Pewara Dinamika Februari 2010

Page 5

jendela

OKOL VS AKAL ‘Dunia ini panggung sandiwara ...’ demikia­n sepenggal syair lagu yang pernah dipopulerkan oleh Ahmad Albar (?). Ternyata benar adanya! Dulu, atau lazimnya, orang melihat, menikmati, dan menghayati sebuah sandiwara ya di pang­ gung sandiwara, sebuah bangunan berukur­an sekian kali sekian, didukung oleh tata caha­ya/ lampu, tata suara, tata panggung, dan sete­ rusnya. Orang-orang yang menonton sandiwara akan meninggalkan panggung sandiwara itu de­ngan rasa puas, enjoy, happy, dan seterusnya, karena sandiwara yang baru saja dinikmati­nya benar-benar sebuah ‘tontonan’, dengan ‘tatanan’, yang di dalamnya terkandung ‘tuntunan’. Penonton puas karena telah mendapatkan hi­ buran dari tontonan, yang ditata dengan tatanan sedemikian rupa, dan tanpa terasa kemasuk­ an nilai-nilai tuntunan dari dalamnya. Penonton merasakan telah mendapatkan sebuah pengalaman jiwa yang baru dari pergelaran yang dilihatnya karena hakekat, isi, substansi, atau dasar dari sandiwara adalah konflik kehidupan (human conflict) dengan pemecahan, jalan keluar, atau solusi yang ditawarkannya secara cerdas. Namun, pada dewasa ini kita jadi terhenyak terbelalak ketika sebuah panggung sandiwara yang berukuran sekian kali sekian ditarik melu­ as menjadi ‘sebuah dunia’. Ternyata, memang dunia ini panggung sandiwara. Hanya saja, cerita-cerita yang dibawakan bukan menyenangkan, memuaskan, membahagiakan, melainkan memilukan. Betapa tidak! Pemandangan yang kita saksikan di bumi In­ donesia tercinta ini bukan permainan yang apik dan cantik dengan penghayatan total dari para pemainnya atas tokoh-tokoh yang harus diperankannya, melainkan aktor-aktor intelektual yang tanpa harus merasa malu telah melukai hati dan perasaan rakyat dengan perilaku-perilaku yang tidak terpuji, penyalahgunaan wewenang, melakukan korupsi secara berjamaah, selalu mengedepankan kepentingan dan keuntungan diri sendiri ketimbang demi orang lain dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita kecewa demi menyaksikan acting para

aktor yang konon adalah wakil-wakil rakyat­, yang di dalam pertunjukannya–jangan­­ka­­n meng­ha­yati amanah yang tersampir di pun­dak­ nya–justru adegan-adegan yang tampak menunjukkan betapa banyak di antara mereka yang belum dewasa, belum mampu mengamal­kan norma-norma kesantunan, budi pekerti dan teng­gang rasa, hormat-menghormati, serta asas-asas kebersamaan dan keteladanan. Kita menangis pilu demi menyaksikan aktoraktor intelektual dari atau di kampus-kampus yang semakin hari bukannya makin mengedepankan aroma intelektualnya, sikap-sikap dewasa selaku manusia-manusia terdidik dan ter­pe­la­ jar. Konflik-konflik dan upaya penyelesaiannya bukan lagi dilakukan dengan melewati koridor ‘akal’, melainkan lebih mengedepankan kekuatan ‘okol’. Mahasiswa yang kita gadang-gadang kelak mampu menjadi pemimpin yang arif, bijak, dewasa, dedikatif, dan berbudaya, kenyataannya mereka lebih suka berperan dalam adegan-adegan kekerasan, tawuran, amuk massa, anarkis, dan sebangsanya itu. Pertanyaannya adalah bagaimana jika para pemimpin, para pejabat yang mestinya bisa jadi panutan justru memberikan pemandangan yang sangat tidak nyaman untuk dipandang, yang salah satu ‘prestasinya’ adalah mampu menjadikan Indonesia ini sebagai negeri terkorup di Asia (?). Demikian pula, bagaimana jik­a para wakil rakyat yang mestinya mampu menja­ di wakil-wakil yang representatif, ternyata justru menjadi wakil-wakil yang memalukan dan memilukan lantaran ulahnya yang belum juga dewasa. Demikian halnya, bagaimana jika para mahasiswa calon pemimpin bangsa ke depan yang seharusnya mampu menunjukkan jatidiri­ nya sebagai anggota masyarakat akademik dan warga masyarakat ilmiah, ternyata lebih memilih menyelesaikan masalah dengan ‘okol’ ketimbang ‘akal’, dengan adu kekuatan fisik dan kekerasan ketimbang penggunaan kecerdasan, akal budi, dan hati nurani. Bagaimana solusinya? Mari kita pikirkan bersama-sama!

Drs. Sumaryadi, M.Pd. Pemimpin Redaksi

P e wa r a D i n a m i ka f e brua r i 2010

3


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.