2 minute read
resensi media
Sahabat Sang alam yang Berbekal Otot dan Otaknya
Oleh IKHWaN TaUFIK
Advertisement
NORmaN edwin (1955–1992). mungkin hanya segelintir orang yang pernah mendengar nama ini. Terutama mereka yang dekat dengan hobi berpetualang dan berkegiatan di alam terbuka. Debut petualangannya tercium di kancah para penggiat alam terbuka pada kurun waktu 1976 – 1992 (meninggal di Gunung aconcagua, 21 maret 1992). Banyaknya tulisan Norman yang tercetak di berbagai media cetak cukup membuktikan eksistensinya aktif dalam dunia tulis menulis khususnya tentang kegiatankegiatan di alam terbuka. majalah Mutiara, Intisari, Suara Alam, dan Harian Suara Pembaruan serta Kompas seolah menjadi sarang berbagai catatan dan laporan perjalanannya. Bahkan, pada saat itu tidak bisa dipungkiri bahwa harian Kompas telah memiliki wartawan dan peliput andal dalam mengagungkan kebesaran alam ciptaan Tuhan.
Tidak kurang dari 64 catatan Norman tercover di dalam buku ini. Cerita tentang ekspedisinya di alam liar, pengalamannya menelusuri dalamnya perut bumi yang begitu gulita, hingga penjelajahannya menggapai atap-atap langit di berbagai puncak dunia dikemas dalam satu buku ini. Tidak lupa pula tentang catatan pelayaran awak kapal Pinisi “ammana Gappa”. Kapal tradisional yang hanya mengandalkan tiupan angin ini berlayar dari Indonesia ke madagaskar selama 35 hari. membaca buku ini seolah kita turut masuk bersama ruh petualangan Norman. Jelas saja, untaian demi untaian kata yang dipilih Norman untuk menceritakan berbagai pengalamannya begitu mantap dan tajam. mantap laksana langkah sang petualang di setapak jalan landai. Tajam setajam dinding-dinding batuan yang dipanjatnya. Pembaca akan turut merasakan betapa tegangnya tragedi-tragedi yang dihadapi Norman di tiap-tiap ekspedisi yang pernah dilakukannya. “Unpredictable experience”. Seolah frasa tersebut cukup mewakilkan semuanya.
Kegigihannya menaklukkan dinding selatan Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) yang begitu ganas misalnya. Puncak tertinggi di kawasan australasia ini berhasil dijejaki Norman tahun 1981. ekspedisi ini bertujuan untuk mencari lokasi runtuhnya pesawat Dakota Belanda yang jatuh tahun 1963. Kabut yang begitu tebal, dinding terjal dengan batuan licin karena terguyur hujan, suhu dua derajat celcius di bawah nol, dan letih yang tak berkesudahan seolah menjadi irama wajib selama ekspedisi ini.
Tidak hanya salju di Carstensz lah yang pernah dijejaki kaki Norman. Di lembar lain catatannya, Norman juga melaporkan pengalaman mendaki Gunung Kilimanjaro (5.894 meter dari permukaan laut) – puncak tertinggi di afrika – untuk majalah mutiara (edisi 345, 24 april – 7 mei 1985).
Dengan membaca catatan-catatan Norman ini, kita tidak hanya mendapat informasi tentang apa yang dilaporkan Norman di setiap petualangannya. Kita bisa belajar banyak dari apa yang dialami Norman. Karena sesuai apa yang disampaikan melalui catatannya, bahwa pengembara tidak hanya berbekal otot, namun juga otaknya. Jadi, sungguh begitu banyak materi yang bisa kita serap untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita.
norman edwin catatan sahaBat sang alam editor: rudy badil • penerbit: kpg, 2010 • tebal: xvi + 423 halaman
ikHwan tauFik mahasiswa pendidikan teknik mekatronika uny