No Wonder They Call Him the Savior

Page 1

N O W ONDER T HEY C ALL H IM

M AX L UCADO






Originally published in the U.S.A. under the title: No Wonder They Call Him The Savior Copyright Š 1986, 2004 by Max Lucado Published by permission of Thomas Nelson Inc, Nashville, Tennesse

Hak terjemahan Bahasa Indonesia ada pada : PT. VISI ANUGERAH INDONESIA Jalan Karasak Lama No.2 - Bandung 40235 Telp : 022-522 5739 Fax : 022-521 1854 Email : visipress@visi-bookstore.com ISBN : 978-602-8073-39-4 Cetakan pertama, Januari 2011 Indonesian Edition Š Visipress 2010

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penerbit. Member of CBA Indonesia No : 05/PBL-BS/1108/CBA-Ina

Member of IKAPI No : 185/JBA/2010


Untuk Denalyn dengan cinta yang abadi



D aftar I si

Ucapan Terima Kasih Pendahuluan Bagian yang Terpenting

9 11 13

Bagian 1 Salib: Kata-kata-Nya 1. Kata-kata Terakhir, Tindakan-tindakan Terakhir 2. Kata-kata yang Melukai 3. Vigilante Membalas Dendam 4. Kisah Penjahat yang Disalib 5. Meninggalkan Itu Mengasihi 6. Jeritan Orang Kesepian 7. Aku Haus 8. Belas Kasihan Kreatif 9. Sudah Selesai 10. Bawa Aku Pulang

21 25 29 35 43 47 55 59 65 71

Bagian 2 Salib: Saksi-saksi-Nya 11. Siapa Bisa Percaya? 12. Wajah-wajah Dalam Kerumunan

75 79


13. Ya. . . Hampir Saja 14. Sepuluh Orang yang Lari 15. Dia yang Tinggal 16. Bukit Penyesalan 17. Injil Kesempatan Kedua 18. Sediakanlah Tempat Bagi Yang Ajaib 19. Lilin Dalam Gua 20. Pembawa Berita Miniatur

83 89 95 99 103 107 111 115

Bagian 3 Salib: Hikmat-Nya 21. Hidup! 22. Tangan Terbuka 23. Penjaja Jalanan Bernama Kepuasan Hati 24. Dekat Salib - Tetapi Jauh Dari Kristus 25. Kabut Hati yang Hancur 26. Pao, Senhor? 27. Anak Anjing, Kupu-kupu Dan Juru Selamat 28. Kesaksian Allah 29. Keputusan-keputusan Dinamit 30. Apa Harapanmu? 31. Pulanglah! 32. Ketidakkonsistenan yang Konsisten 33. Raungan Panduan Perenungan untuk Pembaca

121 125 129 133 137 143 145 151 157 163 167 171 175 181


U capan Terima K asih Ucapan terima kasih dengan penuh kehangatan kepada: Dr. Tom Olbricht karena menunjukkan kepada saya apa yang penting. Dr. Carl Brecheen untuk benih yang ditanam dalam hati yang rindu mencari. Jim Hackney untuk pengertian yang mendalam mengenai penderitaan sang Guru. Janine, Sue, Doris, dan Paul untuk pengetikan serta doronganmu Bob dan Elsie Forcum karena kemitraan Anda dalam Injil. Randy Mayeux dan Jim Woodroof untuk komentarmu yang membangun dan dorongan dalam persaudaraan. Liz Heaney untuk keterampilan menyunting yang cermat serta kreativitas Anda. Multnomah Press, penerbit awal dari buku ini terima kasih untuk memberi kesempatan kepada saya saat masih menjadi penulis muda. Dan terlebih dari semuanya, kepada Yesus Kristus terimalah ungkapan syukur ini.

11



Pendahuluan Orang Brasil mengajarkan kepadaku tentang indahnya suatu berkat. Berikut satu kejadian di Brasil yang ribuan kali terjadi setiap harinya... Di suatu pagi hari. Saatnya untuk Marcos pergi ke sekolah. Saat ia sedang mengumpulkan seluruh buku-buku sekolahnya dan bersiap menuju pintu keluar rumahnya, ia berhenti sejenak di samping kursi tempat ayahnya duduk. Dia memandang wajah ayahnya dan bertanya “Ben o, Pai?” (Berkati aku, Ayah?) Ayahnya mengangkat tangannya. “Deus te aben oe, meu filho”, ia mengucapkannya dengan yakin. (Tuhan memberkati engkau, Nak) Marcos tersenyum dan segera keluar rumah. Kejadian ini datang ke dalam pikiranku saat saya sedang memikirkan tentang diterbitkannya kembali buku No Wonder They Call Him The Savior. Saya menulis buku ini di Brasil. Tahun-tahun selama di Rio de Jainero melahirkan banyak pemikiran-pemikiran dari buku ini. Gereja muda yang saya layani (kami muda saat itu) dan kerinduan mereka akan salibNya (kamu juga rindu). Banyak dari pesan-pesan kami berpusat pada The Savior—Sang Juru Selamat. Biarlah Tuhan memberkati Anda saat Anda membaca buku ini. Seperti anak-anak Brasil mencari berkat dari ayahnya, biarlah Anda juga mencari berkatNya. Anda tau, Dia tentu akan memberikan. Dia selalu memberikannya. Itulah sebabnya kita memanggilnya Sang Juru Selamat. Max Lucado 13



B agian

yang

S

Terpenting

aya cuma mau tahu apa yang penting.” Dengan aksen Irlandia kental dan mata yang dalam dan pekat. Kata-kata yang tulus ikhlas. “Jangan bicara kepada saya tentang agama, fase itu sudah saya lalui. Dan jangan singgung-singgung soal teologia. Saya punya gelar dalam bidang itu. Langsung ke hal yang pokok saja, oke? Saya mau tahu apa yang penting.” Namanya Ian. Mahasiswa universitas Kanada yang sedang saya kunjungi saat itu. Melalui serentetan peristiwa, ia mengetahui bahwa saya Kristen dan saya mendapatkan bahwa ia mau menjadi Kristen tetapi merasa kecewa. “Saya dibesarkan dalam lingkungan gereja,” jelasnya. “Saya bermaksud terlibat dalam pelayanan. Saya sudah mengambil semua mata kuliah: teologia, bahasa-bahasa, penafsiran Alkitab. Tetapi saya berhenti. Ada sesuatu yang tidak masuk di akal.” “Jawabannya memang ada di sana. Tetapi entah di mana,” katanya serius. “Yah, menurut saya sih, ada.” Saya menengadah dari kopiku sementara dia mulai mengaduk kopinya. Lalu dia menyimpulkan frustrasinya dengan mengajukan satu pertanyaan. “Apa sebenarnya yang penting? Apa yang harus diperhitungkan? Coba katakan. Lupakan saja basa-basinya. Langsung pada intinya saja. Coba beritahukan bagian mana yang penting.” Bagian yang penting. 15


Pa n t a s I a

disebut

Sang Juru Selamat

Lama sekali saya memandang Ian, pertanyaannya seperti masih melayang di udara. Seharusnya bagaimana jawabanku? Apa yang seharusnya dapat kukatakan? Saya dapat menceritakan tentang gereja kepadanya, atau jawaban doktrinal, atau membacakan sesuatu yang klasik seperti Mazmur 23, “Tuhan adalah gembalaku . . .” Tetapi, semuanya terasa begitu sempit. Barangkali pemikiran tentang seks atau berdoa, atau Hukum Kasih. Tidak, Ian menginginkan suatu harta terpendam—bagian yang terbaik. Berhenti dulu sejenak dan cobalah memahami perasaan Ian. Anda dengar pertanyaannya? Anda merasakan frustrasinya? “Jangan ngoceh tentang agama,” katanya. “Berilah apa yang penting.” Lalu, apa yang penting? Dalam Alkitabmu yang berisi lebih dari ribuan halaman, apa yang penting? Di antara sekian banyak petunjuk dan larangan, apa sebenarnya menjadi yang pokok? Apa yang tidak dapat dibuang? Perjanjian Lama? Atau Perjanjian Baru? Kasih karunia? Baptisan? Apa yang akan Anda jawab kepada Ian? Apakah Anda akan berbicara tentang kejahatan dunia atau keunggulan sorga? Apakah Anda akan mengutip Yohanes 3:16, atau Kisah Para Rasul 2:38, atau barangkali 1 Korintus 13? Apa sebenarnya yang penting? Mungkin Anda sudah menggumuli pertanyaan ini. Mungkin Anda sudah ikut aktif beragama dan beriman, namun toh Anda merasakan seolah-olah hanya menemukan sumur yang kering. Doa terasa hampa. Tujuan hidup terasa tak mungkin terpikirkan. Kekristenan menjadi seperti catatan sederetan puncak-puncak yang tinggi dan lembah-lembah yang dalam, serta nada-nada palsu belaka. Apakah cuma ini saja? Ke gereja pada hari Minggu. Lagu-lagu yang merdu. Menyumbang perpuluhan dengan setia. Salib-salib dari emas. Pakaian rapi. Paduan suara yang besar. Alkitab bersampul kulit. Memang manis sekali, tetapi... dimana hati kita? 16


B a g i a n Ya n g T e r p e n t i n g

Saya aduk kopi saya. Ian juga mengaduk kopinya. Saya tidak punya jawaban. Semua ayat yang sudah kuhafal dengan setia rupanya kurang cocok. Semua jawaban yang disediakan siap pakai sepertinya terlalu lemah. Tetapi sekarang, bertahun-tahun kemudian, kutahu apa yang harus kubagi bersama dia. Coba simak kata-kata Paulus dalam 1 Korintus 15. Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci. “Yang sangat penting� katanya. Bacalah terus: Bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya.1 Itulah jawabannya. Hampir-hampir terlalu sederhana. Yesus dibunuh, dikuburkan, dan bangkit. Anda heran? Bagian yang terpenting adalah salib. Tidak lebih, tidak kurang. Salib. Salib itu terpampang di atas garis sejarah seperti intan yang menarik perhatian kita. Kesedihannya memanggil orang-orang yang menderita. Kemustahilannya menarik perhatian orang-orang sinis. Harapan yang terpancar daripadanya menarik semua yang mencari. Dan menurut Paulus, salib itulah yang penting. Bukan main, sebatang kayu yang istimewa! Sejarah telah 1

1 Korintus 15:3-5 17


Pa n t a s I a

disebut

Sang Juru Selamat

memujanya, memandangnya rendah, dengan memberinya lapisan emas, membakarnya, orang telah memakainya dan menjadikannya sampah. Sejarah telah membuat apa saja terhadapnya, tapi mengabaikannya. Itulah satu-satunya pilihan yang tidak ditawarkan oleh salib Tidak ada yang dapat menganggapnya tidak ada! Orang tidak dapat mengabaikan sebatang kayu yang menawarkan klaim2 paling hebat dalam sejarah. Tukang kayu yang mengklaim bahwa Ia adalah Tuhan yang datang ke dunia? Ilahi? Kekal? Penakluk maut? Tidak mengherankan bahwa Paulus menyebutnya “inti dari Injil.� Kesimpulannya membuat kita berpikir serius: kalau cerita itu benar, maka seluruh sejarah bergantung padanya. Titik. Kalau tidak benar, maka ia merupakan cerita sejarah paling konyol. Itu sebabnya salib merupakan yang terpenting. Itu sebabnya, jika saya harus minum kopi lagi dengan Ian, saya akan beritahukan dia tentang salib itu. Saya akan ceritakan tentang hari di bulan April yang banyak angin. Hari ketika kerajaan maut dikalahkan dan harapan mendapat tempat lagi. Saya akan ceritakan tentang Petrus yang jatuh terjerembab, tentang Pilatus yang ragu-ragu, dan kesetiaan Yohanes. Kita akan membaca tentang taman keputusan yang penuh kabut dan semarak ruangan kebangkitan. Kita akan membicarakan katakata terakhir yang diucapkan dengan sengaja oleh Mesias yang penuh pengorbanan. Dan akhirnya, kita akan berbicara tentang Mesias sendiri. Orang Yahudi dari golongan buruh yang klaimnya mengubah dunia dan yang janjinya tidak pernah ada tandingannya. Tidak heran mereka menyebutnya Sang Juru Selamat. Saya bertanya-tanya, mungkin ada beberapa di antara pembaca buku saya yang mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti Ian. Oh ya, salib itu bukan cerita baru bagi Anda. Anda sudah 2

Pernyataan tentang sesuatu fakta atau kebenaran. 18


B a g i a n Ya n g T e r p e n t i n g

melihatnya, memakainya. Anda sudah merenungkannya, sudah membaca tentangnya. Bahkan, barangkali Anda juga sudah berdoa kepadanya. Tetapi, apakah Anda mengenalnya? Setiap penelaahan dari klaim Kristen pada dasarnya menjadi penelaahan dari salib. Tindakan menerima atau menolak Kristus tanpa penyelidikan saksama dari Kalvari sama saja seperti memutuskan membeli suatu mobil tanpa memeriksa keadaan mesinnya. Beriman tanpa mengenal salib sama saja seperti memiliki Mercedes tanpa mesin. Bagian luarnya indah, tetapi di mana tenagamu? Tolonglah! Ambilkan secangkir kopi bagimu. Duduklah dengan nyaman dan berikan saya satu jam dari waktumu. Mari tataplah salib itu baik-baik bersama saya. Mari kita teliti satu jam ini dalam sejarah, Kita akan melihat para saksi. Kita akan dengarkan suara-suara. Kita akan memandang beberapa muka. Dan terlebih dari itu semua, kita akan amati Dia yang disebut Sang Juru Selamat. Maka kita akan melihat bagian mana yang benar-benar paling penting.

19



Bagian - 1 S a l ib : K a t a - k a t a - N y a



1 K ata - kata Terakhir T indakan -T indakan Terakhir

B

aru-baru ini dalam perjalanan pulang ke kota asalku, saya meluangkan waktu untuk melihat sebuah pohon. Ayahku menyebutnya “Pohon oak yang hidup” (dengan tekanan pada kata “hidup”). Sebenarnya pohon itu masih muda, demikian rampingnya sehingga saya bisa memeluk batangnya dan menyentuh jari tengah dengan ibu jariku. Angin Texas Barat di musim gugur menghamburkan daundaun yang jatuh dan saya terpaksa menutup ritsleting mantelku sampai ke atas. Tidak ada tandingannya dari angin dingin dari padang rumput, apalagi di kuburan. “Pohon khusus,” saya berkata pada diriku, “dengan tugas yang khusus.” Saya melihat-lihat sekelilingku. Banyak sekali pohon elm di sana, tetapi tidak ada pohon oak. Tanah itu dipenuhi batu-batu nisan, tetapi tidak ada pohon. Hanya satu pohon oak ini. Pohon khusus untuk orang yang khusus. Kira-kira tiga tahun lalu, ayahku menyadari bahwa otot-ototnya mulai melemas. Dimulai pada tangannya. Kemudian pada betisnya. Lalu lengannya menjadi agak kurus. Ia menceritakan kondisinya kepada iparku yang adalah seorang dokter. Iparku kaget dan menyuruh ayah ke dokter spesialis. Dokter spesialis itu melakukan pemeriksaan yang lama—darah, syaraf, otototot—lalu menarik kesimpulan. Penyakit Lou Gehrig. Penyakit me-

23


Pa n t a s I a

disebut

Sang Juru Selamat

lumpuhkan yang hebat. Tidak ada yang tahu penyebab atau obatnya. Hanya satu hal yang pasti, keganasan dan kecermatannya. Saya melihat pada sebidang tanah itu yang kelak akan menutupi tubuh ayahku. Ia selalu menginginkan dikubur di bawah pohon oak, sehingga ia membeli pohon itu. “Pesanan khusus dari lembah,” ayah menyombong. “Saya terpaksa minta izin khusus dari dewan kota untuk menanamnya di situ.” (Hal ini tidak sulit dilakukan di kota minyak penuh debu ini, di mana semua orang mengenal semua orang.) Kerongkonganku terasa makin tersumbat. Orang yang kurang berjiwa besar akan merasa marah. Orang lain mungkin menyerah. Tapi tidak demikian ayahku. Ia tahu hari-harinya di dunia ini tak lama lagi, jadi ia mulai menyelesaikan segala urusannya. Pohon itu hanya satu di antara persiapan-persiapan yang ia buat. Ia memperbaiki rumah untuk ibu dengan memasang sistem pemancaran air, pembuka pintu garasi dan mengecat kusen rumah. Surat wasiatnya ditinjau lagi. Ia memeriksa polis asuransi dan polis hari tua. Ia membeli saham untuk pembiayaan pendidikan cucu-cucunya. Ia merencanakan upacara penguburannya. Ia membeli tanah kuburan untuk ia dan ibu. Ia menyiapkan anak-anaknya dengan kata-kata yang menguatkan hati serta surat penuh kasih. Dan yang terakhir, ia membeli pohon itu. Pohon oak yang hidup. (Diucapkan dengan tekanan pada kata “hidup.”) Tindakan-tindakan terakhir. Waktu-waktu terakhir. Kata-kata terakhir. Mereka mencerminkan hidup yang dihayati dengan baik. Sama juga dengan kata-kata terakhir Sang Guru. Di saat-saat sebelum kematian, Yesus juga membereskan rumahnya: Doa terakhir mohon pengampunan. Permohonan yang dikabulkan. Permintaan penuh kasih. 24


1 I K a t a - k a t a Te r a k h i r T i n d a k a n - t i n d a k a n Te r a k h i r

Soal penderitaan. Pengakuan akan kemanusiaan. Seruan pelepasan. Pekik penyelesaian. Kata-kata yang kebetulan diucapkan seorang martir? Tidak. Katakata bermaksud, yang dilukiskan pada kanvas pengorbanan oleh Penyelamat Ilahi. Kata-kata terakhir. Tindakan-tindakan terakhir. Masing-masing menjadi jendela dan melalui jendela itu kita akan lebih mengerti tentang salib. Masing-masing menuju kepada kekayaan janji-janji. “Jadi dari situ ayah mendapat pengetahuannya,” saya menyuarakan pikiranku seolah-olah sedang berbicara kepada ayah. Saya tersenyum sendiri sambil berpikir, “Memang lebih mudah meninggal seperti Yesus kalau orang menghayati seluruh hidupnya seperti Dia.” Jam-jam terakhir sudah mulai berlalu. Nyala lembut lilin ayah melemah dan menjadi semakin lemah. Ia berbaring dengan tenang. Tubuhnya dalam proses meninggal, tetapi semangatnya masih hidup. Ia tidak dapat turun lagi dari tempat tidur. Ia memilih untuk melewatkan hari-hari terakhirnya di rumah. Tidak akan lama lagi. Angin kematian akan menghembus kedipan nyala lilin dan akhirnya akan padam. Sekali lagi kupandang pohon oak yang ramping itu. Saya menyentuh pohon itu seolah-olah ia telah mendengar pikiranku. “Tumbuhlah,” saya berbisik. “Bertumbuhlah dengan tegar. Jadilah tinggi. Milikmu adalah harta yang berharga.” Ketika mengendarai mobil pulang melalui ladang-ladang minyak yang bertebaran di jalanan pulang, saya masih saja berpikir tentang pohon itu. Sekalipun masih lemah, puluhan tahun mendatang ia akan bertumbuh kekar. Sekalipun sekarang masih ramping, di tahun-tahun mendatang ia akan menjadi makin besar dan kuat. Tahun-tahunnya yang terakhir akan merupakan tahun-tahun terbaik. Seperti halnya 25


Pa n t a s I a

disebut

Sang Juru Selamat

dengan ayah. Seperti juga dengan Guruku. “Jauh lebih mudah mati seperti Yesus kalau kita sepanjang umur hidup seperti Yesus.” “Bertumbuhlah, pohon muda.” Mataku berkaca-kaca. “Berdirilah tegar. Milikmu adalah harta yang berharga.” Ayah bangun ketika saya pulang. Saya mencondongkan badan kepadanya di tempat tidur. “Saya pergi melihat pohon itu,” kukatakan kepadanya. “Ia masih tumbuh dengan baik.” Ayah tersenyum.

26


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.