![](https://assets.isu.pub/document-structure/210412061646-5baadeb6e6b3a3ca5693a014e7ca57e8/v1/658ce49f2d5163a6ac1146fc487489c5.jpg?width=720&quality=85%2C50)
4 minute read
Lembaran Hitam Sejarah Jangan Diputarbalikkan
Opini
'Oktober 2007
Advertisement
Lembaran Hitam Sejarah Iangan Diputarbalikkan
oleh V.F.Jec'egaut Pro-kontra mengenai perlu tidaknya kata PKI di cantumkan dalam buku teks pelajaran SMP dan SMAdalam kurikulum tahun 2004, saat ini merupakan persoalan yang sangat sensitif dan krusial sekali. Oleh karena itu, semua pihak hams bisa melihat sejarah masa lalu di negeri Ini secara proposional, jernlh, dan objektif, tanpa mempolitisasi persoalan sejarah demi kepentingan polltis
oknum-cknum tertentu. Kita harus melihat sebuah fakta sejarah masa lalu bangsa in! dengan memposisikan peristiwa sejarah sesuai dengan keadaan rill saat itu, berdasarkan fakta yang sebenamya. Tentu, tanpa mengabaikan buktl kejahatan yang impllksainya dirasakan oleh semua iapisan masyarakat pada waktu itu dan Sabang sampal Merauke. Kita tidak dapat memungkiri adanya pemberontakan 1948 di Madiun oleh Muse yang jeias-jeias adaiah ketua PKI di Madiun. Juga, keteriibatan D.N. Aldit dalam G 30 S di Jakarta, jelas ia mengkiaim sebagai kepala biro kususnya gerakan tersebut yang nota bena Aldit juga sebagai ketua PKI di Indonesia. Yang dikawatirkan saat ini adaiah pemahaman sejarah generasi muda akan mengaiami kebingungan yang mengakibatkan mereka tidak mendapatkan pelajaran sejarah yang benar-benar'sempuma, valid, dan balk. Untuk memposisikan sejarah masa laiu sesuai v/aktu Itu, Pemerintah sebagai penguasa di negeri ini perlu untuk menunjukkan ketegasannya terhadap pro-kontranya kata PKI. Dan, Itu yang menjadi perdebatan hangat saat ini oleh berbagai kalangan masyarakat iuas, para sejarawan matupun guru Sejarah dl Republik ini. Sikap yang tegas dan proposional dari Pemerintah hendaknya mampu menjadi wasit yang benar dan adil dalam menjemihkan kembaii semua kegaiauan sejarah bangsa Ini yang telah terjadi dan menjadi noda hitam daiam perjaian sejarah bangsa ini. Penulis sendiri sebagai seorang yang peduli sejarah, secara pribadi mendukung sepenuhnya kebljakan yang telah diambil oleh Jaksa Agung Ri yang melarang pengadaan dan peredaran buku teks Sejarah untuk SMP, SMA, dan yang sederajat. Aiasannya, buku itu tidak memuat keteriibatan PKI di Madiun pada 1948 dan tidak menyebutkan keteriibatan PKI pada 1965 dalam G 30 S di Jakarta (Kompas, 10/3/07). Kejaksaan Agung sudah semestinya proaktif dengan melarang semua buku yang berbau penyebaran paham Marxisme, Leninlsme, dan Komunisme yang merongrong ideoiogi Pancasila dan merusak moral hidup generasi muda bangsa Indonesia. Berkaitan dengan itu, Kejaksaan Agung dan Kepoiisian RI mestinya tidak raguragu menindak tegas penulis, penerbit, dan percetakan yang dengan sengaja menyebarluaskan komunisme gaya bam. Hal itu perlu ditunjukkan oleh Pemerintah, selaku pemimpin di negeri ini yang mempunyai kekuasaan penuh,
untuk mengatur semuanya sesuai dengan fungsinya sebagai pemegang utama kebijakan pubiik. Karena semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampal Merauke jeias-jeias tahu bahwa pemberontakan tahun 1948 di Madiun dan G 30 S tahun 1965 di Jakarta sebagai noda hitam dalam sejarah yang semua gerakan itu dipelopori oleh Ketua PKI saat itu. Apakah peristiwa keiabu di atas mau dihapuskan saat ini hanya karena adanya tendensi poiitik serta agenda tertentu dalam melihat masaiah ini, tanpa pernah memikirkan sedikit pun akibat dari peristiwa keiabu tersebut yang begitu besardampaknya dirasakan oleh bangsa ini. Kita jangan mencoba mau memutarbaiikkan fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi serta mengerikan saat itu. Sebab, ha! itu akan berbahaya bagi kelangsungan hidup generasi muda ke depan. Kita harus sportif dan jenteimen untuk mengakui dan menerima apa yang telah terjadi daiam sejarah revoiusi masa lalu bangsa ini, balk yang terjadi pada 1948 di Madiun maupun 1965 dl Jakarta. Memutarbaiikkan fakta sejarah yang sebenamya sudah terjadi sungguh merupakan suatu sikap yang tidak kesatria dan tidak berjiwa besar dalam memahami segaia peristiwa yang terjadi pada perjaianan sejarah negeri ini. Semua stake holders di tanah air segera menghentikan perdebatan yang berkepanjangan tentang perlu tidaknya kata PKI dicantumkan dalam buku teks Sejarah Naslonal pada kurikulum tahun 2004. Kita serahkan saja persoalan ini kepada Pemerintah yang memiliki kapasltas untuk meluruskan persoalan sejarah sesuai dengan fungsi serta perannya di masyarakat. Dengan tidak mengabaikan realitas yang telah terjdl, hendaknya Pemerintah bisa tampil sebagai pembela kebenaran sejarah demi kejemihan
sejarah itu sendiri. Kita percayakan hai Itu kepada Departemen Pendidikan Naslonal, sebagai lembaga yang berkompeten di bidang pendidikan, untuk melaksanakan tugasnya secara balk dan benar temtama dalam menentukan pokok-pokok materi dalam pelajaran sejarah bangsa Indonesia. Perlu disadari juga, sejak Pemerintah menganjurkan setiap sekolah di tanah air untuk kembaii menggunakan buku-buku teks Sejarah SMP dan SMA yang dibuat kurikulum 1994 semuanya ditanggapi secara positif oleh kalangan guru Sejarah di Yogyakarta (Kedauiatan Rakyat, 16/03/07). Bagaimanapun, buku teks sejarah yang dibuat oleh kurikulum 1994 lebih tiaik dan iengkap serta valid materi pelajarannya
dibanding dengan buku teks pelajaran sejarah yang dibuat oleh kurikulum 2004, mengingat kata PKI tidak dipakai daiam buku teks sejarah tersebut. Apakah hai Ini tidak dianggap sebagai hal positif oleh berbagai pihak yang selama Ini berkeberatan dengan mencantumkan kata PKI dalam penyusunan buku teks sejarah kurikulum 2004. Sikap positif dari beberapa guru Sejarah dalam menanggapi imbauan Pemerintah tersebut dl atas dapat dijadikan bahan perenungan yang mendalam bagi semua pihak untuk mengembaiikan sejarah pada tempat dan realitas yang sebenamya. Dengan demikian, anak didik dl sekolah bisa mendapatkan pelajaran Sejarah yang benarbenar asli, jemih, objektif, dan tidak dipaisukan. Bagaimanapun, pelajaran sejarah yang objektif, sempuma merupakan suatu hal yang mutlak harus mereka peroleh dari guru sejarah sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah di dunia pendidikan.