Mentransformasi Perguruan Tinggi Menjadi Pusat Keterampilan, Inovasi Dan Kewirausahaan
(Kajian: The Future of Global Higher Education)
-Yusrin Ahmad Tosepu
Pendahuluan 1. Pendidikan adalah Fokus Utama Pembangunan Indonesia sedang membuat kemajuan dalam upayanya untuk membangun infrastruktur dan memperbaiki industri manufaktur, ungkap sebuah laporan baru dari Bank Dunia. Dilain sisi, bidang pendidikan membutuhkan perhatian yang lebih, karena bagian dari investasi pembangunan yaitu investasi di bidang sumber daya manusia (SDM). Karena itu, pembangunan SDM tak kalah pentingnya dari pembangunan infrastruktur. Karena peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat menentukan kemajuan negeri ini dalam berkompetisi, bersaing dengan negara-negara lain. Salah satu fokus pembangunan sumber daya manusia adalah adalah peningkatan akses dan kualitas pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Berdasarkan data dari Buku Statistik Pendidikan Tinggi 2017, Indonesia memiliki 3.276 lembaga perguruan tinggi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia per tahun ajaran 2016/2017. Jumlah tersebut sudah mencakup universitas, institut, akademi, sekolah tinggi, hingga politeknik. Dari jumlah itu, total program studi (prodi) yang dimiliki sebanyak 20.516 prodi yang dikategorikan ke dalam beberapa bidang ilmu, yaitu teknik, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, pertanian, MIPA, humaniora, agama, dan seni. Ilmu teknik menjadi bidang ilmu dengan prodi terbanyak di Indonesia, yaitu 4.634 prodi. Sedangkan, ditempat terakhir ada bidang ilmu seni yang hanya memiliki 359 prodi.
Sementara, jumlah mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa aktif sebanyak 6.924.511 orang. Walaupun telah memiliki jumlah mahasiswa dan lembaga perguruan tinggi yang cukup banyak, angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia masih rendah. Angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia pada 2018 baru mencapai 32,5 persen. Angka itu masih di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia (38 persen) dan Korea Selatan (92 persen). Indonesia menempati peringkat ke-36 dari 170 negara. Sebab, Indonesia masih tertinggal dalam hal pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan kerja. Tidak hanya angka partisipasi rendah, jumlah mahasiswa putus sekolah atau drop out dari perguruan tinggi di Indonesia juga cukup banyak. Berdasarkan data Buku Statistik Pendidikan Tinggi 2017, dari total 6.924.511 mahasiswa terdaftar, sebanyak 195.176 mahasiswa drop out dari kampusnya. Angka drop out tertinggi terjadi di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan persentase sebesar 96 persen. Sedangkan, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki angka drop out sebesar 4 persen. Laporan Putting Higher Education to Work: Skills and Research for Growth in East Asia (Penerapan Hasil Pendidikan Tinggi dalam Dunia Kerja: Keterampilan dan Penelitian untuk Pertumbuhan di Asia Timur) menyoroti peranan penting perguruan tinggi di Indonesia dan di seluruh kawasan regional. Menurut laporan tersebut, perguruan-perguruan tinggi di negara-negara berkembang di Asia Timur masih kurang membekali para lulusan mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan. “Perusahaan manufaktur maupun jasa mencari pekerja yang memiliki keterampilan untuk menyelesaikan masalah, keterampilan berkomunikasi, keterampilan manajemen dan keterampilan lain yang akan mendukung peningkatan produktivitas. Namun, persepsi perusahaan dan premi upah keterampilan (wage skill premiums) menunjuk kepada kesenjangan dalam bidang-bidang keterampilan tersebut dari tenaga profesional yang baru dipekerjakan” kata Ekonom Utama Bank Dunia Emanuela di Gropello, penulis utama laporan ini. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan mengakui bahwa lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan teknis dan kejuruan masih dapat melakukan lebih banyak hal untuk membekali pekerja dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Universitas dan lembaga-lembaga penelitian juga mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kerjasama di bidang penelitian yang akan membantu mengembangkan dan menerapkan teknologi-teknologi baru guna mendorong pertumbuhan. “Perguruan tinggi yang menyelenggarakan keterampilan dan penelitian yang tepat dapat membantu negara-negara seperti Indonesia untuk menjadi lebih produktif, lebih inovatif dan lebih mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan di suatu lingkungan global yang kompetitif,” kata Direktur Tingkat Negara Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle. “Dengan bertambahnya penduduk yang berusia lanjut, negara-negara berkembang di kawasan ini menghadapi tantangan untuk mencapai pertumbuhan yang dihasilkan oleh peningkatan produktivitas. Pendidikan tinggi akan menjadi semakin bermakna ketika negara-negara berhasil lepas dari perangkap penghasilan menengah” kata James W. Adams, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Sebagai bagian dari kelompok negara berpenghasilan menengah dan berteknologi menengah ke bawah, Indonesia sudah mulai mencapai jenjang teknologi yang lebih tinggi dan memfasiltasi asimilasi teknologi dengan menjadi lebih terbuka, mempromosikan industrialisasi, membangun infrastruktur dan meningkatkan industri manufaktur. Namun, kapasitas untuk melakukan inovasi masih sangat lemah. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi dapat memainkan peranan penting dalam mendukung peningkatan daya saing dan pertumbuhan karena pendidikan tinggi menyediakan keterampilan dan penelitian tingkat tinggi untuk menerapkan teknologi saat ini maupun mengasimilasi, menyesuaikan dan mengembangkan teknologiteknologi baru. Keterampilan dan penelitian merupakan dua faktor pendorong produktivitas.
Meskipun selama ini telah ditandaskan pentingnya akses ke pendidikan tinggi, para lulusan pendidikan tinggi masih belum memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh sebagian besar perusahaan. Permintaan untuk lulusan pendidikan tinggi akan tetap ada. Namun, selain berfokus pada akses, untuk mencapai status teknologi dan produktivitas yang lebih tinggi, Indonesia perlu berfokus pada penanganan beberapa kesenjangan keterampilan yang diperlihatkan oleh para lulusan pendidikan tinggi di Indonesia (tantangan kualitas). Perusahaan mengharapkan para pekerja – terutama yang berpendidikan tinggi – untuk memiliki keterampilan teknis, perilaku dan berpikir dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan membutuhkan pekerja yang memiliki keterampilan di bidang sains, teknologi, rekayasa dan matematika (STEM). Mereka juga membutuhkan pekerja yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan keterampilan kreatif guna mendukung sektor manufaktur yang bernilai tambah lebih tinggi, serta keterampilan bisnis, berpikir dan berperilaku untuk sektor jasa yang lebih produktif. Banyak perusahaan menghadapi tantangan dalam mempekerjakan lulusan pendidikan tinggi yang tidak mempunyai keterampilan yang tepat. Kesenjangan keterampilan yang cukup besar terdapat di industri jasa, sektor ekspor dan sektor padat teknologi yang menggambarkan hambatan yang sangat serius untuk inovasi dan produktivitas di Indonesia. Perusahaan dan karyawan mendapati bahwa kesenjangan yang cukup besar terjadi pada keterampilan kreatif, kepemimpinan dan penyelesaian masalah. Namun, keterampilan bahasa Inggris dan teknis (khususnya pengetahuan praktis tentang pekerjaan) secara umum disebutkan sebagai kelemahan penting. Dan, karena hanya memiliki kurang dari 30 persen lulusan di bidang sains dan rekayasa, Indonesia berada di bawah rata-rata regional. Yang cukup penting, akses masih belum merata di seluruh kelompok penduduk di mana penduduk pendesaan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyelesaikan pendidikan tinggi daripada penduduk perkotaan, sehingga membatasi „talent poolâ€&#x; untuk pendidikan tinggi. Dan jauh lebih banyak yang masih harus dilakukan dunia pendidikan tinggi kita. Khususnya dalam penelitian. Pendidikan tinggi Indonesia perlu mengalihkan investasi ke peningkatan kapasitas penelitian. Penelitian yang berkualitas memungkinkan perguruan tinggi mencetuskan ide-ide bagi dunia usaha dan menyumbang kepada pengembangan teknologi di perusahaanperusahaan dengan menghasilkan pengetahuan dan inovasi teknologi. Pengeluaran yang rendah di bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) serta jumlah perizinan dan paten yang sedikit menunjukkan rendahnya kapasitas penelitian dan inovasi. Hal ini juga diperlihatkan oleh rendahnya persentase pengajar yang memiliki gelar PhD (kurang dari 20 persen). Selain itu, sangat sedikit hasil penelitian perguruan tinggi yang dimanfaatkan perusahaan-perusahaan untuk mendukung peningkatan teknologi mereka. 2. Diskoneksi pendidikan tinggi Di kawasan regional, pendidikan tinggi kita tidak memberikan hasil yang diharapkan karena perguruan-perguruan tinggi “terdiskoneksiâ€? dengan pelaku lain di inti sistem pendidikan tinggi. Di Indonesia, diskoneksi ini terjadi antara perguruan tinggi dan perusahaan-perusahaan dalam penyediaan keterampilan dan penelitian; antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian; antar perguruan tinggi itu sendiri; dan antara perguruan tinggi dan lembaga pendidikan sebelumnya. Pengajaran dan penelitian juga seringkali dipisahkan: universitas dan sekolah tinggi secara turun-menurun telah berfokus pada pengajaran sedangkan lembaga-lembaga lain (lembaga penelitian secara tersendiri) mengupayakan penelitian. Kerja sama antara perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian juga masih terbatas. Prestasi yang masih lemah di bidang studi matematika dan sains pada pendidikan sebelumnya, sebagaimana yang diukur dari hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) membatasi kemampuan Indonesia untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik di bidang sains, teknologi, rekayasa, matematika (STEM) dan inovasi pada pendidikan tinggi. Untuk meningkatkan sistem
pendidikan tinggi dan menanggulangi diskoneksi tersebut maka Indonesia perlu memperbaiki pembiayaan, pengelolaan dan kepengurusan pendidikan tinggi. Agar pembangunan dapat bertumbuh lebih cepat dan mencapai pendalaman teknologi yang berkelanjutan, ada dua prioritas utama yang nyata untuk pendidikan tinggi; Pertama: Mengatasi kesenjangan keterampilan dengan menjaga cakupan, meningkatkan kualitas lulusan pendidikan tinggi dan meningkatkan inklusivitas; Kedua: Meningkatkan penelitian yang relevan dengan kebutuhan ekonomi di beberapa universitas atau jurusan.Untuk menghadapi tantangan dan keterbatasannya, langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh Pemerintah untuk melaksanakan prioritas-prioritas tersebut antara lain adalah: 1. Meningkatkan penggunaan dan alokasi sumber daya publik (lebih berfokus pada bidang STEM dan pemerataan perlu memperluas beasiswa berdasarkan kebutuhan; meningkatkan alokasi berdasarkan kinerja) 2. Menyelesaikan proses pemberian otonomi kepada universitas (terutama dengan fokus pada penyediaan sarana, failitas, staf dan keuangan) dan memperkuat peranan dan fungsi di perguruan tinggi. 3. Meningkatkan kualitas sektor pendidikan tinggi swasta yang besar melalui regulasi dan informasi yang lebih baik 4. Mendorong hubungan universitas-industri tertentu untuk meningkatkan relevansi kurikulum, mendukung kewirausahaan dan membantu pengembangan teknologi 3. Menjawab Tantangan Indonesia memiliki peluang untuk menjadi yang terdepan di masa mendatang. Kebangkitan Asia bisa menjadi peluang kebangkitan Indonesia. Untuk itu, produk SDM yang andal di perguruan tinggi harus benar-benar tercapai. Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Sistem Nasional Penelitian, Penerapan dan Pengembangan IPTEK, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta mempertimbangkan kondisi global dan nasional, telah dirumuskan visi pendidikan tinggi, yaitu: terwujudnya pendidikan tinggi yang bermutu serta kemampuan iptek dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa. Visi ini harus dijawab dengan strategi kuat perguruan tinggi di Indonesia untuk mencapai visi tersebut. Fakta mengatakan bahwa kehadiran Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan kehadiran teknologi komputer super serta intelegensi artifisial atau kecerdasan buatan. Pada era ini tentu akan banyak pekerjaan hilang dan digantikan dengan robot atau kecerdasan buatan. Di samping itu, akan muncul peluang pekerjaan baru dengan pola baru serta cara baru dalam menyelesaikannya. Tentu yang menjadi tantangan ke depan adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang andal dan kompeten agar mampu menjawab kebutuhan serta terus produktif dalam berkarya. Perlu diketahui bahwa Revolusi Industri 4.0 menuntut perubahan dan penguatan kompetensi. Pada konteks ini, beberapa kompetensi yang dibutuhkan meliputi kemampuan memecahkan masalah (problem solving), kemampuan beradaptasi (adaptability), kolaborasi (collaboration), kepemim pinan (leadership), kreativitas (creativity), dan inovasi (innovation). Dengan demikian, perguruan tinggi perlu menyusun pola untuk menjawab kebutuhan tersebut agar daya saing makin kuat dan perguruan tinggi makin kuat posisinya sebagai partner industri dan tempat mengelola SDM yang andal. Untuk menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan standar kompetensi yang di butuhkan, perguruan tinggi harus melakukan langkah-lang kah sebagai berikut; Pertama, pacu kerja 4.0. Cara kerja 4.0 ini pada dasarnya adalah bagaimana kerja elemen perguruan tinggi dengan pola yang sesuai dengan era industri 4.0. Pada cara kerja 4.0 ini dibutuhkan kekuatan sinergi, kekuatan jejaring, kekuatan digitalisasi. Outputnya adalah kualitas. Cara kerja 4.0 ini benar-benar ber orientasi pada hasil yang berkualitas. Kekuatan
sinergi seluruh elemen perguruan tinggi dibutuhkan. Tidak lagi merasa kuat sendiri dan lemah dalam kerja tim. Kekuatan cara kerja ini ditunjukkan dengan kekuatan bersinergi. Kedua, memacu terwujudnya World Class University (WCU). Pada konteks ini, keunggulan perguruan tinggi harus diraih dengan cara berperan secara internasional. Era global sudah tidak bisa dibendung. Maka itu, kompetensi internasional harus ada. Kolaborasi inter nasional harus diperkuat. Di sini akan terbentuk kekuatan karakter, kedisiplinan, bermental maju, terbukanya network inter nasional, serta peluang penemuan kreativitas baru. Kemajuan iptek yang menjadi kunci kemajuan SDM mudah akan terbuka dan diraih. Ketiga, memacu kontribusi nasional. Pada tahap ini, kesadaran bahwa perguruan tinggi adalah milik bangsa akan semakin menguat. Usaha bahwa anak bangsa harus diproses maksimal di perguruan tinggi juga akan terwujud. Perguruan tinggi harus mampu membaca, melihat permasalahan bangsa yang ada, serta mampu memberikan solusi dan kontribusi dalam mengatasinya. Peran perguruan tinggi bukan hanya menghasilkan SDM, namun sebagai lembaga yang ikut serta terhadap kemajuan bangsa. Keempat, memperkuat jejaring. Revolusi Industri 4.0 sangat membutuhkan perubahan dalam mengelola perguruan tinggi. Tentunya sangat memerlukan jejaring untuk bisa melakukan kolaborasi nasional dan internasional. Penguatan jejaring juga akan membantu dalam mewujudkan cita-cita menata perguruan tinggi dari sisi SDM. Kelembagaan, infra - struktur, link and match dengan industri, dan sebagainya. Kelima, modern dan cepat. Pada konteks ini, perlu disadari bahwa perguruan tinggi melakukan proses dan menghadapi generasi digital era 4.0. Maka itu, kinerja secara modern dan kecepatan pengambilan keputusan harus dilakukan. Proses modern, cepat, dan tepat sangat dibutuhkan. Jika tidak, akan mengalami ketinggalan, bahkan dibilang kedaluwarsa. Ini merupakan fakta yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus melakukan terobosan, cepat mengambil keputusan, dan solutif sangat dibutuhkan. Strategi tersebut sangat cocok diimplementasikan oleh perguruan tinggi untuk menjawab tantangan yang ada. Generasi digital era 4.0 akan mampu mengubah budaya dan pola kerja secara dramatis. Jika langkah-langkah strategis di terpakan dengan baik, perguruan tinggi akan mudah mencapai cita-cita yang diharapkan. Pembahasan 1. Memperkuat Peran Perguruan Tinggi di era Revolusi Industri 4.0 Perubahan dunia kini memasuki era revolusi industri 4.0 dimana teknologi informasi telah menjadi basis dalam kehidupan manusia. Segala hal menjadi tanpa batas (borderless) dengan penggunaan daya komputasi dan data yang tidak terbatas (unlimited), karena dipengaruhi oleh perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta pendidikan tinggi. Tantangan revolusi industri 4.0 harus direspon secara cepat dan tepat oleh perguruan tinggi agar mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing di tengah persaingan global. Di Era Revolusi Industri 4.0�, perguruan tinggi kita perlu mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam mengantisipasi perubahan dunia yang kini telah dikuasai perangkat digital. Langkah strategis perlu dirumuskan dalam berbagai aspek mulai dari kelembagaan, bidang studi, kurikulum, sumber daya, serta pengembangan cyber university, risbang hingga inovasi.
Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Kesuksesan sebuah negara dalam menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh sumber daya yang berkualitas, sehingga Perguruan Tinggi wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia kerja di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi, diperlukan penyesuaian kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan dan pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi. Perguruan tinggi yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis teknologi, seperti yang banyak bermunculan di Indonesia saat ini. Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, “Sistem perkuliahan berbasis teknologi informasi nantinya diharapkan menjadi solusi bagi anak bangsa di pelosok daerah untuk menjangkau pendidikan tinggi yang berkualitas.� Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saing bangsa. Berbagai tantangan sudah hadir di depan mata, sudah saatnya program akademik di perguruan tinggi kita sudah semestinya menanamkan kultur akademik internasional guna menancapkan pilar-pilar yang membawa institusi pendidikan tinggi mencapai kemajuan yang berkelanjutan untuk mencapai kesuksesan peserta didiknya. Pilar-pilar tersebut meliputi program akademik yang menekankan keterampilan praktik; memperkuat kemitraan luas dengan perguruan tinggi dan industri secara global; merancang pendidikan trans-negara dengan pengalaman multikultural, serta pertumbuhan dan ekspansi global. Kedatangan Revolusi Industri 4.0 harus dijawab dengan kesiapan sumber daya manusia untuk berbagai sektor. Jika tidak, tentu bangsa akan mengalami ketinggalan dan tidak mampu bersaing dalam menampilkan yang terbaik. Revolusi Industri 4.0 memberikan tantang an menarik sekaligus memberikan peluang untuk menciptakan cara baru, sistem baru, dan budaya baru dalam kehidupan. 1. Fokus pada Pengembangan Keterampilan Peserta Didik Dampak kehadiran Revolusi Industri 4.0 akan tampak jelas pada sektor pendidikan. Pada konteks ini, perguruan tinggi mengalami perubahan yang meliputi sistem kerja, orientasi menghasilkan lulusan, menyesuaikan dengan kebutuhan industri masa kini, menerapkan metode terkini dengan diperkuat sistem informasi digital, dan kepemimpinan. Semua itu dilakukan karena orientasi ke butuhan industri 4.0 juga berubah. Perguruan tinggi dan industri memang memiliki relasi kuat, di mana output perguruan tinggi harus bisa terpakai di dunia industri. Kualitas lulusan perguruan tinggi harus meningkat dan lulusan harus responsif serta memiliki jiwa entrepre neur. Tentu ini menjadi tantangan menarik bagi perguruan tinggi untuk menjawabnya. Indikator perguruan tinggi adalah kualitas dan bukan lagi kuantitas. Pengembangan perguruan tinggi harus didasarkan pada penguatan tujuan untuk mening katkan kualitas dan menjawab kebutuhan dunia kerja dan industri kekinian. Perguruan tinggi harus memberi penekanan pada pengembangan keterampilan anak didiknya, merancang program-program yang dibutuhkan peserta didik di masa depan, serta kemitraan dengan dunia industri, serta harus menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk mendapatkan keterampilan yang siap pakai untuk memenuhi kebutuhan industri yang terus meningkat. Satu hal yang harus diupayakan perguruan tinggi kita adalah memberikan berkontribusi pada pengembangan ekonomi.
Untuk itu, perguruan tinggi harus mampu menyelaraskan bisnis, proses akademik, serta fokus terhadap edupreneurial atau konsep wirausaha dalam proses pembelajaran. Kemitraan dengan dunia industri harus diperkuat lewat penekanan pendidikan keterampilan yang siap-pakai untuk memenuhi kebutuhan industri. Dalam agenda global pendidikan tinggi, segala inovasi berbasis kemitraan dengan industri harus mendapat perhatian khusus, karena betapa pentingnya dampak ekonomis terhadap masyarakat dari inovasi hasil kolaborasi perguruan tinggi dan industri. Kerjasama dengan industri itu misalnya bisa dimulai dari pembuatan kurikulum yang juga melibatkan industri, pengajarnya ada dari perwakilan industri, kesiapan industri untuk menerima magang, dan banyak lagi. 2. Inovasi untuk Hasilkan Lulusan di Industri 4.0 Inovasi merupakan kunci dalam peningkatan produktifitas berkelanjutan, yang pada akhirnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas inovasi di era Revolusi Industri 4.0, perguruan tinggi perlu berinovasi untuk dapat menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan dan keahlian yang relevan dengan perkembangan zaman. Negara yang kurang siap mengikuti perkembangan teknologi akan membutuhkan waktu lebih lama dalam beradaptasi dengan teknologi teknologi. Indonesia ketinggalan "kereta", ABB dan The Economist Intelligence Unit (2018) telah menyurvei 25 negara terkait kesiapan negara tersebut menghadapi era otomatisasi berkat semakin canggih robot dan AI. Kesiapan Indonesia masih berada di ranking 25. Hal ini tentu bukan prestasi menggembirakan bagi kita. Peringkat pertama diduduki Korea Selatan. Bukan hal mengejutkan mengingat pemerintah Korea Selatan telah menyiapkan penduduknya memasuki era AI. Salah satunya dengan pembelajaran coding sejak tingkat pendidikan SD. Finlandia yang dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, juga telah memberikan pelajaran coding sejak pendidikan dasar. Keberadaan internet semakin mempermudah perusahaan seluruh dunia dalam merekrut calon karyawan dari belahan dunia manapun. Kemampuan dan pengetahuan yang dipelajari sejak kanak-kanak sangat menentukan masa depan seseorang dalam mengembangkan karir dan mendapatkan pekerjaan bonafit. Kita dihadapkan pada 2 pilihan: menunggu pemerintah mengejar ketertinggalan zaman dan mengubah kurikulum, atau mencari sendiri ilmu yang bisa membantu kita bertahan hidup dan meraih sukses di era Industri Revolusi keempat ini. Perkembangan AI memampukan banyak pekerjaan yang kini dikerjakan manusia digantikan dengan sistem. Oxford University juga memperkirakan 47% pekerjaan saat ini ada akan lenyap dalam waktu kurang dari 25 tahun mendatang. Artinya, kita perlu memikirkan apakah 25 tahun mendatang pekerjaan yang kita jalani akan bertahan atau malah termasuk dalam kelompok pekerjaan yang akan lenyap tersebut. Coding jelas termasuk kemampuan yang akan semakin dibutuhkan seiring berjalannya waktu. Maka tak ada salahnya memulai belajar coding sedini mungkin. Pengolahan " big data" Selain coding, kemampuan lain yang disebutkan beragam perusahaan ternama sebagai future skill adalah kemampuan mengolah data atau disebut data science. Secara sederhana, data science adalah kemampuan mengolah dan menganalisis data dalam jumlah besar menjadi rekomendasi yang dapat diandalkan dalam mengambil keputusan bisnis. Data science merupakan dasar untuk dapat menguasai teknologi AI. Menurut penelitian ABB dan The Economist Intelligence Unit (2018), perusahaan-perusahaan semakin banyak menggunakan AI dan robot dalam operasional mereka. Semakin canggih adaptasi AI dan robot, juga akan berdampak pada dunia kerja. Akibatnya, kebutuhan akan profesi di bidang itu juga akan semakin mendesak. Revolusi Industri 4.0 menjadi menjadi tuntutan zaman, perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan dan kebutuhan di era ini. Perguruan tinggi harus mempersiapkan skill yang harus dimiliki peserta didik di Era Industri 4.0
Berbagai kesiapan yang perlu dilakukan. Peserta didik harus siap mengikuti perubahan zaman. Perguruan tinggi segera berbenah diri menyiapkan sumber daya manusia yang siap beradaptasi di era era revolusi industri 4.0. Kecerdasan Buatan (AI), data dan informasi (big data), komputasi awan (cloud technology), internet, uang digital (bitcoin), sosial media hingga keamanan data adalah tantangan yang harus bisa dihadapi para lulusan perguruan tinggi saat ini. Penggunaan teknologi telah menggeser atau bahkan telah menghilangkan banyak lapangan pekerjaan. Penjaga toko dan tol, buruh pabrik, rumah produksi sudah tergantikan dengan teknologi. Pelayanan di bank telah banyak menggunakan mesin dan digital. Perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, mampu merespon kebutuhan masyarakat. Kuantitas bukan lagi menjadi indiktor utama bagi perguruan tinggi dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Karena tujuan utama dari pendidikan tinggi adalah untuk mentransformasi masyarakat menjadi sumber daya manusia yang inovatif dan adaptif. Oleh karena itu peguruan tinggi dapat melahirkan tenaga kerja kompeten yang siap menghadapi Industri kerja yang kian berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, keahlian kerja, kemampuan beradaptasi dan pola pikir yang semakin dinamis. Saat ini dunia pendidikan kita ditantang untuk mampu melahirkan lulusan-lulusan dengan kemampuan yang tidak akan tergantikan oleh mesin dan komputer. Pendidikan nantinya akan kembali pada hal-hal kemanusiaan mendasar seperti melatih soal rasa, berpikir kreatifitas, sikap kritis, kolaborasi, mengetahui benar salah dan tidak kalah penting karakter. Persoalan 'link and match' perguruan tinggi dan industri menjadi permasalahan utama yang harus segera diselesaikan. Terkait hal itu, memasuki era revolusi industry 4.0 yang berbasis digital, pendidikan tinggi harus dikelola secara fleksibel tanpa terjebak rutinitas. Era tersebut mensyaratkan berbagai terobosan perguruan tinggi dalam menyiapkan sumber daya manusia yang kompetitif. Era industry 4.0 ini, teknologi digital semakin menguat. Kompetensi terkait digital seperti pengodean, pemrograman dan kecerdasan buatan bukan lagi monopoli mahasiswa teknologi informasi dan komunikasi. Mahasiswa bidang lain juga bisa dibekali dengan kompetensi tersebut. Bagaimana dunia pendidikan mampu melahirkan lulusan yang siap menjawab kebutuhan dunia kerja. Mempersiapkan mahasiswa dengan bekal skill yang mumpuni untuk dapat beradaptasi dengan dunia kerja kekinian. Salah satu hal yang penting perlu segera dibenahi adalah kurikulum. Kurikulum di perguruan tinggi harus mengacu pada pembelajaran dalam teknologi informasi, „internet of things‟, „big data‟ dan komputerisasi, serta „entrepreneurship‟ dan „internship‟ harus menjadi kurikulum wajib. Ini akan menghasilkan lulusan terampil dalam aspek literas data, literasi teknologi dan literasi manusia. Lembaga The Montreal AI Ethics Institute merilis hasil survey mereka yang dapat dijadikan acuan perguruan tinggi kita dalam berinovasi untuk menghasilkan lulusan yang kompeten di era industri 4.0. The Montreal AI Ethics Institute melakukan Survei terhadap 400 orang tentang topik "Peluang Kerja Masa Depan". Survei ini berangkat dari hasil laporan "Future of Jobs dari" World Economic Forum ( WEF) yang memperkirakan 75 juta pekerjaan di seluruh dunia akan diambil alih oleh otomasi pada tahun 2022. Di saat yang sama 133 juta pekerjaan baru juga akan muncul ke ekonomi global, tetapi dalam banyak kasus, para orang akan kehilangan pekerjaan kerena tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk mengisi posisi baru tersebut. Oleh karena itu, The Montreal AI Ethics Institute memberikan 4 rekomendasi untuk mendesain ulang pendidikan tinggi untuk bisa menghasilkan lulusan yang siap kerja menghadapi revolusi industri 4.0. Kelima inovasi pendidikan tinggi tersebut yakni: 1. Fokuskan waktu kuliah Standar kelulusan gelar 4 tahun tradisional secara luas masih dianggap sebagai persyaratan standar untuk kesuksesan karir. Namun dalam berbagai bidang, pendidikan tinggi 4 tahun sering memaksa mahasiswa banyak mempelajari subyek kuliah yang tidak berguna. The Montreal AI Ethics Institute merekomendasikan agar pendidikan
tinggi dapat fokus pada pembelajaran kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sehingga lulusan dapat lulus dalam 2 atau 3 tahun dan tidak menghabiskan waktu mereka. 2. Pangkas sistem kredit Sistem kredit akademik di atas kertas dianggap tidak memberikan banyak pengarih kesiapan kerja yang sebenarnya. Oleh karena itu, lembaga ini mendorong untuk meningkatkan kualifikasi lulusan dengan cara lain, seperti melalui pembelajaran online, program sertifikasi , pengajaran mandiri dan kewirausahaan. Sekitar 42 pendidikan tinggi di Paris dan San Francisco mendesain ulang pendidikan tinggi mereka tanpa sistem kredit. Bahkan beberapa sekolah teknik mereka tidak memiliki profesor atau kelas. Siswa bertanggung jawab atas pendidikan mereka sendiri dan membuat proyek mereka dinilai oleh rekan-rekan mereka. 3. Kerja sama industri The Montreal AI Ethics Institute melihat ketika lembaga pendidikan tinggi bermitra dengan industri, semua orang mendapat manfaat. Siswa mendapatkan peningkatan akses ke mentor dan magang, sekolah meningkatkan relevansi kurikulum, dan perusahaan mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan mereka. Hyland, sebuah perusahaan perangkat lunak berbasis di Ohio, bermitra dengan lembaga pendidikan tinggi setempat. Dengan mengajar, menjadi dosen tamu, mensponsori proyek tim dan memberikan bimbingan, ini menjadi win-win bagi siswa dan perusahaan. Hubungan yang lebih kuat berarti hasil yang lebih baik bagi siswa dan jalur perekrutan untuk perusahaan. 4. Pembelajaran berbasis proyek Karier modern membutuhkan kreativitas, pemikiran kritis, keterampilan interpersonal, keterampilan komunikasi, dan negosiasi. Salah satu cara mengintegrasikan keterampilan dunia nyata ini ke dalam kampus adalah melalui pembelajaran berbasis proyek. Dengan meminta siswa merencanakan, merancang, dan melaksanakan proyek mereka sendiri, mereka belajar berfungsi sebagaimana adanya di pasar kerja yang terus berkembang. Berbasis di San Francisco, Make School adalah gelar sarjana dua tahun pertama dalam ilmu komputer terapan. Siswa diperlakukan seperti pengembang junior dan terlibat dalam pembelajaran berbasis proyek dengan kurikulum yang memadukan seni liberal, ilmu komputer, dan pengembangan karakter. Penutup Pemerintah, perguruan tinggi, dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait perlu segera membenahi dunia pendidikan tingggi kita agar dapat beradaptasi di era RI40 dengan membuat program pendidikan dan pelatihan agar dapat meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja saat ini. Supaya lulusan perguruan tinggi kita siap mengadopsi teknologi baru. Salah satu yang sudah diwacanakan yaitu program kurikulum berbasis kompetensi (link and match) dengan industri. Aspek utama yang perlu disiapkan yaitu kurikulum perguruan. Dalam era industri 4.0, kurikulum pendidikan harus sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan dunia kerja dan industri. Jika kurikulum perguruan tinggi kita tidak dibenahi, sudah tentu akan ketinggalan kemajuan industri. Indonesia akan semakin sulit bersaing. Ini dapat menghambat tujuan besar pemerintah untuk menjadi sepuluh besar kekuatan ekonomi pada 2030. Inilah saatnya mentransformasi perguruan tinggi kita menjadi pusat keterampilan, inovasi dan kewirausahaan dengan mengembangkan skill-skill yang dibutuhkan peserta didik untuk bersaing secara global di era Industri 4.0. Bukan hanya sekadar melek teknologi, tetapi juga fasih dalam teknologi. Transformasi perguruan tinggi dalam menyesuaikan perkembangan menghadapi era ini berdampak pada kualitas human capital dan berujung pada kedigdayaan Indonesia di era ini dan mendatang.
Seiring dengan dunia yang memasuki revolusi industri 4.0, maka pemanfaatan robot dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam proses produksi manufaktur akan semakin lazim. Perubahan ke arah automasi tersebut bisa mendatangkan berbagai dampak kepada para pekerja industri. Yang harus dilakukan sekarang adalah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Berdasarkan paparan artikel di laman World Economic Forum, untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh revolusi industri 4.0, seorang pekerja harus memiliki kemampuan yang tidak akan bisa dilakukan oleh mesin. Misalnya, kemampuan untuk memecahkan masalah atau kreativitas.Soft skill adalah kunci. World Economic Forum juga merilis 10 skill yang mutlak dibutuhkan para pekerja untuk bisa menghadapi perubahan pada 2020 dan seterusnya, terutama karena adanya Industri 4.0. Skil tersebut di antaranya pemecahan masalah yang komplek, berpikir kritis, kreativitas, manajemen manusia, berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, penilaian dan pengambilan keputusan, berorientasi servis, negosiasi, dan fleksibilitas kognitif. Menariknya, lebih dari setengah skil tersebut merupakan soft skill. Artinya, soft skill menjadi salah satu faktor paling penting untuk dimiliki para pekerja di masa depan, seperti kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain, memecahkan masalah, serta aspek kecerdasan emosional lainnya. Perguruan tinggi, sudah menyadari pentingnya pendidikan skill untuk para mahasiswanya. Perguruan tinggi tak hanya membekali peserta didiknya dengan ilmu pengetahuan dan hard skill, tetapi juga mulai melakukan pengembangan soft skill.