 6 <= X < 24 m2 c. Besar, dengan luasan >= 24 m2 Dilapangan, kami menemukan bahwa terdapat 2 kondisi ruang unit yaitu: 1. Ruang unit merupakan sebagai sekretariat dan juga sebagai tempat penyimpanan alat 2. Ruang unit berfungsi sebagai Sekretariat sedangkat ruang penyimpanan terpisah cukup jauh dengan sekretariat. Ruang penyimpanan merupakan ruang yang vital bagi logistik UKM Seni Budaya. Sebagai unit kebudayaa, banyak alat-alat yang dipergunakan untuk menunjang kegiatan latihan seperti alat musik yang terdiri dari berbagai ukuran, property tari ataupun drama, dan juga kostum penampilan ataupun pakaian adat daerah. Dua kondisi ruang unit ini memiliki kekurangan dan kelebihan masingmasing. Pada kondisi yang pertama, ruang unit berfungsi sebagai sekretarian dan juga sebagai ruang penyimpanan. Pada keadaan seperti ini, anggota dengan mudah melakukan pengawasan dan perawatan pada alat ataupun barang yang mereka miliki. Dilain pihak, ruang yang mereka miliki sebagai tempat berkumpul akan berkurang karena diisi oleh barang-barang. Hal ini belum ditambah keadaan dimana tas-tas yang dimiliki anggota berserakan diatas lantai sehingga memakan ruang yang ada. Penyemitan ruang unit ini mengakibatkan UKM-UKM memberbesar wilayah teritorinya. Tidak jarang UKM-UKM memakan badan jalan untuk berdiskusi ataupun menyimpan barang. Kondisi kedua, ruang unit berfungsi sebagai sekretariat dimana ruang logistik terletak terpisah. UKM-UKM dengan kondisi ini berlokasi di Sunken Court. Mengingat ruang unit yang relatif kecil, UKM-UKM menyimpan barang-barangnya di ruang penyimpanan bersama yang terdapat di basement Campus Center Barat. Akibatnya, kontrol dan perawatan terhadap barang yang dimiliki tidak semudah dan sesering yang bisa dilakukan dibandingkan dengan UKM yang memiliki ruang unit sebagai ruang penyimpanan juga. 4.1.2.

Distribusi Spasial

Sedangkan untuk sarana sebagai ruang latihan UKM (Gambar 2) dapat dibagi menjadi 3 daerah, antara lain: a. Zona Selatan b. Zona Tengah c. Zona Utara Lokasi sarana sebagai ruang latihan UKM rumpun seni budaya terletak menyebar di tiga zona. Zona-zona ini lokasinya berdekatan dengan lokasi-lokasi sekretariat UKM yang tersebar di tiga lokasi. Sarana yang disediakan oleh pihak kampus sebagai tempat berkegiatan atau latihan tidak berbentuk sebagai ruang tertutup. Sarana ini merupakan peralihan fungsi dari ruang terbuka, selasar, ataupun koridor. Sarana-sarana ini baru dapat digunakan dengan bebas sesuai peraturan yang ada setelah berakhirnya jam perkuliahan yaitu pukul 17.00. Untuk peggunaan tempat, terdapat prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu peminjaman tempat. UKM diharuskan untuk membuat surat izin penggunaan tempat jika ingin menggunakan fasilitas tersebut. Surat ini akan diproses di lembaga terkait yaitu 58


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Direktorat Sarana dan Prasarana (SP) ITB. Ketika surat telah diproses akan diberikan surat izin pemakaian sesuai dengan permintaan yang telah perbolehkan. Berdasarkan Tabel 1, setiap UKM memilih tempat berkegiatan atau tempat latihan yang cenderung dekat dengan sekretariat dan ruang penyimpanan alat UKM. Tempat latihan yang dipilih merupakan tempat latihan yang masih dalam satu zona degan sekretariat atau ruang penyimpanan. Tidak jarang UKM juga memilih tempat latihan di zona yang berdekatan. Hal ini terjadi akibat tempat latihan pada zona yang sama sudah digunakan atau dipinjam oleh organisasi lain. Pemilihan tempat latihan yang dekat akan memudahkan UKM-UKM untuk memindahkan barang-barang yang akan digunakan. Akan tetapi tidak semua UKM dapat melakukan hal yang sama, terdapat beberapa UKM yang memiliki ruang sekretariat dan ruang penyimpanan alat yang terpisah jauh, sehingga UKM tersebut harus menyesuaikan ruang latihan sesuai dengan kebutuhan. Kondisi ini tentunya berpengaruh kepada efektifitas kegiatan yang dilakukan. Contoh kasus yang terjadi salah satunya pada Unit Kebudayaan Jawa Timur-an Loedroek ITB. Loedroek ITB memiliki sekretariat di Sunkencourt (zona utara), sedangkan ruang penyimpanan alatnya berada di CC Barat (zona selatan). Logistik yang dipakai untuk latihan di Loedroek ITB yaitu satu set gamelan, tentunya alat ini cukup sulit untuk dipindahkan, membutuhkan waktu yang cukup lama dan tenaga yang lebih untuk menyediakan alat tersebut sehingga siap dipakai latihan. Seringkali terjadi kendala dengan waktu latihan yang diadakan, dengan rentang waktu latihan setelah jam kerja hingga jam pulang malam yang dirasa kurang cukup.

4.1.3.

Pencapaian proker dan prestasi

Unit Kegiatan Mahasiswa khususnya Seni Budaya memiliki sebuah program kerja selama satu kepengurusannya. Program kerja ini bertujuan sebagai koridor UKM untuk bberkegetian selama 1 tahun kedepan. Sebagai unit kebudayaan, program kerja terbesar yang direncankan adalah mengadakan pagelaran, mengikuti acara eventual mengikuti perlombaan ataupun mengadakan perlombaan. Proker ini biasanya diadakan diakhir kepengurusan. Tujuannya adalah sebagai selebrasi dari kepengurusan yang akan berakhir. Tidak jarang pagelaran ataupun perlombaan yang diadakan merupakan bentuk selebrasi dari Dies Natalis UKM yang bersangkutan. Bentuk pagelaran atau perlombaan yang diadakan ataupun diikuti memiliki berbagai skala. Mulai dari skala kampus, kota atau regional, nasional, hingga internsional. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, UKM seni budaya biasanya mengadakan latihan rutin setiap minggunya. Latihan ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum acara tersebut diadakan. Biasanya dalam kurun waktu 6 bulan atau 2 bulan sebelum acara. Selama kurun waktu tersebut, mahasiswa meluangkan waktunya setelah perkuliahan untuk berlatih dimalam hari. Mengingat ruang unit yang tidak mampu menampung anggota untuk berlatih, mahasiswa menggunakan fasilitasfasilitas umum yang ada dikampus.

4.2. Interpretasi Data Berdasarkan data dan analisis yang telah dilakukan, keberadaan tempat latihan merupakan hal yang penting sebagai sarana pendukung utama UKM berkegiatan. Lokasilokasi UKM yang ada saat ini telah sesuai dengan lokasi sarana-sarana latihan tersebut. Jarak antara ruang unit dan sarana ini menjadi faktor utama pemilihan lokasi latihan. UKMUKM cenderung menggunkan tempat latihan yang berada satu zona dengan ruang unit atau peralatannya mengingat logistik yang digunakan selama latihan cukup banyak dengan ukuran relatif beragam.

59


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Jumlah sarana sebagai tempat latihan dirasa masih kurang. Berdasarakan data yang ada, perbandingan UKM seni budaya dan sarana-sarana latihan saat ini yaitu 1:1. Penggunaan tempat latihan ini tidak hanya digunakan oleh UKM seni budaya saja melainkan UKM-UKM lain dan juga Himpunan Mahasiswa Jurusan. Biasanya penggunaan bersama tempat latihan lebih dari satu UKM menyebabkan latihan tidak maksimal atau tidak memungkinkan. Hal ini disebebkan oleh bentuk latihan yang dilakukan oleh UKM tersebut. Latihan yang dilakukan oleh UKM seni budaya antara lain bermain musik, menari, dan drama. Penggunaan bersama akan mengakibatkan gangguan terhadapt UKM itu sendiri karena tiap bentuk latihan memerlukan ruang yang cukup besar dan menghasilkan bunyibunyian yang berasal dari alat musik. Fasilitas yang didapatkan tiap UKM juga berbeda-beda. Banyak kasus ditemukan bahwa UKM-UKM memiliki ruang penyimpanan yang terpisah. Ruang penyimpanan terpisah ini disebabkan akibat luas sekretariat yang ada tidak mampu menyimpan alat-alat. Dengan keadaan tempat latihan yang terpisah dan juga keadaan secretariat yang tidak terlalu besar maupun ruang penyimpanan yang terpisah, UKM-UKM yang ada di ITB Ganesha masih dapat berkegiatan dengan lancar. Hal ini dapat dilihat pada hasil-hasil yang dicapai oleh UKM-UKM ini. Banyak UKM dapat mengadakan pagelaran, mengikuti perlombaan, ataupun mengikuti penampilan-penampilan eventual yang diadakan oleh berbagai pihak. Dalam hal ini, UKM-UKM lebih bersikap untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan yang ada. Peningkatan yang diharapkan sepertinya akan susah untuk terjadi karena mengingat luas kampus ITB Ganesha yang tidak terlalu besar dan sudah padat. Penambahan gedung baru yang ada saat ini juga tidak untuk memfasilitasi ruang unit sehingga pemindahan ruang unit yang ada ke gedung baru dirasa tidak memungkinkan. 5.

PENUTUP

Unit Kegiatan Mahasiswa merupakan wadah yang penting untuk pengembangan individu mahasiswa. Kampus ITB Ganesha telah menyediakan fasilitas berupa sekretariat, ruang penyimpanan serta ruang terbuka untuk kegiatan latihan UKM. Fasilitas yang disediakan oleh Kampus ITB Ganesha untuk setiap UKM memiliki kondisi yang sangat beragam. Mulai dari berbeda secara ukuran hingga berbeda peletakkannya. Perbedaan ukuran sekretariat UKM mempengaruhi fungsi yang terjadi didalamnya. Semakin besar ukuran sekretariat semakin benyak kegiatan yang dapat ditampung didalamnya. Fasilitas UKM yang telah disediakan Kampus ITB Ganesha terdistribusi pada beberapa zona. Distribusi spasial fasilitas UKM ini sangat mempengaruhi efektifitas kerja pada UKM tersebut, dan hal ini cukup menjadi kendala bagi beberapa UKM yang memiliki logistik yang banyak saat mengadakan kegiatan/latihan. Untuk itu penulis menyarankan dalam pendistribusian ruang penyimpanan logistik UKM sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keterjangkauannya terhadap sekretariat UKM yang bersangkutan. Sehingga kegiatan/latihan yang dilakukan oleh UKM menjadi lebih efektif secara waktu dan tenaga. 6.

DAFTAR PUSTAKA Wikipedia. 6 Maret 2016.”Unit Kegiatan Mahasiswa”. Diperoleh 5 Desember 2016,dari https://id.wikipedia.org/wiki/Unit_kegiatan_mahasiswa Wikipedia. 6 Maret 2016.”Organisasi Mahasiswa”. Diperoleh 5 Desember 2016,dari https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_mahasiswa e-journal Universitas Atma Jaya, “BAB II TINJAUAN HAKIKAT PUSAT KEGIATAN MAHASISWA”, [pdf], (http://e-journal.uajy.ac.id/640/3/2TA12711.pdf diakses pada 4 Desember 2016)

Padjadjaran Education Festival 2016, “Kompleks Unit Kegiatan Mahasiswa”, (http://pef.unpad.ac.id/kompleksunit-kegiatan-mahasiswa/ diakses pada 6 Desember 2016)

60


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

61


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

TINGKAT KEPUASAN KOMUNITAS DOSEN MATEMATIKA DAN ASTRONOMI TERHADAP FASILITAS GEDUNG CENTRE OF ADVANCE SCIENCE (CAS) Cindy Mathilda SITOMPUL (1), Vania NATALIE (2), dan Debora Ulibasa LUBIS (3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1) cindy.mathilda.s@gmail.com; (2) vanianataliee@gmail.com; (3) debora9547@gmail.com

ABSTRAK Peningkatan fasilitas pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam rangka menambah kualitas dari suatu universitas. Salah satu universitas yang sedang gencar melakukan pembangunan untuk perbaikan dan penambahan fasilitas pendidikan adalah Instititut Teknologi Bandung. Akibat pembangunan tersebut, beberapa program studi di Institut Teknologi Bandung dipindahkkan ke gedung baru. Salah satu program studi yang dipindahkan adalah program studi Matematika dan Astronomi. Perpindahan kedua program studi ke gedung Centre of Advance Science (CAS), akan menimbulkan perbedaan suasana lingkungan fisik dan kenyamanan dalam beraktivitas sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kepuasan civitas akademika program studi Matematika dan Astronomi sebagai penggunanya. Kata Kunci: Gedung Centre of Advance Science, Perubahan lingkungan, Tingkat Kepuasan

1.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia saat ini semakin membutuhkan sarjana-sarjana yang mampu membawa perubahan dan pembangunan bangsa ke arah yang lebih baik. Institut Teknologi Bandung, sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia dipandang oleh masyarakat sebagai institusi yang mampu menyumbangkan sarjana-sarjana yang berkualitas. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak Institut Teknologi Bandung dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas sarjananya adalah dengan menggagas sebuah proyek Rancangan Pembangunan dan Penataan Kampus ITB Tahun 2012-2014. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas melalui pembangunan gedung-gedung perkuliahan serta memberikan fasilitas tambahan untuk beberapa program studi yang membutuhkan. Beberapa program studi yang mendapatkan penambahan kapasitas ruang perkuliahan serta fasilitas adalah program studi Matematika dan Astronomi. Pada awalnya kedua program studi ini menempati salah satu gedung lama di Institut Teknologi Bandung yaitu gedung Laboratorium Teknik III. Kemudian setelah proyek pembangunan selesai, sejak tahun 2015, kedua program studi ini dipindahkan dan menempati gedung baru Centre of Advanced Science (CAS) di lantai empat, lima dan enam. Akibat perpindahan ke gedung baru tersebut, kedua program studi mengalami perubahan suasana lingkungan fisik dan juga kenyamanan dalam beraktivitas sehingga mempengaruhi tingkat kepuasan civitas akademika program studi Matematika dan Astronomi terhadap gedung Centre of Advanced Science (CAS) sebagai penggunanya. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kepuasan civitas akademika program studi Matematika dan Astronomi, terutama dosen, terhadap gedung Centre of Advanced Science (CAS).

62


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.

KAJIAN TEORI

Untuk mendukung analisis terhadap tingkat kepuasan dosen program studi Matematika dan Astronomi terhadap gedung Centre of Advanced Science (CAS) digunakan beberapa teori pendukung tentang lingkungan kerja dan ruang kerja bersama. 2.1. Lingkungan Kerja Menurut Bell, aspek-aspek yang perlu diperhatikan saat merancang sebuah lingkungan kerja adalah suasana, tata letak perabot seperti meja dan kursi, territorial, efisiensi dan alur kerja, serta tata letak dari ruang-ruang kerja. Suasana dalam lingkungan kerja dipengaruhi oleh tingkat kebisingan lingkungan sekitarnya, pencahayaan dan juga jendela sebagai sumber pencahayaan alami. Tata letak perabot dapat mempengaruhi impresi seseorang terhadap ruang tersebut. Penempatan meja sebagai penghalang antara pemilik ruang dan pengunjung akan menimbulkan kesan adanya perbedaan status dan menjadi terasa kurang ramah bagi pengunjungnya. Teritorial dalam suatu lingkungan kerja berhubungan dengan suatu ruang yang spesifik dan biasa digunakan. Ruang tersebut akan menjadi suatu lingkungan kerja yang nyaman dan pemilik ruang tersebut akan menandakan teritorinya dengan benda-benda pribadi miliknya. Alur kerja dari para pekerja yang menempatinya perlu diperhatikan. Tata letak dari ruang-ruang kerja diatur sedemikian rupa sesuai dengan alur kerjanya agar dalam bekerja menjadi lebih efisien. 2.2. Ruang Kerja Bersama Menurut buku “Designing Places for People�, faktor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh para perancang dalam merancang lingkungan binaan yaitu formasi pertemanan, keanggotaan dalam sebuah kelompok, ruang pribadi, status pribadi, teritorialitas, komunikasi, wayfinding, dan keamanan pribadi. Untuk meningkatkan kepuasan pengguna terhadap sebuah bangunan, maka faktor-faktor tersebut harus dapat ditingkatkan melalui desain yang dibuat. Tempat kerja merupakan tempat bagi para pekerja untuk mencari penghasilan demi menunjang kebutuhan hidupnya. Profesi dengan pekerjaan yang cenderung tetap dan statis menyebabkan munculnya ruang kerja yang tidak terlalu fleksibel. Desain ruang kerja yang nyaman dan fleksibel dapat meningkatkan kepuasan pekerja terhadap ruang kerja yang digunakan. Dalam sebuah tempat kerja ada beberapa faktor penting yang memengaruhi tingkat kepuasan para pekerja yaitu ruang pribadi, status pribadi, teritorialitas, tatanan pertemanan, dan keanggotaan dalam sebuah kelompok. Ruang pribadi atau personal space merupakan salah satu faktor yang sangat diperhatikan dalam merancang sebuah ruang kerja. Seorang pekerja cenderung ingin menandai ruang kerja yang dia gunakan dengan tanda dirinya seperti misalnya papan nama. Sebuah ruang kerja yang baik juga sebiaknya memiliki penyimpanan barang yang dapat dikunci oleh pemiliknya. Dalam hal orientasi, sebuah ruang kerja sebaiknya menghadap ke arah sirkulasi tempat orang berkegiatan. Para pekerja juga akan lebih puas ketika mereka bisa mengendalikan cahaya dan temperatur ruang kerjanya sendiri sesuai preferensi dirinya. Hal yang tidak kalah penting adalah jendela yang mendapatkan cahaya matahari langsung demi meningkatkan kenyamanan pengguna ruang kerja. Fleksibilitas penempatan barang, kemudahan pengaturan ruang, dan kemudahan dalam membersihkan ruang juga menjadi faktor penting dalam menentukan kepuasan pengguna ruang kerja. Ketika kita hendak merancang sebuah ruang kerja, pengguna ruang kerja sangat ingin dilibatkan dalam perancangannya agar rancangan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kelengkapan fasilitas dalam sebuah bangunan juga merupakan hal yang penting karena, semua pengguna sebaiknya dapat mengakses fasilitas yang tersedia dengan sama mudahnya. Perancang juga harus memerhatikan nilai-nilai yang berlaku pada bidang pekerjaan tersebut agar tingkat kepuasan pengguna tinggi. Dalam sebuah ruang kerja, teritorialitas merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan faktor-faktor lain. Harus ada batasan yang jelas antara ruang kerja individu dan ruang bersama. Hal ini harus diterapkan agar tidak terjadi gangguan antar sesama pengguna. 63


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.

DESKRIPSI KASUS

Gedung Centre of Advanced Science (CAS) berada di bagian timur laut dari komplek kampus Ganesha Institut Teknologi Bandung. Gedung ini terdiri dari enam lantai yang digunakan sebagai fasilitas untuk program studi Matematika, Astronomi serta Nanoteknologi.

Gambar 1. Lokasi Gedung CAS ITB (Sumber: www.pelajarterbaik.com dengan olahan penulis)

3.1. Tinjauan Kasus Perpindahan program studi Matematika dan Astronomi ke gedung baru mengakibatkan kedua program studi mengalami perubahan suasana lingkungan fisik dan juga kenyamanan dalam beraktivitas sehingga mempengaruhi tingkat kepuasan civitas akademika program studi Matematika dan Astronomi terhadap gedung Centre of Advanced Science (CAS) sebagai penggunanya. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mencari tahu tingkat kepuasan civitas akademika program studi Matematika dan Astronomi. Kedua prodi ini dipilih karena sebelumnya kedua prodi tersebut menempati gedung lama di kampus (Labtek III) dan dipindahkan ke gedung Centre of Advanced Science (CAS). Civitas akademika kedua program studi yang dipilih merupakan kalangan dosen karena mereka memiliki masa pergantian yang lebih lama dan menggunakan fasilitas program studi lebih sering dibandingkan dengan civitas akademika lainnya. 3.1.1.

Kasus 1: Program Studi Matematika

Program studi Matematika berada di lantai empat dan lima gedung Centre of Advanced Science (CAS). Lantai empat digunakan untuk fasilitas-fasilitas dosen seperti ruang kantor, ruang rapat dan pantry. Sedangkan lantai lima dugunakan untuk fasilitas-fasilitas belajar mengajar mahasiswa seperti ruang kelas, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang S2 dan ruang S3.

Gambar 2. Denah Lt. 4 Gedung CAS

Gambar 3. Denah Lt. 5 Gedung CAS

(Sumber: PIU ITB)

(Sumber: PIU ITB)

64


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 4. Ruang Kerja Dosen

Gambar 5. Ruang Rapat Dosen

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

Gambar 6. Pantry

Gambar 7. Ruang Kelas

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

3.1.2.

Kasus 2: Program Studi Astronomi

Program studi Astronomi berada di lantai enam gedung Centre of Advanced Science (CAS). Fasilitas-fasilitas yang ada di program studi antara lain ruang dosen, ruang rapat, dapur dan ruang makan dosen, ruang kelas besar dan kecil, perpustakaan, laboratorium komputer, dan mushola.

Gambar 8. Denah Lt. 6 Gedung CAS

Gambar 9. Ruang Kerja Dosen

(Sumber: PIU ITB)

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

65


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

66


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 10. Ruang Kelas

Gambar 11. Ruang Makan Dosen

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

(Sumber: Dokumentasi Penulis)

3.2. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode kualitatif yaitu melalui observasi dan wawancara. Tabel 1 menunjukkan data persebaran narasumber yang diwawancarai untuk memperoleh data penelitian. Tabel 6. Data Narasumber Prodi

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun) 25

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

Matematika

Astronomi

Nama

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

(Sumber: Data Penulis)

Melalui wawancara dengan dosen-dosen dari program studi matematika dan astronomi, didapatkan data-data mengenai kondisi sekitar gedung CAS, kondisi parkir gedung CAS, fasilitas gedung dan kedua program studi, dimensi, kenyamanan fisik, kenyamanan psikologis dan konfirgurasi ruang kerja dosen, kesiapan gedung untuk digunakan, dan konfigurasi ruang. Hasil penilaian dan wawancara ditunjukkan pada tabel dua sampai sepuluh. Tabel 2. Indikator Lokasi Gedung Prodi

Matematika

Lokasi Gedung

Nama

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun)

Kondisi Sekitar Gedung

Kebutuhan Parkir

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

25

2

2

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

3

3

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

2

2

67


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Astronomi

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

3

3

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

2

2

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

3

3

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

2

2

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

2

2

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

3

3

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

2

2

Nilai rata-rata

2.4

Rata-rata akhir

2.4 2.4

(Sumber: Data Penulis)

Tabel 3. Indikator Fasilitas Gedung dan Program Studi Prodi

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun)

Fasilitas Gedung dan Program Studi

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

25

3

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

3

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

3

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

4

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

4

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

4

Matematika

Astronomi

Nama

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

3

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

3

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

3

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

2

Nilai rata-rata

3.2

Rata-rata akhir

3.2

(Sumber: Data Penulis)

Tabel 4. Indikator Ruang Kerja Dosen Prodi

Matematika

Astronomi

Ruang Kerja Dosen

Nama

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun)

Dimensi

Kenyamanan Psikologis

Kenyamanan Fisik

Perabot

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

25

3

4

4

3

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

5

4

5

3

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

2

4

2

3

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

4

4

4

4

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

5

4

2

4

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

3

4

4

4

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

4

2

3

3

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

2

4

5

4

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

4

3

4

3

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

3

4

4

3

3.5

3.7

3.7

3.4

Nilai rata-rata Rata-rata akhir

3.6

68


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 (Sumber: Data Penulis)

Tabel 5. Indikator Kesiapan Gedung untuk Digunakan Prodi

Matematika

Astronomi

Nama

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun)

Kesiapan Gedung untuk Digunakan

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

25

2

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

2

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

1

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

2

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

2

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

2

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

1

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

2

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

2

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

1

Nilai rata-rata

1.7

Rata-rata akhir

1.7

(Sumber: Data Penulis)

Tabel 6. Indikator Konfigurasi Ruang Prodi

Matematika

Astronomi

Nama

Jenis Kelamin

Lama Mengajar (tahun)

Konfigurasi Ruang

Drs. Warsoma Djohan, M.Si.

laki-laki

25

4

Dr. Suhadi Wido Saputro, M.Si.

laki-laki

7

3

Yudi Soeharyadi, Ph.D.

laki-laki

25

2

Finny Oktariani, M.Si.

perempuan

3

2

Novriana Sumarti, S.Si., M.Si., PhD.

perempuan

2

3

Dr. Mahasena Putra, M.Sc.

laki-laki

23

3

Evan I Akbar, M.Si.

laki-laki

2

3

Dr.rer.nat. Hesti Retno Tri Wulandari, M.Sc.

perempuan

20

2

Dr. Aprilia, M.Si.

perempuan

17

3

Dr. Endang Soegiartini, M.Si.

perempuan

23

2

Nilai rata-rata

2.7

Rata-rata akhir

2.7

(Sumber: Data Penulis)

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Tabel 7. Hasil Penilaian Indikator Kepuasan Indikator Lokasi Gedung

Nilai 2.4/5.0

Keterangan Tidak Puas

69


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Fasilitas Gedung dan Program Studi Ruang Kerja Dosen Kesiapan Gedung untuk Digunakan Konfigurasi Ruang Rata-rata

3.2/5.0 3.6/5.0 1.7/5.0 2.7/5.0 3.0/5.0

Cukup Puas Puas Tidak Puas Cukup Puas Cukup Puas

(Sumber: Data Penulis)

Hasil akhir pengolahan data menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dosen program studi Matematika dan Astronomi memiliki nilai 3 dari 5, atau cukup puas. Berdasarkan lokasi gedung Center of Advance Science (CAS), yang ditinjau dari kondisi sekitar gedung dan ketersediaan lahan parkir, nilai tingkat kepuasan dosen sebesar 2,4 dari 5, yang berarti tidak puas. Jika ditinjau dari fasilitas program studi yang tersedia di gedung Center of Advance Science (CAS), dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan para dosen terhadap fasilitas program studi bernilai 3,2 dari 5 yang berarti cukup puas. Tingkat kepuasan dosen program studi Matematika dan Astronomi terhadap ruang kerja mereka adalah 3,6 dari 5 yang berarti cenderung puas. Tingkat kepuasan ruang kerja dosen ditinjau dari dimensi ruang, kenyamanan psikologis, kenyamanan fisik, dan kelengkapan perabot dalam ruang kerja. Tingkat kepuasan dosen program studi Matematika dan Astronomi terhadap kesiapan gedung untuk digunakan bernilai 1,7 dari 5 yang berarti tidak puas. Konfigurasi ruang pada masing-masing program studi memiliki nilai 2,7 dari 5 yang berarti cenderung cukup puas.

4.2. Interpretasi Data 4.2.1.

Lokasi Gedung

Dosen program studi Matematika dan Astronomi merasa tidak puas terhadap lokasi gedung Center of Advance Science (CAS) terkait kondisi sekitar gedung dan ketersediaan lahan parkir yang ada. Ketidakpuasan ini dapat disebabkan oleh tidak berimbangnya ketersediaan lahan parkir dengan jumlah pengguna gedung yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan pengguna gedung harus memakirkan kendaraannya di pinggir jalan atau mencari tempat parkir lain di sekitar gedung.

Kondisi Sekitar Gedung 40%

Kebutuhan Parkir 40%

60%

60%

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Cukup Puas

Puas

Sangat Puas

Sangat Puas

Diagram 1. Kondisi Sekitar Gedung

Diagram 2. Kebutuhan Parkir

(Sumber: Dokumentasi penulis)

(Sumber: Dokumentasi penulis)

4.2.2.

Fasilitas Gedung dan Program Studi

Para dosen program studi Matematika dan Astronomi merasa fasilitas program studi pada gedung Center of Advance Science (CAS) sudah cukup. Tetapi, terdapat perbedaan tingkat kepuasan jika kita meninjau masing-masing program 70


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

studi. Dosen program studi Matematika cenderung lebih puas akan fasilitas program studinya dibandingkan dengan dosen program studi Astronomi. Menurut para dosen program studi Astronomi, masih ada alat bantu penelitian yang belum tersedia di gedung Center of Advance Science (CAS). Selain itu, ada beberapa peralatan gedung Center of Advance Science (CAS) yang tidak mencerminkan nilai-nilai astronomi, misalnya lampu yang menyorot ke arah langit. Ada beberapa ruang yang tidak disediakan di gedung ini sehingga harus mengonversi ruang yang ada untuk menyesuaikan kebutuhan ruang yang diperlukan. Contoh ruang yang tidak terfasilitasi adalah gudang, ruang tamu, ruang makan, dan pantry.

Fasilitas Gedung dan Program Studi 30% Sangat Tidak Puas Cukup Puas

10% 60% Tidak Puas Puas

Sangat Puas

Diagram 3. Fasilitas Gedung dan Program Studi (Sumber: Dokumentasi penulis)

Tingkat Kepuasan Dosen Matematika 40%

Tingkat Kepuasan Dosen Astronomi 20% 20%

60%

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

60% Sangat Tidak Puas Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Cukup Puas

Sangat Puas

Puas

Sangat Puas

Diagram 4. Tingkat Kepuasan Dosen Matematika Terhadap Fasilitas

Diagram 5. Tingkat Kepuasan Dosen Astronomi Terhadap Fasilitas

(Sumber: Dokumentasi penulis)

(Sumber: Dokumentasi penulis)

4.2.3.

Ruang Kerja Dosen

Tingkat kepuasan dosen program studi Matematika dan Astronomi terhadap ruang kerja dosen cenderung puas. Berdasarkan data yang telah diperoleh, terdapat perbedaan antara dosen yang telah lama mengajar dengan dosen yang baru mengajar pada masing-masing program studi. Dosen-dosen yang sudah lama mengajar cenderung tidak puas terhadap dimensi ruang kerja mereka, karena di gedung lama dimensi ruang kerja mereka lebih besar, sedangkan dosen-dosen muda cenderung puas dengan dimensi ruang kerja yang baru karena ruang kerja mereka di gedung lama lebih kecil dan berbagi dengan dosen lain. Para dosen merasa puas dengan kondisi ruang secara psikologis karena privasi yang tinggi dan suasana ruang yang lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan gedung lama. Mereka juga puas dengan kondisi fisik ruang kerja mereka karena tingkat pencahayaan dan penghawaan yang baik pada gedung Center of Advance Science (CAS). 71


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

72


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dimensi Ruang Kerja 20%

20%

30%

30%

Kenyamanan Psikologis 10% 10% 80%

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Cukup Puas

Puas

Sangat Puas

Sangat Puas

Diagram 6. Dimensi Ruang Kerja

Diagram 7. Kenyamanan Psikologis

(Sumber: Dokumentasi penulis)

(Sumber: Dokumentasi penulis)

Kenyamanan Fisik

Konfigurasi Perabot

20%

20% 10%

40%

60%

50% Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Cukup Puas

Puas

Sangat Puas

Sangat Puas

Diagram 8. Kenyamanan Fisik

Diagram 9. Konfigurasi Perabot

(Sumber: Dokumentasi penulis)

(Sumber: Dokumentasi penulis)

4.2.4.

Kesiapan Gedung untuk Digunakan

Para dosen program studi Matematika dan Astronomi merasa tidak puas dengan kesiapan gedung Center of Advance Science (CAS). Mereka merasa gedung belum siap ketika mereka menempati gedung tersebut. Banyak finishing yang belum selesai sehingga proses pengerjaan gedung masih berlangsung bahkan ketika mereka sudah menempati gedung tersebut. Finishing yang belum selesai ini mengakibatkan kebocoran air maupun dinding yang retak sehingga mengganggu kenyamanan dosen ketika menggunakan gedung ini. Selain itu, masih ada elemen-elemen gedung yang ditambahkan ketika gedung ini telah ditempati. Masih ada kelengkapan gedung yang belum berfungsi dengan baik, misalnya genset dan alarm kebakaran. Dari segi keamanan, ada penambahan gerbang yang terkesan dipaksakan karena pada awalnya tidak ada, namun ditambahkan setelah gedung digunakan. Penggunaan tangga kebakaran juga belum difungsikan sebagaimana harusnya. Hal ini menunjukan bahwa ada elemen desain yang kurang dipertimbangkan ketika gedung ini dirancang.

73


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Kesiapan Gedung untuk Digunakan 70%

30%

Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Sangat Puas

Diagram 10. Kesiapan Gedung untuk Digunakan (Sumber: Dokumentasi penulis)

4.2.5.

Konfigurasi Ruang

Konfigurasi ruang pada program studi Matematika dan Astronomi dirasa cukup puas oleh para dosen program studi Matematika dan Astronomi. Pada program studi Matematika, ruang dosen dan administrasi program studi berada di lantai empat sedangkan ruang belajar dan kelengkapan mahasiswa berada di lantai lima. Konfigurasi ruang pada gedung baru sangat berbeda jika dibandingkan dengan konfigurasi ruang di gedung lama. Di gedung lama, ruang kerja dosen berada dan ruang tempat mahasiswa berkegiatan berada pada satu lantai yang sama. Hal ini menyebabkan interaksi mahasiswa dengan dosen di gedung baru menjadi berkurang, tetapi interaksi dosen dengan dosen menjadi bertambah karena ruang kerja semua dosen berada pada satu lantai yang sama. Pada program studi astronomi, interaksi dosen dengan dosen lainnya menjadi berkurang karena ruang dosen terbagi menjadi dua sisi yang bersebrangan. Pada gedung lama, konfigurasi ruang dosen berada pada satu sisi yang sama sehingga intensitas interaksi para dosen lebih tinggi jika dibandingkan dengan gedung baru.

