#STOP JANGAN GAGAL PAHAM MENYIKAPI TANTANGAN PENDIDIKAN KEKINIAN
Perubahan kondisi masyarakat yang semakin cepat. Kuatnya arus demokratisasi, tuntutan penegakan hukum, pelaksanaan hak asasi manusia, serta kesadaran ekologis menjadi isu-isu penting dalam era global. Tuntutan demikian perlu direspon nyata dalam praktek pendidikan di negeri ini untuk kemudian dikembangkan berbagai program pendidikan dan pembelajaran baik yang dilaksanakan di kampus maupun di luar kampus. Peserta didik perlu dibekali dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta sistem nilai atau tata krama pergaulan, dengan tidak meninggalkan identitas budaya. Diharapkan peserta didik sebagai generasi pelanjut mampu memperoleh, menguasai, mengolah dan mengembangkan informasi secara cepat, sehingga terbentuk kebiasaan berpikir kreatif dan produktif.
#STOP JANGAN GAGAL PAHAM MENYIKAPI TANTANGAN PENDIDIKAN KEKINIAN Tulisan ini ingin menjabarkan beberapa argumen penting terkait dengan praktek pendidikan yang terjadi sekarang ini, serta menunjukkan arti pentingnya bagi keadaan di Indonesia. Praktek pendidikan ini tampak jelas pada obsesi perguruan tinggi dan pemerintah dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan zaman (distrupsi, digitalisasi, revolusi industry 4.0). Segala cara diupayakan untuk membekali peserta didik (pengetahuan dan keterampilan) dalam menghadapi tantangan tersebut. Namun, sisi lain, melupakan unsur pengembangan karakter kepribadian peserta didik yang berkaitan langsung pada kemampuan pengetahuan dan keterampilan mereka. Menurut saya, telah terjadi kesalapahaman tentang arti pendidikan yang sesungguhnya. Kesalahpahaman tentang hubungan antara kebijakan politik pendidikan dengan keadaan ekonomi nyata di lapangan. Kesalapahaman ini memunculkan permasalahan dalam praktek pendidikan, yakni antara dual pendidikan; Keterampilan kerja di satu sisi, dan pendidikan akademik di sisi lain. Keduanya adalah satu kesatuan yang didasarkan pada pandangan hakikat tentang pendidikan sebagai pengembangan kepribadian. Banyak artikel, jurnal, buku, dan entah apapun namanya yang membahas praktek pendidikan kekinian. Ada hal cukup menggelitik ketika praktek pendidikan tidak mengembangkan ‘Budaya Pendidikan’ yang didasarkan pada pada pengembangan kepribadian yang menyatukan Keterampilan kerja dan pendidikan akademik.
Kemajuan zaman harus dibarenggi dengan penguatan budaya, moral dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut bisa di wujudkan jika pendidikan sebagai pondasi utama peradaban di letakan kembali pada poisisi yang sebenarnya yaitu MEMANUSIA[WI] KAN MANUSIA. Yaitu ‘pendidikan berbudaya’ memadukan unsur SOFTSKILLS dan HARDSKILLS secara berimbang.
Jadilah sekarang ini, pendidkan kita cenderung bernuansa formalitas (sematamata mengejar hasil tanpa penguatan proses). Hasilnya apa yang terlihat sekarang, hanya sekedar ‘RASA’, yaitu seakan akan telah mempersiapkan peserta didik untuk mengahadapi tantangan dimasa mendatang. Praktek Pendidikan kekinian telah terhalusinasi wacana dispruption, digitalisasi, sampai revolusi industry 4.0. sampai melupakan hakikat (arti, maksud, tujuan) pendidikan yang sesungguhnya! Jika hal tersebut tidak disikapi secara arif dan bijak, bangsa ini terancam gagal dalam membangun dan mengembangkan peradaban melalui pendidikan. Bangsa ini akan terancam ‘hilang’ identiasnya akibat gagal merespons globalisasi sebagai ekspansi Barat. Paradoks jadinya, ketika dunia pendidikan semakin maju, ilmu pengetahuan dan teknologi makin berkembang, informasi makin melimpah, di lain sisi degradasi moral, norma, dan etika dikalangan peserta didik dan masyarakat semakin besar pula. Begitu pula dengan degradasi budaya dan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Warga negara kita banyak yang berpendidikan, tapi makin tidak terdidik. Makin amburadul tatanan lingkungan, social kemasyarakatan, bahkan birokrasi dan pemerintahan. Buktinya, hampir seluruh kekayaan alam kita sudah jatuh di
1
tangan asing dan aseng, kemiskinan dan ketimpangan yang makin lebar, penganguran makin meningkat, antidemokrasi, intoleransi, radikalisme, fanatisme buta, kejahatan, pergaulan bebas, narkoba, sampai korupsi masih merajalela walaupun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam masyarakat digital pun, hal ini terjadi, berbagai perilaku buruk terjadi secara massal mulai remaja, dan juga orang dewasa. Penyebarluasan berita-berita bohong (hoax), penghinaan serta caci-maki menyebar secar masif. Perilaku seperti ini juga salah satu contoh kontribusi dari praktek pendidikan kita yang kurang membangun NILAI. Kita hamper gagal membangun Pendidikan ‘NILAI’ untuk merespons globalisasi sebagai ekspansi Barat. Jika kemajuan zaman tidak dibarenggi dengan praktek pendidikan yang berlandaskan pada penguatan moral dan budaya, maka akan menciptakan kondisi masyarakat suatu bangsa yang tidak memiliki jati diri. Antropolog Kuntjaraningrat mengatakan bahwa budaya bangsa ini feodal, pemalas, munafik dan pencari kambing hitam. Sifatsifat ini bukan bagian dari budaya merdeka, tapi bagian dari budaya inlander. Bila dikatakan bahwa kita gagal menyediakan syarat budaya yang dibutuhkan untuk merdeka walaupun kemerdekaan sudah diproklamasikan 73 tahun silam. Kegagalan ini sebagian besar disebabkan oleh Pendidikan yang praktekan sekarang ini bukan sebagai strategi kebudayaan untuk menjadi bangsa merdeka. Bahkan menjadi instrumen teknokratis untuk menyediakan buruh trampil dan warga yang patuh. Ini dilakukan dengan membiarkan praktek pendidikan (sistem persekolahan) neoliberalisme yang terlalu men’tuhan’kan Materi dan meruntuhkan ‘NILAI’. Neoliberalisme yang di bungkus Globalisasi sebagai westernisasi mengandalkan dua instrumen teknokratik utama : persekolahan dan perbankan. Praktek pendidikan (Persekolahan) itu mengubah kebutuhan belajar menjadi keinginan bersekolah yang dengan secara diam-diam menyiapkan peserta didik melalui pengembangan gaya hidup yang konsumtif dan instan. Pada saat yang sama, sistem perbankan menyediakan hutang bagi masyarakat yang tidak bisa hidup tanpa hutang. Media massa (elektronik, online, cetak) menjadi katalisatornya. Para millenials yang dilahirkan di awal abad 21 telah melalui sistem persekolahan dan menikmati pop culture asing yang membutakan mereka secara politik untuk sanggup mengambil tanggungjawab kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti yang dikatakan sayidina Ali RA, tidak ada kemiskinan yang lebih buruk dari ketidaktahuan. Boleh dikatakan, sebagai bangsa kita telah kehilangan satu generasi yang hidup selama masa reformasi yang terbukti kemudian sebagai masa deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya; Dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan zaman, peserta didik perlu dibekali dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta sistem nilai atau tata krama pergaulan, dengan tidak meninggalkan identitas budaya. Peserta didik sebagai generasi pelanjut mampu memperoleh, menguasai, mengolah dan mengembangkan informasi secara cepat, sehingga terbentuk kebiasaan berpikir kreatif dan produktif. Perubahan kondisi masyarakat yang semakin cepat, kuatnya arus demokratisasi, tuntutan penegakan hukum, pelaksanaan hak asasi manusia, serta kesadaran ekologis menjadi hal penting di era sekarang ini. Kondisi demikian harus direspon dalam praktek pendidikan kekinian. Peserta didik sebagai generasi muda pelanjut harus mampu bersaing bukan lagi kepandaian semata, tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak (hard skills- soft skills). Sebagai penutup; Peradaban modern terwujud dari keselarasan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Jadi harusnya praktek pendidikan kekinian dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan zaman, ialah keseimbangan antara pendidikan karakter kepribadian dan pengetahuan, keterampilan. Saatnya praktek pendidikan kita melahirkan generasi muda terdidik yang beradab, cerdas, merdeka dan mandiri.
2