Pewara Dinamika Oktober 2011

Page 44

cerpen

Masasoul* O l e h A manat ia J unda S . Cermin itu berasal dari hilir Kapuas. Suku asli rimba hutan Borneo telah mengukirnya dengan sangat artistik. Tapi aku tak peduli dengan segala catatan mengenai cermin yang tengah berdiri memantulkan bayanganku. Aku peduli pada sosok wanita yang hadir setiap malam kini, menemaniku tidur. “Aku berharap kau ibuku,” bisikku lirih pada seorang wani­ ta yang sama. “Aku berharap kau putriku yang kelak meneruskan darah bangsawan Djoyodiningrat Hadi Kusumo.” “Sebenarnya siapa kau?” tanyaku bingung, aku duduk dari tidurku. Menatap wanita di sampingku lekat-lekat. “Aku dari sana,” ia menunjuk cermin mengerikan itu. “Cermin pemberian saudagar intan dari Martapura yang kemudian meminangku dengan rasa cintanya yang luar biasa besar. Namun, ia tak tepat bagiku. Ia tewas saat perampok menyerbu kediaman kami. Malangnya, putriku juga tewas terbunuh dalam dekapanku.” Ekspresinya datar. Tanpa menunjukkan perubahan sedikit pun pada garis-garis wajahnya yang licin dan putih. “Aku mencari seseorang yang sudi menjadi putri kandungku,” bisikinya lirih sambil tersenyum kalem, keibuan. Aku kini dapat melihat tujuannya berada di sini. *** “Ah, kau bercanda denganku Regi,” Danang tertawa geli setelah aku menuturkan kejadian-kejadian aneh yang terjadi di rumah Keramat. Semenjak cermin itu mengeluarkan sosok Sukma—nama wanita bangsawan Jawa Tengah tersebut— aku merasa menemukan kasih sayang dari orang yang tepat. “Kau tak memercayaiku, Nang? Aku berani bertaruh de­ nganmu, cermin itu memiliki kekuatan magis. Seolah-olah cer­min itu adalah saluran menuju ke dunia lain. Ke masa lain!” “Kau hendak bilang itu mesin waktu?” Aku mengangguk mantap. Danang terdiam, tidak terbahak lagi. Ia menatap mataku tajam. Seperti tengah menggali sesuatu dari dalam pikiranku. “Sayang…,” Danang memanggilku lembut. Entah mengapa aku merasa tidak bahagia dengan panggilan ini. Walaupun aku tak menyesal telah menerima tawarannya untuk menjadi kekasihku. Aku tak tega melihatnya berlama-lama de­ ngan sorot mata yang terluka minggu lalu setelah ia meng­ utarakan rasa istimewanya. Namun, Sukma mengatakan ia bukan pemuda yang tepat bagiku. “Hm… Jangan tersinggung ya, gimana kalo’ kita pergi ke psikiater, maksudku, kau telah terlalu lama tinggal dengan keluarga Keramat. Aku khawatir mereka telah mengontami­ nasi alam bawah sadarmu, Sayang…” Aku mengerjap, percaya. Percaya yang dikatakan Sukma 42

Pewa r a Din a mik a o kt o b e r 2 0 1 1

benar nyatanya. Danang bukanlah orang yang tepat untuk memberiku kasih sayang. *** “Kau tak setia!!” jerit Sekaraji nyaring di depanku. Mata­ nya sembab oleh airmata yang masih mengalir deras. Tubuh­ nya bergetar hebat. Berkali-kali ia mencambukiku dengan cambuk yang Om Hongoi dapatkan dari Madura. Aku bergidik. Aku seperti berada dalam lautan parade, menjadi Kerapan Sapi. Tar! Aku bergeming. Aku merasakan darah panas meleleh di punggungku. Aku ingin Sukma datang sekarang, mendekapku, melindungiku. Semalam Sukma menawariku untuk tinggal bersamanya, di dunianya. Aku masih memikirkan tawaran yang menjanjikan kebahagiaan tersebut. “Apa hakmu untuk berpacaran dengan Danang hah?! Kau milikku Regi!” Ya, sekarang aku ingin pergi ke masa tempat Sukma tinggal. Agar aku bisa hidup tanpa disiksa terus menerus di rumah Keramat. Agar aku lepas dari ritual ngabdi ndalem pada Sekaraji. Agar Sukma tak repot-repot menemuiku setiap malam dan menghiburku. Aku akan terus bersamanya, di si­ si­nya, menggantikan posisi anak kandungnya. Toh, aku juga begitu rindu dengan sosok ibu. Tar! “Jawab Regi! Bela dirimu sekarang! Aku ingin dengar dari mulutmu bahwa kau mencintai Danang. Kau mengkhianatiku!” Aku tak tahan. Bukan, bukan baru pertama kali ini aku men­dapat cambukan atas kecemburuan akutnya, tapi hatiku­ yang perih. Seolah-olah darah merembes dari sana, bukan dari punggungku. Sesaat kemudian, sebelum semua menggelap, aku tahu ke­pala ular dari cermin Masa berputar. Pertanda gerbang ke masa lain dibuka. Ya, Sukma menjemputku, aku akan pergi. Akhir dari masaku di sini. Aku akan bebas! *** Senin, 28 Februari… Rumah Tahanan Wanita Ini untuk pertama kalinya Danang menginjakkan kaki di lembaga pemasyarakatan khusus wanita. Ia hendak mene­ mui seorang gadis yang akhir-akhir ini menghebohkan ma­ sya­rakat dengan tindak menyimpangnya. Gadis itu menge­ nakan seragam khas tahanan, biru tua, lusuh. Ia duduk di bangku panjang tempat para tamu menjenguk kerabatnya masing-masing. “Maafkan aku,” bibir keringnya mengeluarkan suara tercekat.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.