resensi buku
Pemimpin Muda: Antara Harapan dan Kenyataan Oleh Hendra su gia ntoro
P
erihal kepemimpinan kaum mu da mengemuka menjelang ha jatan Pemilu 2009. Yang menja di pertanyaan, seberapa besar peluang tokoh-tokoh muda naik di po sisi kepemimpinan nasional. Analisis jelas bisa dilakukan terkait seberapa besar peluang tokoh-tokoh muda tampil pada pemilihan presiden 2009. Belum adanya kendaraan partai politik bagi tokoh-tokoh muda tentu sa ja menjadi hambatan sekaligus tantang an. Kalau mau berpikir jernih, negeri ini sebenarnya tidak sulit melahirkan tokoh-tokoh muda yang piawai memim pin negara. Pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan pun adalah dua tokoh ber usia muda, Bung Karno (44 tahun) dan Bung Hatta (43 tahun). Syahrir dan Sya frudin Prawiranegara menjadi perda na menteri saat berusia di bawah 40 tahun. Begitu pula Mohammad Natsir yang menjadi perdana menteri pada usia 42 tahun. Jika saat ini Indonesia seolah-olah minim figur muda, ada aneka sebab yang bisa diungkapkan. Dari dua pe mimpin, Soekarno dan Soeharto, bisa dikatakan gagal dalam melakukan re generasi kepemimpinan. Keduanya ada lah presiden yang berkuasa terlalu lama dan tak dipungkiri mengakibatkan macetnya regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Memang, regenerasi kepemimpinan menjadi harapan di era reformasi yang saat ini telah satu dasawarsa lebih berjalan. Sayangnya, regenerasi kepemim pinan malah tidak menjadi agenda pen ting, terutama oleh partai politik, yang merupakan basis kaderisasi aktor-aktor 40
Pewara Dinam i ka f e b r ua ri 2 0 0 9
Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional Oleh Dr. Yuddy Chrisnandi • Transwacana, Mei 2008 • xii+372 halaman
politik. Terhambatnya proses kaderisasi terlihat nyata dari kepemimpinan politik yang terlalu bersandar pada tokohtokoh tua. Fenomena yang disebut gerontokrasi itulah yang menghambat proses kade risasi politik bagi kaum muda untuk tampil menjadi pemimpin alternatif. Gerontokrasi tercermin dari hegemoni kaum tua dalam memegang jabatanjabatan politik strategis, tidak hanya dalam pemerintahan tapi juga di partai politik. Partai-partai cenderung me ngabaikan aspirasi kaum muda agar ke pemimpinan strategis diisi kaum muda yang masih segar. Fenomena geronto krasi ini kemudian diperkuat oleh tra disi oligarki partai. Oligarki partai tum buh karena kepemimpinan yang terlalu mengandalkan kaum tua, sehingga de mokratisasi politik di tubuh partai tidak berkembang karena kuatnya tekanan
kaum tua terhadap kaum muda (hlm. 102). Pada dasarnya, wacana saatnya ka um muda memimpin bukanlah ingin menciptakan dikotomi kepemimpian kaum tua dan kaum muda. Ada semangat dari kaum muda untuk mencipta kan perbaikan signifikan bagi negeri ini yang boleh dikatakan terombangambing dalam ketidakpastian masa de pan. Ada asumsi bahwa pemimpin-pe mimpin tua merupakan representasi masa lalu yang mengusung ide-ide kon servatif. Atas dasar tantangan zaman yang berbeda dan eksistensi Republik yang menjadi taruhannya, perlu ada peralihan kepemimpinan dari generasi tua ke generasi muda yang kelak akan mengusung ide-ide progresif. Pada titik ini, progresivitas perlu digarisbawahi oleh kaum muda, selain kejelasan visi. Meskipun kaum muda berhak menuntut dibukanya akses untuk tampil di posisi terdepan Republik ini, namun kepemimpinan kaum muda semestinya bukan sekedar ”menenggelamkan” kaum tua. Kaum muda bukan sekadar merebut kekuasaan dari kaum tua, melainkan apa manifesto kaum muda masa kini. Semangat kepemimpinan kaum muda yang tidak disokong oleh nilai-nilai kebangsaan yang tinggi hanya akan membuat kaum muda tidak berbeda dari kaum tua: sekedar mencari kekuasa an. Kaum muda bisa dicap besar nafsu daripada ide. Besar semangat daripada kerja (hlm. 109).
HENDRA SUGIANTORO Staf Redaksi Educinfo, FIP UNY