5 minute read
cerpen
Satu hari yang Mendebarkan
Oleh NUrDiNi DYAh i
Advertisement
Seperti hari ini aku hanya bisa menelan ludah saat melewati tempat penyewaan buku ketika dalam perjalanan pulang ke kosku. Biasanya aku selalu mampir dan menyewa sebuah novel yang tentu saja hanya dalam tiga jam selesai kubaca. Sayangnya kebiasaan membaca cepatku ini tak pernah dapat kurealisaasikan dalam membaca bahan untuk menyusun skripsi. hujan masih menitik deras di luar sana. Sepertinya aku masih enggan untuk beraktivitas pagi ini. Dingin yang menggigit membuatku merapatkan selimut hingga pangkal leher.
Tak banyak yang bisa kulakukan jika udara sedang tidak bersahabat seperti ini, bahkan keluar untuk mengisi perut pun terkadang enggan kulakukan. Pandangan mataku menyapu keadaan seisi kamar. Nampak berantakan!
Dengan enggan akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan merapikan selimut yang tidak terbungkus tubuhku. Satu per satu buku yang terbuka akhirnya tersusun rapi di rak samping kasurku.
Mataku sempat melirik agendaku hari ini yang tertempel di papan tulis kecil yang setiap malam selalu kutulis dengan agenda kegiatan baru yang akan kukerjakan keesokan harinya.
Pengajuan judul skripsi jam 11.20!
Seakan tersadar dengan janjiku pada diri hari sendiri bahwa pada ini adalah agenda besar untuk menemui Pak Adi dalam rangka pengajuan judul skripsi. hasil lemburku dua minggu akhirnya telah jadi sebuah proposal dengan perincian dari bab satu sampai dengan bab tiga.
Setelah mandi singkat yang kulakukan sepuluh menit yang lalu akhirnya kuputuskan untuk membuka laptop dan membaca sekilas detail proposal yang akan kuajukan. Kali ini cuaca bukan lagi halangan bagiku. Entah hujan, badai, panas yang membakar atau apapun, masih lebih penting
KULihAT sampulsampul buku yang kumal dan penuh debu di deretan rak perpustakaan universitas. rasanya ingin segera mencari buku yang kumaksud agar tidak lagi berkenaan dengan debudebu yang menyebalkan itu. Debu yang saat kuhirup terasa menyesakkan dada. Namun aku rela berdiri di deretan bukubuku itu hanya demi menyelesaikan sesuatu yang penting dalam perjalanan kuliahku, apalagi kalau bukan karena skripsi.
Aku bahkan rela menbuka lembar demi lembar yang menyisakan aroma buku tua karena ditelan oleh waktu. Untung saja tak ada rayaprayap yang hidup di sana. Sekilas kulirik jam di tanganku. Masih menunjukkan jam kunjungan. Aku harus berburu dengan waktu karena sebentar lagi waktu kunjungan akan segera berakhir.
Mataku semakin lincah menekuni tulisan yang terkandung di dalam lembar buku tua itu. Suasana perpus yang hampir sepi karena jam kunjung hampir habis semakin membuatku panik karena takut terusir oleh waktu yang membatasi. Mungkin salahku juga berkunjung di waktu yang kurang tepat. Mau bagaimana lagi, setiap menit terasa berharga bagiku kini. Apalagi demi mengejar masa kuliah yang selalu menghantuiku tiap waktu. harihariku kini termakan oleh kunjungan ke perpus pusat, studi banding ke perpus fakutas ilmu pendidikan jika ada buku yang sulit kucari di perpus pusat. rasanya benarbenar menjemukan. Terlebih karena aku harus mengubur dalamdalam hasratku untuk membaca novel tentit seperti biasanya. Karena benar saja kebiasaanku ini menjadi sangat mengganggu saat aku ingin serius mengerjakan halaman demi halaman dalam lembar skrisiku.
kalam/pewara
kalam/pewara
cerpen
proposal yang akan kuajukan.
Mulai dari pendahuluan, hingga kerangka berpikir kutanam dalam ruang otakku yang terkadang terkena sindrom lupa akut. Untung saja apa yang aku tulis merupakan buah pikiranku sendiri, jika tidak mungkin aku akan lebih parah lagi terkena imbas lupa dan dosa karena plagiat.
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat lima menit. Secepat kilat aku memakai pakaian yang kurasa pantas untuk menemui dosen penanggungjawab skripsi. Aku tak ingin hariku buruk hanya karena pakaian yang kurang pantas.
Berjalan menaiki tangga kampus menuju lantai tiga terasa cepat. Tibatiba saja aku sudah berada di depan ruang Jurusan Pendidikan Fisika. Nafasku terasa melambat. Oh Tuhan, mengapa tibatiba jantungku berdetak tak menentu dan sekujur tubuhku terasa dingin.
“Mau ketemu siapa, Sher?” tanya Lani teman satu kelasku. ia tengah duduk di kursi yang terletak di depan ruang Kajurdik bersama kakak angkatan.
“Ketemu Pak Adi, Lan,” jawabku agak grogi.
Malu dan takut sendiri Lani tersenyum kemudian berkata,”Ada kok baru aja masuk, kamu masuk aja.”
Aku mengangguk dan tersenyum. Kakiku ini kulangkahkan perlahan menuju pintu di depan kami. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Kacau tak karuan. Seperti es campur mungkin.
Kuhirup udara dalamdalam berusaha untuk setenang mungkin menghadapi kenyataan. Sebentar lagi jerih payahku selama dua minggu akan dipertaruhkan. Pelan tapi pasti kakiku melangkah dan akhirnya tiba di depan meja Pak Adi. Setelah mengucap salam aku pun perlahan menarik kursi dan duduk. Aku berharap masih menemukan sisasisa keberanian di dalam diriku. Nyatanya, hatiku sendiri ragu di mana keberanian yang kupunyai selama ini. Apakah hilang begitu saja ditelam waktu hanya dalam hitungan detik. Aku terus berusaha menenangkan diri dan berkata pada diri sendiri bahwa semua akan baikbaik saja. Mataku tak berani menatap retina mata Pak Adi. Pria paruh baya itu merupakan dosen yang dipercaya sebagai penanggungjawab skripsi di Jurusan Pendidikan Fisika.
“Saya mau ngajuin proposal skripsi, Pak,” ucapku lirih tapi masih dapat terdengar hingga ke telinga Pak Adi.
Kusodorkan print out proposal pengajuan pada dosenku itu. Setelah membaca beberapa menit, kemudian ia mengajukan pertanyaan mengenai penelitian yang akan kulakukan.
“Begini, Pak ...” akhirnya aku menjelaskan apa yang ditanya oleh Pak Adi. Untunglah sindrom lupaku seolah hilang entah ke mana hari ini.
Ada guratan lelah di wajah dosenku itu, namun rupanya ia tetap berusaha untuk profesional. Mungkin bukan hanya aku saja yang datang hari ini ke meja Pak Adi untuk konsultasi skripsi. Tak terbayangkan bagaimana lelahnya ia saat ini.
Perlahan kecemasanku mulai reda. Satu demi satu derajat keberanianku mulai beranjak naik. hawa dingin yang sejak tadi merajai tubuhku seolah tersingkir dengan sendirinya. Bayangkan menjelmanya proposal skripsi menjadi monster ternyata tak terwujud. Mungkin itu hanya fantasi atas ketakutanku pada pertemuan ini. Ada sedikit waswas namun kini aku bisa mengontrol diri dari monster bernama proposal skripsi.
“Lebih baik kamu memberikan perlakuan secara langsung terhadap siswa, baru dicari korelasinya,” usul Pak Adi setelah perenungan singkat yang tadi ia lakukan.
Aku mengangguk sambil terus menulis saran Pak Adi. Nyaliku seolah lenyap ketika mengetahui proposal pengajuan skripsiku yang ditolak. Tapi aneh, mengapa hatiku sedikit lega.
Begitu sampai di kos, aku terbaring lemas. Jerih payahku selama dua minggu ini hanya tertumpuk menjadi segumpal kertas tak bermakna. hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Bayangkan!
Dengan begitu lemas aku menelpon ibuku yang ada di kampung halamanku. Dan mengatakan semuanya.
“Jangan sedihlah Nduk, kamu kan masih bisa mengajukan lagi, malah kamu punya pengalaman baru agar bisa mengerjakannya dengan lebih baik.” “iya Bu, insyaallah.” Perkataan ibu di telepon barusan membangkitkan kembali gelora untuk mengerjakan revisi skripsiku yang ditolak. Aku tak ingin menyianyiakan keinginan serta harapan ibu padaku. Aku bahkan semakin bersemangat daripada kemarin. Tentu saja aku masih harus menahan hasratku untuk membaca novel. Karena masih ada citacita lain yang ingin kuwujudkan. Bukan hanya sekedar lulus dengan nilai baik tapi juga untuk membahagiakan ibu.
nurdInI dyah I mahasiswa pendidikan fisika UnY