9 minute read

opini

Next Article
Jendela

Jendela

iDEALiTA VS rEALiTA MENUJU WCU

Oleh ZAMTiNAh

Advertisement

Mendapatkan predikat World Class University (WCU) bagi Perguruan Tinggi (PT) memang sangat membanggakan dan didambakan oleh para insan akademis, tak terkecuali bagi sivitas akademika UNY. hasrat UNY ini lebih diperkuat lagi melalui berbagai kebijakan dan kegiatan yang bermuara pada terwujudnya perguruan tinggi berkelas dunia, sebagaimana yang disampaikan rektor melalui Pidato Dies UNY ke 46 tahun 2010 yang mengangkat tema “Peran UNY dalam Pengembangan Pendidikan Karakter menuju World Class University”. Namun, untuk mewujudkan PT berkelas dunia tidaklah mudah, harus memenuhi berbagai kriteria. Lalu, apa saja kriterianya, mampukah UNY memenuhi kriteria tersebut? istilah World Class Univeristy mulai dikenal luas di indonesia sejak akhir Januari 2006 ketika Kemendiknas yang kala itu bernama Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) membentuk Tim Gugus Tugas Penetapan 10 PT yang dipersiapkan untuk menjadi universitas kelas dunia (Kukun,2011). Tahun berikutnya, Diknas kembali menyiapkan 50 PT untuk tujuan yang sama; terdiri dari 27 PT negeri dan 23 PT swasta. Dari persiapan tersebut pihak Diknas kemudian mendorong ke50 PT untuk melakukan dialog dengan sejumlah mitra mulai dari tingkat ASEAN hingga ke tingkat dunia, juga menjanjikan akan memberikan fasilitas untuk mengikuti akreditasi internasional (Antara, 2007). Pada tahuntahun berikutnya berbagai PT di indonesia berlombalomba untuk menjadi universitas berskala internasional. WCU tampaknya telah menjadi syarat utama bagi PT di indonesia untuk meningkatkan kualitas agar mampu bersaing dengan PT luar negeri.

WCU tampaknya telah menjadi syarat utama bagi PT di indonesia untuk meningkatkan kualitas agar mampu bersaing dengan PT luar negeri.

Berkaitan dengan metode perankingan PT kelas dunia beberapa kriteria yang umumnya dijadikan sebagai dasar bagi penentuan peringkat adalah sebagai berikut: Ada tidaknya peraih nobel di perguruan tinggi tersebut; Jumlah mahasiswa asing yang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut; Jumlah staf yang bergelar doktor beserta prestasi akademik dan penelitian yang diraihnya, Adanya internet bandwidth connectivity yang baik serta kecepatan aksesnya; Adanya rasio mahasiswadosen yang seimbang serta tingkat selectivity mahasiswa yang baik; Seberapa banyak publication index dari para peneliti di perguruan tinggi tersebut yang dikutip oleh orang lain; Seberapa sering update informasi dari berbagai aktivitas di perguruan tinggi tersebut; Seberapa banyak adaptasi pembelajaran modern dalam proses pembelajarannya; Terdapatnya berbagai sumber keuangan yang mendukung keberlanjutan berbagai aktivitas perguruan tinggi tersebut. Selain itu terdapat pula lembaga yang hanya menggolongkan kriteria kedalam lima item saja, yaitu: Academic reputation, Student selectivity, Faculty resources, Research: citation, papers, publication book, peer reviewed article, funding, graduated student, Financial resources: total spending perstudents, library spending per students.

Realita di UNY

Mengacu pada kriteria WCU serta melihat realita UNY sekarang, memang masih terasa berat, meskipun penulis tetap optimis, melalui perjuangan yang sungguhsungguh dari seluruh sivitas akdemika, suatu saat UNY akan mampu mewujudkan citacitanya sebagai PT kelas dunia. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan UNY untuk menuju WCU (The campus on the move into the World Class University) antara lain: pengiriman dosen untuk mengikuti shortcourse teaching content through English; perintisan MoU dengan PT luar negeri (sampai saat ini tercatat 9 MoU); Pengembangan website WCU; publikasi karya ilmiah bertaraf internasional; pertukaran mahasiswa; pengembangan kurikulum bertaraf internasional; kegiatan ilmiah bertaraf internasional; penyiapan prodi bertaraf internasional; kegiatan studi banding ke beberapa

negara; pengadaan literatur kelas internasional; pelatihan bahasa inggris bagi dosen dan mahasiswa; dan sebagainya (Laporan Dies Natalis UNY ke 46 Tahun 2010).

Dalam hal prestasi mahasiswa, reputasi UNY sangat membanggakan. Berbagai prestasi telah ditorehkan para mahasiswa. Kepercayaan dari berbagai pihak juga telah diberikan kepada UNY, sebut saja dalam Kontes robot indonesia (Kri), setelah sukses sebagai penyelenggara Kri tingkat regional, UNY dipercaya menyelenggarakan event yang lebih besar yaitu Kri tingkat nasional.

Tanpa bermaksud menafikan usahausaha yang telah dilakukan, penulis menilai ada beberapa usaha yang masih bersifat makro. Artinya, kebijakan UNY menuju WCU belum secara langsung menyentuh tataran mikro, misalnya dalam hal proses belajar mengajar. Kita semua menyadari bahwa pada hakekatnya inti kegiatan sebuah institusi pendidikan terletak pada kualitas pembelajarannya. Kualitas pembelajaran di sini misalnya terkait dengan dosen, sarana dan prasarana, fasilitas praktikum, ketersediaan ruang kuliah yang kondusif.

Dilihat dari kualifikasi tenaga pengajar, WCU mensyaratkan minimal 40% berpendidikan S3, saat ini tenaga pengajar UNY yang berpendidikan S3 baru 13% berarti masih kurang 17%. Ditinjau dari dana riset, WCU mensyaratkan tiap dosen sebesar 1.300 dolar AS per tahun atau sekitar 13 juta rupiah tiap dosen. Berdasarkan Lap.Dies Natalis UNY ke46 Tahun 2010, besarnya anggaran penelitian tahun 2009 rp. 10.854.530.000,00. Jumlah dosen UNY 1053 orang, jika diratarata anggaran penelitian tiap dosen sebesar rp. 10.308.196,00. Meskipun jumlah ini belum memenuhi kriteria WCU, namun penulis optimis kriteria ini akan terpenuhi mengingat semangat meneliti sangat tinggi dan selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Yang sangat memprihatinkan bekaitan dengan realita UNY untuk menuju WCU adalah fasilitas pembelajaran, baik yang menyangkut ruang kelas, laboratorium, maupun fasilitas belajar lainnya. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai sekretaris jurusan selama dua periode, tiap awal semester selalu dipusingkan dengan penyusunan jadwal kuliah. hal ini disebabkan karena penambahan jumlah mahasiswa tiap tahun tidak dibarengi dengan penambahan ruang kuliah maupun peralatan praktikum. Pembagian ruang kuliah oleh pihak yang berwenang kadang kurang proporsional, lebihlebih bagi jurusan yang tidak mempunyai keterwakilan pejabat di level fakultas.

Kembali ke masalah fasilitas laboratorium, untuk menuju WCU semestinya sudah mulai dipikirkan peningkatan secara kualitas maupun kuantitas. Contoh konkrit realita yang terjadi di Fakultas Teknik, sebagian peralatan yang digunakan untuk praktikum adalah produk tahun 1975an, secara kuantitas juga sudah berkurang karena rusak dimakan usia. Selama kurun waktu 36 tahun belum ada penambahan alat praktik yang berarti. Padahal zaman sudah berubah, perkembangan teknologi semakin maju dengan pesatnya, bagaimana kondisi ini mampu menghasilkan lulusan yang mampu bersaing di tingkat global?

Berdasarkan pengamatan penulis, dewasa ini UNY masih memprioritaskan pembangunan gedunggedung baru. ini baikbaik saja, asal setelah membangun “wadahnya” segera prioritaskan “isinya”. Setelah selesai pembangunan gedung, segera dipikirkan fasilitas pembelajarannya seperti peralatan praktikum, media pembelajaran, serta fasilitas lainnya.

Akhirnya penulis mohon maaf jika ada halhal yang kurang berkenan. Tulisan ini sebagai sumbang saran dari seorang warga UNY yang sangat mencintai lembaganya dengan sepenuh hati. Semoga citacita UNY menjadi salah satu PT kelas dunia segera terwujud, amien.

opini

istimeWa

ZamtinaH dosen Jurusan pendidikan teknik elektro ft UnY

opini

GUS DUr DAN (hUMOr) POLiTiKNYA

Oleh SUDArYANTO

Judul artikel di atas terinspirasi dari buku tetralogi, Pak Beye dan Politiknya karya Wisnu Nugroho (Mas inu). Seperti sosok Pak Beye yang unik, sosok Gus Dur—tanggal 30 Desember 2010 lalu genap 1 tahun meninggal—pun demikian. Bedanya, Pak Beye peragu, sedangkan Gus Dur pelucu. Apa yang menarik dari humorhumor Gus Dur? Adakah kaitan antara humor Gus Dur dengan perjalanan bangsa ini ke depan?

Bicara tentang humor, tentu bicara tentang Gus Dur. Mantan presiden ri paling mbanyol sejagat ini masih terus membawa kebiasaannya berhumor (guyon) ala pesantren, meskipun telah menjadi kepala negara. “Gus Dur pernah nelpun saya, jauhjauh dari Kuba hanya untuk menceritakan sebuah lelucon,” kata A. Mustofa Bisri (Gus Mus), seorang kiai dan saudagar humor asal rembang, Jawa Tengah itu, tentang sahabatnya ini (Intisari, April 2005).

Suatu ketika, Gus Dur diundang guna menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Antarkepala Negara di havana, Kuba. Di sana, semua kepala negara diberi kesempatan berpidato selama lima menit. Sebagai tanda waktu, panitia menyediakan lampu yang menyala hijau, lalu kuning, dan terakhir merah. Ketika Gus Dur selesai berpidato, semua hadirin memberikan aplaus meriah. Entah karena isi pidatonya, atau karena hal lainnya.

“Mereka tepuk tangan bukan karena isi pidato saya, tetapi mereka kagum saya bisa pidato tepat lima menit. Padahal saya ‘kan enggak bisa melihat,” kata Gus Mus menirukan Gus Dur, sambil terkikihkikih. Tiba giliran Fidel Castro, Gus Dur heran sebab pidato Presiden Kuba itu sangat panjang. Kepada undangan yang duduk di sebelahnya, Gus Dur bertanya, “Apa dia tidak melihat lampu?” Yang ditanya menjawab, “Lampunya ditutupi pakai sapu tangan.”

Piawai dalam melucu

Cerita tersebut menunjukkan betapa Gus Dur cukup piawai dalam hal melucu. ia tak segansegan menertawai (ketidaksempurnaan fisik) dirinya sendiri, sehingga orang lain tak tersinggung. Bahkan, menurut Kh Cholil Bisri, kelucuan Gus Dur merupakan gawan bayi, bawaan sejak lahir. Terlebih, ia tumbuh dalam kultur pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang memang kaya akan humor. rapatrapat mereka pun banyak diwarnai saling ledek dengan kocak.

Budayawan Mohamad Sobary yang juga sahabat Gus Dur pernah berkata, di NU humor menjadi bagian dari kearifan, kritik diri, juga kritik buat orang lain. Makanya, selain bertujuan ketawa, humor juga menjadi alat atau sarana menyampaikan pesan. Mudahnya, humor itu bikin ketawa, lantas masalah apapun selesai. Dengan cara seperti itu, pesan atau nasihat kena, humor pun bisa. Demikian pula humorhumor Gus Dur yang ada selama ini.

Contohnya, saat Gus Dur menghumorkan Pak harto, mantan Presiden ri yang sangat ditakuti (saat itu), tapi sebenarnya juga dibenci rakyat. Suatu kali, cerita Gus Dur, Pak harto terhanyut di sungai dan hampir meninggal. Seorang petani menolongnya dengan ikhlas. Si petani tidak tahu siapa sebenarnya yang dia tolong itu. “Saya ini presiden. Presiden Soeharto. Kamu telah menyelamatkan saya. imbalan apa yang kamu minta?” kata Pak harto.

Dasar si petani kelewat lugu dan ikhlas, ia menjawab singkat, “Pak, saya hanya minta satu hal.” Pak harto bertanya lagi, “Apa itu?” Si petani itu menjawab lagi, “Jangan beri tahu siapa pun bahwa saya yang menolong Bapak.” Tak hanya Pak harto yang dijadikan sebagai sasaran humor oleh Gus Dur. Pak habibie dan Bu Megawati pun dijadikan sasaran humornya. Mungkin inilah kenyelenehan Gus Dur, yang tidak pernah menyangka suatu saat dirinya jadi presiden.

Budayawan Mohamad Sobary yang juga sahabat Gus Dur pernah berkata, di NU humor menjadi bagian dari kearifan, kritik diri, juga kritik buat orang lain.

Sarana kritik diri

Gus Dur pernah bercerita bahwa semua pre

opini

istimeWa

siden ri itu KKN, mulai dari Bung Karno hingga anaknya, Megawati Soekarnoputeri. Bung Karno itu Kanan Kiri Nona, Pak harto itu Kanan Kiri Nabrak, Pak habibie lebih parah lagi, KecilKecil Nekad. Gus Dur sendiri, Kanan Kiri Nuntun. Dan yang terakhir, Bu Megawati itu Kayak Kuda Nil. Kata Gus Dur, ciriciri Kuda Nil itu bertubuh besar, senang berendam, kurang gerak, dan jarang ngomong.

Begitulah, melalui humorhumornya Gus Dur ingin menunjukkan bahwa humor punya banyak segi. ia tak melulu yang sifatnya pornografis atau bahkan membual. humorhumor Gus Dur, pada hemat saya, semacam sarana kritik terhadap diri sendiri. Paling tidak, melalui satudua humor di atas, kecerdasan Gus Dur dalam mengolokolok dirinya sendiri pantas diacungi jempol. Pasalnya, kini tak banyak orang yang mau dan mampu mengakui kekurangan dirinya.

Di zaman yang serba pragmatis dan modern ini, kejujuran mengakui kekurangan diri sendiri semacam cerita usang yang langka. Alihalih kejujuran diri, justru banyak orang—terutama elite politik kita—kini memakai topeng kepalsuan. Fenomena inilah yang disebut oleh Sukardi rinakit (Kompas, 23/11/2010) sebagai “pemiskinan moralitas politik”. Artinya, bidang politik dan lini kehidupan lainnya telah lepas dari kesadaran moral yang murni.

Nah, di sinilah pentingnya diskursus humor humor Gus Dur sebagai pemantik kesadaran politik kita. Bahwa, berpolitik itu adalah kejujuran dan kejujuran itu adalah berintegritas yang kuat. Karena itu, kini saatnya bagi siapa pun yang masih mencintai republik untuk tetap melanjutkan perjuangan Gus Dur dalam mengawal perjalanan bangsa ini, termasuk memunculkan tokoh yang berintegritas kuat. Jangan khawatir, Gus Dur tidak tidur di alam sana.

sUdaRYanto, s.pd. mahasiswa s2 linguistik terapan UnY.

static.inilaH.com

This article is from: