cerpen
Tentang Ibu Yang Kurindu o l e h A p r i da Nu r R i ya S usanti Pada apapun… Sedang terhuyung ke kampus, Laptop, paper, tugas, kuliah dan amanah menggelayut Karena panas sedang tak akur dengan hujan dan dingin sedang senang berlarian maka sudahlah, acuhkan saja… berkaca pada bulan, dan kita pandang bersamaan dipelatari sujud dalam, dan kuat bertahan apapun Bu…. Apapun, Pada setiap huruf di kata yang dibaca sekarang Pada gerimis yang turun perlahan Pada angin yang tak pernah diam Pada ribuan mata malaikat di sepertiga malam Aku selipkan rindu untukmu Biarlah kita menangis bersama dikejauhan Tersungkur dihadapan-NYA Kampus hari ini seperti biasanya. Ramai lalu lalang maha siswa. Pohon-pohon di kampus juga masih sama. Mereka se dang senang menggugurkan daun-daunnya. Tidak mau kalah dengan pohon-pohon di Jepang atau Korea yang mungkin se dang berdamai dengan musin gugur. Lorong kampus di anta ra gedung-gedung kuliah yang tua dipenuhi diskusi dan tawa mahasiswa. Menyenangkan sekali duduk berkumpul sambil membicarakan tugas kuliah atau tentang apapun. Lorong panjang dan hujan daun. Sejenak mengingatkanku untuk duduk menyambut senja yang mulai datang. Sementara aku duduk sendirian di depan salah satu gedung tua itu. Menatap daun-daun yang jatuh ditiup angin. Sore itu aku duduk sendi rian menikmati angin dan langit yang mulai merah. Sengaja menyendiri. Mengingat kembali tentangnya yang istimewa. Sebelum subuh datang, Ibu terkadang sudah bangun. Terkadang juga belum. Mungkin karena lelah di hari sebelum nya. Lalu beliau belum bangun. Tapi pasti karena rasa sayang nya pada keluarga, lantas pagi sebelum subuh pun beliau sudah bangun. berpikir dan bersiap pada apa yang hendak dihidangkan untuk sarapan pagi itu. Selalu begitu setiap pagi. Setelah jauh dari rumah, kita baru menyadari bahwa kita ser ing mengacuhkan hal-hal sederhana dalam hidup. Ibu sedang mempersiapkan makanan untuk anak dan suaminya. Kepaya han yang terjadi hampir setiap hari. Tanpa jeda. Mulai dari berebut dagangan di pasar. Perang harga dengan sang pen jual. Sama-sama tidak mau kalah. Sama-sama membawa misi penting tentang keberpenuhan sebuah keluarga. Lebih dari itu. Ini tentang pengabdian seorang ibu kepada anak dan sua minya. Ia sedang memperjuangkan kelegaan dalam hatinya. Kalau hujan turun, aku akan sibuk dengan duniaku sendiri. 50
P ewa r a Di n a mik a m e i 2 0 1 2
Jalan-jalan sendirian di bawah hujan. Menikmati dinginnya air hujan yang turun membasahi wajahku. Daun-daun basah. Rumput di halaman rumah, bunga di teras depan, jalan-jalan setapak, dan apapun, totalitas basah. Rasanya menyenangkan saja bermain di waktu dingin hujan. Lalu Ibu akan melihat ke jendela atau depan rumah menantikanku pulang. Terka dang beliau melihat ke tempat payung. Lengkap atau tidak. Kalau memasak sesuatu, Ibu selalu membuat dua bumbu. Pedas dan tidak pedas. Terlihat tidak praktis sebenarnya. Harus dua kali kerja. Aku yang sukanya makan yang pedaspedas. Adikku yang sama sekali tidak bisa makan makanan yang pedas. Ibu selalu menyiapkan apa yang kami butuhkan. Kalau sore, beliau akan membuat dua gelas kecil kopi asli yang dipetik dari pekaranganku sendiri dan segelas besar teh manis. Kopi untukku dan Bapak. Teh manis untuk adikku. Lalu kami bertiga akan duduk bersama di depan rumah menatap senja di balik Gunung Lawu. Sementara itu, Ibu masih akan sibuk dengan makanan yang pedas dan tidak pedas. Lantas saat makan malam, beliau hanya akan makan dengan porsi yang sangat sedikit. Kalau kusinggung tentang sedikit seka li makannya, beliau akan menjawab,” Sudahlah. Makan sa ja. Kalau di Jogja kan gak bisa nambah kalau masih laper. Ja di…makan yang banyak sana”. Suasana di rumah sebenarnya yang membuat kita nya man. Makan apapun jadi enak. Terkadang di rumah hanya sekedar makan nasi dan sambel terasi saja, rasanya benarbenar enak. Beda dengan kalau kita makan di Jogja, beli satu porsi makanan. Lalu dibawa pulang. Kalau sudah habis kita tidak bisa tambah lagi. Kecuali kita beli satu porsi lagi. Di Jog ja, ayam terasa seperti tempe. Di rumah, tempe justru terasa ayam. Bahagia di rumahlah yang membuat kita selalu mera sa nyaman dengan apapun kondisi yang menimpa kita. Dan makanan buatan Ibu selalu saja menjadi salah satu alasan kita rindu rumah. Tetang Ibu. Tentang rumah. Tentang tem pat seorang anak akan kembali. Suatu hari aku pulang dari Jogja. Salah satu tetanggaku ba ru saja melahirkan. Aku dan Ibu bergegas pergi ke toko dan membeli beberapa kebutuhan untuk bayi dan ibu hamil. Kami berniat berkunjung untuk menengok bagaimana keadaan bayi dan ibunya. Kalau di desa, budaya yang seperti masih sangat kental. Saling berkunjung ke tetangga kanan kiri ru mah. Nenekku saja sampai hafal nama-nama siapa saja yang tinggal di dusun tempat tinggalku. Berbeda dengan di Jogja tempatku tinggal sekarang. Tetangga kanan kiri rumah kos saja tidak kukenal. Selesai menyiapkan barang-barang, kami segera pergi ke rumah tetanggaku. Mbak Ika, begitu biasanya kupanggil dia. Rumahnya sudah ramai dipenuhi kerabat dekat ataupun jauh