Konfigurasi Ruang 10% 40%

50% Sangat Tidak Puas

Tidak Puas

Cukup Puas

Puas

Sangat Puas

Diagram 10. Konfigurasi Ruang (Sumber: Dokumentasi penulis)

5.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian. dosen matematika dan astronomi memiliki tingkat kepuasan tertinggi terhadap ruang kerjanya masing-masing di gedung Center of Advance Science (CAS). Sedangkan, dosen matematika dan astronomi memliki tingkat kepuasan terendah terhadap kesiapan gedung Center of Advance Science (CAS) untuk digunakan. Secara keseluruhan, gedung Center of Advance Science (CAS) mampu memberikan kepuasan kepada dosen melalui 74


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ruang dan fasilitas yang tersedia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang suatu bangunan baru untuk sebuah komunitas yang sudah terbentuk dan menempati bangunan tertentu. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah mencari tahu dan mengikutsertakan kebutuhan-kebutuhan calon pengguna dalam desain perancangan, sehingga ruang-ruang yang tersedia sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Kemudian, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah menyediakan ruang-ruang fleksibel yang multifungsi untuk mewadahi kegiatankegiatan yang tidak terencana. Dan terakhir, memastikan kesiapan gedung sebelum digunakan agar pengguna dapat menggunakan gedung dengan aman dan nyaman.

6.

DAFTAR PUSTAKA

C.M. Deasy, Thomas E. Laswell (1985). Designing Places for People, New York. Paul A. Bell, Thomas C. Greene, Jeffrey D. Fisher, and Andrew Baum. Environmental Psychology Fourth Edition. https://www.itb.ac.id/news/3610.xhtml (diakses pada 28 November 2016, pukul 12.40)

75


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

TINGKAT KEPUASAN MAHASISWA TERHADAP KONDISI FISIK SEKRETARIAT HIMPUNAN PROGRAM STUDI SARJANA DI ITB GANESHA SAFIRA(1), Dini Aghnia LUKMAN(2), dan Alya NADYA(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)safiraulangi@gmail.com; (2)dnaghnia.da@gmail,com; (3)alya.nadya@gmail.com

ABSTRAK Kebutuhan akan organisasi sebagai sarana pengembangan diri ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi menjadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa berkegiatan dalam himpunan mahasiswa program studi. Sebagai anggota himpunan program studi, mahasiswa memiliki keinginan dan kebutuhan akan ruang sekretariat himpunannya. Kondisi sekretariat yang baik menjadi penting karena hal tersebut akan turut mendukung kegiatan himpunan yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan masing-masing responden yang merupakan anggota himpunan mahasiswa program studi sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) Ganesha terhadap kondisi fisik sekretariat himpunannya berdasarkan faktor-faktor pembanding antara karakteristik himpunan dengan aspek fisik dan nonfisik dari ruang sekretariat himpunannya. Penelitian dilakukan dengan mewawancarai responden dari 10 himpunan berbeda di ITB Ganesha. Himpunan yang menjadi sample ditentukan berdasarkan perbedaan zona, aksesibilitas ruang himpunan, serta hubungan lokasi dengan program studi maupun ruang himpunan lain. Selain wawancara, dilakukan observasi langsung untuk merasakan kondisi fisik ruang sekretariat yang digunakan dalam proses analisis. Kata Kunci: sekretariat, himpunan, kepuasan, karakteristik himpunan

1.

PENDAHULUAN

Himpunan mahasiswa program studi merupakan salah satu elemen di Keluarga Mahasiswa ITB yang berfungsi sebagai wadah kemahasiswaan berbasis program studi. Saat ini, terdapat sebanyak 33 himpunan mahasiswa program studi sarjana di ITB Ganesha dan ada kemungkinan untuk bertambah atau berkurang jumlahnya di kemudian hari. Masingmasing himpunan mahasiswa memiliki karakteristik yang berbeda misalnya jumlah anggota, budaya dan jenis kegiatan, jumlah kuorum, dll. Dalam hal ini, ruang sekretariat himpunan idealnya harus dapat mengakomodasi kebutuhan himpunan sesuai dengan karakteristik masingTidakmasing. Himpunan mahasiswa di Kampus ITB Ganesha memiliki pola kegiatan perhimpunan yang cenderung serupa, namun terdapat perbedaan pada ukuran dan kelengkapan fasilitas dari masingTidakmasing ruang sekretariatnya. Selain itu, kegiatan himpunan mahasiswa yang tidak terwadahi oleh ruang sekretariatnya juga menimbulkan dampak pada ruang– ruang di sekitarnya. Oleh karena itu perbandingan antara kebutuhan fasilitas fisik dengan ketersediaannya menjadi faktor penentu tingkat kepuasan anggota terhadap ruang sekretariat himpunannya.

76


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2. 2.1.

KAJIAN TEORI Ruang Sekretariat

Menurut D.A. Tisnaadmidjaja, yang dimaksud dengan ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan yang layak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi ruang adalah sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di bawah kolong rumah). Selain itu memiliki arti, rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang, atau rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Sementara itu, definisi sekretariat menurut KBBI adalah bagian organisasi yang menangani pekerjaan dan urusan yg menjadi tugas sekretaris; kepaniteraan. Ruang sekretariat dapat diartikan sebagai wujud fisik dalam batas dimensi geografis dan geometris sebagai wadah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatannya. 2.2.

Himpunan Mahasiswa Jurusan di Institut Teknologi Bandung

Setiap jurusan di Institut Teknologi Bandung memiliki organisasi mahasiswa atau yang biasa disebut himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 mengenai pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi, organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Selain itu, Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa. Berdasarkan Konsepsi Keluarga Mahasiswa (KM) ITB 2010: 1. Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) merupakan badan kelengkapan KM ITB di tingkat jurusan, 2. HMJ bersifat otonom di dalam struktur KM ITB, akan tetapi tetap memiliki hubungan koordinatif dengan kabinet KM ITB, 3. HMJ memiliki wewenang penuh atas program dan aktivitasnya di tingkat jurusan, 4. HMJ berkewajiban memberikan sumberdaya kepada kabinet dan MWA wakil mahasiswa untuk program kebutuhan seluruh mahasiswa dan program agenda terpusat yang telah disetujui kongres 2.3. Konsep Kepuasan Mahasiswa Mahasiswa sebagai konsumen dari ruang sekretariat memiliki tingkat kepuasan terhadap ruang sekretariat itu sendiri. Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan kerja merupakan fungsi dari persepsi/kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada dibawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas. (Kotler, 2002:42) Mahasiswa berperan sebagai konsumen, ruang sekretariat sebagai produk, dan kondisi fisik ruang sekretariat sebagai kinerja. Mahasiswa dapat mengalami salah satu dari tingkat kepuasan yang umum yaitu: 1. Jika kinerja di bawah harapan, mahasiswa akan tidak puas, 2. Jika kinerja sesuai dengan harapan mahasiswa akan puas, 77


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3. Jika kinerja melampaui harapan, mahasiswa akan sangat puas. Sebagai anggota himpunan program studi, harapan disini dapat diartikan sebagai kebutuhan anggota himpunan program studi terhadap ruang sekretariat himpunan program studi. Kebutuhan tersebut terdiri dari: 1. Ruang yang nyaman bagi pengguna untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan himpunan program studi, 2. Fasilitas ruang yang lengkap untuk menunjang anggota dan kegiatan-kegiatan himpunan program studi, 3. Aksesibilitas sepenuhnya terhadap ruang sekretariat 2.4. Konsep Kenyamanan Dalam mata kuliah fisika bangunan, kenyamanan dalam Arsitektur terbagi menjadi empat yaitu kenyamanan spasial, kenyamanan termal, kenyamanan visual, dan kenyamanan audial. 2.4.1. Kenyamanan Spasial Kenyamanan spasial atau yang biasa disebut kenyaman ruang berhubungan dengan dimensi ruangan terkait aktivitas pengguna dalam ruangan dan dimensi fasilitas-fasilitas yang mendukung aktivitasnya. Aktivitas atau kegiatan dari himpunan program studi di ITB satu dan lainnya memiliki perbedaan. Untuk memudahkan perhitungan dalam kenyamanan spasial menggunakan standar ruang gerak manusia. Radius yang masih nyaman untuk memberikan personal space yaitu 0.45 m/orang (Edward Hall, 1996). Pengguna dari ruang sekretariat himpunan program studi sehari-hari merupakan anggota aktif dari himpunan tersebut. Sehingga dalam menentukan dimensi ruangan sekretariat yang dapat memberikan kenyamanan secara spasial, standar ruang gerak manusia dikalikan dengan jumlah anggota aktif himpunan program studi tersebut. 2.4.2. Kenyamanan Termal Kenyamanan termal merupakan kondisi pikiran yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal (British Standar BS EN ISO 7730). Menurut Kenyamanan termal dipengaruhi oleh: 1. Faktor Termis: •

Temperatur Udara

Temperatur Radian

Kecepatan Angin

Kelembaban Udara

2. Faktor Subjektif (terkait manusia): •

Insulasi Pakaian

Panas metabolis tubuh, yang dipengaruhi oleh aktivitas, umur, jenis kelamin, ukuran dan berat badan, makanan dan minuman yang dikonsumsi, tempat tinggal, dan warna kulit.

Standar kenyamanan termal dapat ditentukan dari temperatur efektif, kelembaban udara relatif, dan kecepatan udara. Berikut uraiannya: 1. Standar kenyamanan termal untuk daerah tropis seperti Indonesia dapat dibagi menjadi: (SNI T 03-6572-2001, Mom & Wiesebron) •

Sejuk – Nyaman, antara temperatur efektif 20,5 °C – 22,8 °C

Nyaman (optimal), antara temperatur efektif 22,8 °C – 25,8 °C 78


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Hangat – Nyaman, antara temperatur efektif 25,8 °C – 27,1 °C

2. Kelembaban udara relatif yang dianjurkan 40% - 50%. Untuk ruangan yang digunakan banyak orang, kelembaban udara relatif diperbolehkan berikisar 55% - 60% 3. Kecepatan udara yang jatuh di atas kepala tidak boleh lebih besar dari 0,25 m/detik dan sebaiknya lebih kecil dari 0,15 m/detik. 2.4.3. Kenyamanan Visual Kenyamanan visual merupakan kondisi dimana seseorang merasa nyaman dengan lingkungan visualnya. Kenyamanan ini bersifat subjektif dan berhubungan dengan kinerja visual seseorang. Kenyamanan visual dalam suatu ruangan berhubungan erat dengan tingkat pencahayaan. Pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan baik apabila: (SNI 03-2396-2001) 1. Pada siang hari antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 waktu seternpat terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. 2. Distribusi cahaya di dalam ruangan cukup merata dan atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu Perhitungan penerangan merata dalam ruangan menurut SNI 03-6196-2000:

Gambar 1 : Perhitungan penerangan merata dalam ruangan (Sumber: SNI 03-6196-2000)

Ketidaknyamanan visual terjadi ketika terdapat silau. Silau terbagi menjadi dua macam yaitu Disability Glare dan Discomfort Glare. Disability Glare merupakan keadaan dimana silau menyebabkan ketidakmampuan melihat. Terjadi jika terdapat daerah yang dekat dengan medan penglihatan yang mempunyai luminansi jauh di atas luminansi obyek yang dilihat. Silau ini juga terjadi akibat pantulan sinar matahari langsung. Dalam keadaan silau ini, hal-hal detail menjadi tidak terlihat. Disability Glare dapat dihindari dengan menggunakan tirai atau screening device lainnya. Sedangkan Discomfort Glare merupakan silau yang menyebabkan ketidaknyamanan melihat. Tidak mempengaruhi kinerja visual, tapi mempengaruhi kenyamanan visual. Dapat diatasi dengan sistem pemilihan armatur dan sistem evaluasi silau. 2.4.4. Kenyamanan Audial Kenyamanan audial berhubungan dengan akustik lingkungan yaitu menciptakan lingkungan dengan kondisi pendengaran ideal, baik di dalam ruangan, maupun di alam terbuka, dan terhindar dari bising dan getaran. Tujuan dari akustik lingkungan yaitu: (1) Menyediakan kondisi yang menguntungkan bagi produksi, transmisi, dan persepsi bunyi yang diinginkan di dalam ruangan dan ruang terbuka. (room acoustic/space acoustic), (2) Mengurangi bising dan getaran (noise control). 79


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Faktor utama permasalahan akustik: 1. Fleksibilitas dan adaptabilitas ruang untuk mewadahi berbagai macam fungsi 2. Kebutuhan privasi akustik pada desain menggunakan konsep open-plan 3. Semakin banyak pembangunan menggunakan material ringan dan tipis 4. Penggunaan alat-alat mekanis pada penghawaan maupun sumber energi pada bangunan yang dapat menciptakan bising dan getaran 5. Polusi bunyi dari lingkungan sekitar bangunan 3.

DESKRIPSI KASUS

Penelitian tentang kepuasan mahasiswa terhadap fasilitas fisik ruang sekretariat himpunan program studi dilakukan pada 10 himpunan berbeda dari jumlah total 33 himpunan di ITB Ganesha. Himpunan yang menjadi sample ditentukan karena perbedaan zona, aksesibilitas ruang himpunan, serta hubungan lokasi dengan program studi maupun ruang himpunan lain. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih beragam sehingga memberikan hasil penelitian yang lebih akurat. Tabel 7. Penentuan Sampel Himpunan Akses Nama Himpunan

Bebas Terbatas

Lokasi Bebas24 Jam

Satu gedung dengan program studi

Terpisah

Kluster

Zona

HMTL

Tenggara

HMS

Barat

IMG

Tenggara

Himabio Nymphaea

HMTM Patra

Himamikro Archaea

KMPN

HME

Tengah

Timur

Tengah

Barat Tengah

IMA-G

Tenggara

HMP

Tenggara

80


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 (Sumber: Data Pribadi)

Gambar 2. Lokasi Sampel Himpunan (Sumber: Data Pribadi)

3.1. Tinjauan Kasus Kepuasan mahasiswa terhadap fasilitas fisik sekretariat himpunan program studi dapat dinilai dengan membandingkan antara kebutuhan akan fasilitas fisik tersebut dengan ketersediaan fasilitasnya. Kebutuhan ini dipengaruhi oleh karakteristik himpunan itu sendiri. Populasi anggota dan program kerja menjadi faktor yang membentuk karakteristik himpunan program studi. Hal ini dikarenakan populasi anggota dan program kerja mempengaruhi kegiatan yang membutuhkan ruang sekretariat baik dalam proses perencanaan atau eksekusi.

Karakteristik Himpunan

Populasi Anggota

Kegiatan Himpunan

Kebutuhan Ruang

Program Kerja

Gambar 3. Karakteristik Himpunan (Sumber: Data Pribadi)

Dalam penelitian ini, ketersediaan fasilitas fisik yang akan mempengaruhi kepuasan mahasiswa dapat dilihat dari kondisi fisik dan non-fisiknya. Kondisi fisik tersebut yaitu kelengkapan ruang dan dimensi ruang. Sedangkan kondisi non-fisik yang mempengaruhi yaitu lokasi ruang, akses menuju ruang, serta ketersediaan alternatif ruang. Kondisi nonfisik tersebut dinilai mempengaruhi kepuasan anggota akan fasilitas fisik ruang sekretariat himpunan karena berkaitan dengan keterikatan anggota terhadap ruang sekretariat himpunannya.

81


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Dimensi

FISIK

Kelengkapan Ruang Fasilitas Fisik Ruang Himpunan

Aksesibilitas Lokasi

NON-FISIK

Alternatif Ruang

Gambar 4. Fasilitas Fisik Ruang Himpunan (Sumber: Data Pribadi)

3.2. Pengumpulan Data 3.2.1. Metode Pengambilan Data A. Wawancara Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara dengan tujuan untuk mendapatkan informasi. Pada penelitian ini narasumber merupakan perwakilan anggota dari himpunan terpilih yang menggunakan ruang sekretariat himpunan untuk berkegiatan. Narasumber berperan untuk memberikan penilaian atas nama himpunan, bukan atas nama pribadi. Isi wawancara terkait data yang dibutuhkan seperti fasilitas ruang sekretariat, fasilitas, altternatif ruang dan skala kepuasan menurut anggota himpunan. B. Observasi Observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap kegiatan yang terjadi. Metode ini dilakukan untuk merasakan kondisi fisik ruang sekretariat yang digunakan dalam proses analisis. Proses observasi juga terkait dengan pengukuran dimensi ruang, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan dalam ruang.

82


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

3.2.2. Hasil Data Data dibawah merupakan data yang didapatkan dari 10 himpunan berbeda terkait kondisi fisik dan fasilitas ruang sekretariat himpunan serta tingkat kepuasan secara subjektif terkait kondisi fisik ruang sekretariat himpunan.

Gambar 5. Kondisi di dalam ruang sekretariat himpunan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tabel 2. Hasil Pengukuran NAMA HIMPUNAN

UKURAN RUANG

SUHU

KELEMBABAN

CAHAYA

HMP

21 m2

25o C

80%

25 lux

HIMAMIKRO Archaea

14 m2

25o C

90%

160 Lux

IMG

72.69 m2

27o C

82%

125 Lux

HMS

74.85 m2

26.5o C

82%

100 Lux

KMPN

15.5 m2

28o C

82 %

80 lux

IMA-G

30 m2

25o C

90%

50 Lux

HMTM Patra

20.7 m2

26o C

82 %

110 Lux

HME

103.5 m2

27o C

82 %

110 Lux

HMTL

80.73 m2

26o C

82 %

60 Lux

HIMABIO Nymphaea

12.96 m2

25o C

90%

100 Lux

(Sumber: Pengukuran Langsung)

83


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Berikut merupakan contoh fasilitas yang terdapat didalam ruang sekretariat himpunan

Gambar 6. Fasilitas di dalam Ruang Himpunan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tabel 3. Fasilitas di Dalam Ruang Sekretariat NAMA HIMPUNAN

LEMARI/ RAK

KARPET

KOMPUTER

WIFI

MEJA

LISTRIK

TAMBAHAN

HMP

Ada

Ada

Tidak

Ada

Ada

Ada

Meja pingpong, Kulkas, Kursi

HIMAMIKRO Archaea

Ada

Ada

Ada

Ada

Tidak

Ada

Cajon, Gitar, Kipas Angin

IMG

Ada

Ada

Ada

Tidak

Ada

Ada

TV, Kulkas, Dapur, Kasur, Kipas Angin,

HMS

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

TV, Kulkas, Kasur

KMPN

Ada

Ada

Tidak

Ada

Ada

Ada

TV, DVD, Kipas Angin,

IMA-G

Ada

Ada

Ada

Tidak

Ada

Ada

Tidak Ada

HMTM Patra

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

TV, AC, Kulkas, Kasur

HME

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Dispenser, Kipas Angin, Sofa, TV , Kulkas

HMTL

Ada

Ada

Tidak

Ada

Ada

Ada

Kasur, Bantal, Dispenser, Kulkas

HIMABIO Nymphaea

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Kulkas, radio, dispenser, karpet

(Sumber: Wawancara dan Observasi)

84


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Berikut merupakan contoh selasar yang menjadi fasilitas pendukung ruang sekretariat himpunan,

Gambar 7. Kondisi Selasar Ruang Himpunan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tabel 4. Fasilitas di Luar Ruang Sekretariat SELASAR

KEAMANAN

NAMA HIMPUNAN

AKSES 24 JAM

ALTERNATIF RUANG

TEDUH

MEJA

KURSI

TERSEDIA

24 JAM

HMP

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Ya

HIMAMIKRO Archaea

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Ya

IMG

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

HMS

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

KMPN

Tempias

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

IMA-G

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Ya

HMTM Patra

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

HME

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

HMTL

Tempias

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

HIMABIO Nymphaea

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

(Sumber: Wawancara dan Observasi)

85


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Tabel 5. Fasilitas di Luar Ruang Sekretariat TOILET/MUSHOLA NAMA HIMPUNAN JARAK

SATU LANTAI

JALUR TEDUH

AKSES 24 JAM

HMP

10 m/ 10m

Ya/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

HIMAMIKRO Archaea

5 m / 40 m

Ya/Ya

Ya/Tidak

Ya/Ya

IMG

5 m / 40 m

Ya/Ya

Ya/Tidak

Ya/Ya

HMS

20m / 20m

Ya/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

KMPN

30m / 30m

Ya/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

IMA-G

20m / 20 m

Ya/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

HMTM Patra

40m / 40 m

Tidak

Tidak

Tidak

HME

20m / 0m

Ya/Ya

Ya/Ya

Tidak/Ya

HMTL

50m / 0m

Ya/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

50m / 0m

Tidak/Ya

Ya/Ya

Ya/Ya

HMTL HIMABIO Nymphaea HMTM Patra

Sangat Puas Puas

(Sumber: Wawancara dan Observasi)

KMPN

Cukup Puas Tidak Puas

IMG

Sangat Tidak Puas Berikut merupakan data kepuasan mahasiswa terhadap ruang sekretariat himpunannya berdasarkan preferensi pribadinya, HMP 0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Tingkat Kepuasan Mahasiswa terhadap Ruang Sekretarian Himpunan 5 4 3 2 1 0

Gambar 8. Tingkat Kepuasan Subjektif (Sumber: Wawancara )

86


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Tabel 6.Hasil Perhitungan Tingkat Kepuasan Mahasiswa terhadap Ruang Sekretariat Mahasiswa Fasilitas di Dalam Ruang

Fasilitas di Luar Ruang

Kenyamanan Ruang

Total

HMP

1.35

0.7

1.5

3.55

Himamikro Archaea

1.35

0.7

1.5

3.55

IMG

1.3

0.98

2

4.275

HMS

1.5

0.85

1

3.35

KMPN

1.35

0.97

0

2.32

IMA-G

0.8

0.7

0.5

2

HMTM ‘Patra’

1.5

0.9

0

2.4

HME

1.5

0.985

2

4.485

HMTL

1.35

0.85

1

3.2

Himabio ‘Nymphaea’

1.5

1

0.5

3

(Sumber: Data Pribadi)

Berdasarkan hasil perhitungan dalam menentukan tingkat kepuasan anggota, (1) anggota dinyatakan puas terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya ketika nilai total dari hasil perhitungan melebihi 4, (2) anggota dinyatakan cukup puas terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya ketika nilai total dari hasil perhitungan sama dengan 4, (3) anggota dinyatakan tidak puas terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya ketika nilai total dari hasil perhitungan kurang dari 4, sedangkan nilai untuk mencapai kondisi fisik sebuah ruang sekretariat himpunan yang ideal adalah 5.5. Hasil perhitungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya menyatakan bahwa dua dari sepuluh himpunan mencapai nilai diatas 4 dan dinyatakan sangat puas terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya. Himpunan tersebut adalah Ikatan Mahasiswa Geodesi (IMG) dengan tingkat kepuasan 4.275 dan Himpunan Mahasiswa Elektro dengan tingkat kepuasan 4.485. Nilai tersebut di peroleh karena kedua ruang sekretariat himpunan memenuhi standar kenyamanan spasial, kelengkapan fasilitas di luar ruang himpunan, serta fasilitas mushola yang memadai. Namun, kedua ruang sekretariat himpunan tidak mencapai nilai sempurna dikarenakan keduanya tidak memenuhi standar kenyamanan termal. Ruang sekretariat IMG tidak memenuhi fasilitas mushola yang ideal, sedangkan pada ruang sekretariat HME kenyamanan visual dan ketersediaan alternatif ruang tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunan, delapan dari sepuluh himpunan mencapai nilai dibawah 4 dan dinyatakan tidak puas terhadap kondisi fisik ruang himpunannya. Himpunan tersebut ialah Himpunan Mahasiswa Planologi (HMP) dengan nilai 3.55, Himpunan Mahasiswa Mikrobiologi (Himamikro) “Archaea” dengan nilai 3.55, Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) dengan nilai 3.35, Keluarga Mahasiswa Penerbangan (KMPN) dengan nilai 2.32, Ikatan Mahasiwa Arsitektur Gunadharma (IMA-G) dengan nilai 2, Himpunan Mahasiswa Teknik 87


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Perminyakan (HMTM) Patra dengan nilai 2.4, Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) dengan nilai 3.2, dan Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) ‘Nymphaea’ dengan nilai 3. Nilai tersebut dikarenakan himpunan-himpunan tersebut tidak memenuhi kondisi ideal sebuah ruang sekretariat himpunan dalam beberapa aspek yang berbeda. Fasilitas dalam ruang sekretariat untuk memenuhi kondisi ideal tidak terpenuhi pada beberapa himpunan, yaitu HMP, Himamikro Archaea, KMPN, dan HMTL. Fasilitas di luar himpunan termasuk toilet dan mushola yang mendukung sebuah ruang sekretariat himpunan yang ideal pun tidak dipenuhi pada beberapa ruang sekretariat himpunan yaitu HMP, Archaea, HMS, KMPN, HMTM Patra, dan HMTL. Kenyamanan termal tidak terpenuhi pada ruang sekretariat HMS, KMPN, HMTM Patra, dan HMT, kenyamanan spasial tidak terpenuhi pada ruang sekretariat Himamikro Archaea, KMPN, IMA-G, HMTM Patra, dan Himabio Nymphaea, serta kenyamanan visual pun tidak terpenuhi pada ruang sekretariat HMP, KMPN, IMA-G, Patra, HMTL, Himabio Nymphaea. Hasil perhitungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kondisi fisik ruang himpunan apabila dibandingkan dengan penilaian subjektif mahasiswa terkait kepuasannya akan kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya ternyata tidak berbanding lurus. Perbedaan yang paling signifikan terlihat pada IMA-G dan HMTL. Anggota IMA-G secara subjektif memberikan angka tiga yang menyatakan cukup puas dengan kondisi fisik sekretariat himpunannya. Namun, hal ini bertolak belakang dengan hasil perhitungan yang menyatakan bahwa ruang sekretariat IMA-G hanya mendapat nilai 2 yang berarti tidak puas terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya. Hal berbeda terlihat pada HMTL yang secara subjektif memberikan angka 4 yang menyatakan puas terhadap kondisi fisik sekretariat himpunannya. Namun berdasarkan hasil perhitungan hanya mendapat angka 3,2 yang berarti tidak puas. Berdasarkan hasil perhitungan dan penilaian subjektif oleh anggota himpunan menunjukkan bahwa tingkat kepuasan tidak hanya dipengaruhi oleh fasilitas dan kondisi ruang, namun terdapat faktor lain yang ikut menentukan. 4.2. Interpretasi Data Tingkat kepuasan anggota terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya merupakan hal yang subjektif. Namun, dengan menggunakan perhitungan pada pendekatan standar konsep kenyamanan ruang, ketersediaan fasilitas baik di dalam maupun di luar ruang, dan aksesibilitas ruang, tingkat kepuasan anggota terhadap kondisi fisik ruang sekretariat himpunan dapat ditentukan. Himpunan yang memiliki nilai diatas empat dan dinyatakan sangat puas, memiliki keunggulan dalam kenyamanan spasial (ruang), ukuran ruang sekretariatnya cukup luas melebihi standar kenyamanan ruang. Standar kenyamanan ruang didapat dari perhitungan radius personal space menurut Edward Hall (0.45/individu) dikalikan dengan kebutuhan jumlah anggota aktif yang ditampung, misal untuk memenuhi kuota forum. Kenyamanan visual pada himpunan tersebut juga cukup tinggi. Selain itu ,adanya fasilitas pendukung seperti mushola, toilet, dan selasar yang ideal juga mendukung tingkat kepuasan. Dalam beberapa ruang sekretariat juga terdapat area untuk ibadah sehingga ruang sekretariat dapat secara bersamaan dijadikan sebagai tempat sholat. Himpunan yang memperoleh nilai dibawah empat dan dinyatakan tidak puas terhadap ruang sekretariat himpunannya, umumnya dikarenakan keterbatasan ukuran ruang sehingga tidak mampu mengakomodasi kegiatan himpunan. Selain itu juga, kenyamanan ruang dari aspek visual dan termalnya juga tidak memenuhi standar sehingga memengaruhi hasil perhitungan tingkat kepuasan anggota terhadap ruang sekretariatnya menjadi dibawah standar kepuasan. Perbedaan terlihat pada tingkat kepuasan dari ruang sekretariat HME dan IMA-G. HME mendapat nilai 4.485 dan dinyatakan sangat puas, sedangkan IMA-G hanya mendapatkan nilai 2 dan dinyatakan tidak puas. Faktor utama yang membedakan adalah kemampuan ruang untuk mengakomodasi anggota himpunan serta kelengkapan fasilitas didalam ruangnya.

88


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 9. Denah Ruang Sekretariat HME (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 10. Denah Ruang Sekretariat IMA-G (Sumber: Doumentasi Pribadi )

5.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, dua dari sepuluh himpunan mahasiswa menyatakan sangat puas terhadap sekretariat himpunannya, dan delapan himpunan lainnya menyatakan tidak puas. Hasil perhitungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kondisi fisik ruang himpunan dibandingkan dengan penilaian subjektif mahasiswa terkait kepuasannya akan kondisi fisik ruang sekretariat himpunannya juga tidak selalu berbanding lurus karena ada faktor perbedaan preferensi antara satu individu dengan individu lainnya sehingga hasilnya bisa berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, sebagian besar anggota menyarankan perlunya perbaikan fasilitas sekretariat himpunan guna meningkatkan kenyamanan anggotanya terutama dari aspek luas sekretariat yang dapat menampung kegiatan banyak anggota dan kenyamanan termal yang 89


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

memadai. Kebutuhan akan selasar sebagai ruang peralihan yang dapat menampung kegiatan anggota dan fasilitas penunjang seperti toilet/mushola yang berjarak dekat dan dapat diakses 24 jam juga menjadi faktor yang penting dalam menentukan skala kepuasan terhadap ruang sekretariatnya agar kegiatan mahasiswa dapat terwadahi dengan optimal. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran 1. Edisi milenium. Jakarta: PT. Prenhalindo. Konsepsi KM ITB. 2010 Surjamanto, Bahan Ajar Fisika Bangunan D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. Pranata Pembangunan. Bandung: Universitas

Parahiayang 1997. hlm. 6.

90


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

91


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

TINGKAT KESESUAIAN PEMANFAATAN LABORATORIUM UJI DOPING INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG UNTUK FUNGSI BARU Ruri NUR’AENI(1), Irene Debora Meilisa SITOMPUL(2), dan Augustine Nathania CHRISTANTI(3) Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Email: (1)rurinuraeni@students.ar.itb.ac.id; (2)iren.debora@students.ar.itb.ac.id; (3)nathaniach@students.ar.itb.ac.id

ABSTRAK Laboratorium Uji Doping Institut Teknologi Bandung (Lab Uji Doping ITB) dibangun untuk menjadi laboratorium uji doping pertama di Indonesia. Namun setelah selesai dibangun, ia tidak dapat memenuhi fungsi utama ia dibangun. Penyebab utamanya ialah terhambatnya pendanaan untuk peralatan laboratorium dari pihak Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI). Saat ini hampir delapan puluh persen ruangan – ruangan di bangunan Lab Uji Doping ITB tidak berfungsi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis penyebab Lab Uji Doping ITB tidak dapat berfungsi secara optimal dengan cara membandingkan desain pada tahap awal rancangan dengan keadaan sekarang. Selain itu juga dilakukan survei lapangan, studi literatur, dan wawancara pada pihak – pihak terkait. Kemudian dilakukan proses analisis dengan membandingkan peruntukan ruang – ruang dalam Lab Uji Doping ITB pada saat ini dengan tahap awal rancangan. Tahap selanjutnya adalah penafsiran analisis, dimana dijabarkan konsep fleksibilitas laboratorium, beberapa contoh kasus yang terkait dengan pengalihan fungsi laboratorium, kesesuaian aktivitas yang berjalan di Lab Uji Doping ITB dengan peruntukan ruangannya, dan diakhiri dengan penjabaran potensi sebuah laboratorium sehingga dapat dijadikan acuan untuk peralihan menjadi fungsi baru. Lab Uji Doping telah dibangun dengan fungsi khusus, yaitu laboratorium uji doping, dan memenuhi standar laboratorium uji internasional yang dikeluarkan World Anti Doping Agency (WADA). Oleh sebab itu diambil kesimpulan bahwa meskipun laboratorium uji doping dapat mendukung fungsi – fungsi yang tidak direncanakan sebelumnya dan tidak merugikan, namun penggunaan fungsi baru ini tidak dapat memaksimalkan potensi bangunan lab uji doping. Kata Kunci: tingkat kesesuaian, lab doping Institut Teknologi Bandung, fungsi baru

1.

PENDAHULUAN

Lab Uji Doping ITB dibangun berdasarkan arahan Kemenpora RI dan Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) untuk menjadi laboratorium uji doping pertama di Indonesia. Laboratorium uji doping terletak di dalam Kampus ITB, Jalan Ganeca No.10, Bandung (lihat gambar 1). Waktu pembangunan dimulai dari Agustus 2012 sampai dengan Februari 2013. Setelah bangunan Lab Uji Doping selesai dibangun, bangunan ini tidak dapat memenuhi fungsi utama ia dibangun, yaitu pengujian sampel cairan biologis terkait kegiatan olahraga. Salah satu penyebabnya adalah pemberhentian sumber dana bantuan dari Kemenpora RI.Oleh sebab itu, sekarang ruangan – ruangan pada lab uji doping yang digunakan hanya ruang administrasi seperti kantor dan ruang pelatihan (yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar). Studi ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesesuaian pemanfaatan Lab Uji Doping untuk fungsi baru tersebut.

92


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 1. Laboratorium Pengujian Doping ITB

2.

KAJIAN TEORI

Kajian teori yang dilakukan penulis berupa studi tentang tipologi laboratorium, kantor, dan kelas. 2.1. Tipologi Laboratorium Menurut Heinekamp (2015, 3), laboratorium adalah ruang – ruang kerja yang digunakan oleh spesialis atau kumpulan orang yang diinstruksikan untuk melaksanakan sebuah eksperimen untuk keperluan riset dan penggunaan proses ilmiah alami. Selanjutnya Heinekamp (2015, 3) menjelaskan bahwa laboratorium dibangun untuk pengguna publik (universitias, fasilitas riset, dll.) dan pengguna privat (perusahaan industri, pelayanan jasa, dll.). Klasifikasi laboratorium berdasarkan pemakaiannya dibagi menjadi: teaching (practical training, teaching labs), research (basic research, applied research), diagnostic/analytics: (contract laboratory, process analytics), and development (pharmaceutical, lacquer, and proves development). Sedangkan berdasarkan struktur fisik nya, laboratorium diklasifikasikan menjadi: single laboratory, double laboratory, open-plan laboratory, dan combination laboratory/laboratory landscape. Berdasarkan tujuan pemakaiannya, laboratorium doping termasuk laboratorium riset yang merupakan tempat atau kamar tertentu yang dilengkapi dengan peralatan uji doping untuk mengadakan percobaan / penyelidikan terkait senyawa doping. Doping adalah senyawa kimia yang digunakan untuk dapat meningkatkan artificial performance seorang atlet. Cara pemakaian doping ada berbagai macam mulai dari diminum seperti obat hingga blood doping, yaitu pengambilan darah atlet yang kemudian dibersihkan dengan teknik hemolisis dan setelah itu dimasukan kembali ke dalam tubuh. Waktu penggunaan doping pun terbagi dua, yaitu pada saat berlatih maupun pada saat bertanding. Untuk mengetahui apakah seorang atlet memakai doping atau tidak maka dapat diuji dengan pengujian doping, hal ini bisa dilakukan dengan pengambilan sampel darah maupun urin. Penggunaan doping selain melanggar prinsip kompetisi olah raga, yaitu prinsip kejujuran, juga berbahaya bagi pemakai doping sendiri. Contohnya obat steroid dapat membentuk otot dengan cepat, tetapi hal ini membuat otot menjadi rapuh dan dapat pecah sewaktu-waktu sehingga dapat menyebabkan kematian. Untuk mengurangi kecurangan dengan pemakaian doping, dibuat suatu aturan pelarangan pemakaian doping baik di luar maupun di dalam kompetesi. Hal tersebut diatur lebih lanjut oleh badan doping internasional yaitu World Anti Doping Association (WADA).

93


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

2.2. Tipologi Kantor Kantor adalah balai / gedung / rumah / ruang tempat mengurus suatu pekerjaan administrasi. Keberadaan kantor menjadi lambang kemajuan ekonomi, sosial dan teknologi bagi setiap kota. Kantor sering dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu kantor pusat dan kantor cabang. Sementara untuk mempermudah perancangan ruang kerja, kantor dibedakan menjadi 3 jenis ruang kantor: ruang kerja (workspace), ruang pertemuan (meeting space) dan ruang pendukung (support spaces). Terdapat beberapa faktor yang menjadi kriteria ruang kantor yang ergonomis, antara lain terdapat ventilasi yang baik, penerangan yang cukup, toilet yang higienis, ruang kantor yang berpanorama, terhindar dari kebisingan, memiliki temperatur ruangan 19-24oC, dan kelembapan 40-60% sepanjang tahun. 2.3. Tipologi Kelas Kelas adalah ruang tempat berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Seiring berjalannya waktu, definisi kelas tidak hanya berupa ruangan yang berbatas dinding ataupun berbentuk bangunan, namun secara lebih luas adalah tempat yang nyaman dan kondusif untuk menimba ilmu. Menurut Ahmad (1995:14), syarat – syarat kelas yang baik adalah (1) rapi, bersih, sehat, tidak lembab, (2) mendapat pencahayaan yang cukup, (3) sirkulasi udara yang baik, (4) perabotan seperti meja, kursi, papan tulis, lemari, dsb, dalam keadaan baik, mencukupi secara kuantitas dan terorganisir dengan rapi. 3.

DESKRIPSI KASUS

Bangunan Lab Uji Doping ITB dibangun karena adanya keinginan untuk meningkatkan status olahraga Indonesia di dunia internasional. Sejak diadakannya Sea Games di Indonesia pada tahun 1994, Indonesia tak lagi dapat menjadi tuan rumah untuk ajang kompetisi olahraga internasional. Hal ini disebakan Indonesia tidak memiliki fasilitas pengujian doping yang terakreditasi secara internasional oleh WADA. Pemberhentian pemberian dana peralatan dari pihak Kemenpora RI yang disebabkan oleh terlibatnya Menteri Kemenpora RI pada saat itu, Andi Mallarangeng, dalam kasus korupsi Hambalang mengakibatkan Lab Uji Doping ITB tidak dapat beroperasi sebagaimana seharusnya. Pada saat ini bagian bangunan yang terpakai terletak di lantai 1, 3 dan 4. Lantai 1 digunakan untuk Kantor Unit Pelaksana Teknis Keamanan, Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (UPT K3L ITB) sedangkan lantai 3 dan 4 untuk ruang kelas dan seminar (lihat gambar 2 dan gambar 3).

Gambar 2. Kantor UPT K3L ITB

94


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 3. Ruang Kelas dan Seminar

3.1. Tinjauan Kasus Hingga saat ini Indonesia masih menggunakan jasa laboratorium uji doping luar negeri (Malaysia dan Thailand) yang memakan biaya sekitar $300/atlet (__Rp4.000.000/atlet). Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia memiliki tenaga ahli yang kompeten untuk melakukan pengujian doping namun tidak memiliki fasilitas yang dibutuhkan. Tenaga ahli tersebut pada umumnya berasal dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF ITB). Oleh sebab itu pihak SF ITB berinisiatif mengajukan pengadaan lab uji doping kepada Kemenpora RI. Pada awalnya rencana lokasi pembangunan lab uji doping berada di daerah Laboratorium Kesehatan Jakarta saat itu, namun luas lahan yang tersedia tidak dapat mewadahi seluruh fasilitas yang ditetapkan oleh WADA. Alternatif lokasi selanjutnya berada di kampus ITB Bekasi, namun lokasi ini juga memiliki kendala lahan yaitu status kepemilikan yang belum diserahkan kepada pihak ITB. Kampus ITB Jatinangor menjadi pertimbangan selanjutnya dalam pemilihan lokasi, namun karena tidak ada tindak lanjut dari rektor ITB pada saat itu, Bapak Djoko Santoso, akhirnya lokasi diputuskan di Kampus ITB Ganeca. Penentuan letak bangunan lab uji doping dalam Kampus Ganeca ITB awalnya diajukan di kebun biologi, tetapi tidak memungkinkan karena sedang berlangsung proses pembibitan dan luas lahan yang terlalu kecil. Pada akhirnya lokasi yang dipilih adalah lahan parkir yang terletak di sebelah selatan Gedung Kuliah Umum (GKU) Timur dengan syarat tidak boleh mengurangi kapasitas parkir dalam kampus dan menyediakan fasilitas yang bermanfaat bagi civitas akademik Institut Teknologi Bandung. 3.2. Pengumpulan Data Pembangunan Lab Uji Doping ITB melibatkan beberapa pihak yaitu PT. Arkonin sebagai konsultan, PT. Indah Karya sebagai Construction Management, Sarana Prasarana Institut Teknologi Bandung dan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat sebagai pengawas lapangan, Pak Indra Budiman Syamwil sebagai perancang skematik dan preliminari desain serta Pak Rahmana Emran Kastasasmita dan Pak Slamet Ibrahim Surantaatmadja sebagai tim Persiapan dan Pengawas Lapangan. Untuk membangun lab uji doping yang dapat lolos akreditasi WADA, lab uji harus lolos standarisasi internasional mengenai kalibrasi dan laboratorium uji (ISO17025) yang dikeluarkan oleh International Standardization Organization (ISO) dan lulus uji profisiensi laboratorium yang diselenggarakan oleh WADA. Standar bangunan laboratorium doping yang dikeluarkan oleh WADA diantaranya adalah adanya penyediaan ruang penelitian doping untuk mendukung kegiatan riset dan penelitian, penyediaan ruang rapat dan seminar, bangunan tahan terhadap guncangan seperti gempa, dan sistem utilitas yang benar untuk mendukung peralatan doping. Lab Uji Doping ITB sudah dimiliki oleh Institut Teknologi Bandung. Kemudian pihak Institut Teknologi Bandung menyerahkan Lab Uji Doping ke Sekolah Farmasi ITB dengan status pihak SF ITB menunggu peralatan lab uji doping ada untuk dapat memakai bagian 95


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

ruangan lab uji. Sedangkan untuk ruangan - ruangan lain, SF ITB sudah diperbolehkan untuk memakainya. Tidak dapat digunakannya ruang – ruang lab uji doping dikarenakan fungsi awal pembangunan ruangan tersebut adalah untuk pengujian doping. Perubahan fungsi ruangan akan menyebabkan masalah yang lebih kompleks, yaitu pihak-pihak terkait berubahnya fungsi bangunan akan terkena sanksi berupa hukuman penjara. Denah Lab Uji Doping pada masa awal rancangan dan kondisi saat ini dapat dilihat di gambar 4 dan gambar 5:

(a)

(b)

(c)

(e)

(d)

(f)

Gambar 4. Denah Laboratorium Uji Doping pada Masa Awal Rancangan (Sumber: Laboratorium Pengujian Doping Kampus ITB Doping, Arkonin ) (a) Denah Basement (d) Denah Lantai 2 (b) Denah Lantai Dasar (e) Denah Lantai 3 (c) Denah Lantai 1 (f) Denah Lantai 4

96


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 5. Denah Laboratorium Uji Doping Saat Ini (Sumber: Laboratorium Pengujian Doping Kampus ITB Doping, Arkonin )

(a) Denah Lantai Dasar (b) Denah Basement (c) Denah Lantai 2

(d)Denah Lantai 3 (e) Denah Lantai 4

Kawasan Bandung yang berupa tanah lunak pada umumnya memiliki Peak Ground Acceleration (PGA) percepatan batuan dasar yang timbul akibat adanya gempa, sebesar 0.5g (lihat gambar 6). Hal ini membuat Lab Uji Doping ITB dibuat dengan sistem struktur yang sangat kokoh untuk menahan resiko gempa. Pondasi yang digunakan berupa pondasi dalam untuk struktur utama dan pondasi setempat untuk struktur-struktur pendukung. Sistem rangka pemikul momen khusus baja digunakan pada bagian struktur utama bangunan. Sistem lantai menggunakan plat komposit metal dek dan beton serta tambahan balok anak. Jumlah lantai basement ada satu dan jarak antar bangunan cukup jauh sehingga pada dinding basement digunakan sistem konvensional dengan galian terbuka. Untuk atap kanopi dan ruang serba guna digunakan rangka atap baja, dan penutup atap metal sheet.

97


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Gambar 6. Data Analisis Pembebanan Gempa dan Lapisan Tanah Bandung (Sumber: Laboratorium Pengujian Doping Kampus ITB Doping, Arkonin )

Sistem mekanikal pada Lab Uji Doping ITB terdiri atas sistem pemipaan, pengolahaan air limbah, pemadam kebarakan, tata udara, transportasi vertikal gedung, dan gas. Sistem pemipaan terdiri atas air bersih, air buangan, dan sistem pompa. Sistem pengolahan air limbah terdiri atas sistem pembuangan air hujan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Pada setiap lantai bangunan disediakan pemadam kebakaran aktif dan pasif berupa hydrant, sprinkler dan fire extinguisher. Untuk menjaga kondisi udara di dalam bangunan khususnya pada ruangan lab uji, dibuat ventilasi udara yang cukup dan diberi air conditioning (AC). Transportasi vertikal pada bangunan ada dua, yaitu lift yang berjumlah satu, dan tangga yang berjumlah tiga buah terdiri atas tangga biasa (di bagian timur dan tengah bangunan) serta tangga kebakaran (di bagian barat bangunan). Untuk mendukung peralatan doping yang salah satunya menggunakan gas dalam penelitian, dibuat sistem gas yang sangat kompleks karena tidak boleh terjadi kebocoran sama sekali. Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat 17-29 September 2016, Menteri Kemenpora Imam Nahrawi berkunjung ke Lab Uji Doping ITB dan menyatakan akan berusaha mencari dana peralatan penelitian doping untuk Lab Uji Doping ITB dari hasil tax amnesty. Oleh sebab itu pihak farmasi telah memperbarui proposal pendanaan peralatan lab doping yang akan ditujukan kepada Kemenpora dengan harapan pihak ITB mendapatkan kembali pendanaan untuk alat-alat uji doping dari Kemenpora yang sebelumnya telah terputus. 4.

ANALISIS DAN INTERPRETASI

4.1. Analisis Data Saat ini aktivitas yang berlangsung pada Lab Uji Doping ITB meliputi kegiatan perkantoran pegawai UPT K3L ITB di lantai satu, kegiatan seminar di lantai empat dan kegiatan belajar mengajar di lantai tiga dan empat. Dahulu pegawai Sarana dan Prasarana ITB juga menempati lantai satu lab uji doping ini, namun begitu gedung Center for Research and Community Services (CRCS) ITB selesai dibangun, kantor Sarana dan Prasarana dipindahkan ke gedung tersebut. Selain ruangan – ruangan tersebut, area yang aktif digunakan adalah area parkir baik yang berada di basement maupun ground floor. Fungsi ruang lantai basement masih digunakan sesuai fungsi pada tahap perancangan, yaitu sebagai area parkir. Namun, selain itu terdapat sebuah fungsi yang tidak direncanakan yaitu tempat penyimpanan/gudang (lihat gambar 7). Selanjutnya ruang yang digunakan sebagai kantor K3L pada tahap awal perancangan berfungsi sebagai ruang preparasi dan penyelia. Ruang pelatihan yang terletak di lantai 4 dan ruang team expert serta lounge yang terdapat di lantai 3 digunakan oleh pihak Sekolah Farmasi ITB sebagai ruang kelas dari hari Senin – Jumat (lihat gambar 7). Selain ruang – ruang yang disebutkan di atas, fasilitas pendukung bangunan seperti kamar mandi, pantry dan musholla juga digunakan. Namun ruang – ruang lab, ruang rapat, dan ruang perpustakaan tidak digunakan sama sekali dan menjadi ruang – ruang mati (lihat gambar 7). 98


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 7. Perubahan Fungsi pada Lab Uji Doping ITB (a) Lahan parkir menjadi lahan parkir dan gudang (b) Ruang tim ekspert menjadi ruang kelas

(c) Laboratorium uji yang tidak digunakan (d) Perpustakaan yang tidak digunakan

Penggunaan seluruh ruang di lab doping dapat dilihat pada tabel 1: Tabel 8. Penggunaan Ruang pada Lab Uji Doping ITB Lantai

Fungsi pada Tahap Pra Rancangan

Fungsi Saat Ini

Basement

Area Parkir Pompa Limbah Cair Penampungan sementara B3

Parkir + Penyimpanan barang Pompa -

Area Parkir Lobby Security Penyimpanan Gas ME Alat

Area Parkir + Penyimpanan sementara Lobby Security ME Gudang

Lobby Storage sampel Rapat Tamu Pantry Obervasi Sampel Lab Uji Administrasi Preparasi I& Penyelia Preparasi II Gudang Bahan Padat Gudang Bahan Cair Ruang Ganti

Lobby Pantry Kantor K3L -

Lobby Perpustakaan Staf Seminar Rapat Pantry

Lobby -

Dasar

1

2

-

99


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016 Lab Penelitian Preparasi Ganti

-

3

Lobby Lounge/Crib Rapat Pantry Gudang Cetak Team Expert Pimpinan Manajer

Lobby Kelas Kelas -

4

Lobby Area Persiapan Ruang Audio Visual Training

Lobby Ruang Audio Visual Kelas

4.2. Interpretasi Hasil Analisis Data Modul bangunan adalah kunci perancangan laboratorium yang jika di desain dengan baik dan benar dapat mengoordinasikan seluruh sistem arsitektural mapun teknikal. Selain itu denah modular juga dapat memberi keuntungan fleksibilitas maupun ekspansi gedung. Sebuah laboratorium harus memungkinkan terjadinya perubahan – perubahan di dalam gedung. Laboratorium institusi pendidikan biasanya mengubah layout laboratorium sebanyak 5-10% tiap tahunnya. Sedangkan laboratorium milik swasta melakukan perubahan fisik bangunan sebesar 25% setiap tahun. Pada prinsipnya tidak mudah untuk mengubah bangunan laboratorium menjadi fungsi baru yang tidak berkaitan dengan penelitian disebabkan desain laboratorium yang sangat spesifik tergantung fungsi laboratorium itu sendiri. Fleksibilitas dalam laboratorium memang dapat mendukung perubahan – perubahan tetapi hal itu lebih terkait dengan pengembangan ruang secara fisik. Namun tidak berarti sebuah laboratorium tidak dapat merubah fungsi dari tujuan perancangan awal. Beberapa contoh kasus didapatkan mengenai perubahan fungsi antara lain laboratorium seperti Jorgenson Laboratory yang telah berdiri dari tahun 1974 di Pasadena, California diubah menjadi Caltech’s LEED Platinum Resnick Sustainability Institute dan Robinson Laboratory diubah menjadi LEED Platinum Eco Center. Pemanfaatan Lab Uji Doping ITB sebagai kantor, ruang belajar mengajar, dan lahan parkir ada yang sesuai dengan fungsi awal dan ada yang tidak. Kesesuaian fungsi baru pada bangunan Lab Uji Doping ITB dapat dilihat dari besarnya perubahan tipologi dan kriteria ruangan yang dibutuhkan dan apakah fasilitas yang sudah disediakan sebelumnya (mekanikal, elektrikal, material, keamanan, dsb.). Kesesuaian perubahan fungsi ruangan pada Lab Uji Doping ITB dapat dilihat pada diagram 1.

100


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Diagram 1. Kesesuaian Perubahan Fungsi Ruangan Pada Lab Uji Doping ITB

Ruang Preparasi I & Penyelia

Kantor K3L ITB

Tipologi dan kriteria ruangan hampir sama (kantor) . Berbeda tingkat keamanan, misalkan terhadap bahaya api (jumlah sprinkler dan fire alarm lebih banyak pada lab).

Tidak Sesuai

Tipologi dan kriteria ruangan berbeda (laboratorium dan kelas). Ruang Tim Ekspert

Ruang Kelas

Ruang tim ekspert terhubung dengan lab uji yang tidak dibutuhkan ruang kelas.

Tidak Sesuai

Terdapat fasilitas seperti wastafel yang tidak dibutuhkan ruang kelas.

PERUBAHAN RUANG DALAM LABORATORIUM PENGUJIAN DOPING ITB

Parkir

Lounge / Crib

Parkir + Gudang

Penambahan fungsi gudang pada lantai dasar dan basement yang awalnya untuk lahan parkir berakhibat mengurangi kapasitas parkir bangunan. Penggunaan basement yang lembab sebagai gudang bertolak belakang dengan kriteria gudang yang membutuhkan kondisi kering.

Tidak Sesuai

Lounge bersifat fleksibel (tidak didesain secara khusus). Ruang Kelas

Dapat dialihfungsikan menjadi ruang kelas dengan tetap memaksimalkan fungsi ruang karena tidak ada kriteria khusus.

Sesuai

Tipologi dan kriteria ruangan mirip (kelas). Ruang Pelatihan

Ruang Kelas

Memang bertujuan untuk menampung kegiatan belajar mengajar terkait penelitian mengenai doping.

Sesuai

Kesimpulan yang didapatkan dari analisis data adalah meskipun laboratorium uji doping dapat mendukung fungsi – fungsi yang tidak direncanakan pada awalnya dan tidak merugikan, namun penggunaan fungsi baru ini tidak dapat memaksimalkan potensi bangunan lab uji doping. 5.

PENUTUP

Lab Uji Doping telah dibangun dengan tujuan dan ketentuan spesifik, yaitu Laboratorium Uji Doping, dimana standar bangunan telah mengikuti standar lab uji doping internasional yang dikeluarkan oleh WADA. Dikarenakan hambatan pembiayaan dan peruntukan bangunan yang sangat spesifik, penggunaan bangunan menjadi sangat tidak fleksibel, terkecuali beberapa ruangan penunjang kegiatan akademis pada lantai paling atas bangunan yang dapat dimanfaatkan sesuai peruntukannya, yaitu kegiatan belajar mengajar. Dalam menentukan fungsi baru bangunan Lab Uji Doping ITB, perlu dipertimbangkan aspek legal karena bangunan ini adalah bangunan milik pemerintah. Sehingga apabila bangunan digunakan diluar fungsi khusus yang telah diberikan oleh Kemenpora, peruntukan bangunan yang baru dapat dianggap melanggar hukum karena menyalahi peruntukan bangunan semula. 101


AR 4151 – Seminar Arsitektur 2016

Solusi yang ditawarkan adalah Lab Uji Doping digunakan seperti peruntukannya semula, atau diajukan proposal perubahan fungsi bangunan kepada Kemenpora, dimana peruntukan baru ini dapat memaksimalkan potensi yang sudah ada (standar bangunan yang sudah memenuhi standar laboratorium uji internasional). Fungsi baru yang ditawarkan misalnya mengubah fungsi bangunan menjadi Laboratorium Uji Racun, yang menurut testimoni Bapak Rahmana Emran Kartasasmita, infrastuktur pendukung yang dibutuhkan hampir sama, namun dengan peralatan yang harganya lebih terjangkau. Selain itu juga dianggap lebih menguntungkan bagi masyarakat Indonesia karena banyaknya kasus racun di Indonesia yang masih belum dapat ditangani karena belum ada fasilitas yang cukup baik untuk menelitinya. 6.

DAFTAR PUSTAKA

Watch, Daniel D. (2008). Building Type Basics for Research Laboratories. JohnWiley & Sons, Inc. Second Edition.United States of Ameica, pp. https://www.itb.ac.id/news/3828.xhtml diakses pada tanggal 19 November 2016 http://kbbi.web.id/kantor diakses pada tanggal 21 November https://id.scribd.com/doc/301533798/Tipologi-Sarana-Perkantorandiakses pada tanggal 21 November http://annisaastriadewisahroni.blogspot.co.id/2013/11/kriteria-ruangan-kantor-eregonomik.html pada tanggal 21 November

diakses

http://health.detik.com/read/2013/03/27/144037/2205274/775/ayo-dicek-ini-syarat-syarat-kantor-yangsehat diakses pada tanggal 21 November http://kbbi.web.id/kelasdiakses pada tanggal 21 November http://www.sekolahdasar.net/2009/02/kelas-yang-nyaman-dan-menyenangkan.htmldiakses pada tanggal 21 November http://inhabitat.com/caltechs-resnick-sustainability-institute-is-a-leed-platinum-renovation/#popup-527011 diakses pada tanggal 22 November http://inhabitat.com/caltechs-historic-linde-robinson-lab-renovated-into-a-leed-platinum-eco-center/#popup497137 diakses pada tanggal 22 November

http://blog.umy.ac.id/restufaizah/menghitung-pga-peak-ground-acceleration-hazard/ diakses tanggal 22 November 2016 dipost oleh Restu Faizah

102


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.