7 minute read

OPINI

Next Article
RESENSI MEDIA

RESENSI MEDIA

BAHASA POLITIK, POLITIK BAHASA

Oleh SUDARYANTO

Advertisement

Tanggal 21 Februari 2011 silam kita peringati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Momentum tersebut sejatinya tidak boleh dilewatkan. Terlebih bagi bangsa Indonesia; suatu bangsa yang memiliki bahasa ibu (bahasa lokal) yang berjumlah ratusan dan tersebar di seluruh Nusantara. Pertanyaannya, apakah bangsa ini memiliki komitmen pada perkembangan bahasa ibu? Bagaimana peran politik bahasa kita?

Di tengah tarik-ulur pembahasan RUUK DIY saat ini, sejatinya persoalan bahasa ibu/lokal telah meng-ada di dalamnya. Namun, pembahasan RUUK DIY selama ini lebih banyak di teropong dari kajian politik. Padahal, mengutip Chilton (via Subagyo, 2009), bahasa terlibat dalam aktivitas politik apapun. Dalam pesta demokrasi seperti Pilpres dan Pilkada, misal, se cara tidak langsung melibatkan bahasa di dalamnya, termasuk bahasa ibu/lokal.

Bahkan, jika kita telisik sejarah kemunculan Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) pada 21 Februari, ternyata tidak jauh dari spektrum “politik”. Momentum HBII muncul dari tragedi wafatnya empat orang mahasiswa Universitas Dhaka dalam mempertahankan bahasa ibunya, bahasa Bengali (kini Bangladesh). Sejak itu, peringatan kemerdekaan bahasa Bengali terus diadakan. Oleh UNESCO lalu ditetapkan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional hingga kini.

Menyimak hal aktual (RUUK DIY) dan historikal (HBII) di atas, seharusnya kita makin mengerti akan satu hal. Bahwa, bahasa ibu/lokal tetap perlu menjadi perhatian kita saat ini. Tegasnya, kita memerlukan adanya political will dan political action terhadap bahasa ibu/lokal. Dengan begitu, sebagai bangsa kita telah mampu memartabatkan bahasa ibu/lokal, dan menyejajarkan bahasa ibu/lokal dengan bahasa nasional dan bahasa internasional.

Namun, situasi kekinian mengabarkan hal lain. Di ruang publik di sudut mana pun, selalu bertabur kosakata asing. Misalnya, istilah “No Smoking in the Room” yang menegaskan bahwa di ruang ini bebas asap rokok. Istilah lainnya, incumbent, download, charge, dsb, juga terbiasa di lidah kita akhir-akhir ini. Padahal, jika kita mau membaca kamus, istilah-istilah asing itu telah memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia.

Di sini, kita akan diuji tentang nasionalisme bahasa: mengapa kita terbiasa bertutur dalam bahasa asing? Benarkah karena kita lebih merasa bergengsi ketika berucap bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia? Jika jawabannya benar, inilah salah satu tanda bahwa nasionalisme bahasa kita kian meranggas. Kita semakin kehilangan identitas ke-indonesia-an, yang salah satunya berwujud bahasa tuturan/ ucapan. Bagaimana bahasa ibu/lokal kita? Sama saja!

Sebagai penutur bahasa Jawa, kita makin jarang menyimak orang-orang berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Seolah bahasa Jawa sirna ditelan waktu. Buktinya, generasi muda saat ini jauh dari budi pekerti, sopan santun, dan penghormatan kepada generasi tua (orangtua, guru, kakek-nenek). Mereka, generasi muda itu, cenderung bersikap cuek, tak peduli, bertutur layaknya orang tak mengenal etika, dsb.

Kiranya, hal yang perlu kita pahami ialah mengapa kesemrawutan etika dan budaya itu terjadi. Mengapa nilai-nilai lokal yang tersimpan di dalam mutiara bahasa seolah sirna? Ke manakah pendidikan dan pendidik bahasa ibu/ lokal itu berjalan? Menyikapi hal itu, kurang bijak jika kita menyalahkan orang lain yang mungkin memiliki kesalahan pula. Untuk itu, kini saatnya kita becermin-diri dan berbuat halhal yang bervisi perbaikan dan pengembangan bahasa ibu/lokal.

Pertama, bagi pihak keluarga. Ibarat kata, keluarga ialah fondasi sebuah bangunan. Maka, penguasaan dan pembiasaan berbahasa ibu/ lokal ditumbuhkan oleh orangtua kepada anak-

Dalam pesta demokrasi seperti Pilpres dan Pilkada, misal, secara tidak langsung melibatkan bahasa di dalamnya, termasuk bahasa ibu/lokal.

opini

Oh, jebule...

...terbalik!

anaknya. Penguasaan dan pembiasaan berbahasa ibu/lokal merupakan suatu fondasi bagi bangunan kebahasaan anak di masa mendatang, selain ditanamkan nilai-nilai lokal seperti sopan santun, hormat kepada orangtua, tanggung jawab, dsb.

Kedua, bagi pihak sekolah/guru. Setelah di lingkup keluarga, penguasaan dan pembiasaan berbahasa ibu/lokal dapat dilakukan di lingkup sekolah. Dalam hal ini, ada empat kompetensi yang harus dicapai oleh siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempatnya saling kait-mengait dan merupakan kompetensi di bidang kebahasaan (bukan sekadar pengetahuan bahasa, melainkan juga praktik berbahasa).

Ketiga, bagi pihak pemerintah daerah (Pemda). Di era otonomi daerah seperti sekarang, sejatinya pihak Pemda berpeluang mengembangkan bahasa ibu/lokal masing-masing. Misalnya, lewat penyelenggaraan lomba pidato bahasa Jawa, Indonesia, Arab, dan Inggris. Selain itu, pengadaan referensi/bahan bacaan yang berbahasa lokal maupun kearifan lokal di perpustakaan sekolah patut diprioritaskan (asalkan bertujuan pada gerak kemajuan daerahnya).

Akhirnya, melalui momentum HBII ini, kita makin tergugah dan berbenah guna memfungsikan bahasa ibu/lokal sebagai bagian dari identitas keindonesiaan kita yang konon mulai hilang. Dengan begitu, politik bahasa kita dapat mengobarkan kecerdasan bangsa, dan terutama, dapat mendukung gerak maju bangsa Indonesia di era global saat ini dan masa depan. Tak ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha. Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional!

SUDARYANTO, S.Pd. peneliti linguistik, penulis buku Menguangkan Ide

KALAM/PEWARA

opini

MAHASISWA DAN FORUM KEPENULISAN

Oleh HENDRA SUGIANTORO

Hampir dalam berbagai kesempatan mengemuka perihal rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi. Hal ini kerapkali memunculkan keprihatinan dan menjadi kegelisahan. Perguruan tinggi yang notabene dihuni kalangan akademisi-intelektual ternyata belum mampu menunjukkan sebuah budaya menulis yang baik. Padahal, menulis merupakan salah satu bagian dari tradisi intelektual yang selayaknya dimiliki warga perguruan tinggi. Pertanyaannya, benarkah budaya menulis di perguruan tinggi memang rendah?

Secara kuantitatif, tak ada data konkret mengenai seberapa rendah budaya menulis di perguruan tinggi. Yang perlu diperhatikan, masyarakat perguruan tinggi bukan berarti tidak menulis sama sekali. Dosen dan mahasiswa memiliki tugas akademik, salah satunya menulis. Sebut saja misalnya mahasiswa yang kerapkali mendapatkan tugas menulis makalah dan/ paper terkait mata kuliahnya. Sebagian dosen pun sering menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Dengan mengetahui fakta ini, opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi memang perlu dicermati lebih lanjut. lantas, bagaimana memandang opini rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi?

Memang terdapat aktivitas menulis di perguruan tinggi, namun hal ini lebih dikarenakan tugas akademik. Mahasiswa cenderung menulis hanya memenuhi tuntutan kuliah. Selain tugas kuliah, mahasiswa amat jarang menghasilkan karya tulis. Jika pun ada mahasiswa yang mengikuti lomba karya tulis atau kerapkali muncul di rubrik-rubrik surat kabar, maka boleh dikatakan masih bisa dihitung dengan jari. Mahasiswa memang menulis di surat kabar, tapi hanya berkutat pada nama-nama yang itu-itu saja. Begitu pula mahasiswa yang mengikuti dan tertarik dengan ajang penulisan karya tulis ilmiah hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu. Artinya, tidak seluruh mahasiswa memandang aktivitas menulis sebagai bagian dari tugas pokok mereka.

Bahkan, aktivitas menulis bagi sebagian besar mahasiswa justru menjadi beban. Fatalnya, mahasiswa yang sudah malas menulis malah tak bersedia belajar menulis. Plagiarisme pun menjadi siasat mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas menulisnya. Plagiarisme yang saat ini telah menjadi permasalahan nasional memang berusaha diberantas, namun bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, hampir tidak dimungkinkan bagi dosen memeriksa tugas-tu gas menulis dari sekian banyak mahasiswa. Dalam satu mata kuliah, satu dosen bisa mengajar ratusan mahasiswa berbeda kelas. Malah dimungkinkan satu dosen tidak hanya mangampu satu mata kuliah, bahkan mengajar lebih dari satu fakutas dan/ perguruan tinggi. Pada titik ini, integritas dan kejujuran mahasiswa menjadi hal utama dan penting untuk mengatasi plagiarisme.

Untuk membangun integritas dan kejujuran mahasiswa dalam menulis kiranya penting untuk menciptakan ruang-ruang pembinaan agar mahasiswa memiliki ketrampilan menulis. Upaya membangun budaya menulis di ka langan mahasiswa tidak berhenti pada ceramah dan nasihat, tetapi juga diperlukan ruang pembinaan yang berkesinambungan. Pelatihan-pelatihan kepenulisan yang kerapkali dilaksana kan layak diapresiasi. Yang perlu menjadi catatan, pelatihan-pelatihan kepenulisan tidaklah cukup. Pelatihan kepenulisan yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari belum menjamin mahasiswa memiliki minat dan konsisten mengasah kemampuan menulisnya. Ruang pembinaan berupa forum kepenulisan yang rutin dilaksanakan merupakan strategi tersendiri membangun budaya menulis. Lewat forum kepenulisan, mahasiswa bisa saling belajar dan memotivasi untuk mengasah kemampuan menulis. Dorongan berkarya akan terasa di kalangan mahasiswa dengan adanya forum kepenulisan.

Lewat forum kepenulisan, potensi menulis mahasiswa juga dimungkinkan mengalami ak-

Mahasiswa cenderung menulis hanya memenuhi tuntutan kuliah.

opini

ISTIMEWA

tualisasi. Adanya opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi boleh jadi akibat minimnya ruang-ruang pembinaan. Mahasiswa tidak memiliki pandangan luas terkait dunia kepenulisan. Yang diketahui mahasiswa mungkin hanyalah mengerjakan tugas-tugas menulis kuliahnya. Dengan adanya forum kepenulisan, masing-masing mahasiswa bisa berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman mengenai dunia kepenulisan.

Terkait dengan potensi menulis mahasiswa boleh jadi tidak terbatas. Artinya, mahasiswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa, namun tidak ada ruang untuk mengaktualisasikan potensi itu. Maka, penggalian dan pengembangan potensi menulis tentu tidak sekadar menulis dalam konteks akademik. Mahasiswa memiliki potensi menulis tidak hanya pada ranah kepenulisan ilmiah, tapi juga kepenulisan non-ilmiah. Ranah kepenulisan fiksi juga seyogianya bisa dikembangkan. Potensi-potensi inilah yang menuntut danya ruang pembinaan agar setiap potensi menulis mahasiswa terwadahi dan terorganisasi maksimal. Dengan adanya forum kepenulisan, mahasiswa diarahkan untuk menulis di mana pun sesuai potensinya. Tidak hanya mengikuti lomba-lomba kepenulisan, tapi juga bisa menghasilkan tulisan untuk bisa dikonsumsi publik secara luas. Mahasiswa perlu memiliki kepercayaan diri untuk menghasilkan tulisan sebagai kontrol sosial. Tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswa merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat.

Dengan terpacunya mahasiswa menulis, ide, gagasan, dan pemikirannya tentu bisa terbaca luas. Apalagi bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tulisan-tulisannya sedikit banyak akan bisa mencitrakan kampus ini. Jika kita saksikan, geliat menulis di kalangan mahasiswa cenderung terasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. UNY tentu tidak akan kalah jika mahasiswa-mahasiswanya terus-menerus ditumbuhkan spirit menulis, termasuk dengan adanya ruangruang pembinaan memadai. Mahasiswa UNY tidak hanya berprestasi di ajang kompetisi penulisan karya ilmiah, tapi juga bisa menghasilkan karya tulis lainnya dalam bentuk buku. Begitu membanggakan jika banyak mahasiswa UNY menerbitkan buku-buku yang akan menjadi warisan intelektual. Begitu juga mahasiswa UNY bisa merajai media massa dengan tulisantulisannya yang termuat. Bukankah begitu?

HENDRA SUGIANTORO aktivis Pena Profetik Yogyakarta

ISTIMEWA

This article is from: