Dunia Maya : Informasi Sampah dan Alat Propaganda Meledaknya arus informasi di jagad media social tak pelak menghadirkan masalah, baik dalam skala kecil maupun besar. Jika menyimak konten social media Indonesia kekinian, ramai dengan konten-konten negative, bagai sampah berserakan. Ujaran kebencian, fitnah, hoax, sampai isu sara. Kontennya beragam, mulai dari konteks sosial, ekonomi, politik, sampai agama. Bentuknya pun beragam, mulai dari teks, gambar, suara maupun video
Dunia Maya : Informasi Sampah dan Alat Propaganda Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Eskalasi pengguna internet berpengaruh besar pada peningkatan jumlah pengguna media sosial. Akan tetapi, keterikatan masyarakat terhadap media sosial ternyata menimbulkan sebuah "kegelisahan". Kegelisahan yang dimaksud berkaitan erat dengan munculnya sampah dunia maya yang menimbulkan sebuah masalah baru, yaitu hadirnya sikap antisosial. Meledaknya arus informasi yang tak mengundang perdebatan antar pengguna, baik dalam skala kecil maupun besar. Jika menyimak konten social media Indonesia jelang pilpres 2019, ramai dengan konten-konten negative, bagai sampah berserakan. Ujaran kebencian, fitnah, hoax, sampai isu sara. Kontennya beragam, mulai dari konteks sosial, ekonomi, politik, sampai agama. Bentuknya pun beragam, mulai dari teks, gambar, suara dan video. Menjadi persoalan karena kebiasaan masyarakat kita begitu melihat dan menerima informasi, menganggapnya menarik dan menyebarluaskan. Padahal informasi tersebut yang belum terverifikasi kebenarannya. Dilain sisi para buzzer, Saracen, kelompok tertentu atapun individu tertentu sengaja memanfaatkan media sosial untuk membuat konten negatif menyebarluaskan dengan berbagai cara bahkan menghalalkan segala cara. Lantas mengantarkan pengguna social media kepada perdebatan-perdebatan yang menajam. Perdebatan berbumbu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi konten paling banyak menghiasi jagad media social Indonesia yang rentan memicu permusuhan sampai sekarang ini. Informasi sampah Konten negatif, kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di jagad media social Indonesia. Konten yang tidak benar bisa anda temukan di dunia maya dengan mudah. Pada hakikatnya, konten negatif dan berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita. Masalah semacam ini dapat menuntun pengguna media social untuk menjadi selektif dan kritis dalam menyimak segala sesuatu. Kecenderungan untuk melakukan chek & rechek dapat mengajari pengguna social media (warganet) untuk lebih selektif mempercayai segala bentuk dan jenis informasi yang diserap. Menyerap informasi sampah sama saja dengan mengotori otak. Semakin banyak hal-hal yang tidak benar untuk dimasukkan di dalam kepala maka semakin tinggi resiko mengalami bias pemahaman/ bias opini.
Para pengguna media social berlomba-lomba mempengaruhi pengguna lainnya. Simaklah beberapa pengguna media social (influencer) yang punya follower hampir 1,5 juta di Facebook, ada banyak influencer media sosial lainnya yang berpengaruh besar bagi pengikutnya. Tak cuma berkutat soal informasi sampah dan propaganda, para influencer di Indonesia juga ‘jago ngoceh‘soal lain. Dari soal remeh seperti mengulas seputar produk makanan, hingga influencer yang mendedikasikan akunnya khusus membahas gosip terkini. Adapula influencer di wilayah religi yang ngotot memperjuangkan pemikirannya, hingga yang semangat mempromosikan ideologi yang diyakininya. Namun tampaknya isu politik masih jadi primadona, apalagi menjelang pilpres 2019. Para influencer berlomba-lomba mempengaruhi mereka yang gampang terpengaruh dan mengandalkan informasi dari medsos. Mereka rajin membagi pandanganpandangan tentang beragam isu yang sedang naik daun. Jumlah ‘like' atau ‘share' di Facebook bisa mencapai puluhan ribu, termasuk komentar yang masuk. Kadang catatan yang mereka bagi cukup akurat dan bertanggung jawab, kala lain tak lebih dari sekadar informasi sampah dan propaganda kosong untuk menjatuhkan mempengaruhi pemikiran warganet atau pihak lawan. Atau mati-matian membela tokoh favorit mereka. Mereka pun tak segan memfitnah, menghina menyebarkan ujaran kebencian, dsb. Bagi banyak influencer tak bermutu yang mengandalkan kontroversi sebagai jualan, sepertinya tak ada rasa enggan menyajikan informasi sampah asalkan sesuai agenda mereka. Agar aman, sering pula mereka menambahkan tautan dari situs berita sesuai propaganda yang ingin mereka sebarkan. Kalau ada kesalahan, dengan gampang mereka mengelak, " saya kan hanya menyebarkan tautan dari situs berita.” Tak ada tanggung jawab untuk benar-benar memilih berita yang layak dibagi ke pengikutnya yang dengan naif mengamini. Padahal mereka para influencer punya kekuatan untuk membantu pengguna medsos memilah informasi yang berguna dan mencerdaskan. Buat non influencer yang gemar berita sampah tapi semangat berbagi ada pula kiat pembenaran seperti "Saya dapat informasi ini dari grup sebelah, nggak tahu juga hoax apa bukan.” Yang menakutkan, pengguna medsos diharapkan menjadi "polisi” bagi arus informasi yang tampil di medsos. Mereka dipaksa mampu menyaring informasi sampah dan informasi yang berguna. Sayangnya, terlalu banyak pengguna medsos yang malas bersusah payah memverifikasi informasi yang disajikan influencer. Karenanya setiap pengguna medsos jangan mengandalkan informasi dari influencer semata. Apalagi dengan gampang meng-klik tombol "share” bahkan untuk informasi sampah yang semakin hari semakin tak masuk akal.
Alat Propaganda Perkembangan penggunaan media sosial telah memainkan peranan penting dalam peristiwa-peristiwa politik, seperti dalam pemilu maupun pilpres. Penggunaan media sosial sebagai alat kampanye telah memberi ruang yang luas bagi setiap individu untuk mengeksploitasi pemanfaatan media sosial dalam kepentingan politik, termasuk black campaign atau propaganda politik. Propaganda politik memang dimaksudkan untuk mendistorsi informasi, menciptakan keresahan massa, dan provokatif, obituary itu telah memancing berbagai reaksi publik serta menciptakan kegaduhan politik yang tidak perlu. Gaya propaganda seperti ini sebetulnya bukan hal yang baru. Seringkali dalam berbagai momentum politik bertebaran konten berita melalui jaringan media sosial. Celakanya, banyak pelaku menggunakan akun anonim guna menghilangkan jejaknya sehingga sulit dimintai pertanggungjawaban atas validitas informasi dan dampak yang ditimbulkannya. Agaknya tepat jika para pelaku itu identik dengan yang pepatah katakan, 'lempar batu, sembunyi tangan'. Buzzer, Saracen, dan individu tertentu menggunakan media sosial untuk melakukan propaganda, mengaduk-aduk emosi pengguna media social dengan menggalang isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). Untuk menyalurkan propaganda tersebut mereka membuat akun media sosial misalnya Twitter, Facebook dan Instagram palsu untuk 'berperang' melawan lawan politiknya. Mereka menyebarkan 60 hingga 120 berita di akun palsu Twitter mereka. Sedangkan di Facebook, intensitas mereka menyebarkan informasi pesanan mereka tak sekencang d Twitter. Menguak desas-desus propaganda politik di media sosial yang sudah berhembus lama selama ini, bahwa media sosial telah disesaki dengan akun partisan. Fenomena yang menarik dari akun palsu ini adalah mereka menyebarkan propaganda menggunakan media sosial Twitter. Platform ini memang cukup menjadi andalan penyebaran propaganda. Sebab, platform komunikasi ini terbilang berbeda dengan platform seperti Faceook, YouTube dan Instagram. Trending topic atau hashtag yang diciptakan di Twitter, meski muncul selama satu hingga dua jam saja, cukup untuk membangun narasi. Ismail mengatakan, narasi di Twitter ini seringkali menjadi isu dan dimakan oleh media berita. Selain itu, jangkauan Twitter juga lebih mudah untuk cepat meluas. Twitter mudah dimonitor siapa pun, dilihat dan dibaca meski bukan teman atau follower, sehingga memudahkan beritanya sampai ke siapa pun yang mengamatinya. Kanal lain juga dipakai, seperti Facebook, Instagram, YouTube dan lainnya. Namun, Twitter masih jadi favorit untuk urusan propaganda politik. Karena itu, kekritisan individu dan masyarakat sebagai pengguna media sosial menjadi determinan dalam menentukan apakah konten tersebut dianggap kredibel dan layak untuk dikonsumsi. Setiap individu harus mengembangkan kemampuan untuk menyeleksi informasi yang diterima dan mengkategorisasikan informasi itu sesuai dengan kepentingan yang lebih luas.
Harus diakui bahwa kemajuan teknologi yang telah menghadirkan media sosial berkontribusi penting bagi peradaban manusia. Keberadaan media sosial akan memberikan manfaat positif atau justru merusak masyarakat pada akhirnya tergantung pada sikap para penggunanya. Padahal Tak terlalu sulit sebenarnya menggali sedikit lebih dalam tentang sebuah berita atau isu yang sedang hangat. Ada banyak sumber terpercaya yang bisa ditemukan di internet asalkan para pengguna cerdas memilah. Dalam konteks itulah maka sikap dewasa, cerdas dan bertanggungjawab mustinya dikembangkan agar pemanfaatan media sosial menjadi lebih konstruktif bagi kepentingan bangsa. Selain itu, perlu semacam regulasi atau ketentuan agar para pengguna media sosial memenuhi ketentuan registrasi yang jelas sehingga dapat divalidasi pemilik akun. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan salah satu negara terbesar pengguna media sosial dengan akun anonim terbanyak. Ketentuan tersebut tidak untuk membatasi atau sensor aktivitas media sosial, tetapi guna melindungi masyarakat dari paparan informasi yang menyesatkan dan dapat memecah belah masyarakat.
BIODATA PENULIS