2 minute read

Jendela

Next Article
dari redaksi

dari redaksi

OKOl VS aKal

jendela

Advertisement

‘DUNia ini panggung sandiwara ...’ demikian sepenggal syair lagu yang pernah dipopulerkan oleh ahmad albar (?). Ternyata benar adanya! Dulu, atau lazimnya, orang melihat, menikmati, dan menghayati sebuah sandiwara ya di panggung sandiwara, sebuah bangunan berukuran sekian kali sekian, didukung oleh tata cahaya/ lampu, tata suara, tata panggung, dan seterusnya.

Orang-orang yang menonton sandiwara akan meninggalkan panggung sandiwara itu dengan rasa puas, enjoy, happy, dan seterusnya, karena sandiwara yang baru saja dinikmatinya benar-benar sebuah ‘tontonan’, dengan ‘tatanan’, yang di dalamnya terkandung ‘tuntunan’. penonton puas karena telah mendapatkan hiburan dari tontonan, yang ditata dengan tatanan sedemikian rupa, dan tanpa terasa kemasukan nilai-nilai tuntunan dari dalamnya. penonton merasakan telah mendapatkan sebuah pengalaman jiwa yang baru dari pergelaran yang dilihatnya karena hakekat, isi, substansi, atau dasar dari sandiwara adalah konflik kehidupan (human conflict) dengan pemecahan, jalan keluar, atau solusi yang ditawarkannya secara cerdas.

Namun, pada dewasa ini kita jadi terhenyak terbelalak ketika sebuah panggung sandiwara yang berukuran sekian kali sekian ditarik meluas menjadi ‘sebuah dunia’. Ternyata, memang dunia ini panggung sandiwara. Hanya saja, cerita-cerita yang dibawakan bukan menyenangkan, memuaskan, membahagiakan, melainkan memilukan. Betapa tidak! pemandangan yang kita saksikan di bumi indonesia tercinta ini bukan permainan yang apik dan cantik dengan penghayatan total dari para pemainnya atas tokoh-tokoh yang harus diperankannya, melainkan aktor-aktor intelektual yang tanpa harus merasa malu telah melukai hati dan perasaan rakyat dengan perilaku-perilaku yang tidak terpuji, penyalahgunaan wewenang, melakukan korupsi secara berjamaah, selalu mengedepankan kepentingan dan keuntungan diri sendiri ketimbang demi orang lain dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kita kecewa demi menyaksikan acting para aktor yang konon adalah wakil-wakil rakyat, yang di dalam pertunjukannya–jangankan menghayati amanah yang tersampir di pundaknya–justru adegan-adegan yang tampak menunjukkan betapa banyak di antara mereka yang belum dewasa, belum mampu mengamalkan norma-norma kesantunan, budi pekerti dan tenggang rasa, hormat-menghormati, serta asas-asas kebersamaan dan keteladanan.

Kita menangis pilu demi menyaksikan aktoraktor intelektual dari atau di kampus-kampus yang semakin hari bukannya makin mengedepankan aroma intelektualnya, sikap-sikap dewasa selaku manusia-manusia terdidik dan terpelajar. Konflik-konflik dan upaya penyelesaiannya bukan lagi dilakukan dengan melewati koridor ‘akal’, melainkan lebih mengedepankan kekuatan ‘okol’. Mahasiswa yang kita gadang-gadang kelak mampu menjadi pemimpin yang arif, bijak, dewasa, dedikatif, dan berbudaya, kenyataannya mereka lebih suka berperan dalam adegan-adegan kekerasan, tawuran, amuk massa, anarkis, dan sebangsanya itu. pertanyaannya adalah bagaimana jika para pemimpin, para pejabat yang mestinya bisa jadi panutan justru memberikan pemandangan yang sangat tidak nyaman untuk dipandang, yang salah satu ‘prestasinya’ adalah mampu menjadikan indonesia ini sebagai negeri terkorup di asia (?). Demikian pula, bagaimana jika para wakil rakyat yang mestinya mampu menjadi wakil-wakil yang representatif, ternyata justru menjadi wakil-wakil yang memalukan dan memilukan lantaran ulahnya yang belum juga dewasa. Demikian halnya, bagaimana jika para mahasiswa calon pemimpin bangsa ke depan yang seharusnya mampu menunjukkan jatidirinya sebagai anggota masyarakat akademik dan warga masyarakat ilmiah, ternyata lebih memilih menyelesaikan masalah dengan ‘okol’ ketimbang ‘akal’, dengan adu kekuatan fisik dan kekerasan ketimbang penggunaan kecerdasan, akal budi, dan hati nurani. Bagaimana solusinya? Mari kita pikirkan bersama-sama!

drs. sUmaRYadi, m.pd. pemimpin redaksi

This article is from: