9 minute read

opini

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

pENGEMBaNGaN KaRiR DOSEN

Oleh BaMBaNG SUBali

Advertisement

Pendahuluan Kekuatan suatu universitas salah satu di antaranya adalah berapa jumlah guru besar dan berapa jumlah doktor (yang notabena syarat utama menjadi guru besar). Namun, rasanya masih banyak ganjalan untuk menunjang jumlah guru besar dan doktor oleh hal-hal yang--boleh jadi--kurang disadari bersama. Tulisan ini akan mengete gahkan ganjalan yang berkait dengan tuntutan jumlah doktor pada suatu jurusan.

Ganjalan yang dimaksud tersebut bisa terjadi karena kebijaksanaan/kebijakan pimpinan (?) dan dapat pula datang dari dosen yang bersangkutan. Tulisan ini sekedar “uneg-uneg” yang semoga dapat menjadi bahan renungan bagi pihak-pihak yang terkait.

Linieritas

Satu pertanyaan yang tidak penah terbayangkan adalah ketika saya--dengan latar belakang waktu itu masih sedang menempuh program S3 penelitian dan Evaluasi pendidikan (pEp) dan masih dengan modal ijazah S-2 ilmu Kehutanan dan S-1 pendidikan Biologi--ditanya oleh anggota tim asesor akreditasi program studi. pertanyaannya, mengapa saya--yang tidak memiliki ijazah S-1 atau pun S-2 program Statistika--ditugasi oleh Jurusan untuk mengampu mata kuliah Statistika. ada dua penjelasan pada waktu itu yang saya sampaikan kepada asesor. Pertama, mata kuliah tersebut dulu bernama Biometri. Setelah ada program iMSTEp-JiCa dan diharapkan ada kesamaan buku ajar untuk mata kuliah di antara program studi di FMipa UNY, FMipa UM, dan FpMipa Upi, namanya pun diganti menjadi Statistika. Biometri merupakan mata kuliah aplikasi Statistika dalam Biologi, sehingga lebih banyak menekankan pada bagaimana Statistika dijadikan alat untuk mengolah data yang berkait dengan pemecahan persoalan di dalam Biologi. Jadi, bukan bagaimana rumus-rumus Statistika itu diperoleh dan dikembangkan. Sehingga, apakah pengampunya harus dosen Jurusan Matematika?

Kedua, saya mengambil program S-2 ilmu Kehutanan bukan semata-mata karena salah saya. Waktu itu (dekade 1981-1990) kebijaksanaan Dikti bahwa dosen pengampu mata kuliah yang termasuk Kelompok Kependidikan Biologi diharapkan ada yang mengambil S-2 Kependidikan Biologi dan ada pula yang diharapkan mengambil program S-2 ilmu murni untuk memperkuat penguasaan konsep Biologinya. Karena program S-3 ilmu Kehutanan dengan Konsentrasi ilmu Budaya Hutan/Silvikultur banyak menyajikan mata kuliah yang berkait dengan Ekologi Tumbuhan, maka pada 1985 saya diizinkan oleh Jurusan bersama seorang teman untuk menempuhnya dan lulus pada 1988. Saya jelaskan pula, mata kuliah yang harus saya tempuh pada program tersebut ada Rancangan percobaan dan analisis Regresi, yang menjadikan saya dipandang layak oleh Jurusan untuk mengampu mata kuliah Biometri. ilustrasi di atas menggambarkan bahwa linieritas dan kompetensi dituntut pada diri seorang dosen. Dosen yang tidak memiliki latar belakang yang relevan dengan mata kuliah tertentu diharapkan “tidak memgampu mata kuliah tertentu” meskipun ia seorang guru besar sekalipun. Namun, terkadang ada dosen yang mengeluh mengapa dengan latar belakang S-1 dan S-2 ilmu murni yang linier, tiba-tiba ketika minta izin untuk studi S-3 disuruh mengambil program S-3 Kependidikan oleh pimpinannya. Jelas bahwa kebijaksanaan itu mematikan karir dosen dan bertentangan dengan prinsip linieritas. Misalnya, untuk memperoleh program penelitian hibah kompetensi, peluang dosen itu akan menjadi leb-

pertanyaannya, mengapa saya—yang tidak memiliki ijazah S-1 ataupun ijazah S-2 program Statistika—ditugasi oleh Jurusan untuk mengampu mata kuliah Statistika.

opini

ih kecil dibandingkan dosen yang linier mulai dari ijazah S-1 sampai dengan S-3. Boleh jadi, saya--kalau hanya dilihat dari ijazah semata, yakni dengan latar belakang S-1 pendidikan Biologi, S-2 ilmu Kehutanan, dan S-3 pEp--oleh reviwer program Hibah Kompetensi dianggap tidak kompeten untuk memperolehnya. Kebijakan linieritas juga memukul perasaan dan mematikan peluang anak-anak bangsa yang sudah selesai menempuh program S-2 yang tidak linier--termasuk anak saya sendiri yang memiliki ijazah S-1 ilmu Manajemen dan S-2 ilmu Ekonomi pembangunan--tidak boleh mendaftar sebagai pNS calon dosen. padahal, pada awal menempuh program S-2 tidak ada isu linier. Jadi, sungguh aneh, jika ada dosen dipaksa oleh pimpinannya mengambil program yang tidak linier padahal yang bersangkutan tidak menghendakinya. Bukankah penugasan dosen dalam mengampu mata kuliah tetap harus relevan dengan ijazahnya! apakah karena seseorang yang selama ini mengampu mata kuliah kependidikan, yang bersangkutan harus mengambil program S-3 Kependidikan? Semoga sekarang sudah tidak ada lagi!

Keterbatasan Program Studi S-3 Kependidikan

Berbeda dengan ilmu murni yang sudah demikian banyak menyelenggarakan program studi S-3, program S-3 pendidikan masih sangat terbatas. Misalnya, sekarang yang ada hanya program Studi S-3 pendidikan Biologi (di UM) dan program Studi S-3 pEp (di UNY), namun belum ada program Evaluasi pendidikan Biologi. akibatnya, dosen pengampu mata kuliah Evaluasi Hasil Belajar Biologi hanya punya kesempatan untuk memilih mau mengambil program Studi S-3 pendidikan Biologi--yang tidak akan memberikan bekal terlalu banyak pada aspek evaluasi--atau memilih program S-3 pEp yang boleh jadi akan ada yang mempertanyakan spesifikasi/keterkaitannya dengan pendidikan Biologi. pilihan dosen/rancangan Jurusan dalam me ngarahkan dosen akan sangat penting. Seseorang yang semula mengampu mata kuliah Evaluasi dan Remediasi pembelajaran Biologi lulus program S-3 pendidikan Biologi, akan lebih tepat mengampu mata kuliah pendidikan Biologi atau Teknologi pendidikan Biologi agar sesuai dengan ijazah S-3 yang dimilikinya. Jika ingin/dipetakan Jurusan tetap mengampu mata kuliah Evaluasi dan Remediasi pembelajaran Biologi, mestinya ia mengambil program S-3 pEp.

Ketika kemudian dosen yang bersangkutan lulus program S-3 lebih layak/kompeten mengampu mata kuliah pendidikan Biologi atau Teknologi pendidikan Biologi, itu akan beresiko menggeser dosen lain yang tidak memiliki S-3 pendidikan Biologi, yang selama ini sudah mengampu mata kuliah tersebut. Keadaan itu tentunya sejak semula disadari oleh pihak-pihak terkait, baik dosen yang akan studi lanjut, dosen pengampu mata kuliah yang akan tergeser bila dosen yang studi lanjut sudah kembali, dan yang tidak kalah penting pihak Jurusan.

Kenyataan dulu menunjukkan, banyak dosen yang studi lanjut hanya memandang kesempatan yang tersedia hanya itu. Ketika linieritas tidak menjadi tuntutan, termasuk ketika saya mengambil progam S-2, memang bukan masalah. Namun, sekarang, ketika seorang dosen yang akan menjadi guru besar harus diusulkan sesuai/relevan dengan bidang yang diperoleh saat memperoleh gelar doktornya, itu berubah menjadi masalah.

Penutup

Jurusan dan tentunya fakultas adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam memetakan pengembangan karir dosen. pemetaan yang dilakukan seawal mungkin dan selalu diingatkan kepada setiap dosen yang akan menempuh studi lanjut akan sangat membantu dosen maupun Jurusan yang bersangkutan. Dengan berubahnya statuta iKip Yogyakarta menjadi UNY, perlu kiranya UNY semakin banyak memiliki doktor ilmu murni. Oleh karena itu, pengembangan karir dosen mesti memperhatikan linieritas keahlian. Wallahua’lam.

kalam/pewaRa

dR. BamBang sUBali, m.si. dosen Jurdik Biologi fmipa UnY

opini

pOlEMiK GONG Xi Fa CHai DalaM SEMaRaK pERaYaaN iMlEK

Oleh aRiSKa pRa SETYaNaWaTi

Setelah terkungkung selama lebih dari tiga puluh tahun, pada tahun 2000, penganut Tionghoa di indonesia berhak merayakan imlek lebih terbuka di tengah-tengah aktivitas masyarakat majemuk. Menilik kembali ke tahun 2000, Gus Dur (alm.) yang saat itu menjabat presiden Ri dengan tegas mencabut inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang larangan segala bentuk kegiatan ritual budaya Cina. inpres tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh presiden Megawati dengan mengeluarkan Keppres Nomor 19 tahun 2002, yang menetapkan tahun baru imlek menjadi Hari Besar Nasional.

Mengacu pada pedoman tersebut, perayaan memperingati tahun baru imlek pun semakin semarak di indonesia. Hernawan W, seorang pemerhati kebudayaan, menilai bahwa imlek bukanlah perayaan keagamaan, sebab perayaan imlek dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Cina yang dikenal dengan Tri Dharma atau gabungan tiga agama besar di Cina (Kong Hu Cu, Taoisme, Budha). imlek menjadi momentum yang tepat bagi umat Tri Dharma untuk mengembangkan dan lebih meningkatkan kepekaan sosial, merajut semangat kebersamaan, menyucikan batin, dan membangun toleransi dengan sesama, sehingga kemajemukan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi indah dan penuh makna. Biasanya, umat Tri Dharma merayakan imlek secara ritual bersamaan dengan sembahyang di kelenteng yang diwarnai dengan berbagai pernik–pernik.

Pernak-pernik yang dipersiapkan dalam imlek kegunaannya beragam. ada yang untuk keperluan sembahyang, makan keluarga, silaturahmi, maupun keperluan lainnya. Yang jelas, pernak-pernik tersebut menggambarkan makna atas pengharapan umat yang merayakan. Seperti halnya makna imlek, yaitu kehidupan baru, sebagai manusia yang memiliki pikiran dan perasaan, pengharapan yang dimunculkan tentunya yang beraroma kesejahteraan, kemakmuran, kekayaan, kesuksesan, perpanjangan usia, kerukunan, dan sebagainya.

Mari kita ulas beberapa contoh pernak-pernik yang lumrah ada di setiap perayaan imlek di indonesia. Buah-buahan yang wajib tersedia adalah pisang raja atau pisang mas yang melambangkan mas atau kemakmuran. Jeruk kuning dan diusahakan yang berdaun melambangkan kemakmuran yang akan selalu tumbuh terus. Tebu melambangkan kehidupan manis yang panjang. Di sisi lain, dalam imlek ada buah-buahan yang harus dihindari, yakni buah berduri, seperti salak atau durian, kecuali nanas, karena namanya Wang Li yang ucapannya mirip dengan kata Wang (berjaya). Di samping, nanas juga melambangkan mahkota raja. Kue Keranjang (Nian Gao) adalah kue wajib imlek. Kue ini mendapat nama dari cetakannya yang terbuat dari keranjang. Nian berati tahun, Gao berarti kue, dan juga terdengar seperti kata tinggi. Oleh sebab itu, kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Makin ke atas, bentuk kue keranjang makin mengecil. Susunan tersebut memberikan makna peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran. Kue-kue yang disajikan pada tahun baru imlek pada umumnya jauh lebih manis daripada biasanya sebab rasa manis itu merupakan pengharapan kehidupan yang lebih manis di tahun mendatang. Selain makanan yang wajib disajikan, ada juga makanan yang dihindari atau dipantangi, misalnya bubur karena bubur melambangkan kemiskinan atau kesusahan. ada juga yang menghubungkan ikan sebagai perlambang rezeki. Hal itu dikarenakan dalam logat Mandarin, kata ”ikan” sama bunyinya de-

imlek menjadi momentum yang tepat bagi umat Tri Dharma untuk mengembangkan dan lebih meningkatkan kepekaan sosial...

opini

ngan kata yu yang berarti rezeki, sehingga banyak restoran Tionghoa meletakkan akuarium berisi ikan mas sebagai perlambang rejeki yang dilumuri dengan banyak emas. Masih banyak lagi pernak-pernik perayaan imlek dengan beragam maknanya.

Polemik Gong Xi Fa Chai

Semaraknya perayaan imlek menggaunggaungkan ucapan Gong Xi Fa Chai sebagai penyerta ucapan selamat merayakan imlek. Ucapan Gong Xi Fa Chai menjadi identik sebagai ucapan selamat tahun baru seiring dengan perayaan imlek sebagai tahun baru etnik Tionghoa. Menurut harafiahnya, ucapan Gong Xi Fa Cai ternyata tidak berkaitan dengan tahun baru secara langsung. Gong Xi berarti salam atau selamat, Fa berarti semakin, dan Cai berarti kaya atau makmur. Bila diterjemahkan secara literal, Gong Xi Fa Cai bisa diartikan “semoga semakin kaya”. Ucapan Gong Xi Fa Cai dianggap berkiblat dari kebiasaan etnik Tionghoa yang selalu royal dalam menyediakan berbagai pernak-pernik kebendaan karena dianggap memiliki makna. Gong Xi Fa Cai menjadi penyemangat seseorang untuk terus mencari kekayaan, kemakmuran, kejayaan, dan persamaan makna lainnya. Sehingga, inti atau makna dari imlek yang sesungguhnya dikhawatirkan akan semakin sirna seiring dengan berjalannya waktu.

Sudah banyak perbedaan pendapat tentang rentang waktu munculnya ucapan Gong Xi Fa Cai dalam perayaan imlek. Versi pertama, ucapan Gong Xi Fa Cai saling dipertukarkan saat imlek sejak ribuan tahun yang lalu–ingat penanggalan Cina sekarang sudah berusia abad ke-26, atau memiliki perbandingan lebih tua enam abad dari penanggalan Masehi. Versi kedua, ucapan Gong Xi Fa Cai baru populer tidak lebih dari 100 tahun lalu. Bantahan ini muncul setelah beredarnya novel yang ditulis oleh lu Xun berjudul “Guo Nian” yang di dalamnya ada ungkapan Gong Xi Fa Cai yang kemudian dipopulerkan sekitar 1950-an di Hongkong, selanjutnya menjalar ke mana-mana, termasuk indonesia lewat kartu-kartu ucapan produksi Hongkong. perbantahan-perbantahan itu rupanya belum sampai pada titik kelegaan karena masingmasing versi tetap pada pendiriannya. Namun, kesamaan dari dua versi itu adalah menganggap ucapan Gong Xi Fa Cai sebagai ucapan yang vulgar dan tidak berbudi luhur karena memunculkan statement bahwa etnik Tionghoa seakan-akan hanya mencari dan mementingkan kesejahteraan dari segi materi saja. Ucapan Gong Xi Fa Cai layak diganti dengan ucapan lainnya yang lebih puitis dan berbudi luhur, seperti Xin Nian Kuai Le yang secara harafiah bermakna selamat tahun baru.

Ucapan Gong Xi Fa Cai dinilai telah menggeser kekuatan spiritual makna dari imlek. Spiritual makna dari imlek di antaranya kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan, perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama, serta pengalaman kasih yang dimulai dari keluarga. Namun, berkembangnya zaman menggeser posisi spiritual makna. imlek dimaknai sebagai momentum yang menggembirakan karena masyarakat Tionghoa yang merantau ke penjuru dunia akan meninggalkan sejenak ritme kehidupan keseharian untuk kembali berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Ritual kultural inilah yang kemudian memuat dimensi ekonomi dan berkembang menjadi bagian dari kehidupan etnik Tionghoa di indonesia.

kalam/pewa R a

aRiska pRasetYanawati mahasiswa Jurusan Bahasa dan sastra indonesia UnY

This article is from: