7 minute read
opini
PeNDIDIKaN INDONeSIa, TaNGGUNG JaWaB SIaPa?
Oleh INDY l aIlI FITRIaNI
Advertisement
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai siapa penanggung jawab atas pendidikan Indonesia, sepertinya kita perlu tahu terlebih dahulu mengenai apa itu pendidikan. menurut George F. Kneller (ed) dalam buku Foundation of education (1967: 63), pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses.
Dalam artinya yang luas, pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam arti ini berlangsung terus seumur hidup. Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga lain) dengan sengaja mentransformasikan warisan budaya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi. Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan terus tanpa berhenti selama kebudayaan manusia belum mencapai klimaksnya. Dengan pendidikan, manusia tidak sekadar sebagai suatu sosok penghuni bumi, tetapi juga pengusung peradaban di muka bumi. menurut Dwi Siswoyo, dkk (2008), pendidikan memiliki fungsi bagi manusia yang dididik dan masyarakat. Bagi diri manusia itu sendiri, pendidikan akan menjadikan manusia menjadi utuh, siap menunaikan tugas hidupnya secara baik dan dapat hidup wajar sebagai manusia. Bagi masyarakat, pendidikan adalah pelestari tata sosial dan tata nilai serta agen pembaharuan sosial. menurut UU No. 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan di Indonesia memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. membaca definisi di atas terlihat jelas betapa pentingnya arti suatu pendidikan bagi eksistensi sebuah bangsa. Bangsa maju karena pendidikan. Bangsa Indonesia yang ingin terus berkembang hingga menjadi negara maju perlu meningkatkan pendidikan. Warga negara yang berpendidikan tentunya akan memiliki wawasan ke depan sehingga mampu memberikan orientasi kemajuan bagi bangsa di masa kini dan masa yang akan datang. Ilmu dan ketrampilan yang diperoleh selama pendidikan dapat digunakan setiap warga negara untuk berkontribusi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga negara, mereka dapat melaksanakan semua kewajiban dan menyadari haknya dengan baik. Dengan pendidikan diharapkan warga negara Indonesia memiliki patriotisme nasional.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, bangsa Indonesia memang diakui terus berusaha dan bekerja keras. Dukungan dan kerja sama yang kooperatif antarelemen bangsa dilakukan untuk memajukan pendidikan, meski belum semua elemen masyarakat melakukan hal tersebut. Namun, upaya keras itu tetap saja perlu dilakukan lebih keras lagi karena ternyata mewujudkan suatu pendidikan dalam masyarakat Indonesia yang begitu kompleks kerapkali mendatangkan suatu masalah yang tidak mudah begitu saja diselesaikan.
Di zaman yang sedang mengalami perubahan dengan cepat ini, sistem pendidikan Indonesia menurut moechtar Buchori (dalam Siswoyo, 2008) dituntut untuk memiliki kemampuan sebagai berikut Pertama, kemampuan untuk mengetahui pola-pola perubahan kecenderungan yang sedang berjalan. Kedua, kemampuan un-
opini
tuk menyusun gambar tentang dampak yang ditimbulkan oleh kecenderungan yang sedang berjalan tadi. Ketiga, untuk menyusun programprogram penyesuaian diri yang akan ditempuh dalam jangka waktu tertentu.
Untuk mencapai kemampuan-kemampuan tersebut di atas, kita tidak cukup hanya menyelesaikan masalah-masalah dalam lingkup belajar mengajar, tetapi perlu juga memperhatikan masalah-masalah global, baik aspek sosial maupun teknologi yang semakin berkembang pesat. Tentu hal tersebut tidak mudah karena perlunya koordinasi yang baik antara tiga komponen pendidikan, yaitu pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan.
Pendidikan ketika mulai menjadi problem dalam masyarakat, kebanyakan orang justru saling melempar tanggung jawab. Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia? Sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah tugas pemerintah sebagai penguasa yang wajib mengurusi bangsanya. ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah tugas lembaga pendidikan. lalu, siapa yang akan bertanggung jawab jika kebanyakan orang justru angkat tangan dan memberikan amanah besar dan mulia ini pada orang lain?
Pendidikan adalah untuk kepentingan bersama. Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara yang telah diatur dalam undang-undang dasar. Untuk itu, kita sebagai elemen bangsa, tidak hanya pemerintah dan lembaga pendidikan, tapi juga seluruh komponen bangsa perlu untuk turut serta berperan dalam pendidikan. Sistem pendidikan akan selalu bersifat dinamis, kontekstual, dan terbuka yang membutuhkan interaksi terpadu dari ketiga komponen sentral pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Setiap bangsa yang ingin mempertahankan eksistensinya perlu memperhatikan masalah pendidikan yang cenderung dinamis. Bukan justru mempermasalahkan siapa yang bertanggung jawab atas masalah pendidikan saat ini. lebih bijak jika semua komponen bangsa, baik yang berkaitan langsung dengan pendidikan itu sendiri maupun tidak, dapat bekerja sama mengatasi masalah pendidikan ini. Wallahu a’lam.
indy laili Fitriani pemerhati pendidikan, studi di uny
opini
JaNGaN GaGal BeR-TUHaN
Oleh eKO TRIONO
Yang setuju dengan bom bunuh diri, teror, salah satunya, akan bicara seca ra sosial tentang pesan terhadap ketidakadilan global (Chomsky: 1991) dan secara individu perihal tujuan manusia yakni surga. Surga dalam konsep manusia beragama dicapai melalui kematian. Dalam pemahaman Islam, salah satunya, sebab akhirat lebih baik dari dunia (al-Duhâ [9]:4). Beragam cara pun ditempuh demi kehidupan abadi itu. Dan, caracara yang digunakan mestinya seperti yang dicontohkan Nabi muhammad sebagai panutan akhlak agung (al-Qalam [68]:4) sang pembawa ajaran Islam: rahmat bagi semesta alam. Namun demikian, ada sejumlah kacamata yang beredar dan bebas dipakai siapa saja untuk memandangnya, termasuk perihal perang.
Yang setuju dengan perang (konfrontasi/geriliya/teror), barangkali karena meyakini konsep-konsep liberal, demokrasi, repulik dan seterusnya, yang menggeliat di negeri ini sejak semula merupakan jahil. mala dan kapital—lintah yang menghisap rahmat sosial, menggores kemiskinan hidup—yang menciderai urat-urat syariat. Dari sini kemudian Daud Beureh dan R.m.S. Kartosoewirjo mengusulkan Negara Islam Indonesia (NII) dengan Islam sebagai tawaran mengelola negara. Namun perlu dicatat, mereka yang kemudian diriwayatkan melawan karena diperangi setelah “dikhianati” dalam beberapa titik. Dan, bukan dengan inisiatif gegabah, apalagi culik hipnotis, lalu bom bunuh diri.
Pancasila
Yang tidak setuju negara Islam apalagi bom bunuh diri (teror), akan menyinggung tentang Pancasila. Ideologi ini memfasilitasi pola ke-Tuhan-an bagi semua warga negara, yang harapannya, akan menjadikan manusia Indonesia adil dan beradab. Islam, jangankan secara hukum dan sosial, buat diri sendiri pun selalu minta adil; dalam berucap (al-an’am [6]:152); menulis suatu perkara (al-Baqarah [2]:282) serta sikap batin. Terhadap kelompok yang dibenci sekalipun, umat Islam harus adil (al-mâ’idah [5]:8). Quraish Shihab (1996) mengatakan bahwa penyiram tumbuhan adalah keadilan dan penyiram duri adalah lawannya (kedzaliman).
Kemudian muncul pertanyaan: adil, beradab, atau berdurikah mereka yang membunuh dirinya sendiri dan membunuh orang lain demi surga yang ingin cepat saji? Benarkah mereka berdiri di atas dasar ke-Tuhan-an? Tak luluskah mereka pelajaran Bhineka Tunggal Ika karena tak nyaman berkartu penduduk Indonesia? Tak bisakah mereka menunjukan keunggulan Islam secara akhlak lebih dahulu, sebagaimana yang dicontohkan oleh manusia paling besar dalam sejarah, Nabi muhammad? Bukankah para nabi tidak bunuh diri untuk menuju surga yang dijanjikan? Dan bukankah orang-orang suci menyayangi semua jenis manusia, dari yang paling taat sampai yang paling keparat? ataukah ada jalan pikir lain yang belum terpahami dari mereka?
Konfrontasi
Yang setuju dan tidak setuju kemudian tak jarang akan saling menyalahkan, akan saling melawan dengan cara dan dogmanya masingmasing. Yang pada akhirnya, keduanya, baik “teroris” maupun “anti-teroris” sama-sama berbuat kesalahan dengan menganiaya, bahkan membunuh satu sama lain atas nama kebenaran, entah kebenaran dari mana.
Pertikaian ini kompleks kusutnya. Namun, bila diurai, bisa jadi dimulai dari ketidakadilan yang menimbulkan depresi-depresi dan kepanikan sosial, akibat kita selalu gagal untuk bermusyawarat dengan hikmah yang bijaksana: bukan dengan pose, peluru, puisi programik, dan isu “politik para alien” (istilah Karl marx).
opini
istimewa
Yang bermula dari lupa adil, lupa beradab, yang jangan-jangan, karena lupa atau memang pura-pura ber-Tuhan.
lilin Kecil
Namun, alfred alder (1964) menyakini, manusia punya daya menentukan sikap terbaik atas situasi. Itulah kenapa jauh hari di Cina ada pepatah: siapa yang mengutuk kegelapan hanya dapat penat. Biar tidak penat, saatnya nyalakan lilin kesadaran dengan hal paling mungkin kita lakukan. Keluarlah dari sikap ornamentalis dengan menganggap kopiah, sorban, cambang, omong arab, dan koko menunjukan ia benar ber-Islam, sehingga publik jadi skeptis memandang hal buruk yang dilakukan orang demikian adalah ajaran Islam. Kita terlalu pandai untuk hal sebodoh itu.
Kebanyakan konflik terjadi karena tidak terjaminnya kesejahteraan sosial. Sayyid Qutubh (1967) menjelaskan sistem kesejahteraan sosial dalam Islam yakni bukan sekedar bantuan keuangan, apalagi cita-cita dengan kekerasan, tapi segala bentuk. Kuatkanlah saling bantu, biar depresi sosial dan letupan mesiu konflik dapat disembunyikan. Dan, jangan bosan, terus ajak para elit, yang beradab, untuk bersatu bersama kita; menyulut optimisme kebahagiaan Indonesia yang majemuk.
Kita dan negara ini ber-Tuhan, jadi jangan ragu untuk adil-beradab. adakah yang lebih tepat selain Tuhan ingin kita berbuat baik pada diri sendiri dan manusia—siapapun manusianya—serta alam semesta, bukan merusak apalagi aniaya? Bukankah kalau Dia ingin manusia masuk surga dengan begitu saja, tentu tak perlu repot membuat kita ada di dunia yang memang dipenuhi segala uji, coba, dan goda ini?
eko triono penelaah masalah sosial-politik, mahasiswa pbsi uny