PEMBELAJARAN MENDIDIK DAN PENDEKATAN PEDAGOGI KRITIS (Tentang Perguruan tinggi, Dosen, Pembelajaran,

Page 1


PEMBELAJARAN MENDIDIK DAN PENDEKATAN PEDAGOGI KRITIS (Tentang Perguruan tinggi, Dosen, Pembelajaran, Peserta Didik dan Relevansinya dengan Kualitas Pendidikan dalam Menghadapi Tantangan Zaman) Prolog Kualitas pendidikan bersifat kompleks dan dinamis dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pendidikan merupakan tanggungjawab profesional seorang dosen sebagai pendidik dan pengajar melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik dan memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Paradigma pembelajaran yang mendidik adalah sebuah proses pembelajaran yang membuahkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga sekaligus menumbuhkan karakter yang kuat serta penguasaan kecakapan hidup (soft skills), sehingga peserta didik tampil sebagai manusia yang terampil, penuh kasih terhadap sesama (compassion) serta menjunjung tinggi nilai dan etika dalam bekerja. Konsep pedagogi kritis dipahami sebagai metode pengajaran di dalamnya terkandung berbagai teori tentang pendidikan, pengajaran serta beragam pandangan tentang manusia dan hubungan antar manusia. Sikap kritis ini dibarengi oleh dua hal, yakni keluasan wawasan dan kepekaan moral. Dengan perpaduan antara sikap kritis, keluasan wawasan serta kepekaan moral, Pedagogi kritis bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan Indonesia kekinian untuk mendorong keterlibatan sosial, dan membawa perubahan di dalam masyarakat. Dalam pencapaian kualitas pendidikan, banyak hal yang terkait didalamnya: fasilitas dan sarana pendidikan, kurikulum dan pembelajaran, kualitas dan kemampuan dosen, kesiapan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Tulisan ini dibagi dalam dua bagian. Bagian Pertama akan membahas Pembelajaran Mendidik dan unsur unsur penting yang terkait di dalam prosesnya. Tantangan Dosen dan Perguruan Tinggi Kekinian, peran dosen dalam kegiatan pembelajaran, Pembelajaran yang berkualitas, dan Pembelajaran yang mendidik. Bagian kedua akan membahas Pedagogi Kritis sebagai Pendekatan Pengajaran dan pembelajaran Kekinian. Menguraikan Pendekatan Pedagogi Kritis dalam Pengajaran dan pembelajaran yang dirumuskan Giroux, serta melihat kemungkinan penerapannya dalam proses pengajaran dan pembelajaran di perguruan tinggi Indonesia.


PEMBELAJARAN MENDIDIK PENDAHULUAN A. Tantangan Dosen dan Perguruan Tinggi Kekinian Tantangan di era sekarang ini sangat berbeda dengan era sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa disegala bidang.pada abad ini, terutama bidang Information and Communication Technology (ICT) yang serba canggih (sophisticated) membuat dunia ini semakin sempit, karena kecanggihan teknologi ICT ini beragam informasi dari berbagai sudut dunia mampu diakses dengan instant dan cepat oleh siapapun dan dari manapun, komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan mudah, murah kapan saja dan di mana saja. Perubahan-perubahan tersebut semakin terasa, termasuk didalamnya pada dunia pendidikan. Era globalisasi yang ditandai dengan fleksibilitas tinggi serta persaingan secara fair, diperlukan adanya individu-individu yang kritis, kreatif, produktif, bertanggung jawab, serta mampu berkolaborasi dengan individu individu atau kelompok-kelompok lain. Perguruan tinggi harus tanggap terhadap kondisi tersebut, dan dapat mempersiapkan peserta didik yang mampu menghadapi era globalisasi. Peserta didik perlu dibekali dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta sistem nilai atau tata krama pergaulan, dengan tidak meninggalkan identitas budaya. Diharapkan peserta didik sebagai generasi pelanjut mampu memperoleh, menguasai, mengolah dan mengembangkan informasi secara cepat, sehingga terbentuk kebiasaan berpikir kreatif dan produktif. Perguruan tinggi tidak dapat membiarkan begitu saja perubahan kondisi masyarakat yang semakin cepat. Kuatnya arus demokratisasi, tuntutan penegakan hukum, pelaksanaan hak asasi manusia, serta kesadaran ekologis menjadi isu-isu penting dalam pergaulan dunia. Tuntutan demikian perlu diperhatikan dan direspon oleh perguruan tinggi untuk kemudian dikembangkan berbagai program pendidikan dan pembelajaran baik yang dilaksanakan di kampus maupun di luar kampus. Perguruan tinggi dan dosen menghadapi klien yang jauh lebih beragam, materi pelajaran yang lebih kompleks dan sulit, standard proses pembelajaran dan juga tuntutan capaian kemampuan berfikir peserta didik yang lebih tinggi, untuk itu dibutuhkan dosen yang mampu bersaing bukan lagi kepandaian tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak (hard skills- soft skills). Menurut Susanto (2010), terdapat 7 tantangan pengajar di abad 21, yaitu : 1. Teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya dengan kompetensi multi bahasa. 2. Teaching for the construction of meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna (konsep). 3. Teaching for active learning, mengajar untuk pembelajaran aktif. 4. Teaching and technology, mengajar dan teknologi. 5. Teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai kemampuan. 6. Teaching and choice, mengajar dan pilihan. 7. Teaching and accountability, mengajar dan akuntabilitas.


Tantangan pendidikan di era ini tidaklah ringan. Dosen diharapkan mampu dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang bertumpu dan melaksanakan empat pilar belajar yang dianjurkan oleh Komisi Internasional UNESCO untuk Pendidikan, hal ini didasari bahwa Pendidikan merupakan komunikasi terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang untuk menumbuhkan kegiatan belajar pada diri peserta didik (education as organized and sustained communication designed to bring about Learning). UNESCO merekomendasikan empat pilar dalam bidang pendidikan, yaitu: 1. Learning to know (belajar untuk mengetahui) Learning to know, yaitu proses belajar untuk mengetahui, memahami, dan menghayati cara-cara pemerolehan pengetahuan dan pendidikan yang memberikan kepada peserta didik bekal-bekal ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran ini memungkinkan peserta didik mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan, serta mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan. 2. Learning to do (belajar melakukan atau mengerjakan) Learning to do, yaitu proses belajar melakukan atau mengerjakan sesuatu. Belajar berbuat dan melakukan (Learning by doing) sesuatu secara aktif ini bermakna pendidikan seharusnya memberikan bekal-bekal kemampuan atau keterampilan. Peserta didik dalam proses pembelajarannya mampu menggunakan berbagai konsep, prinsip, atau hukum untuk memecahkan masalah yang konkrit. 3. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) Learning to live together, yaitu pendidikan seharusnya memberikan bekal kemampuan untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk sehingga tercipta kedamaian hidup dan sikap toleransi antar sesama manusia. 4. Learning to be (belajar untuk menjadi/mengembangkan diri sendiri). Learning to be, yaitu pendidikan seharusnya memberikan bekal kemampuan untuk mengembangkan diri. Proses belajar memungkinkan terciptanya peserta didik yang mandiri, memiliki rasa percaya diri, mampu mengenal dirinya, pemahaman diri, aktualisasi diri atau pengarahan diri, memiliki kemampuan emosional dan intelektual yang konsisten, serta mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri Untuk memecahkan masalah tersebut di atas, dosen dituntut mampu untuk membaca setiap tantangan yang ada pada masa kini. Dosen harus menciptakan kegiatan pengajaran dan pembelajaran yang menyesuaikan perkembangan peserta didik dan kemajuan zaman. Untuk tantangan yang ada, dosen harus memiliki kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi-kompetensi antara lain kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial yang kualifaid. Bentuk-bentuk kegiatan pembelajaran kekinian harus mengarahkan peserta didik memiliki kemampuan untuk mengekspresikan budaya nasional serta menjalin keterbukaan, dialog, dan kritis terhadap budayabudaya lain. Masyarakat global juga ditandai dengan terbentuknya struktur masyarakat modern industrial yang disebabkan oleh dinamika perubahan masyarakat yang semakin cepat karena kemajuan sains dan teknologi. Kondisi yang selalu berubah dan berkembang menuntut dosen dan peserta didik untuk terus-menerus belajar jika tidak ingin ketinggalan. Sikap gemar belajar dengan memanfaatkan berbagai sumber informasi perlu dikembangkan dalam diri peserta didik. Perguruan tinggi perlu memfasilitasi agar terjadi kegiatan belajar yang bersifat partisipatoris dan antisipatoris.


Dosen harus mampu mengembangkan komunikasi cerdas dalam strategi pembelajaran yang berkualitas, yaitu pembelajaran yang menantang, menyenangkan, memotivasi, mendorong peserta didik untuk bereksplorasi, memberi pengalaman sukses, dan dapat mengembangkan kecakapan berpikir. Pembelajaran tidak hanya menekankan pada kemampuan mengingat dan memahami saja, karena cara demikian tidak lagi memadai dalam kehidupan yang sangat kompleks. Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subyek berkesadaran sulit untuk dimengerti. Mereka adalah mahluk yang dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan peradaban yang tak pernah berhenti. Ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia, setiap kali berpikir dan mencoba memahami hakekat manusia akan terasa semakin luas dan semakin sulit untuk merumuskan pemahaman yang terdalam mengenai manusia. Pemahaman tentang manusia yang terus berkembang dan dinamis yang dilatari oleh sejarah hidupnya inilah menuntut dunia pendidikan untuk selalu berupaya berkembang dan dinamis pula. Hal penting yang harus dipahami kaitannya dengan peserta didik sebagai individu yaitu bahwa mereka adalah manusia yang memiliki sejarah, makhluk dengan ciri keunikannya (individualitasnya), selalu membutuhkan sosialisasi di antara mereka, memiliki hasrat untuk melakukan hubungan dengan sesama, alam sekitar, dan dengan kebebasannya mengolah pikir dan rasa akan pertemuannya dengan Yang Transendental. Pemahaman akan subyek didik inilah yang harus dijadikan pijakan dalam mengembangkan teori-teori maupun praksis-praksis pendidikan. Sistem pendidikan klasikal formal dan masal hanya akan menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang dangkal dan tidak mendasar. Jika diamati, dapat dilihat bahwa selama ini tampaknya pendidikan berjalan serius dan penuh perhatian. Setiap hari peserta didik mengikuti kegiatan pembelajaran. Di kelas penuh dengan peserta didik yang sedang belajar. Dosen sibuk mengajar, menjelaskan materi pelajaran, dan peserta didik mendengarkan serta mengerjakan apa yang diperintahkan oleh dosen. Sepintas tampaknya pendidikan dan pembelajaran berjalan lancar, tetapi apa yang terjadi sesungguhnya? Proses pendidikan dan pembelajaran yang terjadi jauh dari harapan. Sejumlah pertanyaan dapat dikembangkan seperti; 1) sejauh mana keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran? 2) seberapa banyak pengetahuan yang mereka peroleh selama berjam-jam di ruang kelas? 3) ketrampilan apa yang mampu mereka miliki setelah berbulan-bulan belajar? 4) bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan perilaku dan karakter mereka dalam kehidupan sehari-hari? Potret sehari-hari menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas belajarnya, banyak dari peserta didik memandang bahwa pendidikan merupakan kewajiban formal dan acara rutine yang harus diikuti setiap hari. Mereka datang, duduk, mendengarkan, mencatat apa yang diterangkan dosen, kemudian pulang. Sesampainya di rumah, apa yang telah didengarkan dan dicatat di kelas terlupakan. Catatan pelajaran baru akan dibuka kembali jika ada UTS dan UAS, dan kalau perlu ketika ujian mencontek. Di dalam kelas mereka merasa terpaksa harus duduk diam mendengarkan dosen ceramah, bahkan ketika diberi kesempatan untuk bertanya, tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Demikian pula ketika ditanya oleh dosen mereka tidak tahu bagaimana menjawabnya. Namun jika dosen tidak berada di tempat dan ada peluang untuk berbicara bebas, mereka akan melakukan apa saja bahkan berteriak-teriak, berbicara dengan teman-teman lainnya tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Seolah-olah mereka baru terbebas dari belenggu atau penjara.


Ketika usai perkuliahan, mereka girang sekali seakan-akan terbebas dari siksaan. Peserta didik tidak terbiasa terlibat aktif dalam proses belajar di kelas dan sangat pasif. Dosenpun kurang memahami bagaimana caranya agar peserta didik mengalami proses belajar yang optimal. Peserta didik kurang dilatih tentang cara-cara efektif untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya, mengolah dan mengembangkan pengetahuan, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pemahaman pengetahuan mereka sangat minim, belajar menjadi tidak bermakna. Hasil suatu kajian membuktikan bahwa semakin terlibat aktif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, maka semakin besar pula perolehan dan pemahamannya terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari. Dengan ungkapan lain, hanya 10% pengetahuan dapat diperoleh melalui membaca, 20% pengetahuan diperoleh melalui mendengarkan penjelasan (ceramah), 30% pengetahuan diperoleh melalui menyaksikan gambar, 50% pengetahuan diperoleh melalui melihat tayangan video, atau menyaksikan pertunjukan, demonstrasi, atau melihat sendiri ke lokasi, 70% pengetahuan diperoleh melalui partisipasi dalam diskusi, mengemukakan pendapat dan pikirannya, 90% pengetahuan diperoleh melalui aktivitas seperti melakukan presentasi dramatik, mensimulasikan pengalaman nyata, atau melakukan sesuatu pada kondisi nyata. B. Karakteristik Peserta Didik Generasi Z Generasi Z memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Berikut ini karakteristik Generasi Z: 1. Fasih Teknologi , tech-savvy, web-savvy, appfriendly generation. Mereka adalah “generasi digital� yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya. 2. Sosial. Mereka sangat intens berinteraksi melalui media sosial dengan semua kalangan. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring sosial, seperti: FaceBook, twitter, atau melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. 3. Ekspresif. Mereka cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan 4. Multitasking. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit. 5. Cepat berpindah dari satu pemikiran/pekerjaan ke pemikiran/pekerjaan lain (fast switcher) 6. Senang berbagi Hasil riset yang dilakukan oleh tirto.id yang dilakukan 16 Juni 2017 dengan jumlah responden 1.201 orang berusia antara 17 – 25 tahun, riset tentang bagaimana generasi Z dalam kehidupan sehari-hari disajikan berikut ini.


1. Gadget yang digunakan Generasi Z untuk akses internet

2. Media yang digunakan mengakses informasi/berita

3. Alasan memilih jenis media

4. Durasi menggunakan internet

5. Situs atau aplikasi yang paling sering diakses (berdasarkan platform dari situs tersebut) Situs/Apps


6. Pilihan siaran televisi yang ditonton

Rata-rata Generasi Z menghabiskan waktunya untuk menonton televisi kurang dari dua jam per hari. Responden dengan tingkat pendidikan SMA dan kuliah lebih memilih menonton sinetron/serial film di televisi. C. Oreientasi Pembelajaran Era Kekinian Pada Era informasi dan pengetahuan, pendidikan telah mengalami pergeseran atau perubahan paradigma pendidikan, yaitu: 1. 2. 3. 4.

dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat dari belajar terfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik dari citra hubungan dosen peserta didik yang konfrontatif ke citra hubungan kemitraan dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, 5. dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, 6. dari penampilan pengajar yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, 7. dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Adaptasi harus dilakukan untuk mencapai kesesuaian konsep dengan kapasitas peserta didik dan kompetensi pengajar. 1. Keterampilan dan Pengetahuan Abad 21 (21st Century Skills) Skema ini menyajikan pandangan menyeluruh tentang keterampilan dan pengetahuan peserta didik abad ke-21. Ada tiga subjek inti pendidikan abad 21, yaitu: 1) Life and Career Skills, 2) Learning and innovations Skills – 4Cs, 3) Information, Median and Technologi Skills. a. Life and Career Skills. Keterampilan hidup dan berkarir), meliputi: 1. Fleksibilitas dan adaptabilitas Peserta didik memiliki kemampuan mengadaptasi perubahan dan fleksibel dalam belajar dan berkegiatan dalam kelompok 2. Memiliki inisiatif dan dapat mengatur diri sendiri Peserta didik memiliki kemampuan mengelola tujuan dan waktu, bekerja secara independen dan menjadi peserta didik yang dapat mengatur diri sendiri. 3. Interaksi sosial dan antar-budaya


Peserta didik memiliki kemampuan berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan kelompok yang beragam. 4. Produktivitas dan akuntabilitas Peserta didik mampu mengelola projek dan menghasilkan produk. 5. Kepemimpinan dan tanggungjawab Peserta didik mampu memimpin teman-temannya dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas. b. Learning and Innovation Skills. Keterampilan belajar dan berinovasi meliputi: 1. Berpikir kritis dan mengatasi masalah Peserta didik mampu mengunakan berbagai alasan (reason) seperti induktif atau deduktif untuk berbagai situasi; menggunaan cara berpikir sistem; membuat keputusan dan mengatasi masalah 2. Komunikasi dan kolaborasi Peserta didik mampu berkomunikasi dengan jelas dan melakukan kolaborasi dengan anggota kelompok lainnya. 3. Kreativitas dan inovasi Peserta didik mampu berpikir kreatif, bekerja secara kreatif c. Information Media and Technology Skills. Keterampilan teknologi dan media informasi (Information media and technology skills), meliputi: 1. Literasi informasi Peserta didik mampu mengakses informasi secara efektif (sumber nformasi) dan efisien (waktunya); mengevaluasi informasi yang akan digunakan secara kritis dan kompeten; mengunakan dan mengelola informasi secara akurat dan efektf untuk mengatasi masalah. 2. Literasi media Peserta didik mampu memilih dan mengembangkan media yang digunakan untuk berkomunikasi. 3. Literasi ICT Peserta didik mampu menganalisis media informasi; dan menciptakan media yang sesuai untuk melakukan komunikasi. Unsur-unsur atau sistem yang diperlukan untuk memastikan kekeberhasilan penguasaan konsep pendidikan dan keterampilan pengetahuan abad 21, yaitu: 1. Standarisasi penilaian Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. 2. Kurikulum, Kurikulum pada dasarnya merupakan tujuan setiap program pendidikan yang diberikan kepada anak didik, karena kurikulum merupakan alat antuk mencapai tujuan, maka kurikulum harus dijabarkan dari tujuan umum pendidikan. 3. Pengembangan profesionalisme tenaga edukasi Pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Sedangkan secara khusus tujuan pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah sebagai berikut;


Meningkatkan kompetensi tenaga edukasi untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. 1. Memutakhirkan kompetensi tenaga edukasi untuk memenuhi kebutuhan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik. 2. Meningkatkan komitmen edukasi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional. 3. Menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi tenaga edukasi sebagai pendidik dan pengajar. 4. Meningkatkan citra, harkat, dan martabat profesi tenaga edukasi di masyarakat. 5. Menunjang pengembangan karir tenaga edukasi 2. Pembelajaran inovatif Pembelajaran inovatif juga mengandung arti pembelajaran yang dikemas oleh dosen atau tenaga pengajar lainnya yang merupakan wujud gagasan atau teknik yang dipandang baru agar mampu menfasilitasi peserta didik untuk memperoleh kemajuan dalam proses dan hasil belajar. Pembelajaran inovatif bisa mengadaptasi dari model pembelajaran yang menyenangkan. “Learning is funâ€? merupakan kunci yang diterapkan dalam pembelajaran inovatif. Jika peserta didik sudah menanamkan hal ini di pikirannya tidak akan ada lagi peserta didik yang pasif di kelas, perasaan tertekan, kemungkinan kegagalan, keterbatasan pilihan, dan tentu saja rasa bosan. Membangun metode pembelajaran inovatif sendiri bisa dilakukan dengan cara diantaranya mengakomodir setiap karakteristik diri. Artinya mengukur daya kemampuan serap ilmu masing-masing peserta didik. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated instruction). Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada paradigma konstruktivistik. 3. Pendekatan Saintifik (Scientific Approach) Pendekatan saintifik diadaptasi dari konsep Inovatorâ€&#x;s DNA (Dyer, et al., 2009). Pendekatan saintifik yang digunakan dalam pembelajaran dikemas secara berurutan, menjadi (1) mengamati (observing), (2) menanya (questioning), (3) menalar (associating), (4) mencoba (experimenting) dan (5) membuat jejaring (networking).


Tabel Pendekatan saintifik dalam sistem pembelajaran


D. Sejauhmana Dosen telah mampu mengaktifkan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran? Kurikulum yang sarat dengan berbagai materi pelajaran tidak akan dapat memberikan kesempatan kepada dosen untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar. Dosen merasa terbebani untuk menyelesaikan materi pelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum untuk diselesaikan pada waktu yang sudah ditentukan. Akibatnya, materi pelajaran yang diajarkan di kelas terasa asing dan terpisah dari kehidupan nyata peserta didik. Pembelajaran menjadi tidak kontekstual, kurang menyentuh kehidupan sosio-kultural yang melatari peserta didik. Mereka dipaksa untuk menerima materi-materi pelajaran yang sudah diprogramkan oleh sekolah walaupun kurang sesuai dengan minatnya. Dalam menyampaikan materi pelajaran, dosen kurang memperhatikan karakteristik peserta didik. Karakteristik peserta didik tidak dijadikan pijakan dalam pembelajaran, dan pembelajaran cenderung diseragamkan. Akibatnya, peserta didik mengalamai kesulitan memahami materi pelajaran, mereka merasa stress bahkan timbul kebencian terhadap pelajaran yang diajarkan oleh dosenya. Dosen seharusnya menjadikan karakteristik peserta didik dan budayanya sebagai pijakan dalam mengembangkan program-program pembelajaran. Sebab, upaya apapun yang dipilih dan dilakukan oleh dosen jika tidak bertumpu pada karakteristik peserta didik sebagai subyek belajar, maka pembelajaran tidak akan ada maknanya. Karakteristik peserta didik dapat diidentifikasi sebagai faktor yang amat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar meliputi; kecerdasan, kemampuan awal, gaya kognitif, gaya belajar, motivasi, dan faktor budaya dan zaman yang melatari sejarah hidupnya. Informasi tentang tingkat perkembangan kecerdasan peserta didik amat diperlukan sebagai pijakan dalam memilih komponen-komponen pembelajaran seperti; tujuan pembelajaran, materi, media, strategi pembelajaran dan evaluasi. Peserta didik yang berada pada tahap pemikiran operasional konkrit sudah memiliki kecakapan berpikir logis tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit, sehingga semua komponen pembelajaran perlu disesuaikan dengan kemampuan tersebut. Sebaliknya, mereka yang sudah berada pada tahap operasi formal sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan�. Mereka sudah dapat berpikir ilmiah baik deduktif maupun induktif, serta mampu menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesis. Komponen-komponen pembelajaran dapat diarahkan pada kemampuan tersebut. Informasi tentang kemampuan awal yang sudah dimiliki peserta didik amat diperlukan dosen sebagai pijakan dalam mengorganisasi dan menyampaikan materi pelajaran. Bila dosen mengajarkan materi pelajaran yang sudah dipahami peserta didik, maka pembelajaran tidak efektif, tidak efisien dan kurang memilki daya tarik. Peserta didik akan merasa bosan atau jenuh, sehingga suasana belajar menjadi terganggu. Sebaliknya, jika dosen mengajarkan materi pelajaran di luar kemampuan peserta didik atau mereka belum menguasai pengetahuan prasyaratnya, maka mereka akan menjadi bingung, stress, dan sulit memahami materi pelajaran. Informasi mengenai kemampuan awal peserta didik ini juga diperlukan dalam mengembangkan sumbersumber belajar. Penulisan buku teks atau bahan ajar misalnya, apakah perlu menggunakan pengetahuan


analogi untuk memahami suatu konsep? Atau, apakah diperlukan juga mengkaitkan pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan-pengetahuan tingkat yang lebih rendah, dan sebagainya. Informasi mengenai gaya kognitif peserta didik bermanfaat untuk keperluan pembangunan teori-teori tentang pengembangan dan produksi bahan-bahan ajar, khususnya yang berkaitan dengan bagaimana cara mengorganisasi materi pembelajaran. Mereka yang bergaya kognitif field-independent lebih memiliki kemampuan untuk menstruktur atau mengorganisasi materi pelajaran secara mandiri. Sedangkan mereka yang bergaya kognitif field-dependent akan lebih mudah belajar jika materi pelajaran sudah distruktur lebih dahulu. Informasi mengenai gaya kognitif ini juga penting bagi penyusunan bahan ajar khususnya agar dapat memberi petunjuk apakah dalam menyusun bahan ajar perlu disertai dengan kerangka isi atau advance organizer, atau epitome, atau skema yang memuat seluruh materi pelajaran. Informasi mengenai motivasi belajar peserta didik akan sangat diperlukan oleh dosen dalam mengembangkan strategi pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan strategi penyampaian materi pelajaran serta strategi pengelolaan motivasional. Sedangkan informasi mengenai gaya belajar peserta didik amat diperlukan oleh dosen dalam mengembangkan strategi penyampaian materi pelajaran serta dalam mengembangkan sumber-sumber belajar. Produksi media pembelajaran misalnya, memerlukan informasi mengenai bagaimana kecenderungan peserta didik dengan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik dalam belajar. Dengan mengetahui kecenderungan tersebut, strategi dan media pembelajaran yang akan diproduksi dapat disesuaikan, sehingga mampu melayani masing-masing gaya belajar peserta didik. Demikian pula dengan faktor sosial-budaya peserta didik, penting diketahui oleh dosen untuk dijadikan pijakan dalam menyampaikan materi pembelajaran serta mengelola kegiatan pembelajaran. Informasi ini juga urgen bagi para pengembang sumber-sumber belajar, agar strategi dan media-media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran selaras dengan kondisi sosial budaya di mana peserta didik berada.


PEMBAHASAN A. Tercapainya misi dan tujuan pendidikan berkaitan erat dengan kurikulum dan pendekatan pembelajaran. Kurikulum formal dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat skenario pembelajaran sebagai bentuk implementasi kurikulum. Interaksi pembelajaran yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai kurikulum eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan dosen, apa yang dikerjakan peserta didik, dan bagaimana interaksi keduanya. Pengalaman belajar yang mendidik tidak sebatas mengacu pada silabus, SAP, GBPP, namun lebih pada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang tersurat dan tersirat sebagai tujuan utuh pendidikan. Strategi pembelajaran integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berpijak pada konsep awal peserta didik, dengan penilaian portofolio, sebagaimana disebutkan di atas sangat dianjurkan. Strategi pembelajaran demikian disamping mampu mencapai tujuan pembelajaran (insructional effects), tujuan ikutan (nurturants effects) juga dapat dicapai. Pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang melibatkan hati, akal, dan pikiran sebagai satu kesatuan. Pembelajaran mendidik erat kaitannya dengan pendidikan hati. Pendidikan hati melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam guna mewujudkan hal terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup mengalir dari dalam, dari suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta-kasih. Pendidikan hati bersifat inklusif dan dapat merupakan common denominator bagi beragam kepercayaan. Pendidikan kekinian tidak hanya mensugesti akal dan pikiran, tapi juga mensugesti hati agar mereka dapat mengembangkan kemampuan dan potensi diri. Memahami dan menghargai beragam budaya dan kepercayaan, agar tercipta budaya damai, menghormati hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, dan menghargai setiap pribadi. Lulusan pendidikan memiliki integritas pribadi di bidang keilmuannya secara optimal, disamping menguasai substansi dan metodologi bidang keilmuan pada sisi kognitif dan psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada aspek-aspek afektif dan pengembangan karakter. Studi tentang pembelajaran untuk mengembangkan aspek-aspek afektif dan karakter dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi ini belum cukup menjamin terbentuknya integritas pribadi yang ideal. Studi tentang pembelajaran ini tidak bersifat teknis melainkan refleksif, yaitu suatu refleksi tentang nilai-nilai dan/atau tema-tema serta tindakan yang berkaitan dengan perilaku manusia terutama pada pengembangan aspek perasaan, sikap, nilai dan emosi. Hingga kini kondisi pembelajaran yang berkualitas belum terwujud sepenuhnya secara nyata mulai dari pendidikan yang paling dini hingga pendidikan tinggi. Kualitas pendidikan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain baik di Asia maupun di tingkat internasional. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya nilai rata-rata, rendahnya daya serap dalam memahami materi pelajaran, rendahnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah aktual, serta rendahnya kemampuan lulusan dibandingkan dengan kebutuhan tenaga kerja di masyarakat. Banyak faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan tersebut diduga karena minimya anggaran pendidikan, kurangnya sarana dan fasilitas pendukung, kurikulum padat dan kurang realistik, metode dan


pendekatan pembelajaran, rendahnya kemampuan dosen, dan minimnya kesiapan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang serba tanggung dan tergesa-gesa karena saratnya materi pelajaran yang harus diselesaikan juga berakibat pada dangkalnya pemahaman peserta didik akan materi yang dipelajari. Peserta didik lebih banyak menghafal demi kelulusan ujian dari pada mengolah informasi. Akibatnya, informasi tidak bermakna bagi kehidupan mereka dan informasi yang dipelajari mudah hilang serta terlupakan. Kegiatan pembelajaran yang kurang tanggap terhadap kemajemukan individu dan lingkungan di mana peserta didik berada juga mempengaruhi hasil pembelajaran. Perubahan yang sangat pesat dan cepat disemua sektor kehidupan khususnya dunia kerja, mendorong perguruan tinggi perlu membekali lulusannya dengan kemampuan adaptasi dan kreativitas agar dapat mengikuti perubahan dan perkembangan yang cepat tersebut. Alasan inilah yang mendorong perguruan tinggi untuk melakukan perubahan paradigma dalam kurikulum dan pembelajaran. Tidak hanya memfokuskan pada isi yang harus dipelajari, akan tetapi menitik beratkan pada kemampuan apa yang harus dimiliki lulusannya sehingga dapat menghadapi kehidupan masa depan dengan lebih baik serta dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Kurikulum dan pembelajaran yang disusun perguruan tinggi harus dapat mengasah potensi mahasiswa untuk menjadi agen yang berwawasan luas dan memiliki skill yang memang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan di masyarakat. Dengan adanya otonomi perguruan tinggi yang memberi kelonggaran terhadap perguruan tinggi untuk menentukan dan mengembangkan kurikulum sendiri menjadi salah satu peluang perguruan tinggi untuk lebih bisa mengembangkan pendidikan sehingga sesuai dengan kemampuan dan tujuan yang dicapai dengan memperhatikan perkembangan Global. Persaingan di dunia Global, yang mana berakibat juga terhadap persaingan perguruan tinggi didalam negeri maupun diluar negeri. Perubahan oerintasi pendidikan tinggi yang tidak hanya menghasilkan manusia cerdas berilmu akan tetapi juga mampu menerapkan keilmuaannnya dalam kehidupan dimasyarakatnya (kompeten dan relevan), yang lebih berbudaya. Adanya perubahan kebutuhan didunia kerja yang terwujud dalam perubahan persyaratan dalam menerima tenaga kerja, yaitu dengan adanya persyaratan softskills yang dominan disamping hardskillnya. Sehingga kurikulum yang dikonsepkan lebih didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai / dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan/ stakeholders (competense based curiculum). Kurikulum sebagai sebuah pelaksanaan program pembelajaran harus bisa berperan sebagai (1) penentu arah pendidikan, (2) filosofis yang akan mewarnai terbentuknya masyarakat dan iklim akademik, (3) Patron atau pola pembelajaran, (4) atmosfer atau iklim yang terbentuk dari hasil interaksi manajerial PT dalam mencapai tujuan pembelajaran, (5) Rujukan kualitas dari proses penjaminan mutu, serta (6) ukuran keberhasilan PT dalam menghasilkan kelulusan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan ukuran bahwa kurikulum tidak hanya berarti sebagai sesuatu dokumen saja, namun mempunyai peran yang kompleks dalam proses pendidikan. (Kunaefi, Tresno Dermawan at al, 2008: 4-5). Tercapainya tujuan kurikulun dan pembelajaran didukung oleh Sistem pendidikan tinggi, hal ini dapat dilihat sebagai sebuah proses akan memiliki empat tahapan pokok yaitu (1) masukan (input), yaitu Dosen, peserta didik, dsb , (2) Proses (proces) yaitu proses pembelajaran, proses penelitian dan proses


manajemen, (3) Luaran (out put) yaitu lulusan, hasil penelitian dan karya IPTEK lainnya, dan (4) Hasil Ikutan (outcome) yaitu penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadapa luaran perguruan tinggi, kesinambungan, peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat dan lingkungan. Disisi lain, sistem yang baik didukung oleh beberapa unsur yang baik pula sehingga terdapat berbagai macam kategori yaitu berupa: (1) organisasi Yang sehat, (2) pengelolaan yang transparan, (3) ketersediaan rencana pembelajaran dalam bentuk dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, (4) kemampuan dan ketrampilan sumber daya manusia dibidang akademik dan non akademik yang handal dan profesional, (5) ketersediaan sarana dan prasarana dan fasilitas belajar yang memadai, serta lingkungan akademik yang sehat, serta mengarah pada ketercapaian masyarakat akademik yang profesional (Tresno Dermawan Kunaefi, at al, 2008). Pembenahan kualitas pendidikan tinggi melalui pemberlakuan Perpres nomor 08/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat KKNI. Pada Pasal 1 menyatakan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesiaadalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Standar kualifikasi yang tercantum dalam Perpres nomor 08/2012 tentang KKNI untuk penguasaan capaian pembelajaran diploma 4 (sarjana terapan) dan sarjana adalah sebagai berikut : 1. Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. 2. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. 3. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. 4. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi Pemberlakuan Perpres nomor 08/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia tentang Standar Nasional Pendidikan tampaknya belum berpeluang meningkatkan kualitas pembelajaran secara nyata, karena masih lebih mengetengahkan aspek pendidikannya yang sifatnya teoritis dan konseptual semata dibandingkan dengan aspek penguatan keterampilan, pelatihan kerja serta pengalaman kerja melalui pembelajaran berbasis riset, kuliah kerja lapangan, dan lain sebagainya. Akibatnya kinerja sistem pendidikan dan pembelajaran tidak berdampak ketidakseimbangan antara pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Padahal hal keduanya harus di terintegrasi secara utuh antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja. Rumusan Perpres nomor 08/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia tentang Standar Nasional Pendidikan tampaknya tidak menyediakan rujukan operasional yang dapat memberikan arah pengambilan keputusan dan menentukan tindak pembelajaran yang harus dilakukan dosen dalam melaksanakan tugasnya dari waktu ke waktu. Kenyataan yang ada bahwa tidak semua perguruan tinggi berhasil menerapkan kurikulum ini, dan kemudian menjadikannya sebagai acuan menyusun standar keberhasilan yang akan dicapai sebagai profil lulusan.


Pengembangan skill pada setiap mahapeserta didik dapat dilakukan dengan beberapa cara, tidak hanya melalui pendidikan yang berbasis KKNI untuk menciptakan lulusan-lulusan aktif dan dapat berkontribusi di masyarakat. Kebebasan berpikir ini sebenarnya membantu mahapeserta didik untuk menentukan berbagai perihal terkait problematika yang ada. Terlebih terkait masalah calon-calon kontributor yang sesuai kriteria masyarakat. Penerapan kurikulum berbasis KKNI ini bukanlah sesuatu yang bersifat kaku, tetapi ia merupakan seperangkat alat pembelajaran yang menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan pendidikan kekinian yang mengintegrasikan berbagai sumber daya untuk mengolah masukan menjadi luaran yang memiliki nilah lebih, sehingga ada konsekuensi di dalam pemberlakuannya. Konsep kurikulum dan pembelajaran yang didasarkan pada empat pilar pendidikan dari UNESCO, merupakan pengubahan orientasi kurikulum secara mendasar. Yaitu dari sebelumnya yang berfokus pada kemampuan manusia di masyarakatnya, lebih luas lagi yaitu pada kebudayaannya. Apakah kita semua bisa menjawab bahwa kurikulum pembelajaran yang dilaksanakan perguruan tinggi maka akan meningkatkan kualitas pembelajaran dan daya serap lulusan oleh lapangan pekerjaan? Ataukah, dapat menaikan Indeks Prestasi Kumulatif lulusan peserta didiknya ? Ataukah, dapat memetakan posisi perguruan tinggi kita dengan rumpun ilmu sejenis ? Tentu semua pertanyaan tersebut akan sulit kita jawab, karena tidak ada patokan resmi untuk mengukurnya secara numeris. Yang ada hanyalah patokan normatif yang tertera pada butir penilaian borang akreditasi perguruan tinggi. B. Pembelajaran berkualitas adalah Pembelajaran yang mendidik 1. Pembelajaran berkualitas Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pendidikan bersifat kompleks dan dinamis dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pendidikan merupakan tanggungjawab profesional seorang dosen sebagai pendidik dan pengajar melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik dan memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, institusi pendidikan sangat bertanggungjawab terhadap pembentukan lulusan yang berkualitas yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, keterampilan, sikap, moral dan religi dari setiap individu sebagai anggota masyarakat. Selama ini asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan paradigm yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran hanya mengagungkan pada pembentukan aspek-aspek kognitif dengan sedikit ketrampilan. Sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas diri dan dunianya, melainkan suatu upaya pembutaan kesadaran yang disengaja dan terencana yang menutup proses perubahan dan perkembangan. Orang-orang yang telah melewati sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dalam keluarga, pendidikan di masyarakat dan di lembaga-lembaga


pendidikan formal, kurang memiliki kemampuan untuk mengelola kekacauan. Demikian juga kesadaran individu akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, pengembangan kreativitas, produktivitas, berpikir kritis, tanggungjawab, kemandirian, berjiwa kepemimpinan serta kemampuan berkolaborasi kurang berkembang dengan baik, sehingga orang-orang muda selalu menjadi korban kekacauan. Freire mengkritik, selama ini lembaga pendidikan telah menjadi “alat penjinakan�, yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Demikian juga dengan pendapat Illich, lembaga pendidikan semata-mata dijadikan alat legitimasi sekelompok elite sosial. Bisa jadi perguruan tinggi sebagai suatu lembaga pendidikan formal tampil dan menghadirkan dirinya sebagai suatu lembaga struktural baru yang justru menggali jurang (gap) sosial. Segelintir orang yang mengenyam pendidikan formal membentuk kubu elite sosial (setelah ada legitimasi yang berupa ijasah, kepandaian dan kesempatan) dalam kehidupan bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam kondisi demikian, proses monopolisasi kepentingan, liberalisasi dan komersialisasi pendidikan serta kebutuhan sering kali terjadi. Tesis Freire yang bermula dari suatu keprihatinan akan praksis pendidikan yang dalam kenyataannya sebagai suatu proses pembenaran akan praktek-praktek penindasan yang sudah terlembaga, dalam kenyataannya justru semakin dilegitimasi lewat metode dan sistem pendidikan yang paternalistik, pendidikan ala bank, dengan menonjolkan kontradiksi antara subyek (pendidik) dan obyek (peserta didik). Pendidikan yang instruksional yang anti dialogis. Peserta didik digiring untuk selalu diam dan bersikap pasrah. Mereka seakan tidak boleh atau tidak semestinya tahu mengenai realitas diri dan dunianya yang tertindas. Sebab kesadaran demikian akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hirarkhis piramidal yang selama ini diinginkan oleh sekelompok elite sosial politis. Sudah saatnya peserta didik dipersiapkan untuk memasuki era kekinian yang menjunjung nilai keterbukaan dan demokratisasi, suatu era yang ditandai dengan melimpahnya informasi pengetahuan, kemajuan teknologi, keragaman perilaku, dengan cara terlibat dan mengalami langsung proses pendemokrasian ketika mereka berada di dalam setting belajar. Keterlambatan mengantisipasi perkembangan dan perubahan jaman hanya akan memunculkan peluang terjadinya peristiwa kekerasan sebagaimana yang banyak terjadi di masyarakat sekarang ini. Kita perlu mengkaji ulang, atau dengan ungkapan lain, kita perlu melakukan reformasi, redefinisi, reorientasi, rekonstruksi, redeposisi bahkan revolusi terhadap landasan teoritik dan konseptual tentang belajar dan pembelajaran, agar lebih mampu menumbuhkembangkan peserta didik sebagai generasi pelanjut bangsa untuk lebih menghargai keragaman, meningkatkan kesadaran individu akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religi, mengembangkan kreativitas, produktivitas, berpikir kritis, bertanggungjawab, memiliki kemandirian, berjiwa kepemimpinan serta mampu berkolaborasi. Bagaimana dosen dapat memfasilitasi terjadinya perkembangan kemampuan peserta didik pada aspekaspek afektif tersebut secara optimal? Bagaimana pembelajaran yang mendidik dipraktekkan?


Seiring dengan kebutuhan dan tuntutan kekinian, perubahan kurikulum dan pendekatan pembelajaran menjadi upaya untuk pengembangan inovasi terhadap suatu tuntutan tersebut. Respon terhadap kurikulum dan pembelajaran di perguruan tinggi ini dapat dilihat dari banyaknya aturan yang memayungi penerapan kurikulum baru, misalnya UU No.14 Tahunn 2005 tentang Dosen dan Dosen, UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Presiden No.8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Perpres No. 08 tahun 2012 dan Pemendikbud No. 73 tahun 2013 tentang Capaian Pembelajaran Sesuai dengan Level KKNI, UU PT No. 12 tahun 2012 pasal 29 tentang Kompetensi lulusan ditetapkan dengan mengacu pada KKNI, Permenristek dan Dikti No. 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Kurikulum dan pembelajaran menuntut peserta didik memiliki kemampuan yang memenuhi kriteria seperti: 1. Aspek Attitude 2. Bidang kemampuan kerja 3. Pengetahuan 4. Managerial dan Tanggung Jawab Undang Undang No. 14 Tahun 2005 (Dosen & Dosen) menyatakan bahwa Dosen dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 (1) dicantumkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu�. Maka pendidikan nasional yang berkualitas diarahkan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan ketersediaan layanan, sarana, fasilitas pendidikan yang semakin merata dan semakin berkualitas. Perguruan tinggi dituntut untuk mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi (hard skills) yang diperlukan untuk membangun masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan SDM yang tangguh yang memiliki daya saing tinggi bukan saja di arena lokal dan nasional melainkan juga di arena regional dan global. Berbagai upaya pembaharuan di bidang pembelajaran terus dilakukan. Model-model pembelajaran yang ditawarkan cukup luas dan inovatif diantaranya merupakan penerapan konsep-konsep Pembelajaran Peserta didik Aktif, Multiple Intellegence, Holistic Education, Experiential Learning, Problem-Based Learning, Accelerated Learning, Cooperative Learning, Collaborative Learning, Mastery Learning, Contextual Learning, Constructivism, dan lain-lain. Namun, model-model pembelajaran tersebut tidak dengan sendirinya mudah untuk diterapkan di ruang-ruang kelas. Diperlukan komitmen, tekad dan pemahaman para dosen serta pimpinan lembaga dalam menyikapinya. Pada dasarnya upaya-upaya perbaikan kualitas pembelajaran yang dilakukan mengarah kepada pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centred, learning-oriented) untuk memberikan


pengalaman belajar yang menantang dan sekaligus menyenangkan. Lebih jauh, peserta didik diharapkan terbiasa menggunakan pendekatan mendalam (deep approach) dan pendekatan strategis (strategic approach) dalam belajar, bukan sekedar belajar mengingat informasi atau belajar untuk lulus saja. Yang terakhir ini sering disebut sebagai pendekatan permukaan (surface approach), atau belajar hafalan (rote learning) yang masih dominan di kalangan peserta didik dewasa ini. Selain mampu mengembangkan aspek-aspek kognitif dan psikomotorik, diharapkan model-model pembelajaran tersebut mampu mengembangkan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan religi dalam diri peserta didik. Namun, strategi pembelajaran yang berlangsung selama ini masih terkesan sebagai misi penerusan informasi. Fakta, konsep, prinsip-prinsip dan nilai-nilai disajikan dalam bentuk lepas-lepas tanpa ada kaitan dengan kehidupan nyata. Upaya agar pembelajaran mengarah pada pendekatan integratif juga belum sepenuhnya terlaksana. Tema-tema yang dipelajari berhenti sampai pada pengenalan kognitif tidak sampai pada pengembangan kemampuan sosial, moral dan religi, apalagi sampai pada refleksi dan kontemplasi. 2. Pembelajaran yang mendidik Paradigma pembelajaran yang mendidik yaitu pembelajaran yang menghasilkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga sekaligus menumbuhkan karakter yang kuat serta penguasaan kecakapan hidup (soft skills), sehingga peserta didik tampil sebagai manusia yang terampil, penuh kasih terhadap sesama (compassion) serta menjunjung tinggi nilai dan etika dalam bekerja. Untuk mewujudkan pembelarana yang menidik, dosen harus melaksanakan tugas secara professional. Memiliki kompetensi akademik yang meliputi kemampuan: 1. Mengenal peserta didik secara mendalam serta memiliki visi yang jelas tentang lintasan perkembangannya (developmental trajectory) dalam peta tujuan utuh pendidikan. 2. Menguasai bidang keilmuan dan kependidikan. 3. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik meliputi; perancangan, implementasi, penilaian proses dan hasil pembelajaran, dan pemanfaatan hasil penilaian untuk melakukan perbaikan secara sistematis dan berkelanjutan, sehingga dapat memfasilitas perkembangan karakter, soft skills dan pembentukan hard skills peserta didik. 4. Mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan. Kajian tentang pembelajaran yang mendidik diawali dengan mengidentifikasi sub-sub kompetensi meliputi: 1. Kompetensi pedagogik, dimaknai sebagai kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman pada peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan potensi peserta didik. 2. Kompetensi kepribadian, dimaknai sebagai kemampuan kepribadian. Kompetensi kepribadian ini dirinci meliputi kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia, dan dapat menjadi teladan. 3. Kompetensi sosial, bertolak dari asumsi bahwa pendidik adalah bagian dari masyarakat, sehingga layak dituntut memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat sekitar. 4. Kompetensi profesional, sebagai regulasi yang membingkai kebijakan profesionalitas dosen dalam UU Guru dan Dosen, dan terangkum dalam kegiatan TRI DHARMA PT. Salah satu Kompetensi


profesional yang mendasar adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya untuk membimbing peserta didik mencapai sasaran dan tujuan pendidikan. Jika dicermati, di antara empat kompetensi pendidik di atas agaknya sulit untuk dipilahpilahkan. Kompetensi pedagogik tidak akan terwujud jika tidak terkait dengan penguasaan materi pembelajaran baik yang menyangkut perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan potensi peserta didik maupun dengan pemahaman peserta didik, khususnya yang menyangkut perbedaan individual dalam kapasitas dan gaya belajarnya, bahkan juga dengan kemampuan khas ketika berkomunikasi dengan peserta didik dalam interaksi pembelajaran yang dipandu oleh wawasan kependidikan sebagai rujukan kearifan profesional pandidik. Dengan kata lain, antara penguasaan pedagogik dengan penguasaan bidang keilmuan tidak dapat dipisahkan. Kompetensi sosial sebagai kemampuan dosen untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat sekitar, tidak serta merta secara khusus berbicara tentang komunikasi yang khas yang terjadi dalam interaksi pembelajaran. Bentuk komunikasi dan bahasa yang digunakan akan berbeda ketika dosen berkomunikasi dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat, dengan ketika dosen berkomunikasi dengan peserta didik di dalam seting pembelajaran. Bahasa yang digunakan dosen dalam transaksi pembelajaran dibangun secara siklikal mulai dari penyiapan situasi, upaya agar peserta didik merespon baik pertanyaan maupun tugas yang diberikan oleh dosen, merespon peserta didik dan memberi tanggapan balik baik secara individu maupun kelompok berupa penguatan, koreksi atau remidiasi, dan tindak lanjut yang mengarah pada peningkatan kualitas belajar peserta didik. Ragam bahasa yang digunakan dalam pembelajaran tidak sebatas bahasa verbal lisan atau tertulis, tetapi juga bahasa isyarat seperti anggukan kepala, acungan jempol, juga bagaimana dosen memposisikan dirinya di antara peserta didik sebagai strategi penting dalam pengelolaan kelas. Disilah pentingnya dosen memahami dan menguasai keterampilan berbahasa dan berkomunikasi cerdas. Pembelajaran adalah suatu layanan ahli, karena terapannya harus selalu dilandasi oleh suatu keahlian. Mulai dari persiapannya, program pembelajaran disusun mengarah pada pencapaian tujuan utuh pendidikan, kesiapan belajar peserta didik, serta dukungan fasilitas, sarana yang tersedia. Sedangkan dalam implementasinya dosen perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian, karena peserta didik akan mereaksi secara unik terhadap setiap tindakan dosen. Ini berarti bahwa dalam pelaksanaan tugasnya dosen harus selalu waspada memperhitungkan berbagai kemungkinan dampak jangka panjang dari keputusan serta tindakanya demi tercapainya tujuan utuh pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya, dosen yang kompeten harus memahami aspek why sebagai rujukan normatif yang berupa tujuan utuh pendidikan, aspek how sebagai rujukan prosedural dalam melaksanakan pembelajaran, dan aspek when sebagai rujukan kontekstual dalam pengambilan keputusan dan tindakan pembelajaran. Setiap peserta didik memiliki karakteristik jika dilihat dari kemampuannya, gaya belajar dan gaya kognitif, budaya yang melatari sejarah hidupnya, serta motivasi belajarnya, sehingga di dalam mereaksi terhadap setiap tindakan dosen juga akan bersifat unik. Pada dasarnya setiap transaksi pendidikan dan pembelajaran adalah suatu perjumpaan budaya antara pendidik dan peserta didik. Di setiap interaksi pembelajaran baik peserta didik maupun pendidik


menggunakan pola respon yang berbeda-beda yang dipelajari secara alamiah di lingkungan hidupnya masing-masing. Oleh karena itu, di dalam melaksanakan tugasnya sebagai layanan ahli kependidikan seorang dosen di dalam membuat keputusan situasional selain berdasarkan pada pencapaian tujuan utuh pendidikan, aspek-aspek lain seperti materi ajar sebagai substansi kurikuler yang dijadikan konteks proses pembelajaran, kesiapan belajar peserta didik, sarana pendukung yang tersedia dan lainnya, harus dijadikan pijakan dalam melakukan penyesuaian transaksional pembelajaran sesuai dengan peristiwa pembelajaran yang terjadi, untuk diarahkan bagi kemaslahatan peserta didik dalam mencapai tujuan utuh pendidikan. Kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik tidak terbatas pada penerusan informasi (content transmission) sebagaimana yang selama ini banyak dilakukan di dalam praktik-praktik pebelajaran di tanah air, melainkan terutama berupa penyediaan lingkungan pembelajaran yang memfasilitasi pembentukan kemampuan yang utuh dalam diri peserta didik. Untuk itu, kemampuan-kemampuan dan kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik perlu dimodifikasi menjadi : 1. Pengetahuan pemahaman yang diperoleh melalui pengkajian yang dilakukan dalam berbagai bentuk dan konteks. 2. Ketrampilan baik kognitif dan personal-sosial serta psikomotorik yang diperoleh melalui latihan. 3. Sikap dan nilai serta kebiasaan yang diperoleh melalui penghayatan, keterlibatan dan/atau partisipasi aktif dalam peristiwa serta kegiatan yang sarat nilai, sehingga bermuara kepada terbangunya karakter, atau lingkungan belajar yang menggiring peserta didik bukan saja untuk menjawab pertanyaan (answering questions) melainkan juga mempertanyakan jawaban baik yang diajukan oleh rekan rekannya maupun ditemukannya sendiri, bahkan secara lebih mendasar juga mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan yang tengah dibahas. Dengan memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan (acquiring and integrating knowledge), memperluas cakupan serta meningkatkan kecermatan pengetahuan (expanding and refining knowledge) dan menerapkan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully) akan mampu mengembangkan cara berpikir yang produktif. Sedangkan penetapan besaran beban studi dalam kurikulum dilakukan dengan menjabarkan pengalaman belajar yang dipersyaratkan untuk memfasilitasi pembentukan kemampuan yang akan dicapai berdasarkan kerangka pikir yang digunakan dalam merancang kegiatan pembelajaran dengan sistem SKS yaitu teori, praktik dan tugas lapangan ditinjau dari bentuk kegiatannya, serta kegiatan terjadwal, tugas tersetruktur, dan kegiatan mandiri dari segi keterawasannya. Secara lebih rinci, kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik terdiri atas sub-sub kemampuan: 1. Merancang program pembelajaran yang memfasilitasi penumbuhan karakter serta soft skills di samping pembentukan hard skills baik yang terbentuk sebagai dampak langsung dari tindakan pembelajaran (instructional effects) maupun sebagai dampak tidak langsung dari akumulasi pengalaman belajar yang dihayati oleh peserta didik sepanjang rentang proses pembelajaran atau dampak pengiring (nurturant effects) kesemuanya berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan situasional.


2. Mengimplementasikan program pembelajaran dengan kewaspadaan penuh (informed responsiveness) terhadap peluang untuk menjadikan optimasi antara pemanfaatan dampak instruksional dan dampak pengiring pembelajaran yang dibingkai dengan komunikasi cerdas dan wawasan kependidikan sebagai asas pengendali. Semua ini demi tercapainya tujuan utuh pendidikan. 3. Mengases hasil dan proses pembelajaran yang tercapai baik sebagai dampak langsung maupun dampak pengiring proses pembelajaran dalam konteks tujuan utuh pendidikan. 4. Memanfaatkan hasil monitoring, evaluasi dan analisis proses dan hasil pembelajaran untuk perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan.


S I M P U LA N Perubahan lingkungan global dan pendekatan ekonomi pasar berimplikasi pada berkembangnya tuntutan dalam pendidikan kekinian. Perguruan tinggi, kurikulum pembelajaran, Dosen, dan kesiapan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran menjadi aspek yang mempengaruhi kualitas hasil pendidikan. Perguruan tinggi kekinian diperlakukan layaknya perusahaan yang menyediakan produk (pembelajaran) kepada konsumen (peserta didik dan masyarakat). Perguruan tinggi yang menyediakan „produkâ€&#x; yang laku di pasar dinilai lebih layak untuk berkembang, sedangkan perguruan tinggi yang menyediakan „produkâ€&#x; yang tidak laku akan ditinggalkan. Oleh sebab itu, perguruan tinggi dan dosen dituntut selalu memonitor dan mengevaluasi guna mengetahui mutu layanan pendidikan dan menunjukan nilai tambah yang dicapai peserta didiknya. Pekerjaan dosen merupakan pekerjaan yang kompleks dan tidak mudah seiring dengan perubahan besar dan cepat yang didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi, globalisasi dan lingkungan. Dosen tidak lagi sekedar dosen yang hanya mampu mengajar dengan baik melainkan dosen yang mampu menjadi pembelajar dan agen perubahan, dan juga mampu menjalin dan mengembangkan hubungan untuk peningkatan mutu pembelajarannya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, dosen harus dapat memilah antara kemampuan yang terbentuk sebagai hasil langsung pembelajaran (instructional effects) dengan kemampuan termasuk sikap dan nilai yang terbentuk sebagai dampak pengiring (nurtutant effects) sebagai akumulasi pengalaman belajar yang dihayati oleh peserta didik, yang amat berharga dalam pencapaian tujuan utuh pendidikan. Kegiatan pembelajaran dipandang masih jauh dari pencapaian tujuan utuh pendidikan, yaitu mampu menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat di samping menguasai kecakapan hidup (soft skills) serta landasan penguasaan ilmu dan teknologi (hard skills) yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan Indonesia yang menghargai keragaman sebagai perekat integrasi bangsa, di samping meletakkan landasan bagi pembentukan SDM yang tangguh, memiliki daya saing tinggi baik di arena lokal dan nasional maupun di arena regional dan global. Strategi pembelajaran yang berlangsung masih terkesan sebagai misi penerusan informasi. Fakta, konsep, prinsip-prinsip dan nilai-nilai disajikan dalam bentuk lepas tanpa ada kaitannya dengan kehidupan nyata, sehingga belajar tidak bermakna. Dosen perlu menyadari bahwa kurikulum tidak akan langsung membuahkan pembentukan pengetahuan dan pemahaman, ketrampilan baik kognitif dan personal social maupun psikomotorik serta sikap dan nilai, jika tanpa dikemas ke dalam pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang membuka peluang bagi peserta didik untuk secara aktif terlibat dalam proses dan kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu, pembelajaran yang mendidik adalah perancangan pengalaman belajar yang berdampak mendidik, dan bukan penerusan ilmu pengetahuan dan teknologi atau sebagai penerusan informasi (content transmission). Dosen dan peserta didik harus mampu menjadi pembelajar. Selain itu, Kegiatan pengajaran dan pembelajaran yang dilaksanakan harus berlandaskan standar profesional guna menjamin mutu pembelajaran dan memiliki komunikasi baik langsung maupun menggunakan teknologi secara efektif untuk mendukung pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.


PEDAGOGI KRITIS SEBUAH PENDEKATAN PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN KEKINIAN PENDAHULUAN Globalisasi yang telah membuat dunia seolah tanpa batas memicu perbandingan internasional antar perguruan tinggi, kurikulum, metode pembelajaran, dan prestasi peserta didik. Perguruan tinggi didesak untuk unggul dan kompetitif serta dihadapkan pada isu-isu seperti identitas, perbedaan, aturan, hukum, keadilan, modal sosial, dan kualitas hidup. Berbagai perubahan atau krisis lingkungan sosial kemasyarakatan yang terjadi memunculkan kebutuhan pendidikan di perguruan tinggi untuk meningkatkan kepekaan, kesadaran, dan tanggung jawab peserta didik terhadap lingkungan sosial kemasyarakatan. Dunia pendidikan tinggi tengah menghadapi tantangan di tengah perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu yang paling menonjol adalah bidang informasi dan komunikasi. Hal ini seolah membuat dunia semakin sempit karena segala informasi dari penjuru dunia mampu diakses dengan instant dan cepat oleh siapapun dan dimanapun. Permasalahan yang dihadapi manusia semakin kompleks, seperti pemanasan global, krisis ekonomi global, terorisme, rasisme, drug abuse, human trafficking, rendahnya kesadaran multikultural, kesenjangan mutu pendidikan, dan lain sebagainya. Era ini juga ditandai dengan semakin ketatnya persaingan di berbagai bidang antar negara dan antar bangsa. Keseluruhan hal tersebut mengisyaratkan bahwa pada era ini dibutuhkan persiapan yang matang dan mantap baik konsep maupun penerapan untuk membentuk sumber daya manusia yang unggul. Untuk itu, perguruan tinggi dan dosen sebagai unsur yang paling dominan memiliki peran yang tidak ringan dalam upaya peningkatan sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan di era ini yang biasa disebut era revolusi industry 4.0. Di era revolusi industry 4.0 telah terjadi transformasi besar pada aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya yang didorong oleh empat kekuatan besar yang saling terkait yaitu kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi, globalisasi dan lingkungan. Sebagai contoh, kemajuan teknologi komunikasi dan biaya transportasi yang semakin murah telah memicu globalisasi dan menciptakan ekonomi global, komunitas global, dan juga budaya global. Masyarakat industrial berubah menjadi masyarakat pengetahuan. Perubahan lingkungan misalnya pemanasan global telah berdampak pada kebutuhan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan. Kekuatan-kekuatan ini juga berdampak pada dunia pendidikan. Seiring perubahan demografi, peserta didik lebih beragam secara budaya, agama/ keyakinan, dan juga bahasanya. Kemajuan teknologi informasi-intemet telah meningkatkan fleksibelitas dalam pemerolehan ilmu pengetahuan bagi setiap individu baik dosen ataupun mahasiswa sebagai peserta didik. Di era ini, Perguruan tinggi diperlakukan layaknya perusahaan yang menyediakan produk (pembelajaran) kepada konsumennya (peserta didik dan masyarakat). Perguruan tinggi diharapkan memberikan kontribusi pada daya kompetisi ekonomi bangsa. Perguruan tinggi harus „menjual diri merekaâ€&#x;, menemukan „tempatâ€&#x; di pasar dan berkompetisi. Perguruan tinggi dituntut responsif pada komunitas lokal mereka melalui beragam pendekatan yang memungkinkan konsumen memilih layanan pendidikan yang akan mereka beli. Perguruan tinggi diperlakukan sebagai perusahan yang berdiri sendiri, memiliki kewenangan mengelola pendidikan mereka secara mandiri (self managing) dan mempertanggungjawabkan pengelolaannya secara


profesional kepada stakeholders. Perguruan tinggi dituntut berkompetisi untuk memperoleh sumber dana terutama dari masyarakat. Perguruan tinggi yang menyediakan „produkâ€&#x; yang laku di pasar dinilai lebih layak untuk berkembang, dan sebaliknya, perguruan tinggi yang menyediakana „produkâ€&#x; yang buruk – tidak laku akan ditinggalkan. Oleh karena itu, perguruan tinggi, dan dosen dituntut selalu memonitor kinerja pendidikanya untuk mengetahui mutu layanan pendidikan mereka, dan menunjukkan nilai tambah yang dicapai peserta didik. Proses pembelajaran kekinian menekankan pada keefektifan. Menggunakan proses pembelajaran kooperatif yang otentik. Strategi ini juga membantu menguatkan pembelajaran kolektif yang sangat penting untuk menciptakan daya kritis dan kesadaran peserta didik dalam mempersipakan diri menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Perubahan lingkungan dan pendekatan ekonomi pasar berimplikasi pada berkembangnya tuntutan profesionalitas dosen. Dosen harus mampu menjadi pembelajar sepanjang karir untuk peningkatan efektifitas proses pembelajaran seiring dengan perkembangan dan perubahan lingkungan. Dosen harus mengajar berlandaskan standar profesional untuk menjamin mutu pembelajaran dan memiliki komunikasi baik langsung maupun menggunakan teknologi secara efektif dengan peserta didik untuk mendukung pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Peserta didik sekarang ini memiliki keunggulan tersendiri dalam mengakses sumber belajar, sehingga dosen harus mampu meningkatkan kompetensi yang dimiliki agar selaras dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, pengembangan profesi dosen dari aspek kemampuan pedagogi perlu untuk ditingkatkan dengan berbagai strategi dan bentuk kegiatan. Strategi dan bentuk kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pedagogi ini seperti kegiatan seminar, workshop, dan pelatihan-pelatihan yang diselenggrakan oleh lembaga profesi, forum, konsorsium, perguruan tinggi, swasta maupun pemerintah. Pekerjaan dosen merupakan pekerjaan yang kompleks dan tidak mudah seiring dengan perubahan besar dan cepat yang didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan demograsi, globalisasi dan lingkungan. Dosen profesional tidak lagi sekedar dosen yang mampu mengajar dengan baik melainkan dosen yang mampu menjadi pembelajar dan agen perubahan, dan juga mampu menjalin dan mengembangkan hubungan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Melalui kemampuan pedagogi, akan terbangun hubungan profesional dan komunitas pembelajar yang efektif untuk meningkatkan mutu pengajaran dan pembelajaran di perguruan tinggi. Dosen yang memiliki kompetensi pedagogi yang baik, akan mampu memahami karakteristik peserta didik, kemampuan merencanakan pembelajaran, melaksanaan, mengevaluasi hasil pembelajaran, serta kemampuan mengembangan ragam potensi peserta didik serta mampu memanfaatkannya dalam proses pembelajaran. Hal tersebut juga memiliki dampak bahwa dosen harus mampu merubah pola pembelajaran konvensional (teacher centred) menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centred) karena sumber belajar melimpah, sehingga peran pengajar menjadi fasilitator, mediator, motivator sekaligus leader dalam proses pembelajaran. Kompetensi Pedagogi pada dasarnya adalah kemampuan pengajar (dosen) dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi Pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan pengajar dengan profesi lainnya dan akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya. Hal tersebut berimplikasi bahwa seorang dosen harus mampu menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik karena peserta didik memiliki karakter, sifat, dan interes yang berbeda.


Dosen pada abad era ini ditantang untuk melakukan akselerasi terhadap perkembangan informasi dan komunikasi. Kemajuan teknologi informasi telah meningkatkan fleksibelitas dalam pemerolehan ilmu pengetahuan bagi setiap individu baik dosen maupun peserta didik. Konsekuensinya, dosen dituntut mampu mengembangkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Selain itu, tersedia pula informasi pengetahuan yang melimpah. Kondisi ini meningkatkan alternatif pilihan pendidikan bagi masyarakat. Hal ini berimbas pada peningkatan tuntutan mutu pendidikan oleh masyarakat. Dilain sisi, perguruan tinggi dihadapkan pada isu-isu seperti identitas, perbedaan, aturan-aturan/hukum, keadilan, modal sosial, dan kualitas hidup, dan sebagainya. Berbagai perubahan atau krisis lingkungan yang terjadi memunculkan kebutuhan pendidikan di perguruan tinggi untuk meningkatkan kepekaan, kesadaran dan tanggung jawab peserta didik terhadap lingkungan. Penguasaan terhadap karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional dan intelektual. Penguasaan terhadap teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang keilmuan yang diampu. Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang mendidik. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik (Komunikasi cerdas dalam kegiatan pembelajaran). Melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.


PEMBAHASAN A. Pendekatan Pedagogi Kritis dalam Proses Pengajaran dan pembelajaran Pedagogi sebagai metode pengajaran, didalamnya terkandung berbagai teori tentang pendidikan, pengajaran serta beragam pandangan tentang manusia dan hubungan antar manusia. Henry Giroux Dengan teorinya tentang pedagogi kritis, hendak memperluas makna pedagogi menjadi paradigma kehidupan, yakni pandangan yang dianut seseorang secara mendalam di dalam melihat hubungannya dengan dunia dan orang lain. Paradigma pendidikan sekarang ini, peserta didik dilihat sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah untuk mengejarkan sesuatu. nilai, etika dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dijauhkan dari model pengajaran dan kurikulum pendidikan. Pedagogi kritis ala Giroux, pada dasarnya, hendak menantang semua bentuk pendidikan yang melihat pedagogi semata sebagai cara dan alat didik, guna memberikan keterampilan tertentu. Dalam konteks ini, pedagogi dilihat sebagai sesuatu yang bersifat bebas kepentingan, obyektif dan universal. Artinya, ia bisa digunakan kapanpun, untuk siapapun dan dimanapun. Paradigma pedagogi bersikap kritis, artinya sikap kritis yang dibarengi oleh dua hal, yakni keluasan wawasan dan kepekaan moral. Wawasan yang luas, dalam arti adalah kemampuan untuk melihat sebuah persoalan dalam kaitan dengan persoalan-persoalan lainnya. Dasarnya adalah kesadaran akan kesalingterhubungan dari segala sesuatu. Ini tentunya dibarengi dengan kepekaan moral, yakni kemampuan untuk membuat penilaian baik dan buruk terhadap suatu peristiwa dengan dasar-dasar yang masuk akal. Dengan perpaduan antara sikap kritis, keluasan wawasan serta kepekaan moral, pedagogi kritis lalu bisa menjadi inspirasi bagi pendidikan, pengajar, peserta didik untuk mendorong keterlibatan sosial, dan membawa perubahan di dalam masyarakat. Pedagogi kritis bisa menjadi alat untuk membangun kesadaran dan mendorong perubahan sosial secara luas. Pengetahuan pun tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral, melainkan dalam hubungan dengan kekuasaan serta struktur sosial yang sudah ada di masyarakat. Di titik ini, peserta didik dilihat sebagai manusia yang bebas dan mampu terlibat di dalam perubahan maupun pembentukan struktur sosial yang baru. B. Pedagogi Kritis menurut Henry A. Giroux Banyak ahli pendidikan yang mengharapkan, supaya Indonesia melakukan reformasi pendidikan. Namun, konsep ini, yakni reformasi pendidikan, tetap tidak jelas. Menurut Giroux, secara global, konsep reformasi pendidikan biasanya justru diajukan untuk mengubah pendidikan menjadi semakin tidak kritis. Yang kemudian terjadi, pendidikan menjadi semakin otoriter, sehingga membunuh kebebasan dan kesempatan bertanya, serta menciptakan ketidakpedulian terhadap segala permasalahan yang terjadi. Pedagogi kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Giroux, hendak melawan kecenderungan semacam itu. Di dalam pandangan ini, pendidikan dilihat sebagai sesuatu yang amat penting di dalam pengembangan demokrasi. Demokrasi tidak akan dapat terbentuk, tanpa adanya budaya pendidikan yang mampu mendorong semua warga untuk berpikir kritis, reflektif, berwawasan luas, mampu membuat penilaian moral yang seimbang, serta bertindak dengan memperhatikan tanggung jawab sosial.


Menurut Giroux, pedagogi kritis sebagai praktek moral dan politis melakukan lebih dari sekedar penekanan terhadap analisis kritis dan penilaian moral.� Pedagogi kritis, tambahnya, menawarkan pisau untuk melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman, merumuskan pandangan baru tentang manusia dalam : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Demokrasi Budaya Berpikir Kritis Reflektif Wawasan Luas Penilaian Moral yang Seimbang Tindakan dan Tanggung Jawab Sosial

Pedagogi kritis menjadi semakin penting, ketika lingkungan social kemayarakatan mengalami perubahan begitu drastis yang berdampak pada perilaku, pergaulan, penindasan dan ketidakadilan di masyarakat. Dalam kondisi semacam itu, banyak orang tak memiliki kesempatan untuk menentukan hidupnya sendiri, dan ikut mengatur masyarakatnya. Pendek kata, ia tidak dapat mengekspresikan kemanusiaannya secara penuh. Dalam masyarakat semacam ini, menurut Giroux, pedagogi kritis bisa menjadi alat untuk membangun kesadaran dan mendorong perubahan sosial secara luas. Ia adalah sebentuk tindakan teoritis sekaligus politis untuk memahami serta mengubah masyarakat. Pendidikan sekarang ini, peserta didik dilihat sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah untuk mengejarkan sesuatu. Soal-soal keadilan sosial, nilai, etika dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dijauhkan dari model pengajaran dan kurikulum pendidikan. Giroux, pada dasarnya, hendak menantang semua bentuk pendidikan yang melihat pedagogi semata sebagai cara dan alat didik, guna memberikan keterampilan tertentu. Dalam konteks ini, pedagogi dilihat sebagai sesuatu yang bersifat bebas kepentingan, obyektif dan universal. Artinya, ia bisa digunakan kapanpun, untuk siapapun dan dimanapun. Pedagogi kritis adalah hasil dari keterlibatan sosial tertentu yang tertanam pada sebuah konteks masyarakat tertentu. Pengetahuan pun tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral, melainkan dalam hubungan dengan kekuasaan serta struktur sosial yang sudah ada di masyarakat. Di titik ini, peserta didik dilihat sebagai manusia yang bebas dan mampu terlibat di dalam perubahan maupun pembentukan struktur sosial yang baru. Pendidikan, bagi Giroux, bukan hanya membantu peserta didik untuk menemukan kerja, tetapi juga terlibat di dalam proses pembentukan masyarakat demokratis secara menyeluruh. Di dalam masyarakat semacam ini, nilai-nilai keadilan dan kebebasan menjadi nyata di dalam keseharian. Maka, pedagogi tidak bisa dilepaskan dari politik, terutama dalam proses pembentukan manusia-manusia yang kritis dan mau terlibat di dalam proses pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Di berbagai belahan dunia, kini pendidikan dilihat sebagai barang mewah. Pendidikan bermutu menjadi amat mahal, sehingga hanya segelintir orang kaya yang bisa menikmatinya. Pendidikan untuk umum kerap kali jatuh pada birokasi dan formalisme belaka yang membunuh kebebasan dan kreativitas. Pedagogi kritis dapat ditempatkan sebagai sebuah tanggapan kritis atas keadaan ini.


Pedagogi kritis hendak membuka semua bentuk penindasan budaya dan ekonomi yang membuat lembaga pendidikan menjadi terkungkung dan kaku dalam menyikapi perkembangan dan perubahan zaman. Di dalam lembaga pendidikan sekarang ini, nilai-nilai konsumtivisme dan kompetisi menjadi nilai-nilai utama, sementara nilai solidaritas dan pentingnya komunitas terpinggirkan. Harapan lembaga pendidikan sebagai tepat perjuangan dan pemicu perubahan sosial. Ia bergerak di antara dua titik, yakni kritik (critique) terhadap keadaan masyarakat, sekaligus harapan (hope) untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Kritik adalah bagian penting dari pedagogi kritis. Dalam arti ini, kritik adalah sebuah penyelidikan menyeluruh terhadap sebuah fenomena sosial, termasuk budaya, institusi, ideologi dan pola hubungan sosial yang ada. Secara sederhana dapat dikatatakan, menurut Giroux, pedagogi kritis hendak melakukan kritik terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi di dalam masyarakat, baik dalam bentuk penindasan ekonomi, politik, pendidikan maupun budaya. Contoh paling nyata adalah soal kritik terhadap pendidikan. Seringkali, pendidikan dilihat sebagai tempat membentuk manusia sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Oleh sebab itu, budaya yang dikembangkan adalah budaya kepatuhan dan ketakutan. Pedagogi kritis hendak mempertanyakan hal ini, sekaligus melihat kemungkinan terjadinya perubahan mendasar ke arah kebebasan, keadilan, kesetaraan dan harapan. Dari kaca mata ini, lembaga pendidikan bukanlah tempat persiapan karyawan-karyawan perusahaan, melainkan sebagai ruang publik demokratis, dimana nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan dan harapan dibentuk dan dilestarikan. Pedagogi kritis juga memiliki sisi lain, yakni sisi harapan dan kemungkinan. Dasar dari harapan dan kemungkinan ini adalah demokrasi itu sendiri yang berpijak pada kesetaraan dan kebebasan. Dua hal ini pula, yakni kebebasan dan kesetaraan, yang seringkali dikorbankan di dalam penerapan pedagogi tradisional. Pedagogi kritis mendorong peserta didik berpikir kritis dengan kebebasan dan tanggung jawab. Pedagogi tidak boleh menjadikan peserta didik sekedar penerima pasif dari materi ajar yang berpijak pada kepatuhan buta. Dengan ketrampilan berpikir kritis, yang berpijak pada kritik dan harapan, lembaga pendidikan akan menjadi tempat untuk melatih peserta didik berbudaya, berpikir Kritis, reflektif, mengembangkan wawasan, moral dan tanggung Jawab social. Pedagogi kritis pun berubah menjadi pendorong peserta didik untuk terlibat di dalam perubahan sosial ke arah kebebasan, demokrasi dan kesetaraan. Dari sudut pandang pedagogi kritis, lembaga pendidikan bukan hanya tempat untuk menyampaikan pengetahuan dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Lebih dari itu, lembaga pendidikan adalah tempat untuk mempertanyakan asal pengetahuan, terutama hubungan-hubungan di masyarakat yang menciptakan pengetahuan dan nilai-nilai yang ada. Dengan pola ini, pedagogi kritis menjalankan misi pendidikan yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Paolo Freire, yakni pendidikan sebagai pembebasan dan penyadaran. Pembebasan, dalam arti ini, dipahami sebagai pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan. Sementara, penyadaran, dalam arti ini, dipahami sebagai penyadaran orang akan posisinya di dalam masyarakat, termasuk hubungan-hubungan sosial yang membentuk dan melingkupinya. Pedagogi kritis memiliki kaitan erat dengan politik dan lingkungan. Dengan membenturkan pendidikan, politik, dan lingkungan peserta didik diajarkan untuk melihat keadaan secara kritis. Dari pemahaman kritis


ini, mereka lalu bisa terlibat secara bertanggungjawab di dalam melakukan perubahan sosial yang dibutuhkan. Untuk itu diperlukan kemampuan mengaitkan antara tantangan pribadi dengan tantangan sosial secara luas, karena keduanya memang tak terpisahkan. Misalnya, pergulatan seorang pribadi untuk mencari pekerjaan terkait dengan isu pertumbuhan ekonomi serta tata kelola ekonomi yang dilakukan pemerintah secara umum. Kesulitan seorang mahasiswa membayar uang kuliah terkait dengan tata kelola institusi pendidikan secara umum, termasuk paradigma pendidikan nasional yang digunakan negara terkait. Dalam arti ini, yang privat tidak pernah bisa dilepaskan dari yang publik. Pedagogi kritis juga menyentuh persoalan identitas, terutama identitas peserta didik sebagai manusia yang mampu terlibat di dalam pembentukan struktur social yang melingkupi kehidupannya. Kemampuan ini disebut juga sebagai kemampuan agensi. Pedagogi kritis hendak mengembangkan kemampuan agensi ini yang sebenarnya sudah selalu dimiliki oleh peserta didik, namun tertutup oleh paradigma pedagogi tradisional yang membunuh kreativitas dan kebebasan. Agensi, sebagai konsep identitas yang aktif mencipta, adalah inti utama dari semua gerakan sosial yang menuntut perubahan sosial ke arah terciptanya masyarakat yang lebih bebas, adil, makmur dan setara. Pandangan tentang peserta didik sebagai mahluk yang aktif mencipta (agensi) ini juga memiliki dampak epistemologis. Di dalam pedagogi tradisional, pengetahuan adalah sebuah kepastian yang harus dihafal dan dikuasai. Sementara itu, di dalam pedagogi kritis, pengetahuan adalah sesuatu yang mesti diolah, sebelum dipercaya begitu saja. Pengolahan terjadi melalui pertanyaan dan pembuktian terlebih dahulu. Dengan pola ini, pengetahuan yang ada bisa mendorong peserta didik menjadi warga negara yang terlibat secara aktif, yang siap mempertanyakan segala bentuk informasi yang tersebar luas di masyarakat. Namun, bukan hanya mempertanyakan, para peserta didik tersebut lalu mampu membuat penilaian moral yang seimbang terkait dengan keadaan yang ada, dan bertindak sesuai kebutuhan. Di titik ini, pedagogi kritis terkait langsung dengan unsur terpenting beragam gerakan sosial di dunia yang ingin mewujudkan perubahan sosial, yakni tanggung jawab moral. Pada akhirnya, tujuan tertinggi dari pedagogik kritis adalah membantu peserta didik untuk menjalani hidup yang bermakna. Di dalam hidup ini, mereka mampu mempertanyakan segala bentuk hubungan kekuasaan yang ada, dan membuatnya berfungsi untuk menciptakan kebaikan bersama (common good). Dengan pedagogi kritis, peserta didik juga dididik untuk memiliki kemampuan, pengetahuan serta keberanian untuk mempertanyakan segala kebiasaan lama yang sudah dilakukan. Itu semua dilakukan untuk membentuk dunia yang lebih adil, bebas dan setara. Oleh karena itu, pedagogi kritis adalah pendekatan yang berakar pada konteks sosial dan sejarah sebuah komunitas tertentu. Pedagogi kritis terkait amat erat dengan cita-cita demokrasi yang sejati, dimana setiap warga negara mampu dan mau terlibat di dalam setiap pembuatan kebijakan yang terkait dengan hidup bersama. Giroux juga mengamati, bahwa dunia pendidikan global sekarang ini telah mengalami proses komodifikasi. Artinya, pendidikan menjadi barang dagangan dengan tujuan utama mencari dan mengembangkan


keuntungan ekonomis. Segala tujuan lain disingkirkan, demi tujuan tersebut. Pedagogi kritis tentu ingin menanggapi kecenderungan yang merugikan pendidikan ini. Kecenderungan komodifikasi pun tidak hanya terjadi di pendidikan, tetapi di seluruh bidang kehidupan. Kebudayaan, sebagai ekspresi kehidupan dan peradaban tinggi, kini dilihat semata sebagai barang yang bisa diperjualbelikan, guna mencapai keuntungan ekonomis. Inilah yang kiranya disebut Herbert Marcuse sebagai manusia satu dimensi, ketika dimensi ekonomi menjadi keseluruhan ukuran dari kehidupan itu sendiri. Di dalam ranah ekonomi yang berpijak pada neoliberalisme, ini juga disebut kecenderungan homo oeconomicus, yakni ketika seluruh tata kelola ekonomi didasarkan pada motif untuk mencari keuntungan dari manusia, yang sebenarnya hanya merupakan satu sisi dari dirinya.Untuk menanggapi kecenderungan komodifikasi budaya, Giroux kemudian mengembangkan kosep pedagogi publik (Public Pedagogy). Dalam arti ini, pedagogi tidak lagi melulu ditempatkan di dalam ranah pendidikan, tetapi juga ranah budaya sebagai keseluruhan. Budaya populer, yang seringkali tampil di dalam media umum, pun dilihat tidak hanya sebagai alat hiburan, melainkan juga alat pendidikan. Beragam informasi dan pengetahuan disebarkan ke masyarakat, guna membantu hidup mereka. Beragam kecenderungan yang merusak, seperti komodifikasi pendidikan dan budaya, ditanggapi secara kritis, dan dicari jalan keluarnya. Gejala komodifikasi ini sebenarnya adalah satu bagian dari gejala yang lebih luas, yakni menyebarnya neoliberalisme. Dalam arti ini, neoliberalisme adalah versi ekstrem dari fundamentalisme pasar, dimana segala bentuk peraturan yang menata kehidupan ekonomi dihilangkan, sehingga hukum rimba ekonomi bisnis bisa berjalan tanpa halangan. Ilusi yang diharapkan adalah, bahwa kemakmuran bisa tercipta dari proses ini. Neoliberalisme juga akan secara langsung membunuh segala bentuk dialog dan pemikiran kritis tentang perubahan sosial. Dialog dan pemikiran kritis hanya akan digunakan untuk menemukan cara-cara baru menciptakan dan memasarkan barang atau jasa tertentu. Yang lebih parah, orang-orang yang menerapkan pedagogi kritis dan pedagogi publik di dalam keseharian mereka justru disingkirkan dari berbagai organisasi dan institusi, terutama yang terkait dengan pendidikan. Pendidikan, dan tata kelola kehidupan bersama, pun berubah menjadi semata-mata upaya untuk menciptakan kepatuhan khas seorang pekerja yang rajin, tanpa sikap kritis dan keterlibatan untuk perubahan sosial. Lembaga dan pendidikan pun tidak lagi membicarakan soal hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat, melainkan justru mengabdi pada penguasa yang ada, tanpa tanya. Pada titik ini, lembaga pendidikan dan sistem pendidikan secara umum menjadi semacam penjara bagi dosen dan peserta didik. Mereka tidak dapat terlibat di dalam menentukan kebijakan pendidikan yang paling tepat untuk perkembangan peserta didik. Pekerjaan mereka diisi dengan administrasi dan birokrasi yang tidak ada hubungan langsung dengan dunia pendidikan sebagai keseluruhan. Fokus mereka pun hanya membentuk manusia-manusia patuh yang pandai menyelesaikan tes dan tugas, seperti robot-robot yang tak berpikir. Pendidikan pun disempitkan semata untuk memenuhi kepentingan bisnis dan industri, serta mengabaikan tujuan-tujuan pendidikan lainnya yang lebih dalam dan lebih luas. Tugas menghafal dihargai lebih tinggi dari pada analisis dengan menggunakan pemikiran kritis. Kepatuhan dihargai lebih tinggi dari pada


kreativitas. Kompetisi untuk menjatuhkan lawan dihargai lebih tinggi, daripada kerja sama yang berpijak pada solidaritas. Walaupun merusak dan merugikan banyak pihak, pola pendidikan semacam ini terus diterapkan, tanpa adanya sikap kritis. Peserta didik dilihat sebagai konsumen atau klien yang memiliki banyak uang. Sementara, anak-anak miskin kerap kali kesulitan mendapatkan pendidikan bermutu, bahkan tidak mendapat pendidikan sama sekali. Akibatnya, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, terjebak di dalam rantai kriminalitas, sehingga harus menjadi penghuni tetap penjara. Inilah rantai sebab akibat yang mendorong meningkatnya kemiskinan dan kriminalitas di berbagai tempat. Rantai sebab akibat yang sama bisa dirunut untuk melihat akar penyebab dari menyebarnya radikalisme, fanatisme dan fundamentalisme di berbagai tempat, terutama sebagai reaksi keras terhadap neoliberalisme di bidang pendidikan. Inilah yang disebut Giroux sebagai pedagogi neoliberal, dimana pendidikan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan penumpukan keuntungan ekonomis. Untuk itu, segala bentuk pemikiran kritis pun dikekang, dan pemikiran tradisional konservatif dikembangkan menjadi bagian dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Salah satu bentuk pemikiran tradisional konservatif berkembang dari ajaran agama yang ditafsirkan secara tradisional. Inilah yang terjadi di Indonesia, yakni formalisme agama yang menggerogoti sistem pendidikan nasional, serta membunuh segala bentuk pemikiran kritis. Di dalam suasana pendidikan semacam ini, segala bentuk pertanyaan dan pencarian kritis dianggap sebagai sesuatu yang tak bermoral, bahkan menghina agama serta tradisi. Di dalam pedagogi neoliberal, akal budi digunakan hanya untuk satu tujuan, yakni mengumpulkan keuntungan ekonomis, berapapun harga yang harus dibayar. Akal budi dijadikan alat justru untuk tujuantujuan yang tidak masuk akal. Ini kiranya sejalan dengan analisis yang dibuat oleh Sekolah Frankfurt tentang akal budi instrumental (instrumentelle Vernunft). Tidak hanya pendidikan, neoliberalisme juga menghantam pola hidup masyarakat secara umum. Warga negara dilihat semata sebagai calon konsumen yang siap membeli barang, tanpa pertimbangan kritis. Pendidikan politik masyarakat pun tidak berjalan, karena ruang publik dipenuhi dengan iklan yang menggoda hasrat membeli yang nyaris tak terbatas. Pembicaraan tentang demokrasi pun semakin sedikit, dan menjadi semakin tak beradab. Demokrasi hanya dilihat sebagai cara untuk merebut kekuasaan dengan menggiring suara rakyat melalui penipuan dan penyebaran ketakutan. Ciri khas dari pedagogi kritis, menurut Giroux, adalah kepekaannya terhadap segala bentuk permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Khusus di abad 21, pedagogi kritis hendak mengajukan sikap kritis terhadap dua hal, yakni kecenderungan totalitarisme di dalam masyarakat dengan menggunakan identitasidentitas primordial, dan kecenderungan menyebarnya pola pikir neoliberalisme, seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, secara khusus, pedagogi kritis hendak memperjuangkan kepentingan kaum muda sebagai generasi pelanjut masa depan bangsa yang masih memiliki banyak kemungkinan untuk menjadi pendorong perubahan sosial. Pedagogi kritis menyediakan konsep-konsep yang diperlukan untuk berpikir kritis di dalam menyingkapi keadaan masyarakat yang ada, termasuk hubungan-hubungan sosial yang berada di


belakangnya. Dengan inilah pedagogi kritis dapat memperkaya paradigma sekaligus sistem pendidikan yang sudah ada. Pedagogi neoliberalisme telah membunuh pendidikan, begitu kata Giroux. Ia telah membuat peserta didik menjadi semacam zombie, yakni manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya, walaupun belum mati sepenuhnya. Seluruh sistem pendidikan, termasuk politik dan ekonomi di belakangnya, telah mendorong orang untuk menjadi zombie. Walaupun begitu, lanjut Giroux, harapan masih ada. Pedagogi kritis bisa menjadi sudut pandang baru untuk menantang tersebarnya pedagogi neoliberal. Ia bisa menjadi tolok ukur akan apa arti dari pendidikan sesungguhnya. Ia tidak mengikuti secara buta perhitungan matematis untuk mengukur kompetensi peserta didik. Ia menggunakan, sekaligus melampaui itu semua. Pedagogi kritis hendak membangun kemanusiaan dalam bentuk pemikiran kritis dan kepekaan moral di dalam menilai keadaan, serta bertindak. Semua ini adalah sumber dari solidaritas dan gerakan sosial untuk menciptakan perubahan sosial yang mengarah pada kebaikan bersama. Indonesia juga sudah cukup lama menyaksikan tersebarnya pola pikir neoliberalisme di berbagai ranah kehidupan. Politik diperjualbelikan layaknya dagangan di pasar. Hampir setiap hari, rakyat menyaksikan berita korupsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Diskusi tentang demokrasi pun tertutup oleh fanatisme dan radikalisme. Pelajar dan mahasiswa menjadi apolitis, karena dididik untuk mengabdi kepentingan pasar dan bisnis semata. Semua bentuk pemikiran dan pertanyaan kritis justru ditakuti, bahkan hendak dihancurkan atas nama kepatuhan buta terhadap apa kata penguasa, baik penguasa politik, agama maupun penguasa bisnis. Dalam hidup sehari-hari, hukum rimba pun menjadi hukum utama. Siapa yang kaya dan berkuasa, dia yang akan selamat. Mereka yang miskin dan tak punya kuasa akan terus hidup dalam kemiskinan, dan menjadi korban. Sebagai sebuah ideologi, neoliberalisme melihat kompetisi sebagai jalan bagi tata kelola hidup bersama. Orang memikirkan keselamatan dirinya sendiri, dan jika perlu mengorbankan orang lain, demi keselamatannya. Kreativitas dan pikiran kritis hanya diterapkan untuk mengembangkan produk baru yang lalu dijual di dalam iklim ekonomi pasar yang sangat kompetitif dan individualis. Nilai-nilai luhur kehidupan, seperti solidaritas dan kemanusiaan, disingkirkan, demi penumpukan keuntungan yang tanpa batas. Dalam arti ini, pendidikan berubah menjadi sekedar budak dari ekonomi dan bisnis. Pendidikan pun dinilai dengan menggunakan tes-tes tak masuk akal, guna disesuaikan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan individual. Sayangnya, pola pendidikan semacam inilah yang diikuti di Indonesia. Paradigma pendidikan neoliberal, sebagaimana dijabarkan oleh Giroux, amat menekankan kemampuankemampuan untuk memenangkan kompetisi di dalam dunia bisnis. Seluruh proses pendidikan pun ditentukan oleh tiga hal, yakni sistematisasi pembelajaran, hafalan mutlak dan tes-tes yang wajib terus dilakukan. Peserta didik dilihat sebagai mesin-mesin yang harus patuh pada perintah pengajarnya. Pola semacam ini jelas membunuh budaya berpikir kritis, sistematis dan keterlibatan di dalam perubahan sosial yang justru amat diperlukan di dalam perkembangan masyarakat demokratis. Peserta didik yang tidak dapat menjalankan proses ini dianggap sebagai bodoh, sehingga perlu menjalankan beberapa prosedur terapi khusus untuk menjinakannya.


Di dalam masyarakat neoliberal semacam ini, nilai seorang manusia diukur dari daya belinya. Jika ia miskin dan tak memiliki daya beli yang kuat, ia dianggap sebagai warga negara kelas dua. Jika seseorang berhasil menjadi kaya secara ekonomis, ia lalu dilihat sebagai tokoh masyarakat yang berpengaruh. Kekayaan pun dilihat sebagai melulu hasil dari usaha pribadi. Sebab-sebab struktural yang melahirkan kekayaan dan kemiskinan diabaikan. Ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang ada. Secara luas, nilai-nilai hidup bersama, seperti solidaritas dan demokrasi, pun terkikis. Nilai-nilai pribadi, seperti kompetisi, kemenangan dan kekayaan ekonomi diri, menjadi hal-hal yang dianggap berharga di masyarakat. Hal yang sama kiranya terjadi di dunia pendidikan. Pedagogi neoliberal melepaskan nilai-nilai hidup bersama dari isi dan cara pengajaran. Pada akhirnya, menurut Giroux, pendidikan haruslah menyadarkan peserta didik tentang identitasnya. Dalam arti ini, identitas bukanlah sesuatu yang langsung selesai, melainkan selalu dalam proses pembentukan yang berkelanjutan. Di dalam proses ini, pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara diri dan lingkungan sekitar menjadi amat penting. Sikap peka terhadap keadaan sekitar, dan upaya untuk terlibat aktif di dalam perubahan sosial, menjadi bagian dari proses pembentukan identitas. Pedagogi kritis juga bukanlah upaya untuk menemukan kebenaran dan membentuk pengetahuan semata. Ia bergerak lebih jauh untuk mendorong orang menjadi peka dan kritis terhadap keadaan sekitarnya, dan terlibat di dalam upaya untuk mendorong terciptanya kebaikan bersama. Dalam arti ini, pedagogi kritis merupakan sebuah tindakan moral sekaligus tindakan politik. Pendidikan selalu lahir dari konteks sosial tertentu. Pendidikan juga bisa berfungsi dua hal, yakni memberi dasar pembentukan pengetahuan, dan mengajarkan sikap kritis terhadap konteks sosial yang menjadi latar belakang pengetahuan tersebut. Dari dua hal ini, tentu saja pendidikan tetap harus melakukan analisis tentang hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Hanya dengan begini, pendidikan lalu bisa menawarkan cara pandang baru yangmampu mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Disinilah pentingnya pendidikan sebagai agen pembentuk masa depan. Tanpa upaya untuk mempertanyakan keberadaan struktur sosial yang ada secara kritis, pendidikan justru melestarikan keadaan sekarang, sekaligus membenarkan hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak adil. Giroux jelas mendapatkan banyak inspirasi dari Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan asal Brasil. Di dalam kaca mata Freire, pendidikan haruslah dibalut dengan keberanian intelektual dan politis (Moral and Intellectual Courage). Inilah jantung hati dari pedagogi kritis yang dirumuskan juga oleh Freire sebelumnya. Pendidikan adalah soal politis. Yang pribadi dan yang politis tidaklah bisa dipisahkan secara hitam putih. Sebagai bagian dari dunia pendidikan, kaum intelektual juga memiliki tanggung jawab politis (Political Responsibility). Mereka tidak bisa netral dan memilih berdiam diri di dalam bidang keilmuannya. Dengan didorong oleh kepekaan moral dan ketajaman analisis, mereka terlibat di dalam berbagai upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama di dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dan gerakan sosial pun lalu terhubung untuk mendorong perubahan sosial. Ini menjadi amat penting di abad 21, ketika ilmu pengetahuan digunakan semata sebagai alat untuk menindas dan menjajah.


C. Pedagogi Kritis untuk Pendidikan Indonesia Ada dua tanggapan kritis yang bisa diberikan kepada pemikiran Giroux. Pertama, konsep pedagogi kritis mengandaikan berkembangnya budaya tertentu, yakni budaya masyarakat rasional yang terdiri dari wargawarga yang mampu berpikir mandiri dan kritis. Ini menjadi sulit diterapkan di dalam budaya kolektif, dimana pemikiran kritis dan rasional dianggap mengancam keutuhan kelompok. Di dalam masyarakat semacam ini, harmoni lebih dihargai daripada diskusi maupun perdebatan yang membangun. Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, beberapa kelompok masyarakat di Indonesia masih amat mendewakan keutuhan kelompok dan harmoni. Ini tentu tantangan tersendiri di dalam penerapan pedagogi kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Giroux. Ada lima catatan yang kiranya bisa diberikan kepada pemikiran Giroux, terutama dalam konteks pendidikan di Indonesia. 1. Indonesia pun mengalami tersebarnya pedagogi neolliberal di dalam pendidikan. Pendidikan pun disempitkan menjadi semata pengajaran kemampuan-kemampuan untuk menang di dalam kompetisi bisnis. Nilai-nilai luhur pendidikan, seperti kemanusiaan, sikap kritis, kepekaan moral, keterlibatan sosial dan demokrasi, pun terpinggirkan. Di dalam alam pikir neoliberalisme, uang dan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran bagi semua bidang kehidupan manusia. 2. Di Indonesia, pendidikan juga dijajah oleh formalisme agama, yakni pemahaman agama yang terjebak pada ritual dan aturan-aturan buta, tanpa pemahaman akan inti dari agama tersebut. Pendidikan formalistik religius semacam ini jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Yang tercipta justru sebaliknya, yakni manusia-manusia yang berpikir tertutup, ketinggalan perubahan jaman, fanatik dan cenderung intoleran di dalam banyak hal. Jika tidak ditanggapi secara kritis, pola pendidikan semacam ini justru menghancurkan mental dan pola pikir para peserta didik. 3. Menyebarnya paham fundamentalism agama dan fundamentalisme ekonomi di dalam pendidikan membuat dunia pendidikan di Indonesia kehilangan nilai-nilai luhurnya. Peserta didik dibentuk menjadi orang yang patuh buta terhadap kekuasaan. Ia cerdas dan kreatif di dalam mematuhi perintah yang diberikan oleh para penguasa politik dan pemilik modal. Ia pun hanya peduli pada penumpukan kekayaan semata, dan menjadi tidak peduli terhadap beragam permasalahan sosial yang mengancam keutuhan hidup bersama. Dengan kata lain, pendidikan telah kehilangan roh sejatinya, dan menjadi semata pengajaran kepatuhan buta terhadap penguasa. 4. Melihat keadaan Indonesia sekarang ini, pemikiran Giroux tentang pedagogi kritis jelas amat dibutuhkan. Pedagogi kritis adalah paradigma pendidikan sekaligus kehidupan yang menekankan sikap kritis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang membentuk masyarakat. Sikap kritis ini dibarengi dengan wawasan luas serta kepekaan moral yang menuntut pada tindakan nyata yang membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Baik dalam arti ini adalah kebaikan bersama, dimana setiap orang bisa hidup secara bebas dalam kemakmuran dan keadilan bersama. Pedagogi kritis bergerak melampaui pedagogi tradisional yang bersifat netral dan menuntut kepatuhan buta terhadap penguasa politik maupun ekonomi yang sudah ada.


5. Pedagogi kritis juga bisa berperan besar di dalam pengembangan demokrasi di Indonesia. Masyarakat demokratis membutuhkan warga yang mampu berpikir kritis dan rasional, guna menyingkapi berbagai persoalan yang muncul di dalam hidup bersama. Demokrasi mengandaikan warga negara yang cukup mampu membuat keputusan dan mengolah informasi secara kritis dan rasional. Ini lalu dibalut dengan kepekaan moral, wawasan yang luas serta keberanian untuk terlibat di dalam perubahan sosial. Tanpa ini semua, demokrasi di Indonesia tidak akan berjalan, dan akan terjebak pada berbagai bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme, seperti yang banyak disaksikan sekarang ini.


SIMPULAN Globalisasi yang telah membuat dunia seolah tanpa batas memicu perbandingan internasional antar perguruan tinggi, kurikulum, metode pembelajaran, dan prestasi peserta didik. Perguruan tinggi didesak untuk unggul dan kompetitif serta dihadapkan pada isu-isu seperti identitas, perbedaan, aturan, hukum, keadilan, modal sosial, dan kualitas hidup. Berbagai perubahan atau krisis lingkungan sosial kemasyarakatan yang terjadi memunculkan kebutuhan pendidikan di perguruan tinggi untuk meningkatkan kepekaan, kesadaran, dan tanggung jawab peserta didik terhadap lingkungan social kemasyarakatan. Paradigma pendidikan sekarang ini, peserta didik dilihat sebagai robot-robot patuh yang siap diperintah untuk mengejarkan sesuatu. nilai, etika dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dijauhkan dari model pengajaran dan kurikulum pendidikan. Pedagogi kritis ala Giroux, pada dasarnya, hendak menantang semua bentuk pendidikan yang melihat pedagogi semata sebagai cara dan alat didik, guna memberikan keterampilan tertentu. Giroux menawarkan perubahan paradigma di dalam konteks pendidikan dari pedagogi tradisional yang bersifat netral dan universal menuju pedagogi yang bersifat kritis dan kontekstual. Pedagogi tradisional cenderung berpihak pada penguasa politik dan ekonomi yang ada. Sementara, pedagogi kritis memetakan hubungan-hubungan kekuasaan yang ada, sehingga bisa mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih terbuka, bebas dan adil. Tidak berhenti disitu, pedagogi kritis juga mengembangkan wawasan dan kepekaan moral di dalam memahami keadaan sosial. Ini semua menjadi bekal bagi keterlibatan sosial peserta didik di dalam proses perubahan sosial. Kritik utama pedagogi kritis, menurut Giroux, adalah pola pikir neoliberalis yang menempatkan ekonomi sebagai ukuran bagi segala sesuatu di dalam hidup. Dengan melihat keadaan Indonesia, serta beberapa ide dasar dari pedagogi kritis, maka dapatlah disimpulkan, bahwa pedagogi kritis amat cocok diterapkan di Indonesia.


REFERENSI Akhmad Sudrajat, 2008. Landasan Pengembangan http://ayahalby.wordpress.com/2011/02/23/dasar-pengembangan-kurikulum/

Kurikulum.

Amstrong, T. 1994. Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria: ASCD 19 Dwi Esti Andriani 2010, Mengembangkan Profesionalitas Dosen Abad 21 hal. 78-92 Manajemen Pendidikan Bartell, Carol A. (2005). Cultivating high-quality teaching through induction and mentoring. California: Corwin Press. B. Herry Priyono. (2007). Sesudah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Castetter, W.B. (1996). The Personnel Function in Education Administration Sixth Edition. New York: MacMillan Publishing Co. Daeng Sudiro. 2002. Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol.01. No.1:72-29 Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Bebasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang _____. 2003 Kegiatan Belajar Mangajar Yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang. _____. 2003Penilaian Kelas; Pelayan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang. Daresh, J. (2003). Teachers mentoring teachers. A practical approach to helping new and experienced staff. California: Corwin Press, Inc. Darling, Linda., H. (2006). Constructing 21st century teacher education. Journal of teacher education, 57. 300-314. Ditjen Dikti. 2003. Higher Education Long-Term Strategy 2003-2010. Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dit P2TK-KPT 2005. Pendidikan Profesi. Jakarta: Dit P2TK-KPT Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Engstrom M. E. & Danielson, L. M. (2006). Teachersâ€&#x; perceptions of an on-site staff development model. The Clearing House (79). 4. 170-173 Hargreaves, Andy. (1997). The four ages of professionalism and professional learning. UNICORN, 23(2). 86-114


Giroux, H. (2011). On Critical Pedagogy. London: The Continuum International Publishing Group. Giroux, H. (2018, April 12). Henry Giroux. Retrieved from https://www.henryagiroux.com/ Habermas, J. (1989). Faktizität und Geltung - Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats. Frankfurt: Suhrkamp. Hargreaves, A. & Fullan, M. (2000). Mentoring in the new millennium. ProQuest Education Jour-nals, 39 (1), 50-56. Jurnal Filsafat, ISSN: 0853-1870 (print); 2528-6811 (online) Vol. 28, No. 2 (2018), p. 180-199, doi: 10.22146/jf.34714 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Joyce,B. dan M. Weil. 1972. Models of Teaching. New York: Prentice-Hall. Kemendiknas RI. Nomor 232/U/2002 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penelitian Hasil Belajar Mahapeserta didik Kemendiknas RI. Nomor 045/U/2002, tentang Kurikulum Inti Pendidikan, Pendidikan Tinggi. Lieberman, A. (1996). Practices that support teacher development. In Teacher learning: new policies, new practices. USA: Columbia Universtiy. Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Alexandria, VA: Association of Supervision and Curriculum Development. Mulford, B. (2008). The leadership challenge: improving learning in schools. Australian Education Review. Victoria: ACER Press. Marcuse, H. (1994). Der eindimensionale Mensch: Studien zur Ideologie der fortgeschrittenen Industriegesellschaft. München: Deutscher Taschenbuchsverlag. Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. ______. 2004. Implementasi. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. ______. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu Panduan Praktis. Bandung: P.T. Rosda Karya. Nana Syaodih Sukmadinata, 1997. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Nida-Rümelin, J. (2013). Philosophie einer humanen Bildung. Körber Stiftung. Owen, S. (2003). School-based professional development-building morale, professionalism and productive teacher learning practice. Journal of Educational Policy, (4). 2.102-107


Oliva, Peter F. 1982. Developing The Curriculum. Boston-toronto; Little Brown and Company. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 19 tahun 2005 Raka Joni, T. 2006. Program Hibah Kompetisi PGSD 2006 Revitalisasi Pendidikan Profesional Dosen Menuju Relevansi. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas. Raka Joni, T. Kelompok peduli pendidikan dosen UM. 2007. Prospek Pendidikan Profesional Dosen Di bawah naungan UU No 14 tahun 2005. Malang: Universitas Negeri Malang. Sarlito Wirawan S. 2002. Optimalisasi Kecerdasan Ganda dalam Era Informasi dan Globalisasi. Yogyakarta: PPS UNY Schugurensky, D. (2011). Paulo Freire. London: Bloombury. Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tim PKP 2007. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Dit P2TK-KPT Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Theodor Adorno, M. H. (1969). Dialektik der Aufklärung: Philosophische Fragmente . Frankfurt: S. Fischer. Tresno Dermawan Kunaefi, dkk. 2008. Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi. Undang-Undang No. 14 tahun 2005. Tentang Dosen dan Dosen. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Wina Sanjaya.2010. Kurikulum dan pembelajaran Teori dan praktek Pengembangan. KTSP, Cetakan Ke-3. Jakarta: Kencana prenada Media Group. Walkington, J., (2005). The why and how of mentoring. EQ Australia,(1), 12-13.


PENULIS


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.