Pewara Dinamika Agustus 2012

Page 34

opini Perda Ataukah Kebanggaan Berbahasa Jawa? O l e h S uda rya nto, S . Pd

R

encana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah akan membentuk Pera­ turan Daerah (Perda) tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa menarik un­ tuk dicermati. Peraturan tersebut dibentuk ka­ rena ditengarai bahwa keberlangsungan baha­ sa Jawa kini kian terancam punah. Namun, di sisi lain, ada pula kekhawatiran Perda Bahasa Jawa itu hanya menjadi macan ompong. Apa­ kah Perda atau kebanggaan berbahasa Jawa yang seharusnya kita butuhkan? Prof Dr Suwarna, pakar ilmu pembelajaran bahasa Jawa UNY, dalam sebuah kuliah yang diikuti oleh penulis, menyatakan optimismenya­ bahasa Jawa tidak akan punah. Sebab, kata­nya, bahasa Jawa akan tetap eksis selama penutur­ nya masih menggunakannya. Muncul pertan­ yaan di benak ini: apakah bahasa Jawa akan te­ tap eksis, meskipun di kalangan generasi muda saat ini rasa kebanggaan berbahasa Jawa (de­ ngan beragam dialeknya) sudah hilang? Memang diakui, beberapa pelawak di televi­ si, seperti Cici Tegal dan Parto OVJ (dulu Parto­ Patrio) sebagai orang yang mempopulerkan ba­ hasa Jawa dialek Ngapak. Belum lagi acara TV lokal, Jogja TV yang memiliki siaran Enyong Si­ aran pada pukul 21.30-22.00 wib yang dipan­ du oleh Mbekayu Rahma dan Intan. Sebagai orang Yogya, penulis tergelak-gelak menyimak banyolan dari Cici Tegal dan Parto, juga siaran Enyong Siaran yang terasa unik tersebut. Kebanggaan Berbahasa Dalam kepustakaan sosiolinguistik, apa yang dipopulerkan oleh Cici Tegal dan Parto, juga aca­

Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbahasa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia. 32

P ewa r a Din a mik a a GUSTUS 2 0 1 2

ra Enyong Siaran dapat disebut sebagai kebang­ gaan berbahasa (linguistic pride). Mereka bang­ ga dapat berbahasa Jawa dialek Ngapak atau dialek Banyumasan. Dan, karena kebanggaan itulah akhirnya mereka menjadi berbeda dan unik dari yang lainnya. Dalam grup Patrio, ha­ nya Parto dan Akri-lah yang memiliki keunikan bertutur ucap dengan dialek Jawa dan Betawi. Sementara itu, dalam grup lawak Srimulat, kita kenal pelawak Asmuni, Kadir, dan Nur­ buat­yang selalu berbahasa Jawa dialek Suraba­ ya dan Madura. Mereka pun akhirnya menjadi sosok pelawak yang unik. Materi lawakan me­ re­ka di panggung terasa segar dan unik pula. Sungguh berbeda dengan para pelawak saat ini. Umumnya para pelawak saat ini hanya meng­ an­dalkan guyonan fisik dan sosok “laki-laki yang feminim”, jauh dari unsur olah-bahasa dan olah-budaya. Deskripsi dunia lawak di atas, penulis ibarat­ kan seumpama cermin yang memantulkan pa­ da deskripsi kehidupan saat ini. Bahasa Jawa ki­ni mulai ditinggalkan oleh para penutur­nya. Menyimak hasil riset Handono (2011) pada peng­gunaan bahasa Jawa di lingkungan keluar­ ga muda di Kota Semarang, justru ironisme ba­ hasa Jawa yang muncul. Kata Handono, hanya 26,3 persen keluarga yang masih setia berbaha­ sa Jawa, selebihnya memakai bahasa Indonesia. Hasil riset lainnya, misalnya, Marmanto (2010) ternyata menemukan adanya kesenjang­ an antara usaha pelestarian bahasa Jawa dan tujuan pelestariannya. Tujuan pelestarian ba­ hasa Jawa, urai Marmanto, ialah menjaga ke­ langsungan hidup bahasa Jawa dari generasi ke generasi. Namun ironisnya, usaha pelestarian bahasa Jawa masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain, harapan dan persoalan ten­ tang bahasa Jawa masih terdapat jurang besar. Di lingkup sekolah, bahasa Indonesia dipilih dan digunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ketimbang bahasa Jawa. Guru-guru bahasa Jawa nyaris kurang tertarik untuk berpikir bagaimana cara membuat para siswa jatuh cinta pada bahasa Jawa. Akibatnya, para siswa kurang memiliki kebanggaan ber­ bahasa Jawa. Akibatnya pula, mereka tidak me­


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.