cerpen
Sepiring Salad Rupa O l e h L atif Pungk a sni a r Rona rupa memancarkan beribu-ribu arti dalam setiap pancarannya. Alis, mata, dan mulut yang bertugas untuk melu kiskannya dalam setiap rasa. Mereka selalu terlihat kompak di kala dalam setiap perantauan menemukan rasa-rasa yang berbeda. Melengkung, menciut, membuka lebar, mengedip, melotot, terpejam, tipis, dan tebal, bersama mengisyaratkan penuh makna. Sebagian berkata, ”Ah, aku sedang galau…, Aku bahagia…, Aku patah hati…, Aku terpuruk…, Aduh, gigiku sakit…!” Tapi, ada juga rupa yang samar. Terbalut oleh poles mereka yang tebal. Tebal karena keharusan ataukah tebal karena sebuah ‘sesuatu’. Badut? Apakah kau bisa melihat seperti apa rupanya? Dia hanya tersenyum dan tersenyum, bagaimana dengan batinnya? Tahukah kamu? Rupa ‘sesuatu’, apakah kau bisa perhatikan matanya? Matanya berlarian ke mana-mana seolah-olah dia selalu mewaspadai akan polisi keamanan yang setiap saat siap meringkusnya? Apakah seperti itu rupa-rupa rona yang menguasai negeri ini? Sudahlah, biarkanlah mereka memiliki rupa itu sendiri. Biarlah mereka sendiri yang menjawab dengan sega la alasan mereka. Tapi bagaimana dengan rupa-rupa yang selalu menuntut keadilan? Sementara itu, rupa iba tercerai-berai memenuhi alam yang berbeda dengan para penguasa itu. Mereka ada di manamana dengan daya mereka sendiri mencoba melawan arus. “Aku tidak takut denganmu! Aku hanya takut dengan kelaparan anakku!” ucap tetangga yang kecil. “Lalu kenapa kau bicara padaku? Aku juga tidak akan pernah menghiraukanmu, tak sedikitpun…!” seru sang tetangga yang lebih besar. Mereka hanya bersilat lidah dan semakin memuncakkan kata menjadi kalimat yang besar. Tak ada tanda jeda bahkan titik. Rupa-rupa yang penuh kebencian hadir di antara mereka. Berebut kuasa atas kata-kata yang menurut mereka pa ling benar. “Sudah, berdamai sajalah kalian berdua. Tak ada gunanya kalian berebut kata-kata yang tak jelas. Pikirkanlah saja anakmu, wahai tetangga! Hanya anakmu!” Muka tangan saling menyapa tapi tidak dengan rupa mereka. Rupa yang melototkan mata, mulut yang terkunci serta dahi yang mengerut menyertai mata dan mulut. Tak ada se dikit pun kata maaf. Sebagian rupa penuh telisik dan intrik pun tiba. Mereka mengibakan diri dengan mencari apa-apa yang sebenarnya mereka sudah miliki terlalu banyak. Umbar beribu-ribu janji dari bisik-bisik kata mereka. Rupa pun berharap iba. Mena38
P ewa r a Di n a mik a s e p t e m b e r 2 0 1 2
warkan sejuta cara untuk mendamaikan tetangga yang kecil. “Baiklah aku akan menjadikanmu sebagai idolaku asalkan kau pikirkan anakku yang kelaparan ini,” ucap si tetangga yang kecil. Begitulah mereka menjadi. Sementara itu, rupa penuh gejolak dan gelora hadir di setiap sisi sudut yang meneriakkan panji-panji yang penuh dengan lukisan tangan. Gemulai raga terkadang menghiasi se-teatrikal mungkin. Mereka terus melancarkan gencatan senjata dengan yang tak mengiringinya, dengan yang tak bersamanya, dan dengan yang tak menyetujuinya atau sering kali dengan yang tak sejalan dengan apa yang ada di benak mereka bahkan dengan para tetangga yang kecil. Akan tetapi, rupa-rupa gejolak itu terkadang memperjuangkan nasib para tetangga kecil dengan harapan para tetangga itu memiliki lintasan yang sudah pasti dalam hidup mereka untuk dilalui. Masih adakah lagi seperti apa rupa? Tentu, banyak sekali rupa di alam ini, bagaikan tebaran bintang yang ada di setiap luasan langit. Mereka bercahaya, mempesona pemilik mata hati yang berbinar indah. Tapi tidak jika di kala men dung, bintang-bintang itu akan bersembunyi di balik tubuh awan yang menghitam dan memperdayai rupa itu sendiri. Segudang rupa seperti sepiring salad yang berisi aneka macam sayur dan buah. Strawberry memberi warna cerah dan bernuansa masam, apel dan nanas sebagai penyerta yang memberi nuansa manis, serta sayuran yang menghijaukan. Mereka semua beradu dengan mayonnaise dan keju sebagai penambah rasa bagi penikmatnya. Seperti rupa yang beraneka macam, siap menjadi pesona atau bahkan menjadi musuh? Itu semua bergantung pada diri yang mengadopsi rupa serta kalbu yang tidak pernah memungkiri, seperti rupa. Karena kalbu ada di dalam diri, dia tidak bisa dilihat tapi dia bisa merasa, tidak seperti rupa yang bisa dilihat tapi kadang tak memiliki rasa itu. Tapi, aku hanya ingin memberikan rupaku yang penuh de ngan pesona. Cermin dari jati diriku yang unggul dan tidak mengada-ada, bayangan dari kalbuku yang tak pernah ingkar, membaur ragaku yang selalu bergerak ke kanan bukan ke kiri, menghangatkan tubuhku yang menggigil dalam bisu, serta membawaku menuju dunia yang penuh dengan rasa hidup. Itulah rupaku yang seperti potongan strawberry di atas se piring salad. Memberi warna, kesegaran, dan kepuasan bagi mata penikmatnya.
Latif Pungkasniar mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY