6 minute read

CERPEN

Next Article
BINAROHANI

BINAROHANI

Teromp et

Oleh PITRI MARIANA

Advertisement

"TERIMA kasih ya. Allah ..." kutatap lembaran lusiih itu. Satu bulan aku beijuang imtuk mendapatkan yang disebut rupiah ini, tiga minggu proses pembuatan, dan seminggu untuk menjajakannya ke pembeli. "Tferompetnya, Pak, Bang, Mas, Dik, terompetnya?" kusodorkan kertas berwama emas itu ke orang yang berlalulalang. Had ini terompetku belum satu pun laku teijual. Matahan telah mulai terbenam. Oh ya. Ini had ketiga aku jualan. Itu artinya, sisa empat had lagi waktuku, hingga tanggal 1 Januad 2008. "Duh, Gusti. Piye ikil" aku mengelap kedngatku yang bercucuran. Terompet yang beijumlah 150 ini bam berkurang 10%-nya. Kalau tidak laku, boro-boro untung, nombok modal saja ddak.

Aku menghela napas dalam. Sementara itu, kawasan bimderan kampus mulai sepi. Mungkin karena magdb te lah datang. Azan dad masjid kampus pun menggema, menyerukan panggilan untuk menimaikan pedntah-Nya kepa-

da semua umat muslim. "Pak, aku titip terompetku ya, mau shalat dulu," aku menghampid pak Tomang, penjual terompet yang ada di dekatku. Bapak yang berasal dad Solo itu sama dengan aku. ia telah jualan terompet di kawasan bunderan kam pus ini selama tiga had. Ia mengangguk. "Terima kasih ya, Pak," ucapku seraya meninggalkan pak Tomang.

Aku percaya saja menitipkan jualanku ke pak Tomang karena kami sudah biasa bergantian saling menjaga terompet-terompet simbol tahun bam itu kalau salah satu ada keperluan.

Kutatap bintang-bintang yang bertaburan. Malam ini alam lebih bersahabat, tidak hujan seperti biasanya. Bulan pim bersinar terang. Sayangnya, hatiku tak sebenderang malam itu, 12 September 2007 lalu, ketika gempa mengguncang kota kelahiranku, Bengkulu. Akibatnya, mmahku ambruk. Hingga saat ini bapak, emak. adikku masih tinggal di tenda. Rumah impian penghias masa kecilku itu sekarang tinggal kenangan. Puing-puingnya pun masih berserakan ketika aku pulang lebaran Idul Fitd lalu. "Ya Allah, ,„ terkadang aku tak percaya dengan apa yang telah teijadi," embun menetes mengalir perlahan di wajahku. "Mbak ...!" suara itu mengagetkanku. Aku tersenyum melihat bapak-bapak yang menghampidku. "Pilih yang mana, Pak?" tanyaku ramah. Dua gadis kecil menghampid ba pak itu. "Esha mau yang itu, Pak!" ia menunjuk terompet berbentuk naga. "Icha mau yang itu juga, Pak!" rengek gadis kecil satunya. Secercah harapan menghampid hatiku. "Yang ini. Dik?" tanyaku lembut. Bocah itu mengang guk. Aku membedkan dua terompet berbentuk naga kepa-

da mereka. "Berapa, Mbak?" tanya bapak itu tanpa sempat membe dkan saran kepada anak-anaknya karena bocah-bocah kedl itu telah asyik meniup terompet bam mereka. "Satunya sepuluh dbu, Pak," jawabku. Bapak itu menyodorkan uang dua puluh dbuan. "Terima kasih ya, Pak," ucapku. Had ini sumdngah karena mendapat rezeki. "Thank you, Allah," syukurku. Semangatku kembali berkobar, setidaknya Allah masih membedkan rezeki untukku. Meskipun rumah impian masa kecilku sudah tiada. Aku ter

senyum. "Senangnya, Mbak. dapat rezeki. Lads nih," guyon pak Tomang sambil melihatku. "Ya, Pak." jawabku bahagia. "Had ini sudah berapa te rompet yang teijual, Pak?" tanyaku kepada pak Tomang.

Laki-laki yang logat Jawanya medhok itu mencoba menghitung-hitung. "Baru sepuluh. Mbak." ucapnya merendah. "Wah, lumayan tuh, Pak. Kalau yang laku harga 10 dbu

saingi dengan adanya pak Tomang yang berjualan di dekatku. Bagiku hidup harus sportif! "Kalau Mbak Shopi sendiri terompetnya pasti sudah laku 20 lebih ya?" pak Tomang benisaha menebak-nebak.

Spontan aku menggeleng. "Belum sebanyak itu kok, Pak," kaiena seingatku terakhir aku menghitung uang di sakuku baru ada 50 ribu. Percakapanku dengan pak Tomang hams terhenti karena ada yang membeli terompet pak To mang dan terompetku juga.

Malam pun makin lamt. Jam 10 malam aku hams segera pulang karena bapak kosku hanya menoleransi waktu maksimal jam 10. Aku pun hams patuh agar tetap bisa tinggal di kosku di Jl. Kaliurang km 5. Masalahnya, kosku mempakan kos termurah yang pemah kutemukan di Yogya. Lima puluh ribu per bulan, sudah dengan listrik dan lainnya. Ya. walaupun cuma berukuran 2x3 dan berdinding seadanya.

"Ya, Pak, insya Allah tanggal 2 uangnya Shopi transfer. Tapi, belum sekarang yo, Pak," pintaku setengah merengek. Kutatap terompet-terompet yang tergantung menumpuk. Hari ini terakhir aku bisa beijualan karena besok sudah tanggal 1 Januari. Kutargetkan nanti malam adalah pimcak

penjualannya. "Idak apo-apo kan, Pak?" tanyaku. Thk ada jawaban dari Sana. "Pak, ,„?" aku terisak. Jujur, aku sendiri takut kalau terompet-terompet itu tak habis. Terdengar helaan nafas bapak. "Yo. dak papa, Nak, bapak cuma bingung, adikmu Shela temyata sudah nunggak SPP sekolah-nyo tiga bulan. Kalau dak dibayar segera, dak tahu cakmano nasib Shela," suara bapak berat. "Yo, Pak. wa'alaikumsalam," aku menutup telpon da ri bapak. Kalau nasib berkata lain, maka HP jadul ini yang terpaksa kugadaikan. Bagaimanapun, aku hams mengembalikan uang bapak yang kupinjam buat modal jualan te rompet. Yah. enam ratus ribu mungkin tak ada artinya bu at pejabat, ningrat. Beda halnya dengan keluargaku yang

habis terkena musibah. "Tferompetnya, Mas, Mbak, terompet! Terompet!" aku berkicau sebisa mungkin mencoba menarik peiiiatian pem-

beli.

Malam ini bunderan kampus ramai, meskipun sedikit mendung. Muda-mudi lalu-lalang, ada yang pakai motor, mobil, dan ada yang cuma jalan kaki. Aku sendiri kurang tahu, ke mana tujuan mereka. Yang pasti, mereka terns berkutat di sini. Menikmati makanan yang banyak dijajakan, sup buah, wedangjahe, batagor, dan makanan lainnya.

Malam itu pun aku minta kompensasi kepada bapak kos agar diizinkan berjualan sampai jam 1 malam. Tidak baik memang untuk gadis sepertiku keluar sampai selamt itu. ke sepasang kekasih yang lewat. Mereka menggeleng. "Te

rompet! Terompet! Sayang anak, pacar, istri, suami, adik. Tferompet! Terompet!" "Tbrompetnya satu, Mbak!" sem seseorang. Dengan semangat kuberikan satu terompet kepada pemuda itu. "Ini. Mas Aldi???" Aku mengenali pemuda yang membeli terompetku, ia sahabatku waktu SMA. "Kamu Aldi kan?" Ia tersenyum mengangguk. "Kamu dijogja juga to?" tanyaku kemudian. Aldi kembali mengangguk. "Kamu itu keren yo, Shop!" kata Aldi. Pujian itu melambungkanku sekaligus menyedihkan untukku. Kalau bukan

karena masalah ekonomi, aku tak akan melakukan ini. Bahkan, mungkin saat ini aku bisa khidmat di kos, bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya. Bukannya harus berkeliaran di luaran, apalagi untuk gadis berkerudung seperti aku. "Woi! Kok malah diam!" ucap Aldi. "Mikirin aku ya?" godanya seraya tertawa renyah.

Aku tersipu, "Kamu bisa saja! Teman-temanmu?" tanya ku melihat genk yang duduk di belakang sana. "Yups ... terompetmu ada berapa lagi?" Aldi mengalih-

kan pembicaraan.

Aku menoleh ke terompetku yang terlupa. "Yo 20-an lagilah, lumayan sudah mau habis," jawabku pelan. "Pren, sini!" Aldi memanggil genk-nya. "Pada cari terom pet kan? Beli di sini saja!" Aldi menyodorkan terompet ke pada mereka satu per satu. Meskipun terkesan memaksa, namun teman-teman Aldi tak ada yang menolak. "Thanks ya. Al," ucapku lirih, sedih, haru. Bertemu de ngan teman sepeijuangan waktu SMA dulu adalah surprise tersendiri buatku. Ditambah dengan bantuan Aldi untuk menjualkan terompetku kepada teman-temannya. Sungguh anugerah yang luar biasa.

Kini hanya tersisa satu terompet yang tergantung di bambu pengikat. Aku mengambil terompet itu, lantas meniupnya perlahan, perlahan, lalu semakin keras. Bersamaan itu, sebuah kembang api raksasa meluncur jauh ke atas, seakan menukik ke awan, sebelum akhimya membentuk percikan-percikan api yang indah. Disusul kembang-kembang api lainnya yang menandakan saat itu tepat jam 12 malam, lewat satu detik saja sudah memasuki tahun 2008. "Thankyou, Allah!" syukurku. Kurogoh uang lusuh di kantongku. Setidaknya aku mendapatkan untung 300 ribu atas peijuanganku sebulan penuh. Aku mengelap air mataku yang menetes. Seandainya ada emak, bapak, dan Shela di sini. mereka pasti senang menyaksikan meriahnya kem bang api di bunderan kampus, hadir dan larut dalam meri ahnya malam tahun baru 2008. "Happy New Years untuk sahabat-sahabatku yang tertimpa gempa Bengkulu. I love you all."

This article is from: