![](https://assets.isu.pub/document-structure/210409040558-28aed64ecafb843c289892c3edd19719/v1/6507e33c3c83339d85aca4a8d62b2e95.jpg?width=720&quality=85%2C50)
7 minute read
Guru Masa Depan dan Masa Depan Guru
GURU MASA DEPAN DAN MSA DEPAN GURU "
Oleh: Sudaryanto
Advertisement
Guru merupakan kelompuk terbesar yang akan ikut menentukan berhasil tidaknya berbagai bentukperubahan pendidikan kita (Prof. H. SuyantQ, Fh.D.. akadeniisi/pengamat pendidikan) Hajar Dewantara berpaling dari politik dan memusatkan perhatiannya pada pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa pada1922.
Pengantar Mereka yang membaca Para Priyayl Umar Kayam past! akan memahami posisi guru di kalangan masyarakat Jawa, teaitama ketika masa-masa penjajahan atau awal kemerdekaan Republik tercinta ini. Pada masa itu, guru sungguh-sungguh profesi yang membanggakan lag! berwibawa. Dalam kenyataan sehari-hari, khususnya di desa-desa, guru memiliki status sosial yang tinggi dan 'wajib' dihormati. Oleh karena itu, tidaklah heran bila pada waktu itu setiap orang tua yang berpendidikan mengharapkan anak-anaknya kelak menjadi guru Dan, mereka juga merasa bangga bila memiliki menantu seorang guru. Kondisi di atas temyata telah mengalami perubahan yang sangat jauh. Kini guru tidak lagi dilihat sebagai pilihan profesi yang "bemomor peci" dan layak diidam-idamkan oleh setiap anak bangsa, tapi sudah menjadi pilihan profesi "bernomor sepatu" dan para lulusan sekolah menengah yang serba pas-pasan. Ditambah lagi, mereka yang masuk ke lembaga pendidikan guru, seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau Institut Keguruan. dan llmu Pendidikan (IKIP) pun bukanlah sepuluh besar anak-anak SMA yang pintar lagi jenius, tapi saringan dari mereka yang tidak lolos di sejumlah perguruan tinggi favorit, seperti UI (Jakarta), UGM (Yogyakarta), ITB (Bandung), IPB (Bogor), dan Unair (Surabaya). Tulisan ini lahir dari kekaguman yang kritis pada profesi guru dan karenanya tidak dimaksudkan untuk mencari sisi kekurangan profesi guru semata-mata, justru seballknya,
untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi para guru kita, sehingga tulisan ini dari segi praktis dapat dipergunakan untuk belajar melihat persoalan-persoalan pendidikan, kaitannya dengan guru sebagai garda terdepan pendidikan nasionai. Kita bisa belajar dari laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) 2004 yang mengemukakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia bila diukur dari indlkator kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masihjauhtertinggai dibandlng dengan negara-negara
diAsiaTenggara. Diakui, bahwa di lingkungan ASEAN ini kita maslh menjadi bangsa pecundang, bangsa yang tidak dapat
memanfaatkan usia 60 tahun Itu. Dalam bidang pendidikan, dibandlngkan dengan Malaysia, kita ibarat kebo nusu gudel ('kerbau menyusu ke anaknya'). Dulu kita mengirim guru-guru ke Sana, sekarang kita malah harus belajar padanya atau sekarang justru kita mengirim TKW (tenaga Keija Wanita) ke sana.
Penyebab gagal kita dalam menangkap kesempatan emas sejarah itu terletak pada mentalltas bangsa kita. Kita selaiu mempersangkakan politlk ialah satu-satunya kekuatan sejarah bangsa, padahal politik itu bersumbu pendek. Maksudnya, politik jelas berperan dalam jangka pendek, sedangkan pendidikan berperan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Ki
Guru sebagai Profesi Masa Depan
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tentang riuhnya sorak-sorai para guru di depan Presiden Susiio Bambang Yudhoyono (SBY). Sorak-sorai itu sebagai ungkapan ketidakpuasan atas apa yang mereka terima seiama ini. Andaikata saya seorang guru, tentunya saya juga akan merasa kesal dengan sikap Pemerintah yang terus-menerus berjanji untuk meningkatkan gaji para guru sampai minimal 2 juta. Sayang, janji itu "hanya" sekedar janji-janji politik atau tepatnya hanya isu dari sebuah kepentingan politik pihak tertentu. Catalan ini tidak akan berbicara tentang kekesalan guru, tidak juga tentang nag'ih janji kampanye. Ada hal yang cukup penting untuk diberikan catatan, terutatna menyangkut pencanangan guru sebagai profesi di masa-masa mendatang. Sayajadlteringatpendapatmantan MendiknasAbdul Malik Fadjaryang pemah mengemukakan salah satu hai penting untuk membangun pendidikan, yakni pengadaan guru yang bermutu. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam kondisi apa pun, tetapi jlka tidak tersedia guru akan sulit untuk melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas. Dalam era serba akuntabel, guru sebagai profesi tentunya tidak lagi didasari "hanya" sebagai panggilan hidup {vocatio), melainkan guru sebagai profesi, dalam arti seperti halnya doWer, insinyur, wartawan, pengacara, dan sebagainya. Namun, aspek profesionalitas yang muncul diharapkan tidak lantas mematikan aspek pengabdlan, apalagi jlka sudah dibungkus dengan kosakata manis: panggilan hidup. Sejujumya saya katakan, bukan hal yang beriebihan ketika kita bertanya tentang jumlah dan standar hidup yang diinginkan oleh para guru. Bagi mereka yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipll) dan total berjumlah 2,2 juta itu, apa yang mereka terima rasa-rasanya tidak jauh berbeda dengan PNS pada umumnya. Namun, ketika tuntutan atas menurunnya mutu pendidikan di Tanah Air yang diarahkan ke mereka makin berat, sementara di masyarakat selaiu digembar-gemborkan tentang pemahaman profesionalitas, guru yang (maaf) "memprihatinkan dan perlu dlkasihani", maka kekesalan para guru di atas makin menjadi-jadi. Di satu pihak dltekankan nilai strategisnya guru, di lain pihak pada saat yang bersamaan peningkatan kesejahteraan yang menjadi hak mereka harus diperjuangkan
sendirian.
Kondisi ini yang kemudian disebut oleh Utomo Dananjaya dan Eri Seda (Kompas, 27/1/2005) bahwa guru di Indonesia berada dalam keadaan terjajah dan tidak merdeka. (Toiong diingat dua kata ini, yaitu terjajah dan tidak merdeka). Secara tak langsung, problem ini dapat dlsimpulkan bahwa kekuasaan negara dalam pendidikan masih kuat. Satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan ini adalah perluhya guru memerdekakan dirinya sendiri. Ada banyak langkah untuk
meningkatkan posisi tawarguai, di antaranya guru harus berani membenahi organisasi intern {PGR!), melakukan gerakan politik dan mogok mengajar. Kendatipun tidak dlajarkan dalam bentuk mata kuliah di LPTK/IKIP, namun ketiga langkah tersebutcukup panting untuksegeradiimplementasikan.
Profesionalisme Guru sebagai Tuntutan
Seperti sudah dinyatakan di muka bahwa salah satu hal penting untuk membangun pendidikan iaiah pengadaan guru yang bermutu. In! berarti wacana penlngkatan guru sebagai profesi harus dukuti dengan program nyata yang kelak menyentuh permasalahan mendasar pendidikan kita. Kita sepenuhnya mendukung bahwa program Pemerintah jangan hanya memoslsikan guru lewat sertifikasi dan uji kompetensi guru yang "sekadar" bersifat administratif. Kita perlu iebih dari itu agar para lulusan dari LPTK-LPTK tidak sia-sia kelika terjun kedunia pendidikan. Pertanyaannya ialah bagaimana cara profesionalisme guru dan para lulusan LPTK kita, yang sedikitbanyak akan berbanding lurus dengan mutu pendidikan di Tanah Air. Artikel ini ingin mengajukan tiga masalah mendasar yang setidaknya berkaitan dengan persoalan keguruan kita. Pertama, perihal kualilas guru. Kita berpendapat bahwa kualifikasi dan kompetensi guru kita masih rendah. Pada jenjang SD Negeri, misalnya dari satu juta Iebih guru masih ada yang berlatar belakahg pendidikan SMP. Untuk tingkat SMP Negeri dari hampir 300.000 guru, separuhnya di bawah saijana. Adapun SMK Negeri 50 persen gurunya juga di bawah sarjana. Kondisi sekolah-sekolah swasta jauh iebih parah daripada sekolah-sekolah negeri. Ditambah lagi beragamnya kebijakan Pemerintah yang cenderung berorientasi proyek, sehingga tidak terasa benar-benar bermanfaat bagi guru-guru. Untuk itulah, guru perlu diberl kebebasan guna menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Selain itu, Pemerintah perlu membuka kesempatan dengan memberikan beragam beasiswa bagi para guru kita. Ini berarti dalam pola perekrutan mahasiswa calon guru yang andal, tidak cukup hanya dengan mempersyaratkan kemampuan akademik calon bersangkutan. Tak kalah pentingnya ialah sejauh mana mahasiswa calon guru memiliki panggllan jiwa untuk mengabdi sebagai guru. Saiah satu cara yang tepat untuk mengukur dan merangsang keterpanggilan jiwa para mahasiswa calon guru adalah dengan menyediakan beasiswa untuk kuliah di LPTK. Dengan demikian, terukur siapa orangyang benar-benar terpanggiljiwanya menjadiguru. Kedua, perihal kesejahteraan guru. Masalah kesejahteraan seringkali menjadi apologi, sehingga orang merasa enggan memilih profesi guru sebagai pilihan utama. Bahkan, orang yang telah mengabdi bertahun-tahun dijalurini tak sedikit yang pada akhimya "menggadaikan" profesi tersebut. Saat ini, guru berstatus PNS sudah berpenghasilan di atas upah minimum regional (UMR), sedangkan guru PNS golongan ill B masih menerima Rp 700.000,00. Namun, masih ada guru yang berpenghasilan jauh di bawah itu, khususnya guru honorer di lembaga pendidikan milik masyarakat yang tidak memadai secara finansial. Padahal, guru honorer jumlahnyadiperkirakansekitar2juta orang dilanahAirini.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210409040558-28aed64ecafb843c289892c3edd19719/v1/1de7bb0472315d77f6a86fb333fb1072.jpg?width=720&quality=85%2C50)
Jika hal itu tidak diatasi, lambat-laun akan berdampak pada kemampuan guru dalam mengakses
beragam informasi terpenting melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Bisa dibayangkan betapa minimnya pengetahuan guru yang diberikan kepada para siswanya di kelas. Dengan gaji standar UMK (upah minimum kabupaten/kota), gaji guru bantu hanya cukup untuk kebutuhan dasar, terutama pangan dan sandang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan papan, salah satunya berlangganan koran, masih sangat jauh. Untuk itulah, memperjuangkan kenaikan tingkat kesejahteraan guru layak terus ditingkatkan
sedikit demi sedikit. Ketiga, perihal diskriminasi status guru yang saat ini beragam, mulai dari PNS hingga guru honorer, bahkan masih ada guru sukarela. Mereka memang melakukan tugas yang sama, namun imbalan dan statusnya berbeda. Penghapusan diskriminasi status memerlukan kemampuan Pemerintah untuk mengintervensi melalui subsidi agar penghasilan mereka dapat meningkat. Dengan begitu, nantinya pembedaan kompetensi hanya berdasarkan kualifikasi pendidikan dan masa kerja. Kualifikasi yang dimaksud di sini tentunya berkaitan erat dengan nuansa kompetensi, yang Iebih cenderung memuat aspek kemampuan dan kewenangan, yang di antaranya dipandang dari aspek persiapan dan pelatihan sebagai guru.
Penutup
Kalau saya boleh usul, pertama, bentuk kesejahteraan guru harus diubah menjadi semacam bentuk kepedulian Pemerintah terhadap masa depan profesi keguruan. Dengan begitu, perhatian tidak tersita untuk sekedar mengotak-atik anggaran demi perbaikan hidup para guru. Masuk akal penjelasan bahwa kenaikan gaji guru berdampak membengkaknya anggaran. Tidaklah mungkin dibedakan secara mencolok gaji PNS dengan PNS nonkeguruan. Berbagai tunjangan yang pernah diberikan kita sarankan sebagai bentuk kepedulian yang tak perlu dikait-kaitkan dengan anggaran untuk gaji PNS. Tunjangan itu kita ibaratkan semacam hak yang memang harus dimiliki guru, bukan "belas kasihan". itulah "keharusan profesional", buah dari konsekuensi kepedulian Pemermtah. Kedua, Rancangan Undang-undang (RUU) Guru yang kini dipeijuangkan sebaiknya dimonitor secara cermat. UU Guru dipeijuangkan sejauh bisa benarbenar dan tidak sekadar "macan kertas", acuan untuk meningkatkan mutu profesi guru sekaligus kesejahteraannya. Sebagai penutup, saya kutip baris-baris puisi milik Suyanto berjudul "Wajah Bangsa Kita" (2004): "... Kita harus perlu segera berteriak lantang agar Negara peduli pada pendidikan / Guru sekolah diberdayakan, peserta didik diberi bekal untuk hidup masa depan /Dengan begitu Negara akan memiliki peradaban i Jika tidak begitu, kita semua akan teiiindas lumatoleh kejamnya kebodohan."
Juara Harapan I Lomba Menulis Esai limiah Tingkat Nasional Mahasiswa Se-Jawa Tengah dan DIY dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Sebelas Maret XXIX-2005.
^ Sudaryanto, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, aktif di LPPM KREATIVA FBS UNY, Aktivis
MISHBAH Cuiurai Studies Center. HP 081578031823.