Teori, Konsep dan APLIKASI
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
@ Yusrin Ahmad Tosepu Pendapat Umum dan Jajak Pendapat (Teori, Konsep dan Aplikasi) Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penulis Cetakan I, November 2017 Penulis : Yusrin Ahmad Tosepu
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
KATA PENGANTAR Pendapat umum (Opini publik) dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Bagi suatu negara yang menganut prinsip keterbukaan berdemokrasi, pendapat umum sangat diperhatikan oleh negara atau pejabat publik, sebab keputusan yang mereka ambil harus sesuai dengan keinginan masyarakat. dalam konteks komunikasi politik, jejak pendapat menepati posisi penting untuk mengukur dan menganalisis sistem demokrasi. Jajak pendapat bagi masyarakat di negara maju sudah menjadi bagian dari budaya demokrasi. Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah wawasan sekaligus referensi bagi pembaca khususnya mahasiswa yang mempelajari mata kuliah Komunikasi Politik. Penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun, demi perbaikan buku lebih lanjut. Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga buku ini hadir terbit. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Makassar, Oktober 2017 Yusrin Ahmad Tosepu
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
TUJUAN PENERBITAN BUKU Sistem politik di Indonesia mengalami perkembangannya yang cukup drastis sejak tahun 1998. Hal ini memicu berkembangnya sistem demokrasi, yang berwujud dalam bentuk kebebasan mengeluarkan pendapat bagi setiap masyarakat. Faktor ini pula yang membuat “Pendapat Umum� (Public Opinion) menjadi semakin penting, mengingat syarat mutlak tumbuh dan berkembangnya “Pendapat Umum� adalah kebebasan dalam mengeluarkan pendapat. Melalui Pendapat umum pemerintah dapat mengetahui pendapat masyarakat tentang satu hal, baik masalah politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Opini publik sangat terpengaruh oleh banyak variabel diatranya adalah media dan perspektif masyarakat. Wujud paling nyata dari ekspresi pendapat umum yang sifatnya privat dan terstruktur adalah polling. Dalam polling, pendapat umum menjadi sangat pribadi, anonim dan hanya diketahui oleh diri mereka sendiri. Meskipun mungkin dapat diketahui pendapat mereka yang diwawancarai, ketika hasil polling dipublikasikan. Polling adalah hasil agregat (kumpulan) yang sama sekali bukan ekspresi pendapat orang per orang. Pendapat Umum secara ilmiah dikenal dengan nama Jajak Pendapat (Polling) yaitu sebuah metode ilmiah yang dapat mengukur secara tepat (valid) pendapat masyarakat. Polling bukan hanya ekspresi pendapat yang sifatnya privat, tetapi juga makin terstruktur. Lewat polling ekspresi pendapat umum menjadi baku, ada aturan yang tegas dan jelas. Lewat polling, ekspresi pendapat umum menjadi seragam. Berkenaan dengan hal diatas, tujuan dari penerbitan buku ini, guna mengetahui dan memahami teori dan konsep pendapat umum dan jajak pendapat (polling). Buku ini menarik untuk dibaca baik oleh akademisi, pollster, praktisi politik, jurnalis, mahasiswa hingga masyarakat umum. Mengantarkan pembaca pada ranah kajian opini publik dan jajak pendapat (polling) yang tidak terpisahkan dari kehidupan politik dalam demokrasi yang makin dinamis di negeri ini.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR TUJUAN PENERBITAN BUKU DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Pentingnya Pendapat Umum dan Jajak Pendapat BAB II PENDAPAT UMUM A. Pendapat Umum B. Sejarah Pendapat Umum C. Pengertian Pendapat Umum D. Manfaat Mempelajari Pendapat Umum E. Pendapat Umum dan Pengambilan Keputusan F. Pendapat Umum dan Kebijakan Publik G. Pembentukan Pendapat Umum H. Kekuatan Pendapat Umum I. Tipe Pendapat Umum J. Sifat Pendapat Umum K. Prinsip Pendapat Umum BAB III JEJAK PENDAPAT (POLLING) A. Mengukur Pendapat Umum Melalui Jejak Pendapat (Polling) B. Defenisi Jajak Pendapat (Polling) C. Sejarah Jajak Pendapat (Polling) D. Desain Dan Ciri Polling E. Tujuan Jajak Pendapat (Polling) F. Pengaruh Jajak Pendapat (Polling) G. Publik Sebagai Subjek Politik: Peran Polling H. Polling di Indonesia I. Polling dan Instrumen Pembelajaran Politik J. Jajak Pendapat (Polling) Membantu Demokrasi Bekerja K. Polling Pendapat dan Masyarakat Politik L. Pesan dari Sebuah Jajak Pendapat M. Jajak Pendapat dan Media massa N. Kode Etik Jajak Pendapat (Polling) BAB IV POLLING DAN KEDUDUKANNYA DALAM PENELITIAN A. Ekspresi Pendapat Umum : Dari Pendekatan Kualitatif ke Kuantitatif B. Ekspresi Pendapat Umum : Dari Perilaku ke Sikap C. Tipe Penelitian Ilmiah D. Karakteristik Polling
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB V POLLING DAN MEDIA A. Publik Media B. Keterbukaan Informasi C. Media sebagai Penekan BAB VI DESAIN POLLING ILMIAH A. Tahap-tahap Polling B. Sampel Polling C. Mendefinisikan Populasi BAB VII METODOLOGI POLLING A. Teknik Penarikan Sampel B. Besar Sampel C. Penyusunan Kuesioner D. Prosedur Dan Metode Wawancara BAB VIII PENUTUP DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang menganut system demokrasi. Dimana semua orang bebas berpendapat dan ber opini. Kemudian pendapat itu jadilah opini public. Istilah Opini Publik beasal dari terjemahan bahasa Inggris Public Opinion. Sesuai dengan kata asalnya opini dan public. Opini adalah pendapat dari seseorang mengenai sesuatu hal tertentu. Hal atau pokok permasalahan dalam pengertian tersebut itu bisa konkrit dan bisa juga abstrak, bergantung kepada tertariknya seseorang. Misalnya pokok permasalahan yang sedang hangat dibicarakan. Karena actual atau hangat persoalan atau hal yang dibicarakan itu bisa bermacam-macam bidang, seperti sosial, hukum, politik, ekonomi atau apa saja yang menarik perhatian orang saat itu. Sekalipun apa yang hari ini dibicarakan publik, besok atau lusanya mungkin tidak menarik lagi. Apalagi setelah satu atau dua minggu kemudian. Persoalan atau masalah yang dibicarakan orang bisa beralih dari satu permasalah ke permasalah lain yang lebih aktual lagi. Opini publik atau Public Opinion dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan “pendapat umum.“ Public diterjemahkan dengan “umum“ sedangkan opinion dialih bahasakan dengan “pendapat“. Dalam Ilmu Komunikasi terdapat istilah lain yaitu public relations yang umumnya diterjemahkan dengan “hubungan masyarakat“, dalam hal ini public diterjemahkan dengan “masyarakat“, sedangkan relations diterjemahkan dengan “hubungan“ (Sunarjo, 1984 :22). Public Relations berfungsi sebagai penyambung opini publik dan menampungnya untuk di tujukan kepada seseorang yang ingin dituju tersebut. Menurut (Olii, 2007:20) Opini adalah pendapat, ide ataupun hasil pikiran manusia untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideology akan tetapi bersifat tidak objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan, akan tetapi kebenaran atau kesalahannya belum bisa dapat langsung ditentukan kerena terkadang belum melalui proses penelitian terlebih dahulu. Opini publik adalah merupakan salah satu cara untuk masyarakat atau sekumpulan orangorang yang ingin menyampaikan suatu pendapat, masukan atau aspirasi yang ada dipikiranya tentang hal-hal yang di lihat atau yang dirasakan secara langsung atau melalui media/perantara, hal ini dilakukan dengan cara melalui interaksi secara langsung ataupun melalui media seperti media cetak, media massa bahkan media sosial sekaligus. Pendapat umum (opini public) merupakan pilar yang penting di suatu Negara yang menganut system pemerintahan demokrasi. Opini public terlihat menjadi sebuah pengimplementasian dasar demokrasi yaitu dari rakyat oelh rakyat dan untuk rakyat. Dengan opini public, maka pemerintah akan seyogyanya akan mengambil sebuah kebijakan berdasarkan suara rakyat yang salah satunya berasal dari opini public.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan. Ruang lingkup pendapat umum Berdasarkan distribusinya pendapat umum terbagi menjadi tiga yaitu pendapat umum yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, pendapat umum beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan pendapat umum banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat. Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu. Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal. Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital� mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi karena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada. Opini publik adalah hal yang selalu ada mengiringi berlanglangsungnya kehidupan manusia secara sosial. Berbicara mengenai opini, Ilmuwan politik Amerika V.O. Key mendefinisikannya sebagai opini yang dikumpulkan oleh pihak swasta yang hasilnya penting bagi pemerintah. Kemajuan pengetahuan mengenai ilmu statistik dan demografi pada awal 1900an menjadi awal bagi meningkatnya usaha untuk mengetahui opioni publik sebagai cara suatu kelompok melihat isu-isu tertentu Jadi bisa disimpulkan bahwa opini publik adalah sekumpulan pandangan, sikap, dan kepercayaan oleh individu yang digambarkan oleh proporsi yang signifikan dalam sebuah komunitas. Isu-isu dalam opini publik tidak hanya terkhususkan dalam hal-hal politik dan ekonomi, namun juga meliputi budaya, fashion, seni, konsumsi, pasar, dan public relations. Pada 1922, editor kenamaan Amerika Walter Lipmann berkata bahwa telah banyak pihak-pihak ahli yang memahami misteri-misteri opini sehingga dapat menciptakan suara mayoritas dalam pemilu. Karenanya opini publik akan cenderung memberi jawaban tentang suara mayoritas dalam sistem pemerintahan demokrasi. Namun walau opini publik kini telah diterima secara universal, dihubungkan dengan tingginya tingkat heterogenitas maka terdapat berbagai variasi
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
dalam mendefinisikannya seperti yang sudah dipaparkan di atas. Bagi ilmuwan politik dan sejarah, opini publik ditekankan dalam konteksnya yang mempengaruhi pemerintahan dan peraturan pemerintah, serta menekankan pentingnya opini publik dalam pembangunan. Ilmuwan politik menyetarakan opini publik dengan keinginan nasional. Sedangakan bagi ilmuwan sosiologi mendefinisikan opini publik sebagai interaksi dan komunikasi sosial. Menurut mereka, opini publik tidak akan muncul jika tidak terjadi komunikasi diantara individu-individu yang ada dalam komunitas tersebut. Walaupun terdapat kemungkinan bahwa opini individu satu dan lainnya telah sama sejak awal, namun opini itu tidak akan menjadi opini publik tanpa adanya komunikasi baik melalui media, televisi, radio, internet, bahkan komunikasi face to face. Sebagai kontra terhadap definisi opini publik yang dikemukakan kaum politik, kaum sosiologi beranggapan bahwa opini publik hanya memiliki sedikit kaitan dengan aktivitas pemerintah. Akhirnya dalam mengartikan opini publik, diperlukan persetujuan bersama tentang apa yang harus ada dalam opini publik tersebut. Pertama, harus ada isu. Kedua, harus ada jumlah individu yang signifikan untuk memberi respon terhadap isu tersebut. Ketiga, harus ada konsensus mengenai isu tersebut dan terakhir harus ada pengaruh yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu teknik yang paling umum penelitian kuantitatif adalah survei di mana peneliti menggunakan kuesioner untuk mendapatkan informasi dari kelompok besar orang, disebut sampel. Studi statistik menunjukkan bahwa jika sampel cukup besar, sekitar 1.000 orang, dan merupakan perwakilan dari suatu kelompok tertentu. Kemudian temuan dari sampel dianggap benar, atau statistik yang valid, dan dapat diperluas untuk seluruh kelompok konsumen dalam kategori tersebut. Temuan penelitian kuantitatif yang disediakan oleh karena itu meyakinkan dalam cara bahwa penelitian kualitatif tidak dapat. Koran, majalah, radio, dan televisi adalah pengguna berat polling opini informasi publik, informasi khususnya politik yang membantu untuk memprediksi pemilu atau mengukur popularitas pejabat pemerintah dan kandidat. Sikap masyarakat terhadap isu-isu sosial, ekonomi, dan internasional juga dianggap layak diberitakan. Pemerintah menggunakan jajak pendapat untuk memanfaatkan sentimen publik tentang isu-isu yang menarik. Selain itu, instansi pemerintah menggunakan metodologi polling untuk menentukan tingkat pengangguran, tingkat kejahatan, dan indikator sosial dan ekonomi lainnya. Polling telah bekerja secara ekstensif dalam penelitian akademik, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial, di mana mereka telah terbukti selama bertahun-tahun. Dalam mengetahui opini publik sendiri terdapat banyak cara. Salah satunya adalah mengadakan polling atau jejak pendapat. Salah satu badan survey jejak pendapat yang memiliki pandangan baik di masyarakat adalah Gallup Poll. Gallup Poll adalah suatu organisasi yang meneliti sifat publik mengenai ekonomi, politik, sosial, dan isu-isu lain untuk memetakan opini publik. Gallup Poll didirikan oleh George Gallup, seorang ahli statistik pada tahun 1935.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Gallup merupakan pelopor dalam penggunaan metode statistik untuk mengukur kepentingan pembaca dalam fitur dan iklan majalah dan surat kabar dan untuk menentukan opini publik tentang isu-isu umum.Dia diperpanjang penelitianya untuk menyertakan reaksi dari khalayak radio dan mendirikan Institut Audience Research pada tahun 1939. Dia mengarahkan penelitian untuk banyak organisasi, memenangkan berbagai penghargaan, dan menulis beberapa buku. Dia adalah yang terbaik dikenal untuk jajak pendapat Gallup, survei opini publik pada Politik. Terobosan pertama Gallup terjadi pada tahun 1936 saat dia memprediksikan kemenangan F. D Roosevelt terhadap Alferd Landon dalam pemilihan presiden Amerika saat itu. Prediksinya bertentangan dengan prediksi badan jejak pendapat yang terkenal saat itu, literaly digest, yang memprediksikan kemenangan Landon. Banyak pihak menertawakan prediksi Gallup. Namun pada hari pemilihan ternyata Landon hanya memenangkan dua negara bagian, Roosevelt menyapu sisanya. Sejak saat itu, Gallup Poll dipercaya sebagai jejak pendapat yang paling reliabel dengan reputasi yang baik dalam masyarakat. Gallup Poll selalu mewarnai tiap pemilihan presiden. Perdebatan politik dan pemilihan presiden seakan tidak lengkap tanpa data yang disajikan Gallu Poll. Hingga 1980an, metode yang digunakan Gallup Poll dalam memetakan opini publik adalah dengan mendatangi rumah-rumah penduduk, satu persatu dari pintu ke pintu untuk melakukan survey. Namun metode yang digunakan kini adalah dengan menelepon nomor secara acak sehingga jejak pendapat tidak lagi dilakukan dari pintu ke pintu. Dari situs resmi Gallup Poll, mereka menatakan keobjektifannya dengan menyajikan data yang relevan dan visioner dan merepresentasikan perasaan dan keinginan manusia di seluruh dunia. Sejak 2005, Gallup Poll menyatakan kekonsistenannya dalam melakuakn jejak pendapat dan mereka memperluas objek survey ke 130 negara di dunia. Negara-negara ini juga meliputi daerah-daerah Asia dan Afrika dan Gallup Poll meyakini bahwa mereka telah merepresentasikan keinginan 95% penduduk dewasa di seluruh dunia. Jenis penelitian ini menggunakan pertanyaan tertutup di mana jawaban yang dipilih dari daftar ditetapkan. Hal ini memungkinkan peneliti untuk menentukan persentase yang tepat dari orang yang menjawab ya atau tidak untuk pertanyaan atau persentase yang tepat memilih jawaban a, b, atau c. Jajak pendapat secara umum diterima sebagai alat yang berguna oleh bisnis, organisasi politik, media massa, dan pemerintah serta dalam penelitian akademik. Ratusan perusahaan jajak pendapat publik beroperasi di seluruh dunia. Dalam bisnis, jajak pendapat yang digunakan untuk menguji preferensi konsumen dan untuk menemukan apa itu tentang sebuah produk yang memberikan daya tarik. Tanggapan untuk membantu polling komersial dalam perencanaan pemasaran dan strategi iklan dan dalam membuat perubahan dalam suatu produk untuk meningkatkan penjualan. Dalam politik, jajak pendapat yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang sikap pemilih terhadap isu-isu dan calon, untuk menempatkan calon maju dengan menang potensial, dan merencanakan kampanye. Polling organisasi juga telah berhasil dalam memprediksi hasil pemilu. Selain itu, dengan pemilih pemungutan suara pada Hari Pemilihan, sering mungkin untuk menentukan pemenang mungkin bahkan sebelum bilik suara dekat.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
B. Pentingnya Pendapat Umum dan Jajak Pendapat Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah. Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja. Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu. Pemerintah kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi. Dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal. Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat. Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit. Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri. Siapa yang di maksud publik, dan apa itu pendapat umum? Apakah pendapat seseorang dapat di anggap sebagai pendapat umum, dan apakah seseorang kandidat bisa mengatasnamakan pendapat umum atau memanipulasinya untuk kepentingan politiknya? Kenapa pemerintah takut terhadap opini publik? Apa peranan media massa dalam pembentukan pendapat umum? Bagaimana memahami praktik pendapat umum dan polling sebagai sebuah praktik komunikasi di arena politik, maka kita terlebih dulu harus mengetahui definisi dari keduanya terlebih dahulu. Tidak mudah untuk menyepakati sebuah definisi tentang pendapat umum. Rentang sejarah yang relatif panjang serta melibatkan segi-segi ilmiah, etnis dan filosofis yang kompleks, maka muncul banyak definisi tentang pendapat umum itu sendiri.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB II PENDAPAT UMUM A. Sejarah Pendapat Umum (Opini Publik) Opini publik merupakan salah satu cara untuk masyarakat atau sekumpulan orang-orang yang ingin menyampaikan suatu pemikiran, pendapat, masukan atau aspirasi yang ada dipikiranya tentang hal-hal yang di lihat atau yang dirasakan secara langsung ataupun melalui media dan perantara lainnya, hal ini dilakukan dengan cara melalui interaksi secara langsung ataupun melalui media seperti media cetak, media massa bahkan media sosial sekalipun. Opini publik juga bisa dilakukan beramai-ramai ataupun secara individual. Opini adalah pendapat, ide ataupun hasil pikiran manusia untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan, akan tetapi kebenaran atau kesalahannya belum bisa dapat langsung ditentukan kerena terkadang belum melalui proses penelitian terlebih dahulu. Istilah Opini Publik diserap secara utuh dari bahasa Inggris-public opinion, yang kemudian disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Opisni Publik atau public opinion sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan sosial dan politik mulai banyak dikenal dan dipakai pada akhir abad ke-18 di Eropa dan Amerika Serikat. Pemakaian istilah itu terutama berkaitan dengan politik dan komunikasi politik ketika Alquin menyerukan, “vox populi, vox dei” (suara rakyat adalah suara tuhan). Hal ini berkaitan dengan berkembangnya gagasan tentang pentingnya kemerdekaan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat di depan umum sebagai salah salah satu elemen penting dalam membangun demokrasi. Istilah public opinion dalam pengertian yang modern pertama kali digunakan oleh Machiavelli. Beliau menulis dalam buku Discourses, bahwa orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan Opini Publik mengenai soal-soal tertentu, seperti pendistribusian jabatan dan kenaikan jabatan. Rosseau pernah menyebut Opini Publik sebagai “ratu dunia”, karena Opini Publik itu tidak dapat ditaklukan oleh raja-raja di zaman otoritarian pada abad ke-17 dan ke-18, kecuali bila sang “ratu dunia” itu mau dibeli sehingga menjadi “budak” dari raja. Rosseau (1913:105) menyatakan bahwa dalam perubahan sosial dan politik, pemerintah tidak boleh terlalu jauh di depan pendapat rakyat. Meskipun demikian ia juga menyadari bahwa kebijakan pemerintah secara timbal balik membentuk opini publik. Meskipun Rosseau memberikan banyak kontribusi dalam analisis yang modern tentang Opini Publik, namun menurut Hennesy (1989:3), Rosseau dalam arti tertentu belum dapat disebut sebagai bapak Opini Publik modern, karena analisisnya tidak sistematis. Pendapat Hennesy itu didasarkan pada pernyataan Hens Speier (1950), “Walaupun Rosseau telah meletakkan pendapat umum pada tempatnya yang modern dan menyatakan bahwa hukum harus bersumber dari kehendak umum, namun ia masih teetap berbicara tentang pendapat dalam cara tradisional dan prademokrasi”.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Kemajuan ilmu, teknologi dan ekonomi pasar pada akhir abad ke-18 dan pada permulaan abad ke-19 , akhirnya mendorong timbulnya kesadaran yang luas bahwa suara rakyat harus diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan politik. Hal ini sejalan dengan dengan berkembangnya gagasan tentang kebebasan dan persamaan serta individualisme, liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi. Dari revolusi Perancis, terkenal semboyan, liberte‟, egalite‟, dan fraternite‟. Semuanya itu telah mendorong lahirnya tuntutan baru bahwa orang banyak atau publik ingin juga menentukan nasibnya dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, terutama dalam perumusan kebijakan publik atau keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Istilah public opinion juga kemudian digunakan dalam kegiatan public relations yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat sesudah Perang Dunia kedua. Public relations dikembangkan sebagai sebuah kegiatan untuk mempengaruhi publik dan untuk membentuk dan membina Opini Publik, sebagai upaya menggantikan istilah agitasi dan propaganda yang digunakan oleh negara-negara fasis dalam Perang Dunia kedua. Public Relations yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi, “hubungan masyarakat”, berkembang pesat sejalan dengan perkembangan demokrasi, yang menghargai kebebasan menyatakan pendapat secara umum dan terbuka serta kebebasan berusaha dalam bidang ekonomi. Gagasan yang mendasari demokrasi dan kapitalisme, yang berkembang pesaat pada abad ke-20, keyakinan bahwa setiap lembaga, organisasi dan perusaahaan harus secara otomatis melayani kepentingan umum. Ungkapan, “peduli setan dengan masyarakat” diganti dengan “pembeliadalah raja”, semakin bergema dan semakin diterapkan baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Sejalan dengan munculnya sikap semakin memperhatikan kepentingan masyarakat, tumbuh juga dikalangan media massa, keinginan kuat untuk melayani masyarakat dan memperhatikan kepentingan publik. Dari sinilah Opini Publik menemukan urgensinya baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi B. Pengertian Pendapat Umum Bagaimana memahami praktik pendapat umum dan polling sebagai sebuah praktik komunikasi di arena politik, maka kita terlebih dulu harus mengetahui definisi dari keduanya terlebih dahulu. Tidak mudah untuk menyepakati sebuah definisi tentang pendapat umum. Rentang sejarah yang relatif panjang serta melibatkan segi-segi ilmiah, etnis dan filosofis yang kompleks, maka muncul banyak definisi tentang pendapat umum itu sendiri. Childs yang telah mengkaji 50 definisi tentang pendapat umum. Dalam mengkaji kelimapuluh definisi ini Childs (dalam Pawito,2009:145) mengidentifikasi ada dua karakter pokok dari pendapat umum yakni: a. Pendapat umum sebagai suatu rasionalitias. Dalam hal ini pendapat umum dilihat sebagai suatu instrument yang sangat penting baik dalam proses artikulasi pendapat dan keinginan rakyat maupun dalam pengambilan keputusan kebijakan public dalam tatanan demokrasi.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
b. Pendapat umum sebagai suatu control sosial. Dalam perspektif ini, pendapat umum ditempatakan sebagai suatu keniscayaan dalam dalam mempromosikan integrasi sosial dan memberikan jaminan akan adanya semacam dasar atau pijakan bagi tindakan atau keputusan-keputusan. Berdasarakan kedua karakter tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya sama-sama menunjukkan peran atau fungsi dari pendapat umum baik dalam konteks kehidupan sosial maupun politik. Perbedaan diantara keduanya terletak pada sifat dari peran dan fungsi keduanya. Pada karakter pendapat umum pertama fungsi yang ditunjuk terutama adaalh fungsi yang bersifat actual atau nyata-nyata kelihatan. Sedangkan pada karakter yang kedua lebih menunjuk fungsi yang bersifat laten. Sementara hubungan antara keduanya pendapat umum merupakan sebuah rasionalitas (manifest function) nampak sebagai wacaan rasional dalam ruang public, sementara pendapatumtum sebagai control sosial (fungsi laten) lebih Nampak sebagai perekat integrasi dan upaya membangun consensus-konsensus. Pendapat umum atau yang lebih banyak dikenal dengan opini publik diartikan oleh Cultip dan Center dalam sastropoetro (1987) sebagai sebuah ekspresi tentang sikap mengenai suatu masalah yang bersifat kontroversial. Opini timbul sebagai hasil pembicaraan tentang masalah yang kontroversial, yang menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Dimana opini tersebut berasal dari opini-opini individual yang diungkapkan oleh para anggota sebuah kelompok yang pandangannya bergantung pada pengaruh-pengaruh yang dilancarkan kelompok itu. Opini-opini individual tersebut kemudian dikenal dengan istilah opini publik. Karena Opini Publik terbentuk dari intregasi “personal opinion� banyak orang, maka Opini Publik cenderung telah bermukim pada suatu masyarakat yang melembaga, yang telah lengkap dengan mekanisme kepemimpinan maupun pengawasan komunikasi. Dengan kata lain Opini dan Opini Publik dilihat oleh Bogardus secara lembaga sentries dan liberal. Seperti ilmu sosial lainnya, definisi opini publik (pendapat umum) sulit untuk dirumuskan secara lengkap dan utuh. Ada berbagai definisi yang muncul, tergantung dari sisi mana kita melihatnya : Ditinjau dari Ilmu Sosiologi, opini publik diartikan sebagai kekuatan yang ada dalam masyarakat (William G. Summer). Di sini kekuatan bukan berasal dari pendapat perorangan, melainkan norma atau mitos yang ada dalam masyarakat. Definisi ini menjelaskan bahwa jika suatu pendapat dianut oleh banyak orang, maka diasumsikan bahwa pendapat itu benar. Ilmu Komunikasi mendefinisikan opini publik sebagai pertukaran informasi yang membentuk sikap, menentukan isu dalam masyarakat dan dinyatakan secara terbuka. Opini publik sebagai komunikasi mengenai soal-soal tertentu yang jika dibawakan dalam bentuk atau cara tertentu kepada orang tertentu akan membawa efek tertentu pula (Bernard Berelson). Sementara Ilmu Psikologi mendefinisikan opini publik sebagai hasil dari sikap sekumpulan orang yang memperlihatkan reaksi yang sama terhadap rangsangan yang sama dari luar (Leonard W. Doob) Opini publik memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata. 2. Dapat merupakan reaksi terhadap masalah tertentu, dan reaksi itu diungkapkan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
3. 4. 5. 6. 7.
Masalah tersebut disepakati untuk dipecahkan Dapat dikombinasikan dengan kepentingan pribadi Yang menjadi opini publik hanya pendapat dari mayoritas anggota masyarakat Opini publik membuka kemungkinan adanya tanggapan Partisipasi anggota masyarakat sebatas kepentingan mereka, terutama yang terancam. 8. Memungkinkan adanya kontra-opini. Di Malaysia, pada tahun 1983 pernah di lakukan riset dengan mengikut sertakan para mahasiswa dari ilmu komunikasi universiti kebangsaan dan institut teknologi mara-para mahasiswa dimintai tanggapan; sekitar 2000 orang, apa yang mereka maksudkan dengan pendapat umum (public opinion)? pertanyaan ini ternyata menimbulkan jawaban yang berbeda satu sama lainnya. Beberapa pengertian yang mereka maksudkan pendapat umum, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Berita atau informasi yang banyak diketahui dan dipermasalahkan oleh masyarakat Pendapat mayoritas penduduk Pikiran orang banyak yang menjadi bahan perdebatan Pendapat orang banyak yang di kumpulkan menjadi satu setelah masyarakat di musyawarahkan 5. Apa yang di pikirkan oleh anggota masyarakat disampaikan lewat media komunikasi 6. Pendapat orang banyak yang disampaikan untuk kepentingan bersama. Pengertian yang disampaikan orang banyak mengenai pendapat umum di atas, tidak jauh beda dengan apa yang disampaikan oleh para pakar pendapat umum sebelumnya. 1. Public opinion repres to peopleâ€&#x;s attitude on an issue when they are members of the same social group.Pendapat umum mengacu kepada sikap masyarakat tentang suatu isu jika mereka anggota dari kelompok sosial yang sama.(Leonard W.Doob). 2. Public opinion is composed of personal opinion playing upon one another.(Emry S. Bogardus). 3. Public opinion as peopel expressing themselves so strongly for or against something thet their views are likely to affect government action (Floyd Allport) . Dalam konteks politik, Allport menyatakan bahwa pendapat-pendapat pribadi (private opinions) menjadi pendapat publik (public opinion) jika sikap atau hal-hal yang diekspresikan itu ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintan atau politik, sebab tidakn semua pernyataan atau ekspresi pribadi memiliki kaitan dengan politik. 4. Pendapat umum adalah kompleks prefensi yang dinyatakan sejumlah orang tertentu mengenai isu yang menyangkut kepentingan umum. (Bernard Henessy). Dari pendapat para pakar di atas, ternyata diantara mereka juga tidak ada kata sepakat apa yang dimaksud dengan pendapat umum. Tetapi dari pendapat itu secara subtensif minimal mengandung arti. 1. Adanya isu yang diawali ketidak sepakatan, yakni adanya pro dan kontra. 2. Isu yang melahirkan dua bentuk masyarakat, masyarakat yang peduli pada isu itu lalu membuat pendapat, sementara masyarakat yang tidak peduli lalu diam.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
3. Pendapat dinyatakan hanya bentuk verbal. 4. Ada kelompok kolektifitas terlibat, namun sifatnya tidak permanen. Jika pendapat-pendapat umum tersebut dikombinasikan, maka dapat ditarik pengertian sebagai berikut: “Pendapat umum ialah pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat memengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang memengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau sudah menjadi bahan pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elite) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro atau kontra dikalangan anggota masyarakat.� Menurut Leonard w .Doob suatu isu baru dapat dikatakan pendapat umum setelah masyarakat menyatakan pendapatnya. Sepanjang pendapat itu sifatnya orang per orang, maka ia baru menjadi pendapat pribadi. Tetapi perlu diketahui pahwa pendapat pribadi tidak dapat dipisahkan dengan pendapat umum, sebab pendapat umum dibangun berdasarkan pendapat perorangan (pribadi) terhadap isu yang diminta oleh orang banyak. Jadi sebuah pendapat pribadi bisa saja menjadi bagian pendapat umum jika seseorang ikut terlibat dalam membicarakan masalah yang banyak dibicarakan oleh masyarakat, apalagi jika pendapat itu dikemukakan lewat media massa. Misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyan (BBM) ,atau keputusan bupati untuk merolekasi pedagang kaki lima (PKL) . Demikian juga halnya hasil riset yang dilakukan melalui jejak pendapat oleh orang yang tidak dikenal juga dapat dinilai sebagai pendapat umum. C. Manfaat Mempelajari Pendapat Umum Begitu pentingnya pendapat umum atau opini publik dalam mendapatkan dukungan dari bublik sasaran, terutama pada semua level baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional, maka mintat untuk mempelajari pendapat umum makin banyak. Hal ini disebabkan karena: 1. Ada rasa ingin tahu tentang orang lain, karena mereka jadi sasaran suatu usaha. Untuk perlu diketahui pendapat, saran, dan keinginan-keinginan mereka dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembalian keputusan; 2. Keinginan untuk memahami sistem politik, apakah negara itu memiliki kebebasan menyatakan pendapat atau tidak,. Sebuah negara yang menganut sistem demokrasi akan memberi keluasan bagi setiap orang untuk menyatakan keinginan dan pendapatnya; 3. Untuk mendapatkan dukungan publik dalam bentuk pemberian suara dalam pemilu; 4. Untuk memberi masukan terhadap pembuatan kebijakan publik; Untuk mengetahui pendapat umum dan kecendrungannya, maka seorang pejabat negara atau pengusaha yang banyak berhubungan dengan masyarakat, memerlukan tenaga-tenaga profesional yang bisa menciptakan, mengumpul, dan memelihara pendapat umum yang positif baik terhadap dirinya sebagai politis maupun terhadap partai yang dipimpinnya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Seorang yang bekerja untuk menganalisis pendapat umum, berkewajiban untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengawasi dan membaca pendapat masyarakat yang terdapat dalam media massa; Menganalisis dan menilai pendapat masyarakat tersebut; Mempredikasi aliran pendapat itu; Menyampaikan saran kepada pemimpin tentang cara-cara mengendalikan pendapat umum yang negatif; Menciptakan pendapat umum (citra) positif terhadap organisasi;
Kotler secara luas mendefenisikan citra sebagai keyakinan, gambaran, dan kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek, Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi, kelompok orang atau lainnya yang dia ketahui. Jika objek itu berupa organisasi, berarti seluruh keyakinan, gambaran dan kesan atas organisasi dai seseorang merupakan citra. Dengan demikian dapat diartikansebagai suatu atribut kognitif. Ia bisa berupa ingatan tentang kejadian, fakta (realitas) ,atau pendapat. Ia merupakan peroduk konstruksi sosial yang dibentuk oleh pandangan, karakter, pola, dan filsafat pribadi seseorang. Itulah sebabnya kita memberikan jalan bagi citra untuk membentuk kehidupan dan gaya hidup (life style) kita. D. Pendapatan Umum dan Pengambilan Keputusan Pendapat umum adalah pendapat yang beredar dikalangan masyarakat terhadap suatu isu yang dipersoalkan oleh banyak orang. Pendapat umum sering kali dinilai sebagai pendapat atau kehendak orang banyak yang dinyatakan. Bisa dalam bentuk gosip, humor, saran atau keritik yang tidak sampai. Banyak penguasa yang tidak mengetahui hal itu, sebab dia hanya mendapat laporan dari bawahan nya, sementara orang yang berada diluar kekuasaan banyak memberi penilaian. Sultan Harun Al-Rasyid dengan pembantunya si Abunawas dalam cerita 1001 malam di Bagdad, seringkali menyamar sebagai rakyat biasa untuk mendengar keluh kesah rakyatnya. Kalau pendapat umum pada awalnya hanya milik para kalangan elit dan penguasa, maka sejak paham demokrasi bergulir pendapat umum sudah banyak merujuk kepada pendapat masyarakat biasa. Para penguasa dan pembuat kebijakan makin menyadari bahwa pendapat umum makin besar pengaruhnya dalam mendapatkan dukungan dari masyarakat. Siapa yang ingin sukses dalam bidang politik, pelayanan publik dan bisnis maka ia harus memahami dan menguasai pendapat umum. Sebab pendapat umum erat hubungannya dengan pemberian suara (vote) dalam pemilihan seorang pemimpin. Dalam aktivitas publik, pendapat umum menjadi kekuatan dalam pengambilan keputusan, sebagai mana dikatakan oleh ladd (1987) dahwa “Public opinion is a central elemen in democratic decision making�. Karena itu tidak heran jika para politis sering mengklaim bahwa “the public is behind me�. E. Pendapat Umum dan Kebijakan Publik Secara setruktur, pendapat biasanya lebih banyak dinyatakan dalam media massa (pers, tv, radio) baik melalui wawancara (talking news) dengan wartawn maupun ketersediaan tempat dalam media (public sphere) untuk memuat suara pembaca, artikel, tulisan kolom, SMS, dan sebagainya.Para pengambilan kebujakan (public makers) sangat memerhatikan pendapat
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
(opinion) dukungan dari pembaca. Selain itu, opini juga dapat disalurkan melalui organisasiorganisasi masyarakat yang berkepentingan, misalnya LSM yang kadang turun ke jalan untuk memengaruhi orang lain, atau mendatangi DPR dan eksekutif dengan jalan mendesak untuk diambil tindakan dan aksi. Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan. F. Ruang Lingkup Opini Public Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat. Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu. Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital� mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada. Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah. Bagi Negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi, kebijakan yang diambil adalah untuk kepentingan umum selalau memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Oleh karena itu pendapat umum dan kebijakan public memiliki berhubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dapat dilihat dari siapa dan bagaimana strukutr dari pendapat itu. Umumnya kebijakan public berkaitan dengan pendapat yang diasampaiakn oleh orang yang memiliki perhatian tinggi dan juga yang aktif dalam aktivitas politik dibanding dengan orang-
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
orang yang tidak punya perhataian dibandinag dengan orang-orang yang pasif. Secara struktur pendapat biasanya lebih banyak dinyatakan melalui media massa (cetak ataupun elektronik) baik dengan wawancara dengan wartawan ataupun ketersediaan tempat dalam media untuk memuat suat pembaca, artikel, tulisan kolom dan sebagainya. Para pngambil kebijakan (palicy makers) sangat memerhatiakn pendapat (opinion) yang dimuat dalam media, sebab opini semacam itu bisa menimbulkan dukunagn dari pembaca. Selain itu, opini juga dapat disalurkan melalui organisasi-organisasi masyarakat yang berkepentingan. G. Pembentukan Pendapat Umum • Gejalah Pendapat Umum Gejalah atau tanda-tanda adanya oendapat umum bila terdapat umpan balik, reksi, liputan media massa, tindakan yang mencerminkan pandangan orang banyak terhadap suatu isu atau peristiwa, baik yang dikemukakan oleh seseorang maupun oleh lembaga atau organisasi. Gejalah adanya pendapatan umum dapat dilihat dalam alam demokrasi dengan terselenggaranya pemilihan umum. Di negara-negara yang menganut paham demokrasi, pemilihan umum memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang telah dewasa untuk memilih presiden dan wakil mereka di Dewan Oerwakilan Rakyat. Pelaksanaan pemilihan umum menjadi ukuran tumbuhanya pendapat umum yang baik atau tidak. Semua itu tergantung pada penilaian masyarakat (pendapat umum) , apakah pemilihan umum itu berlangsung secara demokrasi, bebas atau dengan tekanan. Ada beberapa cara untuk mengetahui gejalah atau tanda-tanda pendapat umum tanpa mengeluarkan biaya. Meskipun cara ini bisa saja dipersoalkan dari segibahsanya, paling sedikit dapat memberi gambaran kasar tentang pendapat umum yang ingin diketahui. Caranya yakni melalui guntingan surat kabar. Di Indonesia berita-berita surat kabar paling sedikit dapat dikatakan pencerminan pendapat umum. Sebab para pejabat negara seperti mentri, dirjen, politis, cendekiawan, usahawan (konglomerat) menggunakan media massa untuk mengungkapkan pendapat-pendapat mereka. Baik hal ini berkaitan dengan kebujakan negara maupun kepentingan orang banyak. Laporan perwakilan atau cabang tentang tanggapan masyarakat luar, juga dapat dinilai sebagai pendapt umum terhadap organisasi atau partai. Begitu pula pernyataan atau pendapat para tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap partai. Sebab dengan kepemimpinannya, kepandaian dan kewibawaannya ia mudah memengaruhi masyarakat luas Anggota masyarakat yang lain bisa juga dimintai pendapatnya tentang kinerja partai melalui orang-orang tertentu yang ditugaskan untuk pekerjaan itu. Adapun cara yang paling akhir dan dinilai paling kontemporer untuk mengetahui pendapat umum, ialah melalui poling atau jajak pendapat. • Syarat Terbentuknya Pendapat Umum Untuk mengetahui terbentuknya pendapatan umum, terlebih dahulu harus dipahami apa yang disebut konsesus atau persetujuan. Konsensus yang mengarah pada pembentukan pendapatan umum harus diawali dengan adanya konsesus massa (massa consencuss) terhadap suatu isu tertentu. Jika diukur melalui poll atau jajak pendapat, maka konsesus yang
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
diberikan itu sedapat mungkin 2/3 yang mengatakan setuju atau kurang dari 20% pada pilihan alternatif (Nimmo & Thomas Ungs; 1979). Pendapat umum memerlukan adanya konsensus massa terhadap suatu isu yang dinyatakan dalam bentuk pendapat. konsensus terdiri dari dua tipe, yakni konsensus positif dan konsensus negatif. Sebuah konsensus dapat dikatakan positif jika publik atau masyarakat mendukung suatu perogram dengan memperkenankan para pejabat publik dapat menindaklanjuti. Komsensus negatof adalah opini yang bersifat menantang terhadp suatu program, misalnya kebijakan pemerintahan amerika untuk menambah personel militer di iraq, atau melakukan intervensi serangan militer di Mogadishu afrika. Dalam konteks politik, menurut Nimmo sering kali konsensus pendapat (opinion consencus) tidak sejalan dengan tindakan (what peopel say and what they do are not the same). Jackson Baur, seorang pakar pendapat umum berkebangsaan Amerika mengemukakan bahwa prosess pembentukan pendapat melalui tujuh langkah yakni: 1. Timbulnya kerisauan dikalangan anggota masyarakat mengenai suatu masalah, dan mencoba menghubungkan pendapat-pendapat tersebut dari berbagai sumber; 2. Timbulnya gagasan penyelesaian yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah tersebut. Dengan kata lain muncul publik pemerhati; 3. Munculnya kelompok baru dengan mengajukan pendapat yang bertentangan lewat lembaga formal seperti organisai atau partai; 4. Kelompok penentang mulai menyatu dan mencari dukungan dari luar; 5. Melalui pembicaraan dan perdebatan yang kontroversial inilah timbul pendapat umum; 6. Efek pendapat umum apabila kelompok-kelompok tersebut mulai melakukan himbauan agar pemerintah atau lenbaga yang berkenaan mengambil tindakan tegas 7. Akhirnya pihak yang merasa berwenag mengambil tindakan dan membuat keputusan-keputusan yang pantas. Di Indonesia kebebasan menyatakan pendapat telah dicantumkan dalam undang-undang negara. Dalam pasai 29 UUD 1945 yang diberlakukan di Indonesia dinyatakan bahwa “setiap warga negara Republik Indonesia bebas menyatakan pendapatnya dan berkumpul.â€? Saluran untuk menyatakan pendapat bisa disampaikan melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan internet. Media massa harus difungsikan sebagai saluran untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat masyarakat, sehingga biasa terjalin komunikasi timbalbalik, baik antar masyarakat dengan pemerintah, dan juga antar masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Selain dari itu, pendapt umum juga bisa disalurkan dalam aksi unjuk rasa untuk menyampaikan sikap melalui partai politok, organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan parlemen. Dari parlemen dapat dilakukan dialog atau dengar pendapat (hearing) dengan kementrian atau dinas terkait. • Proses Pembentukan Pendapat a. Latar Belakang Sejarah b. Faktor Biologis c. Faktor Sosial
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
d. e. f. g.
Faktor Fisikologis Isu dan Situasi Sikap Pendapat
Pendapat yang dinyatakan seseorang biasanya berdasarkan sikapnya. Sikap kemudian menjelma menjadi pendapat umum yang dipengaruhi oleh pengetahuan, budaya dan kepercayaan yang dianut seseorang.Dalam kehidupan sehari-hari sering kali orang tidak bisa membedakan antara persepsi dengan pendapat. Oleh karena itu, ada baiknya diperhatikan bagaimana peroses terjadinya pendapat yang didahului stimuli dan persepsi. Stimulasi adalah rangsangan yang disentuh oleh satu atau lebih organisme (pancaindera) manuasia, apakah itu indra mata, telinga, hidung, atau kulit. Ketika stimuli itu melakukan persentuhan dengan organisme manusia, maka akan menimbulkan persepsi dalam bentuk peraduga awal. Untuk mencciptakan peraduga sementara maka ion-ion dalam otak manusia melakukan penalaran (internal) manusia melakukan analisis rasa (feeling) . Jadi persepsi tidak saja bersumber dari pandangan visual, melainkan semua indra manusia (stimuli). H. Kekuatan Pendapat Umum Seorang praktisi Humas harus mengetahui kekuatan yang dimiliki oleh pendapat umum. Artinya dengan mengetahui kekuatan pendapat umum ini, seorang petugas Humas akan dapat memanfaatkanya didalam organisasi untuk mencapai kesuksesan. Santoso Sabtropoetro menyatakan kekuatan pendapat umum sebagai berikut : 1. Pendapat umum dapat menjadi hukuman social (social judgement) bagi seseorang ataupun lembaga. Maksudnya dengan adanya pendapat umum, dapat menimbulkan rasa malu, rasa dijauhi, frustasi dan putus asa bagi seseorang maupun lembaga. Sebagai contoh kasus korupsi di KPU menjadi pemberitaan di media massa, dan menjadi perbincangan luas di masyarakat, sehingga dimana-mana orang selalu membahasnya di setiap kesempatan. Akibat masalah ini telah menjadi pendapat umum, ada anggota KPU yang telah mengembalikan dana taktis yang ia terima. Mengapa hal ini dilakukannya? Karena sat ini pendapat umum telah memiliki kekuatan dengan menimbulkan rasa malu dan tertekan pada diri anggota KPU. 2. Pendapat umum dapat mempertahankan eksistensi satu lembaga atau dapat juga menghancurkan satu lembaga. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah untuk menaikkan BBM mendapat reaksi yang amat luas dikalangan masyarakat. Pendapat umum yang terbentuk adalah sebagian besar masyarakat menolak. Tetapi pemerintah mengabaikan pendapat umum ini, sehingga timbul demonstrasi dimanamana. Dalam hal ini pemerintah mengalami kerugian karena eksistensinya di mata masyarakat menjadi menurun. Masyarakat merasa apatis, dan bisa saja untuk program pembangunan selanjutnya akan sulit untuk memperoleh dukungan mereka. 3. Pendapat umum dapat memperbaiki atau menolak stu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh satu lembaga atau instansi. Seringkali dalam menyusun sebuah kebijakan, pemerintah melupakan masyarakatnya. Pemerintah selalu beranggapan bahwa kebijakan tesebut berguna dan harus dijalankan oleh rakyatnya. Namun
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
seringkali kebijakan tersebut mengalami penolakan. Sebagai contoh, saat pemerintah akan membrlakukan Undang-Undang Lalu Lintas tahun 90an, dengan mewajibkan pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor. Kebijakan ini mendapat reaksi keras, umumnya mereka menolak karena merasa helm tidak penting dan hanya menghabiskan yang saja. Reaksi keras tersebut telah berhasil menunda pemberlakuan Undang-Undang Lalu Lintas tersebut. I. Tipe Pendapat Umum Pendapat umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni: 1. Pendapat yang sudah dinyatakan (external public opinion = competent); dan 2. Pendapat yang belum dinyatakan (internal public opinion =
latent).
Pendapat umum dikatakan kompeten jika sudah dikatakan ndan mengkristal sebagai suatu fakta atau realitas, sedangkan pendapat umum yang laten adalah pendapat umum yang belum mengkristal dan memerlukan waktu yang lebih lama dalam peroses pembentukannya. Tetapi bisa jadi suatu pendapat sudah tersebar dalam bentuk desas-desus suatu peristiwa terjadi. J. Sifat Pendapat Umum Pendapat umum pada dasarnya memiliki lima macam sifat, yakni: 1. Sifat penyederhanaan (misalnya pendapat tokoh masyarakat adalah pendapt kami) . 2. Sifat labil (mudah berubah) 3. Sifat Aktualitas, baru dan hangat. Menurut Parker dan Hagemen, ada tiga macam aktualitas, yakni: aktualitas primer (suatu klejadian cepat diberitakan), aktualitas sekunder (masa lampau yang masih punya nilai aktual, sejarah, agama kuno), aktualitas tersier. 4. Sifat Umum (universalitas), ialah pendapat yang dinyatakan dengan mewakili pendapatn masyarakat luas. 5. Sifat Afinitas, yaitu antara komunukator dan komunikan memiliki hubungan erat dalam bentuk pertemanan yang baik. Pendapat umum sering kali dihadapkan pada dua hal yang bertentangan. Misalnya, pengalihan fungsi alun-alun yang tadinya digunakan oleh masyarakat untuk berolahraga, tetapi suasana kota yang semakin padat sehingga ada ide untuk mengalihkan menjadi supermarket. K. Prinsip Pendapat Umum Untuk memahami pendapat umum secara mendalam seseorang perlu mengetahui prinsipprinsip pendapat umum. Hadley Cantril, seorang pakar hubingan masyarakat dan pendapat umum Amerika Serikat dalam bukunya Gaunging Public Opinion mengemukakan beberapa perinsip pendapat uum sebagai berikut.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
1. Pendapat umum dinyatakan dalam bentuk ucapan atau sikap yang dapat diinterpretasikan. 2. Orang mudah terpengaruh dan berusaha mencari informasi dan mencoba menginterprtasikannya. 3. Apabila kepentingan seorang terkait didalamnya, maka ia segan atau sama sekali tidak mau mengubah pendapatnya. 4. Pendapat umum memiliki arah (direction) yakni ada yang mendukung ada pula yang menentang, bahkan ada pula yang netral. 5. Pendapat umum berusaha mencari keseimbangan (stability) dengan mencoba melihat seberapa lama pendapat itu bias bertahan. 6. isi pesan (content of messages). Apakah pendapat itu dibuat menurut pengalaman sendiri atau diperoleh dari media massa, teman atau sekedar gosip. Banyak orang yang mempunyai penilaian terhadap sesuatu, tetapi tidak diungkapkan secara langsung. 7. Rasa, yakni sejauh mana seseorang merasakan atau terlibat dalam suatu isu. Di sini bisa saja terjadi adanya kelompok publik tertentu merasa terlibat, sementara yang lainnya tidak merasakannya. Ada tiga macam publik pendapat umum menuru James N. Rosenau (1961) adalah sebagai berikut: 1. Mass public, adalah mereka yang agak jauh dari kejadian (peristiwa), sehingga ia menjadi publik ikut-ikutan. 2. Attentive public, adalah mereka yang posisinya dekat tempat kejadian, sehingga memiliki perhatian yang tinggi. 3. Opinion making public, adalah mereka yang langsung menjadi pembuat pendapat atau sebagai aktor dari peristiwa itu.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB III JAJAK PENDAPAT (POLLING) A. Mengukur Pendapat Umum melalui Jejak Pendapat (Polling) Untuk apa pendapat masyarakat atau pendapat umum diketahui? Bagi suatu negara yang menganut prinsip keterbukaan berdemokrasi, pendapat umum sangat diperhatikan oleh setiap pejabat negara atau pejabat publik, sebab keputusan yang mereka ambil harus sesuai dengan keinginan masyarakat. dalam konteks komunikasi politik, jejak pendapat menepati posisi penting untuk mengukur dan menganalisis di negara-negara yang menganutsistem demokrasi. Bisa dikatakan negara-negara tersebut tidak ada pengganti kepala negara yang luput dari bidikan polling. Bagi para pemimpin negara, pemimpin politik, atau para kandidat yang ingin bertarung dalam pemilihan, umumnya menggunakan jasa perusahaan jajak pendapat untuk mengetahui sejauh mana kekuatan dukungan massa terhadap citra para kandidat. Jajak pendapat bagi masyarakat AS boleh dikata sudah menjadi bagian dari budaya demokrasi mereka. Jajak pendapat mempunyai pengaruh besar dalam kampanye politik, terutama untuk melihat favorit tidaknya para calon. Hasil jajak sering kali digunakan sebnagai amunisi yang perang urat syaraf, tetapi bisa juga menjadi peluang bagi kandidat yang lain untuk menyusun strategi perlawanan. Polls have become widely used political weapons. Begitu pentingnya peranan polling, sehingga Adam dan Swanson (1990) berpendapat bahwa liputan yang diberikan media terhadap kandidat partai Demokrasi di AS memilikin hubungan yang hampir sama dengan hasil jajak pendapat terhadap tingat rangking yang diperoleh partai demokrasi dalam pemilu. Dalam kaitannya dengan pemilihan pejabat publik, apakah itu presiden, gubernur atau bupati, walikota, maka jajak pendapat dibutuhkan (Eryanto, 1999) untuk keperluan: 1. sarana bagi kandidat untuk memperkenalkan dirinya kepublik sejak awal, atau kepada partai yang akan mengusung calon. 2. Membantu kandidat untuk mengetahui isu yang didukung oleh publik. 3. Membantu kandidat untuk mengetahui bukan saja apa yang diinginkan publik, tetapi bagaimana juga publik menilai kandidat. 4. Menjadi bagian dari strategis kampanye dimana jajak pendapat tidak hanya memberi informasi kepada publik, tetapi juga citra diri yang diinginkan kepada publik. 5. Di samping dapat mengukur kekuatan kandidat didepan publik, juga dapat mengukur secara akurat bagai mana perspsi publik terhadap lawan politik. Untuk mengetahui hal itu, Ilmu sosial telah mengembangkan suatu metode yang disebut sampel survei. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan pendapat dari sampel yang representatif dari populasi yang menjadi target sasaran.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Bagaimana cara menetapkan sampel dengan tepat dan efisien? Dari beberapa literatur metodologi riset, disebutkan cara yang dapat digunakan dalam penarikan sampel, antara lain: 1. sampel acak (random sampling) adalah suatu metode penarikan sampel dari populasi dengan cara memberi kesempatan yang sama kepada semua anggota popolasi untuk jadi sampel. 2. Sampel Sistematik (systematic samling) adalah suatu metode penarikan sampel dengan cara membagi jumlah populasi yang telah didaftar dengan besarnya sampel yang akan diambil. 3. Sampel Stratifikasi (stratified sampling) adalah metode penarikan sampel dengan cara mengkalsifikasi populasi lebih awal. 4. Sampel kluster (cluster sampling) adalah metode penarikan sampel yang biasanya didasarkan atas lokasi atau wilayah geografis tempat populasi berdomosilin. 5. Sampel tanpa acek (non-random sampling) adalah metode penarikan sampel yang terbalik dari sampel acak (Random Sampling). B. Definisi Jajak Pendapat (Polling) Masalah polling adalah sebuah masalah atau persoalan yang telah menjadi opini publik. Artinya ketika sebuah masalah telah menjadi konsumsi masyarakat umum, baik yang masih bersifat tersembunyi (laten) maupun telah terekspresikan secara verbal (manifes) dapat disebut sebagai masalah publik. Dengan demikian, dapat dipakai sebagai objek polling, baik menyangkut (isu-isu) politik, ekonomi, sosial budaya maupun keagamaan. Jajak pendapat adalah survei mengenai pendapat atau pandangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel. Jajak pendapat biasanya dirancang untuk mendapatkan gambaran tentang pandangan-pandangan suatu populasi dengan mengajukan serangkaian pertanyyaan kepada beberapa orang yang dianggap mewakili populasi dan kemudian menyimpulkan jawaban-jawabannya sebagai gambaran dari kelompok yang lebih luas. Polling adalah cara sistematis, ilmiah, dan terpercaya mengumpulkan informasi dari sampel orang yang digunakan untuk menggeneralisasikan pada kelompok atau populasi yang lebih luas di mana sampel itu diambil. Definisi Cellinda ini mencakup empat unsur kunci polling. 1. 2. 3. 4.
Pertama, cara sistematis, ilmiah, terpercaya. Kedua, pengumpulan informasi. Ketiga, sampel orang. Keempat, generalisasi.
C. Sejarah Jajak Pendapat (Polling) Sejarah polling atau jajak pendapat pertama yang dketahui adalah sebuah pengumpulan pendapat setempat oleh The Harrisburg Pennsylvanian pada 1824, yang menunjukkan bahwa Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams dengan 335 banding 169 suara dalam perebutan jaatan Presiden Amerika Serikat. Pengumpulan pendapat seperti itu yang tidak bersifat ilmiah pelan-pelan menjadi makin populer; namun sifatnya tetap lokal dan biasanya
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
hanya meliputi satu kota saja. Pada 1916, Literary Digest melakukan survai nasional (sebagian untuk meningkatkan sirkulasi) dan secara tepat meramalkan terpilihnya Woodrow Wilson sebagai Presiden. Dengan semata-mata mengirimkan jutaan kartu pos dan menghitung kartu yang kembali, Digest dengan tepat meramalkan keempat pemilihan presiden berikutnya. Namun pada 1936 Digest gagal. Para “pemilih�-nya yang berjumlah 2,3 juta orang merupakan sampel yang banyak. namun, mereka umumnya adalah orang Amerika yang kaya, yang cenderung simpatisan Republikan Literary. Digest tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki bias ini. Seminggu sebelum hari pemilihan, Digest melaporkan bahwa Alf Landon jauh lebih populer daripada Franklin D. Roosevelt. Pada saat yang sama, George Gallup melakukan survai yang jauh lebih kecil, namun lebih ilmiah. Dalam jajak pendapat ini ia menggunakan sampel yang secara demografis lebih mewakili. Gallup dengan tepat meramalkan kemenangan besar Roosevelt. Tak lama kemudian Literary Digest bangkrut, sementara industri jajak pendapat mulai berkembang pesat. D. Desain Dan Ciri Polling Desain dan ciri polling tidak lepas dari tujuan polling itu sendiri. Menurut Cellinda, tujuan polling adalah untuk mengukur preferensi atau intensitas sikap masyarakat dan tidak berpretensi untuk mengetahui lebih dalam penjelasan atas pilihan-pilihan itu sebagaimana yang lazim dilakukan dalam penelitian survei. Desain dan ciri polling sekurangnya dapat diringkas dalam dua rangkuman berikut ini. Waktu pelaksanaan dan publikasi hasil polling pendek dan terbatas. Pendapat atau opini publik bisa sangat cepat berubah dan polling ingin menggambarkan opini publik ketika sebuah isu atau masalah mengemuka dan diperbincangkan orang. Objek polling terbatas, hanya dapat menangkap fakta saat itu. Polling ingin menjawab pertanyaan bagaimana sikap publik atau massa pada satu saat, dan tidak sampai menjelaskan mengapa atau apa dasar dan pertimbangan pokok yang mendasari sikap publik tersebut. Desain dan ciri polling tidak lepas dari tujuan polling itu sendiri. Menurut Cellinda, tujuan polling adalah untuk mengukur preferensi atau intensitas sikap masyarakat dan tidak berpretensi untuk mengetahui lebih dalam penjelasan atas pilihan-pilihan itu sebagaimana yang lazim dilakukan dalam penelitian survei. Tahapan polling terdiri atas empat tahapan, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Menentukan tujuan polling, Menetapkan populasi dan sampel, Menentukan tipe informasi dan menetapkan waktu, Serta metode pengumpulan data polling.
Keempat tahap ini adalah persiapan sebelum polling benar-benar dilaksanakan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
E. Tujuan Jajak Pendapat (Polling) Penetapan tujuan polling merupakan langkah amat penting. Tujuan polling adalah mengetahui respons publik terhadap persoalan aktual yang tengah terjadi di masyarakat. Tujuan ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu pertama untuk mengetahui respons persetujuan publik (setuju – tidak dengan isu atau kebijakan tertentu) dan kedua, untuk mengetahui preferensi atau intensitas sikap publik terhadap isu aktual tersebut. Dapat diexamplekan, setelah setuju agar BBM tetap tidak dinaikkan, langkah apakah yang sebaiknya diambil pemerintah, yaitu bertahan, kompromi atau langkah lain? Setelah tujuan ditetapkan, populasi ditentukan dan diambil sejumlah sampel. Sampel sebaiknya yang representatif, mewakili publik yang dimaksud, dan mengakomodasi heterogenitas (keragaman) dari responden atau publik, misalnya 500 orang dari berbagai latar belakang pekerjaan. Menentukan tipe informasi, berarti jenis informasi dan sekaligus rumusan pertanyaan dan jawaban yang akan digunakan untuk mengumpulkan data. Umumnya polling menggunakan jenis pertanyaan tertutup, artinya jenis pertanyaan yang pilihan jawabannya telah disediakan dan responden yang diteliti tinggal memilih satu (atau lebih) pilihan jawaban yang telah ada tersebut. Setelah instrumen siap maka ditetapkan Waktu dan Metode Pengumpulan Data. Oleh karena berada di kota besar dan respondennya orang dewasa serta untuk kepentingan efisiensi maka dipilih waktu 3 hari dan metode melalui telepon. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan pun relatif terbatas, tidak membengkak atau jika yang diinginkan adalah menggunakan kuesioner (tertulis) dan responden dihubungi secara langsung di tempattempat umum/publik berada maka dapat ditempuh langkah dengan pilihan metode tersebut. Prinsipnya, waktu dan metode pengumpulan data harus dapat menjamin terkumpulnya data yang lengkap sesuai dengan tuntutan idealitas sebuah penelitian polling pendapat umum. F. Pengaruh jajak pendapat (Polling) Dengan memberikan informasi mengenai niat pemilih, jajak pendapat kadang-kadang dapat mempengaruhi perilaku para pemilih. Berbagai teori tentang bagaimana hal ini terjadi dapat dibagi menjadi dua kelompok: pengaruh ikut-ikutan/underdog, dan pemberian suara strategis („taktisâ€&#x;). Pengaruh ikut-ikutan terjadi apabila jajak pendapat mendorong para pemilih untuk mendukung kandidat yang diramalkan menang dalam jajak pendapat. Pendapat bahwa para pemilih mencurigai pengaruh ini sudah lama terjadi. Safire (1993: 43) melaporkan bahwa hal ini pertama kali digunakan dalam sebuah kartun politik dalam majalah Puck tahun itu. Hal ini juga terus-menerus muncul meskipun tidak ada pembuktian empiris hingga akhir abad ke-20. George Gallup berusaha keras, namun sia-sia, dalam mencoba mendiskreditkan teori ini pada masanya dengan menyajikan riset empiris. Sebuah studi-meta, baru-baru ini mengenai riset ilmiah tentang topik ini menunjukkan bahwa dari 1980-an hingga sekarang pengaruh ikut-
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
ikutan ini lebih sering ditemukan oleh para peneliti (Irwin & van Holsteyn 2000). Dampak kebalikan dari pengaruh ikut-ikutan ini adalah dampak underdog. Ini sering disebutkan dalam media. Ini terjadi ketika orang memberikan suaranya, karena bersimpati, kepada partai yang dianggap akan „kalahâ€&#x; dalam pemilihan umum. Keberadaan dampak ini kurang mendapatkan dukungan bukti empiris daripada dampak ikut-ikutan (Irwin & van Holsteyn 2000). Kategori kedua dari teori tentang bagaimana jajak pendapat secara langsung memengaruhi pemberian suara disebut sebagai pemberian suara strategis atau taktis. Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa para pemberi suara menganggap pemberian suara sebagai cara untuk memilih suatu pemerintahan. Jadi, mereka kadang-kadang tidak memilih kandidat yang mereka sukai berdasarkan ideologi atau simpati, melainkan kandidat lain yang kurang disukai, karena pertimbangan-pertimbangan strategis. Contohnya dapat ditemukan dalam pemilihan umum Britania Raya, 1997. Konstituensi Menteri Michael Portillo di Enfield dipercayai sebagai kursi yang aman tetapi berbagai jajak pendapat memperlihatkan bahwa kandidat Buruh Stephen Twigg terus memperoleh dukungan, yang mungkin telah mendorong para pemilih atau pendukung dari partai-partai lain yang belum menetapkan pilihannya untuk mendukung Twigg demi menyingkirkan Portillo. Sebuah contoh lainnya adalah dampak Bumerang di mana para calon pendukung dari kandidat yang diramalkan menang merasa bahwa ia sudah pasti akan menang, sehingga suara mereka tidak dibutuhkan, dan dengan demikian membiarkan kandidat lainnya menang. Dampak-dampak ini hanya menunjukkan bagaimana jajak pendapat secara langsung memengaruhi pilihan-pilihan politis dari para pemilih. Dampak yang lainnya dapat ditemukan di kalangan para wartawan, politikus, partai politik, pegawai negeri, dll., antara lain dalam bentuk Framing (teori komunikasi) media dan pergeseran ideologi partai. G. Publik sebagai Subjek Politik: Peran Polling Polling merupakan instrumen berpengaruh dalam setiap kegiatan politik di Indonesia, Filiphina dan Malaysia. Pada kondisi itu, sebagai refleksi dari negara demokratis, ekspresi politik publik melalui polling menjadi bahan pertimbangan atau subjek dalam pengambilan keputusan dari setiap kebijakan negara. Ini artinya, polling berperan bukan hanya dalam rangka pemilu, namun lebih dari itu juga memiliki peran dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah. Melalui polling pemerintah dapat mengukur aspirasi dan keinginan publik. Meski masih menyisakan berbagai kendala dan tantangan, namun lembaga-lembaga polling yang ada di Indonesia, Filiphina dan Malaysia sepertinya akan tetap memiliki pengaruh yang kuat di masa mendatang dengan menempatkan publik sebagai subjek politik. Inilah arti penting dari eksistensi polling yang sebenarnya, yakni menempatkan publik bukan sebagai objek politik, melainkan sebagai subjek yang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam setiap proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
H. Polling di Indonesia Tahapan perkembangan politik di Indonesia mirip dengan babakan sejarah yang terjadi di Filiphina, dimana Indonesia pernah mengalami sistem demokrasi (pada masa awal kekuasaan Orde Lama), kemudian masuk ke era otoriter (pada masa akhir Orde Lama dan sepanjang pemerintahan Orde Baru), kemudian kembali menganut sistem demokrasi pada era pasca Orde Baru. Perjalanan karakter sistem politik ini memberi pengaruh pada karakter polling. Yang penting dicatat adalah eksistensi polling selama pemerintahan Orde Baru dan sesudahnya. Pada era Orde Baru, polling sebagai instrumen survey opini publik sangat terbatas bagi masyarakat. Metodologi dan kualitas teknisnya sederhana, bersifat sektoral, dan dikendalikan pemerintah. Pada kondisi ini sulit untuk mengharapkan hasil yang memuaskan. Pada era pasca Orde Baru (orde reformasi), antusiasme lembaga-lembaga polling kembali tumbuh yang diikuti dengan perubahan dari aspek metodologi dan pencapaian hasil polling. Pada era ini polling kemudian dijadikan referensi pada setiap pemilu yang dilaksanakan. Ada banyak lembaga polling yang tumbuh pada era reformasi. Pada pemilu tahun 1999, beberapa lembaga yang berpengaruh antara lain adalah lembaga polling non-profit International Foundation for Election System (IFES-sebuah lembaga survey asing di Indonesia), LP3ES, Resource Productivity Center (RPC), jajak pendapat Kompas (dari media), dan jajak pendapat Universitas Indonesia (dari kalangan perguruan tinggi). Sebagai langkah awal, kelima lembaga polling ini memang masih kurang akurat dalam melakukan prediksi dari porsi pemilih. Namun ketepatannya memprediksi kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang pemilu 1999 merupakan prestasi yang gemilang dari kelima lembaga itu. Perbaikan metodologi dan keragaman model survey dilaksanakan pada pemilu tahun 2004. Dari segi metodologi, bukan hanya penggunaan metode sampling dan teknik pengumpulan data saja yang ditingkatkan, namun juga dalam melakukan analisis data. Sementara dari segi keragaman model survey telah diimplementasikan survey pra-pemilu, exit-poll dan juga quick count (penghitungan cepat). Di samping dua hal itu, pada pemilu 2004 juga muncul lebih banyak lembaga polling baru yang kredibel, seperti Lembaga Survey Indonesia (LSI), Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS) dan Danareksa Research Institute (DRI-dari Balitbang PDIP). Namun tiga yang paling berpengaruh adalah IFES, LSI dan LP3ES. Hasil polling lembaga-lembaga tersebut relatif akurat dengan ketepatan memprediksi kemenangan Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu legislatif dan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres. Pada prediksi pilpres SBYKalla, akurasi LP3ES paling tinggi. Dari total responden 2.525, LP3ES mendekati hasil yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil dari KPU menyatakan suara SBY-Kalla sebesar 33,57%, sementara prediksi LP3ES 35,8%. Hasil ini memberikan rasa percaya diri yang besar pada lembaga-lembaga polling untuk Indonesia mendatang.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
I. Polling dan Instrumen Pembelajaran Politik Terlepas dari Bagaimana fenomena yang terjadi di Negara kita mengenai Polling, sungguh menarik mencermati hasil polling terhadap capres dan cawapres di beberapa media cetak dan elektronik saat ini. Terjadi disparitas yang amat mencolok dari hasil penyelenggara polling. Beberapa nama capres unggul dalam polling yang dilakukan sejumlah lembaga penyelenggara, tetapi jeblok dalam polling yang dilakukan lembaga lainnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah hasil polling yang dipublikasikan media massa ini menunjukkan dinamika politik, atau justru telah terjadi kekeliruan dalam metodenya? Hasil polling politik ini, terlepas dari rendahnya penerapan prinsip-prinsip survey, jelas bukan sekadar mencerminkan pilihan emosional publik. Disparitas hasil polling selayaknya harus dimaknai secara hati-hati. Menyimpulkan telah terjadi penyimpangan prosedur karena alasan kesalahan metodelogis maupun adanya muatan politis, jelas tuduhan yang sumir. Tetapi, membiarkannya tanpa upaya kritis dari semua pihak yang beraharap polling politik sebagai instrumen dalam proses demokratisasi, juga bukan sikap yang bijak. Sejatinya, polling politik tidak terjerumus menjadi strategi politik yang didesain untuk merusak tatanan kehidupan demokrasi politik yang tengah dibangun bersama dengan susah payah. J. Jajak Pendapat (Polling) Membantu Demokrasi Bekerja DI negara kita, seperti halnya di negara lain, jajak pendapat publik tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik timbul bersamaan dengan kemunculan demokrasi. Ini mungkin bukan hubungan yang kebetulan sifatnya, melainkan hubungan yang mencerminkan sifat demokrasi dan jajak pendapat publik itu sendiri. Menggali pendapat publik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan publik-seperti siapa yang harus menjadi pejabat publik, kebijakan publik apa yang harus dibuat-merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan dalam pemerintahan otokrasi. Dalam sebuah otokrasi seperti rezim Orde Baru sulit membayangkan bagaimana pewawancara dapat menggali opini masyarakat biasa yang berkaitan dengan kepentingan publik, baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan, yang kaya maupun miskin, yang berpendidikan maupun yang kurang berpendidikan, yang hidup di Jawa maupun di luar Jawa. Dalam rezim otokrasi, anggota masyarakat merasa tidak aman menyatakan opini mereka sekalipun lewat wawancara berdua saja antara pewawancara dan responden, dan hanya Tuhan saksinya. Pewawancara yang harus masuk ke pelosok desa di Tanah Air untuk mewawancarai warga negara tentang berbagai isu yang berkaitan dengan kepentingan publik hampir tidak mungkin diizinkan oleh rezim otokrasi. Kalaupun bisa dilakukan, hasilnya sulit dipublikasikan oleh media. Masyarakat luas tidak mudah mengetahui bagaimana mengaksesnya sebab pemerintah otokrasi kaprah mengontrol mana yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan kepada publik luas. Lebih dari itu, rezim otokrasi tidak banyak bertumpu pada opini publik dalam membuat keputusan politik atau kebijakan publik. Oleh karena itu, dalam rezim ini, menggali dan merespons opini publik jadi tidak perlu.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Sikap tanggap elite dan partisipasi politik Begitulah hubungan demokrasi dan jajak pendapat publik. Karena itu, secara teknis menggali opini publik secara sistematis, seperti lewat survei, tentang masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik dan publikasi terhadap hasilnya lebih mungkin dilakukan dalam sebuah rezim demokratis. Lebih dari itu, penggalian opini publik merupakan konsekuensi logis dari demokrasi itu sendiri sebab sifat dasar demokrasi yang membedakannya dari rezim lain adalah ketanggapan pemerintah secara berkesinambungan terhadap preferensi warga negara (Dahl, 1971). Dalam demokrasi, rezim merasa perlu tahu apa yang jadi preferensi warga negara. Tanpa mengetahuinya dengan baik, bagaimana pemerintah merespons preferensi mereka secara tepat, bagaimana mekanisme hubungan pemerintah dan rakyat dapat berjalan sebagaimana diharapkan demokrasi. Terkait dengan sifat tanggap pemerintah itu, partisipasi politik warga negara untuk menentukan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik jadi watak khas lain dari demokrasi. Kata ahli studi demokrasi empiris terkenal, Sidney Verba (1995), demokrasi tak terbayangkan tanpa partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik adalah tindakan warga negara biasa, bukan elite, untuk memengaruhi keputusan politik, termasuk kebijakan yang akan dibuat elite atau pejabat publik. Dengan dua sifat utama demokrasi ini, selanjutnya kita dapat mengatakan bahwa demokrasi adalah rezim yang responsif terhadap tuntutan publik yang menjelma dalam partisipasi politik dan opini publik. Opini publik adalah pengetahuan yang disikapi sehingga menjadi sikap publik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Memang elitist/revisionist theory of democracy cenderung memandang partisipasi politik dan opini publik warga negara bukan hal yang penting bagi demokrasi (Lipset, 1981; Schumpeter, 1942). Kalaupun partisipasi politik warga negara biasa penting, itu terbatas pada bagaimana digunakan elite untuk mencapai jabatan publik, seperti partisipasi dalam pemilu. Setelah pemilu, elite yang menentukan kebijakan publik yang harus dibuat. Dalam praktiknya, kebijakan ini dibuat lebih mencerminkan kepentingan elite politik itu sendiri. Partisipasi dan opini publik berhenti dengan berakhirnya pemilihan umum. Bahkan, partisipasi politik warga negara untuk memengaruhi kebijakan yang akan dibuat elite terpilih dalam pemilu,menurut kaum elitis atau revisionis ini, dapat menimbulkan instabilitas politik dan karena itu bersifat negatif terhadap stabilitas demokrasi (Lipset, 1981; Huntington, 1975). Yang kompeten membuat kebijakan publik adalah elite, bukan masyarakat biasa. Pada akhirnya, elite, bukan warga negara biasa, yang menjadi pengawal demokrasi (McClosky, 1964). Itu sebabnya dipertanyakan apakah kebijakan yang dibuat elite politik betul- betul didasarkan pada sikap responsif elite terhadap opini publik. Kalau ternyata tidak, kenapa harus membicarakan opini publik? Para revisionis atau elitis mengabaikan fakta bahwa elite terpilih punya kepentingan terhadap dukungan massa secara berkesinambungan. Seorang atau sekelompok pejabat publik bisa saja membuat kebijakan tanpa memerhatikan preferensi warga, bahkan bertentangan dengan preferensi warga. Namun, kebijakan itu jadi tidak populer, tidak disukai warga, dan ini dapat memunculkan resistansi warga terhadap elite tersebut. Sementara itu, resistansi warga merupakan sikap atau perilaku yang akan merugikan kelangsungan kepentingan elite, setidaknya kepentingan untuk terus berkuasa dan agar peralihan kekuasaan tidak jatuh
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
kepada orang di luar kelompoknya. Dalam demokrasi, keputusan penguasa yang tidak populer berdampak negatif terhadap peluang untuk kembali terpilih dalam pemilihan umum berikutnya. Jadi, dalam demokrasi, jangan terpikir oleh seorang politikus profesional atau pejabat publik mengabaikan sentimen atau preferensi warga. Seperti dalam ungkapan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat (1861-1865): “Bersama sentimen publik tidak akan ada yang gagal. Mengabaikannya, tidak ada yang bisa sukses�. Kritik lain muncul. Kalaupun opini publik penting bagi keputusan politik atau perumusan kebijakan publik, pertanyaannya kemudian, bukankah opini publik itu tidak cukup independen? Bukankah ia hasil dari kebijakan dan perilaku elite sendiri yang disosialisasikan lewat media massa, misalnya, dan diterima warga negara pada umumnya? Elite dapat meyakinkan publik bahwa kebijakan yang mereka buat akan lebih memenuhi kepentingan warga negara (Mill, 1962; Key, 1961) atau menipu dan memanipulasi publik lewat simbol-simbol yang hidup di masyarakat (Edelman, 1964; Miliband, 1976). Jadi, opini publik dibentuk oleh kebijakan publik yang dibuat elite. Bukan sebaliknya. Dalam praktiknya, kebijakan publik dibuat atas dasar lobi, negosiasi, dan kompromi di antara elite politik yang cukup independen dari pengaruh opini publik. Kalaupun penting, opini yang dimaksud terbatas pada opini publik dari elite kelompok kepentingan yang punya akses dan kemampuan untuk lobi dan negosiasi dengan pejabat publik. Namun, kita sering melihat kebijakan publik yang ditentang oleh kelompok masyarakat. Ini menunjukkan, opini publik tidak bisa dikatakan sepenuhnya dibentuk oleh kebijakan atau perilaku elite politik. Mungkin ada pengaruh kebijakan publik terhadap opini publik, tetapi pengaruh itu mungkin tidak sempurna. Masih ada opini publik yang bukan hasil dari kebijakan publik, yang bukan dari pengaruh perilaku elite politik. Ia bisa muncul dari pengalaman hidup sehari-hari yang tidak terlihat atau tidak dipandang penting oleh elite sehingga tak jadi bagian kebijakan publik. Namun, kelompok masyarakat tertentu-karena itu jadi masalah kepentingan bersama-merasakan pentingnya masalah itu. Terlalu banyak masalah dalam masyarakat yang elite tidak tahu, tidak merasakannya sebagai yang mendesak, dan karena itu tidak masuk dalam kebijakan publik. Kalau kebijakan publik memengaruhi pembentukan opini publik, setidaknya opini publik itu merupakan respons terhadap kebijakan publik tersebut sehingga wujudnya tidak sama dengan opini publik yang dilemparkan elite ke publik itu sendiri. Kebijakan publik adalah satu hal, sementara respons masyarakat terhadap kebijakan itu adalah hal yang lain. Yang terakhir ini merupakan bagian opini publik. Kalau kebijakan publik menentukan opini publik secara sepihak, tidak akan pernah ada keragaman opini publik. Padahal dalam kenyataannya, opini publik biasa beragam dan sering kali saling bertentangan walau kebijakan yang direspons sama. Ini mengindikasikan, ada muatan penting dari opini publik yang bukan berasal dari kebijakan publik, tetapi hasil dinamika dalam masyarakat yang kompleks sifatnya, yang sebagian tereksklusif dari kebijakan publik yang telah dibuat. Opini publik adalah cerminan dari kepentingan, preferensi, dan harapan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya sangat dinamis, dan mustahil tertampung sepenuhnya pada sebuah kebijakan publik dalam kurun tertentu. Kalaupun opini publik tidak sepenuhnya hasil dari kebijakan publik dan perilaku elite politik, melainkan juga dari pengalaman hidup warga
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
negara sehari-hari, yang tidak mencerminkan kepentingan elite, maka masalahnya kemudian, bagaimana opini publik digali sehingga jadi informasi memadai untuk memengaruhi kebijakan publik? Opini publik dapat digali lewat berbagai cara. Dalam demokrasi salah satu cara sistematis adalah lewat jajak pendapat umum. Namun, jelas opini publik tidak bisa direduksi ke dalam jajak itu. Bahkan, ada yang berpendapat, jajak pendapat bisa memberikan kesan menyesatkan tentang opini publik dalam hubungannya dengan demokrasi. Opini elite politik dan elite kelompok kepentingan dalam masyarakat juga bagian dari opini publik, dan biasanya tidak cukup tergali oleh jajak, padahal mereka sangat menentukan kebijakan publik. Margolis (1984), misalnya, yakin bahwa jajak pendapat bukan cara yang optimal mengukur opini publik yang berkaitan dengan masalah sosial dan politik. Perilaku nyata kelompok-kelompok dalam masyarakat, menurut Margolis, seperti partisipasi politik inkonvensional (demonstrasi, mogok, penandatanganan petisi, dengar pendapat dengan pejabat publik)lebih mencerminkan opini publik daripada pengakuan verbal seperti diungkapkan lewat jajak. Johan Galtung (1969) dalam bentuk yang lebih keras berpendapat bahwa dalam jajak pendapat semua warga diperlakukan sama. Dalam kenyataannya warga negara berbeda-beda, terutama dalam akses pada pengambilan keputusan. Perbedaan akses ini menentukan kebijakan publik mana yang harus dibuat dan dieksekusi. Kelompok kepentingan yang terbatas pada akhirnya yang menentukan kebijakan publik, bukan opini mayoritas publik. Jajak pendapat publik juga bisa jadi penghambat bagi pejabat publik mengambil putusan yang tidak populer. Padahal, tidak jarang putusan tidak populer itu diperlukan, terutama dalam masyarakat yang secara umum tidak kompeten dalam isu publik tertentu. Namun sebaliknya, jajak pendapat dapat menghambat kepentingan kelompok tertentu yang sering bicara mengatasnamakan publik meski sebenarnya publik yang dimaksud tak begitu jelas. Meyer (1940) percaya hasil jajak pendapat dapat membantu pejabat publik dekat dengan publik luas di satu pihak, dan di pihak lain melawan tekanan dari kelompok kepentingan terbatas yang biasa mengatasnamakan kepentingan publik. Jajak pendapat adalah kesempatan bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya yang terkait dengan kepentingan publik kepada pihak terkait, terutama pemerintah. Jajak pendapat dapat menggali preferensi warga negara secara sistematik dan karena itu menyediakan informasi sistematik tentang preferensi warga negara tersebut, yang dapat digunakan merumuskan kebijakan publik oleh pejabat publik. Masalahnya, apakah pejabat publik responsif terhadap hasil jajak mengenai berbagai isu publik? Apakah pejabat publik menerjemahkan hasil jajak ke dalam kebijakan publik? Walaupun terus diperdebatkan sejauh mana hasilnya diterjemahkan ke dalam kebijakan publik, jajak pendapat merupakan industri yang sangat maju di negara demokrasi seperti AS. Sejumlah studi secara lebih spesifik menggambarkan bagaimana peran hasil jajak pendapat bagi perumusan kebijakan publik di Gedung Putih. Heith (1998), misalnya, menemukan bahwa sejak tahun 1960-an Gedung Putih menggunakan informasi dari hasil jajak pendapat publik untuk berbagai kepentingan lembaga tersebut.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Studi Heith menunjukkan presiden dan staf senior Gedung Putih biasa menggunakan data hasil jajak. Secara lebih khusus, staf Gedung Putih yang terkait dengan pencarian dukungan publik bagi kebijakan yang akan dibuat presiden paling banyak bergantung pada hasil jajak pendapat publik. Yang membutuhkan dukungan publik itu, misalnya, adalah pengesahan undang-undang di Kongres dan upaya agar terpilih kembali dalam pemilihan presiden. Karena itu, Presiden AS biasa menghabiskan jutaan dollar setiap tahun untuk jajak pendapat yang memantau naik-turunnya sentimen publik terhadap presiden bersangkutan. Jajak ini biasa dilakukan partai mereka masing-masing (Heith, 1998). Jacob dan Shapiro (1995) melihat bahwa jajak pendapat publik telah jadi bagian integral lembaga kepresidenan di AS. Secara umum ada kongruensi signifikan antara opini publik yang digali lewat jajak dan kebijakan publik yang dibuat Pemerintah Amerika Serikat (AS) (Page dan Shapiro, 1986; Erikson, 1976). Page dan Shapiro secara sistematik menunjukkan opini publik yang digali lewat jajak memengaruhi secara berarti kebijakan publik yang dibuat Pemerintah AS. Bukan sebaliknya. Temuan ini membantah kritik bahwa opini publik hampir sepenuhnya diciptakan atau dipengaruhi kebijakan publik dan perilaku elite politik. Secara signifikan kebijakan publik dan perilaku politik elite menyesuaikan diri dengan opini publik. Dengan kata lain, opini publik yang digali jajak merupakan faktor yang memengaruhi pembuatan kebijakan publik, bukan sebaliknya. Di sinilah arti penting jajak pendapat publik bagi pembuatan keputusan politik. Kata seorang “dewa� jajak pendapat perilaku politik, Philip E Converse (1996), jajak pendapat adalah sarana penting merepresentasikan kepentingan atau aspirasi publik. Hubungan signifikan antara jajak pendapat publik dan pembuatan kebijakan publik kantor kepresidenan AS dimulai terutama sejak Presiden Roosevelt tahun 1930-an. Meski demikian, kebutuhan Gedung Putih terhadap hasil jajak terutama lebih terasa pada masa kampanye pemilu calon presiden JF Keneddy. Sejak itu jajak pendapat menjadi bagian tak terpisahkan dari kantor kepresidenan (Jacobs dan Shapiro, 1995). Kebutuhan terhadap jajak pendapat dari Gedung Putih terutama pada tahun pelaksanaan pemilihan umum. Presiden berkepentingan dengan informasi tentang popularitasnya, apa yang harus dilakukan agar semakin populer, kemudian memenangi pemilihan umum. JF Kennedy ketika kampanye Pemilu 1960 melakukan jajak lewat perusahaan Polling Harris sebanyak 93 kali, Presiden Johnson dalam kurun 1963-1968 sebanyak 130 kali, dan Nixon (1969-1972) sebanyak 233 kali (Jacobs dan Shapiro, 1995). Kongruensi antara opini publik dari jajak pendapat dan pembuatan kebijakan publik terjadi terutama karena pada dasarnya setiap pejabat publik ingin populer di mata masyarakat dan pejabat politik ingin kembali dipilih dalam pemilihan umum. Karena itu, kebijakan publik yang dibuat diupayakan mendekati sentimen atau aspirasi publik. Karena itu pula, pejabat publik yang ditentukan lewat pemilihan umum berusaha tidak menyakiti pemilih, sebaliknya menyenangkan mereka, dan informasi lewat jajak membantu keinginan ini (Brody, 1991; Edwards dan Wayne, 1985; Heith, 1995). Seperti dikatakan Presiden Lincoln, sukses diraih bila memerhatikan sentimen publik dan gagal bila mengabaikannya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
K. Polling Pendapat dan Masyarakat Politik Jajak pendapat khalayak (public opinion polling) dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak terhadap masalah tertentu, yang diwujudkan secara eksplisit dalam pendapatnya. Pengukuran pendapat khalayak biasanya dilaksanakan oleh lembaga survai yang memang secara khusus mendeteksi secara berkala pendapat khalayak, atau oleh suratkabar yang ingin memberitakan konstelasi masyarakat pada masa tertentu dalam menghadapi masalah tertentu. Biasanya yang menjadi perhatian dalam membicarakan hal ini, pertama adalah apa isyu yang dihadapkan oleh pembuat polling kepada warga masyarakat, dan kedua bagaimana sikap atau orientasi khalayak terhadap isyu tersebut. Isyu adalah rumusan atas masalah aktual dan bersifat kontroversial yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Pilihan yang dilakukan oleh pelaksana jajak pendapat atas suatu isyu, sangat bertalian dengan kehidupan masyarakat atau setidaknya masalah tersebut diasumsikan dialami atau dipikirkan warga masyarakat. Sebab tanpa relevansi dengan kehidupannya, pendapat khalayak bukan sebagai fakta sosial. Selain itu pula warga masyarakat tentunya tidak akan antusias untuk memberikan pendapatnya. Karena isyu yang dihadapkan adalah masalah yang bersifat kontroversial, maka hasil jajak pendapat selamanya bermuara kepada sikap atau orientasi bersifat pro, kontra atau netral terhadap isyu spesifik. Lebih jauh boleh dilihat arti penting hasil suatu jajak pendapat. Sebab setelah mengetahui komposisi berdasarkan sikap pro-kon khalayak terhadap isyu tertentu, lantas apa? Dari sini dapat dipertanyakan, siapa sebenarnya yang berkepentingan atas data suatu jajak pendapat? Lembaga polling tentu saja tidak boleh memasukkan kepentingan subyektif instansinya dalam penyelenggaraan jajak pendapat, dan karenanya pula tidak boleh suatu data mengandung kepentingan subyektif. Ini kaidah moral yang menjadi standar profesional setiap peneliti. Data mungkin saja digunakan oleh pihak lain, misalnya untuk tujuan advokasi, atau kampanye suatu standar kehidupan. Tetapi pelaksana polling tidak pernah berpretensi untuk menggunakan data pendapat khalayak untuk membentuk lagi pendapat khalayak. Lalu bagi khalayak sendiri, setelah menyadari sikap sesama warga, apakah ada nilai pragmatis baginya? Konstelasi data mungkin saja dapat mempengaruhi sikapnya terhadap masalah aktual yang masih berlangsung. Untuk polling yang berkaitan dengan proses pemilihan (electoral process) di Amerika Serikat, memang ada anggapan tentang efek “bandwagon”. Disebabkan melihat angka yang tinggi, pada saat pemilihan khalayak akan memilih kandidat yang diperkirakannya menang. Tetapi berbeda dengan jajak pendapat atas isu sosial. Setiap jajak pendapat semacam ini, selamanya bersifat “snapshot”. Kalaupun dilakukan serial jajak pendapat, perubahan konstelasi sikap yang terjadi, sesungguhnya berasal dari faktor-faktor sosial yang mempengaruhi khalayak. Belum pernah ada pembuktian empiris bahwa perubahan sikap khalayak pada jajak pendapat yang bersifat “time series” disebabkan oleh pengaruh angka jajak pendapat sebelumnya. Karenanya kemanfaatan pragmatis nilai jajak pendapat mengenai suatu isyu bukan untuk diri khalayak. Dari sisi khalayak, kegiatan dan data jajak pendapat dapat dilihat sebagai bagian dalam proses mengaktualisasikan sikap dan orientasi sosialnya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Biasanya pihak yang berkepentingan atas suatu isu adalah pihak yang kegiatan profesionalnya terkait secara langsung dalam masalah aktual yang dijadikan isyu. Data suatu jajak pendapat biasanya dijadikan dasar evaluasi dan prediksi. Data tentang kebijakan seorang tokoh tentunya menjadi perhatian serius bagi sang tokoh dan para agen “public relations”nya agar dapat memperbaiki kinerjanya di tengah masyarakat. Pengukuran pendapat tentang kandidat presiden di Amerika Serikat menjadi dasar bagi tim sukses masing-masing kandidat. Pada dasarnya politisi dalam berbagai strata yang mengambil kemanfaatan atas data jajak pendapat yang dilaksanakan oleh perusahaan survai ataupun suratkabar. Data semacam ini dianggap sangat penting, melengkapi upaya mencari tahu pendapat khalayak yang dilakukan oleh kantor politisi sendiri. Upaya ini antara lain “sounding” kalangan bawah misalnya melalui percakapan informal dengan supir taksi, pelayan restoran dan lainnya, atau pertemuan dengan pemimpin-pemimpin lokal, atau analisis surat-surat pembaca di suratkabar, dan sebagainya. Dengan begitu keberadaan jajak pendapat sangat berkaitan dengan dua kondisi. Pertama, apakah sistem politik menyebabkan atau bahkan “memaksa” politisi harus mendengar khalayak. Artinya makna suatu jajak pendapat di suatu lingkungan negara sesungguhnya sangat ditentukan dengan keberadaan politisi, baik yang berada dalam tubuh birokrasi negara maupun yang berada di luar. Sepanjang mereka memerlukan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, atau sosial yang bersifat kontroversial, jajak pendapat merupakan jalan paling praktis. Kedua, mengingat pendapat khalayak pada dasarnya bertolak dari masalah yang bersifat kontroversial. Situasi pro-kontra yang bersifat laten dalam masyarakat, melalui jajak pendapat menjadi termanifes. Karenanya masalah mendasar adalah apakah situasi pro-kon yang diekspos ini dapat ditoleransi di tengah masyarakat. Manakala tidak pernah dikenal pendapat khalayak yang dimanifeskan, masalah kontroversial dibiarkan laten, dan dengan rekayasa sosial masalah tadi diupayakan diselesaikan. Dengan cara ini proses mendeteksi masalah sosial dijalankan melalui saluran “undercover” oleh para polisi rahasia, seperti yang terjadi di negara fasis dan komunis. Karenanya keberadaan data pendapat khalayak dianggap sama sekali tidak ada, atau kalau ada yang berusaha memanifeskannya, akan dianggap sebagai subversi. Di Indonesia, hanya untuk tujuan ekonomi agaknya jajak pendapat mendapat perhatian sungguh-sungguh. Bahkan survei semacam pengukuran jumlah penonton televisi yang dikerjakan lembaga “rating”, yang tidak sampai mengukur pendapat khalayak atas obyek yang dihadapinya, sangat diperhatikan oleh para pengiklan. Begitu pula survai-survai konsumen lainnya banyak dikerjakan oleh lembaga-lembaga survai profesional, dan data konsumen sudah merupakan landasan dalam kinerja perusahaan umumnya dan strategi pemasaran khususnya. Pendapat atau sikap khalayak terhadap suatu produk komersial, jelas sangat bernilai bagi perusahaan. Dunia usaha sudah lama meninggalkan pola orientasi produk, untuk berpijak pada orientasi pasar. Mengingat bahwa “nasib” direksi sangat ditentukan oleh kinerja perusahaannya, dan setiap tahun dia harus menghadapi “pengadilan” para dewan komisarisnya. Segala cara ditempuh untuk mengetahui kecenderungan khalayak yang dibaca
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
sebagai situasi pasar. Dunia ekonomi mungkin sulit dipadankan dengan kehidupan sosial dan politik. Masalahnya, pendapat khalayak atas suatu isyu sosial agaknya bukan tentang apa pentingnya isyu yang dipilih, atau seberapa penting konstelasi sikap warga masyarakat. Yang perlu dijawab sesungguhnya adalah apakah memang ada arti penting khalayak dalam kehidupan politik? Khalayak adalah warga masyarakat yang diabstraksikan sebagai data, dan keberadaannya hanya ada karena secara konseptual dirumuskan melalui kepentingannya, ataupun responnya terhadap isyu sosial. Inti permasalahan dapat dilihat lebih ke dalam lagi, adalah sejauh mana fakta sosial dianggap penting sehingga layak untuk diungkapkan secara terbuka dalam wujud informasi. Fakta sosial adalah dinamika yang berlangsung secara empiris dalam kehidupan, dan dinamika alam pikiran warga masyarakat. Secara sederhana kedua macam fakta ini biasa dipilahkan sebagai fakta sosiologis dan fakta psikologis. Proses dari fakta sosial menjadi informasi ini dikerjakan secara profesional oleh berbagai lembaga dengan kaidah kerja masing-masing. Lembaga survai baik perusahaan atau universitas memproses fakta sosial menjadi data penelitian, lembaga jurnalisme menyajikannya sebagai informasi pers, lembaga BAKIN menjadikannya sebagai informasi intelijen, dan seterusnya. Masing-masing data atau informasi ini dihasilkan dengan kaidah yang berlainan, dan untuk tujuan yang berbeda pula. Tetapi kesemuanya mengandung sifat yang sama, yaitu kesesuaian informasi dengan fakta. Inilah makna kebenaran yang menjadi dasar kerja dalam dunia akademik, jurnalisme ataupun intelijen, jika memang dijalankan secara profesional. Kesemua cara mendapat informasi ini berada pada dataran yang sama, dan hanya akan hidup di lingkungan yang memberi tempat kepada kebenaran faktual. Kebenaran faktual ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik mengenai warga masyarakat maupun penyelenggara kekuasaan negara. Mungkin saja kerja intelijen tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran faktual, sebab tugasnya adalah rekayasa penghancuran lawan melalui operasi psikologis (psychological warfare) atau dengan tindakan fisik menggebuk. Tetapi tugas imperatif lembaga survai sosial, jajak pendapat khalayak, begitu pula jurnalisme, bukan untuk tujuan berperang, atau tujuan pragmatis lainnya. Tugasnya hanyalah mendapatkan kebenaran faktual. Data atau informasinya bersifat terbuka, karenanya dapat digunakan oleh pihak manapun. Masalahnya, apakah kebenaran faktual memang diperlukan, atau sebaliknya mengapa kebenaran faktual tidak diinginkan termanifes dan terbuka? Jajak pendapat dan kerja pengungkapan informasi faktual lainnya pada dasarnya berhadapan dengan pertanyaan ini. Tekanan kekuasaan negara terhadap pelaksana jurnalisme berjalan secara langsung melalui lisensi terbit, skrining wartawan, serta pengendalian pemberitaan, atau secara tidak langsung melalui organisasi profesi yang menjadi bagian korporatis kekuasaan negara. Sementara tekanan terhadap dunia survei sosial mungkin akan mewujud melalui pengendalian perijinan, baik ijin penelitian maupun akreditasi peneliti, atau lainnya. Kegiatan jajak pendapat khalayak berada pada dua dunia. jurnalisme dan akademik. Tradisi jajak pendapat berkembang di lingkungan pers, untuk memformulasikan fakta-fakta selama
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
proses pemilihan umum di Amerika Serikat. Untuk kebutuhan mendapatkan secara berkala dinamika masyarakat, maka pers melakukan jajak pendapat. Perkembangan metodologi maju pesat, terutama setelah tahun 1948 Social Science Research Council mendukung kajian untuk memperbaiki instrumen metodologi, sehingga semakin akurat data dan nilai prediksinya. Kalau di Indonesia kegiatan jajak pendapat yang diselenggarakan pers dihadang kendala, dapat dijelaskan melalui cara kekuasaan negara menghadapi kebenaran faktual. Media jurnalisme memang institusi yang sudah menjadi bulan-bulanan kekuasaan, sehingga apapun yang dilakukannya dalam mengangkat fakta sosial, akan selalu mendapat tekanan. Karenanya tidak heran manakala institusi pers direndahkan sedemikian rupa karena dianggap tidak mampu dan tidak layak melakukan jajak pendapat. Sementara dalam menghadapi data jajak pendapat, kekuasaan akan menggunakan “bahasa� akademik. Kalau perlu dengan meminjam mulut akademisi, sebagaimana sering kekenesan dalam dunia akademik, cara meng-�condemn� suatu penelitian adalah dengan mempermasalahkan metodologi, mulai dari validitas instrumen (termasuk penentuan sampel dan uji statistik) sampai reliabilitas data. Padahal dengan metodologi yang diperkembangkan sejak tahun 1930-an hingga sekarang, pelaksana jajak pendapat sudah menggunakan pola instrumen yang standar. Karenanya keberatan yang bersifat kuasi akademik terhadap hasil jajak pendapat, dengan mudah dikenali sebagai dalih yang ingin mengabaikan fakta sosial yang berasal dari kehidupan masyarakat. L. Jajak pendapat dan media massa Hasil jajak tidak mesti dipublikasikan. Jajak pendapat yang dilakukan partai politik tertentu, misalnya, bagi kepentingan strategis partai, bukan buat konsumsi publik. Namun, banyak juga jajak yang dipublikasikan dan media massa biasa menyebarkannya karena mungkin menarik bagi publik, termasuk hasil jajak tentang pemilihan umum. Di AS media massa besar, baik yang cetak maupun elektronik,bahkan melakukan jajak sendiri lewat kerja sama dengan perusahaan jajak pendapat. Media massa dan perusahaan ini juga biasa mengeluarkan prediksi tentang siapa yang akan unggul dalam pentas pemilihan presiden. Biasanya prediksi mereka cukup akurat. Di AS opini publik dari hasil jajak pendapat bagi media massa mungkin salah satu sumber berita yang menarik dan secara komersial mungkin menguntungkan. Itu sebabnya media mau mengeluarkan biaya melakukan jajak pendapat. Lebih dari itu, informasi yang mereka dapat bertumpu pada norma baku jajak pendapat sehingga bisa menghasilkan inferensi yang valid. Dengan demikian, publik atau konsumen jajak pendapat tidak dirugikan, malah sebaliknya terbantu mengambil langkah yang sesuai dengan kepentingan konsumen masing-masing. M. Pesan dari Sebuah Jajak Pendapat Jajak pendapat atau polling belakangan semakin sering dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Terutama polling dalam bidang politik, tampaknya mendapatkan ruang cukup besar di tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah survei terbaru Lembaga riset Jaringan Suara
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Indonesia (JSI) pimpinan Widdi Aswindi yang menyatakan tiga partai besar Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan tetap menempati posisi teratas jika pemilu diadakan sekarang. Survei JSI bahkan menunjukkan, meski Demokrat banyak mengalami gonjang-ganjing, namun masih merupakan partai yang memiliki elektabilitas tertinggi. Kesimpulan itu ditarik berdasarkan hasil survei JSI yang dilaksanakan pada 10-15 Oktober 2013, dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang. Survei menggunakan teknik multistage random samplingdengan wawancara tatap muka langsung dan menggunakan kuesioner.Margin of error adalah 2,9 persen. JSI menyatakan, berdasarkan penelitian mereka terakhir pada Oktober 2013, tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono masih cukup tinggi. Hasil survei mendapati terdapat 53,2 persen responden yang menyatakan sangat puas atau cukup puas pada SBY, dan terdapat 44,8 persen responden yang menyatakan sangat puas atau cukup puas terhadap Boediono. Sebelum itu, Lembaga Survey Indonesia (LSI) pimpinan Denny J.A merilis hasil poliing mengejutkan. Berdasarkan hasil survei ini LSI tersebut, Partai Golkar menempati urutan pertama dengan dukungan pemilih 17,9 persen, menyusul Demokrat 15,5 persen, kemudian PDIP 14,5 persen.Kasus Nazaruddin disebut sebagai alasan kuat merosotnya popularitas Partai Demokrat di mata publik. Partai Demokrat mengalami penurunan dukungan cukup signifikan hingga 5 % bila dibanding Januari 2011 dengan 20 % dukungan dan berada di posisi pertama. Yang lebih mengejutkan, Partai Golkar berhasil menyalip posisi Partai Demokrat diurutan pertama. Ada juga lembaga Indo Barometer pimpinan M. Qodari melalukan polling saat menjelang peringatan 13 tahun reformasi. Lembaga ini merilis 36 % dari 1200 responden yang disurvey menyukai kepemimpinan Presiden Soeharto, mengalahkan popularitas Presiden SBY yang sedang berkuasa. Indo Barometer juga melansir data sekitar 28 % responden mengatakan era orde baru lebih baik ketimbang reformasi. Hanya 22,8 % responden yang mengatakan saat ini lebih baik dari era orde baru. Jauh sebelum itu, lembaga penyelenggara survei juga melakukan polling pada pemilu 2004, pemilu 2009, pemilihan kepala daerah dan polling masalah sosial politiik lainnya. Jajak pendapat atau polling, belakangan ini semakin banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penyelenggara polling atau media massa. Topik yang diangkat cukup beragam. Namun sebagian besar berkaitan dengan masalah politik dan kebijakan publik. Bagi sebagian kalangan, hasil polling ditanggapi secara negatif dan dibalas dengan polling tandingan, namun bagi kalangan lain, hasil polling akan diterima dengan senang hati jika itu menguntungkan bagi pihak mereka dan akan menjadikan masukan dan pelajaran jika hasilnya tidak positif. Yang perlu dicatat, Indonesia sedang memasuki era dinamisasi pendapat umum melalui polling yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik dan pengambilan keputusan bagi publik. Polling atau jajak pendapat umum telah dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1824 dalam ajang pemilihan umum. Saat itu suratkabar Harrisburg Pennsylvanian Wilmington dan Delaware melakukan penggalangan opini publik terkait pilihan publik Amerika terhadap
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
kandidat presiden yang bersaing. Saat itu, kandidat Andrew Jackson memperoleh tingkat popularitas tertinggi dibandingkan kandidat lain termasuk John Quincy Adams. Namun, meski Jackson tercatat paling populer dalam jajak pendapat, justru yang memenangi pemilu adalah Quincy Adams. Sejak saat itu, survei jajak pendapat dalam kegiatan politik menjadi populer dan banyak dilakukan di Amerika Serikat dan menjalar ke Eropa. Tonggak sejarah polling sendiri mulai dikenal sejak tahun 1936. Saat itu, majalah Literary Digest melakukan survey dengan 2 juta responden menjelang pemilihan presiden. Saat yang sama American Institute Of Public Opinion (AIPO) yang dipimpin George Gallup juga melakukan survey yang sama dengan menggunakan tidak lebih dari 1.500 orang responden. Hasilnya mengejutkan. Literary Digets memprediksi kemenangan milik Alfred M Landon dari Partai Republik, sedangkan AIPO yang sekarang menjadi lembaga survey terkenal Gallup, memprediksi pemenang pilpres Amerika masa itu adalah Franklin D. Roosevelt dari Partai Demokrat. Dan ternnyata pemenangnya adalah Franklin D Roosevelt, sesuai prediksi AIPO yang hanya menggunakan 1.500 responden. Polling juga pernah mengalami masa pahit. Pada pilpres Amerika tahun 1948, lembagalembaga polling di AS salah memberikan prediksi. Presiden Harry Truman yang diprediksi kalah, ternyata tampil sebagai pemenang untuk kedua kalinya. Pelajaran itu, kemudian menjadi pemicu bagi ilmuan polling untuk memperbaiki metode dan teknik yang digunakan. Hingga akhirnya saat ini, kepercayaan publik terhadap hasil polling sangat kuat, karena akurasi dan prediksinya semakin baik. Di Indonesia, jajak pendapat umum baru semarak dilakukan di era reformasi, tepatnya pada pemilihan umum tahun 2004. Selain sistem politik dan pemilihan umum yang mendukung untuk dilakukan polling, suasana kebebasan berpendapat yang baru didapat di era reformasi juga memberi peluang bagi para pakar komunikasi politik untuk membawa masuk budaya dan teknik survey pendapat umum ini ke tanah air dari Amerika Serikat. Polling semakin terkenal pada pemilihan presiden tahun 2009. Saat itu ada 14 lembaga yang melakukan polling prediksi kandidat pemenang pemilihan presiden. Semua memprediksi kemenangan milik pasangan SBY-Boediono meski dengan angka persentase yang bervariasi. Dan memang kemenangan saat itu menjadi milik SBY-Boediono seperti yang diprediksi 14 lembaga polling tadi. Pendapat umum sering dimaknai sebagai apa yang dipikirkan, dirasakan dan pandangan masyarakat tentang suatu masalah atau isu yang sedang berkembang. Pandangan klasik Leonanrd W. Doob justru lebih tegas mengatakan bahwa pendapat umum adalah bentuk ekspresi dari pandangan atau perasaan masyarakat terhadap suatu isu. Artinya, pendapat umum tanpa diungkapkan atau disampaikan kepada publik, ia bukanlah pendapat umum. Pendapat umum akan memiliki pengaruh terhadap sebuah kebijakan, rencana dan isu politik saat ia bisa dimaknai oleh publik secara terbuka. Kekuatan dari pendapat umum itu hadir disaat publik secara terbuka setuju atau tidak setuju terhadap pendapat umum yang diungkapkan itu.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Ketidakpercayaan publik terhadap Partai Demokrat dalam kasus suap Sesmenpora yang melibatkan M. Nazaruddin misalnya, baru akan memberikan dampak jika ekpresi ketidakpercayaan itu diungkapkan. Begitu pula kerinduan sebagian masyarakat kepada rezim ordebaru akan memberikan peringatan kepada rezim berkuasa saat ini bila kerinduan itu diekpresikan. Salah satunya lewat jajak pendapat atau polling. Polling dapat didefenisikan sebagai survei yang menanyakan kepada masyarakat tentang suatu isyu. Dengan polling, masyarakat memiliki wadah untuk mengekpresikan pendapatnya menjadi sebuah pendapat umum. Hasil polling mudah diterima publik dan gaungnya pun sangat dahsyat. Sebuah hasil polling dapat menyusup ke rumah-rumah rakyat di pinggir rel kereta api. Hasil polling juga dapat menjangkau ketinggian gedung wakil rakyat atau istana presiden sekalipun. Maka tak perlu heran, jika sebuah hasil polling akan menimbulkan kecaman dari kalangan yang merasa dirugikan, namun akan mendapat sanjungan dari mereka yang diuntungkan. Di era demokrasi, kadang kala saluran komunikasi politik bisa saja didominasi oleh kekuatan politik utama seperti parpol, tokoh politik dan pemimpin politik. Dominasi itu bisa membuat pesan politik juga dikuasai kekuatan dominan tadi. Maka hasil jajak pendapat bisa menjadi saluran alternatif yang bisa mengungkapkan sikap publik terhadap suatu isyu atau kebijakan atau sekedar perasaan publik dalam sebuah situasi. Asalkan iklim ilmiah dan landasan hati nurani dijadikan dasar dalam melakukan survei jajak pendapat. Masalah akan muncul jika survei jajak pendapat dicurangi dengan tindakan memanipulasi hasil untuk kepentingan politik dengan tujuan mebohongi publik. N. Kode Etik Jajak Pendapat (Polling) Dalam politik kita, jajak pendapat mungkin belum banyak dijadikan alat membantu elite politik merumuskan kebijakan publik yang mendekati aspirasi publik. Masyarakat juga belum umum menggunakan hasil jajak pendapat mendesak pejabat publik membuat kebijakan sesuai dengan aspirasi mereka. Tidak sedikit politikus kita, ilmuwan sosial kita, dan mungkin juga anggota masyarakat biasa, yang tidak percaya pada hasil jajak pendapat yang belakangan mulai tumbuh di Tanah Air dan karena itu mengabaikannya. Menurut saya, ketidakpercayaan ini sebagaian berasal dari tradisi jajak pendapat yang belum kuat dan tidak jarang jajak dilakukan dengan mengabaikan kaidah yang seharusnya, tetapi hasilnya sering dilaporkan media massa secara luas. Ini merugikan profesi jajak pendapat dan juga merugikan publik. Dalam beberapa tahun terakhir bermunculan jajak pendapat yang menarik peliputan media massa secara cukup luas. Untuk jajak pendapat yang berkaitan dengan pemilihan umum, ada yang sudah menerapkan kaidah-kaidah baku dalam jajak pendapat, baik metode, proses, dan pelaporannya. Ada yang benar dalam metode dan proses, tetapi kurang disiplin dalam penulisan hasilnya. Ada yang buruk baik dalam metode, proses, maupun pelaporannya. Untuk kategori kedua, biasanya jajak pendapat dilakukan atas sebagian kecil saja dari populasi yang jadi sasaran jajak, tetapi laporannya berpretensi mencakup populasi. Misalnya, yang jadi sasaran jajak adalah calon pemilih Indonesia, tetapi sampel ditarik hanya dari beberapa kota besar saja sehingga populasi yang di luar kota dan yang tinggal di pedesaan tidak punya kesempatan tersertakan dalam jajak. Namun, laporannya sering berpretensi
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
mencakup populasi calon pemilih Indonesia, misalnya, lewat judul “Pemilih Indonesia mendukung Prabowo”, “Pemilih kecewa dengan kinerja pemerintah Joko Widodo”, dan sebagainya. Masuk ke dalam kategori ini adalah jajak pendapat yang menggunakan telepon. Tujuannya, menjaring opini calon pemilih, tetapi populasinya dibatasi secara sistematik pada pemilik telepon yang terdapat di buku telepon. Pencuplikan sistematik dilakukan, jumlah cuplikan dilaporkan, margin of error juga dilaporkan, tetapi judul laporannya sering mengabaikan metode yang digunakan. Muncul judul di koran “Pemilih Tidak Percaya pada Partai Politik”, padahal pemilih yang dimaksud adalah pemilik telepon yang terdaftar di buku, bukan pemilih pada umumnya. Kita tahu pemilih yang memiliki telepon sangat kecil dibandingkan dengan populasi pemilih Indonesia. Karena itu, pemilihan cuplikan seperti itu tidak memadai untuk membuat inferensi luas seperti dalam judul tadi. Yang paling buruk dalam jajak pendapat yang dilakukan di sini adalah melalui SMS dan ditayangkan sejumlah teve, terutama menjelang pemilihan umum anggota legislatif. Jajak ini bukan saja didasarkan atas pemilik sarana SMS yang masih terbatas, tetapi juga didasarkan atas keinginan pemilik sarana tersebut untuk berpartisipasi. Di antara pemilik sarana SMS ini pun, hanya mereka yang punya gairah mengirim yang terjaring aspirasinya. Yang di luarnya tak terjaring. Partisipasi politik dengan menggunakan SMS secara sukarela sebenarnya bagus asal tidak dijadikan dasar memperkirakan dukungan pemilih terhadap partai, calon presiden, atau isu tertentu masyarakat Indonesia. Jajak semacam ini bisa menyesatkan publik tentang isu tertentu. Juga merugikan jajak itu sendiri sebagai alat menggali opini publik secara benar. Meski demikian, belakangan tayangan hasil jajak pendapat SMS di teve tentang dukungan terhadap calon presiden makin berkurang sekarang. Barangkali karena pengalaman: hasilnya sangat jauh menyimpang dari hasil pemilihan umum yang sebenarnya. Bila demokrasi kita berumur panjang, cepat atau lambat kebutuhan akan informasi tentang opini publik yang sistematik akan dirasakan dalam perumusan kebijakan publik. Itu sebabnya, jajak pendapat dengan norma yang benar sehingga menghasilkan informasi yang bisa dipercaya jadi sangat penting menampung dan merepresentasikan aspirasi warga negara kita dan untuk memengaruhi perumusan kebijakan publik. Kerja demokrasi yang menuntut partisipasi warga negara dan sikap responsif pejabat publik akan sedikit-banyak terbantu oleh jajak ini. Karena itu, jajak harus dilakukan dan diinformasikan dengan benar: mengikuti kaidah yang benar. Harus ada kelompok orang, yang secara profesional menekuni jajak pendapat publik, membuat semacam kode etik tentang jajak pendapat publik supaya publik tidak dirugikan. Tuntutan ini sangat penting karena sifat jajak pendapat dan implikasinya. Bila jajak dilakukan dengan benar sehingga menghasilkan informasi yang benar tentang opini publik, ia akan membantu membuat kebijakan publik sesuai dengan aspirasi publik itu. Bila pejabat publik tidak memerhatikan aspirasi publik ini, ia potensial jadi pejabat publik yang gagal. Kegagalan pejabat publik merespons preferensi publik akan menghambat penguatan demokrasi. Karena ada kaitan erat antara jajak pendapat dan strategi politik yang mungkin akan dibuat kelompok politik tertentu, jajak pendapat potensial disalahgunakan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Sadar akan masalah ini, sejak awal di AS, misalnya, akademisi dan praktisi jajak pendapat membangun asosiasi: American Association of Public Opinion Research (AAPOR) dan membentuk Komisi Etik dalam asosiasi ini. Komisi ini menjaga mutu jajak pendapat, mencegah penyalahgunaannya dan melindungi kepentingan publik agar tidak dirugikan oleh proses dan hasil jajak yang tidak benar menurut norma jajak pendapat. Kita membutuhkan Komisi Etik Jajak Pendapat Indonesia untuk melindungi kepentingan publik dari kemungkinan penyalahgunaan jajak. Komisi ini bukan saja membantu mendewasakan lembaga jajak pendapat, melindungi kepentingan publik, tetapi juga membantu demokrasi kita bekerja: pejabat publik responsif terhadap preferensi publik yang diinformasikan lewat jajak pendapat publik yang benar.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB IV POLLING DAN KEDUDUKANNYA DALAM PENELITIAN Apa yang menyebakan munculnya polling? Polling adalah bentuk ekspresi pengungkapan pendapat umum paling kontemporer yang dikenal manusia. Akan lebih mudah memahami pengertian ini dengan melihat sejarah ekspresi pendapat umum, dan bagaimana polling muncul sebagai suatu bentuk pengungkapan pendapat umum. Inti dari pendapat umum adalah diakuinya pendapat umum masyarakat. Masyarakat mempunyai cara-cara tertentu agar pendapatnya diketahui orang lain atau diterima oleh pengambilan kebijakan. Dengan demikian pendapat umum umurnya amat tua, meskipun baru pada abad 18, pendapat umum mulai mendapat tempat penting dalam kekuasaan. Di sini pendapat umum diterima dan mampu mempengeruhi kekuasaan dan kebijakan sehingga apa yang dipikirkan masyarakat menjadi penting untuk diketahui. Ekspresi untuk menyatakan pendapat umum itu berbeda-beda dari satu masa ke masa lain bergantung pada bagaimana paham demokrasi itu muncul, kemajuan teknologi yang menentukan bagaimana pendapat itu harus disuarakan. Masalahnya bagaiman cara yang akurat untuk mengukur pendapat banyak orang? Ini mempunyai sejarah yang panjang sebelumnya akhirnya dikenal metode polling seperti sekarang ini. Media massa sudah sejak 1820-an melakukan survei dengan menanyakan terutama kepada pembacanya mengenai pemilu, siapa presiden pilihan mereka dan sebagainya. Survei mengenai pemilihan presiden adalah berita yang menarik dan akan mendongkrak oplah surtkabar yang bersangkutan. Karena dilakukan seperti layaknya pemilu baik kertas suara yang dipakai maupun jumlah orang yang diwawancarai. Survei itu sering disebut sebagai straw vote (pemungutan suara tak resmi). Ada tiga buah metode utama dalam straw vote. Pertam, kertas suara dicetak dalam suratkabar atau majalah dan masyarakat diminta untuk mengirimkan kepada surat kabar atau majalah setelah dibubuhi jawaban. Kedua, yang sering dilakukan adalah dengan menyebarkan kertas suara ke tempat-tempat umum, pusat perdagangan dan tempat lain dimana banyak masyarakat berkumpul. Pada masa ini prinsip-prinsip ilmiah terutama pilihan sampel belum dikenal. Pada waktu itu pikiran orang masih linear: semakin banyak orang yang diwawancarai semakin baik. Menurut mereka, metode pengukuran yang sempurna yang melibatkan banyak orang adalah pemilu. Media ingin sekali meniru sistem pemilu termasuk jumlah orang yang diwawancarai. Bukan saja kertas suara yang diusahakan mirip tetapi juga jumlah mereka yang dilibatkan sehingga muncul adagium semakin banyak orang yang diwawancarai akan semakin baik. Lembaga polling saling berlombang untuk mewawancarai sebanyak mungkin orang dengan menyertakan jutaan kertas suara. Semakin banyak kertas suara, semakin bonafid suatu lembaga polling. Di sini bonafiditas diukur dari banyaknya kertas suara yang menunjukkan bahwa lembaga itu besar dan tidak diukur dari akurasi hasil yang didapatkan Polling.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Para peneliti kemudian mulai menerapkan prinsip probabilitas. Pertanyaan para peneliti pada waktu itu adalah buat apa menyertakan banyak orang kalau sedikit orang sebenarnya cukup dapat mewakili suara masyarakat? Lembaga polling yang baru berdiri setelah keruntuhan straw vote seperti Gallup, Roper, Yankelovich mulai menerapkan prinsip penarikan sampel secara ilmiah dengan menggunakan metode penelitian ilmu sosial. Prinsip-prinsip ilmiah baru dikenal dan diterapkan pada 1930-an dan membawa perkembangan baru dalam metode pengumpulan pendapat umum. Pemakaian prinsip ilmiah untuk mengukur pendapat umum berbarengan dengan perkembangan metode ilmiah. Artinya, pengukuran pendapat umum mengambil dan memanfaatkan metode penelitian ilmu pengetahuan agar dapat secara tepat mengukur pendapat umum. Ada dua perkembangan metode ilmiah yang memainkan peranan penting. Pertama, ditemukannya prinsip-prinsip probabilitas dan statistik. Dengan prinsip ini mengukur pendapat masyarakat tidak perlu menanyai semua orang tetapi cukup beberapa ribu orang dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan menanyai seluruh populasi. Hasil polling dapat digeneralisasikan bukan hanya pada sampel orang yang diwawancarai tetapi juga populasi yang lebih luas. Dengan statistik, datapun dapat lebih didayagunakan untuk lebih memperkaya hasil secara maksimal. Kedua, perkembangan metode survei. Pada saat bersamaan metode meneliti pendapat masyarakat ini berkembang dalam bidang lain seperti untuk pemasaran, atau penelitian ekonomi. Apa pengaruhnya? Adagium yang mengatakan bahwa semakin banyak orang yang diwawancarai adalah semakin baik, tidak lagi dipandang benar. Prinsip ilmiah ini juga membawa revolusi baru pemakaian sampel: bahwa dengan mewawancarai tidak banyak orang asal dengan metode yang benar dapat menggambarkan pendapat jutaan orang. Dalam polling mereka hanya menyertakan seribu sampai dua ribu sampel untuk memprediksikan suara pilihan yang mencapai puluhan juta orang. Pada akhirnya prinsip ilmiah ini secara luas diterapkan dan dipakai dalam pengukuran pendapat umum. Karena itu pemakaian metode ilmiah dalam pengukuran pendapat umum dapat dipahami sebagai upaya agar lebih tepat mengukur pendapat masyarakat. Pendapat umum tidak lagi diukur dengan mereka-reka, mendengarkan orang berdiskusi, tetapi dengan sebuah standar pengukuran yang pasti. Dan utnuk menjamin objektivitas, menjamin kepastian dan keakuratan maka prinsip ilmiah diterapakan. Pemakaian prinsip ilmiah untuk mengukur pendapat umum juga dapat dipahami sebagai bagian dari prinsip rasionalitas: bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan metode ilmiah dipercaya dapat menghilangkan subjektivitas. Pendapat adalah sesuatu yang kompleks, tidak beraturan, tetapi dengan prinsip ilmiah dibuat menjadi teratur, dapat dikenali dan yang lebih penting dapat diukur dengan pasti. Perkembangan ini memakan waktu yang panjang, melalui proses percobaan, trial-error, sampai akhirnya ditemukan system yang mapan dan stabil. Metode ilmiah untuk mengukur pendapat umum makin lama makin disempurnakan. Hingga saat ini polling telah menjadi metode yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
A. Ekspresi Pendapat Umum : Dari Pendekatan Kualitatif ke Kuantitatif Dengan membeberkan sejarah peradaban teknik ekspresi pendapat umum, menjadi lebih jelas bagi kita mengapa polling muncul sebagai suatu bentuk ekspresi pendapat umum. Polling mempunyai dua sisi. Pertama, ketika polling dilakukan, ia sama dengan teknik penelitian lainnya. Polling Mempunyai metodologi yang sama dengan teknik penelitian survei. Menetapkan rumusan masalah, menentukan sampel, merumuskan pernyataan, dan analisis statistik mengikuti kaidah-kaidah ilmiah pada umumnya. Kedua, ketika polling dipublikasikan, ia tidak lagi hanya dipahami sebagai sebuah hasil penelitian tetapi juga sebuah ekspresi pendapat umum. Hasil dari suatu polling dianggap representasi dari suara masyarakat, karenanya polling mempunyai pengaruh secara politik. Polling merupakan bentuk ekspresi pendapat umum, hanya cara mengukur pendapat umum itu dengan jalan mengadopsi teknik penelitian ilmiah, terutama penelitian survei. Bagaimana angka dapat digunakan untuk menggambarkan keinginan dan pendapat publik? Dari sejarah dapat diketahaui bahwa pengukuran dan ekspresi pendapat umum mengarah dari pendekatan kualitatif ke kuantatif. Semua ini diantaranya disebabkan oleh perkembangan masyarakat: industri yang berkembang amat pesat pada pertengahan abad 19 membuat orang semakin jauh dari komunitas lokal dan semakin hilang dari kehidupan publik. Ruangan publik menjadi lebih sangat individualistik, terpisah dari keluarga inti dan menjadi terceraiberai dari komunitasnya. Hal ini juga pengaruh dari rasionalitas yang makin menghinggapi kehidupan masyarakat modern. Sejarah kuantifikasi pendapat umum yang pertama dikenal umat manusia adalah pemilu pada permulaan abad 18. Sebelumnya, ekspresi pendapat umum selalu dilakukan lewat demonstrasi, huru-hara atau pemogokan. Ketidaksetujuan seseorang terhadap seorang pimpinan atau suatu kebijakan diwujudkan dengan menumbangkan seorang pimpinan. Tetapi dengan pemilu suara masyarakat dikuantifikasi : berapa orang yang mendukung A dan berapa orang yang menentang. Teknik kuantitatif untuk mengekspresikan dan mengukur pendapat umum dipandang lebih “objektif� karena data numerik memberika potret yang tidak distorsi. Artinya angka dipandang sebagai potret yang lebih terpercaya mengenai pendapat umum. Ekspresi pendapat menjadi sederhana. Sebelum adanya polling, para pemimpin politik mengetahui pendapat publik dengan jalan memahami apa yang dirasakan masyarakat. Dalam cerita-cerita rakyat, mendengarkan keluhan dan masalah orang sebanyak mungkin untuk kemudian disimpulkan apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat. Karena tidak ingin mendapat laporan palsu dari patih/pembantunya, seorang raja bahkan sering disarankan untuk menyamar sebagai penduduk desa untuk mendapat gambaran yang benar mengenai kondisi masyarakat. Dengan polling teknik pengumpulan pendapat dan kehendak umum menjadi sederhana. Karena itu kompleksitasi dan seluk beluk dari pendapat hilang menjadi hilang. Kuantifikasi adalah suatu metode untuk mendapatkan yang kompleks. Kuantifikasi data dapat dibicarakan dengan cara yang sangat ringkas tentang perasan publik. Sebagai perbandingan, prilaku pada suatu demonstrasi salah satu cara untuk mengekspresikan pendapat umum
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
lebih sulit untuk digambarkan. Dalam ekspresi pendapat berupa perilaku lebih sulit untuk memahami seluk beluk dan kompleksitas tindakan dan perilaku daripada dengan mengumpulkan pendapat verbal yang diekspresikan lewat bentuk standar. Angka numerik menggambarkan secara langsung pendapat umum yang abstrak yakni “kecenderungan”. Ketidaksetujuan masyarakat terhadap suatu kebijakan cukup dirumuskan dengan 70% masyarakat menolak suatu kebijakan. Ekspresi pendapat menjadi simbolik. Lewat polling, pendapat diwujudkan dalam bentuk angka. Angka dipandang mempunyai kekuatan magis – ia menyediakan ketepatan, kegagahan dan di atas semua keilmiahan. Orang percaya bahwa angka 70% dari hasil polling yang mengatakan “70% masyarakat menolak program A” tidak sekedar angka, sebab gambaran itu adalah gambaran masyarakat. Ia merupakan pendapat seluruh masyarakat yang telah didapatkan seperti foto rontgen sebagai gambaran kondisi paru-paru atau jantung seseorang. Orang juga percaya bahwa sampel adalah representasi dari populasi masyarakat. Dengan kata lain, lewat polling pendapat umum menjadi sangat simbolik bukan hanya hasilnya yang berupa angka tetapi juga orang yang mengekspresikan pendapatnya yang diatur lewat teori sampel. Pengertian tentang publik berubah. Dengan statistika dan sampel dapat dipastikan bahwa jawaban responden dari sampel dapat digunakan untuk membuat generalisasi jawaban populasi yang lebih luas. Tetapi tetap saja muncul pertanyaan, apakah sampel dalam polling dapat kita anggap sebagai representasi publik? Apakah 1000 orang yang kita jadikan sampel, dapat dianggap mewakili 200 juta masyarakat? Secara metodologis jawabannya “ya” karena meneliti 1000 orang dengan menggunakan metode yang benar akan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan populasi yang besar. Dengan berbagai teknologi, khususnya penggunaan random sampling, polling telah mereduksi pengertian publik. Publik dalam pendapat umum berbeda dengan publik dalam pengertian polling. Publik dalam pendapat umum pada dasarnya adalah setiap orang, sementara publik dalam pengertian polling adalah mereka yang dipilih secara ilmiah sebagai responden dalam penelitian. Seperti diakatakan oleh Paul D.Cantrell : “Metode penelitian survei ketika diapakai dalam politik menciptakan bentuk lain dari publik. Publik di sini adalah adalah suatu kumpulan yang abstrak yang berbeda dengan publik yang alami.” Dalam teori politik publik adalah masyarakat yang membentuk diri secara sengaja lewat interaksi antara anggota kelompok. Kebalikannya dalam sampel, publik adalah buatan. Ia terbentuk lewat abstraksi dari teori dari statistik melalui prosedur survei dan dibangun ke dalam suatu atau lebih angka yang menunjikkan hubungan. Sampel public itu tidak dibentuk lewat usaha yang disengaja oleh anggotanya. B. Ekspresi Pendapat Umum : Dari Perilaku ke Sikap Polling mempunyai sifat berbeda dengan pendapat umum yang dikemukakan lewat cara lain. Polling adalah pendapat umum yang diekspresikan dengan menyatakan pendapat terhadap suatu isu. Lewat polling ketidak setujuan seseorang terhadap suatu kebijakan diwujudkan dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti/penyelenggara polling. Karena itu hasil ekspresi pendapat umum yang disampaikan lewat polling berupa sikap/pendapat. Sementara ekspresi pendapat umum lain seperti pemogokan, menulis
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
pamflet, mendatangi DPR, atau kampanye adalah pendapat umum yang disampaikan lewat perilaku. Ketidak setujuan seseorang terhadap tokoh politik atau suatu kebijakan tidak cukup hanya diajukan lewat mengajukan pendapat tetapi dengan prilaku yang dapat diamati. Tujuannya adalah memaksa pihak-pihak yang tidak disetujui agar mengubah kebijakannya. Bentuk ekstrim dari ekspresi pendapat umum lewat prilaku adalah melalui kudeta dan penggulingan kekuasaan. Polling sebagai bentuk ekspresi pendapat umum, mempunyai bentuk yang berbeda dibandingkan ekspresi lain seperti demonstrasi atau pemogokan. Apa pengaruhnya kalau polling dipakai sebagai ekspresi pendapat masyarakat? Pengertian tentang partisipasi politik berubah. Partisipasi dalam polling berbeda dengan partisipasi dalam arti sebenarnya. Polling berpretensi untuk menyuarakan pendapat masyarakat, tetapi pendapat itu diwakili kepada mereka yang terpilih sebagai sampel. Mereka yang berpartisipasi, memberi penilaian terhadap pemerintah, memberikan kritik suatu kebijakan hanyalah mereka yang menjadi sampel dalam polling. Seseorang tidak (berhak) menyuarakan pendapat jika ia tidak menjadi sampel. Dalam realitas dunia nyata, partisipasi seseorang bukan dipilih, tetapi seseoranglah yang memutuskan untuk berpartisipasi misalnya mengikuti pemilu, kampanye, aktif di partai politik dan sebagainya. Paul D. Cantrell mengomentari partisipasi politik dalam polling demikian: “Bahasa sampel menolong kita untuk menunjukkan perbedaan diantara dua „sistem perwakilanâ€&#x;. Dalam penelitian survei, sampel ilmiah diambil dari populasi yang didesain secara objektif. Setiap orang atau responden dalam populasi itu mempunyai kesempatan sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Dalam pemilu, populasi idealnya adalah semua orang yang menurut kriteria yang ditetapkan mempunyai hak pilih. Sampel dengan demikian adalah seseorang yang secara nyata menggunakan hak pilihnya. Sedangkan sampel untuk perwakilan (kandidat yang berkampanye) adalah proposi suara yang diperoleh dari publik yang mendukungnya. Seleksi dari sampel politik ini tidak didasarkan pada aturan atau hukum objektif ilmiah. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan atau tidak hak pilihnya. ketika mereka memutuskan untuk memilih, keputusannya tidak didasarkan pada pertimbangan yang ilmiah. Keputusan itu dibentuk lewat dorongan hasrat, perasaan suka atau tidak suka dan sama sekali bukan dibentuk lewat perhitungan yang objektif.â€? Perbedaan yang lain, partisipasi dalam pengertian pendapat umum sesungguhnya tidak dapat diwakilkan – seperti dalam pemilu seseorang tidak bisa menitipkan hak suaranya kepada orang lain. Sebaliknya, dalam polling, partisipasi seseorang dalam mengajukan tuntutan/pendapat justru diwakilkan. Misal; Misal; Pendapat masyarakat sejumlah 850 ribu orang yang tidak setuju pembangunan Semen Indonesia diwakili oleh pendapat 1.000 orang responden. Agenda isu tidak ditentukan oleh publik. Dalam ekspresi pendapat umum melalui polling, isu tidak ditentukan oleh masyarkat, tetapi oleh penyelenggara polling. Masyarakat tidak ikut menentukan agenda-agenda yang penting, mereka hanya tinggal menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Polling mengurangi kemungkinan warga masyarakat untuk mengambil bagian dalam agenda-agenda politik yang penting. Topik polling pendapat umum diseleksi dan dibuat oleh pelaksana polling dan tidak ditentukan oleh warga masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Verba berikut: “Penelitian survei mempunyai pengaruh dihubungkan dengan agenda. Pertama, karena inisiatif diambil oleh peneliti dari orang yang diteliti, agenda mencerminkan kepentingan dari pelaksana polling. Hal ini membuat orang mengungkapkan pendangan dan perhatian hanya pada apa yang menurut peneliti dipandang penting. Kedua, pada saat peneliti mempunyai agenda sendiri, seperti upaya menaikkan pembaca atau menemukan informasi untuk membantu kandidat tertentu, atau untuk mengetes suatu teori bagian isu yang diungkapkan berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran responden.� Masyarakat kehilangan kontrol atas agenda persoalan yang penting, dan agenda yang tampak dalam polling boleh jadi berbeda dengan agenda yang dipikirkan oleh masyarakat. Seorang petani buah yang produknya terpengaruh akibat hadirnya buah impor, boleh jadi mengatakan bahwa masalah ini adalah agenda yang terpenting bagi dirinya. Tetapi masalah ini boleh jadi tidak akan menjadi agenda publik sebelum pelaksana polling mengangkatnya dalam polling. Karena itulah, menurut Ginsberg, lebih efektif pendapat umum diekspresikan lewat aksi massa dan demonstrasi dimana para petani yang tidak setuju dengan liberalisasi perdagangan hasil pertanian dapat mengorganisir diri dan melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintah memperbaiki tata perdagangan buah import. Dalam ekspresi pendapat umum lewat demonstrasi, masyarakat yang menentukan tema dan agenda yang hendak diperjuangkan. Komitmen publik berbeda. Menurut Ginsberg ekspresi pengungkapan pendapat umum lewat polling pendapat umum jauh lebih mudah dibandingkan ekspresi pendapat umum lewat tulisan, demonstrasi atau suatu pemogokan, dimana pendapat umum selalu dibentuk oleh masyarakat atau publik yang amat jelas komitmen dan perhatiannya pada masalah yang diperjuangkan. Sedangkan dalam polling setiap orang hanya menanggapi setiap pernyataan yang dinyatakan. Dalam pendapat umum yang diwujudkan lewat prilaku, anggota dan dukungan dapat dikenal dengan jelas. Tidak demikian halnya dengan polling, dimana dukungan publik terhadap suatu isu hanya berhenti pada sikap atau pendapat. Sebelum membicarakan metode polling, penting untuk mengetahui di mana posisi polling itu dalam kerangka metode penelitian ilmiah. Polling ditujukan untuk menggambarkan karakteristik personal diri orang dalam jumlah besar mengenai susuatu apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka ketahui. Untuk mengetahui semua hal/karakteristik tersebut, peneliti bukan mengamati tindakan seseorang. Tetapi menanyakan kepada mereka. Akan lebih mudah memahami posisi polling itu dengan menunjukkan di mana letak polling dalam metode penelitian ilmiah secara umum.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
C. Tipe Penelitian Ilmiah Tipe penelitian ilmiah dibagi berdasarkan pada dua hal, yaitu tipe informasi apa yang kita butuhkan dan sifat penelitian ilmiah. Ada dua tipe informasi yang berbeda. Menggambarkan prilaku adalah beratnya soal “how” dan bukan menyatakan “why”. Kalau ada penelitian yang menyatakan bahwa 60% masyarakat tidak setuju dengan pembangunan Semen Indonesia, itu adalah suatu deskripsi. Untuk menjelaskan kenapa banyak yang menolak, lebih sulit. Kita perlu mengetahui karakteristik responden antara mereka yang tidak setuju dan kemudian menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan itu. Untuk menjelaskan perilaku, kita harus menunjukkan hubungan antara “sebab” dan juga “akibat”. Jika penelitian kita menginginkan untuk mengetahui sebab suatu perilaku, kita melakukan survei dari orang yang sama dengan perlakukan yang berbeda. Sedangkan sisi lain adalah mengenai sifat penelitian. Apakah data penelitian itu berlaku unik, hanya bisa diterapkan pada sampel penelitian kita, ataukah data penelitian itu dapat diegeneralisasikan untuk populasi yang lebih luas. Dalam tipe penelitian yang pertama (non-generalisasi), hasil penelitian hanya menjelaskan sampel penelitian, ia tidak dapat digunakan untuk menggambarkan populasi yang lebih luas. Seorang peneliti yang meneliti mengenai suku di Kalimantan hasilnya hanya dapat diterapkan pada sampel. Semetara pada tipe penelitian kedua (generalisasi), justru penelitian bertujuan agar informasi dan data yang diperoleh dari sampel dapat dipergunakan untuk melihat populasi yang lebih luas. Sampel hanyalah alat untuk melihat gambaran populasi yang lebih luas. Kita akan membahas sedikit mengenai berbagai tipe penelitian itu sekedar memperoleh gambaran dan perbandingan.
Gambar 4.1 : Tipe-tipe penelitian ilmiah SUMBER : Adaptasi dari Charles H. Backstone and Gerald hursh-Cesar, Survey Research, Second Edition, New York, John Wiley&Sons, 1981, hal.11 Menggambarkan perilaku tanpa generalisasi. Tipe penelitian ini adalah menggambarkan perilaku tanpa bertujuan menerapkan data sampel ada populasi yang lebih luas. Studi kelompok kecil (small group study) adalah pendekatan klasik dari Antropologi: suatu studi
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
yang intensif pada satu atau beberapa buah komunitas, bisa berubah kelompok etnik, suku, sebuah assosiasi dan sebagainya. Peneliti harus sering kali harus tinggal ditempat studi, melakukan observasi mendalam, wawancara dan mencatat secara detail dan saksama perilaku individu. Meskipun studi ini secara mendalam dapat memperoleh informasi yang tajam mengenai perilaku kelompok, ia hanya berlaku unik, hanya dapat digunakan untuk menggambarkan kelompok itu. Kita bisa menggambarkan metode ini pada kasus perkelahian pelajar. Dalam isu ini, penelitian akan masuk kekelompok yang diprediksikan berpotensi sebagai perilaku perkelahian yaitu kelompok pertemanan. Peneliti mengamati dari dekat bagaimana pola pergaulannya, bagaimana hubungannya dengan keluarga, dan sebagainya. Dari studi semacam ini kita memang akan memperoleh informasi yang dalam, karena peneliti masuk dan terlibat dalam kelompok pertemanan itu, mengamati dari dekat, peneliti dapat lebih objektif mendapatkan gambaran persoalan. Peneliti dapat melihat sendiri bagaimana cara remaja bergaul, hubungannya dengan orang tua, dan pandangannya terhadap perkelahian pelajar dan sebagainya. Tetapi hasil penelitian ini hanya berlaku untuk sampel, ia tidak dapat diterapkan katakanlah untuk seluruh pelajar Jabotabek. Hampir mirip dengan studi ini adalah wawancara mendalam (dept interview) yang digunakan untuk mengeksplorasi lebih jauh suatu persoalan. Setiap topik digali lebih dalam dengan pertanyaan yang lebih tajam sehingga dapat menggambarkan lebih rinci suatu masalah. Tetapi berbeda dengan studi kelompok kecil, dalam wawancara mendalam peneliti tidak perlu terjun kedalam kelompok pertemanan. Ia hanya perlu melakukan wawancara beberapa kali kepada kelompok yang sering melakukan perkelahian pelajar, dan menanyakan berbagai hal yang diperlukan untuk mengungkapkan perkelahian pelajar lebih dalam. Bentuk penelitian lain adalah informan kunci (key informant), penelitian dengan jalan mewawancarai beberapa orang yang dianggap tahu mengenai suatu persoalan. Dalam contoh kasus perkelahian pelajar, kalau peneliti ingin mengetahui pandangan pelajar Jabodetabek terhadap perkelahian pelajar, peneliti dapat mewawancarai beberapa orang yang mempunyai informasi mengenai masalah ini. Ia bisa mewawancarai beberapa orang yang pernah terlibat bahkan pernah di penjara gara-gara perkelahian pelajar. Responden karena pernah terlibat perkelahian pelajar, bisa menjelaskan bukan hanya dirinya tetapi juga teman-temannya, beberapa kali terlibat perkelahian, apa yang menyebabkan kemarahan pelajar, dimana mereka sering mangkal dan sebagainya. Peneliti dapat juga mewawancarai beberapa orang guru yang dipandang mengetahui kebiasaan dan perilaku anak didiknya di sekolah. Meskipun responden boleh jadi mempunyai banyak informasi, penelitian itu tidak dapat dipercaya menggambarkan pandangan pelajar Jabodetabek. Studi yang lain adalah menggunakan sampel non-probabilitas. Responden dipilih berdasarkan kriteria dan karakteristik tertentu yang relevan untuk studi misalnya dengan sampel kuota. Dipilih 500 orang pelajar, 250 pelajar pria dan 250 pelajar wanita, atau 250 pelajar dan 250 orang tua dan pembagian responden yang lain yang dipandang relevan; contoh lain antara pelajar SMA dan pelajar kejuruan, antara pelajar kota dan desa atau pinggiran kota
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
dan sebagainya. Penelitian dapat menggambarkan bagaimana mereka memandang perkelahian pelajar, bisa diperbandingkan antara satu kelompok dengan kelompok lain, perbedaan pandangan antara pelajar dan orang tua dan sebagainya. Tetapi karena sampel itu tidak dipilih secara probabilitas (random), 500 sampel itu tidak dapat disebut mewakili semua pelajar Jabodetabek. Menggambarkan perilaku dengan generalisasi. Berbeda dengan penelitian tipe pertama, pada tipe penelitian kedua ini hasil dari penelitian dapat dipakai untuk menggamabarkan populasi. Penelitian yang ekstrim adalah sensus. Dalam penelitian ini, semua anggota populasi diwawancarai. Kalau kita ingin mendapatkan gambaran pendapat pelajar Jabodatebak terhadap perkelahian pelajar, kita harus mewawancarai semua pelajar SMA. Karena jumlah yang diwawancari sangat banyak, tidak mungkin mengamati perilaku atau melakukan wawancara mendalam, tetapi cukup memakai kuisioner. Dalam sensus, tentu saja datanya sangat akurat karena semua sub populasi diperhitungkan. Sensus meskipun akurat tetapi amat mahal. Karena membutuhkan waktu lama dan jumlah orang yang diwawancari yang amat banyak, sensus bukan metode yang efektif. Ada metode lain yang lebih efektif yakni survei sampel, yaitu suatu metode dengan menggunakan jumlah orang yang sedikit (sampel) untuk menggambarkan populasi yang luas. Pengambilan sampel didasarkan pada teknik-teknik probabilitas ilmiah. Dalam contoh kasus di atas, untuk mengetahui pendapat pelajar Jabodetabek kita cukup mengambil 500 sampel pelajar. Ke 500 sampel tersebut diambil dengan menggunakan prosedur ilmiah yang ketat sehingga 500 tersebut dapat mewakili pelajar Jabodetabek. Karena sampel diambil dengan kesempatan yang sama, hasilnya dapat digeneralisasikan untuk menggambarkan pelajar secara keseluruhan. Polling termasuk dalam tipe survei sampel ini. Survei sampel hanya dapat menggambarkan sikap, pandangan atau pendapat ketika penelitian itu dijalankan. Kalau waktunya telah lewat, hasilnya sudah tidak akurat karena pendapat atau pandangan seseorang sangat mungkin berubah. Untuk maksud meneliti perubahan pendapat ada survei rangkaian waktu (multiple time survey), yang digunakan untuk menggambarkan perubahan pendapat dari waktu yang berbeda. Survei rangkaian waktu yang mewawancarai individu yang sama dengan waktu yang berbeda disebut sebagai panel studi. Di sini dapat ditunjukkan perubahan pandangan idnividu dari satu waktu ke waktu yang lain individu di wawancarai berkali-kali dengan topik yang sama. Survei rangkaian waktu yang lain adalah sampel independen, di mana tidak memerlukan sampel yang tetap tetapi bisa memakai sampel baru yang idenpenden yang diambil dari populasi yang sama. Dengan memakai survei rangkaian waktu survei kita dapat melihat perubahan pendapat seseorang. Setelah kepolisian berjanji akan menindak tegas tanpa pandang bulu pelaku perkelahian pelajar, ketika banyak ahli hukum yang mengatakan bahwa pelaku perkelahian dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal; kita dapat melihat apakah ada perubahan sikap/pendapat pelajar Jabodetabek sebelum dan sesudah ada tindakan tegas. Kita bisa juga mengetahui bagaimana perbedaan pendapat pelajar sekarang dengan katakanlah 5 tahun lalu untuk melihat pergeseran orientasi.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Menjelaskan munculnya perilaku tanpa generalisasi. Tujuan penelitian tipe ini adalah menjelaskan mengapa terjadi perilaku tertentu, mengapa banyak pelajar berperilaku beringas, apa yang menyebabkan munculnya perkelahian suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan penelitian tipe pertama dan kedua. Pada tipe penelitian pertama dan kedua, hanya gambaran perilaku, sikap atau pendapat yang bisa disajikan: bahwa 5% pelajar Jabodetabek pernah melakukan perkelahian, atau 60% pelajar setuju pelaku perkelahian dianggap kriminal. Dalam penelitian deskripsi, informasi yang didapat misalnya kebanyakan pelaku kebrutalan pelajar suka menonton film kekerasan, bahwa mereka umumnya berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan sebagainya. Semua informasi itu hanya menggambarkan sikap atau perilaku, tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat. Apakah karena mereka berasal dari keluarga tidak harmonis lalu dapat disimpulkan sebagai penyebab mereka gampang emosi, apakah karena mereka suka menonton film kekerasan menyebabkan perilakunya tidak terkendali? Tentu saja tidak semudah itu. Tipe penelitian ketiga dan keempat dapat menjawab pertanyaan itu. Studi kasus (case study) adalah tipe khusus dari studi kelompok kecil. Studi kasus memusatkan pada perubahan perilaku pada kelompok kecil. Peneliti terlibat secara intensif dalam situasi studi, mengamati dengan seksama proses perubahan pendapat atau perilaku. Studi kasus sering disebut studi lapangan non eksperimental. Sebagaimana dalam banyak studi kelompok kecil, peneliti hadir dalam objek studi tanpa merusak fungsi normal kelompok. Peneliti bisa masuk dalam kehidupan kelompok dan dalam jangka waktu lama mengamati perubahan yang muncul; misalnya keluarga pelajar tiba-tiba tidak harmonis dan mencatat reaksi terhadap perubahan perilaku. Bentuk lain adalah kuasieksperimental. Pada peneliti ini peneliti tidak mampu meletakkan subjek secara acak pada kelompok eksperimen atau kelompok kontrol. Misalnya peneliti menduga bahwa kenakalan remaja akibat faktor ketidak harmonisan keluarga. Peneliti mengambil dua kelompok keluarga: keluarga yang harmonis dan keluarga yang tidak harmonis. Untuk melihat hasilnya, peneliti membandingkan data di antara kedua kelompok ini dengan membandingkan hasil pengukuran dengan kelompok kotnrol. Proyek demonstrasi adalah jenis lain dari studi kasus. Dalam penelitian ini, peneliti membuat sebuah program yang spesifik untuk mendapatkan fakta-fakta yang dapat memperjelas persoalan. Misalnya kalau peneliti berasumsi bahwa perilaku beringas pelajar diakibatkan tanyangan kekerasan pada televisi, peneliti dapat meneliti dengan memberi perlakuan dengan jalan memberi tayangan film kekerasan dan mencari perubaha sikap, atau pun perilaku yang muncul. Tetapi hasil penemuan ini tidak dapat digeneralisasikan, karena temuan belum dibandingkan dengan kelompok kontrol mereka yang tidak menonton tayangan kekerasan. Menjelaskan munculnya perilaku dengan generalisasi. Eksperimen lapangan dengan kontrol (controlled field experiment) adalah usaha untuk menjelaskan perilaku di mana hasilnya dapat diterapkan untuk populasi yang lebih luas. Penelitian dibuat dalam suatu desain eksperimen. Kita melakukan observasi kelompok dunia nyata (sebelum) kemudian diberikan sebuah perlakuan dan mengamati perubahan sikap setelah perlakuan diberikan. Kalau penelitian berasumsi bahwa kenakalan remaja akibat banyaknya tayangan film
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
kekerasan yang menyebabkan tindakan agresif, maka dibuat eksperimen dengan dua kelompok. Satu kelompok diberi perlakuan tayangan film kekerasan sedangkan satu kelompok lain tidak mendapat perlakuan. Kemudian dilihat ada tidaknya perubahan sikap setelah mereka menonton tayangan film kekerasan dan hasilnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Simulasi adalah melakukan duplikasi dunia nyata ke dalam bentuk dunia buatan yang dapat dikontrol oleh peneliti untuk melihat adanya perubahan sikap setelah diberikan perlakuan baru. Dalam simulasi, diciptakan suatu situasi yang seolah-olah nyata dalam laboratorium. Misalnya dibuat hubungan keluarga yang tidak harmonis, kemudian diamati ada tidaknya perubahan emosi agresivitas remaja. Bentuk lain dari simulasi adalah role playing: di mana realitas dibentuk misalnya dengan membuat keluarga yang tengah bentrok yang dimainkan sepeti drama oleh para pelajar dan mengamati perubahan emosi di dialamnya. Bentuk lain dari tipe penelitian keempat ini adalah experiment physical laboratorium (eksperimen laboratorium fisik). Karena kondisi dalam laboratorium fisik dikontrol secara hati-hati, dan karenanya lebih banyak berada dalam realitas fisik, kita mendapat kepercayaan untuk menggeneralisasikan hasil eksperimen laboratorium tentang sebab dan akibat munculnya perilaku. D. Karakteristik Polling Polling adalah suatu kerja pengumpulan pendapat umum dengan menggunakan teknik dan prosedur ilmiah. Hal ini untuk membedakan dengan kerja pengumpulan pendapat umum lain tidak menggunakan penelitian ilmiah seperti mendengarkan obrolan di warung kopi, wawancara dengan orang di jalan, seminar, protes, pengerahan massa dan sebagainya. Metode yang dipakai untuk mengenali pendapat itu adalah survei yakni suatu metode di mana objek adalah orang/individu dan menggunakan kuisioner sebagai alat untuk mendapatkan data/informasi. Ada beberapa defenisi kunci yang dapat dicatat dari karakteristik polling. Polling adalah metode dengan memakai sampel untuk menggambarkan sikap/pendapat populasi. Meskipun memakai sampel, hasilnya dimaksudkan untuk dapat digeneralisasikan pada populasi yang luas. Karena itu dalam penerapan sampel, sangat disarankan untuk memakai prinsip probabilitas sehingga hasil sampel adalah representasi dari populasi sesungguhnya. Polling hanya bisa digunakan untuk menggambarkan sikap/perilaku. Ia adalah metode yang tepat untuk mengetahui apa yang publik pikirkan, apa yang publik rasakan terhadap suatu isu/masalah. Ia dapat mengukur pendapat orang mengenai aborsi ; setuju atau tidak setuju apabila aborsi dilakukan menggambarkan preferensi atau intensitas terhadap pilihan pendapat, tetapi hanya berhenti sampai disana. Ia tidak dapat menjelaskan kepada seseorang melakukan aborsi, apa yang menyebakan seorang wanita membunuh janin yang ada dalam kandungannya. Polling hanya bisa mengukur apa yang dirasakan orang terhadap film kekerasan di televisi – misalnya apakah menurut publik film kekerasan dapat menyebabkan perilaku destruktif, apakah film kekerasn perlu bagi remaja, apakah film kekerasn harus dihentikan dan sebagainya tetapi polling tidak dapat digunakan untuk menjelaskan apakah dengan demikian film kekerasan itu menyebabkan perilaku kekerasan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Polling digunakan untuk menggambarkan secara sistematis fakta atau karakteristik secara akurat. Akumulasi data yang diperoleh semata-mata untuk deskripsi – ia tidak berusaha untuk menguji hipotesis atau menguji suatu konsep tertentu. Polling digunakan untuk mendapatkan informasi tentang satu fenomena, dalam hal ini yang ingin didapat dari polling adalah bagaimana sikap, pandangan, keyakinan masyarakat terhadap isu-isu yang berkembang. Karena itu dapat juga dikatakan bahwa polling adalah penerapan praktis dari metode survei pemakaian metode sruvei untuk mengukur pendapat publik terhadap isuisu sosial politik. Pengertian ini untuk membandingkan dengan penerapan praktis dari metode survei untuk keperluan lain misalnya penelitian pasar. Meskipun prinsip dan metode yang dipakai adalah survei, tetapi dalam prakteknya polling lebih sederhana daripada survei akademik. Perbedaan terutama karena sifat dari polling itu sendiri. Sifat kesederhanaan itu karena polling menuntut hasil yang cepat, agar hasilnya secepatnya dapat dipublikasikan. Pertanyaan yang diajukan kepada publik juga tidak banyak biasanya tidak lebih dari 20 pertanyaan. Masalah yang ditanyakan polling juga hal-hal yang praktis: misalnya apa yang akan anda pilih dalam pemilu nanti, atau apakah anda memilih dalam pemilu nanti. Seperti dikatakan oleh Cillinda C. Lake : “Polling adalah cara sistematis, ilmiah dan terpercaya, mengumpulkan informasi dari sampel orang yang digunakan untuk mengeneralisasikan pada kelompok atau populasi yang lebih luas darimana sampel itu diambil. Polling tidak didesain untuk menyelidiki atau mengindentifikasi individu – untuk keperluan ini, lebih murah dan efesien dengan cara lain seperti penyelidikan telepon. Kesalahan menentukan tujuan polling ini dapat mengakibatkan bias informasi yang anda dapat. Polling juga tidak dimaksudkan untuk menggambarkan banyak individu secara mendalam. Untuk keperluan ini, studi kasus lebih murah dan efesien. Polling tidak bermaksud untuk menggambarkan individu atau masalah secara mendalam studi kasus adalah cara yang lebih efesien untuk itu. Polling adalah suatu pengukuran pada satu waktu untuk mengetahui sikap, perilaku, kepercayaan dan hubungan diantara semua parameter. Lewat generalisasi, hasilnya kemudian dapat diterapkan untuk masyarakat lebih luas.� Tujuan polling adalah untuk mengukur preferensi atau intensitas sikap masyarakat, dan tidak berpretensi untuk mengetahui lebih dalam penjelasan atas pilihan-pilihan itu. Misalnya isu tentang pembangunan Semen Indonesia. Polling digunakan untuk mengetahui preferensi atau intensitas sikap masyarakat apakah masyarakat setuju atau tidak setuju dengan pembangunan Semen Indonesia tersebut. Dalam penelitian survei akademik, seorang peneliti tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia ingin menjelaskan misalnya masalah perilaku pemilih (vote behavior), sosialisasi politik, kesadaran politik masyarakat dan sebgainya. Penelitian tidak cukup puas berbicara mengenai pilihan partai politik yang dipilih seseorang tetapi juga ingin mengetahui bagaimana sosialisasi politik atau pengaruh keluarga terhadap sikap politik, atau menguji hubungan pendidikan politik seseorang dengan sikap politik. Intinya survei akademik menjelaskan hubungan sosial yang kompleks. Karena itu penelitian ini biasanya membutuhkan waktu yang lebih panjang dan penguasaan konsep teoretik yang matang.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Karakteristik utama polling adalah dalam hal publikasi hasil penelitian. Pertama, waktu penyelenggaraan dan publikasi polling terbatas/pendek. Jawaban seseorang adalah pada saat wawancara dilakukan. Ketika Gerakan Anti Korupsi diluncurkan, kita perlu tahu apakah masyarakat setuju atau tidak setuju terhadap program ini. Kalau waktu wawancara tidak cepat, maka isu akan hilang. Sementara dalam survei penelitian mempunyai waktu yang lebih panjang. Peneliti misalnya tidak tertarik mempelajari pendapat terhadap Gerakan Anti Korupsi, tetapi meneliti mengenai penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Dalam penelitian survei akademik waktu tidak menjadi masalah. Survei akademik mengenai penerimaan terhadap kebijakan pemerintah bisa diduplikasikan bulan ini, tahun ini, dua tahun depan, lima tahun depan dan seterusnya. Sebab mutu survei akademik tidak diukur dari aspek kebaruan konsep atau penjelasan yang dipakai. Kedua, polling hanya menangkap fakta. Polling seperti seorang kamerawan yang menangkap gambar-gambar snapshot. Menurut Burns W. Roper, polling mempunyai sifat khusus karena ia hanya mampu menangkap fakta pendapat orang pada saat polling dilakukan. Roper menyebut polling sebagai “snapshot in-time� untuk menggambarkan bahwa polling hanya menunjukkan pendapat masyarakat pada saat polling dilakukan. Karena itu yang menjadi kunci dari polling adalah gambar dan bukan detail. Ketika muncul isu UU Ormas, polling hanya menangkap apakah masyarakat menerima/menentang UU Ormas tersebut. Untuk tujuan itu polling tidak membutuhkan waktu lama. Sebaliknya dalam survei akademik yang dipentingkan adalah penjelasan dari masalah. Peneliti bukan hanya berhenti pada fakta masyarakat setuju atau tidak setuju dengan suatu program, tetapi juga menyelidiki hubungan sosial yang rumit. Karena sifatnya itu, survei akademik menggunakan sampel yang tidak besar. Sementara dalam polling tujuan utamanya adalah menggambarkan pendapat masyarakat. Menurut Cellinda C. Lake, agar presisi/tepat, sampel yang dipakai dalam polling ukurannya besar dan terutama sekali memakai metode acak supaya hasil polling dapat digeneralisasikan untuk menggambarkan populasi.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB V POLLING DAN MEDIA Wartawan dan pemikir besar Amerika, Walter Lippman, pernah membuat marah Presiden Lyndon Johnson. Lippman adalah teman baik Johnson dan sering diundang makan maupun pertemuan empat mata di Gedung Putih. Kekecawaan Johnson pada Lippman karena ia selalu menulis di Koran mengenai ketidaksetujuannya terhadap Perang Vietnam padahal disaat itu Amerika tengah menggelorakan semangat rakyatnya untuk terus berperang. “Kenapa anda mesti menulis di koran bahwa anda tidak setuju Perang Vietnam secara tajam? Anda kan bisa ngobrol dengan saya dan mengemukakan itu langsung kepada saya” begitu kata Lyndon Johnson, kesal dan keki. Jawab Walter Lippman, “Kita memang berteman secara pribadi. Tetapi dalam profesi saya, saya harus tetap berpegang teguh pada panggilan profesi, yaitu memberitakan kebenaran dan menyampaikan pesan hati nurani bila menghadapi tantangan situasi untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani masyarakat banyak”. Sejak saat itu Lippman tidak dipanggil lagi ke Gedung Putih. Perdebatan Johnson dan Lippman ini menarik. Karena Lippman harus menulis ketidaksetujuannya di media massa. Bukankah kritik Lippman ditujukan kepada Johnson, lalu kenapa kritik itu tidak dibicarakan langsung saja kepada Johnson? Jawabannya, karena dengan menulis di media massa terjadi diskusi publik yang luas. Informasi mengenai Perang Vietnam tidak hanya dapat diakses oleh elit politik, masyarakat mempunyai kesempatan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah. Tulisan wartawan hanyalah penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak disenangi oleh penguasa yang menginginkan kekuasaannya bebas kritik. Pola pikir Johnson hampir mirip dengan Napoleon Bonaparte, diktator Prancis yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa pada awal abad ke – 18. Ia pernah menyatakan bersedia menerima kritik asal kritik itu hanya diberikan secara rahasia, empat mata untuk dibaca ia sendiri secara pribadi dan tidak perlu diungkapkan di depan publik. A. Publik Media Dibandingkan dengan teknik penelitian ilmiah lainnya, polling mempunyai perbedaan yang didasarkan pada ciri khas polling, yaitu: ia mensyaratkan publik harus tahu mengenai peristiwa/isu yang akan ditanyakan dalam polling. Hal ini karena polling menanyakan apa yang dipikirkan publik terhadap isu-isu sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Ketika kita membuat polling bagaimana pendapat masyarakat mengenai kasus kekerasan (penyiraman air keras) pada Novel Baswedan (Penyidik KPK), kita berasumsi bahwa politik yang akan kita tanyai tahu, tertarik dan mengikuti terus menerus kasus ini. Kasus ini memang menyimpan banyak kontroversi. Pihak polisi dengan yakin menyatakan bahwa kasus yang menimpa Novel Baswedan dilakukan oleh orang tidak bertanggungjawab (OTB) yang dendam atau sakit hati karena persoalan pribadi.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Sementara masyarakat yakin bahwa kekerasan yang menimpa Novel baswedan karena sikap beliau yang tegas dalam memberantas korupsi. Karena ada kontroversi itu, polling menjadi relevan dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan masyarakat mengenai kasus ini. Apakah masyarakat percaya dengan pernyataan yang dibuat oleh polisi? Tetapi sebelum polling dilakukan kita berasumsi bahwa masyarakat mengikuti kasus ini secara seksama. Tetapi bagaimana kalau asumsi ini salah, karena ternyata misalnya banyak yang menganggap kasus ini tidak penting sehingga tidak perlu diikuti? Hal ini merupakan persoalan yang bukan saja teknis tetapi juga metodologis yang akan dibicarakan dalam bab lain. Di sini cukup untuk dikatakan bahwa polling membutuhkan publik yang mempunyai intensitas yang tinggi untuk mengikuti berbagai isu. Media memainkan peranan penting karena lewat media publik mengikuti isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Polling mengukur apa yang publik pikirikan, dan dalam banyak hal bergantung pada apakah seseorang mengikuti pemberitaan di media. Kalau digambarkan hubungan tersebut adalah sebagai berikut.
Gambar 5.1 : Hubungan antara publik, media, dan polling SUMBER : Sheldon R. Fawiser and G. Evans Witt, A Journalist Guide to Public Opinion Polls, Westport, Connecticut, Praeger, 1995, hlm. 3 Publik dalam pengertian pendapat umum berbeda dengan pengertian masyarakat dalam realitas sosial. Sebab publik di sini adalah orang yang mempunyai kepentingan dengan suatu persoalan. Publik adalah suatu abstraksi, bukan seperti yang kita sebut sebagai penduduk. Karenanya anggota publik itu tidak tetap. Anggota publik berubah sesuai dengan isu atau peristiwa. Setiap isu pada dasarnya menciptakan masyarakatnya sendiri, dan setiap masyarakat biasanya terdiri dari individu-individu yang sama dengan yang membentuk masyarakat tertentu lainnya, sekalipun setiap individu pada waktu tertentu merupakan anggota dari banyak masyarakat yang berlainan. Tetapi bila timbul persoalan berupa kasus Kekerasan Novel Baswedan mereka semua akan berkumpul dan bergabung dengan anggota komunitas anti korupsi dan membentuk satu kelompok yang dihubungkan dengan isu kasus Novel Baswedan. Pendapat orang-orang inilah yang akan kita tanyakan lewat polling.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Kasus Kekerasan Novel Baswedan memang peristiwa besar, tetapi kasus ini akan membentuk masyarakat seperti dimaksud di atas kalau orang mengikuti kasus Novel Baswedan. Masyarakat yang tidak membaca media massa, tidak akan mengetahui kasus ini, dan karenanya tidak termasuk dalam publik isu kasus Novel Baswedan. Di Amerika pun yang tingkat bacanya tinggi, tidak semua anggota masyarakat mengikuti semua isu/kasus, orang yang hanya mengikuti kasus yang menarik perhatiannya. Sebagai misal ketika pada 1978 ada proyek SALT, ternyata hanya 42% publik yang mengetahui isu ini. Proyek ini bukan berati tidak penting. Tidak dapat disangsikan semua warga Amerika adalah bagian dari masyarakat isu SALT (pengawasan senjata AS – Soviet). Karena semua orang terpengaruh oleh biaya dan bahaya yang terkandung di dalamnya. Mereka yang tidak tahu, bukanlah merupakan bagian dari pendapat umum yang dipersoalkan. Sekarang mari kita kira-kira, dari 108 juta penduduk Indonesia berusia di atas 17 tahun berapa banyak yang tahu kasus Novel Baswedan? Berapa banyak yang mengetahui dan paham kasus krisis moneter? Tahu adalah konsep yang sentral dari polling. Kalau kita tidak tahu yang jumlahnya barangkali lebih banyak, tidak berarti. Kita tidak mungkin menanyakan sesuatu kepada orang yang tidak mengerti apa yang kita tanyakan. B. Keterbukaan Informasi Pendapat umum merupakan simbol legitimasi rakyat terhadap pemerintahnya. Hal itu bisa saja diperoleh dengan cara paksaan. Dengan demikian gejala ini eksis dalam sistem yang manapun juga, tetapi adanya berbagai sistem jelas akan mengakibatkan perbedaan peran pendapat umum dalam masing-masing pemerintahannya. Dalam sistem demokrasi, pemerintahan dibangun di atas dasar opini publik diperlakukan sebagai ketaatan rakyat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi terhadap pemerintahannya. Polling membutuhkan suatu keterbukaan untuk membicarakan masalah atau isu-isu sosial. Masyarakat bebas untuk menyuarakan pendapatnya sementara pemerintah dapat menerima apa yang dikritik oleh rakyat. Keterbukaan itu menyangkut dua hal. Pertama, keterbukaan untuk bebas menyuarakan pendapat, rakyat tidak sembunyi-sembunyi dalam mengekspresikan pendapatnya. Di negara fasis, proses keterbukaan semacam ini tidak ada. Masyarakat secara sembunyi-sembunyi mengkritik pemerintah, sementara pemerintah menyadap secara rahasia apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Jika pikiran rakyat itu berbahaya, akan cepat-cepat ditumpas sebelum membesar. Dalam suasana keterbukaan, baik rakyat atau pemerintah membicarakan masalah secara bersama-sama, tidak ada yang ditutupi. Kedua, keterbukaan untuk membicarakan semua masalah penting termasuk masalah yang sensitif, tidak ada previlese untuk membicarakan masalah tertentu. Di Indonesia, untuk jangka waktu lama kita tabu berbicara masalah lembaga kepresidenan betapapun pentingnya isu tersebut. Masalah kepresidenan hanya dianggap sebagai masalah MPR sehingga hanya mereka yang berhak membicarakannya. Polling pendapat umum dapat memperkuat demokrasi. Fungsi ini dapat dibentuk jika hasil polling secara mendalam tersebar dan tidak menjadi informasi di antara elit politik yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut. Dalam hal ini media mempunyai peranan
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
penting yakni membuka saluran debat publik di mana semua orang dapat berbicara secara terbuka. Mantan Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan yang meminta agar laporan kekayaan pribadi pejabat yang disampaikan kepada presiden dan atasannya untuk eselon di bawah menteri. Laporan kekayaan pribadi yang disimpan dalam laci presiden itu mirip dengan pola pikir Napoleon Bonaparte abad ke-18. Dalam sistem modern, yang diperlukan adalah transparansi dan keterbukaan, bukan sekadar arsip yang dirahasiakan. Ia harus menjadi bagian dari informasi yang terbuka untuk masyarakat luas agar secara proaktif mereka dapat menilai kinerja dan integritas pejabat yang bersangkutan dengan data dan informasi objektif, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Polling pendapat umum terhadap suatu isu hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap isu tersebut. Polling tidak dapat dilakukan jika ada informasi yang ditutupi mengenai isu itu. Misalnya, usaha pemerintah atau kelompok tertentu untuk mengontrol informasi, larangan terhadap media untuk meliputi kasus itu, atau penyebaran informasi palsu kepada masyarakat. Akibatnya, khalayak tidak mendapat kejelasan dan informasi yang sesungguhnya mengenai isu itu. Jikalau tetap saja dilakukan polling, yang kita ukur bukan lagi pendapat masyarakat tetapi kebingungan masyarakat. Mengenai hal ini, Dedy N. Hidayat mengajukan pendapat menarik yang dikutip agak panjang dibawah ini: “Apa signifikansi sebuah pendapat umum bagi sebuah sistem demokrasi bila proses pembentukannya berlangsung dalam suatu konteks struktual yang tidak memberi keleluasaan bagi tiap individu anggota masyarakat untuk mengemukakan dan mempertaruhkan pendapat mereka? Pendapat umum emang seringkali lebih tepat diamati sebagai ujud dinamis, suatu film (moving picture) bukan potret yang tidak bisa dilepaskan dari gambaran proses serta konteks pembentukan realitas pendapat umum itu sendiri. Pendapat umum harus dilihat sebagai suatu proses yang berjalan paralel dengan atau ditentukan oleh proses- proses politik yang berkaitan dengan hal-hal seperti derajat kebebasan media massa dalam memberitakan peristiwa tersebut, derajat persamaan akses ke media yang dimiliki berbagai kelompok politik dalam upaya mereka mengetengahkan versi definisi mereka masing-masing tentang peristiwa tersebut, serta konteks sosial, politik, budaya atau kesejarahan di mana peristiwa itu terjadi. Khususnya untuk suatu sistem demokrasi, validitas pendapat umum sebagai sumber legitimasi suatu realitas sosial, ataupun sebagai input dan feedback bagi kebijakan umum ditentukan oleh faktor sejauhmana pendapat umum itu bisa dinilai sebagai pendapat dari well-informed citizen, yakni yang proses pembentukannya berlangsung dalam suatu ruang hampa di mana tersedia cukup keleluasaan dan kesetaraan akses bagi kelompok-kelompok terlibat untuk menyajikan pendapat mereka masing-masing.� Dalam kondisi di mana tidak terdapat kebebasan yang mencukupi bagi warga negara untuk bertukar pendapat, atau di mana forum-forum pertukaran pendapat umum seperti media massa, telah didominasi oleh usaha-usaha penguasa untuk memobilisasi pendapat umum, melakukan disinformasi, propaganda sepihak, dan sebagainya, maka jelas Poll pendapat umum sebenarnya tak lebih hanyalah mengukur efektifitas segala disinformasi dan propaganda sepihak itu sendiri. Misalnya tidak dapat membuat polling mengenai
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
masalah Timor -timur. Hal ini karena tidak ada kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan pers dalam membahas masalah tersebut. Pers lebih banyak didominasi penjelasan dari versi pemerintah atau militer dan tidak menyedikan tempat versi penjelasan masyarakat Timor-timur atau tokoh anti-integrasi. Adanya informasi yang ditutupi dapat membuat pandangan yang keliru mengenai suatu isu. Karena itu sebelum polling dikerjakan, peneliti perlu melihat sejauhmana pendapat umum itu merupakan pendapat dari well informed citizen (yang hanya bisa dihasilkan oleh adanya keleluasaan dan kesetaraan akses bagi semua pihak). C. Media sebagai Penekan George Gallup pernah mengatakan bahwa polling hanya berguna jika ia didengar. Polling adalah alat yang baik untuk mengekspresikan pendapat, dan itu hanya terjadi jikalau hasilnya diperhatikan dan didengar. polling bisa meningkatkan kualitas demokrasi, sebab menjamin informasi mengalir dari bawah ke atas. Agar hasil polling efektif, diperlukan kondisi sistem politik yang mampu memaksa para elit politik mendengar suara khalayak. Agar polling mempunyai daya pemaksa itulah, polling mempunyai keharusan dimuat dalam media massa. Jika ia tidak dimuat di media massa, nasibnya mungkin hampir sama dengan ilustrasi Johnson di atas. Jutstru karena banyak ditulis di media massa, timbul diskusi publik yang akhirnya berwujud tuntutan agar Amerika secepatnya menghentikan Perang Vietnam. Dengan diberitakan, pemerintah dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan dimuat di media massa hasil polling mempunyai kekuatan dalam mengontrol pemerintah, memaksa pemerintah untuk memperhatikan hasil polling. Apabila hasil polling tidak dipublikasikan nasibnya akan sama dengan hasil penelitian akademis yang tidak mempunyai pengaruh selain menambah pengetahuan terhadap suatu masalah. Di Amerika, hasil-hasil polling dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan temuan polling mempunyai akibat langsung dalam politik, tidak semata-mata karena hasil polling itu sendiri, tetapi lebih disebabkan karena polling itu dipublikasikan oleh media. Artinya posisi media yang otonom terhadap kekuasan bahkan mengontrol kekuasaan, menyebabkan polling mau tidak mau harus diperhatikan oleh pemerintah. Sebagai contoh adalah polling di Amerika mengenai skandal Iran Contra. Hasil polling ini cukup memaksa pemerintahan Reagan untuk memperhatikan tuntutan masyarakat. Tetapi harus diingat, hasil polling berbarengan dengan liputan dan desakan media yang kuat agar pemerintahan Reagan membuka skandal ini. Pemberitaan pers Amerika pada saat itu mencapai puncak yang tinggi, dengan pemberitaan tidak kurang 300 baris tiap harinya, menempati posisi utama dan menjadi headline di hampir semua koran. Tetapi logika ini dengan kata lain ingin mengatakan, kalau polling ingin efektif dan didengarkan media harus mempunyai posisi otonom. Posisi media yang otonom penting untuk dua hal. Pertama, media mempunyai kebebasan untuk menyelenggarakan berbagai polling, termasuk polling mengenai tema-tema yang sensitif yang berhubungan dengan politik. Media otonom dalam menentukan tema apa yang akan dipollingkan, siapa yang menjadi sasaran polling dan sebagainya. Kedua, media yang
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
otonom penting agar hasil polling mempunyai pengaruh terhadap pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Polling di Amerika dan negara-negara Barat lainnya maupun mempengaruhi jalannya pemerintahan karena media mempunyai posisi sentral sebagai pilar keempat dari demokrasi. Media mempunyai kekuatan dalam mengontrol jalannya kehidupan bernegara seperti mempunyai otonomi, mengawasi pemerintah (watchdog), menyingkap penyelewengan, menggerakkan dan mewakili masyarakat, melayani masyarakat untuk mengetahui, mengkritik pemerintah dan menjadi komentator masyarakat terhadap apa yang dikerjakan pemerintah. Media massa menjalankan fungsinya dengan membuka setiap kenyataan yang berlangsung di dalam sistem politik. Polling adalah salah satu kontrol yang dilakukan oleh media, Karena dalam polling hasil kerja dan kebijakan pemerintah dinilai secara langsung oleh masyarakat. Polling dapat dikatakan sebagai tradisi media massa. Kalau dilihat sejarahnya polling dipelopori oleh media massa meski dalam perkembangan selanjutnya menyertakan berbagai lembaga penelitian. Kenapa media massa amat getol dengan polling? Polling hanyalah salah satu cara untuk memaksimalkan peran media sebagai pengontrol pemerintah selain penyelidikan perhadap pejabat pemerintah, penyingkapan berbagai skandal politik dan sebagainya. Bagaimana kalau polling dilakukan dalam suatu negara dengan posisi media lemah di depan kekuasaan? Melakukan polling menjadi hal sulit terutama kalau tema polling berhubungan dengan persoalan politik. Yang lebih penting hasil polling yang dihasilkan tidak berarti secara politik. Sebaik apapun polling itu dikerjakan, seberapapun banyaknya hasil polling itu dibaca oleh masyarakat, pemakaian polling itu amat tergantung kepada itikad baik pemerintah. Pemerintah sama sekali tidak terpengaruh hasil polling, karena berbagai kebijakan yang diambil pun tidak perlu menyesuaikan atau memperhatikan suara masyarakat sebagaimana ditunjukkan lewat angka-angka polling. Tetapi media yang otonom ini bukan tanpa kelemahan. Pada akhirnya agenda penting tidak ditentukan oleh masyarkat tetapi oleh media. Suatu masalah yang dianggap penting – dan karena itu perlu dibuat polling akhirnya tergantung kepada penilaian media mengenai isu tersebut. Media massa berfungsi menentukan agenda terhadap masalah dan kegiatan umum yang menjadi bahan perhatian khalayak. Media yang menentukan apa yang diberikan, diliput dan diabaikan. Dengan cara ini media akan mempengaruhi apa atau siapa yang hendak dijadikan bahan diskusi publik. Media mempengaruhi persepsi publik tentang peristiwa yang dianggap penting. Di sini kita bersinggungan dengan konsep yang disebut sebagai agenda setting. Polling selalu dibuat dengan asumsi bahwa masalah yang akan dipollingkan adalah masalah yang penting. Tetapi suatu masalah itu menjadi penting pada banyak hal bergantung kepada bagaimana perlakuan media terhadap masalah tersebut. Di sini adanya kecenderungan serta kemampuan media massa mempengaruhi persepsi publik mengenai isu-isu yang penting melalui pengendalian porsi liputannya. Dengan menjalankan fungsi tersebut, media lalu sadar memberikan bobot kemenonjolan atau arti penting topik atau isu yang diliputnya. Oleh karena itu, publik lalu mengadopsi penilaian media atas menonjol tidaknya suatu isu. Dengan perkataan lain, apa yang ditonjolkan oleh media massa melalui liputannya, maka dirasakan pula menonjol oleh publik.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Media massa dalam menurunkan polling senantiasa menyajikan suatu tema yang dianggap penting diketahui pembacanya. Kalau dinilai sangat penting, akan diliput dalam porsi yang besar atau ditempatkan pada posisi yang dipandang menonjol atau dengan teknik penonjolan lainnya. Pada akhirnya media ikut mengontrol agenda publik, apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting pula oleh masyarakat. Masalah apa yang akan diangkat dalam polling disesuaikan dengan isu-isu yang lagi hangat yang disajikan oleh media. Media yang mengontrol informasi dan menentukan apa yang layak dan harus dianggap penting sebagai dasar diadakannya polling. Publik boleh jadi mengartikan bahwa masalah tertentu adalah masalah penting. Ia boleh jadi tertarik dengan masalah pembatasan jabatan presiden. Tetapi apabila liputan media menghilangkan topik ini, maka hal itu tidak menjadi agenda publik.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB VI DESAIN POLLING ILMIAH A. Tahap-tahap Polling Tahap awal dari semua kegiatan polling adalah merancang desain polling. Desain yang dibuat ini menjadi dasar pelaksanaan polling yang akan dilakukan. Apa tujuan polling, topik apa yang diangkat dan metode dipakai direncanakan secara teliti dan saksama. Kegiatan membuat desain polling ini dapat dilakukan dibelakang meja, dengan mengadakan diskusi tim peneliti. -
Mengidentifikasi tujuan polling. Massalah penting dalam polling adalah merumuskan dengan tepat tujuan polling yang kita buat. Tujuan yang kita terapkan ini pada akhirnya akan menentukan semua instrument polling yang digunakan: target populasi, tipe informasi, waktu wawancara dan metode wawancara yang dipakai. Misalnya saat pemerintah akan memberlakukan UU ORMAS. Pertanyaannya, aspek mana dari UU ORMAS itu yang akan akan kita buat polling, bagian mana dari isu tersebut yang menarik. Kita misalnya ingin membuat perbandingan sikap/pendapat terhadap UU ORMAS itu antara kepentingan masyarakat dan pemerintah. Tipe informasi yang kita butuhkan adalah mengetahui pendapat atau sikap. Metode wawancara yang kita pakai adalah wawancara langsung karena para sopir kebanyakan tidak mempunyai sambungan telepon. Lain misalnya kalau tujuan polling kita adalah untuk mengetahui penilaian masyarakat perlu tidaknya UU ORMAS tersebut. Populasi kita bukan lagi pengendara kendaraan tetapi masyarakat umum. Dengan populasi itu kita bisa memakai wawancara lewat telepon. Tipe informasi yang ingin kita peroleh misalnya kepercayaan, apakah masyarakat percaya bahwa seandainya UU ORMAS tersebut dijalankan, pemerintah dapat menunaikan tugasnya dengan baik.
-
Populasi polling. Populasi polling ditentukan oleh topik dan tujuan polling yang akan dibuat. Kalau kita ingin mengetahui sikap masyarakat terhadap likuidasi bank, maka populasi yang relevan adalah para pemilik rekening tabungan di bank. Kalau kita ingin mengetahui bagaimana pendapat masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu, maka populasi yang relevan adalah para pemilih pemilu. Peneliti perlu memutuskan apakah tema polling dan pertanyaan yang akan dibuat relevan untuk setiap orang. Penelitian perlu menyadari bahwa tidak setiap isu penting bagi setiap orang, tema polling tertentu kadang tidak dapat diterapkan untuk semua orang. Kalau tema polling yang diambil peneliti adalah mengenai organisasi kemahasiswaan, maka tema ini hanya relevan untuk mahasiswa, bahkan lebih khusus lagi aktivis mahasiswa. Relevasi suatu tema dengan responden ini berhubungan dengan sejauh mana tingkat pengetahuan responden mengenai suatu isu. Isu mengenai organisasi kemahasiswaan kalau ditanyakan kepada masyarakat luas akan menciptakan banyak orang yang tidak berpendapat.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
-
Menentukan teknik penarikan sampel. Teknik penarikan sampel apa yang akan dipakai ditentukan sebelum polling dikerjakan. Pertimbangan yang dipakai untuk menentukan teknik penarikan sampel di antaranya ada atau tidak tersedianya kerangka sampel. Apabila kerangka sampel ini telah tersedia kita dapat memutuskan memakai sampel acak sederhana atau sistematis. Tetapi apabila kerangka sampel yang memuat anggota populasi ini tidak tersedia, kita dapat memakai sampel klaster jika menyusun kerangka sampel itu membutuhkan waktu lama dan dana besar. Pertimbangan lain adalah apakah populasi itu cukup menyebar atau mengumpul. Jika populasi menyebar, lebih efektif apabila memakai sampel klaster, tetapi jika populasi mengumpul, sampel acak sederhana atau stratifikasi dapat dipakai. Di luar pertimbangan metode itu, peneliti juga perlu mempertimbangkan dana, waktu dan sumber daya manusia yang tersedia.
-
Menentukan tipe informasi. Dalam polling, cara untuk mengetahui pendapat/perilaku adalah dengan bertanya, data tidak diperoleh dengan observasi atau partisipasi tetapi dengan menanyakan langsung kepada responden. Dengan suatu daftar pertayaan (kuesioner) kita bertanya apa yang mereka rasakan atau pikirkan terhadap isu-isu tertentu yang muncul. Karenanya kuesioner mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai alat di mana data itu diperoleh. Data mengenai umur, sikap, pedapat, diperoleh lewat kuesioner. Kedua, kuesioner itu juga alat untuk “mengukur� pendapat seseorang. Dengan instrument itu, pendapat orang yang ada dipikiran dikeluarkan. Instrument itu juga yang mengkategorikan apakah pendapat itu setuju, tidak setuju, dan sebagainya. Ketika kasus aborsi mencuat ke permukaan, pada dasarnya orang yang mengetahui kasus itu mempunyai pendapat terhadap aborsi. Tetapi pendapat itu masih ada dalam benak masing-masing orang, pendapat itu baru tersimpan dan baru terekspresikan misalnya dalam obrolan di warung, diskusi, seminar, dan sebagainya. Pendapat itu bisa juga tiba-tiba diekspresikan lewat demonstrasi di DPR yang menuntut UU Anti Aborsi atau demonstrsi ke kepolisian dengan tuntutan penutupan klinik aborsi. Kuesioner pada dasarnya adalah sebuah alat untuk mengekspresikan apa yang dipikirkan orang sehingga pendapat itu dapat dikenal, transparan, dan dapat dianalisa. Ada beberapa hal yang dapat diukur oleh polling yakni: mengukur sikap, kepercayaan, pengetahuan dan perilaku. Pertanyaan sikap mengukur pemikiran, perasaan, atau penilaian tentang isu, peristiwa, masalah atau kebijakan dengan menghitung frekuensi proposi responden yang mendukung atau menentang isu atau kebijakan tertentu. Pertanyaan untuk menanyakan kepercayaan didesain untuk mengukur apakah masyarakat berpikir bahwa suatu isu adalah benar ataukah tidak, atau apakah mereka percaya atau tidak percaya dengan sesuatu. Sebagai contoh pertanyaan berikut didesain untuk mendapatkan data apakah responden percaya dengan tindakan yang akan dilakukan oleh Gubernur Jakarta. “Apakah anda berpendapat Gubernur tahun depan akan membolehkan becak beroperasi di Jakarta?� Apakah tahun depan gubernur memang membolehkan becak beroperasi di ataukah tidak, tidaklah penting. Tujuan dari pertanyaan kepercayaan adalah untuk
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
menetukan apakah responden percaya bahwa gubernur akan melakukan tindakan tertentu. Sementara pertanyaan tentang pengetahuan dipakai untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap suatu isu/program. Pengetahuan menunjukkan tingkat perhatian, dan dengan demikian menggambarkan sejauh mana suatu isu/kebijakan tertentu diterima oleh masyarakat. Suatu program katakanlah Gerakan Disiplin Nasional dapat dikatakan masyarakat kalau banyak orang yang mengetahui adanya program tersebut. Sedangkan pertanyaan tentang perilaku menanyakan apakah seseorang melakukan suatu tindakan dimasa lalu, atau apa yang dilakukannya saat ini, atau apa rencana yang akan dilakukannya di masa depan. Misalnya apakah masyarakat memilih dalam pemilu, berapa kali seseorang memakai fasilitas umum, atau pernahkah mengalami peristiwa tertentu selama setahun ini dan sebagainya. Kita harus merencanakan secara tepat tipe pertanyaan yang dipakai. Apakah kita ingin mengukur sikap, kepercayaan, pengetahuan ataukah perilaku? Dengan memutuskan tipe informasi yang diperlukan, peneliti dapat memfokuskan pada pertanyaan yang lebih spesifik. Ketika ada isu aborsi, apakah peneliti ingin mengetahui sikap masyarakat terhadap aborsi (sikap/pendapat), ingin mengetahui apakah masyarakat percaya bahwa pemerintah akan membuat UU Anti Aborsi (kepercayaan), berapa orang remaja yang melakukan aborsi (perilaku) ataukah pengetahuan masyarakat mengenai peristiwa pembuangan bayi (pengetahuan). Tipe informasi itu memang dapat disajikan tersendiri, tetapi penelitian dapat memutuskan untuk memasukkan tipe informasi tersebut. Ini misalnya berhubungan dengan pertanyaan yang sifatnya kompleks dan kontroversial di mana perlu memasukkan dimensi penting dari pendapat, sikap, kepercayaan atau perilaku. Misalkan polling mengenai aborsi dengan responden para remaja, peneliti tidak cukup hanya menanyakan apakah mereka melakukan aborsi (perilaku), tatapi perlu juga ditanyakan apakah mereka setuju dengan aborsi (sikap) untuk melihat konsistensi perilaku dan sikap. -
Waktu wawancara. Desain polling juga harus mempertimbangkan apakah polling dibuat untuk sekali waktu (survey cross-sectional) ataukah rangkaian waktu (survey longitudinal). Polling dapat dipandang sebagai pendapat yang disampaikan seseorang pada waktu wawancara dilakukan. Jenis ini akan sangat baik untuk mengeksplorasi atau mendeskripsikan informasi. Polling juga dapat dipandang sebagai bagian dari survei longitudinal yang mengumpulkan pendapat individu dari suatu waktu ke waktu lain. Ini berati tujuan dari pengukuran adalah untuk melihat perubahan dan mengidentifikasi kecenderungan perilaku, sikap atau kepercayaan masyarakat. Perbedaan utama desain polling cross sectional dan longitudinal adalah pada survei longitudinal harus menanyakan secara tepat pertanyaan yang sama setiap waktu, dan melihat perubahan yang dapat dipilih setiap waktu. Pertanyaan baru dan variabel dapat dimasukkan tetapi kesimpulan tentang bagaimana pendapat atau perubahan karakteristik dari tiap waktu hanya dimungkinkan untuk item yang ditanyakan dari satu polling ke polling lain. Jika polling didesain untuk survei longitudinal, desain harus dibuat lebih hati-hati dalam merumuskan pertanyaan untuk mengantisipasi jenis informasi yang akan digunakan dalam membuat kesimpulan.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
-
Menentukan metode wawancara. Metode wawancara ditentukan sebelum polling dijalankan; apakah memakai metode wawancara langsung, lewat surat atau wawancara lewat telepon. Dalam tahap perencanaan, hal yang harus diperhitungkan di antaranya topik dari polling. Apakah tema polling membutuhkan kecepatan untuk diduplikasikan ataukah tidak. Polling mengenai aborsi misalnya tidak mendesak untuk secepatnya dipublikasikan, tetapi polling dengan tema aktual misalnya mengenai penilaian masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dibutuhkan wawancara yang cepat sehingga hasil polling dapat secepatnya dipublikasikan. Kalau menghendaki hasil polling cepat dipublikasikan maka dibutuhkan metode wawancara yang cepat yakni lewat telepon. Pertimbangan lain adalah bagaimana kedalaman suatu informasi yang dibutuhkan. Kalau polling bertujuan mendapatkan informasi yang lebih akurat maka wawancara langsung adalah yang paling tepat. Hal ini karena dalam wawancara langsung, peneliti dapat leluasa untuk mendapatkan informasi dari responden. Sementara kalau polling hanya bertujuan untuk memotret pendapat masyarakat, maka polling lewat telepon dapat dipertimbangkan untuk dipakai.
Pertimbangan penting lain adalah karakteristik dari target populasi yang akan diwawancarai. Misalnya polling tentang pemilu lebih baik tidak menggunakan wawancara lewat telepon. Kenapa? Sebab metode ini masyarakat populasi adalah pemilik telepon. Padahal dengan membuat polling mengenai pemilu target populasinya adalah masyarakat desa dan kota banyak masyarakat yang tidak mempunyai sambungan telepon. Telepon hanya dimiliki kebanyakan oleh masyarakat kota/kelas menengah terpelajar. Polling lewat telepon hanya efektif digunakan jika target populasinya adalah masyarakat kelas menengah, misalnya polling tentang Gerakan Cinta NKRI, atau polling tentang kesehatan. Kalau karakteristik target populasi heterogen menyertakan masyarakat desa kota, masyarakat berpendidikan rendah tinggi, berpenghasilan tinggi rendah polling dengan wawancara langsung juga efektif dipakai untuk populasi yang mengumpul pada satu lokasi. Misalnya polling mengenai nasib buruh dengan target populasi buruh pabrik di Tangerang, responden akan mudah ditemui dengan mendatangi mereka secara langsung. Sementara polling lewat suara dipakai apabila populasi polling menyebar ke daerah yang luas yang sukar dijangkau dan membutuhkan waktu dan biaya besar untuk mendatangi responden. Misalnya polling mengenai guru di daerah di mana populasi menyertakan guru-guru yang ada di daerah terpencil. Adalah tidak efektif untuk mengunjungi mereka dari satu daerah ke daerah lain, tetapi lebih efektif lewat surat. Prinsip sampling: mendapatkan informasi keseluruhan hanya dengan menggunakan sebagian orang. Kita tidak mungkin berbicara dengan semua orang dalam suatu komunitas, kita hanya mengambil beberapa orang yang mempunyai karakteristik sama dengan populasi sehingga sampel kita merupakan representasi dari populasi. Sampling adalah sebuah prosedur di mana kita dapat menarik dari orang dalam jumlah besar (kita sebut sebagai populasi) menjadi hanya sebagian orang (sebagai sampel). Sampel sebenarnya konsep yang bisa kita temui sehari-hari. Kita “mensampel� pendapat orang lain untuk belajar memahami realitas. Kita juga mendapat informasi dari beberapa orang untuk mengetahui berbagai isu yang penting.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Tetapi kita harus hati-hati untuk menggeneralisasikan pendapat beberapa orang tersebut. Kalau ingin lebih teliti kita harus menanyakan banyak orang lagi dengan harapan menemukan lebih banyak perbedaan pendapat. Tetapi setiap hari kita berhubungan dengan orang lain yang kebanyakan kita sukai dan mendapatkan jawaban yang kebanyakan kita inginkan. Di sini banyak kemungkinan bahwa mereka yang kita kuping pendapatnya itu tidak cukup akurat menggambarkan secara penuh derajat perbedaan pendapat dalam komunitas secara keseluruhan. Karena itulah kita membutuhkan prinsipprinsip sampel ilmiah agar kita dapat berbicara pada komunitas yang luas dengan menggunakan informasi beberapa orang. B. Sampel Polling Ada dua alasan kenapa kita memakai sampel. Pertama, berhubungan dengan waktu dan biaya. Dengan sampel, waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan polling menjadi lebih singkat sehingga kecepatan hasil dari polling dapat lebih terjamin. Pemakaian sampel juga dapat menekan biaya yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan polling. Kedua, secara metodologis hasil dari suatu survei yang memakai sampel seringkali bahkan lebih akurat dibandingkan dengan sensus yang mewawancarai seluruh anggota populasi. Kenapa? Earl R. Babbie memberikan alasan yang bagus. Sensus memang memungkinkan seorang peneliti untuk meneliti pendapat semua anggota sehingga kesalahan yang disebabkan oleh sampel dapat dihilangkan. Tetapi penelitian dengan tipe sensus berarti lebih banyak lagi yang harus diwawancarai, sehingga kemungkinan kesalahan juga semakin besar. Dengan tipe sensus dibutuhkan lebih banyak pewawancara dalam jumlah besar, seorang peneliti harus mengontrol staf agar dapat melakukan wawancara dengan baik, tetapi seringkali kualitas sukar dikontrol. Semakin banyak orang berarti semakin banyak kesalahan dalam hal pengorganisasian data, wawancara koding, dan analisis data. Mewawancarai semua anggota populasi juga berakibat waktu wawancara menjadi lebih panjang sebagai akibatnya datanya bukan hanya out of date tetapi juga bisa terjadi pendapat individu akan berubah. Kita ingin mewawancarai pendapat masyarakat mengenai penerapan nomor kendaraan Ganjil Genap dalam jalur di Jakarta. Untuk mewawancarai katakanlah semua penduduk paling tidak dibutuhkan waktu satu tahun. Dan selama masa itu tiba-tiba tidak jadi diterapkan, atau yang lebih mungkin terjadi adanya perubahan sikap dari responden. Kesulitan lain adalah dalam hal konsistensi definisi suatu konsep. Misalnya mereka yang dikatagorikan pengangguran pada waktu survei ternyata satu tahun kemudian telah bekerja dan sebagainya. Polling selalu berkaitan dengan isu yang cepat berubah, sehingga hasil polling pun harus cepat dipublikasikan. Tanggapan dan reaksi pemerintah terhadap isu tertentu misalnya seringkali mengakibatkan perubahan pendapat masyarakat. Dan untuk melihat perubahan pendapat itu hanya dimungkinkan kalau kita mewawancarai dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Seorang peneliti pendapat umum (pollster) mengambil sebagian orang karena dengan sampel yang lebih mudah ditangani dan dengan biaya lebih murah daripada melibatkan semua orang. Sebagai contoh, jauh lebih murah dan menghemat waktu untuk mengukur
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
pendapat 400 orang dari pada 20.000 orang. Persoalan dalam pemakaian sampel adalah bagaimana menggunakan informasi sedikit orang untuk menggambarkan pendapat banyak orang. Dengan pemakaian sampel yang baik, seorang peneliti dapat mengukur pendapat 2.000 orang untuk menggeneralisasikan pendapat 200 juta orang, dengan hasil tidak jauh berbeda 2% sampai 4% dari hasil jika ke-200 juta orang tersebut diwawancarai semua. Polling di Amerika hanya mewawancarai 1.500 orang perbedaan hasil polling dengan hasil yang nyata (sekitar 100 juta pemilih) selisihnya rata-rata kurang dari 2%. Artinya pendapat 1.500 orang sudah dapat mewakili pemilih di Amerika yang mencapai 100 juta orang. Polling di Amerika dengan memakai telepon dapat dilaksanakan dalam beberapa jam. Bayangkan kalau harus mewawancarai 100 juta orang, padahal reaksi pemilih cepat sekali berubah bukan saja tiap hari tetapi dalam hitungan jam. Dengan mewawancarai sedikit orang bukan saja ada jaminan bahwa hasilnya tidak banyak berbeda tetapi juga peneliti dapat tiap saat melakukan polling dan melihat reaksi publik setiap saat. Bagaimana mungkin menggunakan beberapa orang untuk menggeneralisasikan secara akurat pendapat banyak orang? Ini tidak didasarkan pada sulap tetapi logika statistik yang telah terbukti berkali-kali dalam kenyataan empiris. Meskipun demikian, seorang peneliti tidak dapat hanya menggunakan sampel untuk kemudian menggeneralisasikan hasilnya pada populasi. Sampel yang diambil dipilih menurut prosedur yang akurat, dan dengan batas-batas kesalahan tertentu. Kalau prinsip sampling diterapkan dengan benar maka hasil dari suatu polling tidak akan jauh berbeda dengan hasil kalau mewawancarai semua populasi. C. Mendefinisikan Populasi Sebelum kita membahas berbagai teknik dasar penarikan sampel, perlu dipahami beberapa pengertian dasar dari sampel. Langkah pertama adalah mendefenisikan terlebih dahulu unit analisis – apakah individu, rumah tangga, organisasi dan sebagainya. Dalam polling unit analisis adalah individu (orang). Populasi. Sebelum sampel diambil, perlu diperjelas siapa populasi polling kita. Populasi adalah sebuah konsep abstrak. Sebuah populasi yang didefinisikan sebagai semua orang yang berusia di atas 17 tahun di wilayah Kota Makassar pada tanggal 21 Februari 2017 antara pukul 00.00-24.00 adalah konsep abstrak. Itu hanya ada dalam pikiran tetapi mustahil untuk menunjuk secara tepat anggota dari populasi itu. Populasi sering disalah definisikan sebagai keseluruhan penduduk. Populasi tidaklah sama dengan penduduk seseorang yang secara eksaik anggota suatu masyarakat dengan dibuktikan oleh KTP. Populasi dalam pengertian bisa berupa penderita TBC, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Bayangkanlah masyarakat Makassar. Ini adalah publik dalam pengertian fisik. Di dalam wilayah itu ada banyak karakteristik: Ada mahasiswa, ada pekerja, ada dosen, ada pedagang, ada wartawan, dan sebagainya. Kalau ada isu mengenai upah pekerja, maka populasi yang diambil adalah buruh. Kalau polling yang kita buat mengenai isu rush bank, populasi yang tepat adalah nasabah bank.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Populasi ini terbentuk oleh tujuan dan topik polling. Sebagai contoh, polling mengenai pengaruh pembangunan Pabik Semen Indonesia di Kabupaten Rembang Jawa Tengah adalah lebih baik untuk mendefinisikan populasi sebagai semua orang yang tinggal di sekitar Pabrik Semen Indonesia daripada mendifinisikan populasi sebagai semua penduduk Indonesia. Kalau kita ingin membuat polling mengenai Jamsostek, maka populasi yang tepat adalah para pekerja (buruh pabrik), kalau kita ingin mengetahui tanggapan masyarakat terhadap munculnya organisasi cendikiawan, populasi yang relevan adalah para cendikiawan. Kalau polling yang dibuat adalah mengenai UU ORMAS (UndangUndang Organisasi Masyarakat), populasi yang tepat adalah pengurus Ormas. Kalau ingin mengetahui tanggapan masyarakat terhadap organisasi mahasiswa, populasi yang relevan adalah para mahasiswa. Apabila sejak awal kita salah mendefinisikan populasi, hasil polling tidak akurat. Contohnya polling mengenai upah buruh, tetapi populasi polling adalah mahasiswa jelas tidak akurat. Mahasiswa bisa saja mempunyai pendapat mengenai upah buruh, tetapi para pekerjalah yang bisa merasakan apakah upah buruh selama ini sudah cukup memadai ataukah tidak. Kalau topik polling adalah pemilu, populasi tidak semua anggota masyarakat, tetapi mereka yang mempunyai hak pilih dalam pemilu. Target populasi. Populasi itu sendiri belum jelas, karena itu perlu dibuat target populasi. Kalau populasinya adalah cendikiawan, cendikiawan yang mana? Kalau populasi polling adalah buruh pabrik, target populasinya, buruh yang mana? Di mana? Di sini peneliti menetapkan definisi operasional dan pembatasan dari buruh pabrik itu, misalnya apakah manajer dihitung sebagai buruh pabrik. Kalau nasabah bank BRI adalah populasi, target populasinya dapat ditetapkan dengan membuat definisi nasabah bank dimana, apakah pemilik deposito juga dihitung dan sebagainya. Dari definisi itu akhirnya kita bisa menetapkan bahwa target populasi adalah dosen di perguruan tinggi di Makassar, para wisatawan manca negara di Bali, buruh pabrik di Tangerang, nasabah bank BRI di Jakarta. Target populasi itulah yang dipakai dari mana sampel yang diambil. Kriteria yang relavan untuk mendefinisikan target populasi itu memasukkan katagori diantaranya wilayah, umur, jenis kelamin, pendidikan, batas-batas kriteria itu diberikan secara eksplisit dalam menentukan target populasi, yang akan memasukkan orang sesuai dengan target populasi dan mengeluarkannya bagi yang tidak sesuai. Banyak contoh dari target populasi ini. - Semua orang yang berumur 17 tahun keatas yang tinggal di Makassar pada tanggal 21 Februari 2017, tidak sedang dipenjara, tempat penahanan atau lembaga sejenis. - Semua wisatawan baik mancanegara atau domestik yang ada di Bali dalam bulan Juli 2017. - Semua dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi Negeri atau pun Swasta di Makassar antar bulan Januari sampai Agustus 2017. - Semua pegawai pemerintah daerah yang masa kerjanya diatas 5 tahun di Kota Makassar. - Semua orang di wilayah Indonesia yang menggunakan hak pilih dalam pemilu 2014. - Semua penumpang pesawat terbang antara bulan Februari sampai bulan Agustus 2017. Dan sebagainya
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Semua contoh memasukkan elemen yang akan disampel (orang, penumpang pesawat, pegawai Pemda, pelajar, mahasiswa, penderita AIDS) dan wilaya geografis (Makassar, Bandung, Surabaya, Indonesia) dan batas waktu yang jelas. Seorang peneliti memulai dengan sebuah populasi (seperti orang yang ada disuatu daerah) tetapi didefinisikan secara lebih tepat dalam bentuk target populasi yang menunjukkan kepada kelompok yang khusus dimana mereka itulah yang ingin kita ketahui pendapatnya. Kerangka sampel. Karena populasi adalah konsep abstrak, peneliti membutuhkan estimasi (memperkirakan) populasi. Seorang peneliti mengoperasionalisasikan sebuah populasi dengan membuat sebuah daftar yang memperkirakan semua elemen dalam populasi. Setelah target populasi didefinisikan secara jelas, peneliti kemudian membuat kerangka yang lebih operasional. Untuk menarik sampel dari target populasi, kita membutuhkan namanama dari anggota target populasi. Jadi kalau target populasi polling kita adalah orang yang dirawat di rumah sakit di Makassar antara bulan Februari sampai Agustus, maka harus ada daftar yang berisi nama-nama orang yang dirawat tersebut. Daftar ini yang kita sebut sebagai kerangka sampel, yang mengidentifikasi semua anggota dari target populasi. Kalau target populasi adalah buruh pabrik di Makassar kita membutuhkan nama-nama seluruh buruh pabrik di Makassar. Dari daftar itulah sampel akan diambil. Semua kasus dapat dibuat identifikasinya, dibuat operasionalisasi tetapi ketika harus dibuat kerangka yang memasukkan semua anggota populasi tidak semudah seperti yang dibayangkan. Sebagai contoh, kita menginginkan untuk membuat polling sikap penonton musik rock. Target populasi dapat ditentukan dengan jelas yakni mereka yang mendatangi pertunjukan musik rock. Tetapi ketika harus disusun daftar nama penonton pertunjukan musik rock, kita mengalami kesulitan untuk membuatnya. Perbedaan yang besar antara kerangka sampel dan konseptualisasi yang didefinisikan dari populasi. Ketidaksesuaian antara kerangka sampel dan populasi dapat menyebabkan sampel tidak valid. Sebagai contoh kita membuat polling mengenai tingkat kepuasan wisatawan mancanegara. Target populasi yang kita tetapkan adalah wisatawan mancanegara di Bali. Untuk mengenali wisatawan mancanegara itu kita menyusun kerangka sampel berupa data nama wisatawan mancanegara yang menginap di hotel. Tetapi kerangka sampel ini bisa jadi tidak identik dengan populasi yang sebenarnya. Karena banyak wisatawan mancanegara yang tidak menginap di hotel. Atau kita ingin menyelidiki pendapat semua orang di wilayah Makassar. Pertanyaannya adalah bagaimana mengidentifikasi populasi masyarakat, daftar apakah yang dapat kita pakai dimana daftar tersebut menggambarkan populasi masyarakat Makassar? Kita bisa memutuskan untuk mengambil daftar semua orang yang mempunyai Surat Izin Mengemudi (SIM). Tetapi banyak orang yang tidak mempunyai SIM. Lalu kita memutuskan untuk memakai daftar catatan pajak. Tetapi tidak semua orang membayar pajak dan catatan pajak itu untuk mengumpulkannya dibutuhkan waktu yang lama. Kita bisa mencoba memakai Daftar Pemakai Telepon. Tetapi daftar ini pun tidak terlalu baik karena banyak orang yang tidak mempunyai sambungan telepon.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB VII METODOLOGI POLLING
A. Teknik Penarikan Sampel Karena polling ingin membuat generalisasi agar hasilnya dapat menggambarkan pendapat publik secara keseluruhan, maka sampel yang harus diambil adalah sampel acak (random sampling/probability sampling). Sampling probabilitas pada intinya berbicara tentang peluang terjadinya peristiwa kebetulan. Probabilitas diterapkan agar setiap anggota individu memiliki peluang yang sama besarnya untuk terpilih menjadi sampel. Di bawah ini akan diuraikan berbagai teknik pengambilan sampel. 1. Sampel acak sederhana (Simple Random Sampling). Teknik pengambilan sampel ini memastikan setiap unsur mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Peluang yang sama berarti setiap unsur mempunyai probabilitas yang sama untuk dijadikan sampel. Contohnya dalam populasi mahasiswa UNHAS sebanyak 24.600 mahasiswa berarti setiap mahasiswa mempunyai 1/24.600 kesempatan untuk terpilih sebagai sampel. Kalau kita mengambil sampel sebanyak 500 responden maka kesempatan seseorang untuk dipilih sebagai sampel adalah 500/24.600 = 1/49. Angka ini sering disebut sebagai sampling fraction. Pemakaian metode sampel acak sederhana perlu memenuhi beberapa syarat : (1) Harus tersedia kerangka sampel. Kalau kerangka sampel itu belum tersedia, harus dibuat terlebih dahulu; (2) Sifat populasi homogen dan keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis. Ada dua cara untuk mengambil sampel acak sederhana. Cara pertama adalah dengan jalan mengundi. Misalnya seorang peneliti ingin mengetahui bagaimana tanggapan mahasiswa UNHAS terhadap keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa. Peneliti ingin mengetahui apakah kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai organisasi kemahasiswaan yang sudah ditetapkan itu mengakomodasi mahasiswa dari setiap fakultas yang ada di Unhas. Ada 24.600 mahasiswa UNHAS tingkat sarjana dan semuanya kita masukkan sebagai populasi yang akan kita ambil sampelnya, dan dari populasi itu dipilih 500 sampel. Pertama kali peneliti perlu membuat kerangka sampel yang terdiri atas daftar nama seluruh mahasiswa. Kemudian ke-24.600 mahasiswa tersebut diberi nomor masing-masing, setiap mahasiswa mendapat satu nomor. Kemudian 500 nomor dipilih secara acak dengan jalan diundi sehingga setiap individu mempunyai peluang yang sama untuk terpilih. Nama yang terundi dicatat sampai terpilih 500 orang mahasiswa yang menjadi sampel kita. Selain dengan undian dapat juga dengan mengaduk. Masing-masing nama mendapat satu nomor dan ditulis di atas lembaran kertas. Selanjutnya tiap nomor ditulis pada secarik kertas kecil yang kemudian dilipat-lipat. Semua, ke 24.600 lipatan kertas kecil tadi
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
dimasukkan dalam satu wadah untuk diaduk, dan dari adukan tadi diambil secara buta 500 lipatan kertas. Nomor yang terpilih itu yang akan menjadi sampel penelitian. Cara apapun yang kita gunakan, 500 nama tadi dicocokkan dengan daftar nama seluruh mahasiswa UNHAS yang sudah kita buat. Di lihat dari namanya, seharusnya metode ini yang paling sederhana, tetapi dalam kenyataannya rumit. Kesulitan utamanya terletak pada kerangka sampel, yang seringkali tidak tersedia dengan baik. Dalam contoh di atas kerangka sampel tersedia baik, sebab daftar nama mahasiswa ada di setiap Perguruan Tinggi. Tetapi bayangkan polling dengan populasi yang besar seperti masyarakat Makassar. Catatan-catatan penduduk seringkali tidak tersedia, kalaupun tersedia peneliti harus menghimpunnya dan menyusunnya kembali dari data penduduk tiap kelurahan. 2. Sampel acak sistematis (systematic sampling). Sampel sistematis adalah cara yang lebih sederhana untuk mengambil sampel jikalau tersedia sebuah daftar populasi dengan urutan tertentu. Pengambilan sampel sistematis adalah suatu metode dimana hanya unsur pertama saja dari sampel dipilih secara acak sedangkan unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu pola tertentu. Metode ini dijalankan apabila ada dua keadaan: (1) Apabila nama atau identifikasi dari individu dalam populasi itu terdapat dalam suatu daftar sehingga satuan-satuan tersebut dapat diberi nomor urut; (2) Apabila populasi tersebut mempunyai pola berurutan, seperti urut abjad dan sebagainya. Kerangka sampel dari sampel sistematis harus sudah tersedia dengan baik. Daftar nama mahasiswa adalah daftar yang dapat dipakai sebagai kerangka sampel pengambilan acak sistematis. Daftar-daftar serupa ada berbagai macam yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti daftar tagihan pajak, daftar rekening telepon, pelanggan listrik, PDAM, daftar pemilih pemilu, daftar anggota organisasi, daftar tahanan dalam buku lembaga pemasyarakatan, daftar pegawai/pekerja dan sebagainya. Buku Petunjuk Telepon adalah suatu daftar yang dapat dipakai sebagai kerangka sampel untuk acak sistematis karena tersusun dalam suatu urutan tertentu, yakni abjad. Daftar ini aspek kebaruannya juga lebih terjamin karena diperbaharui tiap tahun. Yang menjadi masalah adalah dalam topik polling apa seharusnya daftar tersebut dipakai? Bagaimana kita menggunakan daftar itu karena daftar itu amat spesifik. Bisakah kita memakai buku tagihan pajak atau langganan PDAM untuk menggambarkan masyarakat Makassar? Apakah semua anggota populasi masyarakat Makassar terdaftar dalam daftar tersebut? Daftar nama mahasiswa tentu saja adalah informasi yang valid dari semua mahasiswa. Tetapi daftar tagihan pajak, atau langganan telepon/PDAM, tentu saja tidak menunjukkan populasi masyarakat Makassar secara keseluruhan. Daftar-daftar tersebut memang bisa dipakai sebagai kerangka sampel tetapi penggunaannya harus hati-hati. Misalnya buku petunjuk telepon Makassar tidak menunjukkan populasi masyarakat Makassar, tetapi kelas menengah atau kalangan terdidik masyarakat Makassar.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Cara penggunaan sampel acak sistematis adalah sebagai berikut: misalnya, jumlah satuansatuan elementer dalam populasi itu adalah N dan besar sampel yang akan diambil adalah n, maka bagi hasil itu dinamakan interval sampling yang biasa diberi kode k. Unsur pertama dalam sampel lalu dipilih secara acak di antara individu bernomor urut I, dan satuan bernomor urut k dari populasi. Andaikan yang terpilih itu adalah individu bernomor urut s, maka unsur-unsur selanjutnya dalam sampel dapat ditentukan yaitu:
Sampel pertama : Sampel kedua : Sampel ketiga :
s s+k s + 2k dan seterusnya.
Sebagai contoh, kita menginginkan mengambil 300 nama dari populasi sejumlah 900 orang. Setelah menyeleksi secara acak pada langkah pertama, kita menyeleksi setiap tiga nama sampai 900 sehingga terpilih 300 nama. Interval sampel kita disini adalah 3, interval sampel mudah dihitung. Interval adalah kebalikan dari rasio sampel. Rasio sampel untuk 300 sampel adalah 300/900 = 0,3 (33%). Interval sampling adalah 900/300 = 3. Pemakaian sampel sistematis ini relatif sederhana. Tetapi pemakaian sampel ini membutuhkan syarat tertentu, apakah daftar tersebut dirancang dalam urutan tertentu ataukah tidak. Tetapi kelemahan utama sampel ini, sebagaimana dikatakan oleh Blalock justru karena sifat populasi yang berurutan itu. Menurut Blalock, apabila daftar unsur tersebut disusun berdasarkan abjad, akan terjadi penyimpangan yang berhubungan dengan representasi unsur dalam sampel yang berlebihan/kurang. Misalnya nama yang dimulai huruf A, M akan mempunyai kecenderungan untuk dimunculkan secara berlebihan dibandingkan nama yang dimulai huruf Z, atau Q. Kalau sebuah daftar nama mahasiswa berurutan menurut tahun masuk, bisa jadi mereka yang baru masuk (mahasiswa baru) mempunyai kesempatan lebih besar untuk dipilih dibandingkan angkatan lama. 3. Sampel acak stratifikasi proporsional. Sampel acak sederhana dipakai apabila populasi homogen, tetapi tidak bisa dipakai untuk populasi heterogen berbeda dalam hal karakteristik populasi seperti tingkat pendidikan atau tingkat penghasilan. Makin heterogen suatu populasi makin besar pula perbedaan sifat antara lapisan-lapisan tersebut. Presisi dan hasil yang dapat dicapai dalam Penggunaan suatu metode sampel antara lain dipengaruhi oleh derajat keseragaman populasi yang bersangkutan. Untuk dapat menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi terlebih dahulu dalam lapisan (strata) yang seragam dan dari setiap lapisan itu baru diambil sampel secara acak. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi apabila sampel acak stratifikasi proposional dipakai: (1) Harus ada kriteria yang jelas yang dipergunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi ini dalam lapisan-lapisan. Memang banyak sekali karakteristik populasi dalam pengambilan unsur sampel, peneliti harus menentukan dimensi yang terpenting dan relevan untuk tujuan polling. (2) Harus ada data pendahuluan mengenai strata populasi. (3) Harus diketahui dengan tepat jumlah satuan-satuan elementer dari
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
tiap lapisan (strata) dalam populasi itu. Misalnya kalau populasi mahasiswa UNHAS tadi mau distratifikasi menurut fakultas dengan asumsi fakultas sosial mempunyai derajat ketertarikan politik yang lebih tinggi dibandingkan fakultas eksakta. Harus ada data pendahuluan, berapa jumlah mahasiswa sosial, berapa jumlah mahasiswa eksakta. Peneliti juga perlu membuat kerangka nama-nama mahasiswa sosial dan eksakta sebagai dasar dimana sampel itu akan diambil. Cara melakukan sampel acak stratifikasi proporsional ini sebagai berikut. Setelah daftar kerangka itu ditetapkan maka responden dibagi menurut stratanya masing-masing. Lalu responden diambil sesuai dengan proporsinya dalam populasi dengan perbandingan tertentu. Proporsi yang terbesar tentu saja mendapat sampel terbesar, sedangkan proporsi kecil akan mendapatkan sampel yang kecil juga. Dengan cara penarikan sampel ini lebih menjamin keadilan dan lebih mencerminkan representasi dari populasi. Tetapi sampel acak proporsional ini mempunyai kelemahan, diantaranya membutuhkan pengetahuan tentang komposisi populasi dan penyebaran karakteristik populasi sebelum diambil unsur-unsur sampel. Karena itu metode ini membutuhkan waktu yang lama dalam menyusun kerangka sampel. Dalam contoh kasus di atas, peneliti tidak hanya perlu tahu daftar nama mahasiswa, tetapi juga perlu tahu mahasiswa menurut fakultasnya masingmasing sebagai kriteria dasar pengelompokkan. Sampel stratifikasi adalah modifikasi dari sampel acak sederhana dan sampel sistematis yang didesain untuk menghasilkan sampel yang lebih representatif dan lebih akurat. Kenapa? Untuk mendapatkan sampel representatif, proporsi representatif dari sejumlah kelompok dalam sampel haruslah sama proporsinya dalam populasi. Sebagai contoh kalau kita mengambil sampel acak sederhana atau sistematis, kita barangkali akan mendapatkan lebih banyak orang dari kelas menengah, atau lebih banyak orang yang berumur muda. Untuk polling dengan tema tertentu, jika karakteristik dalam sampel tidak representatif bisa jadi akan menimbulkan kesalahan. Sebagai contoh, dalam polling mengenai perilaku pemilih, kalau pengambilan sampel tidak diambil berdasarkan proporsi dari populasi, kita mungkin akan mendapatkan sampel orang berumur muda dibandingkan tua. Akibatnya, kita tidak cukup punya gambaran yang lebih akurat mengenai perilaku pemilih dari semua karakteristik umur. Sampel stratifikasi menolong mengatasi masalah ini. Dalam sampel stratifikasi peneliti pertama kali membagi populasi ke dalam sub-populasi (strata) sebagai dasar informasi. Setelah populasi terbagi ke dalam strata-strata, peneliti mengambil sampel dengan cara acak, dapat acak sederhana atau acak sistematis. Sebagai ilustrasi kita akan menggunakan sampel acak stratifikasi untuk mengambil sampel dari populasi mahasiswa Universitas Hasanuddin. Salah satu syarat utama dari penarikan sampel acak stratifikasi adalah kita harus mengetahui proporsi dari strata pada populasi yang menjadi dasar dalam menentukan strata pada sampel. Sehingga strata sampel akan sama dengan strata populasi. Kalau pengetahuan mengenai populasi sedikit, pemakaian sampel stratifikasi justru akan menyebabkan kekeliruan. Pengetahuan mengenai strata populasi ini bisa didapatkan dari data-data sekunder.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
4. Sampel acak stratifikasi tidak proporsional. Sampel acak stratifikasi tidak proporsional idenya hampir sama dengan proporsional. Perbedaannya terletak pada strata dalam sampel tidak sama dengan proporsi strata dalam populasi. Bisa saja dalam strata disajikan lebih, sementara strata lain disajikan kurang. Dengan menggunakan strata Status Sosial Ekonomi (SSE) sebagai contoh, peneliti misalnya membagi populasi dalam tiga strata yaitu atas, menengah, bawah. Pembagian persentase yang akan diteliti: kelas atas 30%, menengah 30% dan bawah 40%. Di sini peneliti memperbesar sampel kelas atas dan memperkecil sampel kelas bawah. Pengambilan sampel acak tidak proporsional berarti peneliti akan memberikan bobot yang sama untuk setiap strata dan ia akan memberikan bobot yang lebih untuk beberapa strata dan mengurangi bobot terhadap strata yang lain sesuai dengan penyebaran yang tidak proporsional dalam populasi. Teknik pengambilan sampel ini kita pakai jikalau salah satu dari strata itu jumlahnya teramat kecil (sedikit) sehingga apabila dipakai strata proporsional, ada strata yang tidak terwakili dalam sampel. Banyak sekali proporsi populasi tidak seimbang dimana salah satu strata jumlahnya besar dan strata lain jumlahnya sangat kecil kepangkatan dalam militer, eselon pegawai negeri dan sebagainya. Misalkan polling yang menanyakan pandangan anggota TNI terhadap Dwi Fungsi ABRI yang memasukkan semua perwira TNI dari perwira rendah sampai jenderal sebagai populasi. Karena jumlah jenderal dalam populasi sedikit, peneliti dapat memutuskan untuk memakai semua jenderal dalam sampel. Kalau memakai sistem proporsional, para jenderal tersebut bisa jadi hanya mendapat 1 sampel atau bahkan tidak sama sekali. Seperti juga pada contoh penarikan sampel anggota DPR hasil Pemilu 2014. Ada 500 anggota DPR, kalau sampel acak proporsional yang dipakai, maka FPKB mungkin tidak akan mendapat wakil. Hal ini disebabkan begitu sedikitnya jumlah anggota FPKB di DPR RI yaitu 11 orang, jumlah ini amat timpang dibandingkan dengan FPDIP yang mencapai 325 orang. Dengan demikian peneliti memberi bobot kelompok tertentu yang tidak muncul dalam populasi supaya menjadi lebih seimbang, terutama apabila terdapat perbedaan proporsi yang mencolok di antara berbagai strata dalam populasi asal. 5. Sampel klaster. Dalam berbagai teknik pengambilan sampel yang sudah diuraikan terdahulu, unit analisanya adalah individu dan membutuhkan tersedianya kerangka sampel sebagai dasar pengambilan sampel. Padahal kita seringkali dihadapkan dengan kenyataan dimana kerangka sampel tidak tersedia, atau tidak memungkinkan dibuat karena membutuhkan waktu yang lama atau biaya yang sangat besar untuk membuatnya. Kalau kita meneliti pendapat mahasiswa UNHAS terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa, kerangka sampel tersedia dengan baik. Tetapi bagaimana kalau kita ingin meneliti pendapat mahasiswa Makassar? Kerangka sampel yang berisi daftar nama seluruh mahasiswa Makassar pasti tidak ada. Untuk menyusunnya dibutuhkan waktu yang sangat lama mengingat di Makassar ada 40 Perguruan Tinggi dengan 150.000 mahasiswa, belum termasuk akademi. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyusun kerangka sampel mahasiswa sebanyak itu.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Untuk mengatasi masalah itu diterapkan teknik sampel klaster. Unit tempat pertama kali klaster diambil adalah PSU (Primary Sampling Unit) dapat berupa organisasi, asosiasi, batas geografis dengan batasan yang jelas. Dalam sampel klaster, unit analisis dalam populasi digolongkan dalam gugus-gugus yang disebut klaster yang merupakan satuan-satuan dari mana sampel akan diambil. Jumlah gugus yang diambil sebagai sampel harus acak. Lalu dari gugus terpilih, individu dalam gugus itu diambil secara acak. Dengan kata lain, peneliti secara acak mengambil sampel klaster, kemudian secara acak pula mengambil elemen dari dalam klaster yang telah diseleksi. Dalam sampel klaster tidak diperlukan daftar dari individu untuk kerangka sampel, tetapi cukup daftar gugus saja. Misalnya dalam polling dengan populasi mahasiswa Makassar, semua Perguruan Tinggi merupakan kelompok/gugus yang disebut Primary Sampling Unit (PSU). Karena di Makassar ada 40 Perguruan Tinggi maka ada 40 PSU. Kemudian dari PSU tersebut, ditarik sampel fraction tingkat pertama yang besarnya misalnya: 10/40 x 100% = 25%. Dengan perkataan lain jika diinginkan sebuah sampel yang ditarik secara acak dengan sampel fraction sebesar 25% maka besarnya sampel adalah 10 PSU atau 10 Perguruan Tinggi. Untuk menarik sampel Perguruan Tinggi ini dapat dipakai Daftar Perguruan Tinggi Makassar yang telah tersedia di Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Lalu dipilih secara acak 10 Perguruan Tinggi dari 40 Perguruan Tinggi tadi. Dalam memilih Perguruan Tinggi secara acak tersebut dapat diterapkan stratifikasi, misalnya membagi terlebih dahulu Perguruan Tinggi negeri dan swasta atau antara Universitas dan Institut dan sebagainya. Tiap Perguruan Tinggi mempunyai mahasiswa yang jumlahnya berbeda-beda. Mahasiswa yang merupakan sumber informasi dari polling adalah unit elementer dari PSU. Tidak semua mahasiswa dari 10 Perguruan Tinggi terpilih itu otomatis menjadi sampel. Artinya harus ditarik lagi sampel mahasiswa dari Perguruan Tinggi terpilih. Peneliti membuat kerangka sampel, sebuah daftar mahasiswa dari 10 Perguruan Tinggi tersebut ini jauh lebih ringan dibandingkan harus membuat kerangka sampel 40 Perguruan Tinggi. Lalu ditarik sampel dari tiap-tiap PSU terpilih dengan sampel fraction yang berimbang dengan jumlah anggota/unit elementer dalam tiap PSU. Dengan demikian ada dua tahap sampling yaitu sampling untuk memilih Perguruan Tinggi dan sampling untuk memilih mahasiswa. Teknik menarik sampel untuk memilih mahasiswa dari PSU terpilih sama dengan prinsip sampel acak yang lain. Ada dua situasi dimana sampel klaster dipakai. Pertama, wilayah/area sampel tersebar amat luas sehingga untuk menyusun kerangka sampel amat sulit. Kalau kita ingin mengadakan polling pendapat umum masyarakat Makassar, kerangka sampel berupa daftar nama penduduk tidak tersedia, kalaupun ada membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkannya dari tiap kelurahan. Dengan sampel klaster, kerangka sampel yang dipakai adalah daftar kelurahan wilayah Makassar. Sampel yang kita ambil pertamakali adalah kelurahan, dari kelurahan diambil Rumah Tangga dan dari Rumah Tangga inilah individu diambil. Kedua, peneliti tidak mempunyai kerangka sampel yang baik dari populasi ataupun kalau ada harus dibuat dengan biaya yang mahal.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Sebagai contoh tidak ada daftar kerangka sampel nama-nama dosen di Makassar. Kita bisa membuat kerangka sampel secara akurat dengan melakukan survei, tetapi hal ini jelas membutuhkan biaya yang mahal. Biasanya populasi di atas 50.000 orang sudah sukar untuk menyusun kerangka sampel. Dengan sampel klaster tidak dibutuhkan survei seperti itu asalkan daftar nama perguruan tinggi negeri ataupun swasta seluruh Makassar tersedia. Seorang peneliti yang menggunakan sampel klaster harus memutuskan jumlah klaster dan jumlah individu (elemen) yang akan diambil dari setiap klaster. Sebagai contoh, dalam sampel klaster dua tahap yang mengambil 240 orang, apakah peneliti mengambil secara acak 120 klaster dan memilih 2 orang dari setiap klaster, ataukah secara acak mengambil 2 klaster dan memilih 120 orang dari tiap klaster? Yang terbaik adalah mengambil jumlah klaster lebih banyak, karena elemen dalam klaster (seperti orang yang tinggal dalam satu kelurahan/RWyang sama, pelajar dalam satu sekolah, pekerja yang bekerja dalam perusahaan yang sama) relatif mempunyai karakteristik sama dibandingkan lainnya (seperti orang yang tinggal di lain RW, pelajar dalam SMA yang berbeda, pegawai di dua perusahaan yang berbeda). Jika hanya beberapa klaster saja yang dipilih, akan banyak elemen yang sama sehingga representasi dari total populasi secara keseluruhan menjadi berkurang. Sampel klaster mempunyai kelebihan dalam hal efisiensi terutama menghemat waktu dan biaya. Biaya perjalanan dan waktu wawancara dapat dihemat sekecil mungkin. Pemakaian sampel klaster amat cocok dipakai dalam wilayah penelitian dimana sampel tersebar luas, tidak mengumpul dalam satu tempat. Tetapi biaya yang lebih murah ini diikuti oleh akurasi sampel yang lebih rendah jika dibandingkan dengan teknik sampel acak sederhana. Dalam sampel klaster unit elementer yang dipilih adakalanya berdekatan, sehingga informasi yang diberikan tidak cukup representatif dibandingkan dengan informasi dari unit elementer yang cukup berpencar seperti pada sampel acak. Dalam sampel acak sederhana, pengambilan sampel dari populasi akan menyebabkan sampling error sekali, tetapi sampel klaster dua tahap akan menyebabkan sampling error dua kali. Pertama, sampling error yang terjadi pada saat pengambilan PSU untuk menggambarkan populasi klaster. Kedua, sampling error yang terjadi ketika individu diseleksi dari klaster untuk menghasilkan individu yang representatif dari klaster. Sampel klaster proporsional (Probability Proportionate to Size/PPS). Asumsi yang dipakai dalam penarikan sampel klaster adalah tiap klaster mempunyai elemen (individu) yang sama banyaknya dan sama homogennya. Padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Dalam ilustrasi penarikan sampel klaster SMA, anggota klaster (jumlah pelajar dalam klaster satu SMA) relatif agak sama satu SMA rata-rata mempunyai jumlah siswa 400 orang. Tetapi seringkali terjadi kelompok klaster mempunyai elemen/jumlah elemen yang berbeda. Kalau hal ini terjadi, peneliti harus membuat perlakuan, agar probabilitas atau rasio sampling seimbang dalam beberapa langkah dalam sampling. Kita misalnya mensampel kelurahan. Pada satu kelurahan ada yang memiliki 60 RW (kelurahan besar) dan ada kelurahan lain yang hanya memiliki 6 RW (kelurahan kecil).
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Dalam sampel klaster, baik kelurahan yang memiliki RW banyak maupun sedikit diperlakukan sama. Ini menjadi masalah karena dengan demikian kesempatan seseorang untuk terpilih sebagai sampel berbeda, untuk kelurahan dengan jumlah RW kecil mempunyai kesempatan lebih besar. Contoh sama polling dengan populasi pekerja yang diambil secara klaster menurut perusahaan. Padahal antara satu perusahaan dengan perusahaan lain mempunyai jumlah pekerja yang berlainan tergantung pada besar kecilnya perusahaan. Misalnya kita mengambil sampel 300 Perguruan Tinggi dari populasi 3.000 Perguruan Tinggi. Dengan metode ini berarti setiap klaster (Perguruan Tinggi) mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel 300/3.000 atau 10 %. Tetapi tiap Perguruan Tinggi mempunyai jumlah mahasiswa yang berbeda, yang mengakibatkan tiap mahasiswa tidak mempunyai kesempatan yang sama terpilih sebagai sampel. Pada penarikan sampel tahap pertama (memilih Perguruan Tinggi), Perguruan Tinggi besar dengan jumlah mahasiswa 40.000 orang dan Perguruan Tinggi kecil dengan 400 mahasiswa mempunyai ksempatan yang sama terpilih sebagai sampel. Tetapi pada penarikan sampel tahap kedua (memilih mahasiswa dari PSU Perguruan Tinggi terpilih), kesempatan seorang mahasiswa untuk terpilih sebagai sampel berbeda. Untuk Perguruan Tinggi besar, kesempatan seorang mahasiswa untuk terpilih sebagai sampel adalah 5/40.000 = 0,0125%, sementara mahasiswa pada Perguruan Tinggi kecil mempunyai kesempatan 5/4000 = 1,25% terpilih sebagai sampel. Mahasiswa dari Perguruan Tinggi kecil memiliki kesempatan 100 kali lebih besar menjadi sampel. Dengan memakai sampel klaster, tiap mahasiswa tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Untuk mengatasi masalah ini, ada satu metode pengembangan dari sampel kalster yang dikenal sebagai Probability Proportionate to Size (PPS). Dengan pemakaian sampel ini setiap mahasiswa mempunyai kesempatan yang sama besarnya untuk terpilih sebagai sampel. Sesuai dengan namanya, setiap klaster mempunyai kesempatan yang proporsional sesuai dengan ukuran dari klaster itu. Inti dari metode ini adalah mengatur pemberian kesempatan lebih besar atau lebih kecil pada langkah pertama pengambilan sampel. Kita memberikan Perguruan Tinggi yang besar dengan lebih banyak mahasiswa kesempatan yang lebih besar untuk diseleksi sebagai sampel. Dasar dari pengaturan itu adalah proporsi dari semua mahasiswa dalam populasi yang akan diambil. Teknik penarikan sampel mana yang dipilih? Teknik penarikan sampel mana yang akan kita pilih dalam polling tergantung dalam dua hal. Pertama, kemungkinan ada atau tidaknya kerangka sampel. Masalah utama dalam penarikan sampel acak adalah tidak semua populasi mempunyai kerangka sampel. Di samping itu, apabila populasi polling bukan masyarakat umum sehingga menyulitkan kita dalam menyusun kerangka sampel. Populasi yang khusus ini, misalnya para veteran TNI, janda pahlawan nasional, olahragawan, korban perkosaan, anak-anak gelandangan, penggemar otomotif, dan sebagainya. Populasi-populasi itu tidak ada catatan anggota populasi, sehingga peneliti perlu membuat kerangka sampel sendiri, dan pekerjaan ini membutuhkan waktu panjang dan dana yang besar. Pertimbangan kedua, bagaimana karakteristik populasi tersebut. Apakah populasi cukup homogen atau heterogen, apakah populasi itu menyebar atau mengumpul.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Untuk populasi yang homogen, cara yang terbaik adalah sampel acak sederhana, apabila tidak homogen teknik sampel terbaik adalah sampel acak stratifikasi. Apabila populasi mengumpul, cara terbaik untuk menarik sampel adalah dengan sampel acak sederhana/sistematis. Tetapi apabila populasi menyebar cara yang lebih efisien adalah dengan menggunakan sampel klaster. B. Besar Sampel Permasalahan yang krusial dalam jajak pendapat (polling) adalah validitas data. Sesungguhnya yang menjadi hal terpenting untuk keakuratan hasil jajak pendapat adalah tentang methodologynya. Secara sederhana tentunya yang kita pertanyakan adalah bagaimana caranya simulasi jajak pendapat sampai pada kesimpulan yang dipublikasikan. Masalah pengambilan sampel ini sering menjadi perdebatan yang tidak ada ujungnya. Agar tidak menjadi perdebatan panjang, secara sederhana ada contohnya yaitu pada waktu kita masak soup, untuk mecicipi rasanya cukup satu sendok. Mengapa hanya satu sendok, tidak sepanci soupnya kita makan untuk menyimpulkan soup itu kurang garam atau tidak. Contoh lain, kalau kita ke dokter hendak mencheck cholesterol, mengapa hanya sedikit darah yang diambil, bukan seluruh darah dikeluarkan untuk melihat berapa level cholesterol kita. Masih banyak contoh lain yang bisa menjawab pertanyaan mengapa sampel bisa mewakili populasi. Hal tersebut perlu di sampaikan agar tidak terjadi salah kaprah dan gagal paham tentang simulasi jajak pendapat. Tetapi tidak demikian halnya dengan pendapat umum. Pendapat orang berbeda-beda, bahkan ada adagium setiap orang pada dasarnya mempunyai pendapat yang berbedabeda. Kalau ada 24.600 orang itu berarti ada 24.600 pendapat. Pertanyaannya, berapa jumlah sampel yang harus kita ambil sehingga dengan jumlah sampel itu dapat menggambarkan pendapat 24.600 orang? Dalam contoh masak soup, unsur dalam populasi betul-betul seragam sehingga pengujian sedikit saja sudah dapat mengukur semua populasi. Sementara unsur-unsur manusia amat beragam karakteristik etnik, latar belakang sosial, demografik amat beragam. Di sinilah kita bertemu dengan masalah jumlah sampel yang dibutuhkan dalam polling. - Ukuran Populasi Tidak Menentukan Perlu dipahami bahwa besarnya sampel tidak tergantung pada besar/ukuran populasi. Misal; Kita mengambil sampel 500 orang mahasiswa UNHAS yang jumlahnya 36.000 mahasiswa sama tingkat teliti dan akuratnya dengan sampel 500 orang dari seluruh penduduk Sulawesi Selatan yang jumlahnya 3,2 juta jiwa. Ketelitian kedua sampel tersebut sama yakni menggunakan sampel 500 orang, dan memperbandingkan penduduk Sulawesi Selatan yang berjumlah 3,2 juta jiwa dan mahasiswa UNHAS berjumlah 24.600 tidaklah relevan. Karena tingkat ketelitian sebuah sampel diukur dari besar sampel dan bukan besar populasi. Dengan perkataan lain, populasi pada sebuah kota, sebuah daerah, sebuah propinsi mempunyai ukuran yang sama dan diperlakukan sama dalam sampling. Ukuran dari suatu populasi tidak mempunyai hubungan dengan besar sampel, barangkali suatu hal yang
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
susah dimengerti. Misalnya mempunyai sekotak kelereng, lalu kita ambil dari kotak itu sebuah kelereng yang berwarna biru. Kita akan membuat kesalahan apabila menarik kesimpulan bahwa semua kelereng dalam kotak itu berwarna biru. Jika kita mengambil segenggam kelereng sejumlah 10 butir kelereng, yang terdiri atas empat biru dan enam merah, kita akan lebih teliti dalam menebak bahwa kotak itu berisi lebih banyak kelereng berwarna merah daripada kelereng berwarna biru. Apabila kita menggunakan kedua genggam tangan secara bersama-sama dan kita mendapatkan 75 kelereng berwarna merah dan 25 kelereng berwarna biru, kita dapat lebih khusus lagi berkata bahwa kotak itu berisi 3 kelereng merah untuk setiap kelereng biru. Dengan kata lain, tidaklah penting kita mengambil kelereng dari kotak kecil atau besar, yang membuat estimasi warna kelereng jauh lebih teliti/presisi adalah ukuran tangan (besar sampel) dan tidak bergantung pada ukuran kotak dan banyaknya kelereng (ukuran populasi). Tetapi dengan asumsi bahwa kelereng dalam kotak itu bercampur dengan baik dan tangan itu merupakan sampel acak yang benar. Sampel probabilitas sejumlah 1.000 orang yang diambil dari seluruh Indonesia tidak lebih baik dari sampel 1.000 orang yang diambil dai populasi masyarakat Makassar. Kedua sampel itu mempunyai tingkat ketelitian sama, yakni 1.000 sampel, meskipun diambil dari populasi yang ukurannya berbeda. Perbedaannya adalah populasi yang besar (seperti Indonesia) boleh jadi mempunyai “kelereng� yang berbeda warna dan ukuran. Populasi yang besar menjadi lebih kompleks dalam subgroup, tingkat sosial ekonomi, jenjang pendidikan dan menjadi lebih sulit dalam menggambarkan perbedaan dalam berbagai macam subgroup. Kesulitannya bukan pada jumlah sampel tetapi teknik pengambilan sampel yang dapat menjamin keragaman karakteristik populasi. Sementara populasi yang kecil relatif lebih mudah menarik sampel yang dapat menggambarkan populasi. - Presisi sebagai Estimasi Besar Sampel Ada dua bagian yang penting dalam sampel yaitu bagaimana caranya mengeliminasi bias dan bagaimana meningkatkan ketelitian/presisi. Mengeliminasi bias berhubungan dengan teknik pengambilan sampel sementara presisi berhubungan dengan besar sampel. Presisi adalah suatu ukuran yang berhubungan dengan pertanyaan, bagaimana kita dapat mengestimasi nilai populasi (parameter) dari sampel dan bagaimana hasil dari sampel dapat digeneralisasikan untuk populasi yang lebih luas. Tingkat presisi ini harus diperhitungkan dan direncanakan sebelum polling dijalankan. Kalau kita ingin presisi yang lebih baik, konsekuensinya adalah penambahan jumlah sampel. Ada tiga faktor yang diperlukan dalam menghitung besar sampel yang diambil: variasi dalam populasi, tingkat kesalahan yang ditoleransi dan tingkat kepercayaan. Variasi dalam populasi yang disampel. Andaikan kita membuat sampel dari semangkok kolak. Jika kolak itu terdiri atas berbagai ramuan termasuk pisang, kelapa, dan kacang hijau, akan diperlukan beberapa sendok sebelum kita menyimpulkan rasa seluruh isinya. Akan tetapi, jika kita memakan es krim dengan ramuan dan komposisi yang tepat, barangkali satu sendok sudah cukup untuk mengetahui rasanya. Demikian pula jika peneliti membuat sampel dari populasi, semakin beragam (dalam hal latar belakang sosial, karakteristik demografis, nilai, kepercayaan, tingkat pendidikan dan sebagainya).
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Semakin besar keragaman dalam populasi, maka semakin besar sampel yang diperlukan. Bila unsur dalam populasi betul-betul seragam, maka sampel dengan ukuran satu saja sudah cukup representatif. Pengujian mutu obat hasil produksi sebuah pabrik obat modern barangkali cukup satu sampel untuk setiap 100.000 pil, karena keragaman pil-pil tersebut hampir 100% seragam. Tetapi pengujian mutu hasil rokok yang dikerjakan manual dengan ribuan buruh pabrik membutuhkan jumlah sampel yang lebih besar agar tingkat keragamannya tercakup. Besar sampel ditentukan oleh keragaman dari populasi. Populasi yang heterogen, mempunyai derajat perbedaan amat besar, sehingga dibutuhkan sampel yang besar untuk mencakup perbedaan yang ada. Umpamakan ada populasi 1.000 kelerang dalam satu kotak. Apabila populasi kotak itu terdiri atas 950 kelereng berwarna putih dan 50 kelereng berwarna hitam, kita hanya membutuhkan 50 sampel untuk menyimpulkan bahwa populasi kelereng dalam kotak itu lebih banyak kelereng berwarna putih. Hal ini karena populasi homogen (kelereng berwarna putih) sehingga sedikit saja kita mengambil sampel, cukup dapat menggambarkan populasi. Tetapi bagaimana kalau populasi kelereng itu terdiri atas 500 kelereng berwarna putih dan 500 lainnya berwarna hitam? Kita tidak cukup hanya mengambil 50 sampel kelereng, karena populasi amat heterogen, sehingga dibutuhkan jumlah sampel yang lebih besar. Kalau sampel yang diambil sedikit sementara tingkat heterogenitas populasi tinggi, maka akan terjadi peristiwa kebetulan: kita mendapat sampel kelereng lebih banyak berwarna putih karena kita kebetulan mendapat kelereng berwarna putih. Peristiwa kebetulan lebih besar daripada yang terjadi sebenarnya. Analogi kelereng tersebut dapat kita pakai dalam kasus nyata. Kalau kita meneliti berapa rata-rata umur siswa SMU di Makassar, tidak dibutuhkan jumlah sampel yang besar. Hal ini karena rata-rata umur siswa SMU relatif homogen, yaitu berkisar antara umur 15-20 tahun. Tetapi apabila kita meneliti rata-rata umur masyarakat Makassar, maka dibutuhkan sampel dalam jumlah besar. Hal ini karena populasi amat heterogen dari bayi sampai kakek berusia 100 tahun. Demikian juga kalu kita membuat polling mengenai suatu isu. Polling yang menanyakan kepada responden apakah perlu para koruptor di hukum mati tidak dibutuhkan sampel besar. Hal ini karena secara teoritis akan banyak suara homogen, kemungkinan 90% setuju dan mungkin hanya 10% saja yang tidak setuju. Tetapi sebaliknya untuk isu-isu kontroversial dimana pendapat masyarakat akan suatu masalah amat heterogen, maka dibutuhkan sampel dalam jumlah besar. Misalnya polling yang menanyakan apakah setuju dengan pelaksanaan UU ORMAS proporsi populasi yang setuju barangkali seimbang dengan yang tidak setuju. Memperhitungkan proporsi populasi dalam mengambil sampel, berarti kita harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai proporsi populasi. Pengetahuan itu bisa kita dapatkan dari data sekunder dalam kasus polling mengenai umur siswa atau masyarakat tadi adalah buku statistik. Atau dengan melihat hasil penelitian atau polling yang pernah dilakukan sebelumnya. Tetapi umumnya kita tidak tahu secara pasti proporsi populasi. Ahli-ahli statistik mengatakan kita sebaiknya memakai proporsi populasi seimbang, dalam hal ini 50% : 50%. Ini artinya kita mengasumsikan populasi heterogen, masyarakat terbagi dalam aneka pendapat. Kita memakai proporsi populasi 50% : 50%, karena proporsi populasi ini adalah angka maksimal, dengan mengasumsikan populasi heterogen, kita tidak akan mengalami kekeliruan apabila ternyata populasi itu homogen.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
- Tingkat kesalahan yang ditoleransi (sampling error). Berapa banyak kesalahan yang dapat kita toleransi umumnya tergantung pada estimasi sebelum suatu polling dijalankan. Sampel berbeda dari populasi, karenanya peneliti harus memandang hasil dari suatu sampel bukanlah hasil yang pasti, tetapi lebih sebagai kira-kira. Akurasi dari suatu polling diukur diantaranya dari sejauh mana ketepatan sampel kita dalam menggambarkan populasi. Presisi merupakan pernyataan sejauh mana perbedaan antara nilai statistik dengan nilai parameter. Parameter adalah ciri-ciri yang menjelaskan populasi, sedangkan statistik adalah ciri-ciri yang menjelaskan sampel. Peneliti polling selalu mengharapkan bahwa nilai statistik sama persis dengan nilai parameter, tetapi dalam kenyataannya selalu saja ada perbedaan antara nilai statistik dan nilai parameter. - Presisi tergantung pada besar sampel. Dalam sampel probabilitas, jumlah sampel yang besar akan memberikan presisi yang lebih besar oleh karena dapat menurunkan kesalahan kesempatan dalam acak. Akan lebih mudah memahami hal ini dengan ilustrasi demikian. Misalkan kita membuat polling pendapat mahasiswa UNHAS terhadap keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa. Dari sampel sebanyak 400 mahasiswa yang dipilih secara acak dari seluruh mahasiswa UNHAS, ditemukan hasil bahwa 60% responden menyetujui keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa. Hasil polling memakai sampel ini kita perbandingkan dengan sensus: kita mewancarai semua mahasiswa UNHAS yang berjumlah 24.600 orang, hasilnya pasti berbeda. Misalnya, setelah dirata-rata ternyata yang menyetujui keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa sebanyak 66%. Dengan demikian ada kesalahan (error) sebesar 6% dalam memproyeksikan populasi. Kesalahan sebesar 6% itu merupakan kesalahan yang terjadi sebagai efek pengambilam sampel: kita mewancarai 500 orang dan bukan 25 ribu orang. Dalam sensus kesalahan adalah 0% karena semua mahasiswa UNHAS diwawancarai sehingga tidak ada kesalahan. Kesalahan 6% itu dapat diperkecil dengan jalan menambah sampel. Masalahnya dalam melakukan polling kita tidak mungkin tahu nilai parameter. Kita tidak tahu berapa persentase seluruh mahasiswa UNHAS yang setuju adanya Badan Eksekutif Mahasiswa. Yang kita teliti dan kita tahu hanyalah nilai statistik, dalam hal ini persentase dari sampel yang mendukung Badan Eksekutif Mahasiswa. Pertanyaannya berapa persentase sesungguhnya mahasiswa UNHAS yang mendukung Badan Eksekutif Mahasiswa? Pertanyaan ini dengan kata lain menanyakan nilai parameter dari hasil sampel yang diperoleh dalam polling. Kita harus menentukan terlebih dahulu berapa tingkat kesalahan yang kita inginkan, baru kita dapat memprediksikan nilai populasi. Dengan mengetahui Sampling Error, kita dapat memprediksikan nilai parameter dari hasil sampel. Misalnya Sampling Error yang kita ambil dalam polling mengenai Badan Eksekutif Mahasiswa tadi adalah 6% maka hasil 60% mahasiswa yang mendukung Badan Eksekutif Mahasiswa harus dibaca 60Âą6%. Artinya, nilai sebenarnya dari mahasiswa UNHAS yang mendukung Badan Eksekutif Mahasiswa berada diantara 54 - 66%.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
- Tingkat kepercayaan. Dalam menentukan besar sampel, peneliti juga memperhatikan tingkat kepercayaan yang harus diberikan dalam menyimpulkan bahwa jika seseorang menarik sampel lain dari populasi itu, sampel tersebut harus memberikan hasil yang kira-kira sama dengan yang pertama. Diulang berapapun pengambilan sampel, akan memberikan hasil yang sama. Tingkat kepercayaan ini erat hubungannya dengan Sampling Error. Sampling Error mengacu kepada bagaimana keakuratan taksiran yang diinginkan oleh peneliti, sedangkan tingkat kepercayaan mengacu kepada bagaimana kepastan yang diinginkan bahwa taksiran itu sendiri akurat. Kita bisa membuat analogi demikian. Andaikan kita meneliti kolak dalam satu dandang besar (populasi), peneliti kemudian mengambil segelas kolak sebagai sampel. Misalkan peneliti menemukan bahwa 20% dari sampel kolak terdiri atas pisang. Apakah angka itu mewakili proporsi pisang dalam seluruh kolak dandang besar? Dalam setiap sampel, betapapun telitinya sampel itu ditarik, biasanya ada saja kesalahan. Misalnya bisa jadi 25% dari kolak itu terdiri atas pisang meskipun pencicip hanya menemukan 20%. Orang yang halus pengecapnya mungkin berpendapat bahwa ketidakakuratan seperti itu tidak dapat ditoleransi, tetapi orang yang kelaparan tidak akan begitu menghiraukannya. Tingkat kesalahan itulah yang disebut Sampling Error. Sehingga ia selalu mempertanyakan: Apakah 20% dari kolak itu terdiri dari pisang sementara tingkat kepercayaan selalu mempertanyakan bahwa 20% dari setiap mangkok kolak akan terdiri dari pisang. Bila satu mangkok berisi 20% pisang, dan diambil semangkok lagi kolak dari dandang, peneliti ingin yakin bahwa hasilnya sama yaitu 20% terdiri dari pisang. Tetapi tidak mungkin 100%, karena pengambilan sampel seberapapun telitinya selalu ada kesalahan. Tingkat kepercayaan yang sering dipakai adalah 90%, 95% dan 99%. Disini peneliti merasa yakin 90% atau 95% bahwa komposisi sampel bisa diulang serta tetap identik jika dipilih sampel lain dari populasi yang sama. Semakin tinggi tingkat kepercayaan yang diinginkan, semakin besar ukuran sampel yang diperlukan. Tingkat kepercayaan dapat memberi keyakinan kepada kita bahwa temuan-temuan dalam sampel dapat digeneralisasikan kepada populasi. Bila digunakan tingkat kepercayaan 90 atau 95%, ini berarti jika terdapat 100 sampel, maka perbedaan yang diamati akan muncul dalam 90 atau 99 dari sampel itu. Berapa besar sampel yang dibutuhkan? Ketiga faktor yang menentukan besar sampel itu dapat dirangkum dalam rumus sebagai berikut:
N = (p x q) . Z2/E2 Dimana (p x q) adalah variasi proporsi populasi, Z adalah ukuran tingkat kepercayaan dan E adalah Sampling Error / kesalahan yang dapat ditoleransi. Sebagai misal, kita ingin membuat sampel dimana populasinya adalah mahasiswa UNHAS. Sebagai taksiran tentang keragaman populasi biasanya diambil proporsi seimbang 50 : 50. Misalnya proporsi antara laki-laki dan perempuan 50% : 50%. Untuk menghitung variasi dari populasi, kita mengalikan proporsi laki-laki (p) dan proporsi wanita (q) sehingga (p . q) = 0,5 (0,5) = 0,25. Ukuran tingkat kepercayaan adalah suatu skor Z. Kita cukup saja dengan mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 99%, skor Z adalah 2,58; pada tingkat kepercayaan 95% skor Z adalah 1,96 dan pada tingkat kepercayaan 90% skor Z adalah 1,65.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Misalkan dalam contoh ini tingkat kepercayaan adalah 95%, sehingga skor Z adalah 1,96 masuk ke dalam rumus. Ukuran kesalahan yang dapat ditoleransi sederhana. Andaikan kita menginginkan taksiran berdasarkan sampel dengan kesalahan tidak lebih dari ± 5%. Jadi jika sampel itu menunjukkan bahwa 45% setuju Badan Eksekutif Mahasiswa, maka diantara 40 dan 50% dari populasi seluruh mahasiswa UNHAS pasti menyetujui keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa. Dengan demikian E = 0,05. Oleh karena N = (0,25) . 1,962/0,052 , atau N = (0,25) . 3,842/0,0025 = 384. Besar sampel yang diperlukan adalah 384 orang. Jika kita naikkan tingkat kepercayaan kita menjadi 99%, maka akan diperlukan besar sampel berikut bagi setiap Sampling Error/tingkat kesalahan: ±1% = 9.000, ±2% = 2.400, ±3% = 1.067, ±4% = 600, ±6% = 267; dan ±7% = 196 dan seterusnya. Dengan mempertimbangkan proporsi populasi, Sampling Error yang dipakai dan tingkat kepercayaan, kita dapat memprediksikan jumlah sampel polling yang kita butuhkan dalam polling. Ketiga hal tersebut menunjuk kepada presisi tingkat ketelitian yang kita perlukan dalam polling. Sebagaimana dikatakan Bradburn and Sudman, jika kita membutuhkan hasil polling yang teliti kita akan mengambil Sampling Error sekecil mungkin dan tingkat kepercayaan sebesar mungkin itu berarti jumlah sampel yang besar. Semua ini dapat diperhitungkan peneliti sebelum polling dilakukan. C. Penyusunan Kuesioner Anekdot ini sangat terkenal. Ada dua orang santri, NU dan Muhammadiyah, sedang berdebat apakah termasuk perbuatan dosa berdoa dan pada saat yang sama merokok. Setelah berdebat berjam-jam, mereka berdua tidak menemukan jawabnya, dan memutuskan untuk menanyakan kepada guru mereka masing-masing. Seminggu kemudian mereka bertemu kembali. “Baik, apa yg dikatakan oleh gurumu?” tanya santri NU. Santri Muhammadiyah menjawab, “Menurut guruku, itu boleh dan malah baik”. “Oh, itu sungguh sangat lucu”, santri NU melanjutkan, “Guruku sebaliknya mengatakan perbuatan itu berdosa”. “Apa yang kamu tanyakan kepada gurumu?” tanya santri Muhammadiyah. Santri NU menjawab, “Saya menanyakan apakah dosa berdoa sambil merokok”, “Oh”, Kata santri Muhammadiyah, “Saya sebaliknya menanyakan kepada guruku apakah berdosa merokok sambil berdoa”. Anekdot tersebut menunjukkan betapa pentingnya merumuskan pertanyaan. Merumuskan pertanyaan merupakan aspek penting dalam polling, yakni membuat pertanyaan yang tepat yang dapat dipersepsi sama oleh semua responden. Peneliti polling harus mengingat katakata ini: Pendapat responden kemungkinan bukan gambaran dari sikap responden, tetapi hanya jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. -
Bagaimana Pertanyaan yang Baik Itu? Pertanyaan kadang sukar dimengerti oleh responden. Mengapa? Paul B. Sheatsley memberikan jawaban yang baik: “Karena kuisioner umumnya ditulis oleh seseorang yang berpendidikan, mempunyai minat khusus dan mengerti tentang topik yang akan mereka tanyakan. Pertanyaan itu selalu ditanyakan kepada orang yang berpendidikan lain atau orang yang mempunyai minat berbeda terhadap suatu isu.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Karenanya seringkali kuisioner ditulis terlalu rumit, terlalu ilmiah, dan tidak relevan bagi responden yang tidak mempunyai perhatian sama, sehingga pertanyaan nampak seperti buatan daripada alamiah.� Polling menanyakan sesuatu yang subjektif, yakni pendapat/pandangan seseorang mengenai suatu isu tertentu, padahal hasil polling berpretensi untuk mendapatkan hasil yang objektif. Pendapat seseorang amat bergantung kepada pertanyaan yang kita berikan. Pertanyaan yang salah, akan menghasilkan jawaban yang salah. Di sini kita bertemu dengan dua konsep yang sentral yakni validitas dan reliabilitas. Jamaludin Ancok menggambarkan dengan baik pengertian validitas dan reability. Validitas menunjuk kepada apakah alat ukur yang kita pakai itu memang mengukur apa yang ingin kita ukur. Bila seseorang ingin mengukur panjang suatu benda, ia harus memakai meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang. Bila berat badan yang ingin dia ukur, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid untuk mengukur berat, karena timbangan memang mengukur berat. Tetapi timbangan tidak bisa dipakai untuk mengukur panjang, sebab timbangan bukan alat ukur yang valid untuk hal ini. Sementara reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Misalnya seseorang mengukur panjang jalan dengan menggunakan dua buah alat pengukur yang berbeda, yang satu menggunakan langkah kaki dan lainnya menggunakan meteran. Dalam alat meteran, panjang jalan akan sama diukur dua atau tiga kali bahkan berapapun ia secara konsisten menghasilkan angka yang sama. Berbeda bila alat ukur yang dipakai adalah langkah kaki. Hasil pengukuran kedua atau ketiga tidak bisa sama dengan yang pertama. Dengan kata lain meteran adalah alat pengukur yang reliabel, sedangkan langkah kaki adalah alat yang kurang reliabel. Validitas dan reliabilitas adalah problem dalam merumuskan pertanyaan. Kita harus selalu mempertanyakan bahwa pertanyaan/kuesioner yang dibuat bisa mengukur apa yang ingin kita ukur. Kuesioner yang baik adalah apabila ia bisa ditafsirkan sama oleh berapa pun responden. -
Menghindari Bias dalam Pertanyaan Dalam analogi sasaran tembak, pertanyaan yang baik adalah yang tepat mengenai sasaran, artinya ia menanyakan apa yang benar-benar ingin diukur. Ada beberapa hal yang harus dihindari yang dapat membuat pertanyaan tidak tepat sasaran diantaranya adalah pertanyaan yang bias atau membebani responden. Pertanyaan yang bias adalah membuat satu jawaban lebih mungkin daripada yang lain tanpa mempertimbangkan pendapat responden. Pertanyaan seperti, “Apakah anda menentang pembunuhan bayi dalam kandungan?� atau, “Apakah anda mendukung penangkapan aktivis PRD yang dituduh komunis?� Pertanyaan ini mengarahkan responden pada satu jawaban yang lebih memungkinkan daripada jawaban yang lain. Pertanyaan bias pernah terjadi dalam polling yang pernah
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
dilakukan di Amerika untuk mengukur dukungan masyarakat terhadap pembatasan pajak. Polling itu menanyakan, “Apakah menurut anda kita membutuhkan hukum yang mengatur batas jumlah pajak yang harus dibayar sebagai cara untuk menghentikan penarikan pajak tiap hari yang menguras kantong anda?” Hasilnya, 90% responden mengatakan “ya”. Proporsi jawaban “ya” yang besar ini bukan semata karena responden memang mendukung adanya hukum pembatasan pajak, tetapi lebih dikarenakan oleh pertanyaan yang bias. Dengan pemakaian kata seperti “menguras kantong anda” peneliti mengarahkan responden untuk menjawab “ya” -
Menghindari Pertanyaan Bermakna Ganda Makna pertanyaan seharusnya jelas bagi semua responden. Sebagai contoh jika peneliti ingin menanyakan, “Berapa pendapatan anda?” Jawaban akan datang dengan arti yang berbeda-beda: gaji; gaji setelah dikurangi potongan; penghasilan sampingan; atau apakah pendapatan itu sebulan, setahun, enam bulan; dan sebagainya. Kebingungan akan terjadi karena responden akan menafsirkan pertanyaan itu secara berbeda. Berbahayanya, jika responden menjawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan yang kita tanyakan. Misalnya jika yang kita maksudkan adalah gaji pokok, tetapi responden menjawabnya sebagai gaji ditambah penghasilan lain. Bila yang dimaksudkan adalah gaji pokok maka harus dinyatakan secara tegas dalam pertanyaan. Pertanyaan bermakna ganda juga dapat terjadi pada penggunaan kata yang tidak dapat didefenisikan secara jelas. Misal dalam pertanyaan, “Apakah anda lari pagi secara teratur?” Kata teratur di sini tidak jelas, apakah tiap hari, tiap minggu dan sebagainya. Atau dalam pertanyaan, “Berapa jumlah orang yang tinggal disini?” Pertanyaan ini juga mengandung banyak arti. Apakah yang dimaksud dengan tinggal? Apakah Cuma keluarga, apakah termasuk pembantu, hewan piaraan, dan sebagainya. Pertanyaan bermakna ganda muncul jika setiap orang mempunyai penafsiran yang berbeda. Misalnya penafsiran yang mungkin muncul dari pertanyaan berikut, “Kenapa anda membeli buku ini?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan ambigu karena responden akan menginterpretesikannya dalam banyak penafsiran:
Kenapa anda membeli buku ini? (sebagai perbandingan dari kenapa bukan pinjam dari teman, atau meminjam di perpustakaan). Kenapa anda membeli buku ini? (sebagai perbandingan kenapa tidak buku yang lain). Kenapa anda membeli buku ini? (sebagai perbandingan kenapa membeli buku, kenapa uangnya tidak untuk menonton film, atau dibelikan baju), dan sebagainya.
Perbedaan penafsiran akan makin besar karena responden akan menafsirkan sesuai dengan kondisi atau keadaan responden. Seseorang yang suka ke perpustakaan akan menafsirkan pertanyaan seperti penafsiran no.1; seseorang yang sedang membeli buku di toko buku akan menafsirkan seperti pada no.2; dan responden yang hobi membeli buku akan menjawab sesuai dengan penafsiran no.3 dan seterusnya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
-
Menghindari Pertanyaan yang Tidak Dapat Dipahami Pertanyaan harus disesuaikan dengan kerangka pengalaman responden sehingga makna pertanyaan dapat dipahami oleh semua responden. Pemakaian kata-kata, istilah teknis, harus mempertimbangkan apakah istilah tersebut dimengerti oleh responden. Ada beberapa kemungkinan jika pertanyaan yang tidak dapat dipahami ini ditanyakan kepada responden. Pertama, banyak responden yang tidak menjawab karena tidak mengerti apa yang ditanyakan. Kedua, responden akan menjawab sekenanya yang tidak mencerminkan pendapat sesungguhnya. Responden memang bisa bertanya kepada pewawancara mengenai konsep atau istilah yang tidak diketahuinya. Tetapi, hal ini menyebabkan standardisasi kuesioner buruk, karena setiap pewawancara bisa jadi mempunyai penafsiran yang berbeda atau pewawancara memberikan penjelasan yang cenderung mengarahkan jawaban responden.
D. Prosedur Dan Metode Wawancara Sampel dan kuesioner dirancang agar didapat data yang benar, tetapi untuk itu dibutuhkan sikap kooperatif dan kerjasama dengan responden: bahwa responden akan mengatakan informasi yang sejujurnya, responden merasa aman yang akhirnya memberikan informasi yang sesungguhnya. Untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya diperlukan keterampilan wawancara sehingga kuisioner yang telah disusun dapat mencapai sasaran. Masalah utama dalam wawancara adalah mengontrol kebohongan responden. Kita tidak bisa mengecek apakah responden berkata jujur atau berbohong, karena yang kita lakukan hanyalah bertanya kepada mereka. Maka amat penting mengontrol kesalahan yang mungkin timbul dalam wawancara. 1. Pengaruh Pewawancara Dalam wawancara sangat mungkin timbul bias. Wawancara adalah suatu proses dinamis dimana antara responden dan pewawancara saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Latar belakang baik responden maupun pewawancara akan berakibat pada jawaban yang akan diberikan responden. Responden mempunyai berbagai sifat dan atribut pribadi tertentu yang mempengaruhi ketepatan dan kualitas jawaban mereka. Sifat-sifat yang melatarbelakangi pewawancara seperti usia, jenis kelamin, agama, suku, atau pendidikan dapat menimbulkan sikap dan kecenderungan tertentu yang akan mempengaruhi jawaban responden. Responden laki-laki yang diberikan pertanyaan tentang diskriminasi wanita dalam pekerjaan mungkin menjawab berbeda apabila pertanyaan diajukan oleh pewawancara wanita karena responden ingin memberikan kesan baik kepada pewawancara. Demikian juga pewawancara berkulit putih mungkin memperoleh jawaban berbeda dari responden yang berkulit hitam atas pertanyaan tentang diskriminasi dan prasangka rasial daripada yang diperoleh pewawancara yang berkulit hitam dan sebagainya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Wawancara adalah suatu bentuk pertukaran sosial. Responden memberi kesan mengenai citra tertentu atas dirinya sendiri, keluarga, kelompok sosial, masyarakat, atau agama. Citra tersebut paling tidak sebagian akan berfungsi membentuk bobot reaksi antara pewawancara dan responden dan akan membentuk dampak langsung terhadap kemungkinan apakah responden jujur dalam menjawab pertanyaan yang mereka anggap sensitif. Bias yang disengaja paling sering terjadi bila terdapat jarak sosial antara pewawancara dan responden. Sebagai contoh responden dari kelas bawah atau anggota kelompok minoritas mungkin tidak begitu mau berterus terang bila mereka diwawancarai oleh orang yang berstatus lebih tinggi. Cannel dan Kahn membuat kata-kata yang bagus untuk menggambarkan hal ini: “Faktor latar belakang adalah elemen penting dalam wawancara sebab faktor tersebut membentuk semacam lapisan tanah bagian bawah dimana banyak sekali alasan dan persepsi perorangan mempunyai akar langsung. Tetapi sifat latar belakang tiap-tiap partisipan dalam wawancara mempunyai tambahan karena sifat tersebut memberi petunjuk bagi partisipan lain. Sikap, alasan, dan stereotip tertentu dibangkitkan dalam pikiran responden oleh persepsinya sendiri bahwa pewawancara mempunyai sifat latar belakang tertentu. Mungkin pewawancara dipengaruhi dengan cara yang sama oleh persepsi awalnya mengenai responden. Reaksi-reaksi semacam itu pada gilirannya mempengaruhi kedua partisipan.� Pengaruh ini tergantung kepada topik polling yang akan dibuat. Dalam polling mengenai aborsi misalnya jenis kelamin/gender memberi pengaruh yang signifikan kepada jawaban responden. Polling mengenai isu diskriminasi sosial, perbedaan warna pewawancara dan responden dapat menentukan jawaban responden. Pengaruh ini tentu saja amat spesifik tergantung kepada masalah polling. Kalau kita membuat polling mengenai UU ORMAS atau GCNKRI tentu saja pengaruh jenis kelamin, suku, ataupun agama pewawancara dan responden tidak ada. Masalahnya terletak pada bebas tidaknya seorang responden untuk mengungkapkan pendapatnya. Pendapat responden amat peka, sehingga meski pertanyaan sudah disusun dengan baik, jawaban tergantung pada bagaimana reaksi responden pada waktu diwawancarai. Dalam polling mengenai aborsi misalnya. Responden wanita merasa aman untuk berbicara dengan pewawancara wanita, sehingga distribusi yang mendukung aborsi besar. Sementara ketika diwawancarai oleh pewawancara laki-laki masih ada kesan segan untuk mengungkapkan pendapat sebenarnya. Responden mempunyai sikap, persepsi, motivasi, yang mempengaruhi ketepatan dan kualitas jawaban mereka. Masalah utama dalam hal ini adalah Bagaimana membuat responden mempunyai motivasi untuk menjawab pertanyaan. Sebagaimana dikatakan oleh Denzin, dalam sebagian besar situasi wawancara, pewawancara dan responden tidak saling mengenal sebelum wawancara berlangsung dan ada kemungkinan bahwa mereka tidak akan saling berjumpa lagi setelah wawancara selesai. Kuncinya adalah bagaimana membuat responden mempunyai dorongan untuk berperan serta atau pun memberikan jawaban yang lengkap dan akurat.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Faktor psikologis dapat mempengaruhi jawaban karena pendapat, persepsi, dan harapan dari pewawancara dapat mempengaruhi jawaban responden. Pewawancara mempunyai predisposisi psikologis yang tidak diketahui, karena faktor psikologis di sini tidak dapat diamati oleh responden. Untuk mengatasi pengaruh itu instruksi untuk pewawancara haruslah jelas dan tertulis. Disamping itu tujuan dari suatu polling juga tertulis tegas. Instruksi harus menggambarkan bagaimana setiap pertanyaan harus dijawab, jenisjenis jawaban yang dapat diterima, kapan penyelidikan harus dilakukan, dan sebagainya. Instruksi itu harus juga memasukkan jumlah dan identitas responden. Ada tiga metode mengumpulkan data, yaitu: lewat surat, lewat telepon, dan wawancara secara langsung. Menentukan metode pengumpulan data ini biasanya ditentukan sebelum polling dijalankan, sebab metode pengumpulan data bukan hanya berhubungan dengan sumber dana dan manusia yang tersedia tetapi juga berhubungan dengan sampel dan tujuan polling yang dilakukan. Kalau kita memilih pengumpulan data lewat telepon, responden kita adalah pemilik telepon sehingga sampel harus diambil dari populasi pemilik telepon. Demikan juga kalau kita memilih pengumpulan data lewat surat harus tersedia sebuah daftar alamat populasi dari mana sampel akan diambil. Ketiga metode pengumpulan data itu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. 2. Polling Lewat Surat Apabila responden tinggal berdekatan satu sama lain, kuisioner mungkin akan lebih cepat dan lebih murah diberikan langsung kepada mereka. Tetapi bila responden tersebar di tempat-tempat yang berjauhan, cara yang terbaik adalah mengirimkan kuisoner lewat pos. Sebelum pengiriman kuisioner, responden perlu diberikan penjelasan pengantar. Pengantar adalah hal yang amat penting dalam polling yang dilakukan lewat surat. Hal ini karena dalam polling lewat surat aspek terpenting adalah menciptakan motivasi responden sehingga berminat mengikuti polling yang kita lakukan. Pengantar ini dibubuhi dengan pernyataan yang menimbulkan motivasi responden untuk berpartisifasi. Penjelasan pengantar ini bisa disampaikan melalui surat pengantar bisa juga di cetak pada bagian depan kuisioner, yang menjelaskan secara umum pokok permasalahan polling. Perlu juga diungkapkan hal-hal yang menjadi pokok persoalan dengan cara yang tidak langsung untuk mengurangi prasangka buruk masyarakat dalam menanggapi polling yang sedang dilakukan. Misalnya pengantar yang secara eksplisit menerangkan bahwa polling itu ingin mengetahui sikap masyarakat terhadap aborsi. Menjelaskan polling itu dengan istilahistilah yang lebih umum, misalnya menyatakan bahwa polling itu adalah polling deskriptif terhadap perilaku seks remaja dapat mengurangi prasangka buruk masyarakat. Masalah yang kurang peka dapat dijelaskan secara mendetil dan lebih terbuka. Misalnya dalam polling tentang sikap masyarakat terhadap rencana pembangunan Pabrik Semen Indonesia, peneliti menerangkan bahwa polling itu adalah bagian dari usaha untuk mengetahui dampak pembangunan pembangkit nuklir terhadap lingkungan sekitarnya. Seberapapun rincinya, pengantar kuesioner harus menekankan pentingya polling bagi perkembangan ilmu, bagi masyarakat, dan kalau mungkin bagi masing-masing
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
responden. Pentingnya masing-masing responden harus juga dinyatakan secara tegas. Umumnya dengan menegaskan bahwa responden adalah bagian dari sampel yang telah diseleksi secara ilmiah untuk mewakili pendapat dan karakteristik masyarakat yang sangat besar dan beraneka ragam. Pengantar hendaknya diakhiri dengan permohonan kepada responden untuk berpartisipasi dalam polling dengan mengisi kuesioner. Kuesioner yang dikirim lewat surat dapat menjangkau sampel yang berjauhan dan besar, karena kebanyakan orang memiliki alamat yang dapat dijangkau oleh pos. Polling lewat surat juga menjangkau para pekerja malam, orang-orang yang sering berpergian, orang sibuk, sulit ditemui, bahkan orang-orang di pedesaan. Untuk mengirimkan kuisioner lewat surat diperlukan alamat responden. Oleh karena itu, buku daftar alamat, buku alamat mahasiswa, ataupun buku induk organisasi seringkali dipakai sebagai kerangka penarikan sampel dan sumber informasi alamat. Satu paket kuisioner pada umumnya berisi surat pengantar, naskah kuisioner, dan sampul pengembalian yang telah dilengkapi dengan alamat. Pada sampul pengembalian, ditempeli label “bea dibayar oleh alamat�, sehingga biaya pengiriman dibayarkan setelah setelah kuisioner diterima kembali oleh alamat. Cara ini lebih hemat daripada langsung menempelkan perangko pada sampul pengembalian karena menempelkan perangko mengharuskan peneliti tetap mengeluarkan biaya, tidak peduli apakah kuisioner dikembalikan atau tidak. Masalah utama polling lewat surat adalah tingkat jawaban dan pengembalian kuisioner yang rendah. Kuesioner lewat surat sangat mengandalkan kerjasama responden, kita tidak dapat memaksa responden menjawab dan mengembalikan kuesioner. Meskipun begitu ada beberapa langkah kontrol yang harus dilakukan oleh peneliti. Kira-kira dua minggu setelah pengiriman, sebaiknya dikirimkan lagi kartu pos kepada responden. Kartu pos ini berisi ringkasan informasi isi surat pengantar dan mendorong responden untuk secepatnya mengisi kuisioner. Dalam kartu pos juga dicantumkan nomor telepon peneliti dan permintaan kepada responden untuk menelepon kembali jika dia memerlukan penjelasan atau jika terjadi kesalahan dalam mengisi kuisioner. Bila terdapat responden yang tidak memperhatikan kartu pos yang dikirimkan sampai dua minggu, dikirim lagi satu paket kuisioner dengan surat pengantar yang berbeda. Tindakan ini dilakukan tiga atau empat minggu setelah pengiriman pertama. Surat pengantar yang baru, menyebutkan tentang pengiriman sebelumnya dan peneliti menyatakan pentingnya polling yang sedang dilakukan. Jika perlu surat kedua ini berisi himbauan yang agak mendesak untuk mengisi kuisioner demi perkembangan ilmu, dan kepentingan masyarakat. Apabila tetap tidak ada tanggapan, dapat mengirimkan kartu pos ketiga. Pengiriman keempat atau terakhir dilakukan tujuh minggu setelah pengiriman pertama. Dengan menunggu sampai terkumpulnya kuisioner yang lebih banyak dari pengiriman sebelumnya, dapat dikurangi jumlah biaya pengiriman paket kuisioner yang terakhir dan kemungkinan menyinggung perasaan responden yang terlambat dalam mengembalikan kuisioner.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Teknik lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengembalian kuisioner adalah layout/desain kuisioner. Layout merupakan hal penting dalam polling lewat surat karena tidak ada pewawancara dalam polling surat ini. Dalam polling lewat surat, tidak ada pertanyaan penyelidikan, juga tidak ada kesempatan bagi responden untuk menanyakan beberapa hal yang tidak dimengerti. Peneliti tidak dapat mengetahui apakah responden bingung ataukah tidak. Karena itu kuisioner harus jelas, rapi dan mudah diikuti responden. Format pertanyaan juga dapat disusun sedemikian rupa agar memudahkan responden dalam menjawab pertanyaan. Daftar pertanyaan yang disusun ke bawah lebih mudah dipahami dibandingkan format pertanyaan horisontal. Bantuan pertanyaan dalam bentuk gambar akan meningkatkan ketertarikan responden, misalnya menggambar termometer ketika menanyakan perasaan terhadap suatu isu. 3. Polling Lewat Telepon Wawancara yang sering dipakai adalah lewat telepon. Wawancara telepon lebih menjamin kecepatan sesuatu yang amat dibutuhkan oleh polling. Kelebihan utama dari metode ini selain kecepatan data adalah kemudahan dan keringkasan dalam pelaksanaannya. Wawancara telepon digunakan untuk polling yang melibatkan banyak orang dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu yang cepat. Masalah utama dari polling yang memakai telepon adalah kemungkinan responden menghentikan wawancara. Pada polling lewat telepon atau handphone (HP), responden dapat dengan cepat menghentikan wawancara setiap saat dengan meletakkan gagang telepon atau memutus pembicaraan. Hal ini membuat peneliti banyak kehilangan data-data yang diperlukan. Jauh lebih sulit bagi responden untuk menghentikan wawancara dalam wawancara langsung. Lagi pula wawancara telepon biasanya menghasilkan jumlah lebih sedikit informasi daripada informasi yang diperoleh melalui wawancara langsung. Melakukan wawancara lewat telepon tidak bisa lebih dari 20 menit, hal ini karena tradisi tidak baik berbicara terlalu lama lewat telepon. Responden sering tidak menyiapkan diri untuk wawancara misalnya sedang sibuk dengan aktifitas kerja, berkumpul dengan anggota keluarga sehingga suasana responden tidak sedang dalam wawancara yang baik. Apalagi kalau responden sedang ada keperluan, suasana wawancara menjadi terburuburu. Untuk mengatasi hal itu dibutuhkan kepandaian dan keterampilan pewawancara untuk meyakinkan responden akan pentingnya polling. Peneliti dapat juga membuat surat pengantar kepada orang yang hendak diwawancarai sehingga responden siap sebelum diwawancarai dan tidak menghentikan wawancara di tengah jalan. Agar polling lewat wawancara telepon berjalan efektif beberapa kiat dapat dilakukan. Wawancara lewat telepon dimulai dengan sebuah pengantar dan penjelasan untuk meyakinkan responden bahwa pemanggilan telepon itu resmi. Bila menghubungi melalui telepon statis (pesawat telepon rumah), Pewawancara memulai dengan menanyakan apakah nomor yang dihubungi benar, sebab ada kemungkinan sudah pindah atau berganti nomor. Kemudian pewawancara harus menanyakan apakah nomor yang dihubungi itu tempat tinggal atau sebuah kantor, karena polling dan penelitian survei hanya memasukkan rumah tangga. Pertanyaan penyaring ditanyakan untuk memberi keyakinan bahwa lokasi yang dipanggil adalah wilayah sampel polling. Jika ada
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
jaminan bahwa nomor yang dihubungi adalah rumah tangga dalam wilayah yang disampel, pewawancara kemudian mengenalkan diri, mengenalkan penyelenggara polling, tema polling dan tujuan polling. Keberhasilan wawancara lewat telepon salah satu diantaranya ditentukan oleh pengantar sebelum wawancara dilakukan. Jika ada penolakan, hal itu diantaranya disebabkan oleh kalimat pendahuluan dan pertanyaan pertama. Untuk itu mengenalkan siapa kita, siapa penyelenggara polling dan untuk apa kita mewawancarai mereka merupakan hal yang penting untuk disampaikan. Disamping itu pewawancara harus mengecek apakah orang yang menjawab dalam telepon adalah responden yang diinginkan. Jika responden yang diinginkan tidak ada, pewawancara membuat perjanjian untuk memanggil ulang pada waktu yang lain. 4. Wawancara Tatap Muka / Langsung Dibanding pengiriman kuisioner lewat surat dan telepon, wawancara langsung (tatap muka) lebih menjamin tingkat jawaban responden yang tinggi, disamping dapat memperoleh kualitas data yang diharapkan. Meskipun pewawancara dilengkapi dengan daftar pertanyaan yang bagus, keberhasilan suatu wawancara pada akhirnya ditentukan oleh pewawancara. Karena pentingnya peran pewawancara, pemilihan calon pewawancara dan latihan awal adalah hal yang ikut membantu kesuksesan wawancara. Yang pertama harus dilakukan adalah melakukan kontak pendahuluan dengan responden terutama untuk responden yang sulit dihubungi. Bisa juga mengirimkan surat kepada responden beberapa hari sebelum pewawancara datang. Surat tersebut memberitahu responden mengenai siapa pelaksana polling dan topik polling secara garis besar. Disamping lewat surat, pemberitahuan juga dapat ditempuh lewat telepon. Kontak pendahuluan diperlukan karena kesulitan utama dalam wawancara tatap muka adalah menemui responden dan menyesuaikan dengan waktu luang responden, terutama untuk responden yang sibuk, yang waktunya terbatas dan lebih banyak berada di luar rumah. Dalam kontak pendahuluan ditanyakan kepada responden kapan mempunyai waktu untuk menerima pewawancara. Untuk memberi rasa aman kepada responden pewawancara harus memberi keyakinan mengenai polling yang akan dilakukan. Ini dapat dilakukan pada saat kontak pendahuluan atau pada saat sebelum wawancara dilakukan. Hal yang perlu dilakukan tersebut adalah: Katakan kepada responden siapa anda dan anda mewakili siapa. Dengan perkataan lain, jati diri pewawancara dan penanggungjawabnya harus jelas. Pewawancara perlu membawa tanda pengenal dan nomor telepon sehingga responden dapat menghubungi untuk mengecek jati diri pewawancara dan penanggungjawab bila dipandang perlu. Katakan kepada responden apa yang sedang anda lakukan sedemikian rupa sehingga membangkitkan minat mereka. Katakan kepada responden bagaimana ia dipilih. Ini merupakan pertanyaan paling umum dalam polling responden ingin tahu bagaimana mereka terpilih sebagai sampel dalam polling tersebut. Bila teknik pengambilan acak digunakan hal ini secara singkat harus dijelaskan pada responden. Penjelasan tersebut harus menekankan pentingnya peran serta responden dan mengapa penggantian orang tidak akan sebaik jika responden sendiri yang menjawabnya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Akhirnya dengan pengenalan diri pewawancara dan maksud polling tersebut pewawancara harus menciptakan rasa kepercayaan dan pengertian dengan responden. Meskipun kotak pendahuluan telah dilakukan, tetap ada kemungkinan bahwa responden tidak ada di rumah. Tidak semua responden dapat diwawancarai dengan mudah. Jika ini yang terjadi, pewawancara melakukan kunjungan ulang dengan menandai jadwal atau catatan lapangan, jam setiap kunjungan sebelum mencoret nama tersebut sebagai sampel. Aturan ini diterapkan baik diantara responden yang ditangani pewawancara yang sama maupun diantara semua responden yang ditangani oleh semua pewawancara. Bila kita membuat kunjungan ulang empat kali kepada responden yang tidak berada di rumah, harus dilakukan sebanyak itu pula untuk responden yang lainnya. Bila kunjungan ulang telah dilakukan dan tidak ada hasilnya, substitusi (penggantian) sampel dapat dilakukan. Masalah penggantian sampel sudah harus direncanakan dalam perencanaan polling. Dalam wawancara langsung, kehadiran pewawancara dapat mempengaruhi jawaban responden. Beberapa kiat ini dapat membantu. Jangan mengarahkan pembicaraan responden. Bila responden tampak tidak dapat mengemukakan pikirannya, pandai-pandai mengajukan pertanyaan penyelidikan sehingga tidak mengarahkan jawaban responden. Ingat bahwa responden dapat dipengaruhi oleh reaksi pewawancara (kata, isyarat, dan sebagainya). Ungkapan-ungkapan yang berisi penilaian harus dihindari. Bersamaan dengan itu, sejumlah kecil tanggapan dari pewawancara kadang-kadang efektif dan perlu untuk membangun hubungan akrab dan membangkitkan kemampuan responden untuk mengingat. Pewawancara jangan terlalu banyak berasumsi, bila responden belum selesai memberikan jawaban, jangan menyela atau mengira bahwa kita mengetahui hal yang ingin diutarakan responden. Pewawancara harus menjaga suasana wawancara berlangsung lancar dan menyenangkan, namun jangan mengorbankan kualitas. Tentu saja kelancaran ini akan ditentukan oleh daya ingat responden. Dengan perkataan lain, wawancara harus menyerupai percakapan. Sebaliknya penting bagi pewawancara untuk mengajukan butir-butir pertanyaan tersebut kepada masing-masing responden dengan tepat sesuai dengan yang tertulis pada kuisioner. Apabila menggunakan bentuk pertanyaan terbuka, pewawancara mencatat semua materi yang relevan. Bila ada keraguan terhadap relevansi atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, dicatat pada bagian lain dari kuisioner. Pencatatan secara langsung mungkin terhalang oleh cepatnya responden memberikan jawaban lisan. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali daftar catatan dan menerjemahkan tulisan yang tidak terbaca serta singkatan-singkatan yang samar sehingga koding lebih mudah dilakukan. Pekerjaan ini dilakukan segera setelah wawancara selesai dilakukan. Sementara itu Irawati Singarimbun mengutip dari Warwick, Donald P and Lininger, Charles, tentang beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam wawancara sebagai berikut.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Gambar 7.1 : Faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam wawancara Sumber : Warwick, Donald P. and Lininger, Charles A, The Sample Survey: Theory and Practice, New York, McGraw-Hill, 1975. Pada bagan di atas dilukiskan bahwa pewawancara dan responden masing-masing memiliki karakteristik sosial. Perbedaan karakteristik sosial tertentu dapat menghambat kelancaran proses wawancara. Misalnya seorang pewawancara yang berasal dari lingkungan sosial yang tinggi, mungkin merasa kurang senang dan tidak betah berada dalam lingkungan responden yang berasal dari golongan rendah. Dalam praktek hal ini penting diperhatikan. Keadaan ini dapat diatasi melalui pemilihan pewawancara yang tepat, dan penyelenggaraan latihan dan bimbingan yang direncanakan dengan baik. Topik penelitian atau daftar pertanyaan dapat pula mempengaruhi kelancaran dan hasil wawancara, karena kesediaan responden untuk menjawab tergantung pada apakah ia tertarik pada masalah itu dan apakah topik tersebut dalam penilaiannyapeka atau tidak. Daftar pertanyaan tidak hanya dapat mempengaruhi responden, tetapi juga pewawancara. Adakalanya bagian tertentu dari daftar pertanyaan sulit untuk disampaikan ataupun sangat peka untuk ditanyakan. Pertanyaan yang peka menyebabkan pewawancara merasa berat untuk mengajukannya, terutama bila dia kurang mendapat bimbingan yang baik. Situasi wawancara yang dimaksudkan di sini ialah situasi yang timbul karena faktor-faktor waktu, tempat, ada tidaknya orang ketiga, dan sikap masyarakat pada umumnya. Metode Mana yang Dipakai? Dalam menentukan metode mana yang dipakai, peneliti menyesuaikan dengan berbagai pertimbangan diantaranya: waktu, tingkat ketelitian yang diperlukan, dan biaya yang tersedia. Ada berbagai keuntungan dan kerugian dari tiap-tiap metode pengumpulan data yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Faktor administrasi/kesulitan pelaksanaan. Dari ketiga metode pengumpulan data, kuisioner yang dikirimkan lewat surat adalah yang paling murah ditinjau dari biaya pelaksanaan wawancara. Hal ini karena dalam kuisioner lewat surat tidak diperlukan pengawas ataupun pewawancara. Peneliti tinggal membayar perangko dan menunggu hasilnya. Sementara kuisioner lewat wawancara langsung (tatap muka) adalah metode yang paling mahal. Peneliti membutuhkan tenaga pewawancara dan pengawas dalam jumlah besar. Semakin besar sampel yang diwawancarai semakin membutuhkan banyak pewawancara. Biaya ini akan semakin mahal kalau letak responden menyebar dan sulit ditemui. Sementara untuk polling lewat telepon, biaya yang dikeluarkan sedang. Jumlah pewawancara juga tidak terlalu banyak, hanya dibutuhkan jumlah pengawas yang lebih banyak. Biaya telepon tentu saja lebih murah dibandingkan biaya melakukan wawancara langsung yang membutuhkan ongkos perjalanan dan akomodasi. Aspek lain dari pelaksanaan polling adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan polling. Diantara berbagai metode, wawancara lewat telepon adalah yang paling cepat dalam menyelesaikan wawancara. Dalam sehari puluhan bahkan ratusan responden dapat diwawancarai. Penyelenggara polling dapat memakai banyak saluran untuk mempercepat pelaksanaan wawancara. Dalam kuisioner yang dikirimkan lewat surat, seharusnya kuisioner dapat terkumpul beberapa minggu, tetapi cepat tidaknya kuisioner terisi amat bergantung kepada kerjasama dari responden. Apabila responden tidak cepat mengisi kuisioner waktu pelaksanaan polling menjadi lama. Tidak ada kontrol dari peneliti untuk memaksa responden secepatnya menyelesaikan kuisioner. Sementara dalam wawancara tatap muka, dibutuhkan waktu wawancara beberapa minggu. Pewawancara perlu mengenal daerah yang akan diwawancarai terlebih dahulu, mencari alamat dan menemui responden. Praktis peneliti hanya dapat menemui 2-3 responden tiap harinya. Apalagi kalau responden tempat tinggalnya berjauhan dan menyebar, dibutuhkan waktu wawancara yang lebih lama. Berdasarkan waktu wawancara, polling lewat telepon adalah yang paling cocok dipakai, terutama apabila menyangkut isu-isu yang aktual. Ketika bank dilikuidasi, peneliti ingin mengetahui pendapat masyarakat terhadap tindakan pemerintah. Lewat telepon, dalam beberapa jam dapat dikumpulkan ratusan responden. Sementara kalau lewat wawancara langsung atau surat membutuhkan waktu yang lama sehingga hasil polling kehilangan aktualitasnya dan sangat mungkin ketika dilaporkan hasilnya sudah tidak relevan. Cakupan sampel. Polling lewat telepon adalah yang paling jelek dalam cakupan sampel dibandingkan metode lain. Jumlah kepemilikan telepon amat terbatas, polling hanya bisa mewawancarai mereka yang memiliki telepon rumah atau pun telepon gengam (hp) yang berada dalam jangkauan jaringan telekomunikasi selular, dan rata-rata hidup di kota dan berpendidikan tinggi. Dalam polling lewat telepon, tidak semua anggota populasi tercakup dalam kerangka sampel, karena telepon rumah ataupun telepon gengam (HP) hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat, populasi polling dengan sengaja tidak menyertakan mereka yang tidak memiliki sambungan telepon ataupun telepon gengam (HP). Tidak semua daerah di Indonesia sudah terjangkau jaringan telekomunikasi selular. Dari sudut cakupan sampel, wawancara lewat surat ataupun wawancara langsung adalah yang terbaik. Karena semua responden dalam berbagai strata ekonomi dan lapisan sosial masyarakat dapat diambil sebagai kerangka sampel. Dengan mengambil daftar penduduk
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
sebagai kerangka sampel peneliti dapat melibatkan anggota populasi secara luas. Peneliti dapat memperhitungkan populasi masyarakat yang tinggal di desa atau memasukkan lapisan berpendidikan rendah/berpenghasilan rendah. Masalahnya sampel lewat surat membutuhkan akurasi alamat responden, padahal banyak responden yang alamatnya tidak jelas, pindah alamat, dan sebagainya. Dengan demikian mereka yang tidak mempunyai alamat jelas dengan sengaja dikeluarkan dari populasi yang akan ditarik sampelnya. Sementara dalam wawancara tatap muka, kesulitan timbul akibat kesalahan peta atau denah rumah. Tetapi hal ini dapat diatasi meskipun dibutuhkan survei agak lama. Tingkat jawaban. Dari ketiga metode, wawancara tatap muka adalah yang terbaik dalam hal memperoleh tingkat jawaban yang tinggi dari responden. Hal ini karena peneliti mendatangi langsung responden sehingga kemungkinan mendapatkan data wawancara lebih besar dibandingkan kalau lewat telepon ataupun surat. Di Indonesia, tingkat jawaban untuk wawancara langsung lebih tinggi rata-rata mencapai 90%. Ini dapat dimengerti karena pola kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak individualistik, disamping masyarakatnya lebih mudah untuk ditemui. Tingkat jawaban polling lewat surat adalah yang paling rendah. Kuisioner lewat surat amat membutuhkan kerjasama dari responden untuk menjawab dan mengirimkannya kembali kepada peneliti. Meskipun disediakan perangko balasan, pengembalian tetap bergantung pada itikad baik responden. Tingkat jawaban yang tinggi tentu saja wawancara tatap muka, disusul wawancara telepon dan yang paling rendah adalah kuisioner lewat surat. Aspek penting lain adalah tingkat penolakan, yaitu jumlah responden menolak diwawancarai ataupun menghentikan wawancara di tengah jalan. Dalam wawancara langsung ataupun lewat telepon untuk mengurangi penolakan peneliti dapat menjelaskan berbagai hal agar responden bersedia diwawancarai, tidak demikian halnya dengan kuesioner lewat surat. Hal ini karena antara responden dan peneliti tidak ada kontak secara langsung, sehingga peneliti tidak dapat membujuk responden agar mengirimkan kembali kuesioner. Masalah lain adalah tidak tersambung atau terhubung dengan responden. Masalah ini terjadi pada wawancara langsung, sebab ada kemungkinan besar responden tidak ada di rumah, apalagi kalau pewawancara tidak membuat waktu perjanjian wawancara. Orang yang sibuk atau sering berpergian kemungkinan sukar ditemui. Sementara dalam wawancara lewat telepon, pewawancara dapat menyesuaikan dengan waktu-waktu dimana responden berada di rumah misalnya malam hari atau pagi hari sebelum bekerja. Dalam wawancara telepon responden juga tidak perlu menyediakan waktu khusus seperti halnya wawancara langsung. Meskipun demikian, wawancara langsung amat efektif dipakai untuk polling yang sampelnya banyak melibatkan kelompok elit para pengusaha, pejabat, aparat militer dan sebagainya. Kualitas data. Ditinjau dari standardisasi kuisioner maka penyebaran kuisioner lewat surat adalah yang terbaik. Karena tidak melibatkan pewawancara sehingga kuisioner satu dengan yang lainnya sama ketika diterima oleh responden. Dalam polling lewat telepon atau tatap muka, pewawancara mempunyai peran untuk menafsirkan isi kuesioner yang dapat mengurangi standarisasi kuesioner. Meskipun lebih terstandar, kualitas dari kuesioner yang disebarkan lewat surat mempunyai mutu yang buruk. Hal ini karena sama sekali tidak
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
ada kontrol dari pewawancara. Responden sangat mungkin salah tafsir, menjawab pertanyaan diluar konteks pertanyaan, menjawab asal-asalan, belum lagi ada item pertanyaan yang tidak terisi lengkap, tulisan tidak terbaca dan sebagainya. Di samping itu dalam kuisioner yang dikirimkan lewat surat jawaban responden dapat terkontaminasi dengan jawaban orang lain. Kuesioner bisa diisi oleh isterinya atau anaknya bahkan pembantunya. Kuesioner lewat surat juga sangat memungkinkan responden untuk meminta pendapat orang lain sebelum menjawab pertanyaan, yang menyebabkan jawaban dan mutu data tidak lagi murni menunjukkan pendapat responden. Wawancara langsung ataupun lewat telepon dapat mengatasi hal itu, karena pewawancara berbicara secara langsung dengan responden. Pewawancara juga dapat memberi bantuan bila responden kesulitan dan mengoreksi bila ada jawaban di luar konteks yang ditanyakan. Wawancara langsung menghasilkan data yang bermutu tinggi. Bukan hanya ada kontrol dari pewawancara, tetapi juga pewawancara mempunyai kemampuan untuk melakukan penyelidikan atas jawaban responden. Pewawancara dapat menanyakan bila ada jawaban responden yang tidak jelas, atau ada jawaban yang harus diperinci lebih detil. Wawancara lewat telepon dapat melakukan hal yang sama namun tidak sebaik pada wawancara langsung. Dalam wawancara langsung, menurut Frey, pewawancara dapat menanyakan pertanyaan panjang, yang membutuhkan jawaban yang lebih rumit dan detail. Sementara dalam wawancara lewat telepon justru sebaliknya pertanyaan harus pendek dan kuisioner tidak boleh terlalu panjang sebab dibatasi oleh waktu wawancara. Dalam wawancara dimana pewawancara hadir baik tatap muka ataupun lewat telepon jawaban responden seringkali dipengaruhi oleh lingkungan sosial (social desirebility). Jawaban responden kadang tidak akurat merefleksikan pandangan nyata dari responden tetapi lebih karena ada situasi wawancara, kesadaran bahwa ia diwawancarai. Kalau pewawancara tidak memberikan penjelasan, maka responden kadang menjawab hal-hal yang baik saja karena ingin menyenangkan pewawancara. Jawaban juga mungkin bukan murni pendapatnya, tetapi lebih oleh kepantasan sosial yang diakibatkan oleh kedudukan responden dalam lingkungan sosial. Misalnya seseorang menjawab bahwa merokok itu merugikan, karena ia adalah seorang guru meskipun pendapat yang sebenarnya dari responden adalah merokok itu tidak merugikan. Tetapi pengaruh lebih besar adalah bias jawaban karena kehadiran pewawancara. Dalam kuesioner yang disebarkan lewat surat pertanyaan hadir langsung, dibaca dan dijawab sendiri oleh responden, tidak demikian halnya dengan lewat telepon apalagi wawancara langsung. Bias pewawancara ini bukan berarti bahwa pewawancara akan mempengaruhi atau mengarahkan jawaban responden meskipun kemungkinan itu ada tetapi efek yang timbul karena responden merasa tidak bebas. Merasa ingin membantu padahal tidak mempunyai cukup pengetahuan terhadap masalah yang ditanyakan. Responden juga cenderung mereka-reka jawaban yang bisa membuat ia tampak baik di mata pewawancara. Efek ini tidak begitu besar dalam wawancara lewat telepon karena yang hadir adalah suara bukan kehadiran pewawancara secara fisik. Dalam wawancara langsung, gerak-gerik pewawancara sedikit banyak dapat mempengaruhi jawaban responden. Prinsip penting dari polling adalah anonimitas dan kerahasiaan jawaban, karena prinsip ini amat menentukan tingkat keyakinan responden dalam menjawab
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
pertanyaan. Kalau responden merasa dirinya tidak dikenal, posisinya cukup aman, responden secara bebas berbicara termasuk mengenai tema-tema yang sensitif. Semakin teridentifikasi jati diri responden, responden makin takut untuk berpendapat, terutama berpendapat yang agak lain dari pendapat masyarakat umum. Dalam wawancara langsung, kehadiran pewawancara selalu dipandang curiga. “Dari mana anda tahu saya�, atau “Dari mana anda mengetahui alamat rumah saya?� adalah pertanyaan yang kerap diajukan oleh responden. Apalagi kalau responden tahu, bahwa pewawancara juga mengetahui identifikasi yang spesifik mengenai dirinya seperti bekerja di mana, umur, agama, dan sebagainya. Semakin dikenali responden makin tidak bebas dan takut berpendapat. Responden tidak selalu merasa yakin pendapatnya akan dirahasiakan oleh pewawancara. Selalu saja ada nada ketakutan dan kekhawatiran jika pewawancara menyebarkan pendapatnya kepada orang lain terutama apabila berkenaan dengan isu yang sensitif. Menurut Frey, polling lewat surat atau telepon lebih menjamin anonimitas responden. Kerahasiaan ini juga amat berhubungan dengan keterusterangan dalam wawancara. Responden akan terus terang mengenai pendapat sekiranya ada jaminan bahwa pendapatnya tidak akan disebarluaskan dan tidak berpengaruh terhadap dirinya. Sifat pertanyaan. Metode wawancara menentukan sifat dan bentuk pertanyaan yang akan ditanyakan. Setiap metode mempunyai ciri dan bentuk khas tersendiri yang menentukan pertanyaan macam apa yang cocok untuk disajikan. Pertanyaan yang kompleks yang membutuhkan kehadiran pewawancara sangat baik apabila menggunakan wawancara langsung. Demikian juga pertanyaan yang membutuhkan alat peraga seperti showcard, atau gambar. Dalam kuesioner lewat surat memang memungkinkan pemakaian alat bantu tetapi tidak sebaik dalam wawancara langsung, karena kehadiran pewawancara dapat membantu apabila responden mengalami kesulitan. Wawancara lewat telepon tidak memungkinkan pemakaian pertanyaan yang kompleks atau panjang. Pertanyaan yang diajukan harus sederhana, dengan pilihan jawaban yang jelas. Misalnya pertayaan dikotomi yang hanya meminta responden untuk memilih alternatif jawaban antara setuju dan tidak setuju. Hal ini berhubungan dengan kemampuan responden untuk mengingat dan berfikir, semakin kompleks pertanyaan semakin susah bagi responden untuk mengingat pertanyaan. Wawancara lewat telepon juga tidak cocok untuk bentuk pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka membutuhkan waktu bagi responden untuk berfikir, mengingat-ingat dan merekonstruksi jawabannya. Responden seringkali malas berfikir akibatnya akan muncul jawaban apa adanya. Wawancara lewat telepon juga tidak cocok untuk pertanyaan yang memakai skala 7 atau lebih karena dapat menyebabkan responden kehilangan konteks dan tidak mengingat alternatif jawaban yang dibacakan oleh pewawancara. Responden juga seringkali dibawasi oleh kemampuan mengingat dan menghubungkan pertanyaan dan alternatif jawaban sehingga konsistensi jawaban tidak terjaga. Berbeda misalnya dalam kuisioner lewat surat dimana responden dapat melihat nomor di atasnya atau membaca ulang apabila tidak jelas. Atau dalam wawancara langsung
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
dimana responden dapat meminta pewawancara untuk mengulangi pertanyaan yang tidak jelas. Pertanyaan dalam wawancara telepon harus singkat, sebab menelepon terlalu lama dapat dihentikan secara sepihak oleh responden. Singkatnya, sebagaimana dikatakan oleh Groves dan Kahn, wawancara lewat telepon hanya cocok untuk jenis pertanyaan yang sederhana, tidak rumit, dengan bentuk pertanyaan tertutup yang menyediakan pilihan jawaban yang jelas. Tetapi di antara berbagai aspek ini, pertimbangan yang harus diutamakan adalah apa tujuan dari polling dan apakah polling yang dilakukan itu membutuhkan waktu yang cepat. Kalau tema polling adalah peristiwa aktual maka amat disarankan untuk memakai wawancara telepon. Tetapi kalau tema polling adalah hal yang kompleks, menyertakan populasi yang luas dan heterogen, disamping peneliti juga menginginkan ketelitian yang dalam tentang topik tersebut, maka polling yang baik adalah lewat wawancara langsung. Selain aspek metodologis itu, peneliti juga harus mempertimbangkan aspek teknis: biaya pelaksanaan, sumber daya manusia yang ada, dan sebagainya.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
BAB VIII PENUTUP Pada hakikatnya bagi Negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi, kebijakan yang diambil adalah untuk kepentinagn umum selalau memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Oleh karena itu pendapat umum dan kebijakan public memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dapat dilihat dari siapa dan bagaimana strukutr dari pendapat itu. Umumnya kebijakan public berkaitan denganpendapat yang diasampaiakn oleh orang yang memiliki perhataian tinggi dan juga yang aktif dalam aktivitas politik dibanding dengan orangorang yang tidak punya perhataian dibandinag dengan orang-orang yang pasif. Secara struktur pendapat biasanya lebih banyak dinyatakan melalui media massa (cetak ataupun elektronik) baik dengan wawancara dengan wartawan ataupun ketersediaan tempat dalam media untuk memuat surat pembaca, artikel, tulisan kolom dan sebagainya. Para pengambil kebijakan (palicy makers) sangat memerhatiakn pendapat (opinion) yang dimuat dalam media, sebab opini semacam itu bisa menimbulkan dukungan dari pembaca. Selain itu, opini juga dapat disalurkan melalui organisasi-organisasi masyarakat yang berkepentingan. Kembali ke awal, bahwasanya Negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, harus mengerti dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakatnya, karna kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Oleh sebab itu dalam lembaga pemerintahan, perlu mengetahui akan pendapat umum. Pengetahuan mengenai apa yang menjadi keinginan masyarakat (pendapat umum), dapat dijadikan landasan dalam membuat kebijakan. Apabila hal seperti ini dijalankan, tentu saja kebijakan yang dihasilkan pemerintah akan mendapat dukungan dari masyarakat. Pemerintah yang memperhatikan pendapat umum akan dapat menjalankan program pembangunan dengan sukses. Mengenai Polling atau jajak pendapat yang telah terulas diatas, Polling merupakan instrumen berpengaruh dalam setiap kegiatan politik di Indonesia. Pada kondisi itu, sebagai refleksi dari negara demokratis, ekspresi politik publik melalui polling menjadi bahan pertimbangan atau subjek dalam pengambilan keputusan dari setiap kebijakan negara. Ini artinya, polling berperan bukan hanya dalam rangka pemilu, namun lebih dari itu juga memiliki peran dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah. Melalui polling pemerintah dapat mengukur aspirasi dan keinginan publik. Semakin banyak survei, semakin banyak hasil jajak pendapat yang dipublikasikan akan semakin bagus. Bukan hanya agar khalayak mendapatkan lebih banyak informasi soal pendapat publik, tetapi juga demi kepentingan pengembangan penelitian pendapat umum di Indonesia. Banyaknya penelitian di bidang ini akan semakin membuka hutan rimbun yang belum dijamah itu. Dari jajak pendapat yang telah dilakukan akan bisa diperbandingkan, pengaruh sampel terhadap hasil, bagaimana seharusnya pertanyaan dirumuskan untuk konteks Indonesia, berapa jumlah responden ideal agar bisa mencakup keragaman masyarakat Indonesia dan seterusnya. Tantangan bagi lembaga jajak pendapat di masa datang adalah mendesain survei yang cepat, efesien, murah tetapi sekaligus akurat.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Pengetahuan yang mendalam mengenai soal ini akan sangat berguna bukan hanya bagi lembaga jajak pendapat tetapi juga kepentingan ilmu sosial di Indonesia secara keseluruhan. Desain sampel yang baik, rumusan pertanyaan yang akurat hanya bisa diperoleh lewat penelitian terus menerus. Jangan dilupakan, penelitian sosial selalu berkaitan dengan situasi sosial. Pengetahuan mengenai bagaimana melakukan wawancara, bagaimana merumuskan pertanyaan yang dianggap tabu, bagaimana mendekati responden, adalah aspek praktis yang bisa diambil manfaatnya dari kegiatan jajak pendapat. Pelaksanaan jajak pendapat (polling), harus selalu memperhatikan kode etik atau etika yang berlaku, agar hal-hal yang tidak diinginkan terhindar, dan tidak menimbulkan sebuah problem.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
DAFTAR PUSTAKA Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 1999 Anggoro, M. Linggar. 2005. Teori dan Profesi Kehumasan; Serta Aplikasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara Eriyanto, Metodologi Polling, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999. Sastropoetro, Santoso R.A. Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Khalayak Dalam Komunikasi Sosial. Bandung : Remajakarya. 1997. ___________, Komunikasi Sosial, Remaja Karya, Bandung, 1987. Sunarjo, Djoenaesih S., Opini Publik, Liberty, Yogyakarta, 1984. http://factintheworld.blogspot.com/2007/11/opini-publik.html
diakses
14
oktober
2017
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/482436/public-opinion diakses 14 Oktober 2017.
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi
Yusrin Ahmad Tosepu, Lahir di Kendari Tanggal 13 Januari 1976. Menempuh Pendidikan Sarjana Jurusan Manajemen Informatika di STMIK Dipanegara Makassar, 2001. Menempuh Pendidikan Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin Makassar, 2010. Dosen Tetap Pada Program Studi Manajemen Informatika STMIK Handayani Makassar dan Dosen Pengajar prodi MI dan IK di beberapa Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Periset Pada Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia (LSP3I) Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information Communication and Technology)
Pendapat Umum dan Jajak Pendapat: Teori, Konsep dan Aplikasi