JPINI GURU MASA DEPAN DAN MSA DEPAN GURU" Oleh: Sudaryanto Guru merupakan kelompuk terbesar yang akan ikut menentukan berhasil tidaknya berbagai bentukperubahan pendidikan kita (Prof. H. SuyantQ, Fh.D.. akadeniisi/pengamat pendidikan) Pengantar
Hajar Dewantara berpaling dari politik dan memusatkan perhatiannya pada pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa pada1922. Guru sebagai Profesi Masa Depan
Mereka yang membaca Para Priyayl Umar Kayam
past!akan memahami posisi guru di kalangan masyarakat Jawa,
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tentang
teaitama ketika masa-masa penjajahan atau awal kemerdekaan
riuhnya sorak-sorai para guru di depan Presiden Susiio Bambang Yudhoyono(SBY). Sorak-sorai itu sebagai ungkapan
Republik tercinta ini. Pada masa itu, guru sungguh-sungguh profesi yang membanggakan lag! berwibawa. Dalam kenyataan sehari-hari, khususnya di desa-desa,guru memiliki status sosial
yang tinggi dan 'wajib' dihormati. Oleh karena itu, tidaklah heran bila pada waktu itu setiap orang tua yang berpendidikan mengharapkan anak-anaknya kelak menjadi guru Dan, mereka juga merasa bangga bila memiliki menantu seorang guru. Kondisi di atas temyata telah mengalami perubahan yang sangat jauh. Kini guru tidak lagi dilihat sebagai pilihan
profesi yang "bemomor peci" dan layak diidam-idamkan oleh setiap anak bangsa, tapi sudah menjadi pilihan profesi "bernomor sepatu" dan para lulusan sekolah menengah yang
serba pas-pasan. Ditambah lagi, mereka yang masuk ke lembaga pendidikan guru, seperti Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) atau Institut Keguruan. dan llmu Pendidikan (IKIP) pun bukanlah sepuluh besar anak-anak SMA yang pintar lagi jenius,tapi saringan dari mereka yang tidak lolos
ketidakpuasan atas apa yang mereka terima seiama ini. Andaikata saya seorang guru,tentunya saya juga akan merasa
kesal dengan sikap Pemerintah yang terus-menerus berjanji untuk meningkatkan gaji para guru sampai minimal 2 juta. Sayang,janji itu "hanya" sekedar janji-janji politik atau tepatnya hanya isu dari sebuah kepentingan politik pihak tertentu. Catalan ini tidak akan berbicara tentang kekesalan guru, tidak
juga tentang nag'ih janji kampanye.Ada hal yang cukup penting untuk diberikan catatan, terutatna menyangkut pencanangan guru sebagai profesi di masa-masa mendatang. Sayajadlteringatpendapatmantan MendiknasAbdul Malik Fadjaryang pemah mengemukakan salah satu hai penting untuk membangun pendidikan, yakni pengadaan guru yang bermutu. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam kondisi
apa pun, tetapi jlka tidak tersedia guru akan sulit untuk
di sejumlah perguruan tinggi favorit, seperti UI (Jakarta), UGM (Yogyakarta), ITB (Bandung), IPB (Bogor), dan Unair
melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas. Dalam era serba akuntabel, guru sebagai profesi tentunya tidak lagi didasari "hanya" sebagai panggilan hidup {vocatio), melainkan
(Surabaya). Tulisan ini lahir dari kekaguman yang kritis pada profesi guru dan karenanya tidak dimaksudkan untuk mencari sisi kekurangan profesi guru semata-mata, justru seballknya,
guru sebagai profesi, dalam arti seperti halnya doWer, insinyur, wartawan, pengacara, dan sebagainya. Namun, aspek profesionalitas yang muncul diharapkan tidak lantas mematikan aspek pengabdlan, apalagi jlka sudah dibungkus dengan
untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi para guru
kosakata manis: panggilan hidup.
kita, sehingga tulisan ini dari segi praktis dapat dipergunakan untuk belajar melihat persoalan-persoalan pendidikan,
ketika kita bertanya tentang jumlah dan standar hidup yang
Sejujumya saya katakan, bukan hal yang beriebihan
kaitannya dengan guru sebagai garda terdepan pendidikan
diinginkan oleh para guru. Bagi mereka yang berstatus PNS
nasionai. Kita bisa belajar dari laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) 2004 yang mengemukakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat
(Pegawai Negeri Sipll) dan total berjumlah 2,2juta itu, apa yang mereka terima rasa-rasanya tidak jauh berbeda dengan PNS pada umumnya. Namun,ketika tuntutan atas menurunnya mutu
Indonesia bila diukur dari indlkator kesehatan, pendidikan, dan
pendidikan di Tanah Air yang diarahkan ke mereka makin berat,
ekonomi masihjauhtertinggai dibandlng dengan negara-negara
sementara di masyarakat selaiu digembar-gemborkan tentang
diAsiaTenggara.
menjadi bangsa pecundang, bangsa yang tidak dapat
pemahaman profesionalitas, guru yang (maaf)"memprihatinkan dan perlu dlkasihani", maka kekesalan para guru di atas makin menjadi-jadi. Di satu pihak dltekankan nilai strategisnya guru, di
memanfaatkan usia 60 tahun Itu. Dalam bidang pendidikan,
lain pihak pada saat yang bersamaan peningkatan
Diakui, bahwa di lingkungan ASEAN ini kita maslh
dibandlngkan dengan Malaysia, kita ibarat kebo nusu gudel
kesejahteraan yang menjadi hak mereka harus diperjuangkan
('kerbau menyusu ke anaknya'). Dulu kita mengirim guru-guru ke
sendirian.
Sana,sekarang kita malah harus belajar padanya atau sekarang
Kondisi ini yang kemudian disebut oleh Utomo Dananjaya dan Eri Seda (Kompas, 27/1/2005) bahwa guru di Indonesia berada dalam keadaan terjajah dan tidak merdeka.
justru kita mengirim TKW (tenaga Keija Wanita) ke sana. Penyebab gagal kita dalam menangkap kesempatan emas
sejarah itu terletak pada mentalltas bangsa kita. Kita selaiu mempersangkakan politlk ialah satu-satunya kekuatan sejarah bangsa, padahal politik itu bersumbu pendek. Maksudnya,
politik jelas berperan dalam jangka pendek, sedangkan pendidikan berperan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Ki
,^flinaralBa
24
dloamUR
I Juni 2006
(Toiong diingat dua kata ini, yaitu terjajah dan tidak merdeka). Secara tak langsung, problem ini dapat dlsimpulkan bahwa kekuasaan negara dalam pendidikan masih kuat. Satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan ini adalah perluhya guru memerdekakan dirinya sendiri. Ada banyak langkah untuk