opini Menyoal Pendidikan Murah O l e h S ulis S tyawan
M
emikirkan--atau sekedar memba yangkan--tentang adanya ”pendidikan gratis” di Indonesia, negeri berpenduduk sekitar 220 juta jiwa ini, adalah tak lebih dari sekedar membaca sebuah dongeng. Mengapa? Diakui atau tidak, selama ini memang banyak kalangan yang sela lu memperdebatkan soal pendidikan gratis di Indonesia. Kenapa pendidikan gratis selalu saja diperdebatkan? Jlentreh-nya kurang lebih begini. Kalau saja praktek pendidikan gratis itu sudah benar-benar gratis, tentu tidak akan ada yang memper debatkannya. Pasalnya, di kabupaten atau kota mana di bumi pertiwi ini yang praktek pendidikannya benar-benar ”gratis”. Apakah ���������� di Jembrana (Bali), di Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), di Kutai Kartanegara, di Balikpapan (Kalimantan Timur). Ataukah di Kabupaten Sukoharjo (Jawa Tengah) yang notabena kota atau kabupaten tersebut sudah misuwur dan kondhang alias terkenal sebagai kota atau kabupaten yang berhasil menyelenggarakan ”pendidikan gratis”. Apakah di ketiga daerah itu para orang tua yang memiliki anak berusia 7 - 15 tahun (usia wajib belajar) sudah tidak harus mengeluarkan dana lagi untuk membelikan seragam sekolah, tidak lagi membelikan buku tulis, tidak lagi membelikan sepatu, atau tidak lagi membelikan buku-buku pelajaran? Kenyataannya, para orang tua di kota atau kabupaten penyelenggara ”pendidikan gratis” itu tetap saja harus membiayai pendidikan anaknya. Itu artinya, praktek pendidikan itu memang belum ”gratis”! Kita semua tentu mafhum, Pemerintah kita memang tidak pernah mengharuskan sekolah tidak memungut biaya. Artinya, Pemerin-
Menurut hemat penulis, istilah ’pendidikan gratis’ itu tak lebih dari sekadar ’bahasa politik’ semata-mata. 40
Pewara Dinam i ka d e s e m b e r 2 0 0 9
tah tidak pernah menjanjikan pendidikan itu ”digratiskan” karena UU Sisdiknas No. 20/2003 memang tidak mengamanatkan pendidikan itu digratiskan. Tetapi, mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk menganggarkan minimal 20% anggaran pada sektor pendidikan--di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan--dari total APBN/ APBD. Sementara itu, dengan alokasi dana 20% dari APBD, senyatanya juga tidak serta-merta bisa menjamin orang tua murid tidak mengeluarkan biaya pendidikan, seperti yang selama ini masih saja harus mereka tanggung. Dalam tataran ini, artinya, yang paling mungkin adalah seandai nya anggaran minimal 20% untuk sektor pendi dikan itu sudah dipenuhi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka pendidikan ”murah” akan dapat dinikmati masyarakat. Namun, tetap saja itu bukan pendidikan ”gratis”. Galibnya, pendidikan murah tidak identik de ngan pendidikan gratis. Masih seputar ”bukan pendidikan gratis”. Jika kita cermati, istilah ”pendidikan gratis” sebenarnya lebih dipopulerkan oleh para kontes tan Pilkada. Menurut mereka, istilah itu lebih efektif untuk menarik simpati pemilih daripada berbicara soal anggaran pendidikan minimal 20%, ataupun memakai istilah ”pendidikan murah”. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, istilah ’pendidikan gratis’ itu tak lebih dari sekedar ”bahasa politik” semata-mata. Pengalaman menunjukkan, bahwa bahasa politik itu identik dengan janji kosong. Selama praktek pendidikan itu tidak benar-benar gratis, tentunya akan lebih arif jika kita menghindari istilah pendidikan gratis itu. Permasalahannya bukan hanya sebatas penggunaan istilah, teta pi lebih daripada itu, dengan menggunakan istilah itu, maka ”pembohongan publik” atas rakyat banyak telah terjadi. Maka, marilah kita berusaha menahan diri untuk tidak turut serta membohongi masyarakat dengan segala obral janji-janji kosong yang membuai, namun tak pernah jelas juntrung-nya atau bahkan nir-realisasi. Terkait dengan kalimat “... tanpa memungut biaya …”, dalam Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas,