4 minute read

cerpen

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

gadis Kemenangan

Oleh l aTIF PUNgKa SNIaR

Advertisement

Tapi bagaimanpun kau, aku adalah ayah dari anakanakmu dan kita pernah berjanji, akan bersama sampai maut.

Pernah suatu kali aku bertanya padamu tentang perihal ketakmaukalahanmu itu. Kau hanya menjawab dengan renyah, “aku tak mau kalah denganmu, itu saja.”

Kau pasti menyudahinya dengan jawaban yang sama setiap aku bertanya itu. Setiap kali. Kau membuatku kehilangan selera untuk bertanya lagi kepadamu. akan tetapi lain kali pasti aku akan bertanya lagi tentang hal yang sama. Meskipun jawaban yang kudapatkan tetap ituitu saja. Bibirmu lebar sayang, dan aku tahu dari ibuku itu tanda orang yang banyak cakap. Sepertimu.

*** aku belum terlalu kuat untuk bercerita denganmu, suamiku. Belum. ada sebuah luka yang sangat menyayat di masa laluku. luka yang telah menjadi borok dan kubiarkan enyah ke dalam bagian ingatan yang paling dalam. aku malas untuk menceritakan luka yang aku miliki ini untukmu.

Dulu, dulu sekali saat aku masih mempunyai keluarga. Kami hidup kurang berkecukupan. Hidup berempat, sesuai dengan anjuran pemerintah. Tetapi tetap saja tak cukup untuk hidup sedikit mewah, jadilah kami berempat hidup dengan sangat sederhana. Kami berempat, dua orang tua dan satu kakak lakilaki. Kakak lakilakiku adalah anak emas di keluarga ini. Meskipun hidup kami sederhana, tetapi segala hal yang diinginkan kakakku pasti diusahakan sepenuhnya oleh ayah dan ibuku. Sedangkan aku tak lebih dari anak yang kelahirannya diharapkan setengahsetangah. Segala sesuatu yang aku inginkan selalu setengah hati pula. Jelas aku merasa cemburu, dan jangan mengangap remeh masalah kecemburuan anak kecil. Karena kecemburuan adalah kejahatan anak adam yang paling purba!

“Ibu, dia memakai sandalku,” rengek kakakku, sambil menunjuk ke arahku.

“Heh! Kenapa kau pakai sandal milik kakakmu?” Ibuku tak hanya bertanya tapi juga menghardik. “Cepat lepas!” aku melepaskan sandal milik kakakku, aku diam tak membela diri. aku memakai sendal itu karena aku memang sudah tak punya sandal. Sandal satusatunya yang aku punya sudah putus kemarin. Sekarang aku telanjang kaki lagi. Kakakku menghampiriku dan memukul kepalaku cukup keras, aku menangis meraungraung, ditinggalkan kakak dan ibuku. Suaraku habis, lelah. Berhenti menangis.

Bahkan suatu ketika saat aku kelas dua SMP dan kakakku kelas satu SMa. Kakakku datang bersamaan dengan datangnya dini hari. Menyikap pakaianku, berusaha menyetubuhiku. Ingin merasakan wanita, katanya. aku meronta sejadijadinya berusaha berteriak tapi mulutku disumpal tangannya.

SIaNg ini aku kembali berberdebat denganmu, wanita. Berdebat denganmu selalu membuatku gelenggeleng kepala, kau selalu dengan keras kepalamu, mendebat dan selalu tidak mau kalah. Kau mengumpulkan semua argumen untuk mengalahkan semua ucapanku, lalu seperti biasa kita akhiri perbincangan kita dengan satu kalimat terakhir dariku

Sudahlah, kau memang wanita yang dilahirkan hanya untuk kemenangan.

Kau memang selalu menang wanita, di mana saja, kapan saja, dan untuk apa saja. Keras kepalamu melebihi batu. Bahkan kau pernah berkata padaku bahwa keadaan apa saja tidak akan pernah membuatmu kalah.

“Begitupun dengan kematian?” tanyaku

“Iya!” jawabmu lantang.

“Bukankah kematian adalah akhir dari segala egomu?”

“Kau pikir?”

“Iya, karena saat itu kau berhenti bernafas dan menjadi beku, kedinginan. Kau tidak akan pernah mendebat lagi. apakah kau hendak mendebat malaikat maut? Mendebat Tuhan?!”

“aku tak akan mati.”

“Sekarang kau sedang berargumen, ingin mematahkan analisisku tentang kematian. Kau akan mati dan sudah. Berakhirlah semua tentangmu, tentang suaramu yang lantang itu. Kau akan bisu dalam kematian.”

“lalu ini?” ucapmu seraya melemparkan draf novelmu yang nyaris selesai. “Kau lupa jika aku sekarang menulis?” kau berkata penuh kemenangan.

“Tapi tetap saja kau akan mati.”

“aku akan tetap hidup, di dalam hati para pembacaku, pun jika aku mati lebih dulu darimu, aku yakin aku akan tetap hidup dalam hatimu, bukan begitu sayang?” ucapmu sambil merangkulku manja. lalu seperti biasa kita akhiri perdebatan kecil kita dengan katakata menyerah kalahku.

Sudahlah, kau memang wanita yang dilahirkan hanya untuk kemenangan. ada dua hal yang kutahu tak pernah kau debat dariku. Soal anak kita, dan soal kebutuhanku. Kau selalu menurut tatkala anak kita bangun di tengah malam dan merengek kehausan dan aku memintamu untuk menyusuinya. Kau pasti menurut. atau jika aku pulang larut lalu ingin meminum kopi buatanmu, kau pasti selalu menyediakannya untukku. Kau memang wanitaku yang teramat penurut untuk halhal seperti itu. Namun aku sudah tidak heran saat berdebat denganmu tentang semua hal terkecuali dua hal itu, kau berbalik sangat beringas. Selalu menuntut kemenangan, dan tertawa renyah saat aku mengaku kalah. Kau memang wanita malaikat dan iblis, menyatu jadi wanita yang hitam putih.

wikimedia.org

cerpen

Tak perlu waktu lama lelaki yang sedang terasuki setan paling bejat itu berhasil menggagahiku! Setelah selesai dia mencampakkan aku begitu saja. aku menangis. Menangis paling tangis. Semua berakhir pada kata diam, dan semua berulang pada isak dan tangis.

Sampai suatu waktu aku paham aku selalu dikalahkan karena aku anak gadis. Bagi kedua orang tuaku aku hanya beban. lagipula wajahku tidak begitu cantik untuk mengundang lamaran pemudapemuda kaya. Setahuku aku menyesal pada waktu itu, karena aku dilahirkan sebagai wanita.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Selepas aku tamat SMa Terbuka, aku pergi dari rumah orang tuaku. aku benarbenar pergi, dan tidak berencana untuk kembali. Sampai pada saatnya aku bertemu denganmu, berkata kalau semua keluargaku telah mati. Kita menikah, dikaruniai anak, hidup bahagia denganmu dan aku akan tetap berkata padamu bahwa ketiga anggota keluargaku telah mati, sampai kapan pun.

Cukup masa laluku ini untukku saja. Bukan untukmu apalagi untuk buah hati kita. Biarkan saja aku saja yang menerima pahit. aku hanya ingin kau tak menyepelekan wanita, suamiku. Jangan pernah menyepelekannya. aku suka mendebatmu, karena aku suka katakata terakhirmu jika kau kalah dalam perdebatan yang kita lakukan. aku tersanjung bak ratu yang titahnya selalu dituruti dan yang terpenting aku selalu punya alasan kenapa aku melakukan halhal itu. alasan selalu ingin menang adalah karena aku selalu kalah...

latiF pungkasniar mahasiswa Jurusan bahasa dan sastra indonesia, Fbs, unY

This article is from: