bina rohani Berani Membela Kebenaran O l e h Ma r zuk i ‘Berani’ bisa berkonotasi positif sekali gus negatif. Sekarang, berani sering membawa konsekuensi negatif. Di te ngah masyarakat sering terlihat kaum muda-mudi berani melakukan tindakan yang dulunya sangat ditakuti, seperti berpacaran, minum minuman keras, me ngonsumsi narkoba, berani melawan orang tua, bertindak brutal, melaku kan perusakan, dan sejenisnya. Berani yang dituntut agama (Islam) adalah be rani yang berkonotasi positif, berani membela kebenaran. Dalam konteks Islam, berani sering disebut syaja’ah. Dalam KBBI (2001: 138) berani diartikan mempunyai hati yang mantap dan percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb. Dengan demikian, berani di sini adalah berani yang bernilai positif. Lawan dari sifat syaja’ah adalah jubun (pengecut atau penakut). Muhammad adalah teladan bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam hal berani (syaja’ah). Dari berbagai kisah (sirah nabawiyah), tidak ada sejarawan yang tidak memuji keberanian beliau. Nabi-nabi Allah yang lain juga para pemberani dalam mendakwahkan aga ma Allah, meskipun harus berhadapan dengan musuh-musuh dari kalangan orang-orang kafir.
Bentuk-bentuk Keberanian Keberanian sangat diperlukan oleh setiap Muslim untuk bekal hidupnya se hari-hari. Keberanian yang kita butuh kan dalam hidup ada beberapa, di an taranya: Pertama, keberanian menghadapi mu suh dalam peperangan di jalan Allah (ji had fi sabilillah). Setiap Muslim harus memiliki keberanian dalam berperang untuk menegakkan kebenaran dan aga ma Islam. Allah mengutuk orang-orang Islam yang lari dari medan perang kare na takut mati. Sebaliknya, Allah mem berikan kedudukan yang tinggi bagi orang yang gugur di medan perang
istimewa
menghadapi musuh-musuh Islam (mati syahid). Dalam al-Quran surat al-Anfal Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang mu, maka janganlah kamu membelakan gi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa ke murkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal [8]: 15-16). Kedua, keberanian menegakkan kebe naran. Menegakkan kebenaran sangat membutuhkan keberanian, terutama menghadapi orang-orang yang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan. Se orang pemberani dituntut bisa menyam paikan kebenaran kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa yang zalim (aniaya). Terkait dengan ini, Muham mad bersabda: “Jihad yang paling afdlol adalah memperjuangkan keadilan di ha dapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud dan al-Tirmidzi). Ketiga, keberanian untuk mengenda likan hawa nafsu. Ini termasuk perjuang
an (jihad) yang berat, sebab yang diha dapi tidak kelihatan dan ada pada diri kita sendiri. Watak nafsu selalu menga jak untuk berbuat kejelekan. Allah ber firman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguh nya nafsu itu selalu menyuruh kepada ke jahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS Yusuf [12): 53). Jika nafsu dikendalikan, nafsu akan menjadi tenang (nafs mutmainnah), sehingga da pat mengantarkan seseorang ke surga. Allah berfirman: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuk lah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS al-Fajr [89]: 27-30). Sebagai bagian dari warga UNY, sudah selayaknya kita memiliki sifat pembera ni. Penegakan kebenaran dan keadilan membutuhkan keberanian dari semua warga UNY. Keberanian pimpinan ditun tut bisa menegakkan kebenaran bagi semua warga UNY, sedang keberanian dosen sangat dibutuhkan untuk menga wal para mahasiswa agar tumbuh men jadi manusia yang cendekia, mandiri, dan bernurani. Upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan keberanian dalam diri kita, di antaranya: 1) adanya rasa takut kepada Allah (QS al-Ahzab [33]: 39 dan QS Ali ‘Imran [3]: 173); 2) lebih mencintai akhirat daripada dunia (QS alTaubah [9]: 38); 3) tidak takut mati (QS al-Nisa’ [4]: 78); 4) tidak ragu-ragu; 5) tidak menomorsatukan kekuatan ma teri; 6) tawakal dan yakin akan perto longan Allah; dan 7) hasil pendidikan dan pengalaman. Marilah kita berusaha untuk menjadi pemberani seraya memo hon agar Allah memberikan kekuatan kepada kita (Wa Allah A’lam bi al-sha wab).
Dr. Marzuki, M.Ag. dosen Jurusan PKnH FISE UNY
P e wa r a Din a m i k a j u li 2010
41