opini Perda Ataukah Kebanggaan Berbahasa Jawa? O l e h S uda rya nto, S . Pd
R
encana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah akan membentuk Pera turan Daerah (Perda) tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa menarik un tuk dicermati. Peraturan tersebut dibentuk ka rena ditengarai bahwa keberlangsungan baha sa Jawa kini kian terancam punah. Namun, di sisi lain, ada pula kekhawatiran Perda Bahasa Jawa itu hanya menjadi macan ompong. Apa kah Perda atau kebanggaan berbahasa Jawa yang seharusnya kita butuhkan? Prof Dr Suwarna, pakar ilmu pembelajaran bahasa Jawa UNY, dalam sebuah kuliah yang diikuti oleh penulis, menyatakan optimismenya bahasa Jawa tidak akan punah. Sebab, katanya, bahasa Jawa akan tetap eksis selama penutur nya masih menggunakannya. Muncul pertan yaan di benak ini: apakah bahasa Jawa akan te tap eksis, meskipun di kalangan generasi muda saat ini rasa kebanggaan berbahasa Jawa (de ngan beragam dialeknya) sudah hilang? Memang diakui, beberapa pelawak di televi si, seperti Cici Tegal dan Parto OVJ (dulu Parto Patrio) sebagai orang yang mempopulerkan ba hasa Jawa dialek Ngapak. Belum lagi acara TV lokal, Jogja TV yang memiliki siaran Enyong Si aran pada pukul 21.30-22.00 wib yang dipan du oleh Mbekayu Rahma dan Intan. Sebagai orang Yogya, penulis tergelak-gelak menyimak banyolan dari Cici Tegal dan Parto, juga siaran Enyong Siaran yang terasa unik tersebut. Kebanggaan Berbahasa Dalam kepustakaan sosiolinguistik, apa yang dipopulerkan oleh Cici Tegal dan Parto, juga aca
Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbahasa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia. 32
P ewa r a Din a mik a a GUSTUS 2 0 1 2
ra Enyong Siaran dapat disebut sebagai kebang gaan berbahasa (linguistic pride). Mereka bang ga dapat berbahasa Jawa dialek Ngapak atau dialek Banyumasan. Dan, karena kebanggaan itulah akhirnya mereka menjadi berbeda dan unik dari yang lainnya. Dalam grup Patrio, ha nya Parto dan Akri-lah yang memiliki keunikan bertutur ucap dengan dialek Jawa dan Betawi. Sementara itu, dalam grup lawak Srimulat, kita kenal pelawak Asmuni, Kadir, dan Nur buatyang selalu berbahasa Jawa dialek Suraba ya dan Madura. Mereka pun akhirnya menjadi sosok pelawak yang unik. Materi lawakan me reka di panggung terasa segar dan unik pula. Sungguh berbeda dengan para pelawak saat ini. Umumnya para pelawak saat ini hanya meng andalkan guyonan fisik dan sosok “laki-laki yang feminim”, jauh dari unsur olah-bahasa dan olah-budaya. Deskripsi dunia lawak di atas, penulis ibarat kan seumpama cermin yang memantulkan pa da deskripsi kehidupan saat ini. Bahasa Jawa kini mulai ditinggalkan oleh para penuturnya. Menyimak hasil riset Handono (2011) pada penggunaan bahasa Jawa di lingkungan keluar ga muda di Kota Semarang, justru ironisme ba hasa Jawa yang muncul. Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbaha sa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia. Hasil riset lainnya, misalnya, Marmanto (2010) ternyata menemukan adanya kesenjang an antara usaha pelestarian bahasa Jawa dan tujuan pelestariannya. Tujuan pelestarian ba hasa Jawa, urai Marmanto, ialah menjaga ke langsungan hidup bahasa Jawa dari generasi ke generasi. Namun ironisnya, usaha pelestarian bahasa Jawa masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain, harapan dan persoalan ten tang bahasa Jawa masih terdapat jurang besar. Di lingkup sekolah, bahasa Indonesia dipilih dan digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ketimbang bahasa Jawa. Guru-guru bahasa Jawa nyaris kurang tertarik untuk berpikir bagaimana cara membuat para siswa jatuh cinta pada bahasa Jawa. Akibatnya, para siswa kurang memiliki kebanggaan ber bahasa Jawa. Akibatnya pula, mereka tidak me