3 minute read

cerpen

Next Article
opini

opini

Bocah Kecil, Kau dan lautan api di alun-alun Kota

Oleh SUYaTMaN

Advertisement

coklat sambil menenteng bedil di tangan membikin blokade di sekelilingnya. ”Tenang, Saudara-saudara. Negara kita adalah negara hukum. Kita adalah sebuah bangsa yang beradab. Segala sesuatunya telah diatur lewat undang-undang. Mari kita salurkan aspirasi lewat prosedur yang berlaku. Jangan main hakim sendiri. Kita serahkan semuanya pada aparat penegak keadilan!”

Kalimat-kalimat itu disambut oleh teriakan-teriakan bersahutan. ”Suara rakyat adalah suara Tuhan!” ”Kami tidak percaya pada aparat penegak hukum!” ”Keadilan di tangan rakyat!” ”Kita gantung tikus-tikus politik!” ”Kita gantung mafia-mafia peradilan!”

Saat itu, di dalam ruangan kantormu yang sejuk, di meja kerjamu yang berharga puluhan juta dan dibeli dengan uang rakyat itu, kau baru saja selesai menandatangani selembar kertas yang lembab dan berkabut. Selembar kertas yang berisi sejumlah rencana. aku tak pernah tahu rencana apa yang tersimpan di sana, tapi yang jelas aku mencium bau bacin menguar dari kertas itu.

Kaupun bersiul-siul kecil. Menyanyikan lagu tentang tanah-tanah yang sebentar lagi tergusur, orang-orang kehilangan pekerjaan, dan barisan orang-orang kelaparan. Kau terlihat begitu menikmati lagu itu sampai kamu lupa asal-usulmu, janji-janji yang pernah kau berikan saat kampanye dan sumpah yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci.

Kaupun menari-nari, berputar-putar mengelilingi ruangan kerjamu, mengencingi gambar pahlawan, bendera dan undang-undang. Ya, harta dan jabatan telah membutakan mata dan hatimu. alun-alun kota telah sempurna jadi lautan api saat kau tiba-tiba terjatuh di lantai kantormu, karena kelelahan dan serangan jantung. Kau mencoba berteriak minta tolong, tapi bibirmu tak sanggup lagi berkata-kata. Saat itu tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada selembar kertas yang baru saja selesai kautandatangani yang tiba-tiba melayang dan jatuh menimpa wajahmu yang pucat dan mulai membiru. *

Saat itu, seorang bocah bermata lucu telah sampai di rumahnya. Tangan mungilnya membawa buku gambar. Mata

paGi yang gatal. Jalanan telah dipenuhi oleh ribuan orang yang bergerak menuju alun-alun kota. Ribuan orang rambutnya berapi. Ribuan orang berteriak-teriak sambil meninjuninju udara. Jika dilihat dari angkasa, barisan orang-orang itu akan terlihat seperti seekor ular naga di tengah kota. Seekor ular naga yang sisiknya berwarna kuning kemerahan atau merah kekuning-kuningan, seperti warna api yang berkorbarkobar.

Saat itu, seorang bocah bermata lugu, di sebuah bangku taman kanak-kanak, ditemani seorang ibu guru yang sabar, sedang sibuk menggoreskan pastel di atas buku gambarnya. Bocah itu sedang melukis sebuah kota dan langit berwarna biru dan burung-burung merpati yang bertengger di atapatap rumah. ibu guru itu tersenyum, lalu bertanya pada bocah itu.

“Kau sedang melukis apa, abi?”

Bocah itu mendongak, menatap wajah ibu gurunya yang teduh itu, kemudian dengan lugunya ia menjawab.

“Sebuah kota di surga, Bu Guru.” ibu guru tersenyum, mengusap rambut bocah itu, lalu menghadiahinya dengan sebuah ciuman di pipi. * pagi semakin terik dan gatal ketika ular naga itu mendekati alun-alun kota. Orang-orang berseragam coklat, menenteng bedil di tangannya, mengawal naga raksasa itu memasuki alun-alun kota. Ular naga itu menggeliat, membuat udara dipenuhi percikan-percikan api. alun-alun kota yang biasanya sepi, kini dipadati oleh ribuan orang yang datang dari berbagai penjuru kota. Orang-orang berambut api. Orang-orang meneriakkan yel-yel sambil meninju-ninju udara.

“Kami butuh keadilan! Keadilan sosial bagi seluruh rakyat! Kami tak ingin negeri ini dipimpin oleh para pencuri!”

“Bakar!”

“Kami muak dengan janji-janji!”

“Gantung!”

“Kami butuh kepastian!”

“Hancurkan!”

Teriakan-teriakan semakin tajam. Bunga-bunga api berletupan di udara. alun-alun kota itu telah menjadi lautan kemarahan. Seseorang berbaju batik berdiri di atas podium di tengah alun-alun kota, berusaha menenangkan massa yang semakin gaduh dan tak terkendali. Orang-orang berseragam

cerpen

istimewa

bocah itu berbinar-binar oleh angka sepuluh pemberian ibu guru di atas gambar ’Sebuah Kota di Surga’. Dari halaman bocah itu dengan riang berteriak memanggil ibunya. ”ibu, aku dapat nilai sepuluh!”

Bocah itu tak pernah tahu kalau aku, ibunya, telah bergabung dalam lautan api di tengah alun-alun kota dan terus meneriakkan yel-yel untuk mengantar kematianmu.

”Kau boleh melupakan janji-janji dan sumpahmu, tapi jangan sekali-kali kau lupakan kami, naga yang akan selalu jadi mimpi buruk para pembohong sepertimu!!!”

sUYatman mahasiswa Jurdik matematika fmipa UnY

This article is from: