MENELISIK ERA DISRUPTION DAN FENOMENANYA

Page 1

MENELISIK ERA DISRUPTION DAN FENOMENANYA YUSRIN AHMAD TOSEPU

Sebelum lebih jauh membahas disruption dan segala bentuk fenomennanya, Saya sejenak mengutip pernyataan Paul Gilding dan Francis Fukuyama dalam bukunya “The Great Disruption”. Dunia kini tengah mengalami fenomena besar, yang mereka sebut sebagai guncangan. Fenomena tersebut terbentuk sebagai akumulasi perubahan ekologi dramatis dan meningkatnya persaingan global yang salah satu faktor penyebabnya adalah konvergensi teknologi informasi (TIK). Fenomena disruption telah mendorong dunia global berpikir tentang bagaimana menerapkan ilmu “masa depan” dalam kondisi “sekarang”. Disisi lain, banyak pemimpin, politisi, birokrat, akademisi, bahkan pengusaha masih berkutat dengan logika “masa lalu” untuk diterapkan “sekarang”. Fenomena Disruption diyakini telah mempengaruhi berbagai relasi bangsa dalam memenangkan persaingan global, sistem negara dan sumber daya sedang menuju ke suatu sistem yang saling terkait, sharing economy guna mendapatkan kecepatan dan efesiensi penggunaan sumber daya. Fenomena inilah yang menuntut negara, pemerintah dan berbagai organisasi, untuk melakukan disruption mindset, yang ditandai dengan indikator simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accesible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat). Era Disruption pada akhirnya menciptakan suatu dunia baru: digital marketplace. Perdagangan melalui dunia maya akan semakin intens, membuat para pendatang baru menantang korporasi-korporasi besar dan para incumbent. Disruption menjadi sesuatu yang tak terhindarkan atau sudah menjadi keniscayaan. Dalam era disruption memnculkan fenomena ekonomi berbagi (sharing economy), pemanfaatan internet of things secara masif segala bidang dan sector kehidupan. Persaingan bisnis bukan lagi antara produk dalam industri yang sejenis, melainkan antara model bisnis dalam industri yang batas-batasnya semakin kabur.


Fenomena ini sekaligus menjadi ancaman bagi para organisasi yang masih terbelenggu aturan-aturan lama yang konvesional yang tidak mengenal smartphone, aplikasi teknologi, statistic analytic dan bigdata. Apa Sebenarnya yang dimaksud dengan Fenomena Disruption?? Untuk mengetahui lebih jauh apa itu fenomena disruption, maka Saya mengutip artikel yang ditulis oleh Rhenald Khasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang di terbitkan di Media Kompas Online pertanggal 05/05/2017 yang berjudul “Meluruskan Pemahaman soal "Disruption" Rhenald Kasali mengungkapkan bahwa belakangan ini ia merasakan adanya pemahaman yang kurang pas tentang disruption. Banyak yang menganggap disruption hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini, atau lebih spesifiknya lagi selalu soal taksi online. Lalu, ada juga yang serba ngasal disruption. Beberapa motivator misalnya, mengaitkan motivasi dengan disruption. Tapi, begitu kita telusuri sedikit lebih jauh, isinya hanya "pertunjukan" hipnotis atau paparan tentang sejarah hidupnya yang penuh lika-liku. Kemudian ada juga yang menyamakan disruption dengan cara kerja bisnis multilevel marketing (MLM) yang merugikan masyarakat. Pemahaman yang kurang pas lainnya adalah menganggap disruption seakan-akan melulu bisnis startup, dan hanya bermodalkan uang publik. Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading, sehingga melihatnya sebagai usaha brokerage. Bisnis percaloan. Jadi seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan demand. Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruption itu sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri. Misalnya yang paling sederhana, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja bersama-sama. Kolaborasi, berotong royong. Contohnya aplikasi yang dikembangkan oleh www.kitabisa.com, konsepnya adalah gotong royong untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan. Kian Meluas Disruption mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara bisnis lama menjadi obsolete. Menjadi usang atau ketinggalan zaman. Persis seperti sebagian besar bangunan pabrik es yang kini telah berubah menjadi "rumah hantu", atau mesin faksimili yang sekarang hanya teronggok di sudut ruangan menunggu kiriman surat yang tak kunjung tiba. Menurut Rhenald Kasali, mungkin anggapan ini muncul karena masih awamnya pemahaman masyarakat dan para elit terhadap basic concept mengenai disruption itu sendiri. Sebagian baru pada tahapan ngasal dan mungkin malas membaca, sehingga menggunakan cara berpikirnya yang kemarin untuk melihat apa yang terjadi hari ini. Padahal, disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break). Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap". Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu amat kental logika masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita. Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn. Sebab dunia itu terus berubah.

[Pick the date] Page 2


Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi. Tapi, sayangnya ingatan publik bukan tertuju pada fenomena e-kampong yang dikembangkan di Banyuwangi, atau di Provinsi DKI Jakarta dengan aplikasi Qlue, atau penerapan Smart City di Kota Bandung dan Denpasar. Ingatan publik juga belum sampai pada metode pelayanan kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan kolaboratif. Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard. Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya. Juga belum banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sekarang tengah digeluti para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar lagi akan beralih. Bahkan masih ada beranggapan bahwa disruption seakan-akan hanya masalah meng-online-kan layanan, menggunakan aplikasi dan mem-broker-kan hal-hal tertentu. Anggapan seperti itu—bahwa disruption hanya terjadi pada industri digital—sekali lagi saya tegaskan, jelas kurang pas. Sebab disruption tidak seperti itu. Disruption terjadi di mana-mana, dalam bidang industri apa pun. Ia bahkan mengubah landasan hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi kolektif kolaboratif. Beberapa Contoh Supaya kita punya anggapan yang sama, saya ingin tegaskan lima hal penting dalam disruption. Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel. Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disruption. Lagi pula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk? Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita. Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat. Itulah lima ciri disruption yang belakangan ini marak terjadi di mana-mana. Apakah itu hanya terbatas pada industri digital? Jelas tidak. Perbaikan proses bisnis, misalnya, mampu memangkas biaya-biaya yang tidak perlu. Tiga bulan lalu saya diminta menjelaskan fenomena disruption dalam tapat pimpinan PT PP, sebuah BUMN di bidang konstruksi. Namun Minggu lalu, saya saya sudah bisa melihat hasilnya. Di sana saya ditunjukkan bagaimana Building Innovation Model yang dikaitkan dengan teknologi 3D Printing mampu menghasilkan bangunan yang proses bisnisnya menjadi jauh lebih ringkas dan lebih cepat. Mungkin bagi sebagian perusahaan konstruksi BIM dan 3D Printing adalah alat biasa. Tapi di PT PP itu dipakai untuk melakukan disrupsi sehingga business process dan alokasi resources berubah. Terjadi efisiensi dan perubahan pola kerja, mata rantai pasokan juga berubah. Akibatnya, ke depan perusahaan bisa menyediakan layanan yang lebih cepat, lebih murah, lebih menjawab bagi talenta-talenta muda. Jadi, saya ingin mengingatkan bahwa kalau sekarang ini kita menyaksikan banyak perusahaan sedang susah akibat gempuran perusahaan-perusahaan yang berbasis digital, bukan berarti perusahaan konvensional tak akan mengalaminya. Di sini yang saya maksud dengan perusahaan konvensional adalah perusahaan-perusahaan yang core business-nya tidak berbasis digital. Ia bisa bisnis apa saja. Bisnis konstruksi, pendidikan, industri, farmasi, keuangan, FMCG, jasa kesehatan dan sebagainya. Maka, penting bagi Anda untuk membaca sinyal-sinyal bahwa suatu saat mungkin saja perusahaan Anda yang ter-disrupsi. Itulah catatan Artikel lengkap yang Rhenald Kasali, yang sedikit banyak memberikan pemahaman kepada kita untuk mengetahui secara utuh tentang fenomena Disruption. [Pick the date] Page 3


Dari catatan tersebut, Renald Khasali secara apik menggambarkan fenomena disruption sebagai sebuah inovasi, yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru, menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologl digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Fenomena Disruption juga mendapatkan perhatian khusus di lembaga/institusi pendidikan tinggi sebagai fenomena yang harus disikapi dengan cepat melalui akselerasi manajemen tata kelolah pendidikan yang substansial dan tidak hanya prosedural semata. Mereformulasi manajemen tata kelolah pendidikan menjadi keniscayaan mengingat peran dan berkonstribusinya pada penciptaan SDM bangsa. Idealnya, institusi/lembaga pendidikan merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kegiatan dan aktifitas pendidikan yang efektif dan efisien, yang kesemuanya bermuara pada kualitas dan peningkatan daya saing. Disinilah urgensi reformulasi manajemen tata kelola pendidikan dalam membangun transparasi, akuntabilitas, efektif dan efesien guna peningkatan kualitas pendidikan yang memiliki korelasi positip terhadap peningkatan daya saing. Penerapan digitalisasi pendidikan yang pada intinya merupakan digitalisasi data dan informasi seperti e-campus, eacademic, e-riset, e-controlling, e-reporting hingga e-monev serta apllikasi custom lainnya perlu terus diimplementasikan. Pada setiap level manajemen perlu terus dikembangkan dashboard kepemimpinan dan mutu untuk mengukur performance dan mutu pendidikan yang dilaksanakan, dan bagaimana perkembangan capaiannya. Penggunaan teknologi informasi akan lebih memudahkan institusi/lembaga pendidikan dalam memberikan pelayanan akademik dan pendidikan yang tepat seperti yang diimpikan oleh sebagian masyarakat dan dunia usaha, hal ini secara agregat akan berimbas pada peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing. Kita tentunya berharap institusi/lembaga pendidikan tinggi memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama untuk mewujudkan dan mengakselerasi perubahan di era disruption sehingga dapat berkonstribusi positip terhadap tata kelolah dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi yang nantinya akan dapat melahirkan SDM yang unggul dan berdaya saing. 3 Hal yang Telah Berubah di Era Disruption Perkembangan teknologi memang bisa dikatakan menjadi pemicu. Kehadirannya membuat semuanya bisa diakses. Hingga akhirnya kita baru mengetahui bahwa itulah bagian dari disrupsi. Tentu, akan ada pihak yang panik karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Bersifat kejutan (surprise). Meskipun begitu, tetap saja tidak menyadari bahwa disrupsi juga menandakan adanya hal-hal yang berubah. Hal-hal yang tidak sama lagi dengan sebelumnya sehingga membutuhkan cara-cara baru untuk dapat menlakukannya. Ada 3 hal yang telah berubah: 1. Pasar yang baru Disruption pada akhirnya mencptakan suatu dunia baru: digital marketplace. Dunia baru tersebut menandakan bentuk pasar yang berubah. Dengan kata lain konsumen pun akan berpindah. Pasar tersebut tidak disadari dan tidak terlihat wujudnya. Memunculkan prasangka-prasangkan. Sayangnya, banyak yang masih berusaha berkilah daripada berorientasi kepada konsumen tersebut dan menyesuaikan produk serta layanannya. 2. Nasib yang berbeda Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, akan selalu ada akhir yang berbeda bagi masing-masing pemain. Perubahan-perubahan yang terjadi menuntut adanya inovasi. Tanpa hal tersebut, yang lebih inovatif akan mengalahkan, bahkan menggantikan yang terdahulu. Sehingga, dalam sejarah disruption akan ada akhir yang berbeda. Maka, inovasi yang berkelanjutan adalah kunci. 3. Bersaing dengan business model Kini, pertarungannya pun tidak sesederhana hanya sekadar produk dan layanan. Melainkan mencakup pada model bisnis (business model). Produk bisa saja sama, tetapi apabila model bisnisnya bisa menarik hati konsumen, maka sudah barang [Pick the date] Page 4


tentu nyata siapa yang menjadi pemenang. Misalnya saja keduanya sama-sama membuka jurusan/prodi, namun karena model pengelolaan yang berbeda; pelayanan dan fasilitas maka salah satunya yang akan menajdi pemenang. Ketiga poin tersebut menunjukkan bahwa ketika disrupsi terjadi, meskipun melalui weak signal, ada yang jelas-jelas bergeser. Setiap organisasi, tak terkecuali institusi/lembaga pendidikan tinggi harus mampu menghadapi perubahan tersebut Menyongsong Era Disruption menuju Era Abundance "Kalau Anda ingin jadi pemain bola yang baik, cukup arahkan pandangan mata ke arah bolanya. Tapi kalau Anda ingin jadi pemain bola HEBAT, arahkan mata dan permainan Anda ke arah di mana bola AKAN MENUJU". Era "Disruption" adalah di mana bolanya sekarang. Era "Abundance" adalah ke mana bolanya AKAN MENUJU. Kalau kita focus dengan fenomena era Disruption (gangguan), maka kita akan jadi pemain yang baik. Tapi kalau kita menginginkan jadi pemain yang sukses besar (hebat), maka kita harus arahkan energi pikiran dan usaha kita untuk menyongsong era Abundance (keberlimpahan). Catatan Ini berawal dari thesis Ray Kurzweil, Co-Founder Singularity University. Di tahun 1999 Beliau menulis buku "The Age of Spiritual Machines", dan mengeluarkan thesis tentang "The Law of Accelerating Return". Menurut penelitian Beliau, Law of Moore tidak hanya berlaku dalam 50 tahun terakhir, tapi polanya telah hadir sejak 120 tahun terakhir, di mana teknologi bergerak secara eksponensial. Artinya, kecepatan prosesor komputer, daya tampung hard disk, dan segala hal yang disentuh keajaiban teknologi informasi, berlipat dua setiap 18 bulan, atau jadi lebih murah setengahnya. Maka itu sebabnya, gabungan teknologi yang ada di HP Anda sekarang ini, harganya 1/10.000 dari 25 tahun lalu, di mana saat itu total harganya sekitar 1 juta dolar = Rp 14 miliar (karena di situ ada GPS, gyroscope, mesin fax, video recorder, radio, TV, kamera foto, ensiklopedi, kamus, telepon, scannner, dll). Co-founder Singularity University yang satunya, Peter Diamandis, membuktikan bahwa kemajuan teknologi secara eksponensial ini melalui 6 tahapan, yang Beliau sebut dengan "6D of Exponential Growth", yaitu: 1. Digitalization yakni transformasi dari analog menuju digital di hampir semua sektor. 2. Deception yakni banyak orang terlena karena awalnya kelihatan pelan dan cuma riak-riak kecil, sampai pertumbuhan eksponensialnya menyentuh "knee of the curve" alias "titik lejit". 3. Disruption yakni titik lejit menjadi reaksi atom yang mengguncang kemapanan. Ini yang sedang kita ributkan sekarang dan bikin banyak orang dan perusahaan panik. Tapi ini hanya fase transisi menuju 3D terakhir. 4. Dematerialization yaitu semua produk kehilangan wadah fisik untuk ditransfer di "Cloud" alias awan digital tak bertepi. 5. Demonetization yakni di dalam "awan digital", tempat menyimpan segala hal itu, hampir semua biaya jadi turun drastis. Buku, musik, film, ilmu, informasi, komunikasi, dan lain-lain, tiba-tiba jadi membludak volumenya dan makin lama makin murah harganya. 6. Democratization yakni pada puncaknya, karena semua serba berkelimpahan dan berbiaya minimal sekali, maka terjadilah era Abundance atau disebut Free Economy dan Sharing Economy. Sebenarnya kita sudah merasakan icip-icip dari Free Economy ini: kirim surat gratis (email), telpon interlokal gratis (WA call), sekolah gratis (khannacademy), kuliah gratis (coursera), buku gratis (pdfdrive.net), film dan musik gratis (youtube), rekaman ceramah, seminar, dan training gratis (youtube), disain gratis (canva), main game gratis (anak saya yang tahu ini), kumpulkumpul ngobrol bareng 50 orang dari segala penjuru dunia gratis (zoom), penginapan gratis (couchsurfing), dll. Dan kegratisan atau minimal harga murah sekali sehingga terjangkau untuk semua orang, ini makin lama akan makin masif, karena akan menular ke segala bidang yang lain, terutama energi, air, makanan, barang-barang, transportasi, kesehatan, bahkan pendidikan. [Pick the date] Page 5


Anda bisa membaca di bukunya Peter Diamandis: "Abundance: The Future is Better than You Think" tentang ulasan ilmiah bagaimana ini semua sedang terjadi sekarang, dan akan berjalan lebih massif lagi. Diperkirakan Free Economy akan hampir meliputi segala hal saat terjadi yang disebut era "Singularity", yaitu saat kecepatan processing komputer seharga 1.000 dolar sudah menyamai kemampuan prosessing otak manusia (10 terabyte/second). Ray Kurzweil, genius visioner MIT yang sejauh ini dari 150-an prediksi ilmiahnya terbukti 126 di antaranya benar-benar terjadi ontime atau bahkan lebih dulu dari prediksinya, memprediksikan era Abundance (Singularity) ini momentum besarnya terjadi di sekitar tahun 2035-2040. Saat itu terjadi, jenis pekerjaan yang ada saat itu 65 persen belum Anda jumpai sekarang. Robot dan komputer (AI) mengambil alih 50 persen pekerjaan otot dan otak manusia. Maka manusia jadi bisa fokus ke pekerjaan-pekerjaan yang lebih bermartabat, yang menggunakan "advanced brain" (kreativitas, dll) beserta "hati dan jiwa" (kecerdasan emosi, sosial, spiritual) yang tidak dimiliki robot & AI. Atau dengan menggunakan "Neural-link", kemampuan otak kreatif kita, bisa kita bikin merger dengan kemampuan super komputer yang terhubung langsung ke otak. Hal ini dapat kita bayangkan ketika hampir semua serba murah dan terjangkau, 50 persen pekerjaan dilakukan robot & AI, dan Dunia dipenuhi orang-orang yang "The Have dan Super Have", tidak ada lagi yang "The Have Not", kira-kira kita masih "Takut Terdisrupsi" atau kita semakin semangat dan optimis? Bahkan kalau pun perusahaan dan pekerjaan kita saat ini sedang atau akan tergulung habis oleh para disruptor, mestinya kita tidak perlu pesimis, takut, atau marah. Harusnya kita bahagia karena revolusi teknologi ini insya Allah akan berakhir indah. Dan pekerjaan kita yang hilang itu cuma sebuah pertanda, bahwa kita harus segera punya keahlian baru, kreativitas dan pekerjaan baru yang matching dengan kebutuhan zaman. Era disrupsi yang penuh gejolak ini adalah era transisi yang harus diterima dengan semangat dan optimisme, sebelum kita masuk era Abundance. Pertanyaan paling pentingnya sekarang adalah : 1. Peluang apa aja yg akan hadir di era Abundance? Kemampuan menangkap peluang ini akan menentukan kita akan menjadi The Have atau Super Have (tenang, tidak akan ada yang jadi "The Have Not" yang kelaparan atau kurang sandang, pangan, papan). 2. Apa saja yang perlu kita persiapkan untuk menangkap peluang-peluang dahsyat ini? Siapkan diri, keluarga, dan ataupun usaha kita saat era itu belum datang. Jangan tiba masa tiba akal, siapsiap saat dia sudah datang. Belajarlah berenang sebelum banjirnya datang. 3. Apa saja efek samping yang akan terjadi, dan bagaimana kita mengatasinya bersama-sama? Tentu saja dengan rencana yang baik, kita tidak boleh tutup mata bahwa akan ada efek samping yang perlu kita antisipasi. Tapi tidak perlu khawatir berlebihan, karena manusia selalu berhasil mengatasi tantangan zamannya masing-masing. Mari terus Update pengetahuan dan keterampilan agar kita dapat terus berkembang; menyesuaikan perubahan dan perkembangan zaman.

[Pick the date] Page 6


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.