@ Yusrin Ahmad Tosepu Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi Indonesia Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penulis Cetakan I, November 2017 Penulis : Yusrin Ahmad Tosepu
Kehidupan sekarang ini, semua orang berkepentingan terhadap jalannya pendidikan, karena pendidikan merupakan wadah yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Selain tujuan tersebut, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam dunia pekerjaan. Tujuan utama dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Pendidikan berfungsi sebagai sebuah proses dimana seseorang di didik agar dapat memiliki kualitas moral dan keahlian yang nantinya akan berguna bagi kemajuan negara ini. Pendidikan adalah jembatan bagi seseorang untuk dapat memasuki dunia kerja. Pendidikan tinggi Indonesia kekinian harus berorientasi pada kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja atau dunia usaha dan industri. Salah satu tujuannya adalah agar perguruan tinggi mampu memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas. Berbagai cara telah diupayakan oleh pemerintah, diantaranya dengan dikembangkannya pendidikan tinggi yang bercirikan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) dan pendidikan berbasis kompetensi guna mempersiapkan peserta didik masuk ke dalam dunia kerja. Buku ini diharapkan dapat memberi pencerahan bagi para penyelenggara, pengelolah perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa untuk lebih pro aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan agar pendidikan tinggi kita dapat melahirkan manusia yang memiliki kualitas yang memadai. Semoga buku ini dapat memberikan informasi tentang peran perguruan tinggi utamanya pada arah pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan dalam rangka menghasilkan sumberdaya manusia yang unggul dan inovatif untuk daya guna dan daya saing bangsa dimasa kini dan masa mendatang.
Makassar, November 2017 Yusrin Ahmad Tosepu
Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan kemajuan zaman, banyak aspek kehidupan yang berubah dan bergeser. Pendidikan kekinian harus berorientasi pada kebutuhan dunia kerja dan industry dengan mempersipkan peserta didik agar memiliki kecakapan hidup yang berguna di dalam dunia kerja. Perubahan Paradigma dan sistem pendidikan tinggi diharapkan dapat menuju pendidikan masa depan yang lebih baik. Perubahan pendidikan yang Pertama; berkaitan dengan sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan tradisional direformasi menjadi sistem pendidikan empowering of people. Hal ini dilakukan karena pendidikan gaya lama (tradisional) menganggap peserta didik sebagai objek yang harus menerima apa saja yang diberikan dosen/guru. Sistem pendidikan empowering of people tersebut diharapkan dapat mengembangkan kemampuan masyarakat. Kedua; berkaitan dengan orientasi pendidikan. Pendidikan sekarang ini harus berorientasi pada dunia kerja, sehingga penekanannya tidak semata�mata pada aspek kognitif, namun juga pada aspek�aspek kepribadian lainnya yang justru lebih penting, seperti aspek afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, pendidikan sekarang ini harus betul� betul berorientasi pada life skill. Dengan demikian, pendidikan saat ini harus berorientasi pada kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja, usaha dan industri. Saatnya pendidikan tinggi Indonesia menyiapkan peserta didik melalui pendidikan dengan pola, konsep, dan model baru yang berorientasi pada pengembangan life skill yang menyiapkan peserta didik agar memiliki kecakapan hidup yang bermakna dan berguna di kemudian hari. Dengan orientasi, paradigma, dan sistem pendidikan yang baru tersebut, diharapkan dapat mengatasi masalah pengangguran yang saat ini merupakan salah satu dari berbagai masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Buku ini secara rinci membahas Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi Indonesia mulai dari perkembangan pendidikan tinggi, pendidikan tinggi masa depan, dan arah pengembangan pendidikan tinggi Indonesia. Secara memadai mengulas tentang pendidikan tinggi sebagai industri produk dan jasa berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan. Buku ini menarik untuk dibaca sebagai referensi untuk menambah wawasan pengetahuan dalam menyikapi perkembangan dunia pendidikan tinggi Indonesia kekenian dan masa mendatang.
KATA PENGANTAR SPIRIT PENERBITAN BUKU DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
i ii iii iv
BAGIAN 1 KONDISI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA A. Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia B. Reorientasi Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia C. Pendidikan Tentukan Kualitas Bangsa D. Pendidikan Nasional Seharusnya
1 1 6 10 11
BAGIAN 2 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA A. Tujuan Dan Arah Pendidikan Tinggi Indonesia B. Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia C. Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia D. Manajemen Pembelajaran Pendidikan Tinggi Indonesia E. Mutu Pelayanan Pendidikan Tinggi Indonesia F. Budaya Penelitian Pendidikan Tinggi Indonesia
13 14 17 21 24 26 27
G.
31
Tupoksi LPPM Di Perguruan Tinggi
H. Budaya Dan Etika Akademik
34
BAGIAN 3 PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN A. Perubahan Dalam Pendidikan Tinggi B. Faktor Pendukung Pengembangan Pendidikan Tinggi C. Strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi D. Implementasi Pengembangan Pendidikan Tinggi E. Tantangan Pendidikan Tinggi F. Model Pendidikan Tinggi Masa Depan G. Tantangan Dosen Dalam Dunia Pendidikan Tinggi H. Gambaran Pembelajaran Dunia Pendidikan Tinggi Masa Depan
48 49 51 52 53 57 59 63 70
BAGIAN 4 PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI INDUSTRI PRODUK DAN JASA BERBASIS ILMU PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN A. Industri Dalam Era Globalisasi B. Pendidikan Tinggi Sebagai Industri Produk dan Jasa C. Pendidikan Tinggi Sebagai Investasi D. Pendidikan Dan Permintaan Pengetahuan E. Industri Pendidikan Tinggi Di Indonesia F. Kelemahan Industri Pendidikan Tinggi Indonesia
74 74 75 76 78 82 83
BAGIAN 5 ARAH PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA A. Pengaruh Industri Terhadap Industri Pendidikan B. Pengaruh Industri Pendidikan Terhadap Perkembangan Industri C. Pendidikan Tinggi Vokasi untuk Dunia Usaha dan Industri D. Prospek Pendidikan Tinggi Vokasi E. Program Pendidikan Sarjana Vokasi
87 87 88 90 94 97
SIMPULAN REFERENSI
100 101
BIODATA PENULIS
Gambar 1. Skema kurikulum pendidikan tinggi Indoneisa Gambar 2. Pergeseran paradigma dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia Gambar 3. Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI) Gambar 4. Unsur mutu pendidikan tinggi Gambar 5. Prosedur dan Pengendalian mutu pendidikan tinggi Gambar 6. Konsep sistem standar mutu perguruan tinggi Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi Gambar 8. Fungsi Total Quality Managemen (TQM) dalam organisasi Gambar 9. Layanan pendidikan tinggi Gambar 10. Konsep pendidikan tinggi abad 21 Gambar 11. Ilustrasi Pendidikan tinggi harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Gambar 12. Tantangan di era globalisasi Gambar13. Perubahan aras pemikiran pengajaran dan pembelajaran abad 21 Gambar 14. Kerangkan kompetensi dosen abad 21 Gambar 15. Skema tuntutan global kompetensi mahasiswa abad 21 Gambar 16. Ciri Pendidik abad 21 Gambar 17. Peran dan fungsi dosen dalam proses pembelajaran abad 21 Gambar 18. Ciri dan model pembelajaran abad 21 Gambar 19. Kompetensi mahasiswa yang diharpakan dari hasil pembelajaran abad 21 Gambar 20. Tantangan utama di era globalisasi Gambar 21. Pendidikan tinggi sebagai sebagai industri produk dan jasa berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan Gambar 22. Ilustrasi pendidikan vokasional Gambar 23. Pendidikan vokasi industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr) Gambar 24. Pendirian pendidikan vokasi di kawasan industri dan wilayah pertumbuhan industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr) Gambar 25. Penyerapan tenaga kerja pendidikan vokasi ((http://www.kemenperin.go.id/gpr) Gambar 26. Industri yang Indonesia sentris ((http://www.kemenperin.go.id/gpr)
103
17 18 19 21 22 23 23 24 26 60 61 62 63 64 64 68 69 70 72 75 80 87 90 92 93 94
Menurut Undang undang no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2 yang di maksud pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang Undang Dasar negara Republik indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Karena di setiap zaman atau masa, masyarakat akan mulai dinamis dan mulai menerima budaya dan pengaruh dari negara lain atau pengaruh eksternal. Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Dewasa ini percepatan perubahan dan perkembangan kebudayaan sangat cepat serta meliputi seluruh aspek kehidupan. Percepatan itu terjadi karena pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang cepat itu mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di era informasi dan keterbukaan. Perubahan tersebut antara lain 1. 2. 3. 4.
Adanya Kecendrungan globalisasi, Perkembangan IPTEK yang semakin cepat, Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat, Tuntutan pelayanan yang lebih profesional dalam segala kehidupan manusia.
Gejala itu sudah terlihat beberapa tahun belakangan ini dan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Pemahaman kita terhadap karakteristik masyarakat global ini sangatlah penting artinya sebagai dasar dalam penentuan kebijaksanaan dan upaya pendidikan yang akan dilaksanakan sekarang dan di masa datang. A. KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA UUD 1945 mengamanatkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh UndangUndang. Dari perwujudan amanat tersebut maka diberlakukannya Undang Undang no 20 tahun 2003, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pedidikan, peningkatan serta revelansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Oleh maka dari itu pengelolan pendidikan harus berorientasi kepada bagaimana menciptakan perubahan yang lebih baik dalam menghadapi Pendidikan Nasional masa depan. Salah satunya tantangan masa depan yaitu abad ke 21 yang ditandandai dengan abad ilmu pengetahuan. Pendidikan Nasional abad 21 bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsanya.
Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang pendidikan, angkatan kerja kita sangat memprihatinkan. (simak data BPS 2016). Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka. Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka; mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas, penyalahgunaan obatobatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian mereka. (Simak informasi dan data pengguna narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa) Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara global amat rendah. Sebagai contoh, data pengangguran sarjana (simak data BPS dan Kemenristekdikti) menunjukkan gambaran riil adanya mismatch dalam dunia pendidikan kita. Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk terhadap negara lain. Mesir 400 doktor, India 1.250 doktor, Jerman 4.000 doktor, Prancis 5.000 doktor, Jepang dan Amerika Serikat mempunyai skor yang sama 6.500 doktor, Israel 16.500 doktor. Sedangkan negara kita tercinta hanya 65 doktor dalam tiap juta penduduk. Publikasi itu secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita dalam mengarungi persaingan di era global yang ditandai dengan keterbukaan dan pasar bebas. Hasil Riset Investigasi yang dilaksanakan Oleh Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) yang dilakukan di 20 Perguruan tinggi Swasta di Wilayah Kopertis IX Sulawesi (2016), menemukan fakta sebagai berikut : 1) 85% hasil Karya ilmiah/paper dosennya, umumnya bersumber dari skripis mahasiswa di internal kampus, sebagian bersumber dari eksternal kampus, artikel-artikel dari internet dan sumber lainnya. Cara yang singkat menghasilkan paper/karya ilmiah dengan mengambil ide-ide dari orang lain tanpa memperhatikan aturan pengutiapan suatu tulisan. Modusnya adalah daur ulang, menjadikan skripis mahasiswa tersebut sebagai format artikel jurnal. dan diterbitkan di jurnal internal kampus. 2) 90%, Jurnal kampus yang diterbitkan asal sekedar jurnal alias JURNAL-JURNALAN untuk menampung paper/karya ilmiah dosen yang asal sekedar menulis alias paper daur ulang (plagiat). Modus menjadikan skripsi sebagai artikel jurnal (yang dibenarkan dan legal oleh kampus) dan kemudian menjadi bagian dari Penilaian Angka Kredit Dosen (PAK DOSEN), pengurusan berkas SERDOS, dan lain sebagainya. Jurnal-jurnalan tersebut dikelolah asal jadi, tidak ada halaman dewan redaksi, editor dan sebagainya. Diterbitkan dalam bentuk fisik tidak dilengkapi dengan terbitan online alias e-jurnal. ISSN jurnal ini
terdaftar di LIPI tetapi jurnal tidak ditemukan online. Fakta lainnya, Judul penelitian yang diajukan dosen di beberapa PTS untuk kegiatan HIBAH PEMULA KEMENRISTEKDIKTI, hampir 80% adalah skripis yang sudah di ujikan di kampus yang bersangkutan, hanya di poles judulnya, isinya sama. Problem besar dengan modus seperti ini, Ibarat pisau bermata dua. Sekilas kuantitas tulisan banyak. Tapi artikel jurnalnya tidak berkualitas. Plagiasi karya merajalela. Jika hal-hal tersebut terus dibiarkan alias pembiaran, kiamatlah dunia pendidikan tinggi kita. Plagiarism by accident. Fakta ini hanya sebagian kecil, Jika kita telusuri lebih jauh, mungkin akan memperoleh angka yang sangat fantatis. Ibarat GUNUNG ES DI LAUT LEPAS. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil, padahal di bawahnya jauh lebih banyak. Jika saja kampus memiliki pedoman anti plagiat, konsisten dan tegas menerapkan sangsi bagi dosen dan mahasiswa plagiat, jurnal kampus di kelolah dengan baik, dilengkapi dengan e-jurnal, IT kampus rajin publikasi paper/karya ilmiah dosen, dimasukkan ke dalam repository yang tersambung ke garuda dikti atau google, bisa jadi karya ilmiah yang diproduksi diberbagai kampus dengan cara daur ulang (plagiat) lebih banyak dari yang betul dan benar ditulis sendiri. Sebaiknya dosen tidak hanya menulis karya ilmiahnya pada jurnal di lingkungan sendiri. Realitas dari fakta tersebut diatas, di kategorikan sebagai Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data, termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya. Para dosen sebagai akademisi, seharusnya objektif dan menjunjung tinggi etika dan budaya akademik dan keilmuan. Inilah salah satu problem besar yang di hadapi pendidikan tinggi kekinian. Dalam etika keilmuan, diterangkan pentingnya etika sains, bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif. Dosen sebagai akademisi harusnya menyiapkan lulusan yang bermutu dan berintegritas, memberikan contoh yang baik dalam menulis karya ilmiah dan akuntabilitas dapat ditelusuri secara online. Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita bila dibandingkan dengan negara lain, misal Malaysia, kita pantas merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57. Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu, namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang. Mengapa semua itu terjadi? Karena berbagai faktor, salah satunya adalah minimnya alokasi dana di sektor pendidikan dan penelitian. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu rendah karena
rata-rata untuk negara berkembang sudah 3,8 persen dan untuk negara maju 5,1 persen. Walaupun tidak di pungkiri, pemerintahan Joko Widodo melalui kementerian terkait terus berupaya meningkatkan alokasi dana untuk pengembangan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi. Salah satu fokus pemerintahan sekarang ini yaitu pengembangan pendidikan tinggi vokasi guna mensinergikan pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. 1. Pendidikan di Era Soeharto (Orde Baru) Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas (1999) menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %. Dalam priode yang sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi 2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%. Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian? Karena orde baru selama lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode. Akibatnya, sistem pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket. Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970an sebagai ganti dewan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di dunia pendidikan melalui modal sulap. Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis. Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya,
dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok terpelajar/terdidik semakin banyak dan meluas. 2. Pendidikan di Era Sekarang Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan Soekarno (orde lama), Soeharto (orde baru), Habibie (orde reformasi) KH. Abdurrahman Wahid (orde transisi) Megawati (orde transformasi), SBY (orde reorientasi dan rekonsiliasi) dan yang sekarang Joko Widodo. Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis. Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesarbesarnya. Memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu tujuan pendidikan untuk ―membentuk manusia yang utuh dan tidak termarjinalkan‖ akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi memang tidak mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan. Dalam aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar dengan biaya khusus. Aspek peserta didik merupakan korban dari proses pendidikan yang ada; jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak. Syafii Maarif dalam pidato Dies Natalis ke-39 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 13 September 2004 mengatakan bahwa pendidikan itu tidak hanya proses penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), akan tetapi lebih jauh pendidikan adalah sebuah proses
panjang yang mengantarkan manusia menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan kekuatan spritual; yang bermuara pada pembentukan moral dan kekuatan diri (integritas) peserta didik. Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus di mana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Jika kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya akan menjadi seperti apa. Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik, prilaku ekonomi, dan pergesaran terhadap ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius, sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan realitas-empiris. Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata; misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti ini, akhirnya tidak menemukan atau bahkan tidak ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah benarbenar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya; Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata. B. REORIENTASI SISTEM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Orientasi sistem pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah di ombang ambingkan isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek. Maka perlu direnungkan kembali filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsafat pendidikan diyakini dapat menentukan arah pendidikan suatu bangsa; jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsafat pendidikannya. Sebelumnya, bangsa Indonesia memang telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari prilaku kehidupannya. Namun demikian, formulasi dari nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus di cari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat. Namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia. Pertama, konsep manusia, pertanyaannya, siapakah manusia itu Dalam konsep Islam manusia itu terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan hancur, hayat berarti hidup. Dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir, sedangkan jiwa bersifat kekal.
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia, bangsa Indonesia yang sering dikategorikan sebagai bangsa timur, mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Ketiga, visi pendidikan Indonesia, dalam UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakekat visi pendidikan nasional adalah untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, menyangkut keunggulan dalam ilmu pengetahuan, spritual, keterampilan, produktivitas dan daya saingnya. Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN memperinci tujuan pendidikan nasional sebagai berikut, yaitu: Pendidikan harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta menghargai jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila. Orientasi pendidikan selama ini lebih menuhankan ilmu dari pada budi. Ujian Nasional yang dulu dikenal Ebtanas misalnya, hampir-hampir terlepas dari sentuhan aspek moral; dari ebtanas pula seorang anak dapat dinyatakan lulus atau tidak dari suatu jenjang pendidikan. Sedangkan upaya penghalusan budi pekerti, pengembangan nilai-nilai moral dan estetika semakin kehilangan pijakannya. Hampir semua sistem perguruan tinggi yang ada di negeri ini kurang menyentuh dan mengembangkan aspek kretivitas. Hanya berorientasi pada hasil belajar yang hanya memihak pada orientasi produk. Akibatnya, persoalan kreativiatas masih saja terlantar dan tidak tersentuh oleh praksis pendidikan kita. Pendidikan untuk siswa merupakan potensi yang harus dikembangkan jika kita ingin menjadi bangsa yang mampu bersaing dalam percaturan dunia secara global. Unggulan kompetitif baru dapat diciptakan melalui insan-insan yang kreatif. Orang yang kreatif adalah mereka yang mampu mencipta sesuatu yang sama sekali baru secara monumental. Kemampuan inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan global di abad 21. Tanpa adanya kreatifitas, kita sulit mempunyai unggulan kompetitif di tengah-tengah bangsa lain. Selain itu, sistem pendidikan kita telah lama mengorientasikan tujuannya pada kawasan kognitif, dan membiarkan kawasan afektif untuk tidak diupayakan aplikasinya. Kebanyakan beranggapan, bahwa jika aspek kognitif ini dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara positif. Asumsi ini sungguh merupakan kesalahan yang sangat serius. Pengabaian kawasan afektif merugikan perkembangan peserta didik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada ialah bahwa peserta didik tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap mental, minat, sistem nilai (moral) dan juga apresiasi (afektif) dalam bentuk prilaku keseharian; sebagai buah dari pengetahuan yang dimilikinya. Fenomena kognitif (pengetahuan) dalam diri seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam dirinya apakah melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam dunia keseharian, betapa posisi afektif dapat berpengaruh kuat pada prilaku seseorang. Seperti contoh, pada masa penjajahan melawan Belanda/Jepang, di mana para pemimpin perang kita mampu dan berhasil menanamkan Sistem nilai kepada seluruh rakyat Indonesia; yaitu: Lebih baik mati dari pada di jajah. Dari sistem nilai itu timbul semboyan Merdeka atau mati. Idealnya, sebuah proses pendidikan mampu menjadikan peserta didiknya menjadi manusia yang benar-benar manusia, yang mengerti akan potensinya, hakekat terdalam dirinya, kenal akan Tuhan-nya dan dapat mengantarkan mereka menjadi manusia yang memandang manusia lain seperti dia memandang dirinya sendiri.
1. Pendidikan Karakter atau Pendidikan Budi Pekerti Guna mewujudkan keinginan di atas, peningkatan kualitas bangsa lewat jalur pendidikan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan: diantaranya pembentukan karakter dan budi pekerti anak didik. Timbulnya ide pendidikan karekter ini, sebenarnya di tandai dengan meluasnya kejahatan dan demoralisasi umat manusia di dunia. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Thomas Lickona yang dinukil oleh Dwi Hastuti Martianto menyatakan; sedikitnya ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, ketidak-jujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan pigur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindak kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penuruan etos kerja, menurunya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya prilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral. Dalam konteks Indonesia, demoralisasi juga mulai tampil kepermukaan, itu ditandai misalnya, terjadi tawuran di kalangan remaja Indonesia, terutama di wilayah Jabodetabek, yang frekuensinya sudah sangat memprihatinkan, telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Sementara itu, penggunaan narkoba dan prilaku seks di luar nikah juga telah menjadi trend di kalangan remaja kita. Dengan kondisi demikian, pendidikan karakter atau budi pekerti menjadi sesuatu yang penting. Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti, menginginkan pembentukan karakter pelajar (character building), yang nantinya mempengaruhi pola pikir dan prilaku. Hal ini adalah bagian penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda pada masa fermative years-nya. Yang pada akhirnya nanti akan melahirkan individu-individu baru, dan siap bersaing dengan negara lainnya. Pendidikan moral (budi pekerti) adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues), yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good peoples). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan. Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation) yang menekankan pada mana yang benar dan mana yang salah secara absolut. Sedangkan hal yang di ajarkan kepada siswa didik, adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman secara langsung maupun tidak manakala terjadi pelanggaran. Yang tidak kalah penting, pendidikan ini juga menghendaki adanya penghayatan bahwa ilmu yang dipelajari akan diamalkan tanpa pamrih. Sifat ilmu yang tanpa pamrih ini (scientific disinterestedness), merupakan suatu etos ilmiah yang tetap harus dijunjung tinggi sampai saat ini. Pengalaman ilmu tanpa pamrih ini sama sekali tidak menyangkal bahwa seorang cendekiawan membutuhkan materi untuk hidupnya, tetapi yang ingin di garis bawahi dengan scientific disinterestedness adalah jangan sampai seorang anak nanti kalau menjadi seorang intelektual hanya bekerja demi sesuap nasi atau kepentingan sesaat, lalu dengan mudah mengorbankan nilainilai moral dan kepercayaan masyarakat, dan juga ilmu yang di dapat tidak diabdikan kepada masyarakat.
Bagaimana dengan pendidikan karakter di Indonesia? Di Indonesia di mana agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil di lihat dari parameter kejahatan, radakilasime, dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya, seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama: tampaknya pendidikan agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agamanya saja, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Jika diperhatikan dari model pendidikannya pun; tampaknya terjadi kelemahan, karena metode pedidikan yang disampaikan dikonsentrasikan atau terpusat pada pendekatan otak kiri (kognitif), yaitu mewajibkan peserta didik untuk menghapal dan mengetahui konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu, tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi manusia. Peran orang tua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orang tua pula-lah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di bangku sekolah. Tanpa keterlibatan orang tua dan keluarga, pendidikan ahklah (karakter) yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter atau akhlak harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari. 2. Pendidikan Humaniora Kita mewarisi Humaniora dari sistem pendidikan Belanda. Waktu Hindia Belanda Humaniora berarti kelompok studi yang mengajarkan bahasa dan sastra klasik. Kekhasan Humaniora sebagai ilmu terletak dalam objek dan subject matter. Objek studi Humaniora adalah manusia, bukan bendabenda mati, baik yang ada di alam pikiran maupun dalam diri manusia. Meskipun sama-sama menjadikan manusia sebagai objek, tetapi subject matter Humaniora berbeda dengan kedokteran. Kalau ilmu kedokteran membicarakan aspek luar dari manusia secara biologis/fisis, sedangkan perhatian Humaniora ialah pada inner side, mental life, mind affected word, dan geistige welt. Humaniora memahami, memaknai, mengerti, menafsirkan dunia dalam manusia, dan tidak menerangkan (explain) dunia luarnya. Humaniora melihat subject matter dengan empati intelektual (intelectual empathy), tidak menjadikannya semata-mata sebagai subjek. Humaniora (humanites) berasal jauh di belakang, ke pendidikan zaman Yuani Kuno. Pada waktu itu paideia (pendidikan) untuk orang merdeka bukan budak, menggunakan hasil-hasil sastra. Zaman Hellenesme, dengan pusat budaya Alexandria dan Pergamum, mengembangkan paideia dengan hasil-hasil sastra kuno, selanjutnya muncul kebudayaan latin dengan kosep sama dan menyebut Humaniora dengan humaniores litterae. Pada zaman Renaissance kebudayaan klasik Yunani-Romawi diadopsi kembali, hingga selanjutnya kita mengenal Humaniora dengan istilah liberal education atau liberal studies. Liberal studies atau cultural studies, yang sampai sekarang masih berlaku di universitas-universitas Barat. Menurut Dilthey, yang disunting oleh Kuntowijoyo, ilmu itu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kerohanian. Bagi Dilthey dalam Humaniora; termasuk studi sejarah, ekonomi, hukum, politik, psikologi, agama, sastra, puisi, arsitektur, musik, dan filsafat. Namun, dari Humaniora sebagai sebuh disiplin ilmu yang harus di cari ialah inner world-nya (dunia dalam), dan bukan seluruh bangunan keilmuan ilmu tunggal. Karena itu boleh saja Humaniora mempelajari institusi besar seperti negara dan lainnya asal diingat bahwa yang di cari adalah mental world-nya, sedangkan institusi-institusi itu hanyalah mind-created structure.
C. PENDIDIKAN TENTUKAN KUALITAS BANGSA Pendidikan merupakan instrumen yang amat penting bagi setiap bangsa untuk meningkatkan daya saingnya dalam percaturan politik, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan pada tata kehidupan masyarakat global. Sadar akan hal itu, sehingga negara besar sekalipun selalu berusaha membangun kualitas pendidikannya ketingkat yang lebih baik lagi. Bahkan ada kecenderungan, negara maju semakin meningkatkan investasi mereka di dunia pendidikan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan semakin meningkatkan investasi di dunia pendidikan. Maka sebagai negara, akan tinggi pula daya saing mereka terhadap negara lain. Hal ini bisa dipahami, karena untuk meningkatkan daya saing suatu bangsa, memerlukan kualitas sumber daya manusia yang prima. Bangsa yang tinggi daya saingnya adalah bangsa yang bisa menganggap penting dunia pendidikan dan kependidikan. Bagaimana dengan negara kita yang tercinta (Indonesia)? Menurut hemat penulis, bangsa ini belum memandang arti pendidikan untuk peningkatan kualitas bangsa. Kelihatannya, bangsa ini belum bisa memandang pendidikan sebagai investasi positif buat kemajuan bangsa ini ke depan. Banyak persoalan pendidikan yang tidak dapat diselesaikan secara komprehensif, sehingga program dan hasil pendidikan seolah-olah bagaikan tambal sulam terhadap tanaman yang merangkas di tengah ladang yang gersang. Banyak persoalan dan program yang meski dirancang untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita; agar sebagai bangsa kita tidak hanya besar secara kuantitatif melainkan juga besar secara kualitatif, dan tidak semakin terpuruk ke lembah keterbelakangan. Diantaranya: persoalan manajemen, pembiayaan, pemerataan, etos kerja, dan motivasi belajar peserta, pemberdayaan dosen, pengadaan sarana prasarana dan infra struktur pendidikan, partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan, kualitas proses belajar-mengajar, kualitas lulusan, dan sebagainya perlu mendapatkan penanganan secara konsisten dan profesional. Adanya gejala dari bangsa ini untuk tidak memandang penting dunia pendidikan. Pemerintah sejak orde lama sampai dengan saat ini, tidak pernah menunjukkan adanya political will yang kuat terhadap pembangunan sektor pendidikan. Kualitas dan daya saing bangsa ini semakin merosot, jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN sekalipun. Kondisi seperti ini tentunya tidak boleh didiamkan begitu saja, harus ada upaya yang sistematis untuk membangun dan memperbaiki sektor pendidikan agar mampu memberi peluang yang cukup luas bagi anak-anak bangsa ini dalam meningkatkan kualitas dirinya, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat dan juga sebagai anak bangsa. Rendahnya kualitas sumber daya manusia, merupakan salah satu pokok masalah yang dihadapi bangsa ini dalam menyongsong era globalisasi. Sebanyak 74,4% angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar atau bahkan tidak tamat. Dan sebagian tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri bergerak di servis rumah tangga/pembantu mencapai 78,14% pada tahun 2016; hal ini dapat dimaklumi, mereka (para TKI) hanya mampu merebut pasar tersebut karena memang hanya itu yang memungkinkan, jika dilihat dari latar belakang pendidikan mereka. Sumber manusia yang bermutu hanya dapat dicapai melalui sistem pendidikan yang berkualitas yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang andal berakhlak mulia, mampu bekerja sama dan bersaing di era globalisasi dengan tetap mencintai tanah air. Sumber daya manusia yang bermutu tersebut memiliki keimanan dan ketakwaan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja, dan mampu membangun budaya kerja yang produktif dan berkepribadian.
D. PENDIDIKAN NASIONAL SEHARUSNYA Untuk mewujudkan keinginan tersebut di atas, maka pendidikan naional seharusnya: Pertama, membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lainnya. Kedua, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, seperti keluarga, sekolah, media masa, dan dunia usaha. Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan pada fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Insititusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan organisasi pemuda lainnya bukan hanya diberdayakan melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional. Kempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menuntut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama. Kelima, prinsip perencanaan pendidikan yang tanggap atas perubahan, pendidikan bersifat progresif, tidak resisten terhadap perubahan, tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu. Keenam, prinsip rekonstruksionis. Dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, artinya juga perubahan berskala besar berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan juga harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Ketujuh, prinsif pendidikan berorientasi kepada peserta didik. Kedelapan, prinsip pendidikan multikultural, sistem pendidikan nasional harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak kalah pentingnya dengan acuan-acuan lainnya. Kesembilan, pendidikan dengan prinsif global, pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun pada waktu bersamaan, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Ainurrafiq dalam buku ―Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi‖, memberikan konsep yang menarik tentang bagaimana pendidikan nasional kita seharusnya. Menurutnya, pendidikan adalah pemberdayaan manusia Indonesia yang mandiri, kreatif, dan tidak bergantung dengan orang lain; pendidikan kita harus bisa membuat sesuatu yang berarti walaupun sangat sederhana. Dalam tulisanya, Ainurrafiq menawarkan ide ―pendidikan terpadu‖, yang dilandasi oleh ide pendidikan, yaitu; a) Pendidikan nasional selama ini tidak pernah bersahabat dengan dunia industri; dunia industri seakan-akan berada di luar dunia pendidikan nasional. Padahal, dunia pendidikan dan dunia industri adalah dua pihak yang saling membutuhkan; b) Pendidikan nasional selama ini tidak memiliki visi yang jelas tentang pemberdayaan manusia Indonesia sendiri. Politik pendidikan nasional terpadu harus sejalan dengan politik ideologi, politik pemerintah, politik ekonomi dan yang lainnya; c) Pendidikan nasional pada dasarnya merupakan otak dari sebuah badan besar yaitu Indonesia. Bila otak-otak itu dipisahkan, baik energi, potensi, maupun kekuatannya, maka kinerja otak tersebut tidak akan maksimal; d) Pendidikan nasional terpadu merupakan pengejewantahan dari kepercayaan manusia Indonesia kepada pengelolaan pendidikan; e) Pendidikan nasional terpadu merupakan jawaban intelektual dari persoalan pendidikan yang semakin lama semakin tidak jelas visi dan misinya.
Gambaran sistem pendidikan nasional terpadu adalah sebagai berikut: 1) 2) 3)
Adanya penyatuan payung pendidikan nasional antar Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, Pendidikan nasional terpadu secara politis merupakan strategi nasional pemerintah yang sedang berkuasa dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dalam bentuk apapun dari negara lain, dan Politik pendidikan, dalam rangka pemberdayaan seluruh masyarakat Indonesia dan penanaman moralitas merupakan sasaran dari tujuan utama pendidikan nasional terpadu.
Sementara Djohar, mengutip tulisan Anne Ebbek, mengemukakan paradigma yang diperkirakan berdampak besar terhadap praksis pendidikan nasional, diantaranya: 1) Pendidikan yang demokratis bukan pendidikan yang otoriter. paradigma pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang ditandai dengan keikutsertaan pelaku pendidikan dalam pengambilan keputusaan untuk keperluan dirinya. 2) Pendidikan yang membebaskan bukan pendidikan yang membelunggu. Pendidikan kita sangat ini dirasakan sangat membelunggu, akibatnya peserta didik dianggap sebagai obyek pendidikan, pendidikan di rasa sebagai kewajiban bukan kebutuhan; wujud dari pendidikan yang membebaskan bisa dilihat dalam proses pembelajaran, di mana peserta didik diberi kebebasan untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat di kontrol benar salahnya, baik dan tidaknya. Sehingga dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai (moralitas) untuk bekal hidup di masa yang akan datang. 3) Pendidikan yang desentralistik bukan pendidikan yang sentralistik; Sentralisasi pendidikan menjadikan peserta didik tidak mengenal lingkungan nyata dari karakteristik kehidupannya masing-masing. Implikasinya, sulit menumbuhkan cinta tanah air dan bangsa. Desentralisai pendidikan menghasilkan otonomi penyelenggaraan dan pembelajaran. Dengan model pendidikan seperti ini, dosen/guru diberikan kebebasan untuk melaksanakan pendidikan yang terbaik dan dibutuhkan oleh peserta didik. 4) Pendidikan yang fleksibel bukan pendidikan yang rigid; Rigiditas pendidikan dapat dilihat dari tingkat, jenjang dan strata. Pola eksit entri ketiga jalur tersebut sangat kaku, sehingga apabila peserta didik telah masuk dalam jalur tertentu, maka tinggal di tunggu apakah ia berhasil atau tidak. Begitu juga mereka yang ingin mempunyai kemampuan ganda tidak akan terakomodasi dengan sistem jalur pendidikan kita yang rigid. Mekanisme eksit entri ini dapat dilaksanakan dengan model matrikulasi, dengan demikian maka seorang siswa dapat memiliki kemampuan yang mereka inginkan. 5) Pendidikan diversivikasi bukan pendidikan uniform; Unifomitas selalu diukur dengan pengetahuan, sedangkan diversifikasi akan memunculkan berbagai kreatifitas yang dapat menghasilkan alternatif. 6) Pendidikan untuk peserta didik bukan untuk dosen/guru; kesan pendidikan sebagai kewajiban bukan kebutuhan, menyebabkan terjadinya penyalahguanan, sehingga peserta didik dijadikan obyek pendidikan. Pendidikan untuk peserta mempunyai prinsip terbentuknya masyarakat belajar yang dibutuhkan dalam hidup di era global. 7) Pendidikan yang konseptual bukan pendidikan yang tekstual; Pendidikan kita selama ini didomiasi oleh dosen/guru yang banyak bicara, sementara bahan ajar yang digunakan sangat tekstual. Peserta didik lebih banyak menerima berita dari teks yang digunakan dosen, mereka lepas dari lingkungan mereka. Padahal sebenarnya, persoalan belajar sangat kaya di sekitar mereka (lingkungan), dan lainnya.
Teasdale dan Rhea (2000) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini di indikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website internet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguruan tinggi di negara-negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan". Tercatat dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Realitas terkini, lebih banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Malaysia, Singapura yang belajar di Indonesia. Pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pasang surut. Isu dan polemik seputar perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang diberitakan oleh media lokal dan internasional seperti kualitas pendidikan tinggi, universitas perintis, polemik teaching university vs research university, konversi IKIP menjadi universitas dan otonomi perguruan tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan hukum (PTBH) bagi UI, ITB, UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61 tahun 1999. Pemerintah, Kemenristekdikti, PT, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat agar dapat mengerti dengan baik mengenai dunia pendidikan tinggi. Di samping itu, perlunya pemerintah memberikan sosialisasi, informasi dan komunikasi secara transfaran mengenai hal tersebut agar masalah dunia pendidikan Indonesia jelas dan terang benderang dan masyarakat bisa paham dengan baik. Maka dari itu mari kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai dunia pendidikan tinggi kita, sekaligus bersama sama mengawasi, mendorong, mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi Indonesia.
A. TUJUAN DAN ARAH PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA 1. Tujuan, Bentuk, Jenjang dan Tridharma Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012. Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 59 menyebutkan, ―Bentuk Perguruan Tinggi terdiri atas: a. b. c. d. e. f.
Universitas; Institut; Sekolah tinggi; Politeknik; Akademi; dan Akademi komunitas.
Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Institut merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Politeknik merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Akademi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu. Akademi Komunitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012. Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 1, meyebutkan, “Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup Program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.‖
Pasal 21: Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi. Program diploma menyiapkan Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya Pasal 18: Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah. Program sarjana menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi profesional Pasal 19: Program magister merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program magister mengembangkan mahasiswa menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional Pasal 20: Program doktor merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia. Pasal 24: Program profesi merupakan pendidikan keahlian khusus yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat untuk mengembangkan bakat dan kemampuan memperoleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia kerja. Program profesi diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK, dan /atau organisasi profesi yang bertanggungjawab atas mutu layanan profesi. Pasal 25: Program spesialis merupakan pendidikan keahlian lanjutan yang dapat bertingkat dan diperuntukkan bagi lulusan program profesi yang telah berpengalaman sebagai profesional untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya menjadi spesialis. Program spesialis dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Dalam Undang-Undang No. 12, Tahun 2012, Tentang Pendidikan Tinggi, Bab I, pasal 1 Ketentuan Umum menyebutkan, “Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. ― Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Fungsi Pokok Pendiikan Tinggi Indonesia Pendidikan tinggi sebagai suatu sistem pendidikan di arahkan pada pencapaian 4 fungsi pokok yaitu: 1. Mempersiapkan mahasiswa untuk riset dan mengajar 2. menyediakan program-program pelatihan khusus tingkat tinggi yang disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi dan sosial 3. Terbuka bagi semuanya, untuk memenuhi banyak aspek dari pendidikan seumur hidup dalam arti yang paling luas 4. Kerjasama Internasional a. Dosen Dosen diwajibkan dan mewajibkan diri untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Kehidupan profesional dosen hendaknya tersusun sedemikian rupa sehingga mengakomodasi kesempatan, atau bahkan kewajiban, bagi mereka untuk lebih ahli dalam seni mereka dan memberikan manfaat dari tahap–tahap pengalaman dari berbagai kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun mengajar pada dasarnya adalah kegiata perseorangan, dalam arti bahwa setiap dosen diharuskan dengan tanggung jawab dan tugas-tugas profesional sendiri-sendiri, kerja tim adalah penting, agar meningkatkan kualitas pendidikan dan menyesuaikan lebih dekat pada karakteristik-karakteristik khusus dan kelas-kelas atau kelompok-kelompok peserta didik. Penelitian dan Publikasi merupakan tolak ukur utama profesionalisme dosen sebagai ilmuwan. Dosen sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan tinggi mempunyai peran yang sangat signifikan bagi PT untuk menjalankan fungsinya. Peran dan tugas pokok dosen telah berkembang dari yang semula lebih ditekankan pada tugas mengajar menjadi pendidik profesional dan ilmuwan. Tugas utama dosen dalam melaksanakan Tridharma perguruan tinggi merupakan satu kesatuan dharma atau kegiatan, karena ketiga dharma tersebut hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dharma pendidikan dan pengajaran akan menghasilkan problematik dan konsep konsep yang dapat menggerakkan penelitian untuk menghasilkan publikasi ilmiah, sebaliknya dari penelitian dan publikasi ilmiah akan memperkaya dan memperbaharui khasanah ilmu untuk digunakan dalam pendidikan dan pengajaran. Hasil penelitian dan publikasi akan menghasilkan bahan pengajaran yang terbaharui terus menerus dan mutakhir. Di pihak lain hasil dharma penelitian akan dapat diaplikasikan dalam dharma pengabdian kepada masyarakat serta berlaku sebaliknya, hasil dharma pengabdian kepada masyarakat akan memberikan inspirasi dan gagasan dalam penelitian. Dharma penelitian dapat memberikan sumbangan cukup besar pada dharma yang lain. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika prestasi seorang dosen dalam penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan. b. Pilihan Pendidikan: Faktor Politik Pemilihan sebuah tipe pendidikan berarti pemilihan suatu tipe masyarakat. Pemerintah menganjurkan pelaksanaan pengukuran untuk melibatkan lembaga/institusi yang aktif berkenaan dengan pengambilan keputusan pendidikan untuk pengembangan dan generalisasi pembaharuan pendidikan.
Kemajuan informasi baru dan teknologi hendaknya meningkatkan penilaian umum yang membuka jalan untuk pengetahuan di dunia tentang masa yang akan datang. 1. Keragaman dan peningkatan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan dan memanfaatkan perkembangan teknologi 2. Penggunaan yang lebih besar teknologi-teknologi tersebut dalam pendidikan tinggi terutama dalam proses pembelajaran dan pelayanan. 3. Penguatan sarana-prasarana negara berkembang dan kemajuan-kemajuan dalam bidang ini dan desiminasi teknologi-teknologi dalam keseluruhan masyarakat. 4. Meluncurkan program-program untuk desiminasi teknologi-teknologi baru. c. Kerjasama Internasional Pendidikan Pada tingkat kerjasama Internasional suatu kebijakan tentang peningkatan pendidikan hendaknya diupayakan berdasarkan semangat pengembangan dan kemajuan pendidikan. Tukar menukar yang menguntungkan hendaknya digalakkan agar menutup kerugian akibat yang merugikan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan penyesuaian dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pengurangan devisa defisit domestik dan luar negeri tentang pengeluaran pendidikan. Sistem pendidikan hendaknya dibantu untuk memperoleh kekuatan dengan jalan menggalakkan aliansi-aliansi kerjasama antar pemerintah pada tingkat regional dan antar-negara dalam menghadapi masalah-masalah yang sama. Dipandang dari sudut masa depan, kerjasama pendidikan hendaknya dibentuk untuk melihat teknologi baru, evolusi perkembangannya dan pengaruh masa depannya, tidak hanya untuk sistem-sistem pendidikannyan tetapi juga untuk masyarakat. Kerjasama intelektual dalam pendidikan hendaknya digalakkan dengan melalui perantara pemerintah dan atau negara seperti: jabatan-jabatan guru besar, institusi/lembaga pendidikan (sekolah/universitas) yang dipersatukan dalam kerjasama, penyebaran yang tepat tentang pengetahuan antar negara, desiminasi teknologi-teknologi dan pertukaran-pertukaran peserta didik (mahasiswa), dosen dan peneliti. B. KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan program studi.
Gambar 1. Skema kurikulum pendidikan tinggi Indoneisa
Jika dikaitkan dengan sistem pendidikan tinggi, maka kurikulum dapat berperan sebagai:
Sumber kebijakan manajemen pendidikan tinggi untuk menentukan arah penyelenggaraan pendidikannya; Filosofi yang akan mewarnai terbentuknya masyarakat dan iklim akademik; Patron atau pola pembelajaran, yang mencerminkan bahan kajian, cara penyampaian dan penilaian pembelajaran; Atmosfer atau iklim yang terbentuk dari hasil interaksi manajerial PT dalam mencapai tujuan pembelaja-rannya; Rujukan kualitas dari proses penjaminan mutu; serta Ukuran keberhasilan PT dalam menghasilkan lulusan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dari penjelasan ini, nampak bahwa kurikulum tidak hanya berarti sebagai suatu dokumen saja, namun merupakan suatu rangkaian proses yang sangat krusial dalam pendidikan.
Sebelum tahun 2000 proses penyusunan kurikulum pendidikan tinggi disusun berdasarkan tradisi 5 tahunan (jenjang S1) atau 3 tahunan (jenjang D3) yang selalu menandai berakhirnya tugas satu perangkat kurikulum. Selain itu, disebabkan pula oleh rencana strategis PT yang memuat visi dan misi PT juga telah berubah. Globalisasi dan pasar bebas saat ini, percepatan perubahan terjadi di segala sektor, maka akan sulit bagi masyarakat untuk menahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perubahan kurikulum berasal dari internal PT sendiri, menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan dunia kerja dan dunia industri. Perubahan kurikulum terjadi untuk beradaptasi pada tuntutan dunia kerja. Alasan inilah yang dijadikan dasar untuk melakukan perubahan kurikulum PT di Indonesia.
Gambar 2. Pergeseran paradigma dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia
Setelah diratifikasinya beberapa perjanjian dan komitmen global (AFTA, WTO, GATTS) oleh pemerintah Negara RI. Berbagai macam parameter kualitas dipasang untuk menstandarkan mutu dan kualitas lulusan. Berbagai kesepakatan dan kesepahaman antar Negara-negara di ASEAN mulai ditetapkan. Roadmap mobilitas bebas tenaga kerja professional antar Negara di ASEAN telah dibentangkan. Perkembangan roadmap tersebut dimulai semenjak tahun 2008 dengan melakukan harmonisasi berbagai peraturan dan sistem untuk memperkuat institusi pengembang SDM. Kemudian pada tahun 2010 mulailah disepakati Mutual Recognition Agreement (MRA) untuk berbagai pekerjaan dan profesi.
Beberapa bidang profesi yang telah memiliki MRA hingga tahun ini adalah:
Engineers; Architect; Accountant; Land surveyors; Medical doctor; Dentist; Nurses, dan Labor in tourism.
Atas dasar prinsip kesetaraan mutu serta kesepahaman tentang kualifikasi dari berbagai bidang pekerjaan dan profesi di era global, maka diperlukanlah sebuah parameter kualifikasi secara internasional dari lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain alasan tuntutan paradigma baru pendidikan global di atas, secara internal, kualitas pendidikan tinggi memiliki disparitas yang sangat tinggi. Antara lulusan S1 program studi satu dengan yang lain tidak memiliki kesetaraan kualifikasi, bahkan pada lulusan dari program studi yang sama. Selain itu, tidak dapat dibedakan antara lulusan pendidikan jenis akademik, dengan vokasi dan profesi. Carut marut kualifikasi pendidikan ini membuat akuntabilitas akademik lembaga pendidikan tinggi semakin turun. Rendahnya akuntabilitas akademik pendidikan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2012, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, dorongan sekaligus dukungan untuk mengembangkan sebuah ukuran kualifikasi lulusan pendidikan Indonesia dalam bentuk sebuah kerangka kualifikasi, yang kemudian dikenal dengan nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 pada pasal 1 menyatakan bahwa: ―Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifiasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintergrasian antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sector.‖
Gambar 3. Kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI)
KKNI disusun sebagai respon dari ratifikasi yang dilakukan Indonesia pada tanggal 16 Desember 1983 dan diperbaharui tanggal 30 Januari 2008 terhadap konvensi UNESCO tentang pengakuan pendidikan diploma dan pendidikan tinggi (The International Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in Asia and the Pasific). Misi pendidikan tinggi abad ke-21 dari UNESCO (1998) telah dirumuskan oleh The International Commissionon on Education for theTwenty-first Century diketuai oleh Jacques Delors (UNESCO, 1998) dapat dijadikan rujukan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi.
Sumber : Misi pendidikan tinggi abad ke-21 dari UNESCO (1998) telah dirumuskan oleh The International Commissionon on Education for theTwenty-first Century
Dengan dorongan perkembangan global yang saat ini dituntut adanya pengakuan atas capaian pembelajaran yang telah disetarakan secara internasional, dan dikembangkannya KKNI, maka kurikulum semenjak tahun 2012 mengalami sedikit pergeseran dengan memberikan ukuran penyetaraan capaian pembelajarannya. Kurikulum ini masih mendasarkan pada pencapaian kemampuan yang telah disetarakan untuk menjaga mutu lulusannya. Kurikulum ini dikenal dengan nama Kurikulum Pendidikan Tinggi. Dengan adanya KKNI maka negara-negara lain dapat menggunakannya sebagai panduan untuk melakukan penilaian kesetaraan capaian pembelajaran serta kualifikasi tenaga kerja baik yang akan belajar atau bekerja di Indonesia maupun sebaliknya apabila akan menerima pelajar atau tenaga kerja dari Indonesia. C. MUTU PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Tuntutan akan pendidikan tinggi yang berkualitas adalah hal wajar pada zaman sekarang. Dalam hal ini tidak hanya para peserta didik yang didongkrak kualitasnya,tetapi juga tenaga pengajar (dosen). Pendidikan tinggi yang berkualitas akan diperoleh apabila antara mahasiswa dan dosen sama-sama mempunyai kualitas. Tidak hanya pendidikan ilmu pengetahuan saja yang harus diajarkan oleh dosen di kampus, melainkan juga pendidikan kepribadian dan karakter. Mahasiswa tidak akan dikatakan sebagai pelajar yang berkualitas tanpa disertai dengan kepribadiannya yang baik. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan dan kualitas mahasiswa dan dosen sangat penting agar kita bisa ikut bersaing di abad millenium ini. Sistem pendidikan juga harus diperbaharui agar mendukung program peningkatan kualitas tersebut. Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Kualitas produk pendidikan tinggi diukur dari sistem INPUT-PROSES-OUTPUT (IPO), dengan perencanaan, analisis, dengan kontrol yang ketat. Manajemen perguruan tinggi, mensinkronkan atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (IPO) lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia memiliki empat tahapan pokok, yaitu: (1) Input; (2) Proses; (3) Output; dan (4) Outcomes.
Gambar 4. Unsur mutu pendidikan tinggi
Paradigma baru manajemen pendidikan tinggi menekankan pentingnya otonomi institusi yang berlandaskan pada akuntabilitas, evaluasi, dan akreditasi dan bermuara pada tujuan akhir peningkatan kualitas secara berkelanjutan. Kecenderungan globalisasi, kebutuhan masyarakat dan tuntutan persaingan yang semakin ketat menuntut komitmen yang tinggi pada penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Gambar 5. Prosedur dan Pengendalian mutu pendidikan tinggi
Proses pembelajaran yang baik memiliki unsur yang baik dalam beberapa hal, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Capaian pembelajaran (learning outcomes) yang jelas; Organisasi PT yang sehat; Pengelolaan PT yang transparan dan akuntabel; Ketersediaan rancangan pembelajaran perguruan tinggi dalam bentuk dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai kebutuhan pasarkerja; Kemampuan dan ketrampilan sdm akademik dan nonakademik yang handal dan profesional; Ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas belajar yang memadai
Dengan memiliki keenam unsur tersebut, PT akan dapat mengembangkan iklim akademik yang sehat, serta mengarah pada ketercapaian masyarakat akademik yang profesional. Ketercapaian iklim dan masyarakat akademik dijamin secara internal oleh PT masing-masing.
Gambar 6. Konsep sistem standar mutu perguruan tinggi
Gambar 7. Konsep pengembangan kurikulum perguruan tinggi
Beberapa indikator yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan lulusan PT adalah: 1. 2. 3.
IPK; Lama Studi dan Predikat kelulusan yang disandang.
Proses ini tidak hanya berhenti disini. Perguruan tinggi perlu menjamin agar lulusannya dapat terserap di pasar kerja. Keberhasilan PT untuk dapat mengantarkan lulusannya diserap pasar kerja.
D. MANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Perlunya PT melaksanakan suatu manajemen mutu terpadu, termasuk di dalamnya Sistem Jaminan Mutu Pendidikan untuk menjamin agar mutu pendidikan di suatu PT dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan yang direncanakan/dijanjikan. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel dan dinamis agar memungkinkan setiap perguruan tinggi untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang dihadapinya. Di era kontemporer ini banyak ditemukan model manajemen dan pembelajaran pendidikan. Munculnya beberapa model tersebut disebabkan oleh kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin menonjolkan sisi modernitasnya. Sehingga dengan demikian manajemen dan pembelajaran dituntut untuk terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Salah satu model manajemen pendidikan yang telah banyak mengejutkan para praktisi pendidikan adalah munculnya manajemen pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mengedepankan kualitas mutu institusi pendidikan sebagaimana mutu yang diandalkan dalam sebuah perusahaan. Penerapan manajemen pendidikan ini lebih populer disebut dengan istilah Total Quality Education (TQE). Adapun dasar yang digunakan dalam pengembangan manajemen seperti ini adalah Total Quality Management (TQM) yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis, kemudian dikembangkan dan diterapkan dalam dunia pendidikan. Secara filosofis manajemen pendidikan seperti ini menekankan pada kepuasan pelanggan, layaknya sebuah perusahaan yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan (customer). Yakni, institusi memberikan pelayanan (service) kepada pelanggan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pelayanan yang diberikan kepada pelanggan tentunya haruslah bermutu sehingga dapat memuaskan pelanggan. Dengan demikian institusi selalu dituntut untuk memperbaiki kualitas mutu pendidikan demi tercapainya mutu yang baik dan kepuasan pelanggan. Pelanggan menurut Ali Riyadi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pelanggan dalam (internal customer) dan pelanggan luar (external customer). Yang termasuk pelanggan dalam di dunia pendidikan adalah pengelola institusi pendidikan seperti dosen, staff dan penyelenggara institusi. Adapun pelanggan luarnya adalah mayarakat (pelajar/mahasiswa), pemerintah, dunia pendidikan, dunia usaha dan dunia industri. Jadi, suatu institusi pendidikan dikatakan bermutu apabila kepuasan pelanggan dalam dan pelanggan luar telah terpenuhi. Untuk memposisikan institusi pendidikan sebagai industri jasa ilmu pengetahuan, maka harus memenuhi standar mutu Total Quality Management, serta harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan.
Gambar 8. Fungsi Total Quality Managemen (TQM) dalam organisasi
Secara operasional mutu dapat ditentukan oleh lima faktor, yaitu: 1. Terpenuhinya semua spesifikasi yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa. Menurut Edward Sallis (2011: 7) yang pertama dapat disebut quality infect (mutu sesungguhnya) dan kedua disebut quality in perception (mutu persepsi). Dalam dunia pendidikan quality infect dapat diukur dengan kemampuan dasar yang dikuasai oleh peserta didik dan kualifikasi akademik lulusan institusi pendidikan terkait. Sedangkan quality in perception dapat diukur dengan kepuasan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan dari institusi pendidikan tersebut. Selanjutnya dalam operasi Total Quality Management in Education perlu diperhatikan beberapa hal pokok sebagai konsep yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan. Adapun hal-hal yang pokok tersebut adalah perbaikan secara terus menerus (continuous improvement). Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola pendidikan hendaknya senantiasa mengadakan perbaikan-perbaikan guna tercapainya mutu pendidikan yang benar-benar berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Adapun perbaikan tersebut membutuhkan introspeksi agar setiap kesalahan yang didapat dalam perjalanannya diketahui dan kemudian terus diperbaiki. 2. Menentukan standar mutu (quality assurance). Ini merupakan konsep mendasar untuk menentukan apakah pendidikan dikatakan bermutu atau tidak tergantung pada standar mutu yang telah ditentukan oleh pihak pengelola institusi pendidikan. Penentuan standar mutu harus memenuhi seluruh aspek yang terdapat dalam pendidikan, mulai dai tujuan hingga pada kurikulum pendidikan yang digunakan dalam institusi tersebut. Selain itu juga perlu ditentukan standar evaluasi yang bisa dijadikan sebagai alat untuk mancapai kemampuan dasar pada peserta didik. Dan standar mutu proses pembelajaran di sini juga harus menjadi perhatian besar bagi pengelola pendididikan. Seperti, model pembelajaran yang digunakan. Menurut Dr. A. Ali Riyadi minimal memenuhi beberapa karakteristik, yaitu menggunakan pendekatan pembelajaran aktif (student active learning), pembelajaran koperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstuktif, dan pembelanjaran tuntas (mastery learning). 3. Perubahan kultur (change of culture). Konsep ini bertujuan untuk membentuk dan menanamkan kesadaran kepada seluruh pengurus dan pengelola institusi pendidikan. Di sini pemimpin dituntut untuk terus memotivasi anggotanya agar tetap semangat dan senantiasa menjaga hubungan baik satu sama lain di dalam organisasi intistusi pendidikan. 4. Perubahan organisasi (up-down organization). Dalam mata rantai dan sturktur organisasi tradisional pada umumnya pemimpin atau menajer tertinggilah yang mempunyai kekuasaan penuh dan berhak memerintahkan apa saja kepada bawahan. Akan tetapi menurut Edward Sallis (2008: 80) pada kultur organisasi Total Quality Management (TQM) ini bisa digambarkan seperti piramida terbalik, yang paling teratas dalam struktur tersebut adalah pelajar. Dengan demikian, manajer senior tugasnya hanyalah memberikan dukungan dan wewenang kepada pelajar, bukan memerintahnya. 5. Menjaga hubungan baik dengan pelanggan (keeping close to be customer). Karena organisasi pendidikan mengedapankan kepuasan pelanggan, maka para pengelola dituntut untuk selalu menjaga hubungan baik dengan masayrakat dan pelajar. Jika tidak ada hubungan yang baik di antara mereka maka mustahil akan terjadi kepuasan pada pelanggan. Lima faktor pokok di atas hendaknya menjadi perhatian besar bagi para praktisi pendidikan yang menginginkan untuk menerapkan Total Quality Management in Education. Sebab, jika lima hal pokok di atas tidak dilaksanakan dengan baik, maka mutu pendidikan yang diinginkan oleh para pelanggan tidak
akan tercapai. Selain itu, perlu disadari menjalankan roda organisasi dalam pendidikan memerlukan manajemen dan pengaturan yang baik. TQM adalah salah satu model manajemen dalam pendidikan berbasis industri yang dapat dikembangkan dalam pendidikan. E. MUTU PELAYANAN PENDIDIKAN TINGGI Mutu pelayanan telah menjadi perhatian utama dalam memenangkan persaingan. Mutu pelayanan dapat dijadikan sebagai salah satu strategi lembaga pendidikan tinggi untuk menciptakan kepuasan konsumen. Keberhasilan suatu jasa pelayanan dalam mencapai tujuannya tergantung pada konsumennya, dalam arti perguruan tinggi memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya akan sukses dalam mencapai tujuannya. Suatu pendidikan bermutu tergantung pada tujuan dan yang akan dilakukan dalam pendidikan. Definisi pendidikan bermutu harus mengakui bahwa pendidikan apapun termasuk dalam suatu sistem. Mutu dalam beberapa bagian dari sistem mungkin baik, tetapi mutu kurang baik yang ada di bagian lain dari sistem, yang menyebabkan berkurangnya mutu pendidikan secara keseluruhan dari pendidikan. Kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan (Tjiptono dan Diana, 2003). Mutu pelayanan diketahui dengan cara membandingkan harapan/ kepentingan pelanggan atas layanan yang ideal dengan layanan yang benar-benar mereka terima. Menurut Feigenbaum (1996) mutu merupakan kekuatan penting yang dapat membuahkan keberhasilan baik di dalam organisasi dan pertumbuhan lembaga, hal ini juga bisa diterapkan di dalam penyelenggaraan pelayanan mutu pendidikan. Selanjutnya jika mutu dikaitkan dalam penyelenggaraan pendidikan maka dapat berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa penjaminan mutu adalah wajib baik internal maupun eksternal.
Gambar 9. Layanan pendidikan tinggi
Apabila jasa pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka mutu pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika pelayanan jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka mutu pelayanan dipersepsikan sebagai mutu yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka mutu pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan/kepentingan pelanggannya secara konsisten. Kajian mengenai karakteristik jasa pada lembaga pendidikan tinggi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: 1.
Perguruan tinggi termasuk ke dalam kelompok jasa murni (pure service), di mana pemberian jasa yang dilakukan didukung alat kerja atau sarana pendukung semata, seperti ruangan kelas, kursi, meja, dan buku-buku;
2.
Jasa yang diberikan membutuhkan kehadiran pengguna jasa (mahasiswa), jadi di sini pelanggan yang mendatangi lembaga pendidikan tersebut untuk mendapatkan jasa yang diinginkan (meskipun dalam perkembangannya ada yang menawarkan program jarak, universitas terbuka, dan kuliah jarak jauh);
3.
Penerimaan jasa adalah orang, jadi merupakan pemberian jasa yang berbasis orang. Sehingga berdasarkan hubungan dengan pengguna jasa (pelanggan / mahasiswa) adalah high contact system yaitu hubungan pemberi jasa dengan pelanggan tinggi. Pelanggan dan penyedia jasa terus berinteraksi selama proses pemberian jasa berlangsung. Untuk menerima jasa, pelanggan harus menjadi bagian dari sistem jasa tersebut;
4.
Hubungan dengan pelanggan adalah berdasarkan member relationship, di mana pelanggan telah menjadi anggota lembaga pendidikan tersebut, sistem pemberian jasanya secara terus menerus dan teratur sesuai kurikulum yang telah ditetapkan.
Pelayanan yang didasarkan pada hubungan dengan kepuasan pelanggan merupakan kunci mempertahankan pelanggan dan mencakup pemberian keuntungan finansial serta sosial di samping ikatan struktural dengan pelanggan. Menurut Feigenbaum (1996) mutu merupakan satu satunya kekuatan terpenting yang dapat membuahkan keberhasilan baik di dalam organisasi dan pertumbuhan perusahaan baik di skala besar maupun di skala kecil, hal ini juga bisa diterapkan di dalam penyelenggaraan pelayanan mutu pendidikan. Pelayanan pendidikan bagian yang tak terpisahkan dari penjaminan mutu perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan stakeholders melalui penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi. Manajemen tatakelola pendidikan yang mengedepankan kualitas pelayanan akan meningkatkan kualitas hasil proses belajar-mengajar yang bermuara pada hasil keluaran yang berdayaguna dan berdaya saing untuk masyarakat, bangsa dan negara. Perguruan tinggi dikatakan bermutu apabila mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya (aspek deduktif), serta mampu memenuhi kebutuhan/memuaskan stakeholders (aspek induktif) yaitu kebutuhan masyarakat, dunia kerja dan profesional. F. BUDAYA PENELITIAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Produk dan Inovasi teknologi yang dihasilkan suatu negara adalah salah satu parameter mengukur Kemajuan dan daya saing negara tersebut. Produk dan inovasi teknologi tentu saja dihasilkan melalui RISET. Riset adalah kerja intelektual, pada saat yang sama adalah kerja fisik. Kerja riset tidak sekadar
memerlukan orang-orang yang cerdas secara intelektual, tapi juga kokoh dalam semangat dan kekuatan fisik. Banyak kerja riset yang menuntut periset untuk melakukan eksperimen yang sulit hingga tingkat ekstrim. Untuk mencapai hasilnya diperlukan waktu yang sangat lama. Untuk mencapainya tidak hanya diperlukan kecerdasan, tapi juga kesabaran dan ketahanan fisik. Industri yang berdikari memerlukan platform teknologi. Platform teknologi hanya bisa dihasilkan dengan riset yang berdikari pula. Riset yang berdikari hanya bisa berjalan kalau memiliki orang-orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga kreatif dan tangguh, dalam hal fisik maupun mental. Masalah utama yang di hadapi Indonesia adalah, perguruan tinggi belum menjadi tempat riset untuk menghasilkan platform teknologi. Tidak ada kerja riset sistematis yang menghasilkan platform teknologi. Otomatis tidak ada orang-orang yang mendapat pelatihan intelektual dan mental, juga fisik.. Itulah sebabnya kita tidak memiliki industri yang berdikari dalam hal teknologi. Industri kita hanyalah pelayan kepentingan industri asing. Penelitian di perguruan tinggi tidak pernah didorong untuk menjadi sebuah karier. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan antara kegiatan pengajaran dan penelitian, dan pada akhirnya menghambat kinerja universitas berbasis riset. Selain itu, terdapat beberapa masalah mendasar pada lingkungan pendukung kegiatan penelitian di perguruan tinggi. Masalah terbesarnya terdapat pada kurangnya motivasi dosen untuk bertahan di sektor pengetahuan, fenomena rendahnya jumlah akademisi yang berminat menjadi peneliti. Umumnya, akademisi (dosen) hanya sekedar melaksanakan aktifitas dan kegiatan pengajaran. Parahnya lagi, kegiatan penelitian dosen perguruan tinggi cenderung hanya memusatkan perhatian pada agenda penelitiannya sendiri, dan kurang memedulikan kebutuhan di ranah kebijakan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penggunaan bukti. Hasilnya adalah tumpukan karya ilmiah hasil penelitian yang tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Kecenderungan yang terjadi adalah karya ilmiah dibuat hanya sekedar memenuhi kebutuhan kenaikan pangkat fungsional dan golongan (baca: Penilaian angka kredit Dosen alias PAK DOSEN) bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains (IPTEKS). Perihal lain, minimnya publikasi penelitian dosen pada jurnal nasional terakreditasi dan jurnal Internasional bereputasi. Realitasnya, dosen cenderung menerbitkan karya ilmiahnya di ―Jurnal jurnalan‖ internal kampusnya. Belum lagi masalah kasus plagiasi yang mendera beberapa dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Dalam konteks output (luaran), perguruan tinggi hanya sekadar menghasilkan orang-orang yang "siap pakai", yaitu orang-orang yang memenuhi syarat untuk bekerja di berbagai industri. Tugas mereka adalah mengoperasikan berbagai peralatan teknologi pada industri tersebut. Bahkan untuk "sekadar" menghasilkan orang-orang seperti itu saja pun perguruan tinggi masih keteteran. Banyak perguruan tinggi yang sekadar menghasilkan orang-orang bergelar, minus kompetensi. Mahasiswa digiring untuk mengikuti berbagai mata kuliah, mengikuti ujian, lulus dengan suatu nilai. Tapi mereka sebenarnya tidak paham soal apa yang mereka pelajari. Mereka juga tidak punya kemampuan belajar mandiri. Tentu saja mereka pun tak mendapat pelatihan yang memadai soal kreativitas, dan ketangguhan mental (ketekunan) dan lain sebagainya. Persoalan yang sama ada pada lembaga pendidikan di tingkat yang lebih rendah, yaitu pendidikan menengah dan dasar. Sekolah-sekolah kita cenderung menjadi lembaga tempat anak-anak berlatih menghafal. Hafalan itu dipakai untuk menjawab soal-soal ujian, menghasilkan daftar nilai. Pelajar tidak dilatih untuk paham, berpikir, lalu menjadi kreatif. Juga tidak tangguh dalam hal mental dan fisik. Sistem dan Kurikulum pendidikan yang semangatnya adalah "memangkas" berbagai formalitas pendidikan, ditujukan untuk lebih fokus pada hal-hal substansial, pada kenyataannya tidak konsisten dan utuh implementasi pelaksanannya.
Salah satu wujud keprihatinan pemerintah melihat kondisi mutu lulusan perguruan tinggi Indonesia, Pemerintah sedang gencar mengembangkan program pendidikan vokasi guna mendekatkan pendidikan dan dunia industri, Pemerintah membuka program pendidikan vokasi, dengan pemikiran bahwa pembangunan dan penguatan sendi sendi pendidikan tinggi hanya bisa dilakukan dengan perubahan paradigma dan penelitian yang aplikatif, konsentrasi pemahaman dengan kultur akademik yang peka dengan kekayaan multidisiplin. Keterlibatan dunia industri dalam pendidikan vokasi terutama dalam memberikan umpan balik (feed back) terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan seorang mahasiswa lulusan pendidikan vokasi. Pemerintah melalui Kemenristekdikti dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya meningkatkan peran pendidikan kejuruan dan pendidikan sarjana vokasi dalam menunjang penyediaan tenaga kerja agar sesuai kebutuhan di dunia industri. Walaupun hasilnya belum dapat dirasakan, masyarakat Indonesia berharap semoga program pendidikan vokasi menjadi salah satu solusi menggurangi sarjana pengangguran. Dunia pendidikan Indonesia kerap tertinggal dengan negara lain. Salah satu penyebabnya adalah minimnya kegiatan penelitian yang dilakukan institusi pendidikan di Indonesia. Itulah Ucapan dan kalimat yang sering terdengar ketika membahas riset di perguruan tinggi. Perihal penelitian di PT, Pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti, telah menyiasati kendala ini, salah satu solusinya adalah menetapkan empat perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum. Dengan status badan hukum, empat PTN tersebut dapat mengelola dana secara mandiri, transparan dan akuntabel. Sekaligus sebagai perguruan tinggi yang berbasis riset dan menjadi rujukan bagi perguruan tinggi lainnya. Keempat PTN itu adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Penetapan empat PTN sebagai badan hukum tersebut, bertujuan mendorong para intelektual dan ilmuwan Indonesia untuk tampil sebagai produsen Iptek yang kreatif, inovatif, dan produktif. Selain mengubah status empat PTN, dana penelitian bagi perguruan tinggi negeri maupun swasta juga dijamin. Pasal 89 ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) mengatur bahwa pemerintah mengalokasikan paling sedikit 30 persen dari dana bantuan operasional dari anggaran fungsi pendidikan untuk kegiatan penelitian. Perguruan tinggi di Indonesia masih menempatkan dirinya sebagai konsumen Iptek yang dihasilkan negara lain. Penelitian yang dilakukan perguruan tinggi belum optimal salah satu kendalanya adalah dana. Akibatnya, kalangan akademik lebih mengedepankan referensi dari negara barat. Budaya penelitian di Perguruan Tinggi (PT) Indonesia belum terbangun dengan baik. Budaya penelitian diharapkan dapat mendorong para komunitas akademik (dosen, mahasiswa) untuk menelurkan karya ilmiah yang berkualitas. Disamping itu, mengupayakan bahwa meneliti itu sebagai profesi. Dharma penelitian memberikan sumbangan cukup besar pada dharma PT yang lain. Oleh karena itu, prestasi seorang dosen dalam penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan di masa kini dan masa datang. Penelitian hanya dapat diharapkan memberi hasil yang bernilai tinggi, bila penelitian itu dijalankan oleh orang-orang yang memilih penelitian sebagai profesi (pekerjaan pilihan); Bekerja sesuai profesi biasanya dirasa menggairahkan. Penelitian menjadi profesi yang mampu menciptakan nilai tinggi, bila sang peneliti dan institusi pendidikan tinggi mampu : 1. 2.
Memahami dan menghargai apa yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengerti apa yang dapat dilakukannya untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya tanpa harus terikat pada caracara konvensional, Menata isu-isu praktikal menjadi konsep dan model penelitian yang layak untuk dikaji secara ilmiah.
Di beberapa negara maju dan berkembang, kegiatan dan aktifitas penelitian sudah berubah menjadi sebuah budaya akibat perluasan pengetahuan di seluruh dunia yang ditandai dengan lahirnya masyarakat pengetahuan yang memegang peranan utama membentuk peradaban dunia baru. Kemajuan dan pengembangan ilmu Pengetahuan, teknologi dan sains (IPTEKS) di suatu negara menjadi komoditi dan simbol kemajuan dan daya saing negara tersebut. Penelitian membantu dalam pengembangan IPTEKS, serta membangun kesenjangan dalam pengetahuan. Budaya penelitian juga memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan PT, serta pengelolaan staf. Penelitian adalah salah satu poros pendidikan PT yang bisa mandiri; budaya akan menentukan pencapaian tujuan keberadaan PT. Pada bagian manajemen SDM, relevansi yang melekat pada penelitian juga mempengaruhi manajemen SDM, di mana budaya penelitian menguntungkan semua staf, manajemen mereka akan menghasilkan luaran yang positif (Anijaobi et.al. dalam Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014). Budaya penelitian meliputi disiplin atau ide interdisipliner dan nilai-nilai, jenis tertentu dari pengetahuan dan produksi pengetahuan, praktek-praktek budaya dan narasi (misalnya bagaimana penelitian dilakukan, dan bagaimana peer review dilaksanakan), sosialisasi departemen, jaringan intelektual internal dan eksternal lainnya dan masyarakat belajar. Beberapa temuan Hasil Penelitian Tentang Budaya Penelitian. Hanover Research (2014) mempublikasi temuan hasil penelitian tentang budaya penelitian seperti berikut ini. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Budaya penelitian membutuhkan baik pemimpin kelembagaan-dan unit berbasis tujuan penelitian yang jelas dan berkomunikasi secara efektif. Tujuan harus disertai dengan rencana yang ditetapkan, evaluasi keberhasilan penelitian serta karena setiap perubahan yang menyertainya ada kompensasi. Administrator juga harus menyesuaikan deskripsi pekerjaan untuk menyertakan laporan penelitian dan pelajaran yang diperoleh demi membangun harapan masa depan. Lembaga yang ingin mengembangkan budaya penelitian mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk pelatihan dan pendukungannya. Fakultas menyediakan beasiswa, Peneliti yang minim pengalaman membutuhkan pelatihan dan dukungan pribadi untuk menjadi mahir. Lembaga dapat mengembangkan pendidikan dan latihan berkelanjutan diikuti dengan dukungan layanan dalam praktek penelitian, menulis hibah, dan hibah pengelolaan. Program-program ini dapat ditempatkan di baik LPPM atau di pusat penelitian. Budaya mengembangkan penelitian membutuhkan pribadi yang terbuka dan kolaboratif; Hubungan yang menyenangkan antar fakultas akan mendukung fakultas-fakultas untuk saling mentoring penelitian. Hubungan pribadi di antara fakultas juga cenderung untuk mendorong upaya penelitian kolaboratif, yang merupakan ciri khas dari keberhasilan budaya penelitian. Untuk menerapkan perubahan budaya, administrator siap untuk menyesuaikan alokasi sumber daya berdasarkan motivasi anggota peneliti saat ini demi peningkatan kemampuan mereka. Mereka dengan motivasi tinggi walaupun kemampuan rendah cenderung akan membuat penggunaan sumber daya pendidikan dan pelatihan yang terbaik. Mereka dengan motivasi yang rendah adalah yang paling diuntungkan dari pengembangan hubungan pribadi baik di dalam unit mereka dan dalam komunitas akademis yang lebih besar. Budaya penelitian memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkannya, setelah terbentuk, membutuhkan perawatan berkala. Kebijakan baru yang berkaitan dengan penelitian harus ditegakkan dengan keteraturan dari waktu ke waktu sebelum mereka merima. Setelah perubahan kebijakan diterima, administrator harus siap untuk memenuhi terus tantangan, seperti memelihara dana penelitian, pengembangan kemitraan dengan lembaga di luar untuk memperluas kesempatan penelitian, dan menghadapi perubahan kelembagaan Rencana untuk budaya penelitian harus mencakup pertimbangan keterlibatan mahasiswa. Mahasiswa baik S1, S2 maupun S3 wajib melakukan penelitian sebagai tugas akhir. Lembaga Penelitian dapat mengembangkan keterampilan penelitian mahasiswa melalui asisten penelitian. Mentor Fakultas juga dapat memberikan bimbingan penelitian secara pribadi.
G. TUPOKSI LPPM DI PERGURUAN TINGGI Pergeseran perubahan yang terjadi di era keterbukaan dan persaingan global. Kekuatan ekonomi dan bisnis menjadi tumpuan utama, dimana bisnis dan industri menjadi kekuatan sekaligus kekuasaan. Dari ciri masyarakat Kapitalis ke ciri masyarakat pengetahuan. Masyarakat pengetahuan inilah yang memegang peranan utama membentuk peradaban dunia baru. Perguruan tinggi menyimpan segudang potensi sebagai produsen pengetahuan utama. Paradigma ini belumlah berlaku secara universal di kalangan Pendidikan tinggi Indonesia kekinian, sebab masih ada sebagian PT yang apriori (cuek), dan pesimis (tak peduli) terhadap eksistensinya sebagai institusi Pendidikan, bahkan tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Aktifitas dan kegiatan PT hanya fokus pada rutinitas, formalitas dan seremoni belaka. Yang terpenting buat mereka adalah kegiatan kuliah, ujian, wisuda Produktifitas dan kinerja penelitian di perguruan tinggi (PT) Indonesia sangat rendah, jika di telusuri akar masalah, tidak hanya berkaitan dengan minimnya dana dan political will pemerintah, tetapi juga dipengaruhi: oleh mutu penelitian dosen serta rendahnya budaya meneliti dalam masyarakat terutama kaum akademisi intelektual. Dosen sebagai salah satu komponen terpenting dalam pendidikan tinggi mempunyai peran yang sangat signifikan bagi PT untuk menjalankan fungsinya. Peran dan tugas pokok dosen telah berkembang dari yang semula lebih ditekankan pada tugas mengajar menjadi pendidik profesional dan ilmuwan. Tugas utama dosen dalam melaksanakan Tridharma perguruan tinggi merupakan satu kesatuan dharma atau kegiatan, karena ketiga dharma tersebut hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dharma pendidikan dan pengajaran akan menghasilkan problematik dan konsep konsep yang dapat menggerakkan penelitian untuk menghasilkan publikasi ilmiah, sebaliknya dari penelitian dan publikasi ilmiah akan memperkaya dan memperbaharui khasanah ilmu untuk digunakan dalam pendidikan dan pengajaran. Hasil penelitian dan publikasi akan menghasilkan bahan pengajaran yang terbaharui terus menerus dan mutakhir. Di pihak lain hasil dharma penelitian akan dapat diaplikasikan dalam dharma pengabdian kepada masyarakat serta berlaku sebaliknya, hasil dharma pengabdian kepada masyarakat akan memberikan inspirasi dan gagasan dalam penelitian. Dharma penelitian dapat memberikan sumbangan cukup besar pada dharma yang lain. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika prestasi seorang dosen dalam penelitian dan publikasi menjadi tolok ukur utama yang menggambarkan profesionalisme dosen sebagai ilmuwan. Kebanyakan dosen masih belum memamahi arti penting melakukan penelitian untuk peningkatan kompetensi dan karir dirinya sebagai dosen profesional, untuk membangun reputasi akademik institusi pendidikannya, dan juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Kebijakan Kemenristekdikti yang mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S3 mempublikasikan karya ilmiah merupakan salah satu langkah awal menumbuhkan budaya meneliti mahasiswa dan dosen untuk menghasilkan karya tulis. Budaya penelitian adalah cerminan nilai-nilai, cita-cita dan keyakinan tentang penelitian dalam organisasi, pada gilirannya tercermin dalam perilaku penelitian, tindakan penelitian dan simbol penelitian organisasi. Membangun budaya penelitian di PT di Indonesia kekinian, diperlukan Revolusi mental dikalangan komunitas akademik (sivitas akademika), yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Gerakan revolusi mental semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi empat problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, melemahnya sendisendi perekonomian nasional, dan terakhir pasar bebas. Perguruan tinggi yang ditugaskan sebagai center of excellence, secara organisasi dan kelembagaan harus menggaungkan revolusi mental, membangun kesadaran kolektif dikalangan komunitas akademik sebagai bagian dari gerakan Revolusi Mental. PT harus menjadi motor penggerak dalam membangun Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Revolusi mental adalah bagian dari membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa bangsa lain di dunia. Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. Dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa. Inilah ide dasar dari digaungkannya kembali gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Bukan perkara mudah untuk menumbuhkan budaya meneliti termasuk didalamnya revolusi mental. Perlu konsentrasi, biaya dan waktu yang tidak sedikit. Menumbuhkan budaya meneliti perlu menjadi tanggung jawab bersama baik lembaga/organisasi maupun perseorangan: dosen, dan mahasiswa. Menumbuhkan, mengembangkan dan mewujudkan budaya meneliti di internal PT, diperlukan Komitmen dan dukungan organisasi: 1. 2. 3. 4. 5.
Dukungan penuh dari pimpinan PT, yayasan penyelenggara/penggelolah dalam membangun budaya akademik meneliti dosen dan mahasiswa. Dukungan sarana dan prasarana (ruangan, internet, perpustakaan, lab, fasilitas lain) Dukungan pendanaan internal untuk memacu dosen melakukan riset, Dukungan sistem lembaga dan insentif riset. Dukungan motivasi, pengarahan dan akses.
Membangun budaya meneliti perlu menjadi tanggung jawab bersama baik lembaga/organisasi maupun perseorangan: dosen, mahasiswa. Secara organisasi kelembagaan, Perguruan Tinggi seharusya dan semestinya memiliki LPPM yang berdayaguna dan berdayasaing, memainkan perannya dalam penyelenggaraan penelitian. Secara organisasi, perguruan tinggi memiliki LPPM sebagai unit kerja penelitian dan abdimas yang memiliki tugas dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan aktifitas penelitian di internal PT. Hakikatnya, LPPM sebagai motivator, fasilitator, dinamisator dalam pembangunan dan pengembangkan budaya penelitian di internal PT. Guna mewujudkan budaya penelitian, juga dibutuhkan kesadaran dan kerjasama dari seluruh komunitas akademik (sivitas akademika PT). LPPM harus memainkan peran dan berupaya maksimal melaksankana aktifitas dan kegiatan penelitian dengan melibatkan seluruh komunitas akademik. Walaupun disadari bersama, realitas kekinian LPPM PT tak ubahnya hanya sebagai lembaga pelayan administrasi yang menyediakan cap/stempel dan tanda tangan bagi dosen dan mahasiswa yang membutuhkan keabsahan dan legalistas dari suatu kegiatan penelitian dan abdimas. Bahkan, masih ada PT, tidak mempunyai LPPM, atau terkadang LPPM di gabung dengan unit kerja lainnya. Realitas ini menggambarkan bahwa, masih ada PT di Indonesia yang mengabaikan dharma penelitian dan abdimas sebagai bagian dari dharma pendidikan/pengajaran.
Idealnya, Fungsi dan tugas LPPM di sebuah Perguruan tinggi (PT) adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Menyusun Rencana Induk Pengembangan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat secara terintegrasi dan berkelanjutan; Mengkoordinasi, mengarahkan dan memastikan pelaksanaan dan pencapaian tujuan dari aktivitas penelitian dan pengabdian kepada masyarakat para dosen dan mahasiswa; Mencari dan mengelola informasi hibah penelitian dan PKM dari Dikti dan pihak-pihak lainnya, lalu menginformasikan kepada para dosen. Mengkoordinasikan penelitian dan PKM antar program studi; Memfasilitasi pelatihan dan pengembangan strategi menyusun proposal dan melakukan penelitian kepada para dosen dengan mengundang pihak-pihak yang kompeten; Mendorong terbentuknya pusat-pusat studi untuk menghimpun minat meneliti para dosen pada bidang-bidang tertentu. Memberikan skema dana hibah penelitian dari institusi untuk memotivasi minat dan kemampuan para dosen melakukan penelitianpenelitian awal.
Langkah yang dibutuhkan untuk membangun dan mengembangkan budaya meneliti di perguruan tinggi adalah membangun komitmen bersama di kalangan komunitas akademik (dosen, mahasiswa) tentang pentingnya kegiatan penelitian di PT, meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Membangkitkan minat, tekad, kecintaan dan semangat untuk melakukan suatu penelitian. Menspesialisasikan keahlian pada suatu bidang ilmu tertentu sesuai dengan rekam jejak pendidikan dan pengajaran akademik yang telah dilakukan. Rajin mencari sumber-sumber informasi penawaran skim hibah penelitian dari Dikti/Kopertis. Mempelajari ketentuan atau syarat-syarat dari suatu skim hibah penelitian yang relevan, lalu strategi penulisan proposal seperti yang disyaratkan. Mengumpulkan dan mempelajari sumber-sumber pustaka yang relevan sesuai spesialisasi bidang ilmu dan kompetensi riset yang akan dibangun; Sebaiknya mengajak rekan yang memiliki ketertarikan pada bidang ilmu yang sama untuk menjadi rekan atau tim peneliti. Bagi para dosen calon peneliti pemula, sebaiknya juga ―berguru‖ pada dosen-dosen yang sudah berpengalaman dalam mendapatkan hibah penelitian dari Dikti, Kopertis atau lainnya yang memiliki persyaratan dan tingkat kompetisi yang tinggi. Jangan pernah menyerah apabila mengalami kegagalan dalam pengajuan proposal hibah penelitian. Pelajari penyebab kegagalan dan lakukan perbaikan proposal untuk diajukan pada tahap berikutnya. Teruslah meningkatkan pengetahuan dan kompetensi pada suatu bidang ilmu tertentu yang spesifik atau unik dengan mempelajari literatur terbaru dan amati femonena sosial, alam, Iptek, dan lainnya yang relevan.
Komitmen tersebut akan melahirkan semangat dan keyakinan di kalangan komunitas akademik (dosen, mahasiswa), bahwa penelitian memberikan manfaat bagi masyarakat, dan ilmu pengetahuan kini atau di masa depan, karena masih banyak fakta yang masih menunggu untuk diungkapkan melalui penelitian ilmiah. Dengan penelitian, akan menghasilkan pengetahuan baru yang memunculkan fakta baru yang berbeda dari ―kebenaranâ€&#x; yang diyakini saat ini di tempat ini. Melakukan kegiatan penelitian adalah bagian dari berolah intelektual, berbagi pengetahuan dengan orang lain, yang memungkinkan komunitas akademik memperkaya pengetahuan yang telah dimiliknya, dan membebaskan diri dari keterkaitan yang kaku pada suatu konsep atau teori tertentu.
Terbangunnya budaya penelitian di PT dengan baik, akan memberikan efek positif bagi komunitas akademik. Budaya akademik, keilmuan dan ilmiah akan tumbuh dan berkembang dengan baik, lahirnya temuan temuan baru yang diperoleh secara ilmiah, gagasan akademik atau intelektual, kritik dan saran yang bersifat membangun dan terbuka bagi semua, menghargai prestasi orang lain, memiliki semangat belajar inovatif, dan memiliki orientasi yang kuat ke masa depan. H. BUDAYA DAN ETIKA AKADEMIK Perguruan tinggi merupakan komunitas tersendiri yang disebut masyarakat akademik (academic community). Ciri-ciri masyarakat akademik yaitu : Kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, terbuka untuk menerima kritik, menghargai waktu dan prestasi ilmiah, bebas dari prasangka, kemitraan dialogis, memiliki dan menjunjung tinggi norma dan susila adademik serta tradisi ilmiah, dinamis, dan berorientasi kemasa depan. Oleh karena itu, PT menjadi lembaga akademik yang memiliki suasana yang khas, yaitu suasana akademik (academic atmosphere). Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture). Budaya akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik khususnya di lembaga pendidikan. Budaya akademik lebih cenderung diarahkan pada budaya kampus (campus culture) yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan intelektual, tetapi juga kejujuran, kebenaran dan pengabdian kepada kemanusiaan, sehingga secara keseluruhan budaya kampus adalah budaya dengan nilai-nilai karakter positif. Budaya akademik sendiri adalah budaya universal yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Budaya ini melekat dalam diri semua insan akademisi perguruaan tinggi, baik itu dosen ataupun mahasiswa. Karena, pada dasarnya budaya akademik juga merujuk pada cara hidup masyarakat ilmiah yang majemuk dan multikultural yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektifitas. Budaya akademik akan mengarah pada sebuah kata kunci yang menjadi dasar pijakan, yaitu etika atau etik. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, ―ethos‖ yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika, salah satunya adalah etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilainilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis. Katakata etika, etik dan moral merujuk ke persoalan baik-buruk, lurus-bengkok, benar-salah dan adanya penyimpangan ataupun pelanggaran praktek tidak lagi disebabkan oleh faktor yang bersifat di luar kendali manusia (force majeur), tetapi lebih diakibatkan oleh semakin kurangnya pemahaman etika yang melandasi perilaku manusia. Sementara itu banyak orang yang menaruh harapan terhadap lembaga pendidikan tinggi agar tidak hanya memberi bekal pengetahuan (knowledge) ataupun ketrampilan (skill) saja kepada anak didik, melainkan juga pemahaman dan pembentukan soft skill seperti watak, sikap dan perilaku (attitude) di dalam kehidupan sehari-hari. Tiga aspek tersebut akhirnya akan menjadi dasar pembentukan dan penilaian terhadap kompetensi seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan.
Etika akademik dapat diartikan sebagai ketentuan yang menyatakan perilaku baik atau buruk dari para anggota civitas akademika perguruan tinggi (PT), ketika mereka berbuat atau berinteraksi dalam kegiatan yang berkaitan dengan ranah dalam proses pembelajaran. Etika akademik perlu ditegakkan untuk menciptakan suasana akademik yang kondusif bagi pengembangan PT sesuai standar yang telah ditetapkan. Sivitas akademika PT yang terdiri atas 3 (tiga) kelompok yaitu mahasiswa, dosen, dan staf administrasi secara integratif membangun institusi PT dan berinteraksi secara alamiah di dalam budaya akademik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencerdaskan mahasiswa dalam aspek intelektual, emosi, dan ketaqwaan mereka. Sebagai konsekuensinya, etika akademik di PT juga harus melibatkan ketiga unsur itu. Di dalam melaksanakan ketiga dharma PT (pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat), maka seluruh unsur sivitas akademika akan terikat pada etika akademik. Standar etika akademik, direpresentasikan sebagai etika dosen dan etika mahasiswa, yang akan memberikan jaminan mutu proses interaksi dosen-mahasiswa dan suasana akademik yang kondusif. a. Etika Dosen dan Dosen Beretika Dosen adalah sebuah profesi pilihan yang secara sadar diambil oleh seseorang yang ingin terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Untuk itu dosen wajib untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan kualitasnya dalam kerangka melaksanakan Tridharma PT secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Seorang dosen harus mematuhi etika akademik yang berlaku bagi dosen pada saat melaksanakan kewajiban serta tanggung-jawabnya. Etika dosen harus dijabarkan menjadi peraturan atau kontrak kerja yang mengikat, serta diikuti dengan sanksi akademik maupun kepegawaian bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Etika dosen mencakup seluruh kegiataan dan aktifitas Tri Dharma PT (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat). Implementasi etika dosen, yaitu dalam kegiatan akademik seorang dosen wajib menghargai dan mengakui karya ilmiah yang dibuat orang lain (termasuk mahasiswa). Tindakan plagiat yang dilakukan oleh dosen dalam karya akademik dianggap sebagai penipuan, pencurian dan bertentangan dengan moral akademik. Pelanggaran terhadap hak atas kekayaan intelektual ini bukan sekedar pelanggaran etika akademik ringan, bisa ditolerir dan cepat dilupakan, tetapi sudah merupakan pelanggaran berat dengan sanksi sampai ke pemecatan. Kewajiban utama seorang dosen adalah meningkatkan aspek kognitif dari mahasiswa dengan memberikan pengajaran, maka ketidakhadiran dosen dalam proses pembelajaran yang terlalu sering tidak hanya melanggar etika akademik, tetapi juga melanggar peraturan, komitmen, tanggung jawab dan sangat tidak profesional. Standar kehadiran dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran (misalnya) minimal 75%– 80%. Dengan sanksi dalam hal tidak dipenuhi maka mata kuliah yang diasuhnya tidak dapat diujikan. b. Etika Mahasiswa dan Mahasiswa Beretika Mahasiswa sebagai salah satu unsur sivitas akademika yang merupakan obyek dan sekaligus subyek dalam proses pembelajaran juga perlu memiliki, memahami dan mengindahkan etika akademik khususnya pada saat mereka sedang berinteraksi dengan dosen maupun sesama mahasiswa yang lain pada saat mereka berada dalam lingkungankampus. Mahasiswa memiliki sejumlah hak, berbagai kewajiban, beberapa larangan dan sanksinya selama berada di lingkungan akademik. Salah satu hak mahasiswa adalah menerima pendidikan/pengajaran dan pelayanan akademik sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Mahasiswa memiliki hak
untuk bisa memperoleh pelayanan akademik dan menggunakan semua prasarana dan sarana maupun fasilitas kegiatan kemahasiswaan yang tersedia untuk menyalurkan bakat, minat serta pengembangan diri. Kegiatan kemahasiswaan seperti pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Mahasiswa tidak cukup hanya memiliki pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tetapi juga sikap mental (attitude) yang baik. Dalam rangka meningkatkan kompetensi, menguasai iptek sebagai gambaran tingkat kemampuan kognitif maupun psikomotorik, serta memiliki sikap profesional, serta kepribadian yang utuh. Perlu adanya sebuah pedoman yang dijadikan sebagai rambu, standar etika ataupun tatakrama bersikap dan berperilaku di lingkungan kampus, yang di dalamnya memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika yang mencerminkan masyarakat kampus yang religius, ilmiah dan terdidik. Sebagai cermin masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan. Mahasiswa wajib menghargai dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan akademik di mana mereka akan berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selain hak, mahasiswa juga terikat dengan berbagai kewajiban dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan akademik. Seperti, hak untuk mendapatkan kebebasan akademik dalam proses menuntut ilmu, haruslah diikuti juga dengan tanggung jawab sesuai dengan etika, norma susila dan aturan yang berlaku dalam lingkungan akademik. Demikian juga dengan hak untuk bisa menggunakan sarana/prasarana kegiatan kurikuler (fasilitas pendidikan, laboratorium, perpustakaan, dll) harus juga diikuti dengan kewajiban untuk menjaga, memelihara dan menggunakannya secara efisien. Kewajiban akademik dalam proses pembelajaran, ketidakhadiran kurang dari prosentase minimal akan menyebabkan yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti ujian. c. Etika staf administrasi Staf administrasi merupakan salah satu cari civitas akademik yang memiliki peranan yang sangat penting untuk kelancaran proses akademis. Staf memiliki fungsi mengatur segala kegiatan yang berhubungan dengan administrasi dan registrasi mahasiswa maupun dosen. Selain itu, staf memiliki fungsi sebagai fasilitator yang menyiapkan segala kebutuhan dan keperluan proses akademis. Sebagai salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam budaya akademis, staf memiliki kode etik tersendiri sebagai pelayan dalam lingkungan kampus. Salah satunya adalah melayani segala kebutuhan administrasi dosen dan mahasiswa dengan baik. Baik dalam hal ini mencakup dapat berkomunikasi dengan baik, dan ramah. 1. Kontra Budaya Intelektual di Perguruan Tinggi
Maraknya kegiatan perpoloncoan ‗bullying‘ di beberapa PT di Indonesia, seakan menyiratkan sebuah realitas bahwa PT melupakan dirinya sebagai salah satu komunitas intelektual. Perpoloncoan telah menjadi tradisi menyambut mahasiswa baru yang sering diadakan oleh organisasi/lembaga kemahasiswaan tingkat institusi, fakultas, jurusan, lembaga, dan di Unit kegiatan Mahasiswan (UKM) dengan alasan orientasi calon anggota baru, masa perkenalan calon anggota, basic traning, pengkaderan, dan sebagainya. Parahnya, tradisi tersebut menimbulkan kekerasan fisik sampai memakan korban jiwa. Realitas yang lain, tawuran mahasiswa, peredaran dan pemakaian narkoba, pemalsuan nilai akademik, dan lain sebagainya. Di kalangan mahasiswa mengartikan kampus sebagai tempat untuk beradu fashion, tempat trendi-trendian, tempat tebar pesona dan bermain cinta masa muda. Tidak heran jika banyak mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan penjelasan dari dosen kemudian pulang. Mereka lebih nyaman berlama-lama hang-out di mall, cafe, pub, menikmati indahnya
dunia masa muda dengan semakin menyuburkan sikap hedonis dan konsumtif dalam jiwa mereka. Realitas tersebut adalah cermin yang memantulkan permasalahan kultur intelektual pendidikan tinggi di Indonesia. Kampus di era kekinian, tak ubahnya sebagai pusat kebobrokan moral, elitism, anti kerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Dunia kampus pun kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar. Menjadikan mahasiswanya lupa bahwa kampus adalah tempat yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis dan non-akademis. Secara logika, bagaimana bisa mengharapkan adanya output yang berkompeten dan berkarakter jika di lingkungan pendidikan tersebut seolah tidak pernah memberikan mainstream untuk itu. Padahal, jika budaya intelektual kampus yang positif mampu diterapkan dengan maksimal, akan mampu mendorong tumbuhnya iklim sosial dan interaksi yang sehat antar civitas akademika. Serta mampu menggali potensi diri para mahasiswa, mampu membentuk mereka tidak hanya dari olah pikir, tapi juga olah hati, olah rasa/karsa. Akhirnya akan banyak melahirkan kegiatan dan karya akademik yang bermanfaat. Kita semua prihatin melihat realitas atas perlakuan yang kadang tidak pantas dan etis dilakukan oleh kaum intelektual. Diakui atau tidak telah menjadi tradisi dilakukan secara turun menurun bahkan berkembang ke lapisan pendidikan menengah (SMU). Beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Tenggok kejadian di salah satu kampus di Yogyakarta dan beberapa kampus lainnya di Indonesia. Dengan alasan masa perkenalan calon anggota, pengkaderan, dan sebagainya, yang memakan korban jiwa, meninggalnya mahasiswa. Banyak sesungguhnya budaya intelektual yang lebih elegan dilakukan ketimbang tindakan perpoloncoan ‗bullying‘. Perguruan tinggi harus merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif. Kini saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu : a.
b. c.
Materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemanfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi. Program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah. Program orientasi yang bersifat membangun karakter dan mental, nilai nilai kebangsaan dan nasionalisme, misalnya memberikan pendidikan karakter dan materi bela negara kepada mahasis baru agar mereka memiliki sikap mental (attitude) yang baik dan cinta tanah air.
Begitupula organisasi/lembaga kemahasiswan dan unit kegiatan mahasiswa diarahkan pada Kegiatan kemahasiswaan seperti pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Mahasiswa tidak cukup hanya memiliki pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tetapi juga sikap mental. (attitude) yang baik. Dalam rangka membangun budaya intelektual, meningkatkan kompetensi, menguasai iptek sebagai gambaran tingkat kemampuan kognitif maupun psikomotorik, serta memiliki sikap profesional, serta kepribadian yang utuh dikalangan sivitas akademika. perlu adanya sebuah pedoman yang dijadikan sebagai rambu, standar etika ataupun tatakrama bersikap dan berperilaku di lingkungan kampus, yang di dalamnya memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika yang mencerminkan
masyarakat kampus yang religius, ilmiah dan terdidik. Sebagai cermin masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan. Mahasiswa wajib menghargai dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan akademik di mana mereka akan berinteraksi dalam proses pembelajaran. Mahasiswa harus terikat dengan berbagai hak dan kewajiban dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan akademik. Seperti, hak untuk mendapatkan kebebasan akademik dalam proses menuntut ilmu, haruslah diikuti juga dengan tanggung jawab sesuai dengan etika, norma susila dan aturan yang berlaku dalam lingkungan akademik. Demikian juga dengan hak untuk bisa menggunakan sarana/prasarana kegiatan kurikuler (fasilitas pendidikan, laboratorium, perpustakaan, dll) harus juga diikuti dengan kewajiban untuk menjaga, memelihara dan menggunakannya secara efisien. Solusi cerdas guna membangun dan mengembangkan budaya intelektual, dibutuhkan sinergi dari segenap civitas akademika PT, antara lain sebagai berikut. 1) 2)
3)
4) 5) 6) 7)
8)
Perguruan tinggi harus merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif. organisasi/lembaga kemahasiswan dan unit kegiatan mahasiswa diarahkan pada Kegiatan kemahasiswaan seperti pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Perlu adanya sebuah pedoman yang dijadikan sebagai rambu, standar etika ataupun tatakrama bersikap dan berperilaku di lingkungan kampus, yang di dalamnya memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika yang mencerminkan masyarakat kampus yang religius, ilmiah dan terdidik. Sebagai cermin masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan. Pimpinan dan segenap sivitas akademika harus tegas dan konsisten dalam menerapkan peraturan akademik dan kemahasiswa di lingkup PT serta menjunjung tinggi Budaya Akademik sebagai landasan dasar dari kehidupan dan kegiatan akademik Optimalisasi fungsi Organisasi kemahasiswaan serta UKM sebagai wahana untuk menumbuh kembangkan kemampuan intelektualitas, afeksi, kinestetik, dan emosional seorang mahasiswa. Serta sebagai penyokong upaya pengembangan kultur akademik ini. Penciptaan kultur lembaga yang mendukung terciptanya budaya akademik, dimana semua ―elit‖ akademik harus memberikan contoh dan teladan, serta bimbingan yang baik bagi semua mahasiswanya. Pimpinan dan segenap sivitas akademika PT, wajib melaksanakan pengawasan, pengendalian dan pembinaan setiap aktifitas dan kegiatan organisasi/lembaga kemahasiswan dan unit kegiatan mahasiswa. Kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pembangunan dan pengembangan intelektual dan akademik seperti penguatan keilmuan, pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Peningkatan sarana prasarana serta kualitas pelayanan, seperti perpustakaan, public space, dll. Di samping kriteria kuantitas dan kualitas secara fungsional, penyediaan dan pengelolaan fasilitas pendidikan hendaknya memenuhi kriteria: aman, nyaman, dan manusiawi. Sangat diperlukan bagi terselenggaranya pendidikan karakter yang memang merupakan wahana pengembangan nilai-nilai kemanusiaan.
2. Etika Keilmuan dan Kultur Perguruan Tinggi Misi perguruan tinggi tak dapat dipisahkan dari sains dan etika sebagai bagian dari budaya akademik. Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Sains dan etika sebagai landasan sivitas akademika dalam melaksanakan aktifitas dan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Pengertian sains adalah alat untuk mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran perlu strategi yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific fraud). Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Salah satu aspek dari penipuan saintifik adalah memanipulasi dan mengubah data, termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Realitasnya, banyak ditemui dalam laporan-laporan ilmiah. Banyak kasus yang terjadi di lingkup PT di Indonesia, seperti tindakan memanipulasi fakta dan data, memaksakan teori dan konsep agar sesuai dengan fakta yang diinginkan atau sebaliknya mengubah data (trimming) untuk menyesuaikan teori dan konsep, tindakan plagiasi karya orang lain, dan sebagainya. Para akademisi, peneliti, ilmuwan seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan jujur (Oklilas, 2007). Hasil karya ilmiah akan diakui apabila dapat diulang oleh orang lain di tempat lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah dapat diakui sebagai penemuan ilmiah. Hal ini karena ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya. Dalam etika keilmuan, diterangkan pentingnya etika sains, bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka dapat membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif. Realitas kekinian, sivitas akademika khususnya mahasiswa, minim sekali memiliki budaya akademis, seperti kemampuan menulis. Kebanyakan mereka melakukan plagiasi (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi orang dengan metode CP (Copy Paste). Persoalan integritas akademik (academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan merupakan keputusan (konsideran) penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami betapa pentingnya kedua nilai tersebut akibatnya jarang dijumpai paper-paper yang orisinal dan berkualitas. Solusi cerdas dari permasalahan diatas adalah mahasiswa sejak awal mengarungi dunia perguruan tinggi mereka sudah diperkenalkan dan diberikan pemantapan dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana. Semua hal ini sangat konstruktif untuk membangun budaya akademik yang kondusif di perguruan tinggi. Mentalitas yang jujur mutlak diperlukan sebagai landasan untuk mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister dan doktor diharapkan dapat menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi kejujuran. Setidaknya hal ini dapat menjadi sumbangan kecil untuk perbaikan
masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar, menyontek dan lain sebagainya. Inilah tugas berat para akademisi, peneliti, ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau tulisan ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan. Sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh karena itu, hakekat dari ilmiah adalah proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan. Kemampuan berpikir manusia akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak dapat disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan realitas yang bertolak belakang dari itu, yakni jika di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, seperti tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus, korupsi, perseteruan antara yayasan dan pengelolah PT, peredaran dan pemakaian narkoba, pemalsuan nilai akademik, plagiasi, ijazah palsu, perpoloncoan, kekerasan fisik, dan lain sebagainya. Dunia pendidikan adalah dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan jelas harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral. Sifat ilmiah adalah sifat yang jujur, sifat yang jauh dari KKN dan amoral. Dengan sifat jujur kita juga telah memiliki sifat ilmiah. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik. Aspek pendidikan tidak hanya memberikan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi juga harus mencakup pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia (Oklilas, 2007). PT sebagai lingkungan dan komunitas akademik, adalah masyarakat ilmiah yang menganut ekoetika, yaitu masyarakat yang menerima perubahan dan aturan baru yang berlaku secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan, bukan anti perubahan, menganut dan mempertahankan etika tradisional yang tidak relevan dengan perubahan.
3. Membangun Budaya Akademik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa Perguruan Tinggi sebagai subsistem pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut. 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ipteks; 2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Budaya akademik adalah salah satu bagian yang mendukung misi pendidikan tinggi nasional. Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas PT kekinian ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan membangun budaya akademik. Budaya akademik adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik PT merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut. Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir. Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi idola semua insan akademisi PT, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya. Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, harus membudayakan dirinya untuk melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik. Melakukan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis dan mempublikasi di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan forum, melakukan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat. Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk memburu referensi aktual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi. Tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang dosen sebagai akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi, seorang dosen mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik di depan forum namun tanpa proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak sampai menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini dapat saja terjadi pada seorang dosen sebagai akademisi, hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar akademik yang tidak jelas juntrungnya. Untuk membangun budaya akademik dalam suatu PT, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut.
1. Kesiapan Sumber daya manusia, terutama staf pengajarnya yang mempunyai keunggulan akademik dan mempunyai dedikasi tinggi untuk pengembangan keilmuan. 2. Menguasai tradisi akademik yang unggul, melalui penyusunan kurikulum yang aktual, realistik, dan berorientasi ke depan. Diajarkan melalui proses belajar-mengajar dialogis, bebas, dan objektif, dan kemudian dikembangkan dalam diskusi, seminar, penelitian, penerbitan buku dan jurnal ilmiah, yang disebarluaskan kepada masyarakat. 3. Tersedianya sarana dan prasarana akademik yang memadai, seperti lingkungan kampus yang sejuk, perpustakaan yang lengkap, dan laboratorium yang modern. (Kurniawan, 2004). Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya, efektif diwujudkan melalui pengembangan contoh keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika. Pengembangan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan kualitas hasil dari proses pendidikan. Karakter merupakan bagian integral dari budaya akademik, mengingat karakter diperlukan dan berpotensi dikembangkan dari setiap aktivitas akademik. Ciri-ciri perkembangan budaya akademik mahasiswa, dilihat dari berkembangnya; 1. 2. 3. 4. 5.
Kebiasaan membaca dan penambahan ilmu dan wawasan, Kebiasaan menulis, Diskusi ilmiah, Optimalisasi organisasi kemahasiswaan, Proses belajar mengajar Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan.
Menurut Zuchdi (2010) hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai bagian dari lingkungan akademik melalui rekayasa faktor lingkungan. Diantaranya, dapat dilakukan melalui strategi yang meliputi: (1) keteladanan, (2) intervensi, (3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan (4) penguatan. Perkembangan dan pembentukan budaya akademik memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilainilai luhur yang diterapkan oleh Perguruan Tinggi. Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan. Perguruan tinggi berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik, karena perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam pengertian yang luas. Peranan pengembangan budaya akademik bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya perilaku intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.
PT sebagai pusat kebudayaan akademis terikat pada etika. Etika yang mereka anut berintikan pada suatu kebiasaan yang memberikan peluang bagi civitas untuk mengembangkan modal intelektual maupun modal cultural secara optimal. Untuk itu, etika yang wajib dipedomani dan sekaligus dikembangkan adalah: 1. Selalu ingin tahu. Hal ini sangat penting karena merupakan suatu motivator yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahn dan titik awal bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan. 2. Teliti, yakni selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan untuk pencapaian suatu kesempurnaan. 3. Rasional, artinya dalam memecahkan suatu permasalahn yang ditemukan selalu menggunakan pikiran dan timbangan yang logis dan melakukan penelitian yang kritis sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. 4. Objektif, artinya dalam mengemukakan sesuatu, harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang disertai dengan bukti otentik tanpa ada manipulasi dan pembelokan karena intimidasi pihak-pihak tertentu. 5. Jujur, artinya bertindak sesua dengan kenyataan tanpa rekayasa dan tanpa ada yang ditutupin dengan maksud mencari keuntungan pribadi. 6. Inovatif, yakni memiliki daya cipta atau kemampuan menciptakan sesuatu yang baru baik dalam bentuk ide ataupun karya nyata. 7. Terbuka, artinya bias menerima gagasan baru dari pihak lain tanpa ada singgungan. 8. Produktif, kaum intelektual tidak hanya hebat dalam menelurkan gagasan, tetapi juga harus dibarengan karya nyata dan penerapan di masyarakat. 9. Multidimensi, artinya bahwa kebudayaan dapat berdampak sangat kompleks. Jika dikembangkan secara optimal maka terwujudlah budaya akademik. Pada akhirnya, seluruh sivitas akademika memiliki kerangka berpikir, pedoman atau patokan ideal yang sama guna mengisi maupun mengaktualisasikan label mereka sebagai warga masyarakat akademik, yakni kumpulan orang-orang terkenal yang dianggap arif dan bijaksana guna memajukan dunia ilmu pengetahuan. Teknologi dan sains Indonesia. 1. Kosep Budaya Akademik Budaya Akademik adalah budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis, rasional dan obyektif oleh warga masyarakat yang akademik. Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik, meliputi : 1. Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif 2. Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral 3. Kebiasaan membaca 4. Penambahan ilmu dan wawasan 5. Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat 6. Penulisan artikel, makalah, buku 7. Diskusi ilmiah 8. Proses belajar-mengajar, dan 9. Manajemen perguruan tinggi yang baik
a. Tradisi Akademik Tradisi Akademik adalah tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa, menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritisanalitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik. Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar adalah tradisi yang sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terusmenerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus sikap mental paternalistik yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lama, terutama dalam paradigma patron-client relationship yang mendarah daging. b. Kebebasan Akademik Kebebasan Akademik adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis. Kebebasan Akademik mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik, tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya.Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto. Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, era Megawati, SBY, bahkan hampir tak terbatas dan tak bertanggungjawab, sampai pada pemerintahan Joko Widodo, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat. Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat. Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi : a) Penerbitan buku tertentu b) Pengembangan studi tentang ideologi tertentu, dan c) Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau Negara
c. Standar Suasana Akademik Yang Kondusif, yaitu : 1) 2)
Prinsip kebebasan berfikir (kebebasan dalam ilmiah) Prinsip kebebasan berpendapat Prinsip kebebasan mimbar akademik yang dinamis, terbuka dan ilmiah, sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Implementasinya : 1. Harus dibangun suasana akademik dengan prinsip : a. Interaksi mahasiswa dengan dosen harus dalam bentuk mitra bukan dalam bentuk inloco parentis (Dosen otoritas, superior, Mahasiswa kerdil dan tidak ada apa-apa). b. Secara bersama-sama dosen dan mahasiswa punya hak yang sama dalam keilmuan dan penelitian, diciptakan secara terencana, sistematis, kontinu, terbuka, objektif, ilmiah. c. Harus diciptakan suasana Perguruan Tinggi yang kondusif yang dapat memberikan ketenangan, kenyamanan, keamanan dalam proses belajar mengajar (kegiatan akademik). 2. Visi dan misi Perguruan Tinggi yang khas spesifik sampai eksklusif. 3. Mengarah kepada prinsip-prinsip good govermance sesuai dengan kebutuhan use, stakeholders. d. Meningkatkan Budaya Akademik / SDM Mahasiswa a. Menitik beratkan pada Plan, Do, Check, Action (PDCA) 1. Plan : Rencana yang tepat, matang dalam setiap aktifitas proses belajar mengajar 2. Do : Dilaksanakan secara optimal, maksimal dan berkesinambungan 3. Check : Ada upaya komperatif, sinergi dan sinkronisasi yang diinginkan dan tujuan yang diharapkan 4. d. Action: Ada evaluasi dan gambaran yang logis, ilmiah sehingga dijadikan tolak ukur keberhasilan dan kegagalan b. Adanya Interaksi kegiatan kurikuler yang terstruktur tepat, baik pada beban kurikulum dan jumlah serta bobot SKS mata kuliah. c. Model manajemen yang baik dan terstruktur yang mampu mensinkronisasikan/menjembatani antara tujuan pribadi (mahasiswa) dengan visi, misi dan tujuan Perguruan Tinggi, pangsa pasar dunia kerja. d. Tersedianya sarana, prasarana dan sumber daya (dosen, karyawan) yang memadai. 2. Sikap Ilmiah Dunia perguruan tinggi yang dikenal sebagai komunitas yang senantiasa menjunjung tinggi obyektifitas, kebenaran ilmiah dan keterbukaan mempunyai tanggungjawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai jawaban dari permasalahan yang muncul di masyarakat dengan metode yang modern. Ilmu pengatahun sendiri merupakan pengetahuan yang sistematik, rasional, empiris, umum dan komulatif yang dihasilkan oleh akal pikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tugas ini menjadi penting karena merupakan bagian dari pelaksanaan “Tri Dharma� perguruan tinggi. Dan menjadi lebih penting karena ada 3 fungsi ilmu pengetahuan yang sangat terkait dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup orang banyak, yaitu sebagai berikut.
1. Fungsi eksplanatif (menerangkan gejala atau problem), 2. Prediktif (meramalkan kejadian atau efek gejala) dan; 3. Control (mengendalikan atau mengawal perubahan yang terjadi di masa datang). Sivitas akademika harus mempunyai sikap ilmiah untuk menunjang terlaksananya tugas-tugas Tri Dharma tersebut dalam suasana akademik yang telah dibangun. Sikap ilmiah ini tidak saja terkait dengan pola pikir yang ilmiah, tetapi juga secara emosi (afektif) dan perilaku (psikomotor). Adapun sikap ilmiah yang harus dimiliki antara lain (Fajar & Effendi, 2000): a) Hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus Peradaban dan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari dorongan atau hasrat manusia yang selalu ingin tahu (curiosity). Hilangnya dorongan ini akan mematikan atau melumpuhkan perkembangan ilmu pengetahuan. Pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan tidak cukup hanya dimilikinya hasrat ingin tahu, tetapi harus ditunjang dengan sebuah tindakan (action) berupa belajar terus menerus. Hasrat ingin mengetahui dan dan tindakan untuk belajar terus menerus, inilah yang akan membedakan seorang civitas akademika dengan komunitas lain dalam kehidupan masyarakat. Serta salah satu keunikan sebuah perguruan tinggi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. b) Daya analisis yang tajam Daya analisis yang tajam menentukan ketepatan dan kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam dibutuhkan manakala variasi terjadinya masalah sangat banyak, sehingga jika tidak teliti dalam menganalisis akan mengakibatkan kekaburan atau ketidaktepatan produk dari solusi yang diberikan. Daya analisis yang tajam akan sangat membantu dalam memberikan solusi cerdas yang kreatif dan inovatif dalam kehidupan, karena analisis yang baik akan dapat mengurai permasalahan yang dihadapi dengan baik pula. c) Jujur dan terbuka Kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan. Kejujuran dan keterbukaan juga menjadi ciri dari pribadi yang sehat dan matang. Jika kejujuran dan keterbukaan hilang dalam dunia akademik, maka yang terjadi adalah mundurnya ilmu pengetahuan, berkembangnya perilaku negative berupa plagiasi karya ilmiah, tidak berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dan ketidakmampuan mengembangkan suasana akademik yang sehat. d) Kritis terhadap pendapat yang berbeda Perbedaan pendapat dalam dunia akademik adalah sesuatu yang wajar dan alamiah, karena adanya heterogenitas (kemajemukan) baik melalui pola pikir maupun kepribadian. Perbedaan ini akan meningkatkan daya kritis civitas akademika manakala disikapi dengan sikap positif dan bertanggungjawab. Artinya adanya kesadaran yang tinggi bahwa setiap perbedaan yang timbul harus dicari dan didekati dengan suasana akademik yang sehat dan bertanggungjawab. Perbedaan menunjukkan keberagaman pemikiran dan dapat dijadikan sebagai stimulus untuk melakukan pendekatan-pendekatan menuju tujuan yang lebih baik. Kritis terhadap sebuah perbedaan yang terjadi akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi permasalahan jika masing-masing komunitas akademik menyadari pentingnya tujuan bersama. e) Tanggungjawab yang tinggi Komunitas akademik mempunyai tanggungjawab sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Pelaksanaan terhadap tanggungjawab ini akan menentukan keberhasilan
komulatif dari fungsi sebuah perguruan tinggi. Tanggungjawab yang dimiliki tidak hanya terkait dengan internal lingkungan akademisi tetapi juga lingkungan global (eksternal). Permasalahan yang menyelimuti dunia perguruan tinggi, yang muncul ditengah masyarakat, percaturan berbangsa dan bernegara di tengah globalisasi harus ikut menjadi perhatian sivitas akademika, sehingga apa yang akan dilakukan akan mempunyai nilai tambah yang lebih besar. f) Bebas dari prasangka Prasangka dalam diri seseorang akan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya. Prasangka akan mempunyai dampak terhadap kondisi fisik dan non fisik (psikologis) seseorang. Prasangka dapat melemahkan upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Prasangka juga dapat mengakibatkan seseorang terganggu kondisi psikologisnya yang dapat berakibat pada konflik (intrapersonal dan interpersonal) yang berpengaruh pada hasil yang diharapkan, bahkan tujuan yang ingin dicapai tidak dapat terlaksana. Prasangka bisa menjadi bom waktu dalam pelaksanaan tugas, karena munculnya perasaan tidak senang atau perilaku yang tidak menyenangkan yang setiap saat akan berakibat negatif bagi pelaksanaan tugas dan tercapainya tujuan baik secara individu maupun organisasi (lembaga). g) Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan Perguruan tinggi mempunyai budaya dan tradisi yang unik dan khas sebagai lembaga keilmuan yang membedakan dengan lembaga lainnya dalam masyarakat. Salah satu tradisi keilmuan yang tetap dikembangkan adalah adanya kebebasan dan mimbar akademik, kebebasan berpikir dan berpendapat serta nilai keterbukaan dalam mengembangkan keilmuan. Penghargaan terhadap nilai yang telah dikembangkan ini menjadi salah satu ciri terjadinya penerimaan fungsi perguruan tinggi dalam mengembangkan keilmuan dan pengabdian kepada masyarakat.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan‖. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan. Di Era informasi yang serba instan, setiap masyarakat pasti membutuhkan pusat informasi dan pengetahuan. Informasi pengetahuan dan teknologi didapat dari perguruan tinggi yang merupakan lembaga pendidikan untuk melatih kompetensi mahasiswa agar mampu dapat bersaing dalam era informasi teknologi. Di dalam menentukan pilihan untuk menyekolahkan anaknya, setiap masyarakat menginginkan perguruan tinggi mempunyai asset/modal pendidikan yang tetap yaitu tanah, bangunan, dosen (tenaga pengajar) dan administrator agar nantinya tidak hanya menghasilkan output/keluar secara kuantitas saja namun dapat menghasilkan outcome/dampak yang dapat memberikan peranan yang lebih bagi masyarakat sekitarnya. Sering kali kita berbicara berapi-api tentang keinginan memiliki perguruan tinggi unggul namun pada praktiknya perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan sudah merasa puas dengan kualitas yang sedang-sedang saja. Sehingga peranan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dapat memberikan kontribusinya perlu dikembangkan agar dapat mendukung perguruan tinggi untuk mampu tetap konsisten dalam upaya peningkatan mutu pendidikan bagi mahasiswanya, tidak hanya sedangsedang saja namun lebih optimal. Tidak bosan-bosannya para pakar pendidikan berusaha meningkatkan mutu pendidikan perguruan tinggi, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat mempunyai peranan yang cukup penting pula dalam masalah peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu perguruan tinggi yang berorientasi pada peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi dalam upaya mewujudkan perguruan tinggi unggul. Kehidupan suatu bangsa juga ditentukan oleh tingkat pendidikanya. Suatu bangsa yang pendidikanya maju, tentu kehidupanya juga maju, demikian pula sebaliknya. Misalnya, Malaysia tingkat pendidikanya maju, tentu kehidupanya maju pula. Bangsa Indonesia tingkat pendidikanya kurang maju, tentu kehidupanya juga kurang maju. Pendidikan dalam hal ini harus peka terhadap persoalan masa depan dan persoalan ketidak adilan social, maka diperlukan visi yang sesuai dengan formasi social agar pendidikan dapat diterjemahkan menurut realitas sosial.
Manajemen Mutu Terpadu (TQM) perguruan tinggi merupakan suatu konsep dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi yang dapat mengakomodasi keinginan masyarakat serta menjalin kerjasama yang erat antara perguruan tinggi, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai aspek tersebut, seperti dosen (tenaga pengajar), bahan ajar, fasilitas, kondisi mahasiswa, kondisi lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan terhadap fenomena pendidikan bisa berbedabeda baik karena waktu, tempat maupun subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut diatas, kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan. Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Masa Depan adalah gambaran tentang kehidupan kita pada beberapa kurun waktu ke depan. Jadi Pengembangan Pendidikan Masa Depan adalah proses, cara, atau perbuatan untuk menjadi maju dalam proses pembelajaran yang dilakukan untuk kehidupan dikurun waktu yang akan datang. Proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan. Peserta didik yang berada di bangku perguruan tinggi dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. A. PERUBAHAN DALAM PENDIDIKAN TINGGI 1. Kualitas Pendidikan Di jaman yang berbeda dimana tuntutan terhadap kebutuhan semakin berkembang apalagi kita telah memasuki era informasi dimana dapat membebaskan kualitas-kualitas khusus individual yang seringkali tertindas di zaman industri. Dalam era industri dituntut standarisasi dan tidak menekankan kualitas dan talenta individual. a. Pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan dikembangkan ke segala arah yang seimbang. Di antara banyaknya teori tentang pendidikan ada dua teori yang selalu bertentangan. Ada aliran pendidikan yang menekankan bahwa apapun yang dipelajari seseorang di perguruan tingginya harus bermanfaat bagi masyarakat nantinya. Maka pendidikan harus praktis, yang dipelajari harus diterapkan dengan baik. Aliran yang lain justru melihat sasaran pendidikan sebagai media pengembangan potensi manusia sepenuhnya, terlepas dari nilai manfaatnya bagi masyarakat di masa depan. Keterbatasan terbesar dalam pendidikan sekarang adalah kurikulumnya. Mahasiswa harus mempelajari semua pelajaran yang ditetapkan, tanpa memperhitungkan disukai atau tidak oleh mahasiswa. Bahkan ada mahasiswa yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bukan bidangnya sehingga ia tidak mau mempelajarinya.
b. Pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran individual yang didesentralisasikan. Sistim pendidikan di dunia sekarang ini, fasilitas-fasilitas perangkat keras dibangun terlebih dahulu dan para dosen (tenaga pengajar) direkrut, sebelum mahasiswa dari berbagai tempat dikumpulkan di perguruan tinggi untuk mengikuti pelajaran. Ini disebut pembelajaran yang disentralisasikan. Di masa depan ketika teknologi komputer sudah mencapai tingkatan tertentu para mahasiswa tidak lagi berkumpul di perguruan tinggi, cukup dengan tinggal di rumah dengan menggunakan akses internet mereka mengikuti pelajaran, sehingga dosen (tenaga pengajar) dapat menghemat energi dan waktu untuk menertibkan mahasiswa. Namun diperlukan kesadaran orang tua untuk di setiap rumah memiliki sebuah fasilitas komputer dan internet serta biaya akses internet sehingga pembelajaran dapat dilakukan setiap saat dan tergantung minat dari mahasiswanya. Sedangkan jumlahnya mahasiswanya tidak terbatas ratusan namun bisa ribuan atau jutaan dengan mengakses lewat internet. Inilah yang disebut pembelajaran individual yang didesentralisasikan. c. Pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup. Sekarang ini, di Indonesia terdapat pendidikan wajib belajar sembilan tahun yaitu 6 tahun berada di sekolah dasar dan 3 tahun di sekolah menegah tingkat pertama dan setelah tamat melanjutkan ke SLTA lalu ke perguruan tinggi. Kemudian setelah lulus bekerja di masyarakat sampai akhirnya pensiun. Kalau kita hitung jenjang pendidikan sekitar 12-17 tahun, apakah sudah cukup padahal perubahan di masyarakat sangat cepat? Pengetahuan yang diperoleh sudah tidak memadai untuk sisa penghidupan mereka, sehingga apa yang kita pelajari bisa menjadi usang oleh karena itu kita harus senantiasa belajar hal-hal baru kalau tidak kita menghadapi risiko tersingkir dari pasar kerja. d. Pengakuan diploma/sarjana menjadi pengakuan kekuatan nyata. Di masyarakat sekarang ini dapatlah dikatakan bahwa yang terpenting adalah diploma/sarjana atau gelar. Di dalam dunia kerja sering kali gelar dijadikan standar untuk mengukur kemampuan seseorang, namun kenyataan di dalam dunia kerja tidak hanya memperhitungkan hal tersebut, tetapi juga memperhitungkan universitas, jurusan dan fakultas apa ia belajar, dan apakah penuh waktu atau paruh waktu. Seringkali kita keliru dalam penentuan kemampuan, misalnya seseorang hanya lulusan SLTA tetapi kemampuannya sama dengan yang memperoleh gelar. Seseorang dapat diketahui kemampuannya apabila diuji dengan keahliannya, kefasihan Bahasa Inggris dan kemampuan komputer sehingga dapat diketahui kompetensi nyata seseorang, ketimbang mengandalkan diploma atau gelar. 2. Peran Dosen, Mahasiswa, Materi Pendidikan 1. Peran Dosen (tenaga pengajar) Dosen (tenaga pengajar) tidak lagi memberikan informasi dalam bentuk ceramah dan buku teks. Dosen (tenaga pengajar) akan berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. 2. Peran Mahasiswa Mahasiswa tidak perlu lagi menjadi pengingat fakta dan prinsip tapi akan berperan sebagai periset, problem-solver, dan pembuat strategi. 3. Peran Materi Pendidikan Materi tidak lagi berbentuk informasi dalam bidang studi terlepas tapi mahasiswa akan mempelajari hubungan antar informasi.
B. FAKTOR PENDUKUNG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI Pendidikan merupakan penggerak utama (before to move) bagi pembangunan. Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (developped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negaranegara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negaranegara maju. Empat pilar pendidikan 1. 2. 3. 4.
Belajar untuk mengetahui (Learning to know) Belajar untuk berbuat (Learning to do) Belajar untuk hidup bersama (Learning to life together) Belajar untuk menjadi diri sendiri (Lerning to be)
Ciri-ciri Pendidikan Masa Depan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Berfokus pada pemupukan potensi unggul setiap peserta didik. Keseimbangan beragam kecerdasan (intelektual, emosional, sosial, spritual, kinestetis, dst.) Mengajarkan life skills. Sistem penilaiannya berbasis portofolio dari hasil karya mahasiswa. Pembelajaran berbasis kehidupan nyata dan praktik di lapangan. Dosen (tenaga pengajar) lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator agar peserta didik mengembangkan minatnya masing-masing. Pembelajaran didasarkan pada kemampuan, cara/gaya belajar, dan perkembangan psikologis masing masing peserta didik.
Untuk bisa mengikuti perkembangan zaman dengan baik, maka dari itu pendidikan masa depan setidaknya memiliki ciri, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Peserta didik secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya. Peserta didik secara aktif terlibat di dalam mengelola pengetahuannya. Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning). Penggunaan multimedia. Dosen (tenaga pengajar) sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik. Terpadu dan berkesinambungan. Menekankan pada pengembangan pengetahuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar. 8. Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif. 9. Peserta didik dan dosen (tenaga pengajar) belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan. 10. Penekanan pada pencapaian target kompetensi dan keterampilan. 11. Pemanfaatan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar. Untuk memantapkan ciri pendidikan masa depan yang diuraikan sebelumnya, maka dengan demikian pendidikan masa depan harus mengarahkan pembelajarannya terfokus pada beberapa keterampilan yang harus ditanamkan pada pembelajar.
Keterampilan tersebut, antara lain : 1. Keterampilan Penelitian 2. Keterampilan Komunikasi 3. Keterampilan Berpikir 4. Keterampilan Sosial 5. Keterampilan Mengatur diri sendiri 6. Keterampilan Hidup Sehingga pada akhir pembelajaran suatu jenjang pendidikan setiap pebelajar bisa menjadi seperti yang diungkapkan oleh Ken Kay, President Partnership for 21st Century Skills, antara lain :
Pemikir yang kritis Seorang penyelesai masalah Seorang inovator Dapat berkomunikasi secara efektif Dapat berkolaborasi secara efektif Dapat mengarahkan diri sendiri Paham akan informasi dan media Paham dan sadar akan masalah global Memikirkan kepentingan umum Terampil dalam keuangan, ekonomi dan kewirausahaan
Dengan demikian pendidikan akan membawa angin segar bagi seluruh umat manusia. Satu hal yang perlu kita pahami melalui ungkapan McKenzie, yaitu ―untuk mendidik dan menghasilkan orang dewasa yang tidak sekedar menjadi penduduk dunia namun juga mencoba untuk menciptakan dunia masa depan yang cocok untuk semua penduduknya‖. Inilah sebenarnya yang diharapkan. Mudahan apa yang diharapkan ini bisa terwujud dengan cepat. Syarat-Syarat Pendidikan Masa Depan 1. Materi Pendidikan Masa Depan 2. Global Awareness (kesadaran global) 3. Keterampilan dalam keuangan, ekonomi, bisnis dan kewirausahaan 4. Pemikiran untuk kepentingan umum 5. Kesadaran akan kesehatan dan kesejahteraan C. STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI Guna membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan tinggi, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan pemberdaya masyarakat. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan.
5. 6. 7.
Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar, sebagai masyarakat belajar seumur hidup. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb)
Model Pendidikan Tinggi Masa Depan a. Life Skill 1. Kepemimpinan 2. Etika 3. Akuntabilitas (dpt dimintai pertanggung jawaban) 4. Kemampuan beradaptasi 5. Produktifitas individu 6. Tanggungjawab individu 7. Keterampilan personal 8. Arah/tujuan hidup pribadi 9. Tanggungjawab sosial b. Materi Pendidikan 1. Global Awareness (kesadaran global) 2. Keterampilan dalam keuangan, ekonomi, bisnis dan kewirausahaan. 3. Pemikiran untuk kepentingan umum 4. Kesadaran akan kesehatan dan kesejahteraan c. Keterampilan Berfikir dan Belajar 1. Berpikir kritis dan keterampilan mencari solusi. 2. Kreatifitas dan keterampilan inovasi. 3. Keterampilan komunikasi dan informasi. 4. Keterampilan untuk berkolaborasi. 5. Pendidikan kontesktual. 6. Keterampilan informasi dan media. D. IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI 1. Perguruan tinggi Masa Depan Untuk membiayai perlengkapan teknologi sering menjadi kendala sehingga beban untuk pendidikan semakin berat terutama penyelenggara. Tetapi kebanyakan penyelenggara tidak mempunyai cara untuk mendapatkan dana ekstra untuk pengeluaran tersebut. Ujung-ujungnya yang miskin menjadi semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, sehingga terjadi kesenjangan antara pendidikan di perguruan tinggi-perguruan tinggi favorit dan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang berfasilitas kurang. Perubahan paradigma baru mengenai perguruan tinggi dimana perguruan tinggi dalam peradaban yang semakin tinggi diperlukan informasi teknologi yang memadai agar tidak tertinggal jauh dan dapat bersaing dalam era global yang mengalami perubahan sangat cepat.
a. Teknologi Informasi dalam Dunia Pendidikan Masa depan para dosen (tenaga pengajar) dan mahasiswa pada era teknologi yang tinggi tidak lagi dibatasi waktu dan ruang kelas yang terdapat dilembaga pendidikan namun dosen (tenaga pengajar) dan mahasiswa sudah dihubungkan dengan sebuah jaringan komputer dan Net. Begitu pulang kalau para mahasiswanya ingin konsultasi dengan sang dosen (tenaga pengajar) dapat mereka lakukan lewat net. Perguruan tinggi-perguruan tinggi bahkan dapat mendirikan ruang kelas maya bagi para mahasiswa untuk memecahkan masalah masalah mereka atau untuk mengeksplorasi pelajaran yang berbeda beda. Para dosen (tenaga pengajar) dan mahasiswa dari berbagai kelas dan tingkatan dapat bergabung dalam diskusi diruang kelas maya ini. Pembelajaran menjadi tak terbatas dalam ruang dan waktu. Pembelajaran jarak jauh dan pengajaran lewat internet dapat dilakukan dengan efektif sehingga mahasiswa pergi ke perguruan tinggi memberi kemungkinan tidak hanya mendapat pengetahuan dan proses sosialisasi yang tidak dapat diperoleh dalam pembelajaran lewat internet. Komputer tidak dapat mengambil seluruh fungsi perguruan tinggi namun dalam penyebaran teknologi informasi, dapat bergeser dari pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran yang diindividualkan, yang di desentralisasikan. b. Pembelajaran Pendidikan dan Pengetahuan di Rumah Di masa depan nanti menurut Wen (2003:93) ada orang yang akan kembali ke zaman ketika mereka kebanyakan diajar di rumah. Orang tua memikirkan dan mempertimbangkan bahwa anaknya lebih baik dididik dengan cara lain seperti diajari di rumah atau berpartisipasi dalam kelompok–kelompok pendidikan kecil secara privat. Tingkat pencapaian dapat dipantau dengan uji publik. c. Pembelajaran Pendidikan dan Pengetahuan yang bersifat keterampilan khusus Perguruan tinggi masa depan akan berubah dari perguruan tinggi dengan maksud umum menjadi perguruan tinggi dengan maksud khusus. Yang diajarkan perguruan tinggi di masa lalu adalah pengetahuan umum, tetapi perguruan tinggi masa depan mungkin akan menjadi pusat pelatihan dalam ketrampilan atau pembelajaran khusus, sehingga mahasiswa dapat menganggap di mana-mana adalah perguruan tinggiku dan semua orang adalah dosenku. 2. Perguruan tinggi yang direformasikan Di masa depan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang baik bisa berkembang tanpa batas. Perguruan tinggi-perguruan tinggi yang rendah kualitasnya akan tersingkirkan karena kurangnya mahasiswa. Sekarang perguruan tinggi-perguruan tinggi masih terbatas pada ruang kampus dan tersedianya dosen (tenaga pengajar). Mereka hanya dapat menampung mahasiswa hingga jumlah tertentu, tetapi dengan Net sebuah perguruan tinggi yang semula hanya dapat menampung beberapa ribu mahasiswa bisa menjadi sebuah perguruan tinggi besar dengan beberapa juta mahasiswa, hal ini bukannya mustahil. Menurut Mortimore (1991) faktor yang sensitif dalam perkembangan manajemen mahasiswa dan dosen (tenaga pengajar) di perguruan tinggi, keterlibatan mahasiswa, lingkungan yang kondusif dan iklim perguruan tinggi positip, merupakan hal yang penting diidentifikasi. Sebuah contoh kongkret, seorang kepala perguruan tinggi harus melakukan pengecekan secara langsung ke bawah di mana ditemukan outcomes mahasiswa sangat rendah dan dosen (tenaga pengajar)-dosen (tenaga pengajar) kurang perhatian. Orang tua peserta didik sangat vokal dan kritis serta komunitas yang
menginginkan perubahan ke arah kebaikan mahasiswa. Dalam hal ini diperlukan strategi manajemen dan kemampuan pengelolah perguruan tinggi menjadikan perguruan tinggi tersebut sebuah model perguruan tinggi yang efektif. Untuk menjadikan perguruan tinggi efektif diperlukan pilihan suatu proses perkembangan secara cepat untuk melakukan perubahan setelah pengecekan langsung ke bawah. Di Inggris misalnya perguruan tinggi dipercaya untuk : 1. 2. 3.
Membuat Pengantar Kurikulum Nasional dengan keputusan yang penting dalam pembuatan program individu mahasiswa. Mengoperasikan sistem manajemen lokal perguruan tinggi dengan pelatihan ilmu manajemen yang berbasis perguruan tinggi. Kompetensi mahasiswa yang rendah dikembangkan menjadi lebih optimal (Mortimore,1991:159). Untuk perkembangan masa depan perguruan tinggi diperlukan sebuah bentuk model keluaran perguruan tinggi.
Spesifikasi sebuah model perguruan tinggi yang penting adalah: 1. Membuat mahasiswa dalam kelompok-kelompok besar dan khusus dengan melakukan control secara optimal. 2. Pembagian waktu secara proporsional yang lebih besar. 3. Pemberian pengetahuan setiap hari dimulai dengan bel atau sirene. 4. Keputusan untuk memilih kepala perguruan tinggi, merupakan hal penting membawa output dari perguruan tinggi menjadi lebih baik, teknik formal yang biasanya ditempuh yaitu lewat testing. 3. Manajemen tata kelolah Perguruan tinggi Yang Efektif Pengelolaan perguruan tinggi peran kepemimpinan dan manajemen perguruan tinggi sangat menonjol. Bukti bahwa peran tersebut sangat kuat, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen dan kepemimpinan perguruan tinggi yang baik, sangat besar sumbangannya terhadap perguruan tinggi yang efektif. Perubahan perbaikan dari prestasi rendah, disiplin yang tak terwujud dan moral staf yang kurang baik diharapkan menjadi lebih baik, dengan pendekatan terhadap perbaikan pengajaran dalam empat aspek yaitu: disiplin, prestasi, sikap dan kepribadian. Semua aspek tersebut ditumbuhkan dengan berdasarkan pada harapan-harapan yang tinggi, terciptanya suasana emosi yang positip, pelaksana supervisi yang obyektif, dan penggunaan teknik kepemimpinan yang sesuai organisasi dan manajemen perguruan tinggi. Dibutuhkan kepemimpinan dan manajemen tata kelolah perguruan tinggi yang kuat serta harapan yang tinggi yang disuarakan oleh seluruh civitas akademika perguruan tinggi, iklim belajar di perguruan tinggi yang teratur, penekanan yang kuat pada ketrampilan-ketrampilan dasar mengajar, evaluasi yang sering diadakan serta pemantauan terhadap kemajuan mahasiswa secara kontinyu.Keberhasilan kepemimpinan perguruan tinggi sangat dipengaruhi hal-hal sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Memahami tujuan pendidikan dengan baik. Pengetahuan yang luas. Keterampilan profesional (tehnis, hubungan kemanusiaan, konseptual). Memiliki prinsip kepemimpinan yang baik yaitu konstruktif, kreatif, partisipatif, kooperatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, adaptasi dan fleksibel.
4. Dosen (tenaga pengajar) Masa Depan Untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran mahasiswa di perguruan tinggi yang baik dibutuhkan dosen (tenaga pengajar) yang memenuhi syarat kualifikasi yang tinggi dan mampu menghadapi banyak perubahan dalam pendidikan masa depan dan membimbing para mahasiswanya dengan lancar. a. Peran Dosen (tenaga pengajar) di Masa Lalu, Zaman Sekarang, dan Masa Depan Peran dosen (tenaga pengajar) di masa lalu sangat mempengaruhi pola pikir, cara pandang dan perilaku seumur hidup mahasiswanya dan sangat dihormati serta dianggap orang terpenting kedua setelah orang tua, namun di jaman sekarang perkembangan dosen (tenaga pengajar) mulai jatuh dan mengenaskan, ini karena selama beberapa puluh tahun terakhir menganggap dosen (tenaga pengajar) sebagai tenaga kerja murahan untuk meneruskan pengetahuan. Ada anggapan bahwa apa yang diajarkan tidak sesuai dengan hasil akhirnya. Peranan dosen (tenaga pengajar) di masa depan dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi komputer, peran dosen (tenaga pengajar) semakin nyata, pengetahuan informasi teknologi dapat dikembangkan secara maksimal dan membimbing kurikulum. Dosen (tenaga pengajar) dituntut kreatif yang mampu memenuhi kebutuhan peserta didik, mempunyai kompetensi-kompetensi inti dan kemampuan-kemampuan khusus. Peran dosen (tenaga pengajar) di masa depan mencakup bimbingan kurikulum, mengevaluasi kemajuan pembelajaran, bimbingan dalam seni menjalani kehidupan, konseling dalam perencanaan kehidupan dan pengembangan kreativitas serta potensi. b. Kemampuan-kemampuan Penting Dosen (tenaga pengajar) di Masa Depan 1. 2. 3.
Ketrampilan berkomunikasi. Ketrampilan computer (pemanfaatan Teknologi dan media ICT) Memberikan Pengaruh Positif
Keefektifan dan kemampuan dosen (tenaga pengajar) merupakan salah satu karakteristik yang berpengaruh pada prestasi akademik mahasiswa di perguruan tinggi dimana semakin efektif dan kemampuan tinggi dosen (tenaga pengajar) melakukan tugas maka akan semakin tinggi prestasi akademik mahasiswa. Di PBM dosen (tenaga pengajar) sangat menentukan kualitas lulusan, namun perlu kebersamaan dalam unsur komponen perguruan tinggi yaitu kepemimpinan dan manajemen tatakelolah perguruan tinggi, dosen (tenaga pengajar), tenaga administratif serta keterlibatan orang tua mendukung keberhasilan anak didik. 5. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Di dalam pendidikan tinggi, peserta didik seharusnya mempunyai kebebasan sendiri untuk menentukan apa yang akan dipelajari apakah mereka mengejar studi akademik ataukah untuk melanjutkan jenjang studi selajutnya. Sama dengan pengembangan pengetahuan, kalau seseorang anak ingin meningkatkan cadangan pengetahuannya, ia bisa terus belajar, kalau ia merasa cukup pengetahuannya dan ingin bekerja seharusnya mereka diizinkan untuk bekerja. Namun orang tua harus mengetahui kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang anak untuk masa depan yaitu mengenal sebanyak mungkin kemampuan berbahasa, yang nantinya berhubungan dengan orang lain. Di masa depan apabila tidak mengenal bahasa asing maka akan memiliki daya saing yang terkikis. Kemampuan dasar yang kedua yaitu pertimbangan. Pendidikan pengetahuan dapat
diefektifkan dengan bantuan komputer. Hanya pertimbangan yang baiklah maka dapat mencegah seorang anak kehilangan arah dan teguh terhadap prinsip-prinsip yang dipegang seandainya dilingkungan yang tidak sehat. Peranan orangtua perlu dilibatkan dalam kegiatan perguruan tinggi termasuk dukungan orangtua terhadap program dan tujuan yang ingin dicapai perguruan tinggi secara konsisten. Pelibatan orangtua tidak hanya bersifat bantuan dana saja namun program dan perencanaan partisipatori perguruan tinggi sehingga tercipta hubungan yang baik antara perguruan tinggi dan orangtua. Keberanian perguruan tinggi dibutuhkan untuk menggugah orangtua agar dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswanya. E. TANTANGAN PENDIDIKAN TINGGI Permulaan Abad 21 ditandai dengan bergantinya tahun dari tahun 2000 menuju tahun 2001, yang disebut dengan Millenium ke 3 (tiga) atau biasa disebut sebagai abad 21. Banyak hal yang kemudian berubah di abad 21 ini, percepatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem komunikasi seperti mudahnya akses internet menjadi salah satu ciri abad 21, dunia seakan-akan menjadi kecil dan berada dalam genggaman, apa yang terjadi di ujung dunia sana, akan dengan mudah diketahui oleh orang yang berada di ujung dunia yang lain, dalam waktu yang bersamaan, berbagai teknologi canggih yang pada intinya untuk mempermudah segala macam urusan manusia ditemukan, dikembangkan, dibuat dan dipakai oleh banyak orang dengan biaya yang sangat terjangkau. Namun di sisi yang berbeda, perubahan zaman menjadi abad 21 ini, juga secara nyata membawa dampak diseluruh aspek kehidupan salah satunya adalah pendidikan. Gerakan pembaharuan pendidikan dengan perubahan masyarakat modern telah menjadikan standarisasi suatu pendidikan yang merupakan suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan. Menurut Tilaar (2012) di abadi 21 ini peradaban sudah semakin maju, demikian pula adanya dengan pendidikan; dunia semakin terbuka, kegiatan semakin modern bahkan menuju kearah globalisasi. Kehidupan juga semakin materialistis dan masyarakat semakin konsumtif serta menghargai hal-hal yang bersifat duniawi. Kehidupan di era millnium sudah semakin luas dan terbuka; manusia hidup di dalam dunia tanpa batas (Tilaar: 2012). Orang dapat saja menjadi pekerja di negara-negara yang lain bahkan berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghargaan material yang lebih menggiurkan. Menurut Tilaar (2012) kualitas sumber daya manusia yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan adalah merupakan kebutuhan dari manusia di abad ini. Di era ini, pendidikan adalah suatu yang dipaksakan dan merupakan suatu ranah bisnis, masyarakat berupaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam rangka menghimpun materi, namun tetap berupaya meningkatkan kualiats pendidikan melalui sekolah yang dididirikannya. Hal ini tentu juga masih sesuai dengan tuntutan reformasi pendidikan yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jacques Delors selaku Ketua Komisis Internasional tentang Pendidikan untuk abad 21 dari Persekutuan Bangsa-Bangsa, dalam kaporannya: ―learning: the teasure within‖(1996), mengemukakan tujuh macam ketegangan yang akan terjadi serta menjadi ciri dan tantangan pendidikan abad 21, sebagai berikut: 1.
Ketegangan antara global dengan lokal; Orang secara berangsur-angsur perlu menjadi warga Negara dunia tanpa tercabutnya akar-akar budaya mereka dan karenanya turut serta berperan aktif sebagai bagian dalam kehidupan mereka berbangsa dan bermasyarakat di tempat mereka tinggal.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Ketegangan antara universal dengan individual; Kebudayaan pasti menjadi bersifat global, tetapi hanya besifaat sebagian-sebagian. Kita tidak dapat mengabaikan harapan-harapan yang dijanjikan oleh proses globalisasi dan juga resiki-resikonya, serta tak sedikitpun melupaan sifat unik manusia sebagai individu; dengan demikian resiko mereka, harus memilih masa depan mereka sendiri dan berhasil mencapai sepenuhnya kamampuan mereka dalam khazanah kekayaan tradisi-tradisi budaya mereka yang terawat dengan baik dan budaya mereka sendiri dapat terancam oleh perkembangan mutakhir apabila tidak mereka sendiri yang merawatnya. Ketegangan antara tradisi dengan kemoderenan; Bagaimana tradisi dapat menyesuaikan diri pada perubahan tanpa hrus kembali kemasa lampau, bagaimana otonomi atau kemandirian dapat dicapai seiring dengan perkembangan kebebasan orang lain, dan bagaimana kemajuan ilmiah dapat diterima dalam masyarakat? Hal ini merupakan semangat yang diperlukan untuk menghindari tantangan-tantangan yang datang dari teknologi-teknologi informasi yang baru. Ketegangan antara pertumbuhan-pertumbuhan jangka panjang dengan jangka pendek; Hal ini selalu ada, tetapi dewasa ini hal tersebut didukung oleh keperkasaan dari kesementaraan dan kesesaatan, dalam sebuah dunia yang sangat dilimpahi oleh informasi yang singgah sebentar dan emosi-emosi terus-menerus tertuju pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan segera. Pendapat umum meneriakkan perlunya jawaban-jawaban dan pemecahan masalah yang segera, padahal banyak masalah memerlukan strategi perbaikan keadaan yang harus dilaksanakan dengan sabar terencana, bermusywarah. Strategi tersebut adalah sangat tepat digunakan dalam kasus dengan penentuan kebijaksanaan pendidikan. Ketegangan antara perlunya kompetisi dengan kesamaan kesempatan; Hal ini merupakan masalah klasik, yang telah dihadapi baik oleh para pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dan sosial maupun para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan sejak awal abad 20. Pemecahan masala tersebut kadang-kadang telah diusulkan, tetapi tidak pernah tahan uji dalam waktu. Sekarang ini, komisi berani menyatakan bahwa tekanan yang datang dari kempetisilah yang menyebabkan banyak dari para pengambil keputusan berada dalam posisi kewenangan yang kehilangan misinya, sehingga menyebabkan setiap orang menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari setiap kesempatan yang ada. Dalam rangka laporan ini, hal tersebut mendorong kita untuk meninjau kembali dan memperbaiki konsep-konsep tentang pendidikan seumur hidup yang tertuju pada pemanduan tiga macam tenaga, yaitu: kompetisi, yang memberikan kepada kita dorongan-dorongan; korelasi, yang memberi kita kepada kita kekuatan; dan solidaritas, yang memberi kepada kita persatuan. Ketegangan antara perluasan pengetahuan yang berlimpah ruah dengan kemampuan manusia untuk mencernakannya; Komisi tidak dapat menentang terhadap golongan yang berkeinginan untuk menambah mata pelajaran baru, seperti pengetahuan tentang diri sendiri, cara-cara mencapai keseimbangan fisik dan psikologis atau cara-cara memahami perbaikan lingkungan alam dan melestarikannya secara lebih baik. Oleh karena hal ini telah menambah tekanan terhadap kurikulum, maka setiap strategi perbaikan yang dirumuskan dengan jelas harus berkenaan dengan penentuan pilihan-pilihan yang selalu mengutamakan pada hal-hal yang pokok dari suatu pendidikan dasar yang yang mengajarkan peserta bagaimana membenahi hidup mereka melalui penguasaan pengetahuan, melalui eksperimen dan melalui pengembangan budaya-budaya mereka sendiri harus dijamin. Akhirnya, factor abadi lainnya adalah ketegangan antara spiritual dengan material; Sering tanpa menyadari, dunia mempunyai suatu keinginan yang sering tidak terungkapkan, yang berupa suatu cita-cita dan nilai-nilai yang akan kita sebut ―moral‖. Adalah tugas mulia pendidikan untuk mendorong setiap orang bertindak berdasarkan tradisi-tradisi dan pendirian-pendirian mereka membarikan penghargaan penuh terhadap pluralism, untuk meningkatkan pikiran dan spirit mereka mencapai tingkat universal dan berdasrkan ukuran tertentu, mentransendenkan diri mereka. Tidaklah berlebih-lebihan apabila komisi menyatkan bahwa kelangsungan hidup manusia tergantung pada bagaimana tugas mulia pendidikan diupayakan. (Delors, 1996: 17-18).
Implikasi Bagi Pendidikan Tinggi Indonesia 1. Landasan Futuralistik Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa sudah sepantasnya apabila hasil komisi internasional tentang pendidikan untuk abad 21 menjadi bahan kajian utama dalam rangka pembangunan pendidikan Indonesia di abad 21. Dengan demikian hasil-hasil komisi tersebut merupakan salah satu landasan futuralistik pendidikan Indonesia di abad 21. 2. Tujuan Pengkajian Menangkap situasi internasional yang telah terjadi dalam abad 21; mengkaji visi, prinsip-prinsip, dan perkembangan pendidikan untuk menilainya secara cermat dan mengadopsinya hal-hal yang dapat dilaksanakan dalam pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang sesuai dengan cita-cita dan kondisi nasional Indonesia. 3. Bentuk dan Sifat Pengkajian Pengkajian merupakan pengkajian kebijaksanaan pendidikan. Pengkajian bersifat menemukan alternatif-alternatif untuk meningkatkan impelementasi pendidikan nasional yang berstandar internasional, dan menguatkan usaha-usaha hubungan internasional dalam bidang pendidikan yang saling menguntungkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Pengkajian merupakan upaya pemanduan antara cita-cita internasional atau global dengan citacita dan kondisi nasional dalam bidang pendidikan. Dengan demikian pembangunan pendidikan Indonesia diharapkan dapat memasuki globalisasi yang ditandai era keterbukaan dan pasar bebas. F. MODEL PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN Era informasi yang juga disebut era pengetahuan sekarang ini, banyak hal yang berubah secara fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Runtuhnya sekat-sekat geografis akibat agenda globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah mengubah dunia ini menjadi sebagaimana layaknya sebuah desa raksasa yang antar penghuninya dapat dengan mudah saling berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi kapan saja serta dari dan di manapun mereka berada. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan lingkungan dunia membengkak luar biasa, antara lain diperlihatkan melalui sejumlah fenomena seperti : Mengalirnya beragam sumber daya fisik maupun non-fisik (data, informasi, dan pengetahuan) dari satu tempat ke tempat lainnya secara bebas dan terbuka. Ini telah merubah total lingkup bisnis dan lingkup usaha yang selama ini terlihat mapan. Meningkatnya kolaborasi dan kerjasama antar negara dalam proses penciptaan produk dan/atau jasa yang berdaya saing tinggi secara langsung maupun tidak langsung telah menggeser kekuatan ekonomi dunia dari ―barat‖ menuju ―timur‖ dari ―utara‖ ke ‗selatan‖ Menguatnya tekanan negara-negara maju terhadap negara berkembang untuk secara total segera menerapkan agenda globalisasi yang disepakati bersama memaksa setiap negara untuk menyerahkan nasibnya pada mekanisme ekonomi pasar bebas dan terbuka yang belum tentu mendatangkan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat. Membanjirnya produk-produk dan jasa-jasa negara luar yang dipasarkan di dalam negeri selain meningkatkan suhu persaingan dunia usaha juga berpengaruh langsung terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari
 Membludaknya tenaga asing dari level buruh hingga eksekutif memasuki bursa tenaga kerja nasional telah menempatkan sumber daya manusia lokal pada posisi yang cukup dilematis di mata industri sebagai pengguna  Meleburnya portofolio kepemilikan perusahaan-perusahaan swasta menjadi milik bersama pengusaha Indonesia dan pihak asing di berbagai industri strategis tanpa disadari menjadi jalan efektif masuknya budaya luar ke tengah-tengah masyarakat tanah air. Berbagai fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi merambah ke segala hampir di seluruh negara berkembang yang ada– bahkan beberapa negara maju di dunia barat pun merasakan tantangan yang sungguh hebat akibat munculnya kekuatan dari negara di Asia seperti Cina, India, dan Taiwan. Perubahan tatanan dunia di era informasi ini terdapat berbagai kekhususan yang utama. Yang pertama adalah terwujudnya masyarakat global yang menjadi kesepakatan antara bangsa, yaitu terbukanya mobilitas yang lebih luas antara satu negara dengan negara lain dalam berbagai hal. Yang kedua adalah abad ini akan lebih dikuasai oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang makin canggih dan berpadu pula dengan ilmu sosial dan humaniora. Dalam menghadapi dunia global, usaha meningkatkan mutu pendidikan sampai bertaraf internasional adalah suatu keharusan agar pendidikan tinggi Indonesia mampu membangun manusia berdaya cipta, mandiri dan kritis. Sosok yang mampu menghasilkan pemikiran berangkai, yakni menyediakan berbagai gagasan khas namun, pada akirnya harus mampu memilah dan menentukan yang terbaik.
Gambar 10. Konsep pendidikan tinggi abad 21
Sering kali pemerintah dan masyarakat kita berbicara berapi-api tentang keinginan memiliki perguruan tinggi unggul namun pada praktiknya PT sebagai lembaga pendidikan sudah merasa puas dengan kualitas yang sedang-sedang saja. Pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi sepenuhnya mampu mengimbangi era globalisasi dan perubahan zaman, dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pendidikan tinggi Indonesia sebagai industri jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pengaruh perkembangan TIK terhadap kehidupan manusia merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan.
Gambar 11. Ilustrasi Pendidikan tinggi harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
CK Prahalad pernah mengatakan: �If you learn you will change, but if you donIf you learn you will change, but if you dont change you will die�. Kendati demikian, perubahan bukan hal yang mudah untuk diterima. Setidaknya ada lima alasan mengapa orang cenderung menolak perubahan. Kelimanya yaitu persepsi selektif, kurangnya informasi, perasaan takut terhadap hal yang tidak diketahui, kebiasaan, serta penolakan terhadap pihak yang menggagas perubahan (Likert, 1997). Indonesia bukanlah bangsa tertutup yang alergi terhadap perubahan terutama perubahan sosial yang dipengaruhi teknologi. Buktinya adalah jumlah pengguna internet di Indonesia yang diperkirakan mencapai 93,4 juta orang pada 2015 (e-Marketer, 2014). Sayangnya, antusiasme ini tidak dibarengi dengan perubahan kultur baik secara individu maupun organisasi dalam rangka menyikapi dampak kehadiran teknologi baru. Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah teori perubahan organisasi, dari tiga dimensi perubahan yaitu dimensi struktural, fungsional, dan kultural, dimensi kulturallah yang paling sulit untuk berubah. Ini tentu tantangan tersendiri bagi para pengelola pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Institusi pendidikan merupakan wadah yang paling efektif dalam membentuk dimensi kultural seseorang, di luar keluarga dan lingkungan pergaulan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 16 Ayat (1) menyebutkan bahwa perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Artinya, pendidikan di perguruan tinggi menjadi tumpuan bangsa ini dalam menciptakan agen-agen perubahan yang berperan aktif dalam menjaga stabilitas nasional. Setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan agar pendidikan tinggi dapat memenuhi tantangan perkembangan zaman yaitu kurikulum, sumber daya manusia (SDM), dan infrastruktur.
Gambar 12. Tantangan di era globalisasi
Agar mampu mengadaptasi perubahan dan tuntutan zaman, kurikulum perguruan tinggi harus fleksibel dan adaptif. Saat ini teknologi terus berkembang dalam hitungan detik. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus serius membangun kurikulum yang berorientasi masa depan, kita harus terbuka dengan segala sumber pengetahuan yang relevan, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Sumber daya manusia harus dipersiapkan sebaik mungkin, Sumber daya manusia (SDM) yang dimaksud adalah semua orang yang bekerja dalam institusi pendidikan tinggi, dari mulai tenaga penunjang akademik (TPA) hingga dosen. Seluruhnya harus merupakan orang-orang yang berwawasan luas dan memiliki visi masa depan. Para TPA yang melek TIK dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan hard skill dan soft skill -nya akan mendorong pengelolaan pendidikan tinggi menjadi lebih kreatif dan solutif. Demikian pula dengan para tenaga pengajar atau dosen. Era digital seperti sekarang mereka dituntut untuk berpikiran terbuka, menyerap segala perubahan yang terjadi baik lokal maupun global, sehingga mampu menyelenggarakan kegiatan belajar yang adaptif dan inovatif. Harus diakui bahwa kegiatan belajar di kelas kini tak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didik. Cukup dengan berselancar di internet, mereka bisa mendapatkan segala informasi yang mereka butuhkan dari artikel ilmiah, materi kuliah, jurnal, hasil penelitian, hingga buku-buku teks. Knowledge is one click away. Dengan demikian, seorang dosen harus menguasai banyak sumber informasi yang valid dan mampu memprediksi perkembangan ilmu pengetahuan masa depan. Lalu, infrastruktur sebagai aspek ketiga, dalam hal ini berfungsi untuk mengakselerasi pelaksanaan kurikulum dan maksimalisasi SDM. Infrastruktur yang dimaksud tak hanya meliputi infrastruktur konvensional seperti ruang belajar, laboratorium, perpustakaan, dan ruang kerja, tetapi juga mencakup infrastruktur digital yang memungkinkan pendidikan tinggi untuk melakukan revolusi pendidikan. Sebuah era pendidikan baru. Dengan infrastruktur digital pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan online sekaligus menekan biaya pendidikan. Angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia yang saat ini masih berada di angka 31%. Pendidikan tinggi akan menjadi lebih mudah untuk diakses oleh calon-calon peserta didik pendidikan tinggi di daerah- daerah di Indonesia.
Di sisi lainnya, infrastruktur digital juga akan membuat biaya pendidikan menjadi lebih efisien karena terbukanya peluang sharing economic antara perguruan tinggi dan mitra di berbagai daerah dan negara. Inilah model pendidikan tinggi era digital, di mana pendidikan juga tak lagi mengenal batas geografis dan sosial. Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosanterobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya e-learning yang meskipun saat di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.
Gambar 13. Perubahan aras pemikiran pengajaran dan pembelajaran abad 21
Moore‘s Law mengatakan bahwa prosesor akan memiliki kecepatan 2 kali lipat setiap 18 bulan dengan harga sama. Hal sama terjadi pada GPU (graphical processing unit) atau kemampuan kartu grafik komputer menampilkan gambar. Memiliki kemampuan tampilan seperti gambar bioskop dengan hampir real time untuk game. Model pembelajaran masa depan akan menggunakan game sebagai simulator, mulai dari pelajaran kreativitas, strategi hingga pembentukan karakter bisa dilakukan dengan game. Model Pendidikan tinggi masa depan adalah yang memadukan segala aspek (kurikulum, pengajar, teknologi, fasilitas dan sarana) dalam satu kesatuan yang mendukung proses pembelajaran yang berorientasi pada industri jasa pendidikan berkualitas. G. TANTANGAN DOSEN DALAM DUNIA PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN Diakui atau tidak diakui dalam dunia pendidikan paradigma yang dianut sekarang adalah konstruktivisme. Jika dahulu pengetahuan mahasiswa bersumber dari dosen, dan mahasiswa dianggap sebagai gelas kosong yang siap diisi. Maka dengan paradigma konstruktivisme, mahasiswa harus dianggap memiliki pengetahuan awal, dan tugas dosen hanya mengkonstruksinya.
Gambar 14. Kerangkan kompetensi dosen abad 21
Mahasiswa pun diibaratkan tanaman yang sudah punya potensi untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan dosen hanya berfungsi sebagai penyiram yang membantu tanaman (mahasiswa) tumbuh dan berkembang dengan baik. Akibatnya, peran dosen berubah dari pengajar menjadi fasilitator dengan model pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student center), tidak lagi berpusat pada dosen (teacher center). Proses belajar mengajar (PBM) bersifat memandirikan mahasiswa dalam mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan memecahkan masalah yang diberikan dosen.
Gambar 15. Skema tuntutan global kompetensi mahasiswa abad 21
Proses globalisasi merupakan kaharusan sejarah yang tidak mungkin dihindari, dengan segala berkah dan mudhorotnya. Bangsa dan Negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut dosen memegang peran yang penting. Dosen adalah kreator proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi mahasiswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreatifitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus dosen akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan dosen atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para mahasiswa untuk dapat berpikir melewati batasbatas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Tugas utama dosen adalah mengembangkan potensi mahasiswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran. Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang dapat disajikan secara jelas, memiliki nilai dan karakteristik tertentu yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya setiap dosen dalam menyampaikan setiap mata pelajaran harus menyadari sepenuhnya bahwa seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu sendiri. Materi pelajaran dan aplikasi nilai-nilai terkandung dalam mata pelajaran tersebut senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Agar dosen seanantiasa dapat menyesuaikan dan mengarahkan perkembangan, maka dosen harus memperbaharui dan meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara terus menerus. Dengan kata lain, diperlukannya adanya pembinaan yang sistematis dan terencana bagi para dosen. Abad 21 pendidikan telah mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, Dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Dari citra hubungan dosen-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, Dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, Dari penampilan dosen yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, Dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif. 1. Konsep Dosen Berkualitas dan Profesional
Dosen dalam melaksanakan kegiatan Proses belajar mengajar (PBM), dituntut untuk menyiapkan unit plan, sebagai portfolio dosen dalam proses pembelajarannya. Di dalam unit plan, dosen harus mengarahkan rencana proyeknya berdasarkan kerangka kurikulum. Curriculum frame Question adalah sebagai alat untuk mengarahkan peserta didik dalam mengerjakan proyeknya, sehingga sesuai dengan tujuan yang telah direncakan. Dosen harus menyiapkan materi-materi pendukung untuk kelancaran proyek peserta didik, demikian pula peserta didik harus mampu membuat dan mengerjakan hasil tugasnya untuk ditampilkan atau dipresentasikan di depan temannya. Pada saat presentasi hasil proyeknya peserta didik mendapat kesempatan untuk melakukan assessmen terhadap temannya – peer assessmen, memberikan feedback pada hasil kerjanya.
Dalam proses pembelajaran, dosen harus memberikan kesempatan pada peserta didik untuk melaporkan hasil proyeknya dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk blog, wiki, poster, newsletter atau laporan. Kegiatan yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau high order thinking harus dirancang dalam rencana pelajaran dosen. Peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan analisis, sintesis dan evaluasi melalui proyek yang mereka kerjakan. PBM harus berpusat pada mahasiswa/peserta didik yang diyakini para ahli mampu menyiapkan peserta didik kita untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-21. Menurut para ahli, project-based learning merupakan salah satu pendektan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik yang mampu mengembangkan semua kecakapan di atas. PBM berbasis pada Peserta didik memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Peserta didik menjadi pusat atau sebagai obyek yang secara aktif belajar pada proses pembelajaran. Proyek-proyek yang direncanakan terfokus pada tujuan pembelajaran yang sudah digariskan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum. Proyek dikembangkan oleh pertanyaan-pertanyaan sebagai kerangka dari kurikulum (curriculumframing question). Proyek melibatkan berbagai jenis dan bentuk assessmen yang dilakukan secara kontinyu (ongoing assessmen). Proyek berhubungan langsung dengan dunia kehidupan nyata. Peserta didik menunjukkan pengetahuannya melalui produk atau kinerjanya. Teknologi mendukung dan meningkatkan proses belajar peserta didik. Keterampilan berpikir terintegrasi dalam proyek. Strategi pembelajarn bervariasi karena untuk mendukung oleh berbagai tipe belajar yang dimiliki oleh peserta didik (multiple learning style).
Selanjutnya sebagai dosen, harus mampu mengatur dan mendesain pembelajaran agar peserta didik memiliki kemampuan di abad 21 ini. Dengan demikian peran pendidik di era pengetahuan (abad 21), yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidik sebagai fasilitator, Pendidik sebagai pembimbing, Pendidik sebagai konsultan, Pendidik sebagai motivator, Pendidik sebagai monitor (memonitor aktivitas siswa), Pendidik sebagai kawan belajar bagi peserta didik.
Dosen sebagai pengajar dan Pendidik harus mengubah paradigma pembelajaranya agar peserta didik memiliki kemampuan di abad 21, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pendidik sebagai pengarah menjadi sebagai fasilitator, pembimbing dan konsultan. Pendidik sebagai sumber pengetahuan menjadi sebagai kawan belajar. Belajar diarahkan oleh kurikulum menjadi diarahkan oleh peserta didik-kulum. Belajar terjadwal secara ketat dengan waktu terbatas menjadi belajar secara terbuka, ketat dengan waktu fleksibel sesuai keperluan. Belajar berdasarkan fakta menjadi berdasarkan projek dan survei. Bersifat teoritik, prinsip dan survei menjadi dunia nyata, refleksi prinsip dan survei. Pengulangan dan latihan menjadi penyelidikan dan perancangan.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Aturan dan prosedur menjadi penemuan dan penciptaan. Kompetitif menjadi collaboratif. Berfokus pada kelas menjadi berfokus pada masyarakat. Hasilnya ditentukkan sebelumnya menjadi hasilnya terbuka. Mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif. Teknologi ICT sebagai subjek belajar menjadi peralatan semua jenis belajar. Presentasi dengan media statis menjadi interaksi multimedia dinamis. Komunikasi sebatas ruang kelas menjadi tidak terbatas. Tes diukur dengan norma menjadi unjuk kerja diukur pakar, penasehat dan teman sebaya.
Pembelajaran abad 21 sekarang ini hendaknya disesuaikan dengan kemajuan dan tuntutan zaman. Begitu halnya dengan kurikulum yang dikembangkan saat ini oleh institusi/lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk merubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada dosen/pendidik (teacher centered learning) menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa/peserta didik (student-centered learning). Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan peserta didik yang harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar (thinking and learning skils). Kecakapan-kecakapan tersebut diantaranya adalah kecakapan memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking), kolaborasi, dan kecakapan berkomunikasi. Semua kecakapan ini bisa dimiliki oleh peserta didik apabila pendidik mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang berisi kegiatan-kegiatan yang menantang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Kegiatan yang mendorong peserta didik untuk bekerja sama dan berkomunikasi harus tampak dalam setiap rencana pembelajaran yang dibuatnya. Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa/peserta didik memiliki beberapa karakter yang sering di sebut sebagai 4C, yaitu: Communication Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah dari pendidiknya. Collaboration Pada karakter ini, peserta didik menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan empati pada tempatnya, menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan masyarakat, menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain, memaklumi kerancuan. Critical Thinking and Problem Solving Pada karakter ini, peserta didik berusaha untuk memberikan penalaran yang masuk akal dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit, memahami interkoneksi antara sistem. Peserta didik juga menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mandiri, peserta didik juga memiliki kemampuan untuk menyusun dan mengungkapkan, menganalisa, dan menyelesaikan masalah.
Creativity and Innovation Pada karakter ini, peserta didik memiliki kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain, bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda. Selain pendekatan pembelajaran, peserta didik pun harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi khususnya Teknologi ICTKomputer. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar peserta didik. Kegiatan-kegiatan yang harus disiapkan oleh pendidik adalah kegiatan yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menggunakan teknologi komputer untuk melatih keterampilan berpikir kritisnya dalam memecahkan masalah melalui kolaborasi dan komunikasi dengan teman sejawat, dosen, ahli atau orang lain yang memiliki minat yang sama. 2. Sosok Dosen di Abad 21 Dosen abad 21 harus menguasai banyak pengetahuan (akademik, pedagogik, sosial dan budaya), mampu berpikir kritis, tanggap terhadap setiap perubahan, dan mampu menyelesaikan masalah. Dosen tidak boleh hanya datang ke kampus melulu untuk mengajar saja. Kemampuan untuk mengelola kelas saja tidak cukup lagi. Dosen diharapkan bisa menjadi pemimpin dan agen perubahan, yang mampu mempersiapkan anak didik untuk siap menghadapi tantangan global di luar kampus. Selain orang tua peran dosen dalam mengarahkan masa depan anak didiknya sangat signifikan. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau dosen tidak siap menghadapi semua tantangan dinamika pendidikan abad 21 ini, yang nota-bene masih terus akan berubah.
Gambar 16. Ciri Pendidik abad 21
Dalam konteks dosen profesional dengan semangat tinggi, ia akan selalu memiliki inisiatif, gigih, tidak putus asah dan tidak gampang menyerah. Sebaliknya, ia akan jarang mengeluh. Dan hatinya akan senantiasa berbunga kata ―There are two kinds of days:good days and great days‖ atau hanya ada dua macam hari: hari baik dan hari sangat baik. Dosen dalam dimensi kekinian digambarkan sebagai sosok manusia yang berakhlak mulia, arif, bijaksana, berkepribadian stabil, mantap, disiplin, santun, jujur, obyektif, bertanggung jawab, menarik, mantap, empatik, berwibawa, dan patut diteladani.
Dengan sosok kekiniannya, seorang dosen harus manjadi manusia yang dinamis dan berfikir ke depan(futuristic) dengan tanda-tanda dimilikinya sifat informatif, modern, bersemangat, dan komitmen untuk pengembangan individu maupun bersama-sama. Dan yang tak kalah penting, dosen diharuskan mampu menguasai IT, atau setidak-tidaknya mampu mengoperasionalkan. Dosen diharapkan benarbenar mampu mengajak mahasiswanya siap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai dosen profesional juga wajib tumbuh dalam dirinya jiwa semangat dan sebagai penyemangat. Untuk yang satu ini, hal mendasar yang harus dimiliki dosen adalah kekayaan pengetahuan dan kompetensi materi yang akan diajarkan. Tanpa itu, mustahil dosen akan dapat mengajar dengan baik, lugas dan lancar. Keminiman penguasaan materi dan wawasan pendukungnya akan mendosenng dosen pada keminderan dan bahkan merasa takut berhadapan dengan mahasiswa. Dalam Jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang dosen dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Dosen mempunyai komitmen pada mahasiswa dan proses belajarnya, (2) Dosen menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada mahasiswa, (3) Dosen bertanggung jawab memantau hasil belajar mahasiswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Dosen mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Dosen seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Gambar 17. Peran dan fungsi dosen dalam proses pembelajaran abad 21
Dengan adanya persyaratan profesionalisme dosen ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil dosen Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi dosen yang profesional. Apabila syarat-syarat profesionalisme dosen di atas itu terpenuhi akan mengubah peran dosen yang tadinya pasif menjadi dosen yang kreatif dan dinamis.
Pemenuhan persyaratan dosen profesional akan mengubah peran dosen yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, dosen memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator. Pengembangan profesionalisme dosen menjadi perhatian secara global, karena dosen memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas dosen adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja dosen harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional. H. GAMBARAN PEMBELAJARAN DUNIA PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN Kampus memerlukan sumber belajar yang banyak. Tetapi kampus dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber belajar yang ada di perpustakaan sangat terbatas. Koleksi buku dan compact disk (CD) yang dimiliki kampus pun acapkali sudah usang. Pembaharuan koleksi buku dan CD tentu memerlukan biaya yang sangat besar. ICT dapat dijadikan solusi bagi permasalahan ini. Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang ini masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan (abad 21) paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industi. Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan dari dosen, belajar dari mahasiswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Gambar 18. Ciri dan model pembelajaran abad 21
Pergeseran tata cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di era pengetahuan dan informasi (abad 21) meliputi Pergeseran proses pembelajaran sebagai berikut. Dari berpusat pada pengajar menuju berpusat pada peserta didik. Saat ini dosen harus lebih banyak mendengarkan peserta didiknya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi Dosen dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya Dari satu arah menuju interaktif. Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari dosen ke peserta dididk, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara dosen dan peserta dalam berbagai bentuk komunikasinya. Dosen berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola. Dari isolasi menuju lingkungan jejaring. Peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh via internet. Dari pasif menuju aktif-menyelidiki. Peserta didik harus lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata Dosen harus dapat memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan. Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim Jika dahulu proses pembelajaran lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing individu, maka yang harus dikembangkan saat ini adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu. Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan .Jika dahulu ilmu atau materi yang diajarkan lebih bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka saat ini harus dipilih benar-benar ilmu atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan). Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke sehala penjuru. Jika dahulu Peserta didik hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka saat ini seluruh panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Dari alat tunggal menuju alat multimedia. Jika dahulu ilmu dosen hanya mengandalkan papan tulis untuk mengajar, maka saat ini diharapkan dosen dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia – baik yang bersifat konvensional maupun moderen. Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif Jika dahulu Peserta didik harus selalu setuju dengan pendapat dosen dan tidak boleh sama sekali menentangnya, maka saat ini harus ada dialog antar dosen dan Peserta didik untuk mencapai kesepakatan bersama. Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan. Setiap Peserta didik berhak untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya. Dari usaha sadar tunggal menuju jamak. Keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak Jika dahulu Peserta didik hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang ilmu, maka saat ini konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin. Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan. Peserta didik diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnya masing-masing. Dari pemikiran faktual menuju kritis. Jika dahulu hal-hal yang dibahas di dalam kelas lebih bersifat faktual, maka sekarang ini harus dikembangkan pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya. Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Jika dahulu yang terjadi di dalam kelas adalah ―pemindahan‖ ilmu dari dosen ke Peserta didik, maka dalam abad moderen ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara Peserta didik dan Peserta didik maupun antar Peserta didik.
Gambar 19. Kompetensi mahasiswa yang diharpakan dari hasil pembelajaran abad 21
Prinsip Pokok Pembelajaran di era pengetahuan dan informasi (abad 21) yang digagas Jennifer Nichols tersebut dapat dijelaskan dan dikembangkan sebagai berikut. a. Instruction should be student-centered Pengembangan pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. peserta didik ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. peserta didik tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.
Dosen berperan sebagai fasilitator yang berupaya membantu mengaitkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki peserta didik dengan informasi baru yang akan dipelajarinya. Memberi kesempatan peserta didik untuk belajar sesuai dengan cara dan gaya belajarnya masing-masing dan mendorong peserta didik untuk bertanggung jawab atas proses belajar yang dilakukannya. Selain itu, dosen juga berperan sebagai pembimbing, yang berupaya membantu peserta didik ketika menemukan kesulitan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya. b. Education should be collaborative peserta didik (mahasiswa) harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, peserta didik perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, peserta didik perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka. Begitu juga, lembaga pendidikan tinggi (termasuk di dalamnya dosen) seyogyanya dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan lainnya di berbagai belahan dunia untuk saling berbagi informasi dan penglaman tentang praktik dan metode pembelajaran yang telah dikembangkannya. Kemudian, mereka bersedia melakukan perubahan metode pembelajarannya agar menjadi lebih baik. c. Learning should have context Pembelajaran tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap kehidupan peserta didik di masyarakat. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Dosen mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terhubung dengan dunia nyata (real word). Dosen membantu peserta didik agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. d. Schools should be integrated with society Dalam upaya mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang bertanggung jawab, lembaga/institusi pendidikan seyogyanya dapat memfasilitasi peserta didik untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, peserta didik dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. dilibatkan dalam berbagai pengembangan program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya.
A. INDUSTRI DALAM ERA GLOBALISASI Globalisasi membuat keterikatan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk interaksi lain. Globalisasi dalam perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, dan sebaliknya juga membuka peluang masuknya produkproduk global ke dalam pasar domestik. Globalisasi di bidang ekonomi ini juga akan mempengaruhi bidang industri. Globalisasi ini akan menghambat pertumbuhan sektor industri. Misalnya dalam perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini akan menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tinggi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang. Akibatnya sektor industri domestik akan sulit berkembang. Ketergantungan kepada industri yang dimiliki perusahaan multinasional pun semakin meningkat. Ketika SDM dalam negeri tidak dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang baik untuk mendobrak industri dan bersaing dengan kompetitor lain, maka industri dalam negeri akan berakhir dengan banyaknya industri yang dikuasai oleh asing. Globalisasi juga mempengaruhi tenaga kerja. Perusahaan akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai dengan kelasnya seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional. Tenaga kerja dalam negeri juga harus bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika SDM bangsa tidak mampu bersaing, maka pengangguran akan semakin memburuk, pendapatan nasional berkurang dan akan memberikan efek buruk pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara. Cara yang ditempuh untuk mengatasi hal-hal di atas adalah mempersiapkan SDM yang handal, mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk bersaing dalam sektor industri dalam era globalisasi ini baik SDM sebagai pembangun/ pemilik industri atau sebagai tenaga kerja yang ahli dan profesional. Pendidikan harus dipahami dalam konteks mempersiapkan peserta didik untuk menguasai spektrum pengetahuan dan keterampilan tertentu. Keberlangsungan hidup sebuah lembaga pendidikan ditentukan oleh peran yang dimainkannya. Eksistensi lembaga tersebut ditentukan oleh relevasinya terhadap perkembangan dan perubahan kebutuhan serta persoalan di masyarakat. Lembaga pendidikan harus mengambil peran sebagai learning service center, dan healthy personality self-identification and development center. Dengan senantiasa melakukan peningkatan profesionalitas kinerja di seluruh komponen penyelenggaraannya, maka harapan bahwa lembaga pendidikan sebagai lembaga yang bergerak dalam industri produk jasa pengetahuan dan keterampilan tetap diminati dan survive di era globalisasi dan persaingan bebas.
Pembangunan ekonomi ditandai dengan tingkat kesejahteraan, tingkat pendapatan masyarakat yang makin baik. Secara akumulatif meningkatnya pendapatan nasional. Salah satu bidang yang memberi pengaruh besar terhadap meningkatnya pendapatan nasional adalah bidang industri.
Gambar 20. Tantangan utama di era globalisasi
Bidang industri membutuhkan pendidikan untuk kebutuhan sumber daya manusia yang akan menjadi penggerak industri. Sumber daya manusia yang dicetak melalui pendidikan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dunia industri, mempunyai kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan mampu lebih meningkatkan daya saing industri dalam era globalisasi. B. PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI INDUSTRI PRODUK DAN JASA Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri jasa terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi sekolah berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke PT di Singapore dan Malaysia, banyak mahasiswa dari Indonesia yang melaksanakan studi dengan berprestasi baik. Sebaliknya, Pelajar terbaik dari negara tersebut menuntut ilmu di negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. PT luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia, Canada, Amerika, Singapura, dan sebagainya membuka cabang untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri. Maraknya pameran pendidikan tinggi dari luar negeri, menunjukkan kesadaran negara berkembang seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan Malaysia mendatangkan calon mahasiswa dari Indonesia. Di Indonesia, ada beberapa PT yang pantas disimak perkembangannya, seperti Binus dan Gunadarma. PT ini berkembang dari sekolah tinggi dan akhirnya universitas dalam waktu relatif singkat. Kini Binus menjadi salah satu universitas paling bergengsi dengan gedung di mana-mana, dan menambah portofolionya dengan Binus High dan Binus Training.
Di Surabaya, UK Petra berkembang pesat dengan setiap jurusan favorit seperti Komunikasi, Desain Komunikasi Visual dan Ekonomi. Pada tingkat akademik, Bina Sarana Informatika dan Interstudi di Jakarta diikuti ribuan mahasiswa karena mematok harga sangat terjangkau. President University yang berada di Cikarang mungkin satu-satunya sekolah yang mendapatkan siswa dari China dan Vietnam berkat dukungan beasiswa dari pemain-pemain industri besar. Ini adalah salah satu langkah awal bagi Indonesia untuk bisa masuk ke pasar pendidikan secara internasional. Industri jasa pendidikan tinggi di Indonesia memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi mudah diakses oleh banyak orang. Di jalur program pendidikan vokasi, ada akademi (D1, D2, D3 dan D4) yang berkonsentrasi kepada kemampuan terapan. Perguruan tinggi (S1) berorientasi pada kemampuan analitis dan riset. Tidak berarti kemampuan terapan lebih rendah dari kemampuan analitis. Trend ini mulai berubah dengan banyaknya universitas besar menawarkan program Extension dan program pendidikan vokasi seperti halnya UI dan UGM, UNAIR, dan PTN unggulan lainnya. C. PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI INVESTASI Kata investasi memiliki arti menanam. Menurut Fitz Gerald (1978) mengartikan investasi sebagai aktifitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber yang dipakai untuk mengadakan modal barang pada saat sekarang ini. Investasi sebagai kegiatan untuk menanamkan modal pada masa sekarang ini agar pada masa yang akan datang dapat menghasilkan barang. Dalam kamus istilah pasar modal dan keuangan investasi diartikan sebagai penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Mulyana (2009:2) mengartikan investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang. Investasi adalah kegiatan menanamkan modal. Modal disini dapat berupa uang, barang atau modal manusiawi yang dapat berupa keterampilan dan kecakapan. Investasi tidak hanya menyangkut dengan uang sebagai modal utama untuk menghasilkan keuntungan di masa depan, tetapi juga mencakup SDM yang berupa keterampilan dan kecakapan yang dimiliki seseorang. Kegiatan Investasi sangat relevan dengan pendidikan, di mana dengan adanya pendidikan, keterampilan dan kecakapan seseorang akan semakin baik dan bertambah. Setiap individu yang ingin berinventasi harus mengorbankan dan mengesampingkan kesenangannya atau keinginannya untuk beberapa saat sesuai dengan kondisi yang ditempuhnya. Misalnya seseorang yang kuliah ke Perguruan Tinggi berarti dia telah mengorbankan uang untuk biaya kuliah, waktu dan tenaga selama kuliah. Hasil investasi tersebut akan diperoleh ketika ia lulus kuliah dan menerimah ijazah yang dapat dipakai untuk melamar pekerjaan. Pekerjaan yang didapatkan dengan penghasilan yang sesuai ini merupakan salah satu bentuk keuntungan yang didapatkan dari investasi yang dilakukan pada masa lalu. Bagi negara, pendidikan adalah investasi yakni investasi di bidang pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing internasional dalam kancah pergaulan antar bangsa. 1. Pendidikan Sebagai Investasi di Bidang Industri Produk dan Jasa Pendidikan memberikan kontribusi dalam bidang produksi sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat melalui dua pendekatan, sebagai berikut.
a. Pendekatan mikro Pada tingkat mikro, berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya kenaikan kesejahteraan yang terkait dengan tambahan tahun pendidikan, dengan tingkat pengembalian yang berbeda-beda dengan tingkat pendidikan. Dari sudut pandang ekonomi mikro, investasi sumber daya manusia dianggap sebagai salah satu penentu utama keberhasilan dalam dunia kerja dan investasi. Pendidikan menjadi sangat penting sebagai peluang terbesar untuk mengakses pasar tenaga kerja, serta kemajuan karier dan perbaikan status profesional, termasuk dalam hal pendapatan. Pendidikan juga merupakan kontributor penting bagi kemampuan teknologi dan perubahan teknis dalam industri. b. Pendekatan makro Pada tingkat makro, diyakini bahwa daya saing suatu negara dan produksinya tidak hanya tergantung pada tingkat akumulasi dan persediaan investasi dalam modal fisik, tapi juga investasi yang tertanam pada sumber daya manusia. Kita juga tidak dapat mengabaikan fakta penting lain: bentuk-bentuk investasi dalam pendidikan dan pelatihan, tidak hanya menentukan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, tetapi berdampak positif pada kesehatan, penurunan kejahatan dan kohesi sosial. Pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia berdampak sosial lebih besar. Semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin tinggi produktivitas secara keseluruhan karena pekerja lebih terdidik cenderung untuk berinovasi, dan dengan demikian mempengaruhi hampir semua produktivitas. Investasi dalam pendidikan untuk bidang industri akan meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan serta sikap tenaga kerja terdidik sebagai faktor penentu untuk menjadi lebih produktif. Semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin tinggi produktivitasnya. Produktivitas pekerja tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Produktivitas tenaga kerja merupakan upaya meningkatkan kemampuan setiap waktu sehingga dapat mencapai kinerja yang lebih tinggi lagi. Produktivitas setiap individu tenaga kerja diukur dari hasil kerja fisik masing-masing pekerja secara perorangan dibandingkan dengan masukannya (waktu, biaya, dan tenaga) yang dipergunakan untuk menghasilkan output kerja tersebut. Di lain pihak, produktivitas industri itu sendiri sudah pasti memberikan keuntungan, baik terhadap modal maupun tenaga kerja. Semakin tinggi tingkat produktivitas industri semakin tinggi pula rata-rata gaji atau penghasilan pegawai, serta semakin tinggi pula kemungkinan perluasan usaha bagi industri yang bersangkutan. Dengan temuan tersebut disebutkan pula bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan tenaga kerja semakin besar produktivitasnya yang tercermin dalam penghasilannya. Artinya, tamatan jenjang pendidikan yang lebih tinggi menunjukkan tingkat produktivitas kerja riil yang lebih tinggi pula. (Sumiyati, t.t:1). Jadi pendidikan sebagai investasi di bidang industri dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat (umpan balik) yang jelas. Pendidikan dalam hal ini akan menentukan kualitas SDM yang akan menjadi input tenaga kerja bagi sektor industri. 2. Kompetisi Kualitas dan Kuantitas Pendidikan tinggi sebagai indusri produk dan jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan menuntut pengelolaan yang profesional, tidak sebatas institusi yang berorientasi produk, tetapi perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun kesan dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning PT.
Perguruan tinggi dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, harus melakukan standarisasi kurikulum, pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas. Begitu memasuki era market mainstream dimana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk jasa harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini institusi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi. Konsep positioning dan membentuk kategori yang lebih sempit adalah salah satu strategi di era kompetisi. Strategi diferensiasi di dimanfaatkan, mulai dari metode pembelajaran, harga, local genius dan banyak lagi. Satu contoh adalah franchise dari luar negeri adalah diferensiasi dari awal mula kurikulum berasal. Diferensiasi dari sisi agama juga bisa digunakan seperti Al Azhar - Jakarta, Al Izhar Jakarta), Kristen (UKI - Jakarta, UK Petra Surabaya) yang masing-masing memiliki captive market yang sangat besar. Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas. Pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Universitas ternama (leading universities) di pulau Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj, Unair, Undip serta diluar pulau jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Universitas Negeri (eks IKIP) dan Universitas Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan lewat jurnal ilmiah dan diseminasikan lewat seminar, lokakarya dan publikasi media. Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia, banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian perguruan tingi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah terkreditasi. Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya Universitas Trisakti, Universitas Brobudur, Universitas Guna Darma, Unika Atma Jaya, Unas, Unpar Bandung, UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya, Universitas Nomensen Medan, Universitas Bung Hatta Padang, UMI Makassar, Universitas Klabad Manado, Unismuh Makassar, Universitas Bosowa. D. PENDIDIKAN TINGGI DAN PERMINTAAN PENGETAHUAN Produksi jasa pengetahuan dan keterampilan akan berkembang pesat jika dilakukan format mekanisme pasar. Pada pemerintahan yang otoriter produksi pengetahuan banyak dipandu oleh Negara, sehingga dalam banyak kasus mengalami kendala pertumbuhannya. Memang, sebagian besar dari produksi pengetahuan nasional yang dipandu oleh mekanisme pasar. Kemungkinan hampir semua pengetahuan yang dihasilkan tidak diperoleh oleh konsumen dengan harga tertentu melainkan ditawarkan secara gratis, kecuali yang telah dituangkan kedalam media yang proses memproduksinya memerlukan biaya yang mahal atau dipandu tujuan komersial.
Institusi yang paling banyak menggunakan produksi pengetahuan adalah universitas dan sekolah. Sebagian besar pendanaanya ditangungg oleh pemerintah, misalnya dalam bentuk pengadaan buku-buku perpustakaan, buku pelajaran, majalah, jurnal, laporan penelitian, artikel lepas, Koran, dan lain-lain. Pada porsi yang lebih riel di lingkungan institusi pendidikan produksi pengetahuan itu dibayar oleh orang tua dan siswa itu sendiri. Lembaga pendidikan tinggi sebagai bagian dari industri produk dan jasa pengetahuan dan keterampilan harus menempatkan diri dalam konteks perkembangan dan perubahan kebutuhan serta persoalan di masyarakat. Lembaga pendidikan yang kehilangan relevansinya melalui disinteraksi ataupun kalah dalam persaingan di era global kini, niscaya akan mati -cepat atau lambat- karena interdependensi dalam lingkungan yang diciri oleh keragaman melalui berbagai bentuk interaksi merupakan hukum alam dalam kehidupan ini. Persoalannya adalah: mampukah lembaga pendidikan menyiapkan peserta didik yang mampu memenangkan masa depannya ? apakah kurikulum, silabus, dan proses belajar mengajar di perguruan tinggi kita dapat menjamin pembentukan peserta didik yang siap menghadapi masa depan. Menurut Psacharopoulos (1987) industry pengetahuan dapat diartikan sebagai kelompok perusahaan, institusi, organisasi, depertemen, atau tim dalamnya menghendaki baik secara lensung maupun tidak lansung untuk menyebarkan pengetahuan dalam bentuk apapun. Oleh karena penyediaan informasi tidak dapat dipisahkan dengan selayaknya penyediaan barang atau jasa lain, maka orang-orang yang terlibat dalam industri pengetahuan menyediakan informasi tidak sebagai pekerjaan yang hanya bagian kecil dari pekerjaan yang lain, melainkan merupakan pekerjaan utama mereka. Pekerja industri pengetahuan tidak hanya menyediakan pengetahuan dan menjual jasa dibidangnya, melainkan juga yang membagikannya cuma-cuma karena dibiayai oleh pembayara pajak, penyumbang, atau institusi bisnis. Industri produk jasa pengetahuan dan keterampilan, dalam makna substansi ,material, menuntut persyaratan khusus. Mereka adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, dimana keahlian itu diperoleh melaui pendidikan, pelatihan, atau proses pembelajaran individual yang cukup lama. Kemampuan yang dimiliki oleh seorang yang menjalankan pekerjaan pengetahuan adakalanya tidak cukup tunggal. Seorang penulis, misalnya setidaknya harus memiliki dua kemampuan sekaligus, yaitu penguasaan materi fokus tulisan dan penguasaan bahasa tulisan. Berbekal dua kemampuan itu saja tidak cukup. Mereka juga harus memiliki keterampilan lain, yaitu keterampilan mengoperasikan komputer untuk olah kata, desain gambar, table, ilustrasi bergambar, desain grafis, dan lain-lain. Perguruan tinggi dipandang sebagai lembaga yang memproduksi atau menjual produk kepada pengguna. Pengguna pendidikan meliputi pelanggan internal dan pelangan eksternal. Pelanggan internal Lembaga Pendidikan sebagai Industri produk Jasa Praktek adalah pengajar atau dosen dan tenaga kependidikan serta tenaga administratif. Pelanggan eksternal dipilah-pilah menjadi pelanggan primer, sekunder dan tersier. Pelanggan eksternal primer adalah siswa, pelanggan sekunder adalah pemerintah, orangtua atau masyarakat yang membiayai pendidikan, dan pelanggan tersier adalah lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya atau para pemakai lulusan. Dengan berpegang pada konsep ini maka mutu suatu lembaga pendidikan ditentukan oleh sejauh mana pengguna internal maupun pelanggan eksternal itu merasa puas terhadap layanan yang diberikan oleh lembaga pendidikan itu. Hal ini berarti bahwa lembaga pendidikan bermutu adalah yang melaksanakan pendidikan dan memberikan pelayanan sesuai harapan dan kepuasan para penggunanya. Pertanyaan kunci : Apakah lembaga pendidikan dapat memberi layanan yang sesuai kepuasan penggunany? Dalam menilai mutu lembaga pendidikan, perlu ada kriteria penilaian pada masing-masing dimensi mutu, seperti hasil belajar, pembelajaran, materi pembelajaran, dan pengelolaan. Dimensi hasil belajar dapat dipandang sebagai dimensi keluaran atau output, sedangkan dimensi pengelolaan dan pembelajaran dapat dipandang sebagai dimensi proses, sementara bahan pembelajaran merupakan dimensi masukan atau input.
Gambar 21. Pendidikan tinggi sebagai sebagai industri produk dan jasa berbasis ilmu pengetahuan dan keterampilan
Pendidikan tinggi kekinian layaknya dianggap sebagai sebuah industri. Kata industri dipahami sebagai kegiatan yang dikelola dengan baik dan menghasilkan produk yang diminati oleh masyarakat. Maka mutu produk pendidikan diukur dari lulusannya. Mari di telisik! Dalam aktifitas operasional pendidikan tinggi, terdapat pengelola, ada bahan baku, ada proses, ada produk, ada standar kualitas atas produk dan tentu saja ada biaya yang ditimbulkan. Namun dunia pendidikan, bukan mengejar profit semata, tetapi menekankan pada kontrol kualitas dari produk yang dihasilkan, yaitu mutu pendidikan. Dampak pendidikan sebagai industri, tentu mengharapkan lulusannya berkecakapan, patuh, dan dapat diterima sebagai pekerja. Namun, pandangan ini tak semestinya. Lulusan pendidikan haruslah manusiamanusia yang berkemampuan optimum sesuai dengan talentanya. Industri pendidikan seperti juga layanan kesehatan harus dipandang sebagai sebuah industri jasa. Jika pendidikan dipandang sebagai industri, masukannya adalah standar nasional, kurikulum, keluarannya adalah pembelajaran. Pembelajaran di sini meliputi dari penyediaan peluang, fasilitas, sampai konsultasi dalam proses belajar, jasa perpustakaan, dan sebagainya. Jika di analisis bagaimana pendidikan itu merupakan kegiatan yang layaknya ―industri‖, seluruh organisasi pendidikan bertanggung jawab kepada pemakai jasanya yakni masyarakat melalui produk yang dihasilkan. Sebagai pengguna produk dan jasa pendidikan, masyarakat berhak mendapatkan layanan dan hasil produk yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan dikatakan bermutu, jika penyediaan peluang dan fasilitas pembelajaran seoptimum mungkin. Siswa bukan bahan input maupun output, tetapi sebagai pengguna atau pemanfaat keluaran, yakni pembelajaran. Pendidikan sebagai industri produk dan jasa harus menyerahkan pada pelanggan (siswa) untuk memanfaatkan keluarannya, yakni peluang pembelajaran. Bagaimana memanfaatkan layanan jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan yang disediakan pendidikan, untuk menjadikan siswa seoptimum mungkin. Pendidikan di ibaratkan seperti sebuah bengkel motor yang menyediakan alat dan fasilitas dan bimbingan merakit motor, tetapi siswa harus merakit sendiri. Tiap siswa harus meracik sendiri pembelajaran yang dibutuhkan, tentu dengan bimbingan dosen sehingga memungkinkan dirinya berkembang seoptimum mungkin.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan, masih memahami pendidikan sebagai industri produk atau barang, yang berorientasi pada penyeragaman lulusan. Jika pendidikan merupakan pabrik, dan keluarannya adalah lulusan, tentulah menyeragamkan lulusan itu ide cemerlang. Akhirnya, akan selalu kembali pada prinsip bagaimana kita memandang pendidikan sebagai industri produk atau industri jasa. Hakikatnya, prinsip dasar pendidikan sebagai ―industri produk dan jasa‖, kualitas produknya diukur dari sistem INPUT-PROSES-OUTPUT (IPO), dengan perencanaan, analisis, dengan kontrol yang ketat. Maka pendidikan adalah industri jasa yang menjanjikan profit kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan primer dan oksigen bagi sebuah peradaban. Pendidikan bukan saja memiliki daya dongkrak bagi perkembangan dan kemajuan sebuah negara, melainkan juga sebagai hak dasar bagi setiap manusia di muka bumi ini. Ketika pendidikan diyakini sebagai hak dasar bagi setiap manusia di masing-masing negara, maka konsekuensinya adalah negara melalui pemerintah memiliki kewajiban mutlak untuk menggerakkan sektor pendidikan sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan, menciptakan peluang dan kesempatan yang sama kepada publik guna mengembangkan pengetahuan dan kapasitas lainnya melalui pendidikan dengan biaya yang terjangkau oleh masing-masing kalangan. Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20 Tahun 2003) pasal 1 ayat 1, menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara". Sehingga dapat di simpulkan disini bahwa pendidikan adalah, suatu usaha sadar dalam rangka menanamkan daya-daya kemampuan, baik yang berhubungan dengan pengalaman kognitif (daya pengetahuan), afektif (aspek sikap) maupun psikomotorik (aspek ketrampilan) yang dimiliki oleh seorang individu. Pendidikan tinggi terdiri dari dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur kejuruan (vokasi). Jalur akademik adalah universitas, institut dan sekolah tinggi yang menawarkan stratafikasi gelar akademik dan spesialis (higher degrees and specialist) dan mencakup program pendidikan S1 (gelar sarjana), S2 (gelar Magister), Spesialis dan S3 (gelar Doktor). Sedangkan Jalur kejuruan atau vokasi, umumnya menawarkan pendidikan kejuruan (vocational education) setingkat program diploma (Ahli Madya). Pendidikan ini umumnya diselenggarakan oleh semua akademi yang ada di Indonesia. Pendidikan tinggi (higher education) melayani jasa pendidikan tinggi termasuk pemberian pelayanan ilmu Basic Sciences (MIPA), Sciences (Ilmu-ilmu eksakta), Social Sciences and Humanities (Ilmu Sosial dan Humaniora). Pendidikan tinggi berhak menganugrahkan gelar akademik kepada alumninya yang telah memenuhi syarat-syarat akademis sesuai dengan UU Sisdiknas. Biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal yang didorong oleh motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar, akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan. Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial. Tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (Heller, 2003).
E. INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA Sistem pendidikan Indonesia memang digunakan sebagai sarana mencerdasan anak bangsa. Anak bangsa yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan cenderung akan memiliki posisi penting di dalam masyarakat, karena pada zaman awal kenegaraan masihlah sedikit yang menekuni dunia pendidikan. Saat ini, pendidikan tinggi di Indonesia berkembang dengan banyaknya wadah-wadah infrastruktur pendidikan. Menjamur, dan berkembang sesuai dengan upaya pembangunan bangsa. Program-program pemerintah untuk menggalakkan pendidikan merupakan angin segar dalam era kekinian. Namun, setelah mengetahui harapan terbesar mencukupi ekonomi adalah dengan pendidikan, masyarakat dengan segala upaya pun ingin masuk ranah pendidikan dan mengejar status pendidikannya. Status pendidikan inilah yang akan digunakan sebagai alat untuk menciptakan uang. Dengan bermodalkan catatan legal hitam di atas putih dari instansi, siapa pun berhak mendapatkan kesempatan posisi dalam jabatan. Selanjutnya, muara yang sama juga akan mengalir pada ekonomi. Menjamurnya institusi pendidikan yang dapat mengeluarkan produk, akan memunculkan masalah-masalah di dalam dunia pendidikan dalam era industrialisasi. Masyarakat memiliki kecenderungan dapat memiliki gelar pendidikan untuk bekerja mencari uang. Tidak peduli bagaimana pola persaingan, yang terpenting adalah mendapatkan catatan hitam di atas putih institusi pendidikan yang nantinya akan berguna untuk proses mendapatkan pekerjaan. Dengan mengatasnamakan pendidikan, konsep industrialisasi muncul. Industri jasa pendidikan hanyalah salah satu contoh dari sebuah peradaban yang menuntut perkembangannya didasarkan pada industri dengan uang sebagai bahan bakarnya. Ketika PTN dan PTS menerapkan tarif yang membumbung tinggi, sehingga muncul industrialisasi pendidikan. Fenomena tersebut merupakan tamparan telak bagi pemerintah, secara inheren bertanggungjawab pemerintah menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan tinggi bersifat elitis tetapi tidak harus identik dengan biaya mahal. Negara harus menyediakan anggaran pendidikan yang memadai untuk membantu kalangan yang belum beruntung secara ekonomi, PTN/PTS harus menyediakan beasiswa dengan salah satu syaratnya adalah kecerdasan. Disinilah pentingnya mendekatkan kepentingan industri dengan kepentingan pemerintah di sektor pendidikan. Membangun sinergitas yang kokoh antara industri dan pendidika, karena dunia industri membutuhkan SDM yang berkualitas dan pemerintah pun membutuhkan rakyat yang berkualitas, maka pendidikan bisa menjadi orientasi bersama bagi semua pihak yang bergerak di sektor industri dan pemerintah yang bertanggungjawab di sektor pendidikan. Pendidikan sebagai industri atau industri pendidikan? Ya memang kedua istilah tersebut tak bisa dipisahkan. Dua istilah tersebut menjadi tren di era globalisasi dan persaingan kekinian. Tapi ketika pendidikan sebagai industri, lembaga pendidkikan harus benar-benar profesional dan konsisten mengembangkan dan menjaga mutu produk jasa pengetahuan dan keterampilan yang di embannya. Tri Dharma bukan hanya sebagai pegangan tapi harus benar-benar diterapkan. Kepada siapa lagi masyarakat dapat mendapat pendidikan jika bukan dari lembaga pendidikan. Jangan sampai masyarakat pesimis atas lembaga pendidikan yang ada sekarang ini. Industri pendidikan dan pendidikan sebagai industri adalah issue ini sedang hangat-hangatnya sekarang ini, banyak sekali pendapat yang mencoba mengguraikan secara jelas dan gamblang mengenai perihal tersebut. Di negara-negara maju, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra- sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra.
Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth. Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama. Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang dalam kalangan universitas-universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights. Kedua, peluang mengembangkan atau menjual program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia. Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, peralatan, bahkan seragam olahraga sebagai imbalan mendapatkan atlet-atlet bertalenta, yang mensyaratkan mereka mengenakan logo perusahaan pemasok dana bagi perguruan tinggi. F. KELEMAHAN INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA Pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan signifikan dengan diserbunya tempattempat pendidikan di kota-kota besar. Calon mahasiswa berupaya masuk ke perguruan tinggi favorit, negeri maupun swasta. Perkembangan ini bisa dicermati khususnya pada PTN-PTS yang unggul dan favorit banyak diminati karena seakan membeli jaminan masa depan, meskipun harus melakukan investasi tidak sedikit untuk kuliah di PT tersebut. Lembaga pendidikan tinggi, saat ini yang sedang mengalami perkembangan adalah kampus yang menggunakan standar luar negeri. PT yang sudah mapan seperti UI, UGM dan Binus menggandeng perguruan tinggi luar sehingga siswa bisa mendapat double degree dari dalam dan luar negeri. Sebagai paradoks, pemerintah kini menutup izin Perguruan Tinggi baru karena Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi salah satu terbanyak di dunia dan sangat banyak di antaranya yang tidak bisa mempertanggung jawabkan fungsinya sebagai pendidik dengan menurunnya jumlah siswa serta banyaknya kasus perguruan tinggi yang terindikasi melakukan praktek jual ijazah bodong. Disisi lain, Perguruan tinggi (PT) yang tidak memiliki brand kuat banyak yang terengah mencari mahasiswa. Kota pendidikan seperti Jogja yang dulu diserbu mahasiswa luar daerah kini mengalami penurunan jumlah mahasiswa secara signifikan. Hanya PT dengan brand saja yang bertahan dan malah mampu menambah kursi. Salah satu efek negatif Industri jasa pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai. 1.
2.
Godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa. Sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.
3.
Konflik kepentingan antar sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.
Selain itu, ada beberapa kelemahan atau kekurangan lainnya yang perlu dibenahi karena kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat sentralistik. Yaitu; 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut. Kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Kemudian, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Sehingga seharusnya mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth) seperti yang terjadi di negara-negara maju. Kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti. Kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan offcampus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin meningkatkan kemampuannya dengan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi namun tidak harus selalu ke kampus, seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka. Stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2). Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa. Program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternatif program pendidikan tinggi, pertama " program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80% dan bobot
8.
9.
penelitian lebih kecil atau sekitar 20% atau sebaliknya mata kuliah 20% dan bobot penelitian 80% dan atau fifty-fity yaitu 50% bobot mata kuliah dan 50% penelitian. Dalam melakukan evaluasi program pendidikan seharusnya bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui tengah semester dan akhir semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengan tujuan untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan. Perguruan tinggi harus merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif. Sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu;  Materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemanfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi.  Program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.  Pembangunan karakter dan penguatan nilai nilai kebangsaan dan nasionalisme dengan pendidikan karakter dan materi bela negara
1. Masalah Pokok Pendidikan Tinggi Indonesia Industri jasa pendidikan tinggi Indonesia masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan kompleks. Salah satu masalah yang mendasar adalah ―MUTU‖. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mutu pendidikan tinggi Indonesia masih ketinggallan jauh. Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Masalah pokok yang dihadapi, yaitu; 1. 2.
3.
4. 5.
Pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat. Pemerataan Pendidikan. Sistem pendidikan tinggi dapat menyediakan kesempatan yang seluasluasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul karena kurangnya fasilita pendidikan yang tersedia. Mutu pendidikan. Mutu pendidikan lebih terletak pada masalah pemprosesan pendidikan. Pemprosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga pendidik, kurikulum, fasilitas sarana pembelajaran. Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu. Efisiensi Pendidikan. Efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan dana dan sumber daya manusia. Relevansi Pendidikan. Relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan kerja (dunia usaha dan dunia industri)
2. Masalah internal pendidikan tinggi Indonesia a. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek. Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan.
b. Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan tinggi yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebIh kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan. c. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan.
A. PENGARUH INDUSTRI TERHADAP INDUSTRI PENDIDIKAN Pengaruh nyata dan mudah dilihat dari sektor industri terhadap sektor pendidikan ialah adanya kecenderungan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran di universitas agar sesuai dengan kebutuhan sektor industri. Apa yang dimaksud dengan pembiasan fungsi (vocational bias) pendidikan dimaksudkan agar tujuan pendidikan dapat mengarahkan siswanya untuk memiliki persiapan didalam bekerja. Pihak industriawan atau pengusaha mengehendaki suatu metode pendidikan yang memungkinkan lulusan perguruan tinggi menjadi tenaga kerja yang langsung siap pakai. Beberapa jenis PT negeri maupun sawasta telah menerapkan suatu vocational bias tertentu. Lembaga pendidikan berfungsi mempersiapkan siswa untuk terjun langsung ke dunia kerja telah mendorong mereka untuk menganggap sekolah sebagai sarana mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Lembaga pendidikan menyusun materi pelajaran yang secara lebih menarik dan terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Ia juga akan membantu memecahkan problema yang terjadi pada saat transisi dari kuliah menuju pekerjaan. Salah satu program pendidikan yang diterapkan dan dikembangkan sekarang oleh pemerintah dalam rangka menggurangi angka penganguran adalah program pendidikan vokasi berfungsi mempersiapkan peserta didik untuk terjun langsung ke dunia kerja. program pendidikan vokasional adalah model pendidikan yang mensinergikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Gambar 22. Ilustrasi pendidikan vokasional
B. PENGARUH INDUSTRI PENDIDIKAN TERHADAP PERKEMBANGAN INDUSTRI Pendidikan serta berbagai latihan keterampilan atau kejuruan yang ada di dalam perusahaan merupakan refleksi atau perluasan dari tujuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan yang akan disampaikan kepada masyarakat luas. Salah satu konsep terpadu pendidikan dan dunia industri adalah sistem magang, Day – release dan Sandwich course, dan Day – release dan Sandwich course a. Sistem Magang System magang sudah dikenal baik dalam dunia perdagangan maupun industry. System magang memiliki sifat paternalistic, yang menggambarkan hubungan bapak dengan anaknya, antara seorang mekanik berpengalaman dengan seorang pekerja pemula. b. Day release Day release, seorang pekerja mula yang baru masuk mendapatkan hari bebas dari pekerjaannya, biasanya sehari dalam satu minggu kerja yang harus digunakan untuk mengikuti kursus pada berbagai jenis lembaga pendidikan. Ada tingkatan kursus yang dapat diikuti oleh seorang pekerja , yaitu : pertama kursus untuk menduduki jabatan professional, kedua kursus untuk menjadi teknisi dan ketiga untuk menduduki jabatan sebagai tenaga mekanik. c. Sandwich courses, merupakan suatu system pendidikan atau latihan dimana seorang karyawan bekerja dan belajar secara berselang-seling. Sandwich courses bertujuan untuk meningkatkan motivasi, prestasi dan kecakapan para pekerja. 1. Tenaga Kerja dan Pendidikan Dalam dunia industry terdapat tiga macam kelompok kerja, yang semuanya berkaitan dengan berbagai tingkatan dalam perkembangan teknologinya. Ketiga macam kelompok itu ialah : 1. 2. 3.
Unskilled manual (tenaga kerja tidak terampil) Skilled manual (tenaga kerja terampil) Personal administration dan komersial
Tenaga kerja untuk skilled semakin kurang diperlukan, akan tetapi jumlah personal administrasi dan komersial semakin lama semakin besar. Perbedaan antara tenaga kerja manual dan non manual, yang dalam istilah lama disebut pekerja otot dan pekerja otak semakin lama semakin kabur. Kita sekarang sedang melangkah menuju suatu masa dimana dunia buruh sebagian besar terdiri dari berbagai tingkatan tenaga kerja setengah terampil dan teknisi terlatih. Dengan diperkenalkannya mesin-mesin baru beserta teknologinya, mengakibatkan kenaikan tajam dalam kecepatan mobilitas jabatan atau perpindahan posisi kerja, dan juga menimbulkan konsekuensi khusus yaitu perlunya pendidikan atau latihan bagi para pekerja. Rangkaian hubungan lainnya antara industry dan pendidikan adalah adanya kecenderungan dalam berbagai perusahaan besar untuk menghimbau para pekerja seniornya memasukkan putra-putra mereka ke sekolah kejuruan atau pendidikan sarjana vokasional. 2. Pendidikan dan Pekerjaan Pendidikan tinggi menawarkan kualifikasi pekerjaan dengan menggabungkan pengetahuan tingkat tinggi dan keterampilan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Pendidikan tinggi dan dunia kerja hal tak terpisahkan, pendidikan membekali ilmu pengetahuan dan keterampilan peserta didik untuk bekal beradaptasi terhadap perkembangan pengetahuan dan dunia kerja.
Masalah transisi dari dunia pendidikan memasuki dunia kerja akan menimbulkan dua macam masalah yaitu : aspirasi dan harapan calon pekerja yang baru saja menyelesaikan studinya berkaitan dengan dunia kerja yang akan dimasukinya, dan yang kedua adalah proses pemilihan pekerjaan. 3. Aspirasi dan Harapan Pendidikan memberikan suatu bayangan atau gambaran dari bentuk pekerjaan yang akan didapatkan oleh seseorang. Di lembaga pendidikan para siswa mendapatkan suatu informasi tentang berbagai pekerjaan yang bisa dan akan mereka lakukan, walaupun mungkin informasi tersebut tidak bersifat langsung bila sekolah yang dimasukinya sekolah ilmu-ilmu social. Berbagai penelitian untuk mengetahui bagaimana siswa dan para pekerja muda didalam memandang berbagai aspek dunia kerja, telah banyak dilakukan oleh para ahli. Penelitian yang masih relevan dengan era kekinian yang dilakukan oleh Musgrave (1986) terhadap sejumlah siswa antara 18 sampai dengan 25 tahun diwilayah industri di Inggris utara, telah memperlihatkan bahwa sebagian besar mereka menganggap bahwa pekerjaan hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi sebagian kecil lainnya beranggapan bahwa justru sekolahlah yang merupakan alat untuk mendapatkan pekerjaan, karena ia dianggap sebagai tujuan akhir. Maizels (1970) mengambil suatu kesimpulan dari hasil penelitian terhadap sejumlah siswa di Willlesden, salah satu bagian kota London yaitu adanya suatu kepincangan dalam hubungan antara aspirasi dan harapan anak-anak muda disatu pihak, dengan apa yang telah dilakukan oleh berbagai badan pelayanan masyarakat termasuk perusahaan industri dilain pihak. Sebagian persiapan memasuki dunia kerja, biasanya pihak kampus memilih sekelompok mahasiswa yang sudah senior untuk melakukan kunjungan keperusahaan untuk mendapatkan pengetahuan praktis dari kegiatan kerja diperusahaan yang dikunjunginya. Hal ini akan memberikan gambaran yang cukup baik bagi para siswa mengenai ruang lingkup pekerjaan yang akan dimasukinya serta cukup berpengaruh terhadap proses pemilihan pekerjaan yang akan dilakukannya. 4. Teori Pemilihan Kerja Musgrave telah melangkah maju dengan konsepnya tentang teori pemilihan kerja. Dalam teorinya menyatakan Peninjauan terhadap masalah sosialisasi adalah suatu hal yang sangat penting. Pada setiap tahap sosialisasi, terjadi suatu masa transisi yang terjadi pada setiap pergantian tahap sosialisasi dengan melihat kemampuan seorang siswa untuk melakukan proses sosialisasi atau kemampuannya beradaptasi dengan pekerjaan beserta lingkungan kerjanya. Dilain pihak, Ford dan Box mengajukan kritik terhadap Musgrave dengan menyatakan bahwa masa transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja tidak dapat diuraikan sebagai suatu proses memilih secara keseluruhan. Mereka tidak tahu tentang keseluruhan masalah pekerjaan yang ditawarkan, dan sama sekali tidak mempunyai kriteria untuk membedakan satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Dua teori yang terkenal tentang masa memasuki dunia kerja adalah teori Ginzberg dan Super, kedua teori itu menyatakan bahwa kita harus menganggap masuknya orang dalam dunia kerja sebagai suatu proses. Output pendidikan tinggi adalah SDM yang memiliki memiliki pengetahuan dan keterampilan yang siap bersaing di dunia kerja dan siap berproses di lapangan kerja.
C. PENDIDIKAN TINGGI VOKASI UNTUK DUNIA USAHA DAN INDUSTRI
Berawal dari keprihatinan dan kondisi mutu lulusan perguruan tinggi Indonesia, tantangan dunia kerja di era global dan pasar bebas. Guna mendekatkan pendidikan dan dunia industri, Pemerintah membuka program pendidikan vokasi, dengan pemikiran bahwa pembangunan dan penguatan sendi sendi pendidikan tinggi hanya bisa dilakukan dengan perubahan perubahan paradigma dan penelitian yang aplikatif, konsentrasi pemahaman dengan kultur akademik yang peka dengan kekayaan multidisiplin. Keterlibatan dunia industri dalam pendidikan vokasi terutama dalam memberikan umpan balik (feed back) terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan seorang mahasiswa lulusan pendidikan vokasi sangatlah diharapkan. Pada kondisi yang harmonis antara penyelenggara pendidikan vokasi dan dunia industri dan masyarakat luas dapat melakukan suatu kolaborasi yang saling menguntungkan untuk menetapkan suatu sertifikasi profesi lulusan pendidikan vokasi yang diakui bersama.
Gambar 23. Pendidikan vokasi industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr)
Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan tertentu, meliputi program pendidikan Diploma 1, diploma 2, diploma 3 dan diploma 4 yang setara dengan program pendidikan akademik strata 1. Lulusan pendidikan vokasi akan mendapatkan gelar vokasi. Tujuan dari pendidikan vokasi adalah : 1. 2. 3. 4.
Memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat yang berkeinginan dan bersedia untuk menggali dan mengembangkan potensi dirinya untuk memperoleh keahlian dan kompetensi; Mampu bersikap dan berperilaku sebagai insan cerdas, kreatif, inovatif dan kompetitif serta percaya diri untuk berihktiar menuju sukses dalam kehidupan; Mempunyai kemampuan dan kecerdasan dalam memanfaatkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri sehingga bermanfaat untuk kesejahteraan, ketentraman, keamanan bagi masyarakat luas; Menghasilkan sumberdaya manusia yang berakhlak mulia dan berkualitas sehingga mampu bersaing dalam bidang keahlian dan kompetensi yang dimilikinya baik di tingkat Nasional maupun tingkat Internasional.gram pendidikan akademik strata 1. Lulusan pendidikan vokasi akan mendapatkan gelar vokasi.
Pendidikan vokasi sebagai suatu jenis pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu, pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pendidikan vokasi agak berbeda dengan jenis pendidikan lainnya. Salah satu hal besar yang dilakukan dalam pendidikan vokasi sebagai upaya untuk mencapai maksud dan tujuan pendidikan tersebut adalah kegiatan belajarmengajar dalam pendidikan vokasi lebih didominasi kegiatan praktek, baik praktikum yang dilakukan di laboratorium, studio, bengkel maupun kebun percobaan. Secara umum perbandingan antara kegiatan praktis dan teori dalam pendidikan vokasi adalah 80 persen berbanding 20 persen, walaupun dalam beberapa kasus angka perbandingan itu dapat menjadi 70 persen berbanding 30 persen, dengan demikian mahasiswa dan dosen akan menghabiskan sebagian besar waktu efektifnya untuk belajar dan bekerja di laboratorium dan/atau tempat-tempat praktek. Di era persaingan dan perdagangan bebas, pendidikan vokasi di tingkat menengah dan tinggi menjadi kunci meningkatkan daya saing. Pemerintah melalui Kemenristekdikti dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya meningkatkan peran pendidikan kejuruan dan vokasi dalam menunjang penyediaan tenaga kerja agar sesuai kebutuhan di dunia industri. Upaya ini diimplementasikan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam rangka peningkatan kompetensi, kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Presiden Joko Widodo telah mengarahkan Kementerian Perindustrian agar menjadi leading ministry untuk pengembangan pendidikan vokasi berbasis kompetensi yang link and match dengan industri secara nasional. Kemenristekdikti dan Kemenperin telah melakukan langkah-langkah strategis, di antaranya, penyusunan proyeksi pengembangan, jenis kompetensi dan lokasi industri khususnya yang terkait dengan lulusan SMK dan sarjana vokasi. Meningkatkan kerja sama dengan dunia usaha untuk memberikan akses yang lebih luas lagi bagi siswa vokasi untuk melakukan praktik kerja lapangan dan program magang bagi pendidik dan tenaga kependidikan vokasi. Mendorong industri untuk memberikan dukungan dalam pengembangan teaching factory dan infrastruktur, mempercepat penyelesaian Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), serta mengusulkan program pemanfaatan tenaga ahli di perusahaanperusahaan industri yang purna bakti untuk dijadikan tenaga pengajar di Program pendidikan sarjana vokasi. Guna mewujudkan program pendidikan vokasi, pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti dan Kemenperin telah melakukan koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait maupun dengan dunia usaha. Pada 29 November 2016 telah ditandatangani Nota Kesepahaman Bersama oleh lima Menteri dan disaksikan dua Menko dalam pengembangan pendidikan kejuruan dan vokasi berbasis kompetensi. (http://www.koran-sindo.com/news). Pemerintah bertekad memajukan pendidikan vokasi dengan mengandeng Jerman untuk memberikan pelatihan vokasional. Langkah strategis meningkatkan mutu SDM. Presiden Joko Widodo dalam rangkaian perlawatan ke Jerman, menjalin kerjasama di bidang pendidikan dan pelatihan vokasional. Pemerintah fokus pada kerjasama pendidikan khusus vokasi untuk menjawab kebutuhan pasar. Di Jerman sejak awal pendidikan memang sudah diarahkan apakah siswa akan terus ke universitas atau kemudian mengambil jalur vokasi. Memberikan kesempatan bekerja magang, menerima gaji dan dua hari dalam satu minggu bersekolah keterampilan (sekolah vokasi). Bagaimana dengan pendidikan vokasi di Indonesia? Dalam beberapa tahun terakhir terlihat pendidikan vokasi yang dimulai dari dari SMK hingga Politeknik mulai naik daun. Lantaran lulusan sekolah vokasi ini dinilai punya keterampilan dan keahlian siap pakai di dunia kerja. Pendidikan vokasi juga sudah terintegrasi sehingga siswa SMK bisa melanjutkan ke jenjang politeknik di Universitas. Sebagai contoh, UI berbagai program diploma yang tersebar di berbagai fakultas telah disatukan menjadi Program Vokasi UI. Pada Forum Pendidikan Tinggi Vokasi Indonesia sebanyak 50 perguruan tinggi (PT), di antaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), UPN Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Brawijaya telah bergabung. Mereka mengembangkan keahlian yang berbeda-beda.
Tujuan pendidikan vokasi memang berbeda dengan pendidikan regular di sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Di SMA dan PT regular pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu. Sementara pada pendidikan vokasi pengajaran lebih menitikberatkan pada keterampilan. Sehingga perbandingan bahan ajar antara praktek dan teori bisa 70:30. Tujuan pendidikan vokasi memang untuk menciptakan lulusan yang memiliki keterampilan serta keahlian tertentu seperti seni, teknologi, kesehatan, ekonomi, dan pariwisata, otomotif, dsb. Siswa dan mahasiswa pendidikan vokasi tidak hanya akan memegang ijazah, tapi juga diberi sertifikasi kompetensi. Untuk mendukung peningkatan kualitas pekerja dan daya saing, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan terus melakukan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK), terutama BLK-BLK yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah (pemda). Targetnya ada 70 BLK yang akan direvitalisasi pada tahun 2016. Tujuannya agar kualitas pekerja meningkat untuk meninggikan daya saing. Beberapa aspek yang dibenahi meliputi infrastruktur dan peralatan pelatihan, kuantitas dan kualitas instruktur, metode dan kurikulum pelatihan, serta manajemen pengelolaan BLK. Berdasarkan data Kemnaker jumlah BLK sebanyak 279. Sebanyak 17 dimiliki pusat dan 262 BLK dimiliki pemda Provinsi, Kab/kota. Dari data terbaca, ada jenis-jenis pelatihan di BLK yang diminati. Antara lain pelatihan keterampilan kejuruan otomotif, las, bangunan kayu dan batu, elektonik, komputer, teknologi informasi, menjahit, kerajinan tangan, pertanian dan perkebunan serta lainnya. Keberhasilan pendidikan vokasi sangat tergantung kepada kebutuhan masyarakat akan tenaga terampil, desain kurikulum yang disusun bersama-sama dengan dunia usaha dan dunia industri serta komitmen bersama perguruan tinggi vokasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Kerjasama antara institusi pendidikan dan industri sangat menentukan keberhasilan pendidikan vokasional. Selain itu pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat serta organisasi profesi harus saling membantu dalam proses penyelenggaraan pendidikan untuk menghasilkan kompetensi keahlian yang dibutuhkan dunia usaha dan dunia industri.
Gambar 24. Pendirian pendidikan vokasi di kawasan industri dan wilayah pertumbuhan industri (http://www.kemenperin.go.id/gpr)
Tuntutan masyarakat agar perguruan tinggi dalam hal ini pendidikan vokasi dapat memenuhi harapan masyarakat dan dunia industri akan tenaga kerja yang ―siap pakai‖ dapat terwujud, dan perguruan tinggi tidak lagi dipandang sebagai menara gading melainkan dipandang sebagai menara air yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Dalam mewujudkan upaya tersebut perguruan tinggi penyelenggara program Pendidikan Vokasi menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan praktek/praktikum sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Bidang keahlian Perbankan, Pendidikan Vokasi menyediakan Laboratorium Perbankan. Bidang Keahlian Usaha Wisata yaitu Laboratorium Front Office, Laboratorium House Keeping, Laboratorium Kitchen, Laboratorium Food and Baverage Service, Laboratorium Tours and Travel. Laboratorium Komputer, Laboratorium Open Source dan Jaringan, Laboratorium Troubleshooting dan Studio Gambar. Program Studi Keuangan dan Perbankan juga memiliki Laboratorium Mini Bank. Laboratorium Bahasa, Laboratorium Perpustakaan dan Kearsipan.
Gambar 25. Penyerapan tenaga kerja pendidikan vokasi ((http://www.kemenperin.go.id/gpr)
Sebagai pembanding, pengembangan pendidikan kejuruan atau vokasional di Indonesia sangat jauh tertinggal. Di kawasan Eropa dan Amerika hampir 95% lulusan peserta didik dari pendidikan kejuruan, sementara di Indonesia lulusan vokasi hanya 5%. Lembaga penghasil sumber daya manusia di Eropa dan Amerika lebih banyak meluluskan tenaga vokasi, karena 95% pasar kerja lebih butuh lulusan vokasi daripada lulusan akademik. 95% sistem pendidikan tinggi di Eropa dan Amerika merupakan pendidikan vokasional setara diploma 3 (D-3) dan diploma 4 (D-4). Sisanya 5%, baru pendidikan akademis. Negara maju lebih fokus mengembangkan pendidikan vokasi karena dunia industri lebih membutuhkan lulusan vokasi. Di Indonesia ada 4.500 perguruan tinggi negeri dan swasta. Total program studi di perguruan tinggi tersebut 26.000 prodi. Namun, hanya 5% prodi yang mengembangkan pendidikan vokasional, sedangkan 95% sisanya memproduksi mahasiswa akademik (S-1 dan S-3). Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan bahwa ―Mahasiswa akademik itu cocoknya menjadi dosen, peneliti, atau periset; tidak mungkin langsung disuruh kerja karena kultur belajarnya teoretis daripada praktik,‖ Pemerintah harus fokus membuat desain akhir untuk memperbanyak pendidikan vokasi jenjang D-3 dan D-4. dikembangkan merujuk pada delapan profesi yang disepakati Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survei, praktisi medis, dan perawat. (http://www.koran-sindo.com/news)
Gambar 26. Industri yang Indonesia sentris ((http://www.kemenperin.go.id/gpr) Lulusan vokasi lebih siap menghadapi MEA, 82% lulusan vokasi terbilang lebih cepat mendapat pekerjaan, terserap di dunia kerja bahkan sebelum dia lulus. Tercatat ada 3% yang memilih menjadi pengusaha dan sisanya menunggu daftar tunggu 3-6 bulan hingga mendapat pekerjaan. Dengan memperbanyak pendidikan vokasi maka tingkat pengangguran akan turun lebih cepat. Disisi lain, Pendidikan vokasi Indonesia membutuhkan perubahan regulasi tentang rekrutmen tenaga pengajar. Pemerintah mensyaratkan dosen harus bergelar S-2, sementara untuk pendidikan vokasi, pemerintah mensyaratkan merekrut dosen praktisi yang bekerja di perusahaan tertentu. Memberikan kelonggaran bagi tenaga pengajar pendidikan vokasi mempekerjakan para praktisi sebagai dosen tanpa melihat gelar pendidikan. Lulusan pendidikan vokasional jauh lebih siap untuk berkompetisi dalam dunia kerja sebab dalam sistem pengajaran sehari-hari keterampilan kerja mendapatkan porsi lebih dominan dibandingkan penguasaan akademik. Ditambah lagi adanya kewajiban untuk praktik lapangan sesuai bidang yang dipelajari. D. PROSPEK PENDIDIKAN TINGGI VOKASI 1. Urgensi Pendidikan Vokasi di Indonesia Lulusan pendidikan vokasi merupakan tenaga terampil yang akan memenuhi kebutuhan industri. Hubungan kerja sama tersebut perlu dikembangkan dengan cara penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri. Sementara di sisi lainnya, mahasiswa dari universitas merupakan tenaga yang membahas seputar bidang akademik, sehingga fokus lulusan universitas lebih banyak diarahkan untuk melakukan riset. Jika mahasiswa ingin memasuki bidang khusus, mahasiswa lulusan universitas memerlukan pendidikan khusus tingkat lanjut, tidak seperti pendidikan vokasi yang langsung menjadi tenaga terampil.
Saat ini, Pendidikan Vokasi perlu meningkatkan hubungan kerja sama dengan bidang industri untuk menciptakan link and match. Perlu dibangun hubungan kerja sama antara Pendidikan Vokasi dengan industri karena saat ini antara kebutuhan pasar dan tenaga kerja yang tersedia belum terjalin dengan baik. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berupaya secara maksimal guna meningkatkan kualitas pendidikan vokasi Indonesia agar tercapai sasaran dan tujuan pendidikan vokasi Indonesia dengan baik . Pendidikan vokasi mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada tanggal 10 Agustus 2012. Komitmen pemerintah sangat jelas dan tegas bahwa pendidikan vokasi tidak hanya menyelenggarakan program Diploma I (Ahli Pratama), Diploma II (Ahli Muda) dan Diploma III (Ahli Madya), melainkan didorong untuk menyelenggarakan pendidikan ke tingkat Sarjana, Magister dan Doktor yang sifatnya terapan. Bukti keseriusan pemerintah untuk penguatan pendidikan vokasi tertuang dalam Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 1061/E/T/2012 tertanggal 9 Agustus 2012 perihal Penghentian sementara (moratorium) pendirian dan perubahan bentuk perguruan tinggi, serta pembukaan program studi baru. Dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2012 yang memuat tentang berbagai ketentuan baru tentang pendirian dan perubahan bentuk perguruan tinggi, pembukaan program studi baru serta mengamanatkan penguatan pendidikan vokasi yang dapat dimaknai bahwa khusus untuk pendidikan vokasi masih terbuka untuk pendirian maupun pembukaan program studi baru. Keberadaan pendidikan vokasi tercantum dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); Pasal 22 ayat (1) ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5); Pasal 23 (1) ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) menunjukkan bahwa keseriusan pemerintah untuk memperkuat pendidikan vokasi yang pada awalnya hanya sampai pada pendidikan sarjana terapan, tetapi dengan semangat Undang-Undang Nomor: 12 tahun 2012 ini diamanatkan bahwa pendidikan vokasi sampai pada pendidikan Doktor yang bersifat terapan. Pasal 16 ayat (1) Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian tertentu sampai program sarjana terapan; Pasal 16 ayat (2) Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan oleh pemerintah sampai program magister terapan atau program doktor terapan. Pasal 21 ayat (1) Program diploma merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau teknologi; Pasal 21 ayat (2) Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyiapkan mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja sesuai dengan bidang keahliannya; Pasal 21 ayat (3) Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas program: (a) diploma satu, (b) diploma dua; (c) diploma tiga dan (d) diploma empat atau sarjana terapan.Pasal 21 ayat (4) Program diploma sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat; Pasal 21 ayat (5) Program diploma satu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan program diploma dua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat menggunakan instruktur yang berkualifikasi akademik minimum lulusan diploma tiga atau sederajat yang memiliki pengalaman. Pasal 22 ayat (1) Program magister terapan merupakan kelanjutan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana terapan atau sederajat untuk mampu mengembangkan dan mengamalkan penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah; Pasal 22 ayat (2) Program magister terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengembangkan Mahasiswa menjadi ahli yang memiliki kapasitas tinggi dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi pada profesinya; Pasal 22 ayat (3) Program magister terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau sederajat. Pasal 22 ayat (4) Lulusan program magister terapan berhak menggunakan gelar magister terapan. Pasal 23 ayat (1) Program doktor terapan merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah; Pasal 23 ayat (2) Program doktor terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai ahli dan menghasilkan serta mengembangkan penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia. Pasal 23 ayat (3) Program doktor terapan wajib memiliki Dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau sederajat. Pasal 23 ayat (4) Lulusan program doktor terapan berhak menggunakan gelar doktor terapan. Penguatan pendidikan vokasi dimaksudkan agar lulusan perguruan tinggi tidak hanya terfokus pada jenis pendidikan akademik yang diarahkan untuk menjadi ilmuwan (scientist) yang tempat bekerjanya sangat terbatas, melainkan masyarakat diberikan peluang yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan pendidikan vokasi yang diarahkan untuk memperoleh keahlian tertentu yang sangat dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia industri. Oleh karena itu lulusan pendidikan vokasi lebih mementingkan kemampuan praktis dari pada teoritis, kemampuan itu dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikat kompetensi oleh setiap lulusan pendidikan vokasi, sedangkan ijazah lebih condong kepada surat tanda tamat belajar dari program vokasi. Dengan demikian para mahasiswa pendidikan vokasi dapat diberikan ijazah apabila sekurang-kurangnya telah memperoleh 3 (tiga) sertifikat kompetensi. 2. Pendidikan Tinggi Kejuruan (Vokasi) Pendidikan tinggi kejuruan adalah pendidikan yang menekankan pada keahlian praktikal yang dibutuhkan untuk langsung terjun ke dunia kerja. Biasanya satu program membahas topik yang spesifik. Misalnya: Seni Kuliner Prancis: Patisserie, Multimedia: Character Design, dan lain sebagainya yang benar-benar membutuhkan keahlian praktikal. Pendidikan kejuruan biasanya mengharuskan mahasiswa untuk magang, sebelum menamatkan program pilihan mereka. Mahasiswa pendidikan kejuruan biasanya lulus dengan gelar Certificate, Diploma atau Advanced Diploma. Banyak juga gelar vokasi yang dapat dilanjutkan ke pendidikan tingkat sarjana atau pascasarjana. Durasi pendidikan vokasi sangat bervariasi, mulai dari satu semester, hingga beberapa tahun, tergantung program yang Anda pilih. 3. Keistimewaan Dari Pendidikan Vokasi a. Lebih Praktikal Jika menghadiri kelas kuliah membosankan, tidak suka mengerjakan tugas dan dinilai dengan cara ujian, Anda boleh mempertimbangkan pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi benar-benar melatih keahlian praktikal, sehingga tentu saja lebih banyak praktek daripada teori.
b. Banyak pilihan institusi Berbeda dengan pendidikan gelar sarjana dan sebagainya, pendidikan vokasi ditawarkan lebih banyak institusi, baik itu universitas, kolese, politeknik, pusat pelatihan ataupun institusi-institusi lainnya yang berspesialisasi menyelenggarakan program pendidikan vokasi. c. Beragam pilihan program Pendidikan vokasi cocok bagi mereka yang sudah jelas dan yakin dengan apa yang ingin mereka kejar sebagai karir masa depan. Banyak sekali bidang yang tersedia mulai dari pariwisata dan perhotelan, manajemen retail, pengembangan software, desain interior, teknik otomotif, penata rambut hingga kuliner. Pendidikan vokasi menekankan keahlian praktikal yang dibutuhkan untuk terjun langsung ke industri serta membahas topik yang lebih spesifik, jika dibandingkan dengan perkuliahan di universitas yang membahas topik yang lebih luas. E. PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA VOKASI 1. Sarjana Sains Terapan Sarjana Terapan disingkat S.Tr. merupakan gelar vokasi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan vokasi pada jenjang Diploma IV atau sering disingkat D IV. Program D IV adalah jenjang pendidikan profesional (pendidikan vokasi) yang mempunyai beban studi minimal 144 satuan kredit semester (SKS) dan maksimal 160 SKS dengan kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Program Sarjana selanjutnya disebut Program S1 adalah jenjang pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 144 satuan kredit semester (SKS) dan maksimal 160 SKS dengan kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Dengan demikian keduanya setara sehingga berhak menyandang gelar Sarjana. Peranan utama Pendidikan Politeknik di Indonesia adalah sebagai pemasok tenaga kerja terampil sekaligus berkualifikasi pendidikan tinggi formal, kedalam dunia usaha dan dunia industri di Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya dewasa ini sudah banyak sekali para lulusan politeknik yang bekerja di negara maju sebagai tenaga kerja. Salah satu bagian dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa proses pendidikan dapat dilakukan secara formal, nonformal maupun informal. Pendidikan formal dilakukan terstruktur, berjenjang yang di dalamnya terdapat juga unsur pelatihan untuk mendapatkan ketrampilan, serta ditandai kelulusannya dengan ijazah serta gelar atau sebutan yang mengimajinasi bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan formal pada jenjang tertentu. Sedangkan nonformal adalah berupa pelatihan - pelatihan di luar pendidikan formal guna mendapatkan keterampilan untuk melengkapi proses pendidikan formal. Selanjutnya proses pendidikan informal dapat dilakukan lebih fleksibel di lingkungan keluarga. UU Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 menjelaskan tentang Jenis Pendidikan Tinggi di Indonesia terbagi atas 2 (dua) bagian; yaitu Pendidikan Akademik yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terdiri atas S1, S2, dan S3. Jenis Pendidikan Tinggi lainnya adalah Pendidikan Vokasi yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan yang terdiri atas D1 (Ahli Pratama), D2, D3 (Ahli Madya), D4 (Sarjana Terapan), Master Terapan, dan S3 Terapan. UU Dikti juga menjelaskan bahwa jenjang Pendidikan S1 dan D4 berada pada Level KKNI yang sama yaitu Level-6. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). ď‚— S1 dan D4 berada pada Level KKNI yang sama yaitu pada Level 6. ď‚— S1 dan D4 sama-sama dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan S2.
S1 adalah pendidikan Akademik yang fokus kepada pengembangan daya nalar sehingga muatan mata kuliahnya 60% adalah Teori; sedangkan D4 adalah pendidikan Vokasi yang fokus kepada meningkat keahlian terapan tertentu dari taraf terampil menjadi mahir, sehingga muatan mata kuliahnya 60% adalah Praktek. 2. Perbedaan S1 (sarjana) dan D4 (Diploma) Dikalangan masyarakat awam maupun di benak Adik – adik kelas 3 SMA masih bingung memahami pendidikan akademik dan pendidikan vokasional dan ada juga yang bingung mau memilih Diploma atau Sarjana. Orangtua zaman sekarang pun cenderung berpikir loyal, tip-ikal orang sukses di masa depan adalah bermodal kan ‗sarjana‘ dan masuk pegawai negeri. Sebenarnya, dapat dikatakan pemikiran seperti itu masih terlalu sempit. Kita lihat saja sekarang, banyak sarjana – sarjana muda yang tidak langsung mendapat pekerjaan ketika mendapat gelar sarjana nya. Itu dikarenakan sarjana lebih menitik beratkan pada aspek analitis dengan 40 % praktik dan 60 % Teori. Dapat dikatakan lulusan Sarjana lebih diarahkan untuk dipakai sebagai pemikir, seperti melakukan penelitian ilmiah yang memungkinkan ditemukannya inovasi baru dalam bidangnya. Secara harfiah juga dapat dikatakan lebih cenderung ke arah loyalitas, image, dan individualisme, lebih cenderung pengejaran gelar ke pendidikan yang lebih tinggi sampai jenjang akademis Doktor. Ini merupakan suatu dilema yang mendalam, apakah memang selalu benar semakin tinggi pendidikan yang kita raih, semakin berkualitas skill kerja kita? Karena pada intinya seseorang dapat dikatakan sukses karena kehidupannya layak di dunia, dengan apa membeli kehidupan yang layak itu? Tentu saja dengan uang dan uang hanya akan didapat secara halal dengan jerih payah kita sendiri yaitu dengan ‗bekerja‘. Seandainya didikan kita lebih cenderung pada aspek analitis dengan skill kerja yang kurang dari separuh, apa yang terjadi? Bagaimana kalau dibandingkan dengan diploma yang lebih menitik beratkan pada skill kerja dengan 60 % Praktek dan 40 % Teori. Jadi sudah jelas siapakah yang memang betul-betul disiapkan untuk bekerja menghasilkan uang dengan kualitas kerja bagus ditambah pula memiliki aspek analisis yang tidak kalah bersaing walaupun memang kalah lebih dari separuh. Jalur pendidikan terbagi menjadi dua, jalur akademis (sarjana) dan jalur profesional (diploma). Menurut beberapa referensi, jalur akademis terdiri dari S0 – S1 – S2 – S3 atau Strata 0 (non gelar) – strata 1 (Sarjana) – strata 2 (Master) – strata 3 (Doktor), sedangkan jalur profesional terdiri dari D1 (Diploma satu) – D2(diploma dua) – D3 (diploma tiga) – D4 (diploma empat) – Sp1 (spesialis satu) – Sp2 (spesialis dua). Program pendidikan D3 mungkin sudah sering kita dengar tapi D1, D2, D4, Sp1 dan Sp2 yang mungkin tidak begitu akrab di telinga masyarakat luas. Bisa dikatakan D1 itu program kuliah satu tahun, D2 dua tahun dan D3 tiga tahun, sedangkan D4 empat tahun. D4 itu setara dengan S1/Sarjana di jalur profesional, sedangkan Sp1 itu setara dengan Master, Sp2 setara dengan Doktor. Dapat dilihat dari beban SKS yang di tanggung. Mungkin lebih mudah di contoh kan di bidang kedokteran jalur akademis nya adalah S.Ked (S1), M.Si/MPH (S2), dan Dr (S3), sedang jalur profesional nya dr/dokter, spesialis 1 (Sp.A/Sp.B) dan speasialis 2 (Sp.A(K)/sp.B(K)). Program diploma memiliki beberapa karakteristik seperti : Mata kuliahnya bertujuan memberikan skill/vokasional Masa studi 1 tahun (D1), 2 tahun (D2) dan 3 tahun (D3)
Membekali praktik lebih banyak Tugas akhir berupa kerja praktik dan laporan Melahirkan tenaga terampil berkualifikasi pendidikan tinggi formal ke dunia usaha/industri Bergelar Ahli Pratama/A.P. (D1), Ahli Muda/A.Ma (D2) atau Ahli Madya/A.Md. (D3)
Bagi yang memutuskan pilihan sarjana terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan, misalnya:
Masa studi berkisar 3,5 sampai 5 tahun. Mendapatkan pendalaman teori yang kuat Memiliki kemampuan riset dan analisis mendalam Peluang mengikuti organisasi internal dan eksternal kampus lebih luas Mendapatkan kesempatan magang di institutusi (perusahaan/pemerintahan/LSM) Beberapa perguruan tinggi mewajibkan Praktik Kerja Lapangan (PKL) Tugas akhir berupa skripsi Bergelar sarjana sesudah lulus
Intinya: Sarjana dapat di ibaratkan SMA sedang Diploma dapat diibaratkan SMK. Prospek Kerja Sarjana dan diploma ―SAMA‖ Karena Sarjana (S1) setara dengan Diploma (D-IV) . Sementara ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan terus mensosialisaikan program pendidikan sarjana vokasi. Sosialisasi penyetaraan terutama untuk setaraf nya D4 dan S1 maka belum semua kalangan industri tahu, mungkin masih ada salah satu perusahaan yang belum tahu sama sekali tentang kesetaraan D4 dengan sarjana (S1) sehingga terkadang disamakan ke level D-III, namun pemerintah akan terus mensosialisasikan nya dengan memberi pengertian apa itu D4 ke instansiinstansi publik nasional maupun internasional. Namun perlu diingat sekali lagi lulusan D4 yang lebih siap kerja dibanding S1 yang sekarang sudah mulai diperhitungkan oleh dunia industri. Optimisme kita bersama, tidak akan lama lagi tenaga profesional seperti Engineer akan lebih banyak diambil dari lulusan D4, karena memang D4 lah yang disiapkan untuk langsung bekerja serta dibekali keterampilan yang lebih daripada S1. Untuk pegawai negeri, jenjang D4 sudah disamakan dengan S1 sehingga pertama masuk langsung sama-sama start di Golongan IIIA. Lulusan D3 dapat langsung melanjutkan ke S1. Sedangkan D4 tentu bisa langsung melanjutkan ke jenjang S2. dan sebaiknya melanjutkan ke jenjang S2 profesional seperti misalnya MM/MBA dan DBA untuk bidang ekonomi. Tapi untuk yang sudah terlanjur mengambil gelar sarjana dan merasa bekerja dengan skill terbatas, dapat mempertaruhkan skill kerja dengan meneruskan ke pendidikan profesi. Tidak semua bidang menyediakan pendidikan profesi dan hanya PTN/PTS ber akreditas A dan B sajalah yang dapat melaksanakannya. Tapi optimisme kita bersama, di tahun-tahun yang akan datang akan semakin banyak pendidikan profesi di Indonesia.
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dalam mengembangkan kemampuan, mengubah sikap dan tingkah laku dalam rangka memberdayakan dan mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran. 2. Pendidikan adalah industri produk jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan (Education is a service industry knowledge and skills) 3. Pemerintah harus memfasilitasi masyarakat agar mudah dan murah dalam mengenyam pendidikan tinggi, baik melalui kebijakan maupun melalui anggaran. 4. Pendidikan Tinggi di Indonesia memang telah masuk salah satu produk jasa yang menjanjikan keuntungan. Persaingan produk jasa pendidikan menjadi trend terkini, dan salah satu pemasok devisa negara di bidang pendidikan. Animo masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan lebih baik, dan dunia kerja indutri yang membutuhkan produk pendidikan yang berkualitas. 5. Pendidikan sebagai investasi di bidang industri produk jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan dipandang sebagai investasi yang produktif. Pendidikan dalam hal ini akan menentukan kualitas SDM yang akan menjadi input tenaga kerja bagi sektor industri. 6. Pendidikan akan menghambat pertumbuhan sektor industri dalam negeri, jika SDM luaran pendidikan tinggi Indonesia tidak dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk mendukung sektor industri. 7. Dalam arus industri pendidikan tinggi, sistem atau model pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi yang kaku dan konvesional harus diubah menjadi lebih fleksibel dan profesional seperti produk jasa lainnya agar lebih kompetitif dan menarik pelajar, baik dalam maupun luar negeri. 8. Mutu pendidikan tinggi di Indonesia terus ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negara negara Asean, Asia, Amerika dan Eropa. Stakeholders pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodik dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan. 9. Strategi pengembangan Pendidikan tinggi di Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkeanekaragaman geo-demografis, budaya, dan memperhatikan tantangan global dan lokal tentang budaya – karakter bangsa, serta tanggung jawab pemangku kepentingan terkait dalam menentukan kebijakan dan kemauan politik untuk menghadapi tantangan perubahan. Strateginya meliputi: 1) Meningkatkan keterlibatan dunia usaha dan dunia industri dalam pendidikan. 2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia bidang pendidikan. 3) Meningkatkan dan memeratakan keberadaan pendidikan tinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat (dunian usaha dan industri), dan potensi dan karakteristik pengembangan daerah masing-masing.4) Strategi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan tinggi meliputi perencanaan dan pelaksanaan input, proses dan target luaran yang akan dicapai. 10. Pengembangan pendidikan tinggi hanya dapat terjadi dan memberikan dampak yang bermakna jika dilaksanakan secara menyeluruh. Diperlukan kehendak politik yang baik dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi disegala aspek, mengkaji celah yang ada dengan kebutuhan karakteristik sistem pendidikan di era pengetahuan dan informasi sekarang ini, dan menentukan program-program yang harus segera dilaksanakan untuk menutup kesenjangan dan mengejar kemajuan yang terjadi di dunia pendidikan. 11. Program pendidikan vokasi adalah solusi cerdas mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya guna dan daya saing bangsa. Program Pendidikan vokasi menunjang penyediaan tenaga kerja agar sesuai kebutuhan di dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Alhumami, Amich. 2009. Industri Pendidikan Tinggi. www.dikti.org Banathy, Bela H. 1991. Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications. Boediman, Andi S. 2004. Marketing & Branding Industri http://andisboediman.blogspot.com/2004/06/marketing-branding-industri-pendidikan.html
Pendidikan.
Bok, Derek. 2003. Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education. Princeton University Press. New Jersey. Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. 2005. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. Djaja. 2012. Pendidikan Sebagai Parameter Produksi dan Pengaruhnya dalam Model Pertumbuhan, (Online), (http://djadja.wordpress.com/2012/06/19/thinkedu-pendidikan-sebagai-parameter-produksi-danpengaruhnya-dalam-model-pertumbuhan/, diakses 17 Oktober 2012) Branen, P, ed (1975), Entering the World of Work,(London, HMSO) Cotgrove, S.(1958), ―Technical Education and Social Charge‖,London, Allen and Unwin Heller, D.E, 2001. The states and public higher education policy: Affordability, access, and accountability, The Johns Hopkins University Press. Halsey, A.H. etal, eds (19610, ―Aprentices out of their time,‖(London Farber) Williams, W. ed.(1974), ―Occupational Choice.‖ (London, George Allen and Unwin) http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/ http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=26&date=2016-09-19 http://abahanomkurnaedi.blogspot.co.id/ https://www.selasar.com/jurnal/ http://presidenri.go.id/pendidikan/ri-jerman-fokus-pada-kerja-sama-pendidikan-vokasi.html http://news.okezone.com/topic/19650/pendidikan-vokasi https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi http://vokasi.ub.ac.id/tentang-vokasi/tujuan/ http://vokasi.ui.ac.id/r3/ http://combackcampus.blogspot.co.id/2012/05/industri-dan-pendidikan.html https://ernisusiyawati.wordpress.com/2013/05/31/pendidikan-sebagai-investasi-di-bidang-industri/
http://e-learning.stmi.ac.id/blog/dosen/charles-bohlen/MjQ/industri-pendidikan-tinggi-di-indonesia http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=2&date=2016-04-06 http://id.unizar.ac.id/sistem-pendidikan-tinggi-indonesia/ https://www.youtube.com/ Huda, Nurul. 2008. Investasi Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mulyana, Deden. 2009. Pengertian Investasi, (Online), http://deden08m.files.wordpress.com/2009/02/materi-1-pengertian-investasi.pdf, diakses 20 Oktober 2012) Lie, Anita. 2007. Membedah Industri Pendidikan Tinggi. www.stbalia.ac.id Marhum, Mochtar. 2009. Prospek Pendidikan http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=30102
Tinggi
Di
Indonesia.
Mariana, Dede. 2010. Industri (dan) Pendidikan. http://bataviase.co.id Media Group Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Miarso, Yusufhadi. 2008. Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Unpublished Paper. Munawaroh, Munjiati. 2005. Analisis Pengaruh Kualitas Jasa Terhadap Kepuasan Pada Industri Pendidikan di Yogyakarta. Jurnal Siasat Bisnis Edisi Khusus JSB on Marketing. Persada Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. 1994. Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications Teasdale, G.R. and Z. Ma Rhea. 2000. Local Knowledge and Wisdom in Higher Education. Pergamon Press. United Kingdom. Sumiyati, Sri. t.t. Deskripsi Mata Kuliah Ekonomi Pendidikan, (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/peko4407/all.htm, diakses 17 Oktober 2012)
(Online),
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Syarif, Roni. t.t. Definisi Pendidikan Menurut Para Ahli, (Online), (http://www.scribd.com/doc/24676437/Definisi-Pendidikan-Menurut-Para-Ahli, diakses 20 Oktober 2012) Tanpa Nama, 2010. Pengertian Investasi Menurut Para Ahli, (Online), (http://id.shvoong.com/businessmanagement/investing/2077045-pengertian-investasi-menurut-para-ahli/, diakses 20 Oktober 2012) Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Pt. Rineka Cipta.
Yusrin Ahmad Tosepu,
Lahir di Kendari Tanggal 13 Januari
1976. Menempuh Pendidikan Sarjana Jurusan Manajemen Informatika di STMIK Dipanegara Makassar, 2001. Menempuh Pendidikan Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin Makassar, 2010. Dosen Tetap Pada Program Studi Manajemen Informatika STMIK Handayani Makassar dan Dosen Pengajar prodi MI dan IK di beberapa Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi Periset Pada Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information Communication and Technology)