PENDIDIKAN INSTAN Menelisik Sisi Lain Praktek Pendidikan Kekinian Menyimak Realitas
Menelisik Fakta
Pendidikan adalah kehidupan dan jantung peradaban sebuah bangsa karena Pendidikan adalah satu-satunya yang dapat melahirkan negara bermartabat. Jika sistem dan praketk pendidikan berjalan tidak sebagaimana mestinya, maka maka output dari pendidikan itu sendiri tidak akan menghasilkan dampak yang baik justru akan menghancurkan peradaban kehidupan itu sendiri. Jika menyimak realitas pendidikan kita sekarang ini, banyak hal yang menarik untuk dibahas, salah satunya adalah pendidikan instan. Kita pasti tahu apa itu instan? Arti kata Instan adalah langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Issue Pola Pengajaran dan Ketergantungan Pada Teknologi Internet Ijazah Palsu Plagiarisme
Kata instan mempunyai pengertian cepat, langsung jadi, siap pakai. Semua langsung siap tanpa bersusah payah untuk memprosesnya. Contoh yang paling sederhana dan mudah adalah susu instan. Tanpa harus punya sapi dan memeras susunya, kita hanya tinggal menyeduh susu instan dengan air panas, susu siap diminum. Perusahaan pembuatnya secara tegas menyatakan (mengakui) bahwa produknya instan. Dalam kemasannya tertulis “susu instan”. Makanan maupun minuman instan yang kini telah berkembang pesat dinilai sebagian orang lebih efektif terhadap waktu dan mudah ditemukan. Tak hanya itu saja, makanan dan minuman instan sudah lama mengundang kontroversi karena terungkapnya beberapa dampak buruk yang ia miliki. Dampak buruk itu disebabkan oleh kandungan zat-zat berbahaya di dalam makanan dan minuman; Terkandung bahan pengawet dan penyedap yang kini disebut micin. Tak dielakkan, makanan cepat saji memang mengandung zat berbahaya seperti yang telah diungkapkan dalam berbagai hasil penelitian. Penjelasan di atas adalah sekedar contoh untuk produk makanan dan minuman instan. Dan masih banyak lagi produk produk instan lainnya. Penggunaannya begitu praktis, tidak ribet. Ada juga produk kosmetik, disebut dengan kosmetik instan. Misalnya produk pemutih kulit, hanya dengan menggunakannya beberapa minggu, kulit anda akan dijamin putih bila menggunakan kosmetik tersebut. Instan yang canggih adalah pesan instan (instant messaging). Dengan berbekal komputer atau handphone, kita dengan mudah dapat menikmati pesan instan. Dengan tidak memperdulikan dimensi ruang dan waktu, seseorang dapat kita hubungi melalui pesan instan ini. Bahkan untuk mencetak seorang artis ataupun entertainer, dapat dilakukan dengan instan. Berbagai acara kontes di televisi, merupakan sarana untuk mengorbitkan seseorang menjadi “artis dadakan”. Padahal, untuk mendukung seorang peserta untuk menjadi pemenang, berapa rupiah SMS yang kita berikan pada pengelola acara? Berapa laba pengelola acara? Bahkan pemenangnya ditentukan bukan berdasarkan prestasinya, tetapi dukungan smsnya.
Produk instan telah merambah ke segala sudut kehidupan manusia yang mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku mereka. Dari pola pikir, sikap dan perilaku tersebut melahirkan kebiasaan yang membudaya. Budaya instan telah menjadi “icon” gaya hidup, yang digandrungi banyak orang. Dengan hanya menggosok lampu Aladin, semua mimpi yang ada diangan-angan, dengan seketika tersedia dihadapan kita. Produk instan mengubah mimpi manusia menjadi kenyataan dalam sekejap tanpa harus termehek-mehek untuk meraihnya. Dalam hitungan waktu yang relatif singkat, apa yang diinginkan segera terwujud di depan mata. Produk instan seolah-olah merupakan produk “sulap” yang selesai dan tercapai hanya dengan “bim salabim”. Produk instan merupakan dukun sakti yang dapat mengubah hidup manusia menjadi lebih baik, walaupun harus dengan mengorbankan harta dan (tidak jarang) kehidupannya. Manusia menjadi begitu tunduk dan patuh pada “perwujudan keinginannya”. Budaya instan tengah melebarkan sayapnya dalam rangka mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita, bahkan praktek pendidikan pun sudah tercemari dengan budaya instan. Budaya instan menawarkan pilihan jalan keluar yang seolah-olah tepat untuk menyelesaikan masalah. Segala macam persoalan yang rumit, di selesaikan dengan cara instan. Cara instan memang bisa menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang. Budaya instan hanya menunda resiko. Dampak dari budaya instan tidak kita rasakan seketika, tetapi akan terasa dalam jangka panjang. Tapi, di tengah gemerlap godaan duniawi, adakah cara untuk menjadi kaya secara instan? Ada. Hanya caranya yang harus dipertanyakan ke”beradaban”nya, karena mungkin „menghalalkan‟ segala cara. Instanisasi sekarang ini telah merasuki sendi kehidupan kehidupan masyarakat, baik yang hidup diperkotaan sampai ke desa-desa bahkan ke masyarakat tradisional sekalipun. Hal ini sangatlah terlihat jelas budaya masyarakat kita menjadi sangat egoistis dalam artian tidak memperdulikan sesama atau yang lainnya dan terkesan ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Hampir di semua sendi kehidupan di negeri ini sudah menjadikan “instanisasi” sebagai jalan yang tepat dan tak jadi masalah. Asal ada uang, orang yang harusnya dihukum seumur hidup bisa mendapat hukuman 10 tahun penjara. Asal ada keluarga, orang yang tak punya kemampuan bisa menjadi kepala bagian di kantor swasta atau pun pemerintah. Asal ada kolega, orang yang harusnya mengantri mengurus KTP bisa dengan mudahnya menyelesaikan urusan administrasi. Jika semua “asal ada” anda miliki, maka segala kemudahan akan menjadi milik anda. Budaya yang serba instan ini, semua tidak lagi memerhatikan proses, hasillah yang paling utama; Apapun cara yang digunakan. Lewat pintu boleh, lewat jendela sah-sah saja, lewat atap pun pasti bisa, lewat mana pun bisa asal mampu dan bisa memberikan hasil yang luar biasa. Orang-orang yang dianggap saudara senasib saja banyak melakukan penipuan, penindasan dan penyerobotan, demi segepok kertas bernama uang. Inilah yang dikatakan mementingkan hasil dibanding proses. Jika budaya instan telah merasuk jauh dalam sendi kehidupan masyarakat kita ini akan akan lebih buruk dari hari ini. Maka jangan mimpi akan perubahan, jangan mimpi tentang keadilan, jangan mimpi akan keharmonisan, karena “instanisasi” tak berpihak pada hal tersebut.
Praktek Pendidikan Instan Kekinian? 1. Pola Pengajaran dan Ketergantungan Pada Teknologi Internet Praktek Pendidikan instan memaksa peserta didik untuk bisa menguasai berbagai kemampuan dengan cara penyampaian yang tidak sesuai usianya. Pola pengajaran dengan cara yang tidak disesuaikan dengan perkembangan peserta didik. Anak usia dini sudah dipaksan untuk bisa membaca buku bacaan yang biasa diajarkan sekolah-sekolah. Hasilnya jika pendidikan instan diterapkan, maka saat usia dewasa ia akan merasa jenuh, akhirnya saat ia menginjak SD, ia pun sulit memahami isi bacaan bahkan malas membaca. Ini hanyalah contoh kecil dari praktek pendidikan instan sekarang ini. Dalam dimensi kecil, guru merupakan sosok yang mengasup pengetahuan ke anak didik. Namun, sekarang semboyan tersebut mulai dipertanyakan. Di belakang seorang anak didik bukan lagi guru, melainkan teknologi. Dampak baiknya, seorang anak didik akan terlihat lebih pintar dan luas wawasan dari informasi dan pengetahuan yang di dapatkan di media internet. Celakanya, ketika mengonsumsi informasi tersebut semakin masif maka akan melahirkan pendidikan instan. Di mana, subjeknya menjadi pemikir sesaat, mengandalkan semua pengetahuan kepada mesin-mesin teknologi itu. Pertanyaannya adalah; Apakah pendidikan berkualitas akan semakin mudah diraih jika teknologi mengiringinya? Jawabannya belum tentu. Semua orang masih bisa berasumsi pendidikan akan baik-baik saja jika tanpa teknologi. Meskipun kajian logika berfikir ini masih dirajut dari konteks yang sederhana. Tapi realitasnya, berbicara soal masyarakat yang berpendidikan secara lingkup sederhana menjadi rasional. Sebab, pendidikan tidak melulu mengkaji sebuah pengetahuan. Adakalanya pendidikan berperan seperti budaya dan politik masyarakat yang menyoal luas seputar keadaan sosial. Dilain sisi pengertian pendidikan instan adalah ketiadaan proses dalam meraih nilai falsafah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan instan mengacu pada penggunaan teknologi secara masif untuk mencerdaskan fikiran tanpa kajian pembenaran. Tak di pungkiri ada sisi negatif yang timbul dari penggunaan teknologi secara masif yang malah semakin mengkerdilkan otak. Teknologi komunikasi dan informasi menjadi salah satu bagian yang melahirkan pendidikan instan tersebut. Bagaimana setiap keilmuan akan mudah didapat hanya dengan mengakses internet tanpa adanya budaya literasi. Dengan mudah kita lihat dari jenjang pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi hampir tidak ada yang luput dari pemanfaatan teknologi. Meski memberikan bantuan secara instan dan cepat, penggunaan teknologi tidak memberikan dampak positif bagi peserta didik. Perihal teknis yang memerlukan bantuan teknologi mungkin bisa sedikit dimaklumi. Tapi lain sisi dapat membuat peserta didik kita menjadi malas. Sikap yang akan muncul adalah sebuah ketergantungan. Disilah pentingnya sistem pendidikan kita untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari teknologi informasi tersebut. Jika terlalu bergantung pada teknologi internet, semakin tidak mencerdaskan peserta didik. Otak mereka akan mudah mengansumsikan sebuah ilmu yang benar dari satu sumber saja, apalagi informasi yang tersebar di internet banyak yag tidak dipertanggungjawabkan kebenaran dan keilmiaannya. Celakanya jika peserta didik tidak dapat menyaring informasi
tersebut dengan baik. Maka sebenarnya yang efektif ialah memadukan antara membaca informasi di internet dan membaca buku-buku konvensional. Pendidikan instan yang dilahirkan dari penggunaan teknologi internet yang masif akan membentuk peserta didik menjadi kaku dalam belajar karena hanya bergantung penuh pada teknologi. Menjadikan teknologi menjadi satu satunya sumber informasi. Satu lagi pengaruh besar dalam teknologi komunikasi yang menghadirkan konten menarik tapi tidak mendidik menambah pendidikan instan semakin carut marut. Salah satu cara menghentikan ketergantungan pendidikan dengan teknologi internet yakni dengan cara menerapkan pendidikan kritis ke semua peserta didik (pelajar, mahasiswa) bahkan guru/dosen. Memadukan secara seimbang penggunaan teknologi internet dan membaca buku. Teknologi internet hanya sebagai jembatan menuju sebuah rumah bernama pendidikan. Jangan lalu membuat teknologi internet menjadi rumah dalam pendidikan. Sehingga menjadikan pendidikan kita instan dan terlena tanpa melakukan apa-apa. Yang paling celaka ketika kita sampai menjadi budak teknologi. Tapi perlu disadari bahwa tidak selalu segala sesuatu yang berbau instan atau cepat itu buruk. Apabila telah ditemukan sebuah metode yang mempermudah pekerjaan dan dapat dipertanggungjawabkan, tentu saja metode yang lebih mudah dan instan tersebut dapat dipergunakan. 2. Sarjana Instan Menyimak berbagai informasi, berita dan lain sebagainya perihal praktek pendidikan kita kekinian, maka tak pelak lagi dunia pendidikan kita pun sudah terkotaminasi cara “instan”. Sama seperti halnya makanan dan minuman instan dimana waktu penyajiannya tidak lama. Maka pendidikan instan pun demikian. Muncul berbagai masalah mulai dari proses pengajaran, plagiarisme, sampai pada kasus yang mencoreng dunia pendidikan kita; Kampus abal abal, Ijazah palsu, dan masih banyak lagi kasus kasus lainnya. Sesuatu yang instan adalah sesuatu yang terjadi tanpa memerlukan proses yang lama. Apapun yang disandingkan dengan kata “instan”, tidak akan mengenal kata “lama” di setiap prosesnya. Makanya, hadir produksi massal, karena manusia hari ini tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menunggu sesuatu yang lama. Jika bisa dibeli, mengapa kita harus membuatnya? Jika ada yang cepat, mengapa harus memilih yang lama? Di bidang pendidikan, telah terjangkit virus serba instan ini. Banyak mahasiswa ingin kuliah dengan cepat, mendapat ilmu dengan cepat, belajar dengan cepat dan lulus dengan cepat. Di tingkat tugas akhir, pendidikan instan dicontohkan dengan tersedianya jasa pembuatan skripsi, tesis hingga bahkan disertasi. Yang paling buruk, pendidikan instan ditandai dengan tersedianya penyedia ijazah palsu yang memungkinkan seseorang memperoleh ijazah, tanpa menjalami proses pendidikan yang diharuskan. Ijazah itu akan dapat digunakan untuk syarat melamar pekerjaan, kenaikan pangkat, kenaikan gaji, dsb. Kecenderungan serba instan dalam dalam praktek pendidikan kita khususnya dalam memperoleh gelar sarjana bukan sekedar isapan jempol. Dari hari ke hari praktek tersebut semakin kuat dengan modus operasi yang semakin halus. Seseorang bisa mendaptkan gelar sarjana S1 atau S2 yang sangat cepat tanpa melalui proses semester berjalan. Mereka hanya membayar semua ketertinggalan semester lalu didaftarkan masuk menjadi peserta ikut wisuda dan langsung saja mendapatkan ijazah. Sekali seduh langsung jadi‟ siap disantap, layaknya makanan instan.
Praktek sarjanan instan akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah tersebut. Sarjana yang sudah berproses mati-matian selama pendidikan berlangsung, mengikuti semester berjalan, melaksanakan kewajiban di kampus seperti membayar SPP, mengerjakan tugas-tugas. Sementara ada orang yang tiba-tiba mendapat gelar serjana namun selama pergaulan sosialnya tidak pernah terdengar kabar bahwa dia pernah kuliah. Tentu masyarakat mempertanyakan dari mana gelar itu didapatkan. Menjamurnya institusi yang menawarkan gelar hanya dengan harga Rp 5 sampai 8 juta, ini tidak terlepas dari berfikir instan, padahal yang demikian itu merupakan suatu pelanggaran sistem dan pengkhianatan terhadap prinsip akademik. Pendidikan instan telah merusak tatanan pendidikan yang sesungguhnya karena mematikan proses pendidikan merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama, agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang. Sejatinya tidak ada pendidikan yang bisa diperoleh secara instan. "Proses pendidikan harus ditempuh secara bertahap," Harus diakui, masih banyak pihak tidak bertanggung jawab menawarkan ijazah yang dapat diperoleh tanpa mengikuti proses pendidikan (kuliah). pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut memanfaatkan anggapan masyarakat yang masih mengagungkan gelar untuk mengukur kompetensi seseorang. Sehingga lebih mementingkan ijazah atau gelar daripada kompetensi yang dimiliki seseorang. Hasil memang penting, namun yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan hasil melalui proses yang seharusnya ditempuh. Pengetahuan merupakan gabungan dari tiga hal yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik yang tidak bisa dipisahkan, sehingga melahirkan kompetensi. Adanya Praktek jual beli ijazah yg terjadi di dunia pendidikan kita telah merusak proses pendidikan yang sesungguhnya. Proses pendidikan merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan. Proses pendidikan merupakan media transformasi pengetahuan dan nilai (value) kepada peserta didik. Maka dari itu institusi pendidikan bukan hanya mengajarkan peserta didik tentang displin ilmu sesuai jurusan masing-masing namun, juga mengajarkan moral, etika pergaulan dan nilai-nilai karakter dalam bermasyarakat. Maka seorang sarjana yang hanya langsung menerima ijazah tentu akan kewalahan dalam menghadapi tantangan sosial apalagi mempertanggung jawabkan nilai akademiknya. Aktualisasi terhadap nilai-nilai akademik tercermin dari seorang sarjana yang betul-betul melewati sistem pendidikan yang baik yang dibekali pendidikan akademik dan keterampilan guna menghadapi tantangan dan perubahan zaman. 3. Plagiarisme Plagiarisme merupakan salah satu praktek instan yang mengancam pendidikan kita. Banyak kasus plagiarism yang terjadi di berbagai kampus baik dilakukan oleh mahasiswa muncul dosen. Tidak jarang di antara mahasiswa meng-copi-paste karya ilmiah orang lain yang suda jadi, atau bahkan menggunakan biro jasa pembuatan skripsi, atau tesis. Karena bagi mereka yang diutamakan memang bukan pengetahuan melainkan status, ijazah, atau gelar. Agar bisa diakui eksistensinya di masyarakat kalau dia itu punya title akademik.
Membuat skripis, tesis sering dipandang sebagai suatu yang amat berat, sehingga timbul rasa enggan untuk melaksanakan bahkan memulainya. Maka jalan pintas adalah “plagiat.” Memang, menyusun suatu karangan ilmiyah bukanlah pekerjaan yang mudah. Apa saja yang dikemukakan dalam skripsi, tesis, harus dapat dipertanggugjawabkan berdasarkan data empiris. Namun keharusan itulah yang sangat berharga bagi seorang yang nantinya menyebut dirinya seorang sarjana. Bagi sarjana harus dapat berpikir ilmiah objektif dan rasional. Ia harus mampu membiasakan dirinya bersikap ilmiah. Membuat karya ilmiah memaksa mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan dengan demikian merupakan latihan yang sangat bermanfaat bagi persiapan sebagai seorang ilmuwan. Sebaliknya cara instan yang di tempuh tidak akan pernah menghasilkan generasi bangsa yang kompeten dan kreatif tetapi hanya akan menghasilkan produk-produk pragmatis. Selain sarjana instan dan plagirarisme, beberapa praktek sistem pendidikan instan yang diterapkan di perguruan tinggi diantaranya: Semester pendek. Sistem semester pendek itu, pasti tergesa-gesa karena waktu yang singkat harus menghabiskan bahan banyak. Akibatnya dosen pun memberikan secara serampangan sedangkan mahasiswa pun menerimanya juga sepintas lalu tanpa pengendapan.Tujuan akhirnya hanya mengejar nilai. Inilah realitas praktek pendidikan di masa sekarang. Budaya instan tidak hanya melanda mahasiswa tetapi juga melanda generasi yang lebih tua. Saat ini, orang menginginkan segala sesuatu yang serba instan dan mudah. Sebuah idiom yang popular di kalangan mahasiswa yang terjangkit virus instan adalah “SKS” yang diplesetkan menjadi Sistem Kebut Semalam. Sistem kebut semalam, masih dapat dikategorikan “baik” karena setidaknya mahasiswa belajar walaupun hanya semalam. Mahasiswa yang lebih parah, akan memilih mencontek atau berbuat curang saja demi mendapat nilai baik. Jurus mencontek ini jauh lebih instan tetapi jelas melanggar norma kejujuran yang dijunjung tinggi di bidang pendidikan. Tidak mungkin mahasiswa yang yang hanya belajar satu malam sebelum ujian akan mendapatkan substansi pendidikan yang sebenarnya yaitu mendapatkan ilmu. Mahasiswa seperti ini mungkin akan mendapat nilai baik, tetapi belum tentu mendapatkan ilmu yang akan berguna untuk kehidupannya kelak. Terlebih lagi mahasiswa yang mencontek. Bukan saja dia tidak akan mendapat ilmu yang berguna, tetapi kebiasaan mencontek akan merusak mentalnya menjadi seseorang yang tidak jujur. Bukan tidak mungkin perilaku koruptif pejabat di pemerintahan diawali dari kebiasaan menconteknya selama kuliah. Korupsi di pemerintahan pun dapat dikategorikan sebagai akibat buruk virus instan ini. Korupsi dapat dimaknai keinginan sebagian orang untuk dapat mendapatkan kekayaan secara instan tanpa bekerja keras. Tentu saja sebagai dosen, kita harus merancang sebuah proses pendidikan yang menutup kemungkinan terjadinya penyelenggaraan pendidikan yang instan. Baik itu pendidikan instan karena keinginan individu-individu pelaku pendidikan (mahasiswa) maupun pendidikan instan yang diakibatkan oleh sistem. Untuk memperoleh sebuah ilmu yang akan berguna di masa depan, seseorang harus menjalani semua prosesnya. Mulai dari belajar, mengkaji ilmu, latihan soal hingga
praktikum. Proses-proses untuk memperoleh ilmu yang berguna ini biasanya telah dirumuskan oleh pakar-pakar pendidikan yang kredibel. Tetapi mahasiswa terkadang tidak peduli. Mereka punya pendapat lain. Seringkali ilmu disamakan dengan nilai. Pandai dan berhasil diinterpretasikan dengan mendapat nilai baik. Celakanya, keinginan untuk mendapat nilai baik ini mengalahkan substansi pendidikan yaitu memperoleh ilmu. Pendidikan tidak mengantarkan kita semata-mata menuju kekayaan materi, tetapi lebih dari itu menuju kejayaan intelektual. Pendidikan instan tentu berbahaya untuk masa depan Indonesia dan perlu upaya kita bersama untuk menanggulanginya. Tidak mudah untuk mengubah pola pikir instan yang mengroggoti masyarakat kiuta sekarang ini, tetapi semua usaha besar diawali dengan usaha-usaha kecil. Pemerintah, institusi pendidikan, guru, dosen dan seluruh pemangku kepentingan harus mencegah penyelenggaraan pendidikan yang instan demi masa depan generasi pelanjut bangsa.