7 minute read

opini

Next Article
Jendela

Jendela

PeRDa aTaUKaH KeBaNggaaN BeRBaHaSa JaWa?

Oleh SUDaRYaNTO, S.Pd

Advertisement

Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah akan membentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Bahasa, Sastra, dan aksara Jawa menarik untuk dicermati. Peraturan tersebut dibentuk karena ditengarai bahwa keberlangsungan bahasa Jawa kini kian terancam punah. Namun, di sisi lain, ada pula kekhawatiran Perda Bahasa Jawa itu hanya menjadi macan ompong. apakah Perda atau kebanggaan berbahasa Jawa yang seharusnya kita butuhkan?

Prof Dr Suwarna, pakar ilmu pembelajaran bahasa Jawa UNY, dalam sebuah kuliah yang diikuti oleh penulis, menyatakan optimismenya bahasa Jawa tidak akan punah. Sebab, katanya, bahasa Jawa akan tetap eksis selama penuturnya masih menggunakannya. Muncul pertanyaan di benak ini: apakah bahasa Jawa akan tetap eksis, meskipun di kalangan generasi muda saat ini rasa kebanggaan berbahasa Jawa (dengan beragam dialeknya) sudah hilang?

Memang diakui, beberapa pelawak di televisi, seperti Cici Tegal dan Parto OVJ (dulu Parto Patrio) sebagai orang yang mempopulerkan bahasa Jawa dialek Ngapak. Belum lagi acara TV lokal, Jogja TV yang memiliki siaran Enyong Siaran pada pukul 21.3022.00 wib yang dipandu oleh Mbekayu Rahma dan Intan. Sebagai orang Yogya, penulis tergelakgelak menyimak banyolan dari Cici Tegal dan Parto, juga siaran Enyong Siaran yang terasa unik tersebut.

Kebanggaan Berbahasa

Dalam kepustakaan sosiolinguistik, apa yang dipopulerkan oleh Cici Tegal dan Parto, juga acara Enyong Siaran dapat disebut sebagai kebanggaan berbahasa (linguistic pride). Mereka bangga dapat berbahasa Jawa dialek Ngapak atau dialek Banyumasan. Dan, karena kebanggaan itulah akhirnya mereka menjadi berbeda dan unik dari yang lainnya. Dalam grup Patrio, hanya Parto dan akrilah yang memiliki keunikan bertutur ucap dengan dialek Jawa dan Betawi.

Sementara itu, dalam grup lawak Srimulat, kita kenal pelawak asmuni, Kadir, dan Nurbuat yang selalu berbahasa Jawa dialek Surabaya dan Madura. Mereka pun akhirnya menjadi sosok pelawak yang unik. Materi lawakan mereka di panggung terasa segar dan unik pula. Sungguh berbeda dengan para pelawak saat ini. Umumnya para pelawak saat ini hanya mengandalkan guyonan fisik dan sosok “lakilaki yang feminim”, jauh dari unsur olahbahasa dan olahbudaya.

Deskripsi dunia lawak di atas, penulis ibaratkan seumpama cermin yang memantulkan pada deskripsi kehidupan saat ini. Bahasa Jawa kini mulai ditinggalkan oleh para penuturnya. Menyimak hasil riset Handono (2011) pada penggunaan bahasa Jawa di lingkungan keluarga muda di Kota Semarang, justru ironisme bahasa Jawa yang muncul. Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbahasa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia.

Hasil riset lainnya, misalnya, Marmanto (2010) ternyata menemukan adanya kesenjangan antara usaha pelestarian bahasa Jawa dan tujuan pelestariannya. Tujuan pelestarian bahasa Jawa, urai Marmanto, ialah menjaga kelangsungan hidup bahasa Jawa dari generasi ke generasi. Namun ironisnya, usaha pelestarian bahasa Jawa masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain, harapan dan persoalan tentang bahasa Jawa masih terdapat jurang besar.

Di lingkup sekolah, bahasa Indonesia dipilih dan digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ketimbang bahasa Jawa. guruguru bahasa Jawa nyaris kurang tertarik untuk berpikir bagaimana cara membuat para siswa jatuh cinta pada bahasa Jawa. akibatnya, para siswa kurang memiliki kebanggaan berbahasa Jawa. akibatnya pula, mereka tidak me

Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbahasa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia.

miliki nilai penghormatan dan kesantunan terhadap para gurunya.

Beberapa Pandangan

Kembali ke soal Pemprov Jateng yang berencana menyusun Perda Bahasa Jawa. Usulan publik agar pemerintah daerah menyusun peraturan daerah yang dapat melindungi keberlangsungan bahasa Jawa sudah sering dilontarkan. Paling tidak, melalui Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta (tahun 2001) dan Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang (tahun 2006), ide penyusunan Perda Bahasa Jawa telah dimunculkan. Tentu saja, ada prokontra terhadap ide tersebut.

Penulis tidak ingin terjebak pada situasi prokontra. Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan beberapa pandangan. Pertama, Pemprov Jateng—juga Pemprov DIY dan Jatim—tidak sekadar memiliki langkah penyusunan Perda Bahasa Jawa semata. lebih dari itu, pihak pemerintah daerah harus menyusun langkahlangkah yang konstruktif. Misalnya, melakukan penyediaan bahan bacaan berbahasa Jawa untuk para siswa dan guru di perpustakaan sekolah.

Di samping itu, pemerintah daerah perlu mendanai penerbitan bacaanbacaan berupa geguritan, macapat, cerita cekak, naskah drama, hingga novel berbahasa Jawa, selain juga memberikan penghargaan bagi para penulis sastra Jawa. Meminjam pepatah, hidup sastra Jawa dan para penggiatnya saat ini bagaikan hidup segan mati tak mau. Mereka seolah tergusur oleh kondisi, dan memilih menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia.

Kedua, pihak Pemprov Jateng—juga Pemprov DIY dan Jatim—dapat menyosialisasikan dan mendorong masyarakat penutur bahasa Jawa untuk kembali gemar berbahasa Jawa. Dalam hal ini, peran kedua orangtua dikatakan penting. Melalui kedua orangtua, anakanak akan belajar menggunakan bahasa Jawa secara baik dan santun. Dengan begitu, anakanak juga akan belajar tentang kesantunan berbahasa dan sikap menghormati orangtuanya.

Di balik penggunaan bahasa Jawa (atau bahasa lokal lainnya), tersimpan nilainilai luhur, seperti kesantunan dan penghormatan. Misalnya, penggunaan kata makan dalam bahasa Jawa ada beberapa varian, seperti mangan, dahar, dan nedho. Jika berdialog dengan orang yang lebih tua, kata dahar dianggap lebih sopan dan tepat. Sebaliknya, jika berdialog dengan orang yang sebaya atau anakanak, kata mangan atau nedho dianggap lebih tepat. akhirnya, kita ikat sebuah kesimpulan: bahwa berbahasa Jawa tidak sekadar sebagai proses komunikasi, tetapi juga proses transfer nilainilai dan kearifan lokal, seperti kesantunan, penghormatan, dan kebanggaan. Untuk itu, Pemprov Jateng tidak cukup menyusun Perda Bahasa Jawa yang mungkin biayanya tidak sedikit. alangkah bijaknya jika Pemprov Jateng mengimbanginya dengan langkahlangkah yang telah diusulkan di atas. Mudahmudahan.

opini

istimewa

sudarYanto, s.pd mahasiswa s2 linguistik terapan unY

opini

BUNg HaTTa DaN KeTeRaMPIlaN MeNUlIS MaHaSISWa

Oleh HeNDRa SUgIaNTORO

Mohammad Hatta atau kerap dipanggil Bung Hatta adalah wakil presiden pertama Republik Indonesia. Hampir menjadi pengetahuan umum, tulisan pertama Bung Hatta berjudul “Namaku Hindania!”. Tulisan itu dimuat di majalah Jong Sumatera sekitar tahun 1920. Beberapa catatan sejarah menyebut demikian, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ditelusuri lebih lanjut. Banyak tulisantulisan yang telah digoreskan Bung Hatta.

Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta memasuki organisasi indische Vereeniging— yang kemudian berubah nama menjadi indonesische Vereeniging, lalu berubah lagi namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam organisasi itu, Bung Hatta menumpahkan pemikiranpemikirannya. Tulisan berjudul “De Economische Positie van den indonesischen Grondverhuurder” (“Kedudukan ekonomi Para Penyewa Tanah Orang Indonesia”) dan “Eenige aantekeningen Betreffende de Grondhuurordonnantie in indonesi” (“Beberapa Catatan tentang Ordonansi Penyewaan Tanah di Indonesia”) dikatakan Bung Hatta merupakan dua tulisan ilmiah pertamanya yang dipublikasikan di Hindia Poetra. Berikut pengakuan Bung Hatta, “Itulah permulaan aku membuat tulisan ilmiah, tulisanku pertama dalam Hindia Poetra. Sekalipun pengetahuanku belum banyak tentang ekonomi, aku berusaha sedapatdapatnya buah tanganku berdasarkan ilmiah.”

Dilihat dari penuturan Bung Hatta, beliau memang berjuang serius menyelesaikan dua tulisan di atas. Topik penyewaan tanah yang diambil Bung Hatta memang sedang menjadi isu hangat di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia) ketika itu. Bung Hatta berkata, “lama juga waktu yang kupergunakan untuk mengarang dua karangan (itu). Kalau aku tak salah, kirakira enam bulan. Sambil belajar aku mengarang dan sedapatdapatnya membaca pula buku yang dapat aku pergunakan sebagai bahan atau dasar.” enam bulan, kata Bung Hatta, untuk menyelesaikan dua tulisan di atas. Bung Hatta memang membuat dua tulisan itu tak mainmain. Banyak buku yang digunakan sebagai rujukan, salah satunya buku karya e von Bohm Bawerk berjudul Kapital und Kapitalzins (modal dan Bunga modal). Dengan menulis disertai membaca berbagai literatur, Bung Hatta belajar banyak hal. Dua tulisan itu menjadi spirit Bung Hatta menghasilkan tulisan lebih lanjut. “lambat laun itu menjadi kebiasaanku. aku memperoleh dasar ilmiah bagi buah tanganku dan pengetahuanku bertambah dalam dan luas,” tutur Bung Hatta.

Dari paparan tentang Bung Hatta di atas, kita bisa mengkaitkannya dengan keharusan bagi mahasiswa mempublikasikan makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan setelah agustus 2012. Ketentuan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat suratnya Nomor 152/e/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 itu masih memunculkan polemik hingga kini. Terlepas dari pro dan kontra

Tulisan berjudul “De economische Positie van den Indonesischen grondverhuurder” (“Kedudukan ekonomi Para Penyewa Tanah Orang Indonesia”) dan “eenige aantekeningen Betreffende de grondhuurordonnantie in Indonesi” (“Beberapa Catatan tentang Ordonansi Penyewaan Tanah di Indonesia”) dikatakan Bung Hatta merupakan dua tulisan ilmiah pertamanya yang dipublikasikan di Hindia Poetra.

opini

terkait kebijakan tersebut, menulis ilmiah dan publikasi sebagai bagian dari tradisi intelektual sebenarnya memang perlu dilakukan. Tradisi tersebut perlu dimiliki oleh seluruh akademisi yang berada di perguruan tinggi. Karya ilmiah, kata Prof. Dr. T. Jacob (2001), adalah anak otak seorang akademikus. Menulis sebagai bagian dari komunikasi ilmiah perlu digalakkan untuk memajukan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Tidak sekadar tuntutan kelulusan, menulis ilmiah merupakan bagian dari pertanggungjawaban akademik. Segala ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa di perguruan tinggi tentu perlu disebarluaskan bagi kemajuan masyarakat. lewat menulis ilmiah, dialektika keilmuan dimungkinkan terjadi. Maka, mahasiswa perlu membangun kesadaran untuk menempa dan melatih dirinya agar memiliki kemampuan menulis ilmiah. Sebagaimana dilakukan Bung Hatta, menulis ilmiah adalah sebentuk perjuangan tersendiri.

Dalam hal ini, keterampilan menulis ilmiah selayaknya dimiliki oleh mahasiswa. Mahasiswa harus tertantang untuk memiliki keterampilan tersebut bagi pengembangan keilmuannya. Di sisi lain, pihak universitas, terutama pihak jurusan atau fakultas, juga bertanggung jawab mengasah keterampilan menulis mahasiswa. Keterampilan menulis sebagai bagian dari keterampilan berbahasa memang telah dilakukan sejak jenjang pendidikan dasar. Namun, keterampilan menulis bagi mahasiswa, ujar eti Nurhayati (2011), bukanlah urusan sederhana menuliskan bahasa ke dalam lambang tulisan seperti anakanak pada awal masa belajar.

Keterampilan menulis bagi mahasiswa perlu diasah dan dilatih secara berkesinambungan. Hal ini juga mengingat banyaknya opini yang mengatakan bahwa tradisi menulis di kalangan mahasiswa masih relatif rendah. Mahasiswa perlu terusmenerus diberi inspirasi, motivasi, dan apresiasi dalam menulis ilmiah. Bahkan, ruangruang publikasi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi untuk mahasiswanya perlu diperbanyak. Nulla dies sine linea.

Hendra sugiantoro mahasiswa bimbingan dan konseling Fkip universitas pgri

This article is from: