Media Baru dalam Komunikasi Politik (Komunikasi Politik di Dunia Virtual)

Page 1

Komunikasi Politik di Dunia Virtual


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

@ Yusrin Ahmad Tosepu Media Baru dalam Komunikasi Politik (Komunikasi Politik di Dunia Virtual) Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin tertulis dari penulis Cetakan I, November 2017 Penulis : Yusrin Ahmad Tosepu


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

MEDIA BARU DALAM KOMUNIKASI POLITIK

(Komunikasi Politik di Dunia Virtual)


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

KATA PENGANTAR Media sosial atau medsos menjadi fenomena yang makin mengglobal. Keberadaannya makin tidak dapat dipisahkan dari cara berkomunikasi antarmanusia. Media sosial sebagai bentuk media baru, merupakan teknologi informasi dan komunikasi dengan konteks sosial yang berhubungan dan menyatukan tiga elemen: alat dan artefak teknologi; aktivitas, praktik, dan penggunaan dan tatanan serta organisasi sosial. Beragam paradigma komunikasi muncul. Ada model komunikasi yang sifatnya satu arah, di mana satu pihak memberikan informasi kepada pihak lain, ada pula model komunikasi yang sifatnya partisipatoris, di mana pihak-pihak yang berkomunikasi melakukannya secara dialogis. Pada model partisipatoris, pengguna medsos saling berbagi informasi, pendapat, pandangan, pengetahuan, pengalaman, keinginan dan membangun kerangka tindakan untuk mencapai kemajuan bersama. Media baru memberi kontribusi yang besar bagi demokrasi. Kontribusi tersebut berupa terbentuknya ruang publik yang universal, bisa diakses oleh siapa saja. Sehingga masyarakat tidak mengalami hambatan untuk menyuarakan aspirasinya. Di sisi lain, media baru mengubah komunikasi politik yang selama ini cenderung top-down, menjadi bottom up dan decentralized. Pemerintah makin membuka ruang bagi masyarakat lewat program e-government untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Perubahan ini pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik merupakan modal bagi terwujudnya demokrasi yang substantif bagi suatu bangsa. Hadirnya media sosial melahirkan peradaban baru dalam komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocracy, cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Fenomena komunikasi politik yang tak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Menjadi dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik. Kondisi itu tentu menjadi tantangan bagi setiap parpol, politisi dan lembaga politik lainnya untuk segera melakukan inovasi meraih dukungan politik dari kalangan muda atau biasa disebut generasi millennial yang termasuk masyarakat swing voters. Millennials adalah aktor utama Indonesia masa kini dan masa depan. Di Indonesia, jumlah millennials 61,8 juta atau sekitar 24,5 persen dari total jumlah penduduk. Jumlah terbesar dan sudah melampai jumlah generasigenerasi sebelumnya. Karakter utama yang melekat pada Generasi Millennial, yaitu Connected,Creative,dan Confidence (3C). Connected, mereka adalah


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pribadi yang pandai bersosialisasi, aktif berselancar di media sosial dan internet. Sangat fasih menggunakan Facebook, Twitter, Path, dan Instagram maupun Media sosial yang lain. Kedepan kiprah generasi ini akan mempengaruhi berbagai lini, termasuk akan menciptakan budaya politik baru dan kepemimpinan masa depan. Buku ini bermanfaat dan menjadi awal untuk menyusun strategi, melakukan evaluasi, meningkatkan kinerja parpol, politisi dan lembaga politik lainnya dalam membangun komunikasi politik di era media baru. Menyampaikan konten konten informasi politik secara efektif dan efisien. Membangun komunikasi partisipatoris dengan publik dan seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan spirit Membangun Kualitas Politik dan Demokrasi yang lebih baik, maka akan mendorong bangsa kita kepada kemajuan dan daya saing bangsa ini dimasa mendatang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Tentunya buku ini akan berarti apabila dibaca, dipahami, diaplikasikan dan terus disempurnakan. Makassar, November 2017

Yusrin Ahmad Tosepu


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

SPIRIT PENERBITAN BUKU Masyarakat global tidak bisa dipisahkan dari infiltrasi aplikasi-aplikasi media sosial. Dalam sejarah perjalanan medsos, beragam aplikasi datang dan pergi. Ada yang hilang dari dunia maya, namun ada yang terus bertahan karena dibutuhkan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Apa yang membuat medsos terus dibutuhkan masyarakat? Salah satu kata kuncinya adalah karena kekuatan informasi, komunikasi, dan jejaring sosial yang terkandung di dalamnya. Saat ini Indonesia telah menjadi pengguna Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) terdepan di dunia. Jumlah pemakai internet di Indonesia mencapai 70 juta atau 28% dari total populasi. Pemakai medsos seperti Facebook berjumlah sekitar 50 juta atau 20% dari total populasi, sementara pengguna Twitter mencapai 40 juta atau 16% dari total populasi. Angka-angka di atas dari tahun ke tahun bakal terus bertumbuh, karena ditopang oleh basis pemakai mobile/telepon seluler dan internet yang besar. Media sosial telah menjadi energi baru yang membuat kekuatan sipil tumbuh menjadi “Daud� sosial-politik yang mampu menandingi supremasi “Goliath� kekuasaan. Media sosial membuat masyarakat sipil lebih mudah menjalankan perannya sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan dan penyangga negara. Namun, di sisi lain, potensi positifnya ini paralel dengan potensi negatifnya untuk mencederai dan melemahkan demokrasi. Ini sisi gelap media sosial yang bukan hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara-negara besar. Media sosial juga dimanfaatkan secara kreatif oleh pemilih sebagai alat partisipasi politik yang baru. Hoax merupakan implikasi tak terpisahkan dari alat partisipasi politik baru yang bernama media sosial ini. Potensi terjadinya konflik sosial-politik semakin mudah karena difasilitasi secara maya. Media sosial alat yang sangat potensial untuk memperkuat sekaligus memperluas demokrasi yang mengalami krisis partisipasi. Pemerintah, parpol, politisi, dan lembaga politik lainnya harus mengambil dua peran sekaligus. Pertama, memanfaatkan medsos untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Berkewajiban untuk mensosialisasikan program, kebijakan dan memberi jawaban atas kepentingan serta keingintahuan publik mengenai dunia politik. Peran kedua, menggunakan medsos sebagai sarana pemasaran politik. Demi peningkatan dua peran tersebut, maka Pemerintah, parpol, politisi dan lembaga politik lainnya untuk membangun kompetensi pemanfaatan medsos dengan baik dan benar. Targetnya, membangun jaringan komunikasi politik yang memberikan wawasan politik dalam kehidupan bernegara. Program, kebijkan, Ide, gagasan politik yang menawarkan nilai perubahan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

TUJUAN PENERBITAN BUKU Perkembangan new media, diperkuat dengan semakin banyaknya media sosial seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif dalam jalinan komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruang publik baru (new public sphere) dengan menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern sudah tak terbantahkan lagi. Ramainya penggunaan internet melahirkan peradaban baru komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyberdemocracy, cyberprotest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Hadirnya media baru menjadi dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik. Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang mudah dan interaktif. Penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di era globalisasi informasi. Banyaknya aktor politik yang juga memiliki akun di Facebook, Twitter, dan sejumlah sosial media lain menandakan fenomena pencitraan dan kampanye politik tidak bisa dihindari dalam laju perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, proses komunikasi politik yang dikembangkan haruslah bersifat interaktif dialogis dengan membangun partisipasi publik; bersifat searah, komando dan paternalistik. Munculnya media sosial di ranah politik, mendorong para politisi, parpol, lembaga politik lainnya mengambil peran strategis dan taktis dalam membangun partisipasi politik masyarakat. Mengarahkan penggunaan Media sosial pada target terciptanya suatu masyarakat digital berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang benar. Jika masyarakat berbasis pengetahuan itu terbentuk, maka diharapkan mereka bisa menggunakan informasi dan pengetahuan di media sosial secara cerdas dan tepat. Dalam konteks komunikasi politik modern, media sosial tidak hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Program, kebijakan harus disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikannya dalam berbagai bentuk forum diskusi publik di media sosial. Tuntutan atau aspirasi masyarakat yang beraneka ragam harus diartikulasikan. Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya. Media sosial merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media sosial yang dapat mengangkat pesan pesan (informasi dan pencitraan) secara masif dan terdistribusi menjangkau khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan terpencar luas. Pesan politik melalu media sosial akan sangat kuat mempengaruhi perilaku politik masyarakat.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pentingnya komunikasi politik dan perilaku politik dalam menunjang keberhasilan pembangunan politik di negeri ini. Asumsi umum menunjukkan bahwa demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena terdapat partisipasi warga negara yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi aktif mereka dalam kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan informasi, dan saluran atau media yang paling efektif untuk penyebaran informasi adalah media sosial. Hadirnya media sosial bisa turut memperbaiki kualitas komunikasi politik dalam demokrasi kita. Pemanfaatan media sosial oleh para politisi, parpol, lembaga politik lainnya dan masyarakat umum secara optimal dapat meningkatkan partisipasi politik dan kualitas demokrasi di negeri ini. Hal ini meneguhkan penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan dalam praktik politik modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi elektoral seperti sekarang. Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis. Hadirnya Media baru dalam komunikasi politik memposisikan kajian ilmu komunikasi dan pemanfaatan media sosial menjadi sangat perlu dipahami sekaligus strategis untuk dikuasai dan diimplementasikan. Buku ini secara rinci membahas komunikasi politik di era media baru, mulai dari definisi media sosial, etika bermedia sosial, komunikasi politik dan strategi komunikasi di media sosial, dan generasi millennial dalam pusaran politik. Selain itu, juga secara memadai mengulas pemanfaatan media baru dalam komunikasi politik, dan buzzer media sosial dalam komunikasi politik. Buku ini menarik untuk dibaca dan didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama untuk mereka yang memerlukan “kode kunci� yang akan mengantarkan pembaca pada ranah era baru dalam komunikasi politik yang dinamis.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR ISI BAB I

KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU A. Media Baru Dalam Komunikasi Politik B. Partisipasi Politik Dan Demokrasi C. Komunikasi Politik Dan Generasi Millennial

1 1 7 10

BAB II

PENGERTIAN MEDIA SOSIAL. PERKEMBANGAN DAN ETIKA BERMEDIA SOSIAL A. Media Sosial B. Manfaat Media Sosial

16 16 28

C. Media Sosial Di Indonesia

30

D. Konsep Media Sosial E. Pentingnya Etika Dalam Bermedia Sosial

39 53

BAB III PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK DAN STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU A. Komunikasi B. Komunikasi Politik C. Hakikat Komunikasi Politik D. Tujuan Komunikasi Politik E. Komunikasi Politik Dalam Strategi Kampanye Politik F. Media Sosial Dalam Berbagai Tingkatan Komunikasi G. Strategi Komunikasi Politik Di Era Media Baru

59 59 63 65 71 77 85 86

BAB IV MEDIA BARU DAN TRANSFORMASI KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA A. Era Baru Komunikasi Politik B. Peran Media Baru Dalam Komunikasi Politik C. Media Baru Dan Demokratisasi Di Indonesia D. Media Baru Dan Transformasi Komunikasi Politik E. Penggunaan Media Baru Dalam Komunikasi Politik F. Cyberpolitic Bagi Dunia Politik

100 100 101 107 113 118 121

BAB V

MEDIA SOSIAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA A. Perkembangan Media Komunikasi Politik Di Indonesia B. Media Sosial Sebagai Pendukung Jaringan Komunikasi Politik C. Media Sosial Dalam Ranah Komunikasi Politik

126 126 131 141


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

D. Peran Media Sosial Dalam Membangun Kekuatan Politik E. Pengaruh Media Sosial Dalam Membangun Kekuatan Politik F. Demokrasi Dan Hoax H. Buzzer Dalam Komunikasi Politik I. Masa Depan Media Sosial Dalam Komunikasi Politik

153 157 160 163 177

BAB VI GENERASI MILLENNIAL DAN KOMUNIKASI POLITIK A. Mengenal Generasi Millennial B. Teori Generasi Strauss-Howe C. Generasi Millennial Dan Kontribusi Politik D. Generasi Millennial Dan Perubahan Kultur Politik E. Berebut Pemilih Millennial

182 182 184 190 199 203

DAFTAR PUSTAKA

206


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9.

Aplikasi media sosial Penggunaan Media (saluran) dalam Komunikasi Politik Tipologi Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan Stratifikasi Stratifikasi Politik dan Penggunaan Media Sosial Perbedaan Iklan dan publikasi Generasi yang Masih Hidup Diagonal Generasi Archetypes Mood dari Empat Turnings

43 74 108 140 166 185 186 186 188


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model pola – pola media komunikasi politik

74

Gambar 2. Annual Growth Pengguna Media Sosial di Dunia

122

Gambar 3. Akses Digital Generasi Milenial

191


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

PROLOG Media baru telah menghadirkan gelombang demokratisasi. Digunakan sebagai saluran komunikasi politik yang mengkristal dalam kampanye politik dan pembentukan opini publik. Sejak tahun 1997, internet sudah digunakan sebagai saluran online campaign dan terus berkembang, seiring perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dengan internet komunikasi politik menjadi lebih interaktif dan tidak dibatasi lagi oleh hambatan seperti waktu dan tempat. Hal ini semakin terasa di saat tahun 2008 dan pemilihan presiden 2014 lalu. Banyak komunikator politik yang menggunakan situs jejaring sosial sebagai saluran komunikasi politiknya. Gelombang demokratisasi berbasiskan media baru terus berkembang seiring dengan penggunaan situs jejaring sosial, dimana dimulai dari ruang publik menjadi aksi politik. Ini merupakan wujud dari kebebasan politik dan komunikasi yang terkristalisasi dalam wujud nyata yaitu aksi politik. Modal politik (the political capital) yang besar ini, sebaiknya terus dijaga oleh pemerintah dengan cara menghapus semua peraturan yang sekiranya dapat membatasi kebebasan politik dan di masa mendatang pemerintah dapat merumuskan regulasi media baru yang lebih baik seiring dengan semangat demokratisasi (the spirit of democratization). Dengan hal itu semua, keyakinan penulis, di masa mendatang Indonesia akan jadi negara demokrasi yang lebih besar, setara dengan negaranegara maju seperti Amerika. Media baru memberi kontribusi yang besar bagi demokrasi. Kontribusi tersebut berupa terbentuknya ruang publik yang universal, bisa diakses oleh siapa saja. Sehingga masyarakat tidak mengalami hambatan untuk menyuarakan aspirasinya. Di sisi lain, media baru mengubah komunikasi politik yang selama ini cenderung top-down, menjadi bottom up dan decentralized. Pemerintah makin membuka ruang bagi masyarakat lewat program e-government untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Perubahan ini pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik merupakan modal bagi terwujudnya demokrasi yang substantif bagi suatu bangsa. Fleksibilitas pemanfaatan media sosial tidak dibatasi oleh status status sosial, ekonomi dan politik yang ada di masyarakat. Media sosial memiliki kemampuan dalam kecepatan menyampaikan pesan kepada khalayak atau pengguna media sosial lainnya karena dukungan teknologi komunikasi yang mampu menjangkau khalayak lebih luas dan lebih cepat. Keunggulan ini meminggirkan pemberitaan media massa arus utama, yang memerlukan proses panjang dan verifikasi keseimbangan informasi dari sumber pesan yang dipercaya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan media sosial harus sejalan dengan upaya memberikan informasi yang benar, tidak mengabaikan etika dan kebenaran informasi sebelum dipublikasikan atau diteruskan kepada khalayak. Dalam hal keluasan jangkauan, media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk membangun jaringan komunikasi politik yang memberikan wawasan politik dalam kehidupan bernegara yang berkeadilan. Hal yang perlu dilakukan pemerintah, parpol, politisi dan lembaga politik lainnya adalah pengelolaan kanal komunikasi secara optimal untuk menyampaikan informasi, program kegiatan dan lain sebagainya kepada masyarakat. Pengelolaan konten yang baik, melalui penyusunan agenda setting dan dapat digunakan untuk melawan hoaks. Membangun komunikasi secara jujur, transparan kepada masyarakat. Menyemai informasi nilai atau gagasan, mempromosikan kebajikan, prinsip atau gagasan yang menawarkan nilai perubahan. Komunikasi politik, melalui struktur berjenjang yang dimiliki partai politik dituntut mampu membangun komunikasi, isu, dan gagasan politik. Kaitan dengan perbaikan proses menuju terciptanya kehidupan yang demokratis dan meningkatkan derajat kualitas kepercayaan masyarakat kepada parpol sebagai salah wadah yang konstitusional yang dapat mewujudkan bersama pengambil kebijakan atas permasalahan, kebutuhan dan kepentingan bangsa serta negara. Komunikasi politik yang mutualis baik dengan internal partai politik (elit partai, anggota, relawan) maupun dengan pihak terkait hendaknya senantiasa dilandasi pola pikir, sikap, tindakan yang membuahkan nilai dan budaya politik dinaungi etika moral yang luhur. Komunikasi politik kepada publik atau pihak luar dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi melalui website, jejaring media sosial (facebook, trwitter, dan sebagainya). Penggunaan media sosial untuk aktifitas komunikasi politik merupakan salah satu strategi merangkul kaum muda (millennials) untuk aktif terlibat dalam kegiatan politik. Pelibatan dan pemberian ruang yang lebih besar kepada generasi milenial untuk lebih jauh terlibat dalam soal-soal kehidupan berbangsa dan bernegara (politik kebangsaan) menjadi mutlak adanya. Sebab di tangan mereka peradaban politik dan kebangsaan kita sebenarnya tengah disusun. Baik atau tidaknya, sejalan tidaknya dengan visi kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan para pendiri bangsa ini ditentukan oleh bagaimana interaksi antar generasi-antar zaman. Generasi milenial sebagai generasi penerus masa depan Indonesia dalam transformasi yang sesuai dengan visi hidup berbangsa dan bernegara Indonesia beserta segala dinamikanya. Pemerintah, parpol harus bisa menciptakan iklim kreatif bagi generasi millennial yang inspiratif, menggugah, dan berdaya ekonomi dalam semangat kebangsaan; Memupuk kesadaran kontributif generasi muda milenial untuk pembangunan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bangsa; serta menumbuhkan kesadaran sosial, kesadaran kebangsaan, nasionanalisme, dan semangat transformatif dalam menciptakan kebudayaan yang produktif dan bermakna bagi kemajuan Indonesia. Millennials tidak hanya dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan pragmatis semata. Artinya, politisi, parpol, lembaga politik lainnya tidak boleh mereduksi idealisme dan semangat generasi milenial kedalam kerangka dan paradigma politik jangka pendek. Mengakomodasi generasi milenial dalam setiap gerakan politik tidak sama dengan memposisikan mereka sebagai obyek politik yang bisa dipakai sesuai dengan agenda seting politik. Mengintegrasikan mereka kedalam gerakan politik harus dilandasi oleh kepedulian dan kesadaran bahwa mereka merupakan generasi masa depan bangsa. Merekalah agen-agen transformasi sosial. Mereka bukanlah komoditas politik untuk memback-up hasrat parsial tertentu. Generasi millennial harus diberi ruang untuk mengekspresikan potensi mereka. Dimotivasi untuk mengelaborasi problem sosial secara komprehensif. Melibatkan mereka dalam perpolitikan ataupun dalam konsolidasi ruang sosial-publik. Mereka menjadi subyek yang dilibatkan dalam merancang agenda pembangunan. Memperhitungkan kehadiran mereka akan mendatangkan efek elektoral yang positif.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB I KOMUNIKASI POLITIK di ERA MEDIA BARU

Perkembangan global teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memicu pertumbuhan komunikasi dunia maya, baik di kalangan pemerintah, kelembagaan sosial politik, maupun di kalangan masyarakat. Perkembangan komunikasi itu ditandai oleh pemanfaatan media baru sebagai media komunikasi (new media). Komunikasi yang pada awalnya hanya sebatas proses interaksi personal secara face to face, kini berkembang secara online melalui iternet. Salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi adalah media baru (new media) yang kemudian melahirkan media sosial (sosial media). Salah satu komunikasi berbasis internet yang banyak digunakan adalah media sosial. Media sosial adalah sebuah media online. Para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Ragam media sosial yang tengah berkembang dan banyak diminati orang adalah Facebook, Myspace, dan Twitter, WhatsApp, youtube, dsb. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet. Menurut Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 109 jutaan. Jumlah ini menjadi salah satu potensi bagi peserta Pemilu baik secara lembaga ataupun individu dalam menjaring massanya melalui media baru. 100 juta massa tersebut akan diperebutkan oleh calon-calon yang akan berlaga di pentas politik nasional untuk pilcaleg dan Pemilu presiden tahun 2091. Perkembangan media online semakin pesat, terutama memfasilitasi masyarakat dalam mengakses informasi dan jejaring sosial. Jejaring sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para kandidat politik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat yang sudah melek media dan sering bersikap kritis terhadap sebuah permasalahan. Pada praktiknya hal tersebut tidak akan mudah karena muncul isu ataupun wacana baru yang lebih dikenal dengan seduksi politik yakni kecenderungan politik di dunia virtual.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kehadiran media sosial juga mempengaruhi bidang politik. Studi di Amerika Serikat menunjukkan media sosial alat kampanye yang efektif. Salah satu contohnya yaitu Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menggunakan media twitter. Dalam dua kali pemilihan presiden Amerika Serikat, Obama menang dengan perolehan suara yang tinggi. Strategi kampanye Obama menggunakan media sosial menjadi fenomena baru dalam sejarah kampanye di Amerika. Walaupun bukan menjadi orang pertama yang melakukan kampanye melalui internet, namun Obamalah merupakan presiden pertama yang sukses menggunakan jejaring sosial, khususnya media sosial dalam aktifitas kampanyenya (Rizky & Wulansari,2014:66). Di Ghana, dua kandidat presiden menggunakan SMS dan Twitter untuk mendulang suara. Ini merupakan kali pertama media sosial digunakan untuk berkampanye di negara tersebut. Di Zimbabwe, partai oposisi menggunakan website untuk menyebarkan pesan yang mengecam pemerintah berkuasa. Selain itu Lembaga Swadaya Masyarakat membentuk jaringan untuk memonitor pemungutan suara di 11 ribu bilik suara melalui SMS dan MMS. Hasilnya calon petahana (incumbent) Robert Mugabe kalah, tetapi intervensi Mugabe membuat Pemilu diulang dan dia menang (Riaz, 2010). Media sosial merupakan teknologi yang bersifat praktis dan cepat sehingga dapat dengan mudah digunakan oleh siapa pun. Karena sifat kepraktisannya, media sosial pun menjadi pilihan bagi tokoh politik maupun pemerintah untuk menginformasikan melalui media sosial. Penggunaan media sosial saat ini digunakan sebagai alat komunikasi politik karena dianggap cukup efektif. Di era demokratisasi, transparansi kebijakan pemerintah merupakan hal penting untuk meraih kepercayaan dari masyarakat. Maka, selain penggunaan media massa untuk menginformasikan program pemerintah, saat ini diperlukan pula penggunaan media sosial. Penggunaan media sosial dapat menyentuh khalayak secara individu. Penggunaan media sosial saat ini turut pula mempengaruhi interaksi antara masyarakat dan pembuat kebijakan. Menurut Silih Agung Wasesa, kehadiran media baru berbasis digital membuat informasi politik tidak hanya semakin masif, tetapi juga terdistribusi dengan cepat dan bersifat interaktif. Dengan karakteristiknya itu tidak sedikit aktor politik di sejumlah negara memanfaatkan media sosial proses kampanye politik. Selain itu media baru mampu untuk menjaring pemilih muda dan biayanya murah. Partai politik di Indonesia sudah banyak yang memiliki akun Facebook, Twitter, dan YouTube, di samping website resmi parpol. Sementara politisi-politisi masing-masing memiliki akun pribadi. Program kerja, pendapat mengenai isu terkini, atau pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya ringan, menanggapi


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mention dari masyarakat, adalah hal-hal yang umumnya tercantum dalam linimasa Twitter para tokoh politik tersebut. Media sosial memang menawarkan peluang bagi para aktor politik untuk bisa menjaring pemilih, berinteraksi secara langsung dengan publik sekaligus membentuk perbincangan yang “akrab� dengan publik. Tetapi di sisi lain, media sosial juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan tertawaan atau bahkan caci maki dari publik. Sebuah pertanyaan kritis diajukan oleh Momoc (2011) terkait manfaat media sosial di ranah politik. Secara spesifik, Momoc membahas mengenai kampanye. Apakah dengan mengincar audiens online, apakah internet bisa membantu politisi untuk mendapatkan pemilih dalam jumlah besar? Apakah hal tersebut bisa berhasil jika politisi tersebut tidak memiliki kredibilitas di dunia riil? Kebutuhan media sosial tak hanya milik pejabat publik, politikus atau kalangangan eksekutif saja. Namun sudah menjadi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, hingga kepelosok-pelosok pedesaan terutama dikalangan anak muda. Meski sebagian diantara anak muda desa ini tak terlalu memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada pada alat komunikasi mereka, namun yang pasti ratarata mereka mengaku aktif menggunakan Media sosial pada gadget dan smartphone milik mereka. Media sosial sebagai sarana komunikasi memiliki peran membawa penggunanya untuk berpartisipasi secara aktif dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi informasi maupun memberi respon secara online dalam waktu yang cepat. Media sosial, cenderung berkait pada persoalan pertemanan. Namun, saat ini, mulai banyak menyinggung ke ranah politik kekuasaan pemerintahan atau negara. Ruben (dalam Wilhelm, 2003: IX) menegaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh secara baik terhadap proses politik. Bahkan, kemajuan komunikasi digital dengan email akan membawa pada pemberian semangat baru demokrasi. Dalam perspektif komunikasi politik, mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang nyata sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja. Oleh karenanya, bukan hal yang aneh jika ada yang menyebut Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan ketika seseorang atau sekelompok orang membicarakan fenomena kenaikan harga bahan pokok, bahan bakar minyak (BBM) dan sebagainya, maka mereka sebenarnya telah mengarah pada analisis komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam yang berkomentar mengenai persoalan kenaikan harga BBM, misalnya, merupakan contoh komunikasi politik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Fenomena penggunaan media sosial tentunya memberikan peluang-peluang dibidang komunikasi politik, baik bagi pemerintah, dan politikus. Apatah lagi menjelang pemilihan kepala daerah serentak dibeberapa daerah, dan juga pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden nantinya. Namun tentunya diperlukan pemahaman dan pendekatan yang baik dan tepat, agar pemanfaatan media sosial sebagai komunikasi politik bisa tepat sasaran sesuai yang diharapkan. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian dari berbagai aspek, terutama dari segi komunikasi antar budaya, psikologi komunikasi, dampak media dan lain sebagainya. Karena tak tertutup kemungkinan, penggunaan media sosial yang “serampangan� atau ceroboh malah akan menjadi “boomerang�, yang dapat merugikan pengguna media sosial itu sendiri dari sisi komunikasi politik. Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam konteks pembicaraan proses pemilihan presiden, legislatif, kepala daerah, baik bupati, walikota, ataupun gubernur. Setiap menjelang pemilihan kepala daerah perbincangan banyak muncul di media sosial. Meskipun demikian, yang kemudian berkembang bahwa media sosial tidak saja dimanfaatkan untuk hal hal positif, melainkan sering dimanfaatkan untuk sarana penistaan, penghujatan, dan pencemaran nama baik seseorang agar kredibilitasnya jatuh. Fenomena tersebut jika dibiarkan akan menjadi kondisi yang kontradiktif antara kehadiran media sosial yang diharapkan mengembangkan komunikasi politik masyarakat dengan persoalan yang justru menghambat kemajuan komunikasi politik. Kerugian lain bisa dalam bentuk hilangnya simpati masyarakat dan penurunan citra diri pengguna media sosial itu sendiri. Artinya, meskipun penggunaan media sosial dapat menggalang dukungan dari khalayak, mereka sekaligus juga secara terbuka bisa mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai mereka. Di Indonesia sendiri belum banyak penelitian komunikasi politik yang melibatkan penggunaan media sosial (Deddy Mulyana, 2013: 23). Namun demikian secara kasat mata kita dapat melihat, penggunaan media sosial khususnya oleh para politikus baik nasional maupun daerah kini tampak semakin marak. Baik oleh para Bakal Calon Kepala Derah atau eksekutif, maupun para bakal calon legislatif. Penelitian atau kajian untuk melihat dinamika pemanfaatan media sosial dalam kehidupan politik yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Beberapa sarjana sosial dan komunikasi telah melakukan kajian mengenai peran media sosial dalam proses komunikasi politik. Studi terbaru proyek Excellence in Journalisme, Pew Research Center, misalnya, pada Pilpres di Amerika Serikat tahun 2008, seperti dikemukakan Direktur Project for Excellence in Journalisme, Amy Mitchell, menyimpulkan bahwa kampanye pilpres Obama telah membuat sejarah, bukan hanya karena Barrack Obama orang Amerika keturunan Afrika


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pertama yang terpilih sebagai presiden, melainkan juga kandidat presiden pertama yang secara efektif memanfaatkan media sosial sebagai strategi kampanye utama (Ya'cob Billiocta, 2014). Di Indonesia, lembaga pengamat media sosial PoliticaWave juga telah melakuan kajian pada pilpres tahun 2014 (Ya'cob Billiocta, 2014). Kajian dilakukan melalui enam media, yaitu twitter, facebook, blog, online news dan youtube. Hasilnya mengungkapkan bahwa gaya kampanye dari masing-masing kubu, mempunyai cara atau strategi yang berbeda. Di tim Prabowo - Hatta, sistem komunikasi lebih terstruktur dan terorganisir. Komunikasi biasa dimulai dari akun official terkait partai atau pengurus partai, dan terdapat keseragaman dalam berkomunikasi dan menjawab isu. Pemilihan presiden tahun 2014 lalu tim Jokowi – JK sangat masif dan terorganisir memanfaatkan media sosial sebagai saluran komunikasi politik. Kekuatan komunikasi Jokowi - JK di media sosial didukung oleh banyak grup relawan. Namun, sejak debat pertama, terlihat antar kelompok relawan sudah berkomunikasi dan bersinergi dengan lebih baik. Salah satu indikatornya, pada semua debat, dukungan netizen terhadap pasangan Jokowi-JK lebih besar dari pada Prabowo–Hatta (www.merdeka.com/peristiwa/ini-beda. diakses, 17- 82014). Dua contoh penelitian tersebut mengungkapkan pentingnya media sosial dalam proses politik. Sifatnya yang interaktif tampaknya membuat penggunaan media sosial dalam proses komunikasi politik menjadi semakin menarik. Seperti telah dikemukakan di awal, media sosial memegang peran penting dalam proses komunikasi politik. Sifatnya yang interaktif memungkinkan proses komunikasi politik bisa dilakukan dengan lebih intens. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi politik menjadi tren kekinian di Indonesia dengan beragam persoalan-persoalan yang muncul dalam proses komunikasi politik dengan menggunakan media sosial. Media sosial sebagai sarana komunikasi memiliki peran membawa orang (penggunanya) untuk berpartisipasi secara aktif dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi informasi maupun memberi respon secara online dalam waktu yang cepat. Dalam perkembangannya, media sosial menjadi sarana yang efektif dalam proses komunikasi politik. Michael Rush dan Phillip Althoff (dikutip dari Rusnaini, 2008: 34), mengemukakan, “Komunikasi politik adalah proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.� Proses ini terjadi secara berkesinambungan dan mencakup pula pertukaran informasi di antara individu-individu dan kelompokkelompoknya pada semua tingkatan. Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pesan politik dan aktoraktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah (Lataya, 2009). Komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara �yang memerintah� dan �yang diperintah�. Dengan berkembangnya internet, dunia komunikasi pun mengikuti arus perkembangan tersebut, termasuk dalam komunikasi politik. Proses interaksi penyampaian dan penerimaan pesan, bisa terjadi melalui pemanfaatan suatu sarana atau media tertentu. Dalam penelitian ini, media sosial dipilih sebagai media penghantar pesan dalam komunikasi politik yang menjadi objek penelitian. Media sosial dapat dikategorikan sebagai bentuk media baru. Dipahami sebagai kemunculan teknologi komunikasi dan informasi yang mengalami proses sejarah dari kontestasi, negosiasi dan pelembagaan. Menurut Dennis McQuail (2011), media baru merupakan teknologi informasi dan komunikasi dengan konteks sosial yang berhubungan yang menyatukan tiga elemen: alat dan artefak teknologi; aktivitas, praktik, dan penggunaan dan tatanan serta organisasi sosial yang terbentuk di sekeliling alat dan praktik tersebut. Sosial media menggunakan jaringan situs sosial sebagai bentuk komunikasi seperti facebook, twitter, youtube, dan blog. Media telah hadir sebagai alat menyalurkan berbagai pesan bagi manusia dalam bermasyarakat. Media pada prinsipnya adalah segala sesuatu yang merupakan saluran dalam menyatakan gagasan, isi jiwa atau kesadaran manusia. Media dapat dibagi dalam tiga bentuk. Pertama, media menyalurkan ucapan. Kedua, media menyalurkan tulisan dan ketiga, menyalurkan gambar hidup. Dalam perkembangan teknologi muncul media baru yang dikenal sebagai media interaktif melalui computer yang sering disebut internet. Begitu cepatnya kemajuan teknologi komunikasi berlangsung dari waktu ke waktu, telah memberi pengaruh terhadap cara-cara manusia berkomunikasi (Cangara, 2009:7). Menurut Shanthi Kalathil dan Taylor C. Boas, internet tidak hanya sebagai alat dan dapat digunakan untuk tujuan khusus dalam politik, ekonomi dan aktoraktor sosial agar berhati-hati menggunakan internet (Seib, 2007: 5). Media baru merupakan berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan digitalisasi dan ketersediannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. Media baru dilambangkan oleh internet; ciri utamanya yaitu: pertama, internet tidak hanya berkaitan dengan produksi dan distribusi pesan, tetapi juga disetarakan dengan pengolahan, pertukaran dan penyimpanan. Kedua, media baru merupakan lembaga komunikasi publik juga privat, dan diatur (atau tidak) dengan layak. Ketiga, kinerja mereka tidak seteratur sebagaimana media massa. (McQuail, 2011, 149-150).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

McQuail telah mengidentifikasi lima kategori utama media baru yaitu: ¡ 1. Media komunikasi antarpribadi. Meliputi telepon dan surat elektronik. Secara umum, konten bersifat pribadi dan mudah dihapus dan hubungan yang tercipta dan dikuatkan lebih penting daripada informasi yang disampaikan. 2. Media permainan interaktif. Media ini terutama berbasis komputer dan video game, ditambah peralatan realitas virtual. Inovasi utamanya terletak pada interaktifitas dan mungkin didominasi dari kepuasan ‘proses’ dan ‘penggunaan’. 3. Media pencarian informasi. Kategori yang luas, tetapi internet merupakan contoh yang paling penting, dianggap sebagai perpustakaan dan sumber data yang ukuran, aktualitas dan aksesibilitasnya belum pernah ada sebelumnya. Posisi mesin pencari telah menjadi sangat penting sebagai alat bagi para pengguna sekaligus sebagai sumber pendapatan untuk internet. 4. Media partisipasi kolektif. Kategorinya khusus meliputi penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar informasi, gagasan dan pengalaman, serta mengembangkan hubungan pribadi aktif (yang diperantarai komputer). Situs jejaring sosial termasuk di dalam kelompok ini. Substitusi media penyiaran. Acuan utamanya adalah penggunaan media untuk menerima atau mengunduh konten yang di masa lalu biasanya disiarkan atau disebarkan dengan metode lain yang serupa.

1. Meningkatkan partisipasi politik masyarakat Melalui internet, komunikasi politik dapat dilakukan dengan menyertakan jutaan orang dari seluruh dunia, tanpa adanya hubungan yang bersifat pribadi. Khalayak yang tercipta oleh internet tersebut sangat khas yaitu sebuah masyarakat yang terbentuk oleh jaringan komputer, yang disebut masyarakat maya (Arifin, 2011: 158-159). Media baru memberikan keuntungan bagi komunikasi politik dibandingkan media massa lama. Jenis media baru setiap orang dapat terlibat dan mengikuti era politik baru. Media baru menawarkan ruang publik bagi politisi dan warga masyarakat untuk berinteraktif. (M. Alwi Dahlan, 2012:7). Kegiatan komunikasi politik berpengaruh menggunakan hubungan masyarakat dan media merupakan strategi manajemen informasi yang dibentuk untuk meyakinkan partai politik mendapatkan publisitas maksimum dan meminimalkan penilaian negatif. (McNair, 2012:7) Komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. (Cangara, 2009:36).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Politik komunikasi internet sebenarnya lebih dari perilaku politik menggunakan internet. Menurut Susri Adeni dalam tulisannya “Internet and Democracy; Is It An Ambiguity Of New Agent For Democracy?� menegaskan kualitas demokrasi dapat meningkat seiring penggunaan teknologi tinggi yang dapat meningkatkan pemahaman demokrasi. Internet dapat menjadi agen keterlibatan demokratis dan proses pembelajaran demokrasi (Media Komunikasi Politik, 2011:147). Penggunaan internet dalam kegiatan politik merupakan bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson yaitu kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Budiardjo, 2008:367). Coleman (1999) menunjukkan ‘peran media baru dalam layanan subversif dari ekspresi bebas di bawah persyaratan kontrol otoriter alat-alat komunikasi’ yang tidak kalah penting. Tidak mudah bagi pemerintah untuk mengendalikan akses pada dan penggunaan internet oleh warga negara yang berbeda pendapat, tetapi juga bukannya hal tersebut tidak mungkin. Gagasan ideal tentang ranah publik sebagai arena terbuka bagi percakapan publik, debat dan pertukaran gagasan terlihat dapat dipenuhi oleh bentuk-bentuk komunikasi (khususnya internet) yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pandangan mereka dan saling berkomunikasi juga dengan para pemimpin politik mereka tanpa meninggalkan rumah masing-masing. Penelitian Scheufele dan Nisbet (2002) mengenai internet dan warga negara, mendapat kesimpulan bahwa terdapat ‘peran yang sangat sedikit bagi internet dalam mempromosikan perasaan secara efektif, pengetahuan dan partisipasi. (McQuail, 211: 165-167). Selain itu, terdapat istilah lainnya penggunaan internet dalam rangka implementasi demokrasi yaitu cyberdemokrasi. Cyberdemokrasi adalah sebuah konsep yang melihat internet sebagai teknologi yang memiliki pengaruh sosial dan memperluas partisipasi demokrasi. Menurut John Hartley, cyberdemokrasi adalah sebuah konsep optimis yang muncul sejak awalawal kehadiran internet. Asal mula konsep ini berkaitan dengan konsep awal dari electronic democracy (Alatas, 2014:5). 2. Meningkatkan Demokrasi Media baru membawa dampak yang siginifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para teoretisi demokrasi selama ini percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada partisipasi politik warga negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan (civic affairs). Penemuan teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi telah


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

membawa kita memasuki era baru sejarah budaya. Beberapa ahli bahkan mengatakan bahwa new media telah benar-benar merubah kehidupan kita. Penemuan media baru pada akhirnya berakibat pada munculnya apa yang disebut sebagai konvergensi media, yaitu penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan. Transformasi masyarakat yang begitu cepat karena dampak dari konvergensi media baru dan globalisasi secara langsung mempengaruhi pembangunan dan pengembangan identitas budaya. Konvergensi media bukan hanya sekadar pergeseran teknologi, konvergensi bahkan telah mengubah hubungan yang ada antara teknologi, industri, pasar, genre dan audiens. Salah satu dampak yang mungkin muncul adalah pada akulturasi budaya-budaya lokal. Dalam pengertian yang paling sederhana, “akulturasi” mencakup semua perubahan yang muncul menyusul “Kontak” antara individu dan kelompok latar belakang budaya yang berbeda. Berbeda dengan media-media konvensional yang cenderung linear dan satu arah (one-way), konvergensi media bersifat interaktif yang memungkinkan untuk setiap budaya saling berinteraksi, dan bahkan saling mempengaruhi. Konvergensi media juga dapat menjadi semacam “counter hegemony” bagi budaya lokal untuk melawan dominasi media-media tradisional yang cenderung dominatif dan hegemonik. Seiring dengan berkembangnya konvergensi media di Indonesia terhadap akulturasi budaya lokal. Hal ini juga akan melihat bahwa Konvergensi media menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi pengembangan budaya lokal. Disatu sisi, interaktifitas yg tinggi dengan budaya lain, akan memberikan lebih banyak fleksibilitas dan ruang bebas untuk menjaga, menegoisasi, mengembangkan dan merekonstruksi berbagai bentuk identitas budaya lokal. Pada sisi lain, interaksi yang kompleks antara budaya lokal dan global, identitas budaya akan menjadi sangat dinamis, bahkan cair. Menjadi tantangan bagi eksistensi budaya lokal. Ruang publik (public sphere) adalah sebuah istilah yang dikembangkan oleh Sosiolog dan filsuf Jerman, Jürgen Habermas, yang merupakan penerus teori kritis Mazhab Frankfurt. Dalam pandangan Habermas, istilah ruang publik mengacu pada “ruang antara” negara dan pasar di mana segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum dan opini publik dibentuk dengan cara persuasi, konflik, dan didalamnya terjadi perebutan makna (contested meaning) untuk memenangkan opini publik. Konsep ruang publik dan opini publik juga menjadi acuan sebuah media itu berdiri namun peran media baru dalam politik di belum dikategorikan maksimal bukan hanya mengenai segi content tapi segmentasinya pun tidak tertarik sehingga media dalam politik bisa dikatakan mati.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Generasi millennial adalah generasi yang berkembang dari sebuah revolusi komunikasi yang berlangsung dari tahun 1981 hingga tahun 2000an. Generasi millennial ini pun juga disebut generasi Y dimana generasi ini menjadi sebuah generasi penerus dari generasi sebelumnya yakni generasi X. Istilah generasi millennial atau biasa disingkat Gen Y, mulai populer pada tahun 1990-an oleh dua sejarawan Amerika, yakni William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa publikasinya. Sederhananya teori ini mengklasifikasi batasan generasi menurut tahun kelahiran sebagai landasan asumsi untuk memprediksi perilaku generasi tertentu dalam menyikapi tantangan dan keadaan zaman kedepan. Sebagai batasannya, Generasi X (Gen X) adalah generasi yang lahir dalam bentang tahun 1961-1981, setelahnya adalah Generasi Millinneal adalah generasi yang lahir dalam bentang tahun 1982-2004. Generasi Millennial adalah anak-anak muda yang berada pada kisaran usia 13-35 tahun. Millennials kerap mendapat perhatian khusus untuk berbagai kepentingannya, dengan ditinjau dari berbagai aspek perilakunya, seperti dalam pendidikan, hubungan sosial, pandangan politik, etos kerja, hingga penguasaan teknologi. Seperti generasi lainnya, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakannya dalam kehidupan demokrasi hari ini. Munculnya generasi millennial ini ditandai dengan hadirnya teknologi canggih seperti ponsel dan juga sosial media guna berkomunikasi tanpa ada batasan jarak, ruang dan waktu sehingga generasi millennial ini memiliki beberapa perilaku unik seperti lebih aktif pada pandangan politik dan ekonomi di lingkungan sekitar sehingga apabila ada perubahan pada lingkungannya, mereka akan bersikap reaktif dan peka. Generasi millennial identik dengan teknologi. Salah satu ciri mereka yakni tak bisa lepas dari produk teknologi, gadget atau gawai. Dalam gawai itu, mereka menumpah-ruahkan ekspresi, di antaranya di sosial media. Kaum pemuda yang disebut Generasi Millennial aktif dalam dunia media sosial, sangat sedikit yang terjun dan mengetahui dunia politik. Keberadaan generasi millennial sangat mempengaruhi konstalasi politik mendatang. Pasalnya generasi milenila berjumlah 45% dari total penduduk indonesia. Perilaku generasi millenial lebih terbuka, dan komunikatif, baik di dunia maya (media sosial) maupun di dunia nyata. Untuk itu para pelaku politik harus bisa menyiasatinya. Generasi millennial lebih dominan dan condong ke arah isu-isu tertentu yang dianggap menarik, seperti masalah lingkungan, dan menjadi relawan dalam salah satu lembaga tertentu.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam dunia perpolitikan, generasi millenial menginginkan sosok pemimpin yang memiliki sifat terbuka, sederhana, tapi pembawa harapan, dan pemimpin egaliter. Para politisi dan partai politik tidak lagi menjadikan pemuda sebagai komoditi, tapi menghadapi pemuda dengan pendekatan partisipatif. Pengamat dari Lembaga Charta Politika, Muslimin, mengatakan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah populasi generasi millennial diprediksikan pada gelaran Pemilu 2019 ada sekitar 47 – 50 persen pemilih muda. Dari 268 juta pemilih, ada 84 jutaan pemilih di tahun 2019 yang dikategorikan dalam generasi millennial. Dari 47 – 50 persen pemilih dari generasi millennial,di kategorikan generasi now dengan analogi 4C yakni Criticisme, Chek, Communicatif dan Community. criticisme atau kritis, Chek and balance dalam artian selalu menginginkan perubahan, komunikatif yang menyukai komunikasi dua arah, dan perilaku mereka ber-community atau membentuk kelompok sesuai profesi, hobby dan minat bakat mereka. Generasi millenial merupakan pangsa pasar politik yang sangat banyak pemilihnya, diajak berpartisipasi dan terjun langsung dalam dunia politik. Kita menyaksikan beberapa perhelatan politik di daerah, banyak kepala daerah yang menonjol adalah pemimpin yang dipilih dari pemuda, misal Ridwan kamil, Azwar Anas lalu Jokowi di pilpres 2014 lalu banyak dipilih dari generasi millenial. Tantangan para politisi dan Parpol kedepannya ialah bagaimana membangun komunikasi politik yang kreatif, di kemas dengan isu-isu yang mengena kepada generasi millennial. Merekal penentu kemenangan politik pada pilcaleg dan pilpres 2019 mendatang. Realitas kekinian, umumnya generasi millennial mengasingkan diri dari riuh politik. Sebagian menganggap politik itu membosankan lantaran sering diwarnai dramaturgi dan patalogi. Mereka pun masih sebatas objek politik bagi politisi dan partai politik dalam mendulang dukungan suara. Padahal, populasi mereka sangat besar. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, jumlah pemilih millennial mencapai 53 juta jiwa dari 186 juta pemilih. Dengan jumlah yang begitu besar, mereka seharusnya memiliki posisi tawar yang kuat di ajang suksesi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, suara generasi millennial sangat menentukan kemenangan Barack Obama saat Pemilihan Presiden 2008 lalu. Calon presiden yang diusung Partai Demokrat itu berhasil mendapatkan dukungan mayoritas dari generasi millennial. Karena, janji-janji kampanye Obama merefleksikan harapan mereka, di antaranya masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Dari studi yang dilakukan The Case Foundation, generasi millennial yang lahir di tahun 1980 hingga 1999, sebagian besar ingin ada perbaikan ekonomi. Mereka merasakan betul dampak resesi ekonomi global seperti meningkatnya jumlah pengangguran dan kecilnya upah yang diterima. Dari hasil survei, John Della


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Volpe, dari The Instute of Politic (IOP) Harvard University, menjelaskan, pemilih muda mengkritisi rusaknya institusi pemerintahan di Washington. Mereka kurang menaruh kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Sinisme terhadap pejabat publik mengalami kenaikan lima poin sejak tahun 2010. Dan, hampir 47 persen pemilih muda, setuju dengan pernyataan yang menganggap politik, tidak mampu lagi mengatasi tantangan negara. Hanya 36 persen yang menyatakan tidak setuju dengan pandangan tersebut. Resesi global juga mempengarui pandangan pemilih muda yang kecenderungan mengarah ke kiri. Pasalnya, krisis ekonomi global menjadi penyebab pengangguran paling banyak berasal dari kelompoknya. Mereka juga kecewa lantaran menerima upah kecil dibandingkan kelompok lain. Padahal, sebagian besar dari lulusan perguruan tinggi dan produktif. Dengan argumentasi sederhana, benar, dan mudah dimengerti, mereka menganggap Wall Street gagal menciptakan resep ekonomi yang mujarab. 1. Dominasi Elit Belum ada survei yang fokus memotret tingkat kesukaan millennials dalam menilai, menyikapi isu dan dinamika politik. Belum diketahui pula seberapa besar minat mereka berlaga di panggung politik. Namun, gejala alergi politik terlihat dari pandangan, persepsi, dan sikap mereka terhadap politik. Suara mereka kurang terdengar dalam menyikapi isu-isu politik. Gerakannya pun tidak terlembaga dengan baik. Generasi millennial umumnya non partisan, yang pilihan politiknya tidak berbasis ideologi. Mereka juga dihinggapi pesimisme jika penggunaan hak pilih tidak begitu penting dan dapat mempengarui masa depannya. Mereka merupakan massa mengambang (floating mass) yang pilihan politiknya cenderung karena ikut-ikutan. Tidak berdasarkan referensi dan informasi. Menggunakan hak pilih laksana membeli kucing dalam karung. Bagaimana berharap akan terpilih pemimpin yang kapabel dan berintegritas jika dipilih oleh pemilih yang minim referensi seputar rekam jejak, integritas, dan kompetensi calon pemimpin yang akan dipilihnya? Realitas demikian tentu tidak menyehatkan demokrasi. Namun, sangat tidak tepat jika masalah tersebut disalahkan kepada mereka. Partai politik dan politisi yang gagal merefleksikan persepsi dan kepentingan remaja agar tertarik dalam berpolitik. Apatisme politik pada dasarnya implikasi disfungsi partai politik dan adanya sekat yang membatasi hubungan mereka dengan politisi. Millennials dihadapi keterbatasan dalam mengonsumsi literasi politik. Mereka cenderung lebih menyimak konten maupun wacana apolitis seperti hiburan (entertainment), budaya popular, gaya hidup, seputar kegiatan kreatif, dan hal-hal lain yang terkait dengan kehidupan mereka. Informasi yang terpapar


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

itu yang turut membuat mereka enggan masuk dalam pusaran politik. Mereka khawatir terpengaruh perilaku buruk politisi jika masuk dalam pusaran politik. Itu ditandai kian rendahnya kepercayaan terhadap partai politik. Sebagian besar masyarakat, termasuk kalangan millennial, kurang percaya partai politik. Hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) yang dirilis 2014 lalu menunjukan, mayoritas responden (58,2 persen) tidak mempercayai partai politik. Kemudian, yang menyatakan percaya 26,3 persen dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Rendahnya kepercayaan terhadap partai politik itu karena banyaknya kader partai politik yang terjerat korupsi, pelanggaran etika, dan konflik internal partai politik. Keterbatasan wadah dan akses berpolitik juga menstimulan munculnya gejala tersebut. Di ranah politik, keberadaan mereka masih sebatas objek yang senantiasa dibidik politisi yang berburu suara. Elit politik sengaja menutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan karir di jalur politik. Politisi senior yang telah merasakan nyaman duduk di jabatan politik, tentu tetap ingin mempertahankan jabatannya. Kondisi itu sengaja diciptakan elit sebagai subkelompok yang sangat kecil, yang menikmati keuntungan dari kekuasaan. Elit politik tidak memikirkan kepentingan demokrasi jangka panjang. Pendidikan politik dianggap tidak begitu perlu karena khawatir akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi yang menyebabkan kompetisi politik kian selektif. Sementara jika pemilih apatis dan tingkat pemahaman politiknya rendah, akan memudahkan politisi melakukan penetrasi guna meraih dukungan suara. Politisi kawakan tahu betul jika para pemilih tidak peduli siapa yang akan dipilih. Elit politik masih menganggap remaja tidak cukup berkualitas dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya. Kapasitasnya juga diragukan dalam menghasilkan produk kebijakan lantaran keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Pengabaian itu menyebabkan mereka kian apatis lantaran merasa tidak memiliki pengaruh untuk membuat dan menentukan kebijakan. Belum lagi minimnya modal dalam mengikuti pertarungan politik yang kian liberal, membuat mereka hitung-hitungan berpolitik. 2. Sebatas Objek Sebagian besar partai politik berupaya menyasar millennials. Namun, sebatas demi mendapatkan dukungan. Generasi millennial diolah sedemikian rupa karena jumlahnya yang sangat besar. Namun, upaya penetrasi itu tidak mudah. Persepsi negatif terhadap partai politik, turut menyulitkan upaya mempengarui pilihan politik, khususnya kepada mereka yang terdidik. Di satu sisi, sikap demikian harus dipandang sebagai bentuk protes terhadap


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

akuntabilitas partai politik. Tak salah jika mereka menganggap partai politik mendekat jika ada maunya saja seperti jelang suksesi. Ruang partisipasi bagi kalangan millennial, disimplifikasi sebatas aktualisasi hak memilih di ajang suksesi. Padahal, partisipasi mengandung makna yang luas. Partisipasi politik merupakan prinsip dasar berdemokrasi. Partisipasi politik itu harus terus didorong untuk mengukuhkan demokrasi deliberatif. Aktualisasinya tidak sebatas kebebasan menggunakan hak pilih. Namun, keterlibatan secara langsung dalam kegiatan politik seperti mengawasi proses kompetisi politik dan mempengarui kebijakan politik. Sejauh ini, belum terlihat langkah institusionalisasi maupun prosedural di partai politik dalam meningkatkan partisipasi politik rakyat, khususnya bagi generasi millennial. Hal ini harus dipikirkan mengingat gejala apatisme dan ketidakpercayaan terhadap partai politik sangat tinggi. Fenomena apatisme politik merupakan sinyal yang mengarah terjadinya defisit demokrasi. Politisi harusnya menyadari, remaja kelak menjadi orang dewasa, yang akan menggantikannya. Karenanya, mereka harus dibekali pengetahuan, kesempatan, dan partisipasi dalam berpolitik. Proses yang mereka lalui akan meningkatkan kecakapan dalam berpolitik. Harapannya, cakap berpolitik berbasis nilai, etika, dan moral. Kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik dan ruang partisipasi yang sempit, harusnya juga dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi partai politik. Partai politik akan dibelit defisit kepemimpinan di masa yang akan datang yang pada akhirnya menurunkan derajat demokrasi. Seperti yang nampak saat ini, partai politik seakan hanya menjadi perahu bagi para petualang politik yang berambisi merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan kekuatan uang. Dominasi elit menjadikan partai politik tak terlembaga, sebatas subordinasi kepentingan para pentolannya dan orang-orang yang memiliki kekuatan uang. Akibatnya, institusionalisasi bergerak lamban. Meski demikian, patut pula diapresiasi jika ada sedikit kaum millennial yang terlihat dalam aktivitas politik, meski tidak terlibat dalam partai politik. Mereka menjadi bagian dari gerakan civil society yang menuntut perubahan dan kondisi yang diharapkan. Aspirasi disuarakan dengan menggelar kreasi simpatik dan mencerdaskan seperti kegiatan seni dan budaya, stand up comedy, diskusi, hingga demonstrasi damai. Agar pesan-pesannya tersampaikan luas, mereka menggunakan media sosial yang menjadi bagian dari kehidupannya. Ada juga yang menggelar kampanye kreatif anti politik uang, anti korupsi, anti politisi busuk, dan sebagainya. Ada partai yang dihuni kaum muda. Sebut saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikomandoi Grace Natalie. PSI merekrut beberapa politisi muda untuk menjadi pengurus partai. Namun, apa tujuan utama mereka berpolitik? Apakah motifnya


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sekadar merebut kekuasaan? Dan, bagaimana komitmen mereka dalam mengaktualisasi politik berbasis nilai dan ideologi? Jawaban atas pertanyaan itu harus dibuktikan, bukan retorika belaka. Karena, saat ini banyak politisi yang cakap berkata-kata, namun praktik politiknya jauh dari landasan nilai, etika maupun ideologi. Sebagian besar menempuh cara-cara pragmatis dan menempatkan politik sebagai ranah memperbaiki nasib. Mereka hanya bermodal akses politik, tanpa memiliki loyalitas dan militansi sebagai politisi ideolog yang konsisten memperjuangkan kepentingan kolektif. Tak heran jika di antara mereka memilih tindakan kontraproduktif. Misalnya, ramai-ramai mempreteli upaya pemberantasan korupsi. Simak saja beberapa politisi yang lantang mendesak pembubaran KPK atau berupaya mengkerdilkan kewenangan KPK lewat jalur politik. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa, merusak sendi-sendi kehidupan, melemahkan legitimasi politik, dan mendistorsi demokrasi. Perilaku politisi demikian yang membuat khalayak mengasingkan diri dari politik dan muak dengan politisi. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan kehadiran politisi muda yang idealis dan progresif. Mereka harus berperan dalam menciptakan iklim politik yang lebih demokratis dan anti korupsi. Berpolitik tidak melulu terkait upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan. Berpolitik juga mengandung dimensi etis, yang menuntut pertanggungjawaban, jujur, berintegritas, sense of crisis, dan tidak mementingkan golongan. Di tengah apatisme politik saat ini, upaya mendorong generasi millennial agar melek politik perlu dilakukan. Misalnya, memanfaatkan media sosial sebagai saluran sosialisasi dan pendidikan politik karena begitu dekat dengan kehidupan generasi millennial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB II PENGERTIAN MEDIA SOSIAL PERKEMBANGAN DAN ETIKA BERMEDIA SOSIAL

Media sosial (media sosial) atau sosial media menjadi fenomena yang makin mengglobal dan mengakar. Keberadaannya makin tidak bisa dipisahkan dari cara berkomunikasi antarmanusia. Sebagai bentuk aplikasi dalam komunikasi secara virtual, media sosial merupakan hasil dari kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT). Akankah fenomena media sosial itu bersifat temporer atau sementara saja? Tidak ada yang bisa memastikan. Yang pasti, inovasi inovasi di dalam TIK akan terus melahirkan beragam aplikasi media sosial dan perangkat gadget pendukungnya. Aplikasi-aplikasi media sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat komunikasi yang “dibenamkan� di dalam smartphone, tablet, laptop, dan PC. Kini, dengan semakin luas, cepat dan lebarnya koneksi internet, konsumen makin dimudahkan dalam mengakses aplikasi media sosial. Dalam kondisi komunikasi seperti itulah memudahkan para pengguna dalam bersosialisasi di media sosial. Komunikasi politik adalah salah satu yang mengambil manfaat dari keberadaan media sosial. Dalam media sosial, beragam paradigma komunikasi muncul. Ada model komunikasi yang sifatnya satu arah, di mana satu pihak memberikan informasi kepada pihak lain, ada pula model komunikasi yang sifatnya partisipatoris, di mana pihak-pihak yang berkomunikasi melakukannya secara dialogis. Pada model partisipatoris, pengguna media sosial saling berbagi informasi, pendapat, pandangan, pengetahuan, pengalaman, keinginan dan membangun kerangka tindakan untuk mencapai kemajuan bersama. 1. Pengertian Media Sosial Secara umum, definisi media sosial adalah media online. Seperti dalam Wikipedia, media sosial merupakan sebuah media online dimana para penggunanya bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi. Jadi pengertian media sosial disini adalah sebuah saluran atau sarana untuk pergaulan sosial yang dilakukan secara online melalui jaringan internet. Para pengguna media sosial atau bisa juga disebut dengan user ini bisa melakukan komunikasi atau interaksi, berkirim pesan, baik pesan teks, gambar, audio hingga video, saling berbagi atau sharing, dan juga membangun jaringan atau networking. Contoh media sosial sendiri yang hingga saat ini paling umum digunakan adalah blog, wiki dan juga jejaring sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Chris Brogan (2010:11) dalam bukunya yang berjudul Sosial Media 01 Tactic and Tips to Develop Your Business Online mendefinisikan Sosial media sebagai berikut: “Sosial media is a new set of communication and collaboration tools that enable many types of interactions that were previously not available to the common person�. (Sosial media adalah satu set baru komunikasi dan alat kolaborasi yang memungkinkan banyak jenis interaksi yang sebelumnya tidak tersedia untuk orang biasa). Sosial media menurut Dailey (2009:3) adalah konten online yang dibuat menggunakan teknologi penerbitan yang sangat mudah diakses dan terukur. Paling penting dari teknologi ini adalah terjadinya pergeseran cara mengetahui orang, membaca dan berbagi berita, serta mencari informasi dan konten. Ada ratusan saluran sosial media yang beroperasi di seluruh dunia saat ini, dengan tiga besar facebook, LinkedIn, dan twitter. (Badri, 2011:132) Pengguna media sosial dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content�. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar antara lain Facebook, Myspace, dan Twitter. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet. Menurut Carr dan Hayes, definisi atau pengertian yang telah dirumuskan seringkali merujuk media sosial pada tiga hal utama, yaitu: 1. Teknologi digital yang menekankan pada user-generated content atau interaksi. 2. Karakteristik media. 3. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain sebagai contoh model interaksi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Saat teknologi internet dan mobile phone makin maju maka media sosial pun ikut tumbuh dengan pesat. Kini untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah mobile phone. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Karena kecepatannya media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan berita-berita. Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang seperti bisa memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan media. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan sosial media dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Kita sebagai pengguna sosial media dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model content lainnya. Menjamurnya pengguna media sosial hingga sampai saat ini, juga tidak lepas dari peran serta para ahli dalam memberikan gagasan, pandangan ataupun teorinya terkait media sosial. Beberapa gagasan ataupun teori dalam media sosial, secara sederhana dapat berupa sebuah definisi media sosial atau pengertian media sosial. Sumbangsih pemikiran para ahli mengenai pengertian media sosial, patut untuk di apresiasi peran serta dari para ahli dalam memberikan arah teknologi mutakhir ini. 2. Karakteristik Media Sosial Menurut Hadi Purnama (2011:116) sosial media mempunyai beberapa karakteristik khusus diantaranya : 1. Jangkauan (reach): daya jangkauan sosial media dari skala kecil hinga khalayak global. 2. Aksesibilitas (accessibility): sosial media lebih mudah diakses oleh publik dengan biaya yang terjangkau. 3. Penggunaan (usability): sosial media relatif mudah digunakan karena tidak memerlukan keterampilan dan pelatihan khusus. 4. Aktualitas (immediacy): sosial media dapat memancing respon khalayak lebih cepat. 5. Tetap (permanence): sosial media dapat menggantikan komentar secara instan atau mudah melakukan proses pengeditan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1. Kualitas distribusi pesan melalui media sosial memiliki berbagai variasi yang tinggi, mulai dari kualitas yang sangat rendah hingga kualitas yang sangat tinggi tergantung pada konten. 2. Jangkauan teknologi media sosial bersifat desentralisasi, tidak berifat hierarki 3. Frekuensi menggambarkan jumlah waktu yang digunakan oleh pengguna untuk mengakses media sosial tiap harinya. 4. Aksesibilitas menggambarkan kemudahan media sosial untuk diakses oleh pengguna. 5. Kegunaan menggambarkan siapapun yang memiliki akses internet dapat mengerjakan berbagai hal dengan menggunakan media sosial seperti mem-posting foto digital, menulis online dan lain-lain. 6. Segera menggambarkan waktu yang dibutuhkan pengguna media sosial untuk berkomunikasi dengan orang lain secara instan. 7. Tidak permanen menggambarkan bahwa pesan dalam media sosial dapat disunting sesuai dengan kebutuhan. 3. Ciri dan Jenis Media Sosial Gamble, Teri, dan Michael dalam Communication Works sebagaimana dikutip Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri - ciri sebagai berikut : 1. Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet 2. Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper 3. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya 4. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi Karakteristik Media Sosial Media sosial memiliki ciri-ciri yang tidak lepas dari berbagai ciri-ciri dari media sosial yang banyak digunakan hingga saat ini. Berikut beberapa karakteristik yang terdapat pada media sosial : 1. Partisipasi. Mendorong kontribusi dan umpan balik dari setiap orang yang tertarik atau berminat menggunakannya, hingga dapat mengaburkan batas antara media dan audience. 2. Keterbukaan. Kebanyakan dari media sosial yang terbuka bagi umpan balik dan juga partisipasi melalui sarana-sarana voting, berbagai, dan juga komentar. Terkadang batasan untuk mengakses dan juga memanfaatkan isi pesan (perlindungan password terhadap isi cenderung dianggap aneh). 3. Perbincangan. Selain itu, kemungkinkan dengan terjadinya perbincangan ataupun pengguna secara dua arah. Keterhubungan. Mayoritas dari media sosial


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

tumbuh dengan subur lantaran terjadi suatu kemampuan yang dapat melayani keterhubungan antar pengguna, melalui suatu fasilitas tautan (links) ke website, sumber informasi dan bagi pengguna-pengguna lainnya. Menurut Mayfield yang di kutip oleh Muhammad Badri (2011:133) menyebutkan saat ini ada tujuh jenis sosial media, namun inovasi dan perubahan terus terjadi. Sosial media yang ada saat ini : 1.

2.

3.

4. 5.

6.

7.

Jejaring sosial seperti facebook, myspace dan bebo. Situs ini memungkinkan orang untuk membantu halaman web pribadi dan terhubung dengan teman-temannya untuk bebagi konten komunikasi. Blog, merupakan bentuk terbaik dari media sosial, berupa jurnal online dengan pemuatan tulian terbaik, yaitu tulisan terbaru ada di halaman terdepan. Wikis seperti Wikipedia dan ensiklopedia online website. Wikis memperoleh siapa saja utuk mengisi atau mengedit informasi didalamnya, bertindak sebagai sebuah dokumen atau database komunal. Podcasts, menyediakan file-file audio dan video dengan berlangganan melalui layanan seperti Itunes dari Apple. Forum, area untuk diskusi online, seputar topik dan minat tertentu. Forum sudah ada sebelum media sosial dan menjadi komunitas online yang kuat dan populer. Komunitas konten seperti flickr (untuk berbagi foto), del.icio.us (link bookmarked) dan youtube (video). Komunitas ini mengatur dan berbagi jenis konten tertentu. Microblogging, situs jejaring sosial dikombinasikan blog, dimana sejumlah kecil konten (update) didistribusikan secara online dan melalui jaringan mobile phone, twitter adalah pemimpin layanan ini.

Teknologi media sosial mengambil bentuk, termasuk majalah, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video, rating dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori di bidang riset media (kehadiran sosial, kekayaan Media) dan proses sosial (self-presentasi, self-disclosure). Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel mereka Bisnis Horizons diterbitkan pada tahun 2010. Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial: 1. Proyek kolaborasi Situs ini memungkinkan pengguna untuk dapat mengubah, menambah, atau menghapus konten sedikit – konten yang tersedia di website ini. contoh wikipedia


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Blog dan microblog Pengguna bebas untuk mengekspresikan sesuatu dalam blog ini seperti ventilasi atau mengkritik kebijakan pemerintah. misalnya twitter 3. Konten Pengguna situs ini pengguna mengklik setiap konten saham – konten media, seperti video, ebook, gambar, dan lain – lain. Situs jejaring sosial misalnya youtube 4. Situs jejaring sosial Aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi yang bisa menjadi seperti foto – foto. Contoh facebook 5. Virtual game world Sebuah dunia maya, di mana lingkungan 3D mengreplikasikan, di mana pengguna bisa datang dalam bentuk yang diinginkan dan berinteraksi dengan orang lain baik di dunia nyata. untuk game online misalnya. 6. Virtual sosial world Virtual dunia di mana pengguna merasa hidup di dunia maya, seperti dunia game virtual, berinteraksi dengan orang lain. Namun, Dunia Virtual Sosial lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan, seperti Second Life. Media sosial memiliki berbagai ragam dan jenis sesuai dengan pengaplikasian serta kegunaannya. Berikut adalah jenis-jenis media sosial beserta fungsi, kegunaan dan contoh-contoh nya: 1. Media Sosial Video Sharing (Berbagi Video) Media sosial ini berfungsi sebagai wadah untuk menampilkan video yang diunggah oleh pengguna/user serta menyediakan streaming video yang beragam secara audio visual. Video yang disediakan sangatlah banyak, beberapa contohnya adalah video musik, hiburan, berita dll. Sejauh ini, media sosial video sharing yang paling populer adalah Youtube. Beberapa pengguna/user di youtube bahkan dapat meraup untung yang besar dengan menampilkan iklan-iklan di video mereka. Adapun beberapa contoh media sosial video sharing yang lain adalah vimeo, daily motion dan mivo.tv 2. Aplikasi Media Sosial Mikroblog Aplikasi mikroblog termasuk yang paling mudah digunakan dibanding program-program media sosial lainnya. Cukup hanya dengan menginstall aplikasinya dan adanya jaringan internet saja sudah cukup untuk mengakses Aplikasi Media Sosial Mikroblog ini. Di Indonesia terdapat dua Aplikasi Media sosial Mikroblog yang sangat populer antara lain twitter dan tumblr.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Aplikasi Media Sosial Berbagi Jaringan Sosial Aplikasi ini memungkinkan orang-orang untuk berkomunikasi, berhubungan, dan berorganisasi secara online. Pada penerapannya, tidak disarankan untuk menggunakan Aplikasi Jaringan Sosial menyangkut urusan pekerjaan atau profesi. Aplikasi Jaringan Sosial ini lebih mengutamakan berkomunikasi atau berhubungan secara santai dan pribadi seperti mengakrabkan diri kepada sanak saudara, keluarga, teman dll. Contoh Aplikasi Media Sosial Berbagi Jaringan Sosial yang populer di indonesia adalah Facebook, path dan google+. 4. Aplikasi Berbagi Jaringan Profesional Pengguna atau user dari aplikasi berbagi jaringan profesional biasanya adalah kaum terpelajar seperti mahasiswa, pengamat dan peneliti. Tidak jarang juga beberapa siswa-siswa mengakses aplikasi ini. Mereka yang mengakses aplikasi berbagi jaringan profesional ini bisa disebut juga kalangan akademik yang berpengaruh dalam pembentukan opini masyarakat. Oleh karena itu, jenis aplikasi ini sangat cocok untuk menawarkan dan menyebarkan misi dibidang perdagangan yang banyak memerlukan telaah materi serta hal-hal yang memerlukan perincian data. Aplikasi ini juga efektif untuk menyebarkan dan mensosialisasikan perundang-undangan atau peraturan-peraturan lainnya. Beberapa aplikasi jaringan profesional yang cukup populer di Indonesia antara lain LinkedIn, Scribd dan Slideshare. 5. Aplikasi Berbagi Foto Di Indonesia aplikasi berbagi foto ini sangat populer. Salah satu contoh yang paling berpengaruh adalah Instagram. Saat ini ketenaran instagram hampir mengalahkan jejaring sosial facebook karena aplikasi ini hanya fokus menampilkan foto, jadi konten tulisan dan foto tidak campur aduk seperti pada jejaring sosial facebook. Aplikasi berbagi foto lain yang banyak digunakan oleh orang-orang terutam di Indonsia antara lain Pinterest, Picasa dan Flickr. Jenis-Jenis Media Sosial Menurut Kotler dan Keller bahwa terdapat tiga macam platform yang utama untuk media sosial : 1. Online Communities And Forums. Komunitas online dan forum tersebut datang dalam segala bentuk dan ukuran dimana banyak dibuat oleh pelanggan ataupun kelompok yang pelanggan tanpa adanya bunga komersial ataupun dengan afiliasi perusahaan. Sebagian hal ini disponsori oleh perusahaan yang anggotanya berkomunikasi dengan perusahaan dan dengan satu sama lain yang melalui posting, instant, messaging, dan juga chatting yang berdiskusi mengenai minat khusus yang dapat berhubungan dengan produk perusahaan dan merek.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Blogs. Terdapat tiga juta pengguna blog dan mereka yang sangat beragam, yang beberapa pribadi untuk teman-teman dekat dan keluarga, lainnya dirancang untuk menjangkau dan juga mempengaruhi khalayak luas. 3. Sosial Networks. Jaringan sosial telah menjadi kekuatan yang penting baik dalam bisnis konsumen dan juga pemasaran bisnis ke bisnis. Salah satunya dari facebook, messanger, twitter dan juga Blackberry dll. Jaringan yang berbeda tersebut menawarkan manfaat yang berbeda pula untuk perusahaan. Selain itu, menurut Puntoadi (2011: 34) bahwa terdapat beberapa macammacam media sosial adalah sebagai berikut : 1. Bookmarking. Berbagai alamat website yang menurut pengguna bookmark sharing menarik minat mereka. Bookmarking memberikan sebuah kesempatan untuk menshare link dan tag yang diminati. Hal demikian bertujuan agar setiap orang dapat menikmati yang kita sukai. 2. Content Sharing. Melalui situs-situs content sharing tersebut orang-orang menciptakan berbagai media dan juga publikasi untuk berbagi kepada orang lain. YouTube dan Flikr merupakan situs content sharing yang biasa dikunjungi oleh khalayak. 3. Wiki Sebagai situs yang memiliki macam-macam karakteristik yang berbeda misalnya situs knowledge sharing, wikitravel yang memfokuskan sebuah diri informasi tempat, dan konsep komunitas lebih eksklusif 4. Flickr Situs yang dimiliki yahoo mengkhususkan sebuah image sharing dengan kontributor yang ahli di setiap bidang fotografi di seluruh dunia. Flickr menjadikan “photo catalog� yang setiap produk dapat dipasarkan. 5. Sosial Network Aktivitas yang menggunakan fitur yang disediakan oleh situs tertentu menjalin sebuah hubungan, interaksi dengan sesama. Situs sosial networking tersebut adalah linkedin, facebook, dan MySpace. 6. Creating Opinion Media sosial tersebut memberikan sarana yang dapat berbagi opini dengan orang lain di seluruh dunia. Melalui hal tersebut, creating opinion, semua orang dapat menulis, jurnalis dan sekaligus komentator.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Peran, Fungsi dan Kelebihan Media Sosial a. Peran Media Sosial

Sosial media merupakan salah satu media yang online yang memilki banyak para pengguna yang berada di seluruh dunia ini mudah untuk berbagi , berartisipasi dan juga membantu blog , membuat forum, pembuat wiki dan juga membuat dunia virtual. Seperti halnya yang kita ketahui bahwa jejaring sosial dan juga wiki serta blog adalah bentuk media sosial yang sering kali di gunakan oleh kebanyakan orang. Ada beberapa orang yang pengatakan bahwa media sosial merupakan media online yang akan memudahkan untuk melakukan interaksi sosial dan juga media sosial yang memakai teknologi serba canggih yang memilki sistem web yang akan menjadikan dialog interatif. Sosial media yang merupakan situs yang mana setiap para penggunanya bisa membagi atau mencari informasi pribadi atau juga page pribadi yang akan terkoneksi pada orang lain atau teman – temannya. Sosial media juga merupakan ebuah alat yang bisa di jadikan alat promosi yan sangat efektif dan juga efisien. Hal ini di karenakan mudahnya sosial media di akses oleh siapa saja. Sehingga jaringan romosi yang akan di lakukan lebih luas. Ada banyak sekali jenis sosial media yang ada sekarang ini seperti halnya twitter, facebook, blog dan juga lainnya yang mempunyai manfaat seperti media cetak akan tetapi lebih murah dan juga lebih cepat. Mengetahui hal itu, para politisi, pengusaha memilih melakukan komunikasi politik dan pemasaran produk pada sosial media dari pada media cetak. Peran sosial media yang cukup menarik perhatian para pengguna sosial media. Peran yang tak kalah menariknya adalah mudahnya orang berkomunikasi tanpa mengena jarak dan waktu serta dapat berbagai tentang foto, video dan juga tautan. Sosial media memilki beberapa kelebihan seperti membangunn hubungan, kesederhanaan, jangkauan global serta terukur. Media sosial merupakan alat promosi bisnis yang efektif karena dapat diakses oleh siapa saja, sehingga jaringan promosi bisa lebih luas. Media sosial menjadi bagian yang sangat diperlukan oleh pemasaran bagi banyak perusahaan dan merupakan salah satu cara terbaik untuk menjangkau pelanggan dan klien. Media sosial sperti blog, facebook, twitter, dab youtube memiliki sejumlah manfaat bagi perusahaan dan lebih cepat dari media konvensional seperti media cetak dan iklan TV, brosur dan selebaran.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki kelebihan dibandingkan dengan media konvensional, antara lain:  Kesederhanaan Dalam sebuah produksi media konvensional dibutuhkan keterampilan tingkat tinggi dan keterampilan marketing yang unggul. Sedangkan media sosial sangat mudah digunakan, bahkan untuk orang tanpa dasar TI pun dapat mengaksesnya, yang dibutuhkan hanyalah komputer dan koneksi internet.  Membangun Hubungan Sosial media menawarkan kesempatan tak tertandingi untuk berinteraksi dengan pelanggan dan membangun hubungan. Perusahaan mendapatkan sebuah feedback langsung, ide, pengujian dan mengelola layanan pelanggan dengan cepat. Tidak dengan media tradisional yang tidak dapat melakukan hal tersebut, media tradisional hanya melakukan komunikasi satu arah.  Jangkauan Global Media tradisional dapat menjangkau secara global tetapi tentu saja dengan biaya sangat mahal dan memakan waktu. Melalui media sosial, bisnis dapat mengkomunikasikan informasi dalam sekejap, terlepas dari lokasi geografis. Media sosial juga memungkinkan untuk menyesuaikan konten anda untuk setiap segmen pasar dan memberikan kesempatan bisnis untuk mengirimkan pesan ke lebih banyak pengguna.  Terukur Dengan sistemtracking yang mudah, pengiriman pesan dapat terukur, sehingga perusahaan langsung dapat mengetahui efektifitas promosi. Tidak demikian dengan media konvensional yang membutuhkan waktu yang lama. b. Fungsi Media Sosial Media sosial sebagai sistem komunikasi, maka fungsi-fungsi terkait dengan sistem komunikasi, yaitu :  Administrasi Pengorganisasian proofil karyawan perusahaan dalam jaringan sosial yang relevan dan relatif dimana posisi pasar pengguna sekarang. Pembentukan pelatihan kebijakan media sosial, dan pendidikan untuk semua karyawan pada penggunaan media sosial. Pembentukan sebuah blog organisasi dan integrasi konten dalam masyarakat yang relevan. Riset pasar untuk menemukan dimana pasar pengguna.  Mendengarkan dan Belajar Pembuatan sistem pemantauan untuk mendengar apa yang pasar anda inginkan, apa yang relevan dengan mereka.  Berpikir dan Perencanaan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Bagaiman pengguna akan tetap didepan pasar dan begaiman anda berkomunikasi ke pasar. Bagaiman teknologi sosial meningkatkan efisiensi operasional hubungan pasar.  Pengukuran Menetapkan langkah-langkah efektif sangat penting untuk mengukur apakah metode yang digunakan, isi dibuat dan alat yang anda gunakan efektif dalam meningkatkan posisi dan hubungan pasar anda. Fungsi media sosial dapat kita ketahui melalui sebuah kerangka kerja honeycomb. Pada tahun 2011, Jan H. Kietzmann, Kritopher Hermkens, Ian P. McCarthy dan Bruno S. Silvestre menggambarkan hubungan kerangka kerja honeycomb sebagai penyajian sebuah kerangka kerja yang mendefinisikan media sosial dengan menggunakan tujuh kotak bangunan fungsi yaitu : 1. Identity Identity menggambarkan pengaturan identitas para pengguna dalam sebuah media sosial menyangkut nama, usia, jenis kelamin, profesi, lokasi serta foto. cenversations 2. Conversations menggambarkan pengaturan para pengguna berkomunikasi dengan pengguna lainnya dalam media sosial. 3. sharing Sharing menggambarkan pertukaran, pembagian, serta penerimaan konten berupa teks, gambar, atau video yang dilakukan oleh para pengguna. 4. presence Presence menggambarkan apakah para pengguna dapat mengakses pengguna lainnya. 5. relationships Relationship menggambarkan para pengguna terhubung atau terkait dengan pengguna lainnya. 6. Reputation Reputation menggambarkan para pengguna dapat mengidentifikasi orang lain serta dirinya sendiri. 7. groups. Groups menggambarkan para pengguna dapat membentuk komunitas dan sub-komunitas yang memiliki latar belakang, minat, atau demografi. Fungsi Media Sosial Media sosial dalam perannya saat ini, telah membangun sebuah kekuatan besar dalam membentuk pola perilaku dan berbagai bidang dalam kehidupan manusia. Hal ini yang membuat fungsi media sosial sangat besar. Adapun fungsi media sosial diantaranya sebagai berikut:


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media sosial adalah media yang didesain untuk memperluas interaksi sosial manusia dengan menggunakan internet dan teknologi web. Media sosial berhasil mentransformasi praktik komunikasi searah media siaran dari satu institusi media ke banyak audience (one to many) ke dalam praktik komunikasi dialogis antara banyak audience (many to many). 2. Media sosial mendukung demokratisasi pengetahuan dan juga informasi. Mentranformasi manusia dari pengguna isi pesan menjadi pembuat pesan itu sendiri. Selain itu, terdapat pendapat lain menurut Puntoadi (2011:5) pengguna media sosial berfungsi sebagai berikut : 1. Keunggulan membangun personal branding melalui sosial media adalah tidak mengenal trik atau popularitas semu, karena aduensilah yang akan menentukan. Berbagai sosial media menjadi media untuk orang yang berkomunikasi, berdiskusi dan bahkan menberikan sebuah popularitas di media sosial. 2. Media sosial memberikan sebuah kesempatan yang berfungsi interaksi lebih dekat dengan konsumen. Media sosial menawarkan content komunikasi yang lebih individual. Melalui media sosial pula berbagai para pemasar dapat mengetahui kebiasaan dari konsumen mereka dan melakukan suatu interaksi secara personal serta dapat membangun sebuah ketertarikan yang lebih dalam. 3. Media Penyampaian pesan secara cepat dan luas tentu bisa membantu seseorang untuk mempromosikan bisnisnya. 4. Media sosial berperan dalam membangun hubungan ataupun relasi, bahkan dari jarak jauh karena media sosial memiliki jangkauan global. 5. Media sosial dapat berperan dalam membantu system administrasi, memberi dan mendapatkan informasi, melihat peluang dan pasar, perencanaan dan lain sebagainya. c. Kelebihan Media Sosial Media Sosial memiliki kelebihan dibanding media-media lainnya antara lain:  Media sosial mudah digunakan. Media sosial mudah digunakan dibanding media konvensional, hanya membutuhkan komputer atau smartphone dan koneksi internet, sementara pada media konvensional dibutuhkan keterampilan tinggi dan keterampilan marketing yang unggul.  Media sosial dapat membangun hubungan. Dibanding dengan media tradisional yang hanya melakukan komunikasi satu arah, media sosial dapat menyediakan wadah untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama pengguna secara mudah dan tak terbatas.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual





Media sosial dapat menjangkau segala tempat secara global dengan cepat dan mudah. Media tradisional pada penerapannya juga dapat menjangkau secara global, namun diperlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena itu Media sosial memiliki keunggulan dibidang jangkauan secara global. Dengan sistem tracking yang mudah, pengiriman pesan dapat terukur dengan baik. sehingga pengguna, instansi/perusahaan dapat mengetahui keefektifan pengiriman data dan informasi secara langsung. Jika dibandingkan dengan Media Tradisional, Media Sosial membutuhkan waktu yang lebih singkat dalam pengiriman pesan.

Sosial media sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Perkembangan teknologi informasi yang pesat merupakan salah satu penyebab boomingnya sosial media. Para web developer pun kini berlombalomba untuk mengembangkan berbagai sosial media yang dapat dinikmati oleh segala kalangan. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Path, youtube dan media sosial lainnya. Manfaat Media sosial, antara lain : 1. Media Komunikasi Manfaat yang paling utama kita rasakan dalam menggunakan media Sosial adalah untuk Berkomunikasi.Komunikasi itu sendiri berarti adanya interaksi dengan seseorang atau lebih, baik secara langsung(bertatap Muka, telfon) atau tidak langsung(Melalui sms,surat). Biasanya dulu untuk berkomunikasi dengan seseorang yang sangat jauh kita menggunakanTelepon dan Handphone. Komunikasi tersebut bisa kita lakukan jika hanya ada Nomor HP dan pulsa. Karna semakin berkembang dan majunya teknologi, untuk berkomunikasi saat ini tidak perlu Menggunakan Nomor HP dan Pulsa, Hanya menggunakan Koneksi internet kita sudah bisa melakukannya. Seperti Facebook, Twitter, Instagram dll. Sudah semakin berkurang orang menggunakan Pulsa untuk berkomunikasi dan beralih menggunakan Paket Internet. Dari segi keuntungan, komunikasi dengan internet lebih menguntungkan, baik dari kecepatan dan biaya. 2. Ekspresi Diri Ekpresi diri merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengungkapkan perasaan. Didalam diri manusia ada berbagai macam persaan seperti sedih, bahagia, marah dll. Nah, untuk mengekspresikan perasaan tersebut orang-orang menggunakan Media sosial sebagai ajang pelampiasan perasaan. Ada 3 jenis cara yang bisa dilakukan untuk MengEkspresikan diri, Bisa menggunakan Tulisan, Foto dan Video.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Mencari Informasi Dengan adanya Media Sosial, Manfaat yang dapat kita rasakan selanjutnya adalah kemudahan dalam mencari Informasi. Kalau dulu biasanya jika kita ingin mencari informasi harus melalui koran, buku, majalah, televisi.Namun sekarang ini sudah dimudahkan melalui media sosial.. Nah, Ada berbagai jenis Informasi yang ada seperti Infomasi ; Kesehatan, Pendidikan, Berita, Teknologi dll. Kelebihan dari Informasi Media Sosial adalah Updatenya yang begitu cepat, bisa hitungan jam, menit bahkan detik, informasi sudah bisa disebar luaskan. 4. Media Belajar Untuk Belajar, kita tidak perlu repot-repot untuk membeli buku. Pelajaran apapun yang ingin kita pelajari sudah ada di media sosial. Baik itu Pelajaran ; Komputer, Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Hukum dll, bisa kita dapatkan dari Intenet. 5. Menambah Teman Biasanya untuk menambah teman kita harus bertatap muka dan bertemu secara langsung telebih dahulu dan memperkenalkan diri, sekarang tidak harus melakukan hal tersebut kita bisa manambah teman melalui Facebook, Google+ dll. Sehingga, kita bisa mengenal banyak orang dari berbagai daerah. Tentunya ada interaksi yang dilakukan terhadap teman yang sudah kita tambahkan pertemanan. Namun, Secara kedekatan Emosional, tentunya yang bertemu secara langsung akan lebih terasa. 6. Media Untuk Berbagi Media Sosial juga dimanfaatkan oleh seseorang untuk berbagi informasi, tulisan, foto dan video dengan sangat mudah. Misalkan facebook, biasanya untuk berbagi dengan teman, kita menandai mereka satu persatu atau membagikan ke beranda masing-masing. 7. Membangun Komunitas Manfaat yang tidak kalah menariknya adalah kita bisa membangun komunitas pada media sosial. Biasanya, untuk membangun komunitas orang-orang memanfaatkan Facebook dan Google+. Komunitas yang dibangun bisa Dalam Bentuk Halaman(FansPage) atau Grup (group). Komunitas yang kita bangun bisa mencapai jumlah anggota yang sangat banyak ; bisa ratusan, ribuan dan bahkan jutaan. Ada berbagai komunitas yang bisa kita bangun seperti : Komunitas Pecinta Alam, Keagamaan, Blogger, Hacker dll. 8. Mencari Uang Media Sosial Bisa dimanfaatkan seseorang untuk mencari uang dengan cara menyediakan jasa. Baik itu jasa pembuatan Website, Desain, Video Editing dll. Ada juga orang memanfaatkan Blog untuk mencari uang, yaitu dengan memanfaatkan fasilitas Google Adsense untuk pemasangan iklan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

9. Mencari Amal Media Sosial bukan hanya untuk mencari uang ataupun penghasilan yang orientasinya hanya untuk dunia saja. Namun kita bisa gunakan untuk mencari amal kebaikan untuk akhirat. Ada Berbagai Macam Cara yang bisa kita lakukan untuk mencari amal seperti ; dengan cara membuat kata-kata Motivasi, Insppirasi, Tausiyah, Video Tausiyah dan Poster Dakwah. Contohnya Halaman Inovasi Dakwah dan grup Islam Agama ku adalah Halaman/grup yang bertujuan untuk menyampaikan Ajaran Islam. 10. Media Promosi Kehebatan selanjutnya media sosial adalah tempat untuk Mempromosikan seusuatu hal. Baik itu promosi produk dan jasa yang bergerak didunia nyata dengan cara bermain didunia maya.trik promosi dengan media sosial sangatlah berpengaruh terhadap kemajuan dari produk dan jasa. 11. Menghibur Diri Media Sosial Bisa kita gunakan untuk menghibur diri. Hiburan yang bisa kita dapatkan dari media sosial seperti kata-kata, foto dan video lucu. Kata-kata dan foto lucu bisa kita dapatkan dari komuitas halaman meme comic Indonesia, perang gambar dan sejenisnya 12. Media Penyimpanan Yang tidak kalah pentingnya manfaat media sosial adalah tempat untuk menyimpan foto dan video. Apapun yang telah dipublikasikan akan tersimpan di internet. Andaikan foto dan video telah terhapus pada memori, kita masih bisa mendapatkannya kembali dari media sosial yang pernah kita upload. Untuk Media Sosial yang dikhususkan sebagai media penyimpanan adalah Google Drive, untuk yang gratisan akan diberikan space penyimpanan sebesar 15 GB. sedangkan yang berbayar Unlimited(tidak ada batas penyimpanan). Seiring kemajuan Teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan media sosial, di masa mendatang akan muncul berbagai fitur baru dalam sosial media yang akan menambah jumlah manfaat yang bisa di dapatkan dari media sosial.

Pesatnya perkembangan media sosial, semua orang bisa memiliki media sendiri. Seorang pengguna dapat mengakses media sosial dengan menggunakan jaringan internet tanpa biaya besar, tanpa alat mahal dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Pengguna media sosial dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik teks, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lainnya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah tentang orangorang biasa yang berbagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, pemikiran, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuah komunitas. Selain kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat. Tak terkecuali, keinginan untuk aktualisasi diri dan menciptakan kebutuhan personal branding. Perkembangan media sosial sangat cepat, itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah anggota yang dimiliki masing – masing situs jejaring sosial. Kerangka Honeycomb mendefinisikan bagaimana sosial media layanan fokus pada beberapa atau semua tujuh blok bangunan fungsional (identitas, percakapan, berbagi, kehadiran, hubungan, reputasi, dan kelompok). Blok bangunan ini untuk membantu memahami perlunya media penonton keterlibatan sosial. Sebagai contoh, pengguna LinkedIn peduli tentang identitas, reputasi dan hubungan, sedangkan blok bangunan utama berbagi YouTube, percakapan, reputasi dan kelompok. Banyak perusahaan membangun wadah sosial sendiri yang mencoba untuk menghubungkan tujuh blok bangunan fungsional sekitar merek mereka. Ini adalah komunitas yang melibatkan orang-orang di sekitar tema yang lebih sempit, seperti di sekitar panggilan tertentu, merek atau hobi, dari platform media sosial seperti Facebook atau Google+ Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat halaman web pribadi, dan kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Di antara yang terbesar jaringan sosial lainnya Facebook, MySpace, Plurk, dan Twitter. Jika menggunakan media cetak dan media penyiaran tradisional, media sosial penggunaan internet. Sosial media mengundang siapapun yang tertarik untuk berpertisipasi untuk berkontribusi secara terbuka dan umpan balik, komentar, dan berbagi informasi dalam waktu singkat dan terbatas. Saat ini, internet dan teknologi ponsel menjadikan media sosial yang lebih canggih. Untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja hanya dengan menggunakan ponsel dapat dengan cepat mengakses dan menyebarluaskan informasi. Fenomena media sosial mengakibatkan arus utama informasi tidak hanya di negara maju, tetapi juga di Indonesia. Masa depan media sosial sulit diprediksi. Yang pasti keberadaannya makin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal itu terjadi berkat manfaat dan fungsi media sosial yang telah membuat kehidupan manusia lebih mudah, efektif dan efisien.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan medos melalui internet meningkat signifikan setiap tahunnya. Jika pada tahun 1995 tercatat hanya ada 1 juta situs di internet, maka pada tahun 2010 jumlahnya sudah mencapai 1,97 miliar. Pada tahun 2014 ini data termutahir menunjukkan pengguna internet dunia diperkirakan sudah melampaui 2,2 miliar atau sekitar 30 persen dari total populasi di dunia. Kemudian untuk pengguna Facebook, pada tahun 2012 baru mencapai 1 miliar dan pada tahun 2014 ini sudah mencapai 1,2 miliar pengguna. Sedangkan YouTube, pada tahun 2013 lalu rata-rata memiliki lebih dari 850 juta pengguna setiap bulannya. Catatan angka-angka di atas hendak berbicara bahwa dari tahun ke tahun pengguna internet dan media sosial bakal makin banyak. Di Indonesia sendiri diprediksi penggunanya dalam beberapa tahun ke depan akan meningkat tajam. Dalam lingkungan pendidikan saja, dengan diterapkannya Kurikulum 2013, maka dalam aktivitas dan proses mengajarnya guru dituntut untuk banyak menggunakan internet dan media sosial untuk memperkaya materi pelajaran. Tidak terkecuali para murid dan orang tuanya, juga dituntut untuk aktif menggali informasi melalui internet dan media sosial. Kehadiran media sosial di Indonesia cukup berpengaruh terhadap sistem komunikasi Indonesia. Bukal hal yang aneh mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2016 adalah sebanyak 65 juta jiwa. Yang menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna internet terbesar ketiga di dunia. Dari jumlah itu, hampir 80% nya yaitu sekitar 51,3 juta jiwa adalah pengguna jejaring sosial Facebook. Peran media sosial dalam Komunikasi Massa di Indonesia sangat kentara belakangan ini. Media sosial sering dijadikan sebagai media Komunikasi Politik dalam mempengaruhi opini publik, misalnya untuk memenangkan kandidat calon pejabat pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dkk. Peran Sosial media juga cukup kentara dalam Komunikasi Bisnis baik dalam bentuk Komunikasi Persuasif atau Komunikasi visual; misalnya penggunaan Facebook Ads. Efek media sosial juga memberikan pengaruh pada Komunikasi Organisasi seperti pembentukan grup-grup tertentu di Telegram, Whatsapp, dll. 1. Perkembangan Media Komunikasi di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah pengguna media sosial terbesar di dunia. Pengguna Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain dari Indonesia menempati porsi yang cukup besar dari keseluruhan pengguna media sosial tersebut.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

a. Media Lama Media lama adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk merujuk pada suatu bentuk media massa yang tidak banyak mengandalkan teknologi internet dalam aktivitasnya sehari-hari. Media lama yang beberapa di antaranya adalah televisi, radio, surat kabar dan lain sebagainya merupakan salah satu jenis media yang paling banyak diakses dan dimiliki oleh orang di dunia atau di Inodnesia secara khusus. Media lama, apabila dibandingkan dengan perkembangan media baru menurut beberapa pihak merupakan fase yang tidak menarik. Akan tetapi media lama tidak dapat ditinggalkan begitu saja secara harfiah. Media lama mulai banyak yang ditinggalkan oleh orang-orang kita, akan tetapi media lama tidak seutuhnya ditinggalkan. Perkembangan teknologi nyatanya mampu memberikan terobosan-terobosan baru pada perangkat-perangkat media lama sehingga menghasilkan daya saing tersendiri, misalnya munculnya TV LED, radio streaming, e-paper, dan lain sebagainya. Peralihan dan perkembagnan teknologi tersebut menyesuaikan tema masa kini dan peralihan menuju media baru di Indonesia masih memiliki banyak hambatan karena masalah infrastruktur dan masalah ekonomi. b. Media Baru Media baru adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menyebutkan suatu jenis media yang berbeda dengan media sebelumnya, dengan ciri khas utama adalah mengandalkan pada jaringan internet sebagai media distribusi utama pesan-pesan yang ada dalam media tersebut. Secara historis, istilah media baru mulai muncul sejak munculnya era internet. Media baru merupakan sebuah jenis media yang dihasilkan dari proses digitalisasi dari perkembangan teknologi dan sains. Hal yang bersifat manual menjadi otomatis dan dari semua yang rumit menjadi ringkas sehingga semakin memudahkan pengguna. Media baru bisa pula disebut sebagai sebuah teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi dan terhubung ke dalam jaringan internet. Dennis Mcquail, menjelaskan bahwa ciri-ciri media baru adalah interkonektivitas, adanya akses terhadap khalayak individu, interaktivitas, kegunaan beragam untuk berbagai macam jenis manusia. Interkonektivitas berarti adanya hubungan antara satu perangkat dengan perangkat yang lain, sementara interaktivitas berarti di dalam media baru memiliki peluang untuk melakukan interaksi antara pengguna dengan pengguna yang lain. Salah satu hal yang dapat disebut dengan media baru adalah internet (walaupun tidak secara harfiah seluruh internet adalah media baru). Internet


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

adalah sebuah jaringan komputer yang meliputi seluruh dunia dan beroperasi berdasarkan protokol tertentu yang disepakati bersama. Sejak internet muncul, perkembangan media sosial mulai pesat. Dunia media sosial hadir menggantikan media komunikasi konvensional karena kemudahannya dalam terhubung ke berbagai orang di belahan dunia dengan cepat, tanpa batas, dan juga mudah. c. Media Sosial Media sosial pada umumnya adalah sebuah media yang digunakan untuk bersosialisasi (berhubungan, baik secara personal, kelompok dan lain sebagainya) antar penggunanya. Beberapa istilah yang ada dalam media sosial antara lain adalah Sosial Network, SNS dan Communication Network. Secara garis besar media sosial dan jaringan sosial menggunakan sistem yang sama yaitu media daring yang terhubung dengan internet. Pada media sosial dan jaringan sosial, ada banyak orang yang saling terhubung satu sama lain tanpa dibatasi dengan batas geografis, ruang, bahkan waktu dengan tujuan untuk saling berkomunikasi, berbagi sesuatu, berpendapat, menjalin pertemanan, bahkan pada beberapa kasus untuk mencari belahan hatinya. Media sosial dan jejaring sosial memiliki perbedaan tertentu, terutama pada media yang digunakan. Media sosial merupakan media interaksi online sepert blog, forum, aplikasi chatting sampai dengan sosial network. Contoh dari media sosial meliputi e-mail, chat, dan lain sebagainya. Sementara jejaring sosial atau sosial network merupakan bagian dari media sosial yang merupakan sebuah jejaring online yang memuat interaksi dan relasi interpersonal yang berupa aplikasi atau situs web yang memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dengan cara betukar informasi, berkomentar, mengirim pesan personal, mengirim gambar, video, dan lain sebagainya. Media sosial merupakan suatu jenis media tersendiri, akan tetapi fungsi media massa masih dapat kita temui pada media sosial ini, walaupun tidak seluruhnya sama. Sementara SNS (Sosial Networking Sites) merupakan terminologi yang lebih khusus untuk menjelaskan tentang situs mana yang digunakan untuk melakukan aktivitas jejaring sosial tersebut. Contoh jejaring sosial sekaligus SNS adalah Facebook, Pinterest, Instagram, Youtube, Twitter, Path, Tumblr, dsbnya. Aktivitas media sosial didukung dengan dengan adanya jaringan komunikasi yang menghubungkan dua perangkat atau lebih komputer yang mampu melakukan transfer data, instruksi dan informasi menggunakan jaringanjaringan internet sehingga pengguna media sosial dapat saling terhubung dengan baik selama jaringan yang mereka gunakan terus menyala dengan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sempurna. Dari adanya media sosial ini tentunya terdapat efek media sosial atau pengaruh media sosial yang juga perlu untuk diwaspadai. Beberapa teknologi yang digunakan dalam komunikasi media daring selama ini antara lain adalah web, e-mail, chatting, instant messaging, FTP, web folders, video conference, newsgroup, dsbnya. 2. Perkembangan Media Sosial di Indonesia Media sosial di Indonesia mulai pesat mengikuti perkembangan akses internet pada para pengguna di Inodnesia, terlebih lagi dengan perkembangan infrastruktur internet yang ada di Indonesia seperti misalnya akses wifi, jaringan fiber dan lain sebagainya. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2012, kurang lebih 63 juta masyarakat Indonesia terhubung dengan internet dan sebanyak 95 persen aktivitas yang mereka lakukan adalah adalah membuka media sosial. Bahkan Indonesia sampai diprediksi akan menjadi negara dengan pengguna sosial media paling aktif dan paling banyak. Salah satu alasan yang paling kuat mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah karena perangkat-perangkat internet mobile semakin terjangkau harganya bagi masyarakat sehingga memungkinkan penetrasi jaringan pada user yang lebih luas. Perkembangan gawai turut mendukung perkembangan akses media sosial di Indonesia. Telepon genggam pintar seperti Android, iOS, dan lain sebagainya, beserta beragam model IoT seperti phablet, tablet, dan lain sebagainya turut menyumbang pada semakin luasnya akses internet dan media sosial bagi masyarakat di Indonesia. Saat ini media sosial tidak hanya digunakan sebagai platform komunikasi dan sosialisasi, tetapi juga digunakan untuk kepentingan politik, pemerintahan, dan lain sebagainya sebagaimana yang terjadi pada kasus pemilu presiden pada tahun 2014 yang sebagian besar kampanye sangat masif dilakukan melalui internet dan media sosial. Konstruksi realitas sosial terhadap suatu informasi atau peristiwa tertentu sangat mudah dilakukan dengan media sosial. Masyarakat Indonesia semakin hari semakin aktif dalam dunia media sosial, dengan tingkat penetrasi yang mencapai puluhan juta orang, sehingga kontenkonten apapun dapat viral dengan mudah seperti misalnya peristiwaperistiwa unik sampai pada hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan viral. Petisi-petisi online juga semakin marak yang menunjukkan bahwa pengguna media sosial tidak hanya menyadari fungsi media sosial untuk berinteraksi, tetapi juga untuk melakukan gerakan-gerakan atau mendukung gagasan-gagasan tertentu agar mereka dapat berkontribusi dalam mengatur perkembangan masyarakat yang ada di sekitarnya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Penggunaan media sosial juga semakin beragam. Tidak hanya aktivitas mencari teman, bersosialisasi, dan lain sebagainya, tetapi media sosial di Indonesia juga digunakan untuk melakukan promosi produk tertentu atau pada prinsipnya melakukan bisnis tertentu. Dengan demikian para pebisnis akan memiliki kemudahan dalam melakukan aktivitas distribusi sehingga biaya produksi akan semakin rendah. Tidak hanya berjualan, media sosial juga difungsikan untuk aktivitas politik. Melihat besarnya potensi pengguna di Indonesia tersebut sampai membuat perusahaan media sosial mulai membuka cabang-cabang atau kantor resmi untuk memudahkan komunikasi dengan pemerintah ataupun dengan para penggunanya yang ada di Indonesia. Pembukaan kantor resmi ini tentu menguntungkan karena selain memudahkan pengguna media sosial tersebut untuk menyampaikan keluhannya, juga membuka peluang pekerjaan bagi orang-orang tertentu. 3. Jenis Media Sosial yang Populer di Dunia dan Pengguna terbanyak di Indonesia Jejaring media sosial sudah banyak sekali jenisnya, membuat pengguna bebas memilih media sosial yang sesuai kebutuhannya. Intinya, sosial media hanya memiliki satu fungsi yaitu untuk menjalin komunikasi secara online. Beberapa jenis media sosial yang sangat populer dengan jumlah pengguna terbesar di Indonesia dan menduduki peringkat atas dalam daftar pengguna media sosial paling aktif yang ada di dunia. antara lain : a) Media Sosial Facebook Media sosial buatan Mark Zuckerberg ini memang menduduki peringkat pertama media sosial yang paling banyak di gunakan di dunia. Saat ini Facebook merupakan media sosial paling populer di dunia. Sejak diluncurkan pada tahun 2004 silam Facebook sudah dilengkapi berbagai fitur yang memanjakan para penggunanya, mulai dari yang awam soal internet sampai yang sudah ahli sekalipun tidak akan mengalami kesulitan menggunakan Facebook sebagai sara berbagi informasi di dunia maya. Kepopuleran Facebook inilah yang mengantarkan Mark Zuckerberg menjadi salah satu orang terkaya di dunia diusia yang masih muda. b) Media Sosial Twitter Pada peringkat kedua media sosial yang paling populer di dunia adalah Twitter. Media sosial yang mirip dengan microblog ini tercatat sebagai media sosial yang paling aktif penggunanya. Sejak diluncurkan tahun 2006 Twitter tumbuh dengan pesat dan saat ini sudah mencapai 284 juta pengguna.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Twitter adalah tempat yang tepat bagi pengguna sosial media yang suka membagikan status yang singkat jelas dan padat. Hampir seluruh pengguna internat menggunakan Twitter, diantaranya selebritis, politikus, dan juga relawan mereka semua menggunakan media sosial ini untuk kepentingan masing-masing. c) Media Sosial Google Plus Media sosial ini merupakan kepunyaan Google Inc. Seperti yang kita tahu, saat ini Google adalah tempat untuk mencari sumber informasi yang paling mudah, cukup dengan mengetik kata kunci di mesin pencari kita akan di kasih ribuan website yang memuat informasi tersebut. Google plus adalah jejaring sosial yang dibesut oleh Google pada tahun 2011, kepopuleran Google+ juga sudah mendunia. Untuk membuat akun media sosial ini juga sangat mudah, cukup membuat akun Google maka secara otomatis akan otomatis mempunyai akun Google+. Google+ menyediakan layanan profile, Google map, Google buzz dan beberapa yang lain yaitu Circles, Hangouts, dan banyak lagi. Tetapi tidak banyak orang yang aktif di Google+. d) Media Sosial Instagram Instagram merupakan media sosial tempat berbagi foto atau video yang paling populer saat ini. Pada awalnya Instagram hanya tersedia di aplikasi IOS (iphone/ ipad), tapi saat ini sudah tersedia untuk berbagai OS yang lain seperti android, symbian, windows phone, dan lainnya. Kelebihan dari media sosial Instagram adalah bisa mengedit foto agar terlihat lebih bagus dan profesional. Fitur yang tersedia di media sosial ini hampir sama dengan media sosial yang lain yaitu ada hashtag, ada comment, ada mention, ada like, ada follow, banyak masih banyak lagi yang lainya. Hampir setiap hari ada jutaan foto dan video yang telah di unggah di Instagram. e) Media Sosial Pinterest Situs jejaring sosial ini memungkinkan pengguna untuk berbagi foto, acara, minat dan hobi. Bukan hanya sekedar berbagi foto atau file biasa, tapi mengelompokkan foto tersebut ke dalam kategori sesuai dengan objek foto tersebut. Hal menarik lainnya dari Pinterest adalah pengguna bisa meng-upload foto ke pinboard, lalu meng-sharenya ke dalam website atau media sosial lainnya. Di Indonesia atau di negara Asia lainnya Pintererst kurang populer jika dibandingkan dengan media sosial lain. f) Media Sosial Tumblr Tumblr merupakan media sosial yang memungkinkan peggunanya untuk membagikan post yang berbentuk blog mini yang bisa dilihat


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

di dashboard pengguna lain yang mengikuti. Pengguna bisa mengkonesikan Tumbrl dengan media sosial lain seperti Facebook, Twitter, atau Google plus sehingga ketika pengguna mem-posting sesuatu di Tumbrl akan secara otomatis akan masuk dan tampil di media sosial lain. Seperti layaknya layanan web lain, Tumbrl juga bisa mendesain tampilan dengan HTML. Jadi pengguna bebas mendesain tampilan profil Anda sesuai dengan keinginan. Yang membedakan antara Tumblr dengan blog/website profesional adalah Tumblr merupakan blog yang berbasis jejaring sosial. Oleh karena itu yang dipost lebih bersifat kehidupan pribadi. Untuk pengguna yang suka ngeblog sambil santai bersosial, Tumbrl adalah media yang tepat. g) Media Sosial Flickr Flickr adalah media sosial khusus untuk berbagi foto. Pada media sosial ini memungkinkan pengguna untuk men-tag dengan kata kunci populer, sehingga foto atau video yang kita upload akan tersebar luas di mesin pencari. Keanekaragaman foto yang di bagikan di Flikr membuat para pemilik blog menjadikannya referensi untuk mencari gambar yang berkualitas. Jadi bagi pengguna yang menyukai fotografi, melukis atau membuat video bisa juga memanfaatkan media sosial ini untuk menyalurkan hobi. h) Media Sosial Linkedln Media sosial Linkedln memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan jaringan bisnis. Singkatnya dengan memiliki akun Likedln pengguna bisa terhubung dengan orang-orang profesional yang ada di jaringan bisnis dunia. Likedln menyediakan lebih dari 20 bahasa layanan termasuk bahasa Indonesia. Yang menarik di Likedln adalah para pengusaha bisa mencari langsung tenaga pekerja yang potensial untuk kemajuan perusahaannya, begitu juga sebaliknya para pencari kerja bisa melihat profil calon perusahaan atau menajer HRD. i) Media Sosial Ask.Fm Situs jejaring sosial ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan jawaban atas pertayaan yang pengguna ajukan kepada orang lain. Fungsi utamanya kurang lebih sama dengan Yahoo answer. Bila pengguna mempunyai pertanyaan yang tidak bisa sendiri, bisa mem-posting pertanyaan itu ke Ask.fm untuk mendapatkan jawaban. Biasanya yang menjawab pertayaan di Ask.fm adalah ahli dalam bidangnya. Tapi pengguna harus tetap berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan, karena pertanyaan Anda bersifat publik jadi siapapun bisa membaca dan berkomentar. Bertanyalah hal yang bersifat wajar, karena sudah banyak kasus di mana pengguna di buly karena pertanyaan yang di ajukan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

j) Media sosial “Chat� Apps Aplikasi chat ini bersifat lebih pribadi dan biasanya hanya ada di aplikasi ponsel seperti Nokia, iOS, Android, Blackberry, Symbian, Windows Phone. Banyak orang yang mengunakan layanan media sosial ini untuk menggantikan fitur sms dalam berkomunikasi. Aplikasi chat ini lebih praktis dari sms, atau email karena aplikasi ini bisa di akses dari jaringan kartu sim dan juga koneksi wifi. Pengguna bisa berkomunikasi dengan sahabat, teman, dan keluarga dimanapun berada. Perbedaan cara berkomunikasi pada masing-masing aplikasi chat tidak terlalu banyak, semuanya rata-rata menyediakan fitur percakapan personal dan juga percakapan group. Yang berbeda adalah cara penambahan kontak teman (dengan pin/user ID/nomor telepon) dan juga perbedaan dari segi hiburan (emoticon/sticker, file sharing, voice call dan video call).

Media sosial, menjadi sebuah keniscayaan, saat kehadiran internet menghubungkan berbagai tempat dan ruang yang menghilangkan jarak geografis. Berbeda tempat, kota, Negara bahkan benua dapat terhubung dan mengenal satu sama lain. Menurut Solis dan Breakenridge, media sosial merupakan demokratisasi konten dari media dan menggesernya peran manusia dalam membaca dan menyebarkan informasi termasuk di dalamnya menciptakan dan berbagi konten. Media sosial merupakan pergeseran dari model mekanisme siaran dari banyak ke banyak yang berakar dari format percakapan antara penulis dan rekan-rekannya dalam saluran sosial mereka. Masyarakat pengguna media sosial memiliki kesempatan untuk menyiarkan pikiran, pendapat, dan keahliannya secara global. Dalam banyak kasus suarasuara ini cukup berpengaruh, karena diantara yang bersuara tersebut adalah para wartawan dan pakar industri (Solis dan Breakenridge, 2009:17). Jika dahulu sebelum adanya media sosial, masyarakat hanya menjadi penonton, dengan adanya fasilitas internet dan aplikasi-aplikasi yang ada di dalamnya memungkinkan masyarakat menjadi pembuat konten yang mampu mempengaruhi masyarakat lainnya. Masyarakat menjadi pemain sekaligus. Media sosial, kata Solis, bisa memberdayakan masyarakat menjadi influencer baru. Media sosial memegang peranan yang kuat dalam mempengaruhi masyarakat sehingga mengubah peta permainan kegiatan public relations. Merujuk bahwa media sosial sebagai “kebijaksanaan kerumumunan�, ia dapat menjadi kelompok yang sangat kuat. Kekuatan media sosial ini merupakan pemberdayaan suara otoritatif dari kelas sosial baru yang tidak bisa diabaikan (Solis dan Breakenridge, 2009: 1).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Tracy L. Tuten (2008: 20) media sosial mengacu pada komunitasonline yang partisipatif, ada percakapan, dan mencair. Komunitas ini memungkinkan anggota untuk menghasilkan, menerbitkan, mengontrol, mengkritik, meningkatkan, dan berinteraksi dengan konten yang bersifatonline. Istilah ini dapat mencakup setiap komunitas online yang mempromosikan individu juga menekankan hubungan individu dengan masyarakat. Memungkinkan semua anggota untuk berkolaborasi dan didengar dalam sebuah ruang tertentu, melindungi, menyambut pendapat, dan berkontribusi sebagai peserta. Frase media sosial sendiri menurut Tracy merujuk pada situs jejaring sosial, dunia maya, berita sosial, situs bookmark, wiki, forum, dan situs pendapat. Sampai batas tertentu, menurut Tracy, semua format masyarakat ini adalah jaringan sosial karena semua fitur interaksi dan pemeliharaan hubungannya berdasarkan jumlah peserta. Kini, salah satu tempat berkumpul masyarakat adalah dunia maya. Di dunia maya, jaringan sosial telah berevolusi, sebagian masyarakat menghabiskan waktu untuk kenyamanannya dengan sebuah aplikasi media sosial untuk menangkap motif dan mengembangkan sebuah hubungan online menggunakan komunitas sosial, serta komunikasi melalui pesan instan dan pesan teks. Menurut Varinder Taprial dan Priya Kanwar (2012:8) media sosial adalah media yang memungkinkan seseorang untuk bersosialisasi atau berinteraksi secara online dengan berbagi konten, berita, foto dan lain-lain dengan orang lain. Mengutip dari berbagai sumber, Varinder dan Priya seperti dikutipnya dari kamus Merriam-webster online mendefinisikan media sosial sebagai bentuk komunikasi elektronik yang membuat komunitas online bisa berbagi informasi, ide, pesan pribadi, dan konten lain. Sementara mengutip dari Wikinvest, bahwa media sosial menggambarkan situs web yang memungkinkan pengguna untuk berbagi konten, media, dan lain-lain melalui situs jaringan sosial popular seperti facebook, MySpace, juga Youtube, Photobucket, Flickr termasuk di dalamnya sumber-sumber referensi online seperti dig, Wikipedia atau microblogging Twitter. Hal senada, seperti dinyatakan oleh David Phillips dan Phillip Young saat mendefinisikan web 2.0 yang menjadi dasar dari media sosial, yaitu sebuah platform yang membantu transfer pengetahuan dan percakapan dalam sebuah tempat ketika orang-orang dapat dengan mudah mencampur dan mencocokan keduanya. Tempat ini begitu sangat besar dan signifikan seperti Facebook, Bebo, Wikipedia, dan Blog (2009: 103).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, media sosial merujuk pada sejumlah aplikasi berbeda yang memungkinkan setiap orang bisa berkumpul, berinteraksi, berbagi dokumen, foto, video, saling berkomentar, atau saling bertukar dan mengirim pesan tanpa terbatasi oleh ruang dan jarak. Aplikasi tersebut dimediasi oleh komputer yang dihubungkan dengan jaringan internet. Sehingga memungkinkan setiap orang dari berbagai tempat yang berbeda bisa saling berinteraksi dan menjalin hubungan. Komunikasi media sosial bersifat many to many, berbeda dengan media massa yang bersifat one to many. Dalam konteks komunikasi pemasaran diibaratkan sebagai media untuk melakukan word of mouth, tempat konsumen merekomendasikan atau menceritakan produknya tanpa ada pretensi promosi kepada lingkungan sosial online-nya. Menurut Yuswohady, pola ini memiliki kekuatan menjual seribu bahkan sejuta kali lebih hebat dibanding ocehan salesman (2008:5). Sama halnya dengan publikasi sebagai media komunimasi public relations yang paling efektif. Media sosial dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan publikasi kepada publik. Dengan sifat komunikasi many to many, penceritaan orang ketiga tentang produk/ jasa/ lembaga memiliki daya dorong yang kuat untuk melambungkan seseorang/ produk/ lembaga. Audiens dengan audiens dapat saling menguatkan atau sebaliknya. Jika cerita positif tentang seseorang itu diceritakan oleh audiens sebagai orang ketiga, disitulah letak kekuatannya, sehingga mampu menaikan reputasi dan mengangkat citra seseorang/ produk/ lembaga. Hal ini menjadi lumrah terjadi dalam komunikasi media sosial, many to many. Saling berjejaring sehingga memiliki efek viral. 1. Aplikasi Media Sosial David Phillip dan Philip Young (2009:11) menuliskan sejumlah aplikasi media sosial sebagai geograpi. Geograpi media sosial sebagai panduan utama untuk menyelami dan memahami media sosial. Melalui media sosial menjadikan tur komunikasi menjadi sangat cepat. Menurut David Philip dan Philip Young ada berbagai jenis aplikasi yang dapat dikategorikan sebagai media sosial. Media sosial tersebut meliputi: blog, chatting, e-mail, game, pesan instan, papan pesan, monitoring dan evaluasi, siaran media sosial, konferensi online, podcasting, RSS, Survei online, Usenet, Video-sharing, lingkungan virtual, komunitas virtual, VoIP, Website, widget, wiki. Setiap saluran dalam daftar di atas memiliki perbedaan secara praktis dandapat digunakan oleh orang-orang dengan berbagai cara. Aplikasi-aplikasi media sosial tersebut dapat diakses melalui komputer atau PC melalui koneksi


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

internet. Bisa juga diakses melalui perangkat lain seperti gadget. Saluran ini memiliki kegunaan beragam seperti surat personal, buku harian, buku, surat kabar dan majalah seperti halnya dalam media cetak. Saluran-saluran komunikasi media sosial tersebut, pada masa yang akan datang, memungkinkan tidak lagi digunakan, karena sifat dari teknologi yang cepat berkembang. Oleh karena itu, ke depan saluran komunikasi media sosial harus tetap melakukan penyesuaian sesuai dengan trend perkembangan media sosial. Seperti diketahui, sebagian dari yang disebutkan di atas kini sudah tidak lagi atau jarang digunakan oleh pengguna internet. Untuk Indonesia sendiri, podcasting dan VoIP tidak terlalu popular, sehingga jarang digunakan. Saat ini yang paling umum digunakan oleh lembaga ataupun perseorangan sebagai sarana berkomunikasi dengan audiens adalah jenis media sosial yang memungkinkan terjalinnya pertemanan dan partisipasi aktif dari audiensnya yaitu jejaring sosial. Melalui jejaring sosial seseorang juga memungkinkan berbagi berbagai macam dokumen sebagai bahan atau bagian dari pesan komunikasi. Pengguna dapat berbagi foto di Picmix atau Instagram, atau berbagi pesan video di Youtube atau Vimeo, sementara untuk berbagai pesan tulisan dapat dilakukan melalui blog. Selain di media tersebut, mereka juga membagikannya di media jejaring sosial seperti melalui Facebook, Twitter ataupun google+ dan lainnya agar konten-konten yang diciptakan dapat diterima, dibaca, atau diketahui oleh publik. Lebih jauhnya, melalui komunitas yang dibangun dapat mempersuasi anggota-anggotanya. Gun-gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012:72-74) menyarikan dari buku Online Public Relations dari David Philips & Philip Young (2009) secara detail yang termasuk aplikasi media sosial adalah sebagai berikut.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Tabel 1. Aplikasi media sosial Jenis website yang dapat dibuat oleh perorangan atau organisasi. Hampir semua blog bersifat terbuka, tetapi ada kalanya suatu organisasi membuat blog khusus untuk kalangan internet. Biasanya, pembaca dapat memberikan Blog/ weblog komentar tentang isi ataupun pemilik blog. Selain tulisan,blog dapat berisi gambar, files, suara, video, dan lainlain. Teknologi ini memungkinkan dua orang atau lebih melakukan pertukaran pesan berupa teks, suara atau disertai gambar secara langsung (in real time). Boasanya, Online chat berupa ini juga terdapat (dipasang) dalam sebuahwebsite. Jadi, sebuah organisasi memiliki orang-orang yang melayani online chat untuk para pengakses web. Sosial bookmark (marka buku) adalah untuk merekam halaman web melalui daftar online yang dapat diurutkan, Delious diindex, dibagi bersama dengan kolega atau masyarakat luas. Metode store and forward untuk membuat, mengirim, E-mail menyimpan, dan menerima pesan melalui system komunikasi elektronik. Website dan layanan web untuk mengunggah dan mengunduh foto. Web ini juga memungkinkan foto tersebut Flickr dapat disertakan pada halaman web lainnya,blog, wiki atau lainnya. Games hadir seiring dengan hadirnya komputer. Diawali dengan permainan Pacman, saat ini dapat kita Games temuigames dengan berbagai tema, bahkan dapat dimainkan secara online. Bentuk dari komunikasi yang bersifat real-time antara dua orang atau lebih dalam bentuk teks. Media ini adalah bentuk Instant komunikasi yang sudah lama ada. Yahoo! Messenger adalah Massaging salah satu yang banyak digunakan, selain MSN, Skype, Jabber, ICQ, dan AIM. Semacam forum melalui internet untuk mendiskusikan dan menuliskan pesan untuk peserta forum. Dapat juga disebut sebagai web forum, message boards, discussion boards, discussion groups, discussion forum at au bulletin boards. Message Biasanya, grup atau forum tersebut terbentuk dengan temaBoards tema titrant atau untuk kalangan tertentu. Besaran grup bervariasi, dari kecil hingga besar. Topik-topik khusus yang biasanya dibicarakan membuat grup tersebut memerlukan seseorang atau lebih dikenal dengan moderator untuk


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mengatur atau mengawasi jalannya diskusi. Kita mengenal adanya google’s groups atau Yahoo Groups yang pada akhirnya popularitas dari grup ini menginspirasi hadirnya pemikiran awal tentang teori media sosial kontemporer. Bentuk dari blog yang biasanya hanya memuat 140-220 hurup. Twitter adalah contoh dari micro blog yang sangat dikenal, selain FriendFeed, Jaiku and Pownce. Layanan ini juga dapat kita temui pada website jaringan sosial popular, Micro blog seperti Facebook dan MySpace sebagai “status update”. Banyak organisasi dan perorangan menggunakanmicro blog untuk berkomunikasi kepada berbagai pihak. Media baru membuka peluang press release untuk dipublikasikan melalui internet. Bentuk baru ini New Media memungkinkan sebuah press release disertai berbagai Release tambahan isi, seperti foto, grafik, video, rekaman suara, komentar, dan lain sebagainya. Pertemuan secara online yang memungkinkan beberapa pihak yang berada berjauhan untuk dapat saling berkomunikasi adalah dengan online conference. Banyak Online situs yang melayani keperluan tersebut, seperti Skype, Conferencing Convenos, GoToMeeting, dan lainnya. Cara pertemuan ini dapat menghemat biaya dan waktu, karena para pihak yang bertemu tetap berada pada tempatnya masing-masing. Survey secara online dapat dilakukan melalui websiteatau dengan menggunakan e-mail oleh suatu organisasi. Ada Online juga pihak yang menyediakan jasa Surveys survey onlineseperti Confirmit, InstantSurvey, Keypoint, Mer linplus,Net-MR, Snap, Sphinxsurvey, SurveyWriter.com, The Survey System dan Websurveyor. Banyak website atau mesin pencari yang memasang iklan kecil (menyertakan URLs). Jika kita melakukan ‘klik’ pada Pay Per click iklan tersebut, maka organisasi atau pihak yang memasang iklan tersebut akan dibebankan biaya. Podcast adalah audio file (semacam MP3 File) yang disertakan dalam halaman web, dengan ‘snow Podcast notes’pendengar dapat memberikan komentar atau respons terhadap program. Seperti radio, maka program dapat didengarkan melalui PC/ laptop/ iPod atau telepon seluar. RSS (Really Simple Sindication) adalah system yang akan mengidentifikasi adanya konten baru dalam sebuah situs. RSS Seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan beberapa mesin pencari memberikan layanan RSS.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Search Engine

Sosial Networking Service Sites

Video Sharing

Websites

Wiki

Mesin pencari adalah yang paling banyak digunakan oleh semua website karena kemampuannya untuk mencari informasi. Google adalah mesin pencari yang sering digunakan. Di samping itu, ada juga mesin pencari dengan kegunaan khusus. Cara menggunakannya adalah dengan mengetikan kata atau kalimat tertentu, lalu mesin pencari akan memunculkan daftar halaman yang memuat kata atau kalimat tersebut, termasuk link di dalamnya. Mesin pencari lainnya yang juga banyak digunakan adalah Yahoo atau mesin pencari dengan spesifikasi khusus. Sejenis micro website yang memungkinkan semua orang untuk saling berinteraksi, bertukar informasi, berkomentar, berdiskusi, mengunggah foto, music, video, dan laman ini adalah bagian yang paling popular dari sekian banyak layanan dalam internet. Contoh fenomenal adalah kehadiran facebook.com Youtube adalah contoh dari laman video sharing yang paling diminati. Siapa saja memiliki kesempatan untuk mengunggah dan mengunduh video. Berbagai lembaga komersial, nirlaba dan perorangan saat ini memiliki website sebagai sarana komunikasi kepada pihak lain. Untuk website pribadi, yang paling banyak digunakan adalah sistus jejaring sosial. Website yang sering diakses oleh pengguna komputer, ponsel dan jaringan area local adalah melalui web browser seperti internet eksplorer, Firefox, atau Google Chrome. Namun, banyak platform untuk komunikasi akan membuat halaman web dalam format lain termasuk IPTV. Banyaknya penggunaan website memunculkan industry yang secara signifikan memberikan layanan seputarwebsite, website, yaitu mendesain, mengisi, dan sebagainya. Wiki adalah bentuk dari website. Dalam laman ini tersedia berbagai informasi dan referensi yang dibuat oleh sekelompok orang yang mendapat hak untuk menulis dan mengedit isi wiki, hak tersebut ditentukan oleh pemilik atau wiki master. Wiki menjadi popular bagi banyak orang karena berbagai uraian tentang berbagai hal dalam Wikipedia.com

Sumber: Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012:74)

2. Karakteristik Media Sosial Karakteristik yang dimiliki oleh media sosial berbeda dengan media massa tradisional. Dengan tingkat keterjangkauan yang besar serta tidak terhalang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

oleh ruang dan waktu. Media sosial memiliki banyak kelebihan. Kelebihan ini sebagian karena karakteristik media sosial sebagai media yang berada dalam ruang digital. Mengadaptasi dari Nasrullah (2012: 72) Media sosial sebagai media baru (new media) memiliki karakteristik sebagai berikut: a.

Network. Terhubung dengan jaringan yang tidak terbatas pada satu wilayah geografis. Melalui media sosial, Publik Relation dapat terhubung tanpa terhalang oleh ruang dan waktu selama Publik terkoneksi dengan jaringan internet. Melalui media sosial, pihak perusahaan/ lembaga dapat selalu terkoneksi dengan publiknya. b. Information. Sifatnya yang multimedia, Publik relation dapat menyampaikan informasi secara cepat dalam berbagai bentuk, baik teks, foto, audio, atau pun bentuk adio visual dan teks secara bersamaan. Melalui media sosial, pihak Public Relations dapat dengan cepat dan melakukan pembaharuan penyampaian informasi. Di samping itu, saat menyampaikan informasi dapat langsung berinteraksi dengan publiknya secara langsung. c. Interface. Merupakan perangkat penerjemah saat berhubungan melalui computer. Melalui karakter ini Public Relations dapat mencitrakan diri dan perusahaannya semaksimal mungkin. d. Archive. File dan berbagai dokumen infotmatif yang pernah dipublikasikan di media sosial dapat tersimpan walaupun sudah bertahun-tahun selama servernya masih berfungsi. Hal ini memungkinkan Publik dapat mengakses berbagai informasi masa lalu yang masih dibutuhkan. e. Interactivity. Mendorong pelaku media sosial untuk berkomunikasi secara interaktif. Public Relations yang menjadikan media sosial sebagai alat komunikasi dapat berinteraksi dengan publiknya untuk membangun saling pengertian secara langsung secara intensif. f. Simulation. Melalui media sosial, Public Relations dapat melakukan rekayasa positif dengan maksimal bagaimana mencitrakan perusahaan, baik melalui teks, grafis, ataupun audio visual. 3. Dampak Media Sosial Sebagai sarana dan saluran komunikasi, media sosial memiliki kekuatan dampak. Selain berdampak pada pengubahan media sendiri, juga berdampak pada hal-hal lain. Hal ini karena media sosial mewarisi kekuatan dampak dari teknologi internet. Biagi (2010: 237) mencatat ada beberapa dampak, yaitu: a) Masyarakat Hal yang paling menonjol dari perubahan kehadiran media internet yang menjadi basis media sosial adalah perubahan pada cara berkomunikasi dalam setiap aspek kehidupan termasuk untuk komunikasi sehari-hari


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

juga hubungan produsen dan pelanggan. Melalui penyediaan domain public, menjadikan setiap halaman dalam internet dapat diakses oleh public. Masyarakat menjadi sangat mudah mengakses tempat-tempat umum di internet setelah adanya mesin pencari. Produk begitu mudah tersebar. Hal ini juga berlaku untuk media sosial; melalui blog, situs jejaring sosial, atau microblog kegiatan-kegiatan ekonomi dilakukan baik personal ataupun kolektif hingga lembaga. Seiring dengan makin bertambahnya ‘penduduk’ media sosial, para pelaku ekonomi pun berlomba-lomba membuka toko di dunia tersebut. Hal ini berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Dimana antara produsen dan konsumen dipertemukan tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Di Indonesia, seperti disebut-sebut oleh Rhenald Kasali, sejak adanya internet hingga tahun 2013, transaksi keuangan di media siber dua kali lebih besar dibandingkan dengan transaksi di dunia nyata . Perubahan dampak tersebut menurut Biagi (2010: 239) membutuhkan waktu 30 tahun. Mengutif Saffo, direktur Institute for the Future California karena selama 5 abad terakhir kecepatan perubahan selalu 30 puluh tahun atau sekitar 3 dekade dari penerapan teknologi baru untuk adopsi lengkap dengan budaya. Termasuk saat teknologi internet yang menjadi teknologi koneksi dari media sosial muncul. Butuh 30 tahun agar teknologi tersebut bisa beradaptasi dengan masyarakat pengguna hingga mampu melakukan perubahan pada masyarakat. Salah satu perubahan mendasar dari masyarakat adalah perubahan cara berkomunikasi. Dengan demikian, menjadi jelas bagaimana kekuatan media sosial dapat mengubah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Termasuk isu-isu politik, demokrasi, sosial, HAM, Lingkungan, dan lain sebagainya. b) Budaya Kehadiran media sosial menjadi penentu perubahan cara berkomunikasi manusia yang semakin mudah dan efisien. Kemudahan ini akan berdampak viral terhadap perubahan budaya masyarakat. Budaya komunikasi, budaya ekonomi, budaya konsumen, budaya pendidikan, budaya politik, pertahanan dan keamanan, budaya iklan, budaya baca, dan lain sebagainya. Sehingga memunculkan istilah cyberculture. Bahkan seperti dinyatakan oleh Saffo (Biagi, 2010: 241) kita bisa menemukan kembali diri kita sebagai bagian dari budaya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

c) Bisnis. Dengan kehadiran jaringan internet memungkinkan menggabungkan perdagangan, informasi, dan hiburan. Media sosial dapat langsung menghubungkan antara penjual dengan pembeli potensial melalui promosi perdagangan, penerimaan iklan, dan penyediaan kontenonline. Sejak tahun 2000 peningkatan jumlah pengiklan di internet semakin meningkat, mereka berpacu dalam mencapai para konsumen dengan iklan-iklan produk dan layanan di internet (Biagi, 2010: 244). Media sosial menjadi yang paling dominan mempengaruhi bidang bisnis dan ekonomi terkini. d) Khalayak. Yang paling menonjol dari dampak kehadiran media sosial dengan sifat mata rantai dan jaringannya (internet) tertumpu pada dampak khalayak. Dengan terus diperbaikinya dan bertambahnya jaringan internet dengan biaya semakin terjangkau, bertambah pula pengguna internet, maka bertambah pula khalayak. Sehingga media sosial menciptakan dunia tersendiri, muncul beragam komunitas di media sosial. Komunitaskomunitas ini terbentuk dengan beragam kepentingan tanpa harus bertatap muka di dunia nyata. Mereka menjadi pasar potensial untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan khalayak, seperti dijelaskan di atas; ekonomi, pendidikan, sosial budaya, termasuk di dalamnya politik. Masyarakat siber yang dapat dijangkau dengan koneksi internet tanpa terhalang oleh masalah ruang dan waktu menjadi pasar bagi kegiatan apa saja yang membutuhkan khalayak luas. Setiap hajatan politik pemilihan umum kekinian, kegiatan pemasaran politik melalui media sosial menjadi fenomenal. Berbeda dengan pemilu presiden tahun-tahun sebelumnya. Di samping terus bertambahnya khalayak yang menggunakan internet, kesadaran masyarakat akan pentingnya internet juga semakin tinggi. Di Indonesia, dengan populasi ‘penduduk’ internet yang akan menyentuh 107 juta orang (http://apjii.or.id) Media sosial juga memiliki dampak mengubah secara khusus dalam cara kerjanya. Meminjam istilah dari Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012: 75); sebagai berikut: Pertama, mengubah cara kerja praktisi. Misalnya, sejak kehadiran media sosial, kini kampanye tidak hanya dilakukan di area-area terbuka dalam kehidupan nyata tetapi juga bisa dilakukan melalui media sosial. Kedua, Pengembangan isi pesan yang disampaikan seperti adanya gambar, suara, ataupun symbol-simbol yang digunakan. Misalnya, press release yang bisa disampaikan dengan lebih menarik melalui media sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Ketiga, perubahan pada struktur organisai, budaya, dan manajemen. Keterbukaan dan transparansi di internet akan memperluas jaringan dan hubungan dengan berbagai pihak di luar organisasi. Keempat, adanya peningkatan penjagaan hubungan antara organisasi dengan publiknya karena publik dapat dengan bebas menyatakan pendapatnya di media sosial berkaitan hubungannya dengan organisasi. Gun Gun dan Irwa (2012: 78-79), mengutip Wright dan Hinson (2009) menyimpulkan tentang dampak kehadiran media baru, yaitu: a. Menyediakan peluang untuk berkomunikasi lebih banyak, dan memberi wadah untuk mengekspresikan ide, informasi, dan opini. b. Membuka kesempatan baru untuk berkomunikasi langsung dengan khalayak walaupun dapat menimbulkan risiko seperti berkembangnya adanya informasi negative. Komunikasi menjadi lebih personal dan dapat berlangsung tanpa perantara. c. Meningkatkan komunikasi dan informasi secara tepat untuk berbagai isu. d. Membuka kesempatan untuk meraih khalayak dengan efektif dan efisien. e. Membuka kesempatan untuk meraih khalayak baru dari kelompok muda atau usia yang tidak tersentuh oleh media mainstream yang biasa digunakan oleh organisasi. f. Blog dan sosial media membuka komunikasi secara global. g. Media baru memungkinkan organisasi untuk memperoleh data atau informasi secara cepat tentang bagaimana pendapat public terdapat organisasi tersebut. 4. Efek Media Sosial Pada Komunikasi – Positif, Negatif, dan Cara Pencegahannya

Penggunaan media sosial kini tidak hanya pada waktu luang (leisure time) saja, namun juga pada jam-jam penting atau pokok karena dimanfaatkan sebagai sarana untuk bekerja. Batasan waktu, ruang dan jangkauan menjadi hilang, sehingga gaungnya pun menjadi luas tanpa sekat-sekat seperti pada efek dari media konvensional. Oleh karena itu, kearifan dalam pemakaian media sosial harus diperhatikan karena dampaknya sulit diprediksi, apalagi kalau kontennya melanggar kepatutan, etika, nilai-nilai dalam masyarakat, budaya dan norma hukum. Peran internet sebagai media komunikasi telah membuat batasan region menjadi tak berarti. Dengan aplikasi sosial media seperti Facebook dan Whatsapp, kita dapat berkomunikasi lintas deerah, negara secara instant dan murah. Baik itu secara lisan, tulisan, maupun video call. Peran sosial media dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat penting. Tak jarang kita melihat


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

seseorang yang asyik sendiri dengan smartphonenya, tanpa memperdulikan sekitar. Hingga muncul istilah, ‘sosial media mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat’. Manfaat media sosial sangat besar, namun penggunaannya harus bijaksana agar tidak mencelakakan diri anda sendiri. Pengunaan dan pemanfaat media sosial harus kita kontrol sebaik-baiknya. Bijak menggunakan sosial media seperlunya. Media sosial terkadang membuat orang menjadi bablas mengeluarkan pendapatnya yang mungkin berbahaya, merugikan orang lang, institusi, organisasi dan lain sebagainya. Pastikan secara bijak menggunakannya, seyogyanya tidak menyebarkan berbagai data yang terlalu pribadi, Tidak menghujat orang lain, dan hal hal negatif lainnya. Menjamurnya berbagai macam dan jenis media sosial saat ini, tak pelak memberikan dampak bagi seluruh kehidupan masyarakat. Demikian terjadi, diakibatkan siklus partisipasi masyarakat ataupun individu semakin berakselerasi dengan pertumbuhan pengguna yang semakin tinggi. Mulai dari politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menyeluruh. Akan tetapi, media sosial dalam sejarahnya, juga memberikan kerugian, kelemahan atau dampak negatif yang tidak sedikit hingga menyentuh kasus kriminal yang diperantarai dari hadirnya media sosial. Dua aspek utama yang harus diperhatikan dalam penggunaan akun-akun media sosial. Pertama, memakai dengan bijaksana agar tidak merugikan pihak lain. Pengguna harus memahami etiket atau nilai-nilai yang baik dan benar dalam menggunaan media sosial. Kedua, memakai dengan hati-hati agar tidak menjadi korban atau dirugikan oleh pihak lain yang menyalahgunakan media sosial. Unsur kehati-hatian itu bisa diawali dengan melakukan proteksi berlapis-lapis demi keamanan akun, agar tidak bisa dibajak oleh pelaku kejahatan. Ketiga, a. Efek Positif dan Negatif Media Sosial

Media Sosial dirancang untuk dapat menjangkau banyak orang, dari berbagai kalangan usia juga peran sosial. Berbagai informasi tersebar luas dan dapat dengan mudah di dapatkan sehingga pengguna sosial media seringkali mendapatkan lebih banyak informasi dalam waktu yang lebih cepat. Keberadaan media sosial memang dirasakan banyak manfaatnya. Namun, penggunaan media sosial yang tidak baik, misalnya menciptakan atau membagikan isi konten sosial media yang berisi penipuan, hoax dan sebagainya akan menyebabkan timbulnya opini publik yang merugikan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

banyak pihak. Untuk lebih jelasnya, berikut efek yang ditimbulkan dalam penggunaan media sosial . Efek Positif 1. Mempererat silaturahim Saling berinteraksi dengan sesama pengguna, menyediakan ruang untuk berpesan positf. Penggunaan sosial media banyak digunakan oleh para politikus, pejabat publik, tokoh agama, motivator, dan juga ulama. 2. Menyediakan informasi yang tepat dan akurat Informasi yang diperoleh dari media sosial baik itu informasi perguruan tinggi, beasiswa dan juga lowongan kerja. Menambah wawasan dan pengetahuan. Banyak akun media sosial yang membagi wawasan dan juga pengetahuan yang dapat menarik juga pengetahuan praktis. 3. Sumber infomasi, lebih mudah dan cepat didapatkan serta lebih transparan. Informasi yang dapat ditemukan di sosial media sangat beragam, mulai dari bahan pekerjaan, pendidikan, masakan, hingga bahan ringan seperti game atau komik. 4. Media komunikasi, dengan jangkauan luas, kemudahan penggunaan, dan biaya yang relatif murah. Contohnya dengan whatsapp saya bisa melakukan panggilan video pada teman saya yang berada di negara Jepang dengan biaya yang sangat murah. 5. Memperluas pergaulan, terhubung dengan teman lama ataupun membuat pertemanan baru dengan mudah 6. Bertukar informasi ataupun data, seperti foto/ video dengan mudah dan cepat. 7. Ajang promosi dengan jangkauan yang lebih luas, mudah, murah namun terfokus. Seperti memperkenalkan produk kepada khalayak ramai lewat instagram, menggunakan facebook advertising, dll. 8. Hiburan, misalnya dengan mengunjungi website berisi humor, e-novel, e-komik atau sekedar membaca portal bacaan ringan. 9. Membangun opini atau mengemukakan pendapat secara luas. Suatu opini yang dibagikan lewat sosial media dapat menjadi viral dan menjangkau hingga lintas negara bahkan seluruh dunia. 10. Mempelajari sesuatu, contohnya dengan menonton video cara membuat kue, membuat baju, atau merias, dan lain sebagainya. 11. Kesempatan menjadi orang yang berbeda. Misalnya orang yang cenderung pemalu akan bisa lebih aktif mengemukakan pendapatnya lewat sosial media. 12. Membangun rasa percaya diri seseorang dalam bersosialisasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Efek Negatif Sosial Media 1. Terjadi kesenjangan informasi. Baik antara pengguna sosial media yang bisa mendapatkan berbagai informasi dengan mudah dan transparan dengan orang yang tidak menggunakan sosial media, atau antara pengguna sosial media itu sendiri, misalnya antara yang bergabung dalam suaru grup dengan yang tidak bergabung 2. Kecanduan media sosial, maksudnya seseorang menjadi sangat terikat dengan media sosial. Menghabiskan sebagian besar waktu hariannya untuk berinteraksi dalam sosial media, hingga seringkali mengabaikan orang disekelilingnya bahkan tugas-tugas yang seharusnya dikerjakannya. 3. Berkurangnya intensitas dalam berinteraksi langsung dengan sesama. 4. Menimbulkan kecemburuan sosial. Misalnya dengan memposting berbagai barang bermerek atau semacamnya di sosial media 5. Menciptakan identitas baru yang sama sekali tidak sesuai dengan identitas diri. 6. Pencurian identitas, misalnya dengan membuat akun facebook seorang artis dan membuatnya seolah-olah milik artis tersebut 7. Pencurian/ penyalahgunaan data seperti foto, dokumen. Misalnya menciptakan konten berisi hoax. 8. Konsumtif, misalnya menjadi tertarik dengan berbagai iklan dan melakukan pembelian menggunakan kartu kredit tanpa berpikir panjang. 9. Mempermudah penyebaran virus. Misalnya dengan membuat konten berisi link menuju laman tertentu yang disisipi virus. 10. Kejahatan dunia maya (cyber crime). Kejahatan dunia maya sangatlah beragam. Di antaranya, carding, hacking, cracking, phising, dan spamming. 11. Pornografi. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. 12. Perjudian. Dengan jaringan yang tersedia, situs penjudian kian merebak. 13. Sarana penyebaran ideologi paling efektif dan efisien. b. Mencegah Efek Negatif Media Sosial

Untuk mencegah efek media sosial yang negatif, kita harus memahami dan melaksanakan etika komunikasi di internet. Pastikan ketika kita menciptakan suatu konten, konten tersebut tidak merugikan orang lain. Begitu pula dengan konten-konten yang dibagikan, baca dengan baik isi konten dan pastikan kebenaran isinya sebelum membagikannya. Jangan sampai kita membagikan hoax atau konten yang berisi penipuan dan penyalahgunaan lainnya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Selain itu pembatasan informasi yang diterima dari media sosial juga perlu dilakukan. Terlalu sering membaca tentang konten negatif; misanya konten berisi amarah akan mempengaruhi jiwa/ hati kita. Membuat kita kecanduan dengan rasa marah sehingga setiap kali terhubung dengan media sosial, kita akan terus mencari dan membaca konten berisi amarah. Manajemen Komunikasi melalui media sosial juga harus dilakukan. Jangan sampai seluruh waktu harian kita hanya diisi dengan interaksi di media sosial. Tetapkan waktu, misalnya maksimal 2 atau 3 jam sehari untuk mengakses sosial media.

Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dengan peran sangat signifikan dalam komunikasi modern. Infiltrasi penggunaan internet serta perangkat teknologi komunikasi seperti tablet dan smartphone yang sangat marak menjadi salah satu pendorong pertumbuhan situs-situs jejaring baru pertemanan dan informasi. Hampir semua smartphone dijejali dengan lebih dari dua aplikasi media sosial yang semua dimanfaatkan oleh pemiliknya. Data menarik disuguhkan oleh Statistik Pengguna Internet dan Mobile Indonesia. Pada tahun 2014 ini pengguna internet di Indonesia mencapai 15% atau 38,2 juta dari total jumlah penduduk sekitar 251,2 juta jiwa. Sedangkan pengguna media sosial di Indonesia juga sekitar 15% dari total jumlah penduduk Indonesia. Artinya, hampir seluruh pengguna internet memiliki akun media sosial. Para pengguna media sosial ini mengakses akun media sosialnya ratarata sekitar 2 jam 54 menit dan sebanyak 74% mengakses akunnya melalui smartphone. Secara global, penggunaan media sosial menunjukkan fenomena pertumbuhan yang sulit dihentikan. Digital Insights, pada September 2013 menyebutkan jumlah pengguna media sosial seperti Facebook telah mencapai 1,15 miliar. Tidak sampai empat bulan, tepatnya pada akhir Januari 2014, The Next Web melansir pengguna aktif gurita jejaring sosial ini telah mencapai 1,23 miliar. Pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2014 ini diperkirakan mencapai 80 juta lebih atau nomor empat terbesar di dunia. Kemudahan dalam mengakses akun media sosial telah membuat media sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka dapat melakukannya di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, dan tentang apa saja. Media sosial telah menjadi backbone (tulang punggung) dalam komunikasi abad digital ini. Akan tetapi selain dampak positif yang ditimbulkan berkat fungsi dan tujuannya, media sosial juga memunculkan sisi kelam, menyimpang, dan negatif dari hubungan komunikasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial seharusnya difungsikan untuk tujuan baik, telah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan jahat. Modus-modus kejahatan yang memanfaatkan media sosial begitu marak, baik itu berupa fitnah, caci maki, teror, penipuan, penjatuhan serta penghinaan pihak lain, penculikan hingga saling adu argumen yang tidak didasarkan pada kepatutan serta kewajaran. Semua fenomena negatif tersebut ditandai dengan pelanggaran nilai-nilai etika berkomunikasi. Pada prinsipnya, setiap kita melakukan komunikasi baik secara langsung dengan bertatap muka maupun tidak langsung melalui perangkat komunikasi, kaidah-kaidah berkomunikasi yang baik tetap harus dijunjung tinggi. Tatanan sosial yang terbangun dari komunikasi era digital melalui media sosial sebagai tulang punggungnya akan rusak dan destruktif apabila penggunaan media sosial tidak didasarkan pada etika berkomunikasi yang baik. Ketika masyarakat berkomunikasi, pada dasarnya mereka sedang menciptakan sendi-sendi trust atau rasa saling percaya. Hal itu muncul dengan sendirinya karena pihak-pihak yang berkomunikasi menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Etika sendiri adalah kesadaran dan pengetahuan mengenai baik dan buruk atas perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam kehidupan bersosial di masyarakat, istilah etika dikaitkan dengan moralitas seseorang. Orang yang tidak memiliki etika yang baik sering disebut tidak bermoral karena tindakan dan perkataan yang diambil tidak melalui pertimbangan baik dan buruk. Kata etika dan moral juga sering dikaitkan dengan dunia pendidikan, karena menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai baik yang harus dilakukan dan nilainilai buruk yang harus dihindari. Tidak adanya filter atau saringan pertimbangan nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana pemanfaatan media sosial di era gadget. Dari aspek wujudnya di masyarakat, etika dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni: etika tertulis dan tidak tertulis. Etika tertulis sendiri bisa terbagi menjadi dua, yaitu: etika tertulis berdasar kesepakatan dan etika tertulis berdasarkan legal formal atau peraturan perundangan. Etika tertulis berdasar kesepakatan terbentuk karena adanya kesepakatan antarpihak yang terkait atau terlibat dan bersifat mengikat para penggunanya, seperti peraturan kesepakatan dalam penggunaan Kaskus. Sedangkan etika tertulis legal formal telah dirumuskan dan disahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun etika tidak tertulis merupakan kumpulan etiket, sopan-santun, nilai-nilai, norma dan kaidah yang lahir dari proses interaksi antarsesama, yang harus dihormati dan dipatuhi bersama-sama. Dengan demikian, etika sosial berkomunikasi pada prinsipnya merupakan panduan berperilaku dan bertindak yang mengacu pada apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam lingkup media sosial yang juga masuk kategori ruang publik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Berikut ini berapa nilai, acuan, dan pedoman yang bisa menjadi dasar pertimbangan untuk bertindak bijaksana saat menggunakan akun-akun media sosial: 1. Sebaiknya memberikan informasi pribadi dan keluarga secara bijak atau tidak mengumbar informasi yang mengandung privasi. Data atau informasi yang bersifat privasi dan penting harus dirahasiakan. Hal itu dilakukan agar tidak menjadi sasaran orang yang berniat jahat atau kriminal. Informasi-informasi yang sebaiknya tidak diumbar karena sekadar ingin eksis di media sosial antara lain: nomor-nomor penting seperti nomor rekening dan nomor telepon, alamat rumah, email, link, permasalahan dalam keluarga, rumitnya hubungan percintaan, hingga foto seluk-beluk dan kondisi rumah. Ingat, meskipun di Facebook pada kolom update status ada tulisan “What’s on your mind� bukan berarti kita bebas mengungkapkan segala hal yang kita rasakan di media sosial. Berbeda pertimbangannya, apabila media sosial menjadi kanal untuk kepentingan bisnis, sosialisasi dan pemasaran, maka sejumlah info penting sesuai tujuannya di-publish ke media sosial. 2. Sebaiknya berkomunikasi secara santun dan tidak mengumbar kata-kata kasar. Gunakan kaidahkaidah bahasa dengan baik dan benar. Misalnya, menggunakan huruf kapital semua dan banyak menggunakan singkatan yang sulit dimengerti. Hindari kata-kata atau idiom yang artinya kotor, menghujat dan tidak sopan dalam bermedia sosial. Hal ini terkait dengan aspek diksi atau pemilihan kata-kata dalam berbahasa. Contoh paling gamblang adalah no twitwar dalam penggunaan microblogging ini, di mana pengguna Twitter berkicau dalam pembatasan 140 karakter saja dengan baik. Hindari mem-posting, sekadar retweet (RT), apalagi masuk dan ikut-ikutan memanasi kancah permasalahan orang lain, karena bisa saja hal itu justru merugikan dan mengganggu diri sendiri dan pihak lain yang tidak berkenan. 3. Dilarang atau jangan menyebarkan konten yang bersifat pornografi dan dapat mengganggu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), baik itu berupa tulisan, foto, gambar, ilustrasi, suara maupun video. Apabila itu dilakukan, maka bisa menyinggung, membuat malu, dan memicu konflik atau pertentangan di antara sesama pengguna media sosial yang berasal dari beragam latar belakang, tingkat pendidikan, umur, kepercayaan, dan agama. Saling menghargai dalam perbedaan adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam menggunakan media sosial. 4. Mengecek kebenaran konten dan informasi suatu berita atau kejadian sebelum menyebarkannya kembali melalui media sosial. Apabila kita hendak ikut menyebarkan kembali suatu informasi, ada baiknya mengecek kebenaran informasi itu melalui tautan akun-akun berita dan informasi yang tersedia. Cara terbaik yang dilakukan adalah kritis


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

5.

6.

7.

8.

terhadap konten yang diterima. Apakah informasi itu masuk akal, ilmiah, ataukah hasil rekayasa dan dipenuhi muatan kebencian dan kebohongan. Apabila ragu akan nilai kebenaran suatu konten, lebih baik kita tidak meneruskan atau menyebarkan luaskannya melalui media sosial. Nilainilai kepantasan agar tidak melukai perasaan pihak lain juga bisa menjadi pertimbangan saat akan menyebarkan suatu konten, seperti misalnya mengabarkan atau memuat konten yang justru membuat orang lain makin berduka atau jatuh mentalnya. Terkait dengan hak pemilikan intelektual orang lain, sebaiknya hasil karya mereka dihargai dengan menyebutkan sumbernya. Hal ini dilakukan agar nilai-nilai orisinalitas juga dijunjung tinggi di antara pengguna media sosial, terutama dalam konteks ilmiah, seni dan budaya. Perbuatan meniru memang sulit dihindarkan, tetapi jika sudah menyangkut atau mendatangkan nilai ekonomi ada baiknya menyebutkan sumber pembuat atau penciptanya. Hal ini biasanya terkait dengan hasil lukisan, gambar, foto, lagu dan video. Sebaiknya mengomentari sesuatu hal, topik, dan masalah dengan memahami dulu isinya secara komprehensif dan tidak sepotongpotong. Kebiasaan untuk memberi komentar dan memposting kembali suatu berita dari judulnya, paragraf pertama, kesimpulan atau bagian akhir tulisan saja sebaiknya dihindari. Salah komentar atau terjadinya kesesatan logika sering terjadi apabila pengguna atau user media sosial ceroboh dan tergesa-gesa menilai tanpa melihat konteks isinya dan gegabah karena diliputi oleh emosi. Beropini dan mengeluarkan pendapat dengan berpijak pada fakta sebenarnya dan data yang sahih. Think before you write. Salah satu kekuatan atau kelebihan dari media sosial adalah adanya kebebasan bagi pengguna untuk mengeluarkan pendapat tanpa ada filter atau gate penjaga. Nah, manfaatkan kelebihan itu dengan hati-hati agar opini yang kita sampaikan tidak memicu perselisihan hukum karena memuat konten yang tidak sesuai fakta dan tidak valid datanya. Jangan menuduh, menyerang, beropini negatif dan memberikan informasi tidak benar melalui media sosial. Apabila ada individu, entitas bisnis, dan lembaga yang merasa dirugikan dan tidak dapat menerima konten itu, maka bisa berujung pada somasi, permintaan maaf hingga pengguna media sosial dilaporkan ke aparat kepolisian karena telah melanggar Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE. Ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengguna media sosial, sebagaimana bunyi Pasal 45, ayat (1) UU ITE bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bahkan apabila pernyataan pengguna media sosial dinilai telah membuat kerugian secara


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bisnis karena telah mencemarkan merek, brand dan nama besar, maka sering pihak-pihak yang dirugikan akan melayangkan gugatan perdata disertai dengan tuntutan ganti rugi. 9. Jangan menggunakan media sosial saat hati dalam kondisi emosi, pikiran jenuh dan kondisi kejiwaan yang labil. Misalnya saat sedih, marah, sakit, stress, mabuk dan tidak mampu berpikir secara jernih. Sering kali kondisi internal individual tersebut memengaruhi isi dari pendapat yang diunduh atau di-update ke forum, jejaring sosial dan blog, sehingga kontennya menjadi kabur, keliru, dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh pengguna media sosial yang lain. Just be nice. 10. Jangan terpengaruh, sekadar ikut-ikutan, demi solidaritas buta saat berkomentar atau beropini di media sosial. Paling tidak ada dasar-dasar yang masuk akal apabila hendak berpendapat sehingga kita memiliki dasar alasan yang kuat mengapa kita menyetujui atau tidak menyetujui konten yang tengah hangat menjadi perbincangan. Sedapat mungkin kita menunjukkan independensi dan integritas yang kuat dalam komentar dan opiniopini yang keluar. 11. Kita secara pribadi, dalam diri masing-masing atau secara personal harus bisa menyaring (filter) dan membatasi konten dalam media sosial. Jangan berlebihan dalam mem-posting atau dalam istilah perilaku, overacting. Misalnya dengan mengabarkan status kita baik itu berupa kondisi, perasaan, keberadaan, bahkan hal-hal yang akan kita lakukan yang bersifat pribadi dan tidak penting sekali untuk diketahui orang lain. Ingat bahwa semua yang telah di-posting akan dikonsumsi oleh orang lain dan di antara mereka mungkin saja ada yang bermaksud jelek kepada kita. Aksi penipuan dan kejahatan bisa terjadi karena pelaku kejahatan mengetahui dengan persis seluk-beluk seseorang yang menjadi target kejahatan. Contohnya dalam penggunaan aplikasi check in place seperti Foursquare. Pengguna akun media sosial gemar check in place untuk memberitahu keberadaannya dan sedang melakukan apa. Hatihati, hal itu bisa memancing orang yang hendak berbuat jahat secara mulus, karena mengetahui seluk-beluk kita. 12. Jangan menggunakan nama samaran, nama orang lain atau membuat akun samaran dengan tujuan apa pun. Hal itu bisa menjadi awal dari bentuk penipuan karena menyembunyikan identitas aslinya. Biasanya, penggunaan nama samaran ini oleh orang yang tidak bertanggung jawab dikombinasikan dengan perbuatan tidak baik seperti menyebarkan atau mem-forward informasi bohong, menyesatkan, fitnah, mengadu domba, memperkeruh suasana, memanipulasi informasi, dan membunuh karakter pihak lain. 13. Pergunakan media sosial untuk hal-hal positif, baik dari segi konten maupun cara menyampaikannya. Sebaiknya memilih konten-konten yang bermanfaat demi produktivitas dan menunjang kehidupan yang lebih


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

baik. Cara menyampaikan isinya pun jangan menyakiti atau mengecewakan orang lain. Pergunakan bahasa yang sopan, efektif dan efisien. Hindari kata-kata kasar dan jorok. Pakailah kalimat yang baik dan benar. Jika berkomentar sebaiknya mengetahui tentang permasalahan yang ada. Jangan sekadar ikut-ikutan berkomentar. Jadikan media sosial sebagai sarana untuk berbagi kebaikan, optimisme, kebahagiaan, saling tolong-menolong, dan saling menghargai. Kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam etika tidak tertulis pada umumnya tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu, apabila terjadi pelanggaran atau tidak ditaati maka tidak ada sanksi yang bisa diberlakukan. Sanksi yang muncul pada umumnya adalah sanksi sosial, seperti dikeluarkan dari grup, mendapat unfollow, dislike, mendapat kritikan, teguran, atau masukan dari orang lain, atau bisa juga dikucilkan (ekskomunikasi) oleh pengguna media sosial yang lain.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB III PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK DAN STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK DI ERA MEDIA BARU

Komunikasi bukanlah sekedar proses tukar menukar pikiran dan pendapat, melainkan juga merupakan suatu kegiatan seorang individu berusaha untuk mengubah pendapat, sikap, serta perilaku orang lain. Komunikasi adalah suatu proses pemindahan pengertian didalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain (Handoko, 2002 : 30). Definisi komunikasi menurut Hovland yang dikutip oleh Wiryanto (2004 : 6) yaitu “The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbol) to modify, the behavior of other individu.” Komunikasi adalah proses dimana individu mentransmisikan stimulus untuk mengubah perilaku individu yang lain. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pikiran atau juga perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang yang bermaksud bagi kedua belah pihak, didalam situasi yang tertentu komunikasi itu menggunakan media tertentu untuk dapat merubah sikap atau juga tingkah laku seorang atau juga sejumlah orang sehingga terdapat efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000 : 13). Menurut Berlo (dalam Mardikanto, 1993 : 57) “komunikasi secara umum adalah suatu proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima”. Peneliti dapat menyimpulkan dari kedua pendapat pakar komunikasi diatas bahwa segala bentuk interaksi-interaksi manusia adalah komunikasi, yaitu proses penyampaian lambang-lambang yang berarti dari individu satu kepada individu yang lain, baik dengan maksud agar mengerti atau untuk mengubah sikap dan tingkah lakunya. 1. Fungsi Komunikasi Fungsi komunikasi antara lain sebagai berikut :  Kendali : komunikasi dalam bertindak untuk dapat mengendalikan prilaku anggota didalam beberapa cara, pada tiap organisasi memiliki wewenang serta juga garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh angotnya.  Motivasi : komunikasi tersebut membantu didalam perkembangan motivasi dengan cara menjelaskan kepada para karyawan itu , apa yang harus dilakukan bagaimana mereka itu dapat bekerja baik serta juga apa yang dapat dikerjakan untuk dapat memperbaiki kinerja apabila itu di bawah standar.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual





Pengungkapan emosional : pada banyak karyawan dalam kelompok kerja, mereka adalah sumber utama untuk dalam interaksi sosial, komunikasi yang terjadi didalam kelompok itu adalah suatu mekanisme fundamental dengan mana anggota-anggota tersebut menunjukkan kekecewaan serta juga rasa puas mereka oleh sebab itu komunikasi itu menyiarkan suatu ungkapan emosional dari perasaan serta juga pemenuhan kebutuhan sosial. Informasi : komunikasi tersebut memberikan informasi yang diperlukan bagi individu maupun juga bagi kelompok didalam mengambil suatu keputusan dengan meneruskan data didalam mengenai dan juga menilai pilihan-pilihan alternatif (Robbins, 2002 : 310-311).

2. Tujuan Komunikasi Ada beberapa tujuan komunikasi, antara lain sebagai berikut: 1. Agar yang disampaikan komunikator bisa dimengerti oleh komunikan. Maka komunikator harus menjelaskan pesan utama dengan jelas dan sedetail mungkin. 2. Supaya bisa memahami orang lain. Dengan melakukan komunikasi, setiap individu bisa memahami individu yang lain dengan kemampuan mendengar apa yang sedang dibicarakan orang lain. 3. Supaya pendapat kita diterima orang lain. Komunikasi serta pendekatan persuasif adalah cara supaya gagasan kita diterima oleh orang lain. 4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan kita. 3. Syarat Komunikasi Ketika ingin melakukan komunikasi, dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut. 1. Source: Source atau sumber merupakan bahan dasar dalam penyampaian pesan untuk memperkuat pesan itu sendiri. Salah satu contoh komunikasi adalah orang, lembaga, buku dan masih banyak yang lainnya. 2. Komunikator: komunikator adalah pelaku yang menyampaikan pesan bisa beruapa seseorang yang sedang menulis atau berbicara, bisa juga berupa kelompok orang atau juga organisasi komunikasi seperti film, radio, surat kabar, televisi dan lain sebagainya. 3. Komunikan: komunikan merupakan penerima pesan dalam komunikasi yang bisa berupa seseorang, kelompok ataupun massa. 4. Pesan: pesan merupakan keseluruhan yang disampaikan oleh seorang komunikator. Pesan memiliki tema utama sebagai pengarah dalam usaha untuk mengubah sikap serta tingkah laku orang lain.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

5. Saluran: Saluran adalah media yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan. Saluran komunikasi terbagi menjadi beberapa bagian, yaklni saluran formal atau resmu dan saluran informal atau tidak resmi. 6. Effek: Effek adalah hasil akhir dari suatu komunikasi yang terjadi.

4. Media Komunikasi Media komunikasi merupakan sebuah sarana atau alat yang dipakai sebagai penyampaian pesan dari komunikator kepada khalayak. Media sangat dominan dalam berkomunikasi ialah pancaindra manunsia seperti mata, telinga. Media juga adalah jendela yang memungkinkan semua orang dapat melihat lingkungan yang lebih jauh, untuk penafsir yang membantu memahami pengalaman, untuk landasan penyampai informasi, sebagai komunikasi interaksi yang merupakan opini audiens, sebagai penanda pemberi petunjuk atau intruksi, sebagai filter atau penbagi fokus dan pengalaman terhadap orang lain, cermin yang merefleksikan diri kita serta penghalang yang menutupi kebenaran. Media komunikasi juga dijelaskan untuk sebuah sarana yang dipakai utnuk memproduksi, mengolah, reproduksi, serta mendistribusikan untuk menyampaikan sebuah informasi. Media komunikasi sangat berperan penting untuk kehidupan seluruh masyarakat. Dengan sederhana, media komunikasi merupakan perantara dalam menyampaikan sebuah informasi dari komunikator kepada komunikan yang memiliki tujuan agar efisien dalam menyebarkan pesan atau informasi. Komunikasi adalah perdakapann yang berlangsung dengand dasar persamaan persepsi. Jenis-Jenis Media Komunikasi, Berdasarkan Fungsi Media  Fungsi produksi Media komunikasi sangant bermanfaat suapaya menghasilkan suatu informasi.  Fungsi reproduksi Media komunikasi bermanfaat agar bisa memperoduksi ulang serta menggandakan sebuah informasi.  Fungsi penyampai informasi Media komunikasi memiliki fungsi agar bisa menkomunikasikan serta menyebarluaskan pesan terhadap komunikan sebagai sasaran informasi. Fungsi Media Komunikasi, Menurut Marshall Mc Luhan  Efektifitas Media komunikasi akan membuatmudah serta kelancaran dalam menyampaikan sebuah informasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

  

Efisiensi Media komunikasi akan mempercepat penyampaian didalam sebuah informasi. Konkrit Media komunikasi akan membantu mempercepat isi informasi atau pesan yang mempunyai sifat abstrak. Motivatif Media komunikasi akan lebih memberikan sebuah informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Fungsi media Komunikasi, Menurut Burgon Dan Huffner    

Efisiensi penyebaran informasi Penghambatan dalam sisi biaya, pemikiran, tenaga serta waktu. Memperkuat eksistensi informasi Media komunikasi yang hi-tech bisa membuat informasi atau juga pesan yang lebih berkesan kepada komunikan. Menghibur Media komunikasi bisa menyenangkan serta lebih menarik untuk audiens. Kontrol Sosial Media komunikasi untuk sebuah pengawasan dalam kebijakan sosial.

Bentuk Media Komunikasi  Media Cetak Beragam jenis media komunikasi yang bisa dilakukan melalui sebuah proses percetakan serta bisa dipakai sebagai sarana menyampaian informasi atau pesan. Contoh : buku, surat kabar, majalah, serta brosur.  Media visual atau media pandang Penerimaan pesan yang tersampaikan melalui panca indera dan dapat dilihat Contoh: gambar dan Foto.  Media audio Penerimaan pesan yang tersampaikan dengan melalu indera pendengaran. Contoh: Radio dan Tape recorder.  Media Audio visual aid (AVA) Media komunikasi yang bisa dilihat serta juga bisa didengar, agar mendapatkan informasi secara bersamaan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Komunikasi politik menjadi kajian yang menarik perhatian, bukan hanya para sarjana komunikasi dan sarjana politik, tetapi juga bagi politisi yang aktif di berbagai partai politk. Plano (dalam Mulyana, 2007 : 29) melihat bahwa �komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik�. Ini menjadi sebuah tantangan keberhasilan para pelaku politik, partai politik, gabungan partai dan tim sukses dalam membangun pencitraan politik melalui komunikasi politik guna meraih simpati dan dukungan masyarakat. Komunikasi politik adalah suatu proses penyampaian pesan-pesan politik yang berasal dari komunikator politik (source, encoder, sender, actor) sebagai pihak yang memulai dan mengarahkan suatu tindakan komunikasi. Lalu pesan-pesan tersebut ditujukan kepada khalayak (receiver, komunikan), dengan menggunakan media (channel, saluran) tertentu untuk mencapai sautu tujuan yang telah ditentukan (political oriented). Dalam sistem politik semua komponenkomponen tersebut merupakan proses atau kegiatan komunikasi politik yang merupakan input yang menentukan output daripada sistem politik. Menurut Gurevitch dan Blumler (1977), menjelaskan bahwa dalam arti yang luas, komponenkomponen utama dari suatu sistem komunikasi politik ditemukan pada: 1) 2) 3) 4)

Lembaga-lembaga politik dalam aspek-aspek komunikasinya, Institusi-institusi media dalam aspek-aspek politiknya, Orientasi khalayak terhadap komunkasi politik, Aspek-aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.

Sehingga sistem komunikasi politik dapat dilihat dalam dua perspektif, yaitu perangkat institusi politik dan organisasi media yang terlibat dalam persiapan pesan bagi interaksi yang lebih horizontal satu sama lain, sedangkan dalam arah yang vertical institusi-institusi tadi baik secara terpisah maupun bersama-sama melakukan diseminasi dan pengolahan informasi dan gagasan dari dan untuk masyarakat.

Peranan komuniksi politik dibutuhkan untuk melihat dampak dan hasil yang bersifat politik. Melvin L DeFleur (dalam Muhtadi, 2008:7) memetakan Model Transaksi Simultan (Simultaneous Transactions Model) terhadap dinamika komunikasi politik. Dengan karakternya yang nonlinier, model ini menggambarkan sekurang- kurangnya tiga faktor yang berpengaruh dalam komunikasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pertama, faktor lingkungan fisik (physical surroundings), yakni lingkungan tempat komunikasi itu berlangsung dengan menekankan pada aspek what dan how pesan-pesan komunikasi itu dipertukarkan. Kedua, faktor situasi sosio-kultural (sociocuktural situational), yakni bahwa komunikasi merupakan bagian dari situasi sosial yang di dalamnya terkandung makna kultural tertentu, sekaligus menjadi identitas dari para pelaku komunikasi yang terlibat di dalamnya. Ketiga, faktor hubungan sosial (sosial relationship), yakni bahwa status hubungan antarpelaku komunikasi sangat berpengaruh, baik terhadap isi pesan itu sendiri ataupun terhadap proses bagaimana pesan itu dikirim dan diterima. Menurut McNair (2003) komunikasi politik yang ditinjau dari tujuan komunikator, seperti isu-isu pentingnya pencitraan politisi yang ditampilkan dalam membentuk persepsi pemilih, dampak dari biasnya liputan media terhadap hasil pemilu, dan hubungan antara opini publik dengan upaya politisi dan organisasi media untuk membuat suatu agenda tertentu. Maka peran media menjadi sangat penting dan strategis dalam menunjang bahkan menentukan dinamika komunikasi politik di dalam proses sistem politik yang terdapat “pertarungan� kepentingan serta kekuasaan antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Termasuk pada dinamika strategi kampanye untuk memengaruhi, mendapat, dan mempertahankan dukungan serta kekuasaan dalam perhelatan “pesta demokrasi�. Karena menurut De Vreese (2006) penelitian komunikasi politik bertujuan untuk mengkaji interaksi dan perubahan dalam hubungan antara politik, media, warga negara dan suatu pemahaman, khususnya tentang peran Intinya, komunikasi politik pada dasarnya adalah tentang kualitas dan kelangsungan hidup demokrasi. Komunikasi politik menjadi faktor yang sangat menentukan dan tidak bisa dikesampingkan fungsinya dalam proses politik yang dilakukan aktor politik sebagai komunikator politik. Maka menjadi bahasan dan bahan refleksi serta evaluasi yang sangat penting tentang komunikasi politik dalam sistem politik dan strategi kampanye politik. Sebagaimana menurut Lilleker (2006) komunikasi antara lembaga yang memiliki kekuasaan dengan rakyat (yang dikuasai) merupakan hal penting dalam sistem politik. Bagaimanapun dalam demokrasi, komunikasi politik dianggap sangat penting untuk membangun masyarakat, di mana negara dan rakyatnya merasa memiliki hubungan atau berinteraksi, sehingga komunikasi politik menjadi suatu keharusan. Karena itu dalam melakukan berbagai kegiatan (pembangunan), tidak bisa hanya dengan serangkaian instruksi dari elit (kelompok penguasa) kepada


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

masyarakat. Tetapi harus memberikan kesempatan untuk melakukan umpan balik dari masyarakat dan mendorong adanya partisipasi.

Komunikasi politik adalah sebuah studi yang interdisiplinari yang dibangun atas berbagai macam ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses komunikasi dan proses politik. Merupakan wilayah pertarungan dan dimeriahkan oleh persaingan teori, pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati diri. Komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambanglambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Michael Rush dan Philip Althoff mendefinisikan komunikasi politik sebagai suatu proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistemsistem sosial dengan sistemsistem politik. Proses ini terjadi secara erkesinambungan dan mencakup pola pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkatan. Komunikasi politik merupakan suatu elemen yang dinamis dan yang menentukan sosialisasi politik dan partisipasi politik. Dalam hal ini komunikasi politik menentukan corak perilaku insan politik. Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi anatar “yang memerintah� dan “yang diperintah�. Komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satupun manusia tiak berkmunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awan berkomentar soal kenaikan BBM, korupsi, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Komunikasi yang membicarakan tentang politik kadang diklaim sebagai studi tentang aspek-aspek politik dari komunikasi publik, dan sering dikaitkan sebagai komunikasi kampanye pemilu (election campaign) karena mencakup masalah persuasi terhadap pemilih, debat antarkandidat, dan penggunaan media massa sebagai alat kampanye.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Unsur Komunikasi Politik Politik Seperti halnya dengan disiplin komunikasi lainnya, komunikasi politik sebagai body of knowledge juga terdiri atas berbagai insur, yakni: a. Komunikator Politik Komunikasi politik tidak hanya menyangkut partai politik, melainkan juga lembaga pemerintahan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, sumber atau komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur, bupati/walikota, DPRD, politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan. b. Pesan Politik Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun non-verbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung bobot politik. Misalnya pidato politik, undang-undang kepartaian, undang-undang pemilu, pernyataan politik, artikel atau isi buku/brosur dan berita surat kabar, radio, televisi, dan internet yang berisi ulasan politik dan pemerintahan. c. Saluran atau Media Politik Saluran atau media politik ialah alat atau sarana yang digunakan oleh para komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya media cetak, yaitu surat kabar, tabloid, majalah, buku. Media elektronik, misalnya film, radio, televisi, video, komputer, internet. Media format kecil, misalnya leaflet, brosur, selebaran, stiker, bulletin. Media luar ruangan (out door media), misalnya baliho, spanduk, reklame, electronic board, bendera, jumbai, pin, logo, topi, rompi, kaos oblong, iklan mobil, kalender, kulit buku, block note, pulpoen, gantungan kunci dan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membangun citra. d. Sasaran atau Target Politik Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau kandidat dalam pemilihan umum. Mereka adalah pengusaha, pegawai negeri, buruh, pemuda, ibu rumah tangga, pensiunan, veteran, pedagang kaki lima, para tukang (kayu, batu, cukur, becak) orang cacat, mahasiswa, sopir angkutan, nelayan, dan siswa yang akan memilih setelah cukup usia. e. Pengaruh atau Efek Komunikasi Politik Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik, dimana masyarakat akan bermuara pada pemberian suara (vote) dalam pemilihan umum.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Komunikasi Sebagai Proses Politik Gabriel Almond mengatakan bahwa komunikasi ibarat aliran darah yang mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemprosesan sistem politik. Dan hasil pemprosesan itu dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya menjadi feedback sistem politik. Sebuah realitas, sejarah, tradisi politik akan bisa dirangkaikan atau dihubungkan dari masa lalu untuk dijadikan acuan ke masa depan adalah dengan jalan komunikasi. Dengan komunikasi sebagai proses politik, berbagai tatanan politik yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat akan berubah. Misalnya tradisionalisme, berbagai adopsi tradisi luar juga tidak akan mudah diterima begitu saja oleh masyarakat dan suatu dan suatu saat akan mengalami kegalalan seandainya bertentangan dengan tradisi yang sudah ada. Ada beberapa catatan yang bisa ditarik ketika kita memperbincangkan komunikasi sebagai proses politik. Pertama, komunikasi memiliki peran signifikan dalam menentukan proses perubahan politik di Indonesia. Ini bisa dilihat pada perubahan format lembaga kepresidenan yang dahulunya sakral kemudian mengalami desakralisasi. Itu semua diakibatkan oleh terbinanya komunikasi politik yang lebih baik antara masyarakat dan pemerintah. Kedua, kita pernah mewarisi komunikasi politik yang tertutup (yang mengakibatkan ideologi politik yang tidak terbuka), penafsiran ada pada pihak penguasa (mendominasi dan mengontrol semua bagian) sehinga memunculkan hegemoni komunikasi dan pola komunikasi top down (yang memunculkan sikap indoktrinatif). Ketiga, komunikasi masih dipengaruhi oleh tradisi politik masa lalu. Tradisi politik yang mementingkan keseimbangan, harmoni, dan keserasian masih diwujudkan meskipun dalam kenyataan kadang justru tradisi itu dijadikan alat legitimasi politik penguasa atas nama stabilitas. Keterpengaruhan ini juga termanifestasikan pada budaya sungkan atau ewuh pakewuh yang masih kental dalam tradisi komunikasi kita. Keempat, sebagai proses politik, komunikasi menjadi alat yang mampu mengalirkan pesan politik (tuntutan dan dukungan) ke pusat kekuasaan untuk diproses. Proses itu kemudian dikeluarkan kembali dan selanjutnya menjadi umpan balik(feedback). Ini artinya, komunikasi sebagai proses politik adalah aktivitas tanpa henti. Sebagai contoh, di Indonesia bentuk proses terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dialirkan menjadi pesan lewat DPR ke pusat kekuasaan (pemerintah) untuk diproses. Kemudian hasilnya dikembalikan menjadi umpan balik dengan munculnya keputusan pembatalan kenaikan harga bahan bakar minyak.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Partisipasi politik merupakan tolak ukur dalam memahami kualitas warga negara pada tingkat rujukan (refrensi) pandangan dan tanggung jawab atas kemajuan dan kelangsungan hidup masyarakat atau mengetaui sistem politik apa yang mendasari berkangsungnya pertisipasi tersebut dari sifat ataupun orientasi politiknya. Partisipasi politik dapat dijelaskan sebagai usaha terorganisir oleh para warga negara untuk memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan umum. Usaha ini dilakukan berdasarkan kesadaran akan tanggung jawab nereka terhadap kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu negara. Partisipasi politik berbeda-beda dari amsyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Kadar partisipasi politik pun bervariasi. Partisipasi politik dapat dijelaskan sebagai turut ambil bagian, ikut serta atau berperan serta dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan denga kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (publik live), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M.Nelson membuat batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efekyif atau tidak efektif�. Dari pengertian di atas memberi informasi bahwa partisipasi politik lebih dialamatkan kepada aktivitas masyarakat (warga negara) di dalam turut memikirkan kehidupan negara. Patisipasi politik merupakan cerminan dari sikap politik warga negara atau masyarakat yang berwujud dalam perilaku baik secara psikis maupun secara fisik. Menurut Milbrath menyebutkan empat faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Pertama, karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Kedua, karena faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial, yang punya kepedulian besar terhadap problem sosial, politik, ekonomi, biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik. Ketiga, karakter sosial seseorang yang meliputi status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis, dan agama seseorang. Bagaimanapun lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku seseorang dalam bidang politik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Keempat, faktor situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan poitik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Perilaku politik yang berkristal dalam wujud partisipasi politik dalam berlangsung secara konvesional sebagai mana suatu keharusan yang berada dalam setiap sistem. Partisipasi yang berlangsung bersifat legal dan berada dalam ikatan normatif. Partisipasi politik yang tumbuh atas kesadaran sebagai partisipasi murni tanpa adanya paksaan. Istilah partisipasi seringkali digunakan untuk memberi kesan mengambil bagian dalam sebuah aktivitas. Mengambil bagian dalam sebuah aktivitas dapat mengandung pengertian ikut serta tanpa ikut menentukan bagaimana pelaksaan aktivitas tersebut tetapi dapat juga berarti ikut serta dalam menentukan jalannya aktivitas tersebut, dalam artian ikut menentukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas tersebut. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintah yaitu: ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan), ada keterlibatan secara emosional, dan memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya. Menuruth Keith Davis ada tiga unsur penting partisipasi politik, meliputi: Unsur pertama, bahwa partisipasi atau keikutsertaan sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah. Sastroatmodjo juga mengemukakan tentang bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya yang dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Partisipasi individual dapat terwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan pemilu. Bentuk-bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh Almond yang terbagi dalam dua bentuk yaitu parsipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional meliputi pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif. Bentuk partisipasi politik non konvensional meliputi pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan politik harta benda (pengrusakan, pengeboman), tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Bentuk Komunikasi Politik Bagi David Easton, sistem politik tak lain dari bentuk interaksi yang diabstraksikan dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai autoritatif (berwenang) dialokasikan kepada masyarakat. Interaksi antara struktur politik dalam suatu sistem politik itu dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komunikasi politik. Ada dua bentuk komunikasi politik, yaitu: pertama, komunikasi politik yang cenderung mengambil posisi horizontal. Dalam komunikasi ini, posisi antara komunikator dan komunikan (masyarakat) relatif seimbang (saling memberi dan menerima), sehingga terjadi sharing. Bentuk komunikasi semacam ini merefleksikan nilai-nilai demokratis. Kedua, komunikasi politik yang cenderung membentuk pola-pola linier. Arus komunikasi (informasinya) satu arah, cenderung vertikal (top down). Bentuk komunikasi semacam ini merefleksikan nilai-nilai budaya feodalistik dan pola kepemimpinan otoriter. Adanya sistem hierarkis dalam struktur sosial, baik makro atau mikro, menyebabkan kesenjangan dalam pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab. Pada gilirannya, sistem hierarkis ini juga mengakibatkan terhambatnya proses komunikasi. Secara psikologis politik, pola komunikasi yang demikian mendorong orang untuk bersikap apatis (masa bodoh) dan pada puncaknya menyebabkan berkurangnya partisipasi politik formal, dan merebaknya aktivitas politik “bawah tanah� (ilegal). Ditinjau dari sudut perubahab sosial (Sosial Change), komunikasi semacam itu jelas sangat merugikan institusi sosial. Pertama, berkurangnya partisipasi dan dukungan anggota. Kedua, tidak terbentuknya etos kerja yang diwarnai oleh semangat kreatif, inovatif dan inisiatif, dan sebaliknya, cenderung membentuk mental “menunggu restu�. Ketiga, tidak adanya kontrol dari bawah, sehingga bila terjadi penyimpangan atas sistem, maka sukar untuk “diobati�. Keempat, menyebabkan tidak adanya ledakan spektakuler dari bakat-bakat yang tersembunyi pada diri individu. Kelima, secara institusional, problem solving (pemecahan masalah) mejadi kurang efektif, karena tidak adanya dialog antar anggota komunitas. 4. Saluran Komunikasi Politik Istilah struktur komunikasi oleh Almond dan Powell (1966), juga diartikan sebagai saluran komunikasi, diantara adalah : a.

Struktur wawan muka (face-to-face) informal, yaitu merupakan saluran yang efektif dalam penyampaian pesan-pesan politik. Di samping struktur yang formal dalam sebuah organisasi, selalu terdapat struktur informal


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

yang “membayangi�nya. Saluran ini bersifat bebas dalam arti tidak terikat oleh struktur formal, namun tidak semua orang dapat akses ke saluran ini dalam kadar yang sama. b. Struktur sosial tradisional, yaitu sebuah saluran komunikasi yang ditentukan oleh posisi sosial pihak yang berkomunikasi (khalayak atau sumber). Artinya, pada lapis mana yang bersangkutan berkedudukan dan (tentunya akan menentuka pula) akses disusunan sosial masyarakat tersebut. c. Struktur masukan (input) politik, yaitu struktur yang memungkinkan terbentuknya atau dihasilkannya input bagi sistem politik yang dimaksud. Yang termasuk struktur input adalah serikat pekerja, kelompok-kelompok kepentingan, dan partai politik d. Struktur output, yaitu struktur formal dari pemerintah. Struktur pemerintahan, khususnya birokrasi, memungkinkan pemimpinpemimpin politik mengkomunikasikan petunjuk bagi pelaksanaan peraturanperaturan untuk bermacam pemegang jabatan politik dengan cara yang efisien dan jelas. e. Saluran media massa adalah saluran yang penting dalam sebuah komunikasi politik. Media massa selalu mempunyai peranan tertentu dalam menyalurkan pesan, informasi, dan political content di tengah masyarakat, serta sangat terkait akan pembentukan opini publik.

1. Sosialisai politik Menurut David Easton dan Jack Dennis sebagai suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah laku. Kemudian Robinson oleh Alexis S. Tan ( Harun dan Sumarno, 2006: 82) merupakan proses perubahan perilaku yang berhubungan erat dengan proses belajar pemahaman terhadap peristiwa politik. Sosialisasi politik merupakan konsep strategis yang sangat mendasar, karena terkait kelangsungan, karena berkaitan dengan kelangsungan hidup negara dengan seluruh aspek yang terkandung didalamnya, sosialisasi politik dapat dilakukan dalam saluran iterpersonal, yang meliputi, keluarga dan lingkungan yang terdiri dari kawan-kawan dekat atau dikenal sebagai sebaya. Saluran organisasi, yang meliputi lembaga-lembaga pendidikan, ormas, lsm, partai politik. Kemudian saluran massa, media massa sebagai sumber informasi yang sering digunakan untuk melakukan sosialisasi politik. 2. Pendidikan politik Pendidikan politik sebagai usaha menenamkan, merubah atau mempertahankan sistem nilai politik atau orientasi politik dengan mengaktifkan proses sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan seseorang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

atau kelompok, baik kader, simpatisan dan masyarakat umum, yang dilakukan oleh politikus, profesional dan aktivis (sebagai komunikator politik) atau oleh lembaga (organisasi) seperti partai politik. Pendidikan sebagai suatu ktivitas mempengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap dan prilaku berdasarkan nilai-nilai yang telah dianggap benar dan telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia. Pendidikan politik juga dilakukan dalam berbagai saluran yaitu saluran interpersonal, organisasi dan massa. 3. Partisipasi politik Menurut Kevin R Hardwick sebagai perhatian dari warga negara yang berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingannya terhadap pejabat publik; Sedang Meriam Budiardjo mengartikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta aktif dalam memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Faturrohman dan Sobari, 2002 : 185). Menurut Samuel P. Huntington sebagai kegiatan warga negara yang beretindak secara pribadi atau kolektif dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, secara spontan atau terorganisasi, mantap atau sporadis secara damai atau kekerasan, legal (Pemilu) atau ilegal dan efektif atau tidak efektif. a) Agregasi kepentingan (interest aggregation function), pada fungsi ini terdapat proses penggabungan kepentingan, untuk kemudian dirumuskan dan disalurkan kepada pemegang kekuasaan atau pemerintah yang memegang kekuasaan dan yang berwenang (autority atau legalized power) untuk dijadikan kebijakan publik (public policy). b) Fungsi artikulasi kepentingan (interest articulation function), pada fungsi ini terjadi proses sintesis aspirasi individu-individu sebagai anggota kelompok yang berupa ide, pendapat yang kemudian dijadikan pola dan program politik.

Nimo (2006: 126) dalam komunikasi politik, partisipan adalah anggota khalayak yang aktif yang tidakhanya memperhatikan apa yang dikatakan oleh para pemimpin politik, tetapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan para pemimpin itu, ringkasnya partisipan politik melakukan kegiatan bersama dan bersama-sama dengan para pemimpin politik, yaitu sama-sama merupakan komunikator politik. Sedangkan menurut Rush dan Phillip Altohoff (2007:121123) partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai bermacammacam tingkatan dalam tingkatan politik. Aktivitas ini bisa bergerak dari keterlibatan sampai aktivitas jabatannya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Rekuitmen politik Rekuitmen politik yaitu suatu usaha untuk mengajak kepada individu-individu masuk kedalam orientasi dan nilai politik, yang pada akhirnya secara kongkrit menjadikan anggota politik baik simpatisan sampai menjadi kader politik dan pengurus organisasi politik. 5. Pendapat umum Pendapat umum yang diterjemahkan dari bahasa Inggris public opinion dikenal pada awal abad ke-18 menurut Alquin mennganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan �Vox populi, vox dei�. William Albig (Arifin, 2003 : 116) pendapat umum adalah hasil interaksi antara orang-orang dalam suatu kelompok, sedang Whyte menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat mengenai suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum. Sehingga bisa dicirikan sebagai : a) pendapat, sikap, perasaan, ramalan, pendirian dan harapan-harapan dari individu, kelompok dalam masyarakat tentang masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum atau persoalan sosial; b) hasil interaksi, diskusi, atau penilaian sosial antarindividu berdasarkan pertukaran pikiran secara sadar dan rasional; c) pendapat umum akan dapat dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh media massa; d) bisa dilakukan pada penganut paham demokratis (keterbukaan). 6. Citra Politik Citra Politik menurut Roberts (1977) (Arifin, 2003 : 105) bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan pendapat dan perilaku tetrtentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang lingkungan, citra (image) adalah gambaran seseorang (figur) yang tersusun melalui persepsi yang bermakna melalui kepercayaan, nilai dan pengharapan. Menurut Dan Nimmo (2000 : 6-7) citra politik terjalin melalui pikiran dan perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan pemahaman terhadap peristiwa politik tertentu. Komunikasi politik kekinian dapat juga kita lihat dari penggunaan media yang dipakai. Media komunikasi politik dapat dibagi menjadi lima jenis tergantung pada bagaimana komunikasi mengalir melalui media tersebut seperti model berikut ini (Shahreza dan El-Yana, 2016).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Gambar 1. Model pola – pola media komunikasi politik

Penjelasan mengenai model-model tersebut merupakan dinamika yang terjadi dalam proses komunikasi politik di era digital. Dengan adanya ruang publik di media sosial antara tokoh politik, masyarakat, media massa bisa berinteraksi dari tahap komunikasi linear, sirkular dan intraksional terjadi melalui jalur media baru. Selanjutnya dibawah ini adalah penjelasan dari model saluran media tersebut diatas (Shahreza dan El-Yana, 2016). Tabel 2. Penggunaan Media (saluran) dalam Komunikasi Politik 1. One to One (Interpersonal Media)

 Dengan satu arah atau dua arah komunikasi, komunikasi tatap muka, lalu menggunakan perantara tokoh (pemuka masyarakat) atau Opinion Leader yang akhirnya diteruskan ke jaringan bawahan (masyarakat) dimana peran pengaruh dan kekuasaannya digunakan (two flow step communication).  Dengan mendatangi langsung masyarakat (khalayak) dengan memangkas prosedural birokrasi.Bisa dikatakan dengan istilah kunjungan sampel (diambil dibeberapa tempat yang menjadi perwakilan dari populasi), ini bisa disebut dengan istilah “Turba” yang artinya turun kebawah atau dengan istilah “blusukan”.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

 Termasuk dengan penggunaan surat pribadi, telepon pribadi, dan saluran lain untuk melakukan korespodensi dan pembicaraan, seperti SMS, PO BOX, dan sebagainya. 2. One to Many (Mass Media)  Bentuk pertama, yaitu secara langsung, seperti kandidat politik berbicara di depan rapat umum atau seperti seorang presiden muncul di depan khalayak besar reporter dalam konfrensi pers.  Bentuk kedua, terjadi jika ada perantara ditempatkan antara komunikator dan khalayak. Akan terjadi satu arah, media, teknologi, sarana, dan alat komunikasi lainnya (buku, Surat kabar cetak, Televisi atau Radio). Contoh pidato kepresidenan yang disiarkan ke seluruh dunia melalui televisi. 3. Gabungan One to One dan One to  Melakukan komunikasi atau Many (Organization Communication) diskusi antara pimpinan dan bawahannya. Seperti seorang presiden kepada staf, penasehat dan para mentri yang membawahi departemen.  Karena organisasi politik itu besar maka untuk melakukan one to one mustahil, maka dilakukan dengan sarana one to many, seperti: pengedaran memorandum, melakukan sidang rutin tahunan, bulletin, laporan berkala intern dan lokakarya. 4. Many to Many (New Media)  Politisi, pejabat dan kandidat politik menggunakan jejaring komunikasi (Network communication) ke banyak arah.  Melalui media sosial banyak politisi atau kandidat politik memliki akun Facebook, Twitter, youtube, blog atau situs pribadi


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

5. Many to One (Agenda Setting)

yang langsung dapat berinteraksi dengan khalayak banyak (netizen) dengan meng-follow, meng-add akun pribadi komunikator tersebut tersebut.  Para komunikator politik bisa ditemui di dunia maya oleh netizen, melakukan update status yang berisi gagasan, pandangan dan sikap dengan meͲmention langsung ke tujuan, termasuk melalukan pembicaraan pribadi (chatrooms), membuka website pribadi (sosial media websites) dan juga pengguaan aplikasi smart phone seperti Black Barry Massenger (BBM), Whatsup (WA), dan lain-lain, serta penggunaan group-group atau komunitas di media sosial dan applikasi untuk melakukan kordinasi, menyebarkan informasi (broadcast), kadang media konvensional juga mengambil/ mengutip statusͲstatus dari media sosial dan dipublikasikan dan sebagainya.  Reputasi Politikus dimainkan oleh peran media massa dengan meluasnya minat masyarakat (opini publik).  Reputasi Politikus dinaikkan dan juga dijatuhkan (dikaburkan) melalui lambngͲlambang yang beredar di media massa. Isu bisa sengaja dirancang (framing) atau dengan memanfaatkan momen kondisi kekurangan atau masa lalu kandidat yang negatif dengan melakukan agenda setting oleh media baik media tradisional ataupun media baru yang terkenal dengan istilah “bullying”.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di era teknologi digital, interaksi antar aktor komunikasi politik tidak lagi dominan atas ke bawah namun juga bawah ke atas. Di zaman ini, partisipasi publik ikut berperan mengolah pesanpesan politik. Media massa utama menjadi jembatan komunikasi, dalam menyebarkan pesan pesan yang luas dan mendapat dukungan dan perhatian masyarakat.

Perubahan komunikasi politik dalam strategi kampanye mengalami perkembangan, khususnya dengan memanfaatkan kekuatan media seperti stiker, pamflet, spanduk, dan baligo serta papan reklame dari ukuran kecil hingga ukuran besar, yang terpasang menghiasi jalan-jalan layaknya seperti iklan komersil pada musim “pesta demokrasi�. Kemudian strategi kampanye yang memanfaatkan kekuatan media massa seperti surat kabar (koran) yang banyak diakomodasi oleh surat kabar lokal. Termasuk kampanye di media massa elektronik terutama televisi menjadi wahana kompetisi iklan politik yang sangat menarik. Menurut Lilleker (2006) fungsi utama dari komunikasi politik adalah untuk membuat masyarakat memikirkan suatu masalah dengan cara yang menguntungkan bagi pembuat dan pengirim pesan politik. Ini berarti bahwa setiap organisasi politik yang bermaksud untuk memengaruhi publik secara politik, harus berusaha untuk mengontrol ide-ide yang dominan dalam ruang publik. Sebagai contoh, sebelum Pemilu tahun 2014 diselenggarakan untuk menentukan jumlah perolehan kursi kekuasaan di legislatif, sudah didahului dengan ramainya iklan politik di televisi oleh calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) baik secara berpasangan (satu paket), maupun iklan capres yang masih belum memiliki cawapres. Apalagi para kontestan capres dan cawapres serta ketua umum parpol merupakan pemilik perusahaan media televisi terbesar. Kondisi tersebut akan terjadi saat pilcaleg dan pilpres 2019 mendatang. Begitupun iklan layanan masyarakat atau sosialisasi program pembangunan menjelang masa Pemilu, yang marak dimanfaatkan pajabat publik seperti menteri yang memanfaatkan kepentingan politiknya untuk mencalonkan menjadi anggota legislatif. Sehingga media massa menjadi pentas panggung politik yang penting dan strategis, karena dibutuhkan dan dimanfaatkan para elit politik untuk membangun, memelihara popularitas serta pencitraannya. Hal tersebut sesuai dengan hasil riset Lembaga Survei Indonesia (Rilis LSI, 2014) salah satunya yaitu: (1) Sering muncul opini bahwa berita oleh media masa dibingkai (frame) oleh kepentingan politik dan ekonomi tertentu untuk


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memengaruhi sikap dan perilaku politik pemilih sesuai dengan framing tersebut. (2) Efeknya kemudian, bahwa berita media massa diyakini punya pengaruh partisan, yakni menguntungkan partai tertentu, dan sebaliknya menjatuhkan partai yang lain. Hal tersebut merupakan suatu strategi komunikasi melalui kampanye, sebagaimana menurut Connolly (2008) bahwa strategi kampanye merupakan komunikasi yang diarahkan oleh seseorang atau sebuah organisasi dengan dirancang untuk memengaruhi publik, meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap, maupun mendorong perilaku yang diinginkan. Strategi komunikasi dengan kampanye, umumnya dirancang untuk merespon kebutuhan komunikasi yang dirasakan sangat penting oleh publik. Jadi netralitas dan indepedensi media menjadi bias, karena satu sisi media massa bersifat komersial dan media juga sebagai agen pembangunan yang memberikan informasi, edukasi, dan wahana aspirasi serta kontrol terhadap kekuasaan. Namun di sisi lain media juga sebagai wahana dimanfaatkan kepentingan politik oleh elit politik untuk memiliki kekuasaan politik. Menurut Altschull (dalam Severin dan Tankard, 2007) bahwa: 1) Dalam semua sistem media berita mewakili pihak yang menjalankan kekuasaan politik dan ekonomi. Surat kabar, majalah dan penyiaran bukanlah aktor independen, meski mereka mempunyai potensi untuk menjalankan kekuasaan independen; 2) Isi berita selalu menunjukkan kepentingan dari orang-orang yang membiayai pers; 3) Semua sistem pers didasarkan pada kepercayaan ekspresi bebas, walaupun didefinisikan dengan cara yang berbeda. Maka demokratisasi hanya menjadi simbol dan slogan politik, apabila masih ada kekuasaan yang sangat kuat dan tidak dapat dikontrol oleh kekuatan lainya. Misalkan media massa yang berkolaborasi dengan politik atau pengusaha (media) dengan penguasa (politik) menjadi suatu hegemoni. Sebagaimana Gramsci dalam Latif dan Ibrahim (1996) istilah hegemoni (hegemony) yang dihadapkan dengan istilah kekuatan (force). Jika kekuatan diartikan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi tertentu. Maka hegemoni berarti perluasan dan pelestarian “kepatuhan aktif� dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, politik yang mewujud dalam bentuk bentuk koopasi institusional dan manipulasi sistemis atas teks dan tafsirannya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Gramsci (dalam Suyanto, 2010), fenomena hegemoni politik dan media akan tetap berlangsung apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi masyarakat. Bentuk usulan komunikasi politik dalam strategi kampanye yang bisa menjadi alternatif, dalam rangka mewujudkan demokratisasi yang berpihak kepada rakyat. Komunikasi politik dalam strategi kampanye, bukan hanya untuk kepentingan yang menguntungkan elit politik saja, tetapi untuk kepentingan semua pihak termasuk rakyat sesuai dengan semangat demokratisiasi. Karena menurut McNair (2003) hal tersebut dipahami sebagai strategi komunikasi dan taktik dari aktor politik. Selain argumen atau perdebatan, pada saat ini gagasan tentang komunikasi politik terlalu penting untuk diabaikan oleh para aktor yang memiliki kepedulian bagi bekerjanya suatu demokrasi modern. Blake dan Haroldaen dalam A Taxonomy of Concepts in Communication menyatakan bahwa "komunikasi politik adalah komunikasi yang memiliki pengaruh aktual dan potensial mengenai fungsi dari pernyataan politik atau entitas politik lainnya". Sedangkan Dan Nimmo mendefinisikan "komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) mengatur kegiatan manusia di dalam situasi konflik. Definisi komunikasi politik Blake di atas, jelas bahwa untuk mengetahui "pernyataan politik" dan fungsi atau pengaruhnya maka media massa merupakan salah satu saluran komunikasi yang paling penting, selain komunikator dan isi pesan itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip komunikasi politik. Pertama, konsistensi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi yang disampaikan harus konsisten dengan substansi platform partai dan konsisten terhadap paradigma partai dan solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh konstituen dan publik. Kedua, replikasi. Dalam melakukan komunikasi politik, informasi harus disampaikan berulang kali, sehingga konstituen dan publik paham betul dengan content/isi platform partai dan apa yang sedang diperjuangkan oleh partai. Ketiga, evidence. Dalam komunikasi politik informasi yang disampaikan oleh partai harus ada dan dapat dibuktikan kebenaran dan eksistensinya. Begitu pula partai harus memberikan bukti-bukti konkrit atas apa yang telah dan sedang mereka kerjakan. Kebanyakan makalah komunikasi, menurut Halloran, tidak seimbang antara makalah mengenai akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi di satu sisi dan peran komunikator itu dalam mendisain isi pesan di sisi lain.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Komunikasi massa; misalnya, lebih banyak menitikberatkan pada masalah efek atau pengaruh media terhadap khalayak daripada apa yang sebenarnya mempengaruhi isi media. Keadaan ini juga berlaku pada makalah media dan politik. Pentingnya media massa dalam penyebaran politik diuraikan Reese dan Shoemaker telah coba membuka tabir tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi isi media. Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap isi suatu media, di antaranya adalah pengaruh pekerja media (penyiar atau jurnalis), pengaruh organisasi media, pengaruh ekstramedia, dan pengaruh ideologi. Penlitian Reese dan Shoemaker tersebut menunjukkan bahwa pengaruh "siapa" (menurut taksonomi Lasswell) atau "kelompok yang mempengaruhi isi media" (menurut Reese dan Sheomaker) atau juga "komunikator politik" (yang oleh Nimmo disebut sebagai komunikator profesional) dalam menyampaikan "isi pesan" ternyata tidak kalah pentingnya dari pengaruh lainnya, seperti "media", "khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang dilakukan. Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan isi media, Nimmo secara detil membagi komunikator politik ke dalam tiga kelompok, yaitu politikus, profesional, dan aktivis. Politikus sebagai komunikator politik dalam pelaksanaannya terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog. sebagai wakil partisipan, komunikator politik mewakili kelompok tertentu dalam tawar-menawar dan mencari kompromi pada masalah masalah politik. Mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini. Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide yang ditawarkannya.8 Salah satu karya yang mengungkap landasan teoritis tentang komunikasi politik terungkap dalam buku Political Communication, Issues and Strategies for Research. Buku yang disunting Steven H. Chaffee (1975) ini juga mengungkap kasus di lapangan yang masih terbatas pada kegiatan-kegiatan politik praktis. Dalam operasionalisasinya, komunikasi politik dikembangkan berdasarkan sejumlah teori tindakan komunikatif terkait rasio dan rasionalisasi masyarakat dikembangkan para ilmuan komunikasi. Di antaranya, Jurgen Habermas menulis Theori des Kommunikativen Handelns, secara umum menerangkan bahwa; the theory of communicative action memiliki tiga tujuan yang terkait satu sama lain. 1) Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat pada dan dibatasi oleh premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial. 2) Merekonstruksi konsep masyarakat dua-level yang mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Mensketsakan, berdasarkan latar belakang di atas, teori kritis tentang modernitas yang menganalisis dan membahas patalogi-patalogi dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian proyek pencerahan. Dalam perspektif Allan G. Johnson yang menegaskan bahwa sistem sosial dalam struktur organisasi sebagai alternatif menguatnya pengaruh individu. Jika perspektif ini diadopsi, maka tampaknya rasionalitas masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi dari akses berita politik media. Dalam realitasnya, aspek rasionalitas masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya pada umumnya masih dipengaruhi pemberitaan media. Pilihan politik yang mengedepankan rasionalitas, sejatinya diputuskan berdasarkan hati nurani atau pilihannya secara personal tanpa intervensi siapapun. Menurut Allan G. Johnson, pilihan rasional ditentukan pada kepentingan diri yang tetap dipertautkan dengan sistem sosial.11 Selain itu, media juga mengembangkan pengkajian wacana politik dengan menggunakan analisis wacana. Wacana (discourse) tidak hanya mencakup ucapan-ucapan dan bentukbentuk komunikasi nonverbal, tetapi juga mencakup segala macam "teks" dalam pengertiannya yang luas. Bila dilihat dari perspektif extra linguistic, kata "text" dapat diperlebar pemakaiannya meliputi pesan-pesan yang dirumuskan melalui sistem tanda, seperti tanda lampu lalu lintas, upacara-upacara ritual keagamaan, atau adat masyarakat tertentu, gaya-gaya pakaian, gerak tubuh, atau juga kode indikator yang bersifat elektronik. Kebanyakan komunikasi, baik lisan maupun tertulis, dari yang biasa sampai yang terinci, terdiri atas aksi-aksi yang kompleks yang membentuk "pesan-pesan" atau "wacana" (discourse). Sedangkan studi tentang struktur pesan disebut sebagai analisis wacana (discourse analysis). Menurut Scott Jacobs, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam studi ini; Pertama, analisis wacana disusun oleh para komunikator dengan cara dan prinsip tertentu agar seseorang mengetahui arti yang ingin disampaikan. Kedua, analisis wacana dipandang sebagai masalah aksi. Sehingga, pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa, melainkan jugs aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar untuk mencapai tujuan pragmatik dalam situasi sosial tertentu. Ketiga, analisis wacana dipandang sebagai suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari prespektif mereka, atau dengan kata lain, analisis wacana tertarik pada aturan-aturan transaksi pesan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Van Dijk (1997), kerangka teoretis yang mendasari perbincangan kita mengenai wacana politik (political discourse) selalu tidak bisa terlepas dari kesadaran politik (political cognition) masyarakatnya. Hal ini sangat terkait dengan berbagai level dan dimensi dari wilayah politik (political domain). Level yang paling dasar adalah aktor politik yang di dalamnya terdiri atas dimensi gagasan, pandangan, wacana, dan interaksi dalam situasi politik tertentu. Level tengah adalah institusi atau kelompok politik, termasuk di dalamnya adalah keterwakilannya (shared representations) di dalam pergumulan politik, wacana kolektif, hubungan, dan interaksi yang dibangun. Sedangkan level yang paling tinggi adalah sistem politik, termasuk di dalamnya adalah dimensi keterwakilan yang abstrak, aturan wacana (orders of discourse), dimensi sosial politik, budaya, dan proses sejarah. Pandangan-pandangan di atas menggambarkan kepada kita bahwa makalah tentang wacana politik, baik langsung maupun tidak langsung, baik melalui media, seperti analisis isi, melalui survei, maupun melalui wawancara, merupakan analisis multilevel. Artinya, analisis wacana politik tidak semata-mata membicarakan hal-hal yang diucapkan atau dituliskan (talk and text), tetapi juga mencakup semua konteks yang melingkupinya. Analisis terhadap wacana media biasanya menggunakan pendekatan analisis ragam tingkat (multilevel analysis). Dalam konteks ini, Fairdough menyatakan bahwa seorang peneliti, di samping memperhatikan hal-hal yang bersifat tekstual, ia juga harus memperhatikan hal-hal yang bersifat kontekstual dan ekstramedia. Ia mengemukakan konsep analisis antarteks (intertextuality analysis) dengan istilah "Analisis Wacana Kritis" (Critical Discourse Analysis). Pendekatan ini disebut "wacana" (discourse) karena merupakan konsep yang digunakan oleh para ahli dan peneliti ilmu sosial dan ahli bahasa. Sedangkan disebut "kritis" (critical) karena keberadaannya diakui, baik dalam praktik sosial secara umum maupun dalam penggunaan bahasa secara khusus, memiliki hubungan sebab-akibat yang telah disadari sekalipun dalam kondisi yang normal. Wacana ini selalu merujuk pada penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Menurut Van Dijk, Critical Discourse Analysis lebih menekankan pada aspek sosiohistoris yang melingkupi struktur teks. Dengan demikian, tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai aspek-aspek sosiokultural yang melingkupi seluruh teks, termasuk juga memahami berbagai hal menyangkut struktur organisasi dan cara kerja dalam produksi teks. Sementara itu, media kini mengubah kehidupan masyarakat sehingga membentuk hiper realitas yang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

menjadi bagian fungsional dalam berbagai struktur masyarakat, terutama hadirnya televisi dan internet yang mengambil alih fungsi sosial manusia. Media perlu dikontrol untuk memberikan pendidikan politik, berupa membangun kesadaran masyarakat melalui saluran informasi media. Dengan demikian jelas bahwa media memiliki peran penting dalam sirkulasi pesan-pesan politik kepada masyarakat. Melalui media, seorang politisi dapat membangun pencitraan dirinya sehingga memiliki tingkat keterpilihan tinggi. 1. Kampanye Politik Kampanye adalah suatu proses kegiatan individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat (Arifin, 2003:23). Salah satu jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye politik yang ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui hubungan tatap muka maupun dengan menggunakan berbagai media, seperti surat kabar, radio, televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan selebaran serta medium interaktif melalui komputer (internet). Penyampaian pesan politik melalui media massa merupakan bentuk kampanye yang handal dalam hal menjangkau khalayak luas. a. Jenis dan Metode Kampanye Menurut Charles U Larson sebagaimana dikutip Gun Gun Heryanto terdapat 3 Jenis Kampanye yaitu :Product Oriented Campaign kampanye yang berorientasi pada produk, umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Candidate Oriented Campaign kampanye yang berorientasi pada kandidat, disebut sebagai political campaign (kampanye politik), Ideologically Campaign adalah jenis kampanye yang berorientasi kepada tujuan tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial b. Tujuan Kampanye Tujuan kampanye adalah untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan kognitif. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Kampanye pemilu berbeda dengan kampanye politik. Dalam proses mendialektikakan kampanye pemilu ke kampanye politik dengan apa yang dilakukan oleh media, menggambarkan bahwa kampanye pemilu dan kampanye politik itu sebenarnya berbeda. Menurut Firmanzah kampanye pemilu berbeda dengan kampanye politik, yang terjadi adalah kampanye politik dibonceng oleh media sebagai kampanye pemilu, bahwa penonjolan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

berita oleh media merupakan cara untuk curi start dalam kampanye pemilu. Kampanye pemilu itu sebenarnya tujuannya adalah menggiring pemilih ke bilik suara, orientasi pasar, orientasi dari hasil kerja kandidat. c. Kampanye dan Elektabilitas Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.Untuk meningkatkan elektabilitas maka sangat tergantung pada teknik kampanye yang dipergunakan. Ada kampanye yang menyentuh kepentingan rakyat, ada juga yang tidak. Ada kampanye berkedok sebagai survey, dengan tujuan untuk mempengaruhi orang yang sulit membuat keputusan dan sekaligus mematahkan semangat lawan. d. Kampanye Pencitraan Politik Citra politik adalah suatu gambaran tentang politik yang memiliki makna, walaupun tidak selamanya sesuai dengan realitas politik yang sebenarnya. Citra diri ini dapat terbentuk melalui pengalaman langsung (melalui pergaulan dan aktivitas yang lama dengan politisi tersebut) juga melalui pengalaman tidak langsung, yaitu media massa, karena media massa memiliki pengaruh dalam membentuk citra dan mengangkat status seseorang. 2. Pembentukan Pendapat Umum Pendapat umum adalah kompleks perferensi yang dinyatakan sejumlah orang tertentu mengenai isu yang mengyangkut kepentingan umum (Bernard Henessy). Apa yang dimaksud dengan pandangan umum adalah pandangan berbagai kalangan masyarakat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama mereka dalam suatu masyarakat. tercakup di sini adalah persetujuan atau tidak adanya persetujuan atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Proses pembentukan pendapat berkaitan erat dengan proses sosialisasi politik, partisipasi dan pengrekrutan politik. Robert Lane dan David Sears berpendapat, bahwa pendapat umum memberikan pengarahan. Ini berarti, bahwa beberapa individu akan menyetujui satu pandangan tertentu, sedangkan individu yang lain menentangnya. Memang tentang isu yang sama sering terdapat pendapat yang pro dan kontra. Di samping itu terdapat pula orang yang sama sekali tidak mempunyai pendapat tentang hal yang bersangkutan. Keterlibatan seseorang dalam penentuan pendapat tidak mengadaikan bahwa orang yang bersangkutan tahu banyak tentang masalah yang bersangkutan. Anda mungkin mau mengikuti pemilihan umum yang dimaksudkan untuk menetapkan para wakil rakyat. Tetapi anda belum tentu tahu siapa yang menjadi wakil anda di Dewan Perwakilan Rakyat.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memberikan pengaruh dalam proses interaksi sosial serta hubungan sosial yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya. Proses interaksi sosial dan hubungan sosial yang melibatkan komunikasi berakibat pada pola komunikasi contohnya pola komunikasi interpersonal maupun pola komunikasi organisasi. Berikut beberapa pengaruh penggunaan media sosial dalam berbagai tingkatan komunikasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Kiran Bala dalam artikelnya bertajuk Sosial Media and Changing Communication Patterns. 1. Media sosial dan komunikasi intrapersonal Media sosial memegang peranan yang sangat penting dalam mengekspresikan diri dan mempresentasikan diri. Apapun yang menurut kita penting, akan dikomunikasikan dengan orang lain. Ekspresi inilah yang digunakan untuk membentuk semacam citra atau gambaran di mata orang lain dan cenderung mengarah pada narsisme. Media sosial diciptakan untuk interaksi sosial dan memungkinkan terjadinya komunikasi secara lebih cepat, murah, kapanpun dan dimanapun. Di satu sisi, media bermanfaat dalam berkomunikasi dengan orang lain, namun di sisi lain, karena terhubung secara virtual setiap saat dengan status mutakhir dari situs media sosial menyebabkan pengguna media sosial justru tidak berkomunikasi satu sama lain di dunia nyata. Pengguna media sosial cenderung lebih sibuk berkomunikasi dengan pengguna media sosial lainnya dalam dunia maya bila dibandingkan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya orang tua atau anak atau kakak atau adik. Manusia seperti terjebak dalam dunia maya. Hal ini menyebabkan tidak adanya kedekatan dan dapat menurunkan kuantitas dan kualitas komunikasi interpersonal. Adalah benar apabila dikatakan bahwa media sosial merupakan salah satu dari hambatan-hambatan komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal karena melalui media sosial kita tidak dapat membaca komunikasi non verbal sebagai pelengkap dari proses komunikasi interpersonal. Selain itu, kehadiran media sosial juga berpengaruh terhadap penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, dalam artian isi pesan yang disampaikan secara tertulis melalui media sosial baik formal maupun non formal telah menyebabkan pengguna media sosial melakukan akronimisasi agar dapat sesuai dengan batasan karakter ditentukan oleh platform media sosial. Pesan tertulis dalam media sosial menyebabkan pengguna sosial harus mengintepretasikan tulisan dengan tepat karena apabila tidak maka komunikasi yang efektif melalui media sosial tidak akan dapat tercapai.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media sosial dan komunikasi kelompok Ketika teknologi media baru belum seperti sekarang, manusia cenderung untuk berinteraksi dengan manusia lainnya yang berada dalam kelompok atau organisasi tertentu secara regular. Namun dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang termasuk didalamnya perkembangan media sosial maka jumlah orang yang berinteraksi menjadi lebih besar. 3. Media sosial dan komunikasi publik Generasi muda dengan rentang usia antara 15-25 tahun menggunakan media baru khususnya media sosial untuk tetap terhubung dengan yang lainnya dalam isu-isu politik. Selain generasi muda, kesadaran penggunaan media sosial juga dilakukan oleh para politisi. Kini hampir setiap pimpinan partai politik, anggota partai politik, anggota parlemen, kalangan eksekutif serta jajaran pemerintahan lainnya telah menggunakan kekuatan media sosial untuk menyampaikan ide dan gagasan serta menyosialisasikan kebijakan publik yang telah dibuat. 4. Media sosial dan komunikasi massa Kehadiran media sosial turut berdampak pada media massa dalam berbagai aspek seperti format program, isi, perlakuan, serta bahasa. Sebagaimana yang telah kita ketahui, banyak sekali surat kabar nasional serta saluran televisi dan radio melakukan pengawasan isi atau isu-isu yang sedang popular diantara situs jejaring sosial untuk mendapatkan berita mutakhir di seluruh dunia. Pemutakhiran berita atau informasi yang dilakukan setiap 24 jam setiap hari pada berbagai situs berita menyebabkan terjadinya persaingan dengan media massa tradisional. Untuk menghindarinya, media massa tradional maupun media baru saling bekerja sama guna menjangkau massa yang lebih besar serta menguatkan pesan-pesan komunikasi yang menjadi minat target khalayak.

Kata strategi berasal dari bahasa Yunani klasik, yaitu “ stratos� yang artinya tentara dan kata “agein� yang berarti memimpin, dengan demikian, strategi dimaksudkan adalah memimpin tentara. Lalu muncul kata strategos yang artinya pemimpin tentara pada tingkat atas. Jadi, strategi adalah konsep militer yang bisa diartikan sebagai seni perang para jenderal (The art of general) Cangara (2009 : 292). Pada dasarnya dalam strategi ada prinsip yang harus dicamkan, yakni tidak ada sesuatu yang berarti dari segalanya kecuali mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh musuh, sebelum mereka mengerjakannya. Clausewitz (1780-1831) dalam Cangara (2009 ; 292) merumuskan strategi sebagai seni yang menggunakan sarana pertempuran untuk mencapai tujuan perang.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Marthin Anderson (1968) dalam Cangara (2009 ; 292) merumuskan strategi sebagai seni yang melibatkan kemampuan intelegensi/ pikiran untuk membawa semua sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan dengan memperoleh keuntungan yang maksimal dan efisien. Orang Yunani memahami strategi lebih dari sekedar berperang dalam pertempuran. Seorang Jenderal yang baik harus menentukan jalur suplai yang tepat, memutuskan kapan untuk berperang dan kapan tidak, dan mengelola hubungan angkatan bersenjata dengan penduduk, politis dan diplomat. Menurut kamus besar bahasa Indonesia dalam Arifin (2011: 130), strategi merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sesuatu. Strategi juga bisa bermakna sebagai rencana yang berskala besar dengan orientasi kepada masa depan untuk berinteraksi dengan lingkungan persaingan guna mencapai sasaran-sasaran tertentu. Strategi mencerminkan cara seseorang tentang bagaimana, kapan dan dimana seseorang harus bersaing, melawan siapa dan untuk maksud dan tujuan apa. Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku berjudul “Dimensi-dimensi Komunikasi� (1981 : 84) menyatakan bahwa : “.... strategi komunikasi merupakan panduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen (communications management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi�. Pendapat Effendi tersebut mendefinisikan strategi sebagai salah satu cara, siasat atau taktik operasional yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perkembangannya, konsep strategi terus mengalami perubahan dan perkembangan. Masalah-masalah dalam strategi sering diakitkan dengan metode, teknik dan taktik, begitupula dalam perumusan strategi komunikasi. Strategi komunikasi (Effendi, 2000) baik secara makro (Planned multimedia strategy) maupun mikro (single communication medium strategy) mempunyai fungsi ganda, yaitu : a. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif dan instruksi secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. b. Menjembatani kesenjangan budaya (cultural gap) akibat kemudahan dioperasionalkannya media massa yang selalu ampuh dan jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Strategi komunikasi yang dikemukakan oleh Arifin (Effendi : 2000) agar dapat menghasilkan komunikasi efektif, harus dilakukan hal-hal yakni (1) mengenal khalayak, (2) penyusunan pesan (3) penentuan teknik penyampaian pesan dan (4) memilih media. 1. Mengenal khalayak Khalayak dalam pemilihan umum dikenal dengan pemilih, pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Memahami faktor-faktor yang melatar belakangi pemilih dalam menyuarakan pendapatnya merupakan sesuatu yang penting, baik dalam teori maupun praktik (Quist &Crano) dalam Firmanzah (2012 : 99). Salah satu model psikologis yang dapat digunakan dalam menganalisis perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya adalah model kesamaan dan daya tarik. Menurut model ini setiap individu akan tertarik pada suatu hal atau seorang yang memiliki sistem nilai, dan keyakinan yang sama dengan dirinya sendiri. Dalam bahasa lain, semakin dua pihak berbagi karakteristik yang sama akan semakin meningkat pula rasa saling tertarik satu sama lain. Terdapat dua hal yang dapat dilakukan oleh kontestan menurut perspektif ini. Pertama, kontestan pemilu beruasaha memetakan dan kemudian mencoba memahami karakteristik disetiap kelompok masyarakat. Kemudian setiap kontestan berusaha menciptakan karakteristik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Kedua, kesamaan karakteristik ini dapat digunakan sebagai instrumen untuk mencari pendukung. Tema kampanye dan slogan politik harus memiliki derajat kesamaan yang tinggi dengan apa yang dialami masyarakat agar masyarakat tertarik dengan kandidat tersebut. Semakin isu politik mencerminkan apa yang dialami masyarakat, semakin besar pula kemungkinan kontestan bersangkutan memenangkan pemilu. pemilih dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni konstituen, non-partisan dan pendukung pesaing. Ketertarikan pemilih pada kontestan dapat dijelaskan dengan menggunakan model kedekatan (proximity) atau model ‘spatial’ (Downs, 1957) pada model ini pemilih akan cenderung memberikan suaranya kepada partai politik atau seorang kontestan yang dianggap memiliki kesaaman serta kedekatan sistem nilai dan keyakinan. Dua hal yang bisa dijadikan ukuran dalam kedekatannya dengan partai politik atau kontestan yaikni; kesamaan mengenai cara pemecahan masalah (policy-problem-solving), dan kesamaan dalam paham serta nilai dasar ideologi (ideology) dengan salah satu partai politik atau seorang kontestan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pada dasarnya pertimbangan pemilih dipengaruhi oleh tiga faktor : a. Kondisi awal pemilih, menyangkut sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemilih, level pendidikan, dan ekonomi pemilih. b. Media massa. Data, informasi, dan berita media massa, ulasan ahli, permsalahan terkini, dan perkembangan tren situasi. c. Partai politik atau kontestan. Catatan kerja, reputasi, marketing politik, program kerja, dan sistem nilai. Memahami khalayak pemilih dalam pemilihan umum dapat di lakukan dengan cara segmentasi,targeting dan positioning politik. Kontestan pemilu harus mampu mengidentifikasikan kelompok-kelompok yang terdapat dalam masyarakat untuk memudahkan memahami karakteristik setiap kelompok masyarakat, aktivitas ini dikenal dengan segmentasi. Setiap kelompok masyarakat memerlukan metode pendekatan dan komunikasi yang berbeda, seperti masyarakat pedesaan memerlukan metode pendekatan komunikasi yang berbeda dengan masyarakat perkotaan karena kondisi latar belakang yang berbeda. Segmentasi diperlukan untuk menyusun program kerja partai, terutama cara berkomunikasi dan membangun interaksi dengan masyarakat. Tanpa segmentasi, kontestan akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik. Dengan mengimplementasikan segmentasi berarti partai politik atau kontestan menggunakan pendekatan politik yang berbasis informasi (information-based) yaitu partai politik mencari, menyerap dan mengolah informasi tentang kondisi yang ada dalam masyarkat.(Firmanzah : 2012). Melalui segmentasi kontestan dapat menyusun profil pemilih yang akan menjadi target politik nantinya, aktivitas ini di sebut targeting secara politik. Menyusun target politik didasarkan pada standar pengukuran jumlah dan besaran potensi pemilih. Kelompok masyarakat yang memiliki populasi besar merupakan target politik yang menggiurkan untuk didekati, karena merekalah penyumbang perolehan suara dalam jumlah besar. Standar pengukuran lainnya adalah arti penting dan efek kelompok dalam memengaruhi opini publik, meskipun kelompok masyarakat tidak memiliki besaran yang signifikan pengaruh mereka dalam mempengaruhi opini publik menjadikannya layak didekati oleh kontestan pemilu. Setelah targeting dilakukan langkah selanjutnya adalah positioning, yaitu menempatkan pesan politik dan produk politik kepada segment yang dipilih secara tepat dan sesuai untuk menciptakan identitas kontestan dimata khalayak pemilih. (Firmanzah :2012).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Firmanzah dalam Marketing Politik (2012), teknik segmentasi dapat dilakukan dengan mengelompokkan masyarakat berdasarkan karakteristiknya, yaitu : a.

Geografis. Masyarakat disegmentasi berdasarkan geografis dan kerapatan (density) populasi. Misalnya produk dan jasa yang dibutuhkan oleh orang yang tinggal dipedasaan akan berbeda dengan produk politik yang dibutuhkan oleh orang perkotaan. Begitu juga antara pegunungan dengan pesisir, masing-masing memiliki kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain. b. Demografi. Konsumen politik dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial. Masing-masing kategori memiliki karakteristik yang berbeda tentang isu politik satu dengan yang lain. Sehingga perlu untuk dikelompokkan berdasarkan kriteria demografi. c. Psikografi. Memberikan tambahan metode segmentasi berdasarkan geografi. Dalam metode ini segmentasi dilakukan berdasarkan kebiasaan, lifestyle, dan perilaku yang mungkin terkait dalam isu-isu politik. d. Perilaku. Masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan proses pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan isu politik, loyalitas, dan perhatian terhadap permasalahan politik. Masing-masing kelompok memiliki perilaku yang berbeda-beda, sehingga perlu untuk diidentifikasi e. Sosial budaya. Pengelompokkan masyarkat dapat dilakukan melalui karakteristik sosial dan budaya. Klasifikasi seperti suku, etnik, dan ritual spesifik seringkali membedakan intensitas, kepentingan dan perilaku terhadap isu-isu politik. f. Sebab-Akibat. Metode ini mengelompokkan masyarakat berdasarkan perilaku yang muncul dari isu-isu politik. Sebab-akibat ini melandaskan metode pengelompokkan berdasarkan perspektif pemilih (voters). Pemilih dapat dikelompokkan berdasarkan pemilih rasional, tradisional, kritis, dan pemilih mendua. Pada segmentasi politik, sangat perlu memperhatikan unsur pemilih. Tipe perilaku pemilih menurut Dan Nimmo dalam (Arifin : 2013) terdiri atas: 1) Tipe rasional, pemberi suara rasional yang turut mempengaruhi suara kebanyakan warga Negara, berminat terhadap politik, aktif berdiskusi dan mencari informasi politik serta dapat bertindak konsisten tanpa terpengaruh oleh tekanan atau kekuatan politik. 2) Tipe reaktif, pemberi suara yang memiliki ketertarikan emosional dengan partai politik. Ikatan emosional sebagai identifikasi partai, yakni sebagai sumber utama aksi diri dan pemberi suara yang reaktif.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Tipe responsif, pemberi suara yang mudah berubah dan mengikuti waktu, peristiwa politik, dan kondisi-kondisi sesaat. 4) Tipe aktif, pemberi suara yang terlibat aktif dalam menafsirkan personalitas, peristiwa, isu, dan partai politik, dengan menetapkan dan menyusun maupun menerima serangkaian pilihan yang diberikan. Arifin dalam “politik pencitraan dan pencitraan politik” (2013:109) mengemukakan adanya satu tipe lagi yaitu tipe transakasional, yaitu individu-individu yang mengambil keputusan dari sejumlah opsi berdasarkan “transaksi” berupa “hadiah atau fasilitas”. Meskipun simpatisan atau anggota dalam satu partai, ia dapat memilih kandidat dari partai lain berdasarkan transakasi yang dikenal sebagai aplikasi dari “politik uang (money politiks) yang berlangsung dalam pasar gelap politik. Selain itu terdapat klasifikasi khalayak berdasarkan kelas (strata) seperti kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Dan adapula klasifikasi yang lain seperti kelompok buruh, pengusaha, petani, nelayan, cendekiawan, agamawan, perempuan, pemuda dan sebagainya. Namun ada juga tindakan politik atau perilaku pemilih yang sengaja tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam pemilu, merupakan bentuk kegagalan sosialisasi politik dan komunikasi politik. Juga sebagai bentuk tidak efektifnya pemasaran politik atau kampanye politik terutama dalam pemilu. Jenis-jenis segmentasi untuk kepentingan pengembangan program partai yaitu pertama segmentasi eksperiential politik yakni mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami terhadap partai-partai politik. Kedua Segmentasi perilaku ekonomi, menyegmentasikan sebuah daerah berdasarkan atribut yang menumbuhkan atau menjatuhkan perekonomian yang dapat berguna dalam pembuatan program pemberdayaan masyarakat, dalam taraf ekonomi. Ketiga Segmentasi lingkungan sosial, melalui segmentasi sosial, kandidat dapat melihat potensi antara anggota masyarakat, dan potensi pertalian antaranggota masyarakat. (Wasesa : 2011). 2. Penyusunan Pesan Penentuan isi pesan dimaksudkan pengemasan tema dan materi yang dibutuhkan dalam mempengaruhi khalayak atas penyampaian pesan tersebut, sehingga mampu membangkitkan perhatian. Hal ini sesuai dengan AA Procedures atau From Attention To Action Procedure. Artinya membangkitkan perhatian (attention) untuk selanjutnya menggerakkan khalayak melakukan sesuatu (action) sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Selain itu dikenal pula AIDDA yakni adaption process yang terditi dari attention, interest, desire, decision dan action.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Artinya dimulai dengan membangkitkan perhatian (attention), kemudian menimbulkan minat dan kepentingan (interest), sehingga banyak memiliki hasrat (desire) untuk menerima keputusan dan mengamalkannya dalam tindakan (action) (Arifin : 2013). Menurut Wilbur Schramm yang dikutip oleh Lynda Lee Kaid dalam bukunya Political Communication Research (2004), pesan yang akan disampaikan oleh seorang komunikator, hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a.

Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga pesan memiliki nilai dalam menarik perhatian khalayak yang dituju. b. Pesan haruslah menggunakan simbol-simbol yang didasarkan pada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga memilki kesamaan pengertian. c. Pesan haruslah membangkitkan sugesti pribadi akan suatu kebutuhan (dalam hal ini kebutuhan akan kondisi politik yang stabil) sehingga dapat menyarankan cara-cara untuk mencapai kebutuhan itu. d. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan yang layak bagi situasi kelompok dimana terdapat kesadaran saat digerakkan untuk memberikan jawaban yang dikehendaki. Strategi mengemas pesan politik sangat berperan dalam mengarahkan cara masyarakat memaknainya. Pesan yang diangkat harus sesuai dengan isu-isu politik yang sedang berkembang dalam masyarkat. Pesan politik harus mampu membuka dan mengungkapkan telah terjadinya suatu masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Selanjutnya pesan tidak hanya berupa wacana namun mengandung solusi, pesan politik harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat agar bisa memperoleh perhatian publik. Tujuan utama pesan politik adalah menggerakkan masyarakat, agar mudah dipahamai pesan pesan politik harus dikemas sesuai dengan lapisan dan segmen masyarakat.

Untuk masyarakat awam, yang memiliki latar belakang pendidikan rendah pesan politik harus dikemas sesederhana mungking tanpa menghilangkan esensi pesan politiknya, sebaliknya untuk masyarakat golongan terpelajar pesan dikemas dengan data dan informasi yang akurat. Selain itu pesan yang akan disampaikan harus memiliki identitasnya tersendiri, tidak hanya sesuai dengan ideologi partai. (firmanzah : 2012) Pesan politik dalam pemilihan umum, merupakan produk politik yang dipasarkan kepada konsumen dalam hal ini pemilih. Produk politik berupa intangible produk atau produk tidak nyata yang sangat terkait dengan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sistem nilai, didalamnya melekat janji dan harapan akan masa depan. Niffenegger (1989) membagi produk politik dalam tiga kategori, (1) party platform (platform partai), (2) past record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan dimasa lampau), dan (3) personal characteristic (ciri pribadi). Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform, yang berisikan konsep, gagasan-gagasan, identitas ideologi partai dan program kerja partai. Apa yang pernah dilakukan partai politik atau kandidat di masa lampau berkontribusi dalam pembentukan produk politik. Ciri seorang pemimpin atau kandidat memberikan citra simbol, dan kredibilitas sebuah produk. (firmanzah 2012 : 200). Menyusun suatu produk politik dapat dimulai dengan menciptakan branding atau merek politik yang menjadikannya berbeda dengan yang lain. Branding politik adalah sesuatu yang melekat dalam benak khalayak terhadap partai politik. Kata kunci branding politik adalah menciptakan kebutuhan yang berguna bagi khalayak, branding politik dapat menjadi diferensiasi bagi parpol/politisi yang satu dengan lainnya. Dalam proses branding, perlu adanya rehabilitasi merek demi mendapatkan loyalitas khalayak. Politisi harus melakukan pembaharuan, pencerahan, atau apapun namanya agar konstituen mereka selalu mendapatkan keuntungan dari partai pilihannya minimal setiap bulan sekali perlu di lakukan. Selain itu perlunya publik relation dalam mewakili organisasi politik untuk membicarakan nilai-nilai politik, Lima langkah dalam membentuk nilai merek yaitu: 1) Inovasi, melakukan inovasi program-program politik. Inovasi program yang berkesinambungan dan terukur akan mampu merebut simpati masyarakat pemilih. 2) Asosiasi merek, membangun asosiasi merek dengan sesuatu yang relevan dimasyarakat, yang mampu diasosiasikan sebagai solusi yang dibutuhkan oleh masyarakat. 3) Pembaruan fungsi produk dan atau program, memperbaharui dan mengembangkan program yang sudah ada, dengan memberikan nilai baru pada program yang sudah ada, dengan berbasis pada hasil evaluasi program yang ada. 4) Konsep paradoksal, dengan konsep paradoksal nilai merek akan semakin kuat, konsep paradoks yang unik akan memicu perhatian publik dibandingkan konsep biasa. 3. Teknik Penyampaian Pesan Teknik penyampaian pesan menurut cara pelaksanaannya dibedakan atas : a. Redundancy (Repetition) yakni cara mempengaruhi khalayak dengan jalan mengulang pesan kepada khalayak. Manfaat yang diperoleh dengan teknik ini adalah bahwa khalayak akan lebih memperhatikan pesan itu.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

b. Canalizing adalah memahami dan meneliti pengaruh kelompok terhadap individu dan khalayak. Agar komunikasi ini berhasil, maka haruslah dimulai dengan memenuhi nilai-nilai dan standard kelompok dan masyarakat, kemudian secara berangsur-angsur mengubahnya ke arah yang dikehendaki. Bentuk yang kedua adalah teknik penyampaian pesan menurut isi pesan, yang terdiri atas : ďƒž Informatif adalah teknik penyampaian pesan yang bertujuan mempengaruhi khalayak dengan jalan memberikan penerangan. Penerangan berarti menyampaikan pesan berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar serta pendapat-pendapat yang benar pula. ďƒž Persuasif berarti mempengaruhi dengan jalan membujuk. Dalam hal ini khalayak digugah baik pikiran maupun perasaannya. Metode yang digunakan dalam teknik ini adalah komunikator tidak memberi kesempatan kepada komunikan untuk berpikir kritis, bahkan jika perlu komunikan dapat terpengaruh secara tidak sadar (suggestif). c. Educatif merupakan salah satu mempengaruhi khalayak dengan menyampaikan pesan-pesan berisi pendapat-pendapat, fakta-fakta dan pengalaman-pengalaman yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dilakukan dengan sengaja, teratur dan berencana, dengan tujuan mengubah tingkah laku manusia kearah yang diinginkan. d. Koersif yakni teknik penyampaian pesan untuk mempengaruhi khalayak dengan cara memaksa. Sehingga pesan yang disampaikan oleh komunikator selain berisi pendapat-pendapat juga berisi ancamanancaman. Teknik ini biasa dimanifestasikan dalam bentuk peraturan, perintah dan intimidasi. Agar pelaksanaannya lebih efektif, biasanya dilindungi oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan yang cukup tangguh. Teknik penyampaian pesan politik terkait juga dengan proses penempatan. Place atau penempatan berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berarti sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis. Secara geografis identifikasi dapat dilakukan dengan melihat konsentrasi penduduk disuatu wilayah, penyebarannya dan kondisi fisik geografisnya. Sedangkan pemetaan berdasarkan demografis yaitu pemilih dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, kelas sosial, pemahaman akan dunia politik, kepercayaan agama dan etnis. Pemetaan juga perlu dilakukan berdasarkan keberpihakan pemilih. (Firmanzah : 2012)


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Proses penempatan juga terkait dengan sistem distribusi atau penyaluran pesan. Distribusi produk politik sangat erat kaitannya dengan mekanisme jangkauan dan penetrasi produk politik sampai kedaerah dan pelosok. Masyarakat yang berada sangat jauh akan dapat merasakan bahwa produk politik suatu kontestan lebih baik dibandingkan dengan kontestan lain. Pemilihan media seperti internet, radio, TV, koran, majalah, brosur, pamflet, yang diedarkan kedaerah merupakan salah satu bentuk fisik dari distribusi dalam konteks marketing politik. Selain itu kunjungan partai politik dan kontestan kedaerah-daerah juga bisa dikategorikan distribusi politik. Pemilihan daerah mana yang perlu dikunjungi merupakan suatu permasalahan yang tidak sederhana. Apakah produk politik cukup didistribusikan melalui media atau harus datang dan bertatap muka secara langsung dengan masyarakat, juga harus diperhatikan dalam distribusi politik. (Firmanzah :2012). 4. Penggunaan Media Penggunaan media lebih kepada pertimbangan tentang saluran yang paling efektif yang akan digunakan dalam mentransfer pesan kepada khalayak. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan media langsung (face to face) dan media massa. Penggunaan media terkait dengan kegiatan promosi produk politik. Promosi menurut Shimp, Terrence (2003) adalah meliputi praktek periklanan, personal selling, publisitas dan point of purchase communication (P-O-P). Point Of Purchase Communication adalah komunikasi di tempat pembelian. Elemen promosi, termasuk displai, poster, tanda-tanda dan variasi bahan-bahan di toko lainnya, yang di desain untuk mempengaruhi pilihan pelanggan pada saat pembelian. Promosi merupakan cara partai dalam melakukan promosi platform partai dan ideologi selama kampanye pemilu. Berupa periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah partai yang di mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dalam hal ini pemilihan media perlu dipertimbangkan. Tidak semua media tepat sebagai ajang untuk melakukan promosi, perlu dipikirkan media apa yang paling efektif dalam mentransfer pesan politik. Pemilihan media merupakan salah satu faktor yang penting dalam penetrasi pesan politik ke publik. Mengetahui adanya perbedaan tingkat penetrasi media (internet, TV, radio, media cetak seperti koran dan majalah dalam suatu wilayah penting dilakukan demi menjamin efektifitas pesan politik yang akan disampaikan. Promosi bisa dilakukan melalui debat politik di TV, melakukan pengerahan massa dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah “Tabligh-Akbar� atau “Temu Kader�. Lambang, simbol, dan warna bendera partai yang disebar melalui pamflet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

merupakan media promosi intitusi politik. Kegiatan promosi ini seharusnya tidak hanya dilakakuan pada masa menjelang kampanye, tetapi harus terus dilakukan agar publik selalu merasakan kehadiran intitusi politik, selalu memberikan perhatian, menampung dan memecahkan persoalan publik sehingga tumbuh kepercayaan publik dalam proses interaksi itu terhadap institusi politik. (Arifin : 2013) Selain media antarpersonal dan media massa berkembang media baru atau media sosial yaitu internet (international networking). Internet merupakan sistem jaringan yang menghubungkan seluruh dunia. Dengan membawa pengaruh yang besar dalam komunikasi antarpersona, meliputi (1) pengumpulan informasi, (2) penyimpanan informasi, (3) pengolahan informasi, (4) penyebaran informasi, dan (5) balikan informasi (umpan balik). Dengan pengaruh itu masyarakat dapat melakukan kegiatan jarak jauh, seperti berpencitraan politik jarak jauh. Seperti penggunaan telpon seluler (SMS), twitter, facebook, danblog. Penggunaan media sosial dalam berpolitik pencitraan ini dikenal dengan kampanye online.(Arifin : 2013) Strategi pemilihan media perlu mempertimbangkan unsur biaya atau harga yang harus dikeluarkan dalam proses kampanye atau sosialisasi politik. Harga mencakup banyak hal, mulai ekonomi, berupa biaya iklan, publikasi, biaya ‘rapat akbar’ sampai kebiaya administrasi pengorganisasian tim kampanye. Harga psikologis, mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan negara.(Arifin : 2013) Didukung berkembangnya sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis seperti sekarang ini, maka fungsi dan peranan saluran media massa baik cetak maupun media elektronik, radio, internet dan ditambah dengan banyaknya saluran stasiun televisi yang bermunculan baik secara nasional atau TV lokal daerah ikut menggiatkan atau menyebarluaskan pesan-pesan. Pemberitaan atau informasi melalui berbagai bentuk komunikasi pemasaran, dan pemasaran politik, program kampanye politik melalui saluran media publikasi, public relations, promosi, kontak personal dan kreativitas periklanan politik (political advertising) yang terpapar secara luas tanpa sekat atau bahkan melampaui batas-batas negeri atauborderless country kepada seluruh para pemirsanya tanpa terkecuali.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dikaitkan dengan pembahasan penyebarluaskan arus informasi dalam era globalisasi tersebut terdapat mitos yang mampu menciptakan ketiadaan ruang, jarak dan waktu sebagai akibat kebebasan masyarakat memperoleh informasi secara bebas, langsung tanpa tekanan, tidak ada lagi batasan teritorial, tidak ada lagi sesuatu peristiwa atau kejadian tanpa kecuali yang dapat ditutup-ditutupi oleh setiap negara, lembaga lainnya dan termasuk upaya perorangan ingin menyembunyikan sesuatu informasi demi kepentingan sepihak. Pendekatan kampanye politik atau political campaign approach untuk mendukung penggiatan pemasaran politik atau political marketing activity tersebut sebagai upaya selain bertujuan, sebagai berikut: 1. Membentuk preferensi bagi pihak setiap pemilih dalam menentukan suaranya. Ingin merangkul simpati pihak kelompok-kelompok atau the third influencer of person and groupsseperti tokoh masyarakat, agama, adat, eksekutif dan artis atau selebritis terkenal lainnya. 2. Memiliki daya tarik bagi kalangan media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk memanfaatkan penggunaan atribut kanpanye, poster, spanduk, iklan politik di media-massa, termasuk melalui situs atau blog internet untuk mempengaruhi pembentukan opini publik dan citra secara positif demi kepentingan membangun popularitas tinggi atau menebar pesona sang kandidat dan aktivitas parpol yang bersangkutan sebagai kontestan yang siap berlaga dalam setiap siklus pelaksanaan Pemilihan Umum 3. Kekuatan media massa dalam melakukan rekayasa opini dan pembentukan opini publik inilah yang kerap dimanfaatkan dalam politik pencitraan oleh kandidat, partai politik, yang berkepentingan terutama menjelang pemilu. Keberhasilan suatu strategi komunikasi politik oleh partai politik dalam merencanakan dan melaksanakan, akan ikut berperan pada hasil perolehan suara partai politik dalam pemilu. Menurut Firmanzah (2012: 244) strategi komunikasi politik sangat penting untuk dianalisis. Soalnya, strategi tersebut tidak hanya menentukan kemenangan politik pesaing, tetapi juga akan berpengaruh terhadap perolehan suara partai. Strategi memberikan beberapa manfaat melalui kegiatan taktiknya yang mampu membangun dan menciptakan kekuatan melalui kontinuitas serta konsistensi. Selain itu, arah strategi yang jelas dan disepakati bersama akan menyebabkan perencanaan taktis yang lebih mudah dan cepat. Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah usaha, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendi, 2000: 300).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Strategi komunikasi politik dibuat dan di realisasikan demi mencapai tujuan politis. Komunikator politik harus cerdas dalam memilih konsep yang akan digunakan. Dalam hal strategi komunikasi politik, marketing mengajarkan bagaimana partai politik bisa mendiferensiasikan produk dan image politiknya, dengan begitu, masyarakat luas akan dapat mengenali identitas masing-masing partai dan kontestan perorangan. 5. Teori Kritis Dalam Media Baru Dan Komunikasi Verbal Teori-teori dalam tradisi ini sangat concern pada bagaimana kekuasaan, penindasan, dan hak istimewa yang merupakan produk dari bentuk-bentuk tertentu dari komunikasi seluruh masyarakat, membuat tradisi kritis menjadi signifikan dalam bidang teori komunikasi saat ini. Pandangan Karen dan Foss (2008 : 46), ada tiga fitur penting yang menjadi asumsi penting untuk bisa memahami secara jernih perspektif ini, yaitu : 1.

Tradisi kritis berusaha untuk memahami sistem, struktur kekuasaan dan keyakinan atau ideologi yang selama ini dianggap sebagai taken for granted – dan telah mendominasi masyarakat, dengan sebuah pandangan khusus untuk kepentingan “melayani” siapakah strukturstruktur kekuasaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan seperti, misalkan, “who does and does not get to speak”; “what does and does not get said”; dan “who stands to benefit from a particular system”, merupakan pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan oleh tradisi kritis dalam setiap kajian-kajian yang dilakukan

2.

Teori-teori dalam tradisi ini sangat tertarik untuk mengungkapkan kondisi-kondisi sosial yang menindas dan penggunaan kekuasaan dalam rangka untuk meningkatkan emansipasi, atau menciptakan masyarakat yang bebas dari dominasi dan penindasan. Teori ini, salah satunya, memang diarahkan untuk mengetahui terjadinya penindasan oleh satu kelompok dominan terhadap kelompok lain . Sebab, dalam pandangan tradisi ini, hanya dengan memahami dan mengetahui penindasan yang terjadi, kita dapat menghilangkan apa yang disebut dengan ilusi ideologi serta untuk mengambil tindakan dalam mengatasi kekuasaan yang menindas untuk membebaskan masyarakat.

3.

Teori kritis merupakan upaya sadar untuk memadukan teori dan praxis (tindakan). Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan kondisi yang dapat mempengaruhi masyarakat, atau sebagaimana dikatakan Della Pollock dan J. Robert Cox, “to read the world with an eye towards shaping it”. Penelitian kritis bertujuan untuk mengungkapkan cara di mana kepentingan-kepentingan antar kelompok saling bersaing dan berbenturan, serta di mana konflik diselesaikan untuk mendukung kelompok-kelompok tertentu atas yang lain.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Pesan (messages) digunakan oleh kelompok tertentu untuk memperkuat penindasan terhadap kelompok lainnya dalam masyarakat, adalah salah satu kajian yang menarik dalam ilmu komunikasi. Khususnya teks media, digunakan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan dominan dan penindasan terhadap kelompok tertentu. Selain itu perlunya evolusi atau perubahan besar dalam penyampaian pesan melalui media baru yang di harapkan masyarakat yang flexibel dan luwes dalam era digital yang sudah dirasa sangat berpengaruh dalam dunia seharihari kita. Pada era modern, ilmu komunikasi kemudian menjelma menjadi sebuah bidang kajian lintas disiplin (interdisciplinary), yang secara tegas menantang semua bentuk batasan-batasan konvesional, baik teoritis maupun metodologis.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB IV MEDIA BARU DAN TRANSFORMASI KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

Sejalan dengan iklim kebebasan dan perkembangan teknologi komunikasi kajian dan praktek komunikasi politik juga semakin menarik. Praktek komunikasi politik tidak lagi monoton dan dikontrol oleh pemerintah. Praktek komunikasi politik saat ini selain bentuk yang makin dinamis dan atraktif, juga kualitasnya sudah makin baik. Sekarang ini praktek komunikasi politik tidak hanya terjadi menjelang Pemilu lima tahunan, tetapi berlangsung hampir setiap saat sejalan dengan pemilihan Gubernur, Bupati/walikota dipilih secara langsung. Praktek tersebut bisa dilihat dari kampanye, debat kandidat, pencitraan sampai pada jajak pendapat. Dalam dunia politik sarat dengan praktik komunikasi politik, mulai dari pemasaran politik hingga lobi dan negosiasi. Hal ini kian meneguhkan penguasaan komunikasi politik menjadi keniscayaan dalam praktik politik modern, terlebih di tengah pasar pemilih demokrasi elektoral seperti sekarang. Komunikasi politik tak sekadar kajian teoritis dan konseptual, tapi sudah menjadi ilmu terapan dalam ranah komunikasi yang selalu dinamis. Komunikasi politik strategis untuk dikuasai dan diimplementasikan di era media baru. Gun Gun dan Shulhan menggaris bawahi bahwa perjalanan komunikasi politik sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama, ditandai dengan dominannya retorika sebagai aktivitas komunikasi politik. Pada generasi pertama ini aktor politik mengandalkan kemampuan seni berbicara (art of speech) misalnya debat publik untuk memengaruhi kebijakan hingga kritik terhadap sistem yang disampaikan melalui kekuatan berbicara. Generasi kedua, dijadikannya media massa sebagai saluran politik. Media massa seperti radio, televisi, koran, majalah, dan sebagainya kerapkali digunakan untuk kampanye, propaganda politik, publicrelationspolitik, dan lain-lain. Aktivitas itu disebarkan kepada khalayak melalui media massa yang bersifat serentakatau one-to-many. Generasi ketiga, ditandai dengan perkembangan new media. Hal ini diperkuat dengan semakin banyaknya media sosial seperti situs jejaring sosial (sosial network site) dan weblog interaktif dalam jalinan komunikasi antarwarga. Hadir-nya ruang publik baru (new public sphere) dengan menciptakan komunitas-komunitas virtual dalam kehidupan modern sudah tak terbantahkan lagi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Ramainya penggunaan internet melahirkan peradaban baru komunikasi politik termasuk munculnya sejumlah terminologi baru seperti cyber democracy, cyber protest, dan new public sphere untuk tautan gagasan, pemikiran, dan partisipasi politik. Contoh kasus kontemporer adalah Wikileaks dengan gerakan hachtivism yang digagas Julian Assange. Gerakan ini menjadi fenomena komunikasi politik yang tak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik. Sesuai dengan cermatan Blumler dan Kavanagh (1999), tentang kemunculan “third age of political communication�, media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru dengan melimpahnya informasi di dunia virtual. Hadirnya media baru menjadi dinamika tersendiri bagi komunikasi politik yang digunakan para aktor politik. Pengguna internet (netizens) semakin signifikan dalam politik. Tipologi netizen seperti publicist, hactivist, propagandist, disseminator pun menjadi warna baru yang membuat kanal media baru kian menghadirkan komunikasi politik yang mudah dan interaktif. Penggunaan internet dalam komunikasi politik semakin intensif dan meluas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia. Tercatat pengguna internet di Asia sebanyak 922.329.554, sekitar 44% pengguna internet ada di Asia, sementara 56% tersebar di kawasan lain seperti di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7%), di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7%), di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3%), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna (13%), di Amerika Latin ada 215.939.400 pengguna (10,3%), dan Oceania/Australia ada 21.293.830 pengguna (1%). Jelas bahwa pengguna internet terbesar ada di Asia. Tercatat di data internetworldstat. com pada 2016 ada sekitar 59 juta pengguna internet di Indonesia. Banyaknya aktor politik yang juga memiliki akun di Facebook, Twitter, dan sejumlah sosial media lain menandakan fenomena pencitraan itu tidak bisa dihindari dalam laju perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, hadirnya teknologi seharusnya turut memperbaiki kualitas komunikasi politik dalam demokrasi Indonesia.

Seiring perkembangan Tekhnologi Informasi saat ini yang begitu pesat, dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, berkomunikasi mungkin tidak sesukar dulu, pengaruh perkembangan tehnologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara komunikasi manusia. Salah satu dari tekhnologi informasi dan komunikasi tersebut adalah sosial media yang sedang menjadi trend di masyarakat khususnya kaum muda dalam berkomunikasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kegiatan para pemimpin politik tidak bisa dilepaskan dari kegiatan berpolitik. Disamping itu para pemimpin itu memanfaatkan segala jenis media massa baik media tradisional maupun media baru (sosial media) seperti twitter, facebook, youtube. Kata politik memang mengandunng banyak arti, begitupun konsep komunikasi politik. Paling tidak kita sependapat dengan Laswell (1963) yang merumuskan formula bahwa politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana caranya (who gets whats, when, how) Artinya siapa yang melakukan aktivitas politik dengan maksud mencapai bersama pada waktu tertentu dengan cara memanfaatkan pengaruh (influenze), wewenang, kekuasaan atau kekuatan (Arifin, 2011:3) Di era kekinian, beragam media komunikasi digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan politik termasuk didalamnya media baru, sebenarnya apa peran penting sosial media dalam komunikasi politik. Bagaimana peran sosial media dalam komunikasi politik? Menurut Rusadi Komunikasi politik itu adalah untuk meghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah. Menurut Astrid, Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganegaranya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Secara filosofis kajian komunikasi politik adalah kajian tentang hakikat kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Dalam komunikasi politik yang dimaksud dengan komunikator yaitu individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan, individu-individu yang berada dalam suatu institusi, asosiasi, partai politik, lembaga-lembaga pengelola media massa dan tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan komunikan dalam komunikasi politik adalah dapat bersifat perorangan (individual), kelompok (group), dapat berupa institusi, organisasi, masyarakat, partai politik, dan dapat pula negara atau pemerintah negara lain. Isi pesan (konten) dalam komunikasi politik berada pada struktur formal, dan mengalir berdasarkan jenjang struktur kekuasaan sampai pada sasaran. Media komunikasi politik memiliki arti yang cukup penting, karena media komunikasi menjadi pusat perhatian penguasa sebagai alat untuk mendapatkan legitimasi rakyat didalam melakukan kebijaksanaan dan sekaligus memperkuat kedudukan penguasa melalui pesan-pesan komunikasi yang telah diinterpretasikan kedalam simbol-simbol kekuasaan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Lasswell memandang bahwa suatu proses komunikasi selalu mempunyai efek atau pengaruh. Sehingga, model Lasswell ini menstimuli riset komunikasi di bidang komunikasi politik. Model ini menunjukkan bahwa pihak komunikator pasti mempunyai keinginan untuk mempengaruhi pihak penerima. Oleh karena itu, komunikasi dipandang sebagai upaya persuasi. Upaya penyampaian pesan akan menghasilkan akibat baik positif maupun negatif. Menurut Lasswell hal ini hanya ditentukan oleh bentuk dan cara penyampaiannya. Tidak semua komunikasi bersifat dua arah, dengan suatu aliran yang lancar dan umpan balik yang terjadi antar pengirim dan penerima. Dalam suatu masyarakat banyak informasi yang disaring oleh pengendali pesan, yang menerima informasi dan menyampaikannya kepada publik dengan beberapa perubahan atau penyimpangan. Fungsi penting komunikasi adalah menyediakan informasi mengenai negara- negara kuat lainnya di dunia. Penting bagi suatu masyarakat untuk menemukan dan mengendalikan faktor- faktor yang mengganggu komunikasi yang efisien. Menurut pendapat Laswell tersebut komunikasi tentunya merupakan penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media komunikasi tertentu dan untuk menghasilkan efek tertentu, kaitannya dengan media tertentu dalam maklah ini akan dibahas adalah menggunakan media baru yaitu berupa sosial media seperti facebook, twitter, youtube, dsb. Sejauh mana peran media baru tersebut dalam komunikasi politik yang dilakukan oleh para pemimpin politik atau aktor-aktor politik guna mendapatkan kekuasaan. Sosial Media Media sosial atau sosial media adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content�. Dari berbagai jenis sosial media, Blog dan Jejaring sosial adalah sosial media yang paling sering digunakan. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Kehadiran media baru khususnya media sosial telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia sebagai seorang individu maupun masyarakat secara umum. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi baru telah mengubah perilaku manusia dalam menggunakan teknologi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Hal ini mengakibatkan manusia menemukan cara-cara baru dalam pencarian informasi yang dilakukan tidak hanya melalui komunikasi dua arah dan proses komunikasi simetris (anggota komunikasi yang berinteraksi dapat untuk berinteraksi secara real time dan setiap partisipan secara simultan berperan sebagai pengirim pesan dan penerima pesan). Peran sosial media dalam komunikasi politik Komunikasi politik adalah sebuah public sphare, yaitu suatu tempat dimana para anggota komunitas dapat secara kolektif membentuk pendapat umum. Komunikasi politik yang baik membutuhkan partisipasi dari aktor politik, media dan publik. Jenis situs dan sosial media yang dimanfaatkan bagi proses komunikasi politik ataupun kampanye salah satunya adalah facebook. Informasi-informasi yang ditanam dalam facebook sebagai media sosial dalam proses komunikasi politik atau kampanye adalah informasi pribadi, ide, gagasan serta visi misalnya. Informasi lain yang paling utama dan dominan adalah opini. Sebagai sarana dalam komunikasi politik, politikus dapat berkomunikasi dua arah dengan penggunanya dan pada ujung-ujungnya adalah membentuk opini, yang kemudian opini inilah diolah dan dimanfaatkan bagi pelaku politik dan timnya dalam mendulang suara dari masyarakat luas. Perolehan suara adalah target utama dalam setiap perilaku politik. Dan biasanya para pelaku politik yang populer di sosial media adalah yang paling banyak dukungan dan terbanyak suara. Merujuk pada sejumlah konsep tentang peran sosial media, paling tidak sosial media bisa menjadi sarana penyebar informasi sebagai mana yang diungkapkan oleh Ingmar the lange, “Sosial media selain menjadi alat penyampaian informasi, bisa juga menjadi alat yang ampuh untuk melakukan promosi dan distribusi “citra” yang menjadi “jualan” para komunikator politik. “...new media technologies impact our life culture by offering new lifestyles, creating new jobs and eliminating others, demanding regulations and presenting unique new sosial issues.” (Straubhaar, 2012) Pernyataan Straubhaar ini sangat menjelaskan bahwa tekhnologi media baru yang biasa disebut sebagai sosial media sangat penting. Sosial media sangat berperan dalam proses penciptaan yang membutuhkan kepiawaian para komunikator politik dalam mengendalikan tekhnologi internet. Salah satu contoh konkrit, tatkala Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun 2008, dia memanfaatkan secara penuh kekuatan internet, khususnya media sosial sebagai alat kampanye politik. Pada edisi 7 November 2008, New York Times menulis, "Penggunaan medium baru yang akan mengubah politik selamanya”. Medium itu adalah Internet. Selain memanfaatkan email dan website, Obama memang dikenal fokus menjadikan media sosial untuk


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memobilisasi relawan dan tentu saja menjangkau pemilih muda. Berbeda dengan rivalnya, John McCain yang hanya fokus beriklan di televisi, Obama menghabiskan jutaan dollar untuk beriklan di Facebook dan Google sekaligus menjaring sumbangan dari para pendukungnya melalui medium tersebut. Ketika kembali mencalonkan diri untuk periode kedua pada tahun 2012, Obama masih menempuh cara yang sama. Dia menyampaikan informasi penting kepada pendukungnya melalui Facebook. Para pendukungnya juga bisa melihat informasi lain tentang Obama, seperti buku favorit, film favorit, hobi, atau acara televisi kesukaan. Yang menarik dari media sosial adalah demografi penggunanya yang rata-rata berusia muda. Selain itu, tentu saja, popularitasnya di miliaran penduduk bumi. Hal ini pula yang membuat efektivitas iklan di media sosial kadang-kadang lebih efektiv dibanding di televisi. Dalam konteks pemilu AS, misalnya, konsultan politik Joe Trippi pernah menulis di New York Times bahwa, video Obama di YouTube lebih efektif dibanding iklan televisi, karena penonton memilih untuk menontonnya secara sukarela atau menerima rekomendasi dari teman. Hal ini berbeda dengan televisi, iklan muncul sebagai pengganggu saat kita menonton acara kesukaan. Mass Communication and Society (Kushin and Yamamoto), disebutkan bahwa perhatian terhadap kampanye di media sosial di pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008 cukup signifikan. Dalam penelitian itu dikatakan, 27 persen orang dewasa di bawah 30 tahun mendapatkan materi kampanye dari jejaring sosial, sedangkan orang berumur 30 sampai 39 tahun hanya 4 persen, dan lebih dari 40 tahun hanya 1 persen. Hal ini, sekali lagi, menegaskan bahwa media sosial sangat tepat sebagai medium untuk membidik kawula muda. Keterlibatan kawula muda dalam pembautan materi kampanye ini juga memunculkan nuansa lain berupa kampanye kreatif yang mengundang decak kagum, keren dan kadang juga jenaka. Media sosial merupakan instrumen baru komunikasi di zaman kini dengan dimensi kecanggihan yang jauh melebihi alat komunikasi seperti pada masa lalu. Melalui jejaring media sosial, komunikasi bisa melibatkan banyak orang tanpa berhadap-hadapan secara fisik. Namun di satu sisi juga menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia yang sebelumnya memiliki tata nilai tersendiri dalam komunikasi. Tata nilai yang terbangun berdasarkan kultur masyarakat Indonesia selama ini seperti terabaikan dalam komunikasi media sosial kini. Dapat kita lihat di halaman-halaman media sosial, tak dapat dibedakan lagi orangtua dan yang muda terlibat dalam pertengkaran. Begitu juga perdebatan terjadi antara orangorang yang berbeda tingkat pengetahuan dan pendidikan serta pengalaman. Kadang-kadang pernyataan dan komentar sudah menggunakan kata-kata kasar dan tak memperhatikan azas kepatutan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menghadapi hal demikian, masyarakat perlu meningkatkan kemampuan menyaring informasi dan lebih hati-hati dalam menyikapi berbagai isu dan persoalan yang dikemukakan. Keberadaan media sosial sebagai media komunikasi bebas hambatan telah menyatu dengan era kebebasan berpendapat dan berbicara. Setiap orang merasa berhak menyatakan sikap dan pendapatnya. Kondisi ini tentu perlu kita sikapi dengan bijak, jangan sampai kemajuan teknologi menghancurkan dengan cepat nilai-nilai kesantunan dan etika serta jalinan silaturahmi masyarakat kita yang sudah ada. Dalam komunikasi politik saat ini, terutama di tengah dinamika politik jelang pilkada serentak 2018, Pilcaleg dan pilpres 2019 mendatang, keberadaan media sosial hendaknya menjadi jalan untuk lebih meningkatkan silaturahmi kebangsaan kita. Demikian juga para elit dan aktor politik selayaknya tidak terlalu mengedepankan ambisi kekuasaan dengan mempolitisir situasi dan keadaan. Elit politik sebaiknya menahan diri untuk memelintir dan merekayasa berbagai fakta serta mempermainkan emosi dan psikologi masa melalui media massa dan media jejaring sosial yang ada. Persatuan dan kesatuan bangsa ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan dalam perbedaan pilihan. Proses dan perjalanan bangsa dalam memperkuat kehidupan berdemokrasi, berbangsa dan bernegara yang sudah berangsur maju ini juga hal yang terlalu mahal untuk kita pertaruhkan. Demokrasi yang kita ingin tentulah demokrasi yang berkeadaban untuk mencapai rakyat yang sejahtera dan berkeadilan serta membebaskan dari segala ketakutan dan kecemasan. Peran media baru sangat dominal digunakan oleh para pelaku politik untuk berkomunikasi guna meraih pendukungnya. Media sosial menjadi media yang efektif bagi pelaku politik dalam komunikasi dan kampanye politik. Pelaku politik mampu membangun komunikasi politik dengan para pendukungnya. Arus informasi yang begitu cepatnya, para aktor politik harus lebih memperhitungkan peranan sosial media yang ada, karena media sosial memiliki dua sisi yaitu efek negatif dan positif, terkait citra atau opini yang beredar di masyarakat. Partai politik (elit partai, anggota, relawan) maupun dengan pihak terkait, harus bisa mengendalikan informasi yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga melalui medium baru ini para aktor politik dapat memperoleh apa yang diinginkannya (who gets what) yaitu berupa dukungan dari konstituennya dalam mendapatkan kekuasaan. Dengan adanya media sosial ini harus bisa meningkatkan silaturahmi kebangsaan dan memperkuat demokrasi, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai perbedaan pilihan dalam politik dapat menghancurkan semangat kesatuan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media baru merupakan produk konvergensi berbagai teknologi media yang telah ada. Internet sebagai media baru menggabungkan radio, film, koran, dan televisi dan mendistribusikannya melalui ‘push’ technology. M. Poster (1999) menyatakan bahwa internet melampaui batas-batas model media cetak dan siaran yang memungkinkan many-to-many conversation; resepsi, alterasi (alteration), dan redistribusi objek kultural secara simultan; mendislokasi tindak komunikatif dari batas-batas bangsa; memberikan kontak global yang seketika itu juga (instantaneous global contact) (dalam Nimmo, 2005, p.138). Di tahun 2017, internet kini memasuki usianya yang ke-48 tahun. Kehadiran media baru atau internet tersebut telah merevolusi komunikasi manusia di dunia ini. Dengan kehadiran internet tersebut, apa yang telah dikatakan oleh Marshall Mcluhan (1964) menjadi kenyataan, yaitu dunia menjadi global village. Arus informasi berjalan tanpa bisa dikontrol atau disensor oleh pemerintah manapun. Internet membawa gelombang demokratisasi, yang tidak bisa dihindari. Melalui internet, tukar menukar ide dan gagasan tentang kehidupan politik dapat dengan mudah dilakukan. Misalnya walaupun rakyat Cina hidup dalam pemerintahan otoriter, tetapi dengan internet mereka tetap saja dengan mudah mengakses informasi, ide, dan gagasan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan. Hal ini ditegaskan oleh Schudson (2004). Internet, sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi, berpeluang merevolusi sistem, struktur, dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal (dalam Firmanzah, 2008). Jadi internet memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membawa perubahan politik di suatu negara –mampu merevolusi sistem politik, dari otoriter menjadi demokratis. Kehadiran media baru telah membawa revolusi besar dalam industri media dan cara masyarakat menikmati dan menggunakan media. Media baru telah mengubah banyak hal, termasuk di dalamnya adalah demokratisasi 1. Masyarakat Massa Versus Masyarakat Jaringan Sifat media baru yang berjaring (networked) ternyata menciptakan khalayak yang berbeda dengan media lama (old media). Media lama melahirkan masyarakat massa (mass society), sedangkan internet sebagai media baru melahirkan masyarakat jaringan (network society). Dengan kehadiran media baru, media massa atau komunikasi massa mendapat kritik keras dari Steve Chaffee & Miriam Metzger (2001) yang mengatakan the end of mass communication, yang dikarenakan media baru membawa perubahan mendasar dalam bagaimana media distrukturkan, digunakan, dan dikonseptualisasikan (dalam Baran & Davis, 2003, p. 361).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Konsepsi masyarakat dan masyarakat jaringan membawa tidak hanya konsekuensi perubahan dalam hal kecepatan informasi, namun lebih dari itu media massa konvensional berpeluang untuk memainkan ruang media baru untuk desiminasinya dengan menyelusup kedalam situs-situs jejaring sosial. Dominasi media massa tentu tetap belum terbantahkan dalam hal mengaktualisasikan “gerakan atau kesadaran” masyarakat jaringan menjadi gerakan yang lebih masif, demikian juga sebaliknya masyarakat jaringan mempunyai kemampuan untuk “self empowering” –sebagai bentuk agenda publik- yang tidak dapat dipandang secara remeh oleh media. Dalam mass society theory, Denis McQuail (2005, p. 94-95) menyatakan bahwa media massa sangat dominan, dimana media sebagai faktor penyebab (a causal factor). Sifat arus informasi dalam masyarakat massa bersifat satu arah (one-way transmision). Media digunakan untuk manipulasi dan kontrol. Sedangkan masyarakat jaringan, menurut Jan van Dijk (2006, p.20) menekankan pada bentuk dan organisasi pemrosesan dan pertukaran informasi. Selanjutnya Dijk menyatakan masyarakat jaringan dapat didefinisikan sebagai a sosial formation with an infrastructure of sosial dan media networks enabling its prime mode of organization at all levels (individual, group/organizational and societal). Dijk juga mendeskripsikan tipologi masyarakat massa dan masyarakat jaringan dalam tabel berikut: Tabel 3. Tipologi Masyarakat Massa dan Masyarakat Jaringan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Konsep masyarakat jaringan yaitu lebih ditekankan pada interaktivitas dalam pemrosesan informasi dan penting untuk dipahami dalam masyarakat jaringan adalah relationship, saling terhubung satu sama lainnya. Jadi masyarakat jaringan itu memiliki sosiabilitas (sociability) yang tinggi. Pertumbuhan bentuk masyarakat berjaringan di Indonesia memberikan gambarakan yang cukup mencengangkan. Ledakan pengguna internet sebagai “ruang� untuk menmbangun relationship dapat ditelusur berdasarkan pengguna internet Indonesia Pada tahun 2009 Indonesia tercatat memiliki peringkat ke empat di negara-negara Asia, di bawah Chima, Jepang, India dan Korea Selatan. Jumlah pengakses internet di Indonesia mencapai angka 30 juta orang, yang menempatkan ke dalam peringkat 5 besar di Asia. Indonesia menempati peringkat utama pengguna Twitter di Asia dengan jumlah pemakai sebesar 5,6 juta pengguna. Selanjutnya untuk pengguna facebook indonesia juga menempatkan penduduknya dalam peringkat yang tak kalah mencengangkan. Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika serikat dengan jumlah pengguna sebesar 3,5 juta. Ledakan penggunaan internet tersebut setidaknya merupakan modal politik (the political capital) yang luar biasa bagi masa depan demokratisasi di Indonesia. Melalui akses informasi tanpa batas, maka partisipasi politik warga negara akan semakin meningkat. Internet pun meningkatkan kualitas literasi politik warga negara, yang berdampak pada kualitas partisipasi politik. Misalnya melalui internet warga negara dapat menyampaikan aspirasi politiknya kepada pemerintah, anggota dewan, dan partai politik. Selain menciptakan masyarakat jaringan dan pengembangan masyarakat informasi, media baru menciptakan demokrasi digital (digital democracy) atau demokrasi berbasiskan internet. Dalam demokrasi digital, ada electronic polls, electronic referenda, dan electronic voting yang menghadirkan era demokrasi langsung (direct democracy) seperti partisipasi warga negara di ruang terbuka Athena (Athenian agora) dengan piranti modern (dalam Dijk, 2006, p.107). Komunikasi berbasiskan media baru memiliki dampak yang cukup menjanjikan dalam mengembangkan partisipasi politik. Dengan karakteristik media baru yang bersifat langsung dan interaktif, kualitas partisipasi politik dengan media baru jauh lebih berkualitas


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Baru dan Ruang Publik Sebagai Kanal Demokratisasi Internet menghadirkan ruang publik bebas (free public sphere) kepada warga negara (publik). Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Jurgen Habermas (1962/1989) dalam mengemukakan konsep publik sphere (Öffentlichkeit). Ruang publik merupakan tempat tersedianya informasi ada dan komunikasi terjadi serta tempat diskusi dan deliberasi publik yang didalamnya dibahas persoalanpersoalan publik. Akses ke ruang publik ini bersifat bebas, karena ini merupakan tempat kebebasan untuk berkumpul (the freedoms of assembly), sehingga asosiasi dan ekspresi dijamin. Ini merupakan tempat komunikasi ideal (an idealized communication venue). Keputusan-keputusan kewarganegaraan diputuskan melalui proses diskusi, inilah yang menjadikan ruang publik menjadi aspek fundamental dalam sistem demokrasi (Schuler & Peter, 2004, p.3-4; McQuail, 2005, p.181). Jadi ruang publik itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik. Denis McQuail menyatakan bahwa ruang publik merupakan tempat dimana civil society berkembang. Ruang publik berada diantara negara dan privat untuk pembentukan sosial (sosial formation) dan aksi voluntir (voluntary action). Di ruang tersebut, civil society memiliki kebebasan tanpa ancaman serta mereka dapat menentang masyarakat otoriter (authoritarian society), menurut penulis, ini maksudnya negara (McQuail, 2005, p.182). Media Use Old Media New Media Interactive pattern of political communication Passive pattern of political communication “One- to- many” model “Many-to-many” model Quality of participation Better Ordinary. Dalam demokratisasi, ruang publik dapat berfungsi sebagai stimulator perwujudan demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif adalah demokrasi yang dibangun berdasarkan pada penilaian politik yang „rasional‟. Menurut Claus Offe dan Ulrich Preuss, ada tiga kriteria bagi keputusan politik yang rasional yaitu mengedepankan fakta, berorientasi pada`masa depan, dan mempertimbangkan kepentingan banyak orang (dalam Held, 2006, p.273). Jadi demokrasi deliberatif mensyaratkan partisipasi yang berkualitas, bukan yang emosional. Demokrasi deliberatif mendorong keterbukaan dan kritisisme dalam proses politik. Dalam situs portal berita, seperti kompas.com, tempointeraktif.com, mediaindonesia.com, republika.co.id, dan lain sebagianya, bukan hanya dapat mengakses infromasi politik terkini, tetapi juga masyarakat diberikan kesempatan untuk mengomentari materi pemberitaan dan sekaligus menjadi anggota forum diskusi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Melalui internet, masyarakat dapat mengorganisir diri dalam formasi atau pembentukan dalam atau menjadi anggota cyber interest groups (kelompok kepentingan maya) dalam suatu jenis mailing list (milis), web site, blog page, ataupun situs jejaring sosial. Di dalam situs cyber interest groups tersebut, masyarakat dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi membahas pertanyaan atau materi diskusi yang menjadi fokus pembicaraan, biasanya tema diskusi berkaitan dengan perkembangan semua aspek atau isu-isu kehidupan keseharian, terutama biasanya perkembangan politik terkini. Atau di dalam situs tersebut anggota situs dapat mempsoting opini individual, video, foto dan file yang diajadikan bahas diskusi. Internet mampu membentuk demokrasi dialogis dengan landasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Internet juga meningkatkan kesetaraan komunikan politik (komunikator dan komunikate). Di Indonesia, pengguna internet, khususnya jejaring sosial, begitu powerful dalam memberdayakan ruang publik, sehingga berwujud menjadi gerakan politik (political movement). Penulis mendeskripsikan contoh kasus dari ruang publik maya (cyber public sphere) menjadi aksi politik. Salah satu contoh adalah gerakan facebooker yang berawal dari dunia maya selanjutnya berbentuk aksi politik. Mei 2017, ribuan facebookers melakukan mimbar bebas di Bundaran HI. Mereka menyatakan dukungannya terhadap KPK terkait pengusutan kasus korupsi e-ktp yang melibatkan beberapa anggota dan mantan anggota DPR RI. Masih banyak contoh-contoh kasus lainnya, dimana facebook dijadikan sarana diskusi publik dan konsolidadi kekuatan gerakan politik. Fenomena ini mungkin yang pertama di dunia. Jejaring sosial telah mentransformasi bentuk konsolidasi gerakan politik. 3. Masa Depan Demokratisasi Berbasiskan Media Baru Perkembangan demokratisasi dan penggunaan internet di Indonesia, ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh regulasi atau aturan hukum yang mendukung kebebasan berpendapat. Regulasi tersebut yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Kedua aturan tersebut memuat pasal-pasal karet yang sangat mengancam kebebasan berpendapat. Dalam KUHP, ada 7 pasal karet atau multitafsir yaitu Pasal 310 (pencemaran nama baik), Pasal 311 (fitnah), Pasal 315 (penghinaan ringan), Pasal 317 (pengaduan fitnah), Pasal 318 (persangkaan palsu), dan Pasal 320 (pencemaran nama baik orang mati). Dan dalam UU No.11 Tahun 2008 yaitu Pasal 27 ayat 3, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Salah satu contoh penerapan pasal 27 ayat 3 UU ITE, dalam kasus Prita Mulyasari yang terjadi pada tahun 2009. RS Omni Internasional menuntut dan mempidanakan Prita Mulyasari atas kasus pencemaran nama baik melalui email di mailing list-nya. Pada tanggal 9 Desember 2009, Pengadilan Negeri Tanggerang menjatuhkan hukuman ganti rugi sebesar Rp 204 juta dan pidana hukuman penjara enam bulan pada Prita. Realitas tersebut merupakan paradoks demokrasi, yang jika dibiarkan akan mengacam keberlangsungan demokratisasi di Indonesia, bisa jadi kedepan lebih banyak korban akibat UU tersebut, termasuk kasus yang melanda artis Luna Maya yang disomasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya (Jakarta). Dengan menggunakan pasal yang sama dengan tuntutan Prita Mulyasari, Luna dituntut akibat menulis isi hatinya (curhat) di Twitter tentang perilaku wartawan yang lebih hina dari pelacur. Dalam kasus ini, Pemerintah, terutama Departemen Komunikasi dan Informasi, bersama DPR dituntut memiliki political will untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut dan semua peraturan yang sekiranya akan mengancam kebebasan berpendapat di internet. Jika tidak ini menjadi presenden buruk demokratisasi di Indonesia Selanjutnya tentang masa depan peran internet dalam memantapkan proses demokratisasi di Indonesia semakin strategis. Sejak kini internet sudah menjadi life style bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Selain proliferasi penggunaan internet yang diakibatkan pengembangan ekspansif infrastruktur jaringan dan gadget dan tarif yang murah yang disediakan oleh ISP (Internet Service Provider), pada tahun 2010 lalu, pemerintah mencanangkan program internet masuk desa dengan realisasi 32 ribu jaringan dari 72 ribu desa. Pemerintah ingin mewujudkan desa pintar. Dengan infrastruktur jaringan internet yang semakin tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah diharapkan di pemilu-pemilu mendatang dapat menerapkan electroning voting, seperti di Amerika. Gagasan ini menurut pandangan penulis tidak utopis, dikarenakan literasi penggunaan internet warga negera terus semakin membaik. Ini artinya tinggal political will pemerintah, apakah mau memodernisasi sistem pemilu atau tidak. Dengan kekuatan yang ada, sepertinya di masa akan mendatang, keinginan Indonesia untuk dapat memasuki tahap pematang demokrasi dapat segera terwujud. Internet hadir dengan membawa misi peningkatan literasi atau pendidikan politik yang mampu membentuk well-informed citizen, sehingga warga negara dapat terlibat lebih aktif dalam ruang publik politik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media dan Demokrasi Demokrasi dan media memiliki hubungan yang resiprokal. Di satu sisi demokrasi membutuhkan media sebagai alat komunikasi politik, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, di sisi lain media hanya dapat berfungsi bagi kepentingan masyarakat luas dalam sistem politik yang demokratis. Sistem politik yang demokratis dimaksudkan untuk membedakannya dari sistem otoritarian atau totalitarian. Hubungan saling membutuhkan antara media dan demokrasi dapat ditelaah dari dua sudut pandang secara simultan, yaitu: sudut pandang makro dan sudut pandang mikro (Mughan & Gunther, 2000). Sudut pandang makro melihat struktur dalam sistem media dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi politik. Pada umumnya, karakter sistemik yang paling berpengaruh adalah pola peraturan pemerintah, pola kepemilikan media, pola program acara, struktur audiens, dan karakter penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada investigasi efek komunikasi politik pada tingkat individual. Dengan demikian, sukses-tidaknya media dalam membangun demokrasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Sekadar contoh, pada tingkat mikro, walaupun media sudah berusaha untuk menfokuskan pemberitaan yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara kritis, namun jika masyarakat tidak memiliki cukup kapabilitas untuk menerima informasi tersebut secara rasional, maka berita tersebut menjadi tidak banyak bermakna. Faktor yang mempengaruhi kapabilitas individual ini mencakup ketertarikan pada isu publik, kemampuan literasi, punya akses terhadap media, dan lain-lain. Idealnya, dalam demokrasi setiap warga negara sudah memiliki kesadaran politik yang cukup. Dengan kata lain dia tidak hanya mampu memahami isu-isu politik, melainkan sadar dan terdorong untuk mencari informasi yang dia gunakan sebagai pedoman untuk menentukan pilihan politiknya. Faktor-faktor inilah yang ada pada tingkat mikro. Pada tingkat makro, media awalnya ditentukan oleh sistem politik. Sistem politik yang otoriter akan membentuk corak media yang terkungkung. Sistem politik yang demokratis akan menghasilkan media yang liberal (Hackten, 1981; Siebert, Peterson, & Schramm, 1963). Namun realitas politik di dunia saat ini, khususnya setelah perang dunia ke dua, media lebih tepat ditempatkan dalam konteks politik demokrasi. Walaupun harus diakui bahwa keberadaan media dalam konteks politik demokrasi, tidaklah serta merta akan menjadi tulangpunggung proses menuju demokrasi yang substantif.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sejalan dengan itu, pada tingkat makro terdapat dua model pengaturan media, khususnya media penyiaran, yaitu: public service model3 dan commercial model4, seperti yang ada di Inggris dan Amerika Serikat. Pembeda yang paling utama antara keduanya adalah: public service broadcasting lebih fokus pada berita dan isu-isu publik, features, dokumenter, art, musik, permainan, sementara commercial broadcasting lebih menekankan hiburan (Mughan & Gunther, 2000: 10). Sehingga kedua model ini akan memberikan kadar kontribusi positif yang berbeda pada demokrasi. Pada intinya, sistem penyiaran publik lebih menyediakan kesempatan bagi tumbuhnya demokratisasi lewat fungsi media. Sementara media dalam sistem otoritarian sudah pasti tidak akan berpihak pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena media telah diambil alih oleh politisi sebagai alat propaganda. Sementara itu, dalam demokrasi media juga belum tentu berpihak pada kepentingan masyarakat: keberpihakan itu misalnya dapat ditunjukkan lewat orientasi pemberitaannya. Ketidakberpihakan media pada demokrasi ini disebabkan oleh media telah banyak mengabdi pada kepentingan bisnis. Pada akhirnya media konvensional (khususnya televisi) yang awalnya diharapkan dapat berperan sebagai ujung tombak sarana komunikasi politik dan ruang, malah tergerus oleh kepentingan pemilik modal. Media konvensional pada hakekatnya merupakan lembaga bisnis. Walaupun eksistensinya pada awalnya ditentukan oleh faktor politik dan teknologi, namun dalam keberlangsungan hidupnya lebih ditentukan oleh faktor ekonomi. Di tengah ironi media dalam demokrasi inilah muncul kekuatan baru berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi media baru dalam konteks ini menjadi variabel independen untuk mengubah corak komunikasi politik dalam demokrasi. Media baru, khususnya internet dan world wide web, merupakan hasil revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Media baru ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang termasuk bidang ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan politik. Walaupun masih baru, tetapi harapan besar ditujukan pada media ini untuk berbagai segi kehidupan karena karakter memampukan (enabling) yang dimilikinya. 2. Struktur Media Baru Internet dan world wide web merupakan dua elemen utama yang memungkinkan teknologi media baru tersebut menjadi media komunikasi. Dengan kecanggihan aplikasi teknologi baru itu terbentuklah beberapa format media. Media baru adalah semua bentuk media yang menggabungkan tiga unsur C, yaitu: computing and information technology (IT), communication network, dan convergence (ditigalized media and information content (Flew, 2005: 2).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media baru yang dapat juga disebut digital media, memiliki ciri-ciri di mana informasi menjadi mudah dimanipulasi, berjejaring, padat, mudah diperkecil, dan seolah tidak punya pemilik. Sebagian kalangan mengangap media baru berbeda dengan media sosial. Media sosial merupakan seluruh bentuk media jejaring di internet yang berfungsi untuk menciptakan jejaring komunitas virtual, seperti Facebook dan Twitter. Pada kesempatan ini media sosial dipandang sebagai bagian dari media baru. Artinya media sosial adalah salah satu bentuk media baru. Dalam konteks politik, media baru yang paling banyak diaplikasikan selain homepage atau website dan e-mail adalah bentuk-bentuk media jejaring tersebut. Media jejaring atau media sosial ini memiliki ciri politis karena dapat menyatukan para pengguna secara virtual layaknya sebuah organisasi dalam kehidupan nyata (riil). Antony Mayfield (2008) dari organisasi iCrossing menjelaskan bahwa, media sosial lebih tepat dipahami sebagai a group of new kinds of online media, yang memiliki karakteristik berikut: 1.

2.

3.

4.

5.

Participation: social media encourages contributions and feedback from everyone who is interested. It blurs the line between media and audience. Openness: most sosial media services are open to feedback and participation. They encourage voting, comments and the sharing of information. There are rarely any barriers to accessing and making use of content – password protected content is frowned on. Conversation: whereas traditional media is about “broadcast� (content transmitted or distributed to an audience) sosial media is better seen as a two-way conversation. Community: sosial media allows communities to form quickly and communicate effectively. Communities share common interests, such as a love of photography, a political issue or a favourite TV show. Connectedness: Most kinds of sosial media thrive on their connectedness, making use of links to other sites, resources and people.

Sejalan dengan itu, setidaknya hingga saat ini media sosial dapat dibedakan ke dalam enam jenis (Mayfield, 2008), yaitu: 1. Sosial networks (Friendster, MySpace, Facebook, Bebo), 2. Blogs (blogspot, wordpress, multiply), 3. Wikis (Wikipedia), podcasts (iTunes), 4. Forums (mailing list, website), 5. Content communities (flickr, del.icio.us, YouTube), dan microblogging seperti Twitter.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Keseluruhan bentuk media sosial ini telah digunakan secara simultan, dan saling terhubung. Struktur media baru yang memberi kontribusi pada ruang publik adalah yang dapat memfasilitasi proses perbincangan politik secara ingroup. Maka media yang lazim dipakai adalah sosial networks, blog, dan mailing list. Peter Dahlgren (2005: 153) menyatakan bahwa bentuk ruang publik virtual di media baru (net-based public sphere), bisa diklasifikasi dalam lima kategori, yaitu: 1. E-government, 2. Advocacy/activist domain, 3. Civic forums, 4. Parapolitical domain, dan 5. Journalism domain. Dengan sifatnya yang virtual, interaktif, konvergen, dan global, maka internet hadir sebagai ruang publik yang lebih luas. Media baru membentuk ruang publik berskala internasional. Aplikasi teknologi informasi dan komunikasi bagi politik dan demokrasi dapat dibagi dalam empat kategori (van Dijk, 2000: 40), yaitu: 1. Allocution, menyangkut aspekaspek: computerized election campaigns, computerized election information, computerized civic service and information centers 2. Consultation, menyangkut aspekaspek: mass public information system, advanced public information system (internet) 3. Registration, menyangkut bidang: registration system for government and public administration, computer-assisted citizens enquiries, electronic polls, electronic referenda, electronic elections 4. Conversation, mencakup bidang: bulletin board systems, discussion lists, electronic mail and teleconferencing, electronic town halls, group discussion support system. 3. Platform Media Baru Interaktif Struktur platform media baru menjadi faktor paling menentukan kualitas interaktif untuk komunikasi politik warga. Sebagian besar platform media baru masih berfungsi untuk mengekspresikan opini secara dialogis, kalau bukan personal. Masih sangat terbatas design media baru yang sungguh-sungguh menghidupkan interaktivitas secara merata. Artinya diperlukan usaha tambahan untuk menciptakan ruang interaktif sesuai dengan sistem design bahasa pemograman komputer.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Twitter, Facebook, dan blog/website sebagai bentuk media baru paling tren menawarkan potensi untuk ruang interaktif tersebut. Dulu sempat ada sebuah web blog yang sengaja dirancang untuk diskusi politik yaitu Politikana.com, tetapi sudah tidak beroperasi lagi. Saat ini, diskusi yang menekankan unsur interaktif ini terlihat pada kolom komentar yang tersedia baik pada website media, blog, Facebook, Twitter, maupun Youtube. Sebagai gambaran berikut ditunjukkan satu contoh diskusi di salah satu web berita media nasional. Dalam diskusi terkait ricuh pemungutan suara di Hongkong karena banyak yang tidak dapat memberikan suara mereka, para netizen membahas dengan serius. Dari 284 orang yang terlibat dalam diskusi tersebut, terdapat 685 komentar hingga satu hari setelah kejadian tersebut. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ada upaya saling jawab antar para komentator tersebut yang memberi kualitas interaktif pada diskusi ini. 4. Ruang Publik Baru Internet masuk ke Indonesia pada tahun 1990-an ketika B. J. Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (1978- 1998). Habibie sekaligus merupakan menteri pertama yang punya website di internet. Pada tahun 1986 Dewan Riset Nasional yang dipimpin oleh Habibie merekomendasikan agar dilakukan pengembangan layanan sains dan teknologi informasi di tanah air yang kemudian mengkristal dengan terbentuknya jaringan informasi internet IPTEKnet pada tahun 1989 yang dikelola di bawah Badan Penilaian dan Penerapan Teknologi (Sen and Hill, 2007). Pada tahun 1998/99, warung internet (warnet) mulai bermunculan di dekat kampus UGM, UNY, dan UAJY Mrican di Yogyakarta. Seiring dengan penetrasi internet dari dunia bisnis yang begitu gencar, dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi juga berlomba-lomba untuk go online. Dari fasilitas research archive di perpustakaan hingga fasilitas wireless zone sudah tidak asing lagi di dunia kampus saat ini. Maka tidak heran juga pengguna internet di Indonesia hingga kuarter pertama tahun 2010 mencapai 30 juta orang dengan tingkat penetrasi pada tingkat 12,5% (www.internetworldstats.com), bahkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memprediksi tahun ini (2017) terdapat 109 juta pengguna internet di Indonesia. Artinya, ada tren peningkatan partisipasi masyarakat Indonesia di internet secara signifikan setiap tahunnya. Media konvensional juga sudah melakukan digitalisasi. Institusi pendidikan, lembaga pemerintah, dunia bisnis, hingga outlet boutique kecil bisa punya ruang jualan secara online. Konvergensi dan digitalisasi menjadikan masyarakat dapat lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan dan merespon informasi yang mereka butuhkan. Khusus media konvensional yang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

berorientasi pada berita selalu menyediakan ruang (comment boards) di mana komentar dan tanggapan bisa disampaikan. Komentar tersebut tidak ditujukan untuk redaksi, tetapi merupakan ekspresi politik yang kemudian dapat memicu tanggapan dari orang lain. Jadi, secara tidak langsung ditigalisasi media konvensional dapat mendorong diskusi politik secara online. Pada skala yang lebih luas, komunitas blogger dan forum diskusi politik online yang punya website sendiri merupakan ruang diskusi politik (political talk) yang paling representatif. Beberapa bentuk ruang diskusi online yang ada seperti: www.kompasiana.com, www. forum.detik.com, dan www.kaskus.com, dan yang lainnya, termasuk yang dibuat dalam platform media sosial seperti Facebook dan Twitter. Inilah struktur ruang publik yang transformatif yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (publik) di mana pun. Ruang publik transformatif ini meruntuhkan struktur ruang publik lama yang cenderung membatasi tidak hanya partisipasi, tetapi juga informasi lewat proses gatekeeping.

Penggunaan media baru dalam komunikasi politik yang lebih tren saat ini adalah e-government, kampanye lewat internet, komunikasi politik online warga, serta relasi horizontal antara warga negara dengan warga negara lain baik dalam bentuk kelompok virtual maupun dalam konteks pendidikan politik antarwarga. Menjelang pemilu mendatang muncul sejumlah kelompok masyarakat terdidik yang berupaya untuk memperkuat kesadaran politik warga negara lewat diseminasi informasi politik secara online yang menjadikan para netizens sebagai target. 1. E-Governement: Government to Citizen E-government mengacu pada penggunaan teknologi informasi, seperti wide area networks, internet, dan mobile computing, oleh lembaga-lembaga pemerintah yang mampu mentransformasi hubungan antara pemerintah dengan warga negara, bisnis, dan sesama elemen pemerintah lainnya. E-government sering dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: government to government (G2G), government to business (G2B), dan government to citizen (G2C) (Bonham, et. al., 2001). Sisi transformatif dalam egovernment adalah warga negara dapat secara langsung menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah tanpa harus dibatasi ruang dan waktu lewat website berbagai lembaga pemerintahan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Demikian juga halnya pemerintah lebih intens dan efisien dalam menyampaikan informasi-informasi yang diperlukan oleh masyarakat dengan berbagai kecanggihan fasilitas media baru atau media sosial. Pelaksanaan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat dapat dilakukan dua puluh empat jam sehari. Beberapa website pemerintah yang cukup lengkap dengan layanan kemasyarakatan adalah DKI Jakarta (www.jakarta.go.id), Bandung (http:// bandung.go.id), Sumatra Barat (www.sumbarprov.go.id/), dan Riau (www.riau.go.id), dengan fasilitas mulai informasi mulai dari layanan komunikasi lewat email, download dokumen, agenda pejabat, staf, dan serta pengurusan perizinan. Satu hal yang menarik perhatian adalah disediakannya kolom Aspirasi atau rubrik untuk menyampaikan aduan dan kritik dari masyarakat. Tren ini seolah membangkitkan kembali spirit demokrasi langsung (participatory democracy) zaman Yunani kuno. Di samping itu, e-government dapat mewujudkan budaya pemerintahan yang bersih, transparan, dan dapat dipercaya (accountable). Wujud e-government ini berupa website pemerintahan di seluruh lini. 2. Kampanye Politik Online: Political Elite to Citizen Kampanye online ini bisa dilakukan secara perseorangan, bisa juga secara organisasional dari partai-partai politik. Kampanye online sangat marak dilakukan pada saat menjelang Pemilu, baik di tingkat nasional maupun lokal. Seiring dengan perkembangan aplikasi internet dalam politik mulai muncul tren pemilihan ketua organisasi atau partai politik menggunakan media online untuk mensosialisasikan pribadi kandidat dan program kerjanya. Dalam konteks Pemilu contoh yang sangat tepat adalah keberhasilan senator Barack Obama dalam pemilu presiden di Amerika Serikat yang menjadikannya sebagai Presiden AS yang baru. Dua tujuan utama yang dicapai dari media baru tersebut adalah penggalangan sumbangan dan mobilisasi sukarelawan politik. Di Indonesia, para politisi, partai politik menggunakan media sosial guna menyebarluaskan informasi politik kepada masyarakat atau untuk sekedar mempertahankan jaringan yang sudah terbangun, khususnya lewat platform Twitter. Beberapa contoh sebagai berikut: @jokowi_do2 (Joko Widodo), @iskan_dahlan (Dahlan Iskan), @aniesbaswedan (Anies Baswedan), @prabowo08 (Prabowo Subianto), @hattarajsa (Hatta Rajasa), dan @presidenSBY (Susilo Bambang Yudoyono). Sejumlah partai politik membuat website informatif, akun Facebook dan twitter. Sebagai contoh PDI-P ada di: idid.facebook.com/DPP.PDI.Perjuangan; twitter.com/PDI_Perjuangan; dan website pdiperjuangan.org/?view=mosaic.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Partai lainnya seperti Golkar: partaigolkar.or.id/; dan Partai NasDem: partainasdem.org serta PKB: pkb.or.id/, dan lain-lain. Meskipun demikian partai politik belum maksimal dalam memanfaatkan kekuatan media baru ini, sebagaimana terlihat pada website partai yang tidak atraktif dan tidak interaktif. Kampanye politik yang selama Pemilu 2014 terjadi justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat akar rumput sebagai simpatisan dan relawan terhadap kandidat dan partai politik tersebut. Contoh dari kampanye relawan Jokowi seperti http://baranews.co/, https://idid.facebook.com/JOKOWI4ID, dan aplikasi Jokowi4Presiden di GooglePlay. 3. Media Aspirasi Rakyat: Citizen to Elite Salah satu bentuk perubahan struktur pada komunikasi politik adalah pola dan peran warga negara sebagai aktor politik itu sendiri. Komunikasi politik lewat media konvensional lebih menempatkan warga sebagai target yang harus dipengaruhi, agar menguntungkan bagi elit yang berkepentingan. Warga bersikap sangat pasif. Bukannya hanya interaksi dengan elit politik, komunikasi antarwarga pun pada regim media lama ini cenderung langka. Media baru membentuk struktur komunikasi yang memampukan warga negara sebagai aktor politik, lepas dari bersentuhan dengan negara atau tidak. Bentuk komunikasi politik warga masyarakat secara online dapat berupa bentuk-bentuk berikut (disarikan dari Gibson et al., (2005): 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

Discussing politics in a chat group; Joining an email discussion about politics; Sending an e-postcard from a political organization’s website; Signing an online petition; Sending an email to a politician; Sending an email to local or national government; Sending an email to a political organization; Participating in an online question and answer session with a political official.

Kendala implementasi media baru untuk komunikasi politik masyarakat di Indonesia yaitu: digital divide. Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan kebijakan informasi dan telekomunikasi yang berorientasi pada pemerataan akses teknologi sebagai bagian dari misi pembangunan nasional. Agar akses universal atas teknologi informasi tersebut berdaya guna, maka secara simultan diperlukan pendidikan tentang teknologi informasi (new media literacy), baik lewat jalur formal maupun informal.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

4. Pendidikan Politik: Citizen to Citizen Pada Pemilu 2014 lalu, pemilih Indonesia mendapat sumber informasi politik secara transparan dan kritis, khususnya yang berkaitan dengan calon presiden, para calon legislatif yang jumlahnya mencapai 6000-an orang untuk DPR RI. Gerakan sosial ini diprakarsai oleh sejumlah kelompok yang peduli dengan perubahan politik pada lembaga legislatif yang selama ini dipandang sangat korup. Maka ada niat untuk membuka informasi sebanyak mungkin terkait dengan calon anggota DPR tersebut sehingga masyarakat tidak salah pilih. Sejumlah gerakan grassroot ini diprakarsai oleh masyarakat diberbagai daerah di Indonesia, yang sadar akan peran strategis media baru dalam kehidupan masyarakat secara khusus pada bidang politik. Sifat aksesibilitas media baru yang tanpa batas dengan karakter pemilih pemula yang sadar teknologi, menjadi kekuatan tersendiri dalam upaya konsilidasi demokrasi elektoral di Indonesia.

Kehadiran internet dalam masyarakat kita banyak merubah berbagai aspek kehidupan. Internet tidak lagi hanya sebagai pelengkap atau sekedar membantu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang seolah harus hadir dalam berbagai kegiatan. Di era masyarakat modern seperti sekarang ini, kehadiran internet sebagai media komunikasi modern telah membuat dunia menjadi semakin mudah digenggam. Hampir semua orang memiliki perangkat komunikasi yang memungkinkan untuk berkomunikasi dengan semua orang diseluruh dunia melalui media sosial. Facebook, Twitter, YouTube, dan lain sebagainya bukan lagi sesuatu yang “aneh�. Berbagai platform media sosial inilah yang telah menjadikan dunia hanya sebesar ujung jari. Pesan dapat dikirimkan secara instant dan massal hanya dalam hitungan detik. Kemudahan media sosial untuk diakses dan dijangkau oleh semua orang telah menjadikan media sosial sebagai sarana baru untuk berkomunikasi dan telah dimanfaatkan secara positif maupun negatif oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Berbagai pengaruh media sosial dalam kehidupan sehari-hari dan kaitannya dengan komunikasi antar manusia telah banyak dikaji secara ilmiah oleh para peneliti.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Gambar 2. Annual Growth Pengguna Media Sosial di Dunia

Hadirnya internet telah memunculkan istilah-istilah baru seperti cyberspace (ruang komunikasi di internet), cybercrime (kejahatan yang dilakukan dengan internet), cyberbullying (intimidasi dunia maya), dan juga cyberpolitic atau politik di dunia maya. Cyberpolitic yaitu kegiatan politik seperti komunikasi politik yang memanfaatkan media internet sebagai sarananya. Biasanya para pelaku politik menggunkan internet terutama media sosial sebagai alat kampanye dan memperkenalkan dirinya, atau menyebarluaskan kebijakan-kebijakan politik, dan kegiatan komunikasi politik lainnya. Kajian mengenai penggunaan internet dalam dunia politik sebenarnya telah dimulai sejak kemunculan internet sendiri dan mulai menjadi isu hangat sejak tahun 1900-2000 dan terus bertambah ppuler dari waktu ke waktu. Para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang masuknya internet dalam dunia politik. AOL membuat survey mengenai keterlibatan politik, 84 persen terdaftar sebagai pemilih dan 45 persennya mendapatkan informasi mengenai calon kandidat secara online. Untuk kalangan muda, studi AOL yang dilakukan pada 505 remaja dengan akses internet di rumah, 41 persen dilaporkan memiliki minat uang lebih beaar pada kejadian yang diterimanya secara online. Dan mereka merasa bahwa secara online memiliki dampak positif daripada dengan menonton televisi (57 dibanding 39 persen).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Rheingold (1993) percaya bahwa orang-orang akan menjadi lebih terlibat dalam proses demokrasi, seperti melalui debat online, dan Rash (1997) menyatakan bahwa internet akan membuka kesempatan untuk partai-partai baru dan mengembangkan ideologinya. Saphiro and Leone (1999) menghubungkan internet dengan "the control revolution" dimana kontrol berganti dari institusi besar menjadi individual. Ini seharusnya menjadi 6 keistimewaan dari internet yang dapat meningkatkan kontrol individual, yaitu (1) many-to-many interactivity (2) digital content, membuat komunikasi bersifat fleksibel dalam artian bagaimana itu disimpan, digunakan, dan dimanipulasi (3) desain dari internet sebagai jaringan berbasis paket (4) kemampuan dapat dioperasikan siapa saja, sehingga informasi dapat mengalir bebas melalui jaringan tanpa kemacetan dan rintangan (5) kapasitas broadband dan (6) akses yang universal. Internet telah menjadi alat yang powerful bagi partai politik, organisasi nonpemerintah, dan kampanye yang berkaitan dengan dewan perwakilan dan kelompok aktivis lokal (Browning and Weitzner, 1996; Corrado, 2000; Davis, 1999; Rash, 1997). Hal itu memungkinkan aktor politik memonitor atau mengawasi catatan pemilihan, menilai kontribusi kampanye dan keuangan, memimpin fokus grup online, meningkatkan akses pemilih, menyimpan berita terbaru dan terlama, mendapatkan donasi kampanye lebih cepat dan lebih efisien (seperti melalui online payment dan kredit), dan sebagainya. Studi UCLA (2000) membandingkan pengguna internet dengan yang bukan pengguna internet, dan pengguna internet sedikit lebih perhatian dan terlibat dalam kelompok atau organisasi, lebih memungkinkan bersosialisasi dengan anggota rumah atau untuk tau nama tetangga, dan memiliki tingkat yang sama dalam bersosialisasi dengan teman, waktu tidur dan jumlah teman diluar rumah. Menurut Katz and Rice (2002) pengguna internet lebih banyak berorganisasi pada komunitas dan organisasi yang bersifat untuk bersenang-senang, tetapi tidak dengan organisasi keagamaan. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa internet justru menyebabkan hal yang kurang baik terhadap partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Hill and Hughes (1998) menyatakan bahwa pengguna internet dan aktivis yang menggunakan internet untuk alasan politik kebanyakan adalah orang yang muda. Walaupun pengguna internet dan aktivis lebih berpendidikan daripada publik secara umum (yang tidak menggunakan internet), mereka lebih banyak mengumpulkan dan lebih tahu tentang isu politik terkini. Namun, karena terlalu banyak informasi mengenai politik di internet, justru akan semakin sulit untuk mencari tahu kebenaran yang ada di dalam informasi internet tersebut dan akan menyebabkan pengambilan keputusan yang salah. (Van Dijk, 1999).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Starobin (1996) mengatakan bahwa internet dapat melemahkan legitimasi pemerintahan. Dengan banyaknya informasi dan ketidakvalidan informasi yang ada di internet juga dapat meningkatkan permasalahan, pengalihkan perhatian tentang korupsi atau penurunan nilai tentang pemilu, dan konsekuensinya adalah mengurangi jumlah partisipasi politik. Beberapa teoritis berpendapat bahwa internet menghancurkan kelompok komunitas asosiasi sukarela yang diperlukan untuk suksesnya proses demokrasi (Putnam, 2000; Turkle, 1996). Kritik lain tentang internet ditakutkan dapat mengurangi dan menghilangkan kekuatan masyarakat akan proses politik tradisional (Carpini, 1996; Rash, 1997). Van Dijk menekankan mungkin beberapa akan berpendapat bahwa kebebasan, seperti kebebasan berpendapat akan menungkat karena kemampuan interaktivitas yang disediakan oleh teknologi ini, tetapi pemikiran yang lebih pesimis memprediksi bahwa kebebasan akan membahayakan dengan menurunkan privasi unruk individi seperti citizen yang terdaftar, konsumen yang disaring untuk setiap karakteristik personal dan tumbuhkan kesempatan untuk kontrol pusat (1999). Internet juga akan menghilangkan lapisan yang menyaring tentang informasi politij yang biasanya dilakukan oleg gatekeeper pada media mainstream seperti televisi, koran atau radio. Kebebasan berbicara dapat ditingkatkan maupun dihalangi oleh internet. Secara teoritis, semua orang dapat membuat blog dan memposting apapun disana. Saphiro dan Leone (1999) mengatakan kebebasan berbicara mungkin merugikan karena perkembangan internet. Yang pertama karena orang (pelaku politik) mengalami kesulitan untuk menemukan audiens yang benar-benar ingin Mendengarkan/menyimak mengenai isu politik yang diberikan. Dan yang kedua, tidak semua orang memiliki sumber untuk menbayar iklan dengan kata lain beberapa kebebasan berbicara dibatasi karena tidak memiliki akses. Contoh nyata di Indonesia saat ini, banyak politisi yang menggunakan internet dan media sosial dalam berkampanye dan menyosialisasikan program kerjanya kepada masyarakat. Karena itu, bukan hal yang mengherankan jika saat ini di media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram banyak berisi kontenkonten politik. Hal tersebut sebagai salah satu cara komunikasi politik yang dilakukan oleh para pelaku politik. Tapi yang perlu diwaspadai adalah kebebasan menulis informasi di internet justru dapat merugikan bagi para pelaku politik dengan adanya berita-berita hoax yang juatru menjelek-jelekan para aktor politik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Memang, internet membantu orang untuk lebih mengerti dan lebih tau tentang politik. Munculnya pandang optimis dan pandangan kritis yang mempertanyakan 'benarkan internet akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perpolitikan' dapat digunakan sebagai referensi publik, sebagai pengguna internet agar tetap dapat bersikap kritis dan bijak dalam menggunakan teknologi bernama internet ini agar dapat memperoleh keuntungan dari hadirnya internet, bukannya justru mempersulit dan merugikan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB V MEDIA SOSIAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA

Koneksi internet tanpa batas ruang dan waktu. Keterhubungan ini membuka komunikasi dua arah. Individu tidak lagi sebatas konsumen informasi, namun berpeluang untuk memproduksinya. Salah satu modanya adalah berpendapat dan berorasi di media sosial. Komunikasi politik di media sosial berjejaring (khususnya Facebook) dipermudah oleh keterhubungan citra visual, tekstual, dan verbal. Komunikasi politik dalam hal ini berarti cara menyampaikan pesan politis atau berpolitik dengan mempengaruhi orang lain. Komunikasi sendiri berarti mekanisme perpanjangan informasi, pemikiran dan/atau kekuasaan. Televisi (TV), yang juga mampu menghadirkan ketiga citra tadi, merupakan salah satu instrumen perpanjangan kuasa yang berpengaruh di Indonesia sejak 50 tahun lalu. Perkembangan komunikasi politiknya dapat dibagi dalam tiga fase, sebagai (1) corong negara, (2) corong pasar, dan (3) corong pengusaha. Kehadiran media sosial menambahkan fase lain sebagai (4) corong individu. Hal ini tentu mempengaruhi perubahan isi informasi, rezim, publik, dan ruang komunikasi antara rezim dan publik. 1. Media Televisi sebagai Corong Negara Televisi Republik Indonesia (TVRI) berdiri sebagai “sebuah instrumen komunikasi Orde Lama dalam pembangunan mental, spiritual, dan fisik bangsa Indonesia yang sosialis. (KEPPRES No. 27 tahun 1963). Setelah Orde Lama tumbang, Orde Baru mengarahkan TVRI untuk memajukan persatuan dan kesatuan nasional, stabilitas nasional, dan stabilitas politik . Terlepas dari perbedaan fundamental kedua orde, ia tetap berfungsi sebagai corong untuk mencangkok ideologi dan mempropagandakan tujuan nasional. Pemberitaan menjadi tayangan dogmatis sebagai usaha penyamaan persepsi. Publik terdefinisi secara abstrak, bangsa. Pemerintah, melalui TVRI, merasa bertanggung jawab sebagai “ayah” untuk menyaring informasi dan mendidik massa yang “masih bodoh”. Ruang yang terbentuk bersifat patriarkis dan searah. Fakta yang disebar berupa wacana keberhasilan kebijakan pemerintah, hasil pembangunan, ataupun diskusi antara para petani dan nelayan dengan presiden.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Televisi sebagai Corong Pasar Kebosanan terhadap kualitas acara TVRI menstimulasi beberapa pengusaha di lingkaran pemerintahan untuk menginisiasi saluran televisi swasta guna menghadirkan hiburan alternatif yang “berkualitas”. Di akhir 80-an, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) milik anak presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, memulai siaran komersial pertamanya di Jakarta. Hal ini diikuti oleh kemunculan stasiun TV swasta lainnya. Pada awal kemunculannya, isi siaran TV swasta selalu berada dalam pengawasan TVRI. Mereka diwajibkan untuk melaporkan muatan acara secara berkala (KEPMENPEN RI No. 111 tahun 1990). Sementara itu, hak pewartaan berita eksklusif milik TVRI, yang lain hanya berkewajiban untuk merelainya pada waktu yang bersamaan. Walaupun begitu, TV swasta menemukan celah dengan menarasikan informasi dalam bentuk tuturan (features) dan reportase penyelidikan. Publik terekspos dengan realita “kebakaran di daerah kumuh yang bakal didirikan kondominium, pemogokan para buruh, demo mahasiswa dan LSM di gedung DPR/MPR, pembunuhan, banjir, atau kasus-kasus pengadilan.” Ruang komunikasi yang dimonopoli TVRI melemah oleh beragam alternatif fakta dan siaran hiburan. TV swasta berlomba-lomba menarik penonton dengan memberikan program yang mereka minati. Ketertarikan ini memberi timbal-balik rating sebagai daya tawar bagi pihak ketiga untuk memasang iklan. Publik dibombardir oleh hiburan dan iklan yang menawarkan berbagai komoditas dan standar gaya hidup baru. Ruang komunikasi dogmatis beralih menjadi ruang transaksional antara pembeli dan penjual. 3. Media sebagai Corong Pengusaha Pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 meruntuhkan otoritas pemerintah terhadap fakta. Relai berita TVRI seketika dihentikan dan UU penyiaran no. 32 tahun 2002 secara resmi menghapus kewajiban tersebut. Pemerintah, melalui TVRI dan Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N), tidak lagi menguasai dan mengendalikan informasi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tersusun oleh warga negara kompeten yang netral (non-partisan dan non-media) mengambil alih fungsi ini. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab publik untuk mengawasi dan mengembangkan kualitas penyiaran terdefinisi dengan lebih jelas. Walaupun begitu, pemain TV swasta tidak banyak berubah. Raja-raja media yang tumbuh sejak Orde Baru masih menguasai sebagai pemilik, penyandang dana, pemegang saham, atau “tangan tak terlihat” *7+. Pergantian orde membuat intervensi pemerintah melemah dan regulasi berpihak pada pengusaha TV. Mereka semakin tidak terkendali, Oligopoli terjadi. Beberapa


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pengusaha memiliki lebih dari satu stasiun TV. Misalnya, PT Media Nusantara Citra (MNC) milik Hary Tanoe menguasai RCTI, TPI, dan Global TV; PT Trans Media Corporation milik Chairul Tanjung menguasai Trans TV dan Trans7; atau PT Cakrawala Andalas Televisi milik Anindya Bakrie menguasai ANTV dan TV One. TV swasta seolah memiliki kendali akan “fakta” dan menyesuaikannya dengan pandangan politik pemiliknya. Terjadi aliansi antara penguasa media dan kekuatan politik. Surya Paloh (pemilik Metro TV) dan Aburizal Bakrie (ayah Anindya Bakrie), misalnya, memanfaatkan stasiun TV miliknya dalam kampanye presiden di tahun 2004 dan 2009 untuk mewakili kepentingan golongan. Pada kampanye presidensial 2014 pun, beberapa stasiun TV swasta terlihat sengit membeberkan “fakta” pro-kontra calon presiden unggulannya dengan kadar yang berbeda, bahkan hasil pemungutan suara resmi sempat berbeda. Fakta tidak lagi tunggal, tetapi majemuk sesuai dengan TV yang memberitakan. Publik dibingungkan dengan realitas yang simpang siur. Ruang transaksional berubah menjadi ruang pembentukan opini yang semakin menyegmentasi publik. Kecurigaan publik terhadap netralitas TV swasta muncul. Dan mereka mencari alat komunikasi politik alternatif, sebagian menemukan media sosial berjejaring sebagai salah satu opsi tandingannya. 4. Media Sosial sebagai Corong Individu Penetrasi ponsel cerdas (smart phone) membuat media sosial mudah dijangkau oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Di tahun 2014, sekitar 23% dari jumlah populasi menggunakan ponsel cerdas, sementara itu pengguna media sosial berjejaring Facebook mencapai 69 juta jiwa. Dengan angka yang signifikan, Facebookmemiliki massa kritis untuk membuatnya fungsional. Massa ini terikat kontrak sosial secara elektronik sebagai warga. Media sosial (Facebook, twitter, dll) menitikberatkan pada keautentikan warganya dalam memproduksi dan mendistribusikan muatan (content) melalui jejaring “teman”. Setiap warga memiliki hak suara untuk berbagi berita, menyatakan opini, atau mengungkapkan emosinya yang membentuk informasi. Setelah berjejaring, ia dapat menyebarluaskannya, dan ditanggapi oleh jejaringnya menjadi informasi baru. Setiap individu berpeluang berkomunikasi politik dengan mengonsumsi dan memproduksi informasi. Ada dua komponen utama media sosial yang terkait dengan komunikasi politik, yaitu “ruang” privat individu untuk berekspresi, dan informasi publik. Kedua komponen ini saling mempengaruhi. Hal ini menjadikan media sosial sebagai sebuah panggung tempat mendengar-melihat dan didengar-dilihat,


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sebuah ruang penampakan. Ruang publik di media sosial akhirnya berisi agregat ruang-ruang privat individu-individu yang menginvasinya. Kota media sosial menjadi “a collective shield or armor plate, an extension of the castle of our very skins”. Individu dalam dunia media sosial direpresentasikan oleh sebuah avatar, sebuah persona. Individu membangun keunikan personanya dengan mengoleksi “citra” – potongan-potongan informasi di ruang privat individu. Hal ini terkait dengan aktivitas yang dilakukan, informasi yang dibaca, opini yang disampaikan, hingga preferensi dalam kehidupan sehari-hari – misalnya, musik, film, atau makanan. Penggalan-penggalan ini membentuk sebuah gambaran ideal seorang individu yang ingin ditampilkan kepada individu lain. Dengan hadirnya persona, definisi rezim, publik, dan ruang relasi diantaranya dipertanyakan ulang. Rezim, oleh media ini, tidak lagi dipandang sebagai satu badan dengan satu suara, namun terpenggal-penggal persona per persona. Begitu pula publik yang makin tersegmentasi menjadi individu-individu unik. Fokus pandangan politik beralih dari ideologi yang diusung golongan menjadi citra yang dibawa oleh seorang persona. Komunikasi dua arah juga membuat ruang relasi antara publik dan rezim menjadi intim dan personal. Walaupun berwujud ideal, citra hanyalah sebuah representasi yang memiliki jarak dengan realita. Representasi memiliki cacat dengan berasumsi bahwa tanda dan realita itu sebanding apa yang diperlihatkan citra merupakan realita. Padahal, citra akan mendegradasi realita dalam empat tahap: 1) 2) 3) 4)

mencerminkan realita, menutupi dan menyalahgunakan realita, menutupi ketidakhadiran realita, dan akhirnya citra tidak menanggung realita tadi dan menjadi simulakra sejati.

Simulakra adalah salinan tanpa aslinya, sehingga ia tidak memiliki tempat dalam realita. Simulakra tidaklah menutupi kebenaran, tetapi menampilkan kebenaran yang tidak ada. Dalam bahasa populer, simulakra hampir bermakna serupa dengan “hoax”–kebohongan yang dirupa sebagai kebenaran. Simulakra telah ramai didiskusikan semenjak hadirnya televisi dan konsumerisme massal sebagai alat propaganda. Sepotong fakta yang dibungkus opini dapat menjadi tajuk utama di layar kaca. Atau, sepotong realita yang diberitakan secara berlebihan dapat mengubur realita lain di saat bersamaan. Ia menciptakan “hiperrealitas” –realita yang lebih nyata dari realitanya itu sendiri.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Simulakra menjadi lebih kompleks ketika sebuah proses penyalinan dan penyebaran dapat berlangsung dengan cepat, misalnya, pada media sosial berjejaring. Walaupun ada kesempatan, ternyata hanya 1% penggunanya yang secara aktif memproduksi muatan, sementara itu 9% berinteraksi dengan muatan tadi dan 90% lainnya merupakan pembaca pasif. Interaksi ini pun tumpang tindih antara muatan orisinal individu dan yang bersumber dari media massa, atau campuran keduanya. Hiperrealita media massa dapat dipercepat proses simulakranya oleh jejaring. Ataupun sebaliknya, muatan dari individu yang belum diverifikasi dapat langsung dikutip sebagai opini publik. Keduanya saling meminjam “fakta” dari yang lain. 5. Media Sosial sebagai Katalisasi Penyebaran Informasi Politik Media sosial hanyalah sebuah katalis yang memberi keleluasaan untuk memelihara weak ties – hubungan pertemanan yang efektif untuk penyebaran informasi, namun lemah dalam mengembangkan ikatan modal sosial. Ruang komunikasi, mungkin, tidak lagi didominasi oleh corong negara, pasar, atau pengusaha. Mereka hadir beriringan dan tidak saling mengeliminir. Ruang corong individu pun tak luput dari masalah kesubjektivitasan yang dapat mempertajam friksi antar individu atau antara individu dengan rezim yang lebih personal dan emosional – antara kami dan kalian. Antara kubu proJokowi dan kubu pro-Prabowo, kubu anti-Jokowi dan anti-Prabowo, kubu Islam Liberal dan anti-Islam Liberal, antara pro-ANIES dan pro-AHOK. Masih perlu waktu agar bijak dalam menggunakan media ini sebagai alat komunikasi politik. Kemudahan penyebaran dan berpartisipasi juga membawa clicktivism – rasa aktivisme dengan klik, misalnya, sebuah petisi daring. Pada September 2015, Uber, sebuah perusahaan transportasi daring asal Amerika yang mempertemukan persediaan dengan permintaan mobilitas, meluncurkan petisi untuk “melawan” aksi penertiban hukum oleh pemerintah. Sekitar 25,000 orang setuju dengan argumen bahwa ribuan orang akan kehilangan pekerjaan dan alternatif transportasi. Sementara itu, menurut pemerintah, Uber belum berizin resmi beroperasi sehingga lolos pajak dan tak mengasuransikan penumpangnya. Hal ini menyamarkan pembelaan keberadaan komuter sosial atau cair hukum terhadap hal yang menguntungkan pribadi dengan dalih terbatasnya ketersediaan transportasi umum. Kecepatan produksi-konsumsi memberikan tekanan kepada aktualitas informasi. Publik seolah tidak diberikan waktu untuk merefleksikan informasi, karena akan selalu diperbaharui. Individu menjadi reaktif untuk menyuarakan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

opininya dengan segera. Opini mengalahkan verifikasi. Fakta tak lagi menjadi dogma milik pemerintah atau transaksi pengusaha, melainkan berada di tangan individu. Karenanya, kita dituntut lebih kritis dan skeptis terhadap informasi dengan: 1) 2) 3) 4) 5) 6)

Mempelajari isi berita, Memeriksa keutuhan informasi, Mengenali sumbernya, Mengevaluasi bukti-bukti yang ditawarkan, Menyelidiki kemungkinan penjelasan lain, dan Menanyakan kegunaan informasi tersebut.

Kecepatan arus informasi malah mempersulit kejelasan sebuah fakta yang harus disaring dari opini, emosi, dan fakta lain yang mengalihkan. Fakta identik dengan paradoks kucing Schrodinger yang tidak akan benar-benar nyata sebelum kita membuka kotaknya dan melihat sendiri bahwa kucingnya hidup atau mati.

1. Fleksibilitas Pemanfaatan Media Sosial dalam Interaksi dan Komunikasi Keluwesan media sosial berhubungan dengan pemanfaatan penggunaan yang semakin mudah. Setiap orang tanpa kesulitan dapat menggunakan media sosial untuk mencari, memperoleh dan memanfaatan informasi yang beragam dalam koridor kebebasan berkomunikasi. Media sosial sebagai entitas pengolah dan penyebar informasi yang fleksibel dimanfaatkan oleh pengguna yang tidak tersegmentasi dalam kelompok sosial, ekonomi dan politik. Fleksibilitas media sosial mampu membangun dan meningkatkan hubungan antar individu maupun kelompok di dunia maya, yang tidak dibatasi oleh perbedaan status di masyarakat. Bentuk popular media sosial berbasis internet antara lain, adalah Blog, Twitter, Facebook, Wikipedia, dan MySpace. Media sosial berkembang seiring meningkatnya aplikasi berbasis internet yang bersifat dua arah (Web 2.0) sehingga pengguna mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi untuk membangun kesamaan makna. Media sosial memiliki hakikat untuk memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk berinteraksi lebih intensif tanpa jarak dan waktu yang seringkali menjadi penghambat. Pesan dapat mengalir dengan cepat kepada pihak yang berkepentingan ataupun entitas yang memiliki perhatian terhadap berbagai pemberitaan. Sosial media memang mempermudah para penggunanya untuk berbagi dan menciptakan pesan melalui jejaring sosial, media online, forum dunia maya dan dunia virtual (Mayfield, 2008: 6).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial yang termasuk media baru memiliki kesamaan saluran tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis, kegunaan, konten dan konteks (Rice, dalam Mc.Quail, 2010: 143). Lima macam media baru tersebut adalah: 1) Media komunikasi interpersonal, mencakup telepon dan email, yang secara umum kontennya bersifat pribadi, mudah hilang dan hubungan yang tercipta lebih penting dibandingkan informasi yang disampaikan, 2) Media interaktif, yang didasarkan pada komputer dan video game memiliki kekuatan pada interaktivitas dan dominasi proses 3) Media pencari informasi, misalnya internet, yang dipandang sbg perpustakaan dan sumber data, yang aktual dan mudah diakses, 4) Collective participatory media, meliputi penggunaan internet untuk tujuan berbagai dan menukar informasi, ide, pengalaman dan pembangunan hubungan personal, 5) Substitution of Broadcast media, merupakan referensi utama dalam menggunakan media untuk menerima atau mengunduh konten yang telah disiarkan atau didistribusikan oleh media lain sebagaimana program televisi yang telah disiarkan. Berdasarkan Pew Research tahun 2015, pengguna media sosial memiliki keberagaman dari aspek umur, jenis kelamin, stutus sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ras, etnisitas, penduduk desa dan perkotaan (Perrin, 2015 : 3). Keberagaman pengguna media sosial yang memiliki kesamaan dalam mencari informasi merupakan sasaran penyebaran informasi para integrator sosial yang berupaya membangun konten homogen sesuai dengan kepentingannya. Pada konteks ini, meskipun mempunyai kesempatan untuk mengemukakan pendapat, tetapi para pengguna dalam posisi pasif sebagai penerima informasi, sehingga pembuat pesan leluasa untuk terus menerus memproduksi pesan untuk mendapatkan keuntungan. Keleluasaan para pembuat pesan yang positif maupun negatif semakin kuat karena perangkat untuk mengakses atau menggunakan media sosial semakin murah dan terjangkau oleh masyarakat meskipun dalam kualitas yang terbatas. Data dari APJII tahun 2016 menerangkan bahwa rata-rata pengakses internet di Indonesia menggunakan perangkat genggam. Rinciannya adalah 67,2 juta orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan computer, 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari smartphone, sedangkan 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer. Melihat pengakses internet menggunakan perangkat genggam, sudah barang tentu terkait pula dengan pengguanaan media sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial memiliki fungsi antara lain untuk memperluas interaksi sosial manusia menggunakan internet dan teknologi web, mentransformasikan praktik komunikasi searah media siaran dari satu institusi media ke banyak audience (one to many) menjadi praktik komunikasi dialogis antar banyak audience (many to many). Perkembangan dalam diseminasi informasi yang sangat progresif dalam lingkup kebebasan komunikasi antara lain mentransformasi seseorang sebagai pengguna isi pesan, menjadi pembuat pesan itu sendiri. Media sosial sebagai media penyebaran pesan sebagai jurnalisme warga, membutuhkan penyesuaian standar jurnalistik agar produk yang dihasilkan sesuai dengan kaidah dasar jurnalisme. “Jurnalisme warga perlu perlindungan, karena menjangkau halhal yang bersifat sangat lokal yang jarang bisa disentuh oleh jurnalisme arus utama,� kata Eni Mulia, Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (Kompas, 30 Maret 2017, halaman 12). Pengguna media sosial yang beragam dan berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan politik yang berbeda, diikat oleh satu kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan kultur literasi malas membaca dan mencari kebenaran. Situs Berita Satu mengungkapkan, kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lekat dengan budaya membaca dan menulis, ingin yang serbainstan, serta daya kritis masih rendah. Gejala ini tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berpendidikan rendah, kelas menengah dengan pendidikan tinggi pun banyak yang seolah kehilangan akal sehat manakala menerima materi informasi yang tidak akurat. Informasi itu diamini hanya karena sesuai dengan sentimen pribadi atau kelompoknya tanpa pikir panjang tentang apakah benar, apakah membahayakan, apakah memecah belah atau tidak, informasi kemudian dibagikan kepada yang lain (Berita Satu, 2017). Keberagaman pengguna ini diikat oleh suatu kepentingan yang merujuk kepada ketidaksukaan atau kecintaan terhadap suatu entitas yang mereka percaya dapat memberikan hal yang lebih baik. Gerakan sosial politik dunia maya kemungkinan ada yang diikat oleh kepentingan politik dalam memburu kekuasaan dan tujuan bisnis di level elite atau masyarakat tingkat atas. Di sisi lain dalam posisi sebagai massa pada umumnya, bukan mustahil mereka diikat oleh nilai-nilai sektarian, semangat sub-nasional, komunalisme dan semangat permurnian kepercayaan yang menguat, tentu ada juga ikatan lain yang muncul dalam penggunaan media sosial adalah kepentingan-kepentingan lain yang merujuk kepada perasaan senasib sebagai warga yang kurang beruntung, mereka yang terpinggirkan oleh sistem sosial ekonomi dan politik yang dibangun oleh kekuasaan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kelompok pengguna bahkan ada yang sama sekali tidak menghiraukan etika kehidupan bernegara karena perilaku hedonisme yang menggejala. Pengguna media sosial yang heterogin dari aspek sosial budaya, ekonomi dan politik itu, tidak dapat disangkal bahwa mereka dapat bertindak sebagai pribadi ataupun kelompok yang memanfaatkan media sosial untuk kepentingannya yang beragam dan berhubungan dengan opini publik demi memenuhi kebutuhan informasi menyenangkan meski tidak benar dan menyesatkan. Majalah Tempo mengemukakan kecenderungan hoax adalah berita buruk, orang ramai diharapkan tidak sesuka hati menyebarkan berita tidak sahih. Kenyataannya, tanpa pemeriksaan yang cermat, sebagian orang turut menikmati berita bohong karena isi kabar tersebut memenuhi harapannya tentang keadaan orang atau lembaga yang menjadi korban hoax (Sahidah, Tempo 2017:62) Penggunaan media sosial dalam struktur politik yang melekat pada elite cenderung untuk memenuhi kesenangan semata terhadap informasi tentang lawan politiknya, melampiaskan dendam politik, membangun konflik, meminimalisir konflik, mencari dukungan massa untuk meraih atau mempertahankan jabatan publik, pencitraan, dan perilaku lain yang bermuara kepada kepentingan politik. Informasi dan pesan yang disebarkan tersebut sebagai respon terhadap pemberitaan positif maupun negatif, bisa tidak sesuai kenyataan, penuh rekayasa ataupun tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Media sosial pada level massa sebagai basis suara kelompok politik, dipakai sebagai alat untuk mencari informasi yang dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat positif, seperti memberikan pembelajaran, pemahaman luas terhadap kehidupan bernegara dan menyuarakan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Media sosial memiliki sisi lain yang dipakai untuk mencari informasi yang bersifat negatif terhadap individu maupun kelompok yang tidak disukai, misalnya pesan yang memanaskan pertikaian antar kelompok, kebencian terhadap mereka yang tidak disukai, mengunggulkan kelompoknya dan bersifat etnosentrisme, sektarianisme, komunalisme, semangat sub- nasional dan pesan atau berita negatif lainnya yang memberikan kepuasan dalam jerat konflik yang laten maupun manifes. Dalam pemberitaan di Surat Kabar Tribun Timur, tampak perbedaan penggunaan media sosial oleh elite, pada konteks ini. Walikota Makassar dan masyarakat pada umumnya. Dalam pemberitaan itu, pada intinya, banyaknya keluhan tentang saluran drainase yang tersumbat disampaikan masyarakat melalui media sosial, dan Walikota Makassar Dani Poemanto, juga menanggapinya melalui media sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Secara esensial, media sosial yang fleksibel untuk berkomunikasi dan berinteraksi di dunia maya, dimanfaatkan oleh pengguna yang tidak terikat oleh status sosial ekonomi dan politik. Pengguna media sosial pada umumnya memiliki perilaku yang sama dalam kultur malas mencari kebenaran. 2. Perbedaan Stratifikasi Politik dalam Penggunaan Media Sosial Perkembangan teknologi komunikasi memiliki implikasi mencerdaskan, memperluas wawasan, tetapi sekaligus berpotensi merusak nilai sosial ekonomi dan politik yang sudah melembaga. Salah satu perwujudan dari teknologi komunikasi adalah media sosial yang semakin mudah digunakan untuk berinteraksi dan menyebarkan informasi. Media sosial yang berkaitan dengan digitalisasi informasi menjadi kekuatan untuk menjangkau khalayak maupun pengguna. Pasar digital Indonesia pada 2014 mencapai US$ 12 miliar, meningkat US$ 8 miliar dibandingkan 2013. Diprediksi pada tahun 2020, Indonesia bakal menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara (http://www. indotelko.com/?c=in&it, akses 27 Oktober 2017). Media sosial sering dihubungan dengan kebebasan demokrasi informasi karena mengubah seseorang dari pembaca konten, menjadi penerbit konten. Ini merupakan pergeseran dari mekanisme siaran, berakar pada percakapan antara penulis, orang, dan teman sebaya. Unsur fundamental media sosial adalah pertama, media sosial melibatkan saluran sosial yang berbeda dan online menjadi saluran utama. Kedua, media sosial berubah dari waktu ke waktu, artinya media sosial terus berkembang. Ketiga, media sosial bersifat partisipatif. “penonton/ khalayak� mempunyai hak bicara dianggap kreatif, sehingga dapat memberikan komentar (Evans, 2008: 34) Keterlibatan pengguna yang merangkap sebagai sebagai khalayak, merupakan fleksibilitas dalam dalam penyebaran pesan. Secara umum media sosial dapat menghilangkan batas privasi, karena budaya pengungkapan pribadi yang aktif tanpa seleksi kebenaran, etika dan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Seringkali terjadi penyalahgunaan data yang diungkapkan melalui ruang publik membawa implikasi buruk terhadap hubungan antar manusia dan lingkungannya. Kecenderungan mengungkapkan informasi yang sepele dalam pesan singkat sebagaimana melakukan update status, merupakan kedangkalan yang menjadikan, �media sosial hanya cocok untuk hiburan daripada pekerjaan yang profesional� (Andrew, 2007).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Media sosial dalam perspektif etika pengelolaan pesan, seperti kehilangan kewibawaan karena pengguna yang sesukanya dalam memanfaatkan sebagai media penyebaran pesan. Setiap orang dapat mempublikasikan apapun yang mereka inginkan sehingga sulit untuk mengidentifikasi sejauh mana kontribusi berharga atau memiliki otoritas sebagai sumber informasi yang layak. Media tradisional atau media massa yang memiliki filter ketat untuk menjaga kualitas pesan, memiliki etika dan norma yang sangat ketat dalam urusan penyebaran informasi. Kecermatan dan ketelitian serta sederet aturan tersebut yang memposisikan media massa sebagai media tradisional. Keunggulan yang dmiliki bersifat elitis, namun media massa dinilai oleh kelompok progresif dalam pemberitaan sudah ketinggalan, dan masuk dalam perangkap birokrasi institusi media yang terikat oleh jam kerja, batas penayangan pemberitaan dan sederet aturan lain yang menghambat kecepatan diseminasi pesan kepada khalayak. Berlainan dengan, �media sosial yang menghilangkan keseimbangan kerja, dan memiliki potensi untuk memperpanjang hari kerja dan dan aspek-aspek lain kehidupan� (Carr, 2010:11). Media sosial disebut pula sebagai media baru karena memiliki karakter interaktif, dan berbeda dari media utama, sedangkan media utama dikategorikan sebagai media lama. Media utama juga didukung pula oleh kekuatan teknologi komunikasi. Media lama tetap memiliki khalayak dan sebagai rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kategorisasi media lama dan media baru bukan karena media lama yang konvensional penuh dengan etika dan peraturan itu menghilang, tetapi ada media baru, yaitu media sosial yang membawa perubahan dalam penyebaran pesan kepada khalayak. Media baru menawarkan digitilasasi, konvergensi, interaksi dan pembuatan jaringan kerja dalam pembuatan pesan. Kemampuannya menawarkan hubungan interaktif, memungkinkan pengguna media baru memiliki pilihan informasi apa yang dikonsumsi, sekaligus mengendalikan keluaran informasi yang dihasilkan serta melakukan pilihan-pilihan yang diinginkannya. “Kemampuan menawarkan suatu hubungan interaktif inilah yang merupakan konsep sentral dari pemahaman tentang new media (Flew, 2002: 11-22). Media sosial mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi pendapat masyarakat. Upaya pengagalangan untuk memperoleh dukungan yang cepat menjadi kekuatan media sosial dalam kecepatan penyampaian pesan. Media utama berusah untuk membangun ruang pemberitaan (news room) yang adaptif terhadap perkembangan teknologi komunikasi. News room merupakan ruang berita, semua jurnalis dan pekerja media bekerja mengumpulan berita yang akan dipublikasikan melalui di media cetak, atau


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

audio visual. Surat Kabar Kompas menuliskan Newsroom Baru Hadapi Media Sosial. Untuk mengimbangi kekuatan media sosial, digunakan Model DataDriven Journalism menyajikan paket berita multi media secara cepat, efisien, dan murah. Newsroom konvergen untuk mendukung industri pemberitaan. Perpaduan media dengan teknologi multi media. Berbagai informasi dalam bentuk teks, audio, dan visual dapat dipertukarkan untuk penyiaran media cetak, elektronik (audio dan video), serta online. Seorang jurnalis dapat menggunakan sumber dari situs web yang gratis di internet misalnya google, dan memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter dan youtube (Lau Joon Nie, Asisten Direktur Newsplex Asia). Dic Costolo, CEO twitter menyatakan Indonesia sangat vital bagi twitter. Akhir tahun 2013 meraih keuntungan sebesar 20,5 triliun rupiah, kuartal kedua tahun 2014 pendapatan total twitter sebesar US$ 312 juta dolar Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dari pemasukan iklan. Situs microblogging itu diakses sekitar 270 juta pengguna aktif, dengan 500 juta cuitan tiap hari (Kavita Media, 26 Oktober 2017). Secara umum media sosial memiliki pemasukan dari iklan sangat memadai karena para pemilik usaha mengetahui bahwa pengguna ataupun khalayak media sosial sangat banyak, sehingga produk yang diiklankan juga dengan cepat dikenal masyarakat luas. Dalam perspektif pemberitaan yang ideal, media sosial seringkali mengabaikan kebenaran faktual, empati dan keseimbangan, sumber yang tidak jelas, dan berbagai nilai pemberitaan lain yang tidak layak dikonsumsi publik. Khalayak pada media utama semakin berkurang jumlahnya. Media massa mainstream, memiliki posisi kuat dalam menumbuhkan wawasan khalayak. Surat kabar, majalah, radio, dan televisi memberikan informasi bermutu kepada masyarakat. “Media yang dipakai penguasa sebagai instrumen politik pemerintah untuk menyebarkan dan mempromosikan program sosial ekonomi pemerintah sebagai tujuan nasional� (Biagi, 2005: 350). Keterlibatan pemerintah seringkali lebih banyak memposisikan pers sebagai media yang harus dikontrol. Kontrol terang-terangan maupun terselubung terhadap media massa bertujuan menjaga keamanan dan stabilitas politik. Media wajib melaksanakan tugas pembangunan dan pemerintah campur tangan dalam membatasi pengoperasian media melalui aneka macam regulasi. Kecenderungan negara menguasai rakyat melalui penyebaran informasi, diulas oleh Durkheim, yang menyebutkan, “negara sering mempunyai gagasan baru untuk mengarahkan masyarakat sejauh mungkin� (dalam Giddens, 1986 :126).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam bingkai kebebasan komunikasi, media arus utama terperangkap dalam kontrol pemilik media demi kepentingan politik. Penyebaran informasi merupakan langkah politis untuk mengendalaikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi realistis dan akurat dari sumber yang kredibilitasnya diakui (McQuail, 1991:109). Media massa memiliki fungsi sebagai arus utama, mestinya independen dan mampu menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. “Pers harus menghormati hak asasi setiap orang, karena itu, pers dituntut profesional dan terbuka� (Sukardi, 2008: 109). Permasalahan mengenai pers yaitu pers bebas yang memicu konflik antara media massa dengan masyarakat yang disebabkan oleh pemberitaan yang memihak. Posisi media seharusnya bersikap “konsisten dalam peliputannya, yaitu impartial, fair, balance dan tetap menjadi pelindung masyarakat yang terpingirkan oleh sistem yang menekan dunia saat ini� (Eisy, 2007: 46). Perkembangan teknologi komunikasi dan demokratisasi informasi, memberikan hak masyarakat untuk memilih sumber informasi yang dapat memenuhi kebutuhan secara cepat. Media sosial mewartakan gambaran faktual dengan prinsip keseimbangan dan kejujuran, bukan sebatas mengejar kecepatan dalam pemberitaan dan menyebarkan berita bohong demi mempengaruhi kelompok kelompok di masyarakat 3. Perbedaan Stratifikasi Politik dalam Penggunaan Media Sosial Media sosial yang memiliki kekuatan dalam penyebaran informasi politik menjadi pertimbangan bagi elite dalam kekuasaan negara dan partai politik untuk membangun komunikasi politik dengan pendukungnya. �Komunikasi politik merupakan proses interaktif mengenai transmisi informasi kalangan politisi, media berita dan publik (Norris, 1999:163). Pesan dalam komunikasi politik menyangkut; cara kandidat, pemerintah, pelobi, maupun kelompok kepentingan dalam mencapai tujuan strategis, dan mengendalikan opini publik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Melalui media sosial, komunikasi politik tidak lagi dominasi linier berjalan satu arah, tetapi bersifat interaktif terbuka di alam maya. Komunikasi virtual ini muncul sebagai gambaran kekuatan media sosial sebagai media baru. Pemanfaatan media baru memungkinkan pengguna dapat membentuk jaringan integratif seluasluasnya, dan dapat menunjukkan identitas berbeda dari pengguna di dunia nyata (Flew, 2002: 25). Pilihan menggunakan media sosial untuk membangun jaringan komunikasi politik yang kuat merupakan hal yang wajar dalam upaya meraih dukungan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Terbentuknya jaringan komunikasi politik dengan menggunakan media sosial merupakan alasan praktis untuk menumbuhkan partisipasi yang mendorong kontribusi dan umpan balik, keterbukaan tanpa jarak antar sumber berita dan khalayak yang dapat menguatkan diskusi (Burke, 2000: 380). Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan politik memiliki tujuan untuk mempertahankan kekuasaan atau sebaliknya memperoleh kekuasaan. Pengguna media sosial memiliki perbedaan dalam proses penyebaran informasi politik. Kaum elite bisa saja bertindak sebagai sumber informasi yang faktual, tetapi bisa juga melakukan rekayasa pesan demi memperoleh dukungan. Pada level massa, menggunakan informasi dari media sosial untuk menguatkan identitas kelompok dalam jikatan komunalisme, sektarianisme maupun semangat sub nasional. Transaksi informasi politik ada yang terus berlangsung secara vertikal antara elite dan massa, atau secara horisontal diantara massa maupun antar elite dalam stratifikasi politik masyarakat. Enam lapisan stratifikasi politik, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6)

Proximate decession maker, Influential, Aktivis, Attentive public, Voters, Kelompok nonpartisipan.

Setiap lapisan memiliki relasi dan komunikasi politik yang terbuka, sehingga bisa saja tidak ada jarak yang tegas, khususnya yang menyangkut satu lapisan ke atas dan satu lapisan ke bawah (Putnam, 2013:10-14). Berdasarkan pemaparan Susanto (2013), lapisan pertama, proximate decession maker terdiri dari pejabat partai politik tingkat tinggi dan para anggota legislatif, yang terlibat langsung dalam dan memiliki otoritas membuat kebijakan pemerintahan dan negara. Lapisan kedua, influential, merupakan individu ataupun kelompok yang mempunyai pengaruh kuat dalam politik, dan pendapatnya diperhitungkan oleh pembuat keputusan yerdiri dari para pemilik modal dan birokrat papan atas, banker, pemimpin kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan mengontrol politik, dan mereka yang dapat membentuk opini publik. Lapisan ketiga adalah aktivis, biasanya memiliki pengalaman panjang menghadapi hambatan dan tantangan menjalankan roda organisasi. Mereka yang paling berhak mengisi jabatan-jabatan di partai politik dan memiliki kesempatan pertama menduduki posisi dalam pencalonan anggota legislatif


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

maupun pejabat politik. Kelompok ini adalah warga negara yang aktif dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Mereka terdiri dari partai politik, birokrat tinggi menengah, editor surat kabar lokal, dan para penulis. Kelompok pengamat (attentive public) sebagai kumpulan orang kritis, memiliki banyak informasi, wawasan luas, tapi tidak mau terjun langsung dalam politik. Voters dalam lapisan ini adalah pemberi suara dalam pemilihan umum, memiliki sumber politik kolektif yang penting karena jumlahnya besar, tetapi sebagai individu tidak memiliki pengaruh penting. Kelompok terakhir adalah Nonpartisipan, yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam politik karena kemauan sendiri, atau diasingkan oleh penguasa. Mereka memiliki jarak kekuasaan dengan elite politik. Berdasarkan stratifikasi politik tersebut, penggunaan media sosial di setiap lapisan memiliki perbedaan walaupun secara umum mempunyai kesamaan untuk mendukung tujuan dalam persaingan politik yang laten maupun manifest. Secara rinci stratifikasi politik dan penggunaan media sosial dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4. Stratifikasi Stratifikasi Politik dan Penggunaan Media Sosial

Pada tabel dapat disimpulkan bahwa lapisan pertama sampai ketiga memiliki kecenderungan sebagai pengorganisasi pesan dan membangun opini publik di media sosial. Ketiga kelompok ini juga mempunyai kepentingan untuk memburu jabatan publik maupun jabatan politik. Kelompok ke-empat sampai ke-enam memiliki posisi sebagai penerima informasi dan memberikan umpan balik sebagai bentuk dukungan dan penguatan opini negatif terhadap entitas politik di


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

luar kelompoknya. Kelompok ke-lima dan keenam juga memiliki kesempatan sebagai pemberi informasi tetapi frekuensinya jauh lebih kecil disbanding sebagai penerima informasi maupun meneruskan informasi Posisi di media sosial dan tujuan politik dalam paradigma komunikasi transaksional maupun interaktif bisa berubah-ubah mengingat pengirim pesan dapat berganti sebagai penerima pesan dalam interaksi di media sosial. Pesan pada media baru dibangun dengan kerjasama khusus antar pihak-pihak yang berkomunikasi. Proses beroperasi pembentukan pesan dilakukan secara horisontal diantara aktor-aktor politik dan juga vertikal ke atas sebagai respon opini publik terhadap mereka yang berwenang (Chekuvanol, et.al., 2013:4). Pemahaman makna terhadap pesan politik dari pengguna media sosial sangat dinamis, sehingga posisi dan tujuan ketika memanfaatkan media sosial bisa dengan cepat berubah. Dalam upaya membangun kesamaan makna, kelompok pertama sampai ketiga memposisikan penyebaran informasi sebagai alat untuk memperoleh dukungan melalui komunikasi yang integratif. Sejalan dengan Komunikasi dalam perspektif politik, sebagai alat menafsirkan peristiwa, dan membentuk tanggapan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Keberhasilannya ditentukan oleh cara membingkai pesan yang diterima masyarakat (Győri, 2016 : 14). Berpijak pada pendapat tersebut, jaringan komunikasi politik yang membuka jalan untuk saling bergantung, dan menciptakan ikatan diantara individu dan kelompok dalam satu entitas politik diperlukan membangun pemahaman bersama demi mencapai tujuan politik dalam demokrasi bernegara. Prinsip utama demokrasi adalah persamaan, kebebasan, dan kontrol dalam pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Penggunaan media sosial sebagai pendukung komunikasi politik merupakan perwujudan dari kehendak rakyat dalam menggunakan hak politik.

Media sosial (media sosial) telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Mewarnai berbagai bidang kehidupan, membentuk culture komunikasi baru. Bahkan media sosial menjadi sumber yang paling cepat dalam memberikan informasi terkait kontestasi politik. Sampai hari ini masyarakat pengguna media sosial masih merasakan panasnya “perang� media sosial jelang pilkada, pilcaleg dan isu seputar pemilihan presiden mendatang. Perdebatan politik masih dominan mewarnai laman media sosial kita. Seperti ditulis Tempo, penelitian Semiocast – lembaga riset media sosial yang berpusat di Paris, Prancis – menemukan fakta bahwa jumlah pemilik akun Twitter di Indonesia menduduki peringkat terbesar kelima di dunia. Sedangkan untuk


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pengguna facebook, menurut laporan majalah Forbes, meski kini telah dikalahkan oleh India, jumlah pengguna Facebook di Indonesia masih menduduki salah satu posisi teratas di dunia bersama dengan Brasil, India, Meksiko, Inggris Raya, dan negara asal Facebook Amerika Serikat. Seiring perkembangan zaman, keperluan pada internet tak hanya milik orangorang kota atau kalangan eksekutif saja. Namun sudah menjalar, hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Para pengguna jejaring sosial berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang-orang dewasa. Kenyataannya ketika isu-isu tertentu dimunculkan di jejaring sosial, informasi itu tersebar dengan cepat kepada seluruh anggota jejaring sosial. Sehingga dalam waktu yang singkat, isu dimaksud mendapat tanggapan publik. Jejaring sosial cepat menyentuh sanubari publik. Informasi berbagai negara dengan cepat tersebar ke publik, Hal ini tidak lepas dari peran jejaring sosial seperti facebook dan twitter sebagai katalisator revolusi yang bergerak begitu cepat. Pada gilirannya, komunikasi di dunia virtual ini bertransformasi menjadi gerakan nyata yang melibatkan berbagai kalangan. Jejaring sosial di kalangan masyarakat, khususnya para anak muda ini tentunya memberikan peluangpeluang tersendiri. Salah satunya di bidang komunikasi politik, baik bagi pemerintah, aktifis maupun politikus. Apatah lagi menjelang pemilihan kepala daerah, dan juga pemilihan legislatif dan pemilihan presiden nantinya. Deddy Mulyana dalam bukunya Komunikasi Politik, pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Jika kita cermati, apa yang diungkapkan pakar komunikasi ini pun beberapa tahun yang lalu mulai tampak dan semakin menarik. Media massa baik televisi, surat kabar dan juga internet, akan menjadi media utama kampanye politik menjelang pemilihan umum, seperti presiden, legislatif, gubernur, bupati dan wali kota. Para politisi, baik presiden, anggota legislatif, calon kepala daerah, tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya, membangun citra atau menyampaikan komunikasi-komunikasi politik. Tujuannya, tentu saja meraih dukungan khalayak, guna menduduki jabatan yang mereka inginkan. Terlepas apakah pengelolanya adalah mereka sendiri atau yang khusus ditugaskan untuk itu. Namun ada juga media yang mengatakan akun sebagian pengikut dari tokoh tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif. Politisi ini dapat menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka sekaligus mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tak menyukai mereka di media sosial tersebut.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Masyarakat pengguna media sosial di Indonesia, secara terbuka mengkritisi bahkan menghujat langsung para politikus yang dianggap gagal dalam menuntaskan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Ini menandakan masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator politik harus lebih profesional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesanpesan politiknya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, yang didapat malah bisa saja sebaliknya. Khalayak menjadi kurang simpati, dan meruntuhkan citra diri sang politikus. Dalam pengamatan penulis, masih banyak akun-akun media sosial para politikus dan calon kepala daerah yang menyampaikan pesan komunikasi politik dengan pola-pola lama. Mereka seakan masih terfokus dan jadi penganut teori komunikasi politik jarum hipordemik atau hypordemic needle theory. Di mana, pesan yang disampaikan di media begitu perkasa, pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi melalui media massa termasuk media sosial, pasti akan berdampak positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menafikan fakta-fakta, nilai-nilai, bahkan logika. Tak jarang, pesan-pesan politik yang disampaikan terkesan nyeleneh dan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk khalayak yang pasif dan awam, boleh saja cara-cara ini masih ampuh. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang kian kritis, kian dewasa dan mulai cerdas, yang mulai bisa membedakan antara hanya lip service, pencitraan dan kebenaran. Di negara-negara barat dan negara-negara maju lainnya teori jarum hipordemik dengan pola-pola lamanya, sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Di samping dianggap sudah klasik, dengan tokoh-tokohnya LA Richard (1936) Raymon Bauer (1964) Schramm & Robert (1977), pola-polanya juga dianggap sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat yang kian cerdas. Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang menggunakan situs internet dalam kampanye politik. Ia terutama ingin mendapatkan dukungan dari pemilih muda lewat pesan-pesan politiknya. Situsnya pun dikunjungi oleh lebih dari dua juta orang. Di sisi lain, isi pesan-pesan yang disampaikan masih terkesan serampangan, dengan pola-pola jarum hiperdemik. Hasilnya, bukannya seperti yang diharapkan, dalam pemilu Amerika Serikat (AS) tahun 1996 itu, Dole dikalahkan lawannya Bill Clinton. Dalam perkembangannya, para komunikator politik Amerika pun beralih pada pola the obstinate audience theory atau juga dikenal dengan teori khalayak kepala batu. Di mana para komunikator komunikasi politik tidak lagi percaya khalayak pasif dan dungu serta tak mampu melawan keperkasaan media. Khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Dalam komunikasi politik, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap terpaan semua pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan transaksi pesan, pesan yang masuk akan diseleksi, kemudian akan disaring diterima atau ditolak melalui filter konseptual. Adapun pola penyampaian pesannya, fokus pada pengamatan terutama pada komunikan. Melalui pendekatan psikologis dan sosiologis. Salah satu di antara tokoh politik kita yang telah menerapkan pola ini diantaranya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Bogor Bima Arya. Para politisi, baik calon kepala daerah dan calon anggota legislatif, bahkan dalam proses pilpres tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya, membangun citra atau menyampaikan pesan komunikasi-komunikasi politik. Tujuannya, tentu saja meraih dukungan khalayak, guna menduduki jabatan yang mereka inginkan. Terlepas apakah pengelolanya adalah mereka sendiri. Lebih lanjut Deddy Mulayana mengungkapkan bahwa para pejabat, politisi atau tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial. Namun ada juga media yang mengatakan akun sebagian pengikut dari tokoh tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif. Terlepas dari itu semua, meskipun para politisi ini dapat menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka sekaligus mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tak menyukai mereka di media sosial tersebut. Tentu saja ini merupakan fenomena sosial yang harus jadi pertimbangan para politikus yang aktif menggunakan media sosial tersebut. Gebrakan jejaring sosial ini juga telah merambah kedalam kehidupan sosialpolitik. Pada tingkat tertentu, media ini menjadi kekuatan sosial yang tak boleh diabaikan. Dengan akun-akun pribadi atau anonim, banyak pengguna jejaring sosial ini ikut menyampaikan dan mengkritisi berbagai fenomena sosial, mengomentari pejabat-pejabat yang kurang mereka sukai, ikut serta mengontrol kebijakan-kebijakan publik dan menggalang opini publik untuk membela kepentingan individu atau kelompok tertentu. Paling tidak ini juga menandakan masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator politik harus lebih profesional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Alih-alih mendapatkan keuntungan, yang didapat malah bisa saja sebaliknya. Khalayak menjadi kurang simpati, dan meruntuhkan citra negatif pada diri sang politikus. Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menafikan fakta-fakta, nilai, bahkan logika. Tak jarang, pesan-pesan politik yang disampaikan terkesan nyeleneh dan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk khalayak yang pasif dan awam, boleh saja cara-cara ini masih ampuh.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di era virtual, media sosial menjadi kekuatan publik yang sangat besar sehingga ia tidak bisa diremehkan. Media sosial telah benar-benar mampu menjadi jembatan suara-suara publik yang sesungguhnya. Melalui jejaring sosial, banyak orang menjadi “wartawan� atau “jurnalisme warga� yang menceritakan berbagai persoalan mulai dari yang kecil sampai yang besar, dari persoalan pribadi sampai persoalan publik. Tentu saja, tidak hanya saat ini, pada masa mendatangpun komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik, seiring dengan muncul berbagai media terutama media sosial. Apalagi, dalam dunia politik di Indonesia, jumlah massa mengambang terutama di kalangan generasi muda kian bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka untuk mempengaruhi mereka sebagai pemilih pemula. Seiring jumlah massa mengambang terutama di kalangan generasi muda kian bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka untuk mempengaruhi rakyat. Rakyat semakin cerdas, pemimpin yang hanya sekadar menggunakan pencitraan akan ditinggalkan. Pemimpin otentik dan dekat dengan rakyat akan semakin digandrungi. Media sosial memberi harapan sebagai media alternatif yang akan terus mengawal dan menjadi alat publik untuk mengadvokasi dan mengkomunikasi kepentingan politik mereka. 1. Media Sosial dan Kualitas Demokrasi Media sosial menjadi bagian penting di setiap hajatan politik pemilu. Saking pentingnya, setiap kandidat menyiapkan tim khusus untuk menanganinya. Tim ini bekerja 24 jam untuk memantau setiap informasi yang berkembang. Belum lagi gerakan swadaya dari simpul-simpul relawan. Biasanya mereka adalah loyalis-loyalis kandidat yang memang terpanggil untuk membangun citra postif serta membuat unggul kandidatnya. Fakta inilah yang membuat atmosfer media sosial terasa memanas selama kampanye. Masyarakat Kita selalu dipertontonkan perdebatan sengit di media sosial yang diistilahkan sebagai cyber war. Semua pihak saling beradu argumen untuk menunjukkan kandidat pilihannya adalah yang terbaik, terhebat, tersuci, dan ter- lainnya. Selain itu memang ada tim yang dibentuk untuk melempar isu, mengembangkan, dan mengcounternya. Jadi wajar saja, bila muncul isu apa pun tentang kandidat pasti akan memantik cyber war. Fenomena pemilukada di berbagai daerah menunjukkan bahwa pilkada di Indonesia telah memasuki babak baru dalam perkembangan strategi pemenangan politik. Media sosial telah menjadi bagian penting kontestasi politik. Fakta inilah yang kemudian membuat politisi mulai aktif di media sosial, baik lokal sampai nasional. Bahkan Presiden Jokowi pun giat dan gencar membangun komunikasi politik di media sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kita semua bisa melihat bagaimanan aktifnya presiden Jokowi di Twitter, Facebook, sampai Vlog. Bahkan Vlog yang dibuat Jokowi menjadi viral di Indonesia. Hal ini jelas mengindikasikan, bahwa para politisi memang memahami bahwa media sosial adalah media komunikasi paling efektif di masyarakat saat ini. a. Rasional Voter Fenomena perang media sosial ini bisa dibilang juga akan mewarnai pilkada serentak 2018, pilcaleg dan pilpres 2019. Terutama di daerah perkotaan yang rata-rata penduduknya pengguna media sosial aktif. Media sosial telah menjadi sebuah kapital politik. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan pengguna internet indonesia, yang sudah menembus angka 132,7 juta (APJII, 2016). Strategi pemenangan dituntut beradaptasi dengan perkembangan media baru ini. Kandidat harus berani membangun komunikasi di media sosial. Bukan tidak mungkin kedepannya politisi yang tidak mau berkomunikasi di media sosial, dianggap belum siap untuk jadi seorang pemimpin di Indonesia. Saat ini, setiap ada keluhan masyarakat pasti disampaikannya di media sosial. Semakin cepat pemimpin merespon keluhan itu, maka akan semakin tinggi respect masyarakat. Oleh karena itu. Komunikasi di media sosial, harus intensif dan berkelanjutan. Mau dikelola sendiri atau tim, yang penting terus terjalin komunikasi aktif dan solutif di media sosial. Selain siap membangun komunikasi di media sosial. Dalam konteks kontestasi politik, perlu juga dipahami bahwa yang menjadi sasaran di media sosial adalah rasional voter. Seringkali kita lihat tim kampanye kandidat sibuk saling perang opini yang tujuannya untuk memenangkan kandidatnya di media sosial. Memang terlihat seru, tapi sebenarnya itu keluar dari substansi komunikasi politiknya. Komunikasi politik di media sosial mengedepankan komunikasi yang berdasarkan kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas. Rangsangannya bersifat edukatif dan informatif, karena memang yang menjadi sasaran di media sosial adalah pemilih rasional. Kalau kandidat atau tim sibuk melakukan komunikasi yang hanya menunjukkan timnya banyak dan eksis di media sosial, justru akan bias dan menjauhkan dari sasarannya. Dalam konteks politik voter, komunitas ini tetap diisi oleh 3 kategori pemilih. (1) Tradisional, (2) Transaksional, (3) Rasional. Dari 3 kategori ini yang memang bisa di influence di medos adalah pemilih rasional. Ketika bisa meyakinkan mereka, maka mereka pasti akan memilih, bahkan bergerak dengan sendirinya untuk memenangkan kandidat. Tanpa harus ada iming-iming uang atau jabatan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Hal inilah yang pernah diterapkan oleh Barrack Obama. Strategi komunikasinya berhasil menarik simpati para internet citizen. Bahkan Obama mampu mengumpulkan sumbangan ratusan juta dollar melalui media sosial. Itulah yang terjadi bila kita sudah menarik simpati para rasional voter. Mereka akan benar-benar berjuang bersama kita. Karena itu, pendekatannya adalah program, visi misi, rekam jejak, dan integritas kandidat. Dalam artian, tidak bisa asbun (asal bunyi) di media sosial. Harus satu kata dengan perbuatan. Bila ada satu hal saja yang tidak sesuai fakta, pasti akan langsung mereduksi popularitas dan elektabilitas kandidat. Bila itu terjadi, harus sangat kerja keras untuk mengembalikan simpati publik. Faktanya masih banyak kandidat atau tim suksesnya yang keliru dalam menerapkan pola strategi komunikasi politik di media sosial. Banyak yang beranggapan, semakin ramai di media sosial semakin bagus untuk popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Oreantasinya hanya banyaknya viewer, commentt, dan like, seringkali melupakan substansi. Memang benar adanya, menjadi viral atau banyak disukai itu penting. Tapi, jangan lupa bahwa targetnya adalah rasional voter. Contentnya juga harus berbobot dan bernilai. Misalnya mencanangkan terobosan program baru yang memang realistis dan terukur, sehingga membuat para rasional voter tertarik untuk mendiskusikannya, memberikan masukan, dan kemudian mengkampanyekannya. Intinya seorang kandidat dan tim media sosialnya harus lebih menonjolkan tentang apa yang sedang dan pernah dilakukan untuk masyarakat. Bukan hanya sekedar tentang foto dan tagline. Misalkan seorang kandidat berlatar belakang pengusaha. Publish tentang perannya dalam pengembangan kewirausahaan di masyarakat, yang memang sudah dilakukan jauh hari sebelum pilkada dimulai. Dengan begitu masyarakat pun akhirnya tahu langkah konkrit apa saja yang pernah dibuat kandidat. Apa saja legacy yang sudah diberikan kepada masyarakat. Ada ukurannya yang jelas untuk dinilai. Hal-hal seperti inilah yang dimunculkan. Sebuah bukti yang akhirnya menarik simpati dan keberpihakkan para rasional voter. Sedangkan untuk tradisional dan transaksional voter meskipun mereka aktif di media sosial, tapi untuk urusan menentukan pilihan pendekatannya tetap konvensional. Jangan sampai yang sering meramaikan media sosial kandidat, justru para tradisional dan transaksional voter, yang keberpihakannya tetap harus diselesaikan dengan cara-cara “lama�.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

b. Kualitas Demokrasi Media sosial memang telah menambah warna politik Indonesia. Interaksi dengan masyarakat pun lebih terasa. Tidak ada sekat bagi politisi dan masyarakat di media sosial, yang akhirnya membentuk dialektika yang lebih aktif dan mendalam. Membuat masyarakat bisa mengukur secara langsung kualitas, kapasitas, dan kapabilitas seseorang. Komunikasi politik media sosial bisa dikatakan memiliki kualitas yang lebih baik dari cara konvensional. Karena mengedepankan komunikasi yang berdasarkan karakter, budaya, dan keilmuan. Sehingga tidak terlalu mementingkan rangsangan materi. Bentuk komunikasi politik seperti ini tentunya semakin membawa dampak positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Media sosial membuat informasi semakin cepat dan mudah diakses masyarakat. Hal ini berimbas positif bagi peningkatan partisipasi publik. Sehingga ketika muncul permasalahan, masyarakat bisa segera tahu, berperan aktif mencari solusinya, dan bisa langsung memposisikan dirinya dengan tepat. Terbentuknya culture komunikasi media sosial bila dianologikan dengan konsep demokrasi. Ada kesamaan sistem sosial yang dibangun. Inti demokrasi adalah saat semua orang memiliki posisi yang sama di hadapan negara. Culture inilah yang terbentuk secara alami di media sosial. Setiap individu bebas untuk menentukan apa yang akan ditulis dan diungkapkan di akunnya. Akun media sosial, ibarat mulut manusia yang tidak bisa dikekang. Dia bebas bersuara, berteriak, berpendapat, dan tidak bisa dipaksa tunduk pada orang atau kelompok tertentu. Dia hanya tunduk pada aturan yang telah disepakati, dipahami, dan dipatuhi bersama, tanpa pandang bulu. Seperti itulah hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Selama tidak melanggar peraturan hukum yang berlaku, semua rakyat Indonesia memiliki hak yang sama. Bebas bersuara, menilai, dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Culture komunikasi yang demokratis di media sosial, bisa menjadi jembatan menuju kualitas demokrasi Indonesia yang semakin baik dan sehat. Sehingga melalui perkembangan teknologi komunikasi yang semakin cepat dan canggih ini. Kontestasi politik mampu melahirkan pemimpinpemimpin berkualitas yang bisa mewujudkan semua harapan rakyat Indonesia.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Media Sosial dan Aktor Politik Penting bagi institusi politik untuk berpartisipasi aktif dalam komunikasi politik berbasiskan media sosial, terutama dalam kampanye Pemilu. Media sosial sebagai sarana ideal dan basis informasi untuk mengetahui opini publik tentang kebijakan dan posisi politik, selain untuk membangun dukungan komunitas kepada politisi yang tengah berkampanye. Sejumlah penelitian menunjukkan politisi di seluruh dunia telah mengadopsi media sosial untuk menjalin hubungan dengan konstituen, berdialog langsung dengan masyarakat dan membentuk diskusi politik. Kemampuan menciptakan ruang dialog antara politisi dengan publik serta menarik minat pemilih pemula/pemilih muda membuat media sosial semakin penting bagi politisi (Stieglitz & DangXuan, 2012). Sebelum menggunakan media sosial para politisi sudah menggunakan internet untuk berkampanye. Internet bisa menjadi cara yang potensial dalam mendobrak politik demokrasi massa yang opresif yang menyuarakan suara dari bawah ke atas, yang kerap dengan power yang dimiliki, dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan golongannya. Internet menjadi media bagi mengalirnya informasi dua arah yang interaktif antara politisi dan pendukungnya. Internet menjanjikan memberikan forum yang seluas-luasnya bagi pengembangan kelompok kepentingan dan sebagai sarana penyaluran opini (Asih, 2011). Di Indonesia, penggunaan internet sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu 1997, di mana kontestan Pemilu saat itu: Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan, masing-masing memiliki situs resmi. Informasi dalam situs tersebut meliputi program partai, pernyataan politik, susunan pengurus pusat/daerah, AD/ART, dan kesempatan dialog dengan pengurus. Pada Pemilu 2004 dan 2009 penggunaan internet semakin meningkat pada partai politik, individu calon legislator, calon presiden dan calon wakil presiden (Putra, 2011). Media sosial memang mulai dilirik dalam kurun waktu sekitar lima tahun terakhir. Para politisi dalam kampanye pemilihan umum pilkada dan pilpres lalu telah aktif memanfaatkan YouTube untuk memposting video kampanye kreatif mereka. Bahkan sempat ada game online yang memiliki alur cerita seperti game Angry Birds, dengan tokoh utama Jokowi. a. Penggunaan Media Sosial bagi Aktor Politik Media sosial belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik oleh para aktor politik di Indonesia. Tantangan pertama adalah hilangnya batas-batas status sosial di dunia media sosial. Menurut Coutts & Gruman (2005: 254) dalam komunikasi yang termediasi dengan komputer, maka para peserta


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

komunikasi akan mendapatkan kesetaraan partisipasi yang lebih luas daripada tatap muka. Pendapat tersebut memang mengacu pada aktivitas komunikasi dalam organisasi. Namun relevan apabila dibawa ke dalam konteks komunikasi politik di era media sosial. Dengan adanya media sosial, maka para aktor politik pun harus menyadari meskipun dia secara riil adalah pejabat tinggi atau partai politik yang berkuasa, tetapi posisinya di media sosial akan setara dengan user lain. Para aktor politik harus siap-siap saja menghadapi kritik (bahkan beberapa di antaranya cenderung pedas) user lain. Media sosial merupakan rimba raya, dan praktis tidak ada peraturan di dalamnya (Fitch, 2009). Apabila tantangan itu tidak dihadapi dengan bijak, maka hasilnya aktor politik tersebut justru malah menjadi bahan cibiran di dunia maya. Diberitakan, ada pejabat publik, beberapa kali terlibat perdebatan –dan itu mengenai hal-hal yang tidak substantif—dengan user lain di media sosial. Selain itu para aktor politik tidak bisa lagi menggunakan media sosial sebagai sarana untuk “curhat�. Media sosial telah mengaburkan pemahaman orang, apakah yang dikatakan tersebut merupakan sikap resmi atau hanya ungkapan pemikiran atau perasaan dia sebagai pribadi. Sikap resmi atau institutional rhetoric dan ungkapan pribadi atau everyday talk sering tumpang tindih (Finet, 2001: 274-276). Seseorang akan salah persepsi apakah curhat yang dilakukan oleh aktor politik di media sosial merupakan ungkapan dirinya sebagai pribadi atau mewakili institusinya. Persoalannya aktor politik di Indonesia masih belum menyadari bahwa dalam berkomunikasi di media sosial memerlukan kemampuan tersendiri. Kemampuan di sini tentu tidak hanya kemampuan teknis, tetapi mentalitas. Kehadiran media sosial menuntut para pelaku politik untuk beradaptasi. Namun para pelaku politik tersebut sering kesulitan dalam fase adaptasi ini (Chavez, 2012). Ada beberapa hal yang berkaitan dengan “mentalitas lama� (old mentalities) seperti yang disebutkan di atas – dan hal ini umumnya dialami oleh organisasi yang menggunakan media sosial. Salah satunya adalah mengabaikan sifat interaktif yang ada di media sosial. Dalam era politik kontemporer, politisi harus memikirkan audiens interaktif dan kapasitas mereka untuk menjawab, menanggapi, mendistribusikan dan memodifikasi pesan yang mereka terima. Penelitian Asih (2011) mengungkapkan bahwa partai politik di Indonesia mayoritas belum memaksimalkan media sosial dan media baru. Faktor interaktifitas diabaikan. Dari 14 parpol peserta Pemilu 2014, seluruhnya memiliki website. Sayangnya situs web tersebut belum dimanfaatkan secara


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

maksimal sebagai media komunikasi dua arah. Hampir di semua website parpol tidak tersedia forum yang memungkinkan komunikasi dua arah. Kalau pun tersedia, forum ini tidak dapat diakses. Facebook dan Twitter yang digunakan oleh politisi dan partai politik ternyata isinya hanya untuk menginformasikan hal-hal yang baik-baik saja. Transaksi informasi yang terjadi didominasi oleh posting-posting yang disampaikan oleh simpatisan parpol atau politisi. Politisi dan partai politik sekadar latah menggunakan jejaring sosial untuk berinteraksi. Media sosial masih dimanfaatkan sebagai media kampanye, belum interaktif, belum aspiratif. Padahal media sosial memiliki potensi sebagai sarana untuk mendengarkan suara masyarakat. Di era interaktif digital, produksi pesan dan citra politik malah justru menjadi hal yang rawan untuk "diganggu". Pelaku politik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa pesan-pesan mereka akan dimodifikasi oleh pihak lain ketika pesan tersebut disampaikan melalui media sosial. Lingkungan media digital tidak menghargai integritas informasi: ketika informasi itu sudah dipublikasikan secara online, maka siapa pun bebas untuk memodifikasinya (Gurevitch, et.al 2009). Para pengguna internet tak tertarik untuk mencari rekam jejak atau program yang ditawarkan oleh politisi. Sebaliknya, ada kecenderungan di masa kampanye Pemilu, internet justru digunakan untuk mengolok-olok politisi dan menyerang politisi yang tidak disukai (Momoc, 2011). b. Media Sosial Sebagai Sarana Branding Kelemahan partai politik dan politisi di Indonesia adalah hanya “menyapa� konstituen biasa/pendukung biasa setiap lima tahun saja, yakni menjelang pemilihan umum. Jika tidak mendekati pemilihan umum, partai atau politisi hanya menyapa pendukung-pendukung yang kaya (Wasesa, 2011). Padahal masyarakat biasa pun perlu disapa. Dalam proses branding kepada masyarakat, dibutuhkan berbagai cara agar penyampaian pesan dapat efektif tertanam ke benak publik. Salah satu cara yang dianggap efektif dan efisien saat ini adalah melalui penggunan new media. Dengan mengandalkan kemampuan internet dalam menyebarkan pesan secara many to many, tokoh personal tersebut secara cepat dapat merasakan efek positif yang diberikan oleh new media. Branding menggunakan new media yang diwakili oleh media sosial dapat berefek positif untuk perusahaan maupun dalam kasus ini adalah personal. Hal ini didukung oleh kemampuan internet dalam menjangkau masyarakat yang sebelumnya terabaikan lewat branding dengan cara lama.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kesuksesan branding melalui media sosial ditentukan oleh pengelolaan media sosial secara up to date dan senantiasa menjaga komunikasi secara konsisten dengan menggunakan struktur percakapan yang sedang berkembang dalam lingkungan masyarakat (Lipiainen & Karjaluoto, 2012). Menjaga pengelolaan media sosial yang selalu up to date serta melayani publik dalam memberikan informasi tidaklah mudah. Konsistensi menjadi kata kunci yang perlu dipahami seluruh pihak. Selain itu politisi juga menghadapi tantangan lain terkait penggunaan media sosial sebagai upaya pembentukan branding yakni menampilkan pribadi sesuai dengan harapan masyarakat (Guervitch, et.al., 2009). Berdasarkan penelitian yang berkembang, penggunaan media sosial mempunyai beberapa keuntungan strategis. Secara garis besar keuntungan yang dihasilkan dari branding menggunakan media berbasis internet adalah mudah, murah, praktis, dan efektif (Anshari, 2013). Konsep mudah yang diusung dari penggunaan media sosial adalah kemudahan yang ditonjolkan dari sistem internet dan penggunaan media sosial. Dengan sekali tekan “push� dari satu tempat, sebuah pesan dapat cepat menyebar dan dibaca serta diketahui oleh seribu bahkan seluruh orang. Bayangkan dengan pengunaan branding model lama yang memakan space di beberapa titik pentig. Belum lagi harus menyebarknnya ke seluruh kota di Indonesia. Lewat media sosial, penyebaran cukup dari satu titik namun jangkauan langsung menyebar ke seluruh pelosok yang masih terjangkau daya internet. Harga yang harus dikeluarkan juga menjadi pertimbangan utama dari penggunaan media sosial sebagai alat branding. Cukup dengan mengoptimalkan peran fitur di media sosial, maka pesan akan sampai dengan sendirinya kedalam benak masyarakat. Hanya dengan kekuatan internet satu pesan dapat tersebar ke banyak pihak, sesuai dengan sifat internet, yakni many to many. Namun masih banyak juga tokoh politik yang mengedepankan old fashion branding dengan pemasangan baleho, spanduk, hingga poster yang menonjolkan kemampuan serta kelebihan yang ditawarkan oleh dirinya jika terpilih. Hal ini dikarenakan banyak tokoh politik yang masih percaya bahwa pemilih yang tinggal di pelosok tidak mahir dan belum paham akan penggunaan internet. Penggunaan media sosial dapat menghemat biaya politik. Biaya pemasangan spanduk dan sejenisnya dapat diminimalisir dengan ketepatan dan ketelatenan dalam memberikan informasi di media sosial. Praktis juga menjadi keuntungan tersendiri, sifat branding yang cukup praktis karena dapat menjangkau seluruh kalangan, tanpa perlu mengkotak-kotakan warga.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang mencapai angka 75 Juta, merupakan cara yang lebih praktis jika branding dipusatkan kepada penggunaan media sosial. Namun begitu dari sisi efektifitas belum dapat dilihat dengan tepat, dikarenakan fokus dari penelitian ini bukanlah efektifitas dari branding menggunakan media sosial. Efektifitas baru dapat diukur setelah usainya pemilihan tokoh politik tersebut. Namun dari banyaknya penelitian serta contoh studi kasus yang terjadi di lapangan, dapat dilihat bahwa penggunaan media sosial sebagai sarana branding dapat berjalan mulus. Dengan mengambil contoh studi kasus pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, yang meloloskan Anies – Sandi sebagai pemenenang. Proses kampanye hingga branding yang mereka jalankan banyak menggunakan bantuan media sosial seperti facebook, twitter, hingga youtube. Sehingga tidak salah jika ada kemungkinan branding yang dijalankan dengan media sosial dapat menuai hasil yang positif.

1. Sosialisasi Politik dan Partisipasi Politik Perkembangan teknologi informasi yang pesat, dengan sumber dan akses informasi yang tidak terbatas, berdampak langsung pada komunikasi politik pengambilan keputusan. Saat ini setiap orang yang terlibat dalam aktifitas politik, informasi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mengambil keputusan. Media sosial memainkan peranannya, dengan memudahkan masyarakat untuk aktif menyuarakan pendapat dan pandangan mereka yang berbeda. Hal ini merupakan fenomena yang juga turut berpengaruh dalam komunikasi politik. Kehadiran teknologi smartphone dengan media sosialnya telah menjadi alternatif bagi public untuk mengekspresikan sikap dan opininya sehingga proses sosialisasi politik menjadi semakin Kompleks karena melibatkan teknologi komunikasi baru yang semakin marak digunakan masyarakat modern. Karakteristik sosial media yang cepat interaktif mempengaruhi pola pola pola sosialisasi hingga terbentuknya budaya baru. Sementara media massa tanah air yang diharapkan menjadi medium sosialisasi politik dan persoalan sosial ekonomi budaya dan sebagainya telah menjadi alat politik yang dikuasai oleh kepentingan tertentu, akibatnya informasi data dan fakta yang diterima oleh masyarakat melalui media massa tentang berbagai isu politik acapkali telah jadi bias, vague, tidak jelas. Berita dan isu sudah diframe atas kepentingan tertentu oleh media yang bersangkutan. Sosialisasi politik menjadi faktor yang sangat penting yang mempengaruhi voting behavior.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Membangun Citra Politik Citra politik menjadi salah satu tuntutan untuk membangun kepercayaan calon pemilihnya. Membangun citra politik sangat penting di tengah membanjirnya informasi politik khususnya tentang pemilu. Setiap partai harus memiliki strategi masing-masing agar dapat tertanam dibenak para pemilih sehingga dapat dipastikan menjadi pemenang. Citra dapat dikategorikan sebagai strategi positioning suatu partai politik diantara partai-partai lainnya. Citra juga terkait dengan identitas sebuah partai politik dan tokoh-tokoh politik yang terlibat di dalamnya. Citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan sengaja diciptakan diri suatu objek, orang atau organisasi. Dari ungkapan tersebut , citra itu dengan sengaja perlu diciptakan agar bernilai positif. Citra itu sendiri merupakan salah satu aset terpenting dari suatu perusahaan atau organisasi. Istilah lain adalah favorable opinion. Jelang pemilihan Kepala daerah, legaislatif dan Pemilihan presiden 2019 mendatang, pencitraan media sosial menjadi sangat penting mengingat persaingan untuk pemilu semakin sengit, dinamis dan ketat. Semua tokoh politik maupun partai politik berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian dan simpati masyarakat. Masyarakat Indonesia pengguna dan penggiat media sosial sangat antusias mengikuti perkembangan politik jelang pemilu 2019, sebagai referensi mereka dalam mempelajari dan memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria mereka. Gegap-gempita pemilu presiden mulai hangat diperbincangan di media sosial. Para pengguna media sosial konsisten menyuarakan sikap kritis terhadap penyelenggaraan kekuasaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Publik tidak lagi berharap tidak lagi fokus pro kontra calon presiden yang akan datang, yang ada adalah sikap kritis sekaligus proporsional terhadap pemerintah, DPR, lembaga yudikatif, partai politik, dan para politisi bahkan unsur masyarakat sipil. Kehadiran media sosial dimanfaatkan oleh semua pihak; pemerintah, partai politik, politisi dan lembaga politik lainnya sebagai media komunikasi kepada masyarakat guna menginformaksikan program-programnya. Pengguna internet pun semakin meluas, tidak hanya kalangan atas yang bisa menggunakannya, namun seluruh lapisan masyarakat dapat mengaksesnya, seiring semakin mudahnya mengakses internet melalui laptop, bahkan perangkat telepon genggam. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Media sosial kini telah berkembang dengan pesat. Dengan kecepatan dalam penyebaran informasi dan komunikasi yang bersifat timbal balik.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Fasilitas situs jejaring media sosial dimanfaatkan oleh tokoh politik untuk bersosialisasi dengan mengunggah foto-foto maupun video kegiatan atau program yang sedang dan telah di jalankan. Tokoh politik juga seringkali bersikap responsif melalui media sosial terhadap isu atau pemberitaan yang negatif terkait dengan dirinya. Melalui situs jejaring media sosial, para tokoh politik menggunakannya untuk berbagai macam kepentingan politik salah satunya adalah kampanye politik. Kekuatan situs jejaring sosial facebook dan twitter tidak diragukan lagi memiliki dampak yang cukup signifikan bagi perubahan sosial masyarakat. Bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) membuat akun facebook dan Twitter pribadi untuk berkomunikasi dengan masyarakat secara langsung. Penggunaan situs jejaring sosial di kalangan tokoh politik menjadi perhatian masyarakat pengguna facebook dan twitter. Hal tersebut bukan lagi menjadi sebuah fenomena, tapi sesuatu yang wajar dan mutlak adanya di era media baru kekinian. Melalui situs jejaring sosial facebook dan twitter ini masyarakat dapat melihat status atau tweet terbaru yang di keluarkan oleh tokoh politik. Tweet atau status terbaru yang dikeluarkan oleh tokoh politik ini kadang sarat akan muatan politik. 3. Pembentukan Opini Politik Orde reformasi telah membuka ruang di mana ekspresi politik rakyat dalam sebuah proses politik. Bagaimana appeal media sosial dalam menggencarkan opini rakyat terhadap suatu proses politik atau kasus dengan muatan politik yang tinggi. Kalangan kelas menengah perkotaan adalah tulang punggung dari mobilisasi media sosial ini. Berbekal kedekatan personal di dunia nyata, mereka pun terbagi ke dalam cluster-cluster yang membentuk opini mengenai isu-isu kemanusiaan di dunia maya. Salah satu yang paling menonjol adalah isu antikorupsi. Perhatian publik terhadap pemberantasan korupsi, mendorong mereka giat menyebarluaskan informasi di media sosial. Isu-isu sosial dan politik mendapat banyak respons melalui media sosial. Banyak pihak yang benar-benar memanfaatkan media sosial untuk berbagi pesan, berimplikasi membangun opini untuk mendukung tujuan politik tertentu. Media Sosial juga mengurangi hambatan tradisional sosio-ekonomi untuk menjadi sosok yang terkenal. Barangkali disinilah letak nilai tambah utama dari media sosial, di mana anda tidak harus "menjadi orang" untuk "menjadi seseorang" di media sosial. Media sosial memiliki keleluasaan untuk dibentuk secara mandiri oleh kalangan kaum muda. Dari aspek jangkauan pesan yang tersampaikan pun, media sosial memperlancar apapun format hubungan yang dibangun, selain tentunya, bagaimana komunikasi diproduksi, direproduksi, dimediasi, dan diterima. Mereka juga diantar untuk memasuki dan terlibat dalam rezim baru citra visual di mana budaya layar menciptakan peristiwa


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

spektakuler, seperti halnya ketika mereka merekam diri sendiri dan menyebarluaskannya (postings) ke Blackerry, Twitter dan facebook sekaligus, untik dibaca oleh ratusan, ribuan bahkan jutaan orang. Keadaan seperti itu, kekuasaan negara menjadi lebih menyusut, ada kesan, berkurang daya kontrolnya. Pesan teks di Facebook, Twitter, YouTube dan Internet telah memunculkan reservoir energi politik yang mengemukakan relasi baru antara teknologi media baru, politik, dan kehidupan publik. Teknologi digital ini ternyata cukup “powerful� untuk dimanfaatkan dalam proses pembentukan opini dan berlangsungnya kegiatan di tengah kelompok-kelompok masyarakat. 4. Opini Publik dan Kekuasaan Politik Penelitian dalam komunikasi, psikologi, dan sosiologi menyatakan bahwa, cara pandang manusia akan sangat ditentukan oleh jenis dan volume informasi yang mereka terima. Implisit dari penelitian-penelitian ini adalah bahwa kita dapat membentuk opini publik melalui informasi yang kita berikan. Ketika kekuatan politik ingin mendiskreditkan image politik lawan, yang perlu dilakukan sudah cukup dengan membanjiri informasi di media sosial dengan hal-hal buruk yang dilakukan lawan politik. Begitu juga sebaliknya, ketika ingin membentuk image positif dari publik, cukup dengan membanjiri media massa dengan hal-hal positif dari suatu partai atau kandidat. Sulit sekali untuk menyembunyikan kebobrokan perilaku dewasa ini. Informasi dan berita tidak mengenakkan akan dapat dengan mudah tersebar melalui media sosila, dan bentuk-bentuk pemberitaan lainnya. Pemberitaan media sosial sangatlah efektif dalam membentuk opini Sehingga media sosial memainkan peran yang sangat penting dalam berpolitik dewasa ini. Peningkatan posisi tawar-menawar akan sangat tergantung seberapa besar dapat memengaruhi opini publik untuk dapat berpihak kepada partai/calon. Hubungan itu tidak akan se-sederhana dan selinier ini. Terdapat banyak sekali gangguan (noise) yang dapat menjauhkan dari tujuan semula. Beberapa gangguan dapat disebabkan oleh usaha yang dilakukan partai/calon untuk mengklarifikasi informasi, menyatakan image positifnya, dan menolak tuduhan yang diberikan lawan politik. Selain itu juga terdapat bias persepsi dari setiap individu. Informasi yang diberikan tidak selalu diartikan sama seperti yang dimaksudkan oleh si pengirim informasi. Kemampuan untuk membentuk opini publik ini membuat media sosial memiliki kekuasaan politik. Paling tidak, media memiliki kekuasaan untuk membawa pesan politik dan membentuk opini publik. Dalam hal ini, media sosial menjadi kekuatan kritis dan alternatif. Karena itu, tidak mengherankan kalau keberadaan media sosial Indonesia tidak dapat dijelaskan oleh rasionalitas ekonomis saja. Hal ini juga terkait erat dengan hegemoni


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

masyarakat pengguna medsos untuk berkuasa. Ide, gagasan, dan isu politik akan dapat dengan mudah ditransfer dan dikomunikasikan melalui media sosial. Hal ini membuat kekuasaan politik tidak hanya ada di tangan partai politik, tetapi juga siapa pun yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi kebijakan publik. Kenyataan tentang pentingnya media sosial bagi partai politik/politisi telah lama disadari.

1. Kekuatan Rakyat di Media Sosial Metode kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat umum mulai terasa hampa. Di balik keramaian massa dengan berbagai atribut, terasa sepi makna. Keramaian ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai berpindah ke ruang-ruang maya. Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuduh secara frontal begitu bebas terjadi di berbagai media sosial. Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial. Di dunia maya, setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Di media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang. Inilah kelebihan media sosial: efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide, termasuk isi kampanye via media sosial, berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit, informasi tersebar luas ke seluruh follower, begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multilevel marketing. Efektivitas media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik media sosial sendiri juga merupakan kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh di komunitasnya. Pengguna media sosial yang well inform tidak mudah dibohongi, tapi mudah terpengaruh dan simpati pada hal-hal yang membuat mereka tersentuh. Ketenaran dan kekuatan politik yang sekarang menempel pada Jokowi, misalnya, disumbang besar oleh perbincangan di media sosial yang mengarah pada kekaguman setiap orang pada keotentikan dan keseriusan Jokowi selama ini dalam mengurus rakyat.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Di dalam ruang media sosial hanya informasi yang sesuai fakta yang berharga. Untuk mencapai keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali muncul perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi tesis yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di media sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul "kesepakatan sunyi" di antara pihak-pihak yang berdebat beserta para "pendengarnya". Karena sifatnya yang memiliki rentang waktu panjang, media sosial tidak memiliki pengaruh signifikan untuk kampanye yang sifatnya mobilisasi. Kerjakerja di media sosial bergerak perlahan dengan membincangkan visi, misi, ide, ideologi. Pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak dengan kemauan dan kesadaran sendiri. Media sosial hanya berpengaruh signifikan bagi politikus yang bekerja sepanjang waktu. Bukan pekerjaan instan lima tahun sekali. Mereka yang intens menyebarkan ide-ide dan berdiskusi dalam bidang tertentu secara mendalam sepanjang waktu akan mendapat hasilnya saat pemilu. Media sosial tidak cocok untuk politisi "kosong", tapi hanya bagi mereka yang punya kemampuan berpikir dan berdialektika. Media sosial juga tak cocok bagi yang egois, melainkan bagi mereka yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Hanya politisi yang memiliki simpati dan empati terhadap permasalahan rakyat yang akan menuai simpati dan empati publik. Sifat kampanye di media sosial bisa merupakan kebalikan dari kampanye di dunia nyata. Jika di dunia nyata kampanye begitu berisik, keras suaranya tapi tanpa bukti nyata, di media sosial adalah antitesis dari berisik dan bising tersebut, yaitu bermakna. Setiap suara punya arti, memiliki pembuktiannya sendiri-sendiri. Politik di media sosial bisa merupakan politik sejati, yaitu politik yang benar-benar berisi ide-ide dan aksi nyata untuk kebaikan umum. Inilah politik yang memiliki daya dobrak. Berbagai isu sosial yang menjadi beban masyarakat sering kali mendapatkan solusinya di media sosial. Media sosial juga dapat di jadikan penyeimbang media cetak dan elektronik yang sekarang tak lagi mampu mempertahankan independensi dan keadilannya. Media cetak dan elektronik dimiliki pengusaha yang sekarang masuk sebagai anggota partai. Kondisi ini menyebabkan media televisi tersebut menjadi corong partai politik sang pemilik. Di sinilah urgensi media sosial sebagai media penyeimbang. 2. Opini Mastream versus Kekuatan Media sosial Dunia politik tidak terlepas dari opini mainstream, yaitu citra di media manistream dan survey-survey pilkada. Opini mainstream tersebut menjadi acuan untuk perkiraan kemenangan paslon. Akan tetapi dalam dalam


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

perkembangan media baru sekarang ini, opini mainstream tidak bisa diterima begitu saja, karena jaringan media sosial sekarang telah menjadi kekuatan sibernetika milik rakyat. Jaringan sibernetika ini mampu menjaring sampai ke level personal dan terbukti mampu menggerakkan jutaan orang untuk suatu gerakan. Kita dapat melihat contoh riil yaitu kegiatan Aksi Bela Islam 1,2,3 dan terakhir 112. Gerakan ini tidak lagi dijaring melalui media mainstream dan lembagalembaga survey. Akan tetapi dibangun melalui WA, facebook, twitter dan media-media sosial lainnya. Sehingga jargon kali ini berbeda dengan jargon tahun tahun sebelumya, yaitu barang siapa menguasai media mainstream dan lembaga survey maka akan menguasai dunia. Jargon kekinian, siapa yang kuasai media sosial, maka kuasai dunia. Kembali pada persoalan pilpres 2019 mendatang, komunikasi sibernetika rakyat mampu membuat kategori kelas politik terkini. Yaitu kelas penguasa melawan kelas rakyat. Sebagai contoh, bergelombangnya aksi bela Islam yang diorganisir oleh GNPF-MUI, menjadi contoh nyata yang kita akui bahwa organisasi Islam ini memimpin kekuatan rakyat. Apa yang diputuskan oleh GNPF-MUI dengan Habib Rizieq sebagai Imam Besar, mampu menggerakkan jutaan rakyat bukan hanya dari kelompok Islam saja, akan tetapi dari kelompok non Islam yang sama-sama berseberangan dengan kelas penguasa. Dan GNPF-MUI telah memutuskan untuk tetap mendukung pilkada dki dengan jujur, adil dan mengajak rakyat untuk mengawasi bersama. Dan tentunya mengajak rakyat untuk tidak memilih Basuki-Djarot sebagai paslon yang cagubnya penista agama. Selain itu juga menolak gubernur non muslim. Realitas ini akhirnya menegaskan bahwa kekuatan rakyat akan memenangkan pertarungan ini. Dan sudah tergambar, jika kelas penguasa terbukti melakukan kecurangan, maka rakyat akan mampu bergerak dengan kekuatannya sendiri. Mengukur kekuatan politik melalui opini mainstream lama, sudah tidak populer lagi dgunakan dan sudah tidak menarik untuk dijadikan acuan kemenangan politik yang sesungguhnya. Selain itu opini mainstream yang dihasilkan melalui lembaga survey, dapat dikatakan menggunakan jaringan responden terbina yang jarang sekali berubah dari tahun ke tahun. Yaitu jaringan yang telah terbina di masyarakat untuk memudahkan kegiatan survey tersebut. Akan tetapi jaringan yang digunakan media sosial, setiap hari semakin bertambah dan mampu mengoneksikan seluruh lapisan masyarakat. Kekuatan riil politik saat ini dilakukan melalui pemilih riil, yang mengandalkan pemilih konsisten yang terbangun atas kesadaran pemilih yang telah cerdas. Maka untuk mendapatkan kekuatan politik yang diharapkan, dibutuhkan soliditas para pejuang rakyat melalui media sosial. Pertarungan politik kekinian, selain dari pertarungan para politisi juga merupakan pertarungan antara opini mainstream melawan kekuatan media sosial.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Bias Persepsi Informasi yang disampaikan dalam media sosial tidak selamanya objektif atau apa adanya. Seringkali terdapat bias informasi. Masyarakat Pengguna media sosial seringkali menginterpretasikan secara berbeda informasi yang diterima dari sumber informasi. Interpretasi pengguna medsos mempunyai peran yang lebih besar ketimbang informasi dari sumber yang menulis. Hal ini membuat informasi melenceng (umpamanya dipolitisasi, diplesetkan) apa yang sesungguhnya terjadi atau dikatakan. Pemilihan informasi yang diterima atau dipublikasikan akan sangat tergantung pada nilai, paham, ideologi, dan sistem moral yang dianut oleh masyarakat pengguna medsos. Dalam diri setiap individu pengguna media sosial terdapat kerangka acuan (frame of reference) yang akan menentukan cara mereka dalam berpikir dan bersikap terhadap suatu hal. Biasanya hal ini dapat bersumber dari latar belakang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, suku, dan keluarga yang ikut membentuk cara berpikir mereka. Karenanya informasi yang sama dapat diartikan berbeda oleh setiap individu. Akibat berikutnya, informasi yang dilihat dan dibaca akan diterjemahkan dan disikapi dengan cara beragam pula. Hal ini juga dapat semakin menjauhkan jarak informasi yang sebenarnya dengan interpretasi yang dibangun dalam masyarakat.

Hoax atau berita bohong adalah salah satu fenomena yang meramaikan penggunaan media sosial di Indonesia. Ketua Masyarakat Indonesia Anti-Fitnah, Septiaji Nugroho (Kompas, 9 Juni 2017), menyatakan bahwa banyak akun di medsos yang menebar konten provokatif. Akun-akun itu menyusup ke facebook, twitter, youtube, dan saluran media sosial lainnya. Menebar isu dan kebencian secara masif dan terdistribusi di jejaring media sosial. Fenomena ini semakin “menggeliat� jelang suksesi pemilihan umum. Akun-akun palsu tersebut masif menebar fitnah dan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Hoax tersebut, turut membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap politik hingga mengusik harmoni sosial dan nilai dan tatanan demokrasi di tanah air. Media sosial sebagai produk teknologi yang secara filosofis bebas nilai, menjadi berwajah ganda ketika berada di jagat pragmatisme politik: digunakan sebagai oksigen demokrasi, tapi secara kontradiktif juga digunakan untuk “membunuh� demokrasi. Pertanyaan fundamental yang muncul: media sosial akan menjadi kawan atau lawan demokrasi? Ada 3 (tiga) aliran: pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran pertama tak yakin media sosial bisa menjadi kawan setia demokrasi, malah sebaliknya: menusuk dari belakang. Aliran optimistik percaya betul media sosial akan memperkuat demokrasi di tataran global maupun lokal. Aliran ketiga


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

mencoba berdiri seimbang di antara dua titik ekstrem mendorong sisi demokratis media sosial, sembari tetap mengakui sekaligus memininalisasi sisi antidemokrasinya (Anthony G. Wilhelm: 2003) Internet sebagai pendukung utama Media sosial memiliki 9 (sembilan) karakteristik khusus yang mampu mengikis otoritarianisme, yaitu: menembus batas fisik, nirkontrol, meningkatkan kemampuan kekuatan sipil untuk berserikat secara bebas, meminimalisasi kontrol negara atas warganya, membuat negara dilema (menggunakannya atau tidak), kekuatannya tak terbendung, memaksa pemerintah untuk lebih demokratis, memberdayakan kekuatan sipil, dan memperluas akses edukasi publik (Simon: 2003). Ketika awal mula kelahirannya, karakter inilah yang diyakini akan mengangkat demokrasi analog ke level yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu demokrasi digital. Tapi kenyataan tak seindah harapan. Faktanya, rezim di beberapa negara ternyata juga sukses memanfaatkan internet untuk memperkuat kuasa totaliternya. Mereka memanfaatkan media sosial untuk kapitalisasi ekonomi saja, namun membungkamnya ketika masuk domain politik. Benar yang dikatakan David Gompert (1998), teknologi informasi adalah sine qua non dari globalisasi dan kekuatan. Teknologi mengintegrasikan ekonomi dunia dan menyebarkan kebebasan, tapi pada saat yang sama menjadi faktor penting bagi militer dan bentuk-bentuk kekuatan lainnya. Ambivalensi internet membuat setiap negara memiliki respons berbeda terhadap internet atau media sosial: ada yang memberi ruang karena menyadari manfaat ekonominya, ada yang cemas dengan potensi politiknya, dan ada yang menghadapi dilema antara ingin menikmati manfaat ekonomi dari internet tetapi masih mengontrol kontennya untuk mengantisipasi dampak politisinya. Internet mempengaruhi jalannya demokrasi dan pertumbuhan ekonomi secara simultan. Tapi sebagian negara mencoba mengambil satu manfaatnya, dan mengeleminasi manfaat lainnya (Simon: 2003). Wajah ganda internet ini terasa hingga era media sosial, salah satu “bayi� yang dilahirkannya sekarang ini. Jika bukan karena media sosial, Arab Spring tak akan pernah jadi kenyataan. Tapi, “berkat� media sosial pula kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bisa menyebarkan ideologi dan produk terornya ke seantero dunia (Abdel Bari Atwan, ISIS, The Digital Caliphate: 2015). Dalam The New Digital Age (2013), Eric Schmidt dan Jared Cohen, dua punggawa Google, mengkhawatirkan terjadinya kebangkitan teroris peretas. Kelompok ini sangat tertolong dengan adanya platform digital untuk merencanakan, mengerahkan, mengeksekusi, dan yang terpenting merekrut anggota kelompoknya. Di sisi lain, Schmidt dan Cohen melihat cerahnya masa depan dunia dengan kehadiran teknologi digital. Pada wilayah politik, faktanya semakin


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

anomalis: Barack Obama yang moderat dan proglobalisasi lahir dari rahim media sosial, tapi Donald Trump yang konservatif dan proteksionis juga lahir dari “ibu” yang sama. Bahkan, dalam batas tertentu, Trump dimenangkan oleh “hoax” (berita bohong), sisi gelap dari media sosial itu sendiri. Salah satu bukti, betapa ambivalesinya media sosial. Fenomena “hoax” ada dalam konteks ambivalen ini. Karenanya, membedah hoax dengan fokus pada instrumen atau alatnya kurang tepat. Ini sesuatu yang integral dalam teknologi komunikasi-informasi, dan tidak bisa dipecah-pecah ketika demokrasi mengakomodasinya sebagai instrumennya. Yang harus dilakukan adalah mengantisipasi sisi gelap media sosial (hoax), sekaligus memaksimalkan sisi terangnya (demokrasi). Karena media sosial hanyalah satu instrumen di antara sekian banyak instrumen yang mewarnai sejarah panjang perjalanan demokrasi. Sebelumnya telah lahir instrumen teknokratis lain, dan ke depan juga akan digantikan oleh yang lebih inovatif. Black campaign marak terjadi di era awal munculnya media cetak dan televisi. Namun, dengan kedua media itu demokrasi mencapai kematangannya dan memperluas area partisipasi publiknya. Media sosial juga dimanfaatkan secara kreatif oleh pemilih sebagai alat partisipasi politik yang baru. Hoax merupakan implikasi tak terpisahkan dari alat partisipasi politik baru yang bernama media sosial ini. Potensi terjadinya konflik sosialpolitik semakin mudah karena difasilitasi secara maya. Media sosial alat yang sangat potensial untuk memperkuat sekaligus memperluas demokrasi yang mengalami krisis partisipasi. Media sosial juga telah menjadi energi baru yang membuat kekuatan sipil tumbuh menjadi “Daud” sosial-politik yang mampu menandingi supremasi “Goliath” kekuasaan. Media sosial membuat masyarakat sipil lebih mudah menjalankan perannya sebagai kekuatan penyeimbang kekuasaan dan penyangga negara. Namun, di sisi lain, potensi positifnya ini paralel dengan potensi negatifnya untuk mencederai dan melemahkan demokrasi. Lihat saja bagaimana Amerika Serikat marah bukan kepalang menuduh Rusia telah mengintervensi pemilihan presiden dan mendorong kemenangan Trump. Negeri punggawa demokrasi dengan sistem pemilihan umum paling aman dan canggih teryata bisa dibobol dengan kecanggihan tekhnologi. Tekhnologi yang oleh Gedung Putih digunakan sebagai pagar mengamankan penyelengagran pilpres, teryata menjadi kuda Troya yang merusaknya dari dalam. Ini sisi gelap media sosial yang bukan hanya mengancam Indonesia, tapi juga negara-negara besar. Gerakan anti hoax harus dijalankan sebagai bagian dari tanggung jawab gerakan sipil.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sejak era klasik demokrasi selalu memiliki cara beradaptasi dengan perubahan zaman, termasuk revolusi teknologi komunikasi-informasi. Demokrasi terbukti memiliki cara, pola pendekatan, dan energi khas untuk memaksimalkan sisi positif sebuah instrumen baru, sekaligus meminimalisasi sisi negatifnya. Dan pada setiap era baru teknologi komunikasi-informasi, demokrasi selalu membuka dirinya untuk dikoreksi kelemahan-kelemahannya, direvisi kesalahannya, dan “disulam” bagian-bagiannya yang “bolong”. Energi subtil demokrasi yang membuatnya bisa bertahan melewati bermacam era peradaban. Gerakangerakan sipil anti hoax yang kini digalakkan adalah bagian dari cara demokrasi beradaptasi dengan instrumen baru yang bernama media sosial. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah fatsun berdemokrasi di dunia digital (media sosial hanya salah satunya), sebagaimana dahulu sudah dialami era media cetak dan elektronik. Demokrasi akan dapat menciptakan keseimbangan baru dalam korelasinya dengan instrumen baru yang digunakannya, baik dengan cara melihat ke dalam dirinya maupun mempengaruhi ke luar dirinya.

1. Pengertian dan Konsep Buzz Buzz secara etimologis (arti kata) adalah dengungan/berdengung. Buzzing adalah suara getaran cepat dan gosip yang terus menerus didengungkan, atau suara bersenandung seperti lebah atau seperti percakapan umum dalam nada rendah, atau ekspresi umum, kejutan atau persetujuan. Untuk membuat suara yang rendah, terus menerus,bersenandung atau bunyi berdesis, seperti itu dibuat oleh lebah dengan sayap mereka. Edwin SA, seorang pakar media sosial dari trenologi mengartikan buzz sebagai ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’ (trenologi.com). Buzzer sendiri, meminjam istilah dari Twitter buzzer adalah pengguna media sosial yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain dengan menyebarkan tulisan. Ia harus mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain. Pengertian serupa diungkapkan oleh Silih Agung Wasesa dan Jim Macnamara (2010:395), bahwa buzz lebih mirip dengungan suara lebah, walaupun tampaknya seperti dengungan tidak beraturan, sekarang Public Relations memperlihatkan bahwa dengungan tersebut beraturan dan memiliki pola yang bisa dikembangkan. Ia sendiri mengistilahkannya dengan istilah buzzword. Menurut Silih dan Jim, dengungan suara lebah adalah dengungan yang memiliki banyak makna, tentu saja buat lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi lebah setiap dengung memiliki arti, sekalipun kita menandainya sama. Sebetulnya bukan hanya pada lebah, pada setiap kita pun memiliki dengungan yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota kelompok yang tidak sama.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Buzz menjadi salah satu kata kunci dalam pemasaran dan public relations politik terkini, tak pelak metode ini digunakan pada pilpres 2014 lalu dan terus berkembang sampai sekarang. Metode ini marak digunakan para politisi, parpol, Tak kercuali pula masing-masing calon presiden (capres) mendatang untuk mendapatkan dukungan yang fantastis di media sosial. Bukan sekedar dukungan, juga ‘promosi’ dari para pendukungnya. Buzzing sukarela dilakukan oleh simpatisan/pendukung juga dapat digerakan secara terstruktur oleh team kampanye ataupun relawan politik. Kicauan para baser (buzzer)—sebutan bagi orang yang melakukan buzzing—di media sosial salah satu yang meramaikan hajatan pemilihan umum (pilkada, pilcaleg, maupun pilpres). Kata kunci-kata kunci tertentu sering menjadi trending topik di facebook, di microblogging Twitter. Saling sindir, saling lempar isu, kampanye politik, kampanye negatif, kampanye hitam, twitwar, dan tagar capres menjadi hal yang banyak dilakukan oleh para baser. 2. Antara Buzz dan Pemasaran Politik Pesan merupakan inti dari komunikasi. Sebagai komponen inti komunikasi, pesan-pesan komunikasi dalam strategi dan taktik komunikasi selalu mengalami perubahan dan inovasi. Jika pada awalnya, bahasa pemasaran cenderung ‘kasar’, langsung menembak sasaran untuk melakukan eksekusi produk. Lambat laun bahasa pemasaran cenderung bersahabat, tidak langsung menggunakan produk tetapi dengan menggunakan bahasa komunikasi konteks tinggi. Seperti iklan rokok yang tidak langsung mengajak untuk merokok, tetapi menggunakan symbol-simbol lain seperti keberanian, persahabatan, inspirasi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain, reputasi iklan sedang terus mengalami penurunan (www.inspirasi.co.id), seperti dikatakan oleh Sumardy, praktisi komunikasi dan iklan. Sumardi mengatakan bahwa Iklan telah dimatikan oleh word of mouth (WOM) marketing. Sumardy telah berhasil melakukan strategi pemasaran tertinggi tersebut, yaitu Word of Mouth. Menurut Tanadi Santoso (tanadisantoso.com), WOM adalah tindakan yang dapat memberikan alasan supaya semua orang lebih mudah dan lebih suka membicarakan produk kita. Dalam bahasa sehari-hari disebut getok tular atau dari mulut ke mulut. Di Era media digital, konsep Word of Mouth banyak digunakan untuk kegiatan-kegitan marketing dan Public Relations yang menuntut adanya penceritaan oleh orang ketiga. Di media sosial bahasa marketing dan public relations menyatu, walaupun bahasa marketing masih sering ditemui, tetapi penggunaan bahasa public relation yang halus sering mengisyaratkan dan menggiring audiens untuk melakukan pmbelian produk. Melalui orang ketiga, mereka menceritakan sisi positif partai atau seseorang. Hal ini juga yang terjadi dalam konteks pilpres 2014 lalu. Prabowo ataupun Jokowi menjadi


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

politisi yang banyak diperbincangkan oleh orang ketiga. Sebagai orang ketiga atau orang yang tidak termasuk ke dalam tim sukses, mereka menggunakan bahasa mereka sendiri untuk mempromosikan capresnya masing-masing sehingga bahasanya tidak seragam, bercampur antara bahasa public relations dan marketing. Berkaitan dengan metode tersebut dalam kegiatan Public Relations khususnya, Silih dan Macnamara mengatakan bahwa dlam konteks PR, hasil buzzword menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan audiens target. Dalam kontes yang lebih luas, inilah apa yang disebut oleh Breakenridge di buku PR 2.0, New Media, New Tools, New audiences (FT Press, 2008), sebuah situasai dimana audiensi target sudah menjadi narasumber informasi itu sendiri. Terlalu lama untuk sekadar mengandalkan media massa konvensional, karena masyarakat tidak lagi seantusias 5 tahun yang lalu dalam membaca media massa, terutama media cetak. Kegiatan public sudah berubah, dimana sebagian besar lebih cenderung mendengarkan perbincangan yang terjadi diantara mereka sendiri. Mereka menciptakan katakatanya sendiri, pemahaman sendiri dan terutama yang dihasilkan oleh komunitas mereka sendiri. Itulah kata-kata mereka. Menyingkatnya dengan istilah Buzzword (2010:396). Dengan penceritaan oleh orang ketiga tersebut, mereka tidak hanya pandai menyampaikan tetapi juga menguasai ‘product knowledge’, mereka menjadi narasumber-narasumber baru yang mandiri, menyampaikan informasi capres yang mereka idolakan. Materi yang mereka sampaikan di media sosial sangat beragam, dari mulai ketokohan, argumentasi kenapa harus menjatuhkan pilihan pada calon, rekam jejak, kegiatan-kegiatan harian, sampai bicara silsilah keluarga calon presiden. Menurut Silih (2011:118), orang ketiga dalam public pelations politik sengaja diciptakan sebagai penyampai pesan utama. Oleh karena itu, buzzword tepat berdiri sebagai public relations, sementara iklan politik yang disampaikan orang ketiga dijadikan sebagai pemberi testimoni. Orang ketiga dalam buzz public relations berbicara berdasarkan keyakinan dan kompetensi orang tersebut, mereka berdiri di atas komunitas sosialnya. Mereka berbicara dari sudut pandangnya sendiri terhadap kapabiltas capres. Dalam hal ini peran merekasebagai buzzer mensinergikan antara panggung, actor, dan peran yang harus dimainkan. Panggung merupakan tempat-tempat sosial. Media massa, media sosial, atau kelompok target audiens. Sedangkan aktor adalah orang-orang yang bisa kita jadikan juru bicara tidak resmi, dan mereka memiliki visi dan kepentingan yang sama. Buzzer dalam hal ini menjadi aktor yang memainkan peran di


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

segala ruang di atas; media massa, sosial media, atau kelompok target audiens. Berikut perbedaan iklan politik dan public relations politik: Tabel 5. Perbedaan Iklan dan publikasi Political Advertising 1.

2. Kelebihan 3.

1.

Kelemahan 2.

Political Public Relations

1. Kredibilitas pesan lebih kuat Jangkauan luas dan seketika, karena lebih banyak terutama jika menggunakan memanfaatkan third party televisi nasional. endorser, atau third program Pesan dapat lebih terkontrol endoser. karena kita membeli space di 2. Biaya relative lebih rendah media massa. karena kita tidak harus Penyampaian pesan membeli space di media dikembangkan melalui massa. kreatifitas iklan yang 3. Keterampilan penyampaian menggugah. pesan dikembangkan melalui simulasi di lingkungan sosial. 1. Proses penciptaan kredibilitas membutuhkan waktu lebih Kredibilitas pesan lebih rendah karena pesan harus dibangun karena disampaikan secara berdasarkan keyakinan. langsung oleh pihak yang 2. Memiliki jangkauan yang bersangkutan. sama luasnya, tapi tidak bisa Alokasi anggaran lebih besar secara langsung bersamaan, karena membeli space di melainkan media massa, baik above the harusclustering sesuai line ataupun below the line. dengan karakter target audiens.

Sumber: Silih Agung Wisesa (2011: 120)

Dalam konteks politik siber (cyber politic), buzz public relations lebih banyak dilakukan oleh orang ketiga melalui media sosial baik blog, jejaring sosial, forum, video sharing, microblog, atau pun instagram. Orang ketiga tersebut, selain isi pesannya beragam, mereka juga berasal dari berbagai latar belakang, budaya, agama, pendidikan. Mereka disatukan oleh visi yang sama tanpa terhambat oleh jarak. Pemilu 2014 lalu, dinamika dan hiruk pikuk politik lebih terasa di ruang-ruang media sosial. Oleh karena itu, wajar jika pengamat dan media mengatakan, pilpres tahun 2014 menjadi fenomenal karena diramaikan dan melibatkan buzzer yang di media sosial. Iklan politik yang disampaikan melalui buzz walaupun dengan bahasa yang sangat halus, seperti dinyatakan


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sumardy, mengalami penurunan reputasi, sementara publikasi—dalam hal ini word of mouth—atau seperti dimaksud penulis sebagai buzz memiliki reputasi yang sangat baik. Kegiatan buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial, memenuhi karakteristiknya yang membutuhkan waktu cukup lama. Berbeda dengan iklan yang bisa dengan singkat melakukan pencitraan. Bagian tulisan ini merupakan sejumlah kasus-kasus buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial yang dianalisis berdasarkan konsep-konsep yang telah dijelaskan di atas, baik media sosial, buzzword, ataupun public relations. 3. Klasifikasi Buzz Menurut Dudi Rustandi (2014: 54) kegiatan buzzing dapat diklasifikasikan sebagai buzz berbayar atau dalam konteks komunikasi konvensional dapat disebut sebagai iklan. Juga ada buzz gratis sebagaimana halnya world of mouth dalam pemasaran konvensional. Di samping itu, proses kemunculannya ada yang disengaja, tidak disengaja, ada yang dikoordinir juga tak terorganisasi tapi muncul begitu saja sebagai gerakan populis. Iklan sendiri bermetamorfosis menjadi bentuk lain seperti infobiz atau advertorial yang hampir serupa dengan publikasi dalam media konvensional. Namun untuk buzz sendiri tidak bisa dilacak apakah sebagai iklan atau publikasi berbayar atau bukan. Karena tidak menggunakan kode khusus seperti halnya advertorial dalam media konvensional. Dari pengamatan penulis, terdapat publikasi berbayar dengan penyewaan space pada beberapa media, cetak, elektronik, ataupun digital. Dengan pengertian buzz sebagai sebuah percakapan atau dengungan. Inti dari buzz adalah bagaimana agar produk atau program dari suatu lembaga diceritakan oleh pihak lain. Tujuan penceritaan tersebut adalah agar produk atau program lembaganya dikenal oleh audiens atau konsumen. Metode yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengenalkan produk dan lembaga mereka agar diceritakan oleh banyak orang dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan yang kontroversial, undangan kepada para blogger atau mereka yang aktif di media sosial agar bisa diceritakan oleh mereka. Menceritakan sebanyak-banyaknya pengalaman mereka agar bisa dibaca oleh netizen yang berada dalam jejaringnya. Buzz berbayar, misalnya dapat dicermati dari akun-akun populer yang memiliki banyak follower di twitterland. Akun tersebut bisa berupa akun yang dikelola secara profesional dalam bentuk usaha informasi seperti halnya media mainstream. Bisa juga oleh akun populer yang dikelola secara personal atau team tapi belum profesional.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Sebagai media yang difungsikan untuk menceritakan produk atau program, karakter yang dimunculkan oleh buzzer berbayar tersebut berbeda dengan iklan yang dimunculkan oleh media mainstream. Karakter ‘iklan’nya tidak menunjukan diri sebagai iklan tapi sebagai cerita yang mengalir seolah-olah tanpa beban ‘iklan’. Karena struktur kalimat dari twit sejak awal sudah dikonstruk sebagai promosi/iklan, maka kesan yang muncul dalam twitter sebut sebagai iklan. Sementara buzz, kalimat yang dimunculkan dalam setiap kicauan tidak dikonstruk sebagai promosi, tetapi sebagai sebuah pengalaman, cerita yang mengalir saat berhubungan dengan sebuah program, produk, atau kegiatan lembaga, maka konstruksi kesan pun tidak mengarah kepada iklan saat ada kalimat promo yang muncul. Inilah yang membedakan buzz dengan iklan. Oleh karena itu, buzz dalam media konvensional dapat dipastikan sama dengan publikasi. (Dudi Rustandi, 2014: 55-56) 4. Strategi Buzzing Menyangkut proses keseluruhan bagaimana tujuan buzzing public relations tercapai. Dudi Rustandi (2014:56) mengutif Silih dan Jim dalam buku ‘Strategi Public Relations’ menilainya cukup sederhana. Menurutnya stretegi Buzzing dilakukan melalui kombinasi antara Character, Consideration, dan Communication. Character merupakan komunitas dimana audiensi target berkembang dan merasa nyaman, consideration adalah pertimbangan masyarakat untuk mengambil keputusan ataupun mengubah pendapat, dan communication adalah pola komunikasi di antara komunitas utama, komunitas pendukung dan masyarakat dalam arti luas (Silih & Jim, 2010: 397). Membahas bagaimana strategi 3C (Character, Consideration, Communication) tersebut diimplementasikan dalam kegiatan edukasi PR dan Promosi pemasaran, Silih dan Jim mencontohkan secara praktis bagaimana buzzing bekerja. Menurutnya, secara simple titik buzzing terbagi dua, yaitu Pertama, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik yang melestarikan terjadinya sebuah pendapat. Kedua, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik pendukung yang bisa dijadikan “perantara” buzz hingga mampu mengubah persepsi audiensi target. Supporting spot ini dijadikan jembatan penghubung antara 3 C (Silih dan Jim, 2010: 398). Buzz point adalah titik-titik sosial yang mampu menciptakan pembicaraan. Pembicaraan itu akan menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas. Titik-titik di atas diterjemahkan oleh Silih dan Jim sebagai berikut : 1) Komunitas kelas menengah yang mudah terpengaruhi, 2) orang-orang yang dijadikan referensi oleh kelas menengah, 3) lokasi representative tempat terjadinya pertemuan mereka yang mampu membuat keterpengaruhan kelas menengah oleh referens.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Apa yang disampaikan oleh Silih dan Jim tersebut dalam konteks kegiatan kopi darat (offline), kini berlaku di era daring. Jika pada awalnya, perusahaan tersebut tidak sadar kenapa itu bisa terjadi dan sulit untuk mempertahankan buzz ini, seperti yang dinyatakan oleh Silih. Di era siber, buzz lebih sering dan banyak diciptakan oleh lembaga laba ataupun laba baik besar, kecil, swasta, pemerintah, nasional atau multinasional. Untuk merealisasikan 3-C (Character, Consideration, Communication), Silih dan Jim menyarankan agar terlibat langsung di suatu komunitas agar mengetahui dan faham suara-suara tentang produk yang sedang ada di pasaran. Jika suara-suara sumbang yang muncul, perusahaan bisa cepat mengantisipasinya. Menurut Silih, suara tersebut bisa seperti rayap yang bisa menggerogoti reputasi perusahaan. Namun jika suara positive, bisa lebih didorong lebih jauh. Sehingga bisa menghasilkan dengungan yang positif. Inilah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional seperti KFC, Toyota, Honda, Yamaha, atau dalam kasus politik Prabowo dan Jokowi samasama melakukan metode ini. 5. Metode berkaitan dengan cara melakukan buzzing Buzzing dilakukan dengan beragam cara, baik dari sisi penceritaan atau media yang digunakan. Tujuan buzzing sendiri adalah agar produk atau program cepat dikenal oleh konsumen. Bukan hanya dikenal, penceritaan melalui orang terpecaya atau oleh oleh banyak orang di dunia maya akan mendorong seseorang untuk mengenal, mengetahui, faham, butuh, hingga pada akhirnya melakukan pengambilan keputusan untuk menggunakan produk atau program yang diceritakan oleh orang lain. Di era informasi, kebutuhan akan pengetahuan produk dilakukan secara mandiri melalui pencarian di media siber. Alih-alih menanyakan kepada front office atau customer service dari produk tertentu, selain akan bersifat subjektif karena faktor kepentingan yang sangat besar juga cara pencarian informasi seperti itu tidak efektif dan efisien. Sementara dunia siber menyimpan banyak arsip tentang informasi yang sedang dibutuhkan. Informasi ini hadir karena setiap orang dengan sifat dan sikap senang berbaginya menciptakan informasi-informasi tersebut dalam bentuk catatan di berbagai aplikasi media siber seperti blog, web, atau media jejaring sosial. Dengan berselancar di dunia maya, seorang netizen bisa mendapatkan pengetahuan produk dari berbagai macam sudut pandang, bisa membandingkan kelebihan dan kekurangan, harga, kualitas dan lain sebagainya.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Informasi tidak akan didapat jika kontennya tidak tersedia. Konten-konten tersebut hadir karena ditulis oleh orang secara sukarela. Konten-konten tersebut tidak diciptakan oleh produsen produk, tetapi pihak ketiga yang pernah berinteraksi dengan produk tersebut. Kini, media siber menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan bisa dikatakan menjadi jantungnya informasi manusia. Saat semua individu atau lembaga menyadarinya, konten-konten tersebut tidak hanya diciptakan oleh seseorang yang senang berbagi/bercerita saat berhubungan dengan produk yang muncul tanpa terstruktur, tanpa terencana. Namun juga sengaja diciptakan oleh organisasi secara terstruktur dan terancana untuk mengenalkan sekaligus membangun citra produk. Mereka tidak hanya menggunakan konsultan PR tetapi juga menghimpun komunitas agar organisasi beserta produknya diceritakan oleh blogger, facebooker, atau yang aktif ngetwit. Dengan menggunakan tanda pagar (hastag) tertentu, produk akan dikenal dengan mudah oleh para peselancar media siber. Hastag sendiri menyebar karena sifat keterjangkauan dan koneksi pesan yang saling menerpa. Secara umum tanda pagar atau tag merupakan kata kunci yang digunakan agar lebih memudahkan saat pencarian suatu produk. Saat peselancar dunia maya mencari kata kunci yang dimaksudkan maka akan mengarah pada tagar yang telah ditulis oleh banyak pengguna media sosial aktif. 6. Buzz Politik di Media Sosial Perhelatan pilpres 2019 mendatang akan diwarnai dengan buzz dan buzzing yang begitu kuat. Hal ini nyata akan terjadi, jika kita bercermin pada pemilu 2014 lalu. Buzz dan buzzing begitu berperan penting dalam membentuk opini dan wacana di media sosial tentang calon presiden Prabowo Soebianto dan Joko Widodo. Perhelatan politik di masa datang, Buzz dan buzzing akan kian masif dan terstruktur seiring teknologi informasi yang kian berkembang serta adanya ruang baru sebagai saluran komunikasi politik, yaitu media sosial. Salah satu yang mendominasi perpolitikan kekinian adalah diramainya pesanpesan politik yang berseliweran di media sosial. Para politisi, parpol dan lembaga politik lainnya giat melakukan komunikasi politik melalui media sosial. Komunikasi politik terjadi bukan hanya dari pihak pertama; para politisi dan tim sukses atau relawannya kepada audiens tetapi juga diantara audiens sendiri sebagai orang ketiga. Opini personal mudah menyebar, jejaring pertemanan yang membuat satu opini cepat menyebar. Sehingga berdampak viral. Hal inilah yang membuat percakapan cepat menjalar, sehingga media sosial menjadi salah satu


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

media word of mouth atau publikasi dan iklan gratis untuk kegiatan komunikasi politik dan kampanye. Metode yang popular dalam menyampaikan pesan-pesan politik sebagaimana halnya word of mouth dalam kegiatan marketing atau publikasi kini popular disebut buzz atau buzzing . Komunikasi politik yang dilakukan oleh para pendukung di media sosial menjadi gaya baru yang fenomenal dalam dunia perpolitikan di Indonesia kekinian. Fenomena ini berlangsung pada perhelatan pemilu presiden tahun 2014, dimana para simpatisan masing masing capres memberikan pengaruh cukup besar terhadap keterpilihan figur calon dukungan mereka. Simpatisan sebagai pihak ketiga, dalam konteks pemasaran (politik), telah melakukan kegiatan buzzing, mempercakapkan, word of mouth, atau iklan secara gratis. Kedua Capres diuntungkan dengan banyaknya simpatisan yang mempercakapkan mereka. Mereka diibaratkan ‘relawan’ yang tidak terkoordinir dengan team, mereka berada di luar ring, karena sifatnya betulbetul sukarelawan. Selain yang sukarela karena simpati terhadap salah satu capres, terdapat juga buzzer yang dikelola oleh team sukses. Mereka adalah para pekerja professional yang mempercakapkan capres tertentu namun tidak menunjukan identitasnya sebagai tim sukses. Amin Rais menyebutnya sebagai cybertroops namun juga ada yang terang-terangan menunjukan identitas diri mereka seperti misalnya Jasmev sebagai pasukan media sosialnya dari Joko Widodo. Pada dasarnya, buzz dalam konteks pemilihan presiden tahun 2014 lalu merupakan pesan komunikasi politik team kampanye masing-masing kandidat Presiden. Buzz ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi hasil rekayasa pesan team media masing-masing Capres. Walaupun pada dasarnya terdapat relawan atau pendukung yang sama sekali tidak terkait secara struktural dengan team kampanye, hal tersebut merupakan efek dari buzz-buzz yang diciptakan oleh team kampanye di media sosial masing-masing calon presiden. Capres dikonstruksi oleh buzzer sehingga yang muncul adalah capres yang telah terkonsrtuk baik secara positif ataupun negatif. Pada era internet, buzz-buzz dengan mudah diciptakan melalui media sosial yang terkoneksi ke dalam jaringan global (internet), buzz-buzz bisa dengan cepat diciptakan dan tesebar ke setiap komunitas. Media sosial dan para pengguna di dalamnya, menjadi partisipan aktif bagaimana melakukan pencitraan, mempromosikan, bahkan memasarkan politisi yang didukungnya dengan efektif dan efisien, sehingga dampaknya, bagaimana dukungan yang terus menguat baik terhadap figur politisi tersebut. Misal, Joko Widodo pun memiliki team sukses yang secara khusus bergerak di media sosial menjelang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

pencalonannya sejak menjadi calon gubernur DKI Jakarta pun menjelang pencalonnya sebagai Presiden, misalnya JASMEV atau Jokowi Advanced Sosial Media Volunteers. Walaupun dengan penggunaan nama ‘volunteer’ atau sukarelawan, Jasmev berperan sebagai team kampanye yang mengambil segmentasi khusus di media sosial. Perbedaannya, Jasmev tidak melakukan kampanye Joko Widodo – Jusuf Kalla secara terpusat pada teamnya saja, tetapi menularkan pengaruh terhadap pengguna media sosial lainnya yang tidak terlibat sama sekali dalam team kampanye. Sehingga kampanye yang dilakukan oleh team Joko Widodo tidak terkesan berasal dari juru kampanye, tetapi dari masyarakat umum. Kesannya menjadi kuat jika Jokowi benar-benar diinginkan menjadi Presiden oleh seluruh rakyat Indonesia. Joko Widodo yang memiliki kapasitas sebagai walikota dibuatkan panggung agar memiliki kapasitas sebagai gubernur oleh orang ketiga/buzzer, dan setelah menjadi gubernur dibuatkan panggung agar ia memiliki kapasitas sebagai Presiden. Panggung yang dimaksud adalah beragam publikasi yang dikaitkan dengan Joko Widodo; harapan, pernyataan, ulasan ketokohan, rekam jejak, prestasi, atau latar belakangnya. Seperti diketahui, popularitas Joko Widodo selain karena dukungan yang penuh dari media massa juga adanya pasukan cyber yang dikelola langsung oleh JASMEV untuk mengampanyekannya sehingga sosok Joko Widodo bertambah popular. Begitu juga dengan Prabowo yang popularitasnya masih tertinggal jauh dari Joko Widodo, semakin hari terus mengejar popularitas Joko Widodo. Salah satunya didukung team media sosial. Niken Satyawati, satu dari blogger yang menulis sosok Joko Widodo secara konsisten. Dari laman-laman tulisannya, Niken menulis semua hal tentang Joko Widodo; mulai dari Teh Jokowi, peluang menjadi Gubernur, prestasi, Ibunya, dan lain sebagainya. Dwiki Setyawan melalui laman blog juga menjadi salah satu blogger yang menulis tentang Joko Widodo. Buku berjudul ‘Jokowi Bukan untuk Presiden’ merupakan buzz yang dibukukan. Penulisnya adalah orang ketiga atau yang tidak terkait dengan tim sukses. Baik itu yang sudah simpatik dengan rekam jejak Joko Widodo ataupun mereka yang tertarik agar tulisannya dibukukan. Pada sisi lain, sosok Prabowo yang sudah muncul ke permukaan wacana untuk mencalonkan diri menjadi Presiden. Para buzzer yang tergabung dalam komunitas relawan juga membuat web/ blognya dengan khusus seperti relawan Prabowo-Hatta melalui bloggersatu.com, relawannusantara.com. indonesiabangkit.org, korps08.blogspot. com, mediaprabowo, dan lain sebagainya. Di samping itu beberapa media Partai Keadilan Sejahtera menjadi salah satu media yang melakukan buzzing Prabowo-Hatta. Juga relawan Joko


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Widodo-Jusuf Kalla tidak jauh beda, mereka memiliki kelompok-kelompok buzzer di kompasiana.com, blogdetik, atau blog lainnya seperti http://kawanjokowi.org, dukungjokowi.com, dan tersebar di sejumlah blogblog personal. Selain melalui blog yang dikelola oleh masing-masing relawan, mereka juga bergerak secara individu dan terkoordinir melalui akun-akun media sosial. Seperti diketahui, kedua capres didukung oleh banyak relawan. Di era media sosial, para relawan tidak hanya bergerak di dunia nyata, juga di dunia maya sebagai tempat terhubung dengan orang-orang tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Mereka juga menciptakan grup-grup di akun media sosial. Berbagai grup relawan menjadi ajang pertemuan, seperti pada grup Facebook dan Twitter. Facebook dan Twitter menjadi media yang dapat saling menghubungkan satu sama lain. Facebook dan Twitter juga menjadi media untuk membagikan berbagai tautan tulisan berbagai blog/ web/ atau berita tentang kedua capres tersebut. Melalui media sosial, relawan buzzer tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, saling menguatkan antar sesama fans capresnya melaui status-status facebook serta twit bahkan menjurus menjadi twitwar—perang twit antar kubu. Menjelang pemilihan, kampanye berubah menjadi ‘perang’. Akun-akun media sosial yang berafiliasi terhadap capres seperti @GarudaPrabowo, @Gerindra @jokowi4me, @FansGerindra @PDI_Perjuangan, @Relawan_Jokowi, juga @Jokowi4p yang hadir untuk membantu masing-masing kampanye Capres. Dalam pandangan Yose Rizal seperti dikutip oleh marketing.co.id persaingannya relatif ketat antara sentiment negatif, netral, dan positif (marketing.co.id). Di samping akun-akun yang terafiliasi tersebut terdapat juga akun-akun yang dikelola secara komunal seperti @PartaiSosmed, @99army, @Triomacan2000 yang menjadi bagian dari kepentingan kampanye salah satu dari kedua capres. Di samping akun tersebut, tersebar ribuan akun individu yang menjadi bagian dari relawan masing-masing capres. Sebagai strategi kampanye, team Prabowo-Hatta lebih menekankan alur konten yang mengikuti aturan pusat seperti, tidak diperkenankan melakukan kampanye negatif atau black campaign. Namun demikian, kenyataan di lapangan, tidak sedikit pendukung Prabowo yang tidak terkoordinir karena tidak menjadi bagian dari team. Hal serupa juga terjadi pada team kampanye Joko Widodo. Namun team Joko Widodo-JK membuat team buzzer berbedabeda secara peran untuk melakukan kampanye yaitu ada yang ditugaskan melakukan negative campaign, defensive campaign, dan offensive campaign (detik.com).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Perang buzz tentang capres tersebut tidak hanya dilakukan saat menjelang pemilihan, juga setelah pemilihan, bahkan perang buzz terus berlanjut hingga saat ini. Prabowo dan Joko Widodo seolah mewakili koalisi partainya masingmasing saat pemilu presiden. Para pendukung yang masih melakukan buzz tentang isu kedua koalisi tersebut melalui media sosial. Hal tersebut tersebut akan terus berlanjut pada pilpres 2019 yang akan datang dalam metode dan bentuk pergerakan yang lebih agresif, terstruktur, terdistribusi dan masif. Lalu bagaimana buzz-buzz tersebut berdampak terhadap para konstituen atau calon pemilih khususnya sehingga mereka terpengaruh oleh buzz-buzz yang mereka baca? Satu penelitian tentang kehidupan jejaring sosial pernah diteliti oleh A. Christakis di Amerika (2010:19-29), bagaimana jejaring itu bisa mempengaruhi satu sama lain. Seperti dikutip Dudi Rustandi (2013), yaitu: Pertama, kita membentuk jejaring kita. Dalam konteks kasus buzzing, kecenderungan orang membangun jejaring atau komunitas di dunia maya karena adanya kesamaan atau homofili, persis seperti yang diteliti oleh Yuddy. Kecenderungan keterpengaruhan seseorang secara afektif karena adanya homofili. Kedua, Jejaring kita membentuk kita. Selain kita yang membentuk jejaring, jejaring kita juga membentuk kita. Kita akan saling mempengaruhi dalam jejaring pertemanan yang kita miliki. Ketiga, teman mempengaruhi kita. Apa yang mengalir dalam jejaring akan mempengaruhi kita. Satu penentu aliran adalah kecenderungan manusia untuk saling mempengaruhi dan saling meniru. Keempat, Temannya teman mempengaruhi kita. Jika seseorang memiliki sesuatu dan kontak dengan orang lain, kontak itu cukup untuk dapat membuat orang kedua mempunyainya juga. Penyebarannya mungkin memerlukan proses lebih rumit yang melibatkan penguatan oleh banyak kontak sosial. Teman dan temannya teman akan saling menguatkan pengaruh. Kelima, Jejaring sosial memiliki kehidupan sendiri. Jika seseorang ditanya kenapa memilih produk atau jasa tertentu karena dipengaruhi oleh media sosial, tidak bisa ditanya satu individu, tetapi harus secara menyeluruh. Aturan diatas terjadi pada media jejaring sosial seperti pada kasus buzzing karena seperti yang dinyatakan oleh Christakis dan James (2010: 44) emosi menyebar dari orang ke orang karena dua sifat interaksi manusia: punya kecenderungan biologis untuk meniru orang lain, dan ketika meniru, kita juga jadi mengalami keadaan internal seperti mereka sehingga sifat kencederungan terpengaruhi secara efektif dari metode komunikasi buzzing


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

menjadi sangat wajar. Jejaring pada media sosial diibaratkan kelompokkelompok pada dunia nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas pesan dalam jejaring sangat tergantung pada karakteristik kelompok dalam jejaring tersebut, seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rakhmat (2009:101), yaitu; ukuran kelompok, jaringan komunikasi, kohesi kelompok, dan kepemimpinan. Faktor lain berkaitan dengan karakteristik pada anggota kelompok yaitu; kebutuhan interpersonal, tindakan komunikasi, peranan anggota dalam jejaring. Jika ditarik pada konteks buzz di media sosial, tingkat efektifitas keterpengaruhan anggota pada lingkaran jejaringnya ditentukan seberapa besar peran dia dalam kelompok tersebut (ukuran kelompok), bagaimana seorang buzzer berinteraksi dengan teman-teman dalam jaringannya, terdapatnya tujuan bersama untuk melakukan kampanye salah satu calon. Jika satu orang melakukan buzz kemudian di buzz ulang (sharing/ retwit) oleh anggota dalam jaringannya karena memiliki tujuan yang sama untuk saling menyebaran buzz kemungkinan informasi yang disampaikan berpengaruh terhadap kognitif, afektif, sekaligus psikomotoriknya. Pada sisi lain, sifat jaringan komunikasi yang terjadi dalam media sosial lebih egaliter, satu sama lain, tanpa membedakan status structural dalam kelembagaan team kampanye akan cukup efektif dalam mempengaruhi para anggota dalam jaringannya. Apalagi jika terjadi saling apresiasi isi kampanye yang secara bebas dilakukan oleh buzzer, ini menjadi bagian kohesi yang terjadi dalam kelompok tersebut. Sehingga pesan-pesan kampanye, sekalipun negatif akan diamini oleh anggota dalam jaringannya tersebut. Hal ini sesuai dengan teori kerja buzzing yang ditulis oleh Silih Agung Wasesa dan Jim McNamara, yaitu adanya pelestarian pendapat dalam kelompok utama (main buzz spot) kemudian ruang pendukung di dalam jaringan menjadi perantara agar sampai kepada audiens target (main buzz point). Melalui Buzz point, pesan-pesan politik diciptakan dan menghasilkan pembicaraan tentang Capres yang mereka dukung sehingga buzzing politik menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas. Menilik prosesnya, titik ini adalah komunitas kelas menengah yang menjadi rujukan dalam komunitas netizen. Seperti kita ketahui banyak komunitaskomunitas netizen yang aktif berbagi ilmu sehingga terbentuk komunitas seperti internet sehat, Relawan TIK, Indonesia Mengajar, atau komunitaskomunitas blogger. Dalam komunitas tersebut, mereka memiliki figure rujukan yang dijadikan anutan, katakanlah seperti Onno W. Purbo pakar IT yang juga ‘gaul’ dengan netizen, atau Nukman Luthfie, konsultan dan pemerhati media sosial. Juga rujukan-rujukan intelektual seperti Yusril Ihza


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mahendra, atau politisi muda seperti Budiman Sujatmiko, Fahri Hamzah, Nusron Wahid, atau Fadli Zon. Melalui pakar rujukan tersebut kemudian masuk dalam komunitas, blogger yang juga menjadi bagian dari buzzer itu dilakukan oleh masing-masing kandidat. Sehingga wajar, karena masing-masing punya referensi, seakan para pakar yang dijadikan rujukan oleh para netizen pun terbelah dukungannya. Buzz-buzz itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sengaja diciptakan oleh team kampanye media sosial masing-masing capres. Apa yang dituturkan oleh Silih dan Jim dilakukan oleh team kampanye media sosial melalui figure netizen masing-masing capres, mereka langsung masuk ke dalam komunitas-komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia kemudian menciptakan buzz politik. Sehingga wajar, satu isu mengenai capres langsung menyebar kepada anggota dalam jejaringnya. Dalam twitter misalnya muncul tanda pagar (tagar/ hashtag) yang menjadi trending topic.Buzz-buzz inilah yang kemudian menjadi pusat keterpengaruhan massa digital dibandingkan dengan iklan karena sifatnya yang langsung menuju target audiens karena tingkat kredibilitasnya yang tinggi. Menjadi publikasi gratis atau word of mouth. Dengan menggunakan bahasa lisan yang dituliskan melalui media sosial dan lebih personal menjadikan pesan komunikasi menjadi efisien dan efektif. Menurut Roger Fidler (2003:85), bahasa lisan memberi manusia cara untuk menyampaikan pengetahuan kolektif, pengalaman, dan kepercayaan-kepercayaan kepada generasi mendatang, namun dalam konteks ini kepada para netizen. Komunikasi semacam ini menurut Fidler bertindak sebagai proses simbolis yang menghasilkan, mempertahankan, memperbaiki, dan mengubah realitas. Walaupun Fidler mengambil konteks bahasa lisan dalam dunia nyata, hal ini mewakili percakapan di media sosial yang lebih lugas dengan menggunakan bahasa lisan sehari-hari tanpa terikat oleh ketentuan formalitas bahasa, seperti harus mengikuti kaidah EYD. Efisiensi berbahasa tersebut ditemukan oleh para netizen/ buzzer untuk melakukan kampanye capresnya sesuai dengan bahasa mereka sendiri. Percakapan melalui media sosial adalah percakapan lisan yang biasa terjadi sehari-hari di lingkungan nonformal. Saat menyampaikan buzz sebagai pesan komunikasi politik yang mewakili pikiran, perasaan, dan pengalamannya lebih mengena dibandingkan disampaikan melalui media mainstream atau media nirmassa seperti telpon/sms. Pada sisi lain, buzz-buzz yang diciptakan dan tersebar/terdistribusikan secara otomatis ke setiap netizen, melakukan konstruksi sosial terhadap capres, baik secara positif ataupun negatif. Hal ini berdasar pada teori konstruksi sosial yang dibangun oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Seperti dinyatakan oleh Bungin (2008:11) bahwa dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

dalam dunia sosialnya. Netizen/ buzzer sebagai individu bebas, sedang menciptakan realitas para capres sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya menulis gagasan melalui berbagai saluran media sosial. Dengan demikian, sosok capres yang muncul baik Prabowo atau Joko Widodo sebagai realitas capres merupakan hasil ciptaan netizen kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Sehingga menjadi wajar jika pada akhirnya muncul istilah ‘pencitraan’ untuk capres tersebut. Konstruksi sosial yang dilakukan oleh para netizen di media sosial akan cepat mewujud, kerena sifatnya yang mendangkalkan pikiran seperti dinyatakan oleh Marshall McLuhan. Orang terperangkap di dalam informasi konten yang dibawanya. Media social membentuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita melihatnya. Jika kita cukup sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa diri kita, sebagai individu dan masyarakat. Efeknya tidak terjadi pada tataran pendapat atau konsep, tetapi mengubah pola persepsi secara terus menerus. Hal yang Yang menarik dari gegap gempita Buzz dan buzzing di media sosial adalah fenomena unfriend dan unfollow. Banyak pengguna Facebook terpaksa mengambil keputusan unfriend terhadap kawan-kawannya yang berbeda pilihan dan memberi komentar yang dianggap kurang pas. Ada juga yang memutuskan untuk unfollow, yang artinya tetap bersahabat tetapi tidak ingin berbagi posting sahabatnya dibaca di linimasa (timeline)-nya. Betapa dahsyatnya dampak Buzz dan buzzing politik dalam dunia maya, perbedaan pilihan politik harus memutus persahabatan di dunia maya. Oleh karena itu melalui strategi penyampaian pesan yang tepat, melalui komunitas di media sosial, menggunakan komunitor yang dijadikan sumber rujukan para netizen, dengan karakteristik yang dimiliki oleh media sosial, buzz yang diciptakan oleh para buzzer telah melakukan konstruksi sosial terhadap capres pada pemilu 2014 lalu. Melalui konstruksi sosial bukan hanya mengubah pendapat tapi juga mengubah seseorang menjadi bagian dari komunitas sosial, mereka didangkalkan pikirannya oleh pesan-pesan yang diciptakan secara terus menerus oleh para buzzer. Wajar jika pada akhirnya, para buzzer bukan hanya melakukan buzz mereka juga menjadi pecinta yang aktif terhadap politisi yang didukungnya.

Deddy Mulyana, (2013; 22) dalam bukunya komunikasi Politik, pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Media massa baik televisi, surat kabar dan juga internet, menjadi media utama kampanye politik menjelang pilkada, pilcaleg, dan pemilihan presiden 2019 mendatang.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Media Sosial ditengah Masyarakat yang Semakin Kritis Jika kita cermati, apa yang diungkapkan pakar komunikasi Deddy Mulayana, beberapa tahun yang lalu penomena ini sudah tampak. Para politisi baik calon kepala daerah dan bakal calon kepala daerah anggota legislatif, kepala daerah, bahkan presiden tampak bersileweran dengan akun-akun media sosialnya. Mereka juga terlihat aktif sebagai anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan Facebook, baik dalam usaha menarik pengikut sebanyak-banyaknya, membangun citra atau menyampaikan komunikasikomunikasi politik. Para pejabat, politisi atau tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial di Twitter, dengan jumlah pengikut yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun ada juga akun sebagian pengikut dari tokoh tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif. Terlepas dari itu semua, meskipun para politisi ini dapat menggalang dukungan lewat media sosial, namun tak jarang juga mereka sekaligus mendapatkan serangan dari khlayak yang tak menyukai mereka di media sosial tersebut. Tentu saja ini merupakan penomena sosial yang harus jadi pertimbangan para politkus yang aktif menggunakan media sosial tersebut. Jika di cermati, banyak masyarakat pengguna media sosial mengkritisi bahkan menghujat langsung para politikus yang dianggap gagal dalam menuntaskan persoalanpersoalan yang terjadi dimasyarakat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap gagal dan merugikan masyarakat. Paling tidak ini juga menandakan masyarakat sudah semakin kritis, yang menuntut komunikator-komunikator politik harus lebih professional, cerdas dan bijak dalam menyampaikan pesanpesan politiknya. 2. Saatnya Tinggalkan pola-pola lama Masih banyak akun-akun media sosial para politikus dan calon kepala daerah yang menyampaikan pesan komunikasi politik dengan pola-pola lama. Mereka seakan masih terfokus dan jadi penganut teori komunikasi politik “jarum hipordemik atau hypordemic needle theory�. Dimana, pesan yang disampaikan dimedia begitu perkasa, pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi melalui media massa termasuk media sosial, pasti akan berdampak positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Tak peduli apakah pesan-pesan politik tersebut kadang harus menapikkan fakta-fakta, nilai-nilai, bahkan logika. Pesan pesan politik yang disampaikan terkesan dipaksakan. Bahkan ada yang malah terkesan lebay. Untuk khalayak yang fasif dan awam, boleh saja cara ini masih ampuh. Tapi tidak dengan masyarakat yang kritis, dan cerdas. Bisa membedakan antara hanya live servis, pencitraan dan kebenaran.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Jarum hipordemik dengan pola-pola lamanya, sebenarnya sudah lama ditinggalkan. Disamping dianggap sudah klasik, dengan tokoh-tokohnya LA.Richard (1936) Raymon Bauer (1964) Schramm & Robert (1977), polapolanya juga dianggap sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat yang kian cerdas. Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang menggunakan situs internet dalam kampanye politik. Ingin mendapatkan dukungan dari pemilih muda lewat pesan-pesan politiknya. Situsnya pun dikunjungi oleh lebih dari dua juta orang. Isi pesan-pesan yang disampaikan masih terkesan serampangan, dengan pola-pola jarum hiperdemik. Hasilnya, bukannya seperti yang diharapkan, dalam pemilu tahun 1996 itu Dole dikalahkan lawannya Bill Clinton dalam pemilihan tersebut. Dalam perkembangannya, para komunikator politik Amerika pun beralih pada pola the obstinate audience theory atau juga dikenal dengan teori khalayak kepala batu. Para komunikator komunikasi politik tidak lagi percaya khalayak fasif dan dungu serta tak mampu melawan keperkasaan media. Khalayak justru sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif. Dalam komunikasi politik, khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap terpaan semua pesan kepada mereka. Komunikasi merupakan transaksi pesan, pesan yang masuk akan diseleksi, kemudian akan disaring diterima atau ditolak melalui filter konseptual. Adapun pola penyampaian pesannya, fokus pada pengamatan terutama pada komunikan. Melalui pendekatan psikologis dan sosiologis. Para komunikator politik kita sebenarnya sudah jauh melangkah kearah pola Teori empati dan homofili. Dimana asumsinya, Komunikasi politik akan sukses, bila mampu memproyeksikan diri kedalam sudut pandang orang lain. Komunikasi ini didasarkan oleh kesamaan (homofili) akan lebih lancar ketimbang oleh ketidak samaan. Tokoh tokohnya; Berlo (1960) Baniel Lierner (1978). Teori ini pun erat kaitannya dengan citra diri sang komunikator untuk menyesuaikan pikirannya dengan alam pikir khalayak. Pada masa mendatang komunikasi politik di Indonesia akan semakin menarik. Seiring jumlah massa mengambang terutama dikalangan generasi muda kian bertambah. Ini berarti bahwa politisi perlu meningkatkan kepiawaian mereka untuk mempengaruhi rakyat. Rakyat semakin cerdas, pemimpin yang hanya sekedar menggunakan pencitraan akan ditinggalkan. Pemimpin otentik dan dekat dengan rakyat akan semakin digandrungi. Pemimpin yang berintegritas, akan berhasil memimpin negeri kita. Pemimpin yang mau berkorban dan mengabdi dalam artian yang sebenarnya. Pemimpin seperti inilah yang disebut Alex Sobur (2013) sebagai “pemimpin Masa Depan�.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3. Sumber informasi yang mempengaruhi Pemilih Pemula Pemilih pemula di Indonesia di dominasi generasi millennial yang identik dengan teknologi. Salah satu ciri mereka yakni tak bisa lepas dari produk teknologi, gadget atau gawai. Dalam gawai itu, mereka menumpah-ruahkan ekspresi, di antaranya di sosial media. Saat ini, generasi millennial tidak lepas dari laptop, gadget, gawai dalam beraktifitas dan mengerjakannya tugas rutin. Mereka membuat presentasi tugas-tugas sekolah. Jari-jari mereka bergerak lebih cepat merangkai kalimat dengan cara memencet tombol di keyboard laptop, daripada dengan cara menulis. Dengan gadget mereka bercakap-cakap dengan teman-temannya. Mereka juga dapat bergosip ria dan ketawa ketiwi dengan rekan-rekannya lewat percakapan di group whatsApp dan BBM. Untuk bermain bersama, tidak harus berkumpul di sebuah tempat. Mereka cukup menggunakan teknologi internet di laptop atau komputer untuk memainkan permainan virtual. Berbeda dengan generasi dulu yang memakai telepon rumah atau via surat jika ingin berkomunikasi. Mereka pun harus bertemu di sebuah tempat jika ingin bermain bersama. Kedekatan mereka dengan gadget juga menyebabkan generasi millennial lebih senang mengetik di handphone daripada berbicara. Bahasa dan struktur kalimatnya pun kadang acak-acakan, lucu dan kekanak-kanakan. Mereka juga lebih senang menyatakan perasaan di Facebook maupun Twitter. Populasi generasi millennial sangat besar. Namun, hanya sedikit yang berani tampil progresif di ranah politik yang hingar bingar. Sebagian besar memilih apatis, bahkan alergi dengan politik. Di tengah gaya hidup kaum millennial yang cenderung hedonis dan pragmatis. Generasi millennial nampaknya mengasingkan diri dari riuh politik. Sebagian menganggap politik itu membosankan lantaran sering diwarnai dramaturgi dan patalogi. Mereka pun masih sebatas objek politik bagi politisi dan partai politik dalam mendulang dukungan suara. Padahal, populasi mereka sangat besar. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, jumlah pemilih millennial mencapai 53 juta jiwa dari 186 juta pemilih. Dengan jumlah yang begitu besar, mereka seharusnya memiliki posisi tawar yang kuat di ajang suksesi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah populasi generasi millennial diprediksikan pada gelaran Pemilu 2019 ada sekitar 47 – 50 persen pemilih muda. Pemilih pemula dapat diatasi dengan sosialisasi Pemilu. Informasi dibutuhkan pemilih pemula adalah informasi waktu Pemilu dan informasi cara menggunakan hak pilih. Informasi tersebut menentukan kehadiran dan keabsahan dalam berpartisipasi. Selanjutnya, pendapat pakar dan tokoh


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

dibutuhkan pemilih untuk menganalisis dan mempertimbangkan dalam memilih calon pemimpin. Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan seperti dibidang pemerintahan dan ketatanegaraan. Informasi calon pemimpin yang paling dibutuhkan oleh pemilih pemula merupakan visi dan misi. Pemilih pemula memiliki pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan. Hal ini sejalan dengan alasan berpartisipasi pada Pemilu (pemilukada, pilcaleg, pilpres). Selain visi dan misi, biodata diri calon pemimpin, latar belakang dan pengalaman calon presiden mempengaruhi pandangan pemilih dalam memutuskan pilihanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Lembaga Kajian forensik dan dan Informasi Kavita Media Berita elektronik menjadi salah satu media yang paling dominan dari pengguna internet di Indonesia (Lim 2011). Pemilih pemula sering mengakses portal berita elektronik sebagai sumber informasi Pemilu karena kecepatan informasi dan judul informasi yang menarik disertai rasa ingin tahu yang tinggi oleh pemilih pemula. Selain itu, Facebook dan Twitter menjadi sumber informasi internet yang banyak dipilih oleh pemilih pemula. Kemenangan Obama pada pemilihan umum 2009 merupakan hasil dari penggunaan dan pengelolaan TIK, khususnya media sosial dalam pengumpulan dari dukungan pemilih (Aekar et al. 2006). Twitter menjadi sarana pembentukan opini publik sedangkan Facebook sebagai penguatan jaringan yang kuat antara akun dengan teman (Ramadhan et al. 2014). Jelajah situs atau mesin pencari otomatis menjadi peringkat ketiga karena kemudahan pemilih mencari informasi yang dibutuhkan dengan cepat dan tepat. Motif pencarian informasi dan kenyamanan dalam menelusuri informasi pada umumnya adalah bentuk kepuasan dalam mencari dan memperoleh informasi yang digunakan untuk perubahan, kebebasan berpikir, aktualisasi diri, dan membantu kegiatan menjadi lebih efisien dan efektif. Informasi tersebut termasuk dengan isu isu politik terkini yang terjadi di tanah air (Setianto 2012). Terdapat satu kesamaan aktifitas dalam pencarian informasi yang berkaitan dengan pengetahuan pemilih pemula seperti portal berita elektronik, web resmi partai politik, Twitter dan Facebook menjadi media yang berpengaruh terhadap pemilih dalam memutuskan calon pemimpin (presiden, kepala daerah) (Kavita Media, 2017). Oleh karena itu komunikasi politik dan pemanfaatan internet merupakan sarana komunikasi yang efisien (Fatanti 2014). Kicauan atau status dan intensitas tokoh oleh orang berpengaruh dalam masyarakat menjadi pertimbangan pemilih pemula dalam berpartisipasi pada pemilihan umum (pilkada, pilpres). Media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemilih pemula serta sikap politisi, mengatur agenda, dan bahkan membentuk hasil dari kampanye (Caplan 2013).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BAB VI GENERASI MILLENNIAL DAN KOMUNIKASI POLITIK

A. Mengenal Generasi Millennial Generasi Millennial adalah actor utama Indonesia masa kini dan masa depan, secara jumlah. Mereka memiliki jumlah terbesar dan sudah melampai jumlah generasi-generasi sebelumnya. Millennial sebuah peradaban baru perilaku, dari sudut pandang politik dan aspek kehidupan. Istilah generasi millennial memang sedang akrab terdengar. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe. Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir. Penggolongan generasi millennial atau generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya. Setiap generasi pada zamannya mempunyai ciri dan karakteristik masing-masing. Beragam kesamaan atau pun perbedaan di dalamnya layaknya dapat dijadikan sebagai gambaran umum atas bagaimana mereka berperilaku. Tentunya ini sangat penting bagi para politisi, partai politik dan lembaga poltilk lainnya harus mengetahui secara mendalam target pemilh pemula yang ingin ia tuju. Salah satu generasi yang paling mencolok karena terkenal dengan keragaman yang berada di dalamnya adalah Generation Y atau yang biasa dikenal dengan “Echo Boomers” atau pun “Millennials” (Solomon, 2009). Untuk dapat membatasi lingkup generasi ini, terdapat pembatasan tahun kelahiran agar tetap mempunyai karakteristik yang serupa. Kelahiran 1977 hingga 1994 dikenal sebagai Generation Y untuk tahun 2010 atau dengan kata lain generasi ini mencakup umur 16 hingga 33 tahun (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010). Generasi ini dikarakteristikan sebagai remaja yang tergolong remaja yang lebih tua dan dewasa yang muda. Secara umum, diharapkan generasi ini merupakan generasi yang paling tinggi tingkat pendidikannya, tentunya dengan tingkat pendapatan yang akan mengikuti. Kebanyakan dari “Echo Boomers” ini telah memasuki dunia perkuliahan atau pun dunia kerja. Mereka juga sadar akan teknologi dan menggunakan e-mail, telfon selular, dan juga SMS untuk berkomunikasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Lebih dai 90% dari kelompok umur 18 hingga 29 tahun melakukan online, yang merupakan prosentase yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Selain itu, kelompok umur 18 hingga 24 tahun memimpin pada penggunaan layanan telfon selular, seperti SMS sampai internet. Generasi ini juga menikmati media dan program TV yang memang diciptakan untuk mereka, seperti MTV, Maxim, American Idol, Big Brother 4, dan juga CSI (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010). Millennials rata-rata mengalihkan perhatiannya dari berbagai gawai, seperti PC, smartphone, tablet, dan televisi 27 kali setiap jamnya. Angka ini meningkat dari 17 kali per jam di generasi sebelumnya. Ericsson melakukan riset di 24 negara dunia. Dari 10 tren tersebut beberapa di antaranya, adalah adanya perhatian khusus terhadap perilaku generasi millennial. Dalam laporan tersebut Ericsson mencatat, produk teknologi akan mengikuti gaya hidup masyarakat millennial. Sebab, pergeseran perilaku turut berubah beriringan dengan teknologi. Sepanjang tahun 2017, beberapa prediksi yang disampaikan Ericsson berhasil terbukti. Salah satunya, perilaku Streaming Native yang kini kian populer. Jumlah remaja yang mengonsumsi layanan streaming video kian tak terbendung. Ericsson mencatat, hingga 2014 silam hanya ada sekitar tujuh persen remaja berusia 16 - 19 tahun yang menonton video melalui Youtube. Rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar tiga jam sehari. Angka tersebut melambung empat tahun kemudian menjadi 20 persen. Waktu yang dialokasikan untuk menonton streaming juga meningkat tiga kali lipat. Fakta tersebut membuktikan, perilaku generasi millennial sudah tak bisa dilepaskan dari menonton video secara daring. Teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Tren tersebut sudah terbukti disepanjang 2016 melalui beberapa peristiwa penting, seperti aksi teror bom. Masyarakat benar-benar mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terkini dari sebuah peristiwa. The Nielsen Global Survey of E-commerce juga melakukan penelitian terhadap pergeseran perilaku belanja para generasi internet. Penelitian dilakukan berdasar penetrasi internet di beberapa negara. Nielsen melakukan riset terhadap 30 ribu responden yang memiliki akses internet memadai. Responden tersebut berasal dari 60 negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Utara, serta Timur Tengah. Studi tersebut menggambarkan perilaku generasi akrab internet ini memilih jalur daring untuk meneliti dan membeli beragam produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nielsen mencatat, pertumbuhan penetrasi perangkat mobile di kotakota besar Indonesia mencapai 88 persen.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Kepemilikan perangkat mobile menjadi salah satu faktor paling signifikan terhadap perilaku belanja daring. Berdasarkan riset Nielsen tersebut, Indonesia memiliki peringkat teratas secara global dalam hal penggunaan ponsel pintar untuk belanja daring. Sebanyak 61 persen konsumen memilih berbelanja menggunakan ponsel pintar, dan 38 persen lainnya memilih tablet atau perangkat mobile lain. Sementara, 58 persen konsumen lebih memilih menggunakan komputer.

1. Sejarah Teori Generasi Strauss-Howe William Strauss dan Neil Howe adalah sejarawan yang menelusuri sejarah Amerika Serikat (AS) secara mendalam. Dalam buku mereka yang berjudul generations, Strauss dan Howe menceritakan sejarah AS sebagai rangkaian biografi generasi dari tahun 1584. Buku inilah yang mendasari teori mereka mengenai generasi. Kedua sejarawan ini mengembangkan teori mereka lebih lanjut dalam buku selanjutnya yaitu The Fourth Turning yang berfokus pada siklus empat tipe generasi dan suasana era di sejarah AS. Walaupun teori ini didasarkan pada sejarah AS, LifeCourse Associates —  sebuah institusi konsultasi yang didirikan oleh Strauss dan Howe — terus mengembangkan teori ini dengan mempelajari tren generasi di negara lain dan menemukan siklus yang mirip di kebanyakan negara maju selain AS. Dengan teori yang Strauss dan Howe ciptakan, banyak prediksi antimainstream mereka pada tahun 1991 mengenai generasi Millennial yang lebih berhasil meramalkan perilaku generasi tersebut dalam tahun-tahun berikutnya. Saat kebanyakan ahli lain melihat tren anak muda yang semakin ‘parah’ dari tahun ke tahun, kedua sejarawan AS ini meramalkan angka kriminalitas remaja, kehamilan di luar nikah, konsumsi alkohol, dan rokok di bawah umur akan menurun. Hal ini terbukti benar saat generasi Millennial melalui masa remaja. Bahkan budaya pop yang disebut-sebut akan semakin diwarnai kekerasan dan seks eksplisit juga berganti menjadi lebih bersahabat dan dinaungi merek-merek besar. Sebagai contoh, generasi Millennial saat remaja memiliki tokoh populer bernama Justin Bieber. Selain kedua prediksi yang telah disebutkan, Strauss dan Howe juga berhasil memprediksi iklim politik dan ekonomi di AS sehingga teori ini menjadi populer di berbagai bidang. 2. Asumsi Dan Batasan Teori Generasi Strauss-Howe seluruh kriteria generasi yang disebutkan sebelumnya adalah asumsi dasar Strauss dan Howe dalam merumuskan karakter dari tiap generasi. Asumsi lain dalam teori ini adalah setiap generasi akan cenderung menjadi oposisi generasi lainnya. Sebagai contoh, setiap generasi akan mencoba untuk


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

memperbaiki dan mengkompensasi apa yang mereka persepsikan dari generasi usia pertengahan yang berkuasa pada saat itu. Tabel 6. Generasi yang Masih Hidup

Batasan teori generasi Strauss-Howe terlihat dari cara perumusannya. Studi yang dilakukan kedua sejarawan tersebut dalam merumuskan generasi sangat subjektif karena hanya didasari literatur sejarah yang minim sumber primer. Teori ini bahkan dikritisi oleh banyak pihak yang menganggap teori ini sangat imajinatif karena kurangnya bukti. Selain itu, teori ini juga sangat deterministik dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor mikro di luar peristiwa sejarah yang sifatnya makro. Contohnya, bisa saja seseorang lebih terbentuk oleh tradisi keluarganya yang sangat kuat dibanding tren pada masanya. Berangkat dari asumsi dan batasan tersebut, Strauss dan Howe berpendapat bahwa terdapat enam generasi yang masih hidup hingga kini. Setiap generasi memiliki nama yang berbeda bergantung pada peristiwa yang terjadi pada masa hidupnya. Secara singkat, Tabel 1 di atas merangkum keenam generasi tersebut.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

a. Diagonal Generasi Dan Archethype Tabel 7: Diagonal Generasi

Dari pola ini akan terbentuk empat pola dasar generasi atau archetypes. Setiap warna pada Tabel 2 yang diberikan melambangkan tiap archetype. Warna biru elambangkan Prophet, warna ungu melambangkan Nomad, warna kuning melambangkan Hero dan warna hijau melambangkan Artist. Tabel 8. Archetypes


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Setiap archetype memiliki kesamaan sikap dasar terhadap keluarga, risiko, budaya, nilai-nilai, keterlibatan dalam negara dan lain-lain. Secara garis besar, sikap dasar tiap archetype. Prophet lahir setelah sebuah perang besar atau krisis lainnya sewaktu kehidupan masyarakat diremajakan dan terbentuk konsensus. Prophet menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan dimanja pada masa pascakrisis, tumbuh besar sebagai crusader yang narsis, moralistik pada usia paruh baya dan menjadi lansia yang bijak. Mereka dikenal karena visi, nilai-nilai dan keagamaannya. Nomad lahir saat kebangkitan spiritual, masa di mana ideal sosial dan agenda spiritual saat pemuda menyerang institusi yang berkuasa. Nomad menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan kurang diproteksi, tumbuh besar dengan keadaan teralienasi, menjadi pemimpin yang pragmatis pada usia paruh baya dan menjadi lansia yang tangguh. Mereka dikenal karena kebebasan, survival dan kehormatannya. Hero lahir setelah kebangkitan spiritual, masa di mana terdapat pragmatisme individu, kemandirian, tidak campur tangan, dan chauvinisme nasional. Hero menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan semakin diproteksi, tumbuh besar sebagai pekerja dalam tim, berenergi dan arogan pada usia paruh baya dan menjadi lansia yang kuat. Mereka dikenal karena komunitas, kemakmuran dan teknologi. Artist lahir saat perang atau krisis besar, di mana institusi menjadi agresif sehingga tercipta konsensus publik dan pengorbanan pribadi. Artist menjalani masa kanak-kanak dalam keadaan overpretected, tumbuh besar sebagai pribadi yang sensitif, menjadi pemimpin yang sulit menentukan, kemudian menjadi lansia yang berempati. Mereka dikenal kaerna pluralisme, keahlian dan proses hukum yang adil. b. Turnings, Saeculum Dan Sosial Mood “Sejarah membentuk generasi dan generasi membentuk sejarah.” Pada setiap awal dari era tersebut masyarakat mengubah bagaimana mereka berpikir tentang dirinya, budaya, negara, dan masa depan. Awal dari setiap era ini dinamakan turning oleh Strauss dan Howe. Ternyata satu siklus penuh dari empat era tersebut berlangsung selama 80–90 tahun. Masyarakat romawi menyebut siklus ini sebagai saeculum yang berarti masa kehidupan seorang manusia. Generasi sekarang berada pada Millennial Saeculum. Kita bisa menanggap tiap turning sebagai ‘musim’ dari sejarah. Crisis dapat diibaratkan sebagai


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

musim dingin. Musim ini ditandai oleh pergolakan dimana masyarakat berfokus pada reorganisasi dunia luar dari institusi dan perilaku publik. Bahaya besar akan memprovokasi konsensus sosial, etika pengorbanan pribadi dan ketertiban institusi yang kuat. Musim ekstrim lainnya adalah Awakening yang dapat diibaratkan sebagai musim panas. Musim ini ditandai oleh pembaharuan budaya atau agama, saat masyarakat berfokus pada reorganisasi dunia dalam dari nilai-nilai dan perilaku pribadi. Saat Awakening, etika individualis mmenguat dan institusi akan diserang oleh ide-ide sosial baru dan agenda spiritual lainnya. Di antara Crisis dan Awakening terdapat dua musim transisi seperti musim semi yaitu High dan musim gugur yaitu Unraveling. Tabel 9. Mood dari Empat Turnings

4. Perkembangan Generasi Millennial Dalam konteks pekerjaan di Amerika Serikat, ternyata tiap generasi mempunyai preferensi yang berbeda-beda mengenai isu kerja. Berikut adalah rangkuman dari penemuan dalam survei yang diadakan oleh Life Course


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Associates dengan sampel berukuran 4,986 pekerja dalam 47 perusahaan. Terdapat perbedaan yang signifikan dari antara generasi tua dan muda dalam bekerja. a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)

Generasi Millennial merencanakan karir jangka panjang Generasi Millennial menginginkan goal jangka pendek dan dapat dicapai Generasi Millennial mengiginkan panduan langsung Generasi Millennial menginginkan program bimbingan seperti mentor Generasi Millennial menginginkan layanan dukungan hidup Generasi Millennial menginginkan tempat kerja yang nyaman untuk bersosialisasi Generasi Millennial ingin berkontribusi dalam kehidupan sosial Generasi Millennial dan X menginginkan teknologi yang mutakhir Generasi Boomers menghargai etos kerja dan generasi X menghargai etos pasar Generasi Boomers berfokus pada misi.

Banyak hal krusial yang berhubungan dengan generasi, apabila kita melihat hasil survei tersebut. Arah pergerakan generasi sekarang mulai berubah. Generasi terdahulu yang diceritakan berhasil menumbangkan rezim orde baru adalah generasi X sedangkan generasi sekarang mayoritas merupakan generasi Y atau Z. Selain arah pergerakan generasi yang mulai berubah, tidak dapat dipungkiri bahwa metode kaderisasi ataupun pendekatan lainnya dalam berpolitik juga ikut berubah. Terbukti bahwa metode yang lama tidak berhasil diimplementasikan pada saat ini sehingga hasil pergerakan poltik ataupun kaderisasi politik tidak sesuai harapan. Walaupun studi yang dilakukan oleh Strauss dan Howe berlokasi di Amerika Serikat. Namun, teori ini cukup berlaku di Indonesia. Hal ini didasarkan pada populasi generasi millennial yang berasal dari kota-kota maju seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sangatlah besar sedangkan tim peneliti Strauss dan Howe mengatakan bahwa mereka menemukan pola yang sama di negara-negara maju. Selain itu, peristiwa G30SPKI pada tahun 1965 dan runtuhnya rezim orde baru saat krisis 1998 adalah suatu bentuk kemiripan dengan siklus sejarah di Amerika Serikat. Teori generasi Strauss dan Howe cukup berlaku di Indonesia. Keabsahan teori ini tidak 100% karena banyak faktor mikro berpengaruh, seperti budaya daerah yang masih cukup kental. Kita perlu menyadari bahwa teori ini memiliki asumsi dan batasannya tersendiri. Namun, teori ini dapat dijadikan landasan berpikir untuk menentukan metode ataupun arah politik dan demokrasi sekarang.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Karakter Generasi Millennial Cita-cita kita sebagai sebuah bangsa adalah menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat, disegani dan mampu berkompetisi serta berkolaborasi dalam pergaulan internasional. Di tunjang potensi kekayaan sumber daya alam Indonesia yang sangat berlimpah, sumber daya manusia yang yang unggul. Optimisme itu ditopang landasan kepercayaan diri, konsep kenegaraan generasi pendahulu, semangat nasionalisme dan kuatnya nuansa keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam memaksimalkan potensi generasi muda, pendidikan adalah kunci penting dalam membangun peradaban. Apalagi beberapa tahun terakhir, Indonesia diprediksi akan menjadi negara besar disebabkan adanya bonus demografi. Keuntungan ini harus dimaksimalkan, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan melahirkan insan berkarakter, insan yang cerdas dan insan yang kompetitif. Jika membaca fenomena kekinian dimana dunia diwarnai maraknya budaya global dan gaya hidup pop culture. Keadaan ini memunculkan generasi muda yang disebut generasi millennial. Sebutan ini dialamatkan kepada generasi muda yang melek, akrab dan tidak mampu dipisahkan dengan kemampuan menguasai high technology. Mereka adalah manusia muda yang seringkali disinggung sebagai generasi Z, sosok generasi yang lahir tahun 1990 sampai 2000-an, dengan kisaran umur 17-30 tahun. Generasi millennial dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan umur. Pertama The Students Millenials yaitu kelompok yang lahir pada tahun 1993 hingga 2000, (rata-rata berusia 17 sampai 25 tahun), The Working Millenials yang lahir pada tahun 1987 hingga 1993 (rata-rata berusia 24 sampai 30 tahun.). Ketiga The Family Millenials yaitu kelompok yang rata-rata berusia 29 – 37 tahun pada 2017. Menurut pakar informasi teknologi (IT), Nukman Luthfie (CNN Indonesia, 2016), generasi millennial disebut sebagai generasi digital. Millennials memiliki hidup yang 'sangat digital. Sumber informasinya dari media sosial, televisi, baru search engine. Generasi ini mudah mengadopsi tren yang ada di dunia. Eksistensi millennials di dunia maya beragam. Nukman membaginya dalam dua Creator adalah orang yang membuat konten tertentu di blog, situs web, atau pun akun YouTube. Mereka punya akun YouTube hanya untuk lihat video. Sedangkan, Conversationalist adalah orang yang lebih senang menggunakan Facebook, Path, dan Twitter untuk bercakap-cakap. Ada sebagian pengguna yang berkarya, dengan cara kultwit [kuliah Twitter], membuat tulisan di notes Facebook, tapi Tapi sebagian besar conversationalist.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Generasi millennial, umumnya berada di kategori creator, karena saat ini banyak ruang yang bisa digunakan untuk berkreasi, seperti Instagram. Terlebih lagi, faktor teknologi seperti ponsel pintar, bisa memudahkan untuk membuat foto, video dan editing. Mereka Cenderung entrepreneur atau self-employee. Banyak hal kreatif yang mereka ciptakan. Banyak remaja yang kreatif membuat konten sosial medianya menjadi menarik. Entah itu tutorial merias wajah, memasak, membuat prakarya, menampilkan hasil fotografi, atau memamerkan lagu terbaru. (Nukman, CNN Indonesia, 2016). Gambar 3. Akses Digital Generasi Milenial

Sumber : http://www.timesindonesia.co.id/millennials

Dalam perspektif Absher dan Amidjaya (2008) generasi millennial berkisar antara 1982 sampai 2002 dan mengalami google generation, net generation, generation Z, echo boomers, dan dumbest generation. Tapscott (2008) menyatakan generasi millennial sering disebut generasi Z dengan ciri suka dengan kebebasan, senang melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi yang instan, suka belajar dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper technology.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Alvara Research Center menyebut generasi millennial memiliki tiga macam karakter.  Pertama, Generasi millennials kelas menengah urban adalah generasi yang creative. Mereka terbiasa berfikir out of the box, kaya ide dan gagasan.  Kedua, Generasi millennials kelas menengah urban adalah generasi yang confidence, mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya tanpa ragu-ragu.  Ketiga, Generasi millenials kelas menengah urban adalah generasi yang connected. Mereka merupakan generasi yang pandai bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, Mereka juga berselancar di sosial media dan internet. Generasi millennial tak dapat dilepaskan dari internet. Mereka disibukkan harinya dengan gadget baik untuk bermain game, mengerjakan tugas sekolah/kuliah dan menjawab pertanyaan atas kondisi di sekitarnya. Melalui gadget, mereka mendapatkan informasi dengan mencari di google, menggunakan internet untuk chatting dan memanfaatkan media sosial untuk berteman, bertukar informasi maupun saling berkirim foto selfie. Berdasarkan penelitian Heru Wahana (2015), ada beberapa karakteristik generasi millennial yaitu pemanfaatan teknologi sebagai gaya hidup, mendapatkan perlindungan dari lingkungan terdekatnya, lahir dari kalangan orang tua terdidik, memiliki banyak talenta dan kemampuan berbahasa, lebih ekspresif dan eksploratif. Keterbukaan sangat terlihat jelas dalam pola komunikasi generasi ini, dimana mereka merasa cuek dengan privasi. Mereka masuk dalam cyberculture yaitu kebudayaan yang dilakukan dalam dunia maya tanpa batas. Adanya keterbukaan turut pula menentukan sikap mereka dalam mengambil keputusan atas isu yang ramai diperbincangkan publik, apakah menerima atau menolaknya. Dengan segala keunikannya, generasi millennial melahirkan budaya positif dan negatif. Dari sisi positif, sosok Fatih Timur (aktivis filantropi, founder kitabisa.com), Shamara (politisi Partai Solidaritas Indonesia), Ria Ricis (artis, selebgram) merupakan beberapa tokoh muda dari generasi millennial. Ada pula sosok Dea Valencia, anak muda asal Semarang ini mampu memberdayakan potensi penyandang disabilitas untuk membuat batik terbaik yang mampu bersaing di pasar internasional. Mereka memainkan peran sejarah dalam kehidupan bangsa di masa depan dengan gagasan orisinil, inovatif, mencerahkan dan berusaha menjadi solusi atas permasalahan masyarakat


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

2. Perilaku Penggunaan Internet Ciri khas generasi millennial adalah connected yang dihubungkan melalui internet. Berdasarkan penelitian Alvara Research Center terdapat beberapa temuan berikut.  Pertama, generasi millennial sangat kecanduan internet., dimana umumnya mereka menggunakan internet mayoritas 1-6 jam per hari.  Kedua, mengakses internet di setiap tempat menggunakan smartphone. Internet selalui diakses karena adanya kebutuhan informasi dan keinginan mengaktifkan hubungan (chatting, saling berkirim pesan, gambar dan video call) dengan teman media sosialnya.  Ketiga, akses internet setiap waktu mulai bangun tidur hingga kembali tidur. Puncak dari mengakses internet terjadi saat mereka luang, yaitu dari pukul 18.00 hingga pukul 22.00. Melihat waktu mereka mengakses internet, bisa dikatakan bahwa internet telah menjadi pengantar tidur mereka. Berdasarkan diskusi informal penulis dengan salah satu generasi ini menunjukkan bahwa mereka meletakkan smartphone disamping tempat tidur. Dia meletakkannya begitu saja karena rasa kantuk.  Keempat, Musik masih menjadi hiburan yang paling sering diakses oleh generasi ini, diikuti oleh film dan games. Musik juga paling banyak diakses melalui live streaming dan juga menjadi yang paling banyak di download sehingga bisa dikatakan musik adalah hiburan favorit generasi millenial kelas menengah. Hasil riset menunjukkan 66.3% responden pernah mengakses musik selama 1 tahun terakhir, 61.1% responden pernah menikmati musik secara live streaming dan 50,2% responden pernah mendownload musik. 3. Preferensi Generasi Millennial a. Perilaku Politik Jak Pat App, melakukan riset terhadap perilaku politik generasi millennial. Hasilnya sebanyak 57,24% tidak tergabung dalam komunitas, sementara yang bergabung dalam komunitas mencapai 42,76%. Masih tingginya angka yang tidak berorganisasi selayaknya memacu organisasi untuk berinovasi dalam berbagai agenda rekrutmen atau kaderisasinya. Generasi millennial memandang politik sebagai kekuasaan (26 8.75 %), korupsi (24 8.08 %), kotor (21,07%), pemerintahan (15,05%) dan partai (11,37). Apatisme berpolitik generasi ini sangat tinggi, yakni mencapai 62,63% tidak mau mengikuti perkembangan isu politik terkini. Hanya 37,37% yang bersedia meluangkan waktunya untuk ikut melihat perkembangan kondisi politik kekinian.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mayoritas responden menyatakan, sumber berita politik diperoleh dari Media online (88.29%), Televisi (69.37%), Surat kabar (44.14%) dan Other option (2.7%) Responden juga dominan tidak mendukung salah satu partai politik (86,56%) dan sebanyak 87,37% mengaku tidak tertarik bergabung dengan partai politik. Kondisi yang cukup memprihatinkan juga tampak, dimana sebanyak 100% responden menjawab hanya memperhatikan saja ketika isu politik dibahas di jejaring sosial. Data di atas dapat menjadi acuan untuk melihat sejauhmana perhatian generasi muda kepada politik. Sikap apatis berpolitik di kalangan anak muda ini masih cukup tinggi, disebabkan pandangan politik itu identik dengan korupsi dan bersifat kotor. Ini menjadi tugas pemerintah, parpol, politisi dan lembaga politik lainnya untuk mengedukasi mereka tentang berpolitik yang sehat, sesuai norma dan nilai kebangsaan serta memunculkan kesadaran politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang harus diperjuangkan melalui berbagai jalur resmi dan konstitusional. b. Ekspresi Politik Generasi millennials adalah anak-anak muda yang kerap mendapat perhatian khusus untuk berbagai kepentingannya, dengan ditinjau dari berbagai aspek perilakunya, seperti dalam pendidikan, hubungan sosial, pandangan politik, etos kerja, hingga penguasaan teknologi. Seperti generasi lainnya, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakannya dalam kehidupan demokrasi hari ini. Dari berbagai literatur yang dihimpun, karakteristik Millennials jika di tinjau melalui pendekatan psikis dan empiris dalam mengekspresikan sikap politik mereka. Berbagai fenomena sosial yang dialami, setidaknya ada lima karakteristik sebagai berikut:  Pertama, Menguasai Media Sosial. Generasi ini cepat merespon khususnya perkembangan teknologi digital dan secara optimal menguasai berbagai fitur aplikasinya secara bersamaan. Dengan prinsip praktis dan efektif, maka menurut mereka smartphone lebih menarik daripada televisi, karena merasa berhak memilih dan menentukan sendiri hiburan serta informasi yang diinginkan. Disisi lain, ketergantungan terhadap media sosial merupakan indikasi tingginya interaksi komunikasi mereka. Fungsi media sosial tidak lagi sebagai saluran pertemanan, tetapi telah merangkap sebagai media edukasi, transaksi ekonomi bahkan ekspresi diri. Artinya dalam pandangan pola komunikasi politik, mereka akan cenderung kurang tertarik dengan model komunikasi konvensional yang searah. Sehingga


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

perlu dikemas model komunikasi politik yang dinamis, hal ini juga dapat berwujud dialogis, testimoni maupun visual kreatif. Sosialisasi (kampanye) politik dengan gaya formal dan normatif mulai dihindari oleh generasi ini.  Kedua, Aktif Beropini. Hal lain yang juga menonjol dari generasi ini adalah keberanian dan kemampuan mereka mengelola isu dan opini di ruang publik dengan berbagai metodenya, baik dari persoalan pribadi, isu-isu sosial dan politik, hingga terhadap proses pengambilan kebijakan publik. Generasi ini cukup jeli menggunakan berbagai saluran aspirasi yang tersedia, bahkan dapat menciptakan sendiri media alternatif. Nilai dan gagasan idealis menjadikan generasi ini lebih kritis menilai berbagai fenomena disekitarnya, sikap ini kerap diterjemahkan sebagai oposisi bahkan mungkin skeptis kepada para pejabat publik. Sejatinya kondisi ini sangat menguntungkan partai politik (parpol), politisi serta para pemangku kebijakan dengan memposisikan mereka untuk membantu menyerap aspirasi dengan jangkauan lebih luas dan lebih dalam. Mereka dapat difasilitasi dengan diberi ruang serta akses tertentu, dan secara bersamaan diberi tugas dan tanggungjawab konstruktif di tengah-tengah masyarakat.  Ketiga, Personal Branding. Keunikkan lain generasi ini adalah kesadaran untuk membangun citra dirinya termasuk komunitasnya. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai sikap narsis, tetapi ada juga yang menganggap sebagai cara menjaga eksistensi diri. Konon, banyaknya followers akan meningkatkan status tertentu dalam pergaulan mereka. Personal branding adalah kebutuhan, menjadi beralasan sebagai upaya merawat reputasi dan menjalin relasi. Cepatnya pergerakan informasi telah menembus batasbatas teritori hingga berbagai rupa manipulasi. Media sosial dan ruang publik kerap dijadikan saluran dalam memperoleh respon positif dari khalayak, disisi lain generasi ini cenderung memiliki rujukan atau idola dalam hal tertentu yang dianggap mampu mewakili passion mereka. Mengagumi selebriti maupun politisi akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap suatu hal, maka negara termasuk pasar turut bertanggungjawab menyajikan public figure yang dapat diteladani.  Keempat, Challenge Seeker Menyukai tantangan baru dan cepat bosan menjadikan generasi ini dianggap tidak loyal. Disadari atau tidak, ini menggambarkan jiwa anak muda yang cenderung dinamis dan energik. Ketika melihat ada


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

kesempatan, mereka akan berusaha untuk mencoba hal baru dengan berbagai motivasinya. Generasi ini dianggap memiliki kreatifitas tinggi, cepat belajar dan mudah beradaptasi tetapi kerap dianggap tergesagesa. Dalam berbagai agenda sosial, mereka tak segan menawarkan sesuatu yang anti-mainstream. Mengingat perkembangan zaman begitu dinamis dan tuntutan publik yang tidak terbatas, maka pendampingan dan pembinaan yang tepat pada generasi ini adalah modal investasi sosial dan politik jangka panjang. Penyediaan saluran untuk ide-ide dan energi positif mereka adalah cara bijak mendampingi dan berjalan beriringan.  Kelima, Gerakan Kerelawanan Dalam beberapa kasus yang menarik perhatian publik, generasi ini telah berhasil mempelopori gerakan kerelawanan dibidang sosial maupun politik. Penggalangan biaya berobat pasien kurang mampu, mengawal proses penenggakkan hukum, advokasi masyarakat sekitar pertambangan hingga menjadi relawan pengajar di daerah pelosok dan sebagainya. Mereka bergerak tidak menggunakan kelembagaan formil tetapi lebih pada ikatan kolektivitas yang lebih fleksibel, viral, dan bermotif pada isu khusus. Gerakan ini adalah kepekaan mereka pada isu-masalah yang dianggap peran negara kurang -bahkan abai-terlibat didalamnya. Dalam ranah politik pun mereka aktif menyuarakan sikap politik etis, memantau penyelenggaraan pemilu yang jurdil, bahkan sanggup menawarkan kepemimpinan alternatif sebagai perlawanan kepada elit politik yang kerap mempraktekkan status quo dalam kehidupan demokrasi. Generasi millennial memiliki caranya sendiri mengekspresikan politik dan kepedulian sosial dalam bermasyarakat dan bernegara. Semakin tinggi kesadaran partisipatif politik akan menghasilkan kebijakan publik yang reponsif. Diakui, walaupun ada sebagian dalam generasi ini yang masih bertindak destruktif, tetapi bukan nilai itu yang ingin kita apresiasi dan tularkan. Kiprah generasi ini akan mempengaruhi berbagai lini, termasuk akan menciptakan budaya politik baru dan kepemimpinan masa depan. c. Opini di Dunia Politik Generasi muda Indonesia di era teknologi digital bukan generasi egois yang hanya sibuk dengan gadget masing-masing dan apatis terhadap kenyataan yang sedang terjadi di negaranya. Sebaliknya, dengan pendekatan khasnya yang kreatif dan viral, gen millennial ikut andil dalam politik praktis. Mereka terjun sebagai relawan-relawan, aktif menyuarakan opininya, dan ikut mengawal proses demokrasi. Tanpa partai atau dana pribadi yang melimpah, mereka berhasil menggerakkan dan membuat perubahan.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

1. Geliat Kebangkitan Tahun 2012 - 2014 merupakan masa penyegaran dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia. Di era inilah, banyak generasi muda memutuskan terjun sebagai relawan bagi jagoan-jagoan politik mereka. Dengan caranya yang kreatif, mereka membangun sistem, jejaring, dan memikirkan strategi paling efektif untuk mengomunikasikan gagasan ideal kehidupan berpolitik dan berdemokrasi yang bersih dan kondusif bagi masa depan mereka di Indonesia. Berpartisipasi aktif menjadi relawan atas keprihatinan politik melihat wakil-wakil rakyat yang harusnya menyuarakan kepentingan bangsa justru lebih sibuk mengurusi kepentingan golongan dan mengukuhkan kekuasaannya sendiri dan terjadinya korupsi di semua lini. Meski bendera reformasi telah dinaikkan, pokok-pokok penting di dunia pemerintahan Indonesia masih diduduki mereka yang terbiasa berjalan dalam semangat ‘business as usual’. Banyak orang muda kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, politisi, sistem politik, dan bernegara yang ternyata masih saja korup. Kondisi ini mendorong sejumlah besar anak muda mengambil sikap abstain dalam pemilu, dan memilih menjadi golput (golongan putih), alias tidak memilih apa pun dan siapa pun. Ketidakpedulian ini akhirnya justru membuat orang-orang yang tidak tepat berada di pemerintahan atau menjadi pejabat publik. Namun, apatisme mereka terhadap kondisi politik negara ini berubah saat lanskap politik di Indonesia menampilkan tokoh-tokoh muda baru yang membawa harapan. Di antaranya ada Ridwan Kamil, Tri Rismaharini , Azwar Anaz, Anies Baswedan. Mereka sepakat bahwa eskalasi paling cepat dalam perubahan di sebuah negara adalah melalui jalur perubahan sosial politik. Mereka antusias memilih politisi cerdas, punya komitmen, kompetensi, dan rekam jejak yang bersih. 2. Kreatif & Viral Peneliti politik dari Universitas Gadjah Mada, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, mengatakan bahwa pergerakan generasi muda di dunia politik ditandai dengan gerakan turun ke jalan yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa pada tahun 1998/1999. Seiring peralihan bentuk perekonomian dari yang awalnya berbasis industri menjadi jasa yang didukung perkembangan teknologi informasi, bentuk ekspresi orang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

muda di dunia politik pun ikut berubah. Partisipasi politik mereka digerakkan melalui media jejaring online yang lebih cair dan mudah diakses di tengah kepadatan aktivitas yang mobile. Geliat ini nyata di media sosial, terutama melalui hujan hashtag atau tagar. Beberapa di antaranya cukup fenomenal, seperti #KemenanganJokowiJK yang menduduki No. 1 di Indonesia pada masa pilpres 9 Juli 2014. Tagar ini bahkan masuk 10 besar trending topic dunia. Tahun 2017, pilkada Jakarta, jagat Twitter juga ramai dengan berbagai tagar, seperti #AniesSandi, atau #AHOKJAROT. Saking fenomenalnya, cuitan perpolitikan di Indonesia, membuat Twitter, setelah 10 tahun beroperasi, akhirnya memutuskan membuka kantor perwakilannya di Indonesia. Keputusan ini seolah sah mengangkat Indonesia tidak hanya sebagai ibu kota media sosial dunia, tapi juga sebagai #Republiktwitter Era teknologi digital, jejaring sosial menjadi media baru dengan cakupan siar tak berbatas dan gratis. Sementara, tagar menjadi ‘corong’ untuk menyuarakan aspirasi generasi millennial yang mobile. Mulai dari aksi penggalangan opini, kultwit tentang analisis politik, perang tagar antara pendukung tokoh politik, atau saling lempar meme yang membungkus pesan politik dengan kesegaran komedi satir. Dengan memainkan hashtag # cuitan akan ramai jadi trending topic. Melalui tagar, tim, relawan politik memberi ruang bagi warga untuk men-tweet. Jelang pilkada dan pilpres 2019 para penggiat media sosial memainkan hashtag dan tagar # untuk meraih simpati khalayak media sosial. Tim relawan politik sejak awal telah mengoptimalkan media sosial. Media dengan jaringan ‘tanpa kapling’ yang tersedia secara gratis. Dengan media ini, penyajian konten bisa dikutak-katik sekreatif mungkin, hingga menjadi viral. Salah satu contoh yang menarik, tim relawan Ahok yang rata rata anak muda, sukses dalam pembuatan video pengumpulan 1 juta KTP warga Jakarta sebagai bentuk dukungan terhadap Ahok sebagai calon perorangan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Sebelum video tayang, sulit bagi mereka mengumpulkan KTP. Dalam sehari bisa jadi hanya 100 KTP yang berhasil terkumpul. Padahal, untuk target 1 juta KTP dalam setahun, setidaknya mereka harus mengumpulkan 3.000 KTP sehari. Video animasi kreatif itu berhasil menggambarkan betapa sulitnya mengumpulkan 1 juta KTP dalam satu tahun. Saking viralnya,


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

sampai-sampai ada orang yang tergerak mendirikan posko pengumpulan KTP di mancanegara, seperti di Amerika Serikat, Jerman, Melbourne, dan Belanda. Alhasil, hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, mereka berhasil mengumpulkan 1.024.632 KTP warga DKI. Bentuk politik praktis pun bisa diekspresikan dalam banyak jalur. Mereka menciptakan platform kolaborasi orang muda untuk mengubah inisiasi mereka menjadi aksi mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Salah satunya, lewat kompetisi online Ideas For Indonesia di ajang IdeaFest bagi para sociopreneur muda Indonesia. Mereka juga menginisiasi #AksiBaca, dengan mengadakan gerakan membaca sebagai jendela ilmu dan wawasan generasi muda Indonesia.

Generasi millennial membawa perubahan besar dalam lanskap sosial-politik Indonesia kontemporer. Generasi ini mempunyai mindset dan tingkah laku yang khas. Beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan suatu perubahan besar dalam perilaku berpolitik. Saat ini mayoritas pejabat dan tokoh publik mempunyai media sosial untuk menyampaikan ide, visi, program dan hasil dari pekerjaannya. Penyampaian ide sudah tidak lagi melulu konvensional dan monoton. Banyak elit politik saat ini ramai-ramai menggunakan website dan media sosial untuk menciptakan kampanye yang kreatif, menarik dan inklusif. Perubahan ini sebagian besar diakibatkan oleh perkembangan pesat dari teknologi digital. Namun, banyak orang seringkali melupakan bahwa kehadiran generasi millennial (generasi Y), yang menjadi salah satu mayoritas usia penduduk dominan Indonesia (16-34 tahun), mempunyai andil besar terhadap dorongan perubahan itu. Generasi Y adalah generasi yang terbiasa untuk membaca dan belajar, menyampaikan pendapat, beradu argumen, menulis petisi dan mendorong terciptanya transparansi lewat dunia maya. Perilaku dan tingkah laku mereka tersebut mau tidak mau mempengaruhi cara dan perilaku berpolitik tidak hanya para elit politik namun juga sebagian besar masyarakat Indonesia. Masing-masing generasi mempunyai kecenderungan karakter, kepercayaan, nilai dan tingkah laku yang berbeda, dibentuk dan dipengaruhi oleh periode sejarah tertentu dimana mereka tumbuh dan menjadi dewasa. Umumnya peristiwa besar serta tren sosial, kebudayaan mengubah secara fundamental. Strauss dan Howe menemukan sebuah pola berulang yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku generasi millennial. Pola itu berupa siklus empat tahap yang disebutnya sebagai turning (belokan). Berputar diantara episode high (puncak), awakening (kebangkitan), unravelling (terurai) dan crisis (krisis).


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Menurut Strauss dan Howe, Generasi Y, tumbuh dan menjadi dewasa di masa unravelling dimana situasi pada zaman ini dalam banyak hal adalah lawan dari masa high. Masa unravelling mempunyai ciri dimana institusi tidak kuat dan tidak dipercayai sementara individualisme menguat dan subur. Setidaknya ada dua tren kebudayaan besar yang mempengaruhi generasi Y: pertarungan budaya (culture wars) dan postmodernisme. Bila merujuk sejarah politik Indonesia, generasi millennial Indonesia dibesarkan di dalam masa transisi dari era Orde Baru ke era reformasi. Pada masa transisi ini institusi negara begitu lemah sebab terjadi “pertarungan politik� yang membuat situasi keamanan dan politik tidak stabil. Saat berjalannya reformasi, meskipun ada upaya penguatan dan reformasi kelembagaan namun kenyataannya institusi negara masih saja lemah karena integritas institusi negara digerogoti oleh perilaku koruptif dan tidak terpuji dari elit politik. Transisi rezim secara jelas menyiratkan terjadinya benturan budaya antara nilainilai tradisional dan konservatif melawan nilai-nilai liberal dan progresif. Benturan budaya tersebut mewarnai tumbuh kembang generasi Y. Selain itu, secara global pandangan postmodernisme yang mempromosikan gagasan pluralisme: tidak ada kebenaran tunggal, ada banyak cara untuk mengetahui dan menghargai perbedaan pandangan, berpengaruh besar membentuk pola pikir generasi Y. Hal yang paling mencolok yang membedakan antara generasi Y dan generasi sebelumnya adalah generasi Y tumbuh dalam lingkungan serba digital. Generasi Y adalah generasi yang terhubung hampir 24 jam sehari dengan teknologi digital dan sangat bergantung kepadanya. Mereka percaya bahwa teknologi digital mengubah hidup menjadi lebih praktis, efisien dan inovatif. Bila diakumulasikan, semua faktor tersebut membentuk generasi Y menjadi generasi digital, efisien, terbuka, optimis, inovatif, kritis, pragmatis dan egaliter. 1. Perubahan yang dibentuk Dengan pola pikir dan karakter generasi Y tersebut, pengaruh yang paling jelas dari generasi Y di dalam lanskap politik adalah berpindahnya medium berpolitik dari dunia nyata ke dunia maya. Namun, bila dianalisis secara lebih dalam perubahan yang terjadi ternyata tidak sesimpel itu. Pandangan dan karakteristik generasi Y yang kritis tapi pragmatis, optimis, inovatif dan terbuka mendorong secara perlahan terciptanya transformasi kultur politik yang transparan, dialogis, kreatif dan terbuka terhadap pendapat baru. Saat ini sudah tidak zaman lagi para elit melakukan manuver politik semaunya karena dengan penguasaan generasi Y terhadap internet mereka bisa mendorong aksi kolektif menciptakan perlawanan di media sosial. Sebagai langkah antisipatif untuk mengetahui dan memilih pemimpin, generasi Y


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bahkan secara kreatif menciptakan beragam website (jariungu.com, checkyourcandidates.org, votecerdas.org) yang berisi rekam jejak para calon wakil rakyat dalam pemilu 2014 lalu. Kecurangan terhadap pemilu agaknya semakin sulit terjadi sebab generasi Y mendorong terciptanya transparansi informasi publik melalui teknologi digital. Kemunculan situs kawal pemilu dan kawal pilkada adalah salah bukti kuat dari desakan generasi Y untuk menciptakan kultur politik yang bersih dan transparan. Generasi Y adalah generasi yang tidak percaya perubahan bisa diciptakan oleh partai politik. Kegagalan partai politik untuk mendorong situasi menjadi lebih baik ditambah kondisi partai yang hierarkis, oligarkis dan kurang visioner memaksa mereka untuk mencari cara berkontribusi dengan cara lain. Generasi Y lebih tertarik menciptakan perubahan dengan membangun perusahaan start up atau bekerja di lembaga non-profit. Keterbukaan pikiran generasi Y terhadap isu-isu politik yang sensitif, seperti pelanggaran HAM masa lalu, kesetaraan jender, pernikahan sesama jenis serta terpenuhinya hak kaum minoritas, menyiratkan adanya kemajuan berpikir dari generasi sebelumnya. Memang tidak seluruh generasi Y mempunyai pemahaman pengetahuan yang kuat terhadap isu-isu yang diabaikan tersebut. Meskipun demikian, pandangan progresif atau liberal dari generasi Y memang memaksa para elit politik hari ini mau tidak mau berbicara tentang isu-isu yang selama ini sebisa mungkin mereka hindari. Masih kita temukan saat ini perbedaan generasi antara para elit politik dan generasi muda memunculkan kesulitan dalam mendialogkan isu-isu tersebut dengan pikiran lebih terbuka. Kebebasan berpendapat dalam era media baru, pesatnya perkembangan media digital dan keterbukaan pikiran dari generasi Y akan mendorong banyaknya isu-isu sensitif dibicarakan dalam ranah publik. 2. Politik Generasi Millennial Seiring dengan semakin dekatnya pesta demokrasi lokal dan nasional, beberapa partai politik (parpol) melakukan konsolidasi untuk mencari figur yang akan dicalonkan menjadi pemimpin sebagai bentuk tanggung jawab sosial-politik dari parpol. Salah satu pertimbangan yang berlandaskan akal sehat demokrasi dalam menentukan pilihan adalah tingkat elektabilitas tokoh politik. Satu hal yang tidak diabaikan oleh parpol dan poltisi yaitu mendesain agar dapat mengakomodasi generasi millennial. Generasi millennial merupakan salah satu kekuatan sosial politik kekinian yang menjadi penentu keberlangsungan demokrasi di tanah air. Parpol dan para politisi harus memikirkan cara agar generasi millennial menjadi kekuatan dalam melakukan konsolidasi perpolitikan sekarang dan masa mendatang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Parpol mesti mendesain cara agar bisa memikat hati generasi millennial. Mereka memiliki pengaruh bagi pesta demokras di Indonesia. Generasi millennial memiliki gaya yang khas, Soliditas dan solidaritas sosial mereka lebih ekspansif. Parpol, para tokoh politik mengakomodasi kehadiran mereka dalam perhelatan politik. Menarik simpati generasi millennial. Menyiapkan figur yang yang dapat mempersatukan dan memantik energi politik yang ada pada generasi millennial. Kampanya-kampanye yang kreatif, progresif, dinamis dengan menggunakan media sosial ataupun dengan berbagai kreasi dan modifikasi memanfaatkan teknologi informasi. Generasi millennial memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi dalam ruang sosial. Tidak konvensional. Mereka mampu melakukan konsolidasi politik melalui media sosial cara kreatif, dinamis dan efektif dalam mengkampanyekan isu politik tertentu. Politikus muda Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany (Tsamara), adalah salah satu contoh “idola� generasi millennial. Tergolong pendatang baru dalam partai politik. Tsamara justru berhasil menjadi anti-thesis ditengah ketidakpercayaan publik terhadap parpol. Mampu memikat hati publik terutama generasi millennial. Hal ini dukung oleh keberanian sikap dan orientasi politiknya. Tegas dan selalu memihak pada kepentingan rakyat. Eksistensinya dalam perpolitikan nasional berhasil memberi efek publik, terutama bagi generasi millennial. Hal ini juga mendatangkan efek positif bagi partainya. 3. Dimensi Edukatif Parpol tidak hanya menjadikan generasi millennial sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan pragmatis. Menginstrumentalisasi generasi millennial untuk mendukung hasrat parsial tertentu, memenuhi kepentingan politik parpol. Mereduksi idealisme dan semangat generasi millennial kedalam kerangka dan paradigma politik jangka pendek. Mengakomodasi generasi millennial dalam setiap gerakan politik tidak sama dengan memposisikan mereka sebagai obyek politik yang bisa dipakai sesuai dengan agenda seting politik. Mengintegrasikan mereka kedalam gerakan politik harus dilandasi oleh kepedulian dan kesadaran bahwa mereka merupakan generasi masa depan bangsa. Agen-agen transformasi sosial. Generasi millennial bukanlah komoditas politik untuk memback-up hasrat parpol. Menarik simpati politik generasi millenial melalui edukasi politik merupakan tanggung jawab dan afirmasi dimensi sosial dari parpol. Menurut Hannah Arendt – (Hardiman, 2009), Generasi millennial perlu diikutsertakan dalam memikirkan problem sosial dan mencari solusinya. Generasi millennial bisa mencegah terjadinya distorsi sosial krisis ruang publik sekaligus mengatasi krisis itu dengan menjadikannya sebagai ruang


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

bermartabat, forum mendiskusikan persoalan-persoalan sosial secara kritis dan progresif. Parpol harus menyediakan ruang bagi generasi millennial untuk mengekspresikan potensi mereka. Dimotivasi untuk mengelaborasi problem sosial secara komprehensif lalu mencari solusinya dengan berbagai macam kajian dan perspektif. Generasi millennial harus di eduaksi, melibatkan dalam perpolitikan ataupun dalam konsolidasi ruang sosial-publik. Posisi mereka strategis dalam mencapai liberalisasi sosial. Generasi millennial bisa membantu parpol menyampaikan ide/gagasan kepada masyarakat (Arifin, 2011). Mengajak generasi millennial dalam diskursus sosial-politik, berpartisipasi dalam politik. Diberi porsi dan ruang afirmasi untuk mengekspresikan kepekaan politik dan sosial mereka. Keterlibatan dalam politik akan mendatangkan efek elektoral yang positif, atau juga bisa menjembatani jarak antara rakyat dan parpol, yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan rakyat. E. Berebut Pemilih Millennial Data estimasi Badan Pusat Statistik tahun 2020 penduduk Indonesia mencapai 268 juta dan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035, persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa menurun dari 57,4% pada tahun 2010 menjadi 54,7% pada tahun 2035. Sebaliknya Persentase penduduk yang tinggal di pulau-pulau lain meningkat, seperti, Pulau Sumatera naik dari 21,3 % menjadi 22,4 %, Kalimantan naik dari 5,8 % menjadi 6,6 % pada periode yang sama. Berdasarkan proyeksi piramida penduduk Indonesia yang dilakukan BPS tersebut juga menunjukan di tahun 2020 penduduk Indonesia paling banyak akan berada di rentang usia 15 – 39 tahun. Tahun 2020 Penduduk Indonesia yang berusia 15 – 39 tahun sebesar 39.64%. Dalam konteks politik, prediksi yang dilakukan oleh BPS ini menguatkan hipotesa bahwa jumlah pemilih dalam pemilu 2019 akan didominasi oleh generasi millennial. Millennial yang lahir dalam rentang 1981 – 1999 ini akan berusia 20 – 38 tahun dan jumlahnya mencapai sekitar 86 juta jiwa atau dengan kata lain 48% pemilih pada pemilu 2019 adalah generasi millennial, sebuah jumlah pemilih yang sangat menggiurkan. Secara lebih mikro, generasi millennial dibagi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Generasi Millennial Tua (GMT), mereka yang lahir 1981 – 1990 yang berusia 29 – 38 tahun pada tahun 2019. Kedua, Generasi Millennial Muda (GMM), mereka yang lahir 1991 – 1999 yang berusia 20 – 28 tahun padan tahun 2019. Secara jumlah, GMM sedikit lebih besar dari dari GMT.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Meski sama-sama millennial, GMT dan GMM memiliki perbedaan perilaku dan karakteristik. Karakter dan perilaku GMT masih terpengaruh oleh Gen X, “saudara� tua generasi millennial, sementara GMM sudah terbebas sama sekali dari pengaruh generasi-generasi sebelumnya, GMM inilah millennial sesungguhnya. perbedaan mencolok bisa kita lihat dari perilaku menggunakan internet, konsumsi internet GMM sangat tinggi dibanding dengan GMT. Karena melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius melirik generasi millennial, dari yang masih malu-malu hingga ada yang sudah terang benderang menyatakan diri sebagai partai millennial. Salah satu karakter yang menonjol dari generasi millennial adalah mereka tidak memiliki loyalitas yang tinggi terhadap institusi termasuk partai dan mereka tidak mudah tunduk dan patuh terhadap garis instruksi. Karakternya yang susah ditebak dan cenderung apolitis sehingga membuat mereka susah didekati oleh partai politik/kandidat. Pemetaan elektabilitas partai berdasarkan usia yang dilakukan oleh Alvara Research Center akhir tahun 2016 menunjukkan pemilih millennial yang berusia 17 – 25 tahun belum terikat dengan satu partai manapun, mereka ketika ditanya memilih partai apa? Masih banyak yang belum memutuskan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2014 tentang generasi millennial di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang mencengangkan. Pandangan politik generasi millennial berbeda secara signifikan secara ras dan etnis. Sekitar setengah dari milenium kulit putih (51%) mengatakan mereka independen secara politik, sisanya terafilisasi Partai Republik (24%) dan Partai Demokrat (19%). Di lain pihak, Generasi Millennial non-kulit putih, sekitar 47% mengatakan mereka independen secara politik, tapi hampir dua kali lipat (37%) mengidentifikasi sebagai terafiliasi dengan Partai Demokrat dan hanya 9% mengidentifikasi terafiliasi dengan Partai Republik. Mendekati pemilih millennial, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan. 1) Pertama, pahami karakter dan perilakunya. Dalam buku Millennial Nusantara ada tiga karakter yang sangat menonjol dari generasi millennial yaitu creative (kreatif), confidence (percaya diri), dan connected (terhubung satu sama lain). 2) Kedua, Bicara dengan bahasa mereka. Generasi Millennial terutama GMM, agak alergi dengan bahasa dan jargon-jargon politik, partai politik atau politisi. Dari Kajian Alvara Research Center ada tiga topik yang sangat menarik dan sering diperbincangkan oleh generasi millennial, yaitu olahraga, music/film, dan teknologi informasi.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

3) Ketiga, Ciptakan hubungan yang “intim�. Harus diakui salah satu ciri partai adalah sering kali hanya ramai ketika menjelang pemilu, atau banyak orang sering menyebut partai “pasar malam�. Mendekati millennial tidak bisa dengan cara lama seperti itu, partai atau kandidat harus hadir dan berusaha terus menerus menjadi salah satu faktor dalam kehidupan sehari-hari mereka. Partai politik, para politisi tidak bisa hanya sekedar on-off, millennial perlu disapa dan diajak bicara, mereka juga tidak suka komunikasi searah, mereka lebih suka komunikasi dua arah, karena itu sosial media bisa digunakan sebagai platform komunikasi dua arah antara partai/kandidat dengan generasi millennial. Menyambut pilkada, pilcaleg, dan pilpres mendatang, para politisi harus menyiapkan jurus khusus meraih suara pemilih pemula. Perlu menyiapkan strategi model kampanye kreatif dan inspiratif untuk meraih suara generasi millennial. Generasi millennial diklasifikan sebagai kelompok yang Jumlahnya cukup besar. Perilaku politiknya sangat cair, pendekatan yang agak khusus, baik dari sisi konten, ekspresi, dan saluran distribusi kontennya. Suara pemilih muda dan pemula mempunyai karakter tersendiri dan mempunyai perilaku khas. Selalu terkoneksi, penuh kreativitas, independen, dan punya rasa percaya diri yang kuat sehingga kampanye kreatif dan inspiratif diyakini bisa menggaet segmen tersebut.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

DAFTAR PUTAKA

Adman Nursal , 2004. Political Marketing :Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Agus Sudibyo. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LkiS Almond, Gabriel A, and G Bingham Powell,jr. 1978. Comparative Politics system, process and policy. Boston : Little Brown and Company. _____. 1980. Comparative Politics to a Day World View. Boston : Little Brown and Company. Alo Liliweri, 1991, Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Antar Venus. 2007. Manajemen Kampanye : Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Alvara Research Center.(2015). “The Potraits of Urban Moslem: Gairah Religiusitas Masyarakat Kota”. Allyn and Bacon. Beebe, Steven A., Susan J. Beebe, and Mark V. Redmond, 1996, Interpersonal Communication. Boston: Allyn and Bacon. Badan Pusat Statistik.(2013).“Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035”. Jakarta. Barker, Larry L. and Deborah A. Gaut, 1996, Communication, Seventh Edition. Massachusetts: Barber, Benjamin. (1990). Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. Burger, Charles & Steven Chaffe, 1987, Handbook of Communication Science, USA: SAGE Publication. _____, 2008. Sosiologi Komunikasi “Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.hlm.34 Miriam Budiardjo (2010). Dasar-dasar ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm.152. Carroll K.William, 2004 Democratic Media Activism through the Lens of Social Movement Theory, Presentation for the Political Economy section of the International Association for Media and Communication Research, Porto Alegre. Campbell, Scott; dan Susan Fainstein (eds.). 1996. Readings in Planning Theory. Cambridge, MA.: Blackwell Publishers.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Corey, Gerald, 2003, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Dan Nimmo. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media.(Edisi terjemahan oleh Tjun Surjaman). Bandung: Remaja Rosdakarya. Deddy Mulyana. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. DeVito, Joseph A., 1986, The Interpersonal Communication Book, Fourth Edition New York: Harper and Row Publisher. Dwi Tiyanto, Pawito, Pam Nilan, dan Sri Hastjarjo. 2009. Persepsi mengenai Politik Indonesia Menuju Pemilihan Umum 2009. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Dudi Rustandi (2013) Pencitraan Politik Daring, Strategi Memenangkan Massa Digital Menjelang Pemilu 2014. Bandung: Jurnal Observasi Volumer 11 Nomor 2. __________, (2014) Buzz Cyber Public Relations, Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 7 No 1 tahun 2014, Politeknik LP3I Bandung. Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengentar Edisi Kedua. Terjemahan Agus Dharma,dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1987 Elvinaro Ardianto, dkk. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2007 Fainstein, Susan S.; dan Norman Fainstein. 1996. “City Planning and Political Values: An Updated View”. Dalam Scott Campbell dan Susan Fainstein (eds.), Readings in Planning Theory. Cambridge, MA.: Blackwell Publishers. Fiske, John. 2010, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (Edisi terjemahan oleh Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim). Yogyakarta: Jalasutra. Firmanzah. 2008. Marketing Politik – Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Four Theories of the Press. Urbana and Chicago: University of Illinois Press. Sparks, Colin. (2001). “The Internet and the Global Public Sphere.” Dalam Bennett, W. Lance & Entman, Robert M. (eds). Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press Hachten, William A. (1981). The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies, 2nd edition. United State of America: Iowa State University Press. Held, David. (1995). Democracy and the Global Order. California: Standford University Press. McNair, Brian. (2003). An Introduction to Political Communication, Third edition. London & New York: Routledge.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Graber, Doris A. 1984. Mass Media and American Politics. Washington DC: CQ Press Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy (2012) Public Relation Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia Gudykunst, William B., Stella T. Toomey, and Elizabeth Chua, 1988, Culture And Interpersonal Communication. London: SAGE Publications. Howe, N. & Strauss, W. (1991). Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069. William Morrow Paperbacks: New York City _____________. (1997). The Fourth Turning: An American Prophecy — What the Cycles of History Tell Us About America’s Next Rendezvous with Destiny. Broadway Books: New York City. LifeCourse. Generations in History. Diperoleh 28 Januari 2017, dari https://www.lifecourse.com/assets/files/gens_in_history(1).pdf Juditha, Christiany, Hubungan Penggunaan Situs Jejaring Sosial Facebook Terhadap Perilaku Remaja di Kota Makasar, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Informatika IPTEK-KOM, ISSN 1410-3346, Volume 13, No. 1, Juni 2015. Hal 122. Jalaludin Rakhmad. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Kraus, Sidney and Davis, Dennie. 1976. The Effects of Mass Communication on Political Behavior. Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media: Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 4: "Persperktif on Internet Use: Access, Involvement and Interaction" Littlejohn, Stephen W and Karen A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth, Thomson Learning. _____. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication. (Edisi terjemahan oleh Muhammad Yusuf Hamdan). Jakarta: Salemba Humanika. _____. 2002.McQuail’s Mass Communication Theory, 4th Edition, London, Sage Publications. Miller, Gerald M and Mark Steinberg, 1975, Between People, A New Analysis of Interpersonal Communication. Michigan: SRA Inc. _____. (1993). Communication Models, second edition. London & New York: Longman. Mediated Politics: Communication in the Future of Democracy. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 75- 95. McLuhan, M., 2001. The Medium is the Massage. Great Britain: Allen Lane The Penguin Press.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Mc Nair, Brian. An Introduction Edition). London : Routledge. 1999

to

Political

Communication

(2nd

Mughan, Anthony & Gunther, Richard. (2000). “The Media in Democratic and Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective.” Dalam Gunther, Richard & Mughan, Anthony (eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27. Miriam Budiarjo. 1988 Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta : Yayasan Obor lndonesia. Rakhmat, J. (1993). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, Media. Bandung: Remaja Rosdakarya Offest.Hlm.8. Tapscott, Don. 2008. Grown up Digital: How the Net Generation is Changing Your World. USA: McGraw Hill. Pan, Zhondang and Gerald M. Kosicky. Framing as a startegic Action in Public Deliberation. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2001 Pavlik, John V. (1996). New Media Technology, Cultural and Commercial Perspectives. USA: Allyn and Bacon. Siebert, Peterson, & Schramm. (1963). Phillips, David dan Young, Phillip (2009) Online Public Relations. London: Koganpage. Pew Reseach Center.(2010). “Millennials a Potrait of the Generation Next”. Roskin, M. (1977). Political Science An Introduction, Sixt Edition. New Jersey: Pool, Ithiel de Sola, et.al., 1973, Handbook of Communication. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. Rice, E. Ronald, William J.Paisley (ed). 1982. Public Communication Campaigns. London: Sage Publications. Sen, Krishna and Hill, David. (2007). The Internet in Indonesia’s New Democracy. USA and Canada: Routledge. Severin, Werner J. dan James W. Tankard. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Merode, dan Terapan di Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005. Silih Agung Wasesa dan Macnamara, Jim. (2010) Strategi Public Relations. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Silih Agung Wasesa (2011) Political Branding & Public Relations. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama. Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung:PT Remaja Yosdakarya Taprial, Varinder dan Kanwar, Priya (2012) Understanding Social Media. Ventus Publishing Aps.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

Van Dijk, Jan A.G.M. (1999). The Network Society, Social Aspects of New Media. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage. Van Dijk, Jan. (2000). “Models of Democracy and Concepts of Communication.� Dalam Van Dijk, Jan & Hacker, Kenneth L. (eds). Digital Democracy: Issues of Theory and Practice. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication, hal. 30-53. Van Dijk, Jan & Hacker, Kenneth L. (eds). (2000). Digital Democracy: Issues of Theory and Practice. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publication Wilhelm, Anthony G. 2003. Demokrasi di Era Digital, Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. SUMBER INTERNET Absher, Katherine and Amidjaya, Mary Rose. 2008. Teaching Library Instruction to The Millennial Generation. From Marymount University, Arlington, VA. Diakses dalam http://www.vla.org/Presentations/VLA_presentation_draft072208.ppt tanggal 23 Oktober 2017. Do Media. 2009. Efektifitas iklan partai dalam pemilu 2009 pada media massa. Diambil pada 25 Maret 2010. dari http://dumadimengguggat.blogspot.com. Fakhrurrozi Amir. 2008. Pilkada dan Pentingnya Political Marketing. Diambil 23 Oktober 2017 dari http://www.siwah.com. J_Putra, 2012. Definisi atau pengertian istilah Social Media apa yang dimaksud dengan Social Media, http://jayaputrasbloq.blogspot .co.id/2011/02/definisi-ataupengertian-istilah-social.html Kacung Marijan. 2007. Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal. Diambil 24 Oktober 2017 dari http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/piljkt.pdf. Kamaruddin Hasan. 2010. Komunikasi Politik dan Pencitraan (Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia). Diambil 23 Oktober 2017 dari http://kamaruddin-blog.blogspot.com. Hasil Survey JakPat App. Preferensi Politik Generasi Millennial. Dipublikasikan pada 30 September 2017 Hasil Survey Alvara Research Center. The Urban Middle-Class Millenials Indonesia. Financial and Online Behavior. Februari 2017 Howe, N. & Nadler, R. (2012). WHY GENERATIONS MATTER: Ten Findings from LifeCourse Research on the Workforce. Diperoleh 28 Oktober 2017, dari https://www.lifecourse.com/assets/files/Why%20Generations%20Matter%2 0LifeCourse%20Associates%20Feb%202012.pdf http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id= 78761 &Itemid=82 (diakses, 18 Agustus 2017)


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

http://asrudiancenter.wordpress.com http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial http://indeks.kompas.com/tag/media-sosial http://kaltim.tribunnews.com/tag/millennials https://merdeka.com/ https://plus.google.com/110104319132030403095 https://tirto.id/ https://www.jawapos.com/tag/124861/komunikasi-politik-media-sosial http://www.jurnas.com/halaman/6/2013-04-18/241953 https://www.koran-sindo.com/node/319505 http://www.statista.com/topics/2431/internet-usage-in-indonesia. http://www.timesindonesia.co.id/millennials https://seratalphacasa.wordpress.com/author/abdurrahmanhaqiqi/ Safranek, Rita, The emerging of Social Media in Political and Regime Change, dalam http://www.csa.com/discoveryguides/discoevryguides-main.php released March 2012 diakses tanggal 13 September 2017 http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/media.sosial.d alam.kampanye.politik https://www.facebook.com/media/set/?set=a.472017769524730.110363.47 2005732859267&type=1 http://www.tempokini.com/2014/06/peran-sosial-media-sebagai-mediakampanye-politik/ http://www.robymuhamad.com/2012/09/13/riset-facebook-buktikankeampuhan-kampanye-media-sosial/ http://www.pks-petir.org/2013/01/5-alasan-menggunakan-social-mediadalam-kampanye-politik.html Marichal, J., 2012. Facebook Democracy. Farnham dan Burlington: Ashgate. Gladwell, M., 2010. “Small Change: Why the revolution will not be tweeted.” The New Yorker [online] 4 Oktober. Diakses dari: http://www.newyorker.com/magazine/2010/10/04/small-change-malcolmgladwell[Diakses 5 Oktober 2017]. Noviandari, L., 2014. “Facebook temukan 200 juta perbincangan seputar pemilu presiden 2014 di Indonesia.” TechinAsia *online+ 11 Juli. Diakses dari:


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

https://id.techinasia.com/facebook-temukan-200-juta-perbincanganseputarpemilu-2014-indonesia/ [Diakses 21 Oktober 2017]. Nielsen, 2014. “The Asian Mobile Consumer Decoded.” Nielsen *online+ 14 Januari. Diakses dari: http://www.nielsen.com/ph/en/insights/news/2014/asian-mobileconsumers.html [Diakses 2 Oktober 2017]. Purnell, N., 2014. “Facebook Users in Indonesia Rise to 69 Million.” WallStreetJournal [online] 27 Juni. Diakses dari: http://blogs.wsj.com/digits/2014/06/27/facebook-users-in-indonesia-rise-to69-million/ [Diakses 5 Oktober 2017]. Uwes Fatoni. 2006. Komunikator Politik. Diambil 25 Oktober 2017 dari http://komunikasipolitik.blogspot.com. Ya'cob Billiocta, 2014. “Ini beda kampanye relawan Prabowo dan Jokowi di media sosial,” https://www.merdeka.com/pe ristiwa/ini-bedakampanyerelawan-prabowo-dan-jokowidi-media-sosial.html _______, Pengertian Media Sosial, Peran serta Fungsinya, https://ptkomunikasi.wordpre ss.com/2012/ 06/11/ pengertian-mediasosialperan-serta-fungsinya/ Urgensi Social Media Dalam Pemenangan Pemilu ... - Yimg xa.yimg.com/.../Urgensi+Social+Media+Dalam+Pemenangan+Pemilu+20... http://budisansblog.blogspot.com/2014/03/media-sosial-dalam-kampanyepolitik.html Visa.(2012). “Connecting with the Millennials-A Visa Study”. Singapore. https://www.bcgperspectives.com/content/articles/center_consumer_custo mer_insight_consumer_products_indonesias_rising_middle_class_aduent_co nsumers/?chapter=3.


Komunikasi Politik di Dunia Virtual

BIODATA PENULIS Yusrin Ahmad Tosepu, Lahir di Kendari Tanggal 13 Januari 1976. Menempuh Pendidikan Sarjana Jurusan Manajemen Informatika di STMIK Dipanegara Makassar, 2001. Menempuh Pendidikan Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin Makassar, 2010. Dosen Tetap Pada Program Studi Informatika STMIK Handayani Makassar.

Manajemen

Dosen Pengajar prodi Teknologi Informasi dan Ilmu Komunikasi di beberapa Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi Periset Pada Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Indonesia (LSP3I) Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information Communication and Technology)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.