5 minute read
Masihkah Orang Miskin Dllarang Sekolah?
Bunga Rampai
■Oktober 2007
Advertisement
Masihkah Orang Miskin Dilarang Sekolah?
oleh Sukami
Orang miskin dilarang sekolah! Orang miskin diiarang sakit! Orang miskin dilarang! Orang miskin dilarang menikmati haknya selayaknya manusia. Mengapa? Sekarang ini dunia menganut World Trade Organization (WTO), pasar besar, dan globalisasi? Indonesia ada di dalamnya. Entah menjadi pelaku atau penonton (kita sudah bisa meniiai sendlril). Dalam era globalisasi, pemegang modal dan penguasa pasar akan menjadi raja yang bisa menentukan kebijaksanaan di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Pemegang modal itu menjadi ideologi baru
bemama neoliberalisme. Neoiiberalisme dalam pendidikan telah mencarut-marutkan idealisme bangsa dalam dunia pendidikan. Negara mencerdaskan kehidupan bangsa (sesuai amanat pembukaan UUD 1945) mulai teriibas oleh konsekuensi pasar. Penyebabnya, pendidikan kini iaiknya produkyang bisa ditransaksikan. Mau murah atau mahai? Mau berkualitas pendidikan atau seadanya? Perlama, pendidikan murah. Hari glni berharap pendidikan murah? Impian yang sulit diwujudkan. Biaya operasinal pendidikan besar luar biasa, BBM naik mempengaruhi harga-harga, kasus KKN pun semakin membengkakkan pembiayaan. Di satu sisi, Pemerintah malah mengurangi subsidi pendidikan untuk perguruan tinggi tertentu. Alhasil, perguruan tinggi murah tidak ada lagi. Bagaimana tuntutan 20% anggaran APBN untuk pendidikan? Dengan biaya tinggi ini orang miskin semakin terlantar, katakan saja orang miskin dilarang sekolah. Mengapa dilarang? Orang miskin tidak akan mampu membayar pendidikan yang mahai. Padahaljumlah orang miskin semakin banyak. PHK di mana-mana. Lihat carutmarut BIT. Analisis kebijakan pembangunan masa lalu yang dibiayai atas nama hutang luar negeri. Ketika jumlah orang miskin bertambah, kekuasaan makin menjauh. Sulit sekali orang miskin menikmati pendidikan, pelayanan kesehatan, tempat tinggal memadai, dan pekegaan yang layak. Kedua, pendidikan mahai dipengaruhi faktorfaktordi luar pendidikan yang semakin mahai pula. BBM
membubung tinggi. Oieh karena itu, pendidikan mahai seharusnya tidak usah diteriaki histeris karena kualitasnya juga akanditingkatkan. Ketiga, pendidikan berkualitas mesti mahai. Jika ingin berkualitas, cobalah perguruan tingi asing yang menawarkan berbagai paket pendidikan, dual degree atau gelar ganda, twinning program atau kelas kembar, dan iain-lain. Anehnya, sebagian kecil penduduk Indonesia malah berminat pada model seperti ini. Mereka mengejar
kuaiitas.
Untuk kelangsungan hidup, beberapa sekolah atau perguruan tinggi merger. Mereka memilih bermitra dengan pemilik modal. Selain biaya operasinal semakin mahai, bermitra dengan pihak asing daiam upaya memenangkan pasar. Bukankah modal sangat berpengaruh? Modal mungkin akan menutup masaiah operaslonal, tetapi dikte pemodai terhadap lembaga pendidikan semestinya dipikirkan. Jika karena modal, nilai kebenaran dan pemanusiaan manusia seoara utuh teriibas kepentingan industri/bisnis, bagaimana kelanjutan pendidikan Indonesia di masa mendatang. Apakah kita akan menjadi negara boneka yang mudah dipermainkan? Negeri kita akan teijajah kembali bukan oleh Belanda atau Jepang, tetapi'neoiiberalisme, si pemilik modal. Pendidikan merupakan modal dasar membangun bangsa. Pendidikan yang berhasii akan memproses generasi cerdas yang akan memberikan sumbangan untuk kejayaan negaranya.
Masa Depan Pendidikan Pertanyaannya adalah mengapa kita khawatir terhadap pendidikan. Pendidikan akan memengaruhi kuaiitas bangsa. Indonesia patut bersedih karena secara kumulatif kita kalah. Berdasarkan data UNESCO, SDM Indonesia berada pada peringkat 114 dan Malaysia pada peringkat61. Satu hal yang patut dicatat, pada 1999 - 2000, Malaysia mengalokaslkan 20 25% pengeluaran ke sektor pendidikan. Sedangkan Indonesia pada tahun anggaran yang sama hanya 6%. Pada tahun 2006 Indonesia hanya mengalokaslkan sebesar Rp40,1 triliun (Rp 34,5 friliun.
Oktober 2007
Bunga Rampai
melalui Depdiknas dan Rp 5,6 triliun melalui Departemen Agama). Ini berarti hanya sekitar 10-11 persen dari dana APBN(Rp 375,1 triliun). Menglngat pemblayaan memiliki peran yang besar dalam dunia pendidikan, kita menjadi tersungkur. Gaji guru kecil, fasliitas sekolah tidak memadai, bahkan di beberapa tempat proses pendidikan tIdak memenuhi standarkelayakan. Pendidikan, dl samping kesehatan, adalah hak warga negara yang paling mendasar. Negara harus mengindahkan hal itu secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain, alasan apa pun yang menolak pemenuhan hak warga negara yang satu ini, sebenamya tidak bisa
ditoleransi. Kita tahu Pemerintah berada pada posisi yang sulit dengan berbagai masalah di luar pendidikan, tetapi seberat apa pun masalahnya, pendidikan harus mendapatkan prioritas. Harus dijaga jangan sampai intervensi asing memengaruhi. Beberapa analisis tentang intervensi asing diduga terjadi pada ketidakberhasilan Pemerintah menghindari saran pemerintahan neoliberalisme di Washington. Kepatuhan Indonesia dalam mengikuti saran-saran IMF dalam menyelesaikan krisis ekonomi, misalnya. Malaysia yang tidak mengikuti saran IMF bisa lebih cepat mengatasi krisisnya. Kasus ekonomi ini menjadi. cermin, akibatnya demikian parah, apalagi jika benardalam bidang pendidikan pun kita mengikuti begitu saja saran atau konsep yang dibuat di Washington. Alih-alih, masyarakatberhakkhawatirterhadap kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan yang akan menimbulkan beban lebih berat'di masa yang akan datang. Liberalisasi pendidikan tentu akan melemahkan kualitasbangsa.
AgarOrang Miskinletap Berkualitas Indonesia kini mulai menjadi bangsa 'yang mengekor. Di negeri kita sekolah dan kuliah teramat mahal. Jika semakin mahal, yang bisa mengenyamnya hanyalah masyarakat kelas ekonomi elit. Di samping itu, kemahalan ini juga kurang dikontrol dengan jaminan pendidikan yang berkualitas lahirdan batin. Di atas kertas, bangsa kita semakin maju dengan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari. Akan tetapi, di atas nurani, apakah keberhasilan ini diikuti oleh kematangan nurani? Kematangan untuk menjadi bangsa mandiri, bukan menjadi bangsa kuli dari bangsa lain. Kematangan untuk memperhatikan bangsa Indonesia seutuhnya. M.embentuk insan yang peduli bangsa. Pendidikan murah berkualitas mesti disejajarkan untuk menjadi penyelaras. Sekian juta orang miskin harus diberi kesempatan untuk meneguk pendidikan, entah dalam pendidikan formal atau pun informal. Intinya, pendidikan yang mengubah sikap manusia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, kesadaran ini semestinya dimulai oleh kaum inteiek yang lebih dulu mendapatkan pencerahan oleh pendidikan lewat suara jiwa untuk melakukan perubahan. Kaum inteiek semestinya mendampingi orang miskin supaya tetap berkualitas, menuntun mereka menjadi manusia unggul yang tidak bergantung dan mandiri. Mulailah dengan membuka hati, merasakan kebutuhan (need) masyarakat sekitarnya, dan mampu menanggapi bisikan nuraninya [conscience] untuk berbuat yang terbaik dengan memanfaatkan bakat [talent] yangdimilikinya. Adapun aplikasinya berupa sikap proaktif terhadap masyarakat dengan mengadakan peiatihan, pendampingan, dan Iain-Iain dengan wujud sebagai
berikut. Pertama, member] keteladanan [modeling). Masyarakat mesti dikuatkan kepercayaannya terhadap pendidikan. Kedua, menjadi perintis jalan [pathfinding). Caranya dengan memberikan arahan kepada masyarakat, dimulai dari diri sendiri, kemudian mengilhami orang lain untuk melakukan hal yang sama. Itulah sebabnya, peran perintisan ini akan mampu menciptakan visi dan nilai-nilai bersama sebagai arah yang akan menunjukkan jalan
kebenaran. Ketiga, menyelaraskan [aligning). Mendisiplinkan masyarakat untuk membangun sekaligus memelihara sebuah sistem, proses, atau mekanisme agar tetap mengarah kepada tujuan organisasi yang telah
ditentukan. Keempat, memberdayakan [empowering). Membantu masyarakat menggali dan mengembangkan potensi dirinya. Masyakaratperlu diberdayakan untukmandiri. Generasi. unggul dimulai dengan pendidikan. Dari pendidikan yang baik akan melahirkan generasi yang terdidlkyang mampu berlogika dan berpegangteguh pada
nilai-nilai hakiki. Pendidikan itu memanusiakan manusia.
Sukami, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas NegerlYogyakarta